Top Banner
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dengan pesatnya penemuan-penemuan teknologi modern, mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan yang sangat cepat di dalam kehidupan sosial budaya manusia. Di antar sekian banyak penemuan-penemuan teknologi tersebut, tidak kalah pesatnya perkembangan teknologi di bidang medis. Dengan berkembangnya teknologi di bidang kedokteran ini, bukan tidak mustahil muncul masalah yang pekik dan rumit. Melalui pengetahuan dan teknologi kedokteran yang sangat maju, diagnose mengenai suatu penyakit dan pengobatannya dapat dilakukan secara sempurna dan lebih efektif. Hidup seseorang pun dapat diperpanjang untuk jangka waktu tertentu. Bahkan perhitungan saat kematian seseorang dapat dilakukan secara lebih tepat. Di samping itu, beberapa negara maju bahakn sudah mampu melakukan birth technologi dan biological engineering. Dengan demikian masalah cepat atau lambatnya proses kematian seseorang penderita sesuatu penyakit, seolah-olah dapat diatur oleh teknologi yang modern tersebut. 1
59

BAB 11

Dec 05, 2015

Download

Documents

asriatun

euthanasia
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: BAB 11

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dengan pesatnya penemuan-penemuan teknologi modern,

mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan yang sangat cepat di dalam

kehidupan sosial budaya manusia. Di antar sekian banyak penemuan-

penemuan teknologi tersebut, tidak kalah pesatnya perkembangan teknologi di

bidang medis.

Dengan berkembangnya teknologi di bidang kedokteran ini, bukan

tidak mustahil muncul masalah yang pekik dan rumit. Melalui pengetahuan

dan teknologi kedokteran yang sangat maju, diagnose mengenai suatu

penyakit dan pengobatannya dapat dilakukan secara sempurna dan lebih

efektif. Hidup seseorang pun dapat diperpanjang untuk jangka waktu tertentu.

Bahkan perhitungan saat kematian seseorang dapat dilakukan secara lebih

tepat. Di samping itu, beberapa negara maju bahakn sudah mampu melakukan

birth technologi dan biological engineering. Dengan demikian masalah cepat

atau lambatnya proses kematian seseorang penderita sesuatu penyakit, seolah-

olah dapat diatur oleh teknologi yang modern tersebut.

Menyinggung masalah kematian, menurut terjadinya, maka ilmu

pengetahuan membedakannnya ke dalam tiga jenis kematian, yaitu:

1. Orthothanasia, yaitu kematian yang terjadi karena suatu proses alamiah.

2. Dysthanasia, yaitu suatu kematian yang terjadi secara tidak wajar.

3. Euthanasia, yaitu suatu kematian yang terjadi dengan pertolongan atau

tidak dengan pertolongan dokter.

Eutanasia merupakan upaya untuk mengakhiri hidup orang lain dengan

tujuan untuk menghentikan penderitaan yang dialaminya karena suatu

penyakit atau keadaan tertentu.

Di jaman modern seperti saat ini, tercatat telah banyak sekali kasus-

kasus eutanasia, baik yang ter-ekspose maupun yang tersembunyikan.

Terdapat dua unsur utama yang menjadikan eutanasia menjadi bahan

perdebatan yang sengit di kalangan dokter dan bahkan masyarakat umum.

1

Page 2: BAB 11

Yang pertama, eutanasia jelas-jelas suatu tindakan yang dengan sengaja

menghilangkan nyawa orang lain, namun selain itu justru alasan dilakukannya

eutanasia adalah untuk menghindarkan pasien dari rasa sakit atau penderitaan

yang dianggap terlalu menyiksa.

Di beberapa Negara di dunia, eutanasia merupakan suatu tindakan

yang dilegalkan, sehingga seorang dokter memiliki kewenangan untuk

menjalankan prosedur eutanasia, namun tentu saja dengan seijin pihak

keluarga dan melalui prosedur perijinan yang sangat ketat. Sedangkan di

beberapa Negara yang lain, pelaku eutanasia ditangkap karena dianggap

melakukan tindakan yang melanggar hukum.

1.2 Rumusan Masalah

Dari uraian di atas penulis dapat merumuskan masalah sebagai

berikut : Bagaimana perspektif islam tekait euthanasia“?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Secara umum mahasiswa mampu mengetahui perspektif islam

terkait euthanasia.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mahasiswa mampu mengetahui Definisi Euthanasia.

2. Mahasiswa mampu mengetahui Sejarah Euthanasia.

3. Mahasiswa mampu mengetahui Klasifikasi Euthanasia.

4. Mahasiswa mampu mengetahui Euthanasia Dalam Perspektif

Islam.

5. Mahasiswa mampu mengetahui Praktik Euthanasia di Indonesia.

6. Mahasiswa mampu mengetahui Euthanasia dalam Persepektif

Medis.

7. Mahasiswa mampu mengetahui Kode Etik Kedokteran mengenai

Proses serta Eksistensi Kematian Pasien dengan Euthanasia.

8. Mahasiswa mampu mengetahui Euthanasia menurut Hukum di

berbagai Negara.

2

Page 3: BAB 11

9. Mahasiswa mampu mengetahui Motif-motif Terjadinya

Euthanasia.

10. Mahasiswa mampu mengetahui Euthanasia Dari Sudut Pandang

Pasien dan Keluarganya.

3

Page 4: BAB 11

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Euthanasia

Euthanasia merupakan upaya yang mana dilakukan untuk dapat membantu

seseorang dalam mempercepat kematiannya secara mudah akibat ketidakmampuan

menanggung derita yang panjang dan tidak ada lagi harapan untuk hidup atau

disembuhkan. Hal tersebut memunculkan kontroversi yang menyangkut isu etika

euthanasia (perilaku sengaja dan sadar mengakhiri hayat seseorang yang menderita

penyakit yang tak dapat disembuhkan) tidak saja santer didiskusikan di kalangan

dunia medis, akan tetapi telah merambah kemana-mana terutama para ulama Islam.

Huzaimah Tahidu Yanggo, (2005:104), mengungkapkan bahwaeuthanasia

secara etimologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu “eu” berarti baik, bagus, dan

“thanotos” artinya mati. Euthanasia adalah mati yang baik tanpa melalui proses

kematian dengan rasa sakit atau penderitaan yang berlarut-larut. Sedangkan menurut

M. Ali Hasan, (1996:132), Pengertian lain dari Euthanasia adalah mati yang

gampang.

Menurut Hilman (2001), euthanasia berarti “pembunuhan tanpa penderitaan”

(mercy killing). Tindakan ini biasanya dilakukan terhadap penderita penyakit yang

secara medis sudah tidak mungkin lagi untuk bisa sembuh.Di dunia etik kedokteran

kata euthanasia secara harfiah diartikan “mati baik”.

Euthanasia Studi Grup dari KNMG Holland (Ikatan Dokter Belanda)

menyatakan: “Euthanasia adalah perbuatan dengan sengaja untuk tidak melakukan

sesuatu untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu

untuk memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan semua ini dilakukan

khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri”.

Menurut Philo (50-20 SM), euthanasia berarti mati dengan tenang dan baik,

sedangkan Suetonis penulis Romawi dalam bukunya “Vita Caesarum” mengatakan

bahwa euthanasia berarti “mati cepat tanpa derita.” Sejak abad 19 terminologi

euthanasia dipakai untuk penghindaran rasa sakit dan peringanan pada umumnya bagi

yang sedang menghadapi kematian dengan pertolongan dokter.

Menurut Yusuf Qardhawi, (1995:749), Euthanasia dalam istilah Arab dikenal

dengan Qatl ar-Rahmah (membiarkan perjalanan kematian menuju kematian karena 4

Page 5: BAB 11

belas kasihan)atau Taisir al-Maut (memudahkan proses kematian), ialah tindakan

memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih

sayang, dengan tujuan meringankan perderitaan orang yang sakit, baik dengan cara

yang positif maupun negatif.

Secara terminologi kedokteran, euthanasia adalah tindakan memudahkan

kematian atau mengakhiri hidup seseorang denga sengaja tanpa rasa sakit, karena

kasihan untuk meringankan penderitaan si sakit. Tindakan ini dilakukan kepada

penderita penyakit yang tidak memiliki harapan untuk sembuh. (Setiawan Budi

Utomo, 2003:176).

Menurut Dr. M. Ali Akbar dalam buku Huzaimah Tahidi Yanggo (2005:104),

Euthanasia memiliki pengertian:

1. Kematian yang mudah dan tanpa sakit.

2. Usaha untuk meringankan penderitaan orang yang sekarat dan bila perlu untuk

mempercepat kematiannya.

3. Keinginan untuk mati dalam arti yang baik.

Dengan demikian makna euthanasia adalah suatu cara menghilangkan nyawa

yang dilakukan oleh petugas medis kepada seseorang yang mengidap penyakit

mematikan atau telah didiagnosis bahwa penyakit tersebut tidak dapat disebuhkan,

untuk menghilangkan penderitaannya.Seseorang yang telah mengidap penyakit dalam

rentang waktu yang lama, sehingga mandatangkan kesulitan, baik kepada penderita

yang merasakan sakit berlarut-larut, maupun kepada pihak keluarga yang harus

menanggung beban biaya pengobatan yang terus bertambah. (Masjfuk Zuhdi,

1992:157). Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan euthanasia dalam tiga arti:

1. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, buat

yang beriman dengan nama Tuhan di bibir.

2. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberi

obat penenang.

3. Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan

pasien sendiri dan keluarganya.

Menyinggung masalah kematian, menurut cara terjadinya, maka ilmu

pengetahuan membedakan ke dalam tiga jenis kematian, yaitu :

1. Orthothanasia, yaitu kematian yang terjadi karena suatu proses alamiah.

2. Dysthanasia, yaitu suatu kematian yang terjadi secara tidak wajar.5

Page 6: BAB 11

3. Buthanasia, yaitu suatu kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak

dengan pertolongan dokter. Jenis kematian ini bisa juga dikatakan sebagai

Euthanasia.

2.2 Sejarah Euthanasia

Euthanasia telah dikenal sejak zaman yunani kuno, pada zaman itu euthanasia

ditekankan pada kehendak manusia untuk melepaskan diri dari penderitaan terutama

yang mengalami penyakit parah. Selain itu ada kondisi yang memungkinkan untuk

terjadinya euthanasia yaitu tradisi kurban, alasannya yaitu motivasi pribadi untuk

berkurban dan pribadi yang mau memberikan dirinya untuk sesamanya.

Kemudian euthanasia oleh Pytagoras yang berpendapat bahwa hidup manusia

mempunyai nilai keabadian, dan euthanasia merupakan tindakan yang tidak

menanggapi arti hidup manusia. Sedangkan Aristoteles bersimpati terhadap

Euthanasia dengan alasan bahwa hidup manusia itu bernilai luhur.

Pada tuhun 1920 melalui buku yang berjudul The Permision to Destroy Life

unworthy of life. Ditulis oleh seorang psikiatri dari Freiburg bernama Alfredn Hoche

dan seorang profesor hukum dari Universitas Leipsig yang bernama Karl Binding.

Mereka berpendapat bahwa tindakan membantu seseorang yang mengalami kematian

adalah masalah etika tingkat tinggi yang membutuhkan pertimbangan yang tepat,

yang merupakan solusi belas kasihan atas masalah penderitaan.

Di Inggris pada tahun 1935 seorang Dokter membentuk The Voluntary

Euthanasia Legislation Society, untuk melegalisasi euthanasia bersama dengan

dokter-dokter terkenal lainnya. Namun  rancangan ini kemudian di tolak oleh Dewan

Lord setelah melalui perdebatan di House Of Lord pada tahun 1936.

Jerman pada saat kekuasaan Adolf Hitler yang melegalkan euthanasia

memeritahkan untuk melalukan tindakan Mercy killing secara luas yang dikenal

dengan “Action T4” untuk menghapus kehidupan orang yang dianggap tak berarti

dalam kehidupan (Life Under Worty of Life).

Di Australia tahun 1995, Australia Northem Territority menyetujui RUU

Euthanasia dan berlaku pada tahun 1996 dan dijatuhkan oleh parlemen Australia pada

tahun 1997. sedangkan di Oregon negara bagian AS mengelurkan death with dignity

Law satu undang-undang yang memperbolehkan dokter menolong pasien yang dalam

kondisi terminally ill untuk melakukan bunuh diri, sampai pada tahun 1998 sudah ada 6

Page 7: BAB 11

100 orang mendapatkan Assisten Suicide. Hal ini terus diperdebatkan di Amerika dan

pada tahun 1998 Oregon melegalisis Asisten Suicide dan itu satu-satunya di negara

bagian Amerika yang melegalkan euthanasia.

Di Belanda pada tahun 2000 melegalkan euthanasia Aktif  Voluntir ini

mendapat berbagai sorotan dari organisasi anti euthanasia dan juga dari organisasi pro

euthanasia. Seperti Rita Marker dari ADIWIDIA edisi Desember 2010 No. 1

“Internasional Againts Euthanasia task force“ apakah sekarang sebuah kejahatan akan

diganti dengan perawatan” sedangkan Tamara Langley dari The UK voluntary

euthanasia Society menanggapi sebagai suatu perkebangan, orang-orang mengambil

keputusan yang mereka buat sendiri. Ebger dari Cristian union mengatahkan “bahwa

undang undang ini adalah kesalahan sejarah”.

Tahun 2002 juga Belgia melegalisir Euthanasia seperti di Belanda. Di Belgia

menetapkan kondisi pasien yang ingin mengakhiri hidupnya harus dalam keadaan

sadar. Saat penyataan itu dibuat dan menanggulangi permintaan mereka untuk

Euthanasia. Sedangkan di Swiss Euthanasia masih ilegal tetapi terdapat tiga

organisasi yang mengurus permohonan tersebut dan menyediakan konseling dan obat-

obatan yang dapat mempercepat kematian.

Di asia, Jepang melegalkan euthanasia Voluntir yang disahkan melalui

keputusan pengadilan tinggi pada kasus  Yamaguchi di tahun 1962. Namun setelah itu

karena faktor budaya yang kuat euthanasia tidak pernah terjadi lagi dijepang setelah

itu.

Dari beberapa penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa euthanasia ini telah

terjadi sejak zaman yunani kuno yang kental dengan sektenya, kemudian secara

bertahap dibeberapa negara juga melegalkan pelaksanaan euthanasia ini dengan

alasan belas kasihan terhadap penyakit yang parah, serta termasuk euthanasia yang

ekstrim dilakukan oleh nazi yang bertujuan melenyapkan orang-orang tidak berguna.

2.3 Klasifikasi Euthanasia

Klasifikasi euthanasia dibedakan menjadi beberapa tinjauan. Yaitu :

1. Dilihat dari orang yang membuat keputusan. Euthanasia dibagi menjadi:

a. Voluntary euthanasia, jika yang membuat keputusan adalah orang yang sakit.

b. Involuntary euthanasia, jika yang membuat keputusan adalah orang lain

seperti pihak keluarga atau dokter karena pasien mengalami koma medis.7

Page 8: BAB 11

Menurut Dr. Veronica Komalawati, S.H., M.H., ahli hukum kedokteran

dan staf pengajar pada Fakultas Hukum UNPAD dalam artikel harian Pikiran

Rakyat mengatakan bahwa euthanasia dapat dibedakan menjadi:

a. Euthanasia aktif, yaitu tindakan secara sengaja yang dilakukan dokter atau

tenaga kesehatan lain untuk memperpendek atau mengakhiri hidup si pasien.

Misalnya, memberi tablet sianida atau menyuntikkan zat-zat berbahaya ke

tubuh pasien.

b. Euthanasia pasif. Dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak (lagi)

memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien.

Misalnya tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami

kesulitan dalam pernapasan atau tidak memberikan antibiotika kepada

penderita pneumonia berat, dan melakukan kasus malpraktik. Disebabkan

ketidaktahuan pasien dan keluarga pasien, secara tidak langsung medis

melakukan euthanasia dengan mencabut peralatan yang membantunya untuk

bertahan hidup.

c. Autoeuthanasia, Seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk

menerima perawatan medis dan ia mengetahui bahwa itu akan memperpendek

atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut, ia membuat sebuah

codicil (pernyataan tertulis tangan). Autoeuthanasia pada dasarnya adalah

euthanasia atas permintaas sendiri (APS).

2. Eutanasia ditinjau dari sudut cara pelaksanaannya. Dapat dibagi menjadi tiga

kategori:

a. Eutanasia agresif, disebut juga eutanasia aktif, adalah suatu tindakan secara

sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk

mempersingkat atau mengakhiri hidup seorang pasien. Eutanasia agresif dapat

dilakukan dengan pemberian suatu senyawa yang mematikan, baik secara oral

maupun melalui suntikan.

b. Eutanasia non agresif, kadang juga disebut eutanasia otomatis

(autoeuthanasia) digolongkan sebagai eutanasia negatif, yaitu kondisi dimana

seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima

perawatan medis meskipun mengetahui bahwa penolakannya akan

memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Eutanasia non agresif pada

8

Page 9: BAB 11

dasarnya adalah suatu praktik eutanasia pasif atas permintaan pasien yang

bersangkutan.

Eutanasia pasif, dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif yang

tidak menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri

kehidupan seorang pasien. Eutanasia pasif dilakukan dengan memberhentikan

pemberian bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien secara

sengaja. Tindakan eutanasia pasif seringkali dilakukan secara terselubung oleh

kebanyakan rumah sakit.

Penyalahgunaan eutanasia pasif bisa dilakukan oleh tenaga medis

maupun pihak keluarga yang menghendaki kematian seseorang, misalnya

akibat keputusasaan keluarga karena ketidaksanggupan menanggung beban

biaya pengobatan. Pada beberapa kasus keluarga pasien yang tidak mungkin

membayar biaya pengobatan, akan ada permintaan dari pihak rumah sakit

untuk membuat "pernyataan pulang paksa". Meskipun akhirnya meninggal,

pasien diharapkan meninggal secara alamiah sebagai upaya defensif medis.

3. Eutanasia ditinjau dari sudut pemberian izin dapat digolongkan menjadi tiga

yaitu :

a. Eutanasia di luar kemauan pasien, yaitu suatu tindakan eutanasia yang

bertentangan dengan keinginan si pasien untuk tetap hidup. Tindakan

eutanasia semacam ini dapat disamakan dengan pembunuhan.

b. Eutanasia secara tidak sukarela, Eutanasia semacam ini seringkali menjadi

bahan perdebatan dan dianggap sebagai suatu tindakan yang keliru oleh

siapapun juga.Hal ini terjadi apabila seseorang yang tidak berkompeten atau

tidak berhak untuk mengambil suatu keputusan misalnya statusnya hanyalah

seorang wali dari si pasien (seperti pada kasus Terri Schiavo). Kasus ini

menjadi sangat kontroversial sebab beberapa orang wali mengaku memiliki

hak untuk mengambil keputusan bagi si pasien.

c. Eutanasia secara sukarela, dilakukan atas persetujuan si pasien sendiri, namun

hal ini juga masih merupakan hal controversial.

4. Eutanasia ditinjau dari sudut tujuan. Antara lain yaitu :

a. Pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing).

b. Eutanasia hewan.

9

Page 10: BAB 11

c. Eutanasia berdasarkan bantuan dokter, ini adalah bentuk lain daripada

eutanasia agresif secara sukarela.

Frans Magnis Suseno membedakan 4 arti euthanasia mengikuti J.Wundeli

yaitu:

a. Euthanasia murni : usaha untuk memperingan kematian seseorang tanpa

memperpendek kehidupannya.Kedalamnya termasuk semua usaha perawatan

dan pastoral agar yang bersangkutan dapat mati dengan baik.Euthanasia ini

tidak menimbulkan masalah apapun.

b. Euthanasia pasif :tidak dipergunakannya semua kemungkinan teknik

kedokteran yang sebenarnya tersedia untuk memperpanjang kehidupan.

c. Euthanasia tidak langsung:usaha memperingan kematian dengan efek

samping bahwa pasien mungkin mati dengan lebih cepat. Di dalamnya

termasuk pemberian segala macam obat yang mungkin dapat memperpendek

kehidupan walaupun hal itu tidak disengaja.

d. Euthanasia aktif: proses kematian diperingan dengan memperpendek

kehidupan secara terarah dan langsung.Ini yang disebut sebagai “mercy

killing”.Dalam euthanasia aktif masih perlu dibedakan pasien

menginginkannya atau tidak berada dalam keadaan dimana keinginanya dapat

di ketahui.

Yusuf Qardhawi, (1995:749-750), membagi euthanasia kedalam dua

macam, yaitu:

a. Euthanasia Positif (aktif)

Euthanasia positif ini adalah tindakan dokter mempercepat kematian

pasien dengan memberikan instrumen (alat) seperti suntikan ke dalam tubuh

pasien. Suntikan ini diberikan apabila penyakitnya sudah sangat parah atau

stadium akhir, yang menurut perhitungan atau perkiraan medis tidak ada

harapan untuk sembuh atau bertahan lama.Inti dari euthanasia positif ini

adalah pemberian instrumen (alat) oleh dokter kepada pasien sebagai tindakan

akhir.

Berikut ini beberapa contoh kasus euthanasia positif :

1) Seseorang yang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa

hingga penderita sering mengalami pinsan. Dalam hal ini dokter yakin 10

Page 11: BAB 11

bahwa yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter

memberinya obat dengan takaran yang tinggi (overdosis) yang sekiranya

dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernafasannya

sekaligus.

2) Orang yang mengalami keadaan koma yang sangat lama, misalnya karena

bagian otaknya terserang penyakit atau mengalami benturan yang sangat

keras. Dalam keadaan demikian ia mungkin hanya dapat hidup dengan

bantuan alat pernafasan, sedangkan dokter berkeyakinan bahwa penderita

tidak akan dapat disembuhkan. Ada yang menganggap bahwa orang sakit

seperti itu sebagai “Orang mati” yang tidak mampu melakukan aktifitas.

Maka memberhentikan alat pernafasan itu sebagai cara positif untuk

memudahkan proses kematiannya.

b. Euthanasia Negatif (pasif)

Adalah tindakan dokter berupa penghentian pengobatan pasien yang

menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mampu lagi untuk

sembuh. Pemberhentian pengobatan ini mangakibatkan cepatnya kematian.

Namun biasanya tindakan ini dilakukan karena pihak keluarga pasien tidak

mampu menanggung biaya pengobatan yang sangat tinggi. Hal itulah yang

menjadikan euthanasia ini menjadi bersifat negatif.

Inti dari euthanasia negatif ini adalah penghentian pengobatan kepada

pasien. Perbedaan dengan yang positif adalah tindakan yang dilakukan.

Euthanasia positif, mengganti obat biasa menjadi obat mati, karena obat biasa

itu hanya memperburuk keadaan. Beberapa contoh tentang euthanasia negatif

sebagai berikut:

1) Penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan

koma yang tidak ada harapan sembuh. Lalu pengobatannya dihentikan,

sehingga mempercepat kematiannya.

2) Seorang anak yang kondisinya sangat buruk karena menderita penyakit

tashallub al-Asyram (kelumpuhan tulang belakang) atau syalal al-Mukhkhi

(kelumpuhan otak). Dalam keadaan demikian ia dapat saja dibiarkan tanpa

diberi pengobatan. Hal itu mungkin akan dapat membawa kematian anak

tersebut.

11

Page 12: BAB 11

At-tashallub al-musyrab atau al-syaukah al-masyquqah ialah

kelainan pada tulang belakang yang bisa menyebabkan kelumpuhan pada

kedua kaki dan kehilangan kemampuan atau kontrol pada saluran kandung

kemih dan usus besar. Anak yang menderita penyakit ini senantiasa dalam

kondisi lumpuh dan membutuhkan bantuan khusus selama hidupnya.

Sedangkan al-syalal al-mukhkhi (kelumpuhan otak) ialah suatu

keadaan yang menimpa saraf otak sejak anak dilahirkan yang

menyebabkan keterbelakangan pikiran dan kelumpuhan badannyadengan

tingkatan yang berbeda-beda. Anak yang menderita penyakit ini akan

lumpuh badan dan pikirannya serta selalu memerlukan bantuan khusus

selama hidupnya.

DR. Kartono Muhammad mengatakan bahwa pada praktek secara

sadar atau tidak, euthanasia pasif bisa saja terjadi di Indonesia yang tidak

sadar terpaksa melakukannya karena kurangnya fasilitas yang ada dirumah

sakit. Sedangkan yang sadar, membiarkan pasien yang sudah tidak

tertolong lagi itu dibawa pulang sebelum waktunya.

2.4 Euthanasia Dalam Perspektif Islam

Seperti dalam agama-agama Ibrahim lainnya (Yahudi dan Kristen), Islam

mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan

anugerah Allah kepada manusia. Hanya Allah yang dapat menentukan kapan

seseorang lahir dan kapan ia mati. (QS al-Hajj).

1. Euthanasia Aktif

Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam

kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-amad), walaupun niatnya baik yaitu

untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas

permintaan pasien sendiri atau keluarganya.

Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang

mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun

membunuh diri sendiri. Misalnya firman Allah SWT :

Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk

membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. (QS Al-An‘aam :

151).12

Page 13: BAB 11

Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain),

kecuali karena tersalah (tidak sengaja)… (QS An- Nisaa` : 92.

Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha

Penyayang kepadamu. (QS An-Nisaa` : 29).

Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter

melakukan euthanasia aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori

pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‗amad) yang merupakan tindak pidana (jarimah)

dan dosa besar.

Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan

suntikan mematikan, menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi qishash

(hukuman mati karena membunuh), oleh pemerintahan Islam (Khilafah), sesuai

firman Allah :

Telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang- orang yang

dibunuh. (QS Al-Baqarah : 178)

Namun jika keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash

(dengan memaafkan), qishash tidak dilaksanakan. Selanjutnya mereka

mempunyai dua pilihan lagi, meminta diyat (tebusan), atau

memaafkan/menyedekahkan.

Firman Allah SWT : Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan

dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang

baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi

maaf dengan cara yang baik (pula). (QS Al-Baqarah : 178)

Diyat untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor di

antaranya dalam keadaan bunting, berdasarkan hadits Nabi riwayat An-Nasa`i

(Al-Maliki, 1990: 111). Jika dibayar dalam bentuk dinar (uang emas) atau dirham

(uang perak), maka diyatnya adalah 1000 dinar, atau senilai 4250 gram emas (1

dinar= 4,25 gram emas), atau 12.000 dirham, atau senilai 35.700 gram perak (1

dirham = 2,975 gram perak) (Al-Maliki, 1990: 113).

Tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering dikemukakan

yaitu kasihan melihat penderitaan pasien sehingga kemudian dokter memudahkan

kematiannya. Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik

itu ada aspek- aspek lainnya yang tidak diketahui dan tidak dijangkau manusia.

Dengan mempercepat kematian pasien dengan euthanasia aktif, pasien tidak 13

Page 14: BAB 11

mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan Allah kepada-Nya,

yaitu pengampunan dosa. Rasulullah SAW bersabda,‖Tidaklah menimpa kepada

seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan,

maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan

kesalahan atau dosanya dengan musibah yang menimpanya itu. (HR Bukhari dan

Muslim).

2. Euthanasia Pasif

Adapun hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam

praktik menghentikan pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan

keyakinan dokter bahwa pengobatan yag dilakukan tidak ada gunanya lagi dan

tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter

menghentikan pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara menghentikan

alat pernapasan buatan dari tubuh pasien. Bagaimanakah hukumnya menurut

Syariah Islam? Jawaban untuk pertanyaan itu, bergantung kepada pengetahuan

kita tentang hukum berobat (at-tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu

wajib, mandub,mubah, atau makruh? Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat.

Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya mandub (sunnah),

tidak wajib. Namun sebagian ulama ada yang mewajibkan berobat, seperti

kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti dikemukakan oleh Syaikhul

Islam Ibnu Taimiyah (Utomo, 2003:180).

Menurut Abdul Qadim Zallum (1998:68) hukum berobat adalah mandub.

Tidak wajib. Hal ini berdasarkan berbagai hadits, di mana pada satu sisi Nabi

SAW menuntut umatnya untuk berobat, sedangkan di sisi lain, ada qarinah

(indikasi) bahwa tuntutan itu bukanlah tuntutan yang tegas (wajib), tapi tuntutan

yang tidak tegas (sunnah).

Di antara hadits-hadits tersebut, adalah hadits bahwa Rasulullah SAW

bersabda :

Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia

ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian! (HR Ahmad, dari Anas RA)

Hadits di atas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk

berobat. Menurut ilmu Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya memberi makna

adanya tuntutan (li ath-thalab), bukan menunjukkan kewajiban (li al-wujub). Ini

14

Page 15: BAB 11

sesuai kaidah ushul : Al-Ashlu fi al-amri li ath-thalab Perintah itu pada asalnya

adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan. (An-Nabhani, 1953)

Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita berobat.

Dalam hadits itu tidak terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat

wajib. Bahkan, qarinah yang ada dalam hadits- hadits lain justru menunjukkan

bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib. Hadits-hadits lain itu membolehkan

tidak berobat.

Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa

seorang perempuan hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu berkata,

Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering tersingkap auratku

[saat kambuh]. Berdoalah kepada Allah untuk kesembuhanku! Nabi SAW

berkata, Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan mendapat surga. Jika tidak mau,

aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu. Perempuan itu

berkata, Baiklah aku akan bersabar, lalu dia berkata lagi, Sesungguhnya auratku

sering tersingkap [saat ayanku kambuh], maka berdoalah kepada Allah agar

auratku tidak tersingkap. Maka Nabi SAW lalu berdoa untuknya. (HR Bukhari).

Hadits di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan

dengan hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat, maka hadits terakhir

ini menjadi indikasi (qarinah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah,

bukan perintah wajib. Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandub),

bukan wajib (Zallum, 1998:69).

Dengan demikian, jelaslah pengobatan atau berobat hukumnya sunnah,

termasuk dalam hal ini memasang alat-alat bantu bagi pasien. Jika memasang

alat-alat ini hukumnya sunnah, apakah dokter berhak mencabutnya dari pasien

yag telah kritis keadaannya? Abdul Qadim Zallum (1998:69) mengatakan bahwa

jika para dokter telah menetapkan bahwa si pasien telah mati organ otaknya, maka

para dokter berhak menghentikan pengobatan, seperti menghentikan alat bantu

pernapasan dan sebagainya. Sebab pada dasarnya penggunaan alat-alat bantu

tersebut adalah termasuk aktivitas pengobatan yang hukumnya sunnah,

bukan wajib.

Kematian otak tersebut berarti secara pasti tidak memungkinkan lagi

kembalinya kehidupan bagi pasien. Meskipun sebagian organ vital lainnya masih

15

Page 16: BAB 11

bisa berfungsi, tetap tidak akan dapat mengembalikan kehidupan kepada pasien,

karena organ-organ ini pun akan segera tidak berfungsi.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alat- alat bantu

kepada pasien adalah sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang hukumnya

sunnah. Karena itu, hukum euthanasia pasif dalam arti menghentikan pengobatan

dengan mencabut alat- alat bantu pada pasien-setelah matinya/rusaknya organ

otak hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi dokter. Jadi setelah mencabut

alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak dapat dapat dikatakan berdosa

dan tidak dapat dimintai tanggung jawab mengenai tindakannya itu (Zallum,

1998:69; Zuhaili, 1996:500; Utomo, 2003:182).

Namun untuk bebasnya tanggung jawab dokter, disyaratkan adanya izin

dari pasien, walinya, atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk

mengawasi dan mengurus pasien). Jika pasien tidak mempunyai wali, atau washi,

maka wajib diperlukan izin dari pihak penguasa (Al-Hakim/Ulil Amri) (Audah,

1992 : 522- 523).

Parah tokoh Islam di Indonesia sangat menentang dilakukannya euthanasia.

Prof. Dr. Amir syarifuddin menyebutkan bahwa pembunuhan untuk menghilangkan

penderita si sakit, sama dengan larangan Allah membunuh anak untuk tujuan

menghilangkan kemiskinan. Tindakan dokter dengan memberi obat atau suntikan

dengan sengaja untuk mengakhiri hidup pasien adalah termasuk pembunuhan

disengaja.

Sedangkan menurut K.H Syukron Makmun juga berpendapat bahwa kematian

itu adalah urusan Allah, manusia tidak mengetahui kapan kematian itu akan menimpa

dirinya. Soal sakit, menderita dan tidak kunjung sembuh adalah qudratullah.

Kewajiban kita hanya berikhtiar. Mempercepat kematian tidak dibenarkan. Tugas

dokter adalah menyembuhkan dan bukan membunuh. Kalau dokter tidak sanggup

kembalikan kepada keluarga.

Sebagai umat Islam dan sebagai warga negara Indonesia, tindakan yang

dilakukan agar mempercepat proses kematian (euthanasia), tentu saja menuai banyak

kontroversi, tentang bagaimanakah hukum melaksanakannya bagi pribadi atau orang

yang bertindak sebagai pengeksekusinya. Berikut ini adalah penjelasan bagaimana

hukum euthanasia menurut pandangan Islam dan menurut hukum negara Indonesia.

16

Page 17: BAB 11

Islam mengatakan bahwa predikat manusia didunia adalah sebagai khalifah,

artinya manusia memiliki status yang mulia di dunia. Dalam hal ini syariat Islam

berarti menjunjung tinggi hak hidup bagi manusia. Allah secara tegas dan berulang-

ulang mengatakan didalam firman-Nya bahwa setiap perbuatan menghilangkan hidup,

baik dilakukan oleh orang lain maupun diri sendiri adalah dilarang, dan bahkan

diberikan sanksi.

Syariah Islam mengharamkan euthanasia karena termasuk dalam kategori

pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad). Walaupun niatnya baik yaitu untuk

meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan

pasien sendiri atau keluarganya.Dalil-dalil dalam masalah ini sangat jelas, yaitu dalil-

dalil yang mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun

membunuh diri sendiri. Misalnya firman Allah SWT. Qs. Al-Hijr ayat 23 :

�ون� وار�ث ال ن� ح و�ن� �يت� �م و�ن ي�ي ح ن� ن� �ح �ن ل ا �� ن )23 (و�إ�

Artinya : “Dan sesungguhnya benar-benar kamilah yang menghidupkan dan

mematikan dan Kami (pulalah) yang mewarisi “.(Q.S. al-Hijr ayat 23).

Dalam Q.S. Al-An’am ayat 151 :

: ). ... األنعام... اآلية بالحق إال الله حرم التي النفس تقتلوا ال ) 151و

Artinya : “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk

membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS Al-An’aam :

151)

Q.S. An-Nisaa’ ayat 92 :

خطأ إال مؤمنا يقتل أن لمؤمن كان ما : و ) . النساء.... )92اآلية

Artinya :“Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang

lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja)…” (QS An-Nisaa` : 92)

Dari dalil-dalil tersebut sangat jelas bahwa haram hukumnya membunuh atau

membunuh diri sendiri. Dan euthanasia berarti mendahului takdir Allah. Karena pada

dasarnya setiap manusia berhak hidup, dan setiap penyakit pasti ada obatnya, kecuali

penyakit pikun (Tua). Sebagaimana sabda Rasulullah SAW. Yang artinya :

“Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia

ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian!” (HR Ahmad, dari Anas RA).

Hadits di atas menunjukkan bahwa Rasulullah SAW.Memerintahkan untuk

berobat. Bukan sebaliknya malah membunuh diri sendiri. Jika penyakit itu telah

difonis dokter memang tidak bisa disembuhkan lagi, Islam tetap menganjurkan 17

Page 18: BAB 11

manusia untuk melakukan usaha terakhir, yaitu doa yang diajarkan Rasulullah SAW

yang artinya: “Ya Allah hipukanlah aku selagi kehidupan itu baik untukku, dan

matikanlah aku apabila kematian itu lebih baik untukku”. Lalu kemudian bertawakal

dan menyerahkan hasilnya kepada Allah. adapun hadits yang berkaitan dengan

hukum euthanasia yaituberdasarkan sabda rasulullah SAW. Yang artinya :

“Orang yang mencekik dirinya sendiri, ia akan mencekik dirinya di neraka.

Orang yang menusuk perutnya sendiri, ia akan menusuk dirinya sendiri di neraka

dan orang yang melemparkan dirinya sendiri, ia akan melemparkan dirinya sendiri

dineraka.” (HR. Bukhari dan Abu Hurairah).

Satu-satunya euthanasia yang diperbolehkan dalam Islam adalah, yang

tergolong dalam euthanasia aktif yaitu pada kasus penyelamatan ibu yang melahirkan.

Prosesnya adalah, ketika seorang ibu yang hendak melahirkan, kemudian ada terdapat

kejanggalan dalam proses kehamilan dan proses kelahirannya yang dapat

menyebabkan hilangnya nyawa si ibu apabila anak tersebut dipaksa melahirkannya.

Dalam hal ini dinyatakan darurat, sesuai dengan kaidah fiqhih :

ت را لمحظو ا تبيح ت را و اضر ا

Artinya : “keadaan darurat dapat membolehkan perbuatan yang dilarang”

جب وا ين ر و لضر ا خف ا ب تكا ر ا

Artinya :“menempuh salah satu tindakan yang lebih ringan dari dua hal yang

berbahaya itu adalah wajib”.

Dibolehkan untuk melakukan euthanasia aktif dengan mengorbankan si janin

demi menyelamatkan si Ibu. Karena seorang Ibu memiliki tanggung jawab atas

dirinya kepada Allah, keluarga, dan sesama. Sedangkan janin tersebut belum

memiliki tanggungan apapun karena belum dilahirkan ke dunia.

Sehubungan dengan pengaruh keadaan darurat tersebut Abd Wahhab Khallaf

dalam bukunya Ilmu Ushul Fiqh mengatakan yang artinya sebagai berikut: “Barang

siapa yang tidak bisa mempertahankan keselamatan dirinya kecuali dengan cara

menyelamatkan membinasakan orang lain, tidaklah ia berdosa dalam tindakannya

itu”.

Selanjutnya bertalian dengan masalah persetujuan yang diberikan oleh

seorang dokter untuk membantu mempercepat kematiannya dianggap tidak ada, tetapi

dokter yang melakukan euthanasia dianggap melakukan tindakan pidana atau

18

Page 19: BAB 11

kriminal yang harus dijatuhi hukuman. Hanya saja mengenai jenis hukumannya

ulama berbeda pendapat.

Menurut Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan dan sebagian

ulama Syafi’iyah, bahwa hukuman yang dikenakan terhadap pelaku euthanasia

(pembunuhan dengan persetujuan korban) adalah membayar diyat (membayar 100

ekor unta atau seharga itu) dan bukan qishash, dengan alasan, bahwa persetujuan si

korban (pasien) untuk menjadi objek euthanasia merupakan syubhat dalam status

perbuatannya dan dalam hadis Nabi SAW, yaitu “Apabila dalam jarimah hudud

(termasuk didalamnya qishash) terdapat syubhat maka hukuman bisa digugurkan

atau diganti.”

Menurut Zufar salah seorang murid Abu Hanifah dan pendapat yang kuat

adalah mazhab Maliki serta pendapat sebagian ulama Syafi’iyah hukuman yang

dikenakan kepada pelaku euthanasia tersebut diatas, tetap hukuman qishash

(hukuman mati) karena persetujuan untuk menjadi objek euthanasia tersebut dianggap

tidak pernah ada, sehingga persetujuan tersebut tidak ada pengaruhnya sama sekali.

Sedangkan menurut pendapat Imam Ahmad bin Hambal dan sebagian ulama

Syafi’iyah, bahwa pelaku euthanasia atas persetujuan si korban dibebaskan dari

hukuman, karena persetujuan pasien untuk menjadi objek euthanasia, sama statusnya

dengan pembunuhan, baik dari hukuman qishash, maupun diyat maka dia bebas dari

hukuman. (Abd Qodir Audah, TTh:441-442).

Sejauh ini euthanasia diperkenankan yaitu dinegara Belanda, Belgia serta

ditoleransi di Negara bagian Oregon di Amerika, Kolombia dan Swiss dan dibeberapa

Negara dinyatakan sebagai kejahatan seperti di Spanyol, Jerman dan Denmark

termasuk di Indonesia.

Menurut hukum negara Indonesia, perbuatan euthanasia ini di kaitkan dengan

Hak Asasi Manusia (HAM), karena tindakan tersebut melanggar hak manusia untuk

hidup. Kemudian menurut ahli hukum pidana Universitas padjadjaran, Komariah

Emong mengatakan: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana  (“KUHP”) mengatur

tentang larangan  melakukan euthanasia. Yakni dalam Pasal 344 KUHP:“Barang

siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas

dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama

dua belas tahun.”

19

Page 20: BAB 11

Dari ketentuan tersebut, jelas bahwa yang diatur dalam KUHP adalah

euthanasia aktif dan sukarela. Sehingga, menurut Haryadi, dalam praktiknya di

Indonesia, Pasal 344 KUHP ini sulit diterapkan untuk menyaring perbuatan

euthanasia sebagai tindak pidana, sebab euthanasia yang sering terjadi di negara ini

adalah yang pasif, sedangkan pengaturan yang ada melarang euthanasia aktif dan

sukarela.

Pada sisi lain, Komariah berpendapat, walaupun KUHP tidak secara tegas

menyebutkan kata euthanasia, namun, berdasarkan ketentuan Pasal 344 KUHP

seharusnya dokter menolak melakukan tindakan untuk menghilangkan nyawa,

sekalipun keluarga pasien menghendaki. Menurutnya, secara hukum, norma sosial,

agama dan etika dokter, euthanasia tidak diperbolehkan.

Di tengah kontroversi pro dan kontra euthanasia pihak masing-masing

bertahan dengan alasan yang diyakini Alasan pro euthanasia adalah sebagai berikut :

1. Rasa kasihan (mercy killing)

2. Faktor ekonomi

3. Faktor soSial

4. Pasien siap mati wajar.

5. Mati batang otak.

6. Pasien menolak semua tindakan medis.

7. Tindakan medis tidak menolong lagi.

8. Setuju asal dilakukan dinegara yang melegalkan Euthanasia.

Dari beberapa alasan di atas jika kita tinjau dari beberapa sudut pandang

seperti sudut pandang agama hanya memungkinkan jika pasien sudah siap mati

dengan tenang di tengah keluarganya. Jika dari segi medis jika pasien menolak semua

tindakan medis dan pasien sudah mati batang otak dari segi KODEKI tidak

melanggar sesuai dengan SK.PB. IDI no. 231/PB/A.4/07/90. Pasien dinyatakan mati

bila sudah terdapat kerusakan permanen pada batang otak.

Peraturan hukum perundang-undangan lainnya, terdapat dalam pasal 338, 340,

dan 344 KUHP, ketiganya mengandung makna larangan untuk membunuh. Adapun

pasal yang masih berkaitan dengan pembunuhan yaitu pasal 345 dan 359 Kitab

Undang-undang Hukum Pidana( KUHP).

20

Page 21: BAB 11

2.5 Praktik Euthanasia di Indonesia

Sampai saat ini, euthanasia masih menimbulkan pro & kontra di masyarakat.

Mereka yang menyetujui tindakan euthanasia berpendapat bahwa euthanasia adalah

suatu tindakan yang dilakukan dengan persetujuan & dilakukan dengan tujuan utama

menghentikan penderitaan pasien. Prinsip kelompok ini adalah manusia tidak boleh

dipaksa untuk menderita. Dengan demikian, tujuan utama kelompok ini yaitu

meringankan penderitaan pasien dengan memperbaiki resiko hidupnya.

Kelompok yang kontra terhadap euthanasia berpendapat bahwa euthanasia

merupakan tindakan pembunuhan terselubung, karenanya bertentangan dengan

kehendak Tuhan. Kematian semata-mata adalah hak dari Tuhan, sehingga manusia

sebagai makhluk ciptaan Tuhan tidak mempunyai hak untuk menentukan

kematiannya. Menurut PP no.18/1981 pasal 1g menyebutkan bahwa: Meninggal

dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli kedokteran yang berwenang,

bahwa fungsi otak, pernapasan, atau denyut jantung seseorang telah berhenti. Definisi

mati ini merupakan definisi yang berlaku di Indonesia.

2.6 Euthanasia dalam Persepektif Medis

Dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan tenologi di bidang medik, kehidupan

seorang pasien bisa diperpanjang dan hal ini seringkali membuat para dokter

dihadapkan pada sebuah dilema untuk memberikan bantuan tersebut apa tidak dan

jika sudah terlanjur diberikan bolehkah untuk dihentikan.Tugas seorang dokter adalah

untuk menolong jiwa seorang pasien, padahal jika dilihat lagi hal itu sudah tidak bisa

dilanjutkan lagi dan jika hal itu diteruskan maka kadang akan menambah penderitaan

seorang pasien. Nah, penghentian pertolongan tersebut merupakan salah satu bentuk

euthanasia. Berdasarkan pada cara terjadinya, ilmu pengetahuan membedakan

kematian kedalam tiga jenis:

1. Orthothansia, merupakan kematian yang terjadi karena proses alamiah.

2. Dysthanasia, adalah kematian yang terjadi secara tidak wajar.

3. Euthanasia, adalah kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak dengan

pertolongan dokter.

Pengertian euthanasia ialah tindakan memudahkan kematian seseorang dengan

sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan

penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negative, dan biasanya tindakan 21

Page 22: BAB 11

ini dilakukan oleh kalangan medis. Sehingga denagn hal demikian akan muncul yang

namanya euthanasia positif dan euthanasia negatif dan berikut adalah contoh-contoh

tersebut :

1. Seseorang yang sedang menderita kangker ganas atau sakit yang mematikan, yang

sebenarnya dokter sudah tahu bahwa seseorang tersebut tidak akan hidup lama

lagi. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang

sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi justru menghentikan

pernapasannya sekaligus.

2. Seperti yang dialami oleh Nyonya Again (istri Hasan) yang mengalami koma

selama tiga bulan dan dalam hidupnya membutuhkan alat bantu pernafasan.

Sehingga dia akan bisa melakukan pernafasan dengan otomatis dengan bantuan

alat pernafasan. Dan jika alat pernafasan tersebut di cabut otomatis jantungnya

akan behenti memompakan darahnya keseluruh tubuh, maka tanpa alat tersebut

pasien tidak akan bisa hidup. Namun, ada yang menganggap bahwa orang sakit

seperti ini sebagai "orang mati" yang tidak mampu melakukan aktivitas. Maka

memberhentikan alat pernapasan itu sebagai cara yang positif untuk memudahkan

proses kematiannya.

Hal tersebut adalah contoh dari yang namanya euthanasia positif yang

dilakukan secara aktif oleh medis. Berbeda dengan euthanasia negative yang dalam

proses tersebut tidak dilakukan tindakan secara aktif (medis bersikap pasif) oleh

seorang medis dan contohnya sebagai berikut :

1. Penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma,

disebabkan benturan pada bagian kepalanya atau terkena semacam penyakit pada

otak yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau orang yang terkena serangan

penyakit paru-paru yang jika tidak diobati (padahal masih ada kemungkinan untuk

diobati) akan dapat mematikan penderita. Dalam hal ini, jika pengobatan

terhadapnya dihentikan akan dapat mempercepat kematiannya.

2. Seorang anak yang kondisinya sangat buruk karena menderita kelumpuhan tulang

belakang atau kelumpuhan otak. Dalam keadaan demikian ia dapat saja dibiarkan

(tanpa diberi pengobatan) apabila terserang penyakit paru-paru atau sejenis

penyakit otak, yang mungkin akan dapat membawa kematian anak tersebut.

Dari contoh tersebut, "penghentian pengobatan" merupakan salah satu bentuk

eutanasia negatif. Menurut gambaran umum, anak-anak yang menderita penyakit 22

Page 23: BAB 11

seperti itu tidak berumur panjang, maka menghentikan pengobatan dan

mempermudah kematian secara pasif (eutanasia negatif) itu mencegah perpanjangan

penderitaan si anak yang sakit atau kedua orang tuanya.

Mati itu sendiri sebetulnya dapat didefinisikan secara sederhana sebagai

berhentinya kehidupan secara permanen (permanent cessation of life). Hanya saja,

untuk memahaminya terlebih dahulu perlu memahami apa yang disebut hidup.

Para ahli sependapat jika definisi hidup adalah berfungsinya berbagai organ

vital (paru-paru,jantung, & otak) sebagai satu kesatuan yang utuh, ditandai oleh

adanya konsumsi oksigen. Dengan demikian definisi mati dapat diperjelas lagi

menjadi berhentinya secara permanen fungsi organ-organ vital sebagai satu kesatuan

yang utuh, ditandai oleh berhentinya konsumsi oksigen.

Meskipun euthanasia bukan merupakan istilah yuridis, namun mempunyai

implikasi hukum yang sangat luas, baik pidana maupun perdata. Pasal-pasal dalam

KUHP menegaskan bahwa euthanasia baik aktif maupun pasif tanpa permintaan

adalah dilarang. Demikian pula dengan euthanasia aktif dengan permintaan. Berikut

adalah bunyi pasal-pasal dalam KUHP tersebut :

Pasal 338 : Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain karena

pembunuhan biasa, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya

lima belas tahun.

Pasal 340 : Barangsiapa dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu

menghilangkan jiwa orang lain, karena bersalah melakukan

pembunuhan berencana, dipidana dengan pidana mati atau penjara

seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya duapuluh tahun.

Pasal 344 : Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu

sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh

dihukum penjara selama-lamanya duabelas tahun.

Pasal 345 : Barangsiapa dengan sengaja membujuk orang lain untuk bunuh diri,

menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi sarana kepadanya

untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun,

kalau orang itu jadi bunuh diri.

Pasal 359 : Menyebabkan matinya seseorang karena kesalahan atau kelalaian,

dipidana dengan pidana penjara selama- lamanya lima tahun atau

pidana kurungan selama-lamanya satu tahun.23

Page 24: BAB 11

Beberapa ahli hukum berpendapat bahwa tindakan perawatan medis yang

tidak ada gunanya seperti misalnya pada kasus pasien ini, secara yuridis dapat

dianggap sebagai penganiayaan. Tindakan di luar batas ilmu kedokteran dapat

dikatakan di luar kompetensi dokter tersebut untuk melakukan perawatan medis.

Dengan kata lain, apabila suatu tindakan medis dianggap tidak ada manfaatnya, maka

dokter tidak lagi berkompeten melakukan perawatan medis, dan dapat dijerat hukum

sesuai KUHP pasal 351 tentang penganiayaan, yang berbunyi:

1. Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan

bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

2. Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.

2.7 Kode Etik Kedokteran mengenai Proses serta Eksistensi Kematian Pasien

dengan Euthanasia

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tidak menyetujui Euthanasia aktif. Pasalnya hal

itu tidak sesuai dengan etika, moral, agama, budaya, serta peraturan perundang-

undangan yang ada. Secara etika, tugas dokter adalah memelihara dan memperbaiki

kehidupan seseorang, bukan mencabut nyawa atau menghentikan hidup seseorang

Di dalam Kode Etik Kedokteran yang ditetapkan Menteri Kesehatan Nomor:

434/Men.Kes./SK/X/1983 disebutkan pada pasal 10: “Setiap dokter harus senantiasa

mengingat akan kewajibannya melindungi hidup makhluk insani.” Kemudian di

dalam penjelasan pasal 10 itu dengan tegas disebutkan bahwa naluri yang kuat pada

setiap makhluk yang bernyawa, termasuk manusia ialah mempertahankan hidupnya.

Usaha untuk itu merupakan tugas seorang dokter. Dokter harus berusaha memelihara

dan mempertahankan hidup makhluk insani, berarti bahwa baik menurut agama dan

undang-undang Negara, maupun menurut Etika Kedokteran, seorang dokter tidak

dibolehkan:

1. Menggugurkan kandungan (abortus provocatus).

2. Mengakhiri hidup seseorang penderita, yang menurut ilmu dan pengalaman tidak

mungkin akan sembuh lagi (euthanasia).

Jadi sangat tegas, para dokter di Indinesia dilarang melakukan euthanasia. Di

dalam kode etika itu tersirat suatu pengertian, bahwa seorang dokter harus

mengerahkan segala kepandaiannya dan kemampuannya untuk meringankan

24

Page 25: BAB 11

penderitaan dan memelihara hidup manusia (pasien), tetapi tidak untuk

mengakhirinya.

Sebelumnya telah disinggung tentang pengertiam euthanasia yang tidak lain

adalah mengakhiri hidup dengan cara mudah dan tanpa rasa sakit. Atau biasa juga

yang disebut dengan mercy killing (mati dengan tenang). Secara garis besar, euthanasia

dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yaitu euthanasia aktif dan euthanasia pasif.

Pandangan yang mengelompokkan euthanasia sebagai aktif dan pasif

mendasarkannya pada cara euthanasia itu dilakukan.

Euthanasia aktif itu merupakan suatu tindakan mempercepat proses dari

kematian, baik itu dengan memberikan suntikan ataupun melepaskan alat-alat

pembantu medika, seperti saluran asam, melepas pemacu jantung atau sebagainya.

Yang termasuk tindakan untuk mempercepat proses kematian disini adalah jika

kondisi pasien, berdasarkan ukuran dan pengalaman medis itu masih menunjukkan

adanya harapan hidup. Dengan kata lain yaitu tanda-tanda kehidupan masih terdapat

pada penderita, ketika tindakan itu dilakukan. sedangkan euthanasia pasif, baik atas

permintaan atau pun tidak atas permintaan pasein. Yaitu ketika dokter atau tenaga

kesehatan lain secara sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan medis yang mana

dapat memperpanjang hidup kepada pasien (dengan catatan bahwa perawatan rutin

yang optimal untuk mendampingi atau membantu pasien dalam fase terakhirnya tetap

diberikan) (Kartono Muhammad, 1992:31).

Berdasarkan akibatnya, euthanasia aktif kemudian dibagi lagi menjadi dua

golongan, yaitu euthanasia aktif langsung, yaitu cara pengakhiran kehidupan melalui

tindakan medis yang diperhitungkan akan langsung mengakhiri hidup pasien.

Misalnya dengan memberi tablet sianida atau suntikan zat yang segera mematikan,

dan euthanasia aktif tidak langsung, yang menunjukkan bahwa tindakan medis yang

dilakukan tidak akan langsung mengakhiri hidup pasien, akan tetapi diketahui bahwa

resiko dari tindakan tersebut dapat mengakhiri hidup pasien. Misalnya mencabut

oksigen atau alat bantu kehidupan lainnya (Kartono Muhammad, 1992:31).

Dalam hubungannya dengan kode etik kedokteran R. Soeprono dalam suatu

diskusi panel mengenai euthanasia menjabarkan, bahwa segala perbuatan dokter

terhadap si sakit itu bertujuan memelihara kesehatan dan kebahagiaannya. Dengan

sendirinya ia harus mempertahankan dan memelihara kehidupan manusia (Majalah

Panji Masyarakat, No. 318, 20 Maret 1981:40). Harus diingat bahwa, meringankan 25

Page 26: BAB 11

penderitaan juga menjadi kewajiban seorang dokter. Mungkin dari segi inilah

sehingga beberapa ahli ada yang menerima satu macam euthanasia dan ada pula yang

menerima kedua-duanya dengan beberapa pertimbangan tertentu.

Akhir-akhir ini sangat banyak sekali pertentangan hangat di seluruh dunia,

mengenai kemungkinan dilakukan euthanasia. Telah diungkapkan bahwa euthanasia

itu pernah terjadi di beberapa negara di dunia. Di Indonesia disinyalir berkembang

euthanasia negatif. Padahal di tanah air kita ini yang berasaskan Pancasila yang

sekaligus beragama, seharusnya tidak menerima euthanasia apalagi melakukannya.

Tapi kasus euthanasia itu disinyalir sering terjadi di tanah air kita, yakni pada rumah

sakit yang sudah memiliki Intensive Care Unit (ICU) (Hardinal, 1996:9).

Terlepas dari benar tidaknya praktek euthanasia telah terjadi di Indonesia,

masalah ini menjadi cukup penting dikaji untuk mendapatkan solusinya. Sebab

sebagai negara hukum, tentu saja ada konsekuensi pertanggungjawaban akan sesuatu

perbuatan yang dijalankan oleh setiap warga negaranya atas dasar profesinya.

Pengertian dari tanggungjawab menurut kamus hukum adalah keadaan wajib

menanggung segala sesuatunya, bilamana terjadi apa-apa boleh dituntut. Berdasarkan

Black Law Dictionary, istilah liability dapat diartikan sebagai suatu keadaan dimana

seseorang terikat secara hukum atau keadilan untuk melaksanakan sesuatu yang dapat

dipaksakan oleh suatu tindakan. Tanggungjawab hukum dari tenaga kesehatan

dimaksudkan sebagai keterkaitan tenaga kesehatan terhadap berbagai ketentuan-

ketentuan hukum dalam menjalankan profesinya (R.A. Antari Inaka Turingsih,

2012:271).

2.8 Euthanasia menurut Hukum di berbagai Negara

1. Belanda

Pada tanggal 10 April 2001 Belanda menerbitkan undang- undang yang

mengizinkan eutanasia. Undang-undang ini dinyatakan efektif berlaku sejak

tanggal 1 April 2002, yang menjadikan Belanda menjadi negara pertama di dunia

yang melegalisasi praktik eutanasia. Pasien-pasien yang mengalami sakit

menahun dan tak tersembuhkan, diberi hak untuk mengakhiri penderitaannya.

Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam Kitab Hukum Pidana Belanda

secara formal euthanasia dan bunuh diri berbantuan masih dipertahankan sebagai

perbuatan kriminal.26

Page 27: BAB 11

Sebuah karangan berjudul "The Slippery Slope of Dutch Euthanasia"

dalam majalah Human Life International Special Report Nomor 67, November

1998, halaman 3 melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap dokter di Belanda

dimungkinkan melakukan eutanasia dan tidak akan dituntut di pengadilan asalkan

mengikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur tersebut adalah

mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak harus seorang spesialis) dan

membuat laporan dengan menjawab sekitar 50 pertanyaan.

Sejak akhir tahun 1993, Belanda secara hukum mengatur kewajiban para

dokter untuk melapor semua kasus eutanasia dan bunuh diri berbantuan. Instansi

kehakiman selalu akan menilai betul tidaknya prosedurnya. Pada tahun 2002,

sebuah konvensi yang berusia 20 tahun telah dikodifikasi oleh undang- undang

belanda, dimana seorang dokter yang melakukan eutanasia pada suatu kasus

tertentu tidak akan dihukum.

2. Australia

Negara bagian Australia, Northern Territory, menjadi tempat pertama di

dunia dengan UU yang mengizinkan euthanasia dan bunuh diri berbantuan, meski

reputasi ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1995 Northern Territory menerima

UU yang disebut "Right of the terminally ill bill" (UU tentang hak pasien

terminal). Undang-undang baru ini beberapa kali dipraktikkan, tetapi bulan Maret

1997 ditiadakan oleh keputusan Senat Australia, sehingga harus ditarik kembali.

3. Belgia

Parlemen Belgia telah melegalisasi tindakan eutanasia pada akhir

September 2002. Para pendukung eutanasia menyatakan bahwa ribuan tindakan

eutanasia setiap tahunnya telah dilakukan sejak dilegalisasikannya tindakan

eutanasia di negara ini, namun mereka juga mengkritik sulitnya prosedur

pelaksanaan eutanasia ini sehingga timbul suatu kesan adaya upaya untuk

menciptakan "birokrasi kematian".

Belgia kini menjadi negara ketiga yang melegalisasi eutanasia (setelah

Belanda dan negara bagian Oregon di Amerika).

Senator Philippe Mahoux, dari partai sosialis yang merupakan salah satu

penyusun rancangan undang-undang tersebut menyatakan bahwa seorang pasien

yang menderita secara jasmani dan psikologis adalah merupakan orang yang

27

Page 28: BAB 11

memiliki hak penuh untuk memutuskan kelangsungan hidupnya dan penentuan

saat-saat akhir hidupnya

4. Amerika

Eutanasia agresif dinyatakan ilegal di banyak negara bagian di Amerika.

Saat ini satu-satunya negara bagian di Amerika yang hukumnya secara eksplisit

mengizinkan pasien terminal ( pasien yang tidak mungkin lagi disembuhkan)

mengakhiri hidupnya adalah negara bagian Oregon, yang pada tahun 1997

melegalisasikan kemungkinan dilakukannya eutanasia dengan memberlakukan

UU tentang kematian yang pantas (Oregon Death with Dignity Act). Tetapi

undang-undang ini hanya menyangkut bunuh diri berbantuan, bukan euthanasia.

Syarat-syarat yang diwajibkan cukup ketat, dimana pasien terminal berusia 18

tahun ke atas boleh minta bantuan untuk bunuh diri, jika mereka diperkirakan

akan meninggal dalam enam bulan dan keinginan ini harus diajukan sampai tiga

kali pasien, dimana dua kali secara lisan (dengan tenggang waktu 15 hari di

antaranya) dan sekali secara tertulis (dihadiri dua saksi dimana salah satu saksi

tidak boleh memiliki hubungan keluarga dengan pasien). Dokter kedua harus

mengkonfirmasikan diagnosis penyakit dan prognosis serta memastikan bahwa

pasien dalam mengambil keputusan itu tidak berada dalam keadaan gangguan

mental.Hukum juga mengatur secara tegas bahwa keputusan pasien untuk

mengakhiri hidupnya tersebut tidak boleh berpengaruh terhadap asuransi yang

dimilikinya baik asuransi kesehatan, jiwa maupun kecelakaan ataupun juga

simpanan hari tuanya.

Belum jelas apakah undang-undang Oregon ini bisa dipertahankan di masa

depan, sebab dalam Senat AS pun ada usaha untuk meniadakan UU negara bagian

ini. Mungkin saja nanti nasibnya sama dengan UU Northern Territory di

Australia. Bulan Februari lalu sebuah studi terbit tentang pelaksanaan UU Oregon

selama tahun 1999.

5. Indonesia

Berdasarkan hukum di Indonesia maka eutanasia adalah sesuatu perbuatan

yang melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan

yang ada yaitu pada Pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang

menyatakan bahwa "Barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas

permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-28

Page 29: BAB 11

sungguh, dihukum penjara selama- lamanya 12 tahun". Juga demikian halnya

nampak pada pengaturan pasal-pasal 338, 340, 345, dan 359 KUHP yang juga

dapat dikatakan memenuhi unsur-unsur delik dalam perbuatan eutanasia. Dengan

demikian, secara formal hukum yang berlaku di negara kita memang tidak

mengizinkan tindakan eutanasia oleh siapa pun.

Ketua umum pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Farid Anfasal

Moeloek dalam suatu pernyataannya yang dimuat oleh majalah Tempo Selasa 5

Oktober 2004 menyatakan bahwa : Eutanasia atau "pembunuhan tanpa

penderitaan" hingga saat ini belum dapat diterima dalam nilai dan norma yang

berkembang dalam masyarakat Indonesia. "Euthanasia hingga saat ini tidak sesuai

dengan etika yang dianut oleh bangsa dan melanggar hukum positif yang masih

berlaku yakni KUHP.

6. Swiss

Di Swiss, obat yang mematikan dapat diberikan baik kepada warga negara

Swiss ataupun orang asing apabila yang bersangkutan memintanya sendiri. Secara

umum, pasal 115 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Swiss yang ditulis

pada tahun 1937 dan dipergunakan sejak tahun 1942, yang pada intinya

menyatakan bahwa "membantu suatu pelaksanaan bunuh diri adalah merupakan

suatu perbuatan melawan hukum apabila motivasinya semata untuk kepentingan

diri sendiri."

Pasal 115 tersebut hanyalah menginterpretasikan suatu izin untuk

melakukan pengelompokan terhadap obat-obatan yang dapat digunakan untuk

mengakhiri kehidupan seseorang.

Sebuah lembaga jajak pendapat terkenal yaitu Poling Gallup (Gallup Poll)

menunjukkan bahwa 60% orang Amerika mendukung dilakukannya eutanasia.

7. Inggris

Pada tanggal 5 November 2006, Kolese Kebidanan dan Kandungan

Britania Raya (Britain's Royal College of Obstetricians and Gynaecologists)

mengajukan sebuah proposal kepada Dewan Bioetik Nuffield (Nuffield Council

on Bioethics) agar dipertimbangkannya izin untuk melakukan eutanasia terhadap

bayi-bayi yang lahir cacat (disabled newborns). Proposal tersebut bukanlah

ditujukan untuk melegalisasi eutanasia di Inggris melainkan semata guna

29

Page 30: BAB 11

memohon dipertimbangkannya secara saksama dari sisi faktor "kemungkinan

hidup si bayi" sebagai suatu legitimasi praktik kedokteran.

Namun hingga saat ini eutanasia masih merupakan suatu tindakan

melawan hukum di kerajaan Inggris demikian juga di Eropa (selain daripada

Belanda).

Demikian pula kebijakan resmi dari Asosiasi Kedokteran Inggris (British

Medical Association-BMA) yang secara tegas menentang eutanasia dalam bentuk

apapun juga

8. Jepang

Jepang tidak memiliki suatu aturan hukum yang mengatur tentang

eutanasia demikian pula Pengadilan Tertinggi Jepang (supreme court of Japan)

tidak pernah mengatur mengenai eutanasia tersebut.

Ada 2 kasus eutanasia yang pernah terjadi di Jepang yaitu di Nagoya pada

tahun 1962 yang dapat dikategorikan sebagai "eutanasia pasif" (消極的安楽死 ,

shōkyokuteki anrakushi)

Kasus yang satunya lagi terjadi setelah peristiwa insiden di Tokai

university pada tahun 1995[14] yang dikategorikan sebagai "eutanasia aktif

" (積極的安楽死, sekkyokuteki anrakushi)

Keputusan hakim dalam kedua kasus tersebut telah membentuk suatu

kerangka hukum dan suatu alasan pembenar dimana eutanasia secara aktif dan

pasif boleh dilakukan secara legal. Meskipun demikian eutanasia yang dilakukan

selain pada kedua kasus tersebut adalah tetap dinyatakan melawan hukum, dimana

dokter yang melakukannya akan dianggap bersalah oleh karena merampas

kehidupan pasiennya. Oleh karena keputusan pengadilan ini masih diajukan

banding ke tingkat federal maka keputusan tersebut belum mempunyai kekuatan

hukum sebagai sebuah yurisprudensi, namun meskipun demikian saat ini Jepang

memiliki suatu kerangka hukum sementara guna melaksanakan eutanasia.

9. Republik Ceko

Di Republik Ceko eutanisia dinyatakan sebagai suatu tindakan

pembunuhan berdasarkan peraturan setelah pasal mengenai eutanasia dikeluarkan

dari rancangan Kitab Undang- undang Hukum Pidana. Sebelumnya pada

rancangan tersebut, Perdana Menteri Jiri Pospíšil bermaksud untuk

30

Page 31: BAB 11

memasukkan eutanasia dalam rancangan KUHP tersebut sebagai suatu kejahatan

dengan ancaman pidana selama 6 tahun penjara, namun Dewan Perwakilan

Konstitusional dan komite hukum negara tersebut merekomendasikan agar pasal

kontroversial tersebut dihapus dari rancangan tersebut.

10. India

Di India eutanasia adalah suatu perbuatan melawan hukum. Aturan

mengenai larangan eutanasia terhadap dokter secara tegas dinyatakan dalam bab

pertama pasal 300 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana India (Indian penal

code- IPC) tahun 1860. Namun berdasarkan aturan tersebut dokter yang

melakukan euthanasia hanya dinyatakan bersalah atas kelalaian yang

mengakibatkan kematian dan bukannya pembunuhan yang hukumannya

didasarkan pada ketentuan pasal 304 IPC, namun ini hanyalah diberlakukan

terhadap kasus eutanasia sukarela dimana sipasien sendirilah yang menginginkan

kematian dimana si dokter hanyalah membantu pelaksanaan eutanasia tersebut

(bantuan eutanasia). Pada kasus eutanasia secara tidak sukarela (atas keinginan

orang lain) ataupun eutanasia di luar kemauan pasien akan dikenakan hukuman

berdasarkan pasal 92 IPC.

11. China

Di China, eutanasia saat ini tidak diperkenankan secara hukum. Eutansia

diketahui terjadi pertama kalinya pada tahun 1986, dimana seorang yang bernama

"Wang Mingcheng" meminta seorang dokter untuk melakukan eutanasia terhadap

ibunya yang sakit. Akhirnya polisi menangkapnya juga si dokter yang

melaksanakan permintaannya, namun 6 tahun kemudian Pengadilan tertinggi

rakyat (Supreme People's Court) menyatakan mereka tidak bersalah. Pada

tahun 2003, Wang Mingcheng menderita penyakit kanker perut yang tidak ada

kemungkinan untuk disembuhkan lagi dan ia meminta untuk dilakukannya

eutanasia atas dirinya namun ditolak oleh rumah sakit yang merawatnya.

Akhirnya ia meninggal dunia dalam kesakitan.

12. Afrika Selatan

Di Afrika Selatan belum ada suatu aturan hukum yang secara tegas

mengatur tentang eutanasia sehingga sangat memungkinkan bagi para pelaku

eutanasia untuk berkelit dari jerat hukum yang ada.

31

Page 32: BAB 11

13. Korea

Belum ada suatu aturan hukum yang tegas yang mengatur tentang

eutanasia di Korea, namun telah ada sebuah preseden hukum (yurisprudensi)yang

di Korea dikenal dengan "Kasus rumah sakit Boramae" dimana dua orang dokter

yang didakwa mengizinkan dihentikannya penanganan medis pada seorang pasien

yang menderita sirosis hati (liver cirrhosis) atas desakan keluarganya. Polisi

kemudian menyerahkan berkas perkara tersebut kepada jaksa penuntut dengan

diberi catatan bahwa dokter tersebut seharusnya dinayatakan tidak bersalah.

Namun kasus ini tidak menunjukkan relevansi yang nyata dengan mercy killing

dalam arti kata eutanasia aktif.

Pada akhirnya pengadilan memutuskan bahwa " pada kasus tertentu dari

penghentian penanganan medis (hospital treatment) termasuk tindakan eutanasia

pasif, dapat diperkenankan apabila pasien terminal meminta penghentian dari

perawatan medis terhadap dirinya.

2.9 Motif-motif Terjadinya Euthanasia

Tindakan euthanasia dilakukan, karena penderitaan akibat penyakit yang sulit

disembuhkan. Pilihan untuk melakukan euthanasia diambil, setelah hasil perawatan

pasien tidak menunjukan jalan lain untuk menghilangkan penderitaanya, tindakan itu

sendiri tidak dilakukan serta merta atau secara sembarangan, melainkan sebagai

akibat dari beberapa sebab sebagai berikut :

1. Kondisi pasien

Kondisi ini dapat diklasifikasikan pada beberapa kondisi yakni :

a. Ketidakmampuan pasien untuk bertahan terhadap penderitaan, yakni

ketidakmampuan untuk mengatasi rasa sakit akibat penyakit berat, rasa sakit

yang luar biasa dan ketakutan terhadap cacat.

b. Kekhawatiran pasien terhadap beban ekonomi yang tinggi dari biaya

pengobatan karena untuk penyakit-penyakit yang sulit disembuhkan biaya

pengobatannya sangat tinggi, bahkan tidak terjangkau oleh kalangan

masyarakat bawah. Bila perawatan terus dibiarkan, maka biaya semakin berat

ditanggung oleh pihak keluarga, sementara harapan untuk sembuh atau hidup

pasien sangat tipis, bahkan tidak ada.32

Page 33: BAB 11

c. Ketakutan pasien terhadap derita menjelang kematian, karena beban derita

fisik dan psikologis sangat berat, sehingga ada kesan bahwa proses menuju

mati akan sangat sulit dan menyakitkan. Bila ini dibiarkan, maka diasumsikan

bisa terjadi gangguan jiwa pasien.

2. Situasi tenaga medis

Terjadinya tindakan euthanasia bisa juga didasari oleh situasi tenaga medis yaitu ;

a. Tenaga medis memandang proses pengobatan sudah tidak efektif, yakni sudah

melalui proses pengobatan dalam jangka waktu lama, tetapi kondisi pasien

belum menunjukan perubahan. Hal ini dilakukan dengan hati-hati untuk

menghindari mal praktek yang bisa dituduhkan kepada tenaga medis.

b. Perasaan kasihan terhadap penderitaan pasien, biasanya muncul dari pihak

keluarga, mengingat kondisi pasien yang sulit diobati, kondisinya akan sangat

menyedihkan dan mengingat pula penderitaan luar biasa yang akan dialami

oleh pasien dalam jangka waktu yang panjang.

c. Tenaga medis mengabulkan permintaan pasien atau keluarga untuk

menghentikan pengobatan, penghentian ini dilakukan karena tenaga medis

memiliki pandangan bahwa pihak keluarga sudah tidak bisa lagi bersabar atas

waktu pengobatan yang lama.

Berdasarkan sebab-sebab yang diuraikan diatas, kematian yang bersifat

sukarela ini tidak bisa dilakukan secara sembarangan, tetapi harus benar-benar

sebagai sebuah alternative final dan mendapat legalitas hukum yang ditempuh melalui

jalur peradilan. Bila pengadilan yang mengijinkan tindakan euthanasia, maka

tindakan pembunuhan ini menjadi legal dan mendapat legalitas secara hukum. Namun

perlu juga diteliti tentang latar belakang pengajuan permohonan, bisa jadi ada motif

kejahatan di balik permohonan euthanasia, misalnya sengketa warisan, dengan

maksud melancarkan maksud pemohon.

2.10 Euthanasia Dari Sudut Pandang Pasien dan Keluarganya

Keadaan sakit yang dialami seseorang terkadang membuat pasien mudah

putus asa dan berpikir bahwa jalan terbik adalah mengakhiri hidupnya. Seorang

pasien yang mengalami penderitaan akibat penyakit yang menimbulkan rasa sakit

33

Page 34: BAB 11

luar biasa berkepanjangan dengan solusi yang tidak ditemukan meski setelah

dilakukan berbagai macam pengobatan dan penelitian, membuat pasien tidak

berfokus pada jalan penyembuhan lagi namun berpendapat bahwa mengakhiri

hidupnya adalah jalan terbaik. Dalam beberapa kasus sang pasien juga

mempertimbangkan kesusahan yang dialami oleh keluargnya. Biaya yang

tentunya tidak sedikit dan penyakit yang tidak kunjung sembuh membuat pasien

semakin putus asa karena menganggap dirinya telah menyusahkan berbagai pihak.

Itulah beberapa alasan euthnasia dianggap menjadi jalan keluar terbaik yang bisa

ia lakukan dan permhonan untuk euthanasia pun ia ajukan.

Pasien terkadang sudah dalam keadaan koma dan tidak sada secara akut

dan permintaan untuk tindakan euthanasia itu sendiri merupakan permintaan

pihak keluarga. Beberapa keluarga mempunyai alasan tersendiri, misalkan sudah

tidak tahan melihat anggota keluarganya menahan sakit tak tertahankan walaupun

segala usaha penyembuhan telah dilakukan. Keluarga pun juga terpepet msalah

biaya yang tentuna semakin membengkak jika anggota keluarganya terus

terbaring dan dirawat di rumah sakit. Itulah aspek kemanusiaan dan ekonomi

yang mendorong keluarga pasien untuk mempertimbangkan jalan euthanasia.

34

Page 35: BAB 11

BAB 3

PENUTUP

3.1 Simpulan

Euthanasia berarti tindakan untuk meringankan kesakitan atau penderitaan

yang dialami oleh seseorang yang akan meninggal, juga berarti mempercepat

kematian seseoran yang berada dalam kesakitan dan penderitaan yang hebat

menjelang kematiannya.

Ditinjau dari cara perawatannya, euthanasia dibagi menjadi:

1. Euthanasia agresif atau aktif

2. Euthanasia non agresif

3. Euthanasi pasif

Ditinjau dari permintaan izinnya, euthanasia dibagi menjadi:

1. Euthanasia dilur kemampuan pasien

2. Euthanasia tidak sukarela

3. Euthanasia sukarela

Di setiap negara di dunia mempunyai hukum dan pandangan yang berbeda-

beda tentang Euthanasia. Ada negara yang memperbolehkan Euthanasia secara

gampang, dan ada negara yang membuat syarat-syarat tertentu untuk melakukan

Euthanasia. Di Indonesia sendiri Euthanasia masih menimbulkan pro dan kontra.

Dalam pandangan berbagai agama pun, menghilangkan nyawa seseorang

secara sengaja adalah perbuatan dosa, perbuatan yang melanggar.

Menurut pandangan agama islam perbuatan Euthanasia haram dilakukan.

Karena, mengakhiri hidup seseorang itu sama saja dengan pembunuhan. Dan Allah

swt melarang tindakan pembunuhan.

3.2 SaranSebaiknya kita sebagai perawat jangan sampai melakukan tindakan

Euthanasia. Kita harus berusaha maksimal untuk kesembuhan pasien. Selama masih

ada kemungkinan untuk sembuh dan masih ada jalan untuk sembuh diharapkan untuk

tidak melakukan tindakan Euthanasia.

35

Page 36: BAB 11

DAFTAR PUSTAKA

Karyadi, Petrus Yoyo. (2001). Euthanasia Dalam Perspektif Hak Azasi Manusia. Yogyakarta: Media Pressindo

Khasanah, Uswatun. (2006). Euthanasia Menurut Hukum Islam (Studi Pemikiran yusuf Qardawi). Yogyakarta: Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga

Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004.

Anny Isfandyarie, Fachrizal Afandi, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter Buku ke II, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2006

Abd Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Al-Dar Al-Kuwaitiyyah, cet.VIII.1986.

Abd Qodir Audah, As Tasyri’ Al Jinairy Al Islamy, Jilid 1 Beirut Dar Al Kitab Al Arabiyu.

Fauzi Aseri, Akhmad. 2002. Problematika Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Yusuf Qardhawi, M. 2007. Halal dan Haram Dalam Islam. Surabaya: PT. Bina.

36

Page 37: BAB 11

37