ASMA BRONKIAL Menurut ‘United states National Tuberculosis Association” 1967, asma bronchial merupakan penyakit yang ditandai oleh tanggap reaksi yang meningkat dari trakea dan bronkus terhadap berbagai macam rangsangan degan manifestasi berup kesukaran bernafas yang disebabkan oleh penyemitan yang menyeluruh dari saluran nafas. Penyempitan saluan ini bersifat dinamis, dan derajat penyempitan dapat berubah, baik secara spontn maupun karena pemberian obat, dan kelainan dasarnya berupa kelainan imunologis. Namun untuk mencapai batasan yang sesuai dengan para hli dibidang klinik, fisiologi, imunologi dan patologi pada bulan September 1991 dibuat suatu kesepakatan baru mengenai batasan asma,yakni; asma bronchial adalah suatu penyakit paru dengan tanda-tanda khas berupa : 1. Obstruksi saluran pernfasan yang dapat pulih kembali ( namun tidak pulih kembali secara sempurna pada beberapa penderita ) baik secara spontan atau dengan pengobatan 2. Keradangan saluran pernafasan 3. Peningkatan kepekaan dan/ atau tanggapan yang berlebihan dari saluran pernafasan terhadap berbagai rangsangan. Epidemiologi Di Indonesia julah penderit asma belum dapat ditentukan dengan pasti karena elum ada data. Di laboratorium Ilmu Penyakit Paru Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/UPF Paru RSUD Dr. Soetomo Surabaya menurut data 1991, jumlah penderita asma rawat jalan dan rawat inap menduduki tempat kedua setelah penyakit infeksi tberkulosis paru. Prevalensi berdasarkan jenis kelamin
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
ASMA BRONKIAL
Menurut ‘United states National Tuberculosis Association” 1967, asma bronchial merupakan
penyakit yang ditandai oleh tanggap reaksi yang meningkat dari trakea dan bronkus terhadap berbagai
macam rangsangan degan manifestasi berup kesukaran bernafas yang disebabkan oleh penyemitan
yang menyeluruh dari saluran nafas. Penyempitan saluan ini bersifat dinamis, dan derajat penyempitan
dapat berubah, baik secara spontn maupun karena pemberian obat, dan kelainan dasarnya berupa
kelainan imunologis. Namun untuk mencapai batasan yang sesuai dengan para hli dibidang klinik,
fisiologi, imunologi dan patologi pada bulan September 1991 dibuat suatu kesepakatan baru mengenai
batasan asma,yakni; asma bronchial adalah suatu penyakit paru dengan tanda-tanda khas berupa :
1. Obstruksi saluran pernfasan yang dapat pulih kembali ( namun tidak pulih kembali secara
sempurna pada beberapa penderita ) baik secara spontan atau dengan pengobatan
2. Keradangan saluran pernafasan
3. Peningkatan kepekaan dan/ atau tanggapan yang berlebihan dari saluran pernafasan terhadap
berbagai rangsangan.
Epidemiologi
Di Indonesia julah penderit asma belum dapat ditentukan dengan pasti karena elum ada data. Di
laboratorium Ilmu Penyakit Paru Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/UPF Paru RSUD Dr. Soetomo
Surabaya menurut data 1991, jumlah penderita asma rawat jalan dan rawat inap menduduki tempat
kedua setelah penyakit infeksi tberkulosis paru.
Prevalensi berdasarkan jenis kelamin
Berdasarkan jenis kelamin, perbandingan asma pada anak laki-laki dan wanita sebesar 1,5:1 dan
perbandingan ini cenderung menurun pada usia yang lebih tua. Pada orang dewasa serangan asma
dimulai pada umur lebih dari 35 tahun, wanita lebih banyak daripada pria.
Faktor pencetus
Penyempitan saluran nafas pad asa bronchial, bukanlah penyempitan yang diakibatkan oleh
penyakit infeksi yang menahun pada saluran nafas (seperti bronchitis menahun) ataupun penyempitan
sebagai akibat kerusakan dinding saluran nafas (missal pada bronkiektasis ataupun emfisema paru),
namun karena reaksi inflamasi yang didahului oleh factor pencetus.
Klasifkasi asma
Ditinjau dari segi imunologi, yaitu :
1. Asma ekstrinsik
1.1 Asma ekstrinsik atopic, dengan sifat sebagai berikut :
Penyebabnya adalah rangsangan allergen eksternal spesifik dan dapat diperlihkan
dengan reaksi kulit tipe 1.
Gejala klinik dan keluhan cenderung timbul pada awal kehidupan; 85 kasus timbul
sebelum usia 30 tahun
Sebagian besar asma tipe ini mengalami perubahan degan tiba-tiba pada waktu
puber, dengan serangan asma yang berbeda-beda
Prognosis tergantung pada serangan pertaa dan berat ringannya gejala yang timbul.
Jika serangan pertama pada usia muda disertai gejala yang lebih berat, maka
prognosis menjadi jelek
Perubahan alamiah terjadi karena ada kelainan dari kekebalan tubuh pada IgE, yang
timbul erutma paa awal kehidupan dan cenderung berkurang disore hari
Asma bentuk ini memberikan tes kulit yang positif
Dala darah menunjukkan kenaikan kadar IgE spesifik
Ada riwayat keluarga yang menderita asma
Terhadap pengobatan memberikan perbaikan yang cepat.
1.2 Asma ekstrinsik non-Atopik, dengan sifat sebagai berikut :
Serangan asma timbul karena berhubungan dengan bermacam-macam allergen yang
spesifik, seringkali terjadi pada waktu melakukan pekerjaan atau timbul setelah
mengalami paparan dengan allergen yang berlebihan
Tes kulit memberikan reaksi alergi tipe segera, tipe lambat, dan ganda terhadap
alergi yang tersensitasi dapat menjadi positif
Dalam serum didapatkan IgE dan IgG yang spesifik
Timbulnya gejala, cenderung pada saat akgir masa kehidupan atau dikemudian hari.
Hal ii dapat diterangkan karena sekali sensitasi terjadi, maka respon asma dapat
dicetuskan oleh berbagai mcam rangsangan non imunlogik seperi emosi, infeksi,
kelelahan an factor sikardian dari siklus biologis.
2. Asma Kriptogenik, yang dibagi menjadi :
2.1 Asma intrinsic
2.2 Asma idiopatik
Asma jenis ini, allergen pencetus sukar ditentukan
Tidak ada aleren ekstrinsik sebagai penyebab dan tes kullit member hasil negative
Merupakan kelompok yang heterogen, respon untuk terjadi asma dicetuskan oleh
penyebab dan melalui mekanisme yang berbeda-bed
Sering ditemukan pada penderita dewas, dimullai pada umur diatas 30 tahun dan
disebut jugan late onset asthma.
Serangan sesak pada asa tipe ini dapat berlangsung lama dan seringkali
menimbulkan kematian bila pengobatan tanpa disertai kortikosteroid
Perubahan patologi yang terjadi sama dengan asma ekstrinsik namun tidak dapat
dibutikan keterlibatan IgE
Kadar IgE dalam serum normal, tetapi eosinofil dapat meningkat jauh lebih tinggi
disbandingkan dengan asma ekstrinsik
Selain itu tes serologi data eunjukkan adanya fakor rematoid, missal sel SLE
Perbedaan lain dengan ekstrinsik asma ialah riwayat keluarga aleri yang jauh lebih
sedikit, sekitr 12 sampai 48 %.
Polip hidung dan sensitivitas terhadap aspirin lebih sering dijumpai pada asma jenis
ini.
Patogenesa
Pada saat inikonsep baru yang banyak diperhatikan untuk menerangkan pengertian dasar
timbulnya asma bronchial dan manifestasi klinisnya adalah konsep inflamasi. Inflamasi sluran nafas, baik
yang dirangsang oleh mekanisme imunologi maupun non-imunologi merupakan proses penting untuk
menerangkan perkembangan pengertian asma pada umumnya.
Hipereaktivitas bronkus dan inflamasi
Gambaran histopatologi sel saluran nafas penderiita asma, merupakan factor penting
pendukung konsep inflamasi sebagai dasar pathogenesis asma bronchial. Pada asma berat hasil biopsy
saluran nafas akan tampak pengelupasan epitel, mucous plug di sluran nafas, penebalan membrane basil
infiltrasi. Sel-sel raang (terutama eosinofil) pada dinding saluran nafas dan hipertrofi otot-otot polos.
Pada asma ringan pun menunjukkan kerusakan eitel, penebalan membrane basalis, degranulasi sel
mast, menempelnya eosinofil, neutrofl monosit dan platelet pada endotel pembuluh darah saluran
nafas serta didapatkan infiltrasi eosinofil pada pada lamina propria.
Hipereaktivitas bronkus merupakan gambaran klinis yang pnting pada asma. Bila dibndingkan
dengan orang normal, penderita asma menunjukkan sesitivitas yang sangat ekstrem terhadap berbagai
rangsangan saluran nafas baik secara spesifik maupun non-spesifik. Derajat hipereaktivitas saluran nafas
tersebut mempunyai korelasi positif dengan berat ringannya gejala klinis dan obat yang diperlukan
untuk pengobatan.
Dari beberapa penelitian telah diketahui bahwa hipereaktivitas brnku pada manusia dan hewan
percobaan dapat terjadi Karen saluran nafas terpapar oleh antigen, infeksi virus atau inhalasi gas seperti
ozon. Namun bagaimana tepatnya tiap-tiap agen tersebut menginduksi terjadinya hipereaktivitas belum
diketahui sevara pasti. Banyak pakar mengatakan bahwa inflamasi saluran nafas oleh rangsangan
imunologi maupun non-imunologi mendasari perkembangan hipereaktivitas bronkus.
Kebanyakan penderita asma yang sensitive terhadap antigen spesifik menunjukkan respon
bronkokonstriksi ganda setelah inhalasi antigen. Respon bronkokonstriksi seger (immediate) mencapai
puncaknya dalam waktu 30 menit dan menghilanng dalam wwaktu 1-2 jam. Respon bronkokonstriksi
lambat (late) mencapai puncaknya secara lambat dalam 4-6 jam dan menghilang dalam 12-24 jam. Pada
manusia dan hewan percobaan, selama respon bronkokonstriksi lambat, timbul hipereaktivitaas bronkus
dan peningkatan tersebut hilang dalam beberapa minggu.
Dua tipe bronkokonstriksi tersebut mempunyai karakteristik masing-masing. Respon segera
terjadi sebelum iflamasi saluran nafas, tidak sensitive terhadap obat anti inflamasi kortikosteroid dan
tidak berhubungan dengn peningkatan hipereaktivitas bronkus. Sebaliknya fase lambat terbukti
berhubungan dengan inflamasi saluran nafas, relative resisten terhadap bronkodilator, namun dapat
dihilangkan dengan kortikosteroid dan berkaitan dengan terjadinya hipereaktivitas bronkus.
Inflamasi oleh saluran nafa oleh sebab-sebab nonimunologi juga dihubungkan dengan timbulnya
hipereaktivitas bronkus. Sebagai contoh, inhalasi ozon dan infeksi virus merusak epitel bronkus dan
menyebabkan respon inflamasi di saluran nafas.
Akibat paparan alergen, virus atau noxious gas akan terjadi pelepasan mediator dari sel-sel
saluran nafas seperti sel mast, sel epitel dan sel saraf. Mediator-mediator seperti histamine dapat
menimbulkan bronkospasme dengan merangsang kontraksi otot polos saluran nafas atau peningkatan
pelepasan neurotransmiter dari saraf kolinergik terminal yang menginervasi otot.
Mediator lain seperti PAF (platelet activating factor) mungkin tidak menyebabkn bronkospasme
langsung, namun bersifat menarik sel radang yang nantinya akan melepaskan mediator yang
menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskuler, produksi mucus dan timbulnya hipereaktivitas
bronkus.
Sel-sel yang terlihat pada pathogenesis asma bronchial
Pada beberapa penderita asma, terdapat antigen spesifik yang dapat menimbulkan inflamasi
dan hipreaktivits bronkus, melalui mekanisme IgE independen. Reaksi radang yang diperankan oleh IgE
adalah hasil aktivasi sel mast, basofil, dan platelet. Beberapa mediator yang dilepaskan oleh sel mast
dan makrofag bersifat menarik sel radang lain seperti eosinofil dan sel-sel radang lain tersebut juga
melepaskan mediator baru.
Mediator sel mast.
Mediator Sasaran Gejala
Histamine Otot polosKelenjar
Pembuluh darahSaraf kolinergik
KontraksiSekresi
PerebesanPelepasan neurotransmiter
Prostaglandin D2 Otot poloskelenjar
Kontraksisekresi
Lekotrien B4 Sel darah putih Kemotaksis
Lekotrien C4, D4 Otot polosKelenjar
Pembuluh darah
KontraksiSekresi
perembesan
adenosin Otot polos Kontraksi
NCF dan ECF Sel darah putih Kemotaksis
Chymase, trypase Otot poloskelenjar
Mudah kontraksisekresi
Namun sampai sekarang hrus diakui bahwa penyakit ini tidak dapat disembuhkan, tetapi hanya dapat
dikendalikan. Pada penderita asma telah terjadi perubahan periodic yang dapat menimbulkan kontraksi
otot polos dengan intensitas berubah-ubah disertai hipersekresi mucus. Keadaan ini disebabkan oleh
perubahan factor imunologis, sedangkan pada penderita lain mungkin factor keturunan yang lebih
berperan, malahan pada sebagian penderita lain tidak jelas factor apa yang menjadi penyebab. Tetpi
kalau dilihat dari factor keturunan, maka untuk menegakkan diagnosis asma bronchial yang penting
diketahui adalah riwayat atopi di dalam keluarga penderita.
Reseptor adrenergic
Sungguh pun persyarafan simpatik untuk jaringan paru sangat sedikit (hapir tidak ada) kecuali
persyarafan untuk jaringan vaskuler, namun bahan kimiawi circulating catecholamine yang dihasilkan
mempunyai peranan amat besar dalam jaringan paru. Secara farmakologis bahan kimia ini mempunyai
dua reseptor dasar yakni reseptor beta adrenergic dan reseptor alfa adrenegik. Alfa adrenergic
mempunya reseptor yang terletak di dalam otot polos dan kelenjar eksokrin. Sedangkan beta adrenergic
secara farmakologik dapat dibedakan antara beta-1 yang berada di otot jantung dan beta-2 yang berada
di otot polos di seluruh tubuh, termasuk otot polos yang berada di jaringan bronkus dan pembuluh
darah.
Secara umum rangsangan pada alfa reseptor berakhir dengan timbulnya proses
pembangkitan,sedangkan rangsangan pada reseptor beta berakhir dengan dua bentuk reaksi,yaitu
penghambatan (missal terjadi relaksasi dari bronkus) dan dapat juga berakhir dengan proses
pembangkitan (missal terjadi peningkatan denyut dan kontraksi jantung) dan di dalam tubuh manusia
terdapat jaringan tertentu yang memiliki kedua reseptor di atas. Sedangkan akhir suatu kejadian atau
proses dalam jaringan paru tergantung dari peran katekolamin dan pebandingan relative dari dua
reseptor tersebut. Dalam tubuh manusia terdapat tiga bentuk katekolamin yaitu: dopamine, Nor-
Epinefrin dan Epinefrin. Dopamine merupakan neurotransmitter saraf ekstrapiramidal. Norepinefrin
adalah neurotransmiter pos-ganglion dari serabur saraf simpatik yang merupakan precursor metabolic
dari epinefrin.
Dalam tubuh orang normal,tegangan dinding saluran napas merupakan keseimbangan antara kekuatan
bronkorelaksasi yang dipengaruhi oleh rangsangan pada reseptor beta adrenergic dn bronkokontriksi
yang dipengaruhi rangsangan vagal. Rangsangan pada beta adrenergic akan mengaktifkan
Adenilsiklase,yaitu suatu enzim yang terdapat pada dinding sel otot dan sel mast,tetapi enzim ini tidak
sama dengan enzim yang terdapat pada reseptor beta adrenergic. Adenilsiklase yang aktif ini merupakan
katalisator pada pembentukan siklik adenosine monofosfat (cyclic 3’,5’-AMP atau CAMP) dari
adenosintrifosfat (ATP),CAMP kemudian merembes masuk ke dalam sel dan di dalam sel ini CAMP
mempunyai bermacam-macam fungsi. Salah satu fungsi CAMP yang sangat penting dalam sel otot polos
bronkus adalah mengaktifkan suatu mekanisme yang mencegah timbulnya kontraksi otot polos atau
mekanisme yang membangkitkan relaksasi otot tersebut. Di dalam sel mast,CAMP merupakan bahan
cadangan yang menghambat pelepasan mediator. Reseptor ini dapat mengatur tinggi rendah aktivitas
adenilsiklase,engan cara mengatur kadar CAMP dan karena itu merupakan gambaran dari fungsi
metabolismedari sel tersebut.
Bahan kimia lain yaitu CGMP mempunyai fungsi biologis sebagai zat yang bekerja berlawanan dengan
CAMP serta mempunyai reseptor pada permukaan sel yang peka pada rangsangan spesifik rangsangan
spesifik dapat mengaktifkan siklinukleotida, 3’,5’ guanosin monofosfat (CGMP) meningkat akan terjadi