Page 1
Referat Ujian Gerontologi Medik Aldila Gantinio (406067048)
ARTRITIS REUMATOID
Aldila Gantinio (406067048)
KEPANITERAAN KLINIK GERONTOLOGI MEDIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA
SASANA TRESNA WERDHA YAYASAN KARYA BHAKTI RIA PEMBANGUNAN
CIBUBUR
Abstrak
Artritis Reumatoid (AR) sering mengenai penduduk pada usia produktif sehingga
memberi dampak sosial dan ekonomi yang besar. AR adalah penyakit yang dapat
menyebabkan kerusakan pada sendi dan tulang. Sebagian besar pasien menunjukkan gejala
penyakit kronik yang hilang timbul, yang jika tidak diobati akan menyebabkan terjadinya
kerusakan persendian lebih lanjut, kecacatan bahkan kematian. Kerusakan dan kecacatan ini
dapat dicegah atau dikurangi dengan pemberian DMARD, sehinga diagnosis dini dan terapi
agresif sangat penting untuk mencegah terjadinya kecacatan pada pasien dengan artritis
reumatoid. Pada sisi lain diagnosis dini sering menghadapi kendala yaitu pada masa dini
sering belum didapatkan gambaran karakteristik AR karena gambaran karakteristik AR
berkembang sejalan dengan waktu dimana sering sudah terlambat untuk memulai pengobatan
yang adekuat. Dalam pengobatan AR umumnya selalu dibutuhkan pendekatan
multidisipliner. Suatu tim yang idealnya terdiri dari dokter, perawat, ahli fisioterapi, ahli
terapi okupasional, pekerja sosial, ahli farmasi, ahli gizi, dan ahli psikologi. Dengan
penerangan yang baik mengenai panyakitnya, pasien AR diharapkan dapat melakukan
kontrol atas perubahan emosional, motivasi dan kognitif yang terganggu akibat penyakit ini.
Penelitian terbaru untuk pengobatan AR adalah dengan mengkombinasikan antara etanercept
yang merupakan TNF-α blocking agents dengan metotrexate yang merupakan DMARD.
Kepaniteraan Klinik Gerontologi Medik 1Fakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraSasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan2008
Page 2
Referat Ujian Gerontologi Medik Aldila Gantinio (406067048)
I. PENDAHULUAN
Artritis Reumatoid (AR) merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik kronik yang
walaupun menifestasi utamanya adalah poliartritis yang progresif, akan tetapi penyakit ini
juga melibatkan seluruh organ tubuh. Penyakit ini merupakan suatu penyakit autoimun yang
ditandai dengan terdapatnya sinovitis erosif simetrik yang walaupun terutama mengenai
jaringan persendian, seringkali juga melibatkan organ tubuh lainnya. Sebagian besar pasien
menunjukkan gejala penyakit kronik yang hilang timbul, yang jika tidak diobati akan
menyebabkan terjadinya kerusakan persendian dan deformitas sendi yang progresif yang
menyebabkan disabilitas bahkan kematian dini. Walaupun faktor genetik, hormon seks,
infeksi dan umur telah diketahui berpengaruh kuat dalam menentukan pola morbiditas
penyakit ini.
Selama dekade terakhir ini telah banyak dilakukan penelitian tentang AR yang
mengakibatkan terjadinya perubahan dalam konsep AR sebagai penyakit dalam berbagai
bidang termasuk etiologi, diagnostik, patogenesis dan penatalaksanaannya. Berbagai cara
pendekatan yang dahulu banyak diterima, saat ini telah banyak ditinggalkan, sebaliknya cara
pendekatan yang dahulu dianggap tidak memuaskan, setelah diadakan penelitian kembali
dengan metodologi penelitian yang tepat ternyata merupakan cara pendekatan yang
sebenarnya amat bermanfaat.
II. EPIDEMIOLOGI
Artritis Reumatoid (AR) merupakan suatu penyakit yang tersebar luas serta
melibatkan semua kelompok ras dan etnik di dunia. AR lebih sering dijumpai pada wanita,
dengan perbandingan wanita dan pria sebesar 3:1. Perbandingan ini mencapai 5:1 pada
wanita dalam usia subur.
Prevalensi artritis reumatoid relatif tetap pada banyak populasi, sebesar 0,5% - 1,0%.
Prevalensi tertinggi dilaporkan pada Pima Indians (5,3%) dan pada Chippewa Indian (6,8%).
Sebaliknya rendahnya angka kejadian telah dilaporkan pada populasi dari China dan Jepang.
Kepaniteraan Klinik Gerontologi Medik 2Fakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraSasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan2008
Page 3
Referat Ujian Gerontologi Medik Aldila Gantinio (406067048)
Grafik. 1. Prevalence of rheumatoid arthritis in various population
Prevalensi dan insidensi penyakit ini bervariasi antara populasi satu dengan yang
lainnya, di Amerika Serikat, Kanada dan beberapa daerah di Eropa prevalensi AR sekitar 1%
pada kaukasia dewasa. Di Indonesia hasil penelitian di Malang pada penduduk diatas usia 40
tahun didapatkan prevalensi AR 0,5% di daerah Kotamadya dan 0,6% di daerah Kabupaten.
Di Poliklinik Reumatologi RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, pada tahun 2000 kasus
baru artritis reumatoid merupakan 4,1% dari seluruh kasus baru.
III. ANATOMI dan FISIOLOGI
Sistem muskuloskeletal berfungi sebagai penunjang bentuk tubuh dan ikut serta dalam
pergerakan. Sistem ini terdiri dari tulang, sendi, otot rangka, tendon, ligamen, bursa, dan
jaringan–jaringan khusus yang menghubungkan struktur tersebut.
A. Sendi
Sendi adalah pertemuan dua atau lebih tulang. Tulang-tulang ini dipadukan dengan
berbagai cara, misalnya dengan kapsul sendi, pita fibrosa, ligamen, tendon, fasia, atau otot.
Ada tiga tipe sendi, yaitu :
1. Sendi fibrosa atau sinarthroidal, merupakan sendi yang tidak dapat bergerak.
2. Sendi kartilaginosa atau amphiarthroidal, merupakan sendi yang sedikit bergerak.
3. Sendi sinovial atau diarthroidal, merupakan sendi yang dapat bergerak dengan bebas.
Kepaniteraan Klinik Gerontologi Medik 3Fakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraSasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan2008
Page 4
Referat Ujian Gerontologi Medik Aldila Gantinio (406067048)
Gambar. 1. Normal joint and Arthritic joint
A.1. Sendi fibrosa (Sinarthroidal)
Sendi ini tidak memiliki lapisan tulang rawan, dan tulang yang satu dengan yang
lainnya dihubungkan oleh jaringan penyambung fibrosa. Contohnya terdapat pada sutura
tulang-tulang tengkorak. Yang kedua disebut sindesmosis, dan terdiri dari suatu membran
interosseus atau suatu ligamen antara tulang. Hubungan ini memungkinkan sedikit
gerakan, tetapi bukan gerakan sejati. Contohnya ialah perlekatan tulang tibia dan fibula
bagian distal.
Gambar. 2. Synarthroidal joint
Kepaniteraan Klinik Gerontologi Medik 4Fakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraSasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan2008
Page 5
Referat Ujian Gerontologi Medik Aldila Gantinio (406067048)
A.2. Sendi kartilaginosa (Amphiarthroidal)
Sendi kartilaginosa
adalah sendi dimana
ujung–ujung tulangnya
dibungkus oleh rawan
hialin dan disokong oleh
ligamen, sehingga
hanya memungkinkan
suatu gerakan yang
terbatas. Ada dua tipe
sendi kartilaginosa.
Gambar. 3. Amphiarthroidal joint
Sinkondrosis adalah sendi-sendi yang seluruh persendiannya diliputi oleh tulang
rawan hialin. Sendi-sendi kostokondral adalah contoh dari sinkondrosis. Simfisis adalah
sendi yang tulang-tulangnya memiliki suatu hubungan fibrokartilago, dan selapis tipis
tulang rawan hialin yang menyelimuti permukaan sendi. Simfisis pubis dan sendi-sendi
pada tulang punggung adalah contoh-contohnya.
A.3. Sendi sinovial (Diarthroidal)
Sendi sinovial adalah sendi-sendi tubuh yang dapat digerakkan. Sendi-sendi ini
memiliki rongga sendi dan permukaan rongga sendi dilapisi tulang rawan hialin.
Kapsul sendi terdiri dari suatu selaput penutup fibrosa padat, suatu lapisan dalam yang
terbentuk dari jaringan penyambung berpembuluh darah banyak dan sinovium yang
membentuk suatu kantung yang melapisi seluruh sendi, dan membungkus tendon-tendon
yang melintasi sendi. Sinovium tidak meluas melampaui permukaan sendi, tetapi terlipat
sehingga memungkinkan gerakan sendi secara penuh. Lapisan-lapisan bursa diseluruh
persendian membentuk sinovium. Periosteum tidak melewati kapsul.
Sinovium menghasilkan cairan yang sangat kental yang membasahi permukaan sendi.
Cairan sinovial normalnya bening, tidak membeku dan tidak berwarna. Jumlah yang
ditemukan pada tiap-tiap sendi relatif kecil (1 sampai 3 ml). Hitung sel darah putih pada
cairan ini normalnya kurang dari 200 sel/ml dan terutama adalah sel-sel mononuklear.
Asam hialuronidase adalah senyawa yang bertanggung jawab atas viskositas cairan
Kepaniteraan Klinik Gerontologi Medik 5Fakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraSasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan2008
Page 6
Referat Ujian Gerontologi Medik Aldila Gantinio (406067048)
sinovial dan disintesis oleh sel-sel pembungkus sinovial. Bagian cair dari cairan sinovial
diperkirakan berasal dari transudat plasma. Cairan sinovial juga bertindak sebagai sumber
nutrisi bagi tulang rawan sendi.
Kartilago hialin menutupi bagian tulang yang menanggung beban tubuh pada sendi
sinovial. Tulang rawan ini memegang peranan penting dalam membagi beban tubuh.
Rawan sendi tersusun dari sedikit sel dan sebagian besar substansi dasar. Substansi dasar
ini terdiri dari kolagen tipe II dan proteoglikan yang berasal dari sel-sel tulang rawan.
Proteoglikan yang ditemukan pada tulang rawan sendi sangat hidrofilik sehingga
memungkinkan tulang rawan tersebut menerima beban yang berat.
Tulang rawan sendi pada orang dewasa tidak mendapat aliran darah, limfe, atau
persarafan. Oksigen dan bahan-bahan metabolisme lain dibawa oleh cairan sendi yang
membasahi tulang rawan tersebut. Perubahan susunan kolagen pembentukan proteoglikan
dapat terjadi setelah cedera atau usia yang bertambah. Beberapa kolagen baru pada tahap
ini mulai membentuk kolagen tipe I yang lebih fibrosa. Proteoglikan dapat kehilangan
sebagian kemampuan hidrofiliknya. Perubahan-perubahan ini berarti tulang rawan akan
kehilangan kemampuannya untuk menahan kerusakan bila diberi beban berat.
Sendi dilumasi oleh cairan sinovial dan oleh perubahan-perubahan hidrostatik yang
terjadi pada cairan interstitial tulang rawan. Tekanan yang terjadi pada tulang rawan akan
mengakibatkan pergeseran cairan ke bagian yang kurang mendapat tekanan. Sejalan
dengan pergeseran sendi ke depan, cairan yang bergerak ini juga bergeser ke depan
mendahului beban. Cairan kemudian akan bergerak ke belakang ke bagian tulang rawan
ketika tekanan berkurang. Tulang rawan sendi dan tulang-tulang yang membentuk sendi
biasanya terpisah selama gerakan selaput cairan ini. Selama terdapat cukup selaput atau
cairan, tulang rawan tidak dapat aus meskipun dipakai terlalu banyak.
Aliran darah ke sendi banyak yang menuju ke sinovium. Pembuluh darah mulai masuk
melalui tulang subkondral pada tingkat tepi kapsul. Jaringan kapiler sangat tebal di bagian
sinovium yang menempel langsung pada ruang sendi. Hal ini memungkinkan bahan-bahan
di dalam plasma berdifusi dengan mudah ke dalam ruang sendi. Proses peradangan dapat
sangat menonjol di sinovium karena di dalam daerah tersebut banyak mengandung aliran
darah, dan disamping itu juga terdapat banyak sel mast dan sel lain dan zat kimia yang
secara dinamis berinteraksi untuk merangsang dan memperkuat respons peradangan.
Saraf-saraf otonom dan sensorik tersebar luas pada ligamen, kapsul sendi, dan
sinovium. Saraf-saraf ini berfungsi untuk memberikan sensitivitas pada struktur-struktur
Kepaniteraan Klinik Gerontologi Medik 6Fakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraSasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan2008
Page 7
Referat Ujian Gerontologi Medik Aldila Gantinio (406067048)
ini terhadap posisi dan pergerakan. Ujung-ujung saraf pada kapsul, ligamen, dan adventisia
pembuluh darah sangat sensitif terhadap peregangan dan perputaran. Nyeri yang timbul
dari kapsul sendi atau sinovium cenderung difus dan tidak terlokalisasi. Sendi dipersarafi
oleh saraf-saraf perifer yang menyeberangi sendi. Ini berarti nyeri yang berasal dari satu
sendi mungkin dapat dirasakan pada sendi yang lainnya, misalnya nyeri pada sendi
panggul dapat dirasakan sebagai nyeri lutut.
Gambar. 4. Diarthroidal joint
B. Jaringan Penyambung
Jaringan yang ditemukan pada sendi dan daerah-daerah yang berdekatan terutama
adalah jaringan penyambung yang tersusun dari sel-sel dan substansi dasar. Dua macam
sel yang ditemukan pada jaringan penyambung adalah sel-sel yang tidak dibuat dan tetap
berada pada pada jaringan penyambung seperti pada sel mast, sel plasma, limfosit,
monosit, dan leukosit polimorfonuklear. Sel-sel ini memegang peranan penting pada
reaksi-reaksi imunitas dan peradangan yang terlihat pada penyakit-penyakit reumatik. Jenis
sel yang kedua dalam jaringan penyambung ini adalah sel-sel yang tetap berada dalam
jaringan, seperti kondrosit, fibroblas, dan osteoblas. Sel-sel ini mensintesis berbagai
macam serat dan proteoglikan dari substansi dasar dan membuat tiap jenis jaringan
penyambung memiliki susunan sel yang tersendiri.
Serat-serat yang didapatkan di dalam substansi dasar adalah kolagen dan elastin.
Setidaknya terdapat 11 bentuk kolagen yang dapat diklasifikasikan menurut rantai
molekul, lokasi dan fungsinya. Kolagen dapat dipecahkan oleh kerja kolagenase. Enzim
proteolitik ini membuat molekul stabil berubah menjadi molekul tidak stabil pada suhu
Kepaniteraan Klinik Gerontologi Medik 7Fakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraSasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan2008
Page 8
Referat Ujian Gerontologi Medik Aldila Gantinio (406067048)
fisiologik dan selanjutnya dihidrolisis oleh proses lain. Perubahan sintesis kolagen tulang
rawan terjadi pada orang-orang yang usianya makin lanjut. Peningkatan aktivitas
kolagenase terlihat pada bentuk-bentuk penyakit rheumatik yang diperantarai oleh
imunitas seperti pada artritis reumatoid.
Serat-serat elastin memiliki sifat elastin yang penting. Serat ini didapat dalam ligamen,
dinding pembuluh darah besar dan kulit. Elastin dipecah-pecah oleh enzim yang disebut
elastase. Elastase dapat menjadi penting pada proses pembentukan arteriosklerosis dan
emfisema. Ada bukti-bukti yang menunjukkan bahwa perubahan dalam sistem
kardiovaskuler karena proses menua, dapat terjadi oleh karena peningkatan pemecahan
serat elastin.
Selain serat-serat, proteoglikan adalah zat penting yang ditemukan dalam substansi
dasar. Proteoglikan adalah molekul besar terbuat dari rantai polisakarida panjang yang
melekat pada pusat polipeptida. Proteoglikan pada tulang rawan sendi berfungsi sebagai
bantalan pada sendi sehingga sendi dapat menahan beban-beban fisik yang berat.
Hubungan proteoglikan dan dengan proses imunologi dengan proses peradangan adalah
kompleks. Limfokin dapat menginduksi sel-sel jaringan penyambung untuk memproduksi
proteoglikan baru, menghambat produksi, atau meningkatkan pemecahan. Proteoglikan
dapat menjadi fokus aksi autoimun pada gangguan seperti artritis reumatoid. Pertambahan
usia mengubah proteoglikan di dalam tulang rawan, proteoglikan ini akan kurang melekat
satu dengan lainnya dan berinteraksi dengan kolagen. Perubahan fungsional dan struktural
utama yang menjadi bagian dari proses menua normal menyebabkan perubahan biokimia
dari jaringan penyambung dan terjadi terutama pada serat dan proteoglikan.
IV. ETIOLOGI
Walaupun faktor penyebab maupun faktor patogenesis AR yang sebenarnya hingga
kini tetap belum diketahui dengan pasti, faktor genetik seperti produk kompleks
histokompatibilitas utama kelas II (HLA-DR) dan beberapa faktor lingkungan telah lama
diduga berperanan dalam timbulnya penyakit ini.
IV. 1. Kompeks Histokompatibilitas Utama kelas II
Telah lama diketahui bahwa AR lebih sering dijumpai pada kembar monozigotik
dibandingkan dari kembar dizigotik. Akan tetapi bukti terkuat yang menunjukan bahwa AR
memiliki predisposisi genetik diketahui dari terdapatnya hubungan antara produk kompleks
Kepaniteraan Klinik Gerontologi Medik 8Fakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraSasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan2008
Page 9
Referat Ujian Gerontologi Medik Aldila Gantinio (406067048)
histokompatibilitas utama kelas II (MHC Class II determinants), khususnya HLA-DR4
dengan AR seropositif. Dari data beberapa penelitian menunjukan bahwa pasien yang
mengemban HLA-DR4 memiliki risiko relatif 4:1 untuk menderita penyakit ini.
Molekul antigen MHC Class II dapat dideteksi secara serologis, baik dengan cara
mencampurkan limfosit pasien dengan antibodi humoral terhadap HLA tertentu atau dengan
melakukan mixed lymphocyte culture (MLC). Dengan cara MLC saat ini sekurang-kurangnya
telah diketahui terdapat 5 subtipe dari HLA-DR4 yaitu Dw4, Dw10, Dw13, Dw14, dan
Dw15. Perbedaan subtipe HLA-DR4 ini ditentukan oleh susunan rantai polipeptida pada
variabel domain ß1. Kerentanan populasi manusia terhadap AR ternyata berbeda pada
berbagai ras. Pada orang kulit putih kerentanan terhadap AR diketahui berhubungan dengan
subtipe Dw4 dan orang Jepang berhubungan dengan Dw15. Berbeda dengan pola yang
lazim, selain dengan hubungan subtipe Dw10, kerentanan bangsa Yahudi terhadap AR
ternyata tidak berhubungan dengan HLA-DR4 akan tetapi dengan HLA-DR1. Hal ini dapat
diterangkan karena HLA-DR1 ternyata memiliki susunan rantai polipeptida variabel domain
ß1 yang identik dengan subtipe Dw14.
IV. 2. Hubungan Hormon Seks Dengan Artritis Reumatoid
Berbagai observasi telah menimbulkan dugaan bahwa hormon seks merupakan salah
satu faktor predisposisi ini. Sebagai contoh, prevalensi AR diketahui 3 kali lebih banyak
diderita kaum wanita dibandingkan kaum pria. Rasio ini dapat mencapai 5:1 pada wanita
dalam usia subur. Demikian pula remisi seringkali dijumpai pada pasien yang sedang hamil.
Akan tetapi, walaupun masih banyak kontroversi dalam hal ini, beberapa observasi telah
menunjukan bahwa penggunaan kontrasepsi oral atau penggunaan preparat estrogen eksternal
bagi wanita yang telah mengalami menopause menimbulkan kesan terjadinya penurunan
indeks penyakit ini.Walaupun demikian, dari meta-analisis yang dilakukan oleh Romieu
dengan kawan-kawan telah dapat disimpulkan bahwa walaupun penggunaan kontraseptif oral
mengesankan adanya suatu efek protektif terhadap terjadinya AR, secara statistik hal ini tidak
bermakna.
Kepaniteraan Klinik Gerontologi Medik 9Fakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraSasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan2008
Page 10
Referat Ujian Gerontologi Medik Aldila Gantinio (406067048)
Grafik. 2. The incidence of rheumatoid arthritis in relation to use of the oral contraceptive pil
(OC). Data from Royal College of General Practioners’ oral contraception study.
IV. 3. Faktor Infeksi Sebagai Penyebab Artritis Reumatoid
Sejak tahun 1930, faktor infeksi telah diduga merupakan penyebab AR. Pada saat itu
Nanna Svartz seorang ahli dari Swedia telah menciptakan sulfasalazine (salycil-azo-
sulfapyridine) yang terdiri dari gabungan dua konstituen kimia yaitu sulphapyridine yang
bersifat anti mikroba dan asam 5-aminosalisilat yang memiliki khasiat seperti obat anti
inflamasi non steroid. Dugaan faktor infeksi sebagai penyebab AR juga timbul karena
umumnya onset penyakit ini terjadi secara mendadak dan timbul dengan disertai oleh
gambaran inflamasi yang mencolok. Dengan demikian timbul dugaan kuat bahwa penyakit
ini sangat mungkin disebabkan oleh tercetusnya suatu proses autoimun oleh suatu antigen
tunggal atau beberapa antigen tertentu saja. Agen infeksius yang diduga merupakan penyebab
AR antara lain adalah bakteri, mycoplasma atau virus. Walaupun hingga saat ini belum
berhasil dilakukan isolasi suatu mikroorganisme yang dapat mencetuskan tejadinya AR.
V. PATOGENESIS
Patogenesis AR dimulai dengan terdapatnya suatu antigen yang berada pada membran
sinovial. Pada membran sinovial tersebut, antigen tersebut akan diproses oleh antigen
presenting cells (APC) yang terdiri dari berbagai jenis sel seperti synoviocyte A, sel dendritik
atau makrofag dan semuanya mengekspresi determinan HLA-DR pada membran selnya.
Antigen yang telah diproses oleh APC selanjutnya dilekatkan pada CD4+. Suatu subset sel T
sehingga terjadi aktivasi sel tersebut. Untuk memungkinkan terjadinya aktivasi CD4+, sel
tersebut harus mengenali antigen dan determinan HLA-DR yang terdapat pada permukaan
Kepaniteraan Klinik Gerontologi Medik 10Fakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraSasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan2008
Page 11
Referat Ujian Gerontologi Medik Aldila Gantinio (406067048)
membran APC. Proses aktivasi CD4+ ini juga dibantu oleh interleukin-1 (IL-1) yang
disekresi oleh monosit atau makrofag. Pada tahap selanjutnya, antigen determinan HLA-DR
yang terdapat pada permukaan membran APC dan CD4+ akan membentuk suatu kompleks
antigen trimolekular. Kompleks antigen trimolekular tersebut akan mengekspresi reseptor
interleukin-2 (IL-2) pada permukaan CD4+. IL-2 yang disekresi oeh CD4+ akan
mengikatkan diri pada reseptornya dan menyebabkan terjadinya mitosis dan proliferasi sel
tersebut. Proliferasi sel CD4+ akan berlangsung terus selama antigen tetap berada pada
lingkungan tersebut.
Selain IL-2, CD4+ yang telah teraktivasi juga mensekresi berbagai limfokin lain
seperti A-interferon, tumor necrosis factor ß (TNF-ß), IL-3, IL-4 (B-cell differentiating
factor), granulocytelmacrophage colony stimulating factor (GM-CSF) serta beberapa
mediator lain yang bekerja merangsang makrofag untuk meningkatkan fagositosisnya dan
merangsang terjadinya proliferasi serta aktivasi sel B untuk memproduksi antibodi. Produksi
antibodi oleh sel B ini juga dibantu oleh IL-1, IL-2 dan IL-4 yang disekresi oleh sel CD4+
yang telah teraktivasi. Setelah berikatan dengan antigen yang sesuai, antibodi yang dihasilkan
akan membentuk kompleks imun yang akan berdifusi secara bebas ke dalam ruang sendi.
Pengendapan kompleks imun pada membran sinovial akan menyebabkan aktivasi sistem
komplemen yang membebaskan komponen C5a. Komponen C5a merupakan komponen
kemotaktik yang selain meningkatkan permeabilitas vaskular juga menarik lebih banyak sel
PMN yang memfagositir kompleks imun tersebut sehingga mengakibatkan degranulasi mast
cell dan pembebasan radikal oksigen, leukotriene, enzim liposomal, prostaglandin,
collagenase dan stromelysin yang semuanya bertanggung jawab atas terjadinya inflamasi dan
kerusakan jaringan seperti erosi rawan sendi dan tulang.
Radikal oksigen dapat menyebabkan terjadinya depolimerisasi hyaluronate sehingga
mengakibatkan terjadinya penurunan viskositas cairan sendi serta juga merusak jaringan
kolagen dan proteoglikan rawan sendi. Walaupun leukotrien LTB4 diketahui menyebabkan
terjadinya migrasi dan agregasi netrofil yang kuat, akan tetapi peranan LTB4 pada
patogenesis AR belum dapat dijelaskan dengan pasti. Prostaglandin E2 (PGE2) memiliki efek
vasodilator yang kuat dan dapat merangsang terjadinya resorpsi tulang osteoklastik dengan
bantuan IL-1 dan TNF-ß. Akan tetapi karena PGE2 juga menghambat sekresi IL-2 dan A-
interferon. PGE2 juga memiliki efek anti inflamasi.
Pengendapan kompleks imun juga menyebabkan masuknya sel T ke dalam membran
sinovial dan akan merangsang terbentuknya pannus yang merupakan elemen yang paling
Kepaniteraan Klinik Gerontologi Medik 11Fakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraSasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan2008
Page 12
Referat Ujian Gerontologi Medik Aldila Gantinio (406067048)
bersifat destruktif pada patogenesis AR. Pannus merupakan jaringan granulasi yang terdiri
dari makrofag yang teraktivasi, sel fibroblast yang berproliferasi dan jaringan mikrovaskular.
Pannus dapat menginvasi jaringan kolagen dan proteoglikan rawan sendi serta tulang
sehingga dapat menghancurkan struktur persendian. Jika proses pembentukan pannus tidak
terhenti baik karena pengobatan atau terjadinya remisi spontan, proses ini akan menyebabkan
terjadinya ankilosis. Pembentukan pannus juga mengakibatkan terjadinya peningkatan
ekskresi intacellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) yang merupakan tempat sel
mononukleus pada sel endotel mikrovaskular. Ekspresi ICAM-1 pada sel endotel kapiler
sinovial mengakibatkan terjadinya peningkatan adhesi sel mononukleus pada endotel
kapiler. Walaupun pada AR terjadi peningkatan permeabilitas kapiler dan peningkatan adhesi
sel mononuklear, tidak semua subset sel T mengalami migrasi dari kapiler sinovial. Hanya
fenotip sel T tertentu saja yang keluar dari kapiler sinovial yaitu subset CD4+, CD45RO dan
CD29 bright.
Peristiwa diatas menunjukkan bahwa pengenalan antigen AR terjadi setelah subset sel
T tersebut meninggalkan thymus. Terdapatnya reseptor MHC Class II seperti HLA-DR, DQ
dan DP pada permukaan sel T bersama dengan adanya very late antigen type 1 (VLA-1)
menunjukkan bahwa aktivasi dan proliferasi sel T terjadi secara lokal. Dari penemuan ini
dapat disimpulkan bahwa aktivasi sel T mungkin dicetuskan oleh suatu antigen yang tidak
diketahui, APC atau kompleks peptida trimolekular dalam ruang sendi yang mengakibatkan
terjadinya sinovitis pada AR.
Rantai peristiwa imunologis ini umumnya akan terhenti bila antigen penyebab dapat
dihilangkan dari lingkungan tersebut. Akan tetapi pada AR, antigen atau komponennya
umumnya akan menetap pada struktur persendian sehingga proses destruksi sendi akan
berlangsung terus. Berlangsung terusnya destruksi persendian pada AR kemungkinan juga
disebabkan karena terbentuknya faktor reumatoid. Faktor reumatoid adalah suatu antibodi
terhadap epitope fraksi Fc IgG yang dijumpai pada 70 sampai 90 % pasien AR. Faktor
reumatoid juga dapat berikatan dengan komplemen atau mengalami agregasi sendiri,
sehingga proses peradangan akan berlanjut terus. Terbentuknya autoantibodi terhadap
collagen type II baik yang bersifat native ataupun yang telah mengalami denaturasi dapat
pula mengekalkan terjadinya peradangan dengan mekanisme yang sama.
Kepaniteraan Klinik Gerontologi Medik 12Fakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraSasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan2008
Page 13
Referat Ujian Gerontologi Medik Aldila Gantinio (406067048)
VI. GEJALA KLINIS
Gejala klinis utama AR adalah poliartritis yang mengakibatkan terjadinya kerusakan
pada rawan sendi dan tulang disekitarnya. Kerusakan ini terutama mengenai sendi perifer
pada tangan dan kaki yang umumnya bersifat simetris. Pada kasus AR yang jelas diagnosis
tidak begitu sulit untuk ditegakkan. Akan tetapi pada permulaan penyakit, seringkali gejala
AR tidak bermanifestasi dengan jelas, sehingga kadang-kadang timbul kesulitan dalam
menegakkan diagnosis. Walaupun demikian dalam menghadapi AR yang pada umumnya
berlangsung kronis ini, seorang dokter tidak perlu terlalu cepat untuk menegakkan diagnosis
yang pasti. Adalah lebih baik untuk menunda diagnosis AR selama beberapa bulan daripada
gagal mendiagnosis terdapatnya jenis artritis lain yang seringkali memberikan gejala yang
serupa.
Pada pasien harus diberitahukan bahwa semakin lama diagnosis AR tidak dapat
ditegakkan dengan pasti oleh seorang dokter yang berpengalaman, umumnya akan semakin
baik pula prognosis AR yang dideritanya.
VI. 1. Kriteria Diagnosis Artritis Reumatoid
Kriteria diagnostik AR disusun untuk pertama kalinya oleh suatu komite khusus dari
American Rheumatism Association (ARA) pada tahun 1956. Karena kriteria tersebut
dianggap tidak spesifik dan terlalu rumit untuk digunakan dalam klinik, komite tersebut
melakukan peninjauan kembali terhadap kriteria klasifikasi AR tersebut pada tahun 1958.
Dengan menggabungkan variabel yang paling sensitif dan spesifik pada 262 pasien
AR dan 262 pasien control, pada 1987 ARA berhasil dilakukan revisi susunan kriteria
klasifikasi artritis reumatoid dalam format tradisional yang baru. Susunan kriteria tersebut
adalah sebagai berikut:
- Kaku pagi
- Artritis pada 3 daerah persendian atau lebih
- Artritis pada persendian tangan
- Artritis simetris
- Nodul reumatoid
- Faktor reumatoid serum positif
- Perubahan gambaran radiologis
Pasien dikatakan menderita AR jika memenuhi sekurang-kurangnya kriteria 1 sampai 4
yang diderita sekurang-kurangnya 6 minggu.
Kepaniteraan Klinik Gerontologi Medik 13Fakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraSasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan2008
Page 14
Referat Ujian Gerontologi Medik Aldila Gantinio (406067048)
Tabel.1. Kriteria American Rheumatism Association untuk Artritis Reumatoid,
Revisi Tahun 1987
No. Kriteria Definisi
1. Kaku pagi hari Kekakuan pada pagi hari pada persendian dan sekitarnya,
sekurangnya selama 1 jam sebelum perbaikan maksimal.
2. Artritis pada 3
daerah persendian
atau lebih
Pembengkakan jaringan lunak atau persendian atau lebih
efusi (bukan pertumbuhan tulang) pada sekurang kurangnya
3 sendi secara bersamaan yang diobservasi seorang dokter
3. Artritis pada
persendian tangan
Sekurang kurangnya terjadi pembengkakan satu persendian
tangan seperti yang tertera di atas
4. Artritis simetris Keterlibatan sendi yang sama (seperti yang tertera pada
kriteria 2 pada kedua belah sisi (keterlibatan PIP, MCP atau
MTP bilateral dapat diterima walaupun tidak mutlak bersifat
simetris)
5. Nodul reumatoid Nodul subkutan pada penonjolan tulang atau permukaan
ekstensor atau daerah juksta artikuler yang diobservasi oleh
seorang dokter.
6. Faktor reumatoid
serum positif
Terdapatnya titer abnormal faktor reumatoid serum yang
diperiksa dengan cara yang memberikan hasil positif kurang
dari 5% kelompok kontrol yang diperiksa.
7. Perubahan
gambaran
radiologis
Perubahan gambaran radiologis yang radiologis khas bagi
artritis reumatoid pada pemeriksaan sinar-x tangan posterior
atau pergelangan tangan yang harus menunjukkan adanya
erosi atau kalsifikasi tulang yang berlokasi pada sendi atau
daerah yang berdekatan dengan sendi (perubahan akibat
osteoartritis saja tidak memenuhi persyaratan).
PIP= Proximal Interphalangeal, MCP= Metacarpophalangeal, MTP= Metatarsophalangeal
Kriteria ini mempunyai sensitifitas 91% dan spesifisitas 74%.
VI. 2. Manifestasi Klinis Artritis Reumatoid
Walaupun AR dapat timbul berupa serangan poliartritis akut yang berkembang cepat
dalam beberapa hari, pada umumnya gejala penyakit ini berkembang secara perlahan dalam
beberapa minggu. Dalam keadaan dini, AR dapat bermanifestasi sebagai palindromic
rheumatism, yaitu timbulnya gejala monoartritis yang hilang timbul yang berlangsung antara
3-5 hari dan diselingi dengan masa remisi sempurna sebelum bermanifestasi sebagai AR
yang khas. Dalam keadaan ini AR juga dapat bermanifestasi sebagai pauciarticular
rheumatism, yaitu gejala poliartritis yang melibatkan 4 persendian atau kurang. Kedua
Kepaniteraan Klinik Gerontologi Medik 14Fakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraSasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan2008
Page 15
Referat Ujian Gerontologi Medik Aldila Gantinio (406067048)
gambaran klinik seperti ini seringkali menyebabkan kesukaran dalam menegakkan diagnosis
AR dalam masa dini.
VI. 2. 1. Manifestasi Artikular
Manifestasi artikular AR dapat dibagi menjadi 2 kategori: gejala inflamasi akibat
aktivitas sinovitis yang bersifat reversibel. Gejala akibat kerusakan struktur persendian yang
bersifat ireversibel. Adalah sangat penting untuk membedakan kedua hal ini karena
penatalaksanaan klinis kedua kelainan tersebut sangat berbeda. Sinovitis merupakan kelainan
yang umumnya bersifat reversibel dan dapat diatasi dengan pengobatan medikamentosa atau
pengobatan non-surgikal lainnya. Pada pihak lain kerusakan struktur persendian akibat
kerusakan tulang rawan sendi atau erosi tulang periartikular merupakan proses yang tidak
dapat diperbaiki lagi dan memerlukan modifikasi mekanik atau pembedahan rekonstruktif.
Gejala klinis yang berhubungan dengan aktivitas sinovitis adalah kaku pagi hari.
Kekakuan pada pagi hari merupakan gejala yang selalu dijumpai pada AR aktif. Berbeda
dengan rasa kaku yang dapat dialami oleh pasien osteoartritis atau kadang-kadang oleh orang
normal, kaku pagi hari pada AR berlangsung lebih lama, yang pada umumnya lebih dari 1
jam. Lamanya kaku pagi hari pada AR agaknya berhubungan dengan lamanya imobilisasi
pada saat pasien sedang tidur serta beratnya inflamasi. Gejala kaku pada pagi hari akan
menghilang jika remisi dapat tercapai. Faktor lain penyebab kaku pagi hari adalah inflamasi
akibat sinovitis. Inflamasi akan menyebabkan terjadinya imobilisasi persendian yang jika
berlangsung lama akan mengurangi pergerakan sendi baik secara aktif maupun secara pasif.
Otot dan tendon yang berdekatan dengan persendian yang mengalami peradangan cenderung
untuk mengalami spasme dan pemendekan. Fenomena ini terutama jelas terlihat pada otot
intrinsik tangan yang berjalan sepanjang persendian metacarpophalangeal (MCP) dan otot
perineus anterior yang berjalan sepanjang persendian talonavikularis pada arkus pedis.
Deformitas persendian pada AR dapat terjadi akibat beberapa mekanisme yang berhubungan
dengan terjadinya sinovitis dan pembentukan pannus. Sinovitis akan menyebabkan kerusakan
tulang rawan sendi dan erosi tulang periartikular sehingga menyebabkan terbentuknya
permukaan sendi yang tidak rata. Jika kerusakan rawan sendi terjadi pada daerah yang luas
dan imobilisasi berlangsung lama, akan terjadi fusi tulang-tulang yang membentuk
persendian. Lebih jauh pannus yang menginvasi jaringan kolagen serta proteoglikan rawan
sendi dan tulang dapat menghancurkan struktur persendian sehingga terjadi ankilosis.
Ligamen yang dalam keadaan normal berfungsi untuk mempertahankan kedudukan
Kepaniteraan Klinik Gerontologi Medik 15Fakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraSasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan2008
Page 16
Referat Ujian Gerontologi Medik Aldila Gantinio (406067048)
persendian yang stabil dapat pula menjadi lemah akibat sinovitis yang menetap atau
pembentukan pannus yang memiliki kemampuan melarutkan kolagen tendon, ligament atau
rawan sendi. Gangguan stabilitas persendian dapat jelas terlihat pada subluksasio persendian
MCP akibat terjadinya perubahan arah gaya tarik tendon sepanjang aksis rotasi sehinga
menyebabkan terbentuknya deviasi ulna yang khas dan AR. Walaupun peran sinovitis dalam
menyebabkan deformitas persendian berlaku bagi semua persendian, terdapat beberapa aspek
khusus yang berhubungan dengan sendi tertentu.
Veterbra Servikalis. Walaupun AR jarang melibatkan segmen vertebralis lainnya, vertebra
servikalis merupakan segmen yang sering terlibat pada AR. Proses inflamasi ini melibatkan
persendian diartroidal yang tidak tampak atau teraba oleh pemeriksaan. Gejala dini AR pada
vertebra sevikalis umumnya bermanifestasi sebagai kekakuan pada seluruh segmen leher
disertai dengan berkurangnya lingkup gerak sendi secara menyeluruh Tenosinovitis ligamen
transversum C1 yang mempertahankan kedudukan prosesus odontoid yang menyebabkan
pengenduran dan ruptur ligamen sehingga menimbulkan penekanan pada medulla spinalis.
Gangguan stabilitas sendi akibat peradangan dan kerusakan permukaan sendi apofiseal dan
pengenduran ligament juga dapat menyebabkan terjadinya subluksasio yang sering dijumpai
pada C4-C5 atau C5-C6.
Gelang Bahu. Peradangan pada gelang bahu akan mengurangi lingkup gerak sendi bahu.
Karena dalam aktivitas sehari-hari gerakan bahu tidak memerlukan lingkup gerak yang luas,
umumnya pada keadaan diam pasien tidak merasa terganggu dengan keterbatasan tersebut.
Walaupun demikian,tanpa latihan pencegahan akan mudah terjadi kekakuan gelang bahu
yang berat yang disebut frozen shoulder syndrome.
Siku. Karena terletak superfisial, sinovitis artikulasio kubiti dapat dengan mudah teraba oleh
pemeriksa. Sinovitis dapat menimbulkan gejala neuropati tekanan pada nervus ulnaris
sehingga menimbulkan gejala neuropati tekanan. Gejala ini bermanifestasi sebagai parestesia
dari 4 dan 5 akan kelemahan otot fleksor jari 5.
Kepaniteraan Klinik Gerontologi Medik 16Fakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraSasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan2008
Page 17
Referat Ujian Gerontologi Medik Aldila Gantinio (406067048)
Gambar. 5. Sinovitis artikulatio cubiti
Tangan. Berlainan dengan persendian distal interphalangeal (DIP) yang relatif jarang
dijumpai, keterlibatan persendian pergelangan tangan, MCP dan PIP hampir selalu dijumpai
pada AR. Gambaran swan neck deformities akibat fleksi kontraktur MCP, hiperekstensi PIP
dan fleksi DIP serta boutonniere akibat fleksi PIP dan hiperekstensi DIP dapat terjadi akibat
kontraktur otot serta tendon fleksor dan interoseus merupakan deformitas patognomonik yang
banyak dijumpai pada AR.
Selain gejala yang berhubungan dengan sinovitis, pada AR juga dapat dijumpai nyeri
atau disfungsi persendian akibat penekanan nervus medianus yang terperangkap dalam
rongga karpalis yang mengalami sinovitis sehingga menyebabkan gejala carpal tunnel
syndrome. Walaupun jarang nervus ulnaris yang berjalan dalam kanal Guyon dapat pula
mengalami penekanan dengan mekanisme yang sama. AR dapat pula menyebabkan
terjadinya tenosinovitis akibat pembentukan nodul reumatoid sepanjang sarung tendon yang
dapat menghambat gerakan tendon dalam sarungnya. Tenosinovitis pada AR dapat
menyebabkan terjadinya erosi tendon dan mengakibatkan terjadinya ruptur tendon yang
terlibat.
Kepaniteraan Klinik Gerontologi Medik 17Fakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraSasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan2008
Page 18
Referat Ujian Gerontologi Medik Aldila Gantinio (406067048)
Gambar. 6. Artrhitis rheumatoid
Panggul, karena sendi panggul terletak jauh di dalam pelvis, kelainan sendi panggul akibat
AR umumnya sulit dideteksi dalam keadaan dini. Pada keadaan dini keterlibatan sendi
panggul mungkin hanya dapat terlihat sebagai keterbatasan gerak yang tidak jelas atau
gangguan ringan pada kegiatan tertentu seperti mengenakan sepatu. Walaupun demikian, jika
destruksi rawan sendi telah terjadi, gejala gangguan sendi panggul akan berkembang lebih
cepat dibandingkan gangguan pada persendian lainnya.
Lutut. Penebalan sinovial dan efusi lutut umumnya mudah dideteksi pada pemeriksaan.
Herniasi kapsul sendi ke arah posterior dapat menyebabkan terbentuknya kista Baker.
Gambar. 7. Rheumatoid arthritis genu
Kepaniteraan Klinik Gerontologi Medik 18Fakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraSasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan2008
Page 19
Referat Ujian Gerontologi Medik Aldila Gantinio (406067048)
Kaki dan Pergelangan Kaki. Keterlibatan persendian MTP, talonavikularis dan
pergelangan kaki merupakan gambaran yang khas AR. Karena persendian kaki dan
pergelangan kaki merupakan struktur yang menyangga berat badan, keterlibatan ini akan
menimbulkan disfungsi dan rasa nyeri yang lebih berat dibandingkan dengan keterlibatan
ekstremitas atas. Peradangan pada sendi talonavikularis akan menyebabkan spasme otot yang
berdekatan sehingga menimbulkan deformitas berupa pronasio dan eversio kaki yang khas
pada AR. Walaupun jarang, nervus tibialis posterior dapat pula mengalami penekanan akibat
sinovitis pada rongga tarsalis (tarsal tunnel) yang dapat menimbulkan gejala parestesia pada
telapak kaki.
Gambar. 8. Foot rheumatoid arthritis
VI. 2. 2. Manifestasi ekstraartikular
Kulit. Walaupun jarang dijumpai di Indonesia, di negara barat nodul reumatoid merupakan
suatu gejala AR yang patognomonik. Nodul reumatoid umumnya timbul pada fase aktif dan
terbentuk di bawah kulit terutama pada lokasi yang banyak menerima tekanan seperti
olekranon, permukaan ekstensor lengan dan tendon Achilles.
Vaskulitis sering kali bermanifestasi sebagai lesi purpura atau ekimosis pada kulit dan
nekrosis kuku. Jika vaskulitis menyebabkan iskemia pada daerah yang cukup luas, kelainan
ini dapat menyebabkan terbentuknya gangren atau ulkus terutama pada ekstremitas bawah.
Gambar. 9. Rheumatoid nodul
Kepaniteraan Klinik Gerontologi Medik 19Fakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraSasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan2008
Page 20
Referat Ujian Gerontologi Medik Aldila Gantinio (406067048)
Mata. Kelainan mata yang sering dijumpai pada AR adalah keratokonjungtivitis sicca yang
merupakan manifestasi sindrom Sjorgen. Pada keadaan dini gejala ini sering kali tidak
dirasakan oleh pasien. Untuk itu pada seitiap pasien AR kemungkinan terdapatnya kelainan
mata harus selalu dicari secara aktif agar kerusakan mata yang berat dapat dicegah. Pada AR
umumnya dapat dijumpai beberapa episode episkleritis yang umumnya sangat ringan dan
akan sembuh secara spontan. Walaupun demikian, pada AR dapat pula dijumpai gejala
skleritis yang secara histologis menyerupai nodul reumatoid dan dapat menyebabkan
terjadinya erosi sklera sampai pada lapisan koroid serta menimbulkan gejala skleromalasia
perforans yang dapat menyebabkan kebutaan.
Sistem Respiratorik. Peradangan pada sendi krikoaritenoid tidak jarang dijumpai pada AR.
Gejala keterlibatan saluran nafas atas ini dapat berupa nyeri tenggorokan, nyei menelan atau
disfonia yang umumnya terasa lebih berat pada pagi hari.
Walaupun jarang menunjukkan gejala klinis yang berat, paru merupakan organ yang
sering terlibat pada AR. Umumnya keterlibatan paru yang ringan hanya dapat diketahui dari
hasil autopsi berupa pneumonitis interstitial. Akan tetapi pada AR yang lanjut dapat pula
dijumpai efusi pleura dan fibrosis paru yang luas.
Sistem kardiovaskular. Seperti halnya pada sistem respiratorik, pada AR jarang dijumpai
gejala perikarditis berupa nyeri dada atau gangguan faal jantung. Akan tetapi pada beberapa
pasien dapat pula dijumpai gejala perikarditis konstriktif yang berat. Lesi inflamatif yang
menyerupai nodul reumatoid dapat dijumpai pada miokardium dan katup jantung. Lesi ini
dapat menyebabkan disfungsi katup, fenomen embolisasi, gangguan konduksi, aortitis dan
kardiomiopati.
Sistem Gastrointestinal. Umumnya pada AR tidak pernah dijumpai kelainan traktus
gastrointestinalis yang spesifik selain dari pada xerostomia yang berhubungan dengan
sindrom Sjorgen atau komplikasi gastrointestinal akibat vaskulitis. Kelainan traktus
gastrointestinal yang sering dijumpai pada AR adalah gastritis dan ulkus peptik yang
merupakan komplikasi utama penggunaan obat anti inflamasi non steroid (OAINS) atau obat
pengubah perjalanan penyakit/ disease modifing anti rheumatoid drugs (DMARD) yang
merupakan faktor penyebab morbiditas dan mortalitas utama pada AR.
Kepaniteraan Klinik Gerontologi Medik 20Fakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraSasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan2008
Page 21
Referat Ujian Gerontologi Medik Aldila Gantinio (406067048)
Ginjal. Berbeda dengan lupus eritematosus sistemik, pada AR jarang sekali dijumpai
kelainan glomerular, jika pada pasien AR dijumpai proteinuria, umumnya hal tersebut lebih
sering disebabkan karena efek samping pengobatan seperti garam emas dan d-penisilamin
atau terjadi sekunder akibat amiloidosis. Walaupun kelainan ginjal interstitial dapat dijumpai
pada sindrom Sjorgen, umumnya kelainan tersebut lebih banyak berhubungan dengan
penggunaan OAINS. Penggunaan OAINS yang tidak terkontrol dapat sampai menimbulkan
nekrosis papilar ginjal.
Sistem syaraf. Komplikasi neurologis yang sering dijumpai pada AR umumnya tidak
memberi gambaran yang jelas sehingga sukar untuk membedakan komplikasi neurologis
akibat lesi arlikular dari lesi neuropatik. Patogenesis komplikasi neurologis pada AR
umumnya berhubungan dengan mielopati akibat instabilitas vertebra, servikal, neuropati
jepitan atau neuropati iskemik akibat vaskulitis.
Sistem hematologis. Anemia akibat penyakit kronis yang ditandai dengan gambaran eritrosit
normositik-normokromik (atau hipokromik ringan) yang disertai dengan kadar besi serum
yang rendah merupakan gambaran umum yang sering dijumpai pada AR.
VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG
VII. 1. Pencitraan
1. Foto Polos
Pemeriksaan foto polos merupakan titik tolak sebagian besar pemeriksaan
pencitraan penyakit-penyakit reumatik walaupun mungkin setelah itu akan dilakukan
pemeriksaan MRI. Foto polos memberikan gambaran erosi dan kalsifkasi tulang di
sekitar sendi.
Kepaniteraan Klinik Gerontologi Medik 21Fakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraSasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan2008
Page 22
Referat Ujian Gerontologi Medik Aldila Gantinio (406067048)
Gambar. 10. Rheumatoid Arthritis Genu Gambar. 11. Rheumatoid Arthritis
2. Computed Tomography
CT-scan merupakan teknik yang sangat baik untuk mengevaluasi penyakit
degeneratif diskus intervertebralis dan kemungkinan herniasi diskus pada orang tua.
Berhubung sejumlah penyakit reumatik berkaitan dengan kelainan paru-paru, cukup
beralasan bahwa pemeriksaan CT-scan dengan resolusi tinggi pada paru-paru dapat
memperlihatkan detil penyakit yang tidak dapat dilihat dengan CT-scan irisan tebal.
Terlihatnya infiltrate ‘ground glass’ menunjukan proses aktif yang mungkin
memberikan respon terhadap pengobatan.
3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI sanggup memperlihatkan struktu jaringan lunak yang tidak dapat
diperlihatkan oleh pemeriksaan konvensional.
VII. 2. C-Reactive Protein (CRP)
CRP merupakan salah satu protein fase akut, CRP terdapat dalam konsentrasi rendah
(trace) pada manusia. Pengukuran konsentrasi CRP secara akurat menggunakan
immunoassay atau nefelometri laser. Kadar CRP pada menusia dewasa sehat < 0,2 mg/dl.
Tabel. 2. Kondisi yang berhubungan dengan peningkatan kadar
Kepaniteraan Klinik Gerontologi Medik 22Fakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraSasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan2008
Page 23
Referat Ujian Gerontologi Medik Aldila Gantinio (406067048)
CRP
Normal atau peningkatan
tidak signifikan(<1 mg/dl)
Peningkatan sedang
(1-10 mg/dl)
Peningkatan tinggi
(>10 mg.dl)
Kerja berat
Commond cold
Kehamilan
Gingivitis
Stroke
Kejang
Angina
Infark miokard
Keganasan
Pankreatitis
Infeksi mukosa
(bronkitis, sistitis)
Penyakit reumatik
Infeksi bakteri akut
Trauma berat
Vaskulitis sistemik
Tabel. 3. Penyakit-penyakit dengan peningkatan kadar CRP
Hampir selalu ada Sering ada Kadang-kadang ada
Demam reumatik
Artritis reumatoid
Infeksi bakteri akut
Hepatitis akut
Tuberkulosis aktif
Tumor ganas stadium lanjut
Leprosy
Sirosis aktif
Luka bakar luas
Peritonitis
Sklerosis multipel
Sindroma Guillain Barre
Cacar air
Pasca bedah
Penggunaan alat kontrasepsi
intrauterin
VII. 3. Faktor Reumatoid
Faktor Reumatoid (FR) merupakan antibodi sendiri terhadap determinan antigenik
pada fragmen Fc dari immunoglobulin. Kelas immunoglobulin yang muncul dari antibodi ini
adalah IgM, IgA, IgG dan IgE. Tapi yang selama ini diukur ialah faktor reumatoid kelas
IgM.
Tabel. 4. Perbandingan FR pada artritis reumatoid dan penyakit non-reumatik
Faktor Reumatoid Artritis Reumatoid Penyakit non-reumatik
- Titer
- Heterogenitas
- Reaksinya terhadap
Tinggi
++
Lengkap
Rendah
+
Tidak lengkap
Kepaniteraan Klinik Gerontologi Medik 23Fakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraSasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan2008
Page 24
Referat Ujian Gerontologi Medik Aldila Gantinio (406067048)
gamma globulin
manusia dan hewan
- Klas immunoglobulin
- Lokasi produksi
IgM, IgG, IgA
Sinovium dan tempat
ekstravaskuler lainnya
Terutama IgM
Tidak jelas, tetapi bukan
pada daerah sinovial
Cara yang paling mudah dalam mengukur IgM-FR ialah teknik aglutinasi yaitu cara
non imunologik menggunakan lateks dan cara imuologik menggunakan sel darah biri-biri.
VII. 4. Pemeriksaan Autoantibodi
1. Antibodi terhadap DNA (dsDNA)
Kadar anti dsDNA yang rendah ditemukan pada sindroma Sjorgens, artritis
reumatoid . Peningkatan kadar anti dsDNA menunjukkan peningkatan aktivitas
penyakit. Pemeriksaan anti dsDNA dilakukan dengan metode radioimmunoassay,
ELISA dan C. luciliae immunofuoresens.
2. Antihiston (Nukleosom)
Antibodi antihiston merupakan suatu antibodi terhadap komponen protein
nukleosom yaitu kompleks DNA-protein. Antibodi ini dapat dideteksi dengan
pemeriksaan ELISA, indirect immunofluorescen atau imunoblot. Antibodi antihiston
juga ditemukan dengan kadar yang rendah pada artritis reumatoid, artritis reumatoid
juvenile, sirosis bilier primer, hepatitis autoimun, skleroderma, Epstein Barr virus,
penyakit Chagas, schizophrenia, neuropati sensorik, gammopati monoklonal dan
kanker.
VII. 5. Laboratorium
- Laju Endap Darah (LED): Pada arthritis rheumatoid nilainya dapat tinggi (100
mm/jam atau lebih tinggi lagi).
- Cairan sinovial: cairan sinovial bersifat jernih, berwarna kuning muda, hitung sel
darah putih kurang dari 200/mm3. Pada artritis reumatoid cairan sinovial kehilangan
viskositasnya dan hitungan sel darah putih meningkat mencapai 15.000 –
Kepaniteraan Klinik Gerontologi Medik 24Fakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraSasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan2008
Page 25
Referat Ujian Gerontologi Medik Aldila Gantinio (406067048)
20.000/mm3. Hal ini membuat cairan menjadi tidak jernih. Cairan semacam ini dapat
membeku, tetapi bekuan biasanya tidak kuat dan mudah pecah.
VIII. PENGOBATAN
Walaupun hingga kini belum didapatkan suatu cara pencegahan dan pengobatan AR
yang sempurna, saat ini pengobatan pada asien AR ditujukan untuk:
- Menghilangkan gejala inflamasi aktif baik lokal maupun sistemik
- Mencegah terjadinya destruksi jaringan
- Mencegah terjadinya deformitas dan memelihara fungsi persendian agar tetap dalam
keadaan baik
- Mengembalikan kelainan fungsi organ dan persendian yang terlibat agar sedapat
mungkin menjadi normal kembali.
Dalam pengobatan AR umumnya selalu dibutuhkan pendekatan multidisipliner. Suatu
tim yang idealnya terdiri dari dokter, perawat, ahli fisioterapi, ahli terapi okupasional, pekerja
social, ahli farmasi, ahli gizi, dan ahli psikologi. Dengan penerangan yang baik mengenai
panyakitnya, pasien AR diharapkan dapat melakukan kontrol atas perubahan emosional,
motivasi dan kognitif yang terganggu akibat penyakit ini.
Berbeda dengan trend pengobatan pada dekade yang lalu, saat ini banyak diantara
para ahli penyakit reumatik yang telah meninggalkan cara pengobatan tradisional yang
menggunakan piramida terapeutik. Beberapa ahli bahkan menganjukan untuk menggunakan
pendekatan step down bridge dengan menggunakan kombinasi beberapa jenis obat DMARD
(Disease Modifying Anti Rheumatoid Drugs) yang dimulai pada saat yang dini untuk
kemudian dihentikan secara bertahap pada saat aktivitas AR telah dapat terkontrol. Hal ini
didasarkan pada pendapat bahwa penatalaksanaan yang efektif hanya dapat dicapai bila
pengobatan dapat diberikan pada masa dini penyakit.
VIII. 1. Penggunaan OAINS dalam pengobatan AR
OAINS umumnya diberikan pada pasien AR sejak masa dini penyakit yang
dimaksudkan untuk mengatasi nyeri sendi akibat inflamasi yang sering kali dijumpai
walaupun belum terjadi proliferasi sinovial yang bermakna. Selain dapat mengatasi inflamasi,
OAINS juga memberikan efek analgesik yang sangat baik.
OAINS terutama bekerja menghambat enzim siklo oksigenase sehingga menekan
sintesis prostaglandin. OAINS bekerja dengan cara:Kepaniteraan Klinik Gerontologi Medik 25Fakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraSasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan2008
Page 26
Referat Ujian Gerontologi Medik Aldila Gantinio (406067048)
- Memungkinkan stabilisasi membran lisosomal
- Menghambat pembebasan dan aktivitas mediator inflamasi (histamin, serotonin,
enzim lisosomal, dan enzim lainnya)
- Mengahambat migrasi sel ke tempat peradangan
- Menghambat proliferasi selular
- Menetralisir radikal oksigen
- Menekan rasa nyeri
Selama ini telah terbukti bahwa OAINS dapat sangat berguna dalam pengobatan AR.
Golongan OAINS tidak memiliki khasiat yang dapat melindungi rawan sendi dan tulang dari
proses destruksi akibat AR.
Toksisitas OAINS yang umum dijumpai adalah efek sampingnya terhadap traktus
gastrointestinal. Pada pasien yang sensitif dapat digunakan preparat OAINS yang berupa
suppositoria, pro drugs, enteric coated, slow release atau non-acidic. Akhir-akhir ini telah
banyak digunakan OAINS yang bersifat selektif teradap jalur COX-2 metabolisme asam
arakidonat. OAINS yang selektif terhadap jalur Cox-2 umumnya kurang berpengaruh buruk
pada mukosa lambung dibandingkan dengan preparat OAINS biasa.
VIII. 2. DMARD
Pada dasarnya saat ini terdapat dua cara pendekatan pemberian DMARD pada
pengobatan pasian AR. Cara pertama adalah pemberian DMARD tunggal yang dimulai dari
saat yang sangat dini. Pendekatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa destruksi sendi pada
AR terjadi pada masa dini penyakit. Cara pendekatan lain adalah dengan menggunakan dua
atau lebih DMARD secara simultan atau siklik seperti penggunaan obat-obatan
imunosupresif pada pengobatan penyakit keganasan.
Umumnya pada pasien yang diagnosisnya telah dapat ditegakkan dengan pasti,
OAINS harus diberikan dengan segera. Pada pasien yang tersangka menderita AR yang tidak
menunjukkan respon terhadap OAINS yang cukup baik dalam beberapa minggu, DMARD
dapat mulai diberikan untuk mengontrol progresivitas penyakitnya.
Saat ini DMARD yang popular digunakan adalah MTX, sulfazalazine, siklosporin-A,
dan beberapa jenis DMARD baru seperti: leflunomide. Selain itu saat ini telah tersedia pula
modulator inflamasi biologis dan inhibitor TNF-α seperti etanercept (suatu human
recombinant reseptor TNF-α yang larut dan terkojugasi pada reseptor Fc IgG1) dan
infliximab (antibody monoclonal terhadap TNF-α).
Kepaniteraan Klinik Gerontologi Medik 26Fakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraSasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan2008
Page 27
Referat Ujian Gerontologi Medik Aldila Gantinio (406067048)
Dalam menilai suatu khasiat DMARD, hal yang terpenting adalah untuk segera
menentukan apakah DMARD tersebut bisa mengatasi AR yang diderita sampai pada suatu
tingkat yang cukup memuaskan bagi pasien. Perbaikan bermakna beberapa out come saja
tidak menunjukan bahwa suatu DMARD cukup berkhasiat dalam mengatasi destruksi tulang
rawan akibat AR. Jika suatu DMARD tidak menghasilkan perubahan yang memuaskan
setelah digunakan dalam dosis yang adekuat selama 3 sampai 6 bulan, DMARD tersebut
harus segera diganti atau tetap digunakan dalam bentuk kombinasi dengan DMARD yang
lain.
Pada penelitian yang dilakukan oleh COMET, kombinasi dari metotrexate dan
etanercept pada artritis reumatoid aktif, awal, sedang sampai berat dari percobaan yang
dilakukan menunjukkan bahwa terapi kombinasi adalah efektif pada remisi klinik dan
radiografik nonprogresif dari penyakit, sesuai hasil secara acak, double-blind, parallel-
treatment trial dilaporkan 16 Juli pada Online First issue dari The Lancet.
Beberapa jenis DMARD yang lazim digunakan untuk pengobatan AR adalah:
Klorokuin
Klorokuin merupakan DMARD yang paling banyak digunakan di Indonesia. Hal ini
disebabkan karena klorokuin sangat mudah didapat dengan biaya yang amat terjangkau
sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah Indonesia dalam hal eradikasi penyakit malaria.
Toksisitas klorokuin sebenarnya tidak perlu terlalu di khawatirkan. Klorokuin dapat
digunakan dengan aman jika dilakukan pemantauan yang baik selama penggunaannya dalam
jangka waktu yang panjang. Efek samping pada mata sebenarnya hanya terjadi pada sebagian
kecil pasien saja.
Dosis antimalaria yang dianjurkan untuk pengobatan AR adalah klorokuin fosfat 250
mg/hari atau hidroksiklorokuin 400 mg/hari.
Sulfasalazine
Sulfasalazine (SASP, salycil-azo-sulfapyridine) pada mulanya digunakan untuk
mengobati artritis inflamatif yang diduga disebabkan karena infeksi.
Untuk pengobatan AR sulfasalazine dalam bentuk enteric coated tablet digunakan
mulai dari dosis 1 x 500 mg/hari, untuk kemudian ditingkatkan 500 mg setiap minggu sampai
mencapai dosis 4 x 500 mg. Setelah remisi tercapai dengan dosis 2 g/hari, dosis diturunkan
kembali sehingga mencapai 1 g/hari untuk digunakan dalam jangka panjang sampai remisi
sempurna terjadi. Jika sulfasalazine tidak menunjukkan khasiat yang dikehendaki dalam 3
Kepaniteraan Klinik Gerontologi Medik 27Fakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraSasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan2008
Page 28
Referat Ujian Gerontologi Medik Aldila Gantinio (406067048)
bulan, obat ini dapat dihentikan dan digantikan dengan DMARD lain atau tetap digunakan
dalam bentuk kombinasi dengan DMARD lainnya.
Kurang lebih 20% pasien AR menghentikan pengobatan SASP karena mengalami
nausea, muntah atau dispepsia. Gangguan susunan syaraf pusat seperti pusing atau iritabilitas
dapat pula dijumpai.
D-penicilamin
D-penicilamin bekerja sangat lambat, saat ini DP kurang disukai lagi untuk digunakan
dalam pengobatan AR. Umumnya diperlukan waktu pengobatan kurang lebih satu tahun
untuk dapat mencapai keadaan remisi yang adekuat, dan rentang waktu ini dianggap terlalu
lama bagi sebagian besar pasien AR.
Dalam pengobatan AR, DP digunakan dalam dosis 1 x 250 mg sampai 300 mg/hari
kemudian dosis di tingkatkan setiap dua sampai 4 minggu sebesar 250 sampai 300 mg/hari
untuk mencapai dosis total 4 x 250 sampai 300 mg/hari.
Efek samping DP antara lain adalah ruam kulit urtikaria atau morbiliformis akibat
reaksi alergi, stomatitis, pemfigus, trombositopenia, leukopenia, agranulositosis, proteinuria
ringan. Efek samping lain yang juga dapat timbul adalah lupus like syndrome, poliomiositis,
neuritis, miasteia gravis, gangguan mengecap, nausea, muntah, kolestasis intrahepatik dan
alopesia.
Garam Emas
Auro Sodium Thiomalate (AST) intramuskular telah dianggap sebagai suatu gold
standard bagi DMARD sejak 20 tahun terakhir ini. AST (tauredon ampul 10, 20, dan 50 mg)
diberikan secara intramuskular yang dimulai dengan dosis percobaan pertama sebesar 10 mg,
disusul dengan dosis percobaan kedua sebesar 20 mg setelah 1 minggu kemudian. Setelah 1
minggu, dosis penuh diberikan sebesar 50 mg/minggu selama 20 minggu. Jika respons pasien
belum memuaskan setelah 20 minggu, pengobatan dapat dilanjutkan dengan pemberian dosis
tambahan sebesar 50 mg setiap 2 minggu sampai 3 bulan. Kalau masih diperlukan AST
kemudian dapat diberikan dalam dosis sebesar 50 mg setiap 3 minggu sampai keadaan remisi
yang memuaskan dapat tercapai.
Efek samping AST antara lain adalah pruritus, stomatitis, proteinuria,
trombositopenia dan aplasia sumsum tulang.
Ridaura (auranofin 3 tablet 3 mg) adalah preparat garam emas oral telah dikenal sejak
awal dekade yang lalu dan dianggap sebagai DMARD yang berlainan sifatnya dari AST.
Walaupun obat ini terbukti berkhasiat dalam pengobatan AR, lebih mudah digunakan serta
Kepaniteraan Klinik Gerontologi Medik 28Fakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraSasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan2008
Page 29
Referat Ujian Gerontologi Medik Aldila Gantinio (406067048)
tidak memerlukan pemantauan yang ketat seperti AST, banyak para ahli yang berpendapat
bahwa khasiat auranofin tidaklah lebih baik dibandingkan dengan AST. Auranofin diberikan
dalam dosis 2 x 3 mg sehari.
Metotrexate
Metrotrexate (MTX) adalah suatu sitostatika golongan antagonis asam folat yang
banyak digunakan sejak 15 tahun yang lalu.
Pemberian MTX umumnya dimulai dengan dosis 7,5 mg (5 mg untuk orang tua)
setiap minggu. Walaupun dosis efektif MTX sangat bervariasi, sebagian besar pasien sudah
akan merasakan manfaatnya dalam 2 sampai 4 bulan setelah pengobatan. Jika tidak terjadi
kemajuan dalam 3 sampai 4 bulan maka dosis MTX harus ditinggalkan.
Pada pasien AR menunjukkan respons yang baik terhadap MTX, pemberian asam
folinat (leucovorin) dapat mengurangi beratnya efek samping yang terjadi. Leucovorin
diberikan dosis 6 sampai 15 mg/m2 luas permukaan badan setiap 6 jam selam 72 jam jika
terdapat efek samping MTX yang membahayakan pasien. MTX sebaiknya hanya diberikan
kepada pasien AR yang progresif dan gagal dikontrol dengan DMARD standard lainnya.
Cyclosporin-A
Siklosporin A (CS-A) adalah salah satu undecapeptida siklik yang memiliki efek
sebgagai antibiotika dan imunosupresan yang diisolasi dari jamur Tolypocladium inflatum
Gams pada tahun 1972.
Penelitian invivo pada binatang percobaan menunjukkan bahwa CS-A dapat menekan
rerspons immun selular seperti rejeksi alograf, hipersensitivitas lambat, ensefalomielitis
alergika eksperimental, Freund’s adjuvant induced arthritis dan graft vs host disease. CS-A
juga dapat menekan respons primer dan sekunder terhadap antigen T-cells dependent.
CS-A memiliki efek nefrotoksik yng umumnya bergantung pada dosis dan bersifat
reversibel. Pada beberapa kasus penggunaan CS-A dapat menyebabkan terjadinya
peningkatan kadar ureum, kreatinin dan asam urat darah. Hipertensi sangat mungkin
disebabkan langsung oleh sifat nefrotoksik CS-A yang menyebabkan terjadinya peningkatan
renin plasma. Pada AR, CS-A umumya diberikan dalam dosis awal 2,5 -3,5 mg/KgBB/hari
yang dibagi dalam 2 dosis. Setelah 4 sampai 8 minggu dosis dapat ditingkatkan 0,5 -1,0
mg/KgBB/hari setiap 1 sampai 2 bulan sehingga mencapai 5 mg/KgBB/hari. Jika dosis
maksimal yang dapat ditolerir tercapai dan pasien telah berada dalam keadan stabil sekurang-
kurangnya 3 bulan, dosis CS-A harus dikurangi setiap 1 atau 2 bulan sebesar 0,5
mg/KgBB/hari. Jika tidak dijumpai respons klinis setelah penggunaan CS-A dalam dosis
Kepaniteraan Klinik Gerontologi Medik 29Fakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraSasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan2008
Page 30
Referat Ujian Gerontologi Medik Aldila Gantinio (406067048)
maksimal yang dapat ditolerir selama 3 bulan, CS-A harus dihentikan. Penggunaan CS-A
merupakan kontraindikasi pada keadaan:
- Terdapatnya atau riwayat penyakit keganasan
- Hipertensi yang tidak terkontrol
Dalam usaha untuk mengurangi efek yang tidak diinginkan penggunaan CS-A
sebaiknya dilakukan dengan pemantauan yang ketat. Sebelum pengobatan dimulai sebaiknya
dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan sebagai berikut:
Pemeriksaan tekanan darah sekurang-kurangnya 3 kali
- Pemeriksaan bilirubin dan enzim hati
- Pemeriksaan kadar kalium, magnesium dan asam urat darah
- Pemeriksaan protein urin
Leflunomide
Leflunomide (lef) merupakan DMARD yang terbaru yang digunakan saejak akhir
tahun 1998. Dalam percobaan klinis diketahui bahwa khasiat Lef dapat disetarakan dengan
MTX, sehingga sangat baik sekali untuk digunakan pada pasien yang gagal di obati dengan
MTX atau untuk pasien yang karena sesuatu hal tidak dapat mentolerir MTX. Mekanisme
Lef pada AR saat ini belum diketahui dengan pasti, akan tetapi diduga berhubungan dengan
kemampuannya menekan aktivitas enzim tirosinase kinase dan menghambat biosintesis
pirimidin de novo melalui hambatan pada enzim dihidroorotat dehidrogenase. Penelitian
invitro juga menunjukkan bahwa Lef menghambat proses nitrogen dan sel T yang dirangsang
oleh IL-2. Untuk mencapai keadaan steady state obat ini dianjurkan untuk digunakan dalam
dosis awal 100 mg/hari selama 3 hari berturut-turut dan kemudian dilanjutkan dalam dosis 10
sampai 20 mg/hari. Dalam menggunakan Lef harus dilakukan pemantauan rutin darah perifer
dan fungsi hati setiap 2 minggu pada bulan pertama dan setiap bulan untuk selanjutnya. Efek
toksik lainnya meliputi diare, nyeri lambung, dan alopesia yang pada umumnya sangat ringan
sehingga tidak memerlukan penghentian penggunaan obat. Karena obat ini memiliki potensi
untuk bersifat teratogenik, wanita yang ingin hamil terlebih dahulu harus menggunakan
cholestiramin 3 x 8 g/hari selama 11 hari berturut-turut sampai kadar Lef dalam darah yang
diukur pada 2 kali pemeriksaan selang 14 hari menunjukkan kadar yang kurang dari 0,02
mg/L.
Kepaniteraan Klinik Gerontologi Medik 30Fakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraSasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan2008
Page 31
Referat Ujian Gerontologi Medik Aldila Gantinio (406067048)
VIII. 3. Penggunaan Agen Biologik
Sebagai salah satu prototipe proses inflamasi pada penyakit reumatik yang didasari
oleh rangkaian proses imunologik, RA memiliki kekhususan dalam keterlibatan mediator
inflamatorik terutama menyangkut peran sitokin pro-inflamatorik dari sel T yang teraktivasi
terutama tumor necrosis factor alpha (TNF-α), interleukin-1 (IL-1) dan -6 (IL-6) serta
stimulasi produksi immunoglobulin oleh sel B.
Apa yang disebut agen biologi? Agen biologi merupakan substansi yang dibuat dari
organisme hidup atau produknya dan digunakan dalam pencegahan, diagnosis atau
pengobatan penyakit. Agen biologi ini mencangkup antibodi, interleukin dan vaksin. Agen
biologi ini disebut juga sebagai biological agents atat biological drugs.
Saat ini terdapat berbagai agen biologi yang dipakai dalam pengobatan AR dengan
berbagai target pengobatannya. Target pengobatan menggunakan agen biologi dimaksud
adalah sitokin pro-inflamatori seperti interleukin-1 (IL-1) reseptor antagonis (anakinra) dan
TNF-α blocker. Mengingat ketersediaan agen biologi ini di Indonesia, maka ulasan dibatasi
pada TNF-α blocking agents, IL-1 receptor antagonis dan B-cell depletion.
VIII. 3. 1. TNF-α blocking Agents
TNF-α adalah sitokin pro-inflamasi yang diproduksi oleh makrofag dan limfosit. TNF
dapat dijumpai dalam jumlah yang besar dalam sendi pasien AR yang diproduksi secara lokal
oleh sel makrofag dan limfosit yang menginfiltrasi ruang sinovial. Terdapat 3 TNF-α yaitu
Etanercept, infliximab dan adalimumab.
Etanercept
Etanercept (Eta) adalah versi rekombinan dari reseptor TNF-α yang larut dan terikat
pada bagian Fc dari IgG1 manusia. Eta merupakan protein yang terdiri dari urutan asam
amino manusia murni sehingga sangat kecil potensinya untuk membentuk antiodi anti
etanercept. Obat ini bekerja dengan dengan mengikat TNF-α dalam sirkulasi secara
kompetitif sehingga TNF-α tidak dapat menempati reseptornya pada permukaan sel secara
kompetitif, dan dengan demikian aktivitas biologis TNF-α akan terhambat.
Dalam klinik, Eta sangat baik digunakan sebagai kombinasi bersama MTX. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa penggunaan etanercept bersama MTX pada artritis rematoid
yang berat akan dapat mempercepat perbaikan radang sendi pada arthritis rheumatoid. Eta
memiliki onset yang sangat cepat dimana penggunaannya dapat menimbulkan perbaikan
Kepaniteraan Klinik Gerontologi Medik 31Fakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraSasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan2008
Page 32
Referat Ujian Gerontologi Medik Aldila Gantinio (406067048)
radang sendi dalam waktu 1-2 minggu saja. Jika eta tidak menunjukkan terjadinya perbaikan
dalam waktu 12 minggu, agaknya penggunaan obat ini lebih lama juga tidak banyak berguna
lagi. Pengaruh eta akan bertahan selama kurang lebih 4 minggu setelah dihentikan.
Eta memiliki masa paruh yang panjang (70 jam) dan telah terdapat di pasaran dalam
bentuk larutan obat suntik dalam vial 25 mg diberikan sebagai suntikan subkutan 1 vial
dalam interval dua kali seminggu (Senin-Kamis, Selasa-Jum’at, atau Rabu-Sabtu). Sediaan
vial 50 mg sebagai suntikan subkutan diberikan satu kali seminggu.
Efek samping yang lazim dijumpai adalah reaksi kulit pada situs suntikan,
peningkatan frekuensi infeksi saluran napas atas ringan. Penggunaan etanercept bersama
metotrexate tidak menunjukkan peningkatan efek toksik.
Infliximab
Infliximad (IFX) merupakan antibodi monoklonal yang mengikat TNF-α dengan
afinitas yang tinggi. IFX bekerja dengan mengikat TNF-α dalam sirkulasi dan mencegah
terjadinya interaksi antara TNF-α dengan reseptornya pada sel inflamasi dan akhirnya dapat
membersihkan TNF-α dari sirkulasi. Seperti etanercept, IFX juga menghambat aktivitas
TNF-α . IFX umumnya digunakan bersama MTX untuk mengatasi gejala AR dan
menghambat progresi kerusakan struktural pada pasien aktif yang tidak menunjukkan respons
yang adekuat pada pengobatan tunggal dengan MTX. Sebagai dosis pertama IFX digunakan
dalam laruran infus dalam dosis 3 mg/KgBB yang diberikan selama 2 jam, dan kemudian
diulangi kembali pada minggu ke 2 dan ke 6 dan selanjutnya setiap 8 minggu. Karena IFX
mengandung komponen protein tikus, kemungkinan terbentuknya human anti-chimeric
antibodies (HACA) merupakan hal yang umum terjadi setelah penggunaan berulang dan
menyebabkan terjadinya hambatan pengikatan TNF-α oleh IFX. Penggunaan MTX dapat
mengurangi kadar HACA yang terbentuk. Reaksi umum penggunaan antibodi monoklonal
yang dikenal sebagai cytokine release syndrome seperti demam, menggigil, dan sakit kepala
dapat pula dijumpai pada penggunaan infliximab.
VIII. 3. 2. Antagonist IL-1 receptor (anakinra)
Tingginya konsentrasi IL-1 berkaitan erat dengan aktivitas penyakit serta gambaran
histopatologi AR seperti hipertrofi dan hiperplasia sinovium, infltrasi leukosit, meningkatnya
produk kerusakan rawan sendi yang dapat diukur dalam cairan sinovium. Disamping itu
dapat terlihat penurunan sintesis matriks rawan sendi, serta munculnya gejala konstitusional
Kepaniteraan Klinik Gerontologi Medik 32Fakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraSasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan2008
Page 33
Referat Ujian Gerontologi Medik Aldila Gantinio (406067048)
seperti demam, penurunan berat badan, serta peningkatan laju endap darah. Atas pengaruh
IL-1 ini sangat cepat terjadi perlekatan sinovium ke rawan sendi dan dimulailah proses erosi
tulang subkortikal. Proses ini sudah terjadi pada minggu pertama setelah terlihatnya
peningkatan IL-1 tersebut. Erosi yang lebih berat akan berlanjut pada minggu kedua melalui
perantaraan pembentukan pannus. Manfaat anakinra pada AR dini belum diketahui. Biasanya
anakinra dipakai dalam kombinasi dengan MTX atau secara tunggal. Beberapa penelitian
memperlihatkan manfaat dalam perlambatan kerusakan secara radiografik.
VIII. 3. 3. B-cell Depletion
Aktivitas sel limfosit B terlihat dari adanya migrasi sel tersebut ke sinovium, ekspresi
costimulatory molecules seperti ligand CD40 (CD145), CD20; peningkatan beberapa
produksi sitokin yang juga akan merangsang fungsi sel B tersebut. Co-stimulatory molecules
ini dipakai sebagai target untuk membuat sel B kehilangan kemampuannya dalam
memproduksi autoantibodi atau dalam kapasitasnya merangsang sel limfosit T. Salah satu
agen biologi sebagai anti CD20 adalah rituximab (RTX). Rituximab merupakan chimeric anti
CD20 monoclonal antibodi yang telah lebih dulu dipakai dalam pengobatan keganasan
hematologik yaitu B-cell non Hodgkin’s lymphoma. Saat ini RTX dipakai pula dalam
pengobatan penyakit AR. Obat ini disetujui sebagai agen biologik untuk AR oleh FDA
bilamana aktivitas penyakitnya sedang hingga berat dan yang tidak memberikan respons
terhadap TNF-α blocking agents.
Apabila penggunaan agen biologi ini tidak memberikan respons pengobatan yang
menunjukkan adanya perbaikan dari sudut gejala, tanda maupun parameter laboratorium
dalam rentang waktu 8-12 minggu, maka sebaiknya agen biologi ini tidak dilanjutkan.
Bridging Therapy dalam pengobatan AR
Bridging therapy adalah pemberian glukokortikoid dalam dosis rendah (setara dengan
prednisone 5 sampai 7,5 mg/hari) sebagai dosis tunggal pada pagi hari. Walaupun pemberian
glukokortikoid dosis rendah tidak menimbulkan perubahan yang bermakna kadar dan irama
kortisol plasma atau growth hormone, pemberian glukokortikoid dosis rendah ini akan sangat
berguna untuk mengurangi keluhan pasien sebelum DMARD yang diberikan dapat bekerja.
Kepaniteraan Klinik Gerontologi Medik 33Fakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraSasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan2008
Page 34
Referat Ujian Gerontologi Medik Aldila Gantinio (406067048)
Pengobatan AR eksperimental
Selain dari cara pengobatan di atas, terdapat pula beberapa cairan lain yang dapat
dipakai untuk mengobati pasien AR, akan tetapi karena belum dilakukan uji klinik mengenai
khasiat dan efektivitas dari modalitas tersebut, cara pengobatan tersebut masih bersifat
eksperimental dan belum digunakan secara luas dalam pengobatan AR. Pengobatan
eksperimental AR ini antara lain meliputi penggunaan plasmaforesis, thalidomide, A-
interferon, inhibitor IL-1.
Peran dietetik dalam pengobatan AR
AR adalah suatu peyakit sistemik kronik dan bukan suatu penyakit metabolik.
Walaupun beberapa jenis modifikasi dietetik, antara lain yang terakhir berupa suplementasi
asam lemak omega 3 seperti asam eikosapentanoat pernah dicoba dalam beberapa penelitian,
ternyata hasilnya sangat bersifat kontroversial. Dengan demikian hingga saat ini sebagian
besar para ahli berpendapat bahwa selain untuk mencapai berat badan ideal, agaknya
modifikasi dietetik saat ini belum jelas kegunaannya dalam merubah riwayat alamiah
penyakit ini.
IX. KESIMPULAN
Artritis Reumatoid merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik kronik yang
walaupun menifestasi utamanya adalah poliartritis yang progresif, akan tetapi penyakit ini
juga melibatkan seluruh organ tubuh. Penyakit ini merupakan suatu penyakit yang tersebar
luas serta melibatkan semua kelompok ras dan etnik di dunia. AR lebih sering dijumpai pada
wanita, dengan perbandingan wanita dan pria sebesar 3:1. Perbandingan ini mencapai 5:1
pada wanita dalam usia subur. Walaupun faktor penyebab maupun faktor patogenesis AR
yang sebenarnya hingga kini tetap belum diketahui dengan pasti, faktor genetik seperti
produk kompleks histokompatibilitas utama kelas II (HLA-DR) dan beberapa faktor
lingkungan telah lama diduga berperanan dalam timbulnya penyakit ini.
Gejala klinis utama AR adalah poliartritis yang mengakibatkan terjadinya kerusakan
pada rawan sendi dan tulang disekitarnya. Kerusakan ini terutama mengenai sendi perifer
pada tangan dan kaki yang umumnya bersifat simetris. Pada kasus AR yang jelas diagnosis
tidak begitu sulit untuk ditegakkan. Akan tetapi pada permulaan penyakit, seringkali gejala
AR tidak bermanifestasi dengan jelas, sehingga kadang-kadang timbul kesulitan dalam
menegakkan diagnosis. Walaupun demikian dalam menghadapi AR yang pada umumnya
Kepaniteraan Klinik Gerontologi Medik 34Fakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraSasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan2008
Page 35
Referat Ujian Gerontologi Medik Aldila Gantinio (406067048)
berlangsung kronis ini, seorang dokter tidak perlu terlalu cepat untuk menegakkan diagnosis
yang pasti. Adalah lebih baik untuk menunda diagnosis AR selama beberapa bulan daripada
gagal mendiagnosis terdapatnya jenis artritis lain yang seringkali memberikan gejala yang
serupa.
Dalam pengobatan AR umumnya selalu dibutuhkan pendekatan multidisipliner. Suatu
tim yang idealnya terdiri dari dokter, perawat, ahli fisioterapi, ahli terapi okupasional, pekerja
social, ahli farmasi, ahli gizi, dan ahli psikologi. Dengan penerangan yang baik mengenai
panyakitnya, pasien AR diharapkan dapat melakukan kontrol atas perubahan emosional,
motivasi dan kognitif yang terganggu akibat penyakit ini. Banyak obat-obatan yang dipakai
untuk artritis reumatoid seperti golongan OAINS, DMARD, agen biologik. Dalam klinik,
Etanercept sangat baik digunakan sebagai kombinasi bersama MTX. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa penggunaan etanercept bersama MTX pada artritis rematoid yang berat
akan dapat mempercepat perbaikan radang sendi pada artritis reumatoid.
Kepaniteraan Klinik Gerontologi Medik 35Fakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraSasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan2008
Page 36
Referat Ujian Gerontologi Medik Aldila Gantinio (406067048)
DAFTAR PUSTAKA
Albar, Zuljasri. (2007). ‘Pemeriksaan pencitraan dalam bidang reumatologi’, Dalam: Sudoyo AW.
(eds), Buku ajar ilmu penyakit dalam, jilid II, edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Hal. 1159-60.
Arnadi, dkk. (2007). ‘Pemeriksaan CRP, faktor reumatoid, autoantibodi dan komplemen, Dalam:
Sudoyo AW. (eds), Buku ajar ilmu penyakit dalam, jilid II, edisi IV. Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta,
Hal. 1152-56.
Barclay, laurie. (2008, July 18). ‘Theraphy with metotrexate and etanercept in rheumatoid arthritis’, Available at: http://www.medscape.com/viewarticle/577715. (Accessed at: 2008, August 22)
Brata, TA. (2008). ‘Gangguan muskuloskeletal’, Kumpulan referat gerontologi medik. Hal: 110-130
Daud, Rizasyah. (2007). ‘Artritis reumatoid’, Dalam: Sudoyo AW. (eds), Buku ajar ilmu penyakit
dalam, jilid II, edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Hal. 1174-81.
Daud R, Adnan HM. (1999). ‘Artritis reumatoid’, Dalam: Sudoyo AW. (eds), Buku ajar ilmu penyakit
dalam, jilid I, edisi III. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Hal. 62.
Dwi. (2007). ‘Artritis rheumatoid: benarkah hanya tanda penuaan?’, Farmacia ethical update,
Surabaya, Hal. 32.
Kasjmir, YI. (2008). ‘Penggunaan agen biologik pada penatalaksanaan artritis reumatoid’, Dalam:
Setyohadi B. (eds), Kumpulan makalah temu ilmiah reumatologi 2008, Hal. 5-8.
Silman AJ, Pearson JE. (2002). ‘Epidemiologi and genetics of rheumatoid arthritis’, Available at:
http://arthritis-research.com/content/4/S3/S265. (Accessed at: 2008, August 22)
Wyeth, Amgen. (2006). ‘Enbrel (etenercept) for subkutaneus injection’, USA
Kepaniteraan Klinik Gerontologi Medik 36Fakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraSasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan2008