REFERAT ILMU KESEHATAN JIWAAspek Neurobiologi Ketergantungan
Opioid
Disusun oleh :Norhidayu Binti Mesman (11.2013.117)Marvelius
Liandry (10.2013.214)Natalia Angreini Gunawan (11.2013.217)Agung
(11.2013.337)
Pembimbing :dr. Carlamia H.L Sp.KJdr.Imelda Sp.KJ
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWARUMAH SAKIT
KETERGANTUNGAN OBAT JAKARTAPERIODE 16 FEBRUARI 2015- 21 MARET
2015FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA JAKARTA
DEFINISI Analgetik narkotik (opioid) merupakan kelompok obat
yang memiliki sifat seperti opium. Meskipun mempelihatkan berbagai
efek farmakologik yang lain, golongan obat ini digunakan terutama
untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri. Opioum yang berasal
dari getah Papaver somniferum mengandung sekitar 20 jenis alkaloid
diantaranya morfin, kodein, tebain, papaverin. Analgetik opioid
terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan nyeri
meskipun juga memperlihatkan berbagai efek farmakodinamik yang
lain.Opiat atau yang dikenal sebagai narkotik adalah bahan yang
digunakan untuk menidurkan atau melegakan rasa sakit, tetapi
mempunyai potensi yang tinggi untuk menyebabkan ketagihan. Sebagian
dari opiat ,seperti candu,morfin,heroin dan kodein diperoleh dari
getah buah popi yang terdapat atau berasal dari negara-negara Timur
Tengah dan Asia. Pengaruh dari berbagai obat golongan opioid sering
dibandingkan dengan morfin, dan tidak semua obat golongan opioid
dipasarkan di Indonesia. Akan tetapi dengan sediaan yang sudah ada
kiranya penangganan nyeri yang membutuhkan obat opioid dapat
dilakukan. Terbatasnya peredaran obat tersebut tidak terlepas pada
kekhawatiran terjadinya penyalahgunaan obat.
KLASIFIKASI SENYAWA OPIOIDA. Agonis reseptor 1. Alkaloid
:MORFINMorfin merupakan obat prototype opiod yang menjadi
perbandingan pada semua jenis obat golongan agonis opioid. Efek
dari morfin berupa analgesia, euforia, sedasi, berkurangnya
konsentrasi, nausea, perasaan berat pada ekstremitas, mulut yang
kering dan priritus terutama pada daerah sekitar hidung. Jenis
nyeri tumpul yang continu lebih efektif dihilangkan dengan morfin
daripada jenis nyeri yang tajam dan intermiten. Efek analgesia dari
morfin lebih efektif bila diberikan sebelum stimulus nyeri
diberikan. Sementara bila tidak ada rangsangan nyeri, morfin lebih
memberikan efek disforia daripada euphoria.
HIDROMORFONHidromorfon adalah derivat morfin dengan potensi 5
kali lebih besar jika dibandingkan dengan morfin. Jika dibandingkan
dengan morfin, hidromorfon mempunyai efek sedasi yang lebih besar,
efek euphoria yang lebih kecil serta durasi kerja yang lebih
pendek.KODEINKodein merupakan obat antitusif kuat yang sering
digunakan pada praktek medis sehari-hari. Sekitar 10% kodein
dimetilasi di hepar menjadi morfin. Hal ini membuat kodein efektif
sebagai analgesik oral. Jika diberikan im efek analgesia 120 mg
kodein setara dengan 10 mg morfin. Pemberian kodein secara iv tidak
disarankan oleh karena kejadian hipotensi yang dikaitkan dengan
efek pelepasan histaminnya cukup besar.OKSIKODONOksikodon adalah
opioid derivat dari thebain yang ditemukan di Jerman tahun 1916
sebagai salah satu opioid semi sintetik. Terapi oksikodon untuk
nyeri sedang hingga berat sudah terbukti dan oleh European
Association for Palliative Care, oksikodon digunakan sebagai second
line alternative drug setelah morfin. Gejala withdrawal sering
didapatkan pada pengguna oksikodon jangka panjang yang mengalami
henti obat seketika. Oleh karena itu disarankan untuk menghentikan
oksikodon bertahap. HIDROKODONHidrokodon adalah opioid semisintetik
derivat dari kodein dan thebain. Pertama disintesis di Jerman tahun
1920 yang kemudian digunakan secara luas sebagai terapi nyeri
sedang hingga berat. Opioid ini selain mempunyai kekuatan analgesik
juga mempunyai efek antitusif yang cukup kuat.
DIHIDROKODEINDihidrokodein adalah opioid semisintetik yang
ditemukan di Jerman tahun 1908 yang memiliki struktur kimia
menyerupai kodein. Selain analgesik, obat ini juga memiliki efek
antitusif yang cukup kuat. HEROIN.Heroin atau juga dikenal sebagai
diasetilmorfin adalah opioid sintetik sebagai hasil asetilasi dari
morfin. Penetrasi cepat ke otak adalah salah satu keistimewaan obat
ini oleh karena kelarutan lemak serta struktur kimianya yang unik.
Heroin sudah tidak beredar lagi di AS oleh karena potensi
ketergantungan fisiknya yang cukup tinggi.2. Opioid sintetik :a.
Derivat fenil piperidin :FENTANYLFentanyl adalah opioid sintetik
yang secara struktur mirip dengan meperidin. Potensial analgesiknya
75-125 kali lebih besar daripada morfin. Mempunyai onset dan durasi
yang lebih cepat jika dibandingkan dengan morfin hal ini
dikarenakan kelarutan lemak fentanyl yang tinggi. Fentanyl
dimetabolisme dengan cara metilasi menjadi norfentanyl,
hydroksipropionil-fentanyl dan hidroksinorpropionil-fentanyl.
Diekskresi melalui urin dan dapat dideteksi 72 jam setelah
pemberian iv. Namun 12 jam Precipitated withdrawal syndrome Efek
agonis Gejala putus obat akibat Nalokson dan Buprenorfin Mungkin
gejala putus ringan Precipitated withdrawal syndrome Efek
agonis
Pengguna Heroin tidak ketergantungan Efek agonis Efek agonis
dilemahkan Efek agonis
Opioid naive Efek agonis ( berkurang jika per oral )Efek agonis
pada awalnya dilemahkan Efek agonis ( berkurang jika per oral )
Rumatan sediaan tunggal - BuprenorfinEfek agonis Efek agonis
pada awalnya dilemahkan Efek agonis
Rumatan Metadon ( dosis < 24 jam yang lalu )Precipitated
withdrawal syndrome
Gejala putus obat berat akibat Nalokson dan Buprenorfin
Precipitated withdrawal syndrome
Dewasa ini buprenorfin menjadi obat yang paling popular di
banyak negara sebagai terapi rumatan pasien-pasien ketergantungan
opioid . Buprenorfin dapat diberikan 2 atau 3 kali dalam seminggu
karena masa aksinya yang panjang. Karena kemungkinan untuk disalah
gunakan , kombinasi formula buprenorfin dan nalokson juga telah
digunakan untuk terapi ketergantungan opioid Buprenorfin mengurangi
efek agonis opioid dan mengurangi potensi menekan sentra
ppernafasan. Gejala-gejala withdrawal mudah dikendalikan Bila
metadon diberikan secara oral, buprenorfin diberikan secara
sublingual. Bila tidak hati-hati hak privilage untuk bawa pulang
sering disalahgunakan pasien.
Tabel 5. Terapi substitusi Metadon dan
BuprenorfinMetadonBuprenorfin
KlasifikasiMurnipAg
Substitusi untuk heroin+++++
Efek terhadap heroin++Dosis tinggi (>60 mgr )++++Dosis rendah
(>4 mgr)
Withdrawal symptoms+++++
Onset of Action30-60 mnt30-60 mnt
Puncak efek3 6 jam1 4 jam
Duration of Action16 30 jam>2 -3 hari dengan dosis tinggi
MetabolismeHepatik MES +++ dipengaruhi fungsi liverHepatik MED
& konyungasi, impact thd liver kurang
Cara pemberianOralSublingual
Pedoman klinis penatalaksanaan ketergantungan heroin dengan
buprenorfin. Memulai terapi buprenorfin , terapi buprenorfin hanya
diindikasikan untuk detoksifikasi dan terapi rumatan pasien dengan
ketergantungan opioid. I. Kontraindikasi Insufisisensi pernafasan
penggunaan buprenorfin : Siapa saja yang diketahui hipersensitif
dan/ atau mengalami efek samping berat dari paparan buprenorfin
sebelumnya tidak dapat diobati dengan buprenorfin. atau hepatik
berat Pasien berusia kurang dari 18 tahun Alkoholisme akut atau
delirium tremensII. Perhatian khusus harus diberikan ketika menilai
kesesuaian terapi buprenorfin bagi siapa saja dengan kondisi klinis
sebagai berikut : Berisiko tinggi menggunakan banyak obat. Semua
terapi substitusi opioid harus dipertimbangkan dengan hati-hati
pada individu yang menggunakan obat-obat lainnya, khususnya obat
sedatif seperti alkohol, benzodiazepin atau anti-depresi. Penekanan
khusus harus diberikan untuk menilai tingkat neuuroadaptasi
terhadap opiod, pada keadaan yang menggunakan obat sedatif lain
secara terus-menerus daan risiko overdosis. Kondisi medis
penyerta.Buprenorfin adalah obat golongan opioda dan harus
berhati-hati dalam penggunaannya di situasi berikut ini : Trauma
kepala yang baru terjadi atau peningkatan tekanan intrakranial.
Fungsi pernafasan yang menurun . buprenorfin seperti opioda lain,
harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan penyakit
saluran nafas obstruktif kronik atau cor-pulmonale dan pada
individu dengan cadangan kapasitas pernafasan yang menurun secara
substansial, mengalami depresi pernafasan , hipoksia atau
hiperkapnea. Pada pasien-pasien seperti ini, bahkan dosis
terapeutik yang biasanya aman dapat menurunkan refleks pernafasan
dan secara bersamaan meningkatkan resistansi saluran nafas hingga
ke tahap apnea. Kondisi akut abdomen Penyakit hati berat Pasien
dengan risiko khusus Kondisi psikiatrik penyertaTerapi substitusi
opioid tidak boleh dimulai pada pasien dengan psikosis akut,
depresi berat, atau kondisi psikiatrik lain yang sangat menurunkan
kemampuan untuk memberi persetujuan setelah penjelasan. Perpindahan
dari dosis rumatan metadonIII. Pedoman terapi rumatan ,
faktor-faktor untuk dipertimbangkan ketika memilih farmakoterapi
rumatan : Respons terhadap terapi , variasi individu dalam tingkat
absorbsi, metabolisme dan bersihan Kejadian tidak diinginkan (
adverse event ) Hal-hal yang mempermudah pemberian terapi Ringannya
gejala putus zat dari terapi rumatan buprenorfin Harapan pasien dan
terapis terhadap hasil terapi Kemampuan untuk berpindah dari terapi
rumatan metadon Dosis pertama buprenorfin harus diberikan paling
sedikit 6 jam setelah penggunaan heroin terakhir.
Tabel 5. Konversi dari Metadon dosis rendah ke
Buprenorfin-NaloksonDosis Metadon terakhir ( oral, mg )Dosis
Buprenorfin- Nalokson hari ke-1 ( tablet sublingual, mg )Dosis
Buprenorfin-Nalokson hari ke 2 ( tablet sublingual, mg )
20-4010-201-104426-84-82-4
Stabilisasi : untuk mencapai stabilisasi dosis buprenorfin
dilakukan evaluasi pasien secara teratur untuk beberapa minggu
pertama, meliputi dosis adekuat, gejala putus zat, efek samping,
penggunaan obat lannya. Peningkatan dosis hanya dilakukan sesuai
indikasi Dosis rumatan buprenorfin harus dicapai dalam 1-2 minggu
pertama terapi, tergantung ada tidaknya penggunaan heroin atau
NAPZA lainnya.
Berikut ini jadual evaluasi minimal yang direkomendasikan : Hari
pertama setelah pemberian awal Buprenorfin : untuk mengidentifikasi
awitan precipitated withdrawal syndrome dan kecukupan dosis awal
secara umum. Setiap 2-4 hari hingga stabil. Setiap minggu selama
4-6 minggu berikutnya Setiap dua minggu selama 6-8 minggu
berikutnya. Setelah dilakukan evaluasi setiap bulan , meskipun
dokter dapat memperpanjang masa evaluasi hingga 3 bulan bagi pasien
yang sangat stabil. Dosis rumatan : efektif menghasilkan
penggurangan penggunaan heroin dan meningkatkan retensi dalam
terapi yang dicapai dengan dosis tinggi buprenorfin dalam kisaran
12-24mg per hari. Dosis harian buprenorfin maksimum yang
direkomendasikan adalah 32mg. Kenyamanan pemberian obat dengan
frekuensi yang dikurangi harus dipertimbangkan bagi pasien yang
memenuhi kondisi sebagai berikut : Sekurang-kurangnya dua minggu
dengan dosis buprenorfin yang sama Bukan tergolong high risk drug
use ( yang dimaksud dengan high risk drug use adalah sering
menyalahgunakan alkohol, benzodiazepin, heroin atau opioid lain,
sering berobat untuk detoksifikasi atau riwayat overdosis baru )
Ada jaminan dari keluarga uuntuk menjaga kepatuhan pada rejimen
berobat. Take home dosage : tidak diperbolehkan memberikan obat
dengan cara take-home dalam terapi satu bulan pertama Pada bulan
kedua , dokter bersertifikat diperbolehkan untuk memberikan obat
take-home dalam keadaan khusus hingga dua kali seminggu,
memungkinkan hingga 72 jam penggunaan obat tanpa pemantauan Pada
bulan ketiga dan seterusnya dapat diberikan dosis take-home
buprenorfin maksimal untuk satu minggu. Jika tidak terdapat
pelayanan buprenorfin, pasien diperkenankan untuk membawa dosis
buprenorfin sesuai dengan kebutuhannya sebanyak maksimal kebutuhan
1 bulan Intervensi psikososial : Terapi buprenorfin bukan merupakan
terapi tunggal untuk ketergantungan heroin. Tetap diperlukan
intervensi psikososial.Pendekatan konseling, seperti motivational
interviewing, pencegahan relaps dan pelatihan ketrampilan sosial,
terapi perilaku kognitif (CBT), banyak digunakan dan cukup efektif.
Keterlibatan keluarga (Family Support Group/FSG) sangat membantu
kepatuhan pasien untuk mengikuti program terapi. Missed Dose Pada
pasien dengan rejimen berselang sehari atau tiga kaliseminggu
kadang-kadang terjadi satu kali pemberian obat terlewat. Jika
pasien tersebut datang ke terapis pada hari berikutnya (bukan hari
pemberian obat), maka diberikan buprenorfin dengan dosis yang lebih
rendah untuk membantu kesulitan pasien hingga jadwal pemberian obat
berikutnya. Pasien yang berulang kali tidak mematuhi jadwal
pemberian obat harus memulai kembali prosedur terapi dari awal
termasuk informed consent yang baru. Terapi withdrawal heroin
Sebagaimana penggunaan obat-obatan (farmakoterapi) pelaksanaan
pelayanan putus zat berkaitan dengan : asesmen, penyesuaian terapi
dengan kebutuhan pasien, rencana tindakan detoksifikasi, dan
dukungan psikososial. Pasien membutuhkan informasi sehubungan
dengan : dasar dan durasi gejala-gejala putus zat, strategi untuk
berhasil dengan gejala dan kecanduan, strategi untuk menghilangkan
situasi dengan risiko tinggi, dan peran terapi. Pemberian obat
dengan cara take-home dosage tidak direkomendasikan selama periode
terapi detoksifikasi. Durasi terapi dengan buprenorfin yang
direkomendasikan untuk penatalaksanaan putus heroin adalah 4 8
hari. Kejadian tidak diinginkan (adverse Events) terapi
buprenorfin.Efek samping buprenorfin secara kualitatif mirip dengan
opioida lain yang digunakan dalam terapi rumatan, tetapi dengan
gejala yang lebih ringan. Dimana terjadi penyimpangan penggunaan
buprenorfin, pasien harus diperingati bahwa mereka mungkin harus
transfer dari terapi buprenorfin ke terapi metadon, yang lebih
mudah untuk diawasi. Penulisan resep, pemberian dan pendistribusian
buprenorfin.Penulisan resep untuk buprenorfin harus dalam formulir
resep standar. Resep yang sah harus menjelaskan hal yang berikut
ini: Nama dan alamat dari dokter yang meresepkan yang telah
mendapatkan ijin untuk meresepkan. Nama dan umur pasien Tanggal
peresepan Sediaan obat yang akan diresepkan (tablet sublingual
buprenorfin) Dosis buprenorfin yang diberikan dalam mg (katakata
dan angka) Jadwal pemberian obat yang berbeda harus dituliskan
secara terpisah (sebagai contoh : dosis 24-jam, dosis 2-hari atau
3-hari), sebutkan secara rinci nama hari di-mana pasien akan
diberikan obat. Tanggal memulai resep dan berakhirnya resep. Resep
tidak boleh diulang (ne iterater) Penulisan resep buprenorfin hanya
boleh dilakukan oleh dokter yang telah memiliki sertifikat yang
diakreditasi oleh Perhimpunan Dokter Seminat Kedokteran Adiksi
Indonesia (The Indonesian Society of Addiction Medicine/INDOSAM)
dan Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia
(PDSKJI).
Tabel 7. Pedoman pemberian dan penyesuaian dosis
Buprenorfin-NaloksonMenurunkan dosis
Buprenorfin-NaloksonMempertahankan dosis
Buprenorfin-NaloksonMeningkatkan dosis Burenorfin-Nalokson
Gejala intoksikasi Buprenorfin-Nalokson ( contohnya sedasi
khususnya pada efek puncak 1-4 jam setelah pemberian Buprenorfin
Nalokson )Tidak ada gejala putus atau intoksikasi
Buprenorfin-Nalokson Peningkatan gejala putus Buprenorfin-Nalokson
setelah 24 jam, sebelum jadwal pemberian obat berikutnya
Tidak ada gejala intoksikasi Buprenorfin-Nalokson khususnya pada
waktu efek puncak 1-4 jam setelah pemberian obat )
Craving yang ringan terhadap opioid atau napza lainCraving berat
terhadap opioid dalam 24 jam atau memakai opioid untuk mengalihkan
gejala putus Buprenorfin- Nalokson
Efek samping yang berat atau tidak dapat ditoleransi Tidak ada
efek samping atau ringan dan dapat ditoleransi Tidak ada efek
samping atau ringa dan dapat ditoleransi
Daftar Pustaka
1. Gunawan SG, Setiabudi R, Nafrialdi, E. Farmakologi dan
terapi. Ed 5. Jakarta: Balai penerbit FKUI; 2008.2. Suwarso.
Manajemen Laboratoris Penyalahgunaan Obat dan Komplikasinya. 2002,
Cermin Dunia Kedokteran No. 135.3. Brunton LL., Lazo JS., Parker
KL. The pharmacological basic of therapeutics. 11th ed. United
States of America: McGraw-Hill; 2008.4. Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia. Penetapan Rumah Sakit dan Satelit Uji Coba
Pelayanan Terapi Rumatan Metadon serta Pedoman Program Terapi
Rumatan Metadon, Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia,
2006.5. Ebert M, Loosen P, Nurcomber B. Current Diagnosis and
Treatment in Psychiatry. Philadelphia: McGraw Hill, 2005.6. Leavitt
SB. Methadone dosing and safety in the treatment of opioid
addiction. 2002. Addiction Treatment Forum.7. Husin, Al Bachri.
2002. Penatalaksanaan Terapi Medik Ketergantungan Opioida. Jakarta,
Indonesia.8. Nicholas L.Clinical guidelines for the use of
buprenorphine in the treatment of opioid addiction.US Department of
Health and Human Services.Centre for substance abuse
treatment.Rockville.2004.9. Katzung BG. Basic and clinical
pharmacology. 10th ed. United States of America: Lange medical
publications; 2007.10. Elvira SD, Hadisukanto G. Buku ajar
psikiatri. Jakarta : FKUI ; 2013. 11. Pedoman klinis
penatalaksanaan ketergantungan opioid dengan buprenorfin-nalokson.
Perhimpunan dokter seminar kedokteran adiksi Indonesia, Perhimpunan
dokter SpKJ Indonesia. Editor : Bachri AH, Dewiyana A; 2013.
4 |