Top Banner
http://ineshapuspita.blogspot.com/2012/06/praktek- iodometri-penentuan-kadar-cuso4.html Iodometri IODOMETRI Iodometri merupakan analisa titrimetrik secara tidak langsung untuk zat yang bersifatoksidator seperti besi III / Fe(III), tembaga II / Cu (II). Titrasi iodometri dapat digunakan untukmenetapkan senya wa-senyawa yang mempunyai potensial oksidasi yang lebihbesar daripada sistem iodium-iodida atau senyawa-senyawa yang bersifat oksidator seperti CuSO 4 .%H 2 O. Pada metode iodometri ini,sampel yang bersifat Oksidator akan direduksi oleh KI (kalium iodida)secara berlebih dan akan menghasilkan I 2 (Iodium) yang selanjutnya akan di ttrasi oleh Na 2 S 2 O 3 ( natrium thiosulfat).Banyakknya volume Na 2 S 2 O 3 ( natrium thiosulfat) yang digunakan sebagai titran itu setara dengan I 2 (iodium) yang dihasilkan dan setara dengan kadar sampel. Larutan standard yang digunakan dalam metode iodometri adalah Na 2 S 2 O 3 ( natrium thiosulfat). Garam ini biasanya berbentuk dalam bentuk pentahidrat atauNa 2 S 2 O 3 .5H 2 OLarutan tidak boleh distandaarisasi dengan cara penimbangan secara langsung,tetapi harus distandarisasi dengan standard primer.Karena Na 2 S 2 O 3 .5H 2 O tidak stabil dalam jangka penyimpanan yang lama. Pada pemeriksaan metode iodometri perlu dijaga kestabilan pH (pondus hydrogen).Larutan harus dijaga pada pH kurang dari 8.Karena jika pH lebih dari 8 atau dalam suasana alkalis I 2 akan bereaksi dengan Hidroksida(OH-) membentuk Iodida dan hyphoiodit yang selanjutnya terurai menjadi Iodida dan Iodidat yang dapat mengoksidasi thiosulfat menjadi sulfat.Sehingga reaksi berjalan tidak kuantitatif. Indikator pada metode ini menggunakan amylum 1%.Amylum ini memiliki sifat sukar larut dalam air serta tidak stabil dalam suspensi air membentuk senyawa kompleks yang sukar larut dalam air jika bereaksi dengan iodium.Sehingga penanbahan amylum sebagai Indikator tidak boleh ditambahkan pada awal reaksi.penambahan amylum sebagai indicator sebaiknya diberikan
75

ASAM KARBOKSILAT

Dec 21, 2015

Download

Documents

Triana P S

asam karboksilat
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: ASAM KARBOKSILAT

http://ineshapuspita.blogspot.com/2012/06/praktek-iodometri-penentuan-kadar-cuso4.html

Iodometri

IODOMETRI

Iodometri merupakan  analisa titrimetrik secara tidak langsung untuk zat yang bersifatoksidator seperti besi III / Fe(III), tembaga II / Cu (II). Titrasi  iodometri  dapat  digunakan untukmenetapkan  senyawa-senyawa  yang  mempunyai  potensial  oksidasi  yang  lebihbesar daripada  sistem  iodium-iodida  atau  senyawa-senyawa  yang  bersifat oksidator seperti CuSO4.%H2O.

Pada metode iodometri ini,sampel yang bersifat Oksidator akan direduksi oleh KI (kalium iodida)secara berlebih dan akan menghasilkan I2 (Iodium) yang selanjutnya akan di ttrasi oleh Na2S2O3 ( natrium thiosulfat).Banyakknya volume Na2S2O3 ( natrium thiosulfat) yang digunakan sebagai titran itu setara dengan I2 (iodium) yang dihasilkan dan setara dengan kadar sampel.

Larutan standard yang digunakan dalam metode iodometri adalah Na2S2O3( natrium thiosulfat). Garam ini biasanya berbentuk dalam bentuk pentahidrat atauNa2S2O3.5H2OLarutan tidak boleh distandaarisasi dengan cara penimbangan secara langsung,tetapi harus distandarisasi dengan standard primer.Karena Na2S2O3.5H2O tidak stabil dalam jangka penyimpanan yang lama.

Pada pemeriksaan metode iodometri perlu dijaga kestabilan pH (pondus hydrogen).Larutan harus dijaga pada pH kurang dari 8.Karena jika pH lebih dari 8 atau dalam suasana alkalis I2akan bereaksi dengan Hidroksida(OH-) membentuk Iodida dan hyphoiodit yang selanjutnya terurai menjadi Iodida dan Iodidat yang dapat mengoksidasi thiosulfat menjadi sulfat.Sehingga reaksi berjalan tidak kuantitatif.

Indikator pada metode ini menggunakan amylum 1%.Amylum ini memiliki sifat sukar larut dalam air serta tidak stabil dalam suspensi air membentuk senyawa kompleks yang sukar larut dalam air jika bereaksi dengan iodium.Sehingga penanbahan amylum sebagai Indikator tidak boleh ditambahkan pada awal reaksi.penambahan amylum sebagai indicator sebaiknya diberikan menjelang titik akhir titrasi (pada saat larutan berwarna kuning pucat).

Titik akhir titrasi ditandai dengan perubahan warna biru menjadi larutan bening(dari warna biru sampai warna biru hilang.Jadi penambahan amilum yang dilakukan saat mendekati titik akhir titrasi dimaksudkan agar amilum tidak membungkus iod karena akan menyebabkan amilum sukar dititrasi untuk kembali ke senyawa semula. Proses titrasi harus dilakukan sesegera mungkin, hal ini disebabkan sifat I2 yang mudah menuap. Pada titik akhir titrasi iod yang terikat juga hilang bereaksi dengan titran sehingga warna biru mendadak hilang dan perubahannya sangat jelas.  Penggunaan indikator ini untuk memperjelas perubahan warna larutan yang terjadi pada saat titik akhir titrasi.  Sensitivitas warnanya tergantung pada pelarut yang digunakan.  Kompleks iodium-amilum memiliki kelarutan yang kecil dalam air, sehingga umumnya ditambahkan pada titik akhir titrasi.  Jika larutan iodium dalam KI pada suasana netral dititrasi dengan natrium thiosulfat, maka :I3

- +   2S2O32- 3I- +   S4O6

2-

S2O32- +   I3

- S2O3I- +   2I-

2S2O3I- +  I- S4O62- +  I3

-

S2O3I- +  S2O32- S4O6

2- +  I-

Page 2: ASAM KARBOKSILAT

Natrium tiosulfat (Na2S2O3.5H2O)dapat dengan mudah diperoleh dalam keadaan kemurnian yang tinggi, namun selalu ada saja sedikit ketidakpastian dari kandungan air yang tepat, karenaNa2S2O3.5H2O meiliki sifat flouresen atau melapuk-lekang dari garam itu dan tidak stabil dalam penyimpanan jangka lama.Oleh karena itu, zat ini tidak memenuhi syarat untuk dijadikan sebagai larutan baku standar primer.  Natrium tiosulfat(Na2S2O3.5H2O)  merupakan suatu zat pereduksi, dengan persamaan reaksi sebagai berikut  :

2S2O32- S4O6

2- +   2e-

Pembakuan larutan natrium tiosulfat ( Na2S2O3.5H2O) dapat dapat dilakukan dengan menggunakan kalium iodat, kalium kromat, tembaga dan iod sebagai larutan standar primer, atau dengan kalium permanganat atau serium (IV) sulfat sebagai larutan standar sekundernya.  Namun pada percobaan ini senyawa yang digunakan dalam proses pembakuan natrium tiosulfat( Na2S2O3.5H2O)  adalah kalium iodat (KIO3) standar.

Larutan natrium thiosulfat ( Na2S2O3.5H2O) sebelum digunakan sebagai larutan standar dalam proses iodometri ini harus distandarkan terlebih dahulu  oleh kalium iodat(KIO3) yang merupakan standar primer.  Larutan kalium iodat(KIO3)  iniharus ditambahkan dengan asam sulfat pekat, warna larutan menjadi bening.  Dan setelah ditambahkan dengan kalium iodide(I2), larutan berubah menjadi coklat kehitaman.  Fungsi penambahan asam sulfat pekat (H2SO4 PA) dalam larutan tersebut adalah memberikan suasana asam, sebab larutan yang terdiri dari kalium iodat (KIO3) dan klium iodide (KI)  berada dalam kondisi netral atau memiliki keasaman rendah. 

Reaksinya adalah sebagai berikut :

IO3- +  5I- +  6H+ →          3I2 +  3H2O

Penentuan Kadar Cu2+ dengan Larutan Baku Na2S2O3

Pada penentuan kadar Cu dengan larutan baku Na2S2O3 akan terjadi beberapa perubahan warna larutan sebelum titik akhir titrasi.  Tembaga murni dapat digunakan sebagai standar primer untuk natrium thiosulfat dan direkomendasikan jika thiosulfat harus digunakan untuk menetapkan tembaga.  Potensial standar pasangan Cu(II) – Cu(I) adalah +0,15 V dan karena itu iod merupakan pengoksidasi yang lebih baik dari pada ion Cu(II).  Tetapi bila ion iodida ditambahkan ke dalam larutan Cu(II) akan terbentuk endapan Cu(I).

2Cu2+ +  4I- 2CuI(s) +  I2

Penentuan kadar Cu2+ dalam larutan dengan bantuan larutan natrium tiosulfat yang dilakukan mengencerkan 5 mL sampel garam hingga 100 mL dan mengambil 10 mL hasil pengenceran tersebut untuk ditambahkan dengan larutan KI 10% dan menitrasi dengan larutan baku natrium tiosulfat hingga larutan yang semula berwarna coklat tua menjadi larutan yang berwarna kuning muda.  Kemudian larutan tersebut ditambahkan dengan 2 mL larutan amilum 1 % menghasilkan larutan yang semula berwarna kuning muda menjadi biru tua, Penambahan indikator amilum 1% ini dimaksudkan agar memperjelas perubahan warna yang terjadi pada larutan tersebut. kemudian larutan tersebut dititrasi kembali dengan larutan natrium tiosulfat hingga warna biru pada larutan tepat hilang.  Untuk lebih memperjelas terjadinya reaksi tersebut, ke dalam larutan ditambahkan amilum.Bertemunya I2 dengan amilum ini akan menyebabakan larutan berwarna biru kehitaman.Selanjutnya titrasi dilanjutkan kembali hingga warna biru hilang dan menjadi putih keruh.

I2 +  amilum                         I2-amilum

Page 3: ASAM KARBOKSILAT

I2-amilum  +  2S2O32- 2I- +  amilum  +  S4O6

-

Hal yang perlu diperhatikan setelah penambahan amilum adalah adanya sifat adsorpsi pada permukaan endapan tembaga(I) iodida. Sifat ini menyebabkan terjadinya penyerapan iodium dan apabila iodium ini dihilangkan dengan cara titrasi, maka titik akhir titrasi akan tercapai terlalu cepat. Oleh karena itu, sebelum titik akhir titrasi tercapai, yaitu pada saat warna larutan yang dititrasi dengan Na2S2O3akan berubah dari biru menjadi bening, dilakukan penambahan kalium tiosianat KCNS.

DAFTAR PUSTAKA

Basset.J etc. 1994.Buku Ajar Vogel, Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Day RA. Jr dan Al Underwood.1992. Analisis Kimia Kuantitatif. Edisi Keenam.: Erlangga.Jakarta

Khopkar, S. M. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Rivai, Harrizul. 1995. Asas Pemeriksaan Kimia. Penerbit UI. Jakarta.

Titrasi Iodo-Iodimetri merupakan suatu metode analisis kuantitatif dalam analisis kimia yang termasuk

kedalam titrasi redoks. Pada titrasi ini Jenis ini, setiap perubahan kimia terjadi kenaikan bilangan

oksidasi untuk Oksidasi, sedangkan reduksi digunakan untuk setiap penurunan bilangan oksidasi.

Berarti proses oksidasi disertai hilangnya elektron sedangkan reduksi menangkap elektron. Dalam

proses oksidasi-reduksi ,zat reduktor akan teroksidasi sedangakn zat oksidator akan

tereduksi ,sehingga terjadilah suatu reaksi yang sempurna atau proses oksidasi-reduksi (redoks) akan

terjadi perpindahan electron dari zat oksidator ke zat reduktor ,sehingga terjadi reaksi.Titrasi Iodometri

adalah titrasi terhadap I2 yang terdapat dalam larutan ,sedangakn iodimetri adalah titrasi dengan

larutan standar I2 .Pada praktikum kali ini telah dilakukan titrasi iodometri.Sampel yang akan

ditentukkan kadarnya adalah kadar khlor dalam sampel kaporit dan Cu2+ dalam CuSO4.5H2O.

Prinsip kerja pada titrasi Iodometri adalah :

Larutan Na2S2O3 sebagai larutan standar pada penentuan kadar sampel ( khlor dan Cu2+)

distandarisasi terlebih dahulu dengan larutan KIO3 sebagai larutan baku primer dengan penambahan

KI dan Asam sulfat,pada titrasi ini digunakan amilum sebagai indikikator untuk mengetahui titik akhir

titrasi .Kemudian sejumlah sampel (kaporit dan CuSO4.5H2O) yang akan diketahui kadar (khlor dan

Cu2+) di titrasi dengan Larutan Na2S2O3 sebagai larutan standar dan sebelumnya sampel

ditambahkan padatan KI dan asam sulfat 4N .Indikator yang digunakan pada titrasi ini adalah indikator

amilum.Titik akhir titrasi ditandai dengan hilangnya warna kuning muda sesaat setelah penambahan

indikator amilum.

A. Standarisasi Larutan Na2S2O3 dengan KIO3

Pada standarisasi larutan tiosulfat ,larutan KIO3 direaksikan dengan larutan asam sulfat dan padatan

KI. Larutan KIO3 bertindak sebagai oksidator yang mengoksidasi KI membentuk I2 dalam suasana

asam. Reaksi yang terjadi sebagai berikut :

KIO3 + 5 KI + 3 H2SO4 → 3 I2 (warna coklat) + 3 H2O + 3 K2SO4

Page 4: ASAM KARBOKSILAT

Pada reaksi di atas electron valensinya adalah 6 karena 1 mol KIO₃ setara dengan 3 mol

I₂, sedangkan 1 mol I₂ setara dengan 2e. Sehingga 1 mol KIO₃ setara dengan 6e akibatnya BE

KIO₃ sama dengan BM/6.

Kemudian Iodium yang terbentuk dititrasi dengan larutan natrium tiosulfat hingga terbentuk warna

kuning pucat yang menandakan Iodium tersebut hampir habis bereaksi dan mendekati titik

ekivalen.Untuk mempermudah mengetahui titik akhir titrasi maka diguankan indikator amilum pada

kondisi tersebut sehingga terbentuk larutan berwarna biru .Warna biru terbentuk dari I2 dan amilum

dengan reaksi sbb :

I2 + amilum → I2-amilum

Titrasi dilanjutkan hingga tercapai titik akhir titrasi dimana terjadi perubahan warna dari biru menjadi

tidak berwarna .Pada saat titrasi, I2 tereduksi oleh natrium tiosulfat membentuk I- kembali,sedangkan

S2O32- teroksidai membentuk S4O62-. Dengan reaksi sebagai berikut :

I2 + 2 Na2S2O3 → 2 NaI (tidak berwarna) + Na2S4O6

Reaksi lengkap :

I2-amilum (warna biru) + 2 Na2S2O3 → 2 NaI (tidak berwarna) + Na2S4O6 + amilum

Pada titrasi ini volume larutan tiosulfat yang diperlukan adalah 25,52 ml sehingga diketahui

konsentrasi larutan tiosulfat adalah sebesar 0,098 N.

B. Penentuan kadar khlor dalam sampel (kaporit)

Prinsip kerja dalam penentuan kadar khlor dalam sampel (kaporit) pada dasarnya hampir sama seperti

standarisasi diatas.Untuk mengetahui kadar khlor dalam persen maka terlebih dahulu sampel di

timbang untuk mengetahui masa awalnya.Sampel ditambahkan KI dan Asam Sulfat sehingga dapat

membentuk khlor seperti pada reaksi di bawah :

Ca(OCl)2 + 4H+ Cl2 + 2H2O + Ca2+

Cl2 + 2I- I2 + 2Cl-

Jumlah Cl2 setara dengan I2 yang dibebaskan, sedangkan mol ek I2 setara dengan jumlah molek

Na2S2O3

Ketika sampel kaporit di tambahkan KI dan asam sulfat maka akan menghasilkan warna coklat yang

berarti warna dari iodium kemudian larutan dititrasi hingga warna coklat yang dihasilkan agak

memudar sampai kuning muda .Untuk mengetahui titik akhir titrasi digunakan indikator amilum yang

akan bereaksi dengan I2 membentuk I2-amilum yang akan menghasilkan warna biru kemudian titrasi

dialjutkan kembali dengan larutan tiosulfat hingga tercapai titik akhir titrasi yang ditandai dengan

perubahan warna dari biru menjadi tidak berwarna.rekasi yang terjadi adalah sbb:

I2 + amilum → I2-amilum (biru)

I2-amilum (warna biru) + 2 Na2S2O3 → 2 NaI (tidak berwarna) + Na2S4O6 + amilum

Titik akhir titrasi tercapai ketika volume larutan tiosulfat yang diperlukan adalah 3,42 ml sehingga

setelah dilakukan perhitungan terhadap berat sampel sebesar 5,92 gram kadar khlorin dalam sampel

tersebut adalah sebesar 0,21 %.

Page 5: ASAM KARBOKSILAT

C. Penentuan kadar Cu2+ dalam sampel (CuSO4.5H2O)

Pada penentuan kadar Cu2+ dengan larutan baku Na2S2O3 akan terjadi beberapa perubahan warna

larutan sebelum titik akhir titrasi.Sampel yang akan diketahui kadarnya ditambahkan dengan KI dan

asam Sulfat dan dititrasi dengan larutan baku natrium tiosulfat hingga larutan yang semula berwarna

coklat tua menjadi larutan yang berwarna kuning muda. Kemudian larutan tersebut ditambahkan

dengan larutan amilum 1 % sebagai indikator menghasilkan larutan yang semula berwarna kuning

muda menjadi biru tua, Penambahan indikator amilum 1% ini dimaksudkan agar memperjelas

perubahan warna yang terjadi pada larutan tersebut. kemudian larutan tersebut dititrasi kembali

dengan larutan natrium tiosulfat hingga warna biru pada larutan tepat hilang sehingga menghasilkan

warna putih keruh yang menandakan sudah tercapainya titik akhir titrasi .

Reaksi-reaksi yang terjadi adalah sbb :

4KI + 2CuSO4 + (asam) 2CUI + I2 + 2K2SO4

2Na2S2O3 + I2 Na2S4O6 + 2NaI

Amilim + I2 amilum I2¬ (biru)

amilumI2 + 2S2O32- amilum + 2I- + S4O62-

Pada penentuan kadar Cu2+ dalam CuSO4 titrasi tercapai ketika volume tiosulfat yang diperlukan

adalah 2,57 ml sehingga kadar nya adalah 1591 ppm.

KESIMPULAN

- Konsentrasi Na2S2O3 sebesar 0,0980 N

- Kadar khlor dalam sampel kaporit sebesar 0,21 %

- Kadar Cu2+ dalam sampel CuSO4 sebesar 1591 ppm

DAFTAR PUSTAKA

Widiawati,lilis. 2013. Laporan praktikum kimia analitik I iodometri 

II.1 Dasar Teori

Dalam proses analitis, iod digunakan sebagai zat pengoksid (iodimetri), dan ion iodidadigunakan

sebagai zat pereduksi (iodometri). Relatif beberapa zat merupakan pereaksi reduksiyang cukup kuat

untuk dititrasi secara langsung dengan iodium. Maka jumlah penentuan iodometrik adalah sedikit.

Akan tetapi banyak pereaksi oksidasi cukup kuat untuk bereaksisempurna dengan ion iodida, dan

ada banyak penggunaan proses iodometrik. Suatu kelebihan ioniodida ditambahkan kepada

pereaksi oksidasi yang ditentukan dengan larutan natrium tiosulfat.Iodometri adalah suatu proses

analitis tak langsung yang melibatkan iod. Ion iodida berlebih ditambahkan pada suatu zat

pengoksid sehingga membebaskan iod, yang kemudian dititrasidengan natrium tiosulfat.

(R. A. Day, Jr & A. L .Underwood, Analisa Kimia Kuantitatif , Edisi V. Hal. 294)

- Iodometri

Terdapat dua cara melakukan analisis dengan menggunakan senyawa pereduksi iodium yaitu

Page 6: ASAM KARBOKSILAT

secara langsung dan tidak langsung. Cara langsung disebut iodimetri (digunakan larutan iodium

untuk mengoksidasi reduktor-reduktor yang dapat dioksidasi secara kuantitatif pada titik

ekivalennya). Namun, metode iodimetri ini jarang dilakukan mengingat iodium sendiri merupakan

oksidator yang lemah. Sedangkan cara tidak langsung disebut iodometri (oksidator yang dianalisis

kemudian direaksikan dengan ion iodida berlebih dalam keadaan yang sesuai yang selanjutnya

iodium dibebaskan secara kuantitatif dan dititrasi dengan larutan natrium thiosilfat standar atau

asam arsenit).(Bassett,1994).

Dengan kontrol pada titik akhir titrasi jika kelebihan 1 tetes titran. perubahan warna yang terjadi

pada larutan akan semakin jelas dengan penambahan indikator amilum/kanji.

Metode titrasi iodometri langsung (iodimetri) mengacu kepada titrasi dengan suatu larutan iod

standar. Metode titrasi iodometri tak langsung (iodometri) adalah berkenaan dengan titrasi dari iod

yang dibebaskan dalam reaksi kimia

Iodium merupakan oksidator lemah. Sebaliknya ion iodida merupakan suatu pereaksi reduksi yang

cukup kuat. Dalam proses analitik iodium digunakan sebagai pereaksi oksidasi (iodimetri) dan ion

iodida digunakan sebagai pereaksi reduksi (iodometri). Relatif beberapa zat merupakan pereaksi

reduksi yang cukup kuat untuk dititrasi secara langsung dengan iodium. Maka jumlah penentuan

iodometrik adalah sedikit. Akan tetapi banyak pereaksi oksidasi cukup kuat untuk bereaksi

sempurna dengan ion iodida, dan ada banyak penggunaan proses iodometrik. Suatu kelebihan ion

iodida ditambahkan kepada pereaksi oksidasi yang ditentukan, dengan pembebasan iodium, yang

kemudian dititrasi dengan larutan natrium thiosulfat.

Kegunaan iodine dalam alcohol yang di sebut tingtur yodium,merupakan obat antiseptic bagi luka-

luka agar tidak terkena infeksi. Dalam industry tapioca,maizena dan terigu,larutan I2 dalam air

dipakai untuk mengindentifikasi amilum, sebab I2 dengan amilum akan memberikan warna biru.

Senyawa- senyawa iodine yang penting yaitu :

a. Kalium Iodat (KIO3) yang ditambahkan pada garam dapur agar tubuh kita memeperoleh iodine

b. Iodoform (CHI3) suatu zat organic yang penting

c. Perak Iodida (AgI) yang juga di gunakan dalam film fotografi.

(Underwood, Analisa Kimia Kuantitatif, edisi 4, Erlangga, 1994)

Larutan standar yang digunakan dalam kebanyakan proses iodometri adalah natrium thiosulfat.

Garam ini biasanya berbentuk sebagai pentahidrat Na2S2O3.5H2O . Larutan tidak boleh

distandarisasi dengan penimbangan secara langsung, tetapi harus distandarisasi dengan standar

primer. Larutan natrium thiosulfat tidak stabil untuk waktu yang lama

(Day & Underwood, 1981)

Penggunaan air yang masih mengandung CO2 sebagai pelarut akan menyebabkan peruraian

S2O32- membentuk belerang bebas. Belerang ini menyebabkan kekeruhan. Terjadinya peruraian itu

juga dipicu bakteri Thiobacillus thioparus. Bakteri yang memakan belerang akhirnya masuk

kelarutan itu, dan proses metaboliknya akan mengakibatkan belerang koloidal. Belerang ini akan

menyebabkan kekeruhan, bila timbul kekeruhan larutan harus dibuang.

Pembuatan natrium thiosulfat dapat ditempuh dengan cara :

1. Melarutkan garam kristalnya pada aquades yang mendidih

2. Menambahkan 3 tetes kloroform (CHCl3) atau 10 mg merkuri klorida (HgCl2) dalam 1 liter larutan

Page 7: ASAM KARBOKSILAT

3. Larutan yang terjadi disimpan pada tempat yang tidak terkena cahaya matahari.

Biasanya air yang digunakan untuk menyiapkan larutan tiosulfat dididihkan agar steril, dan sering

ditambahkan boraks atau natrium karbonat sebagai pengawet. Oksidasi tiosulfat oleh udara

berlangsung lambat. Tetapi runutan tembaga yang kadang-kadang terdapat dalam air suling akan

mengkatalis oksidasi oleh udara ini.

Tiosulfat diuraikan dalam larutan asam dengan membentuk belerang sebagai endapan mirip susu.

S2O32- +2H+ → H2S2O3 → H2SO3 + S

Tetapi reaksi itu lambat dan tak terjadi bila tiosulfat dititrasikan kedalam larutan iod yang asam, asal

larutan diaduk dengan baik. Reaksi antara iod dan tiosulfat jauh lebih cepat dari pada reaksi

penguraian.

Iodin mengoksidasi tiosulfat menjadi ion tetrationat:

I2 + 2S2O32- → 2I- + S4O62-

Reaksinya berjalan cepat, sampai selesai, dan tidak ada reaksi sampingan. Berat ekivalen dari

Na2S2O3. 5H2O adalah berat molekulnya, 248,17. Tiosulfat teroksidasi secara parsial menjadi

sulfat:

4I2 + S2O32- + 5H2O → 8I- + 2SO42- + 10H+

Dalam larutan yang netral, atau sedikit alkalin, oksidasi menjadi sulfat tidak muncul, terutama jika

iodin dipergunakan sebagai titran.

Ada dua metode titrasi iodometri, yaitu :

1. Secara langsung (iodimetri)

Disebut juga sebagai iodimetri. Menurut cara ini suatu zat reduksi dititrasi secara langsung oleh

iodium, misal pada titrasi Na2S2O3 oleh I2.

2Na2S2O3 + I2 → 2NaI + Na2S4O6

Indiator yang digunakan pada reaksi ini, yaitu larutan kanji. Apabila larutan thiosulfat ditambahkan

pada larutan iodine, hasil akhirnya berupa perubahan penampakan dari tak berwarna menjadi

berwarna biru. Tetapi apabila larutan iodine ditambahkan kedalam larutan thiosulfat maka hasil

akhirnya berupa perubahan penampakan dari berwarna menjadi berwarna biru.

2. Secara tak langsung (iodometri)

Disebut juga sebagai iodometri.Dalam hal ini ion iodide sebagai pereduksi diubah menjadi iodium-

iodium yang terbentuk dititrasi, dengan larutan standar Na2S2O3.

Jadi cara iodometri digunakan untuk menentukan zat pengoksidasi, misal pada penentuan suatu zat

oksidator ini (H2O2). Pada oksidator ini ditambahkan larutan KI dan asam hingga akan terbentuk

iodium yang kemudian dititrasi dengan larutan.

Na2S2O3. H2O2 + 2HCl → I2 + 2KCl + 2H2O.

Iodium sedikit larut dalam air (0,00134 mol/liter pada 25C) dan sangat larut dalam pelarutan yang

mengandung ion iodide.

Berdasarkan reaksi :

I2 + I- → I3-

dengan tetapan kesetimbangan pada 25 ºC. Larutan baku ion dapat langsung dibuat dari unsur

murninya.

Cara titrasi oksidasi reduksi yang dikenal ada dua :

Page 8: ASAM KARBOKSILAT

- Oksidimetri

Yaitu titrasi redoks dengan menggunakan larutan baku yang bersifat oksidator.

Misal: Sulfur dioksida dan hydrogen sulfide, timah (II) klorida , logam dan amalgam.

- Reduksimetri

Yaitu titrasi redoks dengan menggunakan larutan baku yang bersifat reduktor.

Misal : Natrium dan Hidrogen Peroksida, Kalium dan amonium peroksidisulfat,natrium Bismutat

(NaBiO3).

Ada dua proses metode titrasi iodometri, yaitu :

1. Proses-proses iodometrik langsung

Pada Iodometri langsung sering menggunakan zat pereduksi yang cukup kuat seperti tiosulfat,

Arsen (III), Stibium (III), Antimon (II), Sulfida, sulfite, Timah (II), Ferasianida. Kekuatan reduksi yang

dimiliki oleh beberapa

dari substansi ini tergantung pada konsentrasi ion hidrogen, dan reaksi dengan iodin baru dapat

dianalisis secara kuantitatif hanya bila kita melakukan penyesuaian pH yang repot.

Dalam proses iodometri langsung ini reaksi antara iodium dan thiosulfat dapat berlangsung

sempurna. Kelebihan ion Iodida yang ditambahkan pada pereaksi oksidasi yang ditentukan, dengan

pembebasan iodium, kelebihan ini dapat dititrasi dengan Natrium Tiosulfat. Menurut cara ini suatu

zat reduksi dititrasi secara langsung oleh iodium, misal pada titrasi Na2S2O3 oleh I2.

2Na2S2O3 + I2 → 2NaI + Na2S4O6

Indikator yang digunakan pada reaksi ini, yaitu larutan kanji. Apabila larutan thiosulfat ditambahkan

pada larutan iodin, hasil akhirnya berupa perubahan penampakan dari tak berwarna menjadi

berwarna biru. Tetapi apabila larutan iodine ditambahkan kedalam larutan thiosulfat maka hasil

akhirnya berupa perubahan penampakan menjadi berwarna biru.

2. Proses-proses Tak Langsung atau Iodometrik

Dalam ion iodida sebagai pereduksi diubah menjadi iodium-iodium yang terbentuk dititrasi, dengan

larutan standar Na2S2O3.

Jadi cara iodometri digunakan untuk menentukan zat pengoksidasi, misal pada penentuan suatu zat

oksidator ini (H2O2). Pada oksidator ini ditambahkan larutan KI dan asam hingga akan terbentuk

iodium yang kemudian dititrasi dengan larutan.

Na2S2O3. H2O2 + 2HCl → I2 + 2KCl + 2H2O.

Banyak agen pengoksidasi yang kuat dapat dianalisa dengan menambahkan kalium iodida berlebih

dan menitrasi iodin yang dibebaskan. Karena banyak agen pengoksidasi membutuhkan suatu

larutan asam untuk bereaksi dengan iodin, natrium tiosulfat biasanya dipergunakan sebagai

titrannya, dalam keadaan pH 3-4. Titrasi dengan arsenik (III) (di atas) membutuhkan sebuah larutan

yang sedikit alkalin.

(R.A Day, A.L. Underwood. 2002. “ Analisa Kimia Kuantitatif,” Edisi keenam.hal: 298)

Beberapa tindakan pencegahan harus diambil dalam menangani larutan kalium iodida untuk

menghindari kesalahan. Misalnya ion iodida dioksidasi oleh oksigen dari udara.

4H+ + 4I- + O2 → 2I2 + 2H2O

Reaksi ini lambat dalam larutan netral, tetapi lebih cepat dalam larutan berasam dan dipercepat oleh

cahaya matahari. Setelah penambahan kalium iodida pada larutan berasam dari suatu pereaksi

Page 9: ASAM KARBOKSILAT

oksidasi, larutan harus tidak dibiarkan untuk waktu yang lama berhubungan dengan udara, karena

iodium tambahan akan terbentuk oleh reaksi yang terdahulu. Nitrit harus tidak ada, karena akan

direduksikan oleh ion iodida menjadi nitrogen (II) oksida yang selanjutnya dioksidasi kembali

menjadi nitrit oleh oksigen dari udara:

2HNO2 + 2H+ + 2I- → 2NO + I2 + 2H2O

4NO + O2 + 2H2O → 4HNO2

Kalium iodida harus bebas iodat karena kedua zat ini bereaksi dalam larutan berasam untuk

membebaskan iodium:

IO3- + 5I- + 6H+ → 3I2 + 3H2O

Prinsip Iodometri

Chlorine akan membebaskan ion bebas dari larutan KI pada pH 8 atau kurang. Iodium ini akan

dititrasi dengan larutan standar sodium thiosulfate dengan indikator starch dalam keadaan pH 3-4,

sebab pada pH netral reaksi ini tidak stoikiometri dengan reaksi oksidasi parsial thiosulfate menjadi

sulfat.

Kegunaan Iodometri:

Kegunaan iodometri adalah untuk menetapkan kadar larutan iodin, larutan natrium tiosulfat dan zat-

zat yang dapat bereaksi dengan iodida membebaskan iodin.

Contoh Kegunaannya:

1. Penetapan kadar CaOCl2 dalam kaporit

CaOCl2 + 2HCl → CaCl2 + H2O + Cl2

Cl2+ 2 KI→ 2KCl + I2

2. Penetapan kadar Kalium Bikromat

Cr2O72- + 14H3O+ + 6e → 2Cr3+ + 21H2O

( 2I- → I2 + 2e ) x 3

Cr2O72- + 14H3O+ + 6I- → 2Cr3+ + 7H2O + 3I2

3. Penetapan kadar FeCl3

KI + HCl → KCl + HI

FeCl3 + 2HI → 2HCl + 2FeCl3 + I2

4. Penetapan kadar CuSO4

2CuSO4 + 4KI → 2K2SO4 + 2CuI2

2CuI2 → 2CuI + I2 +

2 CuSO4 + 4KI→ 2K2SO4 + 2CuI + I2

5. Penetapan kadar NaClO dalam pemutih

Cl2 + 2NaOH → NaCl + NaClO + H2O

Iodida adalah reduktor lemah dan dengan mudah akan teroksidasi jika direaksikan dengan oksidator

kuat. Iodida tidak dipakai sebagai titrant hal ini disebabkan karena factor kecepatan reaksi dan

kurangnya jenis indicator yang dapat dipakai untuk iodide. Oleh sebab itu, titrasi kembali merubakan

proses titrasi yang sangat baik untuk titrasi yang melibatkan iodide. Senyawaan iodide umumnya KI

ditambahkan secara berlebih pada larutan oksidator sehingga terbentuk I2. I2 yang terbentuk adalah

equivalent dengan jumlah oksidator yang akan ditentukan. Jumlah I2 ditentukan dengan menitrasi I2

Page 10: ASAM KARBOKSILAT

dengan larutan standar tiosulfat (umumnya yang dipakai adalah Na2S2O3) dengan indicator amilum

jadi perubahan warnanya dari biru tua kompleks amilum I2 sampai warna ini tepat hilang.

Reaksi yang terjadi pada titrasi iodometri untuk penentuan iodat adalah sebagai berikut:

IO3- + 5 I- + 6 H+ 3 I2 + H2O

I2 + 2 S2O32- 2 I- + S4O62-

Setiap mmol IO3- akan menghasilkan 3 mmol I2 dan 3 mmol I2 ini akan tepat bereaksi dengan 6

mmol S2O32- (ingat 1 mmol I2 tepat bereaksi dengan 2 mmol S2O32-) sehingga mmol IO3-

ditentukan atau setara dngan 1/6 mmol S2O32-.

Beberapa alasan yang dapat dijabarkan karena analit yang bersifat sebagai oksidator dapat

mengoksidasi tiosulfat menjadi senyawaan yang bilangan oksidasinya lebih tinggi dari tetrationat

dan umumnya reaksi ini tidak stoikiometri. Alasan kedua adalah tiosulfat dapat membentuk ion

kompleks dengan beberapa ion logam seperti Besi(II).

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan titrasi Iodometri adalah sebagai berikut:

1.) Penambahan amilum sebaiknya dilakukan saat menjelang akhir titrasi, dimana hal ini ditandai

dengan warna larutan menjadi kuning muda (dari oranye sampai coklat akibat terdapatnya I2 dalam

jumlah banyak), alasannya kompleks amilum I2 terdisosiasi sangat lambat akibatnya maka banyak

I2 yang akan terabsorbsi oleh amilum jika amilum ditambahkan pada awal titrasi, alasan kedua

adalah biasanya iodometri dilakukan pada media asam kuat sehingga akan menghindari terjadinya

hidrolisis amilum.

2.) Titrasi harus dilakukan dengan cepat untuk meminimalisasi terjadinya oksidasi iodide oleh udara

bebas. Pengocokan pada saat melakukan titrasi iodometri sangat diwajibkan untuk menghindari

penumpukan tiosulfat pada area tertentu, penumpukkan konsentrasi tiosulfat dapat menyebabkan

terjadinya dekomposisi tiosulfat untuk menghasilkan belerang. Terbentuknya reaksi ini dapat diamati

dengan adanya belerang dan larutan menjadi bersifat koloid (tampak keruh oleh kehadiran S).

S2O32- + 2H+ H2SO3 + S

Pastikan jumlah iod yang ditambahkan adalah berlebih sehingga semua analit tereduksi dengan

demikian titrasi akan menjadi akurat. Kelebihan iodide tidak akan mengganggu jalannya titrasi

redoks akan tetapi jika titrasi tidak dilakukan dengan segera maka I- dapat teroksidasi oleh udara

menjadi I2.

Menstandarisasi Larutan Tiosulfat

Tiosulfat yang dipakai dalam titrasi iodometri dapat distandarisasi dengan menggunakan senyawa

oksidator yang memiliki kemurnian tinggi (analytical grade) seperti K2Cr2O7, KIO3, KBrO3, atau

senyawaan tembaga(II).

Bila digunakan Cu(II) maka pH harus dibuffer pada pH 3 dan dipakai tiosianat untuk masking agent,

KSCN ditambahkan pada waktu mendektitik akhir titrasi dengan tujuan untuk menggantikan I2 yang

teradsorbsi oleh CuI. Bila pH yang digunakan tinggi maka tembaga(II) akan terhidrolisis dan akan

terbentuk hidroksidanya. Jika keasaman larutan sangat tinggi maka cenderung terjadi reaksi I-

sebagai akibat adanya Cu(II) dalam larutan yang megkatalis reaksi tersebut.

Senyawa-senyawa iodine yang penting, yaitu :

1. Kalium Iodat (KIO3) yang digunakan pada garam dapur agar tubuh kita memperoleh iodin.

Page 11: ASAM KARBOKSILAT

2. Iodoform (CHI3) suatu zat organik yang penting.

3. Perak Iodida (AgI) yang digunakan dalam film fotografi.

Garam kompleks yang diperoleh dari pencampuran ekuivalen 1,10-fenolftalein. Pertukaran elektron

berlangsung melalui cincin aromatik. Cara mencuci endapan cairan induk jernih di atasnya dengan

seksama dituangkan lewat filter sementara sebanyak mungkin endapan ditahan dalam piala.

Kemudian endapan diaduk dengan larutan pencuci dalam piala, dan cucian didekantasi lewat filter.

Sampai pada saat terakhir endapan tidak dibiarkan mengendap melainkan di tuang ke dalam filter

bersama dengan larutan pencuci.

Dalam percobaan iodometri dengan pengendapan ini bertujuan untuk menentukan kadar Pb2+

dalam Pb(NO3)2 dengan cara iodometri. Pada prosedur II, larutan Pb(NO3)2 setelah diencerkan

dengan aquades ditambahkan asam asetat glacial dan natrium asetat unutk membufferkan larutan.

Setelah ditambah K2CrO4 akan terjadi endapan berwarna kuning PbCrO4, menurut reaksi:

Pb(NO3)2(l)+ K2CrO4(aq) → PbCrO4(s) + NO3-(aq)

(ditambah K2Cr2O7)

2PbCrO4(s ) + 2H+(aq) → 2Pb2+(aq)+ Cr2O72-(aq)+ H2O(l)

(ditambah HCl)

Cr2O72- + 14H+ + 6I- → 3I2 + 2Cr3+ + 7H2O

(ditambah KI)

I2 + 2S2O32- → 2I- + S4O62-

(dititrasi dengan Na2S3O3)

Lalu dapat diketahui massa Pb2+ yang diketahui, dengan mengurangkan massa Pb2+ yang

diperoleh.

Dalam kebanyakan titrasi langsung dengan iod. digunakan suatu larutan iod dalam kalium iodida,

dan karena itu spesi reaktifannya adalah ion triiodida. Untuk tepatnya, semua persamaan yang

melibatkan reaksi-reaksi iod seharusnya ditulis dengan I2 bukan I3-, misal :

I3- + 2S2O32- 3I- + S4O62-

Akan lebih akurat daripada

I2 + 2S2O32- 2I- + S4O62-

Namun demi kesederhanaan, persamaan dalam buku ini biasanya lebih banyak ditulis rumus-rumus

iod molekuler daripada ion triiodida. Zat-zat pereduksi yang kuat (zat-zat dengan potensial yang jauh

lebih rendah), seperti timah (II) klorida, asam sulfat, hidrogen sulfida, dan natrium tiosulfat bereaksi

lengkap dan cepat dengan iod.

BAB III

METODOLOGI PERCOBAAN

III.1 Bahan yang digunakan

a. Na2S2O3

Page 12: ASAM KARBOKSILAT

b. Aquades

c. Kloroform atau Na2CO3

d. K2Cr2O7

e. KI

f. HCl

g. Pb(NO3)2

h. Natrium Asetat

i. Asam Asetat

j. Indikator Amilum

III.2 Alat yang digunakan

a. Beaker glass

b. Labu ukur

c. Erlenmeyer

d. Gelas arloji

e. Buret

f. Pipet volume

g. Pipet tetes

h. Spatula

i. Corong kaca

j. Kertas saring

k. Klem holder dan statis

l. Neraca Analitis

III.3 Prosedur Percobaan

1. Membuat larutan standar Na2S2O3 0.1N

a. Menimbang 25 gram sample dalam 1000cc.

b. Memindahkan ke dalam labu takar 1000ml, mengencerkan dengan aquades yang telah didihkan

terleih dahulu sampi batas volume 1000ml.

c. Mengaduk dengan baik hingga menjadi homogen.

2. Menstandarisasi larutan Na2S2O3 0.1N dengan K2Cr2O7

a. Menimbang 0.3 gram KI netral

b. Menimbang 0.4 gram K2Cr2O7 pada gelas arloji dan melarutkan dengan aquades hingga

volumenya 100ml

c. Memipet 25ml larutan K2Cr2O7 dan memasukkannya dalam Erlenmeyer

d. Menambahkan 0.3 gram KI diatas

e. Menambahkan pada 6ml HCl pekat

f. Menitrasi I2 yang dibebaskan dengan larutan natrium tiosulfat dari buret sampai timbul warna

kuning hijau, lalu menambahkan larutan kanji sebanyak 1ml hingga timbul warna biru

g. Titrasi terus dilanjutkan hingga warna biru berubah menjadi hijau biru, yang akhirnya menjadi

putih atau bening, berate titik akhir tercapai

3. Prosedur I

Page 13: ASAM KARBOKSILAT

a. Mengencerkan larutan Pb(NO3)2 sampai volumenya 100ml dengan aquades sambil dikocok

hingga homogen.

b. Memipet 25ml Pb(NO3)2 dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer

c. Menambahkan dengan asam asetat glacial (1:4) sebanyak 10ml dan menambahkan lagi dengan

10ml larutan natrium asetat (10 gram natrium asetat/100ml) ke dalam elenmeyer

d. Menambahkan larutan K2Cr2O7 4% sebanyak 10ml dan diaduk dengan baik

e. Menyaring endapan PbCrO4 dengan kertas saring dan mencuci endapan dengan aquades

f. Memisahkan endapan pada kertas saring pada Erlenmeyer kemudian endapan PbCrO4 dilarutkan

dengan HCl (1:1)

g. Menambahkan 10ml 0.1N KI, aduk yang baik

0.1N = mol/0.1L

Mol = 0,01

Gram KI = 0,01 x 166 = 0,166 gram KI

h. Menitrasi I2 yang dibebaskan dengan larutan standar thiosulfat dari buret sambil dikocok hingga

warna kuning jerami

i. Memberi indicator amilum atau kanji 2ml. kemudian kocok dengan baik sehingga timbul warna biru

j. Titrasi dilanjutkan hingga titik akhir tercapai pada saat warna larutan berubah menjadi dari biru ke

hijau terang atau jernih

k. Pekerjaan dilakukan 2 kali, kemudian hasil dirata-rat

Yodometri merupakan suatu metode analisa volometri yang didasarkan pada reaksi oksidasi reduksi dimana I2 bebas akan bertindak sebagai oksidator. Titi akhir titrsi terjadi setelah I2 tereduksi semuanya membentuk I¯ yang dapat dilihat dengan bantuan indikator amilum, dimana indikator amilum dapat membentuk kompleks berwarna biru dengan I2. Jadi titik akhir titrasi ditandai dengan hilangnya warna biru tersebut.

Dasar : I2 + 2e 2I-Yodometri : bila I- sebagai reduktorYodimetri : bila I- sebagai oksidatorYodometri I- (+) oksidatorSebagai I- biasa dipakai KI. Reaksi dapat berlangsung dalam lingkungan asam atau netral. Contoh :BrO3 + 6 H+ + 6I- 3 H2O + 3 I2 + Br-IO3 + 6H++5I- 3 H2O + 3 I2Dalam yodometri I- dioksidis suatu oksidator. Jika oksidatornya kuat tidak apa-apa, tetapi jika oksidatornya lemah maka oksidasinya berlangsung sangat lambat dan mungkin tidak sempurna, ini harus dihindari.Cara menghindari : - Mempebesar [H+]Jika oksidasinya kuat dengan menambah H+ atau menurunkan pH- Memperbesar [I-]Misalnya oksidasi dengan Fe3+Fe3+ + I- Fe2+ + ½ I2

Page 14: ASAM KARBOKSILAT

- Dengan mengeluarkan I2 yang berbentuk dari campuran reaksi : misalnya dikocok dengan kloroform, karbon tetra klorida atau bisulfida, maka I2 akan masuk dalam pelarut organis ini, sebab I2 lebih mudah larut dalam senyawa solven organic daripada dalam air.Cara menentukan titik akhir titrasi - Tanpa indikatorDapat dilakukan karena I2 dalam KI warna kuning, titrasi akhir kalau warna kuning hilang- Dengan indikator amilumSebab I2 + amilum menghasilkan warna biru. Makin sensitive bila berisi I- dan kurang sensitive bila larutan panasYodometri adalah titrasi yang menggunakan larutan Na2S2O3 sebagai titran untuk menentukan kadar iyodium yang dibebaskan pada suatu reaksi redoks. Reaksi yang terjadi adalah Oksidator +2I- I2 + reduktorI2 + S2O32- 2I- + S4O62-SDiantara sekian banyak contoh teknik atau dalam analisis kuanitatif terdapat 2 cara melakukan analisis dengan menggunakan senyawa pereduksi iodium yaitu secaa lagsung dan tidak langsung. Cara langsung disebut iodimetri(digunakan larutan iodium untuk mengoksidasi reduktor-reduktor yang dapat dioksidasi secaa kuantitatif pada titik ekivalennya). Namun,metode iodimetri ini jarang dilakukan mengingat iodium sendiri merupakan oksidator yang lemah. Sedangkan cara tidak langsung disebut iodometri(oksidator yang dianalisi kemudian direaksikan dengan ion iodide berlebih dalam keadaan yang sesuai yang selanjutnya iodium dibebaskan secara kuantitatif dan dititrasi dengan larutan natrium tiosulfat stndar atau asam arsenit).Reaksi-reaksi kimia yang melibatkan oksidasi reduksi dipergunakan secara luas oleh analisis titrimetrik. Ion-ion dari berbagai unsur dapat hadir dalam kondisi oksidasi yang berbeda-beda, menghasilkan kemungkinan banyak reaksi redoks. Banyak dari reaksi-reaksi ini memenuhi syarat untuk dipergunakan dalam analisi titrimetrik dan penerapan-penerapannya cukup banyak.

Iodometri adalah analisa titrimetrik yang secara tidak langsung untuk zat yang bersifat oksidator seperti besi( III), tembaga (II), dimana zat ini akan mengoksidasi iodida yang ditambahkan membentuk iodin. Iodin yang terbentuk akan ditentukn dengan menggunakan larutan baku tiosulfat .

Oksidator + KI → I2 + 2e I2 + Na2 S2O3 → NaI + Na2S4O6Sedangkan iodimetri adalah merupakan analisis titrimetri yang secara langsung digunakan untuk zat reduktor atau natrium tiosulfat dengan menggunakan larutan iodin atau dengan penambahan larutan baku berlebihan. Kelebihan iodine dititrasi kembali dengan larutan tiosulfat.Reduktor+ I2 → 2I-Na2S2O3 + I2 → NaI +Na2S2O6

Untuk senyawa yang mempunyai potensial reduksi yang rendah dapat direksikan secara sempurna dalam suasana asam. Adapun indikator yang digunakan dalam metode ini adalah indikator kanji.Sedangkan bromometri merupakan metode oksidasi reduksi dengan dasar reaksi aksidasi dari ion bromat .

BrO3- + 6H+ + 6e → Br- + 3H2O

Page 15: ASAM KARBOKSILAT

Adanya kelebihan KBrO3 dalam larutan akan menyebabkan ion bromida bereaksi dengan ion bromatBrO3 + Br- + H+ → Br2 +H2O

Bromine yang dibebaskan akan merubah warna larutan menjadi kuning pucat (warna merah ), jika reaksi antara zat dan bromine dalam lingkungan asam berjalan cepat maka titrasi dapat secara langsung dilakukan. Namun bila lambat maka dapat dilakukan titrasi tidak langsung yaitu larutan bromine ditambah berlebih dan kelebihan bromine ditentukan secar iodometri. Bromin dapat diperoleh dari penambahan asam kedalam larutan yang mengandung kalium bromat dan kalium bromide.Substansi-substansi penting yang cukup kuat sebagai unsur-unsur reduksi untuk dititrasi langsung dengan iodin adalah tiosulfat, arseni dan entimon, sulfida dan ferosianida. Kekuatan reduksi yang dimiliki oleh dari beberapa substansi ini adalah tergantung dari pada konsentrasi ion hydrogen, dan reaksi dengan iodin baru dapat dianalisis secara kuantitatif hanya bila kita melakukan penyesuaian ph yang sulit.Dalam menggunakan metode iodometrik kita menggunakan indikator kanji dimana warna dari sebuah larutan iodin 0,1 N cukup intens sehingga iodin dapat bertindak sebagai indikator bagi dirinya sendiri. Iodin juga memberikan warna ungu atau violet yang intens untuk zat-zat pelarut seperti karbon tetra korida dan kloroform. Namun demikan larutan dari kanji lebih umum dipergunakan, karena warna biru gelap dari kompleks iodin–kanji bertindak sebagai suatu tes yang amat sensitiv untuk iodin.Dalam beberapa proses tak langsung banyak agen pengoksida yang kuat dapat dianalisis dengan menambahkan kalium iodida berlebih dan mentitrasi iodin yang dibebaskan. Karena banyak agen pengoksid yang membutuhkan larutan asam untuk bereaksi dengan iodin, Natrium tiosulfat biasanya digunakan sebagai titrannya. Titrasi dengan arsenik membutuhakn larutan yang sedikit alkalin.Dalam larutan yang sedikit alkalin atau netral, oksidasi menjadi sulfat tidak muncul terutama jika iodin dipergunakan sebagai titran. Banyak agen pengoksid kuat, seperti garam permanganat, garam dikromat yang mengoksid tiosulfat menjadi sulfat, namun reaksinya tidak kuantitatif.Pada penentuan iodometrik ada banyak aplikasi proses iodometrik seperti tembaga banyak digunakan baik untuk biji maupun paduannya metode ini memberikan hasil yang lebih sempurna dan cepat daripada penentuan elektrolit tembaga.Pada metode bromometri, kalium bromat merupakan agen pengoksid yang kuat dengan potensial standar dari reaksinya:BrO3 + 6H+ + 6e → Br- + 3H2O

Adalah +1,44 V. Reagen dapat digunakan dalam dua cara yaitu sebagai sebuah oksdasi langsung untuk agen-agen pereduksi tertentu dan untuk membangkitkan sejumlah bromin yang kuantitasnya diketahui.Sejumlah agen pereduksi pada titrasi langsung metode bromometri seperti arsenik, besi (II) dan sulfida serta disulfida organik tertentu dapat dititrasi secara langsung dengan sebuah larutan kalium bromat .

Page 16: ASAM KARBOKSILAT

Kehadiran bromin terkadang cocok untuk menentukan titik akhir titrasi,beberapa indikator organik yang bereaksi dengan bromin untuk memberikan perubahan warna. Perubahan warna ini biasanya tidak reversibel dan kita harus hati-hati agar kita mendapatkan hasil yang lebih baik .Reaksi brominasi senyawa-senyawa organik larutan standar seperti kalium bromat dapat dipergunakan untuk menghasilkan sejumlah bromin dengan kuantitas yang diketahui. Bromin tersebut kemudian dapat digunakan untuk membrominasi secara kuantitatif berbagai senyawa organik. Bromide berlebih hadir dalam kasus-kasus semacam ini, sehingga jumlah bromin yang dihasilkan dapat dihitung dari jumlah KBrO3 yang diambil. Biasanya bromin yang dihasilkan apabila terdapat kelebihan pada kuantitas yang dibutuhkan untuk membrominasi senyawa organik tersebut untuk membantu memaksa reaksi ini agar selesai sepenuhnya.Reaksi bromin dengan senyawa organiknya dapat berupa subtitusi atau bisa juga reaksi adisi.YodimetriDalam hal ini I2 sebagai oksidator,maka harus direaksikan dengan suatu oksidator. Reduktor ada 2 macam : reduktor kuat & reduktor lemahDengan reduktor kuat berlangsung sempurna,cepat dan dapat juga berlangsung dalam lingkungan asam.

D. Alat Dan Bahan1.AlatNeraca Analitik Labu Erlenmeyer 100 ml Gelas kimia.Pipet Tetes Gelas ukur . Batang PengadukBuret Pipet Volume .corong Labu Takar . statif & klem

2.Bahan Na2S2O3 KIO3  KI 20 % H2SO4 Aquadest

3. dokumentasi kegiatan Hasil pengamatan untuk standarisasi lod dengan larutan KIO3Hasil pengamatan untuk Penetapan Cu (II) dalam CuSO4.5H2OHasil pengamatan untuk standarisasi larutan iod (yodimetri)

E. Prosedur Kerja Yodometria. Pembuatan larutan standar Natrium Tiosulfat 0,1 N 

Na2S2O3- ditimbang 24,8 gr- dilarutkan dengan aquades 1 L 

Page 17: ASAM KARBOKSILAT

- disimpan dibotol reagen- ditambahkan 1 tetes kloroform - Larutan Na2S2O3

b. standarisasi dengan larutan KIO3 

KIO3 0,1 N-pipet larutan 10 ml ke dalam Erlenmeyer- tambahkan 5 ml KI 20%- tambahkan 8 ml H2SO4 4 N - iod yang dibebaskan dititar dengan larutan natrium Tiosulfat hingga warna kuning- tambahkan indikator amilum- dititrasi terus hingga warna biru hilang - mengulangi percobaan duploLarutanberwarna,denganV1=16.5,V2= 51,3 dan duplo V1= 17.3,V2=52,6

b. penetapan Cu (II) dalam CuSO4.5H2O

CuSO4.5H2O-menimbang 1 gr- melarutkan dengan aquades- memasukan kedalam labu ukur 50 ml-kocok - pipet 5 ml kedalam Erlenmeyer- menambahkan KI 20% 25 ml & H2SO4 4 N 25 mL- titrasi dengan Na2S2O3 hingga warna merahMuda- menambahkan amilum 5 tetes - titrasi kembali dengan Na2S2O3 sampai warna biru hilang

E. Hasil Pengamatan Yodometri1. Standarisasi dengan larurtan KIO3No Perlakuan Hasil Pengamatan1

2

3

4 Pipet larutan KIO3 kedalam erlenmeyer + 5 ml KI 20 % dan 8 ml H2SO4 4 N 

Page 18: ASAM KARBOKSILAT

Larutan dititrasi dengan larutan Na2S2O3

Menambahkan indikator amylumDan ditirasi kembali dengan Na2S2O3Melakukan percobaan duplo Terbentuk larutan berwarna hitam pekatLarutan berubah menjadi warna kuning.V1= 16 ml.Larutan menjadi warna biruV2= 51,3 mlV1= 17.3 ml dan V2= 52,6 ml

2. Penetapan Cu (II) dalam CuSO4.5H2ONo Perlakuan Hasil Pengamatan1

2

34 Pipet 10 ml larutan CuSO4.5H2O kedalam Erlenmeyer ditambahkan KI 20 % 50 ml dan 5 tetes H2SO4 4 NLarutan dititrasi dengan larutan Na2S2O3

Menambahkan indikator amylumMelakukan titrasi dengan larutan Na2S2O3Larutan berwarna coklat tua

Larutan berwarna coklat mudaV1= 7 mlLarutan berwarna biru

Larutan berwarna putih susu (Pekat)V2= 12,4 ml

F. Pembahasan Yodium merupakan oksidator yang relatif lemah. Oksidasi potensial sistem yodium yodida ini dapat dituliskan sebagai reaksi berikut ini : I2 + 2 e- 2 I- Eo = + 0,535 volt Yodimetri merupakan titrasi langsung dengan baku yodium terhadap senyawa dengan potensial oksidasi yang lebih rendah, yodometri merupakan titrasi tidak langsung, metode ini diterapkan terhadap senyawa dengan potensial oksidasi yang lebih besar dari sistem yodium yodida. Yodium yang bebas dititrasi dengan natrium tiosulfat. Satu tetes larutan yodium 0,1 N dalam 100 ml air memberikan warna kuning pucat. Untuk

Page 19: ASAM KARBOKSILAT

menaikkan kepekaan titik akhir dapat digunakan indikator kanji. Yodium dilihat dengan kadar yodium 2 x 10-4 M dan yodida 4 x 10-4 M. Penyusun utama kanji adalah amilosa dan amilopektin. Amilosa dengan yodium membentuk warna biru, sedangkan amilopektin membentuk warna merah. Sebagai indikator dapat pula digunakan karbon tetraklorida. Adanya yodium dalam lapisan organik menimbulkan warna ungu.

Dalam percobaan ini,iodometri & iodimetri dimana dalam titrasi iodometri tak langsung menggunakan larutan Na2S2O3 sebagai titran untuk menentukan kadar iodium yang dibebaskan pada suatu reaksi redoks dimana reaksi yang terjadi adalah :Oksidator + 2I- I2 + reduktorI2 + 2S2O32- 2I- + S4O62- 1. Pembuatan larutan standar Na2S2O3 0,1 NDalam membuat larutan standar Na2S2O3 0,1 N yang pertama kita lakukan adalah menimbang Natrium tiosulfat sebanyak 24,8 gr yang dilarutkan dalam aquades,dalam labu ukur 1000 ml dan kemudian ditambahkan satu tetes kloroform.Na2S2O3 0,1 NGr = M x Mr x L = 0,1 N x 24,8 gr x 0,1 L= 0,248 grTitik akhir titrasi ditetapkan dengan bantuan indikator kanji, yang ditambahkan sesaat sebelum titik akhir tercapai. Warna biru kompleks iodium kanji akan hilang pada saat titik akhir titrasi..Larutan Na2S2O3 adalah standar sekunder karena sifatnya tidak stabil terhadap oksidasi dari udar,asam dan adanya bakteri pemakan belerang yang terdapat dalam pelarut.. Larutan Na2S2O3 0,1 N yang telah dibuat digunakan sebagai titran dalam standarisasi dengan larutan KIO32. Standarisasi dengan larutan KIO3 Langkah awal dalam percobaan ini adalah larutan KIO3 0,1 N 10 ml kedalam erlenmeyer, kemudian ditambahkan 5 ml KI 20 % dan ditambahkan larutan H2SO4 4 N sebanyak 8 ml. Dalam penambahan larutan ini warna yang di hasilkan adalah warna hitam. Selanjutnya larutan ini di titrasi dengan larutan Na2S2O3 dalam buret dan warna yang di hasilkan adalah warna kuning pada volume 16 ml(V1), kemuidian ditambahkan indikator amylum sebanyak 5 tetes dan dititrasi kembali dengan Na2S2O3 hingga warna biru hilang. Warna biru hilang pada volume 51,3 ml(V2). Selanjutnya melakukan titrasi duplo langkahnya sama seperti diatas tapi volume yang dihasilkan berbeda V1=17,3 ml dan V2=52,6 ml.3.Penetapan Cu(II) dalam CuSO4.5H2O Langkah yang harus pertama kali dilakukan dalam percobaan ini adalah 2 gr CuSO4.5H2O dilarutkan dengan aquades dalam labu ukur 100ml kemudian dipipet 10 ml kedalam Erlenmeyer,ditambahkan 50ml KI 20% dan di tambahkan 5 tetes H2SO4 4 N hasil yang diperoleh dalam pencampuran larutan ini adalah warna coklat tua.kemudian di titrasi dengan Na2S2O3 hingga warna menjadi lebih muda lalu ditambahkan indikator amylum dan di titrasi kembali hingga warna biru hilang atau warnanya menjadi bening. Cara membuat larutan KI 20 % ditimbang 20 gr kemudian dilarutakan dalam 100 ml, aquades dalam labu ukur. Sedangkan cara pembutan larutan H2SO4 4 N adalah melarutkan 10 ml H2SO4 dalam 100 ml aquades

Page 20: ASAM KARBOKSILAT

.Reaksi yang terjadi antara Na2S2O3 dengan KIO3 adalah :IO3- + 5I- + 6H+ 3 I2 + 3H2O3I- + 6 S2O32- 6I- + 3S4O62- IO3- + +6 S2O32 + 6H+ I- + 3S4O62- + 3H2O

Jadi, BE IO3- = Mr / 6 = 35,67 Dalam percobaan ini terbentuk larutan yang ditambahkan dengan Na2S2O3 berwarna coklat & coklat muda.4. Standarisasi Larutan Iod 0,1 NLangkah awal dalam percobaan ini adalah menimbang 6,35 gr Iod pada botol timbang dan dimasukan dalam labu ukur 500 ml, kemudian di tambahakan dengan 20 gr KI lalu di larutkan dengan 40 ml aquadest di encerkan sampai 500 ml pada penambahan ini warna yang di hasilkan adalah warna merah kehitaman. Larutan ini di pipet 10 ml ke dalam erlenmeyer. Selanjutnya di titrasi dengan Na2S2O3 sampai terjadi perubahan warna dan warna yang dihasilkan adalah warna merah muda pada volume 5,5 ml. Kemudian dititrasi ditambahkan indikator amylum dan dititrasi kembali sampai warna biru hilang atau warnya menjadi bening. Pada percobaan ini melakukan titrasi duplo dan yang dihasilkan V1= 5,6 ml dan V2 = 6,2 ml. 

G. Kesimpulan

 Yodometri adalah titrasi yang menggunakan larutan Na2S2O3 sebagai titran untuk menentukan kadar iyodium yang dibebaskan pada suatu reaksi redoks iodimetri adalah merupakan analisis titrimetri yang secara langsung digunakan untuk zat reduktor atau natrium tiosulfat dengan menggunakan larutan iodin atau dengan penambahan larutan baku berlebihan. Kelebihan iodine dititrasi kembali dengan larutan tiosulfat. Larutan Na2S2O3 adalah standar sekunder karena sifatnya tidak stabil terhadap oksidasi dari udar,asam dan adanya bakteri pemakan belerang yang terdapat dalam pelarut.. Cara membuat larutan KI 20 % ditimbang 20 gr kemudian dilarutakan dalam 100 ml, aquades dalam labu ukur. Sedangkan cara pembutan larutan H2SO4 4 N adalah melarutkan 10 ml H2SO4 dalam 100 ml aquades

H. Kemungkinan Kesalahan

 Kurang telitinya praktikan dalam menimbang ataupun mengukur suatu larutan atau zat yang digunakan dalam percobaan. Kurang telitinya praktikan saat membuat larutan Kurang teliti praktikan dalam mencampurkan suatu larutan Kurang telitinya praktikan saat menentukan volume dalam percobaan.

J. DAFTAR PUSTAKA

Teaching, team. 2008. Modul Penuntun Praktikum Dasar-dasar Kimia Analitik. Gorontalo : UNGlukum, astin. 2005. Bahan Ajar Dasar-dasar Kimia Analitik. Gorontalo : UNG

Page 21: ASAM KARBOKSILAT

DAY. J. Y. dan UNDERWOOD A. L. 2002. Analisis Kimia Kualitatif. EDISI VI.Jakarta : Erlangga

Heterocyclic Chemistry

Heterocyclic Compounds

Compounds classified as heterocyclic probably constitute the largest and most varied family of organic compounds. After all, every carbocyclic compound, regardless of structure and functionality, may in principle be converted into a collection of heterocyclic analogs by replacing one or more of the ring carbon atoms with a different element. Even if we restrict our consideration to oxygen, nitrogen and sulfur (the most common heterocyclic elements), the permutations and combinations of such a replacement are numerous.

Nomenclature

Devising a systematic nomenclature system for heterocyclic compounds presented a formidable challenge, which has not been uniformly concluded. Many heterocycles, especially amines, were identified early on, and received trivial names which are still preferred. Some monocyclic compounds of this kind are shown in the following chart, with the common (trivial) name in bold and a systematic name based on the Hantzsch-Widman system given beneath it in blue. The rules for using this system will be given later. For most students, learning these common names will provide an adequate nomenclature background.

An easy to remember, but limited, nomenclature system makes use of an elemental prefix for the heteroatom followed by the appropriate carbocyclic name. A short list of some common prefixes is given in the following table, priority order increasing from right to left. Examples of this nomenclature are: ethylene oxide = oxacyclopropane, furan = oxacyclopenta-2,4-diene, pyridine = azabenzene, and morpholine = 1-oxa-4-azacyclohexane.

Page 22: ASAM KARBOKSILAT

Element oxygen sulfur selenium nitrogen phosphorous silicon boron

Valence II II II III III IV III

Prefix Oxa Thia Selena Aza Phospha Sila Bora

The Hantzsch-Widman system provides a more systematic method of naming heterocyclic compounds that is not dependent on prior carbocyclic names. It makes use of the same hetero atom prefix defined above (dropping the final "a"), followed by a suffix designating ring size and saturation. As outlined in the following table, each suffix consists of a ring size root (blue) and an ending intended to designate the degree of unsaturation in the ring. In this respect, it is important to recognize that the saturated suffix applies only to completely saturated ring systems, and the unsaturated suffix applies to rings incorporating the maximum number of non-cumulated double bonds. Systems having a lesser degree of unsaturation require an appropriate prefix, such as "dihydro"or "tetrahydro".

Ring Size 3 4 5 6 7 8 9 10

Suffix  Unsaturated  Saturated

ireneirane

eteetane

oleolane

ineinane

epineepane

ocineocane

onineonane

ecineecane

Despite the general systematic structure of the Hantzsch-Widman system, several exceptions and modifications have been incorporated to accommodate conflicts with prior usage. Some examples are:

• The terminal "e" in the suffix is optional though recommended.• Saturated 3, 4 & 5-membered nitrogen heterocycles should use respectively the traditional "iridine", "etidine" & "olidine" suffix.• Unsaturated nitrogen 3-membered heterocycles may use the traditional "irine" suffix.• Consistent use of "etine" and "oline" as a suffix for 4 & 5-membered unsaturated heterocycles is prevented by their former use for similar sized nitrogen heterocycles. • Established use of oxine, azine and silane for other compounds or functions prohibits their use for pyran, pyridine and silacyclohexane respectively.

Examples of these nomenclature rules are written in blue, both in the previous diagram and that shown below. Note that when a maximally unsaturated ring includes a saturated atom, its location may be designated by a "#H " prefix to avoid ambiguity, as in pyran and pyrrole above and several examples below. When numbering a ring with more than one heteroatom, the highest priority atom is #1 and continues in the direction that gives the next priority atom the lowest number.

Page 23: ASAM KARBOKSILAT

All the previous examples have been monocyclic compounds. Polycyclic compounds incorporating one or more heterocyclic rings are well known. A few of these are shown in the following diagram. As before, common names are in black and systematic names in blue. The two quinolines illustrate another nuance of heterocyclic nomenclature. Thus, the location of a fused ring may be indicated by a lowercase letter which designates the edge of the heterocyclic ring involved in the fusion, as shown by the pyridine ring in the green shaded box.

Heterocyclic rings are found in many naturally occurring compounds. Most notably, they compose the core structures of mono and polysaccharides, and the four DNA bases that establish the genetic code. By clicking on the above diagram some other examples of heterocyclic natural products will be displayed.

Preparation and Reactions

Three-Membered Rings

Page 24: ASAM KARBOKSILAT

Oxiranes (epoxides) are the most commonly encountered three-membered heterocycles. Epoxides are easily prepared by reaction of alkenes with peracids, usually with good stereospecificity. Because of the high angle strain of the three-membered ring, epoxides are more reactive that unstrained ethers. Addition reactions proceeding by electrophilic or nucleophilic opening of the ring constitute the most general reaction class. Example 1 in the following diagram shows one such transformation, which is interesting due to subsequent conversion of the addition intermediate into the corresponding thiirane. The initial ring opening is stereoelectronically directed in a trans-diaxial fashion, the intermediate relaxing to the diequatorial conformer before cyclizing to a 1,3-oxathiolane intermediate. Other examples show similar addition reactions to thiiranes and aziridines. The acid-catalyzed additions in examples 2 and 3, illustrate the influence of substituents on the regioselectivity of addition. Example 2 reflects the SN2 character of nucleophile (chloride anion) attack on the protonated aziridine (the less substituted carbon is the site of addition). The phenyl substituent in example 3 serves to stabilize the developing carbocation to such a degree that SN1 selectivity is realized. The reduction of thiiranes to alkenes by reaction with phosphite esters (example 6) is highly stereospecific, and is believed to take place by an initial bonding of phosphorous to sulfur.

By clicking on the above diagram, four additional example of three-membered heterocycle reactivity or intermediacy will be displayed. Examples 7 and 8 are thermal reactions in which both the heteroatom and the strained ring are important factors. The α-lactone intermediate shown in the solvolysis of optically active 2-bromopropanoic acid (example 9) accounts both for the 1st-order kinetics of this reaction and the retention of configuration in the product. Note that two inversions of configuration at C-2 result in overall retention. Many examples of intramolecular interactions, such as example 10, have been documented.An interesting regioselectivity in the intramolecular ring-opening reactions of disubstituted epoxides having a pendant γ-hydroxy substituent has been noted. As illustrated below, acid and base-catalyzed reactions normally proceed by 5-exo-substitution (reaction 1), yielding a tetrahydrofuran product. However, if the oxirane has an unsaturated substituent (vinyl or phenyl), the acid-catalyzed opening occurs at the allylic (or benzylic) carbon (reaction 2) in a 6-endo fashion. The π-electron system of the substituent assists development of positive charge at the adjacent oxirane carbon, directing nucleophilic attack to that site.

Page 25: ASAM KARBOKSILAT

Four-Membered Rings

      PreparationSeveral methods of preparing four-membered heterocyclic compounds are shown in the following diagram. The simple procedure of treating a 3-halo alcohol, thiol or amine with base is generally effective, but the yields are often mediocre. Dimerization and elimination are common side reactions, and other functions may compete in the reaction. In the case of example 1, cyclization to an oxirane competes with thietane formation, but the greater nucleophilicity of sulfur dominates, especially if a weak base is used. In example 2 both aziridine and azetidine formation are possible, but only the former is observed. This is a good example of the kinetic advantage of three-membered ring formation. Example 4 demonstrates that this approach to azetidine formation works well in the absence of competition. Indeed, the exceptional yield of this product is attributed to the gem-dimethyl substitution, the Thorpe-Ingold effect, which is believed to favor coiled chain conformations. The relatively rigid configuration of the substrate in example 3, favors oxetane formation and prevents an oxirane cyclization from occurring. Finally, the Paterno-Buchi photocyclizations in examples 5 and 6 are particularly suited to oxetane formation.

      ReactionsReactions of four-membered heterocycles also show the influence of ring strain. Some examples are given in the following diagram. Acid-catalysis is a common feature of many ring-opening reactions, as shown by examples 1, 2 & 3a. In the thietane reaction (2), the sulfur undergoes electrophilic chlorination to form a chlorosulfonium intermediate followed by a ring-opening

Page 26: ASAM KARBOKSILAT

chloride ion substitution. Strong nucleophiles will also open the strained ether, as shown by reaction 3b. Cleavage reactions of β-lactones may take place either by acid-catalyzed acyl exchange, as in 4a, or by alkyl-O rupture by nucleophiles, as in 4b. Example 5 is an interesting case of intramolecular rearrangement to an ortho-ester. Finally, the β-lactam cleavage of penicillin G (reaction 6) testifies to the enhanced acylating reactivity of this fused ring system. Most amides are extremely unreactive acylation reagents, thanks to stabilization by p-π resonance. Such electron pair delocalization is diminished in the penicillins, leaving the nitrogen with a pyramidal configuration and the carbonyl function more reactive toward nucleophiles.

Five-Membered Rings

      PreparationCommercial preparation of furan proceeds by way of the aldehyde, furfural, which in turn is generated from pentose containing raw materials like corncobs, as shown in the uppermost equation below. Similar preparations of pyrrole and thiophene are depicted in the second row equations. Equation 1 in the third row illustrates a general preparation of substituted furans, pyrroles and thiophenes from 1,4-dicarbonyl compounds, known as the Paal-Knorr synthesis. Many other procedures leading to substituted heterocycles of this kind have been devised. Two of these are shown in reactions 2 and 3. Furan is reduced to tetrahydrofuran by palladium-catalyzed hydrogenation. This cyclic ether is not only a valuable solvent, but it is readily converted to 1,4-dihalobutanes or 4-haloalkylsulfonates, which may be used to prepare pyrrolidine and thiolane. Dipolar cycloaddition reactions often lead to more complex five-membered heterocycles.

Page 27: ASAM KARBOKSILAT

Indole is probably the most important fused ring heterocycle in this class. By clicking on the above diagram three examples of indole synthesis will be displayed. The first proceeds by an electrophilic substitution of a nitrogen-activated benzene ring. The second presumably takes place by formation of a dianionic species in which the ArCH2(–) unit bonds to the deactivated carbonyl group. Finally, the Fischer indole synthesis is a remarkable sequence of tautomerism, sigmatropic rearrangement, nucleophilic addition, and elimination reactions occurring subsequent to phenylhydrazone formation. This interesting transformation involves the oxidation of two carbon atoms and the reduction of one carbon and both nitrogen atoms.

      ReactionsThe chemical reactivity of the saturated members of this class of heterocycles: tetrahydrofuran, thiolane and pyrrolidine, resemble that of acyclic ethers, sulfides, and 2º-amines, and will not be described here. 1,3-Dioxolanes and dithiolanes are cyclic acetals and thioacetals. These units are commonly used as protective groups for aldehydes and ketones, and may be hydrolyzed by the action of aqueous acid. It is the "aromatic" unsaturated compounds, furan, thiophene and pyrrole that require our attention. In each case the heteroatom has at least one pair of non-bonding electrons that may combine with the four π-electrons of the double bonds to produce an annulene having an aromatic sextet of electrons. This is illustrated by the resonance description at the top of the following diagram. The heteroatom Y becomes sp2-hybridized and acquires a positive charge as its electron pair is delocalized around the ring. An easily observed consequence of this delocalization is a change in dipole moment compared with the analogous saturated heterocycles, which all have strong dipoles with the heteroatom at the negative end. As expected, the aromatic heterocycles have much smaller dipole moments, or in the case of pyrrole a large dipole in the opposite direction. An important characteristic of aromaticity is enhanced thermodynamic stability, and this is usually demonstrated by relative heats of hydrogenation or heats of combustion measurements. By this standard, the three aromatic heterocycles under examination are stabilized, but to a lesser degree than benzene. Additional evidence for the aromatic character of pyrrole is found in its exceptionally weak basicity (pKa ca. 0) and strong acidity (pKa = 15) for a 2º-amine. The corresponding values for the saturated amine pyrrolidine are: basicity 11.2 and acidity 32.

Page 28: ASAM KARBOKSILAT

Another characteristic of aromatic systems, of particular importance to chemists, is their pattern of reactivity with electrophilic reagents. Whereas simple cycloalkenes generally give addition reactions, aromatic compounds tend to react by substitution. As noted for benzene and its derivatives, these substitutions take place by an initial electrophile addition, followed by a proton loss from the "onium" intermediate to regenerate the aromatic ring. The aromatic five-membered heterocycles all undergo electrophilic substitution, with a general reactivity order: pyrrole >> furan > thiophene > benzene. Some examples are given in the following diagram. The reaction conditions show clearly the greater reactivity of furan compared with thiophene. All these aromatic heterocycles react vigorously with chlorine and bromine, often forming polyhalogenated products together with polymers. The exceptional reactivity of pyrrole is evidenced by its reaction with iodine (bottom left equation), and formation of 2-acetylpyrrole by simply warming it with acetic anhydride (no catalyst).

There is a clear preference for substitution at the 2-position (α) of the ring, especially for furan and thiophene. Reactions of pyrrole require careful evaluation, since N-protonation destroys its aromatic character. Indeed, N-substitution of this 2º-amine is often carried out prior to subsequent reactions. For example, pyrrole reacts with acetic anhydride or acetyl chloride and triethyl amine to give N-acetylpyrrole. Consequently, the regioselectivity of pyrrole substitution

Page 29: ASAM KARBOKSILAT

is variable, as noted by the bottom right equation. An explanation for the general α-selectivity of these substitution reactions is apparent from the mechanism outlined below. The intermediate formed by electrophile attack at C-2 is stabilized by charge delocalization to a greater degree than the intermediate from C-3 attack. From the Hammond postulate we may then infer that the activation energy for substitution at the former position is less than the latter substitution.

Functional substituents influence the substitution reactions of these heterocycles in much the same fashion as they do for benzene. Indeed, once one understands the ortho-para and meta-directing character of these substituents, their directing influence on heterocyclic ring substitution is not difficult to predict. The following diagram shows seven such reactions. Reactions 1 & 2 are 3-substituted thiophenes, the first by an electron donating substituent and the second by an electron withdrawing group. The third reaction has two substituents of different types in the 2 and 5-positions. Finally, examples 4 through 7 illustrate reactions of 1,2- and 1,3-oxazole, thiazole and diazole. Note that the basicity of the sp2-hybridized nitrogen in the diazoles is over a million times greater than that of the apparent sp3-hybridized nitrogen, the electron pair of which is part of the aromatic electron sextet.

Other possible reactions are suggested by the structural features of these heterocycles. For example, furan could be considered an enol ether and pyrrole an enamine. Such functions are known to undergo acid-catalyzed hydrolysis to carbonyl compounds and alcohols or amines.

Page 30: ASAM KARBOKSILAT

Since these compounds are also heteroatom substituted dienes, we might anticipate Diels-Alder cycloaddition reactions with appropriate dienophiles. These possibilities will be illustrated above by clicking on the diagram. As noted in the upper example, furans may indeed be hydrolyzed to 1,4-dicarbonyl compounds, but pyrroles and thiophenes behave differently. The second two examples, shown in the middle, demonstrate typical reactions of furan and pyrrole with the strong dienophile maleic anhydride. The former participates in a cycloaddition reaction; however, the pyrrole simply undergoes electrophilic substitution at C-2. Thiophene does not easily react with this dienophile.The bottom line of the new diagram illustrates the remarkable influence that additional nitrogen units have on the hydrolysis of a series of N-acetylazoles in water at 25 ºC and pH=7. The pyrrole compound on the left is essentially unreactive, as expected for an amide, but additional nitrogens markedly increase the rate of hydrolysis. This effect has been put to practical use in applications of the acylation reagent 1,1'-carbonyldiimidazole (Staab's reagent).

Another facet of heterocyclic chemistry was disclosed in the course of investigations concerning the action of thiamine (following diagram). As its pyrophosphate derivative, thiamine is a coenzyme for several biochemical reactions, notably decarboxylations of pyruvic acid to acetaldehyde and acetoin. Early workers speculated that an "active aldehyde" or acyl carbanion species was an intermediate in these reactions. Many proposals were made, some involving the aminopyrimidine moiety, and others, ring-opened hydrolysis derivatives of the thiazole ring, but none were satisfactory. This puzzle was solved when R. Breslow (Columbia) found that the C-2 hydrogen of thiazolium salts was unexpectedly acidic (pKa ca. 13), forming a relatively stable ylide conjugate base. As shown, this rationalizes the facile decarboxylation of thiazolium-2-carboxylic acids and deuterium exchange at C-2 in neutral heavy water.Appropriate thiazolium salts catalyze the conversion of aldehydes to acyloins in much the same way that cyanide ion catalyzes the formation of benzoin from benzaldehyde, the benzoin condensation. By clicking on the diagram, a new display will show mechanisms for these two reactions. Note that in both cases an acyl anion equivalent is formed and then adds to a carbonyl function in the expected manner. The benzoin condensation is limited to aromatic aldehydes, but the use of thiazolium catalysts has proven broadly effective for aliphatic and aromatic aldehydes. This approach to acyloins employs milder conditions than the reduction of esters to enediol intermediates by the action of metallic sodium .

Page 31: ASAM KARBOKSILAT

The most important condensed ring system related to these heterocycles is indole. Some electrophilic substitution reactions of indole are shown in the following diagram. Whether the indole nitrogen is substituted or not, the favored site of attack is C-3 of the heterocyclic ring. Bonding of the electrophile at that position permits stabilization of the onium-intermediate by the nitrogen without disruption of the benzene aromaticity.

Six-Membered Rings

      PropertiesThe chemical reactivity of the saturated members of this class of heterocycles: tetrahydropyran, thiane and piperidine, resemble that of acyclic ethers, sulfides, and 2º-amines, and will not be described here. 1,3-Dioxanes and dithianes are cyclic acetals and thioacetals. These units are

Page 32: ASAM KARBOKSILAT

commonly used as protective groups for aldehydes and ketones, as well as synthetic intermediates, and may be hydrolyzed by the action of aqueous acid. The reactivity of partially unsaturated compounds depends on the relationship of the double bond and the heteroatom (e.g. 3,4-dihydro-2H-pyran is an enol ether).Fully unsaturated six-membered nitrogen heterocycles, such as pyridine, pyrazine, pyrimidine and pyridazine, have stable aromatic rings. Oxygen and sulfur analogs are necessarily positively charged, as in the case of 2,4,6-triphenylpyrylium tetrafluoroborate.

From heat of combustion measurements, the aromatic stabilization energy of pyridine is 21 kcal/mole. The resonance description drawn at the top of the following diagram includes charge separated structures not normally considered for benzene. The greater electronegativity of nitrogen (relative to carbon) suggests that such canonical forms may contribute to a significant degree. Indeed, the larger dipole moment of pyridine compared with piperidine supports this view. Pyridine and its derivatives are weak bases, reflecting the sp2 hybridization of the nitrogen. From the polar canonical forms shown here, it should be apparent that electron donating substituents will increase the basicity of a pyridine, and that substituents on the 2 and 4-positions will influence this basicity more than an equivalent 3-substituent. The pKa values given in the table illustrate a few of these substituent effects. Methyl substituted derivatives have the common names picoline (methyl pyridines), lutidine (dimethyl pyridines) and collidine (trimethyl pyridines). The influence of 2-substituents is complex, consisting of steric hindrance and electrostatic components. 4-Dimethylaminopyridine is a useful catalyst for acylation reactions carried out in pyridine as a solvent. At first glance, the sp3 hybridized nitrogen might appear to be the stronger base, but it should be remembered that N,N-dimethylaniline has a pKa slightly lower than that of pyridine itself. Consequently, the sp2 ring nitrogen is the site at which protonation occurs.

Page 33: ASAM KARBOKSILAT

The diazines pyrazine, pyrimidine and pyridazine are all weaker bases than pyridine due to the inductive effect of the second nitrogen. However, the order of base strength is unexpected. A consideration of the polar contributors helps to explain the difference between pyrazine and pyrimidine, but the basicity of pyridazine seems anomalous. It has been suggested that electron pair repulsion involving the vicinal nitrogens destabilizes the neutral base relative to its conjugate acid.

      Electrophilic Substitution of PyridinePyridine is a modest base (pKa=5.2). Since the basic unshared electron pair is not part of the aromatic sextet, as in pyrrole, pyridinium species produced by N-substitution retain the aromaticity of pyridine. As shown below, N-alkylation and N-acylation products may be prepared as stable crystalline solids in the absence of water or other reactive nucleophiles. The N-acyl salts may serve as acyl transfer agents for the preparation of esters and amides. Because of the stability of the pyridinium cation, it has been used as a moderating component in complexes with a number of reactive inorganic compounds. Several examples of these stable and easily handled reagents are shown at the bottom of the diagram. The poly(hydrogen fluoride) salt is a convenient source of HF for addition to alkenes and conversion of alcohols to alkyl fluorides, pyridinium chlorochromate (PCC) and its related dichromate analog are versatile oxidation agents and the tribromide salt is a convenient source of bromine. Similarly, the reactive compounds sulfur trioxide and diborane are conveniently and safely handled as pyridine complexes.Amine oxide derivatives of 3º-amines and pyridine are readily prepared by oxidation with peracids or peroxides, as shown by the upper right equation. Reduction back to the amine can usually be achieved by treatment with zinc (or other reactive metals) in dilute acid.

From the previous resonance description of pyridine, we expect this aromatic amine to undergo electrophilic substitution reactions far less easily than does benzene. Furthermore, as depicted above by clicking on the diagram, the electrophilic reagents and catalysts employed in these reactions coordinate with the nitrogen electron pair, exacerbating the positive charge at positions 2,4 & 6 of the pyridine ring. Three examples of the extreme conditions required for electrophilic substitution are shown on the left. Substituents that block electrophile coordination with nitrogen

Page 34: ASAM KARBOKSILAT

or reduce the basicity of the nitrogen facilitate substitution, as demonstrated by the examples in the blue-shaded box at the lower right, but substitution at C-3 remains dominant. Activating substituents at other locations also influence the ease and regioselectivity of substitution. By clicking on the diagram a second time, three examples will shown on the left. The amine substituent in the upper case directs the substitution to C-2, but the weaker electron donating methyl substituent in the middle example cannot overcome the tendency for 3-substitution. Hydroxyl substituents at C-2 and C-4 tautomerize to pyridones, as shown for the 2-isomer at the bottom left.Pyridine N-oxide undergoes some electrophilic substitutions at C-4 and others at C-3. The coordinate covalent N–O bond may exert a push-pull influence, as illustrated by the two examples on the right. Although the positively charged nitrogen alone would have a strong deactivating influence, the negatively charged oxygen can introduce electron density at C-2, C-4 & C-6 by π-bonding to the ring nitrogen. This is a controlling factor in the relatively facile nitration at C-4. However, if the oxygen is bonded to an electrophile such as SO3, the resulting pyridinium ion will react sluggishly and preferentially at C-3.

The fused ring heterocycles quinoline and isoquinoline provide additional evidence for the stability of the pyridine ring. Vigorous permanganate oxidation of quinoline results in predominant attack on the benzene ring; isoquinoline yields products from cleavage of both rings. Note that naphthalene is oxidized to phthalic acid in a similar manner. By contrast, the heterocyclic ring in both compounds undergoes preferential catalytic hydrogenation to yield tetrahydroproducts. Electrophilic nitration, halogenation and sulfonation generally take place at C-5 and C-8 of the benzene ring, in agreement with the preceding description of similar pyridine reactions and the kinetically favored substitution of naphthalene at C-1 (α) rather than C-2 (β).

      Other Reactions of Pyridine

Thanks to the nitrogen in the ring, pyridine compounds undergo nucleophilic substitution reactions more easily than equivalent benzene derivatives. In the following diagram, reaction 1 illustrates displacement of a 2-chloro substituent by ethoxide anion. The addition-elimination mechanism shown for this reaction is helped by nitrogen's ability to support a negative charge. A

Page 35: ASAM KARBOKSILAT

similar intermediate may be written for substitution of a 4-halopyridine, but substitution at the 3-position is prohibited by the the failure to create an intermediate of this kind. The two Chichibabin aminations in reactions 2 and 3 are remarkable in that the leaving anion is hydride (or an equivalent). Hydrogen is often evolved in the course of these reactions. In accord with this mechanism, quinoline is aminated at both C-2 and C-4.Addition of strong nucleophiles to N-oxide derivatives of pyridine proceed more rapidly than to pyridine itself, as demonstrated by reactions 4 and 5. The dihydro-pyridine intermediate easily loses water or its equivalent by elimination of the –OM substituent on nitrogen.

By clicking on the above diagram, five additional examples of base or nucleophile reactions with substituted pyridine will be displayed. Because the pyridine ring (and to a greater degree the N-oxide ring) can support a negative charge, alkyl substituents in the 2- and 4-locations are activated in the same fashion as by a carbonyl group. Reactions 6 and 7 show alkylation and condensation reactions resulting from this activation. Reaction 8 is an example of N-alkylpyridone formation by hydroxide addition to an N-alkyl pyridinium cation, followed by mild oxidation. Birch reduction converts pyridines to dihydropyridines that are bis-enamines and may be hydrolyzed to 1,5-dicarbonyl compounds. Pyridinium salts undergo a one electron transfer to generate remarkably stable free radicals. The example shown in reaction 9 is a stable (in the absence of oxygen), distillable green liquid. Although 3-halopyridines do not undergo addition-elimination substitution reactions as do their 2- and 4-isomers, the strong base sodium amide effects amination by way of a pyridyne intermediate. This is illustrated by reaction 10. It is interesting that 3-pyridyne is formed in preference to 2-pyridyne. The latter is formed if C-4 is occupied by an alkyl substituent. The pyridyne intermediate is similar to benzyne.

Some Polycyclic Heterocycles

Heterocyclic structures are found in many natural products. Examples of some nitrogen compounds, known as alkaloids because of their basic properties, were given in the amine chapter. Some other examples are displayed in the following diagram. Camptothecin is a quinoline alkaloid which inhibits the DNA enzyme topoisomerase I. Reserpine is an indole alkaloid, which has been used for the control of high blood pressure and the treatment of

Page 36: ASAM KARBOKSILAT

psychotic behavior. Ajmaline and strychnine are also indole alkaloids, the former being an antiarrhythmic agent and latter an extremely toxic pesticide. The neurotoxins saxitoxin and tetrodotoxin both have marine origins and are characterized by guanidiniun moieties. Aflatoxin B1 is a non-nitrogenous carcinogenic compound produced by the Aspergillus fungus.

Porphyrin is an important cyclic tertrapyrrole that is the core structure of heme and chlorophyll. These structures will be drawn above by clicking on the diagram.

Derivatives of the simple fused ring heterocycle purine constitute an especially important and abundant family of natural products. The amino compounds adenine and guanine are two of the complementary bases that are essential components of DNA. Structures for these compounds are shown in the following diagram. Xanthine and uric acid are products of the metabolic oxidation of purines. Uric acid is normally excreted in the urine; an excess serum accumulation of uric acid may lead to an arthritic condition known as gout.

Page 37: ASAM KARBOKSILAT

Examples of common methylated purines will be drawn above by clicking on the diagram. Caffeine, the best known of these, is a bitter, crystalline alkaloid. It is found in varying quantities, along with additional alkaloids such as the cardiac stimulants theophylline and theobromine in the beans, leaves, and fruit of certain plants. Drinks containing caffeine, such as coffee, tea and some soft drinks are arguably the world's most widely consumed beverages. Caffeine is a central nervous system stimulant, serving to ward off drowsiness and restore alertness. Paraxantheine is the chief metabolite of caffeine in the body.

Sulfur heterocycles are found in nature, but to a lesser degree than their nitrogen and oxygen analogs. Two members of the B-vitamin complex, biotin and thiamine, incorporate such heterocyclic moieties. These are shown together with other heterocyclic B-vitamins in the following diagram.

Page 38: ASAM KARBOKSILAT

Terthienyl is an interesting thiophene trimer found in the roots of marigolds, where it provides nemicidal activity. Studies have shown that UV irradiation of terthienyl produces a general phototoxicity for many organisms. Polymers incorporating thiophene units and fused systems such as dithienothiophene have interesting electromagnetic properties, and show promise as organic metal-like conductors and photovoltaic materials. The charge transfer complex formed by tetrathiofulvalene and tetracyanoquinodimethane has one of the highest electrical conductivities reported for an organic solid.

Return to Table of Contents

Page 39: ASAM KARBOKSILAT

http://annisanfushie.wordpress.com/2009/01/02/asam-karboksilat/

Suatu asam karboksilat adalah suatu senyawa organik yang mengandung gugus

karboksil, –COOH. Gugus karboksil mengandung gugus karbonil dan sebuah gugus

Page 40: ASAM KARBOKSILAT

hidroksil; antar aksi dari kedua gugus ini mengakibatkan suatu kereaktifan kimia yang unik

dan untuk asam karboksilat (Fessenden, 1997).

Asam format terdapat pada semut merah (asal dari nama), lebah, jelatang dan

sebagainya (juga sedikit dalam urine dan peluh). Sifat fisika: cairan, tak berwarna, merusak

kulit, berbau tajam, larut dalam H2O dengan sempurna. Sifat kimia: asam paling kuat dari

asam-asam karboksilat, mempunyai gugus asam dan aldehida (Riawan, 1990).

Asam asetat (CH3COOH) sejauh ini merupakan asam karboksilat yang paling penting

diperdagangan, industri dan laboratorium. Bentuk murninya disebut asam asetat glasial

karena senyawa ini menjadi padat seperti es bila didinginkan. Asam asetat glasial tidak

berwarna, cairan mudah terbakar (titik leleh 7ºC, titik didih 80ºC), dengan bau pedas

menggigit. Dapat bercampur dengan air dan banyak pelarut organik (Fessenden, 1997).

Adapun sifat-sifat yang dimiliki oleh asam karboksilat adalah:

1. Reaksi Pembentukan Garam

Garam organik yang membentuk dan memiliki sifat fisik dari garam anorganik

padatannya, NaCl dan KNO3 adalah garam organik yang meleleh pada temperatur tinggi,

larut dalam air dan tidak berbau. Reaksi yang terjadi adalah:

HCOOH + Na+ → HCOONa + H2O

2. Reaksi Esterifikasi

Ester asam karboksilat ialah senyawa yang mengandung gugus –COOR dengan R dapat

berbentuk alkil. Ester dapat dibentuk berkat reaksi langsung antara asam karboksilat

dengan alkohol. Secara umum reaksinya adalah:

RCOOH + R’OH → RCOOR + H2O

3. Reaksi Oksidasi

Page 41: ASAM KARBOKSILAT

Reaksi terjadi pada pembakaran atau oleh reagen yang sangat kokoh dan kuat seperti

asam sulfat, CrO3, panas. Gugus asam karboksilat teroksidasi sangat lambat.

4. Pembentukan Asam Karboksilat

Beberapa cara pembentukan asam karboksilat dengan jalan sintesa dapat dikelompokkan

dalam 3 cara yaitu: reaksi hidrolisis turunan asam karboksilat, reaksi oksidasi, reaksi

Grignat (Fessenden, 1997).

Asam karboksilat, dengan basa akan membentuk garam dan dengan alkohol

menghasilkan eter. Banyak dijumpai dalam lemak dan minyak, sehingga sering juga

disebut asam lemak. Pembuatannya antara lain melalui oksidasi alkohol primer, sekunder

atau aldehida, oksidasi alkena, oksidasi alkuna hidrolisa alkil sianida (suatu nitril) dengan

HCl encer, hidrolisa ester dengan asam, hidroilisa asil halida, dan reagen organolitium

(Wilbraham, 1992).

B. Pembahasan

1. Pembentukan Asam Karboksilat

a. Oksidasi aldehid

Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah memasukkan 0,5 ml KMnO4 ke dalam

tabung reaksi dan menambahkan 2 tetes H2SO4 pekat. Kemudian dikocok agar larutan homogen.

Menambahkan 0,5 ml sampel asetaldehid lalu dipanaskan dalam penangas air, pemanasan

dilakukan untuk mempercepat reaksi yang berlangsung. Maka didapatkan perubahan yang terjadi

adalah larutan terasa panas, mengalami perubahan warna dari ungu menjadi cokelat, muncul

gelembung, dan bau menyengat. Percobaan di atas menunjukkan adanya reaksi positif dari

sampel asetaldehid karena terbentuknya asam karboksilat yang dibuktikan dengan bau yang

menyengat. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:

O

R C H + [ O ] RCO2H

Page 42: ASAM KARBOKSILAT

b. Hidrolisis ester

Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah memasukkan ke dalam tabung reaksi 0,25

ml H2SO4 dan 0,5 ml etil asetat. Maka didapatkan perubahan yang terjadi adalah larutan terasa

panas berwarna bening, dan bau yang dihasilkan adalah bau balon. Hal tersebut menunjukkan

adanya reaksi positif dari etil asetat karena munculnya bau balon yang menunjukkan ada proses

pembentukan asam karboksilat. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:

O

H+ / OH

-

R C – OR + H2O RCO2H + HOR

c. Reaksi garam karboksilat dengan asam sulfat

Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah memasukkan 0,5 ml larutan Na-asetat dan

0,5 ml H2SO4 encer. Kemudian mengocok agar larutan menjadi homogen dan dipanaskan agar

reaksi berlangsung lebih cepat. Maka didapatkan perubahan yang terjadi adalah larutan berwarna

bening, dan bau yang dihasilkan adalah bau kapur barus. Hal tersebut menunjukkan adanya

reaksi positif dari Na-asetat karena munculnya bau kapur barus yang menunjukkan ada proses

pembentukan asam karboksilat. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:

2CH3CO2Na + H2SO4 Na2SO4 + 2CH3CO2H

2. Pembentukan Garam Karboksilat

Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah dimasukkan 0,5 ml larutan sampel (asam asetat,

asam format, asam propionat) ke dalam tabung reaksi lalu ditambahkan 0,5 ml NaOH. Kemudian

dikocok agar larutan homogen. Maka didapatkan perubahan yang terjadi secara berturut-turut

adalah pada sampel asam asetat larutan berwarna bening, sampel asam format larutan berwarna

bening, sampel asam propionat larutan berwarna bening dan terdapat gelembung. Hal tersebut

Page 43: ASAM KARBOKSILAT

menunjukkan hanya asam propionat yang bereaksi positif pada pembentukan garam karboksilat,

yang ditunjukkan dengan munculnya gelembung. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut :

CH3COOH + NaOH CH3COONa + H2O

Asam asetat

HCOOH + NaOH HCOONa + H2O

Asam format

C2H5COOH + NaOH C2H5COONa + H2O

Asam propionat

3. Esterifikasi

Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah dimasukkan ke dalam tabung reaksi 0,5 ml

etanol 70% lalu ditambahkan 0,5 ml asam asetat dan 3 tetes H2SO4 pekat Kemudian dikocok agar

larutan homogen dan dipanaskan dalam penangas air selama 5 menit, pemanasan dilakukan

untuk mempercepat reaksi yang berlangsung. Maka didapatkan sebagai berikut pada sampel

asam format warna larutan bening, ada gelembung, setelah dipanaskan bau menyengat. Sampel

asam propionat warna larutan bening, setelah dipanaskan tetap bau sangat menyengat. Sampel

asam asetat warna larutan bening, setelah dipanaskan bau menyengat. Percobaan tersebut

diketahui bahwa asam propionat lebih reaktif daripada sampel yang lain, karena menghasilkan

bau yang sangat menyengat. Sampel asam asetat yang paling tidak bereaksi.

Langkah kedua yang perlu dilakukan adalah dimasukkan ke dalam tabung reaksi 0,5 ml

etanol absolut lalu ditambahkan 0,5 ml asam asetat dan 3 tetes H2SO4 pekat Kemudian dikocok

agar larutan homogen dan dipanaskan dalam penangas air selama 5 menit, pemanasan dilakukan

untuk mempercepat reaksi yang berlangsung. Maka didapatkan sebagai berikut pada sampel

asam format ada gelembung, setelah dipanaskan bau menyengat. Sampel asam propionat warna

larutan bening, ada 2 lapisan (atas bening, bawah kuning) setelah dipanaskan tetap bau

Page 44: ASAM KARBOKSILAT

menyengat. Sampel asam asetat warna larutan bening, setelah dipanaskan bau tidak menyengat.

Percobaan tersebut diketahui bahwa asam propionat lebih reaktif dari pada sampel yang lain,

karena menghasilkan bau yang menyengat. Asam asetat paling tidak bereaksi. Reaksi yang

terjadi adalah sebagai berikut:

H+, kalor

CH3CO2H + CH3CH2OH CH3CO2CH2CH3 + H2O

Asam asetat etanol H2SO

4 etil asetat

Reaksi yang terjadi pada etanol 70% dan etanol absolut adalah sama seperti di atas. Bedanya

hanya pada bau yang dihasilkan. Etanol 70% baunya adalah bau balon dan sedikit bau asetat

(menyengat). Sedangkan pada etanol absolut berbau balon (keton) saja. Hal ini disebabkan pada

etanol 70% terdapat 30% air, yang berfungsi sebagai pengikat air, sehingga ketika larutan

dituangkan ke air menghasilkan bau yang menyengat.

4. Oksidasi

a. Oksidasi dengan KMnO4

Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah memasukan ke dalam tabung reaksi 0,5 ml

asam format dan ditambahkan 2 tetes KMnO4. Kemudian dipanaskan dalam penangas selama 2

menit, pemanasan dilakukan untuk mempercepat reaksi yang berlangsung. Maka didapatkan

utnuk sampel asam format warna cokelat, kemudian warna larutan menjadi bening setelah

ditambah sampel, setelah dipanaskan tidak ada endapan. Sampel asam asetat didapatkan warna

ungu, setelah dipanaskan ada endapan merah bata. Sampel asam propionat didapatkan warna

merah kekuningan, setelah dipanaskan ada endapan cokelat tua. Hal tersebut menunjukkan

bahwa asam asetat dan asam propionat lebih reaktif dari pada asam format dalam reaksi Oksidasi

dengan KMnO4. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:

KMnO4-

HCOOH + O CO2+ H2O

Page 45: ASAM KARBOKSILAT

Asam format

Kalor

CH3COOH + KMnO4- CH2 + CO2 + H2O

Asam asetat

Kalor

CH2CH3COOH + KMnO4- 2CH2 + CO2 + H2O

Asam propionat

b. Oksidasi dengan pereaksi fehling

Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah dimasukkan ke dalam tabung reaksi 0,5 ml asam

format dan ditambahkan 0,5 ml fehling A dan B. Kemudian dipanaskan dalam penangas selama

2 menit pemanasan dilakukan untuk mempercepat reaksi yang berlangsung. Pada sampel asam

format larutan terdiri atas dua bagian, lapisan atas berwarna biru tua dan lapisan bawah berwarna

kuning kecoklatan. Pada asam asetat, setelah dilakukan pemanasan pada larutan, tidak terjadi

perubahan secara fisik pada larutan, yakni larutan tetap berwarna biru muda. Hal ini

menunjukkan bahwa asam asetat tidak bisa dioksidasi oleh reagen fehling disebabkan karena

asam asetat tergolong asam lemah, sehingga memiliki daya oksidasi yang lemah pula dan tidak

dapat mereduksi larutan fehling. Reaksi yang terjadi dapat dituliskan sebagai berikut:

Fehling A dan B (Kalor)

HCOOH + 2CuO CO2 + H2O + Cu2O

Asam format

Fehling A dan B (Kalor)

CH3COOH + 2CuO CH2CO2 + H2O + Cu2O

Page 46: ASAM KARBOKSILAT

Asam asetat

Fehling A dan B (Kalor)

CH2CH3COOH + 2CuO CH2CH2CO2 + H2O + Cu2O

Asam Propionat

5. Reaksi garam karboksilat

Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah dimasukkan ke dalam tabung reaksi 0,5 ml

Na-Asetat dan ditambahkan 0,5 ml FeCl3 hingga terbentuk warna merah. Maka didapatkan

larutan berwarna orange setelah dipanaskan warna larutan berubah lagi menjadi warna orange

tua. Hal tersebut menunjukan bahwa terjadi reaksi positif dari na-asetat. Reaksi yang terjadi

adalah sebagai berikut:

3NaCH3COO + FeCl3 3NaCl + 3CH3COO- + Fe3+

6CH3COO- + 3Fe3+ + 2H2O [Fe (OH)2 (CH3COO)6]+ + 2H+

VI. KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diambil dari percobaan ini adalah:

1. Percobaan dengan oksidasi aldehid didapatkan asetaldehid reaktif dalam pembentukan asam karboksilat.

2. Percobaan hidrolisis ester didapatkan reaksi positif dari etil asetat karena timbulnya bau

balon yang menunjukkan proses pembentukan asam karboksilat.

3. Reaksi garam karboksilat dengan asam sulfat didapatkan reaksi positif dari Na-asetat

karena timbulnya bau kapur barus yang menunjukkan proses pembentukan asam

karboksilat.

Page 47: ASAM KARBOKSILAT

4. Percobaan pembentukan garam karboksilat didapatkan asam propionat yang bereaksi

positif pada pembentukan garam karboksilat, ditunjukkan dengan munculnya gelembung.

5. Percobaan esterifikasi, dengan etanol diketahui sampel asam propionat lebih reaktif dari

pada sampel yang lain, karena menghasilkan bau yang sangat menyengat. Asam asetat

yang paling tidak bereaksi.

6. Percobaan oksidasi dengan KMnO4 didapatkan asam asetat dan asam propionat lebih

reaktif dari pada asam format dalam reaksi Oksidasi dengan KMnO4.

7. Percobaan reaksi garam karboksilat terjadi reaksi positif dari Na-asetat karena terjadi

perubahan pada saat pemanasan, dengan terbentuknya warna orange tua.

DAFTAR PUSTAKA

Fessenden, Ralph J, dan Fessenden, Joan S. 1997. Dasar-dasatr Kimia Organik. Bina Aksara. Jakarta.

Riawan, S. 1990. Kimia Organik Edisi 1. Binarupa Aksara. Jakarta.

Wilbraham, Antony C. 1992. Pengantar Kimia Organik 1. ITB. Bandung.

http://rolifhartika.wordpress.com/kimia-kelas-xii/senyawa-karbon/asam-karboksilat/sifat-fisika-dan-kimia/

Sifat KimiaAsam karboksilata. Reaksi dengan basa

Asam karboksilat bereaksi dengan basa menghasilkan garam dan air.

Contoh :

b. Reduksi

Page 48: ASAM KARBOKSILAT

Reduksi asam karboksilat dengan katalis litium alumunium hidrida menghasilkan alkohol primer.

Contoh :

c. Reaksi dengan tionil diklorida

Asam karboksilat bereaksi dengan tionil diklorida membentuk klorida asam, hidrogen klorida dan gas belerang dioksida.

Contoh :

d. Esterifikasi

Dengan alkohol, asam karboksilat membentuk ester. Reaksi yang terjadi merupakan reaksi kesetimbangan.

Contoh :

e. Reaksi dengan amonia

Dengan amonia, asam karboksilat membentuk amida dan air.

Contoh :

f. Dekarboksilasi

Pada suhu tinggi, asam karboksilat terdekarboksilasi membentuk alkana.

Contoh :

g. Halogenasi

Page 49: ASAM KARBOKSILAT

Asam karboksilat dapat bereaksi dengan halogen dengan katalis phosfor membentuk asam trihalida karboksilat dan hidrogen halida.

Contoh :

 

Asam karboksilat adalah asam organik yang diidentikkan dengan gugus karboksil. Asam karboksilat   merupakan asam Bronsted-Lowry (donor proton). Garam dan anion asam karboksilat dinamakan karboksilat. Asam karboksilat merupakan senyawa polar, dan membentuk ikatan hidrogen satu sama lain. Pada fasa gas, Asam karboksilat dalam bentuk dimer. Dalam larutan Asam karboksilat merupakan asam lemah yang sebagian molekulnya terdisosiasi menjadi H+ dan RCOO-. Contoh : pada temperatur kamar, hanya 0,02% dari molekul asam asetat yang terdisosiasi dalam air. Asam karboksilat alifatik rantai pendek (atom karbon <18) dibuat dengan karbonilasi alkohol dengan karbon monoksida. Untuk rantai panjang dibuat dengan hidrolisis trigliserida yang biasa terdapat pada minyak hewan dan tumbuhan.

1. Struktur

Rumus umum asam karboksilat adalah R-COOH atau Ar-COOH, dimana :

R           : Alkil

Ar         : Aril

-COOH  : Gugus karboksil

Contoh :

Ciri khusus dalam asam karboksilat adalah terdapatnya gugus fungsi karboksil (-COOH), karboksil diambil dari karbonil (-CO-) dan hidroksil (-OH).

Sudut yang dibentuk oleh gugus fungsi –COOH- sebesar 120 derjat dan panjang ikatan C=O sebesar 0,121 nm.

Page 50: ASAM KARBOKSILAT

Contoh :

Tata nama

Tatanama Asam karboksilat

a. IUPAC

1) Pemberian nama asam karboksilat dilakukan dengan mengganti akhiran –a pada nama alkana dengan –oat.

Contoh :

2) Tentukan rantai utama (rantai dengan jumlah atom karbon paling panjang yang mengandung gugus karboksil).

Contoh :

3) Tentukan substituen yang terikat rantai utama.

Page 51: ASAM KARBOKSILAT

Contoh :

4) Penomoran substituen dimulai dari atom C gugus karboksil.

Contoh :

5) Jika terdapat 2/lebih substituen berbeda dalam penulisan harus disusun berdasarkan urutan abjad huruf pertama nama substituen.

Contoh :

6) Penambahan kata “asam” pada awal nama senyawa.

Contoh :

7) Awalan di-, tri-, sek-, ters-, tidak perlu diperhatikan dalam penentuan urutan abjad sedangkan awalan yang tidak dipisahkan dengan tanda hubung (antara lain : iso-, dan neo-) diperhatikan dalam penentuan urutan abjad.

Contoh : bukan Asam-3-neopentil-2-metilheksanoat tetapi Asam 2-metil-3-neopentilheksanoat

b. Trivial (Nama Umum)

1) Tak bercabang

Berikut ini daftar nama trivial beberapa asam karboksilat yang tidak bercabang :

Page 52: ASAM KARBOKSILAT

2) Bercabang

a) Tentukan rantai utama (rantai dengan jumlah atom karbon paling panjang yang terdapat gugus karboksil).

Contoh :

b) Tentukan substituen yang terikat pada rantai utama.

Contoh

c) Penambahan kata “asam” pada awal nama senyawa.

d) Penomoran substituen dimulai dari atom karbon yang mengikat gugus karboksil dengan huruf α, β, γ.

Contoh :

Pembuatan Asam karboksilata. Oksidasi alkohol primer

Oksidasi alkohol primer dengan katalis kalium permanganat akan menghasilkan asam karboksilat.

Page 53: ASAM KARBOKSILAT

Contoh :

b. Karbonasi pereaksi Grignard

Karbonasi pereaksi Grignard dalam eter, kemudian dihidrolisis akan menghasilkan asam karboksilat.

Contoh :

c. Oksidasi alkil benzena

Oksidasi alkil benzena dengan katalis kalium bikromat dan asam sulfat akan menghasilkan asam karboksilat.

Contoh :

d. Hidrolisis senyawa nitril

Hidrolisis senyawa nitril dalam suasana asam akan membentuk asam karboksilat.

Contoh :

Kegunaan Asam karboksilata. Asam format dipakai untuk menggumpalkan lateks (getah karet).

b. Asam asetat digunakan sebagai cuka makan.

 

Asam alkanoat

Belum DiperiksaLangsung ke: navigasi, cari

Page 54: ASAM KARBOKSILAT

Rumus bangun umum asam alkanoat. R (radikal) dapat berupa gugus fungsional lain

Ion karboksilat

Struktur 3D dari gugus karboksil

Asam alkanoat (atau asam karboksilat) adalah golongan asam organik alifatik yang memiliki gugus karboksil (biasa dilambangkan dengan -COOH). Semua asam alkanoat adalah asam lemah. Dalam pelarut air, sebagian molekulnya terionisasi dengan melepas atom hidrogen menjadi ion H+.

Asam karboksilat dapat memiliki lebih dari satu gugus fungsional. Asam karboksilat yang memiliki dua gugus karboksil disebut asam dikarboksilat (alkandioat), jika tiga disebut asam trikarboksilat (alkantrioat), dan seterusnya.

Asam karboksilat dengan banyak atom karbon (berantai banyak) lebih umum disebut sebagai asam lemak karena sifat-sifat fisiknya.

Daftar isi

1 Sifat fisis o 1.1 Kelarutan o 1.2 Titik didih o 1.3 Keasaman o 1.4 Bau

2 Sintesis o 2.1 Dalam industri

Page 55: ASAM KARBOKSILAT

o 2.2 Dalam laboratorium 3 Penamaan dan contoh senyawa 4 Lihat pula 5 Referensi 6 Pranala luar

Sifat fisis

Kelarutan

Dimer asam karboksilat

Asam karboksilat bersifat polar. Asam karboksilat rantai kecil (1 sampai 5 karbon) dapat larut dalam air, sedangkan pada rantai yang lebih panjang semakin kurang larut karena sifat hidrofobik dari rantai alkil. Asam karboksilat untuk rantai yang lebih panjang cenderung larut pada pelarut yang kurang polar seperti eter dan alkohol.[1]

Titik didih

Asam karboksilat cenderung memiliki titik didih yang lebih tinggi daripada air. Hal ini disebabkan oleh luas permukaannya yang besar serta kecenderungan molekulnya membentuk dimer yang stabil.

Keasaman

Asam karboksilat termasuk dalam kelompok asam lemah, yang artinya hanya terdisosiasi sebagian menjadi kation H+ dan anion RCOO– dalam larutan. Sebagai contoh, pada suhu ruangan, 1 molar asam asetat hanya terdisosiasi 0,4% saja. Adanya substituen elektronegatif (seperti halogen) menambah sifat keasaman.

Asam karboksilat[2] pKaAsam format (HCOOH) 3.75Asam asetat (CH3COOH) 4.76Asam kloroasetat (CH2ClCO2H) 2.86Asam dikloroasetat (CHCl2CO2H) 1.29Asam trikloroasetat (CCl3CO2H) 0.65Asam trifluoroasetat (CF3CO2H) 0.5Asam oksalat (HO2CCO2H) 1.27

Page 56: ASAM KARBOKSILAT

Asam benzoat (C6H5CO2H) 4.2

Bau

Asam karboksilat memiliki bau yang menyengat. Yang paling umum adalah asam asetat pada cuka dan asam butanoat pada mentega tengik. Di sisi lain, ester dari asam karboksilat memiliki bau yang harum dan banyak digunakan untuk parfum.

Sintesis

Dalam industri

Sintesis asam karboksilat pada skala industri berbeda dengan sintesis untuk laboratorium karena membutuhkan peralatan khusus.

Oksidasi aldehida dengan udara dengan bantuan katalis kobalt dan mangan. Aldehida dapat diperoleh dari alkena dengan hidroformilasi

Oksidasi hidrokarbon dengan udara. Gugus alkil pada benzena teroksidasi menjadi asam karboksilat. Asam benzoat dari toluena dan asam tereftalat dari para-xilena, serta asam ftalat dari orto-xilena merupakan beberapa contoh konversi skala besar. Asam akrilat dihasilkan dari propena.[3]

Dehidrogenasi alkohol dengan bantuan katalis basa. Karbonilasi. Metode ini efektif digunakan pada alkena yang menghasilkan karbokation

sekunder dan tersier, contohnya isobutilena menjadi asam pivalat. Pada Reaksi Koch, penambahan air dan karbon monoksida pada alkena dibantu katalis asam kuat. Asam asetat dan asam format didapatkan dari karbonilasi metanol, dengan bantuan iodida dan alkoksida.

Beberapa asam karboksilat rantai panjang didapatkan dari hidrolisis trigliserida. fermentasi etanol digunakan dalam pembuatan cuka.

Dalam laboratorium

Metode sintesis dalam skala kecil untuk penelitian terkadang menggunakan reagen mahal.

oksidasi alkohol primer atau aldehida dengan oksidan kuat seperti kalium dikromat, reagen Jones, kalium permanganat, atau natrium klorit.

Pembelahan oksidatif olefin dengan ozonolisis, kalium permanganat, atau kalium dikromat.

Asam karboksilat juga dapat diperoleh dari hidrolisis nitril, ester, atau amida, dengan bantuan katalis asam atau basa.

Karbonasi reagen Grignard dan organolitium:

RLi + CO2 → RCO2LiRCO2Li + HCl → RCO2H + LiCl

Page 57: ASAM KARBOKSILAT

Halogenasi diikuti hidrolisis metil keton pada reaksi haloform Reaksi Kolbe-Schmitt untuk membuat asam salisilat, bahan utama aspirin.

Penamaan dan contoh senyawa

Nama-nama asam karboksilat dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Meskipun jarang digunakan, tapi nama IUPAC juga tetap ada. Misalnya, nama IUPAC untuk asam butirat(C3H7CO2H) adalah asam butanoat.[4]

Anion karboksilat R-COO– biasanya dinamai dengan akhiran -at, jadi asam asetat, misalnya, menjadi ion asetat. Dalam tatanama IUPAC, asam karboksilat mempunyai akhiran -oat (contoh asam oktadekanoat). Dalam tatanama derifat, akhirannya adalah -at saja (contoh asam stearat).

Rantai lurus, asam karboksilat tersaturasiAtom

karbonNama derifat Nama IUPAC Rumus molekul Biasanya terdapat pada

1 Asam format Asam metanoat HCOOH Gigitan serangga2 Asam asetat Asam etanoat CH3COOH Cuka3 Asam propionat Asam propanoat CH3CH2COOH Pengawet pada gandum4 Asam butirat Asam butanoat CH3(CH2)2COOH Mentega basi5 Asam valerat Asam pentanoat CH3(CH2)3COOH Valerian6 Asam kaproat Asam heksanoat CH3(CH2)4COOH Lemak kambing7 Asam enantoat Asam heptanoat CH3(CH2)5COOH8 Asam kaprilat Asam oktanoat CH3(CH2)6COOH Kelapa dan air susu ibu

9Asam pelargonoat

Asam nonanoat CH3(CH2)7COOH Pelargonium

10 Asam kaprat Asam dekanoat CH3(CH2)8COOH

12 Asam laurat Asam dodekanoat CH3(CH2)10COOHMinyak kelapa dan sabun cuci tangan.

14 Asam miristatAsam tetradekanoat

CH3(CH2)12COOH Pala

16 Asam palmitatAsam heksadekanoat

CH3(CH2)14COOH Minyak palem

18 Asam stearatAsam oktadekanoat

CH3(CH2)16COOHCoklat, wax, sabun, dan minyak

20 Arachidic acid Icosanoic acid CH3(CH2)18COOH Peanut oil