1 Bab 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BPR Bank Surya Yudha merupakan perusahaan keluarga yang bergerak dalam sektor perbankan. Perusahaan keluarga dikenal memiliki budaya organisasi yang kuat dibanding perusahaan pada umumnya. Hal ini disebabkan karena pada hakekatnya perusahaan keluarga adalah organisasi bisnis yang didirikan, dimiliki, dan dikelola oleh sebuah keluarga. Budaya organisasi di BPR Bank Surya Yudha tercermin dalam etos kerja yang ulet, disiplin, semangat yang tinggi, jujur, loyal, dan pantang menyerah (www.suryayudha.co.id diakses pada 14 November 2014). Budaya organisasi tersebut turun dari nilai-nilai yang dianut dan diyakini oleh pendiri Bank Surya Yudha, Satriyo Yudiarto. Nilai-nilai yang dimaksud adalah Asmaul Husna. Satriyo Yudiarto melandaskan kegiatan bisnisnya dengan nilai-nilai spiritual, yang kemudian diringkas menjadi 7 prinsip kerja, yaitu jujur, tanggung jawab, visioner, disiplin, kerjasama, adil, dan peduli. Tujuh prinsip inilah yang menjadi pedoman atau arahan bagi para karyawan mengenai bagaimana harus bekerja dan berinteraksi dengan stakeholder dan karyawan lain. Pemilihan Asmaul Husna sebagai nilai perusahaan ini menarik, sebab pada umumnya perusahaan bisnis hanya berorientasi pada profit semata. Menurut Prof. Dr. Faisal Afiff, SE.Spec.Lic dari Universitas Padjadjaran, nilai spiritual relatif baru diterapkan di ranah bisnis. Aspek spiritual sendiri mengandung makna keikhlasan dalam melakukan sesuatu hal semata-mata karena kewajibannya sebagai manusia yang dapat bermanfaat bagi orang lain.
39
Embed
Bab 1 PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94755/potongan/S2-2016... · BPR Bank Surya Yudha merupakan perusahaan keluarga yang ... mesin transaksi
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
Bab 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang MasalahBPR Bank Surya Yudha merupakan perusahaan keluarga yang
bergerak dalam sektor perbankan. Perusahaan keluarga dikenal memiliki
budaya organisasi yang kuat dibanding perusahaan pada umumnya. Hal ini
disebabkan karena pada hakekatnya perusahaan keluarga adalah organisasi
bisnis yang didirikan, dimiliki, dan dikelola oleh sebuah keluarga. Budaya
organisasi di BPR Bank Surya Yudha tercermin dalam etos kerja yang ulet,
disiplin, semangat yang tinggi, jujur, loyal, dan pantang menyerah
(www.suryayudha.co.id diakses pada 14 November 2014). Budaya organisasi
tersebut turun dari nilai-nilai yang dianut dan diyakini oleh pendiri Bank
Surya Yudha, Satriyo Yudiarto. Nilai-nilai yang dimaksud adalah Asmaul
Husna. Satriyo Yudiarto melandaskan kegiatan bisnisnya dengan nilai-nilai
spiritual, yang kemudian diringkas menjadi 7 prinsip kerja, yaitu jujur,
tanggung jawab, visioner, disiplin, kerjasama, adil, dan peduli. Tujuh prinsip
inilah yang menjadi pedoman atau arahan bagi para karyawan mengenai
bagaimana harus bekerja dan berinteraksi dengan stakeholder dan karyawan
lain.
Pemilihan Asmaul Husna sebagai nilai perusahaan ini menarik, sebab
pada umumnya perusahaan bisnis hanya berorientasi pada profit semata.
Menurut Prof. Dr. Faisal Afiff, SE.Spec.Lic dari Universitas Padjadjaran, nilai
spiritual relatif baru diterapkan di ranah bisnis. Aspek spiritual sendiri
mengandung makna keikhlasan dalam melakukan sesuatu hal semata-mata
karena kewajibannya sebagai manusia yang dapat bermanfaat bagi orang lain.
2
Nilai spiritual ini ditunjukkan melalui kutipan wawancara yang dilakukan
oleh Tribunnews.com edisi 24 Februari 2015 pada pemilik BPR Bank Surya
Yudha, Satriyo Yudiarto, “Saya bukan pada posisi memikirkan diri sendiri
tapi bagaimana menyejahterakan seribu orang karyawan saya beserta
keluarganya. Kalau mereka berhasil, saya puas” (Marantina, 2015). Ke depan,
Satriyo juga akan membuka beberapa cabang lagi dengan tujuan untuk
membantu semakin banyak karyawan dan keluarganya (Marantina, 2015).
Satriyo menggabungkan dua aspek yang diyakini mampu menciptakan
kekuatan yang dahsyat ketika bersinergi, yaitu aspek bisnis dan spiritual.
Aspek spiritual dianggap penting untuk menciptakan hubungan kemanusiaan
(humanity), baik antara perusahaan dengan customer maupun antarkaryawan
dalam perusahaan. Kualitas hubungan kemanusiaan yang baik secara tidak
langsung akan mendukung pertumbuhan bisnis.
Nilai spiritual yang menjadi pedoman di BPR Bank Surya Yudha
tercermin dalam 7 Prinsip Kerja yang merupakan core values Asmaul Husna.
Implementasi 7 prinsip ini dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan kantor
BPR Bank Surya Yudha terlihat dari pra observasi yang dilakukan secara
tidak terstruktur pada bulan November 2014 hingga Maret 2015. Budaya
akrab antarkaryawan tanpa melihat tinggi atau rendahnya jabatan terlihat dari
pemilik perusahaan yang tak segan bercengkerama dengan karyawan yang
sedang bermain bola voli di Surya Yudha Sports Center, pemilik perusahaan
juga sering menyapa anak-anak kecil yang sedang bermain futsal. Dalam
kehidupan sehari-hari di dalam organisasi, pemilik perusahaan menunjukkan
sikap rendah hati, agar dapat diterima oleh orang lain.
Kemudian, sikap peduli ditunjukkan oleh owner dengan visi awal
pendirian BSY yaitu membuka lapangan kerja bagi masyarakat Banjarnegara
pada umumnya dan masyarakat Desa Rejasa pada khususnya. Perlu diketahui,
pemilik BPR Bank Surya Yudha adalah penduduk asli Desa Rejasa, dan BPR
Bank Surya Yudha juga didirikan di daerah tersebut. Sebagai bentuk
3
kontribusinya untuk meningkatkan taraf kesejahteraan warga sekitar, Satriyo
Yudiarto memprioritaskan warga sekitar untuk diberdayakan. Kepedulian
pada sesama sebagai perwujudan nilai spiritual juga ditegaskan oleh Hary
Tanoesudibjo yang menyatakan bahwa membuka lapangan pekerjaan adalah
salah satu bentuk ibadah (economy.okezone.com, 2013).
Selain berorientasi pada kualitas hubungan internal perusahaan, BPR
Bank Surya Yudha juga fokus pada pelayanan terhadap customer. Hal ini
ditunjukkan dengan totalitasnya terhadap pengembangan fasilitas website dan
mesin transaksi ATM (Anjungan Tunai Mandiri). Pemanfaatan ATM hingga
saat ini masih jarang digunakan oleh sektor finansial kecil seperti BPR
(publiknasional.com, 2012). Selain itu, budaya organisasi juga terlihat dari
bangunan fisik kantor BPR Bank Surya Yudha Pusat, seluruh cabang, bahkan
kantor kas yang unik. Hal ini jarang dijumpai di BPR manapun, sekaligus
menjadi identitas bagi BPR Bank Surya Yudha. Tema interior dan eksterior
BPR Bank Surya Yudha menggunakan konsep atau gaya Eropa modern yang
tentu memiliki filosofi tersendiri. Berdasar wawancara pra-penelitian yang
dilakukan dengan Komisaris BPR Bank Surya Yudha, filosofi bangunan fisik
BPR Bank Surya Yudha adalah untuk menampilkan kesan mewah dan kokoh
sehingga diharapkan dapat mendorong rasa percaya masyarakat untuk
menggunakan produk layanan BPR Bank Surya Yudha. Bangunan fisik
tersebut sekaligus mendukung good performance yang merupakan salah satu
aspek dalam prinsip visioner.
4
Gambar 1.1. BPR Bank Surya Yudha Kantor Pusat (kiri) dan
BPR Bank Surya Yudha Cabang Dieng (kanan)
Sumber: http://www.banksuryayudha.com/kantor-bsy-banjarnegara diakses pada 14
November 2014
Meski berdiri di kabupaten kecil yang masih berada di urutan teratas
untuk kategori kabupaten termiskin di Jawa Tengah, BPR Bank Surya Yudha
telah mampu menjadi sebuah kebanggaan bagi masyarakat Kabupaten
Banjarnegara melalui kemajuan bisnisnya dengan membentuk group yang
memiliki hotel, sports center, waterboom, arung jeram, dan beberapa sektor
wisata lainnya, selain BPR itu sendiri. Hal ini menjadikan BPR Bank Surya
Yudha sebagai tujuan utama bagi wisatawan dari Banjarnegara dan
sekitarnya.
Perusahaan keluarga selalu menarik untuk dibahas. Dari sekitar 160
ribu perusahaan yang ada di Indonesia, 90 persen di antaranya adalah
perusahaan keluarga (Ester, 2013 dalam Handoko, 2014). Dengan jumlahnya
yang dominan, tentu berpengaruh pada roda perekonomian negara, baik untuk
sektor devisa maupun penyediaan lapangan kerja. Meski demikian, banyak
perusahaan keluarga yang gagal bertahan. Faktor penyebab terbesar kegagalan
perusahaan keluarga adalah suksesi, yaitu pewarisan perusahaan ke generasi
selanjutnya. Tingkat keberhasilan dari generasi pertama ke generasi kedua
dalam perusahaan keluarga hanya 30%, artinya sebanyak 70% usaha keluarga
gagal melakukan transisi ke generasi penerus. Lebih parah, keberhasilan dari
generasi kedua ke generasi ketiga merosot tajam hingga 7% (Mangalandum,
5
2013). Penelitian tentang suksesi dalam perusahaan keluarga telah banyak
dilakukan, sehingga peneliti akan menggali penyebab lain dari kegagalan
perusahaan keluarga.
Faktor lain penyebab kegagalan perusahaan keluarga, menurut
Achmad Sobirin (2007) dan Cameron & Quinn (2006), adalah diabaikannya
budaya organisasi (organizational culture) atau budaya perusahaan (corporate
culture). Karenanya, budaya organisasi menjadi sesuatu yang penting bagi
sebuah perusahaan, terutama perusahaan keluarga. Hal ini diakui juga oleh
Bakrie & Brothers, salah satu perusahaan keluarga raksasa di Indonesia,
bahwa budaya organisasilah yang ‘menuntun’ Bakrie & Brothers hingga
tumbuh menjadi kerajaan bisnis yang kokoh (Pohan dkk, 2011).
Di balik eksistensinya yang kuat, ada sebuah persoalan terkait
penyelarasan budaya organisasi di sebuah perusahaan keluarga. Sebab seperti
telah disinggung sebelumnya, bahwa perusahaan keluarga didirikan dan
dikelola oleh sebuah keluarga sehingga budaya organisasi yang ada berasal
dari nilai-nilai keluarga tersebut. Di sisi lain, tidak semua perusahaan keluarga
hanya mempekerjakan anggota keluarganya saja, melainkan juga
mempekerjakan karyawan yang tidak memiliki hubungan keluarga dengan
pemilik perusahaan, atau karyawan non-family. Demikian halnya dengan BPR
Bank Surya Yudha.
BPR Bank Surya Yudha pada awal berdirinya tahun 1992 hanya
mempekerjakan 13 orang. Seiring berjalannya waktu, BPR Bank Surya Yudha
terus bertumbuh sehingga dirasa perlu untuk mempekerjakan karyawan non-
family. Karyawan non-family di BPR Bank Surya Yudha saat ini berjumlah
790 orang (Data Personalia hingga Mei 2015) untuk mengisi posisi dengan
kompetensi yang dibutuhkan seperti IT, kepatuhan internal, marketing, dan
sebagainya yang tidak mungkin bisa di-handle seluruhnya oleh anggota
keluarga.
6
Kehadiran karyawan non-family menjadi tantangan tersendiri bagi
BPR Bank Surya Yudha sebagai perusahaan keluarga. Sebab seperti
diungkapkan oleh Klein dan Bell (2007), non-family member punya
pandangan dan asumsi yang mungkin berbeda dengan owner. Beberapa
contoh pejabat eksekutif dalam perusahaan keluarga yang berasal dari luar
keluarga (outsider) akhirnya mengundurkan diri karena tidak adanya
kesesuaian dengan budaya organisasi yang ada, antara lain John Walter yang
keluar dari AT&T President and COO hanya setelah 9 bulan bekerja, Michael
Ovitz agen Hollywood yang mengakhiri masa kerjanya yang penuh gejolak
setelah dua tahun sebagai President of Disney, dan Gil Amelio yang
mengakhiri masa kerjanya setelah 16 bulan sebagai CEO of Apple Computer
(Arthur, 2001:184-185).
Selain itu, perusahaan keluarga berdasar penelitian yang pernah ada
dipercaya menjadi sebuah lingkungan yang berpotensi menghadirkan stres
(Stewart dan Danes, 2001). Isu-isu potensial tersebut antara lain pandangan
tentang gender, perbedaan budaya komunitas, dan perubahan iklim dan
ekonomi (Sihombing, 2011). Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa
perbedaan budaya komunitas antara karyawan family dan non-family menjadi
salah satu isu penting yang memicu permasalahan dalam perusahaan keluarga.
Hal ini dinyatakan pula oleh Susanto, yang menyebut perbedaan nilai sebagai
potential conflict (2005), dimana potential conflict menempati urutan pertama
versi SWA Megazine 2011 sebagai kelemahan utama dalam perusahaan
keluarga (Singapurwoko, 2013).
Demikian pula menurut penelitian yang dilakukan oleh
Pricewaterhouse Cooper (PwC) dari Amerika Serikat yang melibatkan 2.378
responden yang merupakan pelaku bisnis perusahaan keluarga dari 40 negara,
dimana 30 responden di antaranya berasal dari Indonesia. Penelitian ini
menemukan bahwa 47% dari 30 responden Indonesia menilai tantangan
internal yang utama dalam 12 bulan ke depan adalah masalah perekrutan
7
tenaga profesional dari luar keluarga (Setiaji, 2014; PwC, 2014). Hal inilah
yang menjadi dasar penelitian ini penting dilakukan.
Kecenderungan karyawan non-family yang memiliki perbedaan asumsi
tidak terjadi di BPR Bank Surya Yudha. Karyawan non-family mampu
melebur dengan budaya organisasi yang ada di BPR Bank Surya Yudha dan
menunjukkan kekompakan antarkaryawan. Pimpinan BPR Bank Surya Yudha
berhasil menularkan budaya akrab dengan karyawan lain tanpa melihat tinggi-
rendahnya jabatan. Hal ini terlihat dari hasil pra observasi, peneliti melihat
karyawan tak segan bergurau dengan cleaning service dan saling merangkul
sebagai bentuk kedekatan. Kemampuan karyawan non-family melebur dalam
budaya organisasi juga terlihat dari perhatian dan kepedulian yang
ditunjukkan antar sesama karyawan mulai dari hal kecil. Seperti penuturan
salah seorang pegawai keamanan yang mengaku sering diberi snack oleh
pimpinan atau karyawan yang lain saat bertugas jaga malam. Hal ini
menunjukkan sikap kemanusiaan, terutama untuk saling berbagi. Kebiasaan
saling berbagi juga tercermin ketika staf marketing mendapat tip dari nasabah,
misalnya berupa makanan atau uang. Tip tersebut tidak dinikmati sendiri,
melainkan dibagi dengan karyawan lain di kantor.
Kekompakan antarkaryawan sebagai bentuk kemampuannya melebur
dengan budaya organisasi di BPR Bank Surya Yudha juga tercermin dari
peningkatan kinerja dan efektivitas perusahaan yang diraih hingga saat ini.
BPR Bank Surya Yudha yang kini memiliki aset lebih dari satu triliyun rupiah
ini, selain telah berkembang menjadi sebuah group juga telah memiliki
cabang di kabupaten lain, seperti Purwokerto, Wonosobo, Purbalingga,
Cilacap, Pekalongan, dan Temanggung. Selain itu, BPR Bank Surya Yudha
juga mulai mengembangkan fasilitas Anjungan Tunai Mandiri (ATM) dan
memanfaatkan kecanggihan IT untuk mendukung kualitas pelayanan pada
konsumen. Atas prestasinya tersebut, saat ini BPR Bank Surya Yudha
menduduki peringkat I untuk kategori BPR se-Jawa Tengah dan DIY,
8
peringkat II se-Jawa dan Bali, serta peringkat III se-Indonesia. Penghargaan
atas kinerja perusahaan juga banyak diterima BPR Bank Surya Yudha.
Untuk mendapatkan karyawan non-family yang mampu melebur
dengan budaya organisasi yang ada, BPR Bank Surya Yudha menerapkan
sistem perekrutan berdasar person-organization fit, guna menghindari
mempekerjakan karyawan yang hanya bekerja semata-mata untuk mendapat
gaji. Hal unik dalam sistem rekrutmen yang dilakukan di BPR Bank Surya
Yudha adalah dengan metode Penelitian Khusus. Metode ini pada dasarnya
adalah kegiatan mengamati kehidupan sehari-hari dan latar belakang keluarga
calon karyawan secara lebih mendalam melalui agen-agen yang kompeten dan
terpercaya. Metode ini diyakini mampu memberikan hasil investigasi yang
lebih akurat untuk menilai asumsi, pandangan, dan nilai-nilai yang ada pada
diri calon karyawan.
Kesuksesan BPR Bank Surya Yudha dalam menyelaraskan budaya
organisasi dengan karyawan non-family juga ditegaskan oleh pernyataan staf
Personalia.
“Sangat jarang terjadi kasus karyawan yang resign dengan alasankurang cocok dengan budaya organisasi di BSY, meskipun ada yangmengundurkan diri itu karena alasan lain, seperti ingin membukausaha sendiri. Kasus mengenai ketidakcocokan calon karyawandengan budaya organisasi BSY pernah terjadi, namun saat itustatusnya belum menjadi karyawan tetap BSY, sebab masih on the jobtraining, yang memang tujuannya kan untuk melihat apakah calonkaryawan tersebut dapat menyesuaikan diri atau tidak.”
Pernyataan tersebut menyiratkan bahwa karyawan non-family di BPR
Bank Surya Yudha mampu melebur dengan budaya organisasi yang ada.
Untuk menyelaraskan budaya organisasi karyawan non-family tentu perlu
dilakukan upaya pewarisan nilai-nilai yang dilakukan sejak karyawan tersebut
pertama kali bergabung dengan perusahaan, karenanya penelitian ini fokus
pada karyawan baru non-family.
9
Setelah melihat bagaimana kesuksesan BPR Bank Surya Yudha dalam
menumbuhkan kekompakan kerja bagi seluruh karyawannya hingga mampu
menorehkan prestasi yang membanggakan, maka hal yang menarik untuk
diteliti adalah menganalisis upaya pewarisan nilai-nilai budaya organisasi
kepada karyawan non-family di BPR Bank Surya Yudha Banjarnegara.
Penelitian terkait pewarisan nilai atau pengetahuan (knowledge
sharing) di perusahaan keluarga dilakukan oleh Gabriella Hanny Kusuma
(2014). Penelitian tersebut mengkaji pewarisan nilai antar generasi pada 14
perusahaan keluarga sebagai bagian dari proses suksesi. Merujuk pada urgensi
penelitian yang telah dijelaskan sebelumnya, maka penelitian ini akan
mengkaji pewarisan nilai kepada karyawan baru non-family. Hal ini sekaligus
menjadi pembeda dengan penelitian lainnya terkait perusahaan keluarga.
B. Rumusan MasalahSecara mendalam, fokus penelitian ini memberikan gambaran bahwa
permasalahan pokok yang perlu diteliti adalah: Bagaimanakah Upaya
Pewarisan Nilai-nilai Budaya Organisasi pada Karyawan Baru Non-
family di Perusahaan Keluarga Bank Perkreditan Rakyat Surya Yudha
Pusat Banjarnegara Periode Agustus 2014 – Agustus 2015?
C. Tujuan PenelitianBerdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan
dari penelitian ini adalah untuk menganalisis upaya pewarisan nilai-nilai
budaya organisasi pada karyawan baru non-family di perusahaan keluarga
BPR Surya Yudha Pusat Banjarnegara periode Agustus 2014 - Agustus 2015.
10
D. Manfaat PenelitianDalam setiap penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat dan
kegunaan dari penelitian tersebut. Manfaat dari penelitian ini antara lain:
1. Manfaat Akademis
Secara akademik, penelitian ini akan memberikan wawasan mengenai
pewarisan nilai-nilai budaya organisasi pada karyawan baru non-family
di perusahaan keluarga. Kemudian penelitian ini dapat menjadi referensi
bagi penelitian selanjutnya terkait budaya organisasi di perusahaan
keluarga.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan pemahaman bagi para pelaku bisnis keluarga bahwa
karyawan non-keluarga juga dapat menyesuaikan dengan budaya
organisasi yang berasal dari nilai-nilai keluarga.
b. Sebagai bahan pertimbangan dalam mengelola perusahaan keluarga
supaya tetap eksis dan terus bertumbuh.
E. Kerangka Pemikiran
1. Karyawan Non-family di Perusahaan KeluargaPerusahaan keluarga secara umum adalah sebuah perusahaan
bisnis yang dimiliki dan dikelola oleh orang-orang yang masih memiliki
hubungan kekeluargaan. Wawan Dhewanto et al (2012:7) menyatakan
bahwa perusahaan keluarga merupakan bisnis yang dijalankan oleh dua
orang atau lebih anggota dari sebuah keluarga dimana mereka memegang
peran penting dalam kepemilikan, mengatur, membuat kebijakan, serta
memiliki kecenderungan untuk memberikan kontrol dari bisnis tersebut ke
generasi selanjutnya dalam keluarga tersebut.
Pada awal pembentukannya, perusahaan keluarga didirikan oleh
beberapa orang yang masih memiliki hubungan kekeluargaan. Namun,
11
seiring dengan terus bertumbuhnya perusahaan tersebut, maka kebutuhan
untuk mempekerjakan orang di luar keluarga tersebut menjadi tak
terelakkan. Perusahaan keluarga membutuhkan tenaga terampil dan ahli
untuk meng-handle posisi tertentu yang tidak tertutup oleh sumber daya
manusia dari keluarga pemilik perusahaan. Sehingga perusahaan keluarga
memutuskan untuk mengangkat karyawan non-family. Sebab seperti
pernyataan Tunkhari-Eskelinen (2005) dan V. Molly (2009), salah satu
karakteristik bisnis atau perusahaan keluarga adalah dapat beranggotakan
pekerja yang bukan keluarga atau tidak terikat secara perkawinan dan
darah (dalam Dhewanto dkk, 2012:8).
Sebagian besar perusahaan keluarga mempekerjakan karyawan
yang berasal dari luar keluarganya (non-family member). Hal ini menjadi
tantangan tersendiri bagi perusahaan keluarga, sebab karyawan non-family
mungkin memiliki pemikiran yang berbeda. Salah satu perbedaan
pemikiran antara karyawan family dan non-family adalah jika anggota
keluarga bekerja salah satunya didasari oleh adanya motivasi untuk
mengangkat atau mempertahankan nama baik dan kesejahteraan keluarga,
berbeda dengan karyawan non-family yang bekerja hanya atas dasar
kepentingan ekonomi. Perbedaan lain juga dapat dilihat dari cara berpikir
dan memutuskan masalah dalam kehidupan berorganisasi. Perbedaan
pemikiran tersebut karena karyawan non-family memiliki asumsi,
kebiasaan, filosofi, dan nilai-nilai lainnya karena mereka hidup di latar
belakang budaya yang berbeda (Hofstede dan Hofstede, 2005).
Menurut Koentjoroningrat (2009), faktor-faktor yang dapat
menciptakan perbedaan latar belakang budaya antara lain pendidikan,
mata pencaharian, agama, suku, dan sebagainya. Pola berpikir seseorang
yang berpendidikan tinggi tentu berbeda dengan mereka yang
berpendidikan rendah, begitu juga dengan perbedaan pekerjaan, suku,
dan agama. Selain itu, mengenai perbedaan nilai juga dibahas oleh Scott
12
dkk (2010:26), bahwa nilai kita yang paling awal berasal dari nilai
keluarga dan orang-orang yang mengasuh kita. Ketika orang-orang
tumbuh, mereka mengembangkan nilai lain. Hal ini berubah seiring
dengan hal-hal yang kita pelajari di komunitas yang lebih besar dan
sekolah. Karyawan non-family tumbuh dari berbagai keluarga dengan
latar belakangnya masing-masing, sehingga dapat berbeda dengan nilai
yang ada di keluarga pemilik organisasi. Nilai yang diterima adalah nilai
yang tidak berseberangan dengan keluarga pemilik organisasi.
2. Budaya OrganisasiBudaya organisasi merupakan karakteristik organisasi, bukan
individu anggotanya. Hal ini dianalogikan oleh Wirawan (2007:10),
bahwa jika organisasi disamakan dengan manusia, maka budaya
organisasi merupakan personalitas atau kepribadian organisasi. Sehingga
hal tersebut menjadi pembeda antara organisasi satu dengan organisasi
lain. Dengan kata lain, budaya organisasi dapat juga berfungsi sebagai
identitas suatu organisasi.
Budaya organisasi menurut Wirawan adalah norma, nilai-nilai,
asumsi, kepercayaan, filsafat, kebiasaan organisasi, dan sebagainya yang
dikembangkan dalam waktu yang lama oleh pendiri, pemimpin, dan
anggota organisasi yang disosialisasikan dan diajarkan kepada anggota
baru serta diterapkan dalam aktivitas organisasi sehingga mempengaruhi
pola pikir, sikap, dan perilaku anggota organisasi dalam memproduksi
produk, melayani konsumen, dan mencapai tujuan organisasi (2007:10).
Dari pengertian tersebut, Moh. Pabundu Tika (2006:5)
memaparkan adanya unsur-unsur dalam budaya organisasi, yaitu asumsi
dasar sebagai pedoman perilaku bagi anggota organisasi; keyakinan yang
dianut seperti slogan, visi dan misi perusahaan; pemimpin sebagai pihak
13
yang menciptakan dan mengembangkan budaya organisasi; pedoman
dalam mengatasi masalah; aktivitas berbagi nilai (shared values);
pewarisan budaya organisasi yang di dalamnya terdapat proses belajar,
kepada anggota baru sebagai pedoman bertindak dan berinteraksi dalam
organisasi; serta penyesuaian yang dilakukan oleh anggota baru dalam
mempelajari dan mengikuti budaya organisasi yang diterapkan, dan
penyesuaian yang dilakukan oleh seluruh anggota organisasi dalam
menghadapi perubahan lingkungan.
Menurut Robbins (2002:283), fungsi budaya organisasi adalah
menciptakan perbedaan antara satu organisasi dengan organisasi yang lain,
menyampaikan rasa identitas kepada anggota-anggota organisasi,
mempermudah penerusan komitmen individu, mendorong stabilitas sistem
sosial, dan bertugas sebagai pembentuk rasa dan mekanisme pengendalian
yang memberikan panduan dan bentuk perilaku serta sikap karyawan.
Dengan komitmen yang tercipta melalui budaya organisasi, maka akan
meningkatkan konsistensi sikap karyawan. Hal ini jelas menguntungkan
sebuah organisasi. Dari sudut pandang karyawan, budaya menjadi
bermanfaat karena budaya tersebut mengurangi keambiguan. Budaya
menyampaikan kepada karyawan bagaimana pekerjaan dilakukan dan apa
saja yang bernilai penting (Robbins, 2002:284).
Fungsi budaya organisasi dalam kaitannya dengan kinerja
organisasi digambarkan oleh The 7S of McKenzie, yang meliputi strategi,
struktur, sistem, styles, staf, shared values, dan skill. Ketika sebuah
perusahaan hanya menerapkan 3S pertama, yang disebut dengan konsep
scientific management, maka hal tersebut tidak akan efektif. Menurut
McKenzie, perusahaan yang berhasil adalah perusahaan yang bisa
memanfaatkan ketujuh S tersebut sebagai sarananya, dimana 4S terakhir
(styles, staf, shared values, dan skill) merefleksikan budaya organisasi
14
(Sobirin, 2007:245). Dengan kata lain, budaya organisasi juga mengambil
peranan penting dalam kesuksesan sebuah perusahaan.
Budaya organisasi tidak serta-merta muncul, melainkan terbentuk
melalui serangkaian proses yang dimulai dari tahap pembentukan ide
dan diikuti oleh lahirnya sebuah organisasi. Berdasar penjelasan Achmad
Sobirin (2007:220-221) meski pada tahap pembentukan ide, organisasi
belum menjadi realitas sosial dan belum berujud secara fisik, tahap ini
merupakan titik awal (embrio) pembentukan budaya organisasi. Begitu
para pendiri memiliki ide untuk mendirikan organisasi, saat itu pula
embrio terbentuknya budaya organisasi tidak terelakkan. Bisa dikatakan
bahwa begitu organisasi didirikan, pembentukan budaya pun dimulai.
Edgar H. Schein (dalam Sobirin, 2007:220), mengatakan bahwa
pembentukan budaya organisasi tidak bisa dipisahkan dari peran para
pendiri organisasi. Hal ini ditegaskan pula oleh Stephen Robbins, bahwa
sumber utama budaya organisasi adalah pendirinya (2002:284).
Proses pembentukan budaya organisasi menempatkan pendiri
organisasi pada posisi kunci. Sebab, seperti dikutip dari Sobirin
(2007:220), para pendiri dan pemimpin lainnya membawa serta satu set
asumsi dasar, nilai, perspektif, artefak ke dalam organisasi dan
menanamkannya kepada para karyawan. Sebagai orang pertama yang
menjadi cikal-bakal terbentuknya organisasi, tentu gambaran organisasi
tersebut berdasarkan harapan dan cita-cita awal para pendiri. Kemudian,
untuk menciptakan organisasi seperti yang diharapkannya, maka yang
digunakan adalah rancangannya dengan menggunakan nilai, asumsi, dan
prinsip pribadi pendiri tersebut. Nilai, asumsi, dan prinsip ialah sesuatu
yang dianggap benar sebagai dasar untuk bertindak, seperti membuat
kebijakan dan mengambil keputusan. Kemudian budaya muncul ketika
para anggota organisasi berinteraksi satu sama lain untuk memecahkan
masalah-masalah pokok organisasi, yakni masalah integrasi internal yang
15
meliputi iklim dalam setiap aktivitas dan pengambilan kebijakan
organisasi, serta adaptasi eksternal yang meliputi cara organisasi menjalin
hubungan dengan pihak eksternal seperti masyarakat, konsumen, atau
stakeholder.
Ketika mendirikan organisasi, para pendiri juga meletakkan
landasan filosofi yang diistilahkan oleh Wirawan sebagai filsafat
organisasi, yaitu pendapat organisasi mengenai hakikat atau esensi tentang
sesuatu (2007:56). Setiap perusahaan mempunyai pendapat yang berbeda
mengenai esensi sumber daya manusia, keuntungan, lingkungan,
pelanggan, dan sebagainya. Landasan filosofi tersebut digunakan sebagai
pedoman moral dan pedoman bertindak dalam menjalankan semua
aktivitas dalam rangka meraih cita-cita. Pedoman inilah yang disebut
dengan nilai. Nilai yang dibentuk oleh pendiri organisasi ini tidak dibatasi
oleh ideologi-ideologi sebelumnya, karena pendiri organisasi merupakan
pembentuk budaya awal sehingga nilai-nilai yang tercipta berasal dari
pengalaman pendiri itu sendiri.
Tahap pembentukan budaya organisasi selanjutnya adalah tahap
penyampaian nilai pada karyawan. Nilai-nilai organisasi disampaikan
oleh pendiri pada anggotanya, baik secara langsung maupun tidak, sebagai
dasar untuk bertindak, mengemukakan pendapat, dan untuk berinteraksi
dengan orang lain. Upaya penyampaian nilai organisasi pada karyawan
secara langsung dilakukan dengan lisan atau verbal saat rapat,
pengambilan keputusan pada masa krisis, atau dalam komunikasi sehari-
hari. Sedangkan penyampaian nilai secara tidak langsung dapat melalui
simbol dalam logo, slogan, atau papan yang menginformasikan nilai-nilai
perusahaan. Setelah nilai-nilai tersebut terkristalisasi dan terinternalisasi
ke dalam diri masing-masing anggota organisasi, maka terbentuklah
budaya organisasi. Nilai disebut telah terkristalisasi dan terinternalisasi
ketika masing-masing anggota telah memahami, menjiwai, dan
16
mempraktekkan nilai-nilai tersebut secara bersama-sama dalam kehidupan
sehari-hari di organisasi.
Pendapat lain mengenai proses terbentuknya budaya organisasi
juga dikemukakan oleh Kotter dan Hesket (1998), yang digambarkan
melalui tahapan berikut:
Manajemen Puncak
Perilaku Organisasi
Hasil/ Implementasi Manajemen
Budaya Organisasi
Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa budaya organisasi
berawal dari nilai yang dibentuk oleh pendiri organisasi yang bertindak
sebagai manajemen puncak. Kemudian nilai-nilai tersebut diterapkan pada
kehidupan di dalam organisasi, disesuaikan dengan tujuan dan cita-cita
yang ingin diraih. Jika nilai-nilai tersebut sesuai dengan tujuan organisasi,
maka nilai tersebut terus diimplementasikan dalam organisasi. Terakhir,
ketika nilai telah disepakati bersama sebagai sebuah keyakinan yang benar
bagi kesuksesan organisasi dan dijadikan landasan utama dalam
pengambilan keputusan, maka nilai tersebut dikatakan sebagai budaya
organisasi.
3. Nilai sebagai Inti Budaya OrganisasiKarena perusahaan keluarga didirikan dan dipimpin oleh orang-
orang yang masih terhubung dalam suatu ikatan keluarga, maka secara
umum nilai-nilai yang digunakan berasal dari keluarga tersebut. Hal ini
17
ditegaskan pula oleh Dhewanto dkk, bahwa kesuksesan suatu perusahaan
keluarga didukung oleh nilai-nilai keluarga yang dianut dalam bisnis
tersebut, sekaligus berperan sebagai alat pemersatu keluarga (2012:11)
yang dapat menciptakan kesolidan. Nilai-nilai inilah yang kemudian
membentuk suatu budaya organisasi (organizational culture) atau budaya
perusahaan (corporate culture), sebab seperti pendapat Terrence E. Deal
dan Allan A. Kennedy (1982) bahwa nilai adalah inti budaya. Sehingga
budaya merefleksikan nilai-nilai dan keyakinan yang dimiliki oleh
anggota organisasi. Nilai-nilai ini cenderung berlangsung dalam waktu
yang lama dan lebih tahan terhadap perubahan (Kreitner dan Kinicki,
2003:80; Scott dkk, 2010:19). Artinya, perusahaan berkembang seturut
dengan kemajuan jaman dan teknologi, namun perkembangan yang terjadi
tidak bertentangan dengan nilai-nilai organisasi yang telah ditetapkan,
melainkan tetap berlandaskan nilai-nilai tersebut.
Definisi nilai menurut kamus Webster adalah standar atau sifat
utama yang sudah mendarah daging dan dianggap penting atau diinginkan.
Nilai (value) berasal dari kata valor, yang berarti kekuatan. Sehingga nilai
adalah kekuatan, karena mereka memberi orang-orang kekuatan untuk
bertindak (Scott dkk, 2010:19). Lebih lanjut, Gibson, Ivancevich, dan
Donnelly (1991) serta Heinz Weihrrich dan Harold Koonts (1993)
berpendapat bahwa nilai adalah suatu kepercayaan permanen mengenai
apa yang tepat dan tidak tepat yang mengarahkan tindakan dan perilaku
karyawan dalam mencapai tujuan organisasi (dalam Wirawan, 2007:45).
Dari pernyataan tersebut, diketahui bahwa nilai organisasi erat kaitannya
dengan kepercayaan. Kepercayaan yaitu apa yang menurut organisasi
dianggap benar dan tidak benar. Keduanya, nilai dan kepercayaan dapat
digunakan sebagai landasan untuk merumuskan langkah organisasi
selanjutnya atau kebijakan strategis organisasi (Wirawan, 2007:53).
18
Dengan demikian, nilai dan kepercayaan adalah sesuatu yang diyakini
kebenarannya demi kelangsungan organisasi.
Kreitner dan Kinicki (2003:80) menegaskan bahwa nilai-nilai
organisasi merupakan dasar budaya organisasi, sebab hal tersebut
mempengaruhi etika berperilaku. Pendapat serupa juga datang dari
Cynthia D. Scott, Dennis T. Jaffe, dan Glenn R. Tobe, yang menyatakan
bahwa nilai adalah fondasi budaya perusahaan dan memberi karyawan
arah dan panduan untuk perilaku sehari-hari (2010:19). Robert Haas,
Pimpinan dan CEO Levi Strauss mengatakan bahwa nilai perusahaan,
yaitu apa yang dibela oleh perusahaan dan apa yang dipercayai orang-
orang di dalam perusahaan, penting untuk kesuksesan kompetitif sebuah
perusahaan. Menurutnya, sesungguhnya nilai mengendalikan bisnis
(dalam Scott dkk, 2010:19). Dengan demikian, jelas bahwa nilai
merupakan inti dari terbentuknya budaya organisasi.
4. Pewarisan Budaya OrganisasiDengan mempertimbangkan pengertian budaya organisasi yang
dikemukakan oleh Stephen Robbins (2002:281) yaitu merujuk pada suatu
sistem pengertian bersama, maka diharapkan masing-masing individu
dengan latar belakang yang berbeda di dalam organisasi akan
mendeskripsikan budaya organisasi tersebut dengan cara yang sama.
Sebab, masih menurut Robbins, keseragaman atau kesamaan dalam
memandang budaya organisasi merupakan aspek pemahaman bersama
terhadap budaya, dan menjadikannya sebagai sarana potensial untuk
memandu dan membentuk perilaku.
Budaya organisasi sebagai suatu sistem pengertian bersama
sepaham dengan Teori Budaya Organisasi, yang berasumsi bahwa
anggota-anggota organisasi menciptakan dan mempertahankan perasaan
19
yang dimiliki bersama mengenai realitas organisasi, yang berakibat pada
pemahaman yang lebih baik mengenai nilai-nilai sebuah organisasi (West
dan Turner, 2008:319). Maksud dari asumsi ini adalah individu saling
berbagi dalam menciptakan dan mempertahankan realitas atau nilai yang
dimiliki oleh organisasi. Dengan kata lain, Teori Budaya Organisasi
mensyaratkan adanya kesamaan makna (shared meaning) atau kesamaan
nilai (shared values), dalam hal ini kesamaan budaya organisasi antara
karyawan family dan non-family.
Karenanya, untuk mendukung kesamaan nilai antara karyawan
family dan karyawan non-family, maka penting untuk dilakukan upaya
penyelarasan nilai antara keduanya, yaitu melalui pewarisan budaya
organisasi. Istilah pewarisan budaya organisasi diambil dari buku Moh.
Pabundu Tika (2006), namun dapat berbeda di beberapa referensi lain.
Schein menyebutnya dengan istilah transmit, sedangkan Kreitner dan
Kinicki memberi istilah sosialisasi. Namun seluruh istilah yang digunakan
tersebut merujuk pada satu pengertian yang sama, yaitu upaya untuk
melestarikan atau mempertahankan budaya organisasi yang ada dalam
suatu organisasi dengan cara menyalurkan nilai-nilai organisasi.
Pada dasarnya pewarisan budaya organisasi adalah kegiatan
penyampaian (transfer) pesan, yaitu nilai dan budaya organisasi itu
sendiri. Kegiatan penyampaian pesan (message) inilah yang menegaskan
kegiatan pewarisan budaya organisasi berada dalam ranah ilmu
komunikasi. Berkaitan dengan ruang lingkupnya, dimana kegiatan
komunikasi ini berlangsung di dalam kehidupan perusahaan, maka
pewarisan budaya organisasi termasuk dalam kajian komunikasi
organisasi.
Lebih lanjut, pewarisan atau sosialisasi diartikan sebagai proses
pembelajaran untuk melestarikan budaya organisasi dari pimpinan atau
pendiri organisasi dan/ atau anggota kelompok kepada anggota-anggota
20
baru dengan maksud agar budaya organisasi dapat dipakai sebagai
pedoman berperilaku oleh seluruh anggota kelompok dalam organisasi
(Tika, 2006:54). Sedangkan pendapat Kreitner dan Kinicki (2003:96)
mengatakan bahwa di dalam upaya pewarisan budaya organisasi ini
terdapat proses seseorang mempelajari nilai, norma, dan perilaku yang
dituntut, yang memungkinkan ia untuk berpartisipasi sebagai anggota
organisasi. Selanjutnya, masih menurut Kreitner dan Kinicki, sebagai
mekanisme kunci dalam menanamkan budaya organisasi, pewarisan ini
bertujuan untuk mengubah orang baru menjadi orang yang berfungsi
penuh dalam mendukung nilai dan keyakinan dasar organisasi. Pewarisan
atau sosialisasi organisasi juga sering diasumsikan sebagai proses utama
dimana orang-orang beradaptasi dengan pekerjaan baru dan aturan
organisasi (Chao et al, 1994).
Upaya pewarisan budaya organisasi pada karyawan non-family
dinilai penting. Sebab membiarkan karyawan dengan nilai yang tidak
sesuai dengan budaya organisasi organisasi hanya akan menjadi ancaman
bagi budaya organisasi itu sendiri. Padahal budaya organisasi yang ada
pada sebuah organisasi adalah nilai-nilai yang telah diyakini sebagai
faktor kunci keberhasilan organisasi tersebut. Selain itu, tanpa upaya
pewarisan budaya juga akan berpengaruh pada kekompakan
antarkaryawan, sebab tidak adanya kesamaan makna dan nilai, yang
kemudian tentu berpengaruh pada efektivitas organisasi secara
keseluruhan. Kegagalan proses sosialisasi (pewarisan) menjadi alasan
utama newcomer keluar dari organisasi atau mogok kerja (Fisher, 1986),
yang mana dapat mengganggu pekerjaan, kehilangan produktivitas (Shaw,
Gupta, & Delery, 2005) dan organisasi merugi karena menanggung biaya
rekrutmen, seleksi, dan pelatihan yang sia-sia (Kammeyer-Muller &
Wanberg, 2003 dalam Fang, Duffy, & Shaw, 2011).
21
Informasi penting yang diperlukan oleh karyawan baru
(newcomer) selain deskripsi kerja adalah budaya organisasi. Pewarisan
atau sosialisasi budaya organisasi dilakukan dengan semangat Teori
Asimilasi Budaya, yang berasumsi bahwa semua karyawan yang berbeda
akan belajar untuk menyesuaikan atau menjadi seperti kelompok yang
dominan untuk menciptakan homogenitas di antara karyawan (Kreitner
dan Kinicki, 2003:63). Sedangkan menurut Martin dan Nakayama (2007),
asimilasi berarti seseorang tidak ingin mempertahankan budayanya,
namun lebih ingin mempertahankan hubungannya dengan orang lain yang
berbeda budaya. Asimilasi Budaya memaksa orang baru untuk mengikuti
budaya dominan dan konsekuensinya akan kehilangan beberapa aspek
budaya yang dibawanya.
Asimilasi organisasi diartikan sebagai “the process by which an
individual becomes integrated into the culture of an organization” (Jablin,
2001). Proses asimilasi melihat seberapa baik anggota baru beradaptasi
pada norma perilaku dan mengadopsi nilai baru dari organisasi. Ada dua
proses asimilasi yang saling berkaitan secara dinamis (Merrill, 2006),
yaitu:
1. Upaya yang direncanakan dan sengaja diprogramkan oleh
organisasi untuk mensosialisasikan karyawan (sosialisasi).
2. Upaya anggota organisasi untuk ‘individual’ atau mengubah peran
dan lingkungan kerjanya untuk memuaskan nilai, sikap, dan
kebutuhan mereka (individualisasi).
Sosialisasi organisasi merujuk pada upaya organisasi dalam proses
asimilasi, yang diharapkan dapat menciptakan loyalitas, yaitu kewajiban
moral pada organisasi, dan juga dapat menciptakan kongruensi yaitu
kesamaan core value antara individu dan organisasi. Proses asimilasi
karyawan terjadi sejak karyawan tersebut pertama kali bergabung dengan
22
organisasi. Ada tiga tahap dalam proses asimilasi terhadap karyawan
baru, yaitu:
1. Anticipatory socialization, merupakan bentuk ekspektasi newcomer
tentang organisasi dan menjadi anggota organisasi tersebut.