ASAS ULTIMUM REMEDIUM DALAM PEMIDANAAN ANAK (Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia) Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh : Alan Novandi 1111043200008 PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1439 H / 2018 M
81
Embed
ASAS ULTIMUM REMEDIUM DALAM PEMIDANAAN …...Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya sampai akhir zaman. Ungkapan Alhamdulillah, atas selesainya tulisan skripsi yang
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
ASAS ULTIMUM REMEDIUM DALAM PEMIDANAAN ANAK
(Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia)
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
Alan Novandi
1111043200008
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H / 2018 M
ABSTRAK
ALAN NOVANDI. 1111043200008. IMPLEMENTASI ASAS ULTIMUM
REMEDIUM DALAM PEMIDANAAN ANAK PERSPEKTIF HUKUM
ISLAM DAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA. Konsentrasi Perbandingan
Hukum, Program Studi Perbandingan Mazhab, Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018. ix + 71 halaman.
Skripsi ini mengkaji tentang bagaimana kedudukan asas ultimum remedium
dalam hukum pidana dan bagaimana penerapannya dalam proses peradilan pidana
anak, dalam perspektif hukum Islam dan hukum positif di Indonesia.
Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian kepustakaan
dengan pendekatan perbandingan hukum (comparative approach), yaitu penelitian
yang didasarkan pada analisis terhadap asas hukum dan teori hukum serta peraturan
perundang-undangan yang sesuai dan berkaitan dengan permasalahan hukum, yang
kemudian membandingkannya dengan hukum negara lain atau sistem hukum yang
lain. Dengan demikian, penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif, yaitu
data yang terkumpul berbentuk kata-kata, bukan angka-angka.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kedudukan asas ultimum remedium
dalam pemidanaan anak terdapat dalam instrumen hukum nasional maupun
intenasional, yang sanksi pidananya merupakan upaya terakhir, dengan
mempertimbangkan kepentingan yang terbaik bagi anak. Dalam beberapa kasus,
mengenai implementasi asas ultimum remedium dalam pemidanaan anak telah
diterapkan, tetapi harus lebih dimaksimalkan dalam setiap penanganan kasus pidana
anak. Oleh karena itu, pemahaman dan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan
sanksi harus berpegang teguh pada prinsip-prinsip perlindungan anak.
Kata Kunci: Ultimum Remedium, Perlindungan Anak, Peradilan Anak, Hukum
Islam, dan Hukum Positif.
Pembimbing: Dr. Supriyadi Ahmad, MA.
Fathudin, S.HI., SH., MH.
Daftar Pustaka: 1967-2015
vi
بسم هللا الرحمن الرحيم
KATA PENGANTAR
Puji syukur yang tak terhingga atas limpahan rahmat dan nikmat Allah swt,
sehingga kita semua tetap dalam kondisi sehat beserta Islam dan iman yang
melekat. Shalawat dan salam senantiasa dihaturkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya sampai akhir zaman.
Ungkapan Alhamdulillah, atas selesainya tulisan skripsi yang berjudul
“Asas Ultimum Remedium dalam Pemidanaan Anak (Perspektif Hukum Islam
dan Hukum Positif di Indonesia)” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Hukum (S.H) Program Studi Perbandingan Mazhab, Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sebagai manusia yang penuh khilaf dan salah, penulis menyadari bahwa
skripsi ini jauh dari sempurna. Namun penulis berharap bahwa hasil penelitian
skripsi ini bermanfaat terutama bagi penulis dan bagi akademisi secara umum.
Penulis juga menyadari, bahwa hanya dengan bantuan banyak pihak skripsi ini
dapat terselesaikan. Oleh karena itu, ucapan banyak terima kasih penulis
sampaikan terutama kepada :
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Fahmi Ahmadi, M.Si., Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab
dan Ibu Hj. Siti Hanna, S.Ag., Lc., M.A., Sekretaris Program Studi
Perbandingan Mazhab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Ummi Kultsum, Dosen Pembimbing Akademik yang telah mengarahkan
banyak hal dalam perkuliahan sampai proses akhir penyelesaian skripsi ini.
vii
4. Bapak Dr. Supriyadi Ahmad, M.A. dan Bapak Fathudin, S.HI., S.H., M.H.,
dosen pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan arahan dan
bimbingan sampai skripsi ini selesai.
5. Bapak Dr. Muhammad Taufiqi, M.Ag. dan Dra. Afidah Wahyuni, M.Ag.,
dosen penguji proposal skripsi yang telah membimbing dan memberikan
arahan terhadap langkah awal skripsi ini.
6. Para dosen di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah memberikan ilmunya di berbagai disiplin keilmuan, baik dalam
perkuliahan atau di luar, semoga mendapatkan balasan dari Allah swt dan
bermanfaat bagi penulis.
7. Tak lupa dan teristimewa, ungkapan terima kasih untuk Ayahanda dan
Ibunda tercinta, H. Muhadi dan Hj. Aniah serta semua anggota keluarga yang
selalu memberikan dukungan dan doa setiap waktu.
8. Yang teristimewa, Shintya Andini Sidi, SH., MH. yang selalu meluangkan
waktu, memberikan doa, dukungan dan semangat selama penyusunan skripsi
ini.
9. Seluruh teman seperjuangan mahasiswa Program Studi Perbandingan
Mazhab angkatan 2011, teman seperjuangan di Badan Eksekutif Mahasiswa
Fakultas Syariah dan Hukum (BEM FSH), Himpunan Mahasiswa Islam
(HMI) Cabang Ciputat, Ikatan Keluarga Pesantren Darunnajah (IKPDN)
Jakarta, Forum Komunikasi Mahasiswa Betawi (FKMB), Forum Diskusi
Comparative of Law Studies Community (CLC), para anggota Senat
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, kawan-kawan lintas kampus
dalam Forum Lembaga Legislatif Mahasiswa Indonesia (FL2MI) dan
organisasi/komunitas lainnya yang telah meluangkan waktu bersama dalam
mendewasakan diri, berbagi ilmu dan kebersamaan.
10. Teman-teman semangat skripsi yang penulis banggakan, Abdul Gopur S.H.,
Moh. Basri, S.H., Nur Moh. Maftuh, S.H., dan Dicka Nanda Darmawan S.H.
viii
dan adik-adik mahasiswa di Program Studi Perbandingan Mazhab yang
setiap saat bersama memberikan dukungan, saran, dan masukan kepada
penulis.
11. Seluruh pihak yang ikut andil memberikan dukungan moril atau materil yang
tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Semoga rahmat Allah senantiasa
menyertai mereka.
Hanya ungkapan terimakasih dan doa yang dapat penulis sampaikan,
dengan harapan semoga amal ibadah mereka semua diterima oleh Allah swt,
mendapatkan balasan dengan sebaik-baiknya balasan, dan menjadi catatan
kebaikan di akhirat kelak. Amin.
Jakarta, 30 Mei 2018 M
14 Ramadhan 1439 H
Penulis
ix
DAFTAR ISI
COVER .................................................................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................ ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ......................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iv
ABSTRAK .................................................................................................... v
KATA PENGANTAR .................................................................................... vi
DAFTAR ISI .................................................................................................. ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ......................................... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................... 5
D. Metode Penelitian dan Pedoman Penulisan ................................ 6
E. Sistematika Penulisan ................................................................. 7
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DAN
PERADILAN ANAK
A. Pengertian dan Konsep Umum Tentang Anak ........................... 9
B. Perlindungan Anak dalam Instrumen Hukum Nasional dan
Internasional ............................................................................... 14
C. Perlindungan Anak dalam Perspektif Hukum Islam .................. 21
D. Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia ............................... 24
E. Tinjauan Kajian Terdahulu ......................................................... 34
BAB III ASAS ULTIMUM REMEDIUM DALAM PEMIDANAAN
A. Teori-Teori Pemidanaan .............................................................. 30
x
B. Konsep Umum Tentang Ultimum Remedium ............................ 40
C. Ultimum Remedium dalam Hukum di Indonesia ........................ 46
D. Tinjauan Hukum Islam tentang Ultimum Remedium ................. 48
BAB IV ANALISIS ASAS ULTIMUM REMEDIUM DALAM PEMIDANAAN
ANAK PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF DI
INDONESIA
A. Asas Ultimum Remedium dalam Pemidanaan Anak di Indonesia .. 55
B. Implementasi Asas Ultimum Remedium dalam Pemidanaan Anak
di Indonesia ................................................................................. 59
C. Tinjauan Hukum Islam tentang Implementasi Asas Ultimum
Remedium dalam Pemidanaan Anak .......................................... 64
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................... 67
B. Rekomendasi ............................................................................... 67
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 69
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam Undang Undang Perlindungan anak dijelaskan bahwa anak adalah bagian
yang tak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan
sebuah bangsa dan negara. Agar kelak mampu bertanggung jawab dalam
keberlangsungan bangsa dan negara, setiap anak perlu mendapat kesempatan yang
seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental,
maupun sosial.1 Hal ini menyatakan bahwa hak-hak anak dalam proses
perkembangannya perlu diperhatikan. Hak anak merupakan bagian dari hak asasi
manusia yang wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga,
masyarakat, pemerintah, dan negara.
Namun, dalam perkembangannya, terkadang anak melakukan sesuatu yang
dianggap tidak baik sehingga merugikan dirinya sendiri ataupun orang lain. Bahkan
tindakan yang dilakukannya tersebut dianggap sudah termasuk perbuatan yang
dilarang oleh hukum. Tentunya menjadi polemik saat anak melakukan tindakan
pidana, karena di satu sisi, anak perlu mendapatkan perhatian dan pembinaan dari
orang-orang terdekatnya, di sisi yang lain anak tersebut harus menjalani prosesi
pemidanaan karena melakukan suatu perbuatan yang melanggar undang-undang.
Tingkah laku yang demikian terjadi dikarenakan dalam masa pertumbuhannya
kondisi mental anak belum betul-betul stabil, juga tidak terlepas pula pengaruh dari
lingkungan, pergaulan, bahkan keluarganya sendiri. Sehingga tidak sedikit perbuatan
anak yang lepas kendali dan tindakannya menjadi suatu tindak pidana atau kejahatan
1 Bagian Umum Pasal Penjelasan Atas Undang Undang Republik Indonesia Nomor 35
Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak
2
dan tidak dapat ditolerir lagi. Anak yang melakukan tindak pidana harus berhadapan
dengan aparat hukum untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Menurut
Kartini Kartono perilaku dursila atau kejahatan/kenakalan anak-anak, merupakan
gejala sakit (patologi) secara sosial pada anak-anak yang disebabkan oleh suatu
bentuk pengabaian sosial sehingga mereka itu mengembangkan bentuk pengabaian
tingkah laku yang menyimpang.2
Sebagaimana diketahui, Indonesia adalah negara hukum, penegakan hukum
setelah adanya pelanggaran ataupun kejahatan menjadi sebuah kewajiban, hal
tersebut merupakan upaya yang sangat penting dalam rangka menciptakan
ketentraman dan ketertiban dalam masyarakat. Dalam pelaksanakan pemberian sanksi
bagi yang melakukan tindakan melawan hukum tentunya harus dilaksanakan, tak
terkecuali anak-anak.
Dalam hal anak yang berhadapan dengan hukum dalam lingkup hukum pidana,
anak tersebut disebut anak nakal atau anak yang melakukan perbuatan yang
dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun
menurut hukum lain yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Meskipun
disebut nakal, anak perlu mendapatkan perlakuan khusus yang tidak diberikan kepada
pelaku tindak pidana orang dewasa. Marlina, dalam bukunya yang berjudul
“Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice”3 menyatakan bahwa dengan
terpenuhinya syarat-syarat adanya pertanggungjawaban pidana kepada seorang anak
yang telah melakukan tindak pidana, hal ini berarti bahwa terhadap anak tersebut
dapat dikenakan pemidanaan, akan tetapi pemidanaan terhadap anak hendaknya harus
memperhatikan perkembangan seorang anak.
2 Kartini Kartono, Bimbingan Bagi Anak dan Remaja yang Bermasalah, (Jakarta:
Rajawali Press, 2011), h. 6 3 Marlina, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia. "Pengembangan Konsep Diversi dan
Restorative Justice", (Bandung: PT. Refika Aditama, 2009), h. 72
3
Hal ini disebabkan bahwa anak tidak dapat/kurang berfikir dan kurangnya
pertimbangan atas perbuatan yang dilakukannya. Pemberian pertanggung- jawaban
pidana terhadap anak harus mempertimbangkan perkembangan dan kepentingan
terbaik bagi anak di masa akan datang.4 Oleh karena itu, proses pejatuhan sanksi
terhadap anak pun diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (selanjutnya disebut UU SPPA), dengan
pengadilan yang beda pula yaitu pengadilan anak.
Berbagai belahan dunia, baik negara maju maupun negara-negara terbelakang
dan berkembang, menunjukan fenomena yang sama, anak dengan berbagai alasan
harus berurusan dengan hukum. Adanya putusan pengadilan anak yang cenderung
menjatuhkan pidana penjara dari pada tindakan terhadap anak yang melakukan tindak
pidana, sebenarnya tidak sesuai dengan filosofi dari pemidanaan dalam hukum pidana
anak. Penjatuhan pidana secara tidak tepat dapat mengabaikan pengaturan
perlindungan anak, karena pemidanaan anak seharusnya adalah jalan keluar terakhir
atau upaya terakhir (ultimum remedium/the last resort principle) dan dijatuhkannya
hanya untuk waktu yang singkat. Penjatuhan pidana sebagai ultimum remedium atau
the last resort principle adalah salah satu bentuk perlindungan terhadap kepentingan
terbaik anak.5
Dalam Hukum Pidana Indonesia, asas ultimum remedium, dikenal sebagai asas
yang mengatakan bahwa hukum pidana hendaklah dijadikan upaya terakhir dalam hal
penegakan hukum. Hal ini memiliki makna bahwa apabila suatu perkara dapat
diselesaikan melalui jalur lain (kekeluargaan, negosiasi, mediasi, perdata, ataupun
hukum administrasi) hendaklah jalur tersebut terlebih dahulu dilalui.6
4 Marlina, Peradilan Pidana Anak, h. 72
5 Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak. "Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa
Pemidanaan ", (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010) h. 67-70 6 Anonim, https://istilahhukum.wordpress.com/2013/02/06/ultimum-remedium/ diakses
Justice System merupakan istilah yang digunakan sedefinisi dengan institusi yang
ada dalam pengadilan, meliputi polisi, penuntut umum, hakim, penasehat hukum,
Lembaga Pengawas, pusat penahanan anak, dan fasilitas pembinaan anak.31
Mengenai sistem peradilan anak saat ini diatur dalam Undang Undang No. 11
Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) yang mulai
diberlakukan dua tahun setelah tanggal pengundangannya, yaitu 30 Juli 2012
sebagaimana disebut dalam Ketentuan Penutupnya (Pasal 108 UU SPPA) yang
berarti UU SPPA ini mulai berlaku sejak 31 Juli 2014.
UU Pengadilan Anak dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum
dalam masyarakat dan belum secara komprehensif memberikan perlindungan khusus
kepada anak yang berhadapan dengan hukum. UU SPPA ini merupakan pengganti
dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (UU
Pengadilan Anak) dengan harapan dapat mewujudkan peradilan yang menjamin
perlindungan kepentingan terbaik terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.
a. Tindak Pidana dan Pertanggung Jawaban Pidana Anak
Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari bahasa Belanda strafbaar feit
atau delict. Simons seorang guru besar ilmu hukum pidana di Universitas Utrecht
berpendapat bahwa tindak pidana ialah perbuatan melawan hukum yang berkaitan
dengan kesalahan seseorang yang mampu bertanggung jawab.32
Kesalahan yang
dimaksud oleh Simons ialah kesalahan dalam arti luas yang meliputi dolus (sengaja)
dan culpa late (alpa dan lalai).
30
Di lingkungan peradilan umum dapat diadakan pengkhususan yang diatur dalam
undang-undang (Pasal 8 UU No. 2 Tahun 1982 Tentang Pengadilan Umum) 31
Setya Wahyudi, Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaruan Sistem Peradilan
Pidana Anak di Indonesia, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2011), h. 35 32
Marlina, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia. "Pengembangan Konsep Diversi dan
Restorative Justice", (Bandung: PT. Refika Aditama, 2009), h. 75
26
Berbeda dengan Simons, R. Soesilo dan Moeljatno mendefinisikan tindak pidana
sebagai suatu perbuatan yang dilarang atau diwajibkan Undang-Undang yang apabila
dilakukan atau diabaikan, maka orang yang melakukan atau mengabaikan diancam
dengan pidana.33
Maka perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum tersebut di
berikan ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar
larangan tersebut. Larangan ini ditujukan kepada perbuatan (suatu keadaan atau
kejadian) yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedangkan ancaman pidana
ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian tersebut.34
Tindak pidana anak, jika mengacu kepada berbagai definisi di atas, dimaknai
sebagai perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum, di berikan ancaman (sanksi)
berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan. Larangan ini
ditujukan kepada perbuatan (suatu keadaan atau kejadian) yang ditimbulkan atau
dilakukan oleh anak-anak.
Hal tersebut disebutkan dalam Undang-undang, sebagaimana diatur dalam
ketentuan pasal 45 KUHP dan surat edaran Kejaksaan Agung RI Nomor P.1 tanggal
30 Maret 1951 yang menjelaskan bahwa:
“Penjahat anak adalah mereka yang menurut hukum pidana melakukan perbuatan
yang dapat dihukum, belum berusia 16 tahun (pasal 45 KUHP). Jadi hanya anak
yang melakukan tindak pidana berdasarkan KUHP-lah yang diajukan ke depan
Sidang Anak.”
Sehubungan dengan masalah tindak pidana anak ini, maka dapat kita hubungkan
dengan apa yang disebut Juvenile Delequency yang dalam bahasa Indonesia belum
mendapatkan keseragaman penyebutannya seperti kenakalan anak, kenakalan
pemuda ataupun jalin quersi anak. Kartini Kartono mendefinisikan Juvenile
33
R.Soesilo dan Muljatno, Dekonstruksi Hukum Adat atas Hukum Positif, (Cet. I;
Yogyakarta: Rajawali Pers, 2008), h. 18 34
Marlina, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, h. 76
27
Delequency sebagai perilaku jahat/dursila atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda,
merupakan gejala sakit (patologi) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang
disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial sehingga mereka itu
mengembangkan bentuk pengabaian tingkah laku yang menyimpang.35
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa; juvenile delinquency adalah
tindakan atau perbuatan anak-anak usia muda yang bertentangan dengan norma atau
kaidah-kaidah hukum tertulis baik yang terdapat di dalam KUHP maupun
perundang-undangan di luar KUHP. Dapat pula terjadi perbuatan anak remaja
tersebut bersifat anti sosial yang menimbulkan keresahan masyarakat pada umumnya
akan tetapi tidak tergolong delik pidana umum maupun pidana khusus.36
Kemudian, mengenai pertanggung jawaban pidana mensyaratkan pelaku mampu
bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuat. Moeljatno berpendapat bahwa
untuk adanya kemampuan bertanggung jawab harus ada kemampuan untuk
membedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, sesuai hukum dan yang
melawan hukum, dan kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut
keinsyafan tentang baik dan buruknya suatu perbuatan. Syarat pertama adalah faktor
akal, yaitu dapat membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan tidak; syarat
yang kedua adalah faktor perasaan atau kehendak, yaitu dapat menyesuaikan tingkah
lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan atau tidak.37
Marlina menyatakan bahwa dengan terpenuhinya syarat-syarat adanya
pertanggungjawaban pidana kepada seorang anak yang telah melakukan tindak
pidana, hal ini berarti bahwa terhadap anak tersebut dapat dikenakan pemidanaan,
akan tetapi pemidanaan terhadap anak hendaknya haras memperhatikan
35
Kartono Kartini, Patalogis Sosial 2; Kenakalan Remaja, (Cet. VIII; Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2008), h. 6 36
Tholib Setiadi, Pokok-pokok hukum Panitensier Indonesia, (Bandung: Alfabeta,
2010), h. 179 37
Marlina, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, h. 70
28
perkembangan seorang anak.38
Hal ini disebabkan bahwa anak tidak dapat/kurang
berfikir dan kurangnya pertimbangan atas perbuatan yang dilakukannya. Pemberian
pertanggungjawaban pidana terhadap anak harus mempertimbangkan perkembangan
dan kepentingan terbaik bagi anak di masa akan datang. Penanganan yang salah
menyebabkan rusak bahkan musnahnya bangsa di masa depan, karena anak adalah
generasi penerus bangsa dan cita-cita bangsa.
Menurut Setya Wayhudi, penjatuhan sanksi kepada anak, dalam hal ini yang
perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:39
1) Apakah sanksi itu sungguh-sungguh mencegah terjadinya kejahatan;
2) apakah sanksi itu tidak berakibat timbulnya keadaan lebih meragikan atas
diri anak (stigmatisasi), dari apabila sanksi yang tidak dikenakan;
3) apakah tidak ada sanksi lain yang dapat mencegah secara efektif dengan
kerugian yang lebih kecil.
Kebijakan penjatuhan pidana terhadap anak yang berhadapan dengan hukum
menunjukan adanya kecenderungan bersifat meragikan perkembangan jiwa anak di
masa mendatang. Kecenderungan bersifat merugikan ini akibat keterlibatan anak
dalam proses peradilan pidana anak, dan dapat disebabkan akibat dari efek
penjatuhan pidana yang berupa stigma. Efek negatif bagi anak akibat keterlibatan
anak dalam proses peradilan pidana dapat berupa penderitaan fisik dan emosional
seperti ketakutan, kegelisahan, gangguan tidur, gangguan nafsu makan maupun
gangguan jiwa. Akibat semua ini maka anak menjadi gelisah, tegang, kehilangan
kontrol emosional, menangis, gemetaran, malu dan sebagainya. Terjadinya efek
negatif ini disebabkan oleh adanya proses peradilan pidana, baik sebelum
pelaksanaan sidang, saat pemeriksaan perkara, dan efek negatif keterlibatan anak
dalam pemeriksaan perkara pidana.
38
Marlina, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, h. 72 39
Setya Wahyudi, Implementasi Ide…, h. 53
29
b. Proses Peradilan Pidana Anak
Proses peradilan pidana merupakan penyelesaian perkara pidana yang dilakukan
didalam peradilan pidana. Tindak pidana merupakan tindakan melanggar hukum
pidana yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang
yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang
hukum pidana telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.
Jika anak melakukan tindak pidana, anak tersebut wajib mengikuti proses
peradilan pidana anak. Tahapan dalam proses peradilan anak yang melakukan tindak
pidana antara lain:
1) Penyidikan
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidikan dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang
dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi guna
menemukan tersangkanya.40
Penyidikan dilakukan oleh kepolisian bertujuan untuk
mengumpulkan bukti guna menemukan apakah suatu peristiwa yang terjadi
merupakan peristiwa pidana, dengan adanya penyidikan juga ditujukan untuk
menemukan pelakunya.
Penyidik yang bertugas dalam proses peradilan pidana anak harus memenuhi
syarat-syarat, meliputi:41
a. telah berpengalaman sebagai penyidik;
b. mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah Anak; dan
c. telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan Anak.
40
Pasal 1 ayat (2( Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 41
Pasal 26 ayat (3) UU SPPA
30
Adapun beberapa hal yang tidak boleh dilakukan polisi dalam melakukan
penyidikan terhadap anak, yaitu:42
a. Penyidik melakukan kekerasan dan tindakan tidak wajar terhapda anak
karena jika hal ini terjadi bisa menjadi trauma bagi anak.
b. Memberikan label buruk pada anak dengan menggunakan kata-kata yang
sifatnya memberikan label buruk seperti “pencuri”, „maling‟, „pembohong‟
dan lain sebagainya.
c. Penyidik kehilangan kesabaran sehingga menjadi emosi dalam melakukan
wawancara terhadap anak.
d. Penyidik tidak boleh menggunakan kekuatan badan atau fisik perlakuan kasar
lainnya yang dapat menimbulkan rasa permusuhan pada anak.
e. Membuat catatan atau mengetik setiap perkataan yang dikemukakan oleh
anak tetapi menggunakan alat perekam.
Dalam proses penyidikan, penyidik wajib memberikan perlindungan khusus bagi
anak yang diperiksa karena tindak pidana yang dilakukannya dalam situasi darurat
dan memperhatikan kepentingan terbaik bagi Anak dan mengusahakan suasana
kekeluargaan tetap terpelihara dalam penanganannya.43
Penyidik juga wajib meminta
pertimbangan atau saran dari Pembimbing Kemasyarakatan setelah tindak pidana
dilaporkan atau diadukan, dan apabila dianggap perlu, Penyidik dapat meminta
pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, psikolog, psikiater, tokoh agama,
Pekerja Sosial Profesional atau Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan tenaga ahli
lainnya.44
42
Marlina.,2012, Peradilan Pidana Anak di Indonesia Pengembang Konsep Diversi dan
Restorative Justice, PT Refika Aditama, h. 89-90 43
Pasal 17-18 UU SPPA 44
Pasal 27 UU SPPA
31
Dalam hal Anak belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga
melakukan tindak pidana, Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja
Sosial Profesional mengambil keputusan untuk:45
a. menyerahkannya kembali kepada orang tua/Wali; atau
b. mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan
pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang menangani
bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama
6 (enam) bulan.
Penyidik dalam proses penyidikan juga wajib mengupayakan Diversi. Diversi
adalah sebuah tindakan atau perlakuan untuk mengalihkan atau menempatkan pelaku
tindak pidana anak keluar dari sistem peradilan pidana. Prinsip utama pelaksanaan
konsep diversi yaitu tindakan persuasif atau pendekatan non penal dan memberikan
kesempatan kepada seseorang untuk memperbaiki kesalahan.46
Sebagaimana diatur
dalam Pasal 29 ayat (1) dan (2) UU SPPA, Diversi diupayakan dalam waktu paling
lama 7 (tujuh) hari setelah penyidikan dimulai dan dilaksanakan paling lama 30 (tiga
puluh) hari setelah dimulainya Diversi.
2) Penangkapan dan Penahanan
Dalam Pasal 30 UU SPPA disebutkan bahwa penangkapan terhadap anak dapat
dilakukan guna kepentingan penyidikan paling lama 24 (dua puluh empat) jam dan
anak yang ditangkap wajib ditempatkan dalam ruang pelayanan khusus anak.
Penangkapan terhadap anak juga wajib dilakukan secara manusiawi dengan
memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya.
Dalam hal penahanan, anak yang memperoleh jaminan dari orang tua/Wali
dan/atau lembaga bahwa Anak tidak akan melarikan diri, tidak akan menghilangkan
45
Pasal 21 ayat (1) dan (2) UU SPPA 46
http:// doktormarlina.htm, Marlina, Penerapan Konsep Diversi Terhadap Anak Pelaku
Tindak Pidana dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. Diakses pada 21/01/2018
32
atau merusak barang bukti, dan/atau tidak akan mengulangi tindak pidana,
penahanan terhadap anak tidak boleh dilakukan. Penahanan terhadap anak hanya
dapat dilakukan dengan syarat, bahwa:
a. anak telah berumur 14 (empat belas) tahun atau lebih; dan
b. diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh)
tahun atau lebih.47
3) Penuntutan
Menurut proses peradilan pidana, tahapan setelah penyidikan yaitu tahapan
penuntutan.48
Setelah menerima dan memeriksa berkas perkara, penuntut
berkewajiban mengadakan pra-penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidik
oleh pihak penyidik, dengan memberi petunjuk dan arahan apa saja yang harus
mendapat penyempurnaan berkas penyidikan dari penyidik.
Setelah berkas diterima dari penyidik telah sempurna selanjutnya penuntutan
harus membuat surat dakwaan. Setelah surat dakwaan diselesaikan dengan sempurna
seterusnya dilakukan pelimpahan perkara ke pengadilan, penuntut berkewajiban
menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu
perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun
kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan. Tugas selanjutnya
setelah waktu persidangan dimulai adalah melakukan penuntutan.49
Dalam pasal 41 UU SPPA menyebutkan bahwa penuntutan terhadap perkara
anak dilakukan oleh Penuntut Umum yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Jaksa
47
Pasal 32 ayat (1) dan (2) UU SPPA 48
Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke
pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-
undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputuskan oleh hakim di sidang
pengadilan. Lihat Pasal 1 butur 7 KUHAP.
49
KUHAP pasal 14 jo pasal 139 jo. pasal 143 ayat 1
33
Agung atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Jaksa Agung. Penuntut Umum dalam
peradilan anak juga harus memenuhi syarat-syarat yang meliputi:
a. telah berpengalaman sebagai penuntut umum;
b. mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah Anak; dan
c. telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan Anak.
c. Sanksi-Sanksi Terhadap Anak
Menurut Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak, terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dapat dijatuhkan pidana
yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Dengan menyimak pasal 71 ayat 1 dan
ayat 2 diatur pidana pokok dan tambahan terhadap anak yang berkonflik dengan
hukum, antara lain:
1) Pidana pokok, terdiri atas:
(a) pidana peringatan;
(b) pidana dengan syarat:
(1) pembinaan di luar lembaga;
(2) pelayanan masyarakat; atau
(3) pengawasan.
(c) pelatihan kerja;
(d) pembinaan dalam lembaga; dan
(e) penjara.
2) Pidana tambahan, terdiri atas:
(a) perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau
(b) pemenuhan kewajiban adat.
Disamping sanksi pidana, dikenal pula sanksi tindakan. Tindakan merupakan
penjatuhan sanksi tindakan terhadap seseorang yang terbukti secara sah dan
34
menyakinkan bersalah dengan tujuan memberikan pendidikan dan pembinaan serta
tindakan tertentu lainnya. Menurut Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak pasal 69 ayat 2 bahwa Anak yang belum berusia 14
(empat belas) tahun hanya dapat dikenai tindakan.
Sanksi tindakan yang dimaksud dapat dijatuhkan oleh hakim terhadap anak yang
berkonflik dengan hukum yang terbukti secarah sah bersalah, yaitu:50
(a) pengembalian kepada orang tua/Wali;
(b) penyerahan kepada seseorang;
(c) perawatan di rumah sakit jiwa;
(d) perawatan di LPKS;
(e) kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan
oleh pemerintah atau badan swasta;
(f) pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau
(g) perbaikan akibat tindak pidana.
Dalam hal penyerahan kepada seseorang yang dimaksud adalah penyerahan
kepada orang dewasa yang dinilai cakap, berkelakuan baik, dan bertanggung jawab,
oleh Hakim serta dipercaya oleh Anak dan ini dilakukan untuk kepentingan anak
yang bersangkutan.
E. Tinjauan Kajian Terdahulu
Untuk menghindari penelitian dengan objek yang sama, maka penulis meninjau
kajian terdahulu. Sebelum membuat skripsi ini penulis melakukan kajian pustaka
yang berupa judul-judul skripsi yang telah ada sebagai pembanding dari skripsi ini,
antara lain sebagai berikut:
50
Pasal 82 UU SPPA
35
1. Dalam penelitian skripsi yang dilakukan oleh Maman Abdul Rahman pada tahun
2014 yang berjudul “Pertanggung Jawaban Pidana Anak Menurut Hukum
Pidana Islam dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Anak" dijelaskan tentang pertanggung jawaban pidana atas tindak
pidana yang dilakukan anak-anak yang berlaku sebagaimana lazimnya pada
orang dewasa dalam perspektif hukum pidana positif atau yang dikenal dengan
istilah criminal responsibility, hanya saja tergolong kepada perilaku anak,
sehingga anak selaku pelaku pidana berkonflik dengan hukum.51
2. Dalam penelitian skripsi yang dilakukan oleh Farulrozi pada tahun 2012 yang
berjudul “Sanksi Pidana Bagi Anak-anak Yang Melakukan Tindak Pidana
Ditinjau Dari Hukum Pidana Positif dan Hukum Islam” dijelaskan tentang
tentang penjatuhan sanksi bagi anak-anak pelaku tindak pidana ditinjau dari
perspektif hukum pidana negara dan hukum pidana Islam.52
3. Dalam penelitian skripsi yang dilakukan oleh Yani Suryani pada tahun 2015
yang berjudul “Pemidanaan Anak di Indonesia Terhadap Pelaku Pencurian
Dalam Perspektif Hukum Islam” dijelaskan tentang pemberlakuan sanksi pidana
pada anak pelaku pencurian menurut hukum konvensional dan hukum Islam.53
51
Maman Abdul Rahman, “Pertanggung Jawaban Pidana Anak Menurut Hukum Pidana
Islam dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak." (Skripsi
S-1 Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014) 52
Farulrozi, “Sanksi Pidana Bagi Anak-anak Yang Melakukan Tindak Pidana Ditinjau
Dari Hukum Pidana Positif dan Hukum Islam”. (Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012) 53
Yani Suryani, “Pemidanaan Anak di Indonesia Terhadap Pelaku Pencurian Dalam
Perspektif Hukum Islam”. (Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2015)
36
BAB III
ASAS ULTIMUM REMEDIUM DALAM PEMIDANAAN
A. Teori-Teori Pemidanaan
Teori-teori pemidanaan berkembang mengikuti dinamika kehidupan masyarakat
sebagai reaksi dari timbul dan berkembangnya kejahatan itu sendiri yang senantiasa
mewarnai kehidupan sosial masyarakat dari masa ke masa. Dalam dunia ilmu hukum
pidana itu sendiri, berkembang beberapa teori tentang tujuan pemidanaan, yaitu teori
absolut (retributif), teori relatif (deterrence/utilitarian), teori penggabungan
(integratif), teori treatment dan teori perlindungan sosial (social defence). Teori-teori
pemidanaan mempertimbangkan berbagai aspek sasaran yang hendak dicapai di
dalam penjatuhan pidana.1
Beberapa teori yang berkaitan dengan tujuan pemidanaan adalah sebagai berikut:
1. Teori Absolut (Teori Retibutif)
Teori absolut (teori retributif), memandang bahwa pemidanaan merupakan
pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan, jadi berorientasi pada perbuatan
dan terletak pada kejahatan itu sendiri. Pemidanaan diberikan karena si pelaku harus
menerima sanksi itu demi kesalahannya. Menurut teori ini, dasar hukuman harus
dicari dari kejahatan itu sendiri, karena kejahatan itu telah menimbulkan penderitaan
bagi orang lain, sebagai imbalannya (vergelding) si pelaku harus diberi penderitaan.2
Setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana, tidak boleh tidak, tanpa tawar
menawar. Seseorang mendapat pidana oleh karena melakukan kejahatan. Tidak
1 Dwidja Priyanto, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, (Bandung : PT.
Rafika Aditama, 2009), h. 22. 2 Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009),
h. 105.
37
dilihat akibat-akibat apapun yang timbul dengan dijatuhkannya pidana, tidak peduli
apakah masyarakat mungkin akan dirugikan. Pembalasan sebagai alasan untuk
memidana suatu kejahatan.3 Penjatuhan pidana pada dasarnya penderitaan pada
penjahat dibenarkan karena penjahat telah membuat penderitaan bagi orang lain.4
Menurut Hegel bahwa, pidana merupakan keharusan logis sebagai konsekuensi dari
adanya kejahatan.5
Ciri pokok atau karakteristik teori retributif, yaitu:6
1) Tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan;
2) Pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung sarana-
sarana untuk tujuan lain misalnya untuk kesejahteraan masyarakat;
3) Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana;
4) Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar;
5) Pidana melihat ke belakang, ia merupakan pencelaan yang murni dan
tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau memasyarakatkan
kembali si pelanggar.
2. Teori Relatif
Teori relatif (deterrence), teori ini memandang pemidanaan bukan sebagai
pembalasan atas kesalahan si pelaku, tetapi sebagai sarana mencapai tujuan
bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan. Dari teori ini
muncul tujuan pemidanaan sebagai sarana pencegahan, yaitu pencegahan umum
yang ditujukan pada masyarakat. Berdasarkan teori ini, hukuman yang dijatuhkan
untuk melaksanakan maksud atau tujuan dari hukuman itu, yakni memperbaiki
3 Dwidja Priyanto, Sistem Pelaksanaan Pidana, h. 24
4 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana (Kajian
Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi), (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 90 5 Muladi dan Barda Nawawi, Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung : Alumni,
Bandung, 1992), h. 12 6 Karl O.Cristiansen sebagaimana dikutip oleh Dwidja Priyanto, h. 26.
38
ketidakpuasan masyarakat sebagai akibat kejahatan itu. Tujuan hukuman harus
dipandang secara ideal, selain dari itu, tujuan hukuman adalah untuk mencegah
(prevensi) kejahatan.7
Menurut Leonard, teori relatif pemidanaan bertujuan mencegah dan mengurangi
kejahatan. Pidana harus dimaksudkan untuk mengubah tingkah laku penjahat dan
orang lain yang berpotensi atau cederung melakukan kejahatan. Tujuan pidana
adalah tertib masyarakat, dan untuk menegakan tata tertib masyarakat itu diperlukan
pidana.8
Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada
orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan
tertentu yang bermanfaat. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya
sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Dasar pembenaran pidana
terletak pada tujuannya adalah untuk mengurangi frekuensi kejahatan. Pidana
dijatuhkan bukan karena orang membuat kejahatan, melainkan supaya orang jangan
melakukan kejahatan. Sehingga teori ini sering juga disebut teori tujuan (utilitarian
theory).9
Adapun ciri pokok atau karakteristik teori relatif (utilitarian), yaitu:10
1) Tujuan pidana adalah pencegahan (prevention) ;
2) Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai
tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat ;
3) Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si
pelaku saja (misal karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk
adanya pidana ;
7 Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana, h.106
8 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana, h.96-97
9 Dwidja Priyanto, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, h.26
10 Karl O.Cristiansen dalam Dwidja Priyanto, h. 26
39
4) Pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk pencegahan
kejahatan ;
5) Pidana melihat ke muka (bersifat prospektif), pidana dapat mengandung
unsur pencelaan, tetapi unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak
membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan
masyarakat.
3. Teori Gabungan
Teori gabungan (integratif) mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas
tertib pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu menjadi dasar
dari penjatuhan pidana. Pada dasarnya teori gabungan adalah gabungan teori absolut
dan teori relatif. Gabungan kedua teori itu mengajarkan bahwa penjatuhan hukuman
adalah untuk mempertahankan tata tertib hukum dalam masyarakat dan memperbaiki
pribadi si penjahat.11
Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu: 12
1) Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak
boleh melampaui batas dari apa yang pelu dan cukup untuk dapatnya
dipertahankannya tata tertib masyarakat;
2) Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat,
tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada
perbuatan yang dilakukan terpidana.
Teori relatif (deterrence), teori ini memandang pemidanaan bukan sebagai
pembalasan atas kesalahan si pelaku, tetapi sebagai sarana mencapai tujuan
bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan. Dari teori ini
11
Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana, h.107 12
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, (Jakarta : PT. Raja Grafindo, 2010), h. 162-
163.
40
muncul tujuan pemidanaan sebagai sarana pencegahan, yaitu pencegahan umum
yang ditujukan pada masyarakat. Berdasarkan teori ini, hukuman yang dijatuhkan
untuk melaksanakan maksud atau tujuan dari hukuman itu, yakni memperbaiki
ketidakpuasan masyarakat sebagai akibat kejahatan itu. Tujuan hukuman harus
dipandang secara ideal, selain dari itu, tujuan hukuman adalah untuk mencegah
(prevensi) kejahatan.13
Treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif. Aliran ini
beralaskan paham determinasi yang menyatakan bahwa orang tidak mempunyai
kehendak bebas dalam melakukan suatu perbuatan karena dipengaruhi oleh watak
pribadinya, faktor-faktor lingkungan maupun kemasyarakatannya.14
Dengan
demikian kejahatan merupakan manifestasi dari keadaan jiwa seorang yang
abnormal. Oleh karena itu si pelaku kejahatan tidak dapat dipersalahkan atas
perbuatannya dan tidak dapat dikenakan pidana, melainkan harus diberikan
perawatan (treatment) untuk rekonsialisasi pelaku.
B. Konsep Umum Tentang Ultimum Remedium
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara terkadang keamanan dan ketertiban
terganggu oleh oknum yang mencoba melakukan tindak kejahatan. Kejahatan
merupakan fenomena sosial yang bersifat relatif di mana banyak aspek yang
mempengaruhi, seperti aspek ekonomi, sosial, budaya dan lain-lainnya yang
senantiasa menimbulkan perasaan tidak aman dan ketakutan di dalam masyarakat.
Untuk menjaga agar keamanan dan ketertiban dalam masyarakat tetap terjaga
dari perilaku kriminal, hukum pidana dipandang sebagai solusi yang efektif dalam
menanggulangi masalah tersebut. Sanksi pidana merupakan wujud tanggung jawab
13
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana, h. 96-97 14
Muladi dan Barda Nawawi, Bunga Rampai Hukum Pidana, h. 12
41
negara untuk menjaga keamanan dan ketertiban serta upaya perlindungan hukum
bagi warganya. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari konsep pembentukan
sebuah negara yang menurut JJ. Rosseau, didasarkan pada perjanjian masyarakat.
Selanjutnya rakyat bersepakat mengadakan sebuah perjanjian luhur yang dituangkan
dalam sebuah hukum dasar berwujud konstitusi negara, beserta peraturan-peraturan
dibawahnya.
Salah satu kebijakan pidana yang digunakan Negara adalah pemberian sanksi
pidana melalui undang-undang. Namun dalam pelaksanaannya, penerapan sanksi
pidana dalam tiap peraturan sebagai „senjata utama‟ atau disebut juga primum
remedium sejatinya dapat mengakibatkan terlanggarnya hak-hak konstitusional
warga negara. Karena pada kenyataannya, sanksi pidana tidak dapat memulihkan
keadaan yang rusak oleh perbuatan pidana, juga tidak dapat memperbaiki perilaku
pelaku tindak pidana. Sejatinya penyelesaian suatu perkara harus memberikan
kontribusi keadilan bagi mereka yang berperkara, yaitu antara korban dan pelaku
tindak pidana.15
Mudzakir memandang hukum pidana dan Sistem Peradilan Pidana saat ini tidak
memberikan keadilan bagi masyarakat karena keadilan yang ditegakkan masih
bersifat pembalasan (Retributive Justice).16
Penyelesaian perkara pidana dengan
mempergunakan pendekatan represif sebagaimana dilaksanakan dalam Sistem
Peradilan Pidana, telah melahirkan keadilan retributif (Retributive Justice), yang
berorientasi pada pembalasan berupa pemidanaan dan pemenjaraan. Bahwa
pelaksanaan keadilan retributif dirasa kurang menghasilkan keadilan bagi semua
pihak terutama korban. Oleh sebab itu diperlukan adanya suatu upaya pembaharuan
hukum pidana, guna menyelesaikan persoalan tersebut.
15 Mansyur Kartayasa, Restorative Justice dan Prospeknya Dalam Kebijakan Legislasi,
Makalah disampaikan pada seminar Nasional Peran Hakim Dalam Meningkatkan
Profesionalisme Menuju Peradilan yang Agung, Diselenggarakan IKAHI dalam rangka
Ulang Tahun IKAHI ke-59, 25 April 2012, h.1-2. 16
Mudzakkir, Posisi Hukum Korban Kejahatan Dalam Sistem Peradilan Pidana,
Disertasi, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2001), h.180.
42
Kongres International Penal Reform Conference yang diselenggarakan di Royal
Holloway College, University of London, bahwa salah satu unsur kunci dari agenda
baru pembaharuan hukum pidana (the key elements of a new agenda for penal
reform) ialah perlunya memperkaya sistem peradilan formal dengan sistem atau
mekanisme informal dalam penyelesaian sengketa yang sesuai dengan standar-
standar hak asasi manusia (the need to enrich the formal judicial system with
informal, locally based, dispute resolution mechanisms which meet human rights
standards), dengan strategi pengembangan dalam melakukan pembaharuan hukum
pidana, antara lain:
1. Restorative justice;
2. Alternative dispute resolution;
3. Informal justice; dan
4. The role of civil society in penal reform.
Salah satu pembaharuan hukum yang diinginkan adalah penyelesaian perkara
pidana dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif. Adapun Tony F.
Marshall memberikan definisi Restorative Justice sebagai “is a process whereby
parties with a stake in a specific offence collectively resolve how to deal with the
aftermath of the offence and its implications for the future.” (suatu proses dimana
semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama
memecahkan masalah bagaimana menangani akibat di masa yang akan datang)”17
Menurut Stephenson, Giller, dan Brown salah satu bentuk Keadilan Restoratif,
yang mempunyai tujuan memperbaiki tindakan kejahatan dengan menyeimbangkan
kepentingan pelaku, korban, dan komunitas adalah Mediasi Penal (Victim-Offender
17
Apong Herlina, Restorative Justice, Jurnal Kriminologi Indonesia Vol.3 No.III
September 2004, h.19
43
Mediation).18
Pada umumnya di Indonesai kita mengenal Mediasi sebagai bentuk
pilihan penyelesaian sengketa (Alternative Dispute Resolution) dalam bidang hukum
perdata, yang mana mediasi diartikan sebagai suatu proses negoisasi pemecahan
masalah dimana pihak luar yang tidak memihak (imparsial) bekerja sama dengan
pihak-pihak yang bersengketa untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan
perjanjian yang memuaskan.19
Perkembangan hukum yang terjadi saat ini, memungkinkan bahwa mediasi tidak
hanya dapat diterapkan dalam ranah hukum perdata namun juga dapat dipergunakan
dalam hukum pidana. Mediasi dalam hukum pidana dikenal dengan mediasi penal.
Menurut DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, Mediasi Penal adalah “Penyelesaian
perkara pidana melalui musyawarah dengan bantuan mediator yang netral, dihadiri
korban dan pelaku beserta orang tua dan perwakilan masyarakat, dengan tujuan
pemulihan bagi korban, pelaku, dan lingkungan masyarakat.”20
Berdasarkan penjabaran diatas, pemberian sanksi pidana seyogyanya dijadikan
sebagai obat terakhir atau disebut juga ultimum remedium selama upaya lain dapat
dapat dilakukan demi kebaikan bersama. Mengutip pendapat dari H.G de Bunt dalam
bukunya strafrechtelijke handhaving van miliue recht, hukum pidana dapat menjadi
senjata utama (primum remidium) jika korban sangat besar, tersangka/terdakwa
merupakan recidivist, dan kerugian tidak dapat dipulihkan (irreparable)21
. Kemudian
disimpulkan oleh Remmelink, bahwa sangat jelas dan nyata sebagai sanksi yang
18
I Made Agus Mahendra Iswara, Mediasi Penal Penerapan Nilai-Nilai Restorative
Justice dalam Penyelesaian Tindak Pidana Adat Bali, Tesis, Program Pascasarjana Megister
Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2013, h. 3 19
Gary Gopaster, Negoisasi dan Mediasi: Sebuah Pedoman Negoisasi dan Penyelesaian
Sengketa Melalui Negosiasi, (Jakarta: Elips Projek, 1993), h. 201 20
DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, Mediasi Penal : Penerapan Restorative Justice
di Pengadilan Anak Indonesia, (Depok: Indie-Publishing, 2011), h. 86. 21
Romli Atmasasmita, Globalisasi dan Kejahatan Bisnis, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2010), Cet. I, h. 192
44
tajam, hukum pidana hanya akan dijatuhkan apabila mekanisme penegakan hukum
lainnya yang lebih ringan telah tiada berdaya guna atau tidak dipandang cocok22
.
Melihat beberapa pendapat ahli diatas mengenai penggunaan hukum pidana,
maka Syarat Hukum Pidana/Sanksi Pidana dapat dijadikan sebagai suatu primum
remedium yaitu:
1) apabila sangat dibutuhkan dan hukum yang lain tidak dapat digunakan
(mercenary);
2) Menimbulkan korban yang sangat banyak;
3) tersangka/terdakwa merupakan recidivist;
4) kerugiannya tidak dapat dipulihkan (irreparable);
5) apabila mekanisme penegakan hukum lainnya yang lebih ringan telah
tiada berdaya guna atau tidak dipandang.
Namun, meski beberapa ahli memberikan pandangan bahwa hukum pidana dapat
digunakan sebagai primum remedium dengan kriteria tertentu sebagaimana disebut
diatas, seharusnya hukum pidana ditempatkan sebagai senjata terakhir (ultimum
remedium) dalam pemidanaan, karena sejatinya hukum pidana merupakan hukum
yang paling keras diantara instrumen-instrumen hukum lain yang mengontrol tingkah
laku masyarakat. Selain itu, perlu dipahami bahwa penetapan sanksi pidana
seyogyanya dilakukan secara terukur dan berhati-hati, karena hal itu terkait dengan
kebijakan peniadaan kemerdekaan dari hak asasi manusia yang dilegalisasi oleh
undang-undang.
Sudikno Mertokusumo berpendapat, hukum yang berfungsi sebagai
perlindungan kepentingan manusia dalam penegakannya harus memperhatikan 3
(tiga) unsur fundamental hukum, antara lain: kepastian hukum (Rechtssicherheit),
22
Kumpulan Makalah Prof Edy O.S. Hiariej
45
kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan keadilan (Gerechtigkeit)23
. Oleh karenanya,
dalam menentukan pemberian sanksi pidana dalam suatu pemidanaan perlu
memperhatikan ketiga unsur fundamental hukum tersebut karena pada dasarnya
itulah yang menjadi tujuan dari hukum.
Hukum pidana dipandang sebagai ultimum remedium atau sebagai alat terakhir
apabila usaha-usaha lain tidak bisa dilakukan, ini disebabkan karena sifat pidana
yang menimbulkan nestapa, demikan Sudarto mengemukakan pada pelaku kejahatan,
sehingga sebisa mungkin dihindari penggunaan pidana sebagai sarana pencegah
kejahatan24
. Fungsi hukum pidana yang besifat subsidair tersebut juga sering disebut
dengan ultimum remedium atau sebagai obat terakhir, yaitu sebagai obat yang baru
akan digunakan manakala obat lain diluar hukum pidana sudah tidak dapat efektif
digunakan25
.
Van Bemmelen berpendapat bahwa yang membedakan antara hukum pidana
dengan bidang hukum lain adalah sanksi hukum pidana merupakan pemberian
ancaman penderitaan dengan sengaja dan sering juga pengenaan penderitaan, hal
mana dilakukan juga sekalipun tidak ada korban kejahatan. Perbedaan demikian
menjadi alasan untuk menggangap hukum pidana sebagai ultimum remedium, yaitu
usaha terakhir guna memperbaiki tingkah laku manusia, terutama penjahat, serta
memberikan tekanan psikologi agar orang lain tidak melakukan kejahatan. Penerapan
hukum pidana sedapat mungkin dibatasi oleh karena sanksinya yang bersifat
penderitaan, dengan kata lain penggunaanya dilakukan jika sanksi-sanksi hukum lain
tidak memadai lagi.26
23
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty,
2005), h. 160 24
H. Setiyono, Kejahatan Korporasi, (Malang: Bayumedia Publishing, 2005), h. 102 25
H. Setiyono, Kejahatan Korporasi, h. 26 26
PAF Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: PT Citra
Aditya Bakti,1997), h. 17
46
Sudikno Mertokusumo mengartikan bahwa ultimum remedium sebagai alat
terakhir27
. Istilah ultimum remidium diartikan dengan pemberian sanksi pidana yang
dipergunakan manakala sanksi-sanksi yang lain sudah tidak berdaya. Dengan
perkataan lain, dalam suatu undang-undang sanksi pidana dicantumkan sebagai
sanksi yang terakhir, setelah sanksi perdata, maupun sanksi administratif.28
Mekanisme ini dipergunakan agar selain memberikan kepastian hukum juga agar
proses hukum pidana yang cukup panjang dapat memberikan keadilan baik terhadap
korban maupun terhadap pelaku itu sendiri.
Dari penjelasan yang dijabarkan diatas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa
ultimum remedium merupakan istilah lumrah yang biasa dipakai atau dikaitkan
dengan hukum. Istilah ini menggambarkan suatu sifat hukum, yakni sebagai pilihan
atau alat terakhir yang dikenal baik dalam hukum pidana.
C. Ultimum Remedium dalam Hukum di Indonesia
Sejatinya, masalah sanksi menjadi isu penting dalam hukum pidana karena
dipandang sebagai pencerminan sebuah norma dan kaidah yang mengandung tata
nilai yang ada di dalam sebuah masyarakat. Adanya pengaturan dan penjatuhan
sanksi muncul akibat adanya reaksi dan kebutuhan masyarakat terhadap
pelanggaran/kejahatan yang terjadi. Untuk itu, Negara sebagai perwakilan dari
masyarakat menggunakan kewenangannya dalam mengatasi permasalahannya
melalui kebijakan pidana (criminal policy).
Salah satu kebijakan pidana yang digunakan Negara adalah pemberian sanksi
pidana melalui undang-undang. Namun dalam pelaksanaannya, penetapan sanksi
pidana melalui undang-undang di Indonesia sekarang ini lebih digunakan sebagai
27
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, h. 128 28
https://istilahhukum.wordpress.com/2013/02/06/ultimum-remedium/ diakses pada