Page 1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk individu dan makhluk sosial. Sebagai
makhluk individu, manusia memiliki unsur jasmani dan rohani, unsur fisik dan
psikis, serta unsur jiwa dan raga. Manusia sebagai makhluk sosial merupakan
manusia saling berinteraksi antara manusia satu dengan manusia lainnya dalam
kehidupan berkelompok. Kelompok-kelompok tersebut dapat berupa kelompok-
kelompok kecil yang terdiri dari dua orang, masyarakat menengah yang terdiri
dari banyak orang seperti perkumpulan masyarakat, dan masyarakat terbesar
seperti negara.1
Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia mempunyai tujuan dalam
memenuhi segala aspek kebutuhannya, sehingga diperlukannya hubungan antara
masyarakat satu dengan yang lainnya agar dapat mencapai suatu tujuan dan juga
melindungi segala kepentingannya, sehingga manusia sangat membutuhkan suatu
aturan yang dapat mengatur hubungan yang terjadi diantara mereka. Aturan-
aturan tersebut sangat bersifat sederhana, namun seiring dengan semakin
banyaknya suatu permasalahan yang dilakukan oleh perbuatan manusia sendiri,
maka aturan-aturannya pun menjadi semakin sulit untuk dirumuskan serta
membutuhkan pihak lain dalam pembuatan, pelaksanaan, maupun penegakannya
agar tercipta ketertiban yang teratur. Di dalam masyarakat dapat dijumpai
1R. Soeroso, 2013, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 297.
Page 2
berbagai macam suatu pedoman atau ukuran yang bertujuan untuk berprilaku
yang disebut dengan norma atau kaidah-kaidah.2 Hal tersebut dapat kita
definiskan sebagai hukum.
Menurut Thomas Hobbes, Hukum adalah perintah-perintah dari orang
yang memiliki kekuasaan untuk memerintah dan memaksakan perintahnya
kepada orang lain. Oleh karena itu, pelanggaran-pelanggaran perintah hidup
tersebut dapat menimbulkan suatu tindakan dari pemerintah sebagai pelanggar.3
Hukum bersifat mengatur dan memaksa , hal ini dibuktikan dengan adanya
sanksi yang telah dicantumkan terhadap aturan hukum, sanksi tersebut
dikeluarkan oleh negara sebagai upaya dalam menciptakan keamanan dan
ketertiban dalam suatu kehidupan bernegara.
Menurut Mac Iver, Negara adalah asosiasi yang menyelenggarakan
ketertiban masyarakat dalam suatu wilayah berdasarkan sistem hukum dan untuk
melaksanakan hal tersebut, ia diberi kekuasaan untuk memaksa. Berdasarkan hal
tersebut dapat dikatakan bahwa negara sebagai organisasi yang berada dalam
suatu wilayah, memiliki kekuasaan memaksa sesuai dengan tata hukum yang
berlaku.4
Obyektivitas penegakan hukum terasa masih jauh dari harapan
masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari peradilan yang tidak jujur, hakimhakim
yang terkontaminasi oleh kondisi perilaku pemerintahan yang tidak konsisten,
2 http://ernawintri. blogspot.co.id/2012/04/pengantar-ilmu-hukum.html, diakses tanggal 10
Januari 2017, pukul 13.00 WIB.
3 Zainal Asikin, 2011, Pengantar Ilmu Hukum, Rajawali Pers, hlm. 10.
4 I Dewa Gede Atmadja, 2012, Ilmu Negara, Setara Press, Malang, hlm. 20 .
Page 3
pengacara yang mengerjai rakyat, adalah akumulasi ketidakpercayaan lembaga
yudikatif, di dalam menjalankan perannya sebagai pelindung, pengayom rakyat,
yang berdampak pada tatanan kehidupan masyarakat yang tidak menganggap
hukum sebagai jaminan keselamatan di dalam interaksi sesama warga
masyarakat.
Menurut hukum yang berlaku, Indonesia merupakan negara hukum. Hal
ini telah dipertegas dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945 yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara
hukum, maka semua rakyat Indonesia harusnya mampu berbuat dengan kesiapan
bertanggung jawab di hadapan hukum yang berlaku.5 Ciri-ciri dari negara hukum
itu yaitu : pertama Pengakuan dan Perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia.
Kedua, peradilan yang bebas dan tidak memihak. Ketiga, asas pembagian
pemisahan kekuasaan. Dalam prakteknya, banyak ditemukan penyimpangan-
penyimpangan atau terjadinya kasus-kasus yang dapat dikatakan sebagai suatu
Tindak Pidana. Adapun jenis-jenis dari tindak pidana adalah Kejahatan dan
pelanggaran, Kesengajaan dan kealpaan, perbuatan yang melanggar undang-
undang (Delik commisionis), menitik pada perbuatannya (Delik formil), menitik
berat pada akibatnya (Delik materil), hanya dilakukan sekali dalam perbuatannya
(Delik Tunggal), delik berganda yang diatur dalam Pasal 481 KUHP, delik biasa
yang dikenal dengan delik laporan, dan delik sederhana tentang pencurian yang
diatur dalam Pasal 362 KUHP.
5 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, 1945.
Page 4
Pencurian adalah pengambilan properti milik orang lain secara tidak sah
tanpa seizin pemiliknya.6 Tindak Pidana Pencurian ini telah di atur didalam Pasal
362 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi:
“Barang siapa yang mengambil barang sesuatu yang seluruhnya atau
sebagian kepunyaan orang lain dengan maksud untuk dimiliki secara
melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling
lama lima tahun atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.
Pasal 362 KUHP tersebut, dapat diuraikan unsur-unsur tindak pidana
pencurian di antaranya :
1. Mengambil barang,
2. Barang harus kepunyaan orang lain seluruhnya atau sebagian,
3. Pengambilan barang yang demikian itu harus dengan maksud ingin
memiliki secara melawan hukum.7
Moeljatno mengemukakan pendapatnya, bahwa unsur-unsur yang terdapat
di dalam Pasal 362 KUHP dirumuskan sebagai tindak pidana pencurian,
pengambilan barang orang lain. Maksud untuk memiliki barang tersebut dilakukan
secara melawan hukum. Sifat melawan hukum di dalam Pasal 362 KUHP,
perbuatan tidak dari hal-hal yang lahir, tetapi tergantung pada niat orang yang
6 https://id.m.wikipedia.org/wiki/Pencurian, akses tanggal 18 Januari 2017, Pukul 14.00 WIB.
7 Sugandhi, 1980, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Usaha Nasional, Surabaya, hlm.
376.
Page 5
mengambil barang.8 Pada mulanya benda-benda yang menjadi objek pencurian
adalah terbatas pada benda-benda bergerak (roerend). Benda-benda tidak bergerak
baru dapat menjadi objek pencurian apabila telah terlepas dari benda tetap dan
menjadi benda bergerak.
Kejahatan merupakan suatu perbuatan yang menyimpang, yang
mempunyai sifat yang tercelah sehingga perbuatan ini sering menimbulkan sanksi
sosial dalam masyarakat. Adapun usaha manusia untuk menghapus kejahatan
tersebut adalah dengan cara menekan atau mengurangi laju terjadinya kejahatan.
Beberapa perbuatan atau tindakan-tindakan yang melanggar hukum serta
mengganggu ketenangan dan keserasian hidup bersama, salah satunya adalah
kejahatan pencurian dengan pemberatan dimana hampir setiap hari dapat kita lihat
di media elektronik maupun media massa.
Jenis kejahatan pencurian dengan pemberatan merupakan salah satu
kejahatan yang paling sering terjadi di masyarakat. Tindak pidana pencurian
termuat dalam buku kedua Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan
telah diklasifikasikan ke beberapa jenis kejahatan pencurian. Tindak pidana
pencurian merupakan salah satu tindak pidana yang sering kali dilakukan oleh
anak dengan berbagai macam latar dan dorongan yang menjadi penyebabnya.
Selain dari Pasal 362 KUHP tindak pidana pencurian juga di atur dalam
Pasal 363 KUHP yang mengatur tentang jenis pencurian dan pencurian dengan
8 Moeljatno, 1985, Asas-Asas Hukum Pidana, PT.Bima Aksara, Jakarta, hlm. 62.
Page 6
pemberatan. Pasal 364 KUHP mengatur mengenai pencurian ringan, Pasal 365
KUHP mengatur tentang pencurian dengan kekerasan, Pasal 367 KUHP mengatur
tentang pencurian dalam keluarga. Menyangkut dengan ancaman pidananya, Pasal
363 KUHP memiliki ancaman sanksi pidana yang lebih ringan dibandingkan pasal
lainnya. Pasal 363 KUHP ini dikenal dengan pencurian dengan pemberatan atau
pencurian khusus atau pencurian dengan kualifikasi (gequalificeerde deifstal).9
Maksud dari pencurian dengan pemberatan adalah pencurian biasa yang dalam
pelaksanaannya disertai oleh keadaan tertentu yang memberatkan. Salah satu yang
dimaksud dari keadaan tertentu adalah sebagai berikut :
1. Barang yang dicuri adalah hewan.
2. Pencurian yang dilakukan pada waktu kebakaran, letusan, banjir,
gempa bumi atau gempa laut, letusan gunung api, kapal karam,
kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara, pemberontakan
atau kesengsaraan di masa perang.
3. Dilakukan pada malam hari terhadap rumah atau pekarangan
tertutup yang ada rumahnya.
4. Dilakukan oleh 2 orang bersama-sama atau lebih.
5. Dilakukan dengan cara membongkar, memecah atau memanjat atau
dengan jalan memakai kunci palsu, perintah palsu atau pakaian
jabatan palsu.
9 http://ngobrolhukum.blogspot.co.id/2010/11/pencurian-dengan-pemberatan.html, akses
tanggal 18 Januari 2017, Pukul 15.30 WIB.
Page 7
Berdasarkan Pasal 363 KUHP, orang yang melakukan pencurian dengan
pemberatan diancam dengan pidana penjara paling lama 7 (Tujuh) tahun. Selain
untuk memenuhi unsur-unsur pencurian biasa dalam Pasal 362 KUHP, juga
disertai dengan hal yang memberatkan, yakni dilakukan dalam kondisi tertentu
atau dengan cara tertentu. Hukuman itu bisa menjadi lebih berat, yakni maksimal 9
tahun penjara, apabila pencurian dilakukan pada malam hari terhadap sebuah
rumah atau pekarangan yang tertutup yang ada rumahnya, serta apabila pencurian
dilakukan oleh 2 orang bersama-sama atau lebih.
Tindak pidana pencurian tidak saja dilakukan oleh orang dewasa tetapi dari
beberapa kasus juga dilakukan oleh anak. Anak seringkali mencari jalan pintas
untuk mendapatkan suatu barang dengan cara mencuri maupun dengan mencuri
kemudian mendapatkan uang dari hasil penjualannya. Tindak pidana pencurian
pun semakin marak dilakukan oleh anak bahkan tidak jarang disertai dalam
keadaan memberatkan untuk mempermudah aksinya.
Anak sebagai salah satu subjek hukum di negara ini juga harus tunduk dan
patuh terhadap aturan hukum yang berlaku, tetapi tentu saja ada perbedaan
perlakuan antara orang dewasa dan anak dalam hal sedang berhadapan dengan
hukum. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya perlindungan terhadap anak sebagai
bagian dari generasi muda. Ketika terjadi kenakalan yang dilakukan oleh anak
bahkan sampai mengarah kepada tindak pidana seperti pencurian, tentunya itu
sangat meresahkan warga masyarakat karena masyarakat akan merasakan
ketidaknyamanan dalam lingkungannya, keadaan seperti itu tentu tidak diinginkan
oleh setiap warga masyarakat sehingga masyarakat cenderung melakukan
Page 8
peningkatan kewaspadaan dan upaya-upaya penanggulangan agar tindak pidana
seperti pencurian khususnya yang dilakukan oleh anak bisa berkurang.
Ada beberapa kasus pencurian yang terjadi di Indonesia saat ini yang
pelakunya adalah anak di bawah umur sangat banyak sekali seperti kasus
pencurian yang terjadi di Pangkalan Kerinci seorang ibu kehilangan uang sebesar
Rp. 15 Juta dan perhiasan emas seberat 20 gram.10
Kasus Pencurian yang terjadi di
Sumatera Barat, pencurian sepeda motor yang pelakunya juga dilakukan oleh anak
di bawah umur terjadi di kenagarian kampung dalam kecamatan lubuk tarok, yang
akhirnya sipelaku dapat ditangkap dan di amankan di polres sijunjung.11
Kasus
pencurian juga terjadi di kota Padang di daerah kuranji, pencurian sepeda motor
yang dilakukan oleh anak yang berumur 17 tahun, pencurian sepeda motor yang
berhasil ditangkap di Kelurahan Sei Sapih Kecamatan Kuranji di salah satu SMK
di Kota Padang.12
Dari berbagai kasus yang terjadi di Indonesia salah satunya juga
terjadi kasus pencurian yang melibatkan anak sebagai pelaku adalah kasus
pencurian accu atau baterai excavator yang terjadi di Kasiak Putiah Kecamatan
Lubuk Alung Kabupaten Padang Pariaman.
Pencurian tersebut dilakukan pada malam hari dan dilakukan dengan cara
merusak dan memanjat. Kasus pencurian tersebut sampai pada tahap persidangan
10
http://pekanbaru.tribunnews.com/20/15/03/25/ini-kronologis-kasus-pencurian-oleh-anak-di-
bawah-umur-versi-korban. Html, akses tanggal 18 Januari 2017, Pukul 17.00 WIB.
11 http://harianhaluan.com/mobile/detailberita/46150/anak-di-bawah-umur-diduga-curi-
sepeda-motor. html, akses tanggal 18 Januari 2017, Pukul 18.00 WIB.
12 http://www.anatarasumbar.com/berita/159753/polisi-kembangan-pencurian-motor-
tersangka-pelajar.html, akses tanggal 18 Januari 2017, Pukul 19.00 WIB.
Page 9
di Pengadilan Negeri Pariaman. Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Pariaman
dalam perkara pidana nomor 7/Pid.Sus-Ank/2016/PN/Pmn anak tersebut dijatuhi
hukuman penjara selama 3 bulan.13
Kasus-kasus yang telah di perbuat oleh pelaku
telah melanggar norma dan kaidah yang ada karena pelaku pencurian tidak
memikirkan perbuatannya dahulu sebelum melakukan pencurian, oleh karena itu
pelaku harus menerima hukuman yang akan diberikan sesuai dengan aturan-aturan
yang telah ditegaskan. Hal ini sangat menarik bagi penulis untuk melakukan
sebuah penelitian karena Pasal 363 KUHP merupakan tindak pidana pencurian
dengan pemberatan yang ancamannya lebih berat dari pasal pencurian lainnya,
sementara itu untuk anak sebagai pelaku tindak pidana ancaman hukuman yang
akan dijatuhkan harus disesuaikan dengan kepentingan si anak. Hal ini
dimaksudkan sebagai upaya perlindungan terhadap anak sebagai bagian dari
generasi muda. Perlindungan ditujukan terhadap berbagai macam perbuatan yang
membahayakan keseimbangan, kesejahteraan, keamanan dan ketertiban sosial.
Menurut Undang-Undang Perlindungan Anak Dalam Pasal 1 angka 1 UU
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, mendefinisikan anak sebagai
berikut: "anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan".14
Sedangkan menurut UU SPPA
dalam pasal 1 Angka 3 mendefenisikan anak di bawah umur sebagai anak yang
telah berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun yang terlibat dalam suatu
tindak pidana dalam tiga kategori:
13
PUTUSAN Nomor 7/Pid.Sus-Anak/2016/PN Pmn
14 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Page 10
a. Anak yang menjadi pelaku tindak pidana (Pasal 1 angka 3 UU
SPPA);
b. Anak yang menjadi korban tindak pidana (Anak Korban) (Pasal 1
angka 4 UU SPPA); dan
c. Anak yang menjadi saksi tindak pidana (Anak Saksi) (Pasal 1 angka
5 UU SPPA)
Menurut UU SPPA, seorang pelaku tindak pidana anak dapat dikenakan
dua jenis sanksi, yaitu tindakan, bagi pelaku tindak pidana yang berumur di bawah
14 tahun (Pasal 69 ayat (2) UU SPPA) dan Pidana, bagi pelaku tindak pidana yang
berumur 15 tahun ke atas.
a. Sanksi Tindakan yang dapat dikenakan kepada anak meliputi (Pasal
82 UU SPPA);
1. Pengembalian kepada orang tua/Wali;
2. Penyerahan kepada seseorang;
3. Perawatan di rumah sakit jiwa;
4. Perawatan di LPKS;
5. Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau
pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan
swasta;
6. Pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau
7. Perbaikan akibat tindak pidana.
b. Sanksi Pidana
Page 11
Sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada pelaku tindak pidana
anak terbagi atas Pidana Pokok dan Pidana Tambahan (Pasal 71 UU
SPPA):
Pidana Pokok terdiri atas:
1. Pidana peringatan;
2. Pidana dengan syarat, yang terdiri atas: pembinaan di luar
lembaga, pelayanan masyarakat, atau pengawasan;
3. Pelatihan kerja;
4. Pembinaan dalam lembaga;
5. Penjara.
Pidana Tambahan terdiri dari:
1. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
atau
2. Pemenuhan kewajiban adat.
Selain itu, UU SPPA juga mengatur dalam hal anak belum berumur 12
(dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, Penyidik,
Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional mengambil
keputusan untuk: (dilihat pada Pasal 21 UU SPPA)
a. Menyerahkannya kembali kepada orang tua/Wali; atau
b. Mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan
pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang
Page 12
menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun
daerah, paling lama 6 (enam) bulan.
Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak melalui
Keppres No. 36 Tahun 1990. Pemerintah juga menerbitkan Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak dan Undang-undang No. 5 Tahun
1998 sebagai ratifikasi terhadap Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan
atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan
Martabat Manusia. Selain itu, pemerintah juga menetapkan Undang-undang No.
39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi manusia. Yang paling baru dan merupakan
langkah maju adalah ditetapkannya Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak. Semua instrument hukum nasional ini dimaksudkan untuk
memberikan jaminan perlindungan hak-hak anak secara lebih kuat ketika mereka
berhadapan dengan hukum dan harus menjalani proses peradilan.
Inilah yang kemudian menjadi dasar mengapa perlau ada perlakuan
yang khusus kepada anak baik anak sebagai korban ataupu anak sebagai pelaku
tindak pidana ,makanya perlu ada perhatian khusus terhadap anak mengingat
anak adalah calon generasi pelanjut masa depan yang sudah seharusnya diberikan
perhatian dan perlakuan yang lenih khusus bukan hanya oleh orangtua tetapi juga
oleh pemerintah.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka penulis hendak
melakukan penelitian yang hasilnya akan dijadikan skripsi ini dengan judul:
Page 13
‘’ANALISIS YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN
DENGAN PEMBERATAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DI
PENGADILAN NEGERI PARIAMAN (Dalam Perkara Pidana No :
7/Pid.Sus-Ank/2016/PN/Pmn)”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan, maka yang menjadi
permasalahan dalam penelitian ini adalah:
a. Bagaimanakah Penerapan Hukum Pidana Materil Terhadap Tindak Pidana
Pencurian Dengan Pemberatan Yang Dilakukan Oleh Anak (Dalam Perkara
Pidana No: 7/Pid.Sus-Ank/2016/PN/Pmn)?
b. Bagaimanakah dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana
Terhadap Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan Yang dilakukan Oleh
Anak (Dalam Perkara Pidana No: 7/Pid.Sus-Ank/2016/PN/Pmn)
c. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimana penerapan hukum pidana materil terhadap
tindak pidana pencurian dengan pemberatan yang dilakukan oleh anak.
2. Untuk mengetahui bagaimana dasar pertimbangan hukum oleh hakim dalam
menjatuhkan pidana terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana pencurian
dengan pemberatan.
2. Manfaat Penelitian
Page 14
Adapun manfaat dari penulisan ini mencakup manfaat teroritis dan manfaat
praktis yaitu sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
a. Untuk menambah wawasan pengetahuan dan memberikan sumbangan
pemikiran terhadap perkembangan ilmu hukum pidana.
b. Untuk memperluas ilmu pengetahuan dibidang hukum pidana,
khususnya dalam kasus pencurian dengan pemberatan yang dilakukan
oleh anak yang terjadi akhir-akhir ini.
2. Manfaat Praktis
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi penegak hukum
dan masyarakat sesuai dengan permasalahan yang dibahas.
b. Menambah informasi kepada para pihak-pihak terkait mengenai tindak
pidana pencurian dengan pemberatan yang dilakukan oleh anak dari
putusan pengadilan, sehingga proses peradilan terhadap anak dapat
dijalankan dengan memperhatikan hak-hak anak dan penegakan hukum
dapat berjalan sebagaimana mestinya.
C. Kerangka Teoritis dan Kerangka Konseptual
1. Kerangka Teoritis
a. Teori Pemidanaan
Sebagaimana yang telah dibicarakan secara sepintas bahwa hukuman
ditunjukan terhadap pribadi orang yang melakukan pelanggaran pidana.
Hukuman atau sanksi yang dianut hukum pidana membedakan hukum
pidana dengan bagian hukum lainnya. Hukuman dalam hukum pidana
Page 15
ditunjukan untuk memelihara keamanan dan pergaulan hidup yang
teratur.
Yang menjadi perdebatan para pakar adalah dasar diadakannya
hukuman tersebut, yang akhirnya menimbulkan 3( tiga ) teori, yakni :
1. Teori imbalan (absolute/ vergeldingstheorie)
Menurut teori ini, dasar hukuman harus dicari dari kejahatan itu
sendiri. Karena kejahatan itu telah menimbulkan penderitaan bagi orang
lain, sebagai imbalannya (vergelding) si pelaku juga harus diberi
penderitaan.
Para pakar penganut teori ini, antara lain : 15
a) Immanuel Kant
Immanuel Kant selaku ahli filsafat berpendapat bahwa dasar
hukum pemidanaan harus dicari dari kejahatan itu sendiri, yang
telah menimbulkan penderitaan pada orang lain, sedangkan
hukuman itu merupakan tuntutan yang mutlak (absolute) dari
hukum kesusilaan. Disini hukuman itu merupakan suatu
pembalasan yang etis.
b) Hegel
Ahli filsafat ini mengajarkan bahwa hukum adalah suatu
kenyataan kemerdekaan. Oleh karena itu, kejahatan merupakan
tantangan terhadap hukum dan hak. Hukuman dipandang dari
15
Leden Marpaung, 2005, Asas- Teori- Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.
105.
Page 16
sisi imbalan sehingga hukuman merupakan dialectishe
vergelding.
2. Teori maksud atau tujuan (relative / doeltheorie)
Berdasarkan teori ini, hukuman dijatuhkan untuk melaksanakan
maksud dan tujuan dari hukuman itu, yakni memperbaiki ketidakpuasan
masyarakat sebagai akibat kejahatan itu. Tujuan hukuman harus
dipandang secara ideal. Selain dari itu, tujuan hukuman adalah untuk
mencegah (previnsi) kejahatan. Namun, terdapat perbedaan dalam hal
prevensi, yakni :
a) Ada yang berpendapat agar prevensi ditunjukan kepada umum
yang disebut prevensi umum (algemene preventive). Hal ini
dapat dilakukan dengan ancaman hukuman, penjatuhan
hukuman, dan pelaksanaan (eksekusi) hukuman.
b) Ada yang berpendapat agar prevensi ditunjukan kepada orang
yang melakukan kejahatan ini (special preventive).
Selain itu, timbul perbedaan pendapat mengenai cara mencegah
kejahatan, diantaranya dengan cara :
1) Menakut-nakuti, yang ditujukan terhadap umum;
2) Memperbaiki pribadi sipelaku atau penjahat agar menginsafi
atau tidak mengulangi perbuatannya;
3) Melenyapkan orang yang melakukan kejahatn dari
pergaulan hidup.
Page 17
Teori relative modern juga dikemukakan oleh Frans von
Liszt, Van Hamel, dan D. Simons. Mereka mengutarakan
bahwa untuk menjaga ketertiban, negara menentukan
berbagai peraturan yang mengandung larangan dan
keharusan. Peraturan dimaksud untuk mengatur hubungan
antara individu di dalam masyarakat, membatasi hak
perseorangan agar mereka dapat hidup aman dan tentram.
3. Teori Gabungan (verenigingstheorie)
Pada dasarnya teori gabungan adalah gabungan kedua teori diatas.
Gabungan kedua teori itu mengjarkan bahwa penjatuhan hukuman adalah
untuk mempertahankan tata tertib hukum dalam masyarakat dan
memperbaiki pribadi si penjahat.
Dengan menelaah teori-teori diatas, dapat disimpulkan bahwa tujuan
pemidanaan adalah :
a) Menjerakan penjahat
b) Membinasakan atau membuat si penjahat tidak berdaya lagi
c) Memperbaiki pribadi penjahat
Pada hakikatnya ketiga hl tersebut menjadi dasar diadakannya sanksi
pidana. Akan tetapi, membinasakan penjahat msih menjadi maslah
perdebatan para pakar. Sebagaimana negara memang telah menghapuskan
hukuman mati, tetapi sebagian lagi masih dapat menerimanya.
b. Teori Penegakan Hukum
Page 18
Teori penegakan hukum pada hakikatnya mengandung supremasi nilai
subtansial yaitu keadilan yang merupakan tujuan dari pembentukan
hukum, dilaksanakan secara konsisten oleh aparatur penegak hukum
untuk menciptakan kepastian hukum bagi masyarakat.16
Pelaksanaan
hukum inilah yang kemudian disebut sebagai penegakan hukum.
Menurut Satjipto Raharjo penegakan hukum merupakan penegakan
ide-ide atau konsep-konsep tentang keadilan, kebenaran, kemanfaatan
sosial, dan sebagainya. Jadi penegakan hukum merupakan usaha untuk
mewujudkan ide dan konsep tersebut menjadi kenyataan dalam
prakteknya.17
Penegakan hukum juga terdapat beberapa kaedah-kaedah/faktor-faktor
yang ada di dalamnya di antaranya : Kaedah hukum/peraturan itu sendiri,
petugas/penegak hukum, Fasilitas masyarakat. Untuk berfungsinya suatu
kaedah hukum dalam masyarakat sangat tergantung dari pada hubungan
yang serasi (kaitan proposionil) antar keempat faktor diatas.18
Dengan
begitu dalam penegakan hukum dapat berjalan dengan baik.
2. Kerangka Konseptual
Agar tidak terjadi kesalahpahaman terhadap pokok-pokok pembahasan
dalam penulisan ini, maka penulis akan memberikan konsep yang bertujuan
16
Satjipto Raharjo, 2009, Penegakan Hukum suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing,
Yogyakarta, hlm. 9.
17 Dellyana Shat, 2004, Konsep Penegkan Hukum, Liberty, Yogyakarta, hlm. 33.
18 Soerjono Soekanto, 1987, Sosiologi hukum dalam masyarakat, cet. Ke-3, Rajawali, Jakarta,
hlm. 14.
Page 19
untuk menjelaskan berbagai istilah yang digunakan dalam penulisan ini, agar
tidak terjadi kesalahpahaman terhadap pokok-pokok pembahasan. Adapun
istilah-istilah yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai
berikut :
1. Analisis
Analisis menurut Robert J. Schreiter, merupakan “membaca” teks,
yang melikalisasikan tanda-tanda yang menempatkan tanda-tanda itu dalam
interaksi yang dinamis dan pesan-pesan yang disampaikan.19
2. Yuridis
Menurut kamus hukum, yuridis berasal dari kata Yuridisch yang
berarti menurut hukum atau segi hukum.20
3. Tindak Pidana
Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan
hukum, larangan mana disertai sanksi yang berupa pidana tertentu bagi
siapapun yang melanggar larangan tersebut.21
4. Pencurian
Pencurian merupakan delik yang dirumuskan secara formal dimana
yang dilarang dan diancam dengan hukuman, dalam hal ini adalah perbuatan
yang diartikan “mengambil”. Dalam artian kata “mengambil” (wegnamen)
19
https://carapedia.com/pengertian_definisi_analisa_info2180.html, diakses tanggal 10 maret
pukul 13:00 WIB.
20 M. Marwan dan Jimmy P, 2009, Kamus Hukum, Reality Publisher, Surabaya, hlm. 651.
21 Moeljatno, Op.cit, hlm. 54.
Page 20
dalam arti sempit terbatas pada menggerakkan tangan dan jari-jari, memegang
barangnya, dan mengalihkannya ke lain tempat.22
5. Tindak Pidana Pencurian dengan Pemberatan
Tindak pidana pencurian dengan pemberatan adalah suatu pencurian
dengan cara-cara tertentu atau dalam keadaan tertentu sehingga bersifat lebih
berat dan maka dari itu diancam dengan hukuman yang maksimumnya lebih
tinggi, yaitu lebih dari hukuman penjara lima tahun dari Pasal 362 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).23
6. Anak
Menurut Pasal 45 KUHP, mendefinisikan anak yang belum dewasa
apabila belum berumur 16 (enam belas) tahun. Oleh karena itu, apabila ia
tersangkut dalam perkara pidana hakim boleh memerintahkan supaya si
tersalah itu dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya
dengan tidak dikenakan suatu hukuman.24
Anak yang berhadapan dengan
hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukuman anak yang menjadi
korban tindak pidana dan anak yang menjadi saksi tindak pidana.25
Menurut
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1
yaitu : “anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan.”
22
Wiryono Projodikoro, 2003, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, PT Refika
Aditama, Bandung, hlm. 14.
23 Ibid, hlm.19
24 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Pasal 45.
25 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Page 21
D. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah cara yang teratur dan terpikir secara runtut dan
baik dengan menggunkan metode ilmiah yang bertujuan untuk menentukan,
mengembangkan maupun guna menguji kebenaran maupun ketidak benaran dari
suatu pengetahuan, gejala atau hipotesa. Suatu penelitian ilmiah dapat berjalan
dengan baik maka perlu menggunakan suatu metode penelitian yang baik dan
tepat. Metodologi merupakan suatu unsur yang mutlak harus ada didalam suatu
penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan.26
1. Pendekatan Masalah
Mengenai pendekatan masalah yang digunakan adalah dengan metode
penelitian hukum yuridis sosiologis yaitu penelitian yang dilakukan dengan
cara mengkaji bagaimana suatu aturan diimplementasikan di lapangan,
khususnya berkenaan dengan tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh
anak di Pengadilan Negeri Pariaman.
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini besifat deskriptif - analitis yaitu penelitian yang
menggambarkan atau melakukan objek penelitian yang kemudian dianalisis
melalui analisis yuridis kualitatif.27
3. Jenis dan Sumber Data
Adapun jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
26
Soerjono Soekanto, 2006, Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 7.
27 Bambang Sunggono, 1996, Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 42.
Page 22
1. Data Primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung melalui
penelitian di lapangan dengan mengadakan wawancara (interview)
kepada pihak yang berkompeten, dalam hal ini adalah hakim yang telah
menangani perkara tindak pidana pencurian dengan pemberatan dengan
anak sebagai pelakunya.
2. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dan bersumber dari studi
kepustakaan yakni melalui peraturan perundang-undangan, salinan
putusan pengadilan, literatur- literatur, buku, makalah, artikel serta
bahan- bahan tertulis lainnya yang berkaitan dengan objek yang akan
dibahas.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian
ini adalah:
a. Studi Dokumen
Studi dokumen merupakan cara mengumpulkan, mempelajari, dan
menganilisa teori-teori dan peraturan-peraturan yang berhubungan
dengan permasalahan yang akan dibahas
b. Wawancara
Wawancara adalah metode pengumpulan data dengan cara melakukan
Tanya jawab secara lisan dan tulisan dengan responden. Wawancara
dilakukan dengan semi-terstruktural yakni disamping menyusun
pertanyaan penulis juga mengembangan pertanyaan lain yang
Page 23
berhubungan dengan masalah yang ada kaitannya dengan penelitian
yang akan penulis lakukan pada instansi terkait.
Samping yang dipilih berdasarkan pertimbangan/penelitian subjektif
dari penelitian, jadi dalam hal ini peneliti menentukan sendiri responden
mana yang dianggap mewakili populasi (Purposive Sampling).28
Wawancara penulis lakukan di Pengadilan Negeri Pariaman.
Pengelolaan dan Analisa Data
1. Pengolahan berasal dari kata olah yang berati mengerjakan,
mengusahakan supaya supaya menjadi barang lain atau menjadi lebih
sempurna. Pengolahan berati proses, cara, perbuatan mengolah.
2. Data berarti keterangan yang benar dan nyata; dan atau keterangan atau
bahan nyata yang dapat dijadikan dasar kajian.
28
Burhan Ashshofa, 2010, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 91.