This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
LAPORAN PRAKTIKUM FITOFARMASI
“KAPSUL CABE JAWA”
Disusun oleh :
KELOMPOK B-2
Pratama Putra (112210101045)
Ani Mubayyinah (112210101047)
MelyNovyyandani (112210101049)
Liza Fairuz (112210101055)
Awalia Annisafira (112210101065)
Fatimah A. Maulidiyah (112210101067)
Arif Rahman (112210101073)
Defitri Trimardani (112210101075)
Zahrotul Hikmah (112210101081)
Yuni Winarni (112210101083)
Dewi Citra (112210101089)
LABORATORIUM BIOLOGI FARMASI
BAGIAN BIOLOGI FARMASI
UNIVERSITAS JEMBER
2014
2
BAB I
PENDAHULUAN
Kapsul adalah sediaan padat yang terdiri dari obat dalam cangkang keras atau lunak
yang dapat larut. Cangkang umumnya terbuat dari gelatin ; tetapi dapat juga terbuat dari pati
atau bahan lain yang sesuai. Mothes dan Dublanc, dua orang Perancis, biasa dihubungkan
dengan penemuan kapsul gelatin yang terdiri dari satu bagian, berbentuk lonjong, ditutup
dengan setetes larutan pekat gelatin panas sesudah diisi. Kapsul yang terdiri dari dua bagian
ditemukan oleh James Murdock dari London. Gelatin larut dalam air panas dan dalam cairan
lambung yang hangat, kapsul gelatin melepaskan isinya dengan cepat. Gelatin sebagai protein
dicerna dan diabsorbsi (Anief, 2000).
Gelatin bersifat stabil diudara bila dalam keadaan kering, akan tetapi mudah
mengalami peruraian oleh mikroba bila menjadi lembab dan bila disimpan dalam larutan
berair. Oleh karena itu, kapsul gelatin yang lunak mengandung lebih banyak uap air daripada
kasul keras, pada pembuatannya ditambahkan bahan pengawet untuk mencegah timbulnya
jamur dalam cangkang kapsul. Biasanya kapsul keras gelatin mengandung uap air antara 9-
12%. Bilamana disimpan dalam lingkungan dengan kelembapan yang tinggi, penambahan
uap air akan diabsorbsi oleh kapsul dan kapsul keras ini akan rusak dari bentuk kekerasannya.
Sebaliknya dalam lingkungan udara yang sangat kering, sebagian uap air yang terdapat dalam
kaspsul gelatin mungkin akan hilang, dan kapsul ini menjadi rapuh bahkan akan remuk bila
dipegang (Howard, 1985).
Kapsul keras biasanya terbuat dari gelatin yang terdiri dari cangkang kapsul bagian badan
dan bagian tutup kapsul. Kedua bagian tutup kapsul ini akan saling menutupi bila
dipertemukan dan bagian tutupnya akan menyelubungi bagian badan kapsul. Gelatin
mempunyai beberapa kekurangan, seperti mudah mengalami peruraian oleh mikroba bila
dalam keadaan lembab atau bila disimpan dalam larutan berair . Sebagai contoh yang lain,
cangkang kapsul gelatin menjadi rapuh jika disimpan pada kondisi kelembaban relatif yang
rendah. Selanjutnya, Kapsul gelatin tidak dapat menghindari efek samping obat yang
mengiritasi lambung, seperti Indometasin. Hal ini dikarenakan kapsul gelatin segera pecah
setelah sampai di lambung (Anonim, 1979).
Kapsul dapat diberi bermacam-macam warna. Bila dalam resep diinginkan serbuk
dalam bentuk kapsul, maka ukuran dan warna kapsul yang dipakai harus dicantumkan dalam
resep supaya pada pengulangan obat pasien mendapatkan obat dengan ukuran serta warna
kapsul yang sama. Ukuran kapsul bermacam-macam baik panjang atau pendek, dengan
3
bentuk bervariasi, misalnya bulat, oval, panjang, dan silinder. Ukuran kapsul juga dibedakan
oleh panjang dan diameter dari kapsul yang dinyatakan dalam angka-angka. Kapasitas
muatnya tergantung dari jenis zat yang dimasukkan. Biasanya dalam voluminous,
kapasitasnya lebih kecil (Voigt, 1995).
Ada beberapa macam penggolongan kapsul, yakni kapsul keras, kapsul lunak, kapsul
tepung, dan kapsul salut enterik. Kapsul keras biasanya digunakan untuk obat berbentuk
padat atau cair yang tidak mudah rusak. Cangkang kapsul ini umumnya berbentuk tabung
silinder berujung bulat, terdiri dari wadah tertutup dan terbuat dari gelatin dan air. Kapsul
kenyal dapat disi dengan zat padat, setengah padat, atau cairan. Seperti halnya dengan kapsul
keras, kapsul kenyal terbuat dari gelatin dan air, untuk kekenyalannya ditambah gliserol atau
sorbitol. Kapsul lunak bentuknya bagus dan lebih mudah ditelan oleh pasien. Kapsul tepung
disebut juga ouwel yang dibuat dari amilum atau tepung ditambah dengan air dan zat
pengawet. Bantuk kapsul ini umumnya bulat atau silinder. Kapsul salut enterik adlah kapsul
yang disalut sedemikian rupa sehingga tidak larut dalam lambung tetapi larut dalam usus
(Chaerunnisa, 2009).
Cabe jawa merupakan tanaman asli Indonesia yang banyak terdapat di Jawa, Madura
dan Sumatera Selatan. Tumbuh di tempat-tempat yang tanahnya tidak lembap dan berpasir
seperti di dekat pantai, daerah datar sampai 600 meter di atas permukaan laut (dpl). Tanaman
ini dapat tumbuh dan menghasilkan dengan baik di semua jenis lahan kering atau semua jenis
# Sifat alir sangat buruk sehingga tidak dapat diperoleh data sifat alir
d. Keseragaman kandungan
Persamaaan >> y = 1302 + 3,379x
Area : R1 = 5533,73
R2 = 5406,11
26
R3 = 5909,58
Replikasi 1 >> y = 1302 + 3,379x
5533,73 = 1302 + 3,379x
x = 1252,36 ng dalam 2µl
1,25236 µgx = 0,002 ml
10 ml
x = 6,2618 mg @kapsul
Replikasi 2 >> y = 1302 + 3,379x
5406,11= 1302 + 3,379x
x = 1214.59 ng dalam 2µl
1,21459 µgx = 0,002 ml
10 ml
x = 6,073 mg @kapsul
Replikasi 3 >> y = 1302 + 3,379x
5909,58 = 1302 + 3,379x
x = 1363,59 ng dalam 2µl
1,36359 µgx = 0,002 ml
10 ml
x = 6,818 mg @kapsul
Rata-rata = 6,2618 mg+6,073 mg+6,818 mg
3
= 6,384 gram piperin @kapsul
3.2 Pembahasan
Penggunaan tanaman obat sebagai alternatif dalam pengobatan untuk masyarakat
semakin meningkat, sehingga diperlukan penelitian untuk membuktikan khasiat tanaman obat
27
tersebut. Salah satu tanaman yang banyak digunakan untuk pengobatan suatu penyakit adalah
cabe jawa. Cabe jawa (Piper retrofractum Vahl.) merupakan simplisia yang banyak
digunakan dalam ramuan jamu dan obat tradisional. Bagian yang bermanfaat adalah buahnya
yang mengandung minyak atsiri, piperina, piperidina, asam palmitat, asam tetrahidropiperat,
undecylenyl 3-4 methylenedioxy benzene, N isobutyldeca-trans-2-trans-4-dienamide, dan
sesamin. Minyak atsiri cabe jawa mengandung terpenoid: n-oktanol, linanool, terpinil asetat,
sitronelil asetat, piperin, alkaloid, saponin, polifenol, dan resin (kavisin). Minyak atsiri cabe
jawa diduga dapat menurunkan kolesterol dengan memberikan umpan balik negatif yang juga
dapat menghambat kerja enzim HMG-KoA reduktase.Cabe jawa juga mengandung vitamin C
yang berfungsi sebagai antioksidan yang mampu melindungi lemak dalam darah dari
kerusakan akibat radikal bebas. Dari penelitian sebelumnya dinyatakan bahwa kecepatan
oksidasi kolesterol dan trigliserida akibat radikal bebas pada kelompok yang diberi diet
mengandung cabe jawa lebih rendah dibandingkan dengan kelompok yang diberi diet tanpa
mengandung cabe jawa.
Berikut adalah bahan-bahan yang digunakan dalam formulasi kapsul cabe jawa :
R/ Ekstrak Cabe Jawa + Aerosil 8,86 %
Avicel 20 %
Amylum Oryzae Ad 100%
Mf Da In Caps 100
S Tdd
Sediaan yang dibuat adalah kapsul piperin. Adapun alasan dipilihnya sediaan kapsul
antara lain :
Dapat menutupi rasa pahit dan tidak enak dari bahan obat (ekstrak). Sebagian besar
ekstrak tumbuhan memiliki rasa yang pahit atau getir sehingga dengan pemilihan
sediaan kapsul dapat menutupi rasa yang tidak enak.
Dapat meningkatkan keberterimaan (akseptabilitas) pasien terhadap sediaan yang
telah diformulasi. Kapsul dapat menutupi bau yang tidak enak dari ekstrak karena
bahan baku yang digunakan adalah ekstrak cabe jawa yang memiliki bau khas dan
jarang disukai.
Dapat melindungi bahan obat dari cahaya matahari langsung maupun kontak dengan
udara sekitar. Beberapa ekstrak dari tumbuhan memiliki sensitivitas yang tinggi
terhadap cahaya matahari langsung dan udara, oleh sebab itu penggunaan cangkang
kapsul keras yang buram (TiO2) dapat mengantisipasi kontak bahan obat dengan
cahaya maupun udara.
28
Mudah dalam penggunaannya
Pembuatan relatif mudah, dapat dilakukan secara konvensional.
Harga relatif terjangkau (murah)
Dalam pembuatan kapsul ekstrak Piper retrofractum (ekstrak cabe jawa), digunakan
bahan pelincir avicel agar campuran serbuk kering ekstrak dan bahan pengisi mudah mengalir
dalam proses pengisian serbuk ke dalam kapsul sehingga akan diperoleh kapsul dengan bobot
yang seragam.
Avicel yang digunakan merupakan avicel yang tidak terdispersi di dalam air, dapat
digunakan sebagai pengikat, pengisi, penghancur, dan pelincir pada sediaan tablet.
Persyaratan avicel sebagai bahan pelincir adalah 5-20% dalam formula. Kelompok kami
menggunakan avicel 20% agar campuran serbuk yang dihasilkan mudah mengalir dalam
pengisian ke dalam kapsul. Avicel PH 102 berbentuk granul dengan sifat alir yang baik.
Selain itu avicel memiliki kadar lembab tinggi, sehingga dapat membuat ikatan yang cukup
kuat antara molekul obat dan eksipien.
Pada praktikum ini, digunakan aerosil untuk mengeringkan ekstrak kental agar
menjadi serbuk kering. Aerosil memiliki ukuran partikel kecil dan luas area permukaan
spesifiknya besar sehingga memberikan karakter aliran yang diinginkan yang dieskplorasi
untuk memperbaiki aliran serbuk kering pada proses pembuatan tablet. Aerosil higroskopis
tetapi mengadsorbsi sejumlah besar air tanpa mencair
Dalam praktikum ini jumlah kapsul yang dibuat adalah 30 kapsul dimana 20 kapsul
digunakan untuk keseragaman bobot dan 3 kapsul untuk uji penetapan kadar, sisanya 7
kapsul untuk dikemas menjadi produk jadi. Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam
formulasi sediaan kapsul adalah pertama-tama pembuatan ekstrak dengan cara maserasi.
Ekstrak etanol cabe jawa ini didapatkan melalui maserasi yang merupakan metode
penyarian yang cocok untuk senyawa yang tidak tahan pemanasan dengan suhu tinggi dan
sering dipakai untuk mengekstraksi bahan obat yang berupa serbuk simplisia yang halus.
Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan
akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat
aktif akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel
dengan yang diluar sel, maka larutan zat aktif akan terdesak keluar. Peristiwa tersebut
berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan yang berada di luar dan di
dalam sel. Kelemahan penyarian dengan metode maserasi ini pengerjaannya membutuhkan
waktu yang cukup lama dan penyariannya kurang sempurna. Digunakan cairan penyari etanol
dalam proses maserasi ini. Pelarut etanol dapat digunakan untuk menyari zat yang kepolaran
29
relatif tinggi sampai relative rendah, karena etanol merupakan pelarut universal, etanol tidak
meyebabkan pembengkakan membrane sel, dapat memperbaiki stabilitas bahan obat yang
terlarut dan juga efektif dalam menghasilkan jumlah bahan aktif yang optimal. Adapun
tahapan maserasi yang dilakukan pada praktikum kali ini yaitu ditimbang 500 gram serbuk
kering simplisia cabe jawa lalu dimasukkan ke dalam maserator ,ditambahkan etanol 96%
sebanyak 5 x bobot serbuk (2500 ml) ,diaduk ,ditutup maserator dan biarkan terendam
selama 6 jam, diaduk ,dibiarkan selama 18 jam ,lalu maserat disaring lalu dipekatkan
dengan routavapor .
Tahap selanjutnya dilakukan pengeringan ekstrak. Caranya adalah ekstrak kental
yang diperoleh sebanyak 43 gram dimasukkan ke dalam mortar kemudian diaduk rata
sekitar 3-5 menit. Kemudian ditimbang aerosil sebanyak 5% dari bobot ekstrak kental ,
yaitu sebesar 2,15 gram aerosil. Kemudian ekstrak ditambahkan aerosil sedikit demi sedikit
sambil diaduk rata ad kering. Setelah diperoleh ekstrak kering, kemudian ditimbang dan
diperoleh bobot ekstrak setelah ditambahkan aerosil sebesar 46 gram.
Selanjutnya dilakukan penetapan kadar senyawa aktif ekstrak. Caranya adalah
pertama-tama dilakukan pembuatan larutan pembanding piperin dengan cara ditimbang
standar piperin 25 mg, dilarutkan etanol, disaring, dimasukkan labu ukur 25 ml, ditambahkan
etanol ad tanda maka diperoleh larutan baku induk 1000 ppm. Selanjutnya dibuat larutan
baku kerja 100,200,400, dan 800 ppm dengan cara pengenceran dari larutan baku induk 1000
ppm. Kemudian dilakukan pembuatan larutan baku uji dengan cara menimbang 250 mg
ekstrak,lalu mengaduk rata dalam 15 ml etanol di tabung reaksi dengan vortex mixer, lalu
disaring ke dalam labu ukur 25 ml. Lalu dibilas kertas saring dengan etanol secukupnya ad
tanda.
Selanjutnya dilakukan penetapan kadar piperin menggunakan KLT densitometry.
Caranya adalah masing-masing larutan standar dan larutan sampel ditotolkan sebanyak 6
mikroliter pada lempeng KLT (replikasi 3x). Kemudian lempeng dimasukkan ke dalam
chamber yang sebelumnya telah dijenuhkan menggunakan eluen . Lalu dilakukan eluasi
lempeng selama beberapa menit. Kemudian lempeng dikeluarkan dari chamber dan diangin-
anginkan, lalu noda atau bercak dianalisis menggunakan densitometer pada panjang
gelombang maksimum. Selanjutnya dibuat persamaan regresi linier anatara konsentrasi vs
area. Dihitung kadar piperin (mg piperin/g ekstrak) dan koefisien variasi (KV). Adapun
kondisi analisis menggunakan KLT densitometry ini adalah :
Fase diam : Silica gel 60 F254
Fase gerak : Diklorometana : Etil asetat (30 :10)
30
Panjang gelombang : 254 nm
Warna noda : Gelap (meredam sinar UV)
Rf piperin : ± 0,70
Hasil KLT selanjutnya di scan dengan densitometri untuk melihat pola kromatogram.
Scanning dilakukan dari awal penotolan sampai akhir eluasi pada panjang gelombang 254
nm. Scanning dilakukan pada panjang gelombang 254nm karena pada panjang gelombang
tersebut pola kromatogram dari piperin dapat teramati secara maksimal. Panjang gelombang
tersebut merupakan panjang gelombang maksimum untuk mengamati luas area baku dan
sampel.Dimana dengan digunakan panjang gelombang maksimum maka kepekaan yang
dihasilkan juga akan maksimum.
Selanjutnya setelah dianalisis dengan densitometer, diperoleh data luas area dan
konsentrasi. Karena konsentrasi sampel yang dihasilkan berupa rentang (lebih dari dan
kurang dari ) maka untuk menentukan konsentrasi masing-masing sampel secara kuantitatif,
dilakukan dengan cara memasukkan luas area ke dalam persamaan kurva baku sehingga akan
diperoleh konsentrasi masing-masing sampel . Berdasarkan table hasil pengamatan dan
perhitungan , diperoleh kosentrasi sampel piperin sebesar 23,513 mg dalam 250 mg sehingga
kadar piperin dalam ekstrak kental 86 gram adalah sebesar 9,405 %. KLT densitometry dapat
digunakan untuk identifikasi senyawa yaitu dengan cara membandingkan nilai Rf antara
sampel dengan standart. Adapun nilai Rf antara standart dengan sampel pada praktikum ini
adalah :
Rf standart 1=0,19 Sampel replikasi 1=0,31
Rf standart 2=0,22 Sampel replikasi 2=0,33
Rf standart 3=0,25
Rf standart 4=0,28
Nilai Rf sangat karakteristik untuk senyawa tertentu pada eluen tertentu. Hal tersebut
dapat digunakan untuk mengidentifikasi campuran senyawa dalam sampel. Dari hasil data
tersebut di atas,terdapat perbedaan Rf yang jauh antara standart dengan sampel. Hal ini dapat
disebabkan karena terdapat beberapa piperin yang terdegradasi akibat proses manufacturing
seperti pemanasan, pencampuran dengan bahan lain yang dapat menyebabkan piperin
terdegradasi, sehingga menghasilkan nilai Rf sampel yang jauh dari standart.
Selanjutnya dilakukan formulasi kapsul dengan cara menimbang 1,595 gram serbuk
ekstrak kering, 3,600 g avicel, dan 12,805 gram pati beras. Selanjutnya bahan-bahan tersebut
dimasukkan ke dalam mortar dan diaduk ad homogen. Lalu dipilih cangkang kapsul dengan
kapasitas yang mendekati bahan obat. Kelompok kami memilih cangkang kapsul 0.
31
Kemudian campuran serbuk dimasukkan kedalam cangkang kapsul yang telah dibersihkan
sebelumnya hingga terpadatkan dengan baik dan seragam. Lalu memasukkan kapsul ke
dalam wadah dan diberi etiket. Sejumlah 7 kapsul dimasukkan kedalam wadah sebagai
sediaan yang dikumpulkan, 20 kapsul untuk uji keseragaman bobot dan sisa 3 kapsul untuk
uji penetapan kadar. Setelah jadi kapsul ekstrakcabe jawa, langkah selanjutnya yaitu evaluasi
sediaan.
Evaluasi sediaan
Formulasi dan evaluasi menjadi bagian yang penting dalam sediaan fitofarmasi karena
melalui kedua tahap ini suatu sediaan fitofarmasi dapat digunakan secara langsung untuk
keperluan terapi serta untuk menjamin bahwa sediaan yang dibuat telah memenuhi standar-
standar yang telah ditetapkan. Kegiatan evaluasi menentukan mutu dan kualitas dari sediaan
fitofarmasi yang dibuat (diformulasi).
Untuk sediaan kapsul, evaluasi yang kami lakukan adalah uji organoleptis, uji
keseragaman bobot, uji sifat alir, uji keseragaman kandungan.
1. Uji organoleptis
Pada uji organoleptis, kami melakukan pengamatan berdasarkan warna, rasa dan bau
dari kapsul yang kami buat. Hasilnya meliputi :
Warna : Putih kekuningan
Rasa : Pahit
Bau : Jamu
Hasil tersebut sudah memenuhi karakteristik kapsul yang kami inginkan.
2. Uji keseragaman bobot
Untuk uji keseragaman bobot, ditentukan dengan menimbang sebanyak 20 kapsul
(sekaligus). Ditimbang lagi satu per satu. Dikeluarkan isi kapsul dan ditimbang seluruh
bagian cangkang kapsul. Kemudian bobot rata-rata isi kapsul ditimbang. Perbedaan dalam
persen (%) bobot isi kapsul terhadap bobot rata-rata tiap isi kapsul tidak boleh lebih dari
yang ditetapkan kolom A, dan untuk setiap 2 kapsul tidak lebih dari yang ditetapkan
kolom B.
Bobot rata-rata isi kapsulPerbedaan bobot isi kapsul dalam %
A B
< 120 mg ± 10 % ± 20 %
> 120 mg ± 7,5 % ± 15 %
32
Setelah dilakukan pengujian keseragaman bobot diperoleh data penyimpangan
sebagai berikut :
- 2 kapsul tidak masuk rentang kolom A (+7,5%)
- Tidak ada kapsul yang tidak masuk rentang kolom B (+15%)
Dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa kapsul untuk uji keseragaman bobot
yang kami lakukan sudah cukup memenuhi persyaratan. Namun pada persyaratan kolom
A, terdapat 2 kapsul yang menyimpang dari rentang (0,416 - 0,484) yaitu 0,50 dan 0,49.
Sedangkan pada persyratan kolom B tidak ada satupun kapsul yang menyimpang dari
rentang (0,383 - 0,517). Terjadinya penyimpangan pada kolom A tersebut dimungkinkan
terjadi karena pembagian serbuk yang dilakukan secara visual kurang tepat, sehingga
menyebabkan jumlah serbuk dalam kapsul tidak seragam.
3. Uji sifat alir
Metode yang digunakan untuk mendeteksi sifat aliran adalah memperhatikan
kecepatan aliran. Prinsip pengukurannya adalah waktu yang diperlukan oleh sejumlah
tertentu zat untuk mengalir melalui lubang – lubang corong.Yang diukur adalah jumlah zat
yang mengalir dalam suatu waktu tertentu. Untuk menentukan faktor mengalir atau
meluncur setiap kali digunakan. Dimana dalam pengujiannya menggunakan corong yang
dipasang pada statif yang diletakkan dengan ketinggian tertentu. Awalnya serbuk
ditimbang (100 g).Lalu serbuk tersebut dialirkan melalui corong dan ditampung pada
bagian bawahnya.Waktu yang diperlukan serbuk untuk melewati corong dicatat sebagai t.
Fluiditas / sifat alirini merupakan faktor kritik dalam produksi obat sediaan padat. Hal
ini karena sifat alir serbuk berpengaruh pada peningkatan reprodusibilitas pengisian ruang
kompresi pada pembuatan tablet dan kapsul , sehingga menyebabkan keseragaman bobot
sediaan lebih baik, demikian pula efek farmakologinya. Dan pada umumnya dilakukan
pada granul, karena salah satu faktor yang dapat mempengaruhi sifat alir adalah bentuk
partikel dan tekstur, untuk partikel yang ekidimensional (teratur= bulat, kubus) semakin
besar diameter maka sifat alir semakin baik sedangkan untuk partikel yang anisomerik
maka hasilnya dapat berbeda. Sifat alir terbaik terjadi pada diameter optimum partikel
(200-500 µm). Partikel berukuran kurang dari 100 µm akan lebih cohesive. Semakin kecil
gaya gesek friksi / gaya gesek antar partikel sehingga semakin mudah mengalir.
Sebaliknya, semakin kasar permukaan partikel maka semakin besar friksi antar partikel
sehingga menyebabkan semakin sulit mengalir. Dan bahan yang kami uji sifat alirnya
merupakan serbuk yang ukuran partikelnya sangat kecil. Hal ini menyebabkan serbuk
tersebut tidak dapat mengalir saat pengujian atau dapat dikatakan bahwa serbuk kami
33
mempunyai sifat alir yang sangat buruk. Sehingga kelompok tidak mendapatkan data hasil
uji sifat alir.
4. Penetapan kadar piperin pada kapsul
Pada evaluasi penetapan kadar praktikan terlebih dulu membuat larutan standar
piperin dengan konsentrasi 300,600,800,dan 1600 ppm. Selanjutnya keempat larutan
standar ini ditotolkan sebanyak 2 μl pada lempeng KLT dengan tata cara sebagai berikut :
Penotolan 300 ppm : ditotol 2 μl
penotolan 600 ppm : ditotol 2 μl
penotolan 900 ppm : ditotol 2 μl
penotolan 1200 ppm : ditotol 2 μl
Preparasi sampel pada praktikum kali ini praktikan lakukan dengan memilih tiga (3)
buah kapsul secara acak. Kemudian ketiga kapsul tersebut masing-masing dilarutkan
dalam etanol, disaring dan ditambahkan etanol ad tanda pada labu (10 ml). Hasil
penetapan kadar piperin dapat dilihat pada hasil pengamatan.
Hasil yang didapat sangat bervariasi antara kapsul yang satu dengan kapsul yang lain.
Yaitu pada replikasi 1 dihasilkan 6,2618mg, pada replikasi 2 dihasilkan 6,073 mg dan
pada replikasi 3 dihasilkan 6,818 mg @kapsul. Sedangkan yang diharapkan adalah 5 mg
piperin tiap kapsul. Perbedaan itu kemungkinan dikarenakan:
1. Pada saat pencampuran bahan aktif dengan bahan tambahan kurang homogen
sehingga berpengaruh kepada kadar piperin yang terdapat pada masing-masing
kapsul
2. Ketelitian dalam penimbangan
3. Adanya bahan tambahan yang terbang sehingga mengurangi bobot bahan
tambahan
4. Sensitifitas alat
5. Pengisian kapsul yang kurang tepat
Berdasarkan hasil percobaan diatas dapat dikatakan bahwa kapsul Piperin yang
dibuat oleh praktikan tidak memiliki keseragaman kandungan piperin.
Berdasarkan analisis hasil KLT selanjutnya di scan dengan densitometri untuk
melihat pola kromatogram. Scanning dilakukan dari awal penotolan sampai akhir eluasi pada
panjang gelombang 254 nm. Scanning dilakukan pada panjang gelombang 254nm karena
pada panjang gelombang tersebut pola kromatogram dari piperin dapat teramati secara
maksimal. Panjang gelombang tersebut merupakan panjang gelombang maksimum untuk
mengamati luas area baku dan sampel. Dimana dengan digunakan panjang gelombang
34
maksimum maka kepekaan yang dihasilkan juga akan maksimum.
Salah satu hasil analisis dengan metode KLT-Densitometri yaitu kurva linearitas.
Sebagai parameter adanya hubungan linier atau tidaknya, digunakan koefisien korelasi (r)
dan persamaan regresi linier yatu y=bx+a. linearitas menunjukkan kemampuan metode
analisis untuk memporeleh hasil pengujian yang sesuai dengan konsentrasi analit dalam
kisaran konsentrasi tertentu. Nilai r pada percobaan baik yaitu 0,92. Hal ini dapat dikatakan
bahwa persamaan tersebut linier.
Berdasarkan table hasil diatas, setelah dilakukan perhitungan, diperoleh kosentrasi sampel
kapsul piperin (sampel kelompok kami no 8, 9, 10) sebesar masing-masing 6,2618mg, 6,073
mg dan 6,818 mg @kapsul.
KLT densitometry dapat digunakan untuk identifikasi senyawa yaitu dengan cara
membandingkan nilai Rf antara sampel dengan standart. Adapun nilai Rf antara standart
dengan sampel pada praktikum ini adalah :
Rf standart 1=0,90 Sampel replikasi 1=0,85
Rf standart 2=0,89 Sampel replikasi 2=0,85
Rf standart 3=0,88 Sampel replikasi =0,85
Rf standart 4=0,87
Nilai Rf sangat karakteristik untuk senyawa tertentu pada eluen tertentu. Hal tersebut
dapat digunakan untuk mengidentifikasi campuran senyawa dalam sampel. Dari hasil data
tersebut di atas,terdapat perbedaan Rf yang tidak jauh antara standart dengan sampel. Hal ini
menunjukkan bahwa sampel hamper identik dengan standar.
Titik kritis yang mempengaruhi hasil percobaan antara lain:
- Ketepatan penimbangan
35
- Homogenitas antar bahan
- Metode pengisian kapsul ke dalam cangkang
- Proses pengeringan ekstrak
- Sensitifitas alat
BAB V
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil praktikum, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Dalam formulasi kapsul cabe jawa, selain bahan aktif diperlukan bahan tambahan berupa
absorben, pelincir dan pengisi
2. Kadar piperin dalam ekstrak adalah 9, 405%
36
3. Evaluasi yang diperlukan dalam pembuatan kapsul adalah organoleptis, uji keseragaman
bobot, uji sifat alir dan uji penetapan kadar dalam kapsul
4. Titik kritis yang mempengaruhi hasil percobaan antara lain:
- Ketepatan penimbangan
- Homogenitas antar bahan
- Metode pengisian kapsul ke dalam cangkang
- Proses pengeringan ekstrak
- Sensitifitas alat
DAFTAR PUSTAKA
Anief, Moh. 2000. Ilmu Meracik Obat “Teori dan Praktik”. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Anonim. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Departemen Keesehatan Republik Indonesia
Ansel, Howard. 1989. Pengantar bentuk Sediaan Farmasi. Edisi ke empat. Universitas Indonesia: Jakarta.
37
Bisby FA, Roskov YR, Ruggiero MA, Orrell TM, Paglinawan LE, et al. Editors. species 2000 & ITIS catalogue of life: 2007 annual checklist. Species 2000: Reading, United Kingdom; 2007.
Chaerunnisa, Anis Yohana. 2009. Farmasetika Dasar. Widya Padjajaran: Bandung.
Depkes RI. 1977. Materia Medika Indonesia Jilid I. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia
Depkes RI, Inventaris Tanaman Obat Indonesia Jilid 1, Jakarta 1985.
Djauhariya, Endjo, and Rosihan Rosman. 2007. “Status Teknologi Tanaman Cabe Jamu (Piper Retrofractum Vahl.).” Perkembangan Teknologi Tanaman Rempah Dan Obat 13: 75–90.
Djumidi, D., Hutapea, J.R., 1992. PEMBUATAN EKSTRAK CABE JAWA DENGAN BEBERAPA CAIRAN PENYARI DAN PENETAPAN EKSTRAK SECARA KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS. War. Tumbuh. Obat Indones. 1.
Haryadi. 2008. Teknologi Pengolahan Beras. Yogyakarta: UGM Press.
Hidayat, A.,dkk. 2014. Petunjuk Praktikum Fitofarmasi. Jember: Farmasi Universitas Jember
Hutapea JR, Widyastuti Y, Sugiarso S. Usaha Pengadaan Tanaman Piper retrofractum Vahl di lahan BPTO pada ketinggian 1200 M DPL
InfoPOM, Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia 2003;IV(10):1-4.
Indrapraja, Oktoria. 2009. “Efek Minyak Atsiri Bawang Putih (Allium Sativum) Dan Cabe Jawa (Piper Retrofractum Vahl.) Terhadap Jumlah Eritrosit Pada Tikus Yang Diberi Diet Kuning Telur”. Medical faculty. http://eprints.undip.ac.id/7754/.
Isnawati A, Endreswari S, Pudjiastuti, Murhandini. Efek mutagen ekstrak etanol buah cabe jawa (Piper retrofractum Vahl.). Jurnal Bahan Alam Indonesia 2002;1(2):63-67.
Nuraini A. Mengenal etnobotani beberapa tanaman yang berkhasiat sebagai aprodisiaka. Padmadisastra, Yudi. 2009. “Formulasi Tablet Ekstrak Buah Cabe Jawa (piper Retrofractum
Vahl.) Dengan Metode Kempa Langsung.” http://pustaka.unpad.ac.id/archives/16627/.
Taryono RA. Cabe jawa. Penebar Swadaya. 2004:1-63.
Voigt, R., 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Gajah Mada University Press : Yogyakarta.
Wahjoedi, Bambang, Budi Nuratmi, and Yun Astuti. 2004. “Efek Androgenik Ekstrak Etanol Cabe Jawa (Piper Retrofractum Vahl.) Pada Anak Ayam.” Jurnal Bahan Alam Indonesia 3 (2). http://jbai.iregway.com/index.php/jurnal/article/view/51.