EMANSIPASI PEREMPUAN ISLAM DAN KEHIDUPAN PESANTRENDALAM NOVEL
DAN FILM PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN
OlehAlfian Rokhmansyah
A.PendahuluanBeberapa kurun waktu terakhir ini banyak film yang
diadaptasi dari sebuah novel. Perubahan dari novel ke film
merupakan sebuah bentuk resepsi penulis sekenario dan sutradara
film terhadap novel yang dijadikan acuan film yang dibuat.
Perubahan ini tentu menimbulkan perubahan yang menyebabkan
perbedaan antara novel dan film.Novel Perempuan Berkalung Sorban
merupakan sebuah novel islam yang mengandung banyak kritikan
terhadap kehidupan pesantren tradisional. Novel Perempuan Berkalung
Sorban ini juga bertujuan untuk mencari idealitas perempuan dalam
pandangan Islam. Sebagaimana novel Perempuan Berkalung Sorban, film
yang berjudul sama dengan novelnya ini juga mengandung beberapa
kritikan terhadap kehidupan pesantren tradisional, yang masih
dianggap kolot. Selain itu, film Perempuan Berkalung Sorban juga
mengaktulisasikan gerakan feminisme yang dilakukan tokoh utama
untuk menyejajarkan dirinya dengan kaum laki-laki,Film Perempuan
Berkalung Sorban sempat dilarang beredar setelah beberapa minggu
nangkring di beberapa bioskop. Larangan ini muncul dari MUI yang
menganggap bahwa film Perempuan Berkalung Sorban merupakan film
yang salah dan tidak sesuai syariat Islam. Hal ini disebabkan oleh
ketidaksesuaian antara adegan yang ada dalam film dengan syariat
Islam mengenai kehidupan perempuan dari segi pandang hukum
Islam.Dari uraian di atas, kajian ini menitikberatkan pada
perspektif feminis tokoh utama dan penggambaran kehidupan pesantren
yang terkandung dalam novel dan film Perempuan Berkalung Sorban.
Ada beberapa perbedaan pengisahan dan pengungkapan gerakan
feminisme perempuan dan kehidupan pesantren yang muncul dalam novel
dan film Perempuan Berkalung Sorban. Kajian ini akan menggunakan
metode perbandingan dalam kajian feminisme dan penggambaran
kehidupan pesantren dalam novel dan film Perempuan Berkalung
Sorban.
B.Landasan TeoriDalam kajian bandingan antara novel dan film
Perempuan Berkalung Sorban ini, digunakan tiga teori umum, yaitu
teori sastra bandingan, teori ekranisasi, dan teori
feminisme.1.Konsep Dasar Sastra BandinganKarya sastra lahir di
tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang serta
refleksi terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya. Kehadiran
karya sastra merupakan bagian dari kehidupan masyarakat. Pengarang
sebagai objek individual mencoba menghasilkan pandangan dunianya
kepada objek kolektifnya. Penggabungan objek individual terhadap
realitas sosial yang ada di sekitarnya menunjukkan sebuah karya
sastra berakar pada kultur masyarakat tertentu. Keberadaan sastra
yang demikian, menjadikan sastra dapat diposisikan sebagai dokumen.
(Pradopo dalam Jabrohim 2001: 59)Karya sastra berfungsi untuk
menginventarisasikan sejumlah kejadian yang ada di masyarakat.
Seluruh kejadian dalam karya sastra merupakan prototipe kejadian
yang pernah dan mungkin terjadi pada kehidupan sehari-hari. Sebagai
fakta kultural, karya sastra dianggap sebagai representasi kolektif
yang secara umum berfungsi sebagai sarana untuk memperjuangkan
aspirasi dan kencenderungan komunitas yang bersangkutan. Kedudukan
sastra dalam kecenderungan ini sangat penting, terutama untuk
mengangkat harkat dan martabat manusia dalam gejala yang selalu
berubah.Pengarang menciptakan karya sastra berdasarkan kenyataan
yang terjadi di sekitarnya. Oleh karena itu, karya sastra dapat
diartikan sebagai suatu gambaran mengenai kehidupan sehari-hari di
masyarakat. Adanya realitas sosial dan lingkungan yang berada di
sekitar pengarang menjadi bahan dalam menciptakan karya sastra
sehingga karya sastra yang dihasilkan memiliki hubungan yang erat
dengan kehidupan pengarang maupun dengan masyarakat yang ada di
sekitar pengarang.Sastra berhubungan dengan manusia dalam
masyarakat termasuk di dalamnya usaha manusia untuk menyesuaikan
diri dan usahanya untk mengubah masyarakat itu. Sesungguhnya
sosiologi dan sastra berbagi masalah yang sama. Keterkaitan karya
sastra dengan masyarakat biasa disebut dengan sosiologi sastra.
Sosiologi dapat memberikan penjelasan yang brmanfaat tentang sastra
dan bahkan tanpa sosiologi pemahaman tentang sastra belum lengkap
(Damono, 1978: 2).Karya sastra lahir karena adanya suatu proses
yang dilalui oleh pengarang ditinjau dari segi pencipta, karya
sastra merupakan pengalaman batin penciptanya mengenai kehidupan
masyarakat dalam suatu kurun waktu dan situasi budaya tertentu.
Karya sastra dibuat untuk masyarakat. Oleh karena itu, pengarang
harus mampu mempengaruhi pembaca untuk meyakini kebenaran yang
dikemukakannya. Salah satu usaha untuk meyakinkan pembaca adalah
dengan mendekati kebenaran yang diambil dari realitas yang ada
dalam masyrakat. Keadaan masyarakat di salah satu tempat pada suatu
saat penciptaan karya sastra, secara ilustratif akan tercermin di
dalam sebuah karya sastra. Karya sastra biasanya berisi lukisan
yang jelas tentang suatu tempat dalam suatu masa dengan berbagai
tindakan manusia. Manusia dengan berbagai tindakannya di dalam
masyarakat merupakan objek kajian sosiologi. Seperti yang dikatakan
Marx (dalam Faruk 1999: 6), struktur sosial suatu masyarakat, juga
struktur lembaga-lembaganya, moralitasnya, agamanya, dan
kesusastraannya, terutama sekali ditentukan oleh kondisi-kondisi
kehidupan, khususnya kondisi-kondisi produktif kehidupan masyarakat
itu.Sastra sebagai cermin masyarakat menganggap bahwa sastra
merupakan sebuah tiruan kehidupan masyarakat. Menurut Ian Watt
(dalam Damono 1978: 3-4) sastra sebagai cerminan kehidupan
masyarakat merupakan fungsi sastra untuk merefleksikan kehidupan
masyarakat kedalam sastra. Sastra umumnya berusaha untuk
menampilkan keadaan masyarakat secermat-cermatnya agar mampu
menggambarkan kehidupan asli dari masyarakat zamannya.
2.Konsep EkranisasiTransformasi dari karya sastra ke bentuk film
dikenal dengan istilah ekranisasi. Istilah ini berasal dari bahasa
Prancis, cran yang berarti layar. Selain ekranisasi yang menyatakan
proses transformasi dari karya sastra ke film ada pula istilah
lain, yaitu filmisasi.Ekranisasi (1991: 60) adalah pelayarputihan
atau pemindahan sebuah novel ke dalam film. Eneste menyebutkan
bahwa ekranisasi adalah suatu proses pelayarputihan atau pemindahan
atau pengangkatan sebuah novel ke dalam film. Eneste juga
menyebutkan bahwa pemindahan dari novel ke layar putih mau tidak
mau mengakibatkan timbulnya berbagai perubahan. Oleh karena itu,
ekranisasi juga bisa disebut sebagai proses perubahan bisa
mengalami penciutan, penambahan (perluasan), dan perubahan dengan
sejumlah variasi.Damono (2005:96) memiliki istilah alih wahana
untuk membicarakan transformasi dari satu ke yang lain. Istilah ini
hakikatnya memiliki cakupan yang lebih luas dari ekranisasi.
Ekranisasai merupakan perubahan ke- atau menuju layar putih,
sedangkan alih wahana seperti yang dijelaskan Damono bisa dari
berbagai jenis karya seni ke jenis karya seni lain. Akan tetapi,
istilah ini tidak bertentangan dengan makna dan konsep dasar yang
dimiliki oleh ekranisasi sebagai proses pengubahan dari satu wahana
ke wahan lain.Damono menjelaskan bahwa alih wahana adalah perubahan
dari satu jenis kesenian ke dalam jenis kesenian lain. Alih wahana
yang dimaksudkan di sini tentu saja berbeda dengan terjemahan.
Terjemahan dan penerjemahan adalah pengalihan karya sastra dari
satu bahasa ke bahasa yang lain, sedang alih wahana adalah
pengubahan karya sastra atau kesenian menjadi jenis kesenian lain.
Damono mencontohkan cerita rekaan diubah menjadi tari, drama, atau
film. Bukan hanya itu, alih wahana juga bisa terjadi dari film
menjadi novel, atau bahkan puisi yang lahir dari lukisan atau lagu
dan sebaliknya. Alih wahana novel ke film misalnya, tokoh, latar,
alur, dialog, dan lain-lain harus diubah sedemikian rupa sehingga
sesuai dengan keperluan jenis kesenian lain.Di dalam ekranisasi,
pengubahan wahana dari karya sastra ke wahana film, berpengaruh
pula pada berubahnya hasil yang bermediumkan bahasa atau kata-kata,
ke dalam film yang bermediumkan gambar audiovisual. Jika di dalam
novel ilustrasi dan penggambaran atau pelukisan dilakukan dengan
menggunakan media bahasa atau kata-kata, dalam film semua itu
diwujudkan melalui gambar-gambar bergerak atau audiovisual yang
menghadirkan suatu rangkaian peristiwa.Perbedaan media dua genre
karya seni, memiliki karakteristik yang berbeda pula. Bahasa
sebagai medium karya sastra memiliki sifat keterbukaan pada
imajinasi pengarang. Proses mental lebih banyak terjadi dalam hal
ini. Bahasa yang digunakan memungkinkan memberi ruang yang luas
bagi pembaca untuk menafsir dan mengimajinasi tiap-tiap yang
ditontonnya. Faktor lain yang berpengaruh adalah durasi waktu dalam
penikmatan film. Terbatasnya waktu memberikan pengaruh tersendiri
dalam proses penerimaan dan pembayangan.Selain transformasi bentuk,
ekranisasi juga merupakan transformasi hasil kerja. Dalam proses
penciptaan, novel merupakan kerja atau kreasi individu, sedangkan
film merupakan kerja tim atau kelompok. Novel merupakan hasil kerja
perseorangan yang melibatkan pengalaman, pemikiran, ide, dan
lain-lain. Maka dengan demikian, ekranisasi juga dapat dikatakan
sebagai proses perubahan dari sesuatu yang dihasilkan secara
individual menjadi sesuatu yang dihasilkan secara bersama-sama atau
gotong royong.Perbedaan wahana atau media dari dua genre karya
tersebut tentu saja berpengaruh pada bentuk sajiannya. Dengan kata
lain, perbedaan media memengaruhi cara penyajian cerita, bentuk
penyajian cerita. Selain dipengaruhi oleh keterbatasan (limit) yang
dimiliki oleh masing-masing media tersebut, dalam novel dan film,
juga dipengaruhi oleh adanya proses resepsi, pembacaan, sutradara
atau penulis skenario terhadap cerpen tersebut. Lebih dari itu,
resepsi itu dapat lepas dari interpretasi dan pada itu juga akan
dimasukkan juga ideologi dan tujuan-tujuan, intensi, pesan, misi,
dan keinginan sutradara ataupun penulis skenario. Kompleksitas ini
tentu saja sangat dipengaruhi oleh jiwa zaman, fenomena sosial yang
berkembang, kultural, dan sosial masyarakatnya.
3.Teori FeminismeFeminisme menurut Goefe (dalam Sugihastuti dan
Suharto 2002: 18) adalah teori tentang persamaan hak antara
laki-laki dan wanita di segala bidang. Suatu kegiatan terorganisasi
yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan wanita. Hal ini
disebabkan wanita selalu mengalami ketimpangan gender selama ini.
Feminisme berupaya menggali identitas wanita yang selama ini
tertutupi hegemoni patriarkat. Identitas diperlukan sebagai dasar
pergerakan memperjuangkan kesamaan hak dan membongkar akar dari
segala ketertindasan wanita. Tujuan feminis adalah mengakhiri
dominasi laki-laki dengan cara menghancurkan struktur budaya,
segala hukum dan aturan-aturan yang menempatkan wanita sebagai
korban yang tidak tampak dan tidak berharga. Hal ini diterima
wanita sebagai marginalisasi, subordinasi, stereotip, dan
kekerasan.Menurut Fakih (2003: 99-100) feminisme berangkat dari
asumsi bahwa wanita pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi.
Feminisme merupakan perjuangan dalam rangka mentransformasikan
sistem yang dahulu tidak adil menuju ke sistem yang lebih adil bagi
kedua jenis kelamin. Hakikat feminisme adalah gerakan transformasi
sosial. Puncak cita-cita feminis adalah menciptakan sebuah tatanan
baru yang lebih baik dan lebih adil untuk laki-laki dan
wanita.Feminisme berbeda dengan emansipasi. Emansipasi cenderung
lebih menekankan diri pada partisipasi wanita dalam pembangunan
tanpa mempersoalkan hak serta kepentingan wanita yang selama ini
dinilai tidak adil. Wanita dalam pandangan feminisme mempunyai
aktivitas dan inisiatif sendiri untuk memperjuangkan hak dan
kepentingan tersebut dalam berbagai gerakan (Sofia 2003:
24).Dipandang dari sudut sosial, feminisme muncul dari rasa
ketidakpuasan terhadap sistem patriarkhi yang ada pada masyarakat.
Pendapat tersebut dikemukakan oleh Millet (dalam Selden 1991: 139)
dalam buku Sexual Politics yang menggunakan istilah patriarkhi
(pemerintahan ayah). Istilah ini mempunyai arti sangat mementingkan
garis keturunan laki-laki. Budaya patriarkhi juga menggunakan
kekuatan secara langsung ataupun tidak langsung dalam kehidupan
sipil dan rumah tangga untuk membatasi wanita. Konsep yang dianggap
tidak adil inilah yang digunakan sebagai dasar oleh Millet untuk
mengungkap sebab penindasan terhadap wanita (Selden 1991:
139).Berkaitan dengan fenomena feminisme dalam dunia sastra, Faruk
(dalam Sugihastuti 2002: 66) menyatakan bahwa bahasa adalah proses
yang terus-menerus melakukan tindakan gender dalam berbagai situasi
interaksi antara wanita dengan laki-laki dalam kehidupan
sehari-hari. Ketika laki-laki dan wanita berpikir melakukan
komunikasi kebahasaan, mereka dihadapkan pada bahasa sebagai sebuah
kondisi objektif yang bersifat eksternal yang memberikan batas,
kerangka, dan bahkan arah terhadap apa yang dapat dipikirkan dan
dikemukakannya.
C.Emansipasi Perempuan Islam dan Kehidupan Pesantren Tradisional
dalam Novel dan Film Perempuan Berkalung SorbanPerbandingan antara
novel dan film Perempuan Berkalung Sorban ini meliputi perbandingan
pengungkapan perspektif feminis tokoh utama, yaitu Anisa, dan
perbandingan kehidupan pesantren yang diungkapkan dalam novel dan
film. Hal ini disebabkan karena adanya proses
ekranisasi.1.Emansipasi Perempuan Islam dalam Novel Perempuan
Berkalung SorbanDalam novel PBS, pandangan tokoh Nisa memang
merupakan gambaran emansipasi atau gerakan feminisme yang dilakukan
oleh perempuan. Hal ini dilakukan untuk menyamakan derajat antara
perempuan dan laki-laki. Gerakan feminisme dalam novel Perempuan
Berkalung Sorban pertama kali muncul ketika Nisa merasa dirinya
dibedakan dari kedua kakak laki-lakinya. Benar, Mbak. Habis Rizal
dan Wildan boleh kembali tidur, sementara Nisa harus membersihkan
tempat tidur dan membantu ibu memasak di dapur. Sementara Rizal dan
Wildan masuk lagi ke kamar, katanya mau belajar, padahal Nisa lihat
sendiri mereka kembali tidur sehabis shala shubuh. (PBS, hlm.
21)
Pada kutipan di atas terlihat adanya ungkapan Nisa mengenai
perbedaan peraturan antara anak laki-laki dan perempuan. Nisa
sebagai anak perempuan harus mau membantu ibunya di dapur,
sedangkan kedua kakaknya bisa bebas tanpa harus mengerjakan
kewajiban. Pada diri Nisa terbentuk suatu pertentangan batin
mengenai perbedaan yang terjadi antara dirinya dan kedua kakak
laki-lakinya. Nisa merasa dirinya dibedakan oleh ayah dan ibunya
dengan kedua kakaknya. Perilaku Nisa yang ingin menunjukkan bahwa
perempuan juga bisa lebih dari laki-laki terjadi saat ia berdebat
dengan Kiai Ali.Perdebatan itu membahas masalah peran istri dalam
hubungan badan dengan suaminya. Pertanyaan Nisa dianggap kurang
logis menurut Kiai Ali. Karena Islam tidak pernah mengajarkan
seorang istri meminta dan memaksa suaminya untuk berhubungan
badan.Bagaimana jika istrinya yang mengajak ke tempat tidur dan
suami menunda-nunda hingga istri tertidur, apa suami juga dilaknat
Allah, Pak Kiai?Tidak. Sebab tak ada hadis yang menyatakan seperti
itu. lagi pula, mana ada seorang isteri yang mengajak lebih dulu ke
tempat tidur. Seorang istri biasanya pemalu dan bersikap
menunggu.Bagaimana jika kenyataannya ada seorang isteri yang
terbuka dan mengajak lebih dulu dan tidak suka bersikap
menunggu.Perempuan seperti itu biasanya tidak disukai laki-laki
karena terlalu agresif. Nanti laki-laki bisa minder menghadapinya.
Sebaiknya seorang isteri adalah pemalu dan bersikap menunggu.(PBS,
hlm. 80-81)
Pada kutipan di atas, terlihat adanya rasa keingintahuan Nisa
terhadap perempuan yang mempunyai keinginan untuk mengajak suaminya
melakukan hubungan badan. Hal itu disebabkan karena sebelumnya Kiai
Ali telah mengatakan bahwa perempuan yang menolak ajakan suami
untuk berhubungan badan akan dilaknat Allah.Perjuangan hidup Nisa
untuk menyejajarkan dirinya dengan laki-laki umumnya hanya terdapat
pada awal cerita. Bagian akhir cerita, terlihat perjuangan hidup
Nisa dalam menghadapi hidup tanpa adanya seorang suami.
2.Emansipasi Perempuan Islam dalam Film Perempuan Berkalung
SorbanGerakan feminisme dalam film Perempuan Berkalung Sorban
digambarkan lebih eksplisit dibandingkan dalam novel. Inti
persoalan munculnya gerakan feminis dalam film sebenarnya sama
dengan dalam novel, yaitu keinginan Nisa untuk hidup lebih mandiri
dan sejajar dengan laki-laki.Pemberontakan Nisa pertama kali
terjadi saat ia mencoba berlatih kuda. Ibunya melarang Nisa untuk
bermain kuda karena ia seorang perempuan. Nisa memberontak dan
ingin berlatih kuda.
Gambar 1. Kedatangan Ibu Nisa saat Nisa berlatih naik kuda di
pinggir pantaibersama kedua kakak laki-lakinya.
Rangkaian gambar di atas menunjukkan adanya pemberontakan Nisa
pada Ibunya. Nisa tidak mau diajak pulang dengan alasan ingin
berlatih naik kuda, seperti yang dilakukan kedua kakak
laki-lakinya.Pemberontakan Nisa untuk mencapai keinginannya bermain
kuda, terlihat saat Nisa dan keluarganya makan malam. Nisa bertanya
kepada ayahnya kenapa ia tidak boleh berlatih kuda.
Gambar 2. Suasana makan malam saat Nisa meminta kepada
ayahnyaUntuk berlatih naik kuda
Ayah Nisa melarangnya untuk bermain kuda karena Nisa adalah
seorang perempuan. Kedua kakaknya juga melarang Nisa untuk bermain
kuda. Hingga akhirnya ayahnya marah karena Nisa selalu menentang
aturan dan keputusan ayahnya.Pemberontakan Nisa juga muncul ketika
ia tidak menjadi ketua kelas. Dalam pemilihan ketua kelas itu, Nisa
berhasil mengalahkan teman laki-lakinya dalam perolehan suara.
Tetapi Pak Guru yang mengajar di kelas memilih teman laki-laki Nisa
sebagai ketua kelas. Pak Guru menganggap bahwa yang berhak menjadi
pemimpin adalah laki-laki. Nisa keluar dari kelas tanpa
permisi.
Gambar 3. Situasi saat Nisa menjalani pemilihan ketua kelasdan
Nisa memberontak karena Pak Guru dinilai tidak adil
Ayah Nisa marah karena Nisa keluar kelas tidak permisi. Nisa
memberontak dan mengatakan bahwa Pak Guru tidak adil karena telah
memilih teman laki-lakinya sebagai ketua kelas. Padahal Nisa yang
memenangkan pemilihan ketua kelas itu. Pandangan Islam tentang
derajat perempuan dengan laki-laki juga dijelaskan oleh Kiai Ali.
Ia menganggap perempuan dilarang untuk meminta cerai kepada
suaminya, karena hal itu dilarang oleh agama dan yang berhak
meminta cerai adalah laki-laki. Keinginan Nisa untuk mendapatkan
pendidikan yang lebih tinggi akhirnya terkabul saat ia diterima
melalui jalur tanpa tes di sebuah perguruan tinggi swasta di
Yogyakarta. Ia meminta pada kedua orang tuanya untuk mengizinkannya
kuliah di Yogyakarta.
Gambar 4. Situasi saat Nisa meminta Ayahnya untuk
mengizinkannyaKuliah di Yogyakarta
Nisa mencoba menjelaskan bahwa Yogyakarta tidak jauh dari
pesantren. Namun, ayah Nisa tetap tidak mengizinkannya untuk pergi
dari pesantren. Ayahnya beralasan bukan karena uang ia melarang
anaknya keluar dari pesantren, tetapi ia tidak mau melepaskan
anaknya tanpa seorang muhrim.Akhirnya Nisa mengalah untuk
dikawinkan dengan Samsudin, karena Nisa pikir itu adalah jalan
satu-satunya untuk dapat kuliah di Yogyakarta. Namun semua itu
hanya impiannya saja. Ia harus melayani Samsudin dan dilarang untuk
berkuliah. Keinginan untuk kuliah dalam diri Nisa begitu besar,
hingga akhirnya ia mencoba memberontak. Nisa mengetahui bahwa
Samsudin telah menghamili Kalsum yang datang ke rumah mereka dalam
keadaan hamil. Nisa mulai bersabar untuk menerima Kalsum menjadi
istri Samsudin.Keinginan Nisa untuk lepas dari jeratan laki-laki
menjadi besar. Nisa mengatakan pada Kalsum bahwa perempuan tidak
boleh lebih lemah dari laki-laki dan tidak boleh tergantung pada
laki-laki.Hal serupa juga diungkapkan oleh Khudhori. Ia mengatakan
bahwa perempuan dan laki-laki tidak ada bedanya. Laki-laki dan
perempuan sama-sama mempunyai hak untuk mendapatkan kehidupan yang
lebih layak.
3.Perbandingan Kehidupan Pesantren antara Novel dan Film
Perempuan Berkalung SorbanPenggambaran kehidupan pesantren dalam
novel dan film sangat terlihat jelas. Dalam novel, kekolotan dalam
kehidupan pesantren hanya terjadi pada ketidakbolehan santri untuk
membaca dan menonton film yang tidak berhubungan dengan Islam. Hal
ini terjadi ketika Nisa melakukan debat dengan Kiai Ali.Apa yang
dimaksud Pak Kiai, dengan buku-buku tak berguna dan film-film yang
dibikin oleh orang kafir?Buku-buku tak berguna adalah semua buku
yang tidak mengacu pada dalil-dalil al-quran dan hadis Nabi.
Yaseperti novel-novel itu, majalah atau komik-komik yang mengandung
nafsu. Sedangkan cerita-cerita dalam film, selalu berisi cinta
palsu dan semu, seperti yang dilihat oleh orang-orang kita yang
isinya Cuma khayalan dan kebohongan serta jauh dari kenyataan hidup
yang sebenarnya.(PBS, hlm. 83)
Pada kutipan di atas terlihat larangan dari Kiai Ali pada santri
untuk tidak membaca buku dan menonton film yang tidak sesuai dengan
dalil dan hadis. Semua buku dan film hanya dibuat untuk menonjolkan
cinta semu dan nafsu syahwat. Hal itu dapat merusak akidah dan
akhlak para santri. Kiai Ali hanya menghimbau santri agar tidak
membaca buku selain kitab pelajaran dan tidak menonton film.Berbeda
dengan novel, film Perempuan Berkalung Sorban lebih berani
menonjolkan dan memvisualisasikan kekolotan-kekolotan yang ada di
pesantren tradisional. Larang Ayah Nisa agar Nisa tidak berlatih
naik kuda merupakan salah satu kekolotan kiai pesantren. Ayah Nisa
yang notabene adalah seorang pimpinan pesantren dan seorang kiai,
melarang Nisa tanpa alasan yang jelas.Ayah Nisa mengatakan bahwa
Nisa adalah anaknya dan menjadi alasan larangan kepada Nisa. Ia
dianggap berbeda dengan anak-anak yang lain karena dia adalah anak
seorang kiai dan harus menuruti perkataan ayahnya.Kekolotan ayah
Nisa sebagai seorang kiai adalah melarang anaknya untuk menonton di
bioskop. Ketika Nisa diketahui akan menon ton di bioskop, ayahnya
sangat marah. Ia menyatakan bahwa ia takut jika hal itu diketahui
oleh orang diluar pesantren termasuk orang tua dari para
santri.
Gambar 5. Suasana ketika ayah Nisa marah setelah Nisa pergike
bioskop bersama teman santriwati
Kekolotan dalam pesantren dengan memunculkan larangan-larangan
kepada santrinya memuncak pada saat Nisa memasukan buku ke dalam
pesantren. Nisa memasukan buku-buku yang sebenarnya menjadi
larangan pesantren. Tetapi Nisa berusaha untuk mencoba memberikan
wawasan kepada para santri.Keinginan Nisa dalam memajukan santri
dengan memberikan tambahan bacaan diungkapkannya dalam pertemuan
keluarga pesantren. Ia mencoba mengusulkan untuk membuka
perpustakaan untuk menjadi wadah para santri menimba ilmu selain
ilmu agama.Keinginan Nisa itu ditolak mentah-mentah oleh kakak
Nisa. Ia tidak ingin semua santri menjadi seperti Nisa yang
dianggap pemberontak. Kakaknya mengatakan bahwa orang tua
menitipkan anaknya dipesantren untuk menjadi yang terbaik dan
mengerti ilmu agama bukan menjadi pemberontak.Kekolotan pesantren
yang tidak mau menerima buku dari luar menjadi wacana berat bagi
para pemimpin pesantren. Para santriwati yang ada di pesantren Al
Huda diketahui telah membaca buku-buku yang diberikan oleh Nisa.
Hal itu ditemukan oleh beberapa Uztad.
Gambar 5. Suasana ketika ayah Nisa marah setelah Nisa pergike
bioskop bersama teman santriwati
Pemimpin pesantren Al Huda yang merupakan kakak laki-laki Nisa
memerintahkan untuk membakar semua buku yang berikan oleh Nisa. Hal
ini membuat para santriwati kecewa dengan jalan keluar yang
dilakukan oleh pesantren tersebut.Pembakaran yang dilakukan
terhadap buku-buku Nisa mengakibatkan beberapa santriwati, yaitu
Ulfah dan kawan-kawannya, kabur dari pesantren. Mereka kabur ke
Yogyakarta untuk mengikuti workshop menulis yang diselenggarakan
oleh mahasiswa sastra UGM.
Gambar 6. Suasana ketika Ulfah dan seorang kawan santriwatikabur
dari pesantren saat malam hari
Nisa yang tidak tahu menahu mengenai kaburnya Ulfah dan
kawan-kawannya menjadi sasaran pihak pesantren. Akhirnya Nisa dan
Maryam mencari Ulfah di acara workshop yang dilakukan di UGM. Ia
menemukan Ulfah dan kawannya mengikuti acara tersebut.Kekolotan
pesantren Al Huda dengan adanya buku-buku dari luar pesantren
akhirnya hilang setelah Nisa kembali ke pesantren. Nisa
mengungkapkan bahwa seorang perempuan harus bisa menjadi yang
terbaik bagi kaum laki-laki. Atas kesabarannya akhirnya kakaknya
mengizinkan Nisa untuk membuka perpustakaan di Al Huda.
4.Ideologi Cerita dan Cara Pandang Masyarakat PenerimaAdanya
perbedaan penggarapan isu poligami dalam novel dan film sebagai
hasil resepsi sutradara tentu bukan berjalan begitu saja. Dengan
melihat perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh kedua wahana
tersebut kita bisa menangkap adanya persoalan sebagai apa karya
tersebut dalam hubungannya dengan masyarakat penerimanya dan
pengarang sebagai outhor.Persoalan feminisme dan kehidupan
pesantren tidak secara eksplisit diungkapkan dalam novel, meskipun
tidak dapat pula dikatakan kalau novel tidak mengusung persoalan
ini. Ada kesan ketaksanggupan atau ketaksampaian untuk mengungkap
persoalan feminisme dan kehidupan pesantren yang tidak mampu
diungkapkan dengan lebih gamblang dan eksplisit di dalam novel.
Kesengajaan untuk menyamarkannya tentu saja bisa terjadi. Tapi hal
yang kiranya tidak dapat dilepaskan dari persoalan ini adalah siapa
penulisnya, bagaimana latar belakang dan atributnya, siapa
penerimanya, dan siapa pembacanya. Ada kesan kehati-hatian yang
sangat dijaga dalam penggarapan masalah ini di dalam novel. Hal ini
tidak tentu tidak lepas dari atribut pengarang dan atribut
kesantriannya. Karya ini telah hadir sebagai wujud bagaimana
pengarang dipengaruhi oleh masyarakat sekelilingnya dan atribut
kesantriannya. Hal ini pula yang menyebabkan mengapa persoalan
feminisme dan kehidupan pesantren tidak dihadirkan secara lebih
eksplisit. Semua ini selaras dengan budaya santri yang halus, tidak
boleh berbicara bebas, dan yang senada dengan itu.Novel ini
menunjukkan kepada pembaca bahwa kehidupan seorang perempuan yang
dibatasi oleh peraturan-peraturan Islam akan sulit untuk digunakan
dalam kehidupan masyarakat modern. Apalagi jika tidak menunjukkan
eksistensinya pada kehidupan masyarakat umum. Belenggu yang
menggerogoti para santri di pondok pesantren merupakan salah satu
kendala untuk berkembang.Berbeda dengan novelnya, film Perempuan
Berkalung Sorban mengangkat tema yang mempertanyakan hak perempuan
dalam Islam. Para sineas lebih berani mengungkapkan pemberontakan
seorang muslimah yang hidup dalam wilayah pesantren yang notabene
mempunyai peraturan kuat. Tokoh Annisa, seorang putri Al Huda
pemilik pesantren Salafiah di kota kecil di Jawa Timur, merupakan
anak bungsu dari tiga bersaudara, dan putri satu-satunya. Annisa
dibesarkan oleh kedua orang tua yang memelihara nilai-nilai Islam
tradisional dimana posisi perempuan tidaklah istimewa. Banyak
perbedaan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan di
lingkungan Annisa. Contohnya perempuan dilarang menjadi pemimpin,
boleh mengeluarkan pendapat tapi tidak diperhatikan, dilarang
melihat dunia luar, dll.Tokoh Anisa yang diperankan oleh (Refalina
S. Themat), difigurkan sebagai sosok perempuan yang semenjak kecil
berjuang untuk menuntut persamaan hak dengan kaum lelaki. Tuntutan
untuk sebuah kehidupan yang bebas dari hegemoni norma agama dan
adat istiadat yang timpang dan sarat akan ketidakadilan. Anisa
sebagai anak Seorang Kyai dari Pondok Pesantren yang bernuansa
Salaf merupakan figur seorang perempuan kukuh pendiriannya, cantik
dan cerdas. Di Pesantren Putri Al Huda, Jawa Timur masih dikisahkan
sebagai lingkungan yang konservatif. Pelajaran yang ada masih
memposisikan perempuan sangat lemah dan tidak seimbang perannya
dengan laki-laki.Film ini berusaha mengritik hegemoni laki-laki,
yang tentu saja, bukan hanya di pesantren. Ia berusaha mengoreksi
pemahaman sempit para penafsir agama bahwa perempuan tidak berhak
menjadi subyek yang merdeka, dan harus dituntun oleh laki-laki.
Walau pun terkadang laki-laki tidak bisa menuntun, bahkan bisa
menjerumuskan. Kehidupan pesantren yang diusung dalam film ini
sangat eksplisit dan menggambarkan kehidupan pesantren yang kolot
dan tradisional. Dalam film ini menganggap bahwa kehidupan
pesantren sangat membatasi ruang gerak perempuan untuk berkembang.
Hal ini disebabkan karena adanya norma-norma agama yang harus
dipatuhi. Para kiai dan uztad memegang ajaran dan paham bahwa
perempuan berada di bawah laki-laki. Selain itu, dala film ini juga
mengangkat persoalan buku bacaan untuk para santri. Para sineas
menggarap mengenai kehidupan pesantren yang tidak mau menerima buku
apapun dari luar yang tidak berideologi Islam dan mengusung
nilai-nilai akidah dari al-Quran dan hadis. Hal ini sebenarnya
sangat bertentangan dengan kehidupan pesantren yang sebenarnya. Ada
perbedaan pola penerimaan pendidikan umum, khususnya masalah buku,
antara pesantren satu dengan yang lain.Sebagai sebuah sub-kultur,
posisi pesantren memang unik. Pesantren mempunyai sistem
kehidupannya tersendiri yang dijalankan secara ketat baik oleh para
santri maupun masyarakat sekitar. Pesantren juga mempunyai hirarki
khusus yang berbeda dan berada di luar hirarki formal kekuasaan.
Hal ini nampak dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya
meski tentu saja tidak berarti bahwa pesantren berdiri terpisah
atau lepas sama sekali dari ikatan-ikatan umum dengan masyarakat
luas. Bahkan dalam banyak hal pesantren tetap mempunyai banyak
pertautan dengan kehidupan masyarakat luas di sekitarnya itu,
hingga antara pesantren dan masyarakat sekitar mempunyai hubungan
timbal balik. Dalam perjalanannya pesantren mengalami perubahan
dari waktu ke waktu, seiring perubahan yang terjadi di luar
kehidupan tradisinya. Faktor sosial, ekonomi, politik, budaya dan
juga teknologi menjadi penentu perubahan itu. Faktor-faktor inilah
yang kemudian merubah bentuk pesantren yang tadinya tradisional
menjadi bermacam-macam. Ada yang masih tetap tradisional dengan
salaf-nya, ada yang semi modern dengan menggabungkan salaf dan
sekolah umum, dan ada juga yang modern penuh. Namun dari bentuk
yang bemacam-macam itu, kiailah yang masih tetap memegang otoritas
tertinggi. Dengan demikian kehidupan kesenian di pesantren pun,
termasuk sastra di dalamnya, sangat tergantung dari kebijakan dan
daya apresiasi sang kiai sebagai pimpinan.Di pesantren-pesantren
semi modern atau modern pendidikan sastra secara formal didapatkan
para santri dari pelajaran sekolah seperti halnya yang terjadi di
sekolah-sekolah umum. Dan sastra yang diajarkan tentu saja bagian
dari pelajaran bahasa Indonesia. Pelajaran sastra di sekolah ini
tentu saja kurang maksimal karena terbatasnya jam pelajaran dan
juga kapasitas gurunya, yang tidak semuanya punya minat yang besar
pada sastra. Kehidupan sastra di pesantren-pesantren jenis ini tak
jauh berbeda dengan kondisi di sekolah-sekolah umum.Sedang di
pesantren-pesantren tradisional jelas tak ada pelajaran sastra
seperti halnya di sekolah umum, namun atmosfir kesusastraan bisa
didapat para santri melalui proses pengajian kitab kuning yang
kebetulan banyak berisi syair-syair yang bernilai sastra tinggi.
Pada awalnya para santri hanya menyimak makna dari syair-syair
tersebut sebagai materi pengajian, namun dengan kekhusyukan mereka
pun menjadi akrab juga dengan keindahan bahasanya, dengan kemerduan
bunyinya dan sebagainya. Dengan demikian bagi para santri salaf
pelajaran sastra mereka dapatkan secara tidak langsung, yakni lewat
pengajian kitab kuning. Lewat atmosfir pengajian. Dan jika
kebetulan kiainya berjiwa seniman proses pengajaran sastra secara
tidak langsung ini bisa menjadi lebih khusyuk dan mendalam karena
tidak terlalu dibatasi waktu, bahkan bisa sampai subuh. Di masa
lalu jenis karya sastra yang banyak ditulis para santri atau kiai
ini kebanyakan berupa nadoman atau syiiran, sejenis salawat atau
puji-pujian yang merupakan penghormatan kepada Nabi Muhammad
s.a.w., yang ditulis dalam bahasa Arab atau daerah. Padoman atau
syiiran ini kadang juga berisi petuah atau nasihat. Di beberapa
pesantren ada juga yang menulis naskah drama berdasarkan sejarah
Islam atau riwayat para nabi.Sebagian masyarakat berpendapat bahwa
film Perempuan Berkalung Sorban salah, karena tidak sesuai dengan
ajaran Islam. Islam tidak mendidik perempuan untuk memberontak dan
islam memberikan kebebasan pada kaum hawa untuk bebas tetapi masih
dalam batas kewajaran. Dalam masalah kehidupan pesantren yang
kolot, hal ini berhubungan dengan cara hidup masyarakat pesantren
itu sendiri. Penerimaan atau penolakan atas informasi dan ilmu
pengetahuan dari luar merupakan hak dari masing-masing warga
pesantren.
D.Penutup Film Perempuan Berkalung Sorban merupakan adaptasi
dari novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah El Khaieqy.
Perbedaan cara pandang dalam mengupas suatu masalah yang diangakat,
merupakan cara dari masing-masing penyusun karya itu. Dalam novel,
persoalan dibangun oleh pengarang yang masih dibatasi faktor
tertentu, khususnya aspek ideologi dan atribut kesantriannya.
Sedang film ini mampu memberikan informasi secara eksplisit
mengenai persoalan yang diangkat.Kontroversi pada masing-masing
karya, baik film maupun novelm bergantung pada cara pandang
masyarakat penerimanya. Persoalan sosial masyarakat penerimanya
menjadi faktor penting dalam penyusunan baik novel maupun
adaptasinya. Film sebagai adaptasi lebih mencoba mewadahi dan
menyuguhkan fenomena sosial masyarakat yang direkamnya. Ini
sekaligus sebagai kritik sosial pada fenomena-fenomena yang sedang
terjadi, yang kemudian ditarik ke ranah sastra, dalam hal ini
film.
Daftar PustakaDamono, Sapardi Djoko. 2005. Pegangan Penelitian
Sastra Bandingan. Jakarta: Pusat Bahasa.Eneste, Pamusuk. 1991.
Novel dan Film. Jakarta: Nusa Indah.El Khalieqy, Abidah. 2009.
Perempuan Berkalung Sorban. Yogyakarta: Arti Bumi Intaran.Suseno.
Filmisasi Karya Sastra Indonesia: Kajian Ekranisasi pada Cerpen dan
Film Tentang Dia.______. Isu Poligami dalam Novel dan Film
Ayat-ayat Cinta: Kajian
Perbandingan.Website:http://www.freelists.org/post/ppi/ppiindia-Kedudukan-Wanita-Dalam-Islam
(diakses 26 April
2010)http://bahrudinonline.cilacaponline.web.id/index.php/sastro-muni/82-sastra-dan-komunitas-santri?format=pdf
(diakses 28 April
2010)http://www.shalimow.com/etcetera/perempuan-berkalung-sorban-kontraversi-film-baru.html
(diakses 24 April
2010)http://blog.nikenike.net/2005/08/15/perempuan-berkalung-sorban
(diakses 29 April
2010)http://dhieeewhe.wordpress.com/2009/01/16/perempuan-berkalung-sorban
(diakses 26 April
2010)http://go2.wordpress.com/?id=725X1342&site=ocehanpuput.wordpress.com&url=http%3A%2F%2Fen.wordpress.com%2Ftag%2Fperempuan-berkalung-sorban-sebuah-potret-penyalahartian-peran-dan-posisi-perempuan-dalam-islam-di-sebuah-ponpes%2F&sref=file%3A%2F%2Flocalhost%2FD%3A%2FNew%2520Folder%2FPerempuan%2520Berkalung%2520Sorban%2520%2520%2520Sebuah%2520Potret%2520Penyalahartian%2520Peran%2520dan%2520Posisi%2520Perempuan%2520dalam%2520Islam%2520di%2520Sebuah%2520PonPes%2520%25C2%25AB%2520Puput%25E2%2580%2599s%2520Blog.htm
(diakses 26 April 2010)