Page 1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dengan pesatnya penemuan-penemuan teknologi modern,
mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan yang sangat cepat di dalam
kehidupan sosial budaya manusia. Di antar sekian banyak penemuan-
penemuan teknologi tersebut, tidak kalah pesatnya perkembangan teknologi di
bidang medis.
Dengan berkembangnya teknologi di bidang kedokteran ini, bukan
tidak mustahil muncul masalah yang pekik dan rumit. Melalui pengetahuan
dan teknologi kedokteran yang sangat maju, diagnose mengenai suatu
penyakit dan pengobatannya dapat dilakukan secara sempurna dan lebih
efektif. Hidup seseorang pun dapat diperpanjang untuk jangka waktu tertentu.
Bahkan perhitungan saat kematian seseorang dapat dilakukan secara lebih
tepat. Di samping itu, beberapa negara maju bahakn sudah mampu melakukan
birth technologi dan biological engineering. Dengan demikian masalah cepat
atau lambatnya proses kematian seseorang penderita sesuatu penyakit, seolah-
olah dapat diatur oleh teknologi yang modern tersebut.
Menyinggung masalah kematian, menurut terjadinya, maka ilmu
pengetahuan membedakannnya ke dalam tiga jenis kematian, yaitu:
1. Orthothanasia, yaitu kematian yang terjadi karena suatu proses alamiah.
2. Dysthanasia, yaitu suatu kematian yang terjadi secara tidak wajar.
3. Euthanasia, yaitu suatu kematian yang terjadi dengan pertolongan atau
tidak dengan pertolongan dokter.
Eutanasia merupakan upaya untuk mengakhiri hidup orang lain dengan
tujuan untuk menghentikan penderitaan yang dialaminya karena suatu
penyakit atau keadaan tertentu.
Di jaman modern seperti saat ini, tercatat telah banyak sekali kasus-
kasus eutanasia, baik yang ter-ekspose maupun yang tersembunyikan.
Terdapat dua unsur utama yang menjadikan eutanasia menjadi bahan
perdebatan yang sengit di kalangan dokter dan bahkan masyarakat umum.
1
Page 2
Yang pertama, eutanasia jelas-jelas suatu tindakan yang dengan sengaja
menghilangkan nyawa orang lain, namun selain itu justru alasan dilakukannya
eutanasia adalah untuk menghindarkan pasien dari rasa sakit atau penderitaan
yang dianggap terlalu menyiksa.
Di beberapa Negara di dunia, eutanasia merupakan suatu tindakan
yang dilegalkan, sehingga seorang dokter memiliki kewenangan untuk
menjalankan prosedur eutanasia, namun tentu saja dengan seijin pihak
keluarga dan melalui prosedur perijinan yang sangat ketat. Sedangkan di
beberapa Negara yang lain, pelaku eutanasia ditangkap karena dianggap
melakukan tindakan yang melanggar hukum.
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian di atas penulis dapat merumuskan masalah sebagai
berikut : Bagaimana perspektif islam tekait euthanasia“?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum mahasiswa mampu mengetahui perspektif islam
terkait euthanasia.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mahasiswa mampu mengetahui Definisi Euthanasia.
2. Mahasiswa mampu mengetahui Sejarah Euthanasia.
3. Mahasiswa mampu mengetahui Klasifikasi Euthanasia.
4. Mahasiswa mampu mengetahui Euthanasia Dalam Perspektif
Islam.
5. Mahasiswa mampu mengetahui Praktik Euthanasia di Indonesia.
6. Mahasiswa mampu mengetahui Euthanasia dalam Persepektif
Medis.
7. Mahasiswa mampu mengetahui Kode Etik Kedokteran mengenai
Proses serta Eksistensi Kematian Pasien dengan Euthanasia.
8. Mahasiswa mampu mengetahui Euthanasia menurut Hukum di
berbagai Negara.
2
Page 3
9. Mahasiswa mampu mengetahui Motif-motif Terjadinya
Euthanasia.
10. Mahasiswa mampu mengetahui Euthanasia Dari Sudut Pandang
Pasien dan Keluarganya.
3
Page 4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Euthanasia
Euthanasia merupakan upaya yang mana dilakukan untuk dapat membantu
seseorang dalam mempercepat kematiannya secara mudah akibat ketidakmampuan
menanggung derita yang panjang dan tidak ada lagi harapan untuk hidup atau
disembuhkan. Hal tersebut memunculkan kontroversi yang menyangkut isu etika
euthanasia (perilaku sengaja dan sadar mengakhiri hayat seseorang yang menderita
penyakit yang tak dapat disembuhkan) tidak saja santer didiskusikan di kalangan
dunia medis, akan tetapi telah merambah kemana-mana terutama para ulama Islam.
Huzaimah Tahidu Yanggo, (2005:104), mengungkapkan bahwaeuthanasia
secara etimologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu “eu” berarti baik, bagus, dan
“thanotos” artinya mati. Euthanasia adalah mati yang baik tanpa melalui proses
kematian dengan rasa sakit atau penderitaan yang berlarut-larut. Sedangkan menurut
M. Ali Hasan, (1996:132), Pengertian lain dari Euthanasia adalah mati yang
gampang.
Menurut Hilman (2001), euthanasia berarti “pembunuhan tanpa penderitaan”
(mercy killing). Tindakan ini biasanya dilakukan terhadap penderita penyakit yang
secara medis sudah tidak mungkin lagi untuk bisa sembuh.Di dunia etik kedokteran
kata euthanasia secara harfiah diartikan “mati baik”.
Euthanasia Studi Grup dari KNMG Holland (Ikatan Dokter Belanda)
menyatakan: “Euthanasia adalah perbuatan dengan sengaja untuk tidak melakukan
sesuatu untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu
untuk memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan semua ini dilakukan
khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri”.
Menurut Philo (50-20 SM), euthanasia berarti mati dengan tenang dan baik,
sedangkan Suetonis penulis Romawi dalam bukunya “Vita Caesarum” mengatakan
bahwa euthanasia berarti “mati cepat tanpa derita.” Sejak abad 19 terminologi
euthanasia dipakai untuk penghindaran rasa sakit dan peringanan pada umumnya bagi
yang sedang menghadapi kematian dengan pertolongan dokter.
Menurut Yusuf Qardhawi, (1995:749), Euthanasia dalam istilah Arab dikenal
dengan Qatl ar-Rahmah (membiarkan perjalanan kematian menuju kematian karena 4
Page 5
belas kasihan)atau Taisir al-Maut (memudahkan proses kematian), ialah tindakan
memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih
sayang, dengan tujuan meringankan perderitaan orang yang sakit, baik dengan cara
yang positif maupun negatif.
Secara terminologi kedokteran, euthanasia adalah tindakan memudahkan
kematian atau mengakhiri hidup seseorang denga sengaja tanpa rasa sakit, karena
kasihan untuk meringankan penderitaan si sakit. Tindakan ini dilakukan kepada
penderita penyakit yang tidak memiliki harapan untuk sembuh. (Setiawan Budi
Utomo, 2003:176).
Menurut Dr. M. Ali Akbar dalam buku Huzaimah Tahidi Yanggo (2005:104),
Euthanasia memiliki pengertian:
1. Kematian yang mudah dan tanpa sakit.
2. Usaha untuk meringankan penderitaan orang yang sekarat dan bila perlu untuk
mempercepat kematiannya.
3. Keinginan untuk mati dalam arti yang baik.
Dengan demikian makna euthanasia adalah suatu cara menghilangkan nyawa
yang dilakukan oleh petugas medis kepada seseorang yang mengidap penyakit
mematikan atau telah didiagnosis bahwa penyakit tersebut tidak dapat disebuhkan,
untuk menghilangkan penderitaannya.Seseorang yang telah mengidap penyakit dalam
rentang waktu yang lama, sehingga mandatangkan kesulitan, baik kepada penderita
yang merasakan sakit berlarut-larut, maupun kepada pihak keluarga yang harus
menanggung beban biaya pengobatan yang terus bertambah. (Masjfuk Zuhdi,
1992:157). Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan euthanasia dalam tiga arti:
1. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, buat
yang beriman dengan nama Tuhan di bibir.
2. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberi
obat penenang.
3. Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan
pasien sendiri dan keluarganya.
Menyinggung masalah kematian, menurut cara terjadinya, maka ilmu
pengetahuan membedakan ke dalam tiga jenis kematian, yaitu :
1. Orthothanasia, yaitu kematian yang terjadi karena suatu proses alamiah.
2. Dysthanasia, yaitu suatu kematian yang terjadi secara tidak wajar.5
Page 6
3. Buthanasia, yaitu suatu kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak
dengan pertolongan dokter. Jenis kematian ini bisa juga dikatakan sebagai
Euthanasia.
2.2 Sejarah Euthanasia
Euthanasia telah dikenal sejak zaman yunani kuno, pada zaman itu euthanasia
ditekankan pada kehendak manusia untuk melepaskan diri dari penderitaan terutama
yang mengalami penyakit parah. Selain itu ada kondisi yang memungkinkan untuk
terjadinya euthanasia yaitu tradisi kurban, alasannya yaitu motivasi pribadi untuk
berkurban dan pribadi yang mau memberikan dirinya untuk sesamanya.
Kemudian euthanasia oleh Pytagoras yang berpendapat bahwa hidup manusia
mempunyai nilai keabadian, dan euthanasia merupakan tindakan yang tidak
menanggapi arti hidup manusia. Sedangkan Aristoteles bersimpati terhadap
Euthanasia dengan alasan bahwa hidup manusia itu bernilai luhur.
Pada tuhun 1920 melalui buku yang berjudul The Permision to Destroy Life
unworthy of life. Ditulis oleh seorang psikiatri dari Freiburg bernama Alfredn Hoche
dan seorang profesor hukum dari Universitas Leipsig yang bernama Karl Binding.
Mereka berpendapat bahwa tindakan membantu seseorang yang mengalami kematian
adalah masalah etika tingkat tinggi yang membutuhkan pertimbangan yang tepat,
yang merupakan solusi belas kasihan atas masalah penderitaan.
Di Inggris pada tahun 1935 seorang Dokter membentuk The Voluntary
Euthanasia Legislation Society, untuk melegalisasi euthanasia bersama dengan
dokter-dokter terkenal lainnya. Namun rancangan ini kemudian di tolak oleh Dewan
Lord setelah melalui perdebatan di House Of Lord pada tahun 1936.
Jerman pada saat kekuasaan Adolf Hitler yang melegalkan euthanasia
memeritahkan untuk melalukan tindakan Mercy killing secara luas yang dikenal
dengan “Action T4” untuk menghapus kehidupan orang yang dianggap tak berarti
dalam kehidupan (Life Under Worty of Life).
Di Australia tahun 1995, Australia Northem Territority menyetujui RUU
Euthanasia dan berlaku pada tahun 1996 dan dijatuhkan oleh parlemen Australia pada
tahun 1997. sedangkan di Oregon negara bagian AS mengelurkan death with dignity
Law satu undang-undang yang memperbolehkan dokter menolong pasien yang dalam
kondisi terminally ill untuk melakukan bunuh diri, sampai pada tahun 1998 sudah ada 6
Page 7
100 orang mendapatkan Assisten Suicide. Hal ini terus diperdebatkan di Amerika dan
pada tahun 1998 Oregon melegalisis Asisten Suicide dan itu satu-satunya di negara
bagian Amerika yang melegalkan euthanasia.
Di Belanda pada tahun 2000 melegalkan euthanasia Aktif Voluntir ini
mendapat berbagai sorotan dari organisasi anti euthanasia dan juga dari organisasi pro
euthanasia. Seperti Rita Marker dari ADIWIDIA edisi Desember 2010 No. 1
“Internasional Againts Euthanasia task force“ apakah sekarang sebuah kejahatan akan
diganti dengan perawatan” sedangkan Tamara Langley dari The UK voluntary
euthanasia Society menanggapi sebagai suatu perkebangan, orang-orang mengambil
keputusan yang mereka buat sendiri. Ebger dari Cristian union mengatahkan “bahwa
undang undang ini adalah kesalahan sejarah”.
Tahun 2002 juga Belgia melegalisir Euthanasia seperti di Belanda. Di Belgia
menetapkan kondisi pasien yang ingin mengakhiri hidupnya harus dalam keadaan
sadar. Saat penyataan itu dibuat dan menanggulangi permintaan mereka untuk
Euthanasia. Sedangkan di Swiss Euthanasia masih ilegal tetapi terdapat tiga
organisasi yang mengurus permohonan tersebut dan menyediakan konseling dan obat-
obatan yang dapat mempercepat kematian.
Di asia, Jepang melegalkan euthanasia Voluntir yang disahkan melalui
keputusan pengadilan tinggi pada kasus Yamaguchi di tahun 1962. Namun setelah itu
karena faktor budaya yang kuat euthanasia tidak pernah terjadi lagi dijepang setelah
itu.
Dari beberapa penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa euthanasia ini telah
terjadi sejak zaman yunani kuno yang kental dengan sektenya, kemudian secara
bertahap dibeberapa negara juga melegalkan pelaksanaan euthanasia ini dengan
alasan belas kasihan terhadap penyakit yang parah, serta termasuk euthanasia yang
ekstrim dilakukan oleh nazi yang bertujuan melenyapkan orang-orang tidak berguna.
2.3 Klasifikasi Euthanasia
Klasifikasi euthanasia dibedakan menjadi beberapa tinjauan. Yaitu :
1. Dilihat dari orang yang membuat keputusan. Euthanasia dibagi menjadi:
a. Voluntary euthanasia, jika yang membuat keputusan adalah orang yang sakit.
b. Involuntary euthanasia, jika yang membuat keputusan adalah orang lain
seperti pihak keluarga atau dokter karena pasien mengalami koma medis.7
Page 8
Menurut Dr. Veronica Komalawati, S.H., M.H., ahli hukum kedokteran
dan staf pengajar pada Fakultas Hukum UNPAD dalam artikel harian Pikiran
Rakyat mengatakan bahwa euthanasia dapat dibedakan menjadi:
a. Euthanasia aktif, yaitu tindakan secara sengaja yang dilakukan dokter atau
tenaga kesehatan lain untuk memperpendek atau mengakhiri hidup si pasien.
Misalnya, memberi tablet sianida atau menyuntikkan zat-zat berbahaya ke
tubuh pasien.
b. Euthanasia pasif. Dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak (lagi)
memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien.
Misalnya tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami
kesulitan dalam pernapasan atau tidak memberikan antibiotika kepada
penderita pneumonia berat, dan melakukan kasus malpraktik. Disebabkan
ketidaktahuan pasien dan keluarga pasien, secara tidak langsung medis
melakukan euthanasia dengan mencabut peralatan yang membantunya untuk
bertahan hidup.
c. Autoeuthanasia, Seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk
menerima perawatan medis dan ia mengetahui bahwa itu akan memperpendek
atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut, ia membuat sebuah
codicil (pernyataan tertulis tangan). Autoeuthanasia pada dasarnya adalah
euthanasia atas permintaas sendiri (APS).
2. Eutanasia ditinjau dari sudut cara pelaksanaannya. Dapat dibagi menjadi tiga
kategori:
a. Eutanasia agresif, disebut juga eutanasia aktif, adalah suatu tindakan secara
sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk
mempersingkat atau mengakhiri hidup seorang pasien. Eutanasia agresif dapat
dilakukan dengan pemberian suatu senyawa yang mematikan, baik secara oral
maupun melalui suntikan.
b. Eutanasia non agresif, kadang juga disebut eutanasia otomatis
(autoeuthanasia) digolongkan sebagai eutanasia negatif, yaitu kondisi dimana
seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima
perawatan medis meskipun mengetahui bahwa penolakannya akan
memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Eutanasia non agresif pada
8
Page 9
dasarnya adalah suatu praktik eutanasia pasif atas permintaan pasien yang
bersangkutan.
Eutanasia pasif, dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif yang
tidak menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri
kehidupan seorang pasien. Eutanasia pasif dilakukan dengan memberhentikan
pemberian bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien secara
sengaja. Tindakan eutanasia pasif seringkali dilakukan secara terselubung oleh
kebanyakan rumah sakit.
Penyalahgunaan eutanasia pasif bisa dilakukan oleh tenaga medis
maupun pihak keluarga yang menghendaki kematian seseorang, misalnya
akibat keputusasaan keluarga karena ketidaksanggupan menanggung beban
biaya pengobatan. Pada beberapa kasus keluarga pasien yang tidak mungkin
membayar biaya pengobatan, akan ada permintaan dari pihak rumah sakit
untuk membuat "pernyataan pulang paksa". Meskipun akhirnya meninggal,
pasien diharapkan meninggal secara alamiah sebagai upaya defensif medis.
3. Eutanasia ditinjau dari sudut pemberian izin dapat digolongkan menjadi tiga
yaitu :
a. Eutanasia di luar kemauan pasien, yaitu suatu tindakan eutanasia yang
bertentangan dengan keinginan si pasien untuk tetap hidup. Tindakan
eutanasia semacam ini dapat disamakan dengan pembunuhan.
b. Eutanasia secara tidak sukarela, Eutanasia semacam ini seringkali menjadi
bahan perdebatan dan dianggap sebagai suatu tindakan yang keliru oleh
siapapun juga.Hal ini terjadi apabila seseorang yang tidak berkompeten atau
tidak berhak untuk mengambil suatu keputusan misalnya statusnya hanyalah
seorang wali dari si pasien (seperti pada kasus Terri Schiavo). Kasus ini
menjadi sangat kontroversial sebab beberapa orang wali mengaku memiliki
hak untuk mengambil keputusan bagi si pasien.
c. Eutanasia secara sukarela, dilakukan atas persetujuan si pasien sendiri, namun
hal ini juga masih merupakan hal controversial.
4. Eutanasia ditinjau dari sudut tujuan. Antara lain yaitu :
a. Pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing).
b. Eutanasia hewan.
9
Page 10
c. Eutanasia berdasarkan bantuan dokter, ini adalah bentuk lain daripada
eutanasia agresif secara sukarela.
Frans Magnis Suseno membedakan 4 arti euthanasia mengikuti J.Wundeli
yaitu:
a. Euthanasia murni : usaha untuk memperingan kematian seseorang tanpa
memperpendek kehidupannya.Kedalamnya termasuk semua usaha perawatan
dan pastoral agar yang bersangkutan dapat mati dengan baik.Euthanasia ini
tidak menimbulkan masalah apapun.
b. Euthanasia pasif :tidak dipergunakannya semua kemungkinan teknik
kedokteran yang sebenarnya tersedia untuk memperpanjang kehidupan.
c. Euthanasia tidak langsung:usaha memperingan kematian dengan efek
samping bahwa pasien mungkin mati dengan lebih cepat. Di dalamnya
termasuk pemberian segala macam obat yang mungkin dapat memperpendek
kehidupan walaupun hal itu tidak disengaja.
d. Euthanasia aktif: proses kematian diperingan dengan memperpendek
kehidupan secara terarah dan langsung.Ini yang disebut sebagai “mercy
killing”.Dalam euthanasia aktif masih perlu dibedakan pasien
menginginkannya atau tidak berada dalam keadaan dimana keinginanya dapat
di ketahui.
Yusuf Qardhawi, (1995:749-750), membagi euthanasia kedalam dua
macam, yaitu:
a. Euthanasia Positif (aktif)
Euthanasia positif ini adalah tindakan dokter mempercepat kematian
pasien dengan memberikan instrumen (alat) seperti suntikan ke dalam tubuh
pasien. Suntikan ini diberikan apabila penyakitnya sudah sangat parah atau
stadium akhir, yang menurut perhitungan atau perkiraan medis tidak ada
harapan untuk sembuh atau bertahan lama.Inti dari euthanasia positif ini
adalah pemberian instrumen (alat) oleh dokter kepada pasien sebagai tindakan
akhir.
Berikut ini beberapa contoh kasus euthanasia positif :
1) Seseorang yang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa
hingga penderita sering mengalami pinsan. Dalam hal ini dokter yakin 10
Page 11
bahwa yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter
memberinya obat dengan takaran yang tinggi (overdosis) yang sekiranya
dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernafasannya
sekaligus.
2) Orang yang mengalami keadaan koma yang sangat lama, misalnya karena
bagian otaknya terserang penyakit atau mengalami benturan yang sangat
keras. Dalam keadaan demikian ia mungkin hanya dapat hidup dengan
bantuan alat pernafasan, sedangkan dokter berkeyakinan bahwa penderita
tidak akan dapat disembuhkan. Ada yang menganggap bahwa orang sakit
seperti itu sebagai “Orang mati” yang tidak mampu melakukan aktifitas.
Maka memberhentikan alat pernafasan itu sebagai cara positif untuk
memudahkan proses kematiannya.
b. Euthanasia Negatif (pasif)
Adalah tindakan dokter berupa penghentian pengobatan pasien yang
menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mampu lagi untuk
sembuh. Pemberhentian pengobatan ini mangakibatkan cepatnya kematian.
Namun biasanya tindakan ini dilakukan karena pihak keluarga pasien tidak
mampu menanggung biaya pengobatan yang sangat tinggi. Hal itulah yang
menjadikan euthanasia ini menjadi bersifat negatif.
Inti dari euthanasia negatif ini adalah penghentian pengobatan kepada
pasien. Perbedaan dengan yang positif adalah tindakan yang dilakukan.
Euthanasia positif, mengganti obat biasa menjadi obat mati, karena obat biasa
itu hanya memperburuk keadaan. Beberapa contoh tentang euthanasia negatif
sebagai berikut:
1) Penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan
koma yang tidak ada harapan sembuh. Lalu pengobatannya dihentikan,
sehingga mempercepat kematiannya.
2) Seorang anak yang kondisinya sangat buruk karena menderita penyakit
tashallub al-Asyram (kelumpuhan tulang belakang) atau syalal al-Mukhkhi
(kelumpuhan otak). Dalam keadaan demikian ia dapat saja dibiarkan tanpa
diberi pengobatan. Hal itu mungkin akan dapat membawa kematian anak
tersebut.
11
Page 12
At-tashallub al-musyrab atau al-syaukah al-masyquqah ialah
kelainan pada tulang belakang yang bisa menyebabkan kelumpuhan pada
kedua kaki dan kehilangan kemampuan atau kontrol pada saluran kandung
kemih dan usus besar. Anak yang menderita penyakit ini senantiasa dalam
kondisi lumpuh dan membutuhkan bantuan khusus selama hidupnya.
Sedangkan al-syalal al-mukhkhi (kelumpuhan otak) ialah suatu
keadaan yang menimpa saraf otak sejak anak dilahirkan yang
menyebabkan keterbelakangan pikiran dan kelumpuhan badannyadengan
tingkatan yang berbeda-beda. Anak yang menderita penyakit ini akan
lumpuh badan dan pikirannya serta selalu memerlukan bantuan khusus
selama hidupnya.
DR. Kartono Muhammad mengatakan bahwa pada praktek secara
sadar atau tidak, euthanasia pasif bisa saja terjadi di Indonesia yang tidak
sadar terpaksa melakukannya karena kurangnya fasilitas yang ada dirumah
sakit. Sedangkan yang sadar, membiarkan pasien yang sudah tidak
tertolong lagi itu dibawa pulang sebelum waktunya.
2.4 Euthanasia Dalam Perspektif Islam
Seperti dalam agama-agama Ibrahim lainnya (Yahudi dan Kristen), Islam
mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan
anugerah Allah kepada manusia. Hanya Allah yang dapat menentukan kapan
seseorang lahir dan kapan ia mati. (QS al-Hajj).
1. Euthanasia Aktif
Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam
kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-amad), walaupun niatnya baik yaitu
untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas
permintaan pasien sendiri atau keluarganya.
Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang
mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun
membunuh diri sendiri. Misalnya firman Allah SWT :
Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk
membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. (QS Al-An‘aam :
151).12
Page 13
Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain),
kecuali karena tersalah (tidak sengaja)… (QS An- Nisaa` : 92.
Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu. (QS An-Nisaa` : 29).
Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter
melakukan euthanasia aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori
pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‗amad) yang merupakan tindak pidana (jarimah)
dan dosa besar.
Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan
suntikan mematikan, menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi qishash
(hukuman mati karena membunuh), oleh pemerintahan Islam (Khilafah), sesuai
firman Allah :
Telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang- orang yang
dibunuh. (QS Al-Baqarah : 178)
Namun jika keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash
(dengan memaafkan), qishash tidak dilaksanakan. Selanjutnya mereka
mempunyai dua pilihan lagi, meminta diyat (tebusan), atau
memaafkan/menyedekahkan.
Firman Allah SWT : Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan
dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang
baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi
maaf dengan cara yang baik (pula). (QS Al-Baqarah : 178)
Diyat untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor di
antaranya dalam keadaan bunting, berdasarkan hadits Nabi riwayat An-Nasa`i
(Al-Maliki, 1990: 111). Jika dibayar dalam bentuk dinar (uang emas) atau dirham
(uang perak), maka diyatnya adalah 1000 dinar, atau senilai 4250 gram emas (1
dinar= 4,25 gram emas), atau 12.000 dirham, atau senilai 35.700 gram perak (1
dirham = 2,975 gram perak) (Al-Maliki, 1990: 113).
Tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering dikemukakan
yaitu kasihan melihat penderitaan pasien sehingga kemudian dokter memudahkan
kematiannya. Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik
itu ada aspek- aspek lainnya yang tidak diketahui dan tidak dijangkau manusia.
Dengan mempercepat kematian pasien dengan euthanasia aktif, pasien tidak 13
Page 14
mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan Allah kepada-Nya,
yaitu pengampunan dosa. Rasulullah SAW bersabda,‖Tidaklah menimpa kepada
seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan,
maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan
kesalahan atau dosanya dengan musibah yang menimpanya itu. (HR Bukhari dan
Muslim).
2. Euthanasia Pasif
Adapun hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam
praktik menghentikan pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan
keyakinan dokter bahwa pengobatan yag dilakukan tidak ada gunanya lagi dan
tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter
menghentikan pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara menghentikan
alat pernapasan buatan dari tubuh pasien. Bagaimanakah hukumnya menurut
Syariah Islam? Jawaban untuk pertanyaan itu, bergantung kepada pengetahuan
kita tentang hukum berobat (at-tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu
wajib, mandub,mubah, atau makruh? Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat.
Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya mandub (sunnah),
tidak wajib. Namun sebagian ulama ada yang mewajibkan berobat, seperti
kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti dikemukakan oleh Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah (Utomo, 2003:180).
Menurut Abdul Qadim Zallum (1998:68) hukum berobat adalah mandub.
Tidak wajib. Hal ini berdasarkan berbagai hadits, di mana pada satu sisi Nabi
SAW menuntut umatnya untuk berobat, sedangkan di sisi lain, ada qarinah
(indikasi) bahwa tuntutan itu bukanlah tuntutan yang tegas (wajib), tapi tuntutan
yang tidak tegas (sunnah).
Di antara hadits-hadits tersebut, adalah hadits bahwa Rasulullah SAW
bersabda :
Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia
ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian! (HR Ahmad, dari Anas RA)
Hadits di atas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk
berobat. Menurut ilmu Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya memberi makna
adanya tuntutan (li ath-thalab), bukan menunjukkan kewajiban (li al-wujub). Ini
14
Page 15
sesuai kaidah ushul : Al-Ashlu fi al-amri li ath-thalab Perintah itu pada asalnya
adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan. (An-Nabhani, 1953)
Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita berobat.
Dalam hadits itu tidak terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat
wajib. Bahkan, qarinah yang ada dalam hadits- hadits lain justru menunjukkan
bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib. Hadits-hadits lain itu membolehkan
tidak berobat.
Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa
seorang perempuan hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu berkata,
Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering tersingkap auratku
[saat kambuh]. Berdoalah kepada Allah untuk kesembuhanku! Nabi SAW
berkata, Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan mendapat surga. Jika tidak mau,
aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu. Perempuan itu
berkata, Baiklah aku akan bersabar, lalu dia berkata lagi, Sesungguhnya auratku
sering tersingkap [saat ayanku kambuh], maka berdoalah kepada Allah agar
auratku tidak tersingkap. Maka Nabi SAW lalu berdoa untuknya. (HR Bukhari).
Hadits di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan
dengan hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat, maka hadits terakhir
ini menjadi indikasi (qarinah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah,
bukan perintah wajib. Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandub),
bukan wajib (Zallum, 1998:69).
Dengan demikian, jelaslah pengobatan atau berobat hukumnya sunnah,
termasuk dalam hal ini memasang alat-alat bantu bagi pasien. Jika memasang
alat-alat ini hukumnya sunnah, apakah dokter berhak mencabutnya dari pasien
yag telah kritis keadaannya? Abdul Qadim Zallum (1998:69) mengatakan bahwa
jika para dokter telah menetapkan bahwa si pasien telah mati organ otaknya, maka
para dokter berhak menghentikan pengobatan, seperti menghentikan alat bantu
pernapasan dan sebagainya. Sebab pada dasarnya penggunaan alat-alat bantu
tersebut adalah termasuk aktivitas pengobatan yang hukumnya sunnah,
bukan wajib.
Kematian otak tersebut berarti secara pasti tidak memungkinkan lagi
kembalinya kehidupan bagi pasien. Meskipun sebagian organ vital lainnya masih
15
Page 16
bisa berfungsi, tetap tidak akan dapat mengembalikan kehidupan kepada pasien,
karena organ-organ ini pun akan segera tidak berfungsi.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alat- alat bantu
kepada pasien adalah sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang hukumnya
sunnah. Karena itu, hukum euthanasia pasif dalam arti menghentikan pengobatan
dengan mencabut alat- alat bantu pada pasien-setelah matinya/rusaknya organ
otak hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi dokter. Jadi setelah mencabut
alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak dapat dapat dikatakan berdosa
dan tidak dapat dimintai tanggung jawab mengenai tindakannya itu (Zallum,
1998:69; Zuhaili, 1996:500; Utomo, 2003:182).
Namun untuk bebasnya tanggung jawab dokter, disyaratkan adanya izin
dari pasien, walinya, atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk
mengawasi dan mengurus pasien). Jika pasien tidak mempunyai wali, atau washi,
maka wajib diperlukan izin dari pihak penguasa (Al-Hakim/Ulil Amri) (Audah,
1992 : 522- 523).
Parah tokoh Islam di Indonesia sangat menentang dilakukannya euthanasia.
Prof. Dr. Amir syarifuddin menyebutkan bahwa pembunuhan untuk menghilangkan
penderita si sakit, sama dengan larangan Allah membunuh anak untuk tujuan
menghilangkan kemiskinan. Tindakan dokter dengan memberi obat atau suntikan
dengan sengaja untuk mengakhiri hidup pasien adalah termasuk pembunuhan
disengaja.
Sedangkan menurut K.H Syukron Makmun juga berpendapat bahwa kematian
itu adalah urusan Allah, manusia tidak mengetahui kapan kematian itu akan menimpa
dirinya. Soal sakit, menderita dan tidak kunjung sembuh adalah qudratullah.
Kewajiban kita hanya berikhtiar. Mempercepat kematian tidak dibenarkan. Tugas
dokter adalah menyembuhkan dan bukan membunuh. Kalau dokter tidak sanggup
kembalikan kepada keluarga.
Sebagai umat Islam dan sebagai warga negara Indonesia, tindakan yang
dilakukan agar mempercepat proses kematian (euthanasia), tentu saja menuai banyak
kontroversi, tentang bagaimanakah hukum melaksanakannya bagi pribadi atau orang
yang bertindak sebagai pengeksekusinya. Berikut ini adalah penjelasan bagaimana
hukum euthanasia menurut pandangan Islam dan menurut hukum negara Indonesia.
16
Page 17
Islam mengatakan bahwa predikat manusia didunia adalah sebagai khalifah,
artinya manusia memiliki status yang mulia di dunia. Dalam hal ini syariat Islam
berarti menjunjung tinggi hak hidup bagi manusia. Allah secara tegas dan berulang-
ulang mengatakan didalam firman-Nya bahwa setiap perbuatan menghilangkan hidup,
baik dilakukan oleh orang lain maupun diri sendiri adalah dilarang, dan bahkan
diberikan sanksi.
Syariah Islam mengharamkan euthanasia karena termasuk dalam kategori
pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad). Walaupun niatnya baik yaitu untuk
meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan
pasien sendiri atau keluarganya.Dalil-dalil dalam masalah ini sangat jelas, yaitu dalil-
dalil yang mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun
membunuh diri sendiri. Misalnya firman Allah SWT. Qs. Al-Hijr ayat 23 :
�ون� وار�ث ال ن� ح و�ن� �يت� �م و�ن ي�ي ح ن� ن� �ح �ن ل ا �� ن )23 (و�إ�
Artinya : “Dan sesungguhnya benar-benar kamilah yang menghidupkan dan
mematikan dan Kami (pulalah) yang mewarisi “.(Q.S. al-Hijr ayat 23).
Dalam Q.S. Al-An’am ayat 151 :
: ). ... األنعام... اآلية بالحق إال الله حرم التي النفس تقتلوا ال ) 151و
Artinya : “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk
membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS Al-An’aam :
151)
Q.S. An-Nisaa’ ayat 92 :
خطأ إال مؤمنا يقتل أن لمؤمن كان ما : و ) . النساء.... )92اآلية
Artinya :“Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang
lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja)…” (QS An-Nisaa` : 92)
Dari dalil-dalil tersebut sangat jelas bahwa haram hukumnya membunuh atau
membunuh diri sendiri. Dan euthanasia berarti mendahului takdir Allah. Karena pada
dasarnya setiap manusia berhak hidup, dan setiap penyakit pasti ada obatnya, kecuali
penyakit pikun (Tua). Sebagaimana sabda Rasulullah SAW. Yang artinya :
“Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia
ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian!” (HR Ahmad, dari Anas RA).
Hadits di atas menunjukkan bahwa Rasulullah SAW.Memerintahkan untuk
berobat. Bukan sebaliknya malah membunuh diri sendiri. Jika penyakit itu telah
difonis dokter memang tidak bisa disembuhkan lagi, Islam tetap menganjurkan 17
Page 18
manusia untuk melakukan usaha terakhir, yaitu doa yang diajarkan Rasulullah SAW
yang artinya: “Ya Allah hipukanlah aku selagi kehidupan itu baik untukku, dan
matikanlah aku apabila kematian itu lebih baik untukku”. Lalu kemudian bertawakal
dan menyerahkan hasilnya kepada Allah. adapun hadits yang berkaitan dengan
hukum euthanasia yaituberdasarkan sabda rasulullah SAW. Yang artinya :
“Orang yang mencekik dirinya sendiri, ia akan mencekik dirinya di neraka.
Orang yang menusuk perutnya sendiri, ia akan menusuk dirinya sendiri di neraka
dan orang yang melemparkan dirinya sendiri, ia akan melemparkan dirinya sendiri
dineraka.” (HR. Bukhari dan Abu Hurairah).
Satu-satunya euthanasia yang diperbolehkan dalam Islam adalah, yang
tergolong dalam euthanasia aktif yaitu pada kasus penyelamatan ibu yang melahirkan.
Prosesnya adalah, ketika seorang ibu yang hendak melahirkan, kemudian ada terdapat
kejanggalan dalam proses kehamilan dan proses kelahirannya yang dapat
menyebabkan hilangnya nyawa si ibu apabila anak tersebut dipaksa melahirkannya.
Dalam hal ini dinyatakan darurat, sesuai dengan kaidah fiqhih :
ت را لمحظو ا تبيح ت را و اضر ا
Artinya : “keadaan darurat dapat membolehkan perbuatan yang dilarang”
جب وا ين ر و لضر ا خف ا ب تكا ر ا
Artinya :“menempuh salah satu tindakan yang lebih ringan dari dua hal yang
berbahaya itu adalah wajib”.
Dibolehkan untuk melakukan euthanasia aktif dengan mengorbankan si janin
demi menyelamatkan si Ibu. Karena seorang Ibu memiliki tanggung jawab atas
dirinya kepada Allah, keluarga, dan sesama. Sedangkan janin tersebut belum
memiliki tanggungan apapun karena belum dilahirkan ke dunia.
Sehubungan dengan pengaruh keadaan darurat tersebut Abd Wahhab Khallaf
dalam bukunya Ilmu Ushul Fiqh mengatakan yang artinya sebagai berikut: “Barang
siapa yang tidak bisa mempertahankan keselamatan dirinya kecuali dengan cara
menyelamatkan membinasakan orang lain, tidaklah ia berdosa dalam tindakannya
itu”.
Selanjutnya bertalian dengan masalah persetujuan yang diberikan oleh
seorang dokter untuk membantu mempercepat kematiannya dianggap tidak ada, tetapi
dokter yang melakukan euthanasia dianggap melakukan tindakan pidana atau
18
Page 19
kriminal yang harus dijatuhi hukuman. Hanya saja mengenai jenis hukumannya
ulama berbeda pendapat.
Menurut Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan dan sebagian
ulama Syafi’iyah, bahwa hukuman yang dikenakan terhadap pelaku euthanasia
(pembunuhan dengan persetujuan korban) adalah membayar diyat (membayar 100
ekor unta atau seharga itu) dan bukan qishash, dengan alasan, bahwa persetujuan si
korban (pasien) untuk menjadi objek euthanasia merupakan syubhat dalam status
perbuatannya dan dalam hadis Nabi SAW, yaitu “Apabila dalam jarimah hudud
(termasuk didalamnya qishash) terdapat syubhat maka hukuman bisa digugurkan
atau diganti.”
Menurut Zufar salah seorang murid Abu Hanifah dan pendapat yang kuat
adalah mazhab Maliki serta pendapat sebagian ulama Syafi’iyah hukuman yang
dikenakan kepada pelaku euthanasia tersebut diatas, tetap hukuman qishash
(hukuman mati) karena persetujuan untuk menjadi objek euthanasia tersebut dianggap
tidak pernah ada, sehingga persetujuan tersebut tidak ada pengaruhnya sama sekali.
Sedangkan menurut pendapat Imam Ahmad bin Hambal dan sebagian ulama
Syafi’iyah, bahwa pelaku euthanasia atas persetujuan si korban dibebaskan dari
hukuman, karena persetujuan pasien untuk menjadi objek euthanasia, sama statusnya
dengan pembunuhan, baik dari hukuman qishash, maupun diyat maka dia bebas dari
hukuman. (Abd Qodir Audah, TTh:441-442).
Sejauh ini euthanasia diperkenankan yaitu dinegara Belanda, Belgia serta
ditoleransi di Negara bagian Oregon di Amerika, Kolombia dan Swiss dan dibeberapa
Negara dinyatakan sebagai kejahatan seperti di Spanyol, Jerman dan Denmark
termasuk di Indonesia.
Menurut hukum negara Indonesia, perbuatan euthanasia ini di kaitkan dengan
Hak Asasi Manusia (HAM), karena tindakan tersebut melanggar hak manusia untuk
hidup. Kemudian menurut ahli hukum pidana Universitas padjadjaran, Komariah
Emong mengatakan: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) mengatur
tentang larangan melakukan euthanasia. Yakni dalam Pasal 344 KUHP:“Barang
siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas
dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama
dua belas tahun.”
19
Page 20
Dari ketentuan tersebut, jelas bahwa yang diatur dalam KUHP adalah
euthanasia aktif dan sukarela. Sehingga, menurut Haryadi, dalam praktiknya di
Indonesia, Pasal 344 KUHP ini sulit diterapkan untuk menyaring perbuatan
euthanasia sebagai tindak pidana, sebab euthanasia yang sering terjadi di negara ini
adalah yang pasif, sedangkan pengaturan yang ada melarang euthanasia aktif dan
sukarela.
Pada sisi lain, Komariah berpendapat, walaupun KUHP tidak secara tegas
menyebutkan kata euthanasia, namun, berdasarkan ketentuan Pasal 344 KUHP
seharusnya dokter menolak melakukan tindakan untuk menghilangkan nyawa,
sekalipun keluarga pasien menghendaki. Menurutnya, secara hukum, norma sosial,
agama dan etika dokter, euthanasia tidak diperbolehkan.
Di tengah kontroversi pro dan kontra euthanasia pihak masing-masing
bertahan dengan alasan yang diyakini Alasan pro euthanasia adalah sebagai berikut :
1. Rasa kasihan (mercy killing)
2. Faktor ekonomi
3. Faktor soSial
4. Pasien siap mati wajar.
5. Mati batang otak.
6. Pasien menolak semua tindakan medis.
7. Tindakan medis tidak menolong lagi.
8. Setuju asal dilakukan dinegara yang melegalkan Euthanasia.
Dari beberapa alasan di atas jika kita tinjau dari beberapa sudut pandang
seperti sudut pandang agama hanya memungkinkan jika pasien sudah siap mati
dengan tenang di tengah keluarganya. Jika dari segi medis jika pasien menolak semua
tindakan medis dan pasien sudah mati batang otak dari segi KODEKI tidak
melanggar sesuai dengan SK.PB. IDI no. 231/PB/A.4/07/90. Pasien dinyatakan mati
bila sudah terdapat kerusakan permanen pada batang otak.
Peraturan hukum perundang-undangan lainnya, terdapat dalam pasal 338, 340,
dan 344 KUHP, ketiganya mengandung makna larangan untuk membunuh. Adapun
pasal yang masih berkaitan dengan pembunuhan yaitu pasal 345 dan 359 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana( KUHP).
20
Page 21
2.5 Praktik Euthanasia di Indonesia
Sampai saat ini, euthanasia masih menimbulkan pro & kontra di masyarakat.
Mereka yang menyetujui tindakan euthanasia berpendapat bahwa euthanasia adalah
suatu tindakan yang dilakukan dengan persetujuan & dilakukan dengan tujuan utama
menghentikan penderitaan pasien. Prinsip kelompok ini adalah manusia tidak boleh
dipaksa untuk menderita. Dengan demikian, tujuan utama kelompok ini yaitu
meringankan penderitaan pasien dengan memperbaiki resiko hidupnya.
Kelompok yang kontra terhadap euthanasia berpendapat bahwa euthanasia
merupakan tindakan pembunuhan terselubung, karenanya bertentangan dengan
kehendak Tuhan. Kematian semata-mata adalah hak dari Tuhan, sehingga manusia
sebagai makhluk ciptaan Tuhan tidak mempunyai hak untuk menentukan
kematiannya. Menurut PP no.18/1981 pasal 1g menyebutkan bahwa: Meninggal
dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli kedokteran yang berwenang,
bahwa fungsi otak, pernapasan, atau denyut jantung seseorang telah berhenti. Definisi
mati ini merupakan definisi yang berlaku di Indonesia.
2.6 Euthanasia dalam Persepektif Medis
Dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan tenologi di bidang medik, kehidupan
seorang pasien bisa diperpanjang dan hal ini seringkali membuat para dokter
dihadapkan pada sebuah dilema untuk memberikan bantuan tersebut apa tidak dan
jika sudah terlanjur diberikan bolehkah untuk dihentikan.Tugas seorang dokter adalah
untuk menolong jiwa seorang pasien, padahal jika dilihat lagi hal itu sudah tidak bisa
dilanjutkan lagi dan jika hal itu diteruskan maka kadang akan menambah penderitaan
seorang pasien. Nah, penghentian pertolongan tersebut merupakan salah satu bentuk
euthanasia. Berdasarkan pada cara terjadinya, ilmu pengetahuan membedakan
kematian kedalam tiga jenis:
1. Orthothansia, merupakan kematian yang terjadi karena proses alamiah.
2. Dysthanasia, adalah kematian yang terjadi secara tidak wajar.
3. Euthanasia, adalah kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak dengan
pertolongan dokter.
Pengertian euthanasia ialah tindakan memudahkan kematian seseorang dengan
sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan
penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negative, dan biasanya tindakan 21
Page 22
ini dilakukan oleh kalangan medis. Sehingga denagn hal demikian akan muncul yang
namanya euthanasia positif dan euthanasia negatif dan berikut adalah contoh-contoh
tersebut :
1. Seseorang yang sedang menderita kangker ganas atau sakit yang mematikan, yang
sebenarnya dokter sudah tahu bahwa seseorang tersebut tidak akan hidup lama
lagi. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang
sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi justru menghentikan
pernapasannya sekaligus.
2. Seperti yang dialami oleh Nyonya Again (istri Hasan) yang mengalami koma
selama tiga bulan dan dalam hidupnya membutuhkan alat bantu pernafasan.
Sehingga dia akan bisa melakukan pernafasan dengan otomatis dengan bantuan
alat pernafasan. Dan jika alat pernafasan tersebut di cabut otomatis jantungnya
akan behenti memompakan darahnya keseluruh tubuh, maka tanpa alat tersebut
pasien tidak akan bisa hidup. Namun, ada yang menganggap bahwa orang sakit
seperti ini sebagai "orang mati" yang tidak mampu melakukan aktivitas. Maka
memberhentikan alat pernapasan itu sebagai cara yang positif untuk memudahkan
proses kematiannya.
Hal tersebut adalah contoh dari yang namanya euthanasia positif yang
dilakukan secara aktif oleh medis. Berbeda dengan euthanasia negative yang dalam
proses tersebut tidak dilakukan tindakan secara aktif (medis bersikap pasif) oleh
seorang medis dan contohnya sebagai berikut :
1. Penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma,
disebabkan benturan pada bagian kepalanya atau terkena semacam penyakit pada
otak yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau orang yang terkena serangan
penyakit paru-paru yang jika tidak diobati (padahal masih ada kemungkinan untuk
diobati) akan dapat mematikan penderita. Dalam hal ini, jika pengobatan
terhadapnya dihentikan akan dapat mempercepat kematiannya.
2. Seorang anak yang kondisinya sangat buruk karena menderita kelumpuhan tulang
belakang atau kelumpuhan otak. Dalam keadaan demikian ia dapat saja dibiarkan
(tanpa diberi pengobatan) apabila terserang penyakit paru-paru atau sejenis
penyakit otak, yang mungkin akan dapat membawa kematian anak tersebut.
Dari contoh tersebut, "penghentian pengobatan" merupakan salah satu bentuk
eutanasia negatif. Menurut gambaran umum, anak-anak yang menderita penyakit 22
Page 23
seperti itu tidak berumur panjang, maka menghentikan pengobatan dan
mempermudah kematian secara pasif (eutanasia negatif) itu mencegah perpanjangan
penderitaan si anak yang sakit atau kedua orang tuanya.
Mati itu sendiri sebetulnya dapat didefinisikan secara sederhana sebagai
berhentinya kehidupan secara permanen (permanent cessation of life). Hanya saja,
untuk memahaminya terlebih dahulu perlu memahami apa yang disebut hidup.
Para ahli sependapat jika definisi hidup adalah berfungsinya berbagai organ
vital (paru-paru,jantung, & otak) sebagai satu kesatuan yang utuh, ditandai oleh
adanya konsumsi oksigen. Dengan demikian definisi mati dapat diperjelas lagi
menjadi berhentinya secara permanen fungsi organ-organ vital sebagai satu kesatuan
yang utuh, ditandai oleh berhentinya konsumsi oksigen.
Meskipun euthanasia bukan merupakan istilah yuridis, namun mempunyai
implikasi hukum yang sangat luas, baik pidana maupun perdata. Pasal-pasal dalam
KUHP menegaskan bahwa euthanasia baik aktif maupun pasif tanpa permintaan
adalah dilarang. Demikian pula dengan euthanasia aktif dengan permintaan. Berikut
adalah bunyi pasal-pasal dalam KUHP tersebut :
Pasal 338 : Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain karena
pembunuhan biasa, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya
lima belas tahun.
Pasal 340 : Barangsiapa dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu
menghilangkan jiwa orang lain, karena bersalah melakukan
pembunuhan berencana, dipidana dengan pidana mati atau penjara
seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya duapuluh tahun.
Pasal 344 : Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu
sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh
dihukum penjara selama-lamanya duabelas tahun.
Pasal 345 : Barangsiapa dengan sengaja membujuk orang lain untuk bunuh diri,
menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi sarana kepadanya
untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun,
kalau orang itu jadi bunuh diri.
Pasal 359 : Menyebabkan matinya seseorang karena kesalahan atau kelalaian,
dipidana dengan pidana penjara selama- lamanya lima tahun atau
pidana kurungan selama-lamanya satu tahun.23
Page 24
Beberapa ahli hukum berpendapat bahwa tindakan perawatan medis yang
tidak ada gunanya seperti misalnya pada kasus pasien ini, secara yuridis dapat
dianggap sebagai penganiayaan. Tindakan di luar batas ilmu kedokteran dapat
dikatakan di luar kompetensi dokter tersebut untuk melakukan perawatan medis.
Dengan kata lain, apabila suatu tindakan medis dianggap tidak ada manfaatnya, maka
dokter tidak lagi berkompeten melakukan perawatan medis, dan dapat dijerat hukum
sesuai KUHP pasal 351 tentang penganiayaan, yang berbunyi:
1. Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan
bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
2. Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
2.7 Kode Etik Kedokteran mengenai Proses serta Eksistensi Kematian Pasien
dengan Euthanasia
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tidak menyetujui Euthanasia aktif. Pasalnya hal
itu tidak sesuai dengan etika, moral, agama, budaya, serta peraturan perundang-
undangan yang ada. Secara etika, tugas dokter adalah memelihara dan memperbaiki
kehidupan seseorang, bukan mencabut nyawa atau menghentikan hidup seseorang
Di dalam Kode Etik Kedokteran yang ditetapkan Menteri Kesehatan Nomor:
434/Men.Kes./SK/X/1983 disebutkan pada pasal 10: “Setiap dokter harus senantiasa
mengingat akan kewajibannya melindungi hidup makhluk insani.” Kemudian di
dalam penjelasan pasal 10 itu dengan tegas disebutkan bahwa naluri yang kuat pada
setiap makhluk yang bernyawa, termasuk manusia ialah mempertahankan hidupnya.
Usaha untuk itu merupakan tugas seorang dokter. Dokter harus berusaha memelihara
dan mempertahankan hidup makhluk insani, berarti bahwa baik menurut agama dan
undang-undang Negara, maupun menurut Etika Kedokteran, seorang dokter tidak
dibolehkan:
1. Menggugurkan kandungan (abortus provocatus).
2. Mengakhiri hidup seseorang penderita, yang menurut ilmu dan pengalaman tidak
mungkin akan sembuh lagi (euthanasia).
Jadi sangat tegas, para dokter di Indinesia dilarang melakukan euthanasia. Di
dalam kode etika itu tersirat suatu pengertian, bahwa seorang dokter harus
mengerahkan segala kepandaiannya dan kemampuannya untuk meringankan
24
Page 25
penderitaan dan memelihara hidup manusia (pasien), tetapi tidak untuk
mengakhirinya.
Sebelumnya telah disinggung tentang pengertiam euthanasia yang tidak lain
adalah mengakhiri hidup dengan cara mudah dan tanpa rasa sakit. Atau biasa juga
yang disebut dengan mercy killing (mati dengan tenang). Secara garis besar, euthanasia
dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yaitu euthanasia aktif dan euthanasia pasif.
Pandangan yang mengelompokkan euthanasia sebagai aktif dan pasif
mendasarkannya pada cara euthanasia itu dilakukan.
Euthanasia aktif itu merupakan suatu tindakan mempercepat proses dari
kematian, baik itu dengan memberikan suntikan ataupun melepaskan alat-alat
pembantu medika, seperti saluran asam, melepas pemacu jantung atau sebagainya.
Yang termasuk tindakan untuk mempercepat proses kematian disini adalah jika
kondisi pasien, berdasarkan ukuran dan pengalaman medis itu masih menunjukkan
adanya harapan hidup. Dengan kata lain yaitu tanda-tanda kehidupan masih terdapat
pada penderita, ketika tindakan itu dilakukan. sedangkan euthanasia pasif, baik atas
permintaan atau pun tidak atas permintaan pasein. Yaitu ketika dokter atau tenaga
kesehatan lain secara sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan medis yang mana
dapat memperpanjang hidup kepada pasien (dengan catatan bahwa perawatan rutin
yang optimal untuk mendampingi atau membantu pasien dalam fase terakhirnya tetap
diberikan) (Kartono Muhammad, 1992:31).
Berdasarkan akibatnya, euthanasia aktif kemudian dibagi lagi menjadi dua
golongan, yaitu euthanasia aktif langsung, yaitu cara pengakhiran kehidupan melalui
tindakan medis yang diperhitungkan akan langsung mengakhiri hidup pasien.
Misalnya dengan memberi tablet sianida atau suntikan zat yang segera mematikan,
dan euthanasia aktif tidak langsung, yang menunjukkan bahwa tindakan medis yang
dilakukan tidak akan langsung mengakhiri hidup pasien, akan tetapi diketahui bahwa
resiko dari tindakan tersebut dapat mengakhiri hidup pasien. Misalnya mencabut
oksigen atau alat bantu kehidupan lainnya (Kartono Muhammad, 1992:31).
Dalam hubungannya dengan kode etik kedokteran R. Soeprono dalam suatu
diskusi panel mengenai euthanasia menjabarkan, bahwa segala perbuatan dokter
terhadap si sakit itu bertujuan memelihara kesehatan dan kebahagiaannya. Dengan
sendirinya ia harus mempertahankan dan memelihara kehidupan manusia (Majalah
Panji Masyarakat, No. 318, 20 Maret 1981:40). Harus diingat bahwa, meringankan 25
Page 26
penderitaan juga menjadi kewajiban seorang dokter. Mungkin dari segi inilah
sehingga beberapa ahli ada yang menerima satu macam euthanasia dan ada pula yang
menerima kedua-duanya dengan beberapa pertimbangan tertentu.
Akhir-akhir ini sangat banyak sekali pertentangan hangat di seluruh dunia,
mengenai kemungkinan dilakukan euthanasia. Telah diungkapkan bahwa euthanasia
itu pernah terjadi di beberapa negara di dunia. Di Indonesia disinyalir berkembang
euthanasia negatif. Padahal di tanah air kita ini yang berasaskan Pancasila yang
sekaligus beragama, seharusnya tidak menerima euthanasia apalagi melakukannya.
Tapi kasus euthanasia itu disinyalir sering terjadi di tanah air kita, yakni pada rumah
sakit yang sudah memiliki Intensive Care Unit (ICU) (Hardinal, 1996:9).
Terlepas dari benar tidaknya praktek euthanasia telah terjadi di Indonesia,
masalah ini menjadi cukup penting dikaji untuk mendapatkan solusinya. Sebab
sebagai negara hukum, tentu saja ada konsekuensi pertanggungjawaban akan sesuatu
perbuatan yang dijalankan oleh setiap warga negaranya atas dasar profesinya.
Pengertian dari tanggungjawab menurut kamus hukum adalah keadaan wajib
menanggung segala sesuatunya, bilamana terjadi apa-apa boleh dituntut. Berdasarkan
Black Law Dictionary, istilah liability dapat diartikan sebagai suatu keadaan dimana
seseorang terikat secara hukum atau keadilan untuk melaksanakan sesuatu yang dapat
dipaksakan oleh suatu tindakan. Tanggungjawab hukum dari tenaga kesehatan
dimaksudkan sebagai keterkaitan tenaga kesehatan terhadap berbagai ketentuan-
ketentuan hukum dalam menjalankan profesinya (R.A. Antari Inaka Turingsih,
2012:271).
2.8 Euthanasia menurut Hukum di berbagai Negara
1. Belanda
Pada tanggal 10 April 2001 Belanda menerbitkan undang- undang yang
mengizinkan eutanasia. Undang-undang ini dinyatakan efektif berlaku sejak
tanggal 1 April 2002, yang menjadikan Belanda menjadi negara pertama di dunia
yang melegalisasi praktik eutanasia. Pasien-pasien yang mengalami sakit
menahun dan tak tersembuhkan, diberi hak untuk mengakhiri penderitaannya.
Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam Kitab Hukum Pidana Belanda
secara formal euthanasia dan bunuh diri berbantuan masih dipertahankan sebagai
perbuatan kriminal.26
Page 27
Sebuah karangan berjudul "The Slippery Slope of Dutch Euthanasia"
dalam majalah Human Life International Special Report Nomor 67, November
1998, halaman 3 melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap dokter di Belanda
dimungkinkan melakukan eutanasia dan tidak akan dituntut di pengadilan asalkan
mengikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur tersebut adalah
mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak harus seorang spesialis) dan
membuat laporan dengan menjawab sekitar 50 pertanyaan.
Sejak akhir tahun 1993, Belanda secara hukum mengatur kewajiban para
dokter untuk melapor semua kasus eutanasia dan bunuh diri berbantuan. Instansi
kehakiman selalu akan menilai betul tidaknya prosedurnya. Pada tahun 2002,
sebuah konvensi yang berusia 20 tahun telah dikodifikasi oleh undang- undang
belanda, dimana seorang dokter yang melakukan eutanasia pada suatu kasus
tertentu tidak akan dihukum.
2. Australia
Negara bagian Australia, Northern Territory, menjadi tempat pertama di
dunia dengan UU yang mengizinkan euthanasia dan bunuh diri berbantuan, meski
reputasi ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1995 Northern Territory menerima
UU yang disebut "Right of the terminally ill bill" (UU tentang hak pasien
terminal). Undang-undang baru ini beberapa kali dipraktikkan, tetapi bulan Maret
1997 ditiadakan oleh keputusan Senat Australia, sehingga harus ditarik kembali.
3. Belgia
Parlemen Belgia telah melegalisasi tindakan eutanasia pada akhir
September 2002. Para pendukung eutanasia menyatakan bahwa ribuan tindakan
eutanasia setiap tahunnya telah dilakukan sejak dilegalisasikannya tindakan
eutanasia di negara ini, namun mereka juga mengkritik sulitnya prosedur
pelaksanaan eutanasia ini sehingga timbul suatu kesan adaya upaya untuk
menciptakan "birokrasi kematian".
Belgia kini menjadi negara ketiga yang melegalisasi eutanasia (setelah
Belanda dan negara bagian Oregon di Amerika).
Senator Philippe Mahoux, dari partai sosialis yang merupakan salah satu
penyusun rancangan undang-undang tersebut menyatakan bahwa seorang pasien
yang menderita secara jasmani dan psikologis adalah merupakan orang yang
27
Page 28
memiliki hak penuh untuk memutuskan kelangsungan hidupnya dan penentuan
saat-saat akhir hidupnya
4. Amerika
Eutanasia agresif dinyatakan ilegal di banyak negara bagian di Amerika.
Saat ini satu-satunya negara bagian di Amerika yang hukumnya secara eksplisit
mengizinkan pasien terminal ( pasien yang tidak mungkin lagi disembuhkan)
mengakhiri hidupnya adalah negara bagian Oregon, yang pada tahun 1997
melegalisasikan kemungkinan dilakukannya eutanasia dengan memberlakukan
UU tentang kematian yang pantas (Oregon Death with Dignity Act). Tetapi
undang-undang ini hanya menyangkut bunuh diri berbantuan, bukan euthanasia.
Syarat-syarat yang diwajibkan cukup ketat, dimana pasien terminal berusia 18
tahun ke atas boleh minta bantuan untuk bunuh diri, jika mereka diperkirakan
akan meninggal dalam enam bulan dan keinginan ini harus diajukan sampai tiga
kali pasien, dimana dua kali secara lisan (dengan tenggang waktu 15 hari di
antaranya) dan sekali secara tertulis (dihadiri dua saksi dimana salah satu saksi
tidak boleh memiliki hubungan keluarga dengan pasien). Dokter kedua harus
mengkonfirmasikan diagnosis penyakit dan prognosis serta memastikan bahwa
pasien dalam mengambil keputusan itu tidak berada dalam keadaan gangguan
mental.Hukum juga mengatur secara tegas bahwa keputusan pasien untuk
mengakhiri hidupnya tersebut tidak boleh berpengaruh terhadap asuransi yang
dimilikinya baik asuransi kesehatan, jiwa maupun kecelakaan ataupun juga
simpanan hari tuanya.
Belum jelas apakah undang-undang Oregon ini bisa dipertahankan di masa
depan, sebab dalam Senat AS pun ada usaha untuk meniadakan UU negara bagian
ini. Mungkin saja nanti nasibnya sama dengan UU Northern Territory di
Australia. Bulan Februari lalu sebuah studi terbit tentang pelaksanaan UU Oregon
selama tahun 1999.
5. Indonesia
Berdasarkan hukum di Indonesia maka eutanasia adalah sesuatu perbuatan
yang melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan
yang ada yaitu pada Pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang
menyatakan bahwa "Barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas
permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-28
Page 29
sungguh, dihukum penjara selama- lamanya 12 tahun". Juga demikian halnya
nampak pada pengaturan pasal-pasal 338, 340, 345, dan 359 KUHP yang juga
dapat dikatakan memenuhi unsur-unsur delik dalam perbuatan eutanasia. Dengan
demikian, secara formal hukum yang berlaku di negara kita memang tidak
mengizinkan tindakan eutanasia oleh siapa pun.
Ketua umum pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Farid Anfasal
Moeloek dalam suatu pernyataannya yang dimuat oleh majalah Tempo Selasa 5
Oktober 2004 menyatakan bahwa : Eutanasia atau "pembunuhan tanpa
penderitaan" hingga saat ini belum dapat diterima dalam nilai dan norma yang
berkembang dalam masyarakat Indonesia. "Euthanasia hingga saat ini tidak sesuai
dengan etika yang dianut oleh bangsa dan melanggar hukum positif yang masih
berlaku yakni KUHP.
6. Swiss
Di Swiss, obat yang mematikan dapat diberikan baik kepada warga negara
Swiss ataupun orang asing apabila yang bersangkutan memintanya sendiri. Secara
umum, pasal 115 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Swiss yang ditulis
pada tahun 1937 dan dipergunakan sejak tahun 1942, yang pada intinya
menyatakan bahwa "membantu suatu pelaksanaan bunuh diri adalah merupakan
suatu perbuatan melawan hukum apabila motivasinya semata untuk kepentingan
diri sendiri."
Pasal 115 tersebut hanyalah menginterpretasikan suatu izin untuk
melakukan pengelompokan terhadap obat-obatan yang dapat digunakan untuk
mengakhiri kehidupan seseorang.
Sebuah lembaga jajak pendapat terkenal yaitu Poling Gallup (Gallup Poll)
menunjukkan bahwa 60% orang Amerika mendukung dilakukannya eutanasia.
7. Inggris
Pada tanggal 5 November 2006, Kolese Kebidanan dan Kandungan
Britania Raya (Britain's Royal College of Obstetricians and Gynaecologists)
mengajukan sebuah proposal kepada Dewan Bioetik Nuffield (Nuffield Council
on Bioethics) agar dipertimbangkannya izin untuk melakukan eutanasia terhadap
bayi-bayi yang lahir cacat (disabled newborns). Proposal tersebut bukanlah
ditujukan untuk melegalisasi eutanasia di Inggris melainkan semata guna
29
Page 30
memohon dipertimbangkannya secara saksama dari sisi faktor "kemungkinan
hidup si bayi" sebagai suatu legitimasi praktik kedokteran.
Namun hingga saat ini eutanasia masih merupakan suatu tindakan
melawan hukum di kerajaan Inggris demikian juga di Eropa (selain daripada
Belanda).
Demikian pula kebijakan resmi dari Asosiasi Kedokteran Inggris (British
Medical Association-BMA) yang secara tegas menentang eutanasia dalam bentuk
apapun juga
8. Jepang
Jepang tidak memiliki suatu aturan hukum yang mengatur tentang
eutanasia demikian pula Pengadilan Tertinggi Jepang (supreme court of Japan)
tidak pernah mengatur mengenai eutanasia tersebut.
Ada 2 kasus eutanasia yang pernah terjadi di Jepang yaitu di Nagoya pada
tahun 1962 yang dapat dikategorikan sebagai "eutanasia pasif" (消極的安楽死 ,
shōkyokuteki anrakushi)
Kasus yang satunya lagi terjadi setelah peristiwa insiden di Tokai
university pada tahun 1995[14] yang dikategorikan sebagai "eutanasia aktif
" (積極的安楽死, sekkyokuteki anrakushi)
Keputusan hakim dalam kedua kasus tersebut telah membentuk suatu
kerangka hukum dan suatu alasan pembenar dimana eutanasia secara aktif dan
pasif boleh dilakukan secara legal. Meskipun demikian eutanasia yang dilakukan
selain pada kedua kasus tersebut adalah tetap dinyatakan melawan hukum, dimana
dokter yang melakukannya akan dianggap bersalah oleh karena merampas
kehidupan pasiennya. Oleh karena keputusan pengadilan ini masih diajukan
banding ke tingkat federal maka keputusan tersebut belum mempunyai kekuatan
hukum sebagai sebuah yurisprudensi, namun meskipun demikian saat ini Jepang
memiliki suatu kerangka hukum sementara guna melaksanakan eutanasia.
9. Republik Ceko
Di Republik Ceko eutanisia dinyatakan sebagai suatu tindakan
pembunuhan berdasarkan peraturan setelah pasal mengenai eutanasia dikeluarkan
dari rancangan Kitab Undang- undang Hukum Pidana. Sebelumnya pada
rancangan tersebut, Perdana Menteri Jiri Pospíšil bermaksud untuk
30
Page 31
memasukkan eutanasia dalam rancangan KUHP tersebut sebagai suatu kejahatan
dengan ancaman pidana selama 6 tahun penjara, namun Dewan Perwakilan
Konstitusional dan komite hukum negara tersebut merekomendasikan agar pasal
kontroversial tersebut dihapus dari rancangan tersebut.
10. India
Di India eutanasia adalah suatu perbuatan melawan hukum. Aturan
mengenai larangan eutanasia terhadap dokter secara tegas dinyatakan dalam bab
pertama pasal 300 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana India (Indian penal
code- IPC) tahun 1860. Namun berdasarkan aturan tersebut dokter yang
melakukan euthanasia hanya dinyatakan bersalah atas kelalaian yang
mengakibatkan kematian dan bukannya pembunuhan yang hukumannya
didasarkan pada ketentuan pasal 304 IPC, namun ini hanyalah diberlakukan
terhadap kasus eutanasia sukarela dimana sipasien sendirilah yang menginginkan
kematian dimana si dokter hanyalah membantu pelaksanaan eutanasia tersebut
(bantuan eutanasia). Pada kasus eutanasia secara tidak sukarela (atas keinginan
orang lain) ataupun eutanasia di luar kemauan pasien akan dikenakan hukuman
berdasarkan pasal 92 IPC.
11. China
Di China, eutanasia saat ini tidak diperkenankan secara hukum. Eutansia
diketahui terjadi pertama kalinya pada tahun 1986, dimana seorang yang bernama
"Wang Mingcheng" meminta seorang dokter untuk melakukan eutanasia terhadap
ibunya yang sakit. Akhirnya polisi menangkapnya juga si dokter yang
melaksanakan permintaannya, namun 6 tahun kemudian Pengadilan tertinggi
rakyat (Supreme People's Court) menyatakan mereka tidak bersalah. Pada
tahun 2003, Wang Mingcheng menderita penyakit kanker perut yang tidak ada
kemungkinan untuk disembuhkan lagi dan ia meminta untuk dilakukannya
eutanasia atas dirinya namun ditolak oleh rumah sakit yang merawatnya.
Akhirnya ia meninggal dunia dalam kesakitan.
12. Afrika Selatan
Di Afrika Selatan belum ada suatu aturan hukum yang secara tegas
mengatur tentang eutanasia sehingga sangat memungkinkan bagi para pelaku
eutanasia untuk berkelit dari jerat hukum yang ada.
31
Page 32
13. Korea
Belum ada suatu aturan hukum yang tegas yang mengatur tentang
eutanasia di Korea, namun telah ada sebuah preseden hukum (yurisprudensi)yang
di Korea dikenal dengan "Kasus rumah sakit Boramae" dimana dua orang dokter
yang didakwa mengizinkan dihentikannya penanganan medis pada seorang pasien
yang menderita sirosis hati (liver cirrhosis) atas desakan keluarganya. Polisi
kemudian menyerahkan berkas perkara tersebut kepada jaksa penuntut dengan
diberi catatan bahwa dokter tersebut seharusnya dinayatakan tidak bersalah.
Namun kasus ini tidak menunjukkan relevansi yang nyata dengan mercy killing
dalam arti kata eutanasia aktif.
Pada akhirnya pengadilan memutuskan bahwa " pada kasus tertentu dari
penghentian penanganan medis (hospital treatment) termasuk tindakan eutanasia
pasif, dapat diperkenankan apabila pasien terminal meminta penghentian dari
perawatan medis terhadap dirinya.
2.9 Motif-motif Terjadinya Euthanasia
Tindakan euthanasia dilakukan, karena penderitaan akibat penyakit yang sulit
disembuhkan. Pilihan untuk melakukan euthanasia diambil, setelah hasil perawatan
pasien tidak menunjukan jalan lain untuk menghilangkan penderitaanya, tindakan itu
sendiri tidak dilakukan serta merta atau secara sembarangan, melainkan sebagai
akibat dari beberapa sebab sebagai berikut :
1. Kondisi pasien
Kondisi ini dapat diklasifikasikan pada beberapa kondisi yakni :
a. Ketidakmampuan pasien untuk bertahan terhadap penderitaan, yakni
ketidakmampuan untuk mengatasi rasa sakit akibat penyakit berat, rasa sakit
yang luar biasa dan ketakutan terhadap cacat.
b. Kekhawatiran pasien terhadap beban ekonomi yang tinggi dari biaya
pengobatan karena untuk penyakit-penyakit yang sulit disembuhkan biaya
pengobatannya sangat tinggi, bahkan tidak terjangkau oleh kalangan
masyarakat bawah. Bila perawatan terus dibiarkan, maka biaya semakin berat
ditanggung oleh pihak keluarga, sementara harapan untuk sembuh atau hidup
pasien sangat tipis, bahkan tidak ada.32
Page 33
c. Ketakutan pasien terhadap derita menjelang kematian, karena beban derita
fisik dan psikologis sangat berat, sehingga ada kesan bahwa proses menuju
mati akan sangat sulit dan menyakitkan. Bila ini dibiarkan, maka diasumsikan
bisa terjadi gangguan jiwa pasien.
2. Situasi tenaga medis
Terjadinya tindakan euthanasia bisa juga didasari oleh situasi tenaga medis yaitu ;
a. Tenaga medis memandang proses pengobatan sudah tidak efektif, yakni sudah
melalui proses pengobatan dalam jangka waktu lama, tetapi kondisi pasien
belum menunjukan perubahan. Hal ini dilakukan dengan hati-hati untuk
menghindari mal praktek yang bisa dituduhkan kepada tenaga medis.
b. Perasaan kasihan terhadap penderitaan pasien, biasanya muncul dari pihak
keluarga, mengingat kondisi pasien yang sulit diobati, kondisinya akan sangat
menyedihkan dan mengingat pula penderitaan luar biasa yang akan dialami
oleh pasien dalam jangka waktu yang panjang.
c. Tenaga medis mengabulkan permintaan pasien atau keluarga untuk
menghentikan pengobatan, penghentian ini dilakukan karena tenaga medis
memiliki pandangan bahwa pihak keluarga sudah tidak bisa lagi bersabar atas
waktu pengobatan yang lama.
Berdasarkan sebab-sebab yang diuraikan diatas, kematian yang bersifat
sukarela ini tidak bisa dilakukan secara sembarangan, tetapi harus benar-benar
sebagai sebuah alternative final dan mendapat legalitas hukum yang ditempuh melalui
jalur peradilan. Bila pengadilan yang mengijinkan tindakan euthanasia, maka
tindakan pembunuhan ini menjadi legal dan mendapat legalitas secara hukum. Namun
perlu juga diteliti tentang latar belakang pengajuan permohonan, bisa jadi ada motif
kejahatan di balik permohonan euthanasia, misalnya sengketa warisan, dengan
maksud melancarkan maksud pemohon.
2.10 Euthanasia Dari Sudut Pandang Pasien dan Keluarganya
Keadaan sakit yang dialami seseorang terkadang membuat pasien mudah
putus asa dan berpikir bahwa jalan terbik adalah mengakhiri hidupnya. Seorang
pasien yang mengalami penderitaan akibat penyakit yang menimbulkan rasa sakit
33
Page 34
luar biasa berkepanjangan dengan solusi yang tidak ditemukan meski setelah
dilakukan berbagai macam pengobatan dan penelitian, membuat pasien tidak
berfokus pada jalan penyembuhan lagi namun berpendapat bahwa mengakhiri
hidupnya adalah jalan terbaik. Dalam beberapa kasus sang pasien juga
mempertimbangkan kesusahan yang dialami oleh keluargnya. Biaya yang
tentunya tidak sedikit dan penyakit yang tidak kunjung sembuh membuat pasien
semakin putus asa karena menganggap dirinya telah menyusahkan berbagai pihak.
Itulah beberapa alasan euthnasia dianggap menjadi jalan keluar terbaik yang bisa
ia lakukan dan permhonan untuk euthanasia pun ia ajukan.
Pasien terkadang sudah dalam keadaan koma dan tidak sada secara akut
dan permintaan untuk tindakan euthanasia itu sendiri merupakan permintaan
pihak keluarga. Beberapa keluarga mempunyai alasan tersendiri, misalkan sudah
tidak tahan melihat anggota keluarganya menahan sakit tak tertahankan walaupun
segala usaha penyembuhan telah dilakukan. Keluarga pun juga terpepet msalah
biaya yang tentuna semakin membengkak jika anggota keluarganya terus
terbaring dan dirawat di rumah sakit. Itulah aspek kemanusiaan dan ekonomi
yang mendorong keluarga pasien untuk mempertimbangkan jalan euthanasia.
34
Page 35
BAB 3
PENUTUP
3.1 Simpulan
Euthanasia berarti tindakan untuk meringankan kesakitan atau penderitaan
yang dialami oleh seseorang yang akan meninggal, juga berarti mempercepat
kematian seseoran yang berada dalam kesakitan dan penderitaan yang hebat
menjelang kematiannya.
Ditinjau dari cara perawatannya, euthanasia dibagi menjadi:
1. Euthanasia agresif atau aktif
2. Euthanasia non agresif
3. Euthanasi pasif
Ditinjau dari permintaan izinnya, euthanasia dibagi menjadi:
1. Euthanasia dilur kemampuan pasien
2. Euthanasia tidak sukarela
3. Euthanasia sukarela
Di setiap negara di dunia mempunyai hukum dan pandangan yang berbeda-
beda tentang Euthanasia. Ada negara yang memperbolehkan Euthanasia secara
gampang, dan ada negara yang membuat syarat-syarat tertentu untuk melakukan
Euthanasia. Di Indonesia sendiri Euthanasia masih menimbulkan pro dan kontra.
Dalam pandangan berbagai agama pun, menghilangkan nyawa seseorang
secara sengaja adalah perbuatan dosa, perbuatan yang melanggar.
Menurut pandangan agama islam perbuatan Euthanasia haram dilakukan.
Karena, mengakhiri hidup seseorang itu sama saja dengan pembunuhan. Dan Allah
swt melarang tindakan pembunuhan.
3.2 SaranSebaiknya kita sebagai perawat jangan sampai melakukan tindakan
Euthanasia. Kita harus berusaha maksimal untuk kesembuhan pasien. Selama masih
ada kemungkinan untuk sembuh dan masih ada jalan untuk sembuh diharapkan untuk
tidak melakukan tindakan Euthanasia.
35
Page 36
DAFTAR PUSTAKA
Karyadi, Petrus Yoyo. (2001). Euthanasia Dalam Perspektif Hak Azasi Manusia. Yogyakarta: Media Pressindo
Khasanah, Uswatun. (2006). Euthanasia Menurut Hukum Islam (Studi Pemikiran yusuf Qardawi). Yogyakarta: Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004.
Anny Isfandyarie, Fachrizal Afandi, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter Buku ke II, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2006
Abd Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Al-Dar Al-Kuwaitiyyah, cet.VIII.1986.
Abd Qodir Audah, As Tasyri’ Al Jinairy Al Islamy, Jilid 1 Beirut Dar Al Kitab Al Arabiyu.
Fauzi Aseri, Akhmad. 2002. Problematika Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Yusuf Qardhawi, M. 2007. Halal dan Haram Dalam Islam. Surabaya: PT. Bina.
36