BAB IPENDAHULUAN
A. Latar BelakangSeiring dengan bertambahnya usia, fungsi organ
dalam tubuh akan mengalami penurunan, tidak terkecuali pada sistem
genitourinaria. Adanya penurunan fungsi dari sistem genitourinaria
ini dapat menyebabkan terjadinya inkontinensia. Inkontinensia
adalah pengeluaran urin atau feses tanpa disadari dalam jumlah dan
frekuensi yang cukup untuk mengakibatkan masalah gangguan kesehatan
atau social. Inkontinensia dapat berupa inkontinensia urin dan
inkontinensia alvi. Inkontinensia urin adalah keluarnya urin yang
tidak terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa
memperhatikan frekuensi dan jumlahnya. Sedangkan inkontinensia alvi
adalah keluarnya feses pada waktu yang tidak dikehendaki dan lebih
jarang ditemukan.Inkontinensia urin merupakan salah satu
manifestasi penyakit yang sering ditemukan pada pasien geriatri.
Diperkirakan prevalensi inkontinensia urin berkisar antara 1530%
usia lanjut di masyarakat dan 20-30% pasien geriatri yang dirawat
di rumah sakit mengalami inkontinensia urin, dan kemungkinan
bertambah berat inkontinensia urinnya 25-30% saat berumur 65-74
tahun.Ketidakmampuan mengontrol pengeluaran urin atau feses atau
inkontinensia jarang dikeluhkan oleh pasien atau keluarga karena
dianggap sesuatu yang biasa, malu atau tabu untuk diceritakan pada
orang lain maupun pada dokter, dianggap sesuatu yang wajar tidak
perlu diobati. Inkontinensia urine ataupun alvi merupakan gejala
yang menimbulkan gangguan kesehatan, sosial, psikologi serta dapat
menurunkan kualitas hidup (Rochani, 2002).Inkontinensia urin atau
alvi yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan dampak yang
merugikan pada pasien, seperti gangguan kenyamanan karena pakaian
basah terus, risiko terjadi dekubitus (luka pada daerah yang
tertekan), dan dapat menimbulkan rasa rendah diri pada pasien.
Inkontinensia urin yang tidak segera ditangani juga akan
mempersulit rehabilitasi pengontrolan keluarnya urin (Hariyati,
2000).Berdasarkan hal tersebut di atas penulis akan membahas
mengenai inkontinensia urin dan alvi pada lansia agar dapat
menambah pengetahuan pembaca serta mampu memberikan penanganan pada
lansia yang mengalaminya, dan khususnya penanganan oleh perawat
sebagai tenaga kesehatan melalui pemberian asuhan keperawatan
gerontik.
B. Rumusan Masalah1. Apa yang dimaksud dengan inkontinensia urin
dan inkontinensia alvi?2. Apa saja klasifikasi dari inkontinensia
urin dan inkontinensia alvi?3. Apa etiologi dari inkontinensia urin
dan inkontinensia alvi?4. Bagaimana patofisiologi inkontinensia
urin dan inkontinensia alvi?5. Apa tanda dan gejala inkontinensia
urin dan inkontinensia alvi?6. Apa saja pemeriksaan penunjang
inkontinensia urin dan inkontinensia alvi?7. Bagaimana
penatalaksanaan pada lansia dengan inkontinensia urin dan
inkontinensia alvi?8. Bagaimana konsep asuhan keperawatan pada
lansia dengan inkontinensia urin dan inkontinensia alvi?
C. Tujuan Penulisan1. Untuk mengetahui pengertian inkontinensia
urin dan inkontinensia alvi.2. Untuk mengetahui klasifikasi dari
inkontinensia urin dan inkontinensia alvi.3. Untuk mengetahui
etiologi dari inkontinensia urin dan inkontinensia alvi.4. Untuk
mengetahui patofisiologi inkontinensia urin dan inkontinensia
alvi.5. Untuk mengetahui tanda dan gejala inkontinensia urin dan
inkontinensia alvi.6. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang
inkontinensia urin dan inkontinensia alvi7. Untuk mengetahui
penatalaksanaan pada lansia dengan inkontinensia urin dan
inkontinensia alvi.8. Untuk mengetahui dan mampu menerapkan konsep
asuhan keperawatan pada lansia dengan inkontinensia urin dan
inkontinensia alvi.
BAB IIPEMBAHASAN
I. KONSEP TEORI INKONTINENSIA URINA. PengertianInkontinensia
urin merupakan kehilangan kontrol berkemih yang bersifat sementara
atau menetap. Klien tidak dapat mengontrol sfingter uretra
eksterna. Merembesnya urine dapat berlangsung terus menerus atau
sedikit sedikit (Potter dan Perry, 2005). Menurut Hidayat (2006),
inkontinensia urin merupakan ketidakmampuan otot sfingter eksternal
sementara atau menetap untuk mengontrol ekskresi urin. Secara umum
penyebab inkontinensia dapat berupa proses penuaan, pembesaran
kelenjar prostat, penurunan kesadaran, dan penggunaan obat narkotik
atau sedatif.Inkontinensia urin yang dialami oleh pasien dapat
menimbulkan dampak yang merugikan pada pasien, seperti gangguan
kenyamanan karena pakaian basah terus, risiko terjadi dekubitus
(luka pada daerah yang tertekan), dan dapat menimbulkan rasa rendah
diri pada pasien. Inkontinensia urin yang tidak segera ditangani
juga akan mempersulit rehabilitasi pengontrolan keluarnya urin
(Hariyati, 2000).Inkontinensia urine merupakan eliminasi urine dari
kandung kemih yang tidak terkendali atau terjadi diluar keinginan
(Brunner and Suddarth, 2002).Inkontinensia urine didefinisikan
sebagai keluarnya urine yang tidak terkendali pada waktu yang tidak
dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan jumlahnya,yang
mengakibatkan masalah social dan higienis penderitanya (FKUI,
2006).
B. KlasifikasiAdapun tipe-tipe inkontinensia urin menurut
Hidayat (2006):Jenis Inkontinensia UrinDefinisi
Inkontinensia doronganKeadaan dimana seseorang mengalami
pengeluaran urin tanpa sadar, terjadi segera setelah merasa
dorongan yang kuat setelah berkemih.Inkontinensia dorongan ditandai
dengan seringnya terjadi miksi (miksi lebih dari 2 jam sekali) dan
spame kandung kemih (Hidayat, 2006). Pasien Inkontinensia dorongan
mengeluh tidak dapat menahan kencing segera setelah timbul sensasi
ingin kencing. Keadaan ini disebabkan otot detrusor sudah mulai
mengadakan kontraksi pada saat kapasitas kandung kemih belum
terpenuhi.
Inkontinensia totalKeadaan dimana seseorang mengalami
pengeluaran urin yang terus menerus dan tidak dapat diperkirakan.
Kemungkinan penyebab inkontinensia total antara lain: disfungsi
neorologis, kontraksi independen dan refleks detrusor karena
pembedahan, trauma atau penyakit yang mempengaruhi saraf medulla
spinalis, fistula, neuropati.
Inkontinensia stresstipe ini ditandai dengan adanya urin menetes
dengan peningkatan tekanan abdomen, adanya dorongan berkemih, dan
sering miksi. Inkontinensia stress terjadi disebabkan otot spingter
uretra tidak dapat menahan keluarnya urin yang disebabkan
meningkatnya tekanan di abdomen secara tiba-tiba. Peningkatan
tekanan abdomen dapat terjadi sewaktu batuk, bersin, mengangkat
benda yang berat, tertawa.
Inkontinensia reflexKeadaan di mana seseorang mengalami
pengeluaran urin yang tidak dirasakan.Inkontinensia tipe ini
kemungkinan disebabkan oleh adanya kerusakan neurologis (lesi
medulla spinalis). Inkontinensia refleks ditandai dengan tidak
adanya dorongan untuk berkemih, merasa bahwa kandung kemih penuh,
dan kontraksi atau spasme kandung kemih tidak dihambat pada
interval teratur
Inkontinensia fungsionalkeadaan seseorang yang mengalami
pengeluaran urin secara tanpa disadari dan tidak dapat
diperkirakan. Keadaan inkontinensia ini ditandai dengan tidak
adanya dorongan untuk berkemih, merasa bahwa kandung kemih penuh,
kontraksi kandung kemih cukup kuat untuk mengeluarkan urin
C. Etiologi Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa
perubahan pada anatomi dan fungsi organ kemih, antara lain:
melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan berkali-kali,
kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan
seseorang tidak dapat menahan air seni. Selain itu, adanya
kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding kandung kemih, sehingga
walaupun kandung kemih baru terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa
ingin berkemih. Penyebab Inkontinensia Urine (IU) antara lain
terkait dengan gangguan di saluran kemih bagian bawah, efek
obat-obatan, produksi urin meningkat atau adanya gangguan
kemampuan/keinginan ke toilet.Gangguan saluran kemih bagian bawah
bisa karena infeksi. Jika terjadi infeksi saluran kemih, maka
tatalaksananya adalah terapi antibiotika. Apabila vaginitis atau
uretritis atrofi penyebabnya, maka dilakukan terapi estrogen
topical. Terapi perilaku harus dilakukan jika pasien baru menjalani
prostatektomi. Dan, bila terjadi impaksi feses, maka harus
dihilangkan misalnya dengan makanan kaya serat, mobilitas, asupan
cairan yang adekuat, atau jika perlu penggunaan laksatif.
Inkontinensia Urine juga bisa terjadi karena produksi urin berlebih
karena berbagai sebab. Misalnya gangguan metabolik, seperti
diabetes melitus, yang harus terus dipantau. Sebab lain adalah
asupan cairan yang berlebihan yang bisa diatasi dengan mengurangi
asupan cairan yang bersifat diuretika seperti kafein.Gagal jantung
kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab produksi urin meningkat
dan harus dilakukan terapi medis yang sesuai. Gangguan kemampuan ke
toilet bisa disebabkan oleh penyakit kronik, trauma, atau gangguan
mobilitas. Untuk mengatasinya penderita harus diupayakan ke toilet
secara teratur atau menggunakan substitusi toilet. Apabila
penyebabnya adalah masalah psikologis, maka hal itu harus
disingkirkan dengan terapi non farmakologik atau farmakologik yang
tepat.Pasien lansia, kerap mengonsumsi obat-obatan tertentu karena
penyakit yang dideritanya. Jika kondisi ini yang terjadi, maka
penghentian atau penggantian obat jika memungkinkan, penurunan
dosis atau modifikasi jadwal pemberian obat. Golongan obat yang
berkontribusi pada IU, yaitu diuretika, antikolinergik, analgesik,
narkotik, antagonis adrenergic alfa, agonic adrenergic alfa, ACE
inhibitor, dan kalsium antagonik. Golongan psikotropika seperti
antidepresi, antipsikotik, dan sedatif hipnotik juga memiliki andil
dalam IU. Kafein dan alcohol juga berperan dalam terjadinya
mengompol. Selain hal-hal yang disebutkan diatas inkontinensia
urine juga terjadi akibat kelemahan otot dasar panggul, karena
kehamilan, pasca melahirkan, kegemukan (obesitas), menopause, usia
lanjut, kurang aktivitas dan operasi vagina.Penambahan berat dan
tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan melemahnya otot dasar
panggul karena ditekan selama sembilan bulan. Proses persalinan
juga dapat membuat otot-otot dasar panggul rusak akibat regangan
otot dan jaringan penunjang serta robekan jalan lahir, sehingga
dapat meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia urine. Dengan
menurunnya kadar hormon estrogen pada wanita di usia menopause (50
tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus otot vagina dan otot
pintu saluran kemih (uretra), sehingga menyebabkan terjadinya
inkontinensia urine. Faktor risiko yang lain adalah obesitas atau
kegemukan, riwayat operasi kandungan dan lainnya juga berisiko
mengakibatkan inkontinensia. Semakin tua seseorang semakin besar
kemungkinan mengalami inkontinensia urine, karena terjadi perubahan
struktur kandung kemih dan otot dasar panggul (Darmojo, 2009).
D. Patofisiologi
Pada lanjut usia inkontinensia urin berkaitan erat dengan
anatomi dan fisiologis juga dipengaruhi oleh faktor fungsional,
psikologis dan lingkungan. Pada tingkat yang paling dasar, proses
berkemih diatur oleh reflek yang berpusat di pusat berkemih
disacrum. Jalur aferen membawa informasi mengenai volume kandung
kemih di medulla spinalis (Darmojo, 2000).Pengendalian kandung
kencing dan sfinkter diperlukan agar terjadi pengeluaran urin
secara kontinen. Pengendalian memerlukan kegiatan otot normal
diluar kesadaran dan yang didalam kesadaran yang dikonrdinasi oleh
refleks urethrovsien urinaris. Bila terjadi pengisian kandung
kencing tekanan didalam kandung kemih meningkat. Otot detrusor
(lapisan yang tiga dari dinding kencing) memberikan respon dengan
relaksasi agar memperbesar volume daya tampung. Bila sampai 200 ml
urin daya rentang reseptor yang terletak pada dinding kandung kemih
mendapat rangsangan. Stimulus ditransmisikan lewat serabut reflek
eferen ke lengkungan pusat refleks untuk meksitrurisasi. Impuls
kemudian disalurkan melalui serabut eferen dari lengkungan refleks
ke kandung kemih, menyebabkan kontraksi otot detrusor. Sfinkter
interna yang dalam keadaan normal menutup, serentak bersama sama
membuka dan urin masuk ke uretra posterior. Relaksasi sfinkter
eksterna dan otot pariental mengkuti dan isi kandung kemih keluar.
Pelaksanaaan kegiatan refleks bisa mengalami interupsi dan berkemih
ditangguhkan melalui dikeluarkannya impuls inhibitor dari pusat
kortek yang berdampak kontraksi diluar kesadaran dan sfinkter
eksterna. Bila disalah satu bagian mengalami kerusakan maka akan
dapat mengakibatkan inkontenensia
E. Manifestasi KlinisTanda-tanda Inkontinensia Urine menurut
(Alimul Azis, 2006)1) Inkontinensia Dorongana) Sering miksib)
Spasme kandung kemih2) Inkontinensia total a) Aliran konstan
terjadi pada saat tidak diperkirakan.b) Tidak ada distensi kandung
kemih.c) Nokturia dan Pengobatan Inkontinensia tidak berhasil.3)
Inkontinensia stresa) Adanya urin menetes dan peningkatan tekanan
abdomen.b) Adanya dorongan berkemih.c) Sering miksi.d) Otot pelvis
dan struktur penunjang lemah.4) Inkontinensia refleks a) Tidak
dorongan untuk berkemih.b) Merasa bahwa kandung kemih penuh.c)
Kontraksi atau spesme kandung kemih tidak dihambat pada interval.5)
Inkontinensia fungsional a) Adanya dorongan berkemih.b) Kontraksi
kandung kemih cukup kuat untuk mengeluarkan urin.
F. Pemeriksaan Penunjang UrinalisisDigunakan untuk melihat
apakah ada bakteri, darah dan glukosa dalam urine.
UroflowmeterDigunakan untuk mengevaluasi pola berkemih dan
menunjukkan obstruksi pintu bawah kandung kemih dengan mengukur
laju aliran ketika pasien berkemih. CysometryDigunakan untuk
mengkaji fungsi neuromuskular kandung kemih dengan mengukur
efisiensi refleks otot destrusor, tekana dan kapasitas
intravesikal, dan reaksi kandung kemih terhadap rangsangan panas.
Urografi ekskretorikDisebut juga pielografi intravena, digunakan
untuk mengevaluasi struktur dan fungsi ginjal, ureter dan kandung
kemih. Urografi ekskretori bawah kandung kemih dengan mengukur laju
aliran ketika pasien berkemih. Kateterisasi residu
pascakemihDigunakan untuk menentukan luasnya pengosongan kandung
kemih dan jumlah urine yang tersisa dalam kandung kemih setelah
pasien berkemih.
G. PenatalaksanaanPenatalaksanaaninkontinensia urin adalah untuk
mengurangi faktor resiko, mempertahankan homeostasis, mengontrol
inkontinensia urin, modifikasi lingkungan, medikasi, latihan otot
pelvis dan pembedahan.Dari beberapa hal tersebut di atas, dapat
dilakukan sebagai berikut :a. Pemanfaatan kartu catatan
berkemihyang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu berkemih
dan jumlah urin yang keluar, baik yang keluar secara normal, maupun
yang keluar karena tak tertahan, selain itu dicatat pula waktu,
jumlah dan jenis minuman yang diminum.b. Terapi non
farmakologiDilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari
timbulnya inkontinensia urin, seperti hiperplasia prostat, infeksi
saluran kemih, diuretik, gula darah tinggi, dan lain-lain. Adapun
terapi yang dapat dilakukan adalah : Melakukan latihan menahan
kemih (memperpanjang interval waktu berkemih) dengan teknik
relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi berkemih 6-7 x/hari.
Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk berkemih bila belum
waktunya.Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu
tertentu, mula-mula setiap jam, selanjutnya diperpanjang secara
bertahap sampai lansia ingin berkemih setiap 2-3 jam. Membiasakan
berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai dengan
kebiasaan lansia. Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari
lansia mengenal kondisi berkemih mereka serta dapat memberitahukan
petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik ini dilakukan
pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif (berpikir). Melakukan
latihan otot dasar panggul dengan mengkontraksikan otot dasar
panggul secara berulang-ulang.Adapun cara-cara mengkontraksikan
otot dasar panggul tersebut adalah dengan cara : Berdiri di lantai
dengan kedua kaki diletakkan dalam keadaan terbuka, kemudian
pinggul digoyangkan ke kanan dan ke kiri 10 kali, ke depan ke
belakang 10 kali. Gerakan seolah-olah memotong feses pada saat kita
buang air besar dilakukan 10 kali. Hal ini dilakukan agar otot
dasar panggul menjadi lebih kuat dan urethra dapat tertutup dengan
baik.c. Terapi farmakologiObat-obat yang dapat diberikan pada
inkontinensia urgen adalah antikolinergik
sepertiOxybutinin,Propantteine,Dicylomine, flavoxate, Imipramine.
Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu
pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi urethra. Padasfingter
relaxdiberikankolinergik agonisseperti Bethanechol atau
alfakolinergik antagonis seperti prazosin untuk stimulasi
kontraksi, dan terapi diberikan secara singkat.d. Terapi
pembedahanTerapi ini dapatdipertimbangkanpada inkontinensia tipe
stress dan urgensi, bila terapi non farmakologis dan farmakologis
tidak berhasil. Inkontinensia tipe overflowumumnya memerlukan
tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi ini
dilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat,
dan prolaps pelvic (pada wanita).
e. Modalitas lainSambil melakukan terapi dan mengobati masalah
medik yang menyebabkan inkontinensia urin, dapat pula digunakan
beberapa alat bantu bagi lansia yang mengalami inkontinensia urin,
diantaranya adalah pampers, kateter.f. Pemantauan Asupan CairanPada
orang dewasa minimal asupan cairan adalah 1500 ml perhari dengan
rentan yang lebih adekuat antara 2500 dan 3500 ml perhari dengan
asumsi tidak ada kondisi kontraindikasi. Lansia yang kontinen dapat
membatasi asupan cairan secara tidak tepat untuk mencegah
kejadian-kejadian yang memalukan. Pengurangan asupan cairan sebelum
waktu tidur dapat mengurangi inkontinensia pada malam hari, tetapi
cairan harus diminum lebih banyak selama siang hari sehingga total
asupan cairan setiap harinya tetap sama.
II. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA DENGAN INKONTINENSIA
URINA. PENGKAJIANAdapun data-data yang akan dikumpulkan dikaji pada
asuhan keperawatan klien dengan diagnosa medis Inkontinensia Urine
:1)Identitas KlienMeliputi nama, jenis kelamin, umur,
agama/kepercayaan, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, suku
bangsa, alamat, diagnosa medis.2)Keluhan UtamaPada kelayan
Inkontinensia Urine keluhan-keluhan yang ada adalah nokturia,
urgence, disuria, poliuria, oliguri, dan staguri.3)Riwayat Penyakit
SekarangMemuat tentang perjalanan penyakit sekarang sejak timbul
keluhan, usaha yang telah dilakukan untuk mengatasi
keluhan.4)Riwayat Penyakit DahuluAdanya penyakit yang berhubungan
dengan ISK (Infeksi Saluran Kemih) yang berulang. penyakit kronis
yang pernah diderita.5)Riwayat Penyakit keluargaApakah ada penyakit
keturunan dari salah satu anggota keluarga yang menderita penyakit
Inkontinensia Urine, adakah anggota keluarga yang menderita DM,
Hipertensi.6)Pemeriksaan FisikPemeriksaan Fisik yang digunakan
adalah B1-B6 :a) B1(breathing)Kaji pernapasan adanya gangguan pada
pola nafas, sianosis karena suplai oksigen menurun. kaji ekspansi
dada, adakah kelainan pada perkusi.b) B2(blood)Terjadipeningkatan
tekanan darah, biasanya pasien bingung dan
gelisahc)B3(brain)Kesadaran biasanya sadar penuhd)
B4(bladder)Inspeksi :periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya
bau menyengat karena adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri)
dalam kandung kemih serta disertai keluarnya darahapabila ada lesi
pada bladder, pembesaran daerah supra pubik lesi pada meatus
uretra, banyak kencing dan nyeri saat berkemih menandakan disuria
akibat dari infeksi, apakah klien terpasang
katetersebelumnya.Palpasi : Rasa nyeri di dapat pada daerah supra
pubik / pelvis, seperti rasa terbakar di uretra luar sewaktu
kencing / dapat juga di luar waktu kencing.e) B5(bowel)Bising usus
adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri tekan abdomen,
adanya ketidaknormalan perkusi, adanya ketidaknormalan palpasi pada
ginjal.f)B6(bone)Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya
dengan ekstremitas yang lain, adakah nyeri pada persendian.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN1) Gangguan eliminasi urin berhubungan
dengan tidak adanya sensasi untuk berkemih dan kehilangan kemampuan
untuk menghambat kontraksi kandung kemih2) Gangguan pola istirahat
dan tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan3) Resiko infeksi
berhubungan dengan pemasangan kateter dalam waktu yang lama.4)
Resiko kerusakan integitas kulit yang berhubungan dengan irigasi
konstan oleh urine.5) Resiko kekurangan volume cairan tubuh
berhubungan dengan intake yang tidak adekuat6) Kurangnya
pengetahuan berhubungan dengan kondisi penyakit.
C. INTERVENSI1. Diagnosa 1Gangguan eliminasi urin berhubungan
dengan tidak adanya sensasi untuk berkemih dan kehilangan kemampuan
untuk menghambat kontraksi kandung kemih.Tujuan: setelah dilakukan
tindakan keperawatan diharapkan klien akan bisa melaporkan suatu
pengurangan / penghilangan inkontinensia.Kriteria Hasil: Klien
dapat menjelaskan penyebab inkonteninsia dan rasional
penatalaksanaan.Intervensi :1. Kaji kebiasaan pola berkemih dan
gunakan catatan berkemih sehari.R: Berkemih yang sering dapat
mengurangi dorongan beri distensi kandung kemih2. Ajarkan untuk
membatasi masukan cairan selama malam hariR: Pembatasan cairan pada
malam hari dapat mencegah terjadinya enurasis3. Bila masih terjadi
inkontinensia kurangi waktu antara berkemih yang telah
direncanakanR: Kapasitas kandung kemih mungkin tidak cukup untuk
menampung volume urine sehingga diperlukan untuk lebih sering
berkemih.4. Instruksikan klien batuk dalam posisi litotomi, jika
tidak ada kebocoran, ulangi dengan posisi klien membentuk sudut 45,
lanjutkan dengan klien berdiri jika tidak ada kebocoran yang lebih
dulu.R: Untuk membantu dan melatih pengosongan kandung kemih.5.
Anjurkan klien melakukan latihan kegel exercise atau blader
trainingR/ Untuk mengencangkan otot di sekitar vagina, sehingga
klien lebih mampu menahan keinginan buang air kecil.6. Pantau
masukan dan pengeluaran, pastikan klien mendapat masukan cairan
2000 ml, kecuali harus dibatasi.R: Hidrasi optimal diperlukan untuk
mencegah ISK dan batu ginjal.7. Kolaborasi dengan dokter dalam
mengkaji efek medikasi dan tentukan kemungkinan perubahan obat,
dosis / jadwal pemberian obat untuk menurunkan frekuensi
inkonteninsia.2. Diagnose 2Tujuan: Kebutuhan istirahat dan tidur
terpenuhi.Kriteria hasil: klien mampu istirahat dan tidur dengan
waktu yang cukup, klien mengungkapkan sudah bisa tidur, klien mampu
menjelaskan factor penghambat tidur.Intervensi :1. Jelaskan pada
klien dan keluarga penyebab gangguan tidur/istirahat dan
kemungkinan cara untuk menghindarinya.R/ Meningkatkan pengetahuan
klien sehingga klien mau kooperatif terhadap tindakan
keperawatan.2. Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan penyebab
gangguan tidur.R/ Menentukan rencana untuk mengatasi gangguan.3.
Batasi masukan cairan waktu malam hari dan berkemih sebelum
tidur.R/ Mengurangi frekuensi berkemih pada malam hari4. Batasi
masukan minuman yang mengandung kafeinR/ Kafein dapat merangsang
untuk sering berkemih
3. Diagnosa 3Resiko infeksi berhubungan dengan inkontinensia,
imobilitas dalam waktu yang lama.Tujuan: setelah dilakukan tindakan
keperawatan diharapkan klien dapat berkemih dengan nyaman.Kriteria
Hasil : Urine jernih, urinalisis dalam batas normal, kultur urine
menunjukkan tidak adanya bakteri.Intervensi :1. Berikan perawatan
perineal dengan air sabun setiap shift. Jika pasien inkontinensia,
cuci daerah perineal sesegera mungkin.R: Untuk mencegah kontaminasi
uretra.2. Jika di pasang kateter indwelling, berikan perawatan
kateter 2x sehari (merupakan bagian dari waktu mandi pagi dan pada
waktu akan tidur) dan setelah buang air besar.R: Kateter memberikan
jalan pada bakteri untuk memasuki kandung kemih dan naik ke saluran
perkemihan.3. Ikuti kewaspadaan umum (cuci tangan sebelum dan
sesudah kontak langsung, pemakaian sarung tangan), bila kontak
dengan cairan tubuh atau darah yang terjadi (memberikan perawatan
perianal, pengosongan kantung drainase urine, penampungan spesimen
urine). Pertahankan teknik aseptik bila melakukan kateterisasi,
bila mengambil contoh urine dari kateter indwelling.R: Untuk
mencegah kontaminasi silang.4. Kecuali dikontra indikasikan, ubah
posisi pasien setiap 2jam dan anjurkan masukan sekurang-kurangnya
2400 ml / hari. Bantu melakukan ambulasi sesuai dengan kebutuhan.R:
Untuk mencegah stasis urine.5. Lakukan tindakan untuk memelihara
asam urine. Tingkatkan masukan sari buah berri. Berikan obat-obat,
untuk meningkatkan asam urine.R: Asam urine menghalangi tumbuhnya
kuman. Karena jumlah sari buah berri diperlukan untuk mencapai dan
memelihara keasaman urine. Peningkatan masukan cairan sari buah
dapat berpengaruh dalam pengobatan infeksi saluran kemih.
4. Diagnosa 4Resiko kerusakan integitas kulit yang berhubungan
dengan irigasi konstan oleh urineTujuan: setelah dilakukan tindakan
keperawatan diharapkan keruskan integritas kulit teratasi.Kriteria
Hasil : Jumlah bakteri