ASAS-ASAS PERLINDUNGAN NASABAH DEBITURlibrary.usu.ac.id/download/fh/07000689.pdfbank untuk mengambil manfaat dari keawaman nasabah. Disamping itu, resiko yang dihadapi para nasabah
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PRINSIP-PRINSIP PERLINDUNGAN NASABAH DEBITUR BERDASARKAN SISTEM PERBANKAN SYARIAH
PRINSIP-PRINSIP PERLINDUNGAN NASABAH DEBITUR BERDASARKAN SISTEM PERBANKAN SYARIAH
Oleh: Mulhadi,SH.,M.Hum1
1. Latar Belakang Masalah
Sejak dilaksanakannya deregulasi sektor perbankan oleh pemerintah pada tanggal
1 Juli 1983, terutama setelah dikeluarkannya Paket Oktober 1988 (Pakto`88)2, industri
perbankan Indonesia mengalami perkembangan pesat. Bank-bank baru bermunculan dan
bank-bank yang sudah mapan bebas membuka kantor-kantor.
Perkembangan industri perbankan setelah Pakto`88 sangat menggembirakan dan
positif. Namun disisi lain, dari sudut nasabah, telah menimbulkan kebingungan akibat
meningkatnya aneka ragam produk perbankan, juga meningkatnya praktek terselubung dari
bank untuk mengambil manfaat dari keawaman nasabah. Disamping itu, resiko yang
dihadapi para nasabah semakin meningkat karena tidak tersedianya informasi yang cukup
tentang kesehatan bank yang terbuka untuk umum.
Perkembangan pesat di industri perbankan tidak diimbangi dengan tersedianya
perangkat perlindungan bagi nasabah, khususnya nasabah debitur. Dalam perjanjian kredit
1 Penulis adalah Staf Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU), Medan. 2 Diantara materi yang diatur oleh Pakto`88 adalah: 1) Pendirian bank umum dan bank pembangunan swasta dibebaskan dengan syarat mempunyai modal setor hanya sebesar 50 Milyar rupiah; 2) Seluruh bank-bank nasional dapat membuka kantor cabangnya di seluruh wilayah Indonesia asalkan memenuhi persyaratan 24 bulan terakhir tergolong sehat; 3) Perluasan kesempatan mendirikan BPR dan memperluas kewenangannya; 4) Mempermudah pengakuan atau pemberian status kepada bank sebagai bank devisa; 5) Mempermudah bank asing untuk membuka cabang-cabangnya di lima kota besar, yaitu Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan dan Ujung Pandang; dan 6) Mempermudah pendirian bank campuran di lima kota besar tersebut. Periksa: Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern, (Bandung : PT.Citra Aditya Bhakti, 1996), hal.29
debitur. Oleh karena itu, melalui tulisan ini dicoba mengungkap asas-asas perlindungan bagi
nasabah debitur dengan cara menelaah ketentuan-ketentuan perbankan syariah. Ini penting
artinya dalam rangka memberi solusi alternatif bagi nasabah debitur untuk mendapatkan
perlindungan dan rasa aman yang selama ini tidak diperoleh dari sistem perbankan
konvensional.
2. Konsep Hubungan Ekonomi/Perniagaan Berdasarkan Syariah Islam
Konsep dasar dari sistem keuangan dan perbankan syariah adalah ketentuan
syariah, yaitu hukum-hukum syariah yang bersumber pada Al-Quran dan Hadits Rasulullah
SAW. Konsep ini merupakan bagian dari konsep yang lebih luas tentang ekonomi dan
perniagaan Islam, dimana tujuannya untuk memperkenalkan sistem dan nilai etika Islam ke
dalam lingkungan ekonomi. Karena dasar-dasar etika inilah maka sistem keuangan dan
perbankan Islam bagi kebanyakan muslim bukan sekedar sistem transaksi komersial,
melainkan juga pada persepsi bahwa lembaga tersebut secara sungguh-sungguh
memperhatikan restriksi-restriksi agamis yang digariskan oleh Islam.4
Konsep dasar perbankan syariah bertolak belakang dengan nilai-nilai dasar
sistem ekonomi kapitalis dan sosialis (marxisme), karena konsep perbankan syariah
memiliki asas filsafat Tauhid. Tauhid memiliki konteks etika yang menunjuk pada integrasi
antara aspek-aspek spritual dan temporal dalam eksistensi manusiawi. Sedangkan etika
merupakan hal terpenting dalam sistem muamalah Islam. Diantara dua sifat tersebut, yang
pertama jelas menjadi prasyarat bagi yang kedua, tetapi juga akan menjadi tidak tulus dan
4 Zainul Arifin, Mekanisme Kerja Perbankan Islam dan Permasalahannya, Jurnal Hukum Bisnis, Volume II, (Jakarta: Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, 2000), hal. 44
tidak akan menjadi keimanan sejati tanpa yang kedua. Tauhid bukanlah seskedar tujuan
(obyek), tetapi pedoman bagi proses dinamis, suatu hal yang sangat relevan bagi ilmu
ekonomi saat ini.5
Menurut Saefuddin, ada tiga nilai-nilai dasar ekonomi yang berfalsafah Tauhid,
yaitu:
1. Kepemilikan (ownership);
2. Keseimbangan (equilibrium); dan
3. Keadilan (justice)6
Ketiga nilai dasar ekonomi syariah di atas merupakan kesatuan nilai yang tidak
dapat dipisahkan. Nilai-nilai dasar itu merupakan pangkal bertolak untuk mengungkap
prinsip-prinsip (asas-asas) instrumental ekonomi syariah.
Menurut Arifin,7 ada beberapa prinsip yang sekarang dijadikan sebagai prinsip
utama perbankan syariah. Pertama, larangan riba dalam berbagai bentuk atau transaksi.
Kedua, menjalankan bisnis dan aktivitas perdagangan yang berbasis pada memperoleh
keuntungan yang sah menurut syariah. Ketiga, penyucian harta (berbagi kesejahteraan
kepada golongan lemah, penulis) yang diperoleh dari keuntungan bisnis yang dijalankan
dalam bentuk zakat.
5 Muhammad, Lembaga-lembaga Keuangan Umat Kontemporer, (Yogyakarta: Penerbit UII Press, 2000), hal. 22 6 Ibid. 7 Zainul Arifin, Problem Hukum atas Kelembagaan dan Operasional Bank Syariah di Indonesia, Makalah Seminar Prospek Bank Syariah sebagai Sistem Perbankan Alternatif dalam Menyongsong Era Persaingan Bebas di Indonesia, FH UI, Jakarta, 30 November 1999, hal. 2
Sedangkan Sya`dullah,8 dalam tulisannya berjudul “Prospek Sistem Bank
Syariah di Indonesia”, mengatakan bahwa sistem bank syariah disusun berdasarkan asas-
asas:
a. Dalam melakukan aktivitas ekonomi dan keuangan sesama manusia tidak boleh memakan atau melakukan intervensi ekonomi-keuangan yang bertentangan dengan ketentuan Allah (Q.S. 2:188);
b. Dalam hukum Islam, beban bunga yang harus dibayar dalam rangka pinjam-meminjam uang adalah haram (Q.S.2:275-279; Q.S.30:39);
c. Sistem perbankan Islam dalam operasinya harus menghilangkan elemen-elemen yang bersifat eksploitatif/penganiayaan;
d. Dalam menjalankan usaha agar senantiasa berpanduan pada prinsip keadilan yang sejak awal disetujui kedua belah pihak (Q.S. 2:275 dan Q.S. 4:29); dan
e. Hendaknya menjauhi untuk membiayai kegiatan yang tidak sejalan dengan syariah,
seperti membangun tempat perjudian, minum minuman keras, dan lain-lain.
Pelaksanaan prinsip ekonomi atau perbankan syariah harus pula diwarnai dengan
akhlak (etika) Islam. Etika bisnis Islam mengajarkan bahwa di dalam melaksanakan prinsip
ekonomi atau perbankan syariah, pelaku bisnis hendaknya memperhatikan beberapa hal
berikut ini:
a. Meyakini bahwa dirinya adalah khalifah, fungsionaris Allah di bidang ekonomi-perbankan (QS.al Baqarah: 30 dan QS. Al An`am: 165);
b. Melaksanakan profesinya karena Allah, dan semata-mata untuk mendapatkan keridhaan Allah (QS.al An`am: 162 dan QS. Adzdzariyat: 56);
c. Wajib berlaku adil dadlam ucapan, hubungan dengan Khaliknya, dan hubungan dengan sesama manusia (QS. Al Araf: 29, Asy Syu`raa: 5, dan an-Nahl: 90);
d. Selalu memegang amanat (QS.al Baqarah:283, dan al Mu`minun: 8); serta
8 Makmun Sya`dullah, Prospek Sistem Bank Syariah di Indonesia, Jurnal Bank dan Manajemen,, Edisi September/Oktober 1988, hal.25
e. Melaksanakan profesinya berlandaskan keimanan agar jangan digolongkan kepada orang-orang merugi (QS. al Ashr).9
Dengan demikian, kesatupaduan antara nilai-nilai ekonomi-perbankan dengan
nilai-nilai etika akan melahirkan konsep ekonomi-perbankan yang berkharakter religius,
humanis, dan bermoral, yakni ilmu ekonomi-perbankan yang mampu menjaga keselamatan
seluruh manusia dan alam semesta, memiliki nilai-nilai kebenaran (logic), kebaikan (ethic),
dan keindahan (aesthetic), membebaskan diri dari penindasan, penekanan, kemiskinan,
kemelaratan, dan segala bentuk keterbelakangan serta dapat meluruskan aksi ekonomi-
perbankan dari kharakter yang tidak manusiawi, kepada ekonomi-perbankan yang
berkeadilan dan melenyapkan ketimpangan.10
Konsep hubungan ekonomi-perbankan dikembangkan dari konsep hubungan
ekonomi/perniagaan Islam pada umumnya yang pada asasnya ditentukan oleh hubungan
akad (perjanjian). Jenis-jenis akad utama yang mungkin bisa dikembangkan lebih khusus
tergambar pada ragaan dibawah ini:
Pertukaran/ Jual Beli
Titipan Syarikah/ Kerjasama dan
Bagi Hasil
Memberi Kepercayaan
Memberi Izin
Jenis-jenis Akad
9 Muhammad Djumhana, Rahasia Bank, Ketentuan dan Penerapannya di Indonesia, (Bandung: PT.Citra Aditya Bhakti, 1994), hal.49 10 Muhammad, Lembaga-lembaga Keuangan Umat Kontemporer, Op.Cit.,hal.114
dilarang dalam Islam. Hal ini sejalan dengan pendapat Daphne dalam bukunnya “Islamic
Banking an Overview”, antara lain berbunyi: “interest is also a factor which prevents a fair
interaction between the financier and his client...He knows that he will get his interest
irrespective of the success of the project. If the project fails, the client still has to pay both
the principal and interest, which is clearly unfair. A part from exploitation, another reason
for prohibiting interest is to increase production”.11
Sebelum masa kerasulannya, Muhammad meski tidak memiliki uang untuk
berbisnis sendiri tetapi ia banyak menerima modal dari para janda kota Mekkah dan anak-
anak yatim yang tidak sanggup menjalankan sendiri dana mereka berdasarkan kerjasama
(kemitraan), baik dengan upah maupun berdasarkan persetujuan bagi hasil.
Setelah menikah dengan Khadijah, Nabi Muhammad tetap melangsungkan usaha
perniagaan seperti biasa, namun ketika itu Nabi bertindak sebagai manajer sekaligus mitra
dalam usaha istrinya.12
Penerapan prinsip bagi hasil pada masa kerasulan Nabi Muhammad SAW yang
menonjol dan dijadikan sebagai basis hingga saat ini oleh bank-bank syariah adalah ketika
tanah-tanah Khaibar diserahkan pengelolaannya kepada kaum Yahudi. Keterangan tersebut
dijumpai dalam beberapa hadits Rasulullah, yang artinya sebagai berikut:
11 Daphne Buckmaster, Islamic Banking an Overview, (London-UK: The Institute of Islamic Banking and Insurance, 1986), hal.168 12 M.H. Al Hamid Al Husaini, Riwayat Kehidupan Nabi Muhammad SAW, (Jakarta: Yayasan Al Hamidy,1995), hal.235
“Bahwa Rasulullah SAW pernah memberikan tanah Khaibar kepada penduduknya
(orang Yahudi) untuk digarap dengan imbalan pembagian hasil buah-buahan dan
tanaman daripadanya”.13
“Bahwa Rasulullah mempekerjakan penduduk Khaibar dengan memungut sebagian dari
hasil buah-buahan dan tanaman”.14
b. Prinsip itikad baik (good faith)
Itikad baik (good faith) atau kehendak yang bersih dalam sistem perbankan
syariah ialah kreditur dan debitur dalam melakukan transaksinya harus sama-sama memiliki
kehendak yang jauh dari tujuan-tujuan jahat.15 Keduanya harus membinan hubungan secara
timbal balik dan saling menguntungkan dalam memenuhi kebutuhannya masing-masing.
Dasar berpijak yang bisa dikemukakan dalam kaitan ini adalah al Quran surat al
`Araf ayat 33, yang artinya: “Katakanlah hai Muhammad Tuhanku hanyalah mengharamkan
perbuatan yang keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, perbuatan dosa, dan
melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar”.
Sebagai pengejawantahan dari firman Allah SWT di atas ditegaskan bahwa niat
merupakan titik awal bagi pelaksanaan perbuatan dan sekaligus menjadi ukuran baik
buruknya perbuatan itu. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Sesungguhnya pekerjaan itu
dengan niat, dan setiap sesuatu tergantung kepada niatnya” (H.R.Bukhari).
13 Syarah Bukhari; Ibnu Hajar, Syirkah al Maktabah Mudhidofa al Baby al Huddaby, (Mesir: Tanpa Penerbit, 1959), hal.37 14 Ibid. 15 Abdul Rachim, Hubungan Kreditur dan Debitur pada Masa Rasulullah dan Sahabat, Jurnal UNISIA, 1991, hal.46
yang artinya:”...dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan taqwa,
dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran...”
f. Prinsip persaudaraan dan tolong-menolong
Islam melarang pengumpulan atau menyimpan harta semata-mata untuk
kepentingan sendiri. Karena keadaan demikian akan menghambat perkembangan ekonomi
dan seterusnya menyebabkan keadaan sosial menjadi tidak seimbang.
“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Hart yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak dilehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan yang ada di langit dan di bumi. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Q.S. Ali Imran : 180).
Ayat di atas merupakan ancaman bagi mereka yang kikir dan tidak mau
menafkahkan hartanya pada kebaikan (kemaslahatan). Ayat di atas juga merupakan perintah
bagi umat manusia untuk saling tolong menolong diantara sesama, karena dari sudut
pandang ekonomi Islam, tolong-menolong itu dapat meringankan beban yang satu terhadap
yang lain, antara pemilik modal dengan pengusaha yang membutuhkan dana untuk
menjalankan roda bisnisnya, atau antara bank dengan nasabah peminjam.
Ada beberapa dalil yang bisa dijadikan landasan bagi prinsip tolong-menolong
dalam ekonomi syariah, antara lain:
- Q.S. an Nisaa` ayat 36
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukannya dengan sesuatupun. Dan
berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, mereka
yang memerlukan pertolongan (orang-orang miskin), tetangga yang jauh, teman sejawat,
“Orang Islam itu adalah saudara orang Islam lainnya. Tidak patut ia menganiaya dan menghinanya. Barangsiapa menolong kebutuhan saudaranya, Allah senantiasa menolong kebutuhannya. Dan barang siapa membukakan suatu kesusahan dari seorang muslim, Allah akan membukakan daripadanya satu dari kesusahan-kesusahan kelak di hari kiamat”. (H.R.Bukhari)
“Seorang muslim adalah saudara muslim lainnya. Tidak boleh dianiaya dan dibiarkan sengsara/terlantar. Siapa yang menyampaikan keperluan saudaranya maka Allah akan menyampaikan keperluannya. Siapa yang melapangkan seorang muslim dari kesulitan, nanti Allah akan melapangkan kesulitannya diantara kesulitan-kesulitan di hari kiamat”. (H.R.Muslim)
Berdasarkan beberapa ayat al Quran dan Hadits di atas, bank syariah sebagai
agent of development harus bisa menerapkan prinsip persaudaraan dan tolong-menolong
dalam rangka membantu serta meringankan beban mereka yang membutuhkan pembiayaan.
Melalui bank syariah niat para pemilik modal yang menitipkan dananya di bank untuk
membantu saudaranya yang lain yang kesulitan modal dapat terimplementasikan.
Agar misi tersebut terwujudkan, maka segala produk pembiayaan bank syariah,
baik yang sudah ada ataupun yang akan diadakan harus senantiasa berorientasi pada prinsip
persaudaraan/tolong-menolong terutama pemihakan pada kaum lemah. Sebab salah satu
tujuan pendirian bank syariah adalah untuk menciptakan suatu keadilan di bidang ekonomi
dengan jalan meratakan pendapatan melalui kegiatan investasi, agar tidak terjadi
kesenjangan yang amat besar antara pemilik modal dengan pihak yang membutuhkan dana
4. Landasan Filosofis Pentingnya Perlindungan Nasabah Debitur Bank Syariah
Sistem perbankan syariah yang merupakan eliminasi dari sistem ekonomi Islam
pada dasarnya berlandaskan pada keadilan, disamping kedermawanan, kemanfaatan dan
kemakmuran.17 Pernyataan ini tidak berlebihan, karena keadilan merupakan inti semua
ajaran yang ada di dalam al Quran. Al Quran sendiri secara tegas menyatakan bahwa
maksud diwahyukannya (ajaran Islam) adalah untuk membangun keadilan dan persamaan.
Hanya Islam-lah yang mampu menghadirkan sebuah sistem yang realistis dan
keadilan sosial yang sempurna.18 Kehadiran institusi Islam seperti bank syariah adalah
dalam rangka memenuhi dan mewujudkan keadilan.
Islam menyerukan kepada pemeluknya untuk membela kepentingan kaum
dhu`afa, kaum lemah, fuqara dan masakin, anak-anak yatim dan lain sebagainya. Al Quran
dengan transparan menerangkan hal demikian, misalnya dalam surat an Nisaa` ayat 75,
sengan arti sebagai berikut:
“Mengapa kamu tidak mau berjuang di jalan Allah dan membela orang-orang yang lemah,
baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdo`a: Ya Tuhan kami,
keluarkanlah kami dari yang zhalim penduduknya dan berikanlah kami seorang penolong
dari sisi Engkau”
Ketentuan serupa bisa ditemukan dalam surat yang sama ayat 36, artinya:
17 Amin Akhtar, Etika Ekonomi Islam : Kerangka Kerja Struktural Sistem Ekonomi Islam, (Surabaya: Penerbit Risalah Gusti, 1997), hal. 85 18 Mustaq Ahmad, Business Ethics in Islam, diterjemahkan oleh Samson Rahman, (Jakarta: Pustaka al Kautsar, 2000), hal. 99
Ahmad, Mustaq, Business Ethics in Islam, diterjemahkan oleh Samson Rahman, (Jakarta:
Pustaka al Kautsar, 2000)
Al Husaini, M.H. Al Hamid, Riwayat Kehidupan Nabi Muhammad SAW, (Jakarta: Yayasan Al Hamidy,1995)
Akhtar, Amin, Etika Ekonomi Islam : Kerangka Kerja Struktural Sistem Ekonomi Islam, (Surabaya: Penerbit Risalah Gusti, 1997)
Arifin, Zainul, Problem Hukum atas Kelembagaan dan Operasional Bank Syariah di Indonesia, Makalah Seminar Prospek Bank Syariah sebagai Sistem Perbankan Alternatif dalam Menyongsong Era Persaingan Bebas di Indonesia, FH UI, Jakarta, 30 November 1999
-----------------, Mekanisme Kerja Perbankan Islam dan Permasalahannya, Jurnal Hukum Bisnis, Volume II, (Jakarta: Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, 2000)
Antonio, Muhammad Syafi`i dan Karnaen Parwataatmadja, Apa dan Bagaiamana Bank Islam, (Jakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1992)
Buckmaster, Daphne, Islamic Banking an Overview, (London-UK: The Institute of Islamic Banking and Insurance, 1986)
Bukhari, Syarah; Ibnu Hajar, Syirkah al Maktabah Mudhidofa al Baby al Huddaby, (Mesir: Tanpa Penerbit, 1959)
Djumhana, Muhammad, Rahasia Bank, Ketentuan dan Penerapannya di Indonesia, (Bandung: PT.Citra Aditya Bhakti, 1994)