15 BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN Bab ini, memuat gambaran hasil tinjauan kepustakaan yang dilakukan oleh Penulis, dan merupakan suatu usaha Penulis untuk mendeskripsikan suatu jawaban di tataran konsepsional terhadap rumusan masalah Penelitian dan Penulisan Karya Tulis Kesarjanaan ini. Adapun rumusan masalah dalam karya tulis ini perlu Penulis kemukakan kembali di sini, yaitu, bagaimana asas persamaan perlakuan di depan hukum yang berlaku di Indonesia dalam PBM dan dalam Putusan 41 serta 127 Mahkamah Agung yaitu dalam sengketa TUN antara Wakil Rumah Ibadat A Quo dengan Kepala Dinas? Di samping itu tinjauan kepustakaan ini disusun dalam rangka merumuskan suatu proyeksi teoritis sebelum dalam Bab III, proyeksi teoritis itu dipergunakan untuk melihat bagaimana pengejawantahan atau manifestasi asas hukum di atas satuan amatan penelitian atau hasil penelitian berupa PBM, dan putusan pengadilan, yaitu Putusan 41, dan Putusan 127. Langkah Penulis untuk mendeskripsikan tinjauan kepustakaan mengenai asas persamaan perlakuan di depan hukum ini dilakukan dengan menyusunnya ke
19
Embed
Asas Persamaan Perlakuan di Depan Hukum dalam Pendirian ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8356/3/T1_312010038_BAB II.pdf · supremasi hukum yaitu bahwa semua tindakan penguasa
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
15
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Bab ini, memuat gambaran hasil tinjauan kepustakaan yang dilakukan oleh
Penulis, dan merupakan suatu usaha Penulis untuk mendeskripsikan suatu
jawaban di tataran konsepsional terhadap rumusan masalah Penelitian dan
Penulisan Karya Tulis Kesarjanaan ini. Adapun rumusan masalah dalam karya
tulis ini perlu Penulis kemukakan kembali di sini, yaitu, bagaimana asas
persamaan perlakuan di depan hukum yang berlaku di Indonesia dalam PBM dan
dalam Putusan 41 serta 127 Mahkamah Agung yaitu dalam sengketa TUN antara
Wakil Rumah Ibadat A Quo dengan Kepala Dinas? Di samping itu tinjauan
kepustakaan ini disusun dalam rangka merumuskan suatu proyeksi teoritis
sebelum dalam Bab III, proyeksi teoritis itu dipergunakan untuk melihat
bagaimana pengejawantahan atau manifestasi asas hukum di atas satuan amatan
penelitian atau hasil penelitian berupa PBM, dan putusan pengadilan, yaitu
Putusan 41, dan Putusan 127.
Langkah Penulis untuk mendeskripsikan tinjauan kepustakaan mengenai
asas persamaan perlakuan di depan hukum ini dilakukan dengan menyusunnya ke
16
dalam beberapa sub bab. Sub bab pertama, adalah uraian kepustakaan mengenai
pengertian negara hukum (rule of law). Kedua, negara hukum (rechstaat) dan rule
of law. Ketiga, hakikat persamaan perlakuan di depan hukum. Keempat, fungsi
asas persamaan di hadapan hukum. Kelima, unsur-unsur persamaan perlakuan di
depan hukum. Keenam, arti penting asas persamaan di depan hukum. Ketujuh,
Pengertian judicial review. Kedelapan, kaitan judicial review dengan persamaan
perlakuan di depan hukum. Kesembilan, Bab tinjauan kepustakaan ini diakhiri
dengan arti penting studi kepustakaan atas asas persamaan perlakuan di depan
hukum.
2.1. Pengertian Negara Hukum (Rule of Law)
Hukum mendikte adanya suatu cita-cita negara hukum, yang mulai
memerlihatkan, atau mewujudkan diri secara lebih mencerahkan di abad ke XVII,
dan umumnya kebanyakan penulis berpandangan bahwa hal itu mulai muncul di
negara-negara Barat. Istilah negara hukum, yang di dalamnya mengandung
prinsip penting yang menjadi konsen penelitian dan penulisan karya tulis ilmiah
ini yaitu persamaan di hadapan hukum, baru mengemuka pada abad ke 19.
Pembicaraan mengenai negara hukum (rechtstaat) biasanya dimulai
dengan pengertian dua konsep, yaitu apa yang dimaksud dengan konsep “negara”
dan konsep “hukum”.1 Definisi istilah hukum ini berbeda-beda dari para ahli, dari
dulu sampai sekarang belum ada suatu definisi yang pasti mengenai hukum,
padahal hukum itu pasti. Pada umumnya yang dimaksudkan dengan hukum
adalah keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau kaedah-kaedah dalam
1 Dr. Khrisna Harahap, SH., MH., HAM dan Upaya Penegakannya di Indonesia, Grafiti Budi,
2003, Bandung, hlm., 22.
17
suatu kehidupn bersama, keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku
dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan
suatu sanksi.2
Begitu pula dengan negara, sulit untuk ditemukan definisi yang pasti.
Akan tetapi tidaklah menjadi suatu masalah bila orang tidak mengetahui suatu
definisi tersebut, yang diperlukan sebetulnya lebih kepada pengetahuan
mengetahui makna dan tujuan dari negara hukum tersebut. Sebab, pada
hakikatnya negara itu, dalam perspektif Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum
bukanlah suatu makhluk yang harus diartikan secara bertele-tele. Negara itu
adalah subyek hukum atau a party to contract, as simple as that!
Secara umum, tujuan negara antara lain, dari cirinya, untuk menjamin
adanya perlakuan yang sama di hadapan hukum atau equality before the law. Oleh
sebab itu, orang mengatakan bahwa negara hukum adalah suatu sistem kenegaraan
yang diatur berdasarkan hukum yang berlaku. Negara hukum itu berkeadilan,
tersusun dalam suatu konstitusi, dimana semua orang dalam negara itu, baik yang
diperintah maupun yang memerintah, harus tunduk kepada hukum yang sama.
Kembali, dalam hal ini terlihat manifestasi dari persamaan perlakuan di hadapan
hukum. Dalam negara hukum, hukum yang memegang komando tertinggi dalam
penyelenggaraan negara. Yang sesungguhnya memimpin dalam penyelenggaraan
negara adalah hukum itu sendiri sesuai dengan prinsip the rule of law and not of
man. Hukum itu nampak seolah-olah sebagai satu orang laki-laki perkasa (a
2 Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH., Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberty, 2002, Edisi
Keempat, Cetakan Ketiga, Yogyakarta, hlm., 40.
18
Man), Raja, King, dan dengan demikian agak sejalan dengan pengertian
(nomocratie), yaitu kekuasaan yang dijalankan oleh hukum, nomos.3
Memerhatikan uraian di atas, nampaknya hakikat dari negara hukum itu
sendiri berakar juga pada konsep kedaulatan hukum. Kedaulatan itu pada
prinsipnya suatu kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Seperti telah Penulis
kemukakan di atas, kekuasaan tertinggi dalam negara itu adalah hukum. Hukum
adalah Raja. Oleh sebab itu, seluruh alat perlengkapan negara hamba si Raja itu,
Hukum, apapun namanya termasuk warganegara harus tunduk dan patuh serta
menjunjung tinggi hukum tanpa kecuali. Krabe mengemukakan :
“negara sebagai pencipta dan penegak peraturan di dalam
segala kegiatannya harus tunduk pada hukum yang berlaku.
Dalam arti ini hukum membawahkan negara. Berdasarkan
pengertian, hukum itu menyumber kesadaran hukum rakyat, maka
hukum mempunyai wibawa yang tidak berkaitan dengan
seseorang”. 4
2.2. Negara Hukum (Rechstaat) dan Rule of Law
Di Eropa, konsep negara hukum di kenal dengan istilah rechtstaat, berasal
dari bahasa Belanda dan Jerman. Konsep rechtstaat atau “negara hukum”
merupakan lawan dari konsep machstaat atau “negara kekuasaan”. Sedangkan,
dalam sistem Anglo Saxon (English common law) dikenal istilah rule of law.
3 Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika,
2010, Edisi Kedua, Cetakan Pertama, Jakarta, hlm., 57.
4 B. Hestu Cipto Handoyo, SH., M.Hum., Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak Asasi
Manusia, Memahami Proses Konsolidasi Sistem Demokrasi di Indonesia, Dilengkapi dengan
Naskah Lengkap Amandemen UUD 1945, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2003, Edisi
Pertama, Cetakan Pertama, hlm.,12.
19
Konsep negara hukum sudah didambakan sejak sebelum Plato. Tetapi
Plato bahkan menulis bukunya berjudul “Nomoi”. Seperti juga Emanuel Kant,
Plato memaparkan prinsip-prinsip negara hukum secara formal. Prinsip-prinsip itu
kemudian oleh Julius Stahl terlihat sebagai suatu gagasan negara hukum yang
substantif. Menurut Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah
„rechtsstaat‟ itu mencakup empat elemen penting, yaitu: (1) Perlindungan hak
asasi manusia, (2) Pembagian kekuasaan, (3) Pemerintahan berdasarkan undang-
undang, (4) Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam konteks penelitian dan penulisan
skripsi ini dan uraian pustaka ini, apa yang dikemukakan oleh Stahl itu memang
sama sekali tidak menyebutkan persamaan perlakuan di hadapan hukum secara
tegas. Namun demikian, hal itu tidaklah harus diartikan bahwa Stahl tidak
mengakui adanya tuntutan persamaan perlakuan di hadapan hukum dalam konsep
negara hukum yang dikemukakan olehnya. Menurut Penulis, dengan adanya
pengakuan akan hak-hak asasi manusia, maka sejatinya ada pengakuan terhadap
prinsip persamaan perlakuan di hadapan hukum, dalam Stahl.
Selain penulis-penulis klasik di atas, yang lebih rechstaat katimbang rule
of law, Penulis yang relatif datang belakangan yaitu ahli hukum tata negara
Inggris (England) yang bermana A.V. Dicey, sekalipun tidak menyamakan antara
rule of law dan rechstaat, juga mengemukakan ada tiga arti penting dari negara
hukum yang disebut dengan istilah “the rule of law” yaitu: 5 supremacy of law,
equality before the law, dan due process of law. Hal ini sudah Penulis singgung di
dalam Bab Pendahuluan skripsi ini6. Kaitan dengan itu, “The International
5 Dr. Munir Fuady, SH., MH., LL.M., Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), Refika Aditama,
2009, Cetakan Pertama, Bandung, hlm., 5.
6 Lihat uraian yang sama di Bab I Skripsi ini, hlm., 7, Supra.
20
Commission of Jurists” mengurai unsur-unsur negara hukum yang terdiri dari:
prinsip bahwa negara harus tunduk pada hukum, pemerintah menghormati hak-
hak individu dan peradilan yang bebas dan tidak memihak.
Meskipun konsep negara hukum di berbagai negara seperti telah
dikemukakan di atas adalah berbeda, yaitu sesuai dengan sistem dan latar
belakang sejarah kelahirannya, namun pada dasarnya mempunyai ide atau cita-
cita untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia,7 dan seperti
telah Penulis kemukakan di atas, kaitannya dengan mencari jawaban atas
pertanyaan rumusan masalah penelitian dan penulisan karya tulis ilmiah ini,
bahwa baik rule of law maupun rechstaat, kedua-duanya mengakui akan adanya
persamaan kedudukan di hadapan hukum (equality before the law), karena tekad
pada penghormatan atas hak-hak asasi manusia (human rights). Selain itu, dalam
konsep negara hukum atau rule of law sejak kelahirannya dimaksudkan sebagai
usaha untuk membatasi kekuasaan penguasa negara agar tidak terjadi
penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) atau tindakan penguasa negara yang
sewenang-wenang kepada rakyatnya.8 Pembatasan itu dengan jalan adanya
supremasi hukum yaitu bahwa semua tindakan penguasa tidak boleh semau-
maunya, tetapi harus berdasarkan dan berakar pada hukum (Krabbe), menurut
ketentuan hukum dan undang-undang yang berlaku dan untuk itu juga harus ada
pembagian kekuatan negara (Locke, Montesquieu), khususnya kekuasaan
yudikatif harus dipisahkan dari raja (penguasa). Semua itu bertujuan untuk
7 Prof. A. Mukthie Fadjar. S.H., M.S., Tipe Negara Hukum, Bayumedia Publising, 2005, Cetakan
ke-2, Malang, hlm., 22.
8 Dr. Munir Fuady, SH., MH., LL.M., Op.Cit., hlm., 2.
21
menjamin dan melindungi hak-hak rakyat dan membawa kesejahteraan umum9
sesuai dikte Hukum.
Hal itu berarti dalam suatu negara hukum, semua orang harus tunduk
kepada hukum secara sama, yakni tunduk kepada hukum yang selalu adil.
Pembatasan kekuasaan negara dalam suatu negara hukum bertujuan agar hak-hak
rakyat tidak dilanggar oleh pemerintah. Dapat dikatakan juga ada hak-hak rakyat
yang tidak dapat dicampuri oleh negara, hak-hak rakyat ini disebut dengan hak-
hak asasi manusia, atau sering juga disebut dengan non derogable rights. Negara
tidak dapat mengurus hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak tersebut kecuali,
wajib menjamin agar hak-hak tersebut tidak dilanggar baik oleh perseorangan
maupun negara. Salah satu diantara hak tersebut adalah kebebasan beragama.
Pemerintah tidak dapat memaksakan sesuatu warganya untuk memeluk sesuatu
agama yang tertentu. Pemerintah tidak dapat mencampuri dalam hal pemilihan
agama. Kekuasaan untuk itu hanya terletak pada pribadi manusia itu sendiri.
Inilah yang dikatakan tentang pembatasan kekuasaan negara dan hak individu
untuk mempunyai suasana pribadi.10
Elemen-elemen yang penting dari sebuah negara hukum, yang merupakan
ciri khas dan merupakan syarat mutlak, adalah: asas pengakuan dan perlindungan
hak-hak asasi manusia, asas legalitas, asas pembagian kekuasaan negara, asas
peradilan yang bebas dan tidak memihak, asas kedaulatan rakyat, asas demokrasi,
dan asas konstitusional.11
9 Prof. A. Mukthie Fadjar, S.H., M.S., Op. Cit., hlm., 19.
10
Prof. Mr. Dr. Sudargo Gautama, Pengertian tentang Negara Hukum, Cetakan ke-3, 1983,
Alumni, Bandung, hlm., 4.
11
Prof. A. Mukthie Fadjar, S.H., M.S., Op.Cit., hlm., 43.
22
2.3. Hakikat Persamaan Perlakuan di Hadapan Hukum, Suatu kontrak
Asas atau prinsip hukum bukanlah berarti bukan peraturan hukum
konkrit12
, termasuk merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan
latar belakang dari peraturan yang konkrit yang terdapat dalam dan di belakang
setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan
putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan
mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkrit tersebut.13
Pandangan seperti itu menegaskan bahwa kalau asas hukum seperti
persamaan perlakuan di hadapan hukum itu adalah suatu kaedah, maka dengan
demikian asas persamaan perlakuan di hadapan hukum hakikatnya adalah suatu
kontrak. Sebagai suatu kontrak, asas hukum mempunyai dua fungsi yaitu fungsi
dalam hukum dan fungsi dalam ilmu hukum.14
Dalam Skripsi ini, apa yang
Penulis maksudkan dengan kontrak adalah:
“Segenap kewajiban bagi setiap orang berjanji atau bersepakat
dengan orang lain untuk memberikan, atau berbuat atau tidak
berbuat sesuatu terhadap atau untuk orang lain tersebut, atau
berkenaan dengan segenap kewajiban yang dituntut oleh hukum
kepada setiap orang untuk memberikan atau berbuat atau tidak
12
Dalam Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum, Jeferson Kameo SH., LL.M., Ph.D., meminta
perhatian untuk memeriksa hasil penelitian individuilnya yang tidak dipublikasikan bahwa pada
prinsipnya asas hukum itu kaedah. Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.
536K/Pid/2005. Menurut keputusan tersebut, suatu konsep justru tidak memunyai kekuatan hukum
mengikat. Melanggar konsep bukan melanggar hukum, namun melanggar asas hukum adalah
melanggar hukum. Hal ini berarti asas hukum itu kaedah hukum konkret. Lihat Buku tersebut,
hlm., 5.
13
Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH., Op.Cit., hlm., 34.
14
Ibid, hlm., 36.
23
berbuat sesuatu terhadap atau untuk orang lain apabila keadilan
menghendaki meskipun tidak diperjanjikan sebelumnya”15
.
Sebagai suatu kontrak, pengakuan asas persamaan kedudukan di dalam
hukum itu, seperti telah Penulis kemukakan di atas sudah dimulai dari
perumusannya di dalam Konstitusi Negara. Oleh sebab itu, apabila dikaitkan
dengan pengertian kontrak yang baru saja Penulis kemukakan di atas tersebut,
maka asas persamaan kedudukan di hadapan hukum itu merupakan suatu
perikatan (an obligation) dalam sistem kewajiban sebagai suatu dikte hukum. Hal
itulah yang mendorong Penulis berpendapat bahwa asas persamaan kedudukan di
hadapan hukum itu sejatinya adalah satu strand, atau satu untaian benang dalam
tenunan satu untaian kain (fabrik). Apabila helai benang (strand) itu dicabut
keluar dari untaian pada helai kain itu maka lama kelamaan kain (fabrik) itu akan
menadi rusak tercerai berai. Demikianlah rasionalisasi yang dapat dikonstruksi
Penulis, suatu rasio legis dalam rangka memertanggungjawabkan apa pendirian
Penulis bahwa pada hakikatnya asas persamaan perlakuan di hadapan hukum
(equality before the Law) itu adalah suatu kontrak.
Mengingat asas persamaan di hadapan hukum itu adalah suatu asas, maka
ada di dalam kepustakaan pendapat bahwa asas hukum dibagi juga menjadi asas
hukum umum dan asas hukum khusus.16
Asas atau prinsip persamaan perlakuan di
depan hukum merupakan prinsip yang berlaku universal. Penulis seperti P.
Scholten berpandangan bahwa asas hukum umum ialah asas yang berhubungan
15
Lihat definisi kontrak itu dalam Jeferson Kameo SH., LL.M., Ph.D, Kontrak Sebagai Nama Ilmu
Hukum, Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, hlm., 2.
16
Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH., Op.Cit., hlm., 36.
24
dengan seluruh bidang hukum.17
Prinsip persamaan perlakuan di depan hukum
menghendaki adanya keadilan dalam arti setiap orang adalah sama di depan
hukum (equality before the law), setiap orang harus diperlakukan sama.18
Dalam sebuah negara hukum prinsip ini merupakan salah satu elemen
yang sangat penting. Seperti telah Penulis kemukakan di atas, sebagaimana
dikemukakan oleh A.V. Dicey yaitu equality before the law. Prinsip ini
merupakan prinsip hak asasi manusia (human rights). Hak asasi manusia (HAM)
yang dimaknai sebagai seperangkat hak yang dimiliki manusia semata-mata
karena dirinya manusia (rights that all human beings everywhere have or should
have equally and in equal measure by virtue of their humanity).19
Hak ini bersifat
inheren atau melekat pada diri manusia. Equality before the law menurut
pengertian Dicey, dalam suatu negara menuntut agar baik kedudukan warga
negara demikian pula pejabat pemerintah adalah sama dan tidak ada bedanya di
muka hukum.
2.4. Fungsi Asas Persamaan Perlakuan di Hadapan Hukum
Kalaupun ada perbedaan, hanyalah fungsinya. Pemerintah berfungsi untuk
mengatur. Sedangkan rakyat, diatur. Baik yang mengatur maupun yang diatur
mempunyai pedoman yang sama yaitu Hukum. Keduanya harus sama-sama
melaksanakan dan tidak boleh melanggarnya. Siapa saja yang melanggar hukum
17
Ibid.
18
Ibid, hlm., 37.
19
Titon Slamet Kurnia, S.H., M.H., Konsep Negara Berbasis Hak Sebagai Argumen Justifikasi
Pengujian Konstitusionalitas Undang-Undang, Jurnal Konstitusi, Vol.9, No.3, September 2012,
hlm., 564.
25
akan memperoleh sanksi.20
Dalam negara hukum, pemerintah tidak boleh
mengistimewakan orang atau kelompok orang tertentu, atau mendiskriminasikan
orang atau kelompok orang tertentu. Dengan adanya persamaan kedudukan setiap
orang dalam hukum dan pemerintahan, segala sikap dan tindakan diskriminatif
dalam segala bentuk dan manifestasinya diakui sebagai sikap dan tindakan yang
terlarang tidak terkecuali tindakan-tindakan yang bersifat khusus dan sementara
yang dinamakan „affirmative actions’ guna mendorong dan mempercepat
kelompok masyarakat tertentu atau kelompok warga masyarakat tertentu untuk
mengejar kemajuan sehingga mencapai tingkat perkembangan yang sama dan
setara dengan kelompok masyarakat kebanyakan yang sudah jauh lebih maju.21
Menurut Dicey, persamaan di hadapan hukum (equality before the law)
dari semua golongan kepada ordinary law of the land yang dilaksanakan oleh
ordinary court. Ini berarti bahwa tidak ada orang yang berada di atas hukum, baik
pejabat maupun warganegara biasa berkewajiban menaati hukum yang sama.22
Inilah dasar perbedaan antara Dicey dan penulis-penulis Eropa Kontinetal yang
memungkinkan perlakuan yang berbeda kepada Pejabat TUN, misalnya di
Indonesia, untuk diadili di pengadilan administrasi atau PTUN, apabila diduga
melakukan penerbitan keputusan TUN yang diduga melawan hukum.
Asas perlakuan yang sama dalam hukum menjadi dasar dari semua
peraturan perundang-undangan. Sesuatu yang dianggap penting oleh keseluruhan
20 Dr. Khrisna Harahap, SH., MH., HAM dan Upaya Penegakannya di Indonesia, Grafitri Budi
Utami, 2003, Bandung, hlm., 39.
21
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie,S.H., Op.Cit., hlm., 128.
22
Iriyanto A.Baso Ence, Negara Hukum dan Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi,
Alumni, 2008, Cetakan Pertama, Bandung, hlm., 41.
26
pihak yang terkait, harus sedapat mungkin diatur bersama-sama dengan para
pihak yang bersangkutan, melalui waki-wakilnya, sejauh materinya
memungkinkan untuk itu, dengan cara yang sama bagi para pihak tersebut.
Peraturan tidak boleh ditunjukan kepada suatu kelompok tertentu. Di dalam suatu
peraturan tidak boleh adanya pembedaan. Efek suatu peraturan tidak boleh
menimbulkan ketidaksamaan (diskriminasi), dan antara suatu peraturan dengan
peraturan lainnya tidak boleh timbul ketidaksamaan (kontradiksi). Tidak boleh
adanya peraturan perundang-undangan yang ditunjukkan kepada sekelompok
orang tertentu, karena hal ini akan mengakibatkan adanya ketidaksamaan dan
kesewenang-wenangan di depan hukum.23
Asas persamaan perlakuan di depan
hukum dan pemerintahan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan tidak boleh berisi hak-hak yang bersifat membedakan
berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender atau
status sosial.24
Ini yang berarti persamaan hak. Jika asas ini dikaitkan dengan
fungsi peradilan, berarti setiap orang yang datang berhadapan di sidang peradilan
adalah “sama hak dan kedudukannya” dengan kata lain sama hak dan kedudukan
di hadapan hukum.
Lawan dari asas ini adalah diskriminasi yaitu membedakan hak dan
kedudukan orang di depan sidang pengadilan. Diskriminasi normatif dan
diskriminasi kategoris (menurut status sosial, ras, agama, suku, jenis kelamin dan
budaya).
23
Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik, Rajawali Pers,