-
Halaman 1
Aspek Hukum Asuransi Di Indonesia oleh
Abdul Mubarok, S.H., M.H., MARS. Hukum asuransi di Indonesia
dibawa oleh Pemerintah Kolonial Belanda yang tertuang dalam
kodifikasi Wetboek Van Koophandel (Kitab Undang Undang Hukum
Dagang). Dalam WvK/KUHD diatur tentang Asuransi Komersial. Lebih
lanjut tentang Usaha Perasuransian diatur dalam UU Nomor 2 Tahun
1992 Tentang Usaha Perasuaransian (UU Asuransi), 11 Pebruari 1992,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13. Kini,
seiring dengan perkembangan zaman, yaitu :
1) Penjelasan Pasal 3 UU Nomor 2 Tahun 1992 menyatakan :
...selain pengelompokan jenis usaha, usaha asuransi dapat pula
dibagi berdasarkan sifat dari penyelenggaraan usahanya dibagi
menjadi dua kelompok, yaitu yang bersifat sosial dan yang bersifat
komersial...
2) Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dalam TAP
Nomor X/MPR/2001 menugaskan Presiden untuk membentuk Sistem Jaminan
Sosial Nasional dalam rangka memberikan perlindungan sosial yang
menyeluruh dan terpadu.
3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Pasal 28H ayat (3), hasil amandemen kedua 18 Agustus 2000, yang
menyatakan :
Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan
pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat;
dan
4) Pasal 34 ayat (2), hasil amandemen keempat 11 Agustus 2002,
yang menyatakan :
Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat
dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai
dengan martabat kemanusiaan;
maka dI Indonesia selain Asuransi Komersial, dikenal juga dengan
Asuransi Sosial/Jaminan Sosial. Dengan demikian prinsip-prinsip
hukum asuransi komersial (Lex generalis) juga berlaku bagi asuransi
sosial (lex specialis), sepanjang tidak diatur lain oleh peraturan
di lingkungan asuransi sosial/jaminan sosial.
-
Halaman 2
1. ASPEK HUKUM ASURANSI KOMERSIAL
1) Asuransi komersial diatur dalam : (1) Burgerlijk
Wetboek/Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Staatsblad Tahun
1847 Nomor 23); (2) Wetboek Van Koophandel/Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang Staatsblad
Tahun 1847 Nomor 23, sebagaimana telah beberapa kali dirubah,
terakhir dengan UU Nomor 4 Tahun 1971 Tentang Perubahan Dan
Penambahan Atas Ketentuan Pasal 54 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
(Lembaran Negara Tahun 1971 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara
2959);
(3) Undang Undang No. 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian;
(4) Penyelenggaraan Usaha Perasuransian yang terdapat di Peraturan
Pemerintah No.
73 Tahun 1992; (5) Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 1999 yang
berisikan tentang perubahan
Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 1992; (6) KMK No. 426/KMK/2003
yang berisi tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi; (7) KMK No.
425/KMK/2003 yang berisi tentang Perizinan dan Penyelenggaraan
Usaha Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi; (8) KMK No.
423/KMK/2003 yang berisi tentang Pemeriksaan Perusahaan
Perasuransian;
2) Pengertian Asuransi Pasal 246 KUHD/WvK, Asuransi adalah
Perjanjian dengan mana penanggung mengikatkan diri kepada
tertanggung dengan menerima premi untuk memberikan penggantian
kepadanya karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan
yang diharapkan yang mungkin dideritanya akibat dari suatu
evenement (peristiwa tidak pasti). UU Nomor 2 Tahun 1992 Tentang
Usaha Perasuaransian (UU Asuransi), 11 Pebruari 1992, Asuransi
adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih dengan mana pihak
penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima
premi asuransi untuk memberikan penggantian kepada tertanggung
karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang
diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang
mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa
yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang
didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang
dipertanggungkan. Berdasarkan definisi tersebut di atas, maka
asuransi merupakan suatu bentuk perjanjian dimana harus dipenuhi
syarat sebagaimana dalam Pasal 1320 KUH Perdata, namun dengan
karakteristik bahwa asuransi adalah persetujuan yang bersifat
untung-untungan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1774 KUH
Perdata.
-
Halaman 3
Pasal 1774 KUH Perdata Suatu persetujuan untunguntungan
(kansovereenkomst) adalah suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai
untung ruginya, baik bagi semua pihak maupun bagi sementara pihak,
bergantung kepada suatu kejadian yang belum tentu. Jadi asuransi
adalah sebuah perjanjian yang bersifat untung-untungan.
3) Unsur Asuransi
Asuransi harus mencakup unsur-unsur berikut ini:
1. Penanggung dan tertanggung, atau disebut juga sebagai Subjek
Hukum. 2. Persetujuan antara si penanggung dan tertanggung, 3.
Benda asuransi dan kepentingan si tertanggung, 4. Tujuan, 5. Premi
dan resiko, 6. Peristiwa yang tidak pasti dan ganti rugi, 7.
Syarat-syarat, 8. Polis asuransi.
4) Tujuan Asuransi a. Pengalihan Risiko
Tertanggung mengadakan asuransi dengan tujuan mengalihkan risiko
yang mengancam harta kekayaan atau jiwanya. Dengan membayar
sejumlah premi kepada perusahaan asuransi (penanggung), sejak itu
pula risiko beralih kepada penanggung.
b. Pembayaran Ganti Kerugian
Jika suatu ketika sungguhsungguh terjadi peristiwa yang
menimbulkan kerugian (risiko berubah menjadi kerugian), maka kepada
tertanggung akan dibayarkan ganti kerugian yang besarnya seimbang
dengan jumlah asuransinya. Dalam prakteknya kerugian yang timbul
itu dapat bersifat sebagian (partial loss), tidak semuanya berupa
kerugian total (total loss). Dengan demikian, tertanggung
mengadakan asuransi bertujuan untuk memperoleh pembayaran ganti
kerugian yang sungguh-sungguh diderita.
5) Berlakunya Asuransi
Hak dan kewajiban penanggung dan tertanggung timbul pada saat
ditutupnya asuransi walaupun polis belum diterbitkan. Penutupan
asuransi dalam prakteknya dibuktikan dengan disetujuinya aplikasi
atau ditandatanganinya kontrak sementara (cover note) dan
dibayarnya premi. Selanjutnya sesuai ketentuan perundangan-undangan
yang berlaku, penanggung atau perusahaan asuransi wajib menerbitkan
polis asuransi (Pasal 255 KUHD/WvK).
-
Halaman 4
6) Prinsip Dasar Asuransi Ada 6 prinsip dasar asuransi yang
melandasi hukum Asuransi yang perlu diketahui oleh para pengguna
asuransi ataupun perusahaan penyedia asuransi:
1. Insurable Interest adalah hak pertanggungan yang muncul dari
hubungan keuangan dan diakui oleh hukum.
2. Utmost good faith memaksudkan segala sesuatu yang
dipertanggungkan yang harus diungkapkan secara detil dan lengkap.
Oleh karena itu, kedua belah pihak harus jujur mengenai objek yang
dipertanggungkan.
3. Proximate cause adalah kejadian yang tidak terduga yang
menyebabkan kerugian, tentu tanpa adanya intervensi yang
menyebabkan kerugian tersebut.
4. Indemnity adalah tanggung jawab penanggung untuk
mengembalikan posisi finansial si tertanggung ke posisi semula
sebelum terjadi kerugian.
5. Subrogation adalah hak tuntut yang dimiliki oleh tertanggung
kepada si penanggung, atau sering disebut sebagai 'klaim'.
6. Contribution adalah hak penanggung untuk mengajak penanggung
lainnya untuk kerja sama.
7) Hukum Asuransi tentang Premi dan Polis Dalam Hukum Asuransi
dikenal kata premi dan polis, yakni dimana premi adalah kewajiban
yang harus dipenuhi oleh si tertanggung sebagai imbalan jasa si
penanggung. Sementara, polis adalah akta atau perjanjian antara si
penanggung dan tertanggung.
8) Hukum Asuransi tentang Resiko dan Evenement Dalam hukum
Asuransi dikenal istilah resiko dan evenement yang adalah peristiwa
yang terjadi di luar kekuasaan manusia yang bisa terjadi secara
tidak terduga dan hasilnya kerugian. Oleh karena itu, perusahaan
Asuransi menggunakan ilmu aktuaria yang berdasarkan pada statistik
dan probabilitas, namun harus berlandaskan pada Hukum Asuransi.
2. ASPEK HUKUM ASURANSI SOSIAL
1) Asuransi Sosial diatur dalam :
(1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456);
(2) UU RI Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5256);
-
Halaman 5
(3) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013
Tentang Jaminan Kesehatan;
(4) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 111 Tahun 2013
Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor
12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan;
(5) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 107 Tahun 2013
Tentang Pelayanan Kesehatan Tertentu;
(6) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 69
Tahun 2013 Tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Pada Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama Dan Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan
Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan;
(7) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 71
Tahun 2013 Tentang Pelayanan Kesehatan Pada Jaminan Kesehatan
Nasional;
2) Apakah kepesertaan dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional yang
diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial adalah
kontrak ?
Pasal 246 KUHD/WvK dan Pasal 1 angka 1 UU Nomor 2 Tahun 1992
Tentang Usaha Perasuaransian (UU Asuransi) Asuransi adalah
perjanjian, sedangkan berdasarkan UU Nomor 40 Tahun 2004 Tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional Pasal 19 ayat (1) yang menyatakan
:
Jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan
prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas;
Sedangkan Penjelasannya menyatakan :
Prinsip asuransi sosial meliputi:
1. kegotongroyongan antara yang kaya dan miskin, yang sehat dan
sakit, yang tua dan muda, dan yang berisiko tinggi dan rendah;
2. kepesertaan yang bersifat wajib dan tidak selektif; 3. iuran
berdasarkan persentase upah/penghasilan; 4. bersifat nirlaba.
Prinsip ekuitas yaitu kesamaan dalam memperoleh pelayanan sesuai
dengan kebutuhan medisnya yang tidak terikat dengan besaran iuran
yang telah dibayarkannya,
Maka kepesertaan Sistem Jaminan Sosial Nasional yang
dilaksanakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial adalah
perjanjian pula. Oleh karena itu, ketentuan dalam buku III BW/Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata berlaku bagi BPJS. Untuk memahami
secara konprehensif tentang hubungan Peserta BPJS/SJSN dengan BPJS
dan hubungan BPJS dengan Rumah Sakit selaku provider kesehatan,
kita perlu mengetahui tentang asas asas perjanjian.
-
Halaman 6
3) Asas-asas Perjanjian/Kontrak
Berdasarkan teori, di dalam suatu hukum kontrak terdapat 5
(lima) asas yang dikenal menurut ilmu hukum perdata. Kelima asas
itu antara lain adalah: asas kebebasan berkontrak (freedom of
contract), asas konsensualisme (concsensualism), asas kepastian
hukum (pacta sunt servanda), asas itikad baik (good faith) dan asas
kepribadian (personality).
(1) Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract) Asas
kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338
ayat (1) BW, yang berbunyi: Semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada
para pihak untuk:
a. membuat atau tidak membuat perjanjian; b. mengadakan
perjanjian dengan siapa pun; c. menentukan isi perjanjian,
pelaksanaan, dan persyaratannya, serta d. menentukan bentuk
perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.
Berdasarkan asas ini, setiap orang yang telah dewasa (umur 21
tahun atau telah kawin) dan mempunyai kecakapan hukum dapat
melakukan perjanjian apapun sepanjang tidak dilarang (baca : tidak
bertentangan dengan hukum dan kesusilaan) (periksa pasal 1320
BW).
Pasal 1320 BW/KUHPerdata : Supaya terjadi persetujuan yang sah,
perlu dipenuhi empat syarat:
1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; 2. kecakapan
untuk membuat suatu perikatan; 3. suatu pokok persoalan tertentu;
4. suatu sebab yang tidak terlarang.
(2) Asas Konsensualisme (concensualism)
Asas konsensualisme disimpulkan dari Pasal 1320 ayat (1) BW.
Dalam Pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya
perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak.
Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada
umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya
kesepakatan kedua belah pihak.
Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan
yang dibuat oleh kedua belah pihak.
-
Halaman 7
(3) Asas Kepastian Hukum (pacta sunt servanda) Asas ini disebut
juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan asas yang
berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda
merupakan asas bahwa pihak ketiga harus menghormati substansi
kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagai layaknya
undang-undang. Selain para pihak tidak boleh melakukan intervensi
terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas ini
dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (1) BW.
Pasal 1338 BW : Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan
undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.
Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan
kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang
ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan
dengan itikad baik.
(4) Asas Itikad Baik (good faith)
Asas ini tercantum pada Pasal 1338 ayat (3) BW: Perjanjian harus
dilaksanakan dengan itikad baik. Asas ini merupakan asas bahwa para
pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan
substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh
maupun kemauan baik dari para pihak.
(5) Asas Kepribadian (personality) Asas ini menentukan bahwa
seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk
kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat pada Pasal
1315 dan 1340 BW. Pasal 1315 BW: Pada umumnya seseorang tidak dapat
mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya
sendiri.
Pasal 1340 BW: Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang
membuatnya.
Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya
sebagaimana diintridusir dalam Pasal 1317 BW yang menyatakan: Dapat
pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu
perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian
kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.
-
Halaman 8
4) Asas Hukum Perjanjian Menurut BPHN
Di samping kelima asas di atas, di dalam lokakarya Hukum
perikatan yang diselenggarakan oleh Badan Pembina Hukum Nasional,
Departemen Kehakiman (17 s/d 19 Desember 1985) asas dalam hukum
perjanjian terbagi atas; asas kepercayaan, asas persamaan hukum,
asas keseimbangan, asas kepastian hukum, asas moral, asas
kepatutan, asas kebiasaan, dan asas perlindungan.
(1) Asas Kepercayaan
Asas kepercayaan mengandung pengertian bahwa setiap orang yang
akan mengadakan perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang
diadakan diantara mereka dibelakang hari.
(2) Asas Persamaan Hukum
Asas persamaan hukum mengandung maksud bahwa subjek hukum yang
mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang
sama dalam hukum. Mereka tidak boleh dibeda-bedakan antara satu
sama lainnya, walaupun subjek hukum itu berbeda warna kulit, agama,
dan ras.
(3) Asas Kesimbangan
Asas keseimbangan adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak
memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan
untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut
pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun debitur memikul
pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad
baik.
(4) Asas Kepastian Hukum
Perjanjian sebagai figur hukum mengandung kepastian hukum.
Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikatnya perjanjian, yaitu
sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.
(5) Asas Moralitas
Asas moral ini terikat dalam perikatan wajar, yaitu suatu
perbuatan sukarela dari seseorang tidak dapat menuntut hak baginya
untuk menggugat prestasi dari pihak debitur. Hal ini terlihat dalam
zaakwarneming, yaitu seseorang melakukan perbuatan dengan sukarela
(moral). Yang bersangkutan mempunyai kewajiban hukum untuk
meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. Salah satu faktor yang
memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan
-
Halaman 9
hukum itu adalah didasarkan pada kesusilaan (moral) sebagai
panggilan hati nuraninya.
(6) Asas Kepatutan
Asas kepatutan tertuang dalam Pasal 1339 KUHPer. Asas ini
berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian yang diharuskan
oleh kepatutan berdasarkan sifat perjanjiannya.
(7) Asas Kebiasaan
Asas ini dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu
perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur,
akan tetapi juga hal-hal yang menurut kebiasaan lazim diikuti.
(8) Asas Perlindungan
Asas perlindungan mengandung pengertian bahwa antara debitur dan
kreditur harus dilindungi oleh hukum. Namun, yang perlu mendapat
perlindungan itu adalah pihak debitur karena pihak ini berada pada
posisi yang lemah. Asas-asas inilah yang menjadi dasar pijakan dari
para pihak dalam menentukan dan membuat suatu kontrak/perjanjian
dalam kegiatan hukum sehari-hari. Dengan demikian dapat dipahami
bahwa keseluruhan asas diatas merupakan hal penting dan mutlak
harus diperhatikan bagi pembuat kontrak/perjanjian sehingga tujuan
akhir dari suatu kesepakatan dapat tercapai dan terlaksana
sebagaimana diinginkan oleh para pihak.
3. ASPEK PIDANA ASURANSI Dalam sistem hukum pidana di Indonesia
dikenal asas legalitas yang tercantum pada Pasal 1 KUHP, yaitu
:
Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan
kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada lebih
dahulu (Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege)
Maka ada tidaknya aspek pidana di dalam perasuransian harus
dikembalikan kepada UU yang mengaturnya.
-
Halaman 10
1) UU Nomor 2 Tahun 1992 Pasal 21 : (1) Barang siapa menjalankan
atau menyuruh menjalankan kegiatan usaha
perasuransian tanpa izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun
dan denda paling banyak Rp 2.500.000.000,- (dua milyar lima ratus
juta rupiah).
(2) Barang siapa menggelapkan premi asuransi diancam dengan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling
banyak Rp 2.500.000.000 (dua milyar lima ratus juta rupiah).
(3) Barang siapa menggelapkan dengan cara mengalihkan,
menjaminkan, dan atau mengagunkan tanpa hak, kekayaan Perusahaan
Asuransi Jiwa atau Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan
Reasuransi, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima
belas) tahun dan denda paling banyak Rp 2.500.000.000,- (dua milyar
lima ratus juta rupiah).
(4) Barang siapa menerima, menadah, membeli, atau mengagunkan,
atau menjual
kembali kekayaan perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
yang diketahuinya atau patut diketahuinya bahwa barang- barang
tersebut adalah kekayaan Perusahaan Asuransi Kerugian atau
Perusahaan Asuransi Jiwa atau Perusahaan Reasuransi, diancam dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak
Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
(5) Barang siapa secara sendiri-sendiri atau bersama-sama
melakukan pemalsuan atas
dokumen Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Asuransi
Jiwa atau Perusahaan Reasuransi, diancam dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 250.000.000,-
(dua ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 22 Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21, terhadap perusahaan perasuransian yang
tidak memenuhi ketentuan Undangundang ini dan peraturan
pelaksanaannya dapat dikenakan sanksi administratip, ganti rugi,
atau denda, yang ketentuannya lebih lanjut akan ditetapkan dalam
Peraturan Pemerintah. Pasal 23 Tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 adalah kejahatan. Pasal 24 Dalam hal tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dilakukan oleh atau atas nama
suatau badan hukum atau badan usaha yang bukan merupakan badan
hukum, maka tuntutan pidana dilakukan terhadap badan tersebut atau
terhadap mereka yang memberikan perintah untuk melakukan tindak
pidana itu atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam melakukan
tindak pidana itu maupun terhadap kedua-duanya.
-
Halaman 11
2) Bagaimana dengan SJSN-BPJS ?
a. Nomor 40 Tahun 2004 Tentang SJSN ternyata tidak diketemukan
tentang KETENTUAN PIDANA.
b. Nomor 24 Tahun 2011 Tentang BPJS diketemukan tentang
KETENTUAN PIDANA, yaitu : (1) Pasal 54 Anggota Dewan Pengawas atau
anggota Direksi yang melanggar larangan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52 huruf g, huruf h, huruf i, huruf j, huruf
k, huruf l, atau huruf m dipidana dengan pidana penjara paling lama
8 (delapan) tahun dan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
Pasal 52 huruf g, huruf h, huruf i, huruf j, huruf k, huruf l,
atau huruf m adalah larangan :
g. menghilangkan atau tidak memasukkan atau menyebabkan
dihapuskannya suatu laporan dalam buku catatan atau dalam
laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, atau laporan
transaksi BPJS dan/atau Dana Jaminan Sosial;
h. menyalahgunakan dan/atau menggelapkan aset BPJS dan/atau Dana
Jaminan Sosial;
i. melakukan subsidi silang antarprogram;
j. menempatkan investasi aset BPJS dan/atau Dana Jaminan Sosial
pada jenis investasi yang tidak terdaftar pada Peraturan
Pemerintah;
k. menanamkan investasi kecuali surat berharga tertentu dan/atau
investasi peningkatan kualitas sumber daya manusia dan
kesejahteraan sosial;
l. membuat atau menyebabkan adanya suatu laporan palsu dalam
buku catatan atau dalam laporan, atau dalam dokumen atau laporan
kegiatan usaha, atau laporan transaksi BPJS dan/atau Dana Jaminan
Sosial; dan/atau
m. mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau
menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam
laporan, atau dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan
transaksi atau merusak catatan pembukuan BPJS dan/atau Dana Jaminan
Sosial.
-
Halaman 12
(2) Pasal 55 Pemberi Kerja yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun atau pidana denda
paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 19
ayat (1) dan (2) : (1) Pemberi Kerja wajib memungut Iuran yang
menjadi beban Peserta dari
Pekerjanya dan menyetorkannya kepada BPJS.
(2) Pemberi Kerja wajib membayar dan menyetor Iuran yang menjadi
tanggung jawabnya kepada BPJS.
(3) UU Nomor 20 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, karena aset BPJS adalah aset negara (walau sudah
dipisahkan) berdasarkan Pasal 41 UU 24 Tahun 2011 : Pasal 41 (1)
Aset BPJS bersumber dari:
a. modal awal dari Pemerintah, yang merupakan kekayaan negara
yang dipisahkan dan tidak terbagi atas saham;
b. hasil pengalihan aset Badan Usaha Milik Negara yang
menyelenggarakan program jaminan sosial;
c. hasil pengembangan aset BPJS;
d. dana operasional yang diambil dari Dana Jaminan Sosial;
dan/atau
e. sumber lain yang sah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Pasal 42 UU 24 Tahun 2011 Tentang BPJS : Modal
awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf a untuk
BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan ditetapkan masing-masing
paling banyak Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah) yang
bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
-
Halaman 13
HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN 1) Tenggang waktu membayar Klaim
oleh BPJS
Pasal 24 UU 40 Tahun 2004 (2) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
wajib membayar fasilitas kesehatan alas
pelayanan yang diberikan kepada peserta paling lambat 15 (lima
belas) hari sejak permintaan pembayaran diterima.
Penjelasan Pasal 24 Ayat (2) Ketentuan ini menghendaki agar
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial membayar fasilitas kesehatan
secara efektif dan efisien. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
dapat memberikan anggaran tertentu kepada suatu rumah sakit di
suatu daerah untuk melayani sejumlah peserta atau membayar sejumlah
tetap tertentu per kapita per bulan (kapitasi). Anggaran tersebut
sudah mencakup jasa medis, biaya perawatan, biaya penunjang, dan
biaya obat-obatan yang penggunaan rincinya diatur sendiri oleh
pimpinan rumah sakit. Dengan demikian, sebuah rumah sakit akan
lebih leluasa menggunakan dana seefektif dan seefisien mungkin.
Maka UU Anti Korupsi berlaku
-
Halaman 14
TELAAH PERJANJIAN BPJS DENGAN RUMAH SAKIT
PERJANJIAN KERJASAMA ANTARA
BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL
CABANG UTAMA SURABAYA
DENGAN
RUMAH SAKIT MATA UNDAAN SURABAYA
TENTANG
PELAYANAN KESEHATAN RUJUKAN TINGKAT LANJUTAN
BAGI PESERTA
BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL KESEHATAN
Nomor : 492/RSMU/PKS/XII/2013 Nomor :
Perjanjian Kerjasama Pelayanan Kesehatan Tingkat Lanjutan bagi
Peserta Jaminan Kesehatan Nasional yang selanjutnya disebut
(Perjanjian), dibuat dan ditandatangani di Surabaya, pada hari
Senin tanggal 16 bulan Desember tahun 2013, oleh dan antara :
I. dr. I Made Puja Yasa, AAK., selaku Kepala Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial Cabang Utama Surabaya yang berkedudukan dan
berkantor di Jalan Dharmahusada Indah No. 2 Surabaya, dalam hal ini
bertindak dalam jabatannya tersebut berdasarkan Keputusan Direksi
Nomor : 2261/Peg-04/0213 tanggal 7 Februari 2013 karenanya sah
bertindak untuk dan atas nama serta mewakili Direksi Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial, selanjutnya disebut PIHAK
PERTAMA;
II. dr. Herminiati HB, MARS selaku Direktur Rumah Sakit Mata
Undaan Surabaya berdasarkan Keputusan Perhimpunan Perawatan
Penderita Penyakit Mata (P4M) Undaan Nomor : 098/P4M/SK/IV/2008
tentang Pengangkatan Direktur Penanggung Jawab RS Mata Undaan, Akta
PKR Perhimpunan Perawatan Penderita Penyakit Mata (P4M) Undaan
Surabaya Nomor 10 tanggal 9 Agustus 2011 yang dibuat oleh Carolin
Constantina Kalampung, SH. yang berkedudukan dan berkantor di Jalan
Kapuas N0. 32 Surabaya, dalam hal ini bertindak dalam jabatannya
tersebut, karenanya sah bertindak untuk dan atas nama serta
mewakili Rumah Sakit Mata Undaan Surabaya, selanjutnya disebut
PIHAK KEDUA.
-
Halaman 15
Selanjutnya PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA yang secara
bersama-sama disebut PARA PIHAK dan masing-masing disebut Pihak
sepakat untuk menandatangani Perjanjian dengan syarat dan ketentuan
sebagai berikut :
PASAL 1
DEFINISI DAN PENGERTIAN
Kecuali apabila ditentukan lain secara tegas dalam Perjanjian
ini, istilah-istilah di bawah ini memiliki pengertian-pengertian
sebagai berikut:
1. Jaminan Kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan
kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan
dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang
diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau
iurannya dibayar oleh pemerintah;
2. PT. Askes (Persero) adalah Perusahaan yang menyelenggarakan
jaminan pemeliharaan kesehatan bagi pegawai negeri sipil, pejabat
negara, penerima pensiun, veteran, perintis kemerdekaan, beserta
anggota keluarganya serta dokter dan bidan pegawai tidak tetap
(PTT);
3. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan yang selanjutnya
disingkat BPJS Kesehatan adalah badan hukum yang dibentuk untuk
menyelenggarakan program Jaminan Kesehatan;
4. Peserta adalah setiap orang, termasuk orang asing yang
bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah
membayar iuran;
5. Kartu Peserta adalah identitas yang diberikan kepada setiap
peserta dan anggota keluarganya sebagai bukti peserta yang sah
dalam memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan;
6. Manfaat adalah faedah jaminan sosial yang menjadi hak Peserta
dan/atau anggota keluarganya; 7. Fasilitas Kesehatan adalah
fasilitas pelayanan kesehatan yang digunakan untuk
menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan perorangan, baik
promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan
oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Masyarakat;
8. Pelayanan kesehatan tingkat pertama adalah pelayanan
kesehatan perorangan yang bersifat non spesialistik (primer)
meliputi pelayanan rawat jalan dan rawat inap;
9. Pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan adalah upaya
pelayanan kesehatan perorangan yang bersifat spesialistik atau sub
spesialistik yang meliputi rawat jalan tingkat lanjutan, rawat inap
tingkat lanjutan, dan rawat inap di ruang perawatan khusus;
10. Rawat Jalan Tingkat Lanjutan adalah pelayanan kesehatan
perorangan yang bersifat spesialistik atau sub spesialistik dan
dilaksanakan pada pemberi pelayanan kesehatan tingkat lanjutan
sebagai rujukan dari pemberi pelayanan kesehatan tingkat pertama,
untuk keperluan observasi, diagnosis, pengobatan, rehabilitasi
medis, dan/atau pelayanan medis lainnya termasuk konsultasi
psikologi tanpa menginap di ruang perawatan;
11. Rawat Inap Tingkat Lanjutan adalah pelayanan kesehatan
perorangan yang bersifat spesialistik atau sub spesialistik untuk
keperluan observasi, perawatan, diagnosis, pengobatan, rehabilitasi
medis dan/atau pelayanan medis lainnya termasuk konsultasi
psikologi, yang dilaksanakan pada pemberi pelayanan kesehatan
tingkat lanjutan dimana peserta atau anggota keluarganya dirawat
inap di ruang perawatan paling singkat 1 (satu) hari;
12. Pelayanan kesehatan lain adalah pelayanan kesehatan yang
merupakan penanganan terhadap penyakit berdasarkan teknologi baru
atau penemuan baru dalam pelayanan kedokteran, karena
-
Halaman 16
jenis dan sifatnya memiliki dampak biaya yang sangat tinggi
(katastrofik), atau mendapatkan subsidi /pembiayaan dari pemerintah
atau sumber lain;
13. Pelayanan Kesehatan Gawat Darurat adalah pelayanan kesehatan
yang harus diberikan secepatnya untuk mencegah kematian, keparahan
dan/atau kecacatan sesuai dengan kemampuan fasilitas kesehatan;
14. Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan adalah adalah
penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang mengatur pelimpahan tugas
dan tanggung jawab pelayanan kesehatan secara timbal balik baik
vertikal maupun horizontal;
15. Fasilitas Kesehatan tingkat pertama adalah fasilitas
kesehatan yang berupa puskesmas, praktik doktek, praktik dokter
gigi dan klinik pratama;
16. Rumah Sakit adalah rumah sakit milik pemerintah pusat, rumah
sakit milik pemerintah daerah, atau rumah sakit yang menjalin
kerjasama dengan PT Askes (Persero), yaitu Rumah Sakit Umum Kelas
A, Kelas B, Kelas C, dan Kelas D, serta Rumah Sakit Khusus Kelas A,
Kelas B dan Kelas C;
17. Asosiasi fasilitas kesehatan adalah Asosiasi Fasilitas
Kesehatan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri;
18. Formulir Pengajuan Klaim (FPK) adalah formulir baku yang
dikeluarkan oleh PIHAK PERTAMA yang wajib diisi oleh PIHAK KEDUA
dan disertakan sebagai salah satu syarat dalam pengajuan
klaim/tagihan atas biaya pelayanan kesehatan;
19. Pemeliharaan Kesehatan adalah upaya kesehatan yang meliputi
peningkatan, pencegahan, penyembuhan dan pemulihan kesehatan;
20. Formularium Nasional yang selanjutnya disingkat fornas
adalah daftar obat yang disusun oleh komite nasional yang
ditetapkan oleh Menteri Kesehatan, didasarkan pada bukti ilmiah
mutakhir berkhasiat, aman, dan dengan harga yang terjangkau yang
disediakan serta digunakan sebagai acuan penggunaan obat dalam
jaminan kesehatan nasional;
21. Alat bantu kesehatan adalah alat kesehatan yang dapat berupa
bahan, instrumen, aparatus, mesin, implan, dan perangkat lunak yang
digunakan untuk mencegah, mendiagnosa, menyembuhkan dan meringankan
penyakit, merawat orang sakit serta memulihkan kesehatan pada
manusia dan/atau membentuk struktur dan memperbaiki fungsi
tubuh;
22. Bulan Pelayanan adalah bulan dimana PIHAK KEDUA memberikan
pelayanan kesehatan kepada Peserta;
23. Tindakan Medis adalah tindakan yang bersifat operatif dan
non operatif yang dilaksanakan baik untuk tujuan diagnostik maupun
pengobatan;
24. Kelas Perawatan adalah fasilitas Rawat Inap yang menjadi hak
Peserta sesuai syarat dan ketentuan yang berlaku dalam Perjanjian
ini;
25. Pelayanan Khusus/Canggih adalah semua pelayanan penunjang
diagnostik dan tindakan medis yang memerlukan peralatan dan
teknologi canggih;
26. Verifikasi adalah kegiatan menguji kebenaran administrasi
pertanggungjawaban pelayanan yang telah dilaksanakan oleh fasilitas
kesehatan;
27. Pelayanan Obat adalah pemberian obat sesuai kebutuhan medis
bagi Peserta baik pelayanan obat RJTP, RJTL, RITP dan RITL.
Pelayanan obat RJTL dan RITL berpedoman kepada Fornas yang
berlaku;
28. Hari Rawat adalah lamanya Peserta dan atau anggota
keluarganya dirawat; 29. Pemeriksaan Penunjang Diagnostik adalah
kegiatan pemeriksaan untuk menunjang penegakan
diagnosa;
-
Halaman 17
PASAL 2 MAKSUD DAN TUJUAN
PARA PIHAK sepakat untuk melakukan kerja sama dalam penyediaan
layanan kesehatan bagi Peserta dengan syarat dan ketentuan yang
diatur dalam Perjanjian ini.
PASAL 3 RUANG LINGKUP DAN PROSEDUR
Ruang lingkup dan Prosedur Pelayanan Kesehatan bagi Peserta
sebagaimana diuraikan dalam Lampiran I Perjanjian ini.
PASAL 4 HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK
Tanpa mengesampingkan hak dan kewajiban dalam pasal-pasal lain
dari Perjanjian ini, PARA PIHAK sepakat untuk merinci hak dan
kewajiban masing-masing sebagaimana diuraikan sebagai berikut:
1. Hak PIHAK PERTAMA a. Melakukan evaluasi dan penilaian atas
pelayanan kesehatan yang diberikan PIHAK KEDUA; b. Mendapatkan data
dan informasi tentang Sumber Daya Manusia dan sarana prasarana
PIHAK KEDUA dan informasi tentang pelayanan kepada peserta
(termasuk melihat rekam medis) yang dianggap perlu oleh PIHAK
PERTAMA.
c. Menerima laporan bulanan yang mencakup pencatatan atas jumlah
kasus dan biaya; d. Memberikan teguran dan atau peringatan tertulis
kepada PIHAK KEDUA dalam hal
terjadinya penyimpangan terhadap pelaksanaan kewajiban PIHAK
KEDUA dalam Perjanjian ini;
e. Meninjau kembali Perjanjian ini apabila PIHAK KEDUA tidak
memberikan tanggapan terhadap peringatan tertulis yang telah
disampaikan sebanyak maksimal 3 (tiga) kali;
2. Kewajiban PIHAK PERTAMA : a. Membayar biaya pelayanan
kesehatan yang diberikan oleh PIHAK KEDUA kepada Peserta,
sesuai tagihan yang diajukan berdasarkan ketentuan dan prosedur
yang telah disepakati PARA PIHAK;
b. Melaksanakan proses evaluasi dan penilaian secara berkala
atas kesiapan PIHAK KEDUA untuk menjadi Fasilitas kesehatan tingkat
lanjutan dalam rangka pemberian pelayanan kesehatan kepada
Peserta;
c. Menyediakan dan memberikan informasi tentang tata cara
Pemberian Pelayanan Kesehatan kepada Peserta;
d. Bersama-sama PIHAK KEDUA, melakukan sosialisasi prosedur
pelayanan, tata cara pengajuan klaim, kepada pihak yang
berkepentingan;
-
Halaman 18
3. Hak PIHAK KEDUA a. Memperoleh informasi tentang tata cara
Pemberian Pelayanan Kesehatan kepada Peserta; b. Memperoleh
informasi tentang ruang lingkup dan prosedur pelayanan kesehatan
yang
disediakan bagi Peserta; c. Memperoleh informasi tentang tata
cara pembayaran atas pelayanan kesehatan yang diberikan
PIHAK KEDUA; d. Memperoleh pembayaran atas pelayanan kesehatan
yang diberikan kepada Peserta sesuai
dengan ketentuan dan prosedur yang disepakati PARA PIHAK; e.
Memperoleh informasi dan aplikasi (software) terkait dengan sistem
informasi manajemen
pelayanan yang berlaku dalam rangka tata laksana administrasi;
4. Kewajiban PIHAK KEDUA
a. Melayani Peserta dengan baik sesuai dengan standar
profesionalisme dan prosedur pelayanan kesehatan yang berlaku bagi
Rumah Sakit;
b. Menyediakan perangkat keras (hardware) dan jaringan
komunikasi data; c. Menyediakan data dan informasi tentang Sumber
Daya Manusia dan sarana prasarana PIHAK
KEDUA dan informasi lain tentang pelayanan kepada peserta
(termasuk melihat Medical Record) yang dianggap perlu oleh PIHAK
PERTAMA;
d. Menyediakan petugas sebagai tenaga informasi dan penanganan
keluhan terkait dengan pelayanan PIHAK KEDUA;
e. Menyediakan petugas yang bertanggung jawab untuk melakukan
pengecekan keabsahan kartu dan surat rujukan serta melakukan entry
data ke dalam aplikasi Surat Eligibilitas Peserta (SEP) dan
melakukan pencetakan SEP;
f. Menyediakan petugas sebagai tenaga entry data klaim/koder
untuk penagihan klaim pelayanan kesehatan peserta BPJS
Kesehatan;
g. Menyediakan data dan informasi secara benar dan akurat
tentang fasilitas dan pelayanan kesehatan yang diberikan kepada
Peserta terkait evaluasi dan penilaian yang dilakukan oleh PIHAK
PERTAMA;
h. Mengajukan tagihan atas biaya pelayanan kesehatan Peserta
secara teratur dan tertib sesuai ketentuan kepada PIHAK
PERTAMA;
i. Membuat laporan kegiatan pelayanan kesehatan yang diberikan
secara berkala setiap bulan kepada PIHAK PERTAMA;
j. Menggunakan Sistem Informasi Manajemen yang berlaku dalam
rangka tata laksana administrasi;
k. Melaksanakan dan mendukung program pelayanan kesehatan yang
dilaksanakan BPJS Kesehatan.
-
Halaman 19
PASAL 5 KELAS / KAMAR PERAWATAN
1. Dalam hal Peserta harus menjalani Rawat Inap di Rumah Sakit
PIHAK KEDUA, maka PIHAK PERTAMA menjamin Peserta atas kelas/kamar
perawatan yang ditentukan sebagai berikut: a. Hak Kelas
Perawatan
1) ruang perawatan kelas III bagi: a) Peserta PBI Jaminan
Kesehatan; dan b) Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta
bukan Pekerja dengan iuran untuk
Manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas III. 2) ruang
perawatan kelas II bagi:
a) Pegawai Negeri Sipil dan penerima pensiun Pegawai Negeri
Sipil golongan ruang I dan golongan ruang II beserta anggota
keluarganya;
b) Anggota TNI dan penerima pensiun Anggota TNI yang setara
Pegawai Negeri Sipil golongan ruang I dan golongan ruang II beserta
anggota keluarganya;
c) Anggota Polri dan penerima pensiun Anggota Polri yang setara
Pegawai Negeri Sipil golongan ruang I dan golongan ruang II beserta
anggota keluarganya;
d) Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri yang setara Pegawai
Negeri Sipil golongan ruang I dan golongan ruang II beserta anggota
keluarganya;
e) Peserta Pekerja Penerima Upah bulanan sampai dengan 2 (dua)
kali penghasilan tidak kena pajak dengan status kawin dengan 1
(satu) anak, beserta anggota keluarganya; dan Peserta Pekerja Bukan
Penerima Upah dan Peserta bukan Pekerja dengan iuran untuk manfaat
pelayanan di ruang perawatan kelas II;
3) ruang perawatan kelas I bagi: a) Pejabat Negara dan anggota
keluarganya; b) Pegawai Negeri Sipil dan penerima pensiun pegawai
negeri sipil golongan ruang III
dan golongan ruang IV beserta anggota keluarganya; c) Anggota
TNI dan penerima pensiun Anggota TNI yang setara Pegawai Negeri
Sipil
golongan ruang III dan golongan ruang IV beserta anggota
keluarganya; d) Anggota Polri dan penerima pensiun Anggota Polri
yang setara Pegawai Negeri Sipil
golongan ruang III dan golongan ruang IV beserta anggota
keluarganya; e) Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri yang setara
Pegawai Negeri Sipil golongan
ruang III dan golongan ruang IV beserta anggota keluarganya; f)
Veteran dan Perintis Kemerdekaan beserta anggota keluarganya; g)
Peserta Pekerja Penerima Upah bulanan lebih dari 2 (dua) kali
penghasilan tidak kena
pajak dengan status kawin dengan 1 (satu) anak, beserta anggota
keluarganya; dan h) Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta
bukan Pekerja dengan iuran untuk
Manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas I. 2. Hak Peserta
atas kelas/ kamar perawatan adalah sesuai dengan kelas/ kamar
perawatan yang
menjadi haknya. 3. Penyetaraan Kelas Perawatan :
a. Ruang Rawat Kelas I setara dengan Kelas I. b. Ruang Rawat
Kelas II setara dengan Kelas II. c. Ruang Rawat Kelas III setara
dengan Kelas III.
4. Dalam hal Peserta atas kehendak sendiri dengan alasan apapun
mengambil kelas/ kamar perawatan di atas kelas/ kamar perawatan
yang menjadi haknya, maka yang bersangkutan membayar sendiri
selisih antara biaya yang dijamin oleh BPJS Kesehatan dengan biaya
yang harus dibayar akibat peningkatan kelas perawatan kecuali
peserta penerima bantuan iuran (PBI) jaminan kesehatan tidak
diperkenankan memilih kelas yang lebih tinggi dari haknya.
-
Halaman 20
5. Untuk menentukan selisih biaya yang harus dibayar peserta,
maka sebelum pasien pulang, pihak kedua wajib menentukan tarif INA
CBGs dengan ketentuan sebagai berikut : a. Apabila peserta naik ke
kelas I atau II, maka selisih biaya adalah selisih tarif INA
CBGs
kelas I atau II yang ditempati dikurango tarif INA CBGs sesuai
haknya; b. Apabila peserta naik kelas VIP atau VVIP atau Paviliyun,
maka selisih biaya yang harus
dibayar adalah tarif umum dikurangi tarif INA CBGs haknya.
6. PIHAK KEDUA wajib memberitahukan kepada Peserta konsekuensi
yang timbul dari hal berkehendak mengambil kelas/kamar perawatan di
atas haknya dan meminta kepada Peserta untuk menandatangani surat
pernyataan bersedia membayar selisih biaya yang timbul.
7. Kelas sesuai hak penuh. a. Dalam hal ruang rawat inap yang
menjadi hak Peserta penuh, Peserta dapat dirawat di
kelas perawatan satu tingkat lebih tinggi; b. BPJS membayar
kelas perawatan Peserta sesuai haknya dalam keadaan sebagaimana
dimaksud pada huruf a; c. Apabila kelas perawatan sesuai hak
Peserta telah tersedia, maka Peserta ditempatkan di
kelas perawatan yang menjadi hak Peserta; d. Perawatan satu
tingkat lebih tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat a paling lama 3
(tiga)
hari; e. Dalam hal terjadi perawatan sebagaimana dimaksud pada
huruf (d) lebih dari 3 (tiga) hari,
selisih biaya tersebut menjadi tanggung jawab Fasilitas
Kesehatan yang bersangkutan atau berdasarkan persetujuan pasien
dirujuk ke Fasilitas Kesehatan yang setara.
f. Apabila kelas perawatan yang lebih tinggi juga penuh sehingga
terpaksa ditempatkan di kelas perawatan yang lebih rendah, maka
PIHAK KEDUA wajib mengkondisikan kelas perawatan yang lebih rendah
sehingga setara dengan kelas perawatan sesuai haknya.
PASAL 6 TARIF PELAYANAN KESEHATAN
1. Tarif pelayanan kesehatan bagi Peserta adalah tarif yang
ditetapkan dan disepakati oleh PARA PIHAK sebagaimana berlaku
sesuai pola pembayaran DRG/INA CBGs berdasarkan kesepakatan PIHAK
PERTAMA dengan Asosiasi Faskes dengan mengacu pada standar tarif
yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.
2. Tarif pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1
sudah termasuk alat kesehatan, dimana pembiayaanya tidak boleh
dibebankan kepada peserta dan tidak boleh ditagihkan kepada BPJS
Kesehatan.
3. Besarnya tarif pelayanan kesehatan tersebut diatas berlaku
untuk jangka waktu minimal 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal
berlaku kecuali terdapat perubahan kebijakan lain terkait dengan
tarif pelayanan kesehatan.
4. PIHAK KEDUA dilarang memungut biaya tambahan atas pelayanan
kesehatan yang diberikan kepada Peserta kecuali selisih biaya
sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat 3.
-
Halaman 21
PASAL 7 TATA CARA PEMBAYARAN PELAYANAN KESEHATAN
Tata cara pembayaran pelayanan kesehatan yang dilakukan dalam
pelaksanaan Perjanjian ini diuraikan sebagaimana pada Lampiran II
Perjanjian ini.
PASAL 8 JANGKA WAKTU PERJANJIAN
1. Perjanjian ini berlaku untuk 2 (dua) tahun, terhitung sejak
tanggal 1 Januari 2014 dan berakhir pada
tanggal 31 Desember 2015. 2. Selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan
sebelum berakhirnya Jangka Waktu Perjanjian, PARA PIHAK
sepakat untuk saling memberitahukan maksudnya apabila hendak
memperpanjang Perjanjian ini. 3. Pada jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) Pasal ini PIHAK PERTAMA akan
melakukan penilaian kembali terhadap PIHAK KEDUA atas : a.
fasilitas dan kemampuan pelayanan kesehatan b. penyelenggaraan
pelayanan kesehatan pada jangka waktu perjanjian c. kepatuhan dan
komitmen terhadap perjanjian
PASAL 9 EVALUASI DAN PENILAIAN
PENYELENGGARAAN PELAYANAN KESEHATAN
1. PIHAK PERTAMA akan melakukan evaluasi dan penilaian
penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh PIHAK KEDUA
secara berkala;
2. Evaluasi yang dilakukan meliputi antara lain utilization
review dan hasil audit yang dilakukan tim audit medis dan tim
auditor internal maupun eksternal.
3. Hasil evaluasi sebagaimana ayat 1 dan 2 Pasal ini akan
disampaikan secara tertulis kepada PIHAK KEDUA dengan disertai
rekomendasi (apabila diperlukan).
4. Apabila dari hasil audit sebagaimana dimaksud ayat (3)
ditemukan klaim yang tidak sesuai ketentuan, maka PIHAK KEDUA
berkewajiban melaksanakan rekomendasi yang diberikan PIHAK
PERTAMA.
PASAL 10
PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN 1. Dalam rangka melakukan pengawasan
dan pengendalian, PIHAK PERTAMA secara langsung
atau dengan menunjuk pihak lain berhak untuk melakukan
pemeriksaan terhadap penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang
dilakukan oleh PIHAK KEDUA.
2. Apabila ternyata dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan,
ditemukan penyimpangan terhadap Perjanjian yang dilakukan oleh
PIHAK KEDUA, maka PIHAK PERTAMA berhak menegur PIHAK KEDUA secara
tertulis sebanyak maksimal 3 (tiga) kali dengan tenggang waktu
masing-masing surat peringatan/ teguran tertulis minimal 7 (tujuh)
hari kerja.
3. Setelah melakukan teguran secara tertulis sebanyak 3 (tiga)
kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini dan tidak ada tanggapan
atau perbaikan dari PIHAK KEDUA, maka PIHAK PERTAMA berhak
mengakhiri Perjanjian i
-
Halaman 22
PASAL 11
SANKSI
1. Dalam hal PIHAK KEDUA terbukti secara nyata melakukan hal-hal
sebagai berikut: a. tidak melayani Peserta sesuai dengan
kewajibannya; b. tidak memberikan fasilitas dan pelayanan kesehatan
kepada Peserta sesuai dengan hak
peserta; c. memungut biaya tambahan kepada Peserta; dan atau d.
melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam Perjanjian ini, maka
PIHAK PERTAMA
berhak untuk menegur PIHAK KEDUA secara tertulis dan
menangguhkan pembayaran atas klaim/ tagihan biaya pelayanan
kesehatan yang telah diajukan oleh PIHAK KEDUA, sampai adanya
penyelesaian yang dapat diterima oleh PIHAK PERTAMA.
2. Teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini
akan disampaikan PIHAK PERTAMA pada PIHAK KEDUA sebanyak maksimal 3
(tiga) kali dengan tenggang waktu masing-masing surat peringatan/
teguran tertulis minimal 7 (tujuh) hari kerja.
3. PIHAK PERTAMA berhak meninjau kembali perjanjian ini apabila
ternyata dikemudian hari tidak ada tanggapan atau perbaikan dari
PIHAK KEDUA setelah PIHAK PERTAMA melakukan teguran sebanyak
maksimal 3 (tiga) kali sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 Pasal
ini.
4. Dalam hal salah satu pihak diketahui menyalahgunakan wewenang
dengan melakukan kegiatan moral hazard atau fraud seperti membuat
klaim fiktif yang dibuktikan dari hasil pemeriksaan Tim Pemeriksa
Internal maupun Eksternal sehingga terbukti merugikan pihak
lainnya, maka pihak yang menyalahgunakan wewenang tersebut
berkewajiban untuk memulihkan kerugian yang terjadi dan pihak yang
dirugikan dapat membatalkan Perjanjian ini secara sepihak.
5. PIHAK PERTAMA berhak mengenakan denda kepada PIHAK KEDUA
sebesar nilai klaim /
tagihan biaya pelayanan kesehatan bulan terakhir yang sudah
dibayarkan oleh PIHAK PERTAMA kepada PIHAK KEDUA dalam hal :
a. Terjadi pembatalan secara sepihak oleh PIHAK KEDUA sebelum
jangka waktu perjanjian berakhir; atau
b. PIHAK PERTAMA mengakhiri perjanjian ini berdasarkan ketentuan
perjanjian ini dimana PIHAK KEDUA melakukan wanprestasi.
6. Pengakhiran perjanjian yang diakibatkan sebagaimana dimaksud
pada ayat 4 Pasal ini dapat dilakukan tanpa harus memenuhi
ketentuan sebagaimana tertuang pada pasal 12 ayat 1 Perjanjian ini
dan tidak membebaskan PARA PIHAK dalam menyelesaikan kewajiban
masing-masing yang masih ada kepada pihak lainnya.
-
Halaman 23
PASAL 12
PENGAKHIRAN PERJANJIAN 1. Perjanjian ini dapat dibatalkan dan
atau diakhiri oleh salah satu Pihak sebelum Jangka Waktu
Perjanjian, berdasarkan hal-hal sebagai berikut: a. Persetujuan
PARA PIHAK secara tertulis untuk mengakhiri Perjanjian ini yang
berlaku
efektif pada tanggal dicapainya kesepakatan pengakhiran
tersebut; b. Salah satu Pihak melanggar ketentuan yang diatur dalam
Perjanjian ini (wanprestasi) dan tetap
tidak memperbaikinya setelah menerima surat teguran/peringatan
sebanyak 3 (tiga) kali dengan tenggang waktu masing-masing surat
teguran/peringatan minimal 7 (tujuh) hari kalender. Pengakhiran
berlaku efektif secara seketika pada tanggal surat pemberitahuan
pengakhiran Perjanjian ini dari Pihak yang dirugikan;
c. Ijin usaha atau operasional salah satu Pihak dicabut oleh
Pemerintah. Pengakhiran berlaku efektif pada tanggal pencabutan
ijin usaha atau operasional Pihak yang bersangkutan oleh
Pemerintah;
d. Salah satu Pihak melakukan merger, konsolidasi, atau
diakuisisi oleh perusahaan lain. Pengakhiran berlaku efektif pada
tanggal disahkannya pelaksanaan merger, konsolidasi atau akuisisi
tersebut oleh Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia;
e. Salah satu Pihak dinyatakan bangkrut atau pailit oleh
pengadilan. Pengakhiran berlaku efektif pada tanggal dikeluarkannya
keputusan pailit oleh Pengadilan; dan
f. Salah satu Pihak mengadakan/berada dalam keadaan likuidasi.
Pengakhiran berlaku efektif pada tanggal Pihak yang bersangkutan
telah dinyatakan di likuidasi secara sah menurut ketentuan dan
prosedur hukum yang berlaku.
2. Dalam hal PIHAK KEDUA bermaksud untuk mengakhiri Perjanjian
ini secara sepihak sebelum berakhirnya Jangka Waktu Perjanjian,
PIHAK KEDUA wajib memberikan pemberitahuan tertulis kepada PIHAK
PERTAMA mengenai maksudnya tersebut sekurang-kurangnya 3 (tiga)
bulan sebelumnya;
3. PARA PIHAK dengan ini sepakat untuk mengesampingkan
berlakunya ketentuan dalam Pasal 1266 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata, sejauh yang mensyaratkan diperlukannya suatu putusan atau
penetapan Hakim/ Pengadilan terlebih dahulu untuk membatalkan/
mengakhiri suatu Perjanjian;
4. Berakhirnya Perjanjian ini tidak menghapuskan hak dan
kewajiban yang telah timbul dan tetap berlaku sampai
terselesaikannya hak dan kewajibannya tersebut.
PASAL 13 MALPRAKTEK
Dalam hal PIHAK KEDUA atau tenaga medis maupun paramedis yang
bekerja pada institusi PIHAK KEDUA tidak melakukan kewajiban
sebagaimana seharusnya, yaitu :
a. Melakukan kesalahan dalam tindakan medis, seperti kekeliruan
diagnosa, intrepretasi hasil pemeriksaan penunjang, indikasi
tindakan, tindakan tidak sesuai dengan standar pelayanan, kselahan
pemberian obat, kekeliruan tranfuse, dan kesalahan lainnya;
b. Melakukan kelalaian berat. Tidak melakukan hal-hal yang
seharusnya dilakukan menurut asas-asas dan standar praktik
kedokteran yang baik;
-
Halaman 24
Sehingga mengakibatkan terjadinya cedera pada pasien, berupa
cedera fisik, psikologis, mental, cacat tetap atau meninggal. Maka
PIHAK PERTAMA tidak bertanggungjawab atas akibat dari tindakan
pihak kedua tersebut.
PASAL 14 KEADAAN MEMAKSA (FORCE MAJEURE)
1. Yang dimaksud dengan keadaan memaksa (selanjutnya disebut
Force Majeure) adalah suatu keadaan yang terjadinya di luar
kemampuan, kesalahan atau kekuasaan PARA PIHAK dan yang menyebabkan
Pihak yang mengalaminya tidak dapat melaksanakan atau terpaksa
menunda pelaksanaan kewajibannya dalam Perjanjian ini. Force
Majeure tersebut meliputi bencana alam, banjir, wabah, perang (yang
dinyatakan maupun yang tidak dinyatakan), pemberontakan, huru-hara,
pemogokkan umum, kebakaran, dan kebijaksanaan Pemerintah yang
berpengaruh secara langsung terhadap pelaksanaan Perjanjian
ini.
2. Dalam hal terjadinya peristiwa Force Majeure, maka Pihak yang
terhalang untuk melaksanakan kewajibannya tidak dapat dituntut oleh
Pihak lainnya. Pihak yang terkena Force Majeure wajib
memberitahukan adanya peristiwa Force Majeure tersebut kepada Pihak
yang lain secara tertulis paling lambat 14 (empat belas) hari
kalender sejak saat terjadinya peristiwa Force Majeure, yang
dikuatkan oleh surat keterangan dari pejabat yang berwenang yang
menerangkan adanya peristiwa Force Majeure tersebut. Pihak yang
terkena Force Majeure wajib mengupayakan dengan sebaik-baiknya
untuk tetap melaksanakan kewajibannya sebagaimana diatur dalam
Perjanjian ini segera setelah peristiwa Force Majeure berakhir.
3. Apabila peristiwa Force Majeure tersebut berlangsung terus
hingga melebihi atau diduga oleh Pihak yang mengalami Force Majeure
akan melebihi jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender, maka PARA
PIHAK sepakat untuk meninjau kembali Jangka Waktu Perjanjian
ini.
4. Semua kerugian dan biaya yang diderita oleh salah satu Pihak
sebagai akibat terjadinya peristiwa Force Majeure bukan merupakan
tanggung jawab Pihak yang lain.
PASAL 15 PENYELESAIAN PERSELISIHAN
1. Setiap perselisihan, pertentangan dan perbedaan pendapat
sehubungan dengan Perjanjian ini
akan diselesaikan secara musyawarah dan mufakat oleh PARA PIHAK.
2. Apabila musyawarah dan mufakat tidak tercapai, maka PARA PIHAK
sepakat untuk
menyerahkan penyelesaian perselisihan tersebut melalui
Pengadilan. 3. Mengenai Perjanjian ini dan segala akibatnya, PARA
PIHAK memilih kediaman hukum atau
domisili yang tetap dan umum di Kantor Panitera Pengadilan
Negeri Surabaya
-
Halaman 25
PASAL 16 PEMBERITAHUAN
1. Semua komunikasi resmi surat-menyurat atau
pemberitahuan-pemberitahuan atau pernyataan-pernyataan atau
persetujuan-persetujuan yang wajib dan perlu dilakukan oleh salah
satu Pihak kepada Pihak lainnya dalam pelaksanaan Perjanjian ini,
harus dilakukan secara tertulis dan disampaikan secara langsung,
melalui ekspedisi, pos atau melalui faksimili dan dialamatkan
kepada:
PIHAK PERTAMA: Kepala BPJS Cabang Utama Surabaya Jalan
Dharmahusada Indah No. 2
Surabaya
Up. : Kepala Cabang Telepon : 031-5947747 Faksimili :
031-5997126 E-mail : [email protected]
PIHAK KEDUA: Rumah Sakit Mata Undaan Surabaya
Jalan Undaan Kulon 17-19
Surabaya 60274
Up. : Direktur Rumah Sakit Mata Undaan
Telepon : 031-5319619, 5343806
Faksimili : 031-5317503
E-mail : [email protected]
atau kepada alamat lain yang dari waktu ke waktu diberitahukan
oleh PARA PIHAK, satu kepada yang lain, secara tertulis.
2. Pemberitahuan yang diserahkan secara langsung dianggap telah
diterima pada hari penyerahan dengan bukti tanda tangan penerimaan
pada buku ekspedisi atau buku tanda terima pengiriman, apabila
pengiriman dilakukan melalui pos atau ekspedisi maka dianggap
diterima sejak ditandatanganinya tanda terima atau maksimal 5 hari
kerja sejak dikirimkannya surat tersebut sedangkan pengiriman
melalui telex atau faksimili dianggap telah diterima pada saat
telah diterima kode jawabannya (answerback) pada pengiriman telex
dan konfirmasi faksimile pada pengiriman faksimili.
-
Halaman 26
PASAL 17 LAIN-LAIN
1. Pengalihan Hak dan kewajiban berdasarkan Perjanjian ini tidak
boleh dialihkan, baik sebagian maupun seluruhnya kepada pihak lain,
kecuali dengan persetujuan tertulis PARA PIHAK.
2. Keterpisahan Jika ada salah satu atau lebih ketentuan dalam
Perjanjian ini ternyata tidak sah, tidak berlaku atau
tidak dapat dilaksanakan berdasarkan hukum atau keputusan yang
berlaku, maka PARA PIHAK dengan ini setuju dan menyatakan bahwa
ketentuan lainnya dalam Perjanjian ini tidak akan terpengaruh
olehnya, tetap sah, berlaku dan dapat dilaksanakan.
3. Perubahan Perjanjian ini tidak dapat diubah atau ditambah,
kecuali dibuat dengan suatu perjanjian perubahan atau tambahan
(addendum/amandemen) yang ditandatangani oleh PARA PIHAK dan
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian ini.
4. Batasan Tanggung Jawab PIHAK PERTAMA tidak bertanggung jawab
atas penyediaan fasilitas dan pelayanan kesehatan dari PIHAK KEDUA
kepada Peserta dan terhadap kerugian maupun tuntutan yang diajukan
oleh Peserta kepada PIHAK KEDUA yang disebabkan karena kesalahan
atau pelanggaran yang dilakukan oleh PIHAK KEDUA dalam menjalankan
tanggung jawab profesinya seperti, termasuk tetapi tidak terbatas
pada, kesalahan dalam melakukan pemeriksaan dan pengobatan,
kesalahan dalam memberikan indikasi medis atau kesalahan dalam
memberikan tindakan medis.
5. Hukum Yang Berlaku Interpretasi dan pelaksanaan dari segala
akibat syarat dan ketentuan yang berkaitan dalam Perjanjian ini
adalah menurut Hukum Republik Indonesia.
6. Kesatuan Setiap dan semua lampiran yang disebut dan
dilampirkan pada Perjanjian ini, merupakan satu kesatuan dan bagian
yang tidak terpisahkan dari Perjanjian ini.
7. Ketentuan Peralihan Dengan memperhatikan ketentuan dalam
Pasal 60 ayat (3) huruf a Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011 tentang
BPJS, maka PARA PIHAK sepakat bahwa sejak 1 Januari 2014 hak dan
kewajiban PIHAK PERTAMA yang timbul berdasarkan perjanjian ini
dialihkan seluruhnya kepada BPJS Kesehatan.
-
Halaman 27
Demikianlah, Perjanjian ini dibuat dalam rangkap 2 (dua), asli,
masing-masing sama bunyinya, di atas kertas bermeterai cukup serta
mempunyai kekuatan hukum yang sama setelah ditanda-tangani oleh
PARA PIHAK.
PIHAK PERTAMA
dr. I Made Puja Yasa, AAK Senior Manager
PIHAK KEDUA
dr. Herminiati HB, MARS Direktur
-
28
Lampiran I Perjanjian antara
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Cabang Utama Surabaya dan
Rumah Sakit Mata Undaan Surabaya
Nomor :
Nomor : 492/RSMU/PKS/XII/2013
RUANG LINGKUP DAN PROSEDUR
PELAYANAN KESEHATAN
I. RUANG LINGKUP
A. Rawat Jalan Tingkat Lanjutan (RJTL) 1. administrasi
pelayanan; meliputi biaya administrasi pendaftaran peserta
untuk berobat, penerbitan surat eligilibitas peserta, termasuk
pembuatan kartu pasien;
2. pemeriksaan, pengobatan dan konsultasi spesialistik oleh
dokter spesialis dan subspesialis;
3. tindakan medis spesialistik sesuai dengan indikasi medis; 4.
pelayanan obat dan bahan medis habis pakai; 5. pelayanan alat
kesehatan; 6. pelayanan penunjang diagnostik lanjutan sesuai dengan
indikasi medis; 7. rehabilitasi medis; 8. pelayanan darah; 9.
pelayanan rujuk balik 10. pelayanan kedokteran forensik klinik
meliputi pembuatan visum et
repertum atau surat keterangan medik berdasarkan pemeriksaan
forensik orang hidup dan pemeriksaan psikiatri forensik;
11. pelayanan jenazah pada pasien yang meninggal di Fasilitas
kesehatan terbatas hanya bagi peserta meninggal dunia pasca rawat
inap di Faskes yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan tempat
pasien dirawat berupa pemulasaran jenazah dan tidak termasuk peti
mati.
B. Rawat Inap Tingkat Lanjutan (RITL) 1. Akomodasi
a. Perawatan inap non intensif b. Perawatan inap intensif
2. administrasi pelayanan; meliputi biaya administrasi
pendaftaran peserta untuk berobat, penerbitan surat eligilibitas
peserta, termasuk pembuatan kartu pasien.
3. pemeriksaan, pengobatan dan konsultasi spesialistik oleh
dokter spesialis dan subspesialis;
4. tindakan medis spesialistik sesuai dengan indikasi medis; 5.
pelayanan obat dan bahan medis habis pakai; 6. pelayanan alat
kesehatan; 7. pelayanan penunjang diagnostik lanjutan sesuai dengan
indikasi medis; 8. rehabilitasi medis;
-
29
9. pelayanan darah; 10. pelayanan kedokteran forensik klinik
meliputi pembuatan visum et
repertum atau surat keterangan medik berdasarkan pemeriksaan
forensik orang hidup dan pemeriksaan psikiatri forensik;
11. pelayanan jenazah pada pasien yang meninggal di Fasilitas
kesehatan terbatas hanya bagi peserta meninggal dunia pasca rawat
inap di Fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan
tempat pasien dirawat berupa pemulasaran jenazah (tidak termasuk
peti mati dan ambulan jenasah).
C. Pelayanan persalinan 1. Tindakan persalinan normal 2.
Tindakan persalinan dengan penyulit per vaginam sesuai indikasi
medis 3. Tindakan persalinan dengan penyulit perabdominam (sectio
caesaria)
sesuai indikasi medis 4. Pelayanan rawat inap 5. Ketentuan
persalinan :
a. Pada kondisi kehamilan normal ANC harus dilakukan di
Fasilitas kesehatan tingkat pertama. ANC di tingkat lanjutan hanya
dapat dilakukan sesuai indikasi medis berdasarkan rujukan dari
faskes tingkat pertama.
b. Penjaminan persalinan adalah benefit bagi peserta BPJS
Kesehatan dan tidak ada batasan jumlah persalinan yang
ditanggung
c. Persalinan normal diutamakan dilakukan di Fasilitas kesehatan
tingkat pertama
d. Penjaminan persalinan normal di faskes rujukan tingkat
lanjutan hanya dapat dilakukan dalam kondisi gawat darurat
e. Yang dimaksud kondisi gawat darurat pada huruf (d) di atas
adalah perdarahan, kejang pada kehamilan, ketuban pecah dini, gawat
janin dan kondisi lain yang mengancam jiwa ibu dan bayinya
D. Pelayanan Gawat Darurat 1. Pelayanan gawat darurat dapat
diberikan jika sesuai dengan indikasi medis
pelayanan gawat darurat sebagaimana tercantum dalam Keputusan
Menteri Kesehatan Nomor : 856/Menkes/SK/IX/2009 tentang Standar
Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit.
2. Pelayanan gawat darurat mencakup : a. Adminitrasi pelayanan;
b. Pemeriksaan, pengobatan, dan konsultasi medis; c. tindakan medis
d. pemeriksaan penunjang diagnostic e. pelayanan obat dan BMHP f.
perawatan inap (akomodasi) jika diperlukan
E. Pelayanan Obat
1. Pemberian obat untuk pelayanan RJTL dan RITL berdasarkan
resep obat dari dokter spesialis/subspesialis yang merawat,
berpedoman pada Fornas yang sesuai dengan indikasi medis dan
merupakan komponen paket INA CBGs. Faskes dan jejaringnya wajib
menyediakan obat-obat yang diperlukan.
2. Dalam hal obat yang dibutuhkan sesuai indikasi medis pada
Fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan tidak tercantum dalam
Formularium Nasional, dapat digunakan obat lain berdasarkan
persetujuan Komite Medik dan kepala/direktur rumah sakit.
Penggunaan obat diluar Fornas
-
30
sudah termasuk dalam pembiayaan paket INA CBGs tidak boleh
dibebankan kepada peserta dan tidak boleh ditagihkan kepada BPJS
Kesehatan.
F. Pelayanan Alat Kesehatan
1. Alat kesehatan diberikan kepada peserta BPJS Kesehatan atas
dasar indikasi medis.
2. Pelayanan Alat kesehatan harus dilegalisasi terlebih dahulu
oleh BPJS Center terkait dengan jangka waktu penjaminan.
3. Jenis dan plafon harga alat kesehatan sesuai dengan
Kompendium Alat Kesehatan yang ditetapkan oleh Menteri
Kesehatan
4. Apabila atas indikasi medis Rumah Sakit meresepkan alat
kesehatan di luar Kompendium alat kesehatan yang berlaku maka dapat
digunakan alat kesehatan lain berdasarkan persetujuan Komite Medik
dan kepala/direktur rumah sakit.
5. Pengadaan alat kesehatan dilakukan oleh Fasilitas kesehatan
atau jejaringnya dengan mutu sesuai kebutuhan medis
6. Tata laksana pelayanan alat kesehatan 1) Pompa Kelasi
Besi
a. Diberikan kepada peserta BPJS Kesehatan yang menderita anemia
dengan kelebihan zst besi, misalnya pada pasien thalasemia major,
sicklel cell anemia, Myelodysplsic Syndrome (MDS) Kelainan pada
perederan dan penyimpanan zat besi atau kanker sesuai dengan
indikasi medis;
b. Merupakan bagian dari pemeriksaan dan penanganan yang
diberikan pada fasilitas kesehatan tingkat lanjutan yang bekerja
sama dengan BPJS Kesehatan;
c. Pompa kelasi diberikan atas indikasi medis untuk pasien yang
mendapatkan obat kelasi besi seperti Deferoksamin dan Deferiprone
secara intramuscular.
2) Kacamata a. Diberikan kepada peserta BPJS Kesehatan dengan
gangguan
penglihatan sesuai dengan indikasi medis b. Merupakan bagian
dari pemeriksaan dan penanganan yang
diberikan pada fasilitas kesehatan rujukan yang bekerja sama
dengan BPJS Kesehatan
c. Penjaminan pelayanan kacamata diberikan atas rekomedasi dari
dokter spesialis mata dan dibuktikan dengan hasil pemeriksaan
mata
d. Ukuran kacamata yang dijamin oleh BPJS Kesehatan adalah: -
Untuk lensa spheris, minimal 0,5 dioptri - Untuk lensa silindris
minimal 0,25 dioptri
e. Kacamata dapat diberikan maksimal 1 kali dalam 2 (dua) tahun,
kecuali atas indikasi medis
3) Alat bantu dengan (hearing aid) a. Diberikan kepada peserta
BPJS dengan kesehatan gangguan
pendengaran sesuai dengan indikasi medis; b. Merupakan bagian
dari pemeriksaan dan penanganan yang
diberikan pada fasilitas kesehatan rujukan yang bekerja sama
dengan BPJS Kesehatan
c. Penjaminan pelayanan alat bantu dengar diberikan atas
rekomendasi dari dokter spesialis THT;
d. Alat bantu dengar dapat diberikan maksimal sekali dalam
5(lima) tahun per telinga, kecuali atas indikasi medis.
-
31
4) Prothesa gigi / gigi palsu a. Diberikan kepada peserta BPJS
Kesehatan yang kehilangan gigi
sesuai indikasi medis; b. Merupakan bagian dari pemeriksaan dan
penanganan yang
diberikan pada fasilitas kesehatan rujukan yang bekerja sama
dengan BPJS Kesehatan
c. Penjaminan pelayanan prothesa gigi/gigi palsu diberikan atas
rekomedasi dari dokter gigi;
d. Prothesa gigi/gigi palsu dapat diberikan paling cepat 2 (dua)
tahun sekali untuk gigi yang sama.
5) Penyangga leher (collar neck/cervical collar/neck brace) a.
Diberikan kepada peserta BPJS Kesehatan sebagai penyangga
kepala dan leher karena trauma pada leher dan kepala ataupun
faktur pada tulang cervix sesuai dengan indikasi medis;
b. Merupakan bagian dari pemeriksaan dan penanganan yang
diberikan pada fasilitas kesehatan rujukan yang bekerja sama dengan
BPJS Kesehatan
6) Jaket Penyangga Tulang (Corset) a. Diberikan kepada peserta
BPJS Kesehatan yang mengalami
kelainan / gangguan tulang atau kondisi lain sesuai dengan
indikasi medis;
b. Merupakan bagian dari pemeriksaan dan penanganan yang
diberikan pada fasilitas kesehatan rujukan yang bekerja sama dengan
BPJS Kesehatan
c. Jaket peyangga tulang dapat diberikan maksimal 1 kali dalam 2
(dua) tahun, kecuali atas indikasi medis.
7) Prothesa alat gerak (kaki dan/atau tangan tiruan) a.
Diberikan kepada peserta BPJS Kesehatan sesuai dengan indikasi
medis; b. Merupakan bagian dari pemeriksaan dan penanganan
yang
diberikan pada fasilitas kesehatan rujukan yang bekerja sama
dengan BPJS Kesehatan
c. Diberikan atas rekomendasi dari dokter spesialis orthopedic;
d. Prothesa alat gerak dapat diberikan paling cepat 5 (lima)
tahun
sekali untuk bagian tubuh yang sama, kecuali atas indikasi
medis.
G. Alat kesehatan lain sesuai dengan kebutuhan dan indikasi
medis 1. Peserta BPJS Kesehatan berhak mendapatkan alat
kesehatan/alat bantu
kesehatan selain yang disebutkan di atas atas dasar indikasi
medis; 2. Alat kesehatan/alat bantu kesehatan lain tersebut bagian
dari pemeriksaan
dan penanganan yang diberikan pada Faskes rujukan yang bekerja
sama dengan BPJS Kesehatan;
3. Diberikan atas rekomendasi dari dokter spesialis sesuai
dengan kompetensinya masing-masing.
H. Pelayanan Rujukan Parsial
1. Setiap Fasilitas kesehatan yang mengirim rujukan pelayanan
yang merupakan bagian dari paket INA CBGs seperti rujukan
pemeriksaan penunjang/spesimen dan tindakan saja maka beban biaya
menjadi tanggung jawab Fasilitas kesehatan perujuk;
2. Fasilitas kesehatan perujuk membayar biaya tersebut ke
Fasilitas kesehatan penerima rujukan atas pelayanan yang
diberikan;
3. BPJS Kesehatan membayar paket INA CBGs ke Fasilitas kesehatan
perujuk.
-
32
I. Pelayanan Ambulans
1. Pelayanan Ambulans merupakan pelayanan transportasi pasien
rujukan dengan kondisi tertentu antar Fasilitas Kesehatan disertai
dengan upaya atau kegiatan menjaga kestabilan kondisi pasien untuk
kepentingan keselamatan pasien;
2. Pelayanan Ambulans hanya dijamin bila rujukan dilakukan pada
Fasilitas Kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS atau pada kasus
gawat darurat dari Fasilitas Kesehatan yang tidak bekerja sama
dengan BPJS Kesehatan dengan tujuan penyelamatan nyawa pasien;
3. Pelayanan Ambulans di luar ketentuan poin 1 dan 2 di atas
tidak dijamin termasuk jemput pasien dari rumah, antar pasien ke
rumah, rujukan parsial (antar jemput pemeriksaan penunjang/spesimen
dan tindakan saja);
4. Yang dimaksud dengan kondisi tertentu pada poin 1 di atas
adalah : a. kondisi pasien sesuai indikasi medis berdasarkan
rekomendasi medis
dari dokter yang merawat b. kondisi kelas perawatan sesuai hak
peserta penuh dan pasien sudah
dirawat paling sedikit selama 3 hari di kelas satu tingkat di
atasnya J. Pelayanan Rujuk Balik
Pelayanan Obat Program Rujuk Balik adalah pemberian obat-obatan
penyakit kronis di fasilitas kesehatan tingkat pertama sebgai
bagian dari program pelayanan rujuk nalik. Penyakit yang dikelola
melalui program rujuk balik, yaitu Diabetes Militus dn
Hipertensi
Ketentuan pelayanan obat Program Rujuk Balik
a. pelayanan obat berdasarkan resep dari dokter
spesialis/sub-spesialis di Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat
Lanjutan sebgai pengobatan atas diagnose sesuai ketentuan Program
Rujuk Balik, yaitu Diabetes Militus dan Hipertensi.
b. Dokter spesialis/sub-spesialis di Fasilitas Kesehatan rujukan
Tingkat Lanjutan bias meresepkan obat pendamping, yaitu obat lain
untuk mengatasi efek samping dari obat penyakit untama atau untuk
mengobati penyakit kronis penyerta/penyulit pada peserta. Obat
pendamping harus mengacu pada ketenutan dalam Daftar Obat
Formularium Nasional.
c. Obat Program Rujuk Balik yang dijamin oleh BPJS Kesehatan
adalah obat yang tercantum dan sesuai ketentuan dalam Daftar Obat
Formularium Nasional yang berlaku.
K. Pelayanan Kesehatan yang tidak dijamin
1. pelayanan kesehatan yang dilakukan tanpa melalui prosedur
sebagaimana diatur dalam peraturan yang berlaku;
2. pelayanan kesehatan yang dilakukan di Fasilitas Kesehatan
yang tidak bekerjasama dengan BPJS Kesehatan, kecuali untuk kasus
gawat darurat;
3. pelayanan kesehatan yang telah dijamin oleh program jaminan
kecelakaan kerja terhadap penyakit atau cedera akibat kecelakaan
kerja atau hubungan kerja;
4. pelayanan kesehatan yang dilakukan di luar negeri; 5.
pelayanan kesehatan untuk tujuan estetik termasuk sirkumsisi
tanpa
indikasi medis; 6. pelayanan untuk mengatasi infertilitas; 7.
pelayanan meratakan gigi (ortodonsi);
-
33
8. gangguan kesehatan/penyakit akibat ketergantungan obat
dan/atau alkohol;
9. gangguan kesehatan akibat sengaja menyakiti diri sendiri,
atau akibat melakukan hobi yang membahayakan diri sendiri (bungy
jumping, rafting, dan lain lain);
10. pengobatan komplementer, alternatif dan tradisional,
termasuk akupuntur, shin she, chiropractic, yang belum dinyatakan
efektif berdasarkan penilaian teknologi kesehatan (health
technology assessment);
11. pengobatan dan tindakan medis yang dikategorikan sebagai
percobaan (eksperimen);
12. alat kontrasepsi, kosmetik, makanan bayi, dan susu; 13.
perbekalan kesehatan rumah tangga; 14. pelayanan kesehatan akibat
bencana pada masa tanggap darurat, kejadian
luar biasa/wabah, dan; 15. biaya pelayanan lainnya yang tidak
ada hubungan dengan Manfaat
Jaminan Kesehatan yang diberikan.
II. PROSEDUR PELAYANAN KESEHATAN 1. Rawat Jalan Tingkat Lanjutan
(RJTL)
a. Peserta membawa identitas BPJS Kesehatan serta surat rujukan
dari fasilitas kesehatan tingkat pertama
b. Surat rujukan berlaku untuk maksimal 1 (satu) bulan sejak
tanggal tujukan diterbitkan
c. Peserta melakukan pendaftaran ke RS dengan memperlihatkan
identitas dan surat rujukan
d. Fasilitas kesehatan bertanggung jawab untuk melakukan
pengecekan keabsahan kartu dan surat rujukan serta melakukan entry
data ke dalam aplikasi Surat Elijibilitas Peserta (SEP) dan
melakukan pencetakan SEP. Ketentuan penerbitan SEP untuk pelayanan
rutin (mis: Kemoterapi, HD, fisioterapi, perawatan saluran akar,
dll) harus melampirkan :
- kasus Kemoterapi (special drug) : regimen (jadual dan rencana
pemberian obat). Misalnya : pasien dengan diagnose Ca mamae dengan
tindakan kemoterapi dan mendapatkan obat Trastuzumab
(Herceptin).
- HD/CAPD : form perencanaan HD, untuk pasien yang memerlukan
tindakan HD 3 x seminggu melampirkan surat keterangan dari dokter
KGH atau dokter spesialis penyakit dalam penanggung jawab
hemodialisa bersertifikat.--> sesuaikan SE Direksi ttg pel HD
th.2012
- Fisioterapi : harus ada assessment dan rencana terapi dari
dokter spesialis Rehab Medik
- perawatan saluran akar : Rencana perawatan sampai dengan
tumpatan permanen dari dokter gigi yang merawat
e. Petugas BPJS kesehatan melakukan legalisasi SEP; f. Fasilitas
kesehatan melakukan pemeriksaan, perawatan, pemberian
tindakan, obat dan BMHP; g. Setelah mendapatkan pelayanan
peserta menandatangani bukti pelayanan
pada lembar yang disediakan. Lembar bukti pelayanan disediakan
oleh masing-masing faskes;
h. Fasilitas kesehatan menagihkan klaim dalam sistem paket INA
CBGs; i. Setelah mendapatkan pelayanan kesehatan rawat jalan
tingkat lanjutan di
Fasilitas kesehatan, beberapa kemungkinan adalah sebagai
berikut: 1. Pelayanan telah selesai dan pasien pulang;
-
34
2. Pasien pulang, pelayanan belum selesai dan diperintahkan
untuk pemeriksaan penunjang pada hari berikutnya;
3. Pelayanan selesai, tetapi diperintahkan untuk kontrol; 4.
Peserta di rujuk ke UPF lain dalam Rumah Sakit (rujukan Intern); 5.
Peserta dirawat inap; 6. Peserta dirujuk ke Faskes lanjutan lain
:
- Kepada peserta diberikan surat rujukan/konsul extern. Surat
rujukan/konsul extern harus dilegalisasi oleh petugas BPJS di unit
BPJS Center
- Dengan membawa surat rujukan tersebut peserta mendapat
pelayanan di Fasilitas kesehatan penerima rujukan, melalui unit
BPJS Center
2. Rawat Inap Tingkat Lanjutan (RITL)
a. Peserta melakukan pendaftaran ke RS dengan membawa identitas
BPJS Kesehatan serta surat perintah rawat inap dari poli atau unit
gawat darurat;
b. Peserta harus melengkapi persyaratan administrasi sebelum
pasien pulang atau maksimal 3 x 24 jam hari kerja;
c. Fasilitas kesehatan bertanggung jawab untuk melakukan
pengecekan keabsahan kartu dan surat rujukan serta melakukan entry
data ke dalam aplikasi Surat Elijibilitas Peserta (SEP) dan
melakukan pencetakan SEP;
d. Petugas BPJS kesehatan melakukan legalisasi SEP; e. Fasilitas
kesehatan melakukan pemeriksaan, perawatan, pemberian
tindakan, obat dan BMHP; f. Setelah mendapatkan pelayanan
peserta menandatangani bukti pelayanan
pada lembar yang disediakan. Lembar bukti pelayanan disediakan
oleh masing-masing faskes;
g. Fasilitas kesehatan menagihkan klaim dalam sistem paket INA
CBGs; h. Setelah mendapatkan pelayanan kesehatan RITL, beberapa
kemungkinan
tindak lanjut pelayanan, adalah sebagai berikut: (1) Pelayanan
RITL selesai dan pasien pulang. (2) Pelayanan RITL selesai, tetapi
peserta diperintahkan untuk kontrol:
- Kepada peserta diberikan surat perintah kontrol. - Pada saat
Peserta tersebut melaksanakan kontrol, peserta datang
ke RS dan unit BPJS Center dengan menyerahkan surat perintah
kontrol.
- Surat perintah control berlaku maksimal sebanyak 2 (dua) kali
kunjungan
(3) Peserta dirujuk balik; (4) Peserta dirujuk ke Fasilitas
kesehatan lanjutan lain :
- Kepada peserta diberikan surat rujukan/konsul extern. Surat
rujukan/konsul extern harus dilegalisasi oleh petugas BPJS di unit
BPJS Center.
- Dengan membawa surat rujukan tersebut peserta mendapat
pelayanan di Fasilitas kesehatan penerima rujukan, melalui unit
BPJS Center
3. Pelayanan Alat Kesehatan
1). Pelayanan alat kesehatan rawat jalan a) Peserta mendapatkan
pelayanan medis dan/atau tindakan medis di
Fasilitas kesehatan; b) Dokter menuliskan resep alat kesehatan
sesuai dengan indikasi
medis;
-
35
c) Pelayanan Alat Kesehatan harus dilegalisasi terlebih dahulu
oleh BPJS Center terkait dengan jangka waktu penjaminan.
d) Peserta mengambil alat kesehatan di Instalasi Farmasi RS
dengan membawa identitas dan bukti pelayanan yang diperlukan;
e) Petugas Instalasi Farmasi melakukan verifikasi Resep dan
bukti pendukung lain;
f) Untuk alat kesehatan yang disediakan oleh jejaring PIHAK
KEDUA, maka verifikasi resep dan bukti pendukung dilakukan oleh
Petugas Jejaring;
g) Peserta menandatangani bukti penerimaan alat kesehatan.
2). Pelayanan alat kesehatan rawat inap a) Peserta mendapatkan
pelayanan medis dan/atau tindakan medis di
Fasilitas kesehatan; b) Dokter menuliskan resep alat kesehatan
sesuai dengan indikasi
medis; c) Pelayanan Alat Kesehatan harus dilegalisasi terlebih
dahulu oleh
BPJS Center terkait dengan jangka waktu penjaminan. d) Peserta
mengambil alat kesehatan di Instalasi Farmasi RS dengan
membawa identitas dan bukti pelayanan yang diperlukan; e)
Petugas Instalasi Farmasi melakukan verifikasi Resep dan bukti
pendukung lain; f) Peserta menandatangani bukti penerimaan alat
kesehatan.
4. Pelayanan Gawat Darurat 1) Pada kondisi gawat darurat,
Peserta dapat langsung ke Rumah Sakit
melalui Unit Gawat Darurat (UGD) tidak perlu surat rujukan dari
PPK Tingkat Pertama;
2) Fasilitas kesehatan bertanggung jawab untuk melakukan
pengecekan keabsahan kartu dan melakukan entry data ke dalam
aplikasi Surat Eligibilitas Peserta (SEP) dan melakukan pencetakan
SEP.
5. Pelayanan Rujuk Balik 1) Peserta berobat ke Fasilitas
kesehatan Tingkat Pertama dimana peserta
tersebut terdaftar dengan membawa identitas diri; 2) Apabila
atas indikasi medis peserta memerlukan pemeriksaan ataupun
tindakan spesialis/sub-spesialis, maka Fasilitas kesehatan
Tingkat Pertama akan memberikan rujukan ke Faskes Rujukan Tingkat
Lanjutan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan;
3) Peserta mendaftar ke BPJS Center dengan membawa surat rujukan
dan identitas diri untuk mendapatkan SEP;
4) Dokter Spesialis/Sub Spesialis melakukan pemeriksaan kepada
peserta sesuai kebutuhan indikasi medis;
5) Apabila peserta didiagnosa penyakit kronis maka peserta
mendapatkan pelayanan kesehatan secara rutin di Fasilitas kesehatan
Rujukan Tingkat Lanjutan hingga diperoleh kondisi terkontrol/stabil
sesuai panduan klinis penyakit kronis;
6) Setelah peserta ditetapkan dalam kondisi terkontrol/stabil,
maka dokter Spesialis/Sub Spesialis memberikan SRB (Surat Rujuk
Balik) kepada Fasilitas kesehatan Tingkat Pertama dimana peserta
yang bersangkutan terdaftar.
-
36
6. Pelayanan Ambulans 1) BPJS Kesehatan wajib memberikan daftar
penyedia ambulans kepada
Fasilitas kesehatan yang bekerjasama maupun tidak bekerjasama
dengan BPJS Kesehatan di wilayah kerjanya;
2) Dalam rangka evakuasi pasien bagi Fasilitas kesehatan yang
tidak mempunyai ambulan agar berkoordinasi dengan penyedia ambulan
yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan;
3) Untuk Fasilitas kesehatan yang mempunyai ambulan dapat
langsung menggunakan ambulans tersebut;
4) Proses rujukan antar Fasilitas kesehatan mengikuti ketentuan
sistem rujukan berjenjang yang berlaku.
-
37
Lampiran I Perjanjian antara
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Cabang Utama Surabaya dan
Rumah Sakit Mata Undaan Surabaya
Nomor :
Nomor : 492/RSMU/PKS/XII/2013
TATA CARA PEMBAYARAN KLAIM PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT
LANJUTAN
1. Pengajuan klaim pelayanan kesehatan tingkat lanjutan kepada
Kantor
Cabang/Kantor Kabupaten/Kota BPJS Kesehatan dilakukan oleh
setiap Fasilitas Kesehatan tingkat lanjutan secara kolektif setiap
bulan, atas pelayanan yang sudah diberikan kepada peserta BPJS
Kesehatan dan keluarganya.
2. Pelaksaaan INA CBGs a. Klaim pelayanan tingkat lanjutan
dilakukan dengan system INA
CBGs. Untuk dapat mengoperasikan software INA-CBGs maka
Fasilitas Kesehatan lanjutan harus mempunyai nomor registrasi.
Apabila Fasilitas Kesehatan lanjutan belum mempunyai nomor
registrasi, maka Fasilitas Kesehatan membuat surat permintaan nomor
registrasi kepada Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan,
Kementrian Kesehatan RI;
b. Untuk memenuhi kesesuaian INA-CBGs, dokter berkewajiban
melakukan penegakan diagnosis yang tepat dan jelas sesuai
International Code Diseases Ten (ICD-10) dan International Code
Diseases Nine (ICD-9) Clinical Modification (CM). Dalam hal
tertentu coder dapat membantu proses penulisan diagnosis sesuai
ICD-10 dan ICD-9 CM. Dokter penanggung jawab harus menuliskan nama
dengan jelas serta menandatangani berkas pemeriksaan (resume
medik);
c. Pada kasus-kasus dengan diagnosis yang kompleks dengan
severity level 3 menurut kode INA-CBGs harus mendapatkan pengesahan
dari Komite Medik;
d. Pasien yang masuk ke instalasi rawat inap sebagai kelanjutan
dari proses perawatan di instalasi rawat jalan atau instalasi gawat
darurat hanya diklaim menggunakan 1 (satu) kode INA-CBGs dengan
jenis pelayanan rawat inap;
e. Pasien yang datang pada dua atau lebih instalasi rawat jalan
dengan dua atau lebih diagnosis akan tetapi diagnosis tersebut
merupakan diagnosis sekunder dari diagnosis utamanya maka
diklaimkan menggunakan 1 (satu) kode INA-CBGs;
f. Fasilitas Kesehatan lanjutan melakukan pelayanan dengan
efisien dan efektif agar biaya pelayanan seimbang dengan tarif
INA-CBGs.
-
38
3. Penagihan Klaim pelayanan Kesehatan a. Faskes Lanjutan
membuat tagihan klaim atas biaya pelayanan
kesehatan dengan menggunakan Software INA-CBGs. b. Petugas
penagihan harus mengisi data variable pasien yang diperlukan
dalam software INA CBGs yaitu : - Identitas pasien (nomor rekam
medis dll) - Nomor Jaminan Peserta - Nomor Surat Eligibilitas
Peserta (SEP) - Jenis Perawatan - Tanggal masuk rumah sakit -
Tanggal keluar rumah sakit - Lama perawatan (LOS) - Nama dokter -
Jumlah biaya riil rumah sakit - Tanggal lahir - Umur (dalam tahun)
ketika masuk rumah sakit - Umur (dalam hari) ketika masuk rumah
sakit - Jenis kelamin - Pengesahan severity level - Surat rujukan -
Status ketika pulang - Berat badan baru lahir (dalam gram) -
Diagnosis utama - Diagnosis sekunder (komplikasi &
ko-morbiditi) - Prosedur/tindakan
c. Pengajuan klaim PIHAK KEDUA kepada PIHAK PERTAMA
dilakukan setiap bulan secara rutin paling lambat tanggal 10
bulan berikutnya, dalam bentuk softcopy berupa file txt dan
hardcopy meliputi : - SEP - Surat rujukan (jika SEP diterbitkan RS)
- Untuk rawat jalan melampirkan bukti pelayanan yang
mencantumkan diagnose dan prosedur serta ditandatangani oleh
DPJP
- Surat perintah rawat inap - Resume medis (untuk rawat inap)
yang ditandatangani oleh DPJP - Laporan operasi - Protocol terapi
dan regimen (jadual pemberian obat) pemberian obat
khusus - Resep alat kesehatan (diluar prosedur operasi) - Tanda
terima alat kesehatan (kacamata, alat bantu dengar, alat bantu
gerak dll) - Billing system atau perincian tagihan manual Rumah
Sakit - Berkas pendukung lain yang diperlukan
4. Selanjutnya tagihan klaim tersebut akan diverifikasi oleh
Petugas
Verifikator BPJS Kesehatan dengan menggunakan Software
verifikasi Klaim BPJS Kesehatan
-
39
5. Setelah verifikasi selesai dilakukan, dibuat laporan
pertanggungjawaban, yaitu:
a. Rekapitulasi Klaim yang berisi jumlah klaim dan total klaim
keseluruhan.
b. Rekapitulasi Klaim Rawat Jalan - Berisi rekapitulasi klaim
Rawat Jalan per hari - Ditanda tangani kedua belah pihak - Buat
salinan (fotocopy) sebagai arsip verifikator - Simpan secara
digital sebagai arsip
c. Rekapitulasi Klaim Rawat Inap - Berisi daftar klaim Rawat
Inap per hari - Ditanda tangani kedua belah pihak - Buat salinan
(fotocopy) sebagai arsip verifikator - Simpan secara digital
sebagai arsip
d. Klaim koreksi
6. Pembay