Top Banner
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1. PERMASALAHAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Konteks Global Dewasa Ini Masa sekarang ini akrab dikenal sebagai masa postmodern. Kalau kita artikan secara harfiah maka masa postmodern adalah masa setelah era modern. Namun yang umum dimengerti mengenai masa postmodernitas adalah suatu reaksi terhadap modernitas dan segala dampaknya. Ada yang memahami reaksi tersebut sebagai evaluasi, namun ada pula yang memaknainya sebagai perlawanan terhadap modernitas. Satu Hal yang pasti bahwa postmodern bukan berarti telah berlalunya modernitas. Justru sebaliknya, modernitas dan segala cirinya seperti : rasionalitas, kebebasan individu, demokrasi, pembangunan, globalisasi, superioritas negara Barat atas negara dunia ketiga dan sebagainya masih ada dan menjadi pilihan hidup hampir setiap orang di belahan bumi ini. Kembali ke hal postmodern, penulis akan mengutip defenisi yang dipakai oleh I. Bambang Sugiharto. Menurut Sugiharto, masa postmodern bisa diartikan sebagai ketidakpercayaan terhadap segala bentuk narasi besar; penolakan filsafat metafisis, filsafat sejarah dan segala bentuk pikiran yang mentotalisasi seperti Hegelianisme, Liberalisme, Marxisme atau apapun. Di samping menolak pemikiran yang totaliter, postmodernisme juga menghaluskan kepekaan kita terhadap perbedaan dan memperkuat kemampuan toleransi kita terhadap kenyataan yang tak terukur 1 . 1 Sugiharto I. Bambang, Postmodernisme, Tantangan Bagi Filsafat, Yogyakarta, Kanisius, 1996, hal. 28.
24

BAB 1 PENDAHULUAN - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030171/c327...Salah satu contoh konsep tersebut adalah ‘pembangunan’. ... makhluk-makhluk

Mar 08, 2019

Download

Documents

ngophuc
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: BAB 1 PENDAHULUAN - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030171/c327...Salah satu contoh konsep tersebut adalah ‘pembangunan’. ... makhluk-makhluk

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1. PERMASALAHAN

1.1. Latar Belakang Permasalahan

Konteks Global Dewasa Ini

Masa sekarang ini akrab dikenal sebagai masa postmodern. Kalau kita artikan

secara harfiah maka masa postmodern adalah masa setelah era modern. Namun yang

umum dimengerti mengenai masa postmodernitas adalah suatu reaksi terhadap

modernitas dan segala dampaknya. Ada yang memahami reaksi tersebut sebagai

evaluasi, namun ada pula yang memaknainya sebagai perlawanan terhadap

modernitas. Satu Hal yang pasti bahwa postmodern bukan berarti telah berlalunya

modernitas. Justru sebaliknya, modernitas dan segala cirinya seperti : rasionalitas,

kebebasan individu, demokrasi, pembangunan, globalisasi, superioritas negara Barat

atas negara dunia ketiga dan sebagainya masih ada dan menjadi pilihan hidup hampir

setiap orang di belahan bumi ini.

Kembali ke hal postmodern, penulis akan mengutip defenisi yang dipakai oleh

I. Bambang Sugiharto. Menurut Sugiharto, masa postmodern bisa diartikan sebagai

ketidakpercayaan terhadap segala bentuk narasi besar; penolakan filsafat metafisis,

filsafat sejarah dan segala bentuk pikiran yang mentotalisasi seperti Hegelianisme,

Liberalisme, Marxisme atau apapun. Di samping menolak pemikiran yang totaliter,

postmodernisme juga menghaluskan kepekaan kita terhadap perbedaan dan

memperkuat kemampuan toleransi kita terhadap kenyataan yang tak terukur1.

1 Sugiharto I. Bambang, Postmodernisme, Tantangan Bagi Filsafat, Yogyakarta, Kanisius, 1996, hal. 28.

Page 2: BAB 1 PENDAHULUAN - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030171/c327...Salah satu contoh konsep tersebut adalah ‘pembangunan’. ... makhluk-makhluk

2

Melengkapi defenisi di atas, postmodern ditandai dengan gejala

postmodernitas. Menurut Daniel J. Adams2, gejala tersebut antara lain: pertama,

penolakan terhadap superioritas dunia Barat atas budaya-budaya setempat di seluruh

belahan dunia. Dengan kata lain, budaya Barat hanyalah salah satu jenis budaya di

muka bumi ini yang sama dan sejajar dengan budaya lainnya. Kedua,

dipertanyakannya seluruh konsep-konsep yang pada zaman modern memiliki otoritas

yang tidak terbantahkan. Salah satu contoh konsep tersebut adalah ‘pembangunan’.

Pada masa ini kata ‘pembangunan’ bukan lagi otomatis positif mengingat dampak

negatif yang ditimbulkannya seperti kemiskinan dan kerusakan lingkungan hidup

yang sangat parah3. Ketiga, masa postmodern juga ditandai dengan bebasnya budaya,

agama dan seluruh sumber informasi dari kontrol kaum intelektual dan elit politik.

Sehingga saat ini tidak ada lagi pengekangan-pengekangan seperti halnya orangtua

tidak lagi mengekang anaknya, guru tidak mengekang muridnya atau bahkan pendeta

tidak lagi mengekang jemaatnya. Keempat, masa postmodern ditandai dengan upaya

dekonstruksi terhadap seluruh wacana. Saat ini tidak ada lagi kebenaran yang mutlak

benar dan obyektif. Sebagai gantinya, seluruh wacana terbuka untuk ditafsirkan.

Menurut Adams, keempat karakteristik di atas memunculkan empat

konsekuensi pula pada bidang teologi yaitu : bergesernya epistemologi teologi dari

dominasi deduktif menjadi induktif, di mana tiap konteks menjadi sangat berharga

dan unik. Kedua, ditolaknya kebebasan mutlak manusia sebagai individu. Manusia

harus dipahami sebagai bagian dari kelompok sosial yang lebih besar dan juga bagian 2 Adams Daniel J., Doing Theology In Postmodern Times, Hanil University Press, Korea, 2006, p. 14-20 3 Selain kata ‘pembangunan’, Adams juga menyebutkan kata ‘rasio’ sebagai nilai yang tidak boleh dimutlakkan lagi. Menurut Adams, rasio bukan lagi satu-satunya nilai yang dipakai dalam mengambil suatu keputusan. Di samping rasio, unsur perasaan atau emosi seseorang harus turut berperan. Berdasarkan hal ini jugalah, Adams mengajak gereja-gereja reformed (yang menurutnya identik dengan modernitas) untuk tidak lagi mengutamakan rasio dalam memahami Alkitab dan sejarah, melainkan harus mulai mempertimbangkan unsur ikon dan menyeimbangkan keduanya. Dengan kata lain Adams hendak menekankan bahwa unsur rasio harus diseimbangkan dengan unsur spiritual. Band. Adams, Ibid, p. 67.

Page 3: BAB 1 PENDAHULUAN - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030171/c327...Salah satu contoh konsep tersebut adalah ‘pembangunan’. ... makhluk-makhluk

3

dari sistem budaya, ekonomi, agama dan sebagainya. Ketiga, teologi lebih

menekankan pada praksis yang terkait dengan konteks daripada teori dan dogma.

Keempat adalah munculnya penolakan yang sangat kuat terhadap dominasi pemikiran

teologi Barat atas pemikiran teologi lokal. Dengan kata lain, teologi lokal yang sadar

akan konteks dan berdialog dengan konteks diakui sebagai cara berteologi yang lebih

tepat dan bijaksana4.

Seluruh pemikiran ini sesungguhnya muncul sebagai tanggapan atas masalah

modernitas yang berdampak buruk kepada manusia dan seluruh ciptaan. Modernitas

yang merupakan produk pencerahan dunia Barat telah menjadikan manusia sebagai

makhluk-makhluk individu yang bersaing untuk keuntungan pribadi tanpa peduli

pada bencana yang diakibatkannya bagi dunia. Di Indonesia, dampak dari modernitas

telah membawa negara ini pada titik kemiskinan yang sangat parah, kerusakan

lingkungan hidup, konflik agama yang berkepanjangan dan penderitaan yang

semakin berat terutama bagi kaum marginal5.

Itulah sebabnya, Adams berpendapat bahwa dalam berteologi, terutama dalam

konteks Asia, bukan lagi dogma yang paling penting melainkan tindakan etis.

Sependapat dengan Adams, Emanuel Gerrit Singgih mengatakan bahwa tindakan etis

yang dibutuhkan saat ini adalah tindakan etis yang didasari atas kesadaran global dan

yang memberi penekanan pada sisi kemanusiaan (humaneness)6. Instansi-instansi

keagamaanpun diharapkan memberikan perhatian yang besar terhadap sisi

kemanusiaan ini di samping hal-hal yang bersifat ritus. Di sini dapat kita pahami

bahwa kedua tokoh di atas berusaha menyadarkan para pemeluk agama di Asia agar

4 Ibid, p. 21-23 5 Singgih Emanuel Gerrit Pdt. Ph.D. Mengantisipasi Masa Depan, Berteologi Dalam Konteks di Awal Milenium III, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2004, hal. 56-73 6 Singgih Emanuel Gerrit, Ibid hal. 17

Page 4: BAB 1 PENDAHULUAN - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030171/c327...Salah satu contoh konsep tersebut adalah ‘pembangunan’. ... makhluk-makhluk

4

berhenti untuk sekedar berwacana dan mulai melakukan tindakan kemanusiaan

kepada korban-korban modernitas, terutama penderita kemiskinan yang sangat parah.

Singgih mencontohkan bahwa di Indonesia, 450 anak kecil meninggal dunia

setiap hari akibat menderita kelaparan. Apa tindakan orang Kristen Indonesia

terhadap permasalahan ini? Bukankah tugas setiap orang Kristen, baik di zaman

pramodern, modern dan postmodern adalah membuat kehadiran Allah benar-benar

dapat dilihat (menjadi terang) dan dirasakan (menjadi garam) oleh orang-orang yang

sedang mengalami penderitaan? Untuk itu, gereja harus mulai memikirkan makna

keberadaannya dalam situasi yang demikian. Apakah gereja masih teguh pada

pendirian bahwa tanda keberadaan gereja cukup pada 3 hal saja yaitu : adanya

pemberitaan Firman, dilakukannya sakramen (baptisan kudus dan perjamuan kudus)

dan diberlakukannya siasat gereja?7

Dalam bukunya, ‘Do we need the church?8’, Richard P. McBrien mengatakan

bahwa gereja tidak bermakna apabila gereja memahami dirinya sebagai ‘Kerajaan

Allah pada dirinya sendiri’ dan ‘keselamatan’ hanya didapat apabila seseorang

menjadi anggota dari gereja tersebut. McBrien mengistilahkan cara bergereja seperti

ini dengan istilah ‘Ptolemaic Church’ dan juga ‘Pre-Einstein Church’ yang

memandang gereja sebagai pusat dari dunia ini. Sebaliknya, dia menyarankan agar

gereja memahami dirinya sebagai ‘tanda’ dari kerajaan Allah (bukan kerajaan Allah

itu sendiri). Sebagai tanda, para anggotanya harus berusaha menghadirkan dan

memperkenalkan Allah kepada orang-orang di sekitar tanda tersebut. Dengan

demikian, menjadi anggota gereja berarti harus ‘bekerja’. Bekerja dengan orang lain

dalam 3 wujud aktifitas yaitu : diakonia, koinonia dan marturia.

7 The Book of Concord, The Confessions of the Evangelical Lutheran Church, Tappert G. Theodore (Ed), dalam bahasa Indonesia berjudul, Buku Konkord, Konfesi Gereja Lutheran, Jakarta, BPK. Gunung Mulia, 2004, hal. 40. 8 McBrien P. Richard, Do We Need The Church, London, Collin Clear-Type Press, 1969, p.228-230.

Page 5: BAB 1 PENDAHULUAN - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030171/c327...Salah satu contoh konsep tersebut adalah ‘pembangunan’. ... makhluk-makhluk

5

Khusus untuk konteks Indonesia, sebegitu parahnya kemiskinan yang melanda

sehingga dari ketiga tugas panggilan gereja tersebut, maka diakonialah yang harus

didahulukan. Gereja di Indonesia mutlak harus berdiakonia, bukan hanya kepada

sesama anggota jemaat melainkan juga berdiakonia kepada orang lain yang bukan

anggota jemaat. Gerrit Singgih bahkan menyimpulkan bahwa bermisi di Indonesia

tidak lain adalah berdiakoni9. Sedangkan lebih jauh Banawiratma memperjelas bahwa

untuk konteks Indonesia, tidak lagi cukup hanya melakukan diakonia secara karitatif

dan reformatif, melainkan harus berjuang sampai pada taraf transformatif. Gereja

harus memberdayakan masyarakat miskin untuk menyadari kemiskinannya dan

berusaha keluar dari keadaan tersebut10.

Dari penjelasan di atas kita memang mendapatkan kesan bahwa gereja di

Indonesia lebih menekankan pada salah satu tri tugas panggilan gereja saja yaitu

diakonia (pelayanan ke dalam dan keluar jemaat) dan melupakan dua tugas yang lain

yaitu koinonia (persekutuan jemaat) dan marturia (kesaksian). Namun sesungguhnya

bukanlah demikian. Gereja tidak dapat menjalankan fungsi diakonia dan

meninggalkan koinonia dan marturia, sebab sesungguhnya diakonia tanpa koinonia

dan marturia bukanlah diakonia yang Alkitabiah. Pelayanan harus selalu identik

dengan persekutuan dan kesaksian. Melalui kesaksian, pelayanan kepada orang

miskin dikumandangkan dan melalui pelayanan, persekutuan diteguhkan.

Noordegraaf menyebutnya dengan istilah ‘persekutuan diakonal’ dan ‘diakonal

sebagai kesaksian’.11

9 Singgih E. Gerrit, Doing Theology In Indonesia, Sketches For An Indonesian Contextual Theology, Philippines, ATESEA, 2003, p. 129 10 Banawiratma J.B., 10 Agenda Pastoral Transformatif Menuju Pemberdayaan Kaum Miskin Dengan Perspektif Adil Gender, HAM dan Lingkungan Hidup, Kanisius, Jogjakarta, 2002, hal. 15. 11 Noordegraaf A. Dr., Orientasi Diakonia Gereja, Teologi Dalam Perspektif Reformasi, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2004, hal. 58-74.

Page 6: BAB 1 PENDAHULUAN - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030171/c327...Salah satu contoh konsep tersebut adalah ‘pembangunan’. ... makhluk-makhluk

6

Jelaslah bahwa dalam konteks Indonesia, permasalahan utama yang dihadapi

oleh gereja adalah kemiskinan dan penderitaan yang cukup parah yang diakibatkan

oleh ekonomi kapitalis. Hal ini diperburuk lagi dengan rusaknya lingkungan hidup

akibat dari proyek-proyek pembangunan yang menguntungkan segelintir orang kaya

saja. Dalam keadaan seperti ini, gereja sangat tidak etis apabila hanya memikirkan

diri sendiri dan organisasinya. Gereja yang manusiawi adalah gereja yang

memikirkan kualitas anggotanya lebih dari pada kuantitas anggotanya. Dengan

demikian, konsep pembangunan jemaat dalam konteks Indonesia tidak terutama

difokuskan pada koinonia. Untuk konteks Indonesia, fokus gereja adalah pada

diakonia (di mana jemaat dimampukan untuk melayani dan mengatasi kemiskinan

melalui koinonia dan marturianya).

Setelah berbicara mengenai tugas gereja sebagai tanda kerajaan Allah melalui

3 tugas panggilannya, maka pembicaraan bergeser pada pertanyaan ‘bagaimana cara

yang paling efektif dan efisien dalam mewujudkan 3 tugas panggilan tersebut?

Menurut Gerald A. Arbuckle, gereja harus memiliki visi dan misi yang jelas tentang

apa yang mau dituju dan dikerjakan. Dan yang paling penting, visi dan misi itu harus

terus-menerus dikomunikasikan kepada seluruh anggota agar benar-benar menyatu

dengan kehidupan mereka. Dengan demikian, Arbuckle sampai pada kesimpulan,

gereja sebagai sebuah ‘persekutuan besar’ tidak akan bisa efektif dan efisien

mengkomunikasikan visi dan misi kepada angotanya. Gereja harus dipecah menjadi

kelompok-kelompok kecil agar proses pengkomunikasian visi dan misi dapat berjalan

dengan lancar12.

Pertanyaannya kemudian adalah, mengapa harus ada pengkomunikasian visi

dan misi? Mungkin anggota-anggota gereja di Indonesia juga akan sedikit heran

12 Arbuckle A. Gerald, Refounding The Church, Dissent for leadership, London, Geoffrey Chapman, 1993, p. 101-102.

Page 7: BAB 1 PENDAHULUAN - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030171/c327...Salah satu contoh konsep tersebut adalah ‘pembangunan’. ... makhluk-makhluk

7

dengan hal ini sebab sebahagian besar anggota gereja di Indonesia sesungguhnya

tidak tahu apa visi dan misi gerejanya dan merasa tidak perlu tahu. Mungkin mereka

mengira bahwa urusan visi dan misi adalah urusan para pejabat ataupun pelayan

tahbisan di gereja. Dengan demikian mereka juga mungkin mengira bahwa urusan

pelayanan juga adalah urusan para pengurus di gereja. Tugas mereka sebagai jemaat

yang baik adalah hanya akan mengikuti secara sambil lalu saja program-program

pelayanan yang sudah mereka rencanakan.

Pandangan inilah yang mau ditentang oleh Arbuckle. Dia mengatakan bahwa

tugas pelayanan harus diambil alih oleh seluruh anggota jemaat. Beliau mengutip

cerita Alkitab mengenai Musa yang merasa putus asa dengan orang Israel. Kemudian

mertuanya, Jethro menasehatinya dengan berkata bahwa Musa hanya akan kelelahan

dengan pekerjaan berat yang dia tanggung. Bukan hanya Musa yang kelelahan,

melainkan umat Israel yang bersama dengan dia juga akan kelelahan (Kel. 18:18).

Jethro kemudian menyarankan Musa untuk tidak bekerja sendiri dan mencoba

mengangkat orang-orang yang akan membantunya bekerja.

Dengan demikian, Arbuckle menekankan bahwa pekerjaan pelayanan bukan

lagi milik satu dua orang saja. Sebab jemaat justru akan merasa kelelahan bila hanya

mengikuti pelayan mereka yang kelelahan karena bekerja sendiri. Agar jemaat juga

merasa bahagia, mereka harus dilibatkan untuk melakukan diakonia. Tugas pejabat

gereja adalah memampukan jemaat untuk itu. Sehingga tugas pelayanan pejabat

gereja pada masa global ini tidak lagi hanya mengawasi dan menggembalakan,

melainkan yang lebih utama adalah memimpin dengan kepemimpinan (leadership)

yang tepat (memiliki visi dan misi, strategi dan kemampuan yang sesuai dengan

tugasnya)13.

13 Arbuckle A. Gerald, Op. Cit, p. 101-104

Page 8: BAB 1 PENDAHULUAN - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030171/c327...Salah satu contoh konsep tersebut adalah ‘pembangunan’. ... makhluk-makhluk

8

Penyusun beranggapan, mungkin ini jugalah ide dasar yang mengawali

tindakan-tindakan pembentukan kelompok-kelompok kecil oleh gereja di berbagai

belahan bumi ini. Kita tahu bahwa di Brazil muncul komunitas-komunitas basis yang

akrab disebut dengan Basic Christian Communities (BCC). Sedangkan di Afrika

bermunculan komunitas yang disebut Small Christian Communities (SCC). Dalam

konteks Asia dan juga Indonesia juga muncul seruan-seruan untuk menghidupkan

komunitas-komunitas kecil ini. Tentunya dengan kesadaran akan konteks Asia dan

Indonesia, komunitas itu tidak sepenuhnya sama dengan yang ada di Afrika dan di

Amerika Latin.

Banawiratma misalnya mengusulkan 3 jenis komunitas basis yang harus

dilakoni oleh warga gereja di Indonesia yaitu : komunitas basis gerejawi (dari dan di

dalam gereja tertentu), komunitas basis Kristiani yang ekumenis yang berdasarkan

Kristus dan komunitas basis antar-iman. Hal ini terutama didasari oleh kesadaran

bahwa orang-orang Kristen di Indonesia merupakan golongan minoritas dan dengan

demikian harus berinteraksi dengan umat beragama lain dalam upaya menjawab

masalah-masalah sosialnya.14 Gerrit Singgih juga mengusulkan dibentuknya

komunitas yang setara dengan BCC dan SCC di Asia. Usulan beliau hampir senada

dengan usulan Banawiratma yang memperhatikan konteks pluralitas beragama.

Singgih mengatakan bahwa orang-orang Kristen di Asia Tenggara harus bekerja sama

dengan saudara-saudara dari agama yang berbeda untuk membangun Komunitas

Basis Manusiawi atau Basic Human Communities (BHC)15.

14 Banawiratma, 2002, Op Cit, hal. 11 15 Singgih E. Gerrit, 2003, Op. Cit, p. 133.

Page 9: BAB 1 PENDAHULUAN - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030171/c327...Salah satu contoh konsep tersebut adalah ‘pembangunan’. ... makhluk-makhluk

9

HKBP Sebagai Bagian Dari Konteks

HKBP (Huria Kristen Batak Protestan, selanjutnya peny. akan memakai

singkatan untuk menyebut gereja ini) sebagai salah satu gereja arus utama di

Indonesia, sudah sejak awalnya memiliki kelompok-kelompok kecil yang menjadi

basis terkecil dari gereja. Kelompok kecil tersebut sering dinamakan wijk atau

kring16. Wijk dalam konteks HKBP adalah bagian terkecil dari persekutuan jemaat

yang terdiri dari beberapa keluarga yang dikelompokkan berdasarkan teritorial tempat

tinggal mereka. Sehingga wijk adalah persekutuan beberapa keluarga HKBP dalam

satu teritorial tertentu yang dipimpin oleh satu atau lebih sintua. Sehingga pelayanan

sintua di HKBP sesungguhnya lebih terkait pada pelayanan di wijk daripada

pelayanan administrasi dan pelayanan altar di gereja.

Apabila dikaitkan dengan penjelasan atas konteks global dan konteks

Indonesia di atas, maka wijklah yang akan menjadi tulang punggung HKBP dalam

upaya menghadirkan kerajaan Allah di dunia ini sebab wijklah yang memenuhi syarat

sebagai kelompok yang paling efisien dan efektif untuk tujuan tersebut17. Dengan

demikian, seorang sintua di HKBP memiliki tugas tambahan tetapi sangat urgen yaitu

tugas kepemimpinan. Sintua HKBP dituntut untuk memampukan jemaatnya (yang

terdiri dari beberapa KK) untuk melakukan diakonia. Seorang sintua yang

16 HKBP adalah gereja yang berpusat di Pearaja, Tarutung yang mayoritas pemeluknya adalah suku Batak Toba. Wilayah pelayanan terbesar HKBP adalah sinode HKBP itu sendiri yang terdiri dari sekitar 27 distrik. Sedangkan berturut-turut kemudian ke yang paling kecil adalah distrik yang diketuai oleh praeses. Distrik terdiri dari beberapa resort yang diketuai oleh pendeta resort. Resort terdiri dari beberapa jemaat lokal yang dipimpin oleh seorang pendeta atau guru jemaat. Sedangkan jemaat lokal terdiri dari beberapa wijk (gabungan dari beberapa rumahtangga di satu teritori yang relatif kecil di mana seluruh anggotanya dimungkinkan untuk saling mengenal dan saling mengunjungi) yang dipimpin oleh satu atau lebih sintua. 17 Menurut A. Margana, ada beberapa kondisi yang membuat komunitas basis menjadi sangat kondusif. Kondisi tersebut adalah persekutuan umat yang relatif kecil, saling mengenal, tinggal berdekatan atau memiliki kepentingan bersama dan secara berkala mengadakan pertemuan untuk berdoa, membaca dan mengadakan sharing Alkitab. Band. Margana A., Komunitas Basis, Gerak Menggereja Kontekstual, Jogjakarta, Kanisius, 2004, hal. 12. Kondisi ini sangat pas dengan konsep wijk yang ada di HKBP. Mungkin hanya satu kondisi yang penyusun ragukan ada di wijk yaitu kesadaran anggota tentang kepentingan bersama atau kesadaran tentang hakekat keberadaan mereka sebagai satu wijk.

Page 10: BAB 1 PENDAHULUAN - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030171/c327...Salah satu contoh konsep tersebut adalah ‘pembangunan’. ... makhluk-makhluk

10

notabenenya adalah pelayan dari kaum awam ternyata memiliki tugas yang sangat

berat sekaligus mulia yaitu : tugas kepemimpinan. Apakah sintua di HKBP menyadari

dan melaksanakannya? Inilah keprihatinan yang akan penyusun jadikan sebagai

bahasan dalam tulisan ini.

Secara detail tugas sintua yang ada di tata ibadah pengangkatan mereka yang

dibacakan saat menahbiskan sintua adalah :

1. Mengamat-amati anggota jemaat yang dipercayakan kepada mereka dan

meneliti perilakunya. Apabila mengetahui seseorang tidak berperangai yang

baik, dia harus ditegor dan diberitahukan kepada pendeta untuk dinasehati.

2. Mengajak anggota jemaat untuk datang beribadah dan meneliti alasan-alasan

orang-orang yang tidak mengikutinya.

3. Mengajak para anak remaja untuk rajin bersekolah.

4. Mengunjungi orang sakit dan memberi bantuan sesuai dengan

kemampuannya, namun yang terpenting adalah mengingatkan mereka akan

Firman Allah dan mendoakannya.

5. Menghibur orang yang berdukacita, merawat orang yang susah dan orang

miskin.

6. Membimbing penyembah berhala, orang sesat, supaya turut serta memperoleh

hidup dalam Yesus Kristus.

7. Membantu pengumpulan dana dan tugas pelayanan Kerajaan Allah.

8. Sebagai imam dalam ibadah minggu dan ibadah persekutuan rumahtangga di

HKBP.

9. Sebagai pengambil keputusan di tingkat jemaat bersama dengan para pelayan

tahbisan lainnya18.

18 Berdasarkan Tata Ibadah HKBP untuk penahbisan Sintua.

Page 11: BAB 1 PENDAHULUAN - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030171/c327...Salah satu contoh konsep tersebut adalah ‘pembangunan’. ... makhluk-makhluk

11

Dari tugas di atas, kita tidak melihat fungsi kepemimpinan dalam tugas sintua

(yaitu memampukan jemaat untuk berdiakonia). Tugas tersebut diwarnai oleh tugas-

tugas yang bersifat pengawasan dan penggembalaan. Padahal di sisi lain, dengan

tugas yang demikian sajapun seorang sintua di HKBP sudah sangat berat. Walaupun

sintua bukan pelayan fulltime, namun kualitas tugas yang diemban oleh seorang

sintua menuntut mereka untuk bekerja seperti halnya seorang pelayan fulltime. Di

zaman sekarang ini, di mana pengaruh modernitas begitu kuatnya melanda setiap

individu terutama di daerah perkotaan, sangat jarang seseorang memiliki waktu untuk

melakukan tugas-tugas pelayanan yang tentunya tidak mendatangkan keuntungan

material. Secara khusus pada diri seorang sintua Batak yang nilai hidup ke-Batak-an

nya sangat dekat dengan budaya modernitas, maka seakan-akan ada dua nilai yang

bertentangan yang tidak mungkin didamaikan yang berpotensi menghambat

pelayanannya. Untuk itu penyusun akan membahas sekilas tentang nilai hidup orang

Batak.

Penjelasan Singkat Mengenai Nilai Hidup Orang Batak Toba.

Bebicara tentang orang Batak tidak pernah lepas dari dua hal, yaitu : adat dan

agamanya. Mayoritas orang Batak Toba identik sebagai penganut dan pelaksana adat

Batak yang kuat tetapi juga sekaligus sebagai penganut agama Kristen yang taat.

Dalam pembahasannya mengenai teori Richard Niebuhr (Christ and Culture), Gerrit

Singgih mengkategorikan HKBP (sebagai gereja yang anggotanya adalah orang

Batak Toba) sebagai gereja yang dualistik. Artinya, orang Kristen Batak adalah warga

masyarakat sekaligus warga kerajaan Allah. Tetapi di antara kerajaan Allah dan

masyarakat tidak ada sangkutpaut apapun. Menurut Gerrit lagi, nilai-nilai yang

berhubungan dengan wilayah-wilayah ini masing-masing tidak pernah dapat

Page 12: BAB 1 PENDAHULUAN - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030171/c327...Salah satu contoh konsep tersebut adalah ‘pembangunan’. ... makhluk-makhluk

12

dibayangkan berhubungan satu dengan yang lain19. Untuk itu, dalam pembahasan

mengenai sintua sangat penting bagi kita untuk melihat nilai adat yang hidup dalam

diri para sintua di HKBP.

Nilai hidup orang Batak yang paling menonjol ada tiga yaitu : Hagabeon

(memiliki anak laki-laki dan perempuan dan memiliki cucu dari anak laki-laki dan

perempuan), Hamoraon (kaya raya) dan Hasangapon (kekuasaan)20. Ketiga nilai

inilah yang menjadi tujuan hidup setiap orang Batak. Ketiganya dianggap sebagai

yang bernilai, luhur, berharga dan mulia sehingga pantas untuk diperjuangkan dan

digapai. Itu sebabnya ketiga nilai ini sudah sangat berakar dalam diri setiap orang

Batak, baik yang masih tinggal di kampung halaman maupun bagi mereka yang sudah

hidup di perantauan.

Menurut Pdt. Dr. Andar Lumbantobing, pada prinsipnya ketiga nilai hidup ini

memiliki tujuan yang sangat positif yaitu untuk kepentingan hidup bersosialisasi.

Orang Batak adalah suku yang suka besosialisasi karena orang Batak percaya mereka

berasal dari satu nenek moyang yaitu : Si Raja Batak21. Oleh sebab itu orang Batak

sangat suka menerima tamu karena tamu adalah saudara dan tamu yang banyak akan

menaikkan sahala22 orang Batak. Gelar yang diberikan kepada orang yang suka

menerima tamu adalah paramak na so balunon (orang yang tikarnya tidak pernah

digulung karena selalu menerima tamu) dan partataring na so mahiang (orang yang

19 Singgih, Emanuel Gerrit Pdt. Ph.D., Membangun Sebuah Teologi Budaya Pasca Niebuhr Di Dalam Era Reformasi, dalam Jurnal Teologi Gema Duta Wacana, Edisi 54 tahun 1998, hal. 42-43 20 Harahap, Basyral H. dan Siahaan, Hotman, Orientasi Nilai-Nilai Budaya Batak Toba, Suatu Pendekatan Terhadap Perilaku Batak Toba dan Mandailing, Sanggar Willem Iskandar, Jakarta, 1987, hal. 181 21 Lumbantobing, Andar Pdt. Dr., Makna Wibawa Jabatan Dalam Gereja Batak, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1996, hal. 29 22 Menurut Lance Castles, sahala adalah kualitas tertentu dari tondi (jiwa) seseorang. Lihat: Castles, Lance Tapanuli, Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatera (1915-1940), Kepustakaan Populer Gramedia, 2001, hal. 10. Andar Lumbantobing memberikan contoh konkret dari sahala. Menurut beliau sahala mencakup : kewibawaan, kekayaan harta bendadan keturunan, keberanian, kegagahan, kecerdasan, kecerdikan, kemahiran berbicara, keluhuran budi, rasa keadilan, kesaktian dalam ilmu gaib, wawasan yang luas dan lain sebagainya. Lih. Andar Lumbantobing, Op Cit, hal. 21

Page 13: BAB 1 PENDAHULUAN - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030171/c327...Salah satu contoh konsep tersebut adalah ‘pembangunan’. ... makhluk-makhluk

13

periuknya tidak pernah kering karena selalu dipakai memasak untuk tamu)23. Setiap

orang Batak sangat senang menerima gelar tersebut.

Namun dalam pandangan Bungaran Anthonius Simanjuntak, tidak semua nilai

ideal berlaku sejalan dengan apa yang dipraktekkan di kenyataan. Mengutip

pandangan Ogburn (1950) tentang teori Cultural lag, Simanjuntak menjelaskan

bahwa secara ideal nilai-nilai yang terkandung di dalam kebudayaan tampak indah

mengesankan dan mengandung pengharapan. Namun dalam

pengoperasionalisasiannya, ada kesan bahwa pendukung kebudayaan kurang dan

tidak setia pada nilai luhur tersebut. Kesetiaan hanya terungkap pada pengakuan oral,

tetapi dalam perwujudannya cenderung terjadi pengingkaran, sehingga terjadi

perbedaan antara perbuatan dan keinginan, kenyataan dan idealisme (das Sein dan das

Sollen)24.

Dalam penelitiannya tentang praktek adat Batak dalam kehidupan orang Batak

Toba sehari-hari, Simanjuntak berpendapat bahwa telah terjadi pergeseran

pelaksanaan nilai hidup (hamoraon, hagabeon dan hasangapon) dari yang positif

tradisional berubah ke arah modern. Nilai hidup tersebut tetap diperjuangkan (dan

kecenderungannya semakin kuat diperjuangkan) tetapi tujuannya adalah untuk

kepentingan individu. Hal ini dibuktikan oleh Simanjuntak dengan menunjukkan sifat

tradisional yang sesungguhnya sangat menonjol dalam diri orang Batak bahkan

sebelum datangnya agama Kristen yaitu : late (cemburu), elat (dengki). Sifat late dan

elat diejawantahkan ke dalam bentuk toal (suka bersaing) dan teal (suka pamer).

Bahkan, menurut Simanjuntak, orang Batak telah terbiasa menjalani

ketegangan antara status dan role (peranan) dalam diri mereka. Dari segi status, orang

23 Andar Lumbantobing, Op Cit hal. 29. 24 Simanjuntak, B. Anthonius, Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba, Yogyakarta, Jendela, 2002, hal. 157.

Page 14: BAB 1 PENDAHULUAN - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030171/c327...Salah satu contoh konsep tersebut adalah ‘pembangunan’. ... makhluk-makhluk

14

Batak dikenal sebagai orang Kristen dan orang Batak yang berjiwa sosial, namun

peranan yang sesungguhnya dimainkan adalah orang Batak yang memuja kekayaan

dan kekuasaan untuk kepentingan diri sendiri25. Ketegangan ini semakin menjadi-jadi

akibat pengaruh modernisasi.

Kesan yang penyusun dapatkan setelah membaca kesimpulan Simanjuntak

adalah, orang Batak di HKBP tidak lagi bersifat dualistik seperti yang diperkirakan

Gerrit di awal tadi. Penyusun berpendapat bahwa HKBP jadi cenderung bersikap

sintetik (seperti halnya orang Katolik). Namun kebalikan dari penjelasan Gerrit,

dalam HKBP bukan iman yang mengatasi adat tetapi adat yang mengatasi iman. Iman

akan dijalankan sepanjang hal itu tidak menghambat pada usaha mencapai kekayaan

dan kekuasaan.

Kesimpulan sementara ini penyusun ambil berdasarkan penelitian

Simanjuntak tentang pengaruh hamoraon, hasangapon dan hagabeon dalam praktek

bergereja di HKBP yang sarat dengan warna teal, elat, toal dan late. Nilai hidup

tersebut telah berperan kuat dalam melahirkan konflik-konflik dan perpecahan-

perpecahan yang terjadi di HKBP selama ini26. Sehubungan dengan nilai hamoraon,

para pelayan di HKBP telah cenderung lebih mengutamakan unsur kekayaan daripada

unsur pelayanan. Dan dalam hubungannya dengan hasangapon, pelayanan di HKBP

(dari mulai tingkat paling atas sampai pada sintua) lebih dipahami sebagai jabatan

daripada fungsi pelayanan.

Dari penjelasan di atas, maka tidak heran apabila muncul kesan terhadap para

pelayan di HKBP yang cenderung bersifat sebagai penguasa daripada pelayan dan

cenderung mengekang daripada mengarahkan/menggairahkan jemaat. Apabila

berhubungan dengan jabatan (juga dalam pelayanan) di gereja, para pelayan bisa

25 Simanjuntak, B.A. Op Cit hal. 158 26 Simanjuntak, B.A. Ibid hal. 429-438

Page 15: BAB 1 PENDAHULUAN - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030171/c327...Salah satu contoh konsep tersebut adalah ‘pembangunan’. ... makhluk-makhluk

15

menjadi sangat tradisional dalam arti kaku terhadap gagasan-gagasan baru dan lebih

suka mempertahankan nilai-nilai lama demi menegaskan kekuasaannya27.

1.2. Rumusan Permasalahan.

Dari pembahasan di atas jelaslah bahwa di dalam diri tiap orang Batak ada

ketidaksinkronan yang cenderung mengarah ke pertentangan antara nilai budaya

Batak (hamoraon, hasangapon dan hagabeon) yang begitu kuat dipengaruhi oleh

elat, late, teal dan toal dengan nilai keKristenan yang dituntut pada zaman

postmodernitas ini yaitu menjadi orang Kristen yang peka dengan kemiskinan dan

aktif melakukan pelayanan kepada orang miskin. Ketidaksinkronan ini menjadi

semakin hebat terjadi dalam diri pelayan HKBP yang dituntut untuk menjadi orang

pertama yang mampu menjalankan tugas keKristenan tersebut dan juga bersedia

memampukan orang lain untuk melakukannya.

Dengan demikian, fokus permasalahan dalam tulisan ini melihat bagaimana

kepemimpinan dan pelayanan sintua HKBP yang notabenenya bukan pelayan fulltime

menjalankan tugas kepemimpinan dan kepelayanan tersebut di tengah jemaat. Dalam

kepemimpinan dan pelayanan sintua HKBP terletak masa depan dari visi dan misi

HKBP.

Pertanyaan yang ingin dicari jawabannya oleh penulis adalah tugas pelayanan

apakah yang sekarang harus menjadi prioritas sintua HKBP di Jakarta? Apakah tetap

tugas tradisional yaitu tugas pengawasan dan penggembalaan ataukah justru harus

bergeser kepada tugas kepemimpinan? Bagaimana keterkaitan tugas-tugas

pengawasan, penggembalaan dan kepemimpinan dalam pelayanan sintua di HKBP?

Apakah dimungkinkan seorang pelayan awam untuk mengemban tugasnya sebagai

27 Hutauruk, J.R. Pdt. Dr., Huria Kristen Batak Protestan dan Tahun 2002 Sebagai Tahun Rancangan Damai Sejahtera Tuhan, Kantor Pusat HKBP Pearaja, Tarutung, 2002, hal. 6-7

Page 16: BAB 1 PENDAHULUAN - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030171/c327...Salah satu contoh konsep tersebut adalah ‘pembangunan’. ... makhluk-makhluk

16

gembala dan pemimpin sekaligus? Untuk itu, seluruh masalah ini akan disatukan

dalam satu pertanyaan penelitian yaitu:

Peran28 apakah yang kontekstual untuk dijalankan oleh sintua HKBP selaku

pelayan Batak-Kristen di kota Jakarta pada masa postmodern ini?

1.3. Batasan Permasalahan.

Walaupun berangkat dari pandangan Jan Hendriks tentang teori 5 faktor yang

saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya, namun penyusun membatasi

pembahasan tesis ini hanya kepada faktor kepemimpinan saja. Tentu dalam beberapa

hal yang memang perlu, penulis akan melakukan pembahasan atas faktor

kepemimpinan ini dalam hubungannya dengan keempat faktor yang lain. Teori

kepemimpinan dari Jan Hendriks juga akan didiskusikan dengan teori-teori

kepemimpinan dari teolog-teolog di Indonesia terutama E.Gerrit Singgih dan juga

dengan sifat kepemimpinan dari budaya Batak Toba untuk menjadikan teori Jan

Hendriks yang berlatar Eropa menjadi lebih membumi di Indonesia ini, terutama

dalam konteks Batak. Perbandingan antar teori kepemimpinan ini juga akan

didialogkan dengan konteks global dan lokal yang dihadapi oleh masyarakat di kota

Jakarta. Dengan demikian, bahasan ini diharapkan mampu menemukan bentuk

kepemimpinan dari sintua yang pas untuk konteks HKBP di Jakarta saat ini.

28 Pdt. Prof. Dr. F.H.Sianipar, selaku mantan sekjend HKBP di era awal 80 an menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan sintua di HKBP adalah apa yang diartikan oleh kata presbuteros/oi dalam tradisi gereja mula-mula. Band. Sianipar F.H. Tohonan Sintua, Pematang Siantar, Yayasan STT HKBP, 1996, hal. 11. Sedangkan apabila kita meneliti makna atau peran dari presbuteros/oi dalam sejarah gereja mula-mula, kita tidak akan menemukan satu peran yang pasti. Bornkamm dalam The Dictionary Of The New Testament (TDNT) menyebutkan beberapa peran dari presbuteros/oi yaitu : sebagai kelompok pengawas pelaksana tradisi (seperti halnya kelompok saduki) dalam tradisi jemaat di Yerusalem dan sekitarnya. Di samping itu dalam tradisi jemaat Paulus, kata ini bisa mengacu kepada peran pengawas sekaligus gembala dan juga guru. Sedangkan pada tradisi kitab pastoral, kata ini bisa mengacu kepada peran gembala dan juga pemimpin. Lih. Bornkamm, TDNT, Kittel G. (ed), Michigan, Grand Rapids, p. 651-683.

Page 17: BAB 1 PENDAHULUAN - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030171/c327...Salah satu contoh konsep tersebut adalah ‘pembangunan’. ... makhluk-makhluk

17

2. Dasar Teori

Seperti sudah disebutkan dalam latar permasalahan di atas bahwa dunia

sekarang sering disebut dengan dunia yang global. Istilah globalisasi

mengindikasikan bahwa dunia bukan lagi berupa tempat-tempat terpisah yang bersifat

partikular dan tidak kait-mengkait satu sama lain. Sebaliknya, dunia saat ini sudah

bersifat universal dalam arti hal-hal yang terjadi di satu tempat bisa dengan cepat

berpengaruh ke tempat lainnya dan nilai-nilai yang berasal dari tempat tertentu akan

dapat dengan mudah dijalankan oleh orang di tempat lain yang jauh sekali jaraknya.

Namun di sisi lain, globalisasi bukan berarti hilangnya nilai-nilai asli yang

melekat di satu komunitas tertentu (walaupun kecenderungan ini ada). Sebaliknya

menurut Gerrit Singgih, secara dialektis globalisasi adalah kontekstualisasi. Itu

sebabnya, universalitas boleh saja terjadi tetapi universalitas tersebut idealnya harus

dibentuk melalui partikularitas29. Hal ini mengakibatkan universalitas bukanlah

menjadikan dunia homogen tetapi justru heterogen. Dengan demikian, Singgih

mengusulkan dua hal penting dalam era globalisasi yaitu : (1) selalu mencoba

melihat secara kritis asumsi-asumsi baru yang diterima dan (2) dalam upaya

membangun komunitas kita harus memaknai kembali apa arti menjadi komunitas

dalam sebuah budaya yang berbeda serta heterogen. Meminjam istilah Sindhunata,

dengan demikian globalisasi juga berarti glokalisasi.30

Dalam hal ini, perlu digarisbawahi istilah dialektis atau dialogis. Pada bagian

pendahuluan dalam buku Heitink31, Heselaars Hartono S.J. menjelaskan bahwa

kontekstualisasi adalah upaya menghayati iman akan kabar baik mengenai Yesus

Kristus dalam tata budaya atau situasi lingkungan yang konkret. Hubungan antara 29 Singgih, Emanuel Gerrit, 2004, Op Cit, hal. 417. 30 Sindhunata, “Dilema Globalisasi” dalam Majalah Basis No. 01-02, Tahun ke-52, Januari – Februari 2003, hal. 8 31 Heitink, Gerben Dr., Teologi Praktis, Pastoral Dalam Era Modernitas-Postmodernitas, Kanisius, Yogyakarta, 1999, hal. 18-19.

Page 18: BAB 1 PENDAHULUAN - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030171/c327...Salah satu contoh konsep tersebut adalah ‘pembangunan’. ... makhluk-makhluk

18

keduanya adalah dialog. Tetapi berdasarkan penjelasan Singgih di atas, dialog tidak

hanya terjadi antara Iman dan Budaya. Dialog juga terjadi di dalam budaya itu sendiri

yaitu antara nilai modernitas dan nilai tradisional budaya. Sehingga upaya

kontekstualisasi harus melibatkan dialog yang kreatif antara nilai Alkitab, nilai

modernitas dan nilai budaya tradisional. Dengan demikian, terkait dengan

pembahasan mengenai kepemimpinan dan pelayanan sintua di HKBP penyusun akan

tetap melihat model kepemimpinan ideal menurut Jan Hendriks. Namun penulis sadar

bahwa model kepemimpinan Hendriks ini harus didialogkan dengan model

kepemimpinan ideal menurut nilai keKristenan dan model kepemimpinan ideal

menurut adat Batak Toba.

Kepemimpinan Yang Menggairahkan32

Kata kunci dalam pembahasan Jan Hendriks mengenai jemaat yang vital dan

menarik adalah ‘jemaat yang pastisipatif’. Hendriks memahami sebuah jemaat

sebagai kumpulan subyek-subyek yang satu dengan lainnya memiliki posisi yang

sejajar. Dengan demikian, komunikasi yang terjalin di antara mereka adalah

komunikasi yang sejajar pula. Setiap orang diharapkan mau melakukan tugas dengan

senang hati sesuai dengan potensi masing-masing. Sedangkan gereja akan menjadi

fasilitator bagi tiap subyek untuk mengaktualisasikan diri dan potensinya.

Terhadap jemaat yang demikian, Hendriks berpendapat bahwa model

kepemimpinan yang baik adalah model kepemimpinan yang mendelegasikan.

Kepemimpinan sebagai pelayan berarti membagi-bagikan kuasa terutama lewat

32 Hendriks Jan, Jemaat Vital dan Menarik, Membangun Jemaat Dengan Menggunakan Metode Lima Faktor, Yogyakarta, Kanisius, 2002, hal. 66-91.

Page 19: BAB 1 PENDAHULUAN - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030171/c327...Salah satu contoh konsep tersebut adalah ‘pembangunan’. ... makhluk-makhluk

19

delegasi tugas dan kewenangan untuk menjalankan tugas tersebut33. Itu sebabnya,

fungsi kepemimpinan yang partisipatif diwujudkan dalam empat hal yaitu :

1. Memberikan dukungan artinya pimpinan selalu menganggap bahwa seluruh

anggotanya penting dan pemimpin harus peka terhadap pendapat, pandangan

dan problem mereka.

2. Memberikan bantuan. Dalam upaya mendukung partisipasi anggotanya maka

pemimpin harus siap untuk membantu terutama yang terkait dengan

informasi-informasi. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu

memberikan informasi yang dibutuhkan anggotanya. Dalam hal ini, penting

sekali kompetensi pemimpin sehingga seorang pemimpin yang baik tidak

hanya ingin memberikan dukungan namun juga mampu untuk membantu.

3. Menekankan pentingnya tujuan-tujuan. Pemimpin harus selalu mengingatkan

anggotanya terhadap visi dan misi organisasi secara keseluruhan dan menaruh

tuntutan tinggi kepada dirinya sendiri dan kepada anggota bahwa mereka

mampu mencapai visi dan misi tersebut.

4. Meningkatkan kerjasama antara pemimpin dan anggota serta antara anggota

dengan anggota. Sehingga stimulasi yang terbentuk adalah bersama-sama

mencari jawaban atas permasalahan bersama dan saling menolong dalam

upaya pencarian tersebut.

Untuk menjalankan fungsi kepemimpinan tersebut, Hendriks menawarkan

gaya ‘kepemimpinan yang melayani’. Gaya kepemimpinan yang melayani

berbanding terbalik dengan gaya kepemimpinan yang otoriter. Sedangkan yang cocok

dengan kepemimpinan yang melayani adalah kepemimpinan yang kooperatif. Dalam

kepemimpinan otoriter diasumsikan bahwa status kepemimpinan merupakan jabatan.

33 Hendriks Jan, Op Cit, hal. 69

Page 20: BAB 1 PENDAHULUAN - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030171/c327...Salah satu contoh konsep tersebut adalah ‘pembangunan’. ... makhluk-makhluk

20

Dengan demikian, kepemimpinan otoriter sangat identik dengan jarak dan susunan

hierarkis. Bagi kepemimpinan yang kooperatif justru rundingan bersama yang

diutamakan sehingga kepemimpinan ini identik dengan kedekatan dan susunan yang

datar.

Hendriks menambahkan bahwa gaya kepemimpinan di gereja harus

menyeimbangkan antara relasi dan usaha. Kepemimpinan yang memperhitungkan

usaha tanpa memperhatikan relasi mudah menghasilkan proses konflik yang

destruktif. Sebaliknya perhatian bagi relasi tanpa melibatkan usaha menghasilkan

kegiatan dan pertemuan yang kurang inspiratif dan akhirnya membosankan.

Akhirnya, Hendriks mengingatkan bahwa tugas pimpinan di gereja bukan hanya

masalah administrasi (government). Mengacu kepada Yeh. 34:3-4, pemimpin gereja

memiliki tugas untuk menggembalakan domba-domba, menguatkan yang lemah,

mengobati yang sakit, membalut yang terluka, membawa pulang yang tersesat dan

mencari yang terhilang.

3. Pemilihan Judul

3.1 Rumusan Judul

Pembahasan terhadap masalah yang sudah dijabarkan di atas akan dilakukan di

bawah sebuah judul :

KEPEMIMPINAN SINTUA DI HKBP PADA MASA POSTMODERNITAS

(Suatu tinjauan pembangunan jemaat terhadap kepemimpinan sintua HKBP di

Jakarta)

Page 21: BAB 1 PENDAHULUAN - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030171/c327...Salah satu contoh konsep tersebut adalah ‘pembangunan’. ... makhluk-makhluk

21

3.2. Alasan Pemilihan Judul

Sebagaimana telah disebutkan di atas, sintua di HKBP adalah pelayan

tahbisan di jemat lokal HKBP yang diangkat dari antara jemaat dan mereka bukanlah

pelayan fulltime. Sintua adalah wakil pendeta untuk membimbing dan mengawasi

jemaat-jemat HKBP yang ada di sekitar tempat tinggalnya. Namun selain

pembimbing dan pengawas, sintua juga merupakan pengambil keputusan dalam

organisasi gereja lokal HKBP. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sintua adalah

perwakilan jemaat dalam menyampaikan usulan-usulan mereka terhadap gereja

secara keseluruhan. Sehingga seorang sintua sebenarnya adalah seorang pemimpin

dari jemaat-jemaat yang ada di sekitar tempat tinggalnya.

Sebagai pemimpin Batak dan Kristen, seorang sintua diharapkan dapat

mempraktekkan nilai-nilai ideal dari kedua unsur tersebut dalam pelayanannya.

Namun terutama akibat pengaruh modernitas, sebagaimana orang Batak pada

umumnya, sintua HKBP diasumsikan tidak mampu mempraktekkan nilai ideal Batak

dan Kristen tersebut dalam kepemimpinannya. Justru kecenderungan yang terjadi

adalah mereka juga terpengaruh untuk menjadikan tahbisan sintua sebagai jabatan

dan alat kekuasaan untuk bersikap otoriter. Dengan demikian, seorang sintua HKBP

terjebak dalam dua kondisi dalam dirinya yaitu keinginan untuk berkuasa dan

tuntutan untuk melayani.

Itu sebabnya, pembahasan dalam tesis ini akan difokuskan untuk melihat

kinerja sintua HKBP yang berada di antara dua tuntutan yang berbeda yaitu tuntutan

untuk berkuasa dan tuntutan untuk melayani. Dengan demikian penyusun

menganggap judul di atas tepat untuk mengakomodir permasalahan dan pembahasan

dalam tesis ini.

Page 22: BAB 1 PENDAHULUAN - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030171/c327...Salah satu contoh konsep tersebut adalah ‘pembangunan’. ... makhluk-makhluk

22

4 Metode Penelitian.

Metode yang dipakai dalam penelitian mencakup :

Penelitian Literatur

Penelitian literatur akan dilakukan untuk mendapatkan teori-teori yang diperlukan

terkait dengan topik Pembangunan Jemaat, baik itu teori pembangunan jemaat itu

sendiri, konteks sosial jemaat HKBP perkotaan, budaya HKBP, konteks sosial

Indonesia dan sebagainya. Penelitian literatur juga dipakai untuk memudahkan

menjalankan penelitian lapangan dan proses penafsiran atas hasil-hasil penelitian

lapangan tersebut.

Penelitian Lapangan.

Penelitian lapangan akan dilakukan dengan melakukan wawancara (model

penelitian kualitatif) dan juga penyebaran angket (model penelitian kuantitatif).

Penelitian kualitatif berupa wawancara akan dilakukan terhadap para sintua sendiri

dan anggota jemaat yang ada di jemaat tempat penyusun meneliti. Tentunya jenis

pertanyaan untuk sintua akan berbeda dengan pertanyaan yang penyusun ajukan

kepada jemaat. Dalam menentukan sintua yang diwawancarai, penyusun akan

menggunakan sistem acak. Sedangkan responden yang dipilih untuk pengisian angket

akan mencakup seluruh kategori jemaat baik umur (orangtua dan pemuda), jenis

kelamin (perempuan dan laki-laki), partisipasi (aktif dan tidak aktif), jabatan

(pengurus dan non pengurus) dan juga sebisa mungkin ekonomi (kaya dan miskin).

Hal ini bertujuan untuk mendapatkan pemetaan masalah yang konprehensif tentang

pelayanan sintua di jemaat tersebut.

Page 23: BAB 1 PENDAHULUAN - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030171/c327...Salah satu contoh konsep tersebut adalah ‘pembangunan’. ... makhluk-makhluk

23

Pengolahan Data

Data-data dari penelitian kuantitatif akan penyusun olah dengan memakai

program SPSS (statistical Product and Service Solutions) versi 13 dan program

excel34.

Analisa Data

Data-data dari penelitian kuantitatif akan penyusun analisis berdasarkan teori

Jan Hendriks35 yaitu dengan memakai metode survey guided development di mana

akan dihitung selisih kondisi kenyataan dan harapan yang diinginkan oleh responden

terhadap satu rumusan pertanyaan tertentu. Sedangkan kriteria-kriteria jawaban

responden akan penyusun urutkan dari kategori yang paling lemah, netral dan sampai

yang paling kuat dengan pilihan jawaban kuesioner antara 0 sampai dengan 5.

Sedangkan untuk data-data kualitatif, penyusun akan mengolahnya

berdasarkan kategori-kategori yang berasal dari perspektif penyusun sendiri

berdasarkan pemahaman penyusun atas teori-teori kepemimpinan yang penyusun

pakai dalam tesis ini dan juga berdasarkan pembagian tugas sintua yang ada dalam

dokumen HKBP.

5 Tujuan Penulisan.

Tesis ini berangkat dari keprihatinan tidak maksimalnya peran sintua dalam

menjalankan kepemimpinan dan pelayanannya. Sintua diduga terjebak dalam

tuntunan modernitas dan di sisi lain tuntutan pelayanan yang menuntut sintua

mengorbankan kepentingan pribadi. Untuk itu, tesis ini bertujuan melihat masalah

yang sesungguhnya terjadi dalam kepemimpinan sintua di perkotaan dan mencoba

34 Sarwono Jonathan, “Analisa Data Penelitian Menggunakan SPSS”, Jogjakarta, Penerbit Andi, 2006, hal. 71. 35 Hendriks Jan, Jemaat Vital dan Menarik, Op.Cit, hal. 218-240

Page 24: BAB 1 PENDAHULUAN - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50030171/c327...Salah satu contoh konsep tersebut adalah ‘pembangunan’. ... makhluk-makhluk

24

menemukan penyebab utama masalah tersebut. Pada akhirnya tesis ini hendak

mencoba menemukan bentuk kepemimpinan dan pelayanan sintua HKBP yang lebih

aktual pada masa postmodern ini.

6 Sistematika Penulisan.

BAB 1 : Pendahuluan. Bagian ini akan berisi tentang latar belakang permasalahan,

rumusan permasalahan, dasar teori, pemilihan judul, metode penulisan dan

sistematika penulisan.

BAB 2 : Bagian ini akan berisi deskripsi tentang HKBP dan hakekat kepelayanan di

dalamnya, termasuk pembahasan detail mengenai keberadaan dan tugas sintua.

Pembahasan kemudian akan difokuskan pada konteks Jakarta dan jemaat-jemaat yang

diteliti.

BAB 3 : Bagian ini akan membahas laporan dan diagnosa empiris dari penelitian

yang penyusun lakukan terhadap praktek pelayanan sintua di empat jemaat HKBP di

kota Jakarta.

BAB 4 : Bagian ini akan membahas dan menganalisa praktek kepemimpinan sintua

dari sisi nilai-nilai Batak dan nilai-nilai kepemimpinan dalam Pembangunan Jemaat

dan tentunya dihubungkan dengan konteks kota Jakarta.

BAB 5 : Bagian ini akan berisi kesimpulan dan saran-saran terhadap kepemimpinan

sintua HKBP dalam globalisasi dan postmodernisasi saat ini.