Tinjauan PustakaAsma pada AnakDefinisiMenurut Pedoman Nasional
Asma Anak (PNAA) 2004, asma adalah mengi berulang dan/atau batuk
persisten (menetap) dengan karakteristik sebagai berikut : timbul
secara episodic, cenderung pada malam/dini hari (nokturnal),
musiman, setelah aktivitas fisik,ada riwayat asma atau atopi lain
pada pasien dan/atau keluarganya.Sedangkan menurut GINA (Global
Initiative for Asthma), Asma didefinisikan sebagai gangguan
inflamasi kronik saluran respiratorik dengan banyak sel yang
berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Secara
khas, sebagian besar serangan berlangsung singkat selama beberapa
menit hingga beberapa jam setelah itu, pasien tampak mengalami
kesembuhan klinik yang total. Namun demikian, ada suatu fase ketika
pasien mengalami obstruksi jalan napas dengan derajat tertentu
setiap harinya. Fase ini dapat ringan dengan atau tanpa disertai
episode yang berat atau yang lebih serius lagi, dengan obstruksi
hebat yang berlangsung selama berhari-hari atau berminggu-minggu.
Keadaan semacam ini dikenal sebagai status asmatikus. Pada beberapa
keadaan yang jarang ditemui, serangan asma yang akut dapat berakhir
dengan kematian.1,2Etiologi dan Faktor RisikoMacam-macam pencetus
asma : 1. AlergenFaktor alergi dianggap mempunyai peranan penting
pada sebagian besar anak dengan asma. Disamping itu
hiperreaktivitas saluran napas juga merupakan factor yang penting.
Sensitisasi tergantung pada lama dan intensitas hubungan dengan
bahan alergenik sehingga dengan berhubungan dengan umur. Pada bayi
dan anak kecil sering berhubungan dengan isi dari debu rumah.
Dengan bertambahnya umur makin banyak jenis alergen pencetusnya.
Asma karena makanan biasanya terjadi pada bayi dan anak kecil.2.
InfeksiBiasanya infeksi virus, terutama pada bayi dan anak kecil.
Virus penyebab biasanya respiratory syncytial virus (RSV) dan virus
parainfluenza. Kadang-kadang juga dapat disebabkan oleh bakteri,
jamur dan parasit.3. CuacaPerubahan tekanan udara, suhu udara,
angin dan kelembaban dihubungkan dengan percepatan dan terjadinya
serangan asma.4. IritanHairspray, minyak wangi, asap rokok, cerutu
dan pipa, bau tajam dari cat, SO2, dan polutan udara yang berbahaya
lainnya, juga udara dingin dan air dingin.Iritasi hidung dan batuk
dapat menimbulkan refleks bronkokonstriksi. Udara kering mungkin
juga merupakan pencetus hiperventilasi dan kegiatan jasmani.5.
Kegiatan jasmaniKegiatan jasmani yang berat dapat menimbulkan
serangan pada anak dengan asma. Tertawa dan menangis dapat
merupakan pencetus. Pada anak dengan faal paru di bawah normal
sangat rentan terhadap kegiatan jasmani.6. Infeksi saluran napas
bagian atasDisamping infeksi virus saluran napas bagian atas,
sinusitis akut dan kronik dapat mempermudah terjadinya asma pada
anak. Rinitis alergi dapat memperberat asma melalui mekanisme
iritasi atau refleks.7. Refluks gastroesofagitisIritasi
trakeobronkial karena isi lambung dapat memberatkan asma pada anak
dan orang dewasa.8. PsikisTidak adanya perhatian dan tidak mau
mengakui persoalan yang berhubungan dengan asma oleh anak sendiri
atau keluarganya akan memperlambat atau menggagalkan usaha-usaha
pencegahan. Dan sebaliknya jika terlalu takut terhadap serangan
asma atau hari depan anak juga tidak baik, karena dapat memperberat
serangan asma. Membatasi aktivitas anak, anak sering tidak masuk
sekolah, sering bangun malam, terganggunya irama kehidupan keluarga
karena anak sering mendapat serangan asma, pengeluaran uang untuk
biaya pengobatan dan rasa khawatir, dapat mempengaruhi anak asma
dan keluarganya.2 Faktor risiko :1. Jenis kelamin, menurut laporan
dari beberapa penelitian didapatkan bahwa prevalens asma pada anak
laki-laki sampai usia 10 tahun adalah 1,5 sampai 2 kali lipat anak
perempuan. Namun pada orang dewasa, rasio ini berubah menjadi
sebanding antara laki-laki dan perempuan pada usia 30 tahun.2.
Usia, umumnya pada kebanyakan kasus asma persisten gejala asma
timbul pada usia muda, yaitu pada beberapa tahun pertama
kehidupan.3. Riwayat atopi, adanya riwayat atopi berhubungan dengan
meningkatnya risiko asma persisten dan beratnya asma. Beberapa
laporan menunjukan bahwa sensitisasi alergi terhadap alergen
inhalan, susu, telur, atau kacang pada tahun pertama kehidupan,
merupakan prediktor timbulnya asma.4. Lingkungan, adanya alergen di
lingkungan hidup anak meningkatkan risiko penyakit asma, alergen
yang sering mencetuskan asma antara lain adalah serpihan kulit
binatang piaraan, tungau debu rumah, jamur, dan kecoa.5. Ras,
menurut laporan dari amerika serikat, didapatkan bahwa prevalens
asma dan kejadian serangan asma pada ras kulit hitam lebih tinggi
daripada kulit putih.6. Asap rokok, prevalens asma pada anak yang
terpajan asap rokok lebih tinggi daripada anak yang tidak terpajan
asap rokok. Risiko terhadap asap rokok sudah dimulai sejak janin
dalam kandungan, umumnya berlangsung terus setelah anak dilahirkan,
dan menyebakan meningkatnya risiko.7. Outdoor air pollution, 8.
Infeksi respiratorik.3
EpidemiologiAsma merupakan penyakit kronik yang paling umum di
dunia, dimana terdapat 300 juta penduduk dunia yang menderita
penyakit ini. Asma dapat terjadi pada anak-anak maupun dewasa,
dengan prevalensi yang lebih besar terjadi pada anak-anak (GINA,
2003).Prevalensi total asma di dunia diperkirakan 7,2% (6% pada
dewasa dan 10% pada anak). Prevalensi pada anak menderita asma
meningkat 8-10 kali di Negara berkembang dibanding negara maju.
Prevalensi tersebut sangat bervariasi. Di Indonesia, prevalensi
asma pada anak berusia 6-7 tahun sebesar 3% dan untuk usia 13-14
tahun sebesar 5,2%. Berdasarkan laporan National Center for Health
Statistics (NCHS), prevalensi serangan asma pada anak usia 0-17
tahun adalah 57 per 1000 anak (jumlah anak 4,2 juta) dan pada
dewasa > 18 tahun adalah 38 per 1000 (jumlah dewasa 7,8 juta).
Secara global, morbiditas dan mortalitas asma meningkat pada 2
dekade terakhir. 1,-3Pembagian derajat penyakit asma pada
anakParameter klinis, kebutuhan obat dan faal paruAsma episodik
jarangAsma episodik seringAsma persisten
Frekuensi serangan< 1x/bulan> 1x/bulanSering
Lama serangan< 1 minggu 1 mingguHampir sepanjang tahun, tidak
ada remisi
Intensitas seranganBiasanya ringanBiasanya sedangBiasanya
berat
Di antara seranganTanpa gejalaSering ada gejalaGejala siang dan
malam
Tidur dan aktifitasTidak tergangguSering tergangguSangat
terganggu
Pemeriksaan fisis diluar seranganNormal(tidak ditemukan
kelainan)Mungkin terganggu (ditemukan kelainan)Tidak pernah
normal
Obat pengendali (anti inflamasi)Tidak perluPerluPerlu
Uji faal paru(di luar serangan)PEF/FEV1 > 80%PEF/FEV1
60-80%PEF/FEV1 < 60%Variabilitas 20-30%
Variabilitas faal paru (bila ada serangan)Variabilitas >
15%Variabilitas > 30%Variabilitas > 50%
Penilaian derajat serangan asmaParameter klinis,Fungsi
paru,laboratoriumRinganSedangBeratAncaman henti nafas
Sesak timbul-pada saat (breathless)BerjalanBayi:menangis
kerasBerbicaraBayi :-Tangis pendek dan lemah-Kesulitan
makan/minumIstirahatBayi :Tidak mau makan/minum
BicaraKalimatPenggal kalimatKata-kata
PosisiBisa berbaringLebih suka dudukDuduk bertopang lengan
KesadaranMungkiniritableBiasanyairitableBiasanyairitableBingung
dan mengantuk
SianosisTidak adaTidak adaAdaNyata/Jelas
Mengi (wheezing)Sedang, sering hanya pada akhir
ekspirasiNyaring, sepanjang ekspirasi,inspirasiSangat nyaring,
terdengar tanpa stetoskopSulit/tidak terdengar
Sesak nafasMinimalSedangBerat
Obat Bantu nafasBiasanya tidakBiasanya yaYaGerakan paradok
torako-abdominal
RetraksiDangkal, retraksi intercostalSedang, ditambah retraksi
suprasternalDalam, ditambah nafas cuping hidungDangkal / hilang
Laju nafasMeningkatMeningkatMeningkatMenurun
Pedoman nilai baku laju nafas pada anak sadar :Usia laju nafas
normal< 2 bulan < 60 / menit2 12 bulan < 50 / menit1 5
tahun < 40 / menit6 8 tahun < 30 / menit
Laju nadiNormalTakikardiTakikardiBradikardi
Pedoman nilai baku laju nadi pada anak sadar :Usia laju nadi
normal2 12 bulan < 160 / menit1 2 tahun < 120 / menit3 8
tahun < 110 / menit
Pulsus paradoksus (pemeriksaannya tidak praktis)Tidak ada< 10
mmHgAda10-20 mmHgAda> 20 mmHgTidak ada, tanda kelelahan otot
nafas
PEFR atau FEV1(% nilai dugaan/% nilai terbaik)-pra
bronkodilator-pasca bronkodilator> 60%40-60%> 80%60-80%<
40%< 60%Respon < 2 jam
SaO2%> 95%91-95%90%
PaO2Normal biasanya tidak perlu diperiksa> 60 mmHg< 60
mmHg
PaCO2< 45 mmHg< 45 mmHg>45 mmHg
Alur Diagnosis ASMA Pada Anak6Batuk dan/mengiRiwayat penyakit
Pemeriksaan fisikUji tuberculin
Pertimbangkan asma sebagai penyakit penyerta
Bukan asma
Diagnosis dan pengobatan sesuai diagnosis kerja
Mendukung diagnosis laintt
Tidak mendukung diagnosis laintt
Pertimbangkan pemeriksaan : Foto RO toraks dan sinus Uji fungsi
paru Uji respons terhadap bronkodilator Uji provokasi bronkus Uji
keringat Uji imunologik Pemeriksaan motilitas silia Pemeriksaan
Refluks Gastroesofagus (RGE)
Berikan obat anti asma :Bila tidak berhasil : nilai ulang
diagnosis dan ketaatan berobat
Tentukan derajat & pencetusnyaBila asma
episodiksering/persisten : foto rontgen
Berhasiltt
Tidak berhasiltt
Berikan bronkodilatortt
Diagnosis Kerja : ASMAtt
Jika ada fasilitas, periksa dengan peak flow meter atau
spirometer untuk menilai : Reversibilitas (> 15%) Variabilitas
(> 15%) Hiperreaktivitas (> 20%)
Tidak jelas asma : Timbul pada masa neonatus Gagal tumbuh
Infeksi kronik Muntah/tersedak Kelainan fokal paru Kelainan sistem
kardiovaskular
Patut diduga asma : Episodik Nokturnal/morning dip Musiman Pasca
aktivitas fisik berat Riwayat atopi pasien/keluarga
ALUR TATA LAKSANA SERANGAN ASMA PADA ANAK
Boleh Pulang Bekali dengan obat beta agonis (hirupan/oral) Jika
sudah ada obat pengendali, teruskan Jika pencetusnya adalah infeksi
virus, dapat diberikan steroid oral Dalam 24-48 jam control ke
Klinik Rawat Jalan, untuk reevaluasiCatatan : Jika menurut
penilaian seangan nya sedang/berat, nebulisasi pertama kali
langsung dengan beta agonis+antikolinergik Bila terdapat tanda
ancaman henti napas segera ke ruang rawat intensif Jika alat
nebulisasi tidak tersedia, nebulisasi dapat diganti dengan
adrenalin subkutan 0,01 ml/kgBB/kali, maksimal 0,3 ml/kali Untuk
serangan sedang dan terutama berat, oksigen 2-4L/menit diberikan
sejak awal, termasuk pada saat nebulasiRuang Rawat Inap Teruskan O2
Atasi dehidrasi dan asidosis jika ada Steroid IV tiap 6-8 jam
Nebulasi tiap 1-2 jam Aminofilin IV awal, lanjutkan rumatan Jika
membaik dalam 4-6x nebulasi, interval jadi 4-6 jam Jika dalam 24
jam perbaikan klinis stabil, boleh pulang Jika dengan steroid dan
aminofilin parenteral tidak membaik, bahkan timbul ancaman henti
napas, alih ke ruang rawat intensifRuang Rawat Sehari/Observasi
Teruskan pemberian O2 Lanjutkan steroid oral Nebulasi tiap 2 jam
Bila dalam 12 jam perbaikan klinis stabil, boleh pulang, tetapi
jika klinis tetap belum membaik atau memburuk, alih Ruang Rawat
InapSerangan berat(bila telah nebulasi 3x, respons buruk) Sejak
awal berikan O2 saat/diluar nebulasi Pasang jalur parenteral Nilai
ulang keadaan klinis, jika sesuai dengan serangan berat, rawat di
ruang rawat inap Foto rontgen toraksSerangan ringan(nebulasi 1x,
respons baik) Observasi 1-2 jam Jika efek bertahan, boleh pulang
Jika gejala timbul lagi, perlakukan sebagai serangan sedangSerangan
sedang(nebulasi 2x, respons parsial) Berikan oksigen Nilai kembali
derajat serangan, jika sesuai dengan serangan sedang, observasi di
ruang rawat sehari Berikan steroid oralTatalaksana awal Nebulasi
beta agonis 1-2x, selang 20 menit Nebulasi kedua+antikolinergik
Jika serangan sedang/berat, nebulasi langsung dengan
beta2agonis+antikolinergikNilai derajat serangan
PrognosisPrognosis pada pasien ini dubia ad bonam karena umur
pasien masih kanak-kanak ketika serangan timbul, selain itu pasien
segera mendapatkan pengobatan atau terapi. Prognosis pasien ke
depannya akan lebih baik jika orang tua pasien dapat mencegah atau
menghindarkan pasien dari berbagai macam alergen atau pencetus asma
pada anak mereka.
Tuberculosis Paru pada AnakDefinisiTuberkulosis adalah penyakit
akibat infeksi kuman Mikobakterium tuberkulosis yang bersifat
sistemik sehingga dapat mengenai hampir semua organ tubuh dengan
lokasi terbanyak di paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi
primer. Kuman batang aerobik dan tahan asam ini, merupakan
organisme patogen maupun saprofit. Jalan masuk untuk organisme
adalah saluran pernafasan, saluran pencernaan, dan luka terbuka
pada kulit. Sebagian besar infeksi TB menyebar lewat udara melalui
terhirupnya nukleus droplet yang berisikan organisme basil turbekel
dari seseorang yang terinfeksi.Tuberkulosis paru merupakan penyakit
serius terutama pada bayi dan anak kecil, anak dengan malnutrisi,
dan anak dengan gangguan imunologis. Sebagian besar anak menderita
tuberkulosis primer pada umur muda dan sebagian besar asimtomatik
dan sembuh spontan tanpa gejala sisa. Pada beberapa pasien penyakit
berkembang menjadi tuberkulosis pasca
primer.4,5EtilogiMycobacterium tuberculosis adalah suatu jenis
kuman yang berbentuk batang lurus kadang dengan ujung melengkung,
gram positif, lemah, pleiomorfik, tidak bergerak, tidak membentuk
spora, dengan ukuran panjang 2-4/um dan tebal 0,3-0,6/um, mempunyai
sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan . Kuman
merupakan aerob wajib (obligat) yang tumbuh pada media sintesis
yang mengandung gliserol sebagai sumber karbon dan garam amonium
sebagai sumber nitrogen. MTB memiliki dinding yang sebagian besar
terdiri atas lipid, kemudian peptidoglikan dan arabinomannan. Lipid
inilah yang membuat kuman lebih tahan asam dan ia juga lebih tahan
terhadap gangguan kimia dan fisis. Kuman dapat hidup dalam udara
kering maupun dalam keadaan dingin ( dapat tahan bertahun-tahun
dalam lemari es ) dimana kuman dalam keadaan dormant. Dari sifat
ini kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan penyakit
tuberkulosis menjadi aktif lagi. 5,7
Gambar 3. Mikroskopik MTBKuman hidup sebagai parasit
intraselular yakni dalam sitoplasma makrofag di dalam jaringan.
Makrofag yang semula memfagositosis kemudian disenanginya karena
banyak mengandung lipid. Sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat
ini menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi
kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada bagian
apikal paru lebih tinggi dari bagian lain, sehingga bagian apikal
ini merupakan tempat predileksi penyakit tuberculosis.5,7Faktor
resiko Faktor resiko untuk TB terbagi menjadi 2, yaitu factor
resiko infeksi TB dan factor resiko sakit TB.
Faktor resiko infeksi TB Anak-anak yang terekspose dengan orang
dewasa dengan TB aktif (kontak TB positif) Risiko timbulnya
transmisi kuman dari dewasa ke anak-anak jika orang dewasa tersebut
BTA sputum positif juga terdapat infiltrat yang luas pada lobus
atas atau kavitas, produksi sputum banyak dan encer, batuk
produktif dan kuat, serta terdapat faktor lingkungan yang kurang
sehat,terutama sirkulasi udara yang tidak baik serta kemiskinan
Tinggal di daerah endemis Lingkungan yang tidak sehat (hygiene dan
sanitasi yang kurang) Orang-orang pengguna obat-obatan suntik dan
petugas kesehatan beresiko tinggi
Faktor resiko penyakit TB Anak yang telah terinfeksi TB tidak
selalu mengalami sakit TB. Usia : Anak usia 10 mm)3. gambaran foto
Ro sugestif TB4. terdapat reaksi kemerahan yang cepat (dalam 3-7
hari) setelah imunisasi dengan BCG 5. batuk batuk lebih dari 3
minggu6. sakit dan demam lama atau berulang, tanpa sebab yang
jelas7. berat bdan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan
kurang baik yang tidak naik dalam 1 bulan meskipun sudah dengan
penanganan gizi (failure to thrive)8. Gejala-gejala klinis (pada
kelenjar limfe,otak,tulang dll)9. skofuloderma10. konjungtivitis
fliktenularis
Bila >3 di anggap TB beri OAT observasi 2 bulanJika membaik
TBTeruskanJika memburuk/tetapBukan atau TB kebal obat Rujuk ke
RSSISTEM SKORING DIAGNOSIS TUBERKULOSIS ANAK
Catatan:1. Didiagnosis TB jika jumlah skor 6, (skor maksimal
13)2. Jika dijumpai skrofuloderma langsung di diagnosis TBC3. Foto
rontgen bukan alat diagnosis utama pada TBC anak 4. Gambaran
sugestif TB berupa pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal
dengan/tanpa infiltrate, konsolidasi, kalsifikasi,
atelectasis.TatalaksanaTabel . Obat TBC Lini INama ObatDosis harian
(mg/kgBB/hari)Dosis maksimal (mg/hari)Efek Samping
Isoniazid5-15*300Hepatitis, neuritis perifer,
hipersensitivitas
Rifampisin**10-20600Gastrointestinal, reaksi kulit, hepatitis,
trombositopenia, peningkatan enzim hati, cairan tubuh berwarna
oranye kemerahan
Pirazinamid15-302000Toksisitas hati, atralgia,
gastrointestinal
Etambutol15-201250Neuritis optik, ketajaman penglihatan
berkurang, buta warna merah-hijau, penyempitan lapang pandang,
hipersensitivitas, gastrointestinal
Streptomisin15-401000Ototoksis, nefrotoksik
*Bila isoniazid dikombinasikan dengan rifampisin, dosisnya tidak
boleh melebihi 10 mg/kgBB/hari.**Rifampisin tidak boleh diracik
dalam satu puyer dengan OAT lain karena dapat mengganggu
bioavailabilitas rifampisin. Rifampisin diabsorpsi dengan baik
melalui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (satu jam
sebelum makan.
Tabel 6. Dosis Obat Antituberkulosis (OAT)
ObatDosis harian (mg/kgbb/hari)Dosis 2x/minggu
(mg/kgbb/hari)Dosis 3x/minggu(mg/kgbb/hari)
INH5-15 (maks 300 mg)15-40 (maks. 900 mg)15-40 (maks. 900
mg)
Rifampisin10-20 (maks. 600 mg)10-20 (maks. 600 mg)15-20 (maks.
600 mg)
Pirazinamid15-40 (maks. 2 g)50-70 (maks. 4 g)15-30 (maks. 3
g)
Etambutol15-25 (maks. 2,5 g)50 (maks. 2,5 g)15-25 (maks. 2,5
g)
Fixed Dose Combination (FDC) FDC adalah sediaan obat kombinasi
dalam dosis yang telah ditentukan. Untuk menjaga kepatuhan pasien
dalam menjalani pengobatan yang relatif lama dengan jumlah obat
yang banyak. Keuntungan penggunaan FDC dalam pengobatan TB : 4,5
Menyederhanakan pengobatan dan mengurangi kesalahan penulisan resep
Meningkatkan penerimaan dan keteraturan pasien Mempermudah
pengelolaan obat (proses pengadaan, peyimpanan, dan distibusi obat)
Mengurangi kesalahan penggunaan obat TB (mooterapi) sehingga
mengurangi resistensi Mengurangi kegagalan pengobatan dan
terjadinya kekambuhan.Tabel 7. Dosis kombinasi FDC TBC pada anak
oleh IDAIBerat badan (kg)2 bulanRHZ (75/50/150 mg)4 bulanRH (75/50
mg)
5 91 tablet1 tablet
10 192 tablet2 tablet
20 324 tablet4 tablet
Catatan: Bila BB 33 kg dosis sesuai tabel yang sebelumnya. Bila
BB < 5 kg sebaiknya dirujuk ke RS. Obat harus diberikan secara
utuh (tidak boleh dibelah).NonmedikamentosaPendekatan DOTS
(Directly Observed Treatment Shortcourse)Keteraturan pasien untuk
menelan obat dikatakan baik apabila pasien menelan obat sesuai
dengan dosis yang ditentukan dalam panduan pengobatan. Keteraturan
dalam menelan obat ini menjamin keberhasilan pengobatan serta
mencegah relaps dan terjadinya resistensi. Salah satu upaya untuk
meningkatkan keteraturan adalah dengan melakukan pengawasan
langsung terhadap pengobatan (directly observed treatment).
Directly observed treatment shortcours (DOTS) adalah strategi yang
telah direkomendasikan oleh WHO dalam pelaksanaan program
penanggulangan TB, dan telah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun
1955. Penanggulangan TB dengan strategi DOTS dapat memberikan angka
kesembuhan yang tinggi.5Sesuai rekomendasi WHO, strategi DOTS
terdiri atas lima komponen yaitu sebagai berikut : Komitmen politis
dari para pengambil keputusan, temasuk dukungan dana. Diagnosis TB
dengan pemeriksaan sputum secara mikroskopis. Pengobatan dengan
panduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh pengawas
minum obat (PMO). Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan
mutu terjamin. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk
memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB.Sumber
penularan dan case findingApabila kita menemukan seorang anak
dengan TB, maka harus dicari sumber penularan yang menyebabkan anak
tersebut tertular TB. Sumber penularan adalah orang dewasa yang
menderita TB aktif dan kontak erat dengan anak tersebut. Pelacakan
sumber infeksi dilakukan dengan cara pemeriksaan radiologis dan BTA
sputum (pelacakan sentripetal). Bila telah ditemukan sumbernya,
perlu pula dilakukan pelacakan sentrifugal, yaitu mencari anak lain
di sekitasnya yang mungkin juga tertular, dengan cara uji
tuberkulin.4Sebaliknya, jika ditemukan pasien TB dewasa aktif, maka
anak disekitarnya atau yang kontak erat harus ditelusuri ada atau
tidaknya infeksi TB (pelacakan sentrifugal). Pelacakan tersebut
dilakukan dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan
penunjang yaitu uji tuberkulin.5,6
Aspek edukasi dan sosial ekonomiPengobatan TB tidak lepas dari
masalah sosial ekonomi. Karena pengobatan TB memerlukan
kesinambungan pengobatan dalam jangka waktu yang cukup lama, maka
biaya yang diperlukan cukup besar. Selain itu, diperlukan juga
penanganan gizi yang baik, meliputi kecukupan asupan makanan,
vitamin, dan mikronutrien. Tanpa penanganan gizi yang baik,
pengobatan dengan medikamentosa saja tidak akan tercapai hasil yang
optimal. Edukasi ditujukan kepada pasien dan keluarganya agar
mengetahui mengenai TB. Pasien TB anak tidak perlu diisolasi karena
sebagian besar TB padak anak tidak menular kepada orang
disekitarnya. Aktivitas fisik pasien TB anak tidak perlu dibatasi,
kecuali pada TB berat.2,3PencegahanI. Imunisasi BCG Imunisasi BCG
(Bacille Calmette-Gurin) diberikan pada usia sebelum 2 bulan. Dosis
untuk bayi sebesar 0,05 ml dan untuk anak 0,10 ml, diberikan secara
intrakutan di daerah insersi otot deltoid kanan (penyuntikan lebih
mudah dan lemak subkutis lebih tebal, ulkus tidak menggangu
struktur otot dan sebagai tanda baku). Bila BCG diberikan pada usia
lebih dari 3 bulan, sebaiknya dilakukan uji tuberkulin terlebih
dahulu. Insidens TB anak yang mendapat BCG berhubungan dengan
kualitas vaksin yang digunakan, pemberian vaksin, jarak pemberian
vaksin dan intensitas pemaparan infeksi.Manfaat BCG telah
dilaporkan oleh beberapa peneliti, yaitu antara 0-80%. Imunisasi
BCG efektif terutama untuk mencegah TB milier, meningitis TB dan
spondilitis TB pada anak. Imunisasi ini memberikan perlindungan
terhadap terjadinya TB milier, meningitis TB, TB sistem skletal,
dan kavitas. Fakta di klinik sekitar 70% TB berat dengan biakan
positif telah mempunyai parut BCG. Imunisasi BCG ulangan dianjurkan
di beberapa negara, tetapi umumnya tidak dianjurkan di banyak
negara lain, temasuk Indonesia. Imunisasi BCG relatif aman, jarang
timbul efek samping yang serius. Efek samping yang sering ditemukan
adalah ulserasi lokal dan limfadenitis (adenitis supuratif) dengan
insidens 0,1-1%. Kontraindikasi imunisasi BCG adalah kondisi
imunokompromais, misalnya defisiensi imun, infeksi berat, gizi
buruk, dan gagal tumbuh. Pada bayi prematur, BCG ditunda hingga
bayi mencapai berat badan optimal.1,3
II. KemoprofilaksisTerdapat dua jenis kemoprofilaksis, yaitu
kemoprofilaksis primer dan kemoprofilaksis sekunder.
Kemoprofilaksis primer bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi
TB, sedangkan kemoprofilaksis sekunder mencegah berkembangnya
infeksi menjadi sakit TB. Pada kemoprofilaksis primer diberikan
isoniazid dengan dosis 5-10 mg/kgBB/hari dengan dosis tunggal.
Kemoprofilaksis ini diberikan pada anak yang kontak dengan TB
menular, terutama dengan BTA sputum positif, tetapi belum
terinfeksi (uji tuberkulin negatif). Pada akhir bulan ketiga
pemberian profilaksis dilakukan uji tuberkulin ulang. Jika tetap
negatif dan sumber penularan telah sembuh dan tidak menular lagi
(BTA sputum negatif), maka INH profilaksis dihentikan. Jika terjadi
konversi tuberkulin positif, evaluasi status TB pasien. Jika
didapatkan uji tuberkulin negatif dan INH profilaksis telah
dihentikan, sebaiknya dilakukan uji tuberkulin ulang 3 bulan
kemudian untuk evaluasi lebih lanjut.Kemoprofilaksis sekunder
diberikan pada anak yang telah terinfeksi, tetapi belum sakit,
ditandai dengan uji tuberkulin positif, sedangkan klinis dan
radiologis normal. Tidak semua anak diberi kemoprofilaksis
sekunder, tetapi hanya anak yang termasuk dalam kelompok resiko
tinggi untuk berkembang menjadi sakit TB, yaitu anak-anak pada
keadaan imunokompromais. Contoh anak-anak dengan imunokompromais
adalah usia balita, menderita morbili, varisela, atau pertusis,
mendapat obat imunosupresif yang lama (sitostatik dan
kortikosteroid), usia remaja, dan infeksi TB baru (konvensi uji
tuberkulin dalam kurun waktu kurang dari 12 bulan). Lama pemberian
untuk kemoprofilaksis sekunder adalah 6-12 bulan. Baik profilaksis
primer, profilaksis sekunder dan terapi TB, tetap dievaluasi tiap
bulan untuk menilai respon dan efek samping obat.2
DAFTAR PUSTAKA
1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Asma : Pedoman Diagnosis
dan Penatalaksaan di Indonesia. Balai Penerbit FKUI : Jakarta,
2004.2. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Buku Kuliah 3 Ilmu Kesehatan Anak. Cetakan
Ke 7. Percetakan Infomedika : Jakarta, 2002.3. Robbins dkk. Buku
Ajar Patologi II. Edisi 4. Alih Bahasa : Staf pengajar Laboratorium
Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.
Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta, 1995.4. Price. A,Wilson. L.
M. Tuberkulosis Paru. Dalam: Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit, bab 4, Edisi VI. Jakarta: EGC, 2004 :
852-64.5. Nastiti R, Darmawan B S, dkk. Tuberkulosis. Bab 4. Buku
ajar respirologi anak, edisi pertama. IDAI 2010. 162-2526. Marais
dkk. Am J Respir Crit Care Med 2006;173:1078-907. World Health
Organization. Implementing the WHO Stop TB Strategy-A handbook for
national TB control programmes. Chapter 4- Tuberculosis in
Children. Geneva, WHO. 20088. Rahajoe, Nastiti N., dkk, Pedoman
Nasional Tuberkulosis Anak. UKK Pulmonologi PP IDAI, Juni,
2005.