1 BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan kondisi wilayah daratan dan perairan yang luas dan kompleks, terbentang mulai dari Pulau Sabang di Provinsi Aceh sampai dengan Kabupaten Merauke di Provinsi Papua. Beberapa referensi memberikan data tentang jumlah pulau yang ada di Indonesia, diantaranya Tuo (2011) dan Kodoatie (2012) yang menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau kurang lebih 17.508 pulau. Data tersebut telah terkoreksi, berdasarkan informasi terkini tentang jumlah pulau yang telah terdaftar dan berkoordinat yang dimiliki oleh Indonesia sebagai hasil kerja Tim Nasional Pembakuan Rupabumi Indonesia adalah sejumlah 13.466 pulau, terbentang mulai dari Sabang sampai dengan Merauke. Informasi tersebut disampaikan pertama kali oleh Kepala Badan Informasi Geospasial Asep Karsidi kepada Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Eka Pangestu, saat serah terima perangkat pendukung infrastruktur informasi geospasial di Gedung Sapta Pesona Kemenparekraf Jakarta, pada 7 Mei 2014. Selanjutnya dijelaskan oleh Asep Karsidi, bahwa jumlah tersebut sudah diakui dunia internasional dan tercatat di PBB melalui United Nations Group of Experts on Geographical Names (UN GEGN), dimana Indonesia bergabung di dalamnya (www.bakosurtanal.go.id). Dahuri, dkk (1996) menyatakan bahwa sebagai negara kepulauan terbesar, Indonesia memiliki panjang garis pantai lebih dari 81.000 km serta luas laut sekitar 3,1 juta km2 sehingga wilayah pesisir dan lautan Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan dan keanekaragaman hayati (biodiversity) laut terbesar di dunia
24
Embed
BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107302/potongan/S3-2016... · dengan kekayaan dan keanekaragaman hayati (biodiversity) laut terbesar di
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan kondisi
wilayah daratan dan perairan yang luas dan kompleks, terbentang mulai dari Pulau
Sabang di Provinsi Aceh sampai dengan Kabupaten Merauke di Provinsi Papua.
Beberapa referensi memberikan data tentang jumlah pulau yang ada di Indonesia,
diantaranya Tuo (2011) dan Kodoatie (2012) yang menyatakan bahwa Indonesia
merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau kurang lebih 17.508 pulau.
Data tersebut telah terkoreksi, berdasarkan informasi terkini tentang jumlah
pulau yang telah terdaftar dan berkoordinat yang dimiliki oleh Indonesia sebagai
hasil kerja Tim Nasional Pembakuan Rupabumi Indonesia adalah sejumlah 13.466
pulau, terbentang mulai dari Sabang sampai dengan Merauke. Informasi tersebut
disampaikan pertama kali oleh Kepala Badan Informasi Geospasial Asep Karsidi
kepada Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Eka Pangestu, saat serah
terima perangkat pendukung infrastruktur informasi geospasial di Gedung Sapta
Pesona Kemenparekraf Jakarta, pada 7 Mei 2014. Selanjutnya dijelaskan oleh Asep
Karsidi, bahwa jumlah tersebut sudah diakui dunia internasional dan tercatat di PBB
melalui United Nations Group of Experts on Geographical Names (UN GEGN),
dimana Indonesia bergabung di dalamnya (www.bakosurtanal.go.id).
Dahuri, dkk (1996) menyatakan bahwa sebagai negara kepulauan terbesar,
Indonesia memiliki panjang garis pantai lebih dari 81.000 km serta luas laut sekitar
3,1 juta km2 sehingga wilayah pesisir dan lautan Indonesia dikenal sebagai negara
dengan kekayaan dan keanekaragaman hayati (biodiversity) laut terbesar di dunia
2
dengan memiliki ekosistem pesisir seperti mangrove, terumbu karang (coral reefs)
dan padang lamun (sea grass beds).
Konvensi PBB yang disepakati pada tanggal 10 Desember 1982 dan tertuang
dalam Conclution of the United Nations Convention on the Law of the Sea (1982) Bab
IV pasal 46 mendeskripsikan negara kepulauan sebagai;
“archipelagic State means a State constituted wholly by one or more
archipelagos and may include other island”
“archipelago means a group of islands, including parts of islands,
interconnecting waters and other natural features which are so closely
interrelated that such islands, waters and other natural features form an
intrinsic geographical, economic and political entity, or which historically
have been regarded as such”
Wilayah Indonesia secara geografis terdiri dari sekumpulan besar pulau-pulau
yang dihubungkan oleh perairan yang luas dan merupakan satu kesatuan geografis,
politik dan ekonomi. Masing-masing pulau tanpa memperhitungkan ukuran,
karakteristik maupun posisi geografis, pada dasarnya merupakan kumpulan dari
habitat-habitat yang membentuk lingkungan tempat hidup bagi biota dan juga
manusia dalam satu kesatuan ekosistem. Masing-masing ekosistem tersebut
merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dan merupakan bagian dari ekosistem
nasional maupun ekosistem global. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia,
Indonesia memiliki tantangan dalam pengelolaan dan pemanfaatan ribuan pulau yang
tersebar di seluruh wilayahnya dengan karakteristik biogeofisik yang berbeda-beda.
Kodoatie (2012) juga menyebutkan bahwa dari seluruh pulau yang ada di
Indonesia, 5 pulau memiliki luas lebih dari 10.000 km2, 26 pulau memiliki luas
3
antara 2.000-10.000 km2 dan sisanya merupakan pulau dengan luas lebih kecil dari
2.000 km2 (pulau kecil dan sangat kecil). Delinom (2007) menambahkan bahwa
pulau-pulau yang ada di Indonesia didominasi oleh pulau kecil (luas kurang dari
2.000 km2) dan pulau sangat kecil (luas kurang dari 100 km2 dan atau memiliki
lebar kurang dari 3 km). Dengan demikian pengelolaan pulau-pulau kecil secara
lestari merupakan hal yang sangat penting di Indonesia karena lebih dari 90% pulau-
pulau yang dimiliki Indonesia merupakan pulau-pulau kecil.
Pengelolaan pulau-pulau kecil secara lestari tertuang dalam Undang-undang
Nomor 27 Tahun 2007 junto Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang
pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Undang-undang tersebut
menegaskan bahwa wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan bagian dari
sumberdaya alam yang dianugerahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
kekayaan yang dikuasai oleh negara, yang perlu dijaga kelestariannya dan
dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik bagi generasi sekarang
maupun bagi generasi yang akan datang.
Dalam undang-undang ini juga ditegaskan bahwa wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil memiliki keragaman potensi sumberdaya alam yang tinggi, dan sangat
penting bagi pengembangan sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, dan penyangga
kedaulatan bangsa, oleh karena itu perlu dikelola secara berkelanjutan dan
berwawasaan global, dengan memperhatikan aspirasi dan partisipasi masyarakat, dan
tata nilai bangsa yang berdasarkan norma hukum nasional.
Pulau-pulau kecil didefinisikan sebagai pulau dengan luas 10.000 km2 atau
kurang dan mempunyai penduduk 500.000 orang atau kurang (Beler et al., 1990)
(UNESCO, 1991), Pada perkembangan selanjutnya menjadi pulau yang luasnya
4
5.000 km2, kemudian turun lagi menjadi pulau yang luasnya kurang dari 2.000 km2
(Tresnadi, 1998). Sedangkan batasan pulau sangat kecil adalah pulau yang
mempunyai luas kurang dari 100 km2 atau pulau yang memiliki lebar kurang dari 3
km (Falkland, 1992). Dalam Undang Undang Nomor 1 Tahun 2014 dinyatakan
bahwa pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2
(dua ribu kilo meter persegi) beserta kesatuan Ekosistemnya.
Menurut Sitaniapessy (2002) beberapa karakteristik pulau-pulau kecil yang
perlu mendapat perhatian dalam kaitannya dengan perencanaan pembangunan
adalah; 1) rentan terhadap pemanasan global yang mengakibatkan naiknya
permukaan air laut, sehingga luas daratan makin berkurang 2) mempunyai Zona
Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang cukup luas, sehingga wilayah perairan merupakan
daya dukung utama pembangunan wilayah 3) mempunyai sumberdaya alam yang
terbatas dan umumnya telah mengalami eksploitasi secara berlebihan 4) peka
terhadap bencana alam seperti vulkanisme, gempa bumi dan tsunami 5) umumnya
terisolasi dan jauh dari pasar utama 6) terbuka untuk sistem ekonomi skala kecil,
namun sangat peka terhadap kejutan pasar dari luar dalam skala yang lebih besar 7)
mempunyai laju pertumbuhan penduduk yang tinggi dan menyebar tidak merata
dengan kepadatan tinggi 8) mempunyai infrastruktur yang terbatas, dan 9)
pendidikan dan keterampilan penduduknya terbatas serta kepercayaan terhadap hal-
hal mistis cukup kuat.
Pulau-pulau kecil juga mempunyai karakeristik Daerah Aliran Sungai (DAS)
yang spesifik seperti panjang sungai yang relatif pendek sehingga kesempatan air
meresap ke dalam tanah juga berkurang, akibatnya banyak air hujan yang terbuang
ke laut. Di lain pihak, penduduk di pulau-pulau kecil makin berkembang sehingga
5
membutuhkan lahan untuk perumahan dan air bersih untuk kehidupan sehari-hari
(Gunawan, 2013). Semakin meningkatnya jumlah penduduk dan sebaran pemukiman
memiliki implikasi yang relefan terhadap pemanenan air tanah. Upaya kebutuhan air
pada umumnya dilakukan dengan menggali sumur sehingga lama kelamaan akan
berakibat meningkatnya intrusi air laut ke daratan.
Salah satu pulau kecil di Indonesia yang telah mengalami perubahan sangat
pesat dalam satu dekade belakangan ini adalah Pulau Bintan, sebuah pulau kecil
terbesar di gugusan Kepulauan Riau. Pulau Bintan merupakan pusat pemerintahan
Provinsi Kepulauan Riau, bagian dari Free Trade Zone (FTZ) serta Kawasan
Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) Batam, Bintan dan Karimun.
Disamping itu saat ini Pulau Bintan juga masih merupakan salah satu sentra
penambangan bauksit di Indonesia. Pulau Bintan merupakan salah satu kawasan
ekonomi khusus yang dikembangkan untuk kepentingan industri dan pariwisata.
Untuk kepentingan ekonomi, pelaksanaan FTZ di Pulau Bintan bertujuan
sebagai pintu gerbang bagi arus masuknya investasi, barang, dan jasa dari luar
negeri. Pulau Bintan juga berfungsi sebagai sentral pengembangan industri sarat
teknologi sebagai tempat pengumpulan dan penyaluran hasil produksi dari dan ke
seluruh wilayah Indonesia serta negara-negara lain dan menjadi pusat pelayanan lalu-
lintas kapal internasional (Anonim, 2009)
Pulau Bintan telah mengalami perubahan dan perkembangan yang sangat
pesat di bidang industri, pariwisata dan demografi. Untuk kepentingan industri,
pemerintah menyediakan lahan seluas 4.000 Ha (3,4 % dari luas Pulau Bintan) dan
untuk kepentingan pariwisata pemerintah memberikan konsesi kepada swasta seluas
23.000 Ha (19,7% dari luas Pulau Bintan). Data Badan Pusat Statistik Tahun 2015
6
menunjukkan pertumbuhan jumlah penduduk di Kabupaten Bintan adalah 2,37 % per
tahun dengan kepadatan penduduk 88 jiwa/Km2, sementara itu laju pertumbuhan
penduduk kota tanjungpinang sebesar 2,54 % pertahun dengan kepadatan penduduk
822 jiwa/Km2. Data tersebut telah melampaui laju pertumbuhan penduduk Indonesia
secara keseluruhan yang hanya sebesar 1,49 % per tahun.
Gambar 1.1. Grafik Perkembangan Jumlah Penduduk Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2011-2013
(Sumber: http://kepri.bkkbn.go.id/) Dinamika pembangunan yang cukup kompleks dan tingkat pertumbuhan
penduduk yang tinggi sebagai dampak dari pembangunan Pulau Bintan berbasis
ekonomi juga memiliki efek negatif bagi lingkungan di Pulau Bintan. Analisis
spasial lahan kritis di Pulau Bintan pada tahun 2013 adalah 36.827 Ha (kriteria kritis
sampai sangat kritis) atau sekitar 31,45% dari total wilayah Pulau Bintan (BPDAS
Kepri, 2013). Sebaran lahan kritis tersebut dapat terus bertambah seiring dengan
pesatnya pembangunan infrastruktur di pulau tersebut.
Selain dampak negatif terhadap lingkungan yang diakibatkan oleh
pembangunan infrastruktur perkotaan, masalah alih peruntukan kawasan dan
kegiatan pertambangan juga menjadi isu lingkungan yang perlu perhatian serius. Alih
peruntukan kawasan dan aktivitas penambangan merupakan penyumbang kerusakan
2. Dalam konsep pengelolaan DAS, belum banyak kajian pengelolaan DAS yang
fokus pada wilayah pulau kecil, umumnya merupakan kajian pengelolaan DAS di
pulau-pulau besar seperti yang dinyatakan oleh Linsley (1980), Asdak (2004),
Senawi (2007), Mawardi (2010), Edwards, dkk (2015), Santoso (2012) dan
banyak ahli lainnya. Disisi lain kebutuhan kajian pengelolaan DAS di pulau kecil
sebagaimana tertuang dalam program kerja SIDS dan program pengelolaan DAS
di Indonesia sangat diperlukan (Pramono, dkk 2015), mengingat karakteristik
pulau kecil yang spesifik dan dapat diklasifikasikan sebagai specific region.
Untuk itu peneliti akan berusaha melakukan kajian pengelolaan pulau kecil
dengan berdasarkan kinerja DAS. Kendala-kendala dalam analisis strategi
19
pengelolaan pulau kecil dengan pendekatan kompleks wilayah seperti pada kajian
ini akan dupayakan dengan penggunaan Spacial Multi Criteria Analysis (SMCA).
Berdasarkan lokus penelitian, upaya pengumpulan hasil-hasil penelitian
terdahulu di Pulau Bintan menyimpulkan bahwa belum terdapat penelitian yang
spesifik dan fokus pada pengelolaan Pulau Bintan berbasis DAS. Petikan beberapa
penelitian terdahulu pada berbagai aspek terkait pengelolaan Pulau Bintan dapat
dideskripsikan sebagai berikut:
1. Penelitian tamtomo (2006) tentang kebijakan pemanfaatan ruang pesisir dan laut
dalam kerangka “Marine Cadastre” (studi kasus di wilayah Pulau Bintan,
Kabupaten Kepulauan Riau). Penelitian ini menyarankan tentang mendesaknya
pengadministrasian sistem tenurial wilayah pesisir dan laut berbasis konsep
“marine cadastre”, khususnya ditinjau dari aspek legal dan kelembagaan, serta
dalam aspek ekonomi sumberdaya dan lingkungan dalam bentuk-bentuk “the
bundle of rights”
2. Penelitian Partini (2009) tentang efek sedimentasi terhadap terumbu karang di
pantai timur Kabupaten Bintan. Penelitian ini menghasilkan data tentang
persentase tutupan karang di pantai timur Pulau Bintan, klasifikasi laju
sedimentasi di wilayah penelitian serta korelasi antara laju sedimentasi terhadap
tutupan karang dan indeks mortalitas terumbu karang.
Rangkuman beberapa penelitian terkait pulau kecil dan pengelolaan DAS disajikan
pada Tabel 1.2 dengan diagram kedudukan dan keaslian penelitian disajikan
sebagaimana Gambar 1.2.
20
Tabel 1.2. Keaslian Penelitian
No Peneliti, Tahun, Judul Tujuan Metoda Analisis Hasil1. Max Maanema (2003).
Model Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil (Studi Kasus di Gugus Pulau Pari Kepulauan Seribu).
(1) Menentukan parameter variabel lingkungan yang berpengaruh terhadap penurunan kualitas perairan, pengelompokan wilayah perairan sesuai kemiripan parameter variabel lingkungan. (2) Memformulasikan alternatif skenario pembangunan optimal berkelanjutan.(3) Menentukan model pemanfaatan gugus Pulau Pari yang sesuai dengan daya dukung lingkungan, (4) Penataan pemanfaatan ruang yang baik dengan memperhatikan keterpaduan ekologis.
Analisis Komponen Utama (Principal Conzponent Analysis/PCA).
(I) Tidak terdapat parameter variabel lingkungan yang dominan berpengaruh (2) Model pemanfaatan pariwisata pantai di Pulau Burung dan Pulau Kongsi (3) Skenario pembangunan optimal.(4) Model Penataan pemanfaatan ruang.
2. Johanes P. Tamtomo (2006)Analisis Kebijakan Pemanfaatan Ruang Pesisir dan Laut Dalam Kerangka “Marine Cadastre” (Studi Kasus di Wilayah Pulau Bintan, Kabupaten Kepulauan Riau).
Melakukan analisis kebijakan serta mendesain pemanfaatan ruang pesisir dan laut berbasis konsep “marine cadastre ” sehingga dapat dicapai pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut yang berkelanjutan
Analisis kebijakan publik menggabungkan lima prosedur dalam satu langkah, dimulai dari analisis spasial, analisis prioritasi dan realisasi kebijakan, riset persepsional konsep “marine cadastre ”, TEV kebijakan eksisting, dan TEV kebijakan dalam kerangka “marine cadastre ” dalam skema analisis “ex-post Ф ex-ante ” kebijakan publik.
Penelitian ini menyarankan tentang mendesaknya pengadministrasian sistem tenurial wilayah pesisir dan laut berbasis konsep “marine cadastre ”, khususnya ditinjau dari aspek legal dan kelembagaan, serta dalam aspek ekonomi sumberdaya dan lingkungan dalam bentuk-bentuk “the bundle of rights ”.
21
No Peneliti, Tahun, Judul Tujuan Metoda Analisis Hasil3. Muh. Yusuf (2007)
Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut Kawasan Taman Nasional Karimun Jawa secara berkelanjutan
(1) menentukan kesesuaian lahan kawasan Taman Nasional Karimunjawa bagi peruntukan wisata bahari, budidaya ikan kerapu, budidaya rumput laut, budidaya teripang, dan konservasi hutan mangrove (2) menyusun alternatif zonasi baru (zonasi ulang) kawasan Taman Nasional Karimunjawa berdasarkan kriteria ekologi, ekonomi, sosial, dan melibatkan partisipasi aktif masyarakat serta diintegrasikan dengan kesesuaian lahan (lingkungan), (3) menentukan prioritas strategi kebijakan dalam pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa.
Pengumpulan data sosekbud dan kebijakan secara partisipatoris dengan pendekatan PCRA dengan cara FGD melalui teknik wawancara; sedangkan data biogeofisik dikumpulkan melalui survei lapang. Metoda analisis data terdiri dari analisis spasial dengan menggunakan alat SIG, analisis kesesuaian lahan (lingkungan), analisis zonasi dengan menggunakan kriteria ekologi, ekonomi dan sosial yang diintegrasikan dengan hasil analisis kesesuaian lahan (lingkungan), dan usulan masyarakat. Selanjutnya, dilakukan analisis kebijakan dengan pendekatan A’WOT yaitu integrasi antara AHP dan SWOT.
Kesesuaian lahan bagi peruntukan wisata bahari, wisata pantai, budidaya ikan kerapu, dan budidaya rumput laut. Hasil analisis penentuan zonasi dibagi ke dalam 4 zona, yaitu zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan, dan zona rehabilitasi. Diperolehnya tiga strategi kebijakan dalam pengelolaan Karimunjawa.
4. Partini (2009)Efek Sedimentasi Terhadap Terumbu Karang di Pantai Timur Kabupaten Bintan
1) Mengkaji komunitas terumbu karang; 2) Menghitung laju sedimentasi di ekosistem terumbu karang; dan 3) Menganalisis hubungan dan pengaruh laju sedimentasi terhadap komunitas terumbu karang.
Metode transek kuadarat untuk pengamatan terumbu karang, penggunaan software image-J untuk Analisis photo dan pengamatan laju sedimen.
Persentase tutupan karang di pantai timur Pulau Bintan, Klasifikasi laju sedimentasi di wilayah penelitian serta korelasi antara laju sedimentasi terhadap tutupan karang dan indeks mortalitas.
5. Muhammad Rasman Manafi (2010)Rancangbangun Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Berbasis Pemanfaatan Ruang (Kasus Gugus Pulau Kaledupa, Kabupaten Wakatobi)
1.Menganalisis masalah pemanfaatan ruang GPK2. Menduga kesesuaian lahan dan daya dukung di GPK.3. Mengoptimasi pola pemanfaatan ruang GPK. 4. Mevaluasi nilai ekonomi total sumberdaya di GPK.
1)Analisis kesesuaian lahan dan daya dukung ekologis, 2)Valuasi ekonomi sumberdaya (mangrove dan terumbu karang)
Pola pemanfaatan ruang Pulau Kaledupa.
22
No Peneliti, Tahun, Judul Tujuan Metoda Analisis Hasil6. Yar Johan (2011)
Pengembangan Wisata Bahari Dalam Pengelolaan Sumberdaya Pulau-Pulau Kecil Berbasis Ekologi: Studi Kasus Pulau Sebesi Provinsi Lampung
1). Mengkaji kesesuaian kawasan Pulau Sebesi untuk kegiatan wisata bahari berbasis ekologi kategori diving dan snorkling , 2). enganalisis daya dukung (carryng capacity ) kawasan Pulau Sebesi untuk kegiatan wisata bahari berbasis ekologi, dan 3). Menentukan arahan strategi dan kebijakan dalam pengembangan wisata bahari berbasis ekologi di Pulau Sebesi.
Metode Line Intercept Transect (LIT) untuk penentuan kondisi tutupan komunitas karang. Data ikan karang diperoleh dengan metode Underwater Visual Census (UVC) pada transek terumbu karang yang sama yaitu metode untuk mengidentifikasi ikan karang melalui pengamatan terhadap ikan-ikan karang yang ditemukan pada jarak 2.5 meter ke kiri dan kanan di garis transek
Kesesuaian kawasan wisata bahari untuk kategori diving pada Pulau Umang dan Segenom. Kategori snorkling di Bangunan, Regan Lada dan Sianas. Daya dukung (carryng capacity ) kawasan wisata bahari Arahan strategi dan kebijakan dalam pengembangan wisata bahari Pulau Sebesi. Peningkatan SDM, Pemberdayaan Masyarakat, Upaya pencegahan kerusakan terumbu karang, Pemanfaatan dan pengelolaan terumbu karang secara optimal.
7. Megan Elizabeth Silbert (2011)Small Island Economic Vulnerability To Natural Disasters
Mengkaji kerentanan pulau kecil terhadap risiko bencana alam. Secara khusus menganalisis dampak yang berbeda akibat bencana alam di negara pulau dan rumah tangga di negara tersebut dalam menghadapi frekuensi bencana alam yang meningkat dalam waktu yang panjang.
Fokus pada penelitian pulau kecil, menggunakan pendekatan kerentaan bencana alam untuk mengesplorasi perbedaan kedapatan, risiko dan akses terhadap sumber daya yang memungkinkan dapat menyebabkan bertambahnya nilai kerugian akibat bencana alam. Analisis menggunakan Negative binomial regression.
Penelitian ini memberikan wawasan tentang hubungan antara pembangunan ekonomi dan risiko bencana alam dengan mengkaji hubungan antara kedapatan risiko, asuransi diri, dan tingkat kekayaan.
8. Adriman (2012)Desain Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Secara Berkelanjutan Di Kawasan Konservasi Laut Daerah Bintan Timur Kepulauan Riau.
(1) menganalisis kondisi terumbu karang dan faktor-faktor yang mempengaruhinya;(2) menganalisis indeks dan status keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang; (3) mengidentifikasi pengelolaan saat ini dan menyusun skenario strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang berkelanjutan; dan (4) membangun strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan.
Analisis Komponen Utama (PCA), Metode Pendekatan Multi Dimensional Scaling (MDS), dan analisis prospektif.
Nilai indeks keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang untuk dimensi ekolog, dimensi ekonomi, dimensi sosial budaya, dimensi infrastruktur dan teknologi serta hukum dan kelembagaan. Faktor-faktor kunci yang berpengaruh terhadap keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur, strategi implementasi pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur
23
No Peneliti, Tahun, Judul Tujuan Metoda Analisis Hasil9. Senawi (2007)
Pemodelan Spasial Ekologis Untuk Optimalisasi Penggunaan Lahan DAS (Kasus di DAS Solo hulu)
(1) Identifikasi karakteristik biogeofisik bentanglahan dan pemodelan spasial ekologis lahan yang representatif untuk evaluasi lahan dalam optimalisasi lahan penggunaan DAS(2) Mengkaji kesesuaian spasial ekologis bentuk penggunaan lahan aktual terhadap arahan fungsi kawasan dan kelas kemampuan lahan DAS(3) Mengkaji dampak penggunaan lahan aktual terhadap erosi tanah dan degradasi lahan, koefisien aliran permukaan dan indeks kekeringan DAS(4) Menghitung nilai faktor konversi bentuk penggunaan lahan untuk mengestimasi nilai erosi tanah permukaan, koefisien aliran permukaan, dan indeks kekerigan berdasarkan genesis geomorfologi bentanglahan DAS
Pemodelan spasial ekologis bentanglahan dengan pendekatan genesis geomorfologi bentuklahan, arahan fungsi kawasan,kemampuan lahan, perhitungan erosi (USLE), perhitungan neraca air dan optimalisasi penggunaan lahan melalui pemodelan linear programming menggunakan program QSB+
(1) Penggunaan lahan aktual terbukti banyak yang tidak sesuai dengan karakteristik dan potensi biogeofisik DAS(2) Lahan hutan terbukti memiliki kemampuan pengendalian tata air dan erosi tanah paling baik dibanding penggunaan lahan yang lain.(3) Kebutuhan luas hutan optimal setiap DAS tidak sama tergantung genesis geomorfologi bentuk lahan, kepekaan tanah,kemiringan lahan dan komposisi penggunaan lahan yang lain.
9. Sulthani Aziz (2015)Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Berbasis Pulau Kecil di Pulau Bintan Provinsi Kepulauan Riau.
(1) Mengkaji potensi dan permasalahan DAS di Pulau Bintan sebagai dasar penyusunan kinerja DAS Pulau Bintan.(2) Mengevaluasi dan memetakan model kinerja DAS Pulau Bintan berdasarkan potensi dan permasalahannya sebagai dasar penyusunan strategi pengelolaan DAS Pulau kecil. (3) Menyusun strategi dan kebijakan pengelolaan DAS di Pulau Bintan sebagai model pengelolaan DAS Pulau Kecil
Metode survei, Analisis potensi lahan dengan LCLP (Landuse Classification and Landuse Planning), Geowepp, Pendekatan Kinerja DAS dan Spasial Multi Criteria Analysis
Sedang dilaksanakan
24
Gambar 1.2. Diagram Kedudukan dan Keaslian Penelitian