Top Banner
1 ASPEK PSIKOSOMATIK PADA GANGGUAN HATI Wika Hanida Lubis, Habibah Hanum, Ricky Rivalino Sitepu Divisi Psikosomatik Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Pendahuluan Gangguan hati telah lama diketahui memiliki dampak signifikan terhadap aspek psikosomatik. Gejala klinis psikosomatis dari gangguan hati mulai mulai diteliti pada 1950-an menyusul munculnya hepatologi sebagai spesialisasi medis. Gejala-gejala ini pada dasarnya merupakan gangguan mental organik yang merupakan konsekuen dari gangguan metabolik yang berat disertai sirkulasi kolateral portal sistemik. Sebagian besar bentuk penyakit hati kronis mengarah ke sirosis yang dapat mengakibatkan terjadinya ensefalopati hepatik dan bermanifestasi dengan gejala psikosis seperti mania, depresi, apatis, atau kebingungan sebelum akhirnya menjadi delirium. Gangguan psikosomatik juga dapat terjadi akibat pemberian terapi jangka panjang dan pada pasien yang menjalani transplantasi hati. Pendekatan psiokosomatik pada pasien dengan penyakit hati kronis sangat penting untuk meningkatkan kesehatan dan kualitas hidup dan juga memfasilitasi pengobatan terhadap gangguan hati. Tulisan ini membahasa hubungan antara aspek psikosomatik pada pasien dengan gangguan hati [1]. Definisi Gangguan Psikosomatik dan Gangguan Hati Gangguan psikosomatik merupakan salah satu gangguan jiwa yang biasa digunakan untuk penyakit fisik yang disebabkan atau diperburuk oleh faktor kejiwaan atau psikologis. Di kalangan dokter dan masyarakat awam sekalipun, istilah gangguan psikosomatik digunakan ketika faktor kejiwaan menyebabkan gejala fisik, tetapi penyakit fisiknya sendiri tidak ada atau tidak dapat dijelaskan secara medis. Stres dan kecemasan merupakan contoh gangguan psikosomatis yang paling sering dijumpai dan dapat menyebabkan beberapa penyakit fisik seperti gangguan kulit, muscoskeletal (otot, sendi dan saraf), pernafasan, jantung, kemih, kelenjar, mata dan saraf [2]. Universitas Sumatera Utara
15

ASPEK PSIKOSOMATIK PADA GANGGUAN HATI

Oct 16, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: ASPEK PSIKOSOMATIK PADA GANGGUAN HATI

1

ASPEK PSIKOSOMATIK PADA GANGGUAN HATI

Wika Hanida Lubis, Habibah Hanum, Ricky Rivalino Sitepu

Divisi Psikosomatik Departemen Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Pendahuluan

Gangguan hati telah lama diketahui memiliki dampak signifikan terhadap aspek

psikosomatik. Gejala klinis psikosomatis dari gangguan hati mulai mulai diteliti pada

1950-an menyusul munculnya hepatologi sebagai spesialisasi medis. Gejala-gejala ini

pada dasarnya merupakan gangguan mental organik yang merupakan konsekuen dari

gangguan metabolik yang berat disertai sirkulasi kolateral portal sistemik. Sebagian besar

bentuk penyakit hati kronis mengarah ke sirosis yang dapat mengakibatkan terjadinya

ensefalopati hepatik dan bermanifestasi dengan gejala psikosis seperti mania, depresi,

apatis, atau kebingungan sebelum akhirnya menjadi delirium. Gangguan psikosomatik

juga dapat terjadi akibat pemberian terapi jangka panjang dan pada pasien yang menjalani

transplantasi hati. Pendekatan psiokosomatik pada pasien dengan penyakit hati kronis

sangat penting untuk meningkatkan kesehatan dan kualitas hidup dan juga memfasilitasi

pengobatan terhadap gangguan hati. Tulisan ini membahasa hubungan antara aspek

psikosomatik pada pasien dengan gangguan hati [1].

Definisi Gangguan Psikosomatik dan Gangguan Hati

Gangguan psikosomatik merupakan salah satu gangguan jiwa yang biasa

digunakan untuk penyakit fisik yang disebabkan atau diperburuk oleh faktor kejiwaan

atau psikologis. Di kalangan dokter dan masyarakat awam sekalipun, istilah gangguan

psikosomatik digunakan ketika faktor kejiwaan menyebabkan gejala fisik, tetapi penyakit

fisiknya sendiri tidak ada atau tidak dapat dijelaskan secara medis. Stres dan kecemasan

merupakan contoh gangguan psikosomatis yang paling sering dijumpai dan dapat

menyebabkan beberapa penyakit fisik seperti gangguan kulit, muscoskeletal (otot, sendi

dan saraf), pernafasan, jantung, kemih, kelenjar, mata dan saraf [2].

Universitas Sumatera Utara

Page 2: ASPEK PSIKOSOMATIK PADA GANGGUAN HATI

2

Gangguan fungsi hati didefinisikan sebagai peningkatan dari enzim-enzim hati

seperti serum glutamic pyruvic transferase (SGPT) dan serum glutamic ocsaloasetic

transaminase (SGOT) sebanyak tiga kali lipat dari batas normal. Biasanya disertai

dengan gejala-gejala penyakit hati seperti jaundice, urin yang coklat seperti teh, warna

feces yang pucat, nyeri abdomen pada bagian kanan atas, dan sebagainya [3].

Prevalensi Gangguan Psikosomatis pada Gangguan Hati

Gangguan depresi dan ansietas merupakan gangguan psikosomatis yang paling

banyak terjadi di masyarakat. Bahkan di antara kita sesekali dalam perjalanan hidup

menempuh spesialis penyakit dalam pernah mengalami depresi sekalipun dalam derajat

yang ringan atau setidaknya depresi terselubung. Berdasarkan departemen sosial pada

tahun 2011 ada sebanyak 11.6% atau sekitar 24.708.000 dari jumlah penduduk Indonesia

yang mengalami depresi dan sebanyak 8.3% mengalami ansietas [4, 5].

Prevalensi gangguan hati di Indonesia sebagian besar disebabkan oleh virus

hepatitis B dan C yaitu sebesar 40-50% dan 30-40%, sedangkan 10-20% penyebabnya

tidak diketahui. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 melaporkan prevalensi

hepatitis di Indonesia sebesar 0.2%. Berdasarkan data Profil Kesehatan Indonesia 2008,

jumlah kasus baru hepatitis B di Indonesia pada tahun 2008 mencapai 1.727 pasien

sedangkan hepatitis C mencapai 7.234 pasien [6, 7].

Gangguan psikosomatik pada pasien yang mengalami gangguan hati masih belum

diketahui jumlahnya di Indonesia. Meski demikian, penelitian di Eropa oleh Golden et al

menyatakan bahwa terdapat sekitar 30% pasien hepatitis C yang mengalami depresi dan

25% diantaranya mengalami ansietas. Sebagian besar dari pasien yang mengalami

gangguan psikosomatis tersebut belum terdiagnosis sebelumnya [8].

Gejala Psikosomatis Pada Gangguan Hati

Gejala psikosomatis dari gangguan hati sangat dipengaruhi dari apakah gangguan

hati tersebut bersifat akut atau kronis. Pada gagal hati akut seperti hepatitis fulminan,

nekrosis akibat obat atau kerusakan akut pada penyakit hati kronis, gambaran klinis

Universitas Sumatera Utara

Page 3: ASPEK PSIKOSOMATIK PADA GANGGUAN HATI

3

didominasi oleh tanda-tanda yang jelas dari disfungsi hati. Pasien biasanya mengalami

kuning pada tubuh dengan sirkulasi hiperdinamik, demam, septisemia, dan mengalami

gangguan perdarahan. Gangguan kesadaran pada pasien seperti delirium menunjukkan

adanya ensefalopati hepatikum. Gejala psikologis utama pada penyakit hati kronis

diantaranya adalah depresi, anxietas, insomnia, kelelahan dan gangguan kognitif yang

progresif [9].

Patofisiologi Gangguan Psikosomatik pada Gagal hati

Gangguan psikosomatis seperti depresi dan anxietas biasanya disebabkan

perubahan-perubahan fisiologis dan biokemis pada tubuh seseorang. Perubahan fisiologi

ini berkaitan erat dengan adanya gangguan pada sistem saraf otonom vegetative, sistem

endokrin dan sistem imun. Hipotesis yang paling banyak dikenal ialah adanya gangguan

konduksi impuls melalui neurotransmitter. Gangguan konduksi ini disebabkan adanya

kelebihan atau kekurangan neurotransmitter di presinaps atau adanya gangguan

sensitivitas pada reseptor-reseptor postsinaps. Beberapa neurotransmitter yang telah

diketahui berupa amin antara lain serotonin, noradrenalin, dan dopamine [10].

Psikopatologi depresi dan anxietas pada gangguan hati, seperti sirosis, masih tidak

sepenuhnya diketahui. Dari sebuah penelitian yang berbasis di Cina didapatkan bahwa

tekanan psikologis pada pasien sirosis, seperti depresi, kecemasan, dan insomnia,

berkorelasi secara khusus dalam peningkatan kadar aspartat aminotransferase, yang

merupakan mediator penting dari proses inflamasi. Hal ini menunjukkan adanya peran

peradangan pada sirosis yang menyebabkan depresi. Selain itu, gangguan neurotransmisi

serotonergik pada pasien sirosis dapat berkontribusi pada patologi yang mendasari. Hati

memainkan peran penting dalam metabolisme serotonin dalam pembentukan dan

inaktivasi. Sebuah studi Rusia mengungkapkan bahwa konten serotonin darah menurun

pada pasien sirosis yang didiagnosis dengan gangguan depresi. Gangguan dalam

homeostasis melatonin juga terlihat pada pasien dengan sirosis. Ketidakteraturan dalam

irama dan kurangnya sekresi melatonin dapat menyebabkan gejala gangguan tidur dan

mood pada pasien sirosis [11-13].

Universitas Sumatera Utara

Page 4: ASPEK PSIKOSOMATIK PADA GANGGUAN HATI

4

Gambar 1. Etiologi gangguan psikosomatis pada gangguan hati

Perlu diketahui bahwa kelainan depresi pada gagal hati tidak hanya disebabkan

oleh perubahan-perubahan fisiologis dan biokemis dalam tubuh. Pasien dengan gangguan

hati akibat alkohol biasanya memiliki riwayat gangguan psikis. Sangat sulit untuk

membedakan apakah depresi pada pasien berkorelasi dengan konsumsi zat beralkohol

atau tidak. Pemberian terapi interferon jangka panjang pada pasien hepatitis juga dapat

menyebabkan gangguan psikosomatis. Selain itu, gejala sirosis seperti kelelahan dapat

merusak 'kualitas hidup’ dan mempengaruh persepsi pasien pada status kesehatannya,

sehingga membuat pasien lebih rentan terhadap depresi [14, 15].

Gangguan Psikosomatis Akibat Interferon

Keteraturan pengobatan pada hepatitis C merupakan hal yang tidak mudah

mengingat lamanya pengobatan dan beberapa efek samping, termasuk anemia,

leukopenia, fatigue, anoreksia, insomnia, gangguan kognitif, tiroiditis autoimun, dan

gejala kejiwaan. Efek samping yang tak tertahankan merupakan alasan utama pasien

menghentikan pengobatan sebelum waktunya. Upaya mengoptimalkan kepatuhan melalui

pemantauan dan pengelolaan efek samping obat sangatlah diperlukan [9, 16].

Universitas Sumatera Utara

Page 5: ASPEK PSIKOSOMATIK PADA GANGGUAN HATI

5

Depresi akibat IFN

Depresi yang diakibatkan oleh pemberian interferon (IFN) dilaporkan terjadi pada

10%-40% pasien. Perbedaan persentase tersebut dipengaruhi oleh desain penelitian,

kriteria diagnostik, metode penilaian, dan populasi penelitian. Munculnya depresi juga

dipengaruhi oleh dosis dan lamanya pemberian terapi IFN. Gejala depresi biasanya

berkembang dalam 12 minggu pertama pengobatan dan sering disertai dengan lekas

marah daripada dysphoria atau merasa sedih. Gejala biasanya hilang dalam waktu

singkat setelah terapi IFN berakhir. Oleh karena dampaknya yang besar pada kepatuhan

pengobatan, upaya telah dilakukan untuk mengidentifikasi pasien yang berada pada

risiko besar untuk terjadinya depresi akibat IFN. Beberapa studi telah mengatakan

bahwa pasien dengan dasar subklinis depresi memiliki risiko yang lebih tinggi dalam

terjadinya depresi akibat IFN. Sebaliknya, riwayat depresi atau gangguan kejiwaan

lainnya belum terbukti menjadi faktor risiko yang signifikan. Mekanisme terjadinya

depresi yang diinduksi oleh IFN tidak diketahui tetapi mungkin terkait dengan

kemampuannya untuk menginduksi produksi sitokin pro-inflamasi (misalnya,

interleukin-6), mengubah sistem serotonergik, atau mengaktifkan sumbu hypothalamic–

pituitary–adrenal axis (HPA) [17-22].

Manajemen depresi yang disebabkan oleh IFN memerlukan diagnosis yang cepat,

diikuti oleh terapi inisiasi antidepresan. Pemberian antidepresan sebagai profilaksis

telah lama dipertimbangkan. Hampir semua studi seperti Gleason et al, Morasco et al,

Raison et al dan Kraus et al melaporkan penurunan insiden dan keparahan gejala depresi

setelah pemberian profilaksis antidepressan. Studi-studi tersebut juga mendukung untuk

memulai terapi antidepresan pada pasien dengan subklinis dasar depresi. Meskipun

demikian, pendekatan terapi ini tidak mendukung semua pasien, sebagian karena risiko

yang terkait dengan antidepresan (misalnya, perdarahan gastrointestinal). Selective

serotonin reuptake inhibitor (SSRI) telah menjadi pilihan utama dan telah efektif dan

ditoleransi dengan baik. Mirtazapine adalah pilihan bagi pasien dengan insomnia

dan/atau anoreksia. Bupropion dan venlafaxine juga pilihan yang biasa digunakan.

Triptofan sebagai monoterapi atau terapi tambahan baru-baru ini dilaporkan efektif

untuk tiga pasien. Perlu dicatat bahwa gejala depresi mungkin tidak memiliki respon

Universitas Sumatera Utara

Page 6: ASPEK PSIKOSOMATIK PADA GANGGUAN HATI

6

yang sama terhadap farmakoterapi. Pasien dengan kelelahan dan anoreksia biasanya

kurang responsif terhadap terapi [23-26].

Gangguan fungsi kognitif akibat IFN

Pasien melaporkan adanya masalah kognitif selama terapi IFN, termasuk

kesulitan dengan memori, konsentrasi, dan pemecahan masalah. IFN dapat

mempengaruhi sistem frontal-subkortikal sehingga mengganggu memori kerja dan

perhatian kompleks. Efeknya tergantung pada dosis, durasi, dan rute pemberian IFN.

Mekanisme IFN dalam menyebabkan disfungsi kognitif belum diketahui, meskipun

demikian pada pemeriksaan PET scans diketahui terjadi hypometabolism pada korteks

prefrontal. MRI menunjukkan aktivasi korteks anterior cingulate, yang dapat

menghasilkan kesulitan dalam pengenalan dan pengolahan masalah. Namun, peneliti

belum mampu mengidentifikasi bukti obyektif penurunan nilai kognitif dan berhipotesis

bahwa gejala hanya bersifat subjektif dan alami. Meski demikian, disfungsi kognitif

tidak berkaitan dengan gejala depresi dan biasanya sembuh setelah terapi IFN

dihentikan [27-30].

6.2 Kelelahan akibat IFN

Kelelahan adalah efek samping yang paling mengganggu bagi kebanyakan pasien

karena mempengaruhi aktivitas sehari-hari. Kelelahan akibat IFN mungkin

berhubungan dengan perubahan dalam basal ganglia, termasuk nucleus accumbens dan

putamen. Beberapa pasien dapat diberikan terapi erythropoietin jika anemia atau

suplemen hormon tiroid jika terdapat hipotiroid. SSRI mungkin tidak secara signifikan

mengurangi kelelahan akibat IFN, tetapi stimulan seperti modafinil mungkin efektif.

Meski demikian, hanya sedikit data yang ada mengenai kelelahan akibat IFN [31, 32].

Pasien dengan risiko tinggi pemberian IFN

Perlunya kepatuhan pengobatan dan seringnya terjadi efek samping kejiwaan

membutuhkan perhatian yang tinggi pada kemampuan pasien terutama pada mereka

yang memiliki riwayat gangguan kejiwaan dan / atau penyalahgunaan zat. Hal ini agar

Universitas Sumatera Utara

Page 7: ASPEK PSIKOSOMATIK PADA GANGGUAN HATI

7

dapat menjalani terapi IFN hingga selesai. Kekhawatiran akan ketidakmampuan untuk

mematuhi pengobatan dan risiko yang berpotensi tinggi untuk terjadinya efek samping

kejiwaan menyebabkan banyaknya pasien yang tidak mendapat pengobatan. Beberapa

penelitian yang melibatkan populasi berisiko tinggi menunjukkan bahwa keberhasilan

pengobatan adalah hal yang sangat mungkin. Namun beberapa kelompok mencatat

tingkat putus obat yang lebih besar dan rendahnya penurunan tingkat penurunan

virologi pada pasien dengan risiko tinggi. Saat ini, hampir semua pedoman pengobatan

hepatitis merekomendasikan pasien berisiko tinggi untuk melibatkan koordinasi

perawatan antara penyedia kesehatan mental dan hepatologi [3, 33, 34].

Ensefalopati Hepatikum

Semua berkontribusi dalam perubahan dalam fungsi otak. Faktor kontributor

lainnya termasuk neurosteroids, endogenous benzodiazepine receptor ligands, sitokin

inflamasi, manganese, mercaptans, dan asam oktanoat. Diagnosis ensefalopati hatikum

merupakan hasil eksklusi penyebab lain perubahan status mental pada pasien dengan

penyakit hati yang signifikan (misalnya, infeksi, penyalahgunaan zat, dan perdarahan

intrakranial). Tes psikometri seperti Digit Symbol, Line Tracing, Trail-making Test dapat

membantu, terutama jikat terjadi penurunan kognitif yang ringan. Temuan

elektroensefalogram biasanya menunjukkan perlambatan gelombang otak secara umum

dan adanya gelombang triphasic tapi tidak spesifik untuk ensefalopati. Kadar amonia

dalam darah biasanya cenderung meningkat tetapi tidak pada semua pasien [35, 36].

Manajemen ensefalopati hatikum meliputi koreksi faktor pencetus seperti infeksi,

hiponatremia, asidosis atau alkalosis, sembelit, obat psikoaktif, dan perdarahan GI.

Pemberian disakarida nonabsorbable dan nonantibiotik sering dilakukan, namun bukti

keefektifannya masih kurang. Benzodiazepine antagonis reseptor flumazenil juga telah

digunakan; dua tinjauan sistematik review menyimpulkan bahwa pengobatan ensefalopati

dengan flumazenil diproduksi perbaikan gejala yang signifikan. Namun manfaatnya tidak

berlangsung lama dan tidak memberikan perbedaan signifikan pada pemulihan atau

kelangsungan hidup. Flumazenil juga dapat menimbulkan kejang pada pasien yang

memiliki ketergantungan terhadap benzodiazepin. L-acetylcarnitine dan aspartat ornithine

Universitas Sumatera Utara

Page 8: ASPEK PSIKOSOMATIK PADA GANGGUAN HATI

8

juga dapat diberikan, tapi bukti tidak cukup untuk merekomendasikan penggunaannya

[37, 38].

Psikofarmakologi Pada Gangguan Hati

Tidak ada obat yang benar-benar berkontraindikasi pada pasien dengan gangguan

hati, tetapi beberapa obat memiliki risiko lebih besar untuk terjadinya toksisitas hati yang

signifikan. Perhatian khusus perlu diberikan ketika meresepkan obat psikotropika untuk

pasien dengan penyakit hati, mengingat bahwa hati memiliki kapasitas fungsional yang

besar dan hanya pada kerusakan hati yang luas dimana resep harus diubah. Prinsip-

prinsip berikut harus diadopsi:

1. Semakin besar tingkat kerusakan hati semakin rendah dosis awal dan dosis

maksimum yang diberikan

2. Tes fungsi hati memberikan indikasi dari gangguan hati tetapi tidak selalu

berkorelasi dengan baik dengan kerusakan hati yang telah terjadi

3. Beberapa obat yang memiliki first-pass clearance effect yang menyebabkan sedasi

dan konstipasi sehingga dihindari pada gangguan hati yang luas

4. Selalu mulai dengan dosis rendah, meningkatkan dosis perlahan dan memantau tes

fungsi hati

Penderita gangguan hati yang memiliki ensefalopati juga sangat sensitif terhadap

obat sedatif-hipnotik seperti benzodiazepine dan barbiturat. Disfungsi hati mengubah

penyerapan, distribusi, metabolisme, dan ekskresi sebagian besar agen psikotropika.

Tidak ada uji biokimia tertentu atau penanda yang dapat memberikan tingkat perubahan

farmakokinetik pada pasien. Meskipun demikian, skor Child-Pugh Scale (CPS) dapat

digunakan untuk memberikan pedoman untuk pemberian dosis obat (Tabel 1). Pada

pasien dengan skor CPS A, gagal hati ringan atau sirosis, dapat mentolerir 75%-100%

dari dosis awal pemberian obat psikotropika. Pasien dengan skor CPS B, gagal hati

sedang atau sirosis, pengurangan dosis awal 50% -75% dari dosis awal sangat dianjurkan.

Pemberian dosis tambahan yang lebih kecil dapat diberikan untuk mengimbangi eliminasi

waktu paruh obat. Biasanya, pasien dengan skor CPS B sering berhasil diobati hanya

Universitas Sumatera Utara

Page 9: ASPEK PSIKOSOMATIK PADA GANGGUAN HATI

9

dengan pemberian 50% dari dosis konvensional obat psikotropika. Penderita disfungsi

hati dengan skor CPS C, kegagalan hati berat atau sirosis, perlu dilakukan titrasi obat,

bersama dengan pemantauan ketat untuk mencegah memburuknya status kognitif akibat

pemberian obat psikotropika potensial [26, 39].

Skor merupakan hasil gabungan kelima faktor

TABEL 1. Skor Child-Pugh Scale

Faktor 1 Poin 2 Poin 3 Poin

Serum bilirubin (ilmol/L) 34 35-50 51

Serum albumin (g/dL) >3.5 3.0-3.5 <3.0

Prothrombin time (s) <4 4-6 >6

International normalized ratio (INR) <1.7 1.7-2.3 >2.3

Asites Tidak ada Ringan, medically controlled

Moderate-severe, poorly controlled

Ensefalopati Tidak ada Stage 1-2 Stage 3-4

Skor Total 5-6 7-9 10-15

Child-Pugh Scale score A B C

TABEL 2. Dosis Obat Psikotropika pada Gagal Hati [40]

Golongan Psikotropika Dosis Awal

Dosis Psikotropika pada Derajat Gagal Hati

Ringan Sedang Berat

Selective Serotonin Reuptake Inhibitor

Fluoxetine 20 mg 20 mg 15 mg 10 mg

Sertraline HCl 50 mg 50 mg 35-40 mg 25 mg

Escitalopram 10 mg 10 mg 7.5 mg 5 mg

Tetrasiklik

Maproptiline HCl 25 mg 25 mg 15-20 mg 10-15 mg

Trisiklik

Amitriptilin 25 mg 25 mg 12.5 mg Kontra indikasi

Monoamine oxidase inhibitor

Universitas Sumatera Utara

Page 10: ASPEK PSIKOSOMATIK PADA GANGGUAN HATI

10

Dikutip dari MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi 2016

Antidepresi

Obat antidepresan memiliki sifat hepatotoksik, efek sampingnya berupa

peningkatan enzim hati dan meskipun jarang dapat menyebabkan nekrosis luas dan

gagal hati fulminan. Golongan monoamine oxidase inhibitor dan trisiklik memiliki

kemungkinan lebih besar untuk menyebabkan kerusakan hati dibanding antidepresan

baru. Kebanyakan trisiklik memiliki first-pass clearance yang dan efek samping yang

tinggi, seperti mengantu, dan lebih sering terjadi pada pasien dengan gangguan hati.

Selective serotonin reuptake inhibitor merupakan golongan antidepressant yang dapat

lebih ditolerir pada gangguan hati dibandingkan golongan lainnya. Dosis alternatif

harian fluoxetine telah direkomendasikan untuk diberikan pada pasien depresi dengan

gagal hati. Sementara dosis terapeutik yang lebih rendah telah direkomendasikan untuk

citalopram dan paroxetine. Sebuah studi mengatakan bahwa paroxetine adalah pilihan

paling aman, tapi ini perlu diimbangi dengan risiko adanya sindroma withdrawal.

Venlafaxine, mirtazapine dan reboxetine aman diberikan jika dosis awal tidak lebih dari

Phenelzine 15 mg Kontra indikasi Kontra indikasi Kontra indikasi

Tranycyclopine 10 mg Kontra indikasi Kontra indikasi Kontra indikasi

Antidepresi golongan lain

Bupropion 50 mg 50 mg 30-40 mg 25 mg

Benzodiazepine

Alprazolam 0.5-1 mg 0.5-1 mg 0.5 mg 0.25 mg

Clobazam 5 mg 2.5 mg 1.25 mg Kontra indikasi

Estazolam 1 mg 1 mg 0.5 mg 0.25 mg

Lorazepam 1-3 mg 1-3 mg 1 mg 0.5 mg

Diazepam 5-10 mg 5-10 mg 5 mg 2 mg

Hipnotik/sedatif

Zolpidem 10 mg 5 mg 2.5 mg Kontra indikasi

Universitas Sumatera Utara

Page 11: ASPEK PSIKOSOMATIK PADA GANGGUAN HATI

11

50% dari dosis biasa. Monoamine oxidase inhibitor memiliki sifat yang lebih

hepatotoksik dibandingkan golongan antidepresan lainnya dan dapat memicu koma.

Golongan ini umumnya berkontraindikasi. Jika monoamine oxidase inhibitor diperlukan

atas dasar klinis maka harus diberikan dengan dosis awal dikurangi sepertiga atau

setengah dan dibarengi dengan pemberian moclobemide [41-43].

Anxiolitik dan hipnotik

Gangguan hati mengganggu metabolisme diazepam dan chlordiazepoxide, dengan

memperpanjang waktu paruh dari metabolism obat. Oleh karenanya dapat memicu

ensefalopati dan koma. Golongan benzodiazepin yang menjadi pilihan diantaranya

lorazepam, temazepam dan oxazepam dan diberikan dalam dosis rendah. Metabolisme

pada obat ini tidak menunjukkan adanya perubahan. Sedangkan eliminasi dari

zolpiclone berkurang pada gagal hati. Dosis 3.75 mg dapat diberikan secara hati-hati

dengan dosis total tidak boleh melebihi 7,5 mg. Demikian pula zolpidem harus

digunakan dalam dosis yang dikurangi. Obat ini berkontraindikasi pada gagal hati berat

[44, 45].

Hepatitis Imbas Obat/Drug-Induced Liver Injury

Kerusakan hati yang diakibatkan obat dapat berupa meningkatnya transaminase

tanpa adanya gejala hingga kasus kegagalan hati fulminant yang jarang terjadi. Setiap

kasus berbeda dengan lainnya sehingga tidak dapat diprediksi. Berkembangnya hepatitis

imbas obat (HIO) tidak bergantung dari banyaknya dosis dan durasi pemberian obat yang

diberikan. Kerusakan pada hati biasanya berkurang setelah obat dihentikan, tapi ini bisa

memakan waktu hingga satu tahun. Faktor risiko kerusakan hati yang diakibatkan obat

diantaranya termasuk obesitas, malnutrisi, polimorfisme genetik, penyalahgunaan

alkohol, dan usia. Wanita lebih rentan untuk terjadinya kerusakan hati yang fulminant

akibat obat. Pasien dengan riwayat gangguan hati yang sudah ada sebelumnya tidak

memiliki risiko yang lebih besar untuk terjadinya HIO tetapi memiliki jumlah hati yang

sehat yang lebih sedikit jika terjadi HIO. Ada tiga tipe kerusakan hati yang diinduksi obat

yaitu: hepatoseluler, kolestasis, dan campuran. Kerusakan hepatoseluler menyebabkan

Universitas Sumatera Utara

Page 12: ASPEK PSIKOSOMATIK PADA GANGGUAN HATI

12

elevasi yang signifikan pada serum glutamic pyruvic transferase (SGPT) bersamaan

dengan alkali fosfatase. Sedangkan kerusakan hati kolestasis biasanya terjadi peningkatan

yang lebih signifikan pada alkali fosfatase. Hampir semua obat psikotropika memiliki

risiko terjadinya hepatotoksisitas, tapi risikonya sangat rendah. Bagi sebagian besar

pasien yang sedang mengkonsumsi obat, pemantauan fungsi hati secara rutin tidak

dianjurkan karena HIO masih bersifat idiosinkrasi. Karena tidak jelasnya kerusakan hati

yang dapat berlanjut ke kondisi yang fulminan, pemberhentian obat disarankan pada

pasien yang memiliki peningkatan SGPT hingga tiga kali diatas normal. Selain itu

peningkatan bilirubin, peningkatan International normalization ratio (INR), gejala

gangguan hati (misalnya, nyeri kuadran kanan atas, urin gelap, pruritus, sakit kuning,

mual, anoreksia) juga merupakan indikasi untuk pemberhentian obat [43, 46-48].

Kesimpulan

Terdapat berbagai hal yang harus diperhatikan pada aspek psikosomatis pada

pasien dengan gangguan hati oleh karena berbagai perubahan fisiologis terkait dengan

disfungsi hati yang dapat memengaruhi keadaan pasien. Terapi berkepanjangan pada

pasien dengan gangguan hati terkadang harus dibarengi dengan pemberian agen

psikotropika. Dosis pemberian obat psikotropika pun harus disesuaikan dengan beratnya

disfungsi hati yang dialami penderita.

Universitas Sumatera Utara

Page 13: ASPEK PSIKOSOMATIK PADA GANGGUAN HATI

13

Daftar Pustaka

1. De Bona, M., et al., The impact of liver disease and medical complications on quality of life and

psychological distress before and after liver transplantation. Journal of hepatology, 2000. 33(4):

p. 609-15.

2. Ismail, R. and K. Siste, Gangguan Depresi. Dalam Elvira, Silvia D., Hadisukanto, Gitayanti,

Buku Ajar Psikiatri, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2010.

3. Ghany, M.G., et al., Diagnosis, management, and treatment of hepatitis C: an update.

Hepatology, 2009. 49(4): p. 1335-74.

4. Pardede, C.M., KARAKTERISTIK PENDERITA PERCOBAAN BUNUH DIRI DENGAN RACUN

DI RSUD DR. PIRNGADI KOTA MEDAN TAHUN 2006-2011. Gizi, Kesehatan Reproduksi dan

Epidemiologi, 2012. 1(01).

5. Sofyani, S. and M.J. Simbolon, Hubungan Gangguan Ansietas dan Gangguan Depresi Terhadap

Kejadian Sakit Perut Berulang Pada Remaja. 2012.

6. Profil Kesehatan 2008, 2009, Departemen Kesehatan.

7. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar RISKESDAS Indonesia. 2007 [cited 2016 6 Maret].

8. Golden, J., A.M. O'Dwyer, and R.M. Conroy, Depression and anxiety in patients with hepatitis

C: prevalence, detection rates and risk factors. General hospital psychiatry, 2005. 27(6): p. 431-

8.

9. Loftis, J.M., A.M. Matthews, and P. Hauser, Psychiatric and substance use disorders in

individuals with hepatitis C: epidemiology and management. Drugs, 2006. 66(2): p. 155-74.

10. Duman, R., Pathophysiology of depression: the concept of synaptic plasticity. European

psychiatry, 2002. 17: p. 306-310.

11. Ko, F.Y., et al., Physiologic and laboratory correlates of depression, anxiety, and poor sleep in

liver cirrhosis. BMC gastroenterology, 2013. 13: p. 18.

12. Alekseeva, A.S., et al., Serotonin metabolism parameters in patients with chronic hepatitis and

liver cirrhosis. Bulletin of experimental biology and medicine, 2008. 146(5): p. 577-9.

13. Culafic, D.M., et al., Plasma and platelet serotonin levels in patients with liver cirrhosis. World

journal of gastroenterology, 2007. 13(43): p. 5750-3.

14. Bianchi, G., et al., Psychological status and depression in patients with liver cirrhosis. Digestive

and liver disease : official journal of the Italian Society of Gastroenterology and the Italian

Association for the Study of the Liver, 2005. 37(8): p. 593-600.

15. Fritz, E. and J. Hammer, Gastrointestinal symptoms in patients with liver cirrhosis are linked to

impaired quality of life and psychological distress. European journal of gastroenterology &

hepatology, 2009. 21(4): p. 370-5.

16. Nelligan, J.A., et al., Depression comorbidity and antidepressant use in veterans with chronic

hepatitis C: results from a retrospective chart review. The Journal of clinical psychiatry, 2008.

69(5): p. 810-6.

17. Schafer, A., et al., Methodological approaches in the assessment of interferon-alfa-induced

depression in patients with chronic hepatitis C - a critical review. International journal of

methods in psychiatric research, 2007. 16(4): p. 186-201.

18. Capuron, L. and A. Ravaud, Prediction of the depressive effects of interferon alfa therapy by the

patient's initial affective state. The New England journal of medicine, 1999. 340(17): p. 1370.

19. Raison, C.L., et al., Depression during pegylated interferon-alpha plus ribavirin therapy:

prevalence and prediction. The Journal of clinical psychiatry, 2005. 66(1): p. 41-8.

20. Reichenberg, A., J.M. Gorman, and D.T. Dieterich, Interferon-induced depression and cognitive

impairment in hepatitis C virus patients: a 72 week prospective study. AIDS, 2005. 19 Suppl 3:

p. S174-8.

Universitas Sumatera Utara

Page 14: ASPEK PSIKOSOMATIK PADA GANGGUAN HATI

14

21. Asnis, G.M. and R. De La Garza, 2nd, Interferon-induced depression in chronic hepatitis C: a

review of its prevalence, risk factors, biology, and treatment approaches. Journal of clinical

gastroenterology, 2006. 40(4): p. 322-35.

22. Malek-Ahmadi, P. and R.C. Hilsabeck, Neuropsychiatric complications of interferons:

classification, neurochemical bases, and management. Annals of clinical psychiatry : official

journal of the American Academy of Clinical Psychiatrists, 2007. 19(2): p. 113-23.

23. Gleason, O.C., et al., Preventing relapse of major depression during interferon-alpha therapy for

hepatitis C--A pilot study. Digestive diseases and sciences, 2007. 52(10): p. 2557-63.

24. Kraus, M.R., et al., Therapy of interferon-induced depression in chronic hepatitis C with

citalopram: a randomised, double-blind, placebo-controlled study. Gut, 2008. 57(4): p. 531-6.

25. Morasco, B.J., et al., A randomized trial of paroxetine to prevent interferon-alpha-induced

depression in patients with hepatitis C. Journal of affective disorders, 2007. 103(1-3): p. 83-90.

26. Crone, C.C., G.M. Gabriel, and A. DiMartini, An overview of psychiatric issues in liver disease

for the consultation-liaison psychiatrist. Psychosomatics, 2006. 47(3): p. 188-205.

27. Kraus, M.R., et al., Neurocognitive changes in patients with hepatitis C receiving interferon alfa-

2b and ribavirin. Clinical pharmacology and therapeutics, 2005. 77(1): p. 90-100.

28. Pawelczyk, T., et al., Pegylated interferon alpha and ribavirin therapy may induce working

memory disturbances in chronic hepatitis C patients. General hospital psychiatry, 2008. 30(6): p.

501-8.

29. Juengling, F.D., et al., Prefrontal cortical hypometabolism during low-dose interferon alpha

treatment. Psychopharmacology, 2000. 152(4): p. 383-9.

30. Fontana, R.J., et al., Cognitive function does not worsen during pegylated interferon and ribavirin

retreatment of chronic hepatitis C. Hepatology, 2007. 45(5): p. 1154-63.

31. Capuron, L., et al., Anterior cingulate activation and error processing during interferon-alpha

treatment. Biological psychiatry, 2005. 58(3): p. 190-6.

32. Martin, K.A., et al., Modafinil's use in combating interferon-induced fatigue. Digestive diseases

and sciences, 2007. 52(4): p. 893-6.

33. Robaeys, G. and F. Buntinx, Treatment of hepatitis C viral infections in substance abusers. Acta

gastro-enterologica Belgica, 2005. 68(1): p. 55-67.

34. Schaefer, M., et al., Hepatitis C treatment in "difficult-to-treat" psychiatric patients with

pegylated interferon-alpha and ribavirin: response and psychiatric side effects. Hepatology,

2007. 46(4): p. 991-8.

35. Haussinger, D. and F. Schliess, Pathogenetic mechanisms of hepatic encephalopathy. Gut, 2008.

57(8): p. 1156-65.

36. Butterworth, R.F., Pathophysiology of hepatic encephalopathy: The concept of synergism.

Hepatology research : the official journal of the Japan Society of Hepatology, 2008. 38 Suppl 1:

p. S116-21.

37. Sundaram, V. and O.S. Shaikh, Hepatic encephalopathy: pathophysiology and emerging

therapies. The Medical clinics of North America, 2009. 93(4): p. 819-36, vii.

38. Als-Nielsen, B., L.L. Gluud, and C. Gluud, Benzodiazepine receptor antagonists for hepatic

encephalopathy. The Cochrane database of systematic reviews, 2004(2): p. CD002798.

39. Albers, I., et al., Superiority of the Child-Pugh classification to quantitative liver function tests for

assessing prognosis of liver cirrhosis. Scandinavian journal of gastroenterology, 1989. 24(3): p.

269-76.

40. Medica, C., MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi, 2016, Edisi.

41. Bergstrom, R., et al., The effects of renal and hepatic disease on the pharmacokinetics, renal

tolerance, and risk-benefit profile of fluoxetine. International clinical psychopharmacology, 1993.

42. Livingston, M.G. and H.M. Livingston, Monoamine oxidase inhibitors. Drug safety, 1996. 14(4):

p. 219-227.

Universitas Sumatera Utara

Page 15: ASPEK PSIKOSOMATIK PADA GANGGUAN HATI

15

43. Lucena, M.I., et al., Antidepressant-induced hepatotoxicity. Expert opinion on drug safety, 2003.

2(3): p. 249-62.

44. Kaplan, S. and M. Jack, Pharmacokinetics and metabolism of anxiolytics, in Psychotropic

Agents1981, Springer. p. 321-358.

45. Shapiro, S., et al., Clinical effects of hypnotics: II. An epidemiologic study. JAMA, 1969. 209(13):

p. 2016-2020.

46. Hussaini, S.H. and E.A. Farrington, Idiosyncratic drug-induced liver injury: an overview. Expert

opinion on drug safety, 2007. 6(6): p. 673-84.

47. Russo, M.W. and P.B. Watkins, Are patients with elevated liver tests at increased risk of drug-

induced liver injury? Gastroenterology, 2004. 126(5): p. 1477-80.

48. Navarro, V.J. and J.R. Senior, Drug-related hepatotoxicity. The New England journal of

medicine, 2006. 354(7): p. 731-9.

Universitas Sumatera Utara