Artikel tentang Keterampilan Berpikir Menggunakan Keterampilan Berpikir untuk Meningkatkan Mutu Pembelajaran Oleh: Joko Sutrisno Pendapat umum menyatakan bahwa keterampilan berpikir yang efektif merupakan suatu karakteristik yang dianggap penting oleh sekolah pada setiap jenjangnya, meskipun keterampilan berpikir seperti ini jarang diajarkan oleh guru di kelas. Mengajarkan keterampilan berpikir secara eksplisit dan memadukannya dengan materi pembelajaran (kurikulum) dapat membantu para siswa untuk menjadi pemikir yang kritis dan kreatif secara efektif. Artikel ini mencoba menjabarkan definisi keterampilan berpikir, menjelaskan bagaimana seharusnya keterampilan berpikir tersebut diajarkan di sekolah, dan menunjukkan bagaimana keterampilan berpikir tersebut diterapkan pada pembelajaran di sekolah. Definisi Keterampilan Berpikir Keterampilan berpikir dapat didefinisikan sebagai proses kognitif yang dipecah-pecah ke dalam langkah-langkah nyata yang kemudian digunakan sebagai pedoman berpikir. Satu contoh keterampilan berpikir adalah menarik kesimpulan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Artikel tentang Keterampilan
Berpikir Menggunakan Keterampilan Berpikir untuk Meningkatkan Mutu
Pembelajaran
Oleh: Joko Sutrisno
Pendapat umum menyatakan bahwa keterampilan berpikir yang efektif
merupakan suatu karakteristik yang dianggap penting oleh sekolah pada setiap
jenjangnya, meskipun keterampilan berpikir seperti ini jarang diajarkan oleh
guru di kelas. Mengajarkan keterampilan berpikir secara eksplisit dan
memadukannya dengan materi pembelajaran (kurikulum) dapat membantu para
siswa untuk menjadi pemikir yang kritis dan kreatif secara efektif. Artikel ini
mencoba menjabarkan definisi keterampilan berpikir, menjelaskan bagaimana
seharusnya keterampilan berpikir tersebut diajarkan di sekolah, dan
menunjukkan bagaimana keterampilan berpikir tersebut diterapkan pada
pembelajaran di sekolah.
Definisi Keterampilan Berpikir
Keterampilan berpikir dapat didefinisikan sebagai proses kognitif yang dipecah-
pecah ke dalam langkah-langkah nyata yang kemudian digunakan sebagai
pedoman berpikir. Satu contoh keterampilan berpikir adalah menarik
kesimpulan (inferring), yang didefinisikan sebagai kemampuan untuk
menghubungkan berbagai petunjuk (clue) dan fakta atau informasi dengan
pengetahuan yang telah dimiliki untuk membuat suatu prediksi hasil akhir yang
terumuskan. Untuk mengajarkan keterampilan berpikir menarik kesimpulan
tersebut, pertama-tama proses kognitif inferring harus dipecah ke dalam
langkah-langkah sebagai berikut: (a) mengidentifikasi pertanyaan atau fokus
kesimpulan yang akan dibuat, (b) mengidentifikasi fakta yang diketahui, (c)
mengidentifikasi pengetahuan yang relevan yang telah diketahui sebelumnya,
dan (d) membuat perumusan prediksi hasil akhir.
Terdapat tiga istilah yang berkaitan dengan keterampilan berpikir, yang
sebenarnya cukup berbeda; yaitu berpikir tingkat tinggi (high level thinking),
berpikir kompleks (complex thinking), dan berpikir kritis (critical thinking).
Berpikir tingkat tinggi adalah operasi kognitif yang banyak dibutuhkan pada
proses-proses berpikir yang terjadi dalam short-term memory. Jika dikaitkan
dengan taksonomi Bloom, berpikir tingkat tinggi meliputi evaluasi, sintesis, dan
analisis. Berpikir kompleks adalah proses kognitif yang melibatkan banyak
tahapan atau bagian-bagian. Berpikir kritis merupakan salah satu jenis berpikir
yang konvergen, yaitu menuju ke satu titik. Lawan dari berpikir kritis adalah
berpikir kreatif, yaitu jenis berpikir divergen, yang bersifat menyebar dari suatu
titik.
Dalam makalahnya Andrew P. Jhonson (The Educational Resources
Information Center (ERIC), 2002) memberikan contoh 10 keterampilan berpikir
kritis dan 8 keterampilan berpikir kreatif beserta kerangka berpikirnya. Yang
dimaksud dengan kerangka berpikir adalah suatu representasi dari proses
kognitif tertentu yang dipecah ke dalam langkah-langkah spesifik dan digunakan
untuk mendukung proses berpikir. Kerangka berpikir tersebut digunakan
sebagai petunjuk berpikir bagi siswa ketika mereka mempelajari suatu
keterampilan berpikir. Dalam praktiknya, kerangka berpikir tersebut dapat dibuat
dalam bentuk poster yang ditempatkan di dalam ruang kelas untuk membantu
proses belajar mengajar.
Mengajarkan Keterampilan Berpikir
Jika pengajaran keterampilan berpikir kepada siswa belum sampai pada tahap
siswa dapat mengerti dan belajar menggunakannya, maka keterampilan berpikir
tidak akan banyak bermanfaat. Pembelajaran yang efektif dari suatu
keterampilan memiliki empat komponen, yaitu: identifikasi komponen-komponen
prosedural, instruksi dan pemodelan langsung, latihan terbimbing, dan latihan
bebas.
Pada dasarnya pembelajaran keterampilan berpikir dapat dengan mudah
dilakukan. Sayangnya, kondisi pembelajaran yang ada di kebanyakan sekolah
di Indonesia belum begitu mendukung untuk terlaksananya pembelajaran
ketrampilan berpikir yang efektif. Beberapa kendalanya antara lain
pembelajaran di sekolah masih terfokus pada guru, belum student centered;
dan fokus pendidikan di sekolah lebih pada yang bersifat
menghafal/pengetahuan faktual. Keterampilan berpikir sebenarnya merupakan
suatu keterampilan yang dapat dipelajari dan diajarkan, baik di sekolah maupun
melalui belajar mandiri. Yang perlu diperhatikan dalam pengajaran keterampilan
berpikir ini adalah bahwa keterampilan tersebut harus dilakukan melalui latihan
yang sesuai dengan tahap perkembangan kognitif anak. Tahapan tersebut
adalah:
1. Identifikasi komponen-komponen prosedural
Siswa diperkenalkan pada keterampilan dan langkah-langkah khusus yang
diperlukan dalam keterampilan tersebut. Ketika mengajarkan keterampilan
berpikir, siswa diperkenalkan pada kerangka berpikir yang digunakan untuk
menuntun pemikiran siswa.
2. Instruksi dan pemodelan langsung
Selanjutnya, guru memberikan instruksi dan pemodelan secara eksplisit,
misalnya tentang kapan keterampilan tersebut dapat digunakan. Instruksi dan
pemodelan ini dimaksudkan supaya siswa memiliki gambaran singkat tentang
keterampilan yang sedang dipelajari, sehingga instruksi dan pemodelan ini
harus relatif ringkas.
3. Latihan terbimbing
Latihan terbimbing seringkali dianggap sebagai instruksi bertingkat seperti
sebuah tangga. Tujuan dari latihan terbimbing adalah memberikan bantuan
kepada anak agar nantinya bisa menggunakan keterampilan tersebut secara
mandiri. Dalam tahapan ini guru memegang kendali atas kelas dan melakukan
pengulangan-pengulangan.
4. Latihan bebas
Guru mendesain aktivitas sedemikian rupa sehingga siswa dapat melatih
keterampilannya secara mandiri, misalnya berupa pekerjaan rumah. Jika ketiga
langkah pertama telah diajarkan secara efektif, maka diharapkan siswa akan
mampu menyelesaikan tugas atau aktivitas ini 95% - 100%. Latihan mandiri
tidak berarti sesuatu yang menantang, melainkan sesuatu yang dapat melatih
keterampilan yang telah diajarkan.
Bagaimana dengan Di Indonesia?
Jika kita kembalikan kepada dunia pendidikan di Indonesia, yang menjadi
masalah adalah bagaimana cara mengajarkan keterampilan berpikir tersebut di
sekolah sehingga ia bisa menjadi sesuatu yang dapat memperbaiki belajar
siswa. Ada dua cara yang bisa dilakukan untuk melakukan hal ini, yaitu
keterampilan berpikir dijadikan terpadu dengan bidang studi yang diajarkan atau
keterampilan berpikir diajarkan secara terpisah. Di beberapa wilayah di Jerman,
sekolah mengajarkan pelajaran Logika kepada para siswanya.
Di Indonesia, pengajaran keterampilan berpikir memiliki beberapa kendala.
Salah satunya adalah terlalu dominannya peran guru di sekolah sebagai
penyebar ilmu atau sumber ilmu, sehingga siswa hanya dianggap sebagai
sebuah wadah yang akan diisi dengan ilmu oleh guru. Kendala lain yang
sebenarnya sudah cukup klasik namun memang sulit dipecahkan, adalah
sistem penilaian prestasi siswa yang lebih banyak didasarkan melalui tes-tes
yang sifatnya menguji kemampuan kognitif tingkat rendah. Siswa yang dicap
sebagai siswa yang pintar atau sukses adalah siswa yang lulus ujian. Ini
merupakan masalah lama yang sampai sekarang masih merupakan polemik
yang cukup seru bagi dunia pendidikan di Indonesia. Kurikulum Berbasis
Kompetensi yang sudah mulai diterapkan di Indonesia sebenarnya cukup
kondusif bagi pengembangan pengajaran keterampilan berpikir, karena
mensyaratkan siswa sebagai pusat belajar. Namun demikian, bentuk penilaian
yang dilakukan terhadap kinerja siswa masih cenderung mengikuti pola lama,
yaitu model soal-soal pilihan ganda yang lebih banyak memerlukan kemampuan
siswa untuk menghafal.
Prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam pengajaran keterampilan berpikir
di sekolah antara lain adalah sebagai berikut:
- keterampilan berpikir tidak otomatis dimiliki siswa
- keterampilan berpikir bukan merupakan hasil langsung dari pengajaran suatu
bidang studi
- pada kenyataannya siswa jarang melakukan transfer sendiri keterampilan
berpikir ini, sehingga perlu adanya latihan terbimbing
- pengajaran keterampilan berpikir memerlukan model pembelajaran yang
berpusat kepada siswa (student-centered).
Selain beberapa prinsip di atas, satu hal yang tidak kalah pentingnya dalam
pengajaran keterampilan berpikir adalah perlunya latihan-latihan yang intensif.
Seperti halnya keterampilan yang lain, dalam keterampilan berpikir siswa perlu
mengulang untuk melatihnya walaupun sebenarnya keterampilan ini sudah
menjadi bagian dari cara berpikirnya. Latihan rutin yang dilakukan siswa akan
berdampak pada efisiensi dan otomatisasi keterampilan berpikir yang telah
dimiliki siswa. Dalam proses pembelajaran di kelas, guru harus selalu
menambahkan keterampilan berpikir yang baru dan mengaplikasikannya dalam
pelajaran lain sehingga jumlah atau macam keterampilan berpikir siswa
bertambah banyak.
Kesimpulan
Berpikir secara efektif merupakan suatu karakteristik yang bermanfaat dalam
pembelajaran di sekolah pada tiap jenjangnya; meskipun bagaimana berpikir
secara efektif ini jarang mendapatkan perhatian dari para guru. Riset
menunjukkan bahwa meskipun keterampilan dasar siswa tetap konsisten atau
sedikit mengalami kenaikan, tetapi siswa tidak memperoleh keterampilan
strategi berpikir secara efektif di sekolah. Jika siswa mempelajari cara berpikir
tingkat yang lebih tinggi dan kompleks, maka masuk akal bahwa instruksi
keterampilan berpikir tersebut dapat dipakai sebagai alat yang potensial untuk
meningkatkan pembelajaran di sekolah. Dengan kata lain, jika kita ingin siswa
menjadi pemikir yang handal, kita harus mengajarkan caranya.
Ujian Menjelang, Panik pun
Datang Apabila membayangkan kata-kata
ujian, banyak anak yang merasa
terbebani dengan hal tersebut.
Padahal ujian tersebut bertujuan
untuk dapat menguji kompetensi
siswa tersebut untuk dapat
melangkah ke jenjang yang lebih
tinggi.
Hal tersebut menyebabkan banyak
siswa yang mengalami stress dalam
menghadapi ujian dan bahkan ada
yang sampai jatuh sakit.
Kompetensi sekolah yang semakin
ketat, kurikulum dan metode belajar yang semakin meningkat sehingga
membuat anak merasa semakin tertekan.
Belum lagi standar kelulusan naik menambah beban bagi siswa. Akan tetapi hal
tersebut dapat dihindari oleh siswa dan dengan didukung oleh orangtua dan
guru membantu siswa dalam menghindari stress menjelang ujian.
Penerbit Erlangga sebagai salah satu perusahaan yang mempunyai kepedulian
yang tinggi terhadap kemajuan pendidikan mengadakan Talkshow “Ujian
Menjelang, Panik pun Datang” yang dilaksanakan pada tanggal 23 Januari
2009 di SOHO Music A/Venue, Senayan City.
Acara yang dimulai pukul 15.00 WIB dengan durasi kurang lebih 2 jam tersebut
dimoderatori oleh Arletta Danisworo ( presenter TV) dan mengundang
narasumber yang kompeten dibidangnya yaitu:
<!--[endif]-->
Tika Bisono ( Psikolog Anak)
Bambang Sutrisno, M.Pd (Pemerhati Pendidikan)
Shireen Sungkar (Artis/ Siswa yang akan menghadapi UN)
Acara tersebut dihadiri oleh undangan yaitu Orangtua murid, guru dan media
yang berjumlah sekitar 100 orang.
Menurut Bambang Sutrisno, M.Pd (pemerhati pendidikan) “Yang terbebani
dengan ujian nasional (UN) bukan hanya siswa saja tapi juga orang tua dan
guru. Tidak heran karena UN merupakan tujuan dan sasaran akhir kelulusan
siswa”.
Berdasarkan hal tersebut maka Shireen Sungkar (Artis) yang juga pada tahun
ini akan menghadapi UN merasa panik dan was-was dalam mempersiapkan diri
menghadapi UN. Apa yang dialami oleh Shireen tersebut juga dialami oleh
sebagain besar siswa-siswi yang akan menghadapi ujian.
Untuk menghindari tersebut Bambang mengatakan, melakukan persiapan sedini
mungkin dengan pendalaman materi dan latihan soal (sesuai kisi-kisi soal)
adalah cara terbaik untuk persiapan menghadapi UN.
Menurut Psikolog dari Universitas Indonesia, Tika Bisono mengatakan, orang
tidak perlu panik menghadapi ujian.”Dukungan orangtua dapat dengan
membantu anak menyelesaikan soal-soal latihan,” pesannya pada kesempatan
yang sama.
Jika orangtua tidak memberi semangat bisa mengakibatkan stres pada anak.
Apalagi terhadap diri siswa yang akan menjalani UN. Tidak jarang siswa merasa
UN sebagai ajang mempertaruhkan reputasi diri.
Bambang mengatakan, untuk mengantisipasi hal tersebut, maka peran orangtua
dan guru di sekolah sangat dibutuhkan dalam menunjang keberhasilan anak
menempuh ujian. Guru dan orang tua harus mampu memotivasi dan
meluruskan persepsi siswa tentang ujian nasional.
Tanggapan positif juga bisa membantu anak tenang menghadapi UN. Ucapan
akan sangat berpengaruh, untuk itu hindarilah ungkapan yang terkesan
menuntut dan mengkritik. ”Menjaga kesehatan dan banyak berdoa juga sesuatu
yang tidak boleh dilupakan dalam menghadapi ujian,” ujar Bambang Sutrisno.
Peran orang tua mutlak diperlukan dalam kondisi ini. Sebagai orang terdekat,
seharusnya orang tua memberikan motivasi agar anak tetap semangat
menempuh ujian. Tidak perlu mengharuskan anak mendapat nilai jauh di atas
standar.
"Cukup tuntut nilai minimum dari syarat kelulusan," kata Tika. Tuntutan yang
berlebihan justru mengakibatkan beban psikologis bagi anak. Akhirnya anak
tidak konsentrasi dalam belajar.
Di samping orang tua, sekolah, menurut Tika, tidak semestinya memaksa para
murid mendapat nilai jauh di atas batas minimum, dengan alasan untuk
menaikkan mutu sekolah. "Level dari stres anak lebih rendah kalau tuntutannya
tidak terlalu tinggi," Tika menjelaskan.
Kepada pemerintah, Tika berharap agar segera melakukan sosialisasi kenaikan
standar kelulusan ini. Idealnya persiapan dilakukan satu tahun sebelumnya,
bukan tiga bulan sebelumnya.
Pengamat pendidikan, Bambang Sutrisno, mengatakan kepanikan wajar terjadi.
Tapi dia menyarankan agar tidak keterusan. "Kalau paniknya keterusan, kapan
belajarnya?"
Menurut Bambang, soal ujian tahun ini jauh berbeda dengan tahun sebelumnya.
"(Materi soal) jauh lebih mudah," katanya. Saat ini, Bambang menambahkan,
kisi-kisi soal yang akan muncul sudah keluar. Masyarakat bisa mengunduh di
situs resmi Departemen Pendidikan Nasional atau penerbit Erlangga.
Berdasarkan hal tersebut maka Penerbit Erlangga mengkampanyekan “Bisa
Karena Biasa”. Selama ini persiapan yang dilakukan hanya pada saat
menjelang ujian. Akan tetapi hal tersebut harus diubah. Persiapan menghadapi
ujian harus dilakukan jauh hari sebelumnya. Dan salah satu cara yang sangat
efektif dalam menghadapi ujian adalah dengan melakukan latihan secara terus
menerus. Dengan melakukan latihan secara terus menerus maka hal yang
awalnya dianggap sulit dapat diatasi.
Dengan sering melakukan latihan maka dapat semakin meningkatkan
kemampuan siswa dalam menjawab soal-soal ujian. Media yang paling tepat
adalah dengan latihan menggunakan buku soal. Jadi soal yang sulit BISA
diatasi KARENA BIASA berlatih dengan buku-buku soal.
IPA dan IPS
Terpadu Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju Adopsi Inovasi Pembelajaran IPA
Terpadu untuk SMP Di Kalangan Guru
Oleh: Joko Sutrisno, S.Si., M.Pd.
I. PENDAHULUAN
Sejak Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) diperkenalkan oleh Pusat
Kurikulum kepada sekolah pada sekitar tahun 2004, salah satu inovasi yang
disertakan di dalam KBK tersebut adalah model pembelajaran IPA Terpadu dan
IPS Terpadu untuk jenjang SMP. Model pembelajaran terpadu ini antara lain
mensyaratkan bahwa pelajaran IPA yang terdiri dari bidang fisika, biologi, dan
kimia diajarkan oleh 1 orang guru, demikian juga dengan pelajaran IPS yang
terdiri dari bidang ekonomi, sejarah, dan geografi, juga diajarkan oleh 1 orang
guru saja.
Dalam perkembangannya, model pembelajaran terpadu tersebut menimbulkan
pro-kontra di berbagai kalangan, terutama di kalangan para guru yang selama
ini terbiasa mengajar hanya 1 bidang saja. Guru fisika misalnya, mereka
menyatakan akan menemui kesulitan untuk mengajarkan biologi; begitu juga
guru biologi, mereka menyatakan akan menemui kesulitan jika harus
mengajarkan fisika. Namun demikian, tidak sedikit juga guru fisika atau biologi
yang menganggap model pembelajaran terpadu tersebut merupakan tantangan
dan harus dijawab dengan cara meningkatkan pengetahuan para guru, baik
melalui pendidikan formal maupun melalui belajar mandiri.
Makalah ini berusaha mengkaji faktor-faktor yang mungkin berpengaruh
terhadap laju adopsi inovasi pembelajaran IPA Terpadu untuk SMP di kalangan
para guru. Selain melalui kajian pustaka, penelitian lapangan dalam skala kecil
juga akan digunakan supaya diperoleh hasil yang lebih baik.
II. PERUMUSAN MASALAH
Masalah yang akan dikaji dalam makalah ini dapat dirumuskan melalui
pertanyaan berikut ini. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi laju
adopsi inovasi model pembelajaran IPA Terpadu untuk SMP di kalangan para
guru?
III. METODOLOGI
Metode yang akan digunakan untuk menjawab masalah yang telah dirumuskan
di atas terdiri dari dua macam, yaitu studi pustaka atau studi literatur dan
melalui penelitian langsung ke lapangan. Studi pustaka dimaksudkan untuk
mengumpulkan teori dan penemuan (hasil penelitian) yang berkaitan dengan
masalah ini. Sedangkan penelitian langsung ke lapangan dalam skala kecil
dilakukan untuk mendapatkan data mengenai persepsi para guru bidang studi
IPA tentang topik masalah yang sedang dikaji. Pengambilan data dilakukan
melalui kuesioner. Dengan menggabungkan kedua sumber data ini, diharapkan
masalah yang dibahas dalam makalah ini akan terjawab.
IV. TINJAUAN TEORI DAN LITERATUR
Dalam Bagian Tinjauan Teori dan Literatur ini akan diuraikan beberapa konsep
atau teori yang akan digunakan untuk menjawab masalah di atas. Beberapa
teori atau konsep tersebut adalah sebagai berikut.
Inovasi
Inovasi didefinisikan sebagai sebuah gagasan, praktik, atau benda yang
diterima sebagai sesuatu yang baru (walaupun definisi baru ini bersifat relatif)
oleh seseorang atau sekelompok orang (Rogers,1995). Boleh jadi seseorang
telah lama mengetahui adanya gagasan, praktik, atau benda yang baru 5 tahun
yang lalu, tetapi ia tidak langsung menerima inovasi atau kebaruan tersebut 5
tahun yang lalu. Ia baru menerapkan inovasi tersebut saat ini, sehingga dalam
kasus ini sesuatu yang merupakan inovasi 5 tahun yang lalu, tetap merupakan
inovasi baginya saat ini.
Laju Adopsi
Laju adopsi (rate of adoption) didefinisikan sebagai laju relatif suatu inovasi
diserap atau diadopsi oleh anggota dari suatu kelompok sosial masyarakat.
Menurut Rogers (1995), 49% – 87% variasi dalam laju adopsi suatu inovasi
dapat dijelaskan oleh karakteristik inovasi itu sendiri, yang meliputi relative
advantage, compatibility, complexity, trialibility, dan observability. Selain karena
karakteristik dari inovasinya sendiri, laju adopsi suatu inovasi juga dipengaruhi
oleh beberapa variabel lain, yaitu jenis keputusan mengadopsi, saluran
komunikasi, karakter sistem sosial, dan seberapa besar usaha promosi yang
dilakukan oleh change agent.
Pembelajaran IPA Terpadu
Menurut Prawiradilaga (2004), pembelajaran terpadu merupakan pendekatan
dalam kegiatan pembelajaran untuk memberikan pengalaman yang bermakna
kepada anak. Pengalaman bermakna merupakan pengalaman langsung yang
menghubungkan pengalaman yang telah mereka miliki dengan pengalaman
yang akan dipelajari, dan memiliki nilai guna dalam kehidupan mereka pada
saat ini maupun mendatang.
Karakteristik pembelajaran terpadu meliputi:
1. Pembelajaran yang berawal dari adanya pusat minat (centre of interest) yang
digunakan untuk memahami gejala-gejala konsep lain, baik yang berasal dari
bidang ilmu yang sama maupun yang berbeda.
2. Mengembangkan sikap, pengetahuan, dan ketrampilan anak secara simultan
3. Menghubungkan berbagai bidang studi atau berbagai konsep dalam satu
bidang studi yang mencerminkan dunia nyata di sekeliling sesuai dengan
kebutuhan dan perkembangan anak
4. Menggabungkan sejumlah konsep kepada beberapa bidang studi yang
berbeda, dengan harapan anak dapat belajar lebih baik dan bermakna.
Uraian di atas dapat digunakan untuk mendefinisikan pembelajaran IPA
Terpadu di SMP, yaitu pembelajaran yang menghubungkan pelajaran fisika,
kimia, dan biologi, menjadi suatu bentuk pembelajaran yang tidak berdiri sendiri-
sendiri, melainkan menjadi suatu kesatuan yang diajarkan secara simultan
(karakteristik nomor 3). Kesimpulan ini sejalan dengan pernyataan yang
disampaikan oleh ketua BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan) Bambang
Suhendro dalam Harian Suara Pembaharuan, Senin 9/1/06:
“...untuk mata pelajaran IPS terpadu di tingkat SMP, seringkali kompetensi
akademik guru kurang memadai. Guru yang mempunyai latar belakang sejarah
lebih banyak mengajarkan sejarah. Padahal kompetensi IPS terpadu tidak
hanya sejarah, tetapi ada sosiologi, antropologi dan geografi. Begitu juga
dengan mata pelajaran IPA terpadu yang mencakup pelajaran fisika, kimia dan
biologi”.
Pernyataan ketua BSNP tersebut menyiratkan bahwa seorang guru mata
pelajaran IPA di SMP dituntut untuk dapat mengajarkan semua subjek dalam
pelajaran IPA, yaitu fisika, kimia, dan biologi, terlepas dari latar belakang
pendidikannya. Begitu juga untuk guru IPS, mereka diharapkan untuk dapat
mengajarkan semua subjek dalam pelajaran IPS, yaitu sejarah, geografi,
ekonomi, dan sosiologi.
Suatu pembelajaran terpadu menawarkan beberapa kelebihan (Lipson, 1993),
yaitu:
- lebih fokus pada tema, karena satu tema dibahas dari berbagai sudut pandang
- memungkinkan transfer of learning, misalnya penerapan konsep fisika dalam
biologi
- memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai hubungan antara satu
disiplin ilmu dengan lainnya
Di samping kelebihan tersebut, terdapat beberapa masalah, kendala, atau
konsekuensi dari pelaksanaan pembelajaran terpadu (Druger, 1999), yaitu :
- guru dan sekolah sudah terbiasa dengan pola lama
- hampir semua guru tidak memiliki pengalaman penelitian di luar latar belakang
pendidikannya
- guru “kehilangan” otoritas pada latar belakang bidang studinya
- memerlukan komitmen dari para guru untuk bekerja sama
- ketika menggunakan metode team teaching, muncul banyak persoalan seperti
perbedaan karakter pribagi guru, kontribusi yang tidak jelas, perbedaan gaya
mengajar, dan kesulitan mengatur jadwal
V. PEMBAHASAN
A. Diskusi Teoretis
Rogers (1995) menyebutkan 5 variabel yang mempengaruhi laju adopsi suatu
inovasi yaitu karakteristik inovasi (paling berpengaruh, 49% – 87%), jenis
keputusan mengadopsi, saluran komunikasi, karakteristik sistem sosial, dan
usaha promosi yang dilakukan oleh change agent. Kelima variabel tersebut
akan diterapkan pada laju adopsi inovasi pembelajaran IPA Terpadu di SMP.
1) Karakteristik inovasi
Dari sisi kelebihan atau manfaat (relative advantage), inovasi Pembelajaran IPA
Terpadu yang diharapkan dalam KBK, sebagaimana diuraikan dalam tinjauan
teori, seharusnya menawarkan beberapa kelebihan dibandingkan dengan model
pembelajaran yang terpisah-pisah. Dengan demikian, diharapkan bahwa laju
adopsi inovasi pembelajaran IPA Terpadu ini akan tinggi.
Jika ditinjau dari compatibility-nya, kesiapan dan kompetensi guru IPA
tampaknya akan menjadi faktor yang menghambat laju adopsi inovasi ini.
Artinya, inovasi yang ditawarkan tidak compatible dengan kondisi guru IPA yang
ada, yang saat ini terkelompokkan sebagai guru Fisika dan guru Biologi. Uus
Toharudin (2005) menyatakan sedikitnya 50% guru di Indonesia tidak memiliki
kualitas sesuai standardisasi pendidikan nasional. Pengajaran tematik (kata lain
dari terpadu) bahkan masih asing terdengar oleh para guru. Selain itu, guru
belum memahami konstelasi bidang studi yang diajarkannya dalam kaitan dan
hubungannya dengan bidang studi lain. Dengan demikian, inovasi pembelajaran
IPA Terpadu yang kurang compatible dengan kondisi guru IPA yang ada akan
mengurangi laju adopsi inovasinya.
Dikaitkan dengan kompleksitasnya (complexity), inovasi pembelajaran IPA
Terpadu secara teori semestinya sederhana, yaitu pembelajaran fisika, biologi,
dan kimia yang dilaksanakan secara tematis seperti yang dilakukan di TK dan
SD. Jika sebelumnya pelajaran IPA diajarkan oleh 2 orang guru (guru fisika dan
biologi, sedangkan materi pelajaran kimia sebagian diajarkan oleh guru fisika
dan sebagian lagi oleh guru biologi), dalam pembelajaran terpadu mata
pelajaran IPA hanya diajarkan oleh satu orang guru, atau juga bisa melalui team
teaching (dua orang atau lebih guru mengajar secara serentak di kelas).
Namun demikian, jika dilihat lebih dalam lagi, susunan materi dalam kurikulum
IPA yang ada dalam KBK sendiri tidak terpadu sebagaimana model
pembelajaran yang diinginkan. Artinya, materi fisika, biologi, dan kimia masih
disusun secara terpisah. Di kelas VII misalnya, semester pertama hanya
memuat materi fisika dan kimia, sedangkan semester kedua hanya memuat
materi biologi. Di kelas VIII, semester pertama memuat hanya materi biologi dan
kimia, sedangkan semester kedua memuat hanya fisika. Di kelas IX, semester
pertama memuat biologi dan fisika, sedangkan semester kedua hanya memuat
fisika. Inilah yang akhirnya membuat inovasi pembelajaran IPA Terpadu tidak
sederhana, karena kurikulumnya sendiri tidak mendukung, sehingga guru harus
menyusun ulang materi-materi dalam kurikulum sehingga terpadu. Penyusunan
ulang ini tentu bukan hal yang mudah bagi guru, apalagi jika ternyata
penyusunan ini mengharuskan materi yang mestinya diajarkan di semester 1
harus pindah ke semester 2 karena akan berdampak buruk ketika sekolah harus
mengikuti ulangan umum bersama.
Dengan demikian, dilihat dari kompleksitasnya inovasi pembelajaran IPA
Terpadu ini cukup kompleks, walaupun jika dilihat secara sekilas tampak
sederhana. Akibatnya bisa diperkirakan bahwa akan banyak guru yang merasa
kesulitan melaksanakan pembelajaran IPA Terpadu ini, terlebih lagi ternyata
tidak terdapat banyak petunjuk pelaksanaannya. Dikaitkan dengan laju
adopsinya, maka kemungkinan besar inovasi ini akan sulit untuk diadopsi
dengan cepat. Adopsi akan cepat terjadi jika pemahaman guru sudah cukup
lengkap terhadap inovasi ini.
Ditinjau dari sisi trialibility-nya, yaitu kemudahannya untuk dicoba, sebenarnya
pembelajaran IPA Terpadu dapat dicoba kapan saja dan di mana saja, karena
inovasi ini merupakan suatu model pembelajaran, yang dapat langsung dicoba
oleh para guru tanpa harus memikirkan biaya yang harus dikeluarkan untuk
mencobanya. Artinya, para guru akan dengan cepat “menerima sementara” ide
inovasi ini untuk dicoba, walaupun belum tentu akan “menerima” seterusnya.
Dari sisi observability, yaitu kemudahan guru untuk melihat hasil atau manfaat
dari pembelajaran IPA Terpadu ini, inovasi ini akan mengalami kesulitan dalam
adopsinya, karena hasil dari pembelajaran IPA Terpadu tidak dapat langsung
terlihat. Paling tidak, diperlukan waktu 1 tahun untuk melihat hasil dari
pembelajaran model ini, yaitu ketika siswa menuntaskan masa 1 tahun
pendidikannya.
Dari kelima elemen dalam karakteristik inovasi tersebut, elemen yang akan
mendukung (memperbesar) laju adopsi inovasi pembelajaran IPA Terpadu
adalah relative advantage dan trialibility. Sementara itu, elemen yang
kemungkinan akan menghambat laju adopsinya adalah compatibility,
complexity, dan observability.
2) Jenis keputusan yang diambil
Dalam inovasi pembelajaran IPA Terpadu ini, jenis keputusan yang diambil
sangat tergantung kepada guru, kepala sekolah, dan pejabat pendidikan di
wilayah setempat. Menurut Rogers (1995), semakin banyak orang yang terlibat
dalam pengambilan keputusan suatu inovasi, maka laju adopsinya semakin
rendah. Dalam kasus ini, otoritas pendidikan nasional tidak secara tegas
mengharuskan sekolah melaksanakan pembelajaran IPA secara terpadu,
apalagi KBK memberikan kebebasan kepada guru untuk mengembangkan
sendiri model pembelajarannya. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa laju
adopsi model pembelajaran IPA Terpadu ini akan rendah.
3) Saluran komunikasi
Saluran komunikasi yang digunakan dalam difusi inovasi pembelajaran IPA
Terpadu juga berpengaruh terhadap laju adopsi inovasi ini. Beberapa saluran
komunikasi yang digunakan dalam difusi inovasi pembelajaran IPA Terpadu
adalah melalui dokumen kurikulum, mass media, interpersonal. Dua saluran
komunikasi pertama tampaknya tidak berperan banyak, karena biasanya hanya
berupa informai global atau secara umum saja. Jadi, saluran komunikasi yang
berperan cukup besar adalah komunikasi interpersonal, misalnya antara guru
dengan pejabat atau seseorang dari Pusat Kurikulum, penatar dari Depdiknas,
dan para guru inti. Akan tetapi, jumlah guru di Indonesia yang sedemikian
banyaknya dan wilayah Indonesia yang sedemikian luasnya, tidak bisa secara
efektif dijangkau melalui komunikasi interpersonal ini. Ditambah lagi, sebagai
akibat dari otonomi daerah, wewenang bidang pendidikan saat ini berada di
tingkat kabupaten dan kota, bukan lagi wewenang pemerintah pusat, sehingga
semakin sulit bagi Depdiknas dan Pusat Kurikulum untuk secara efektif
menyampaikan inovasi Pembelajaran IPA terpadu ini. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa kontribusi saluran komunikasi terhadap laju adopsi inovasi ini
sangat kecil.
4) Karakter sistem sosial
Menurut Roger (1995), karakter sistem sosial seperti norma dan struktur dalam
masyarakat, juga mempengaruhi laju adopsi suatu inovasi. Dalam kasus inovasi
pembelajaran IPA Terpadu, norma-norma dan struktur dalam dunia pendidikan
di Indonesia juga mempengaruhi laju adopsi inovasi ini. Namun demikian, yang
mungkin berpengaruh lebih besar adalah struktur dalam dunia pendidikan di
Indonesia, terutama sebagai dampak pelaksanaan otonomi daerah. Jika
sebelumnya para guru merupakan pegawai depdiknas (pegawai nasional),
maka setelah otonomi daerah diberlakukan, guru menjadi pegawai daerah.
Padahal, kurikulum dikembangkan oleh lembaga nasional dan diberlakukan
secara nasional pula. Jadi, pada ada lintasan yang “putus” dalam jalur
komunikasi dari Depdiknas kepada para guru di daerah. Sebagai akibatnya, laju
adopsi oleh para guru terhadap inovasi yang dihasilkan di pusat akan terhambat
(kecil). Dan ini sbenarnya tidak hanya terjadi pada kasus pembelajaran IPA
Terpadu, tetapi juga pada kasus-kasus lain, termasuk KBK sendiri, yang
sosialisasinya berjalan sangat lambat.
“Pemerintah harus memperhatikan media pembelajaran di daerah-daerah
pelososk untuk menjamin terjadinya perubahan-perubahan mendasar dengan
perubahan kurikulum. Juga sosialisasi yang harus dilakukan lebih baik. Saat ini
KBK tidak berjalan baik, karena pemahaman guru sendiri masih rendah” (Suara
Pembaruan, 14/2/2006).
5) Usaha promosi yang dilakukan oleh change agent
Siapakah sebenarnya change agent dalam difusi inovasi pembelajaran IPA
Terpadu ini? Pemerintah, dalam hal ini Depdiknas dan Pusat Kurikulum adalah
pihak yang mengeluarkan inovasi, sedangkan para guru secara umum adalah
anggota kelompok masyarakat yang akan menerima atau menolak inovasi ini.
Yang bertindak sebagai change agent dalam difusi ini tentu saja adalah para
pegawai yang ada di Pusat Kurikulum dan Depdiknas. Sayangnya, ruang gerak
mereka untuk melakukan sosialisai (promosi) inovasi ini terbatas karena para
guru secara struktur tidak lagi berada di bawah Depdiknas, melainkan di bawah
Pemda. Akibatnya, kegiatan promosi inovasi dari para change agent kepada
para guru menjadi terhambat, sehingga laju adopsi yang terjadi pun juga
terhambat.
Dari analisis teori di atas dapat disimpulkan faktor pendukung dan penghambat
laju adopsi inovasi pembelajaran IPA Terpadu di SMP di kalangan para guru
sebagai berikut.
Faktor Pendorong:
1. Relative advantage inovasi (kelebihan atau manfaat inovasi) yang tinggi
2. Triability inovasi yang tinggi
Faktor Penghambat:
1. Compatibility inovasi yang rendah
2. Kompleksitas inovasi yang tinggi
3. Observability yang rendah
4. Banyaknya pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan untuk
mengadopsi atau tidak mengadopsi
5. Saluran komunikasi dari pusat ke daerah yang tidak efektif
6. Struktur lapisan masyarakat pendidikan (guru) di Indonesia yang “terputus”
karena guru bukan lagi pegawai pusat, melainkan pegawai daerah.
7. Kegiatan promosi yang kurang dari para change agent (staff Pusat Kurikulum
dan Depdiknas) karena sempitnya ruang gerak mereka sebagai dampak
otonomi daerah
B. Diskusi Hasil Kuesioner
Selain melakukan analisi teori, kami juga melakukan suatu kuesioner sederhana
untuk menguji kesimpulan teoretis yang telah dihasilkan tersebut. Kuesioner
dilakukan terhadap beberapa guru (sekitar 30 orang guru IPA) di Jakarta Timur.
Analisis teori menyatakan bahwa laju adopsi model pembelajaran IPA Terpadu
akan tinggi karena keuntungan dan manfaat yang melekat pada inovasinya itu
sendiri. Hasil kuesioner menyatakan bahwa dari guru atau sekolah yang
melaksanakan model pembelajaran ini, hanya 11% yang menganggap model
pembelajaran IPA Terpadu ini sebagai inovasi. Sebanyak 44% melaksanakan
model ini karena merupakan keputusan sekolah dan 45% karena diwajibkan
oleh pemerintah. Artinya, bagi para guru, model pembelajaran IPA Terpadu
tidak dianggap sebagai sesuatu yang menguntungkan atau memiliki nilai
tambah. Jika mereka melaksanakannya, hal itu lebih dikarenakan sebagai
bentuk melaksanakan kewajiban. Keputusan sekolah untuk melaksanakan
model ini juga tentu saja didorong oleh adanya kewajiban bagi sekolah untuk
melaksanakannya. Dengan demikian, relative advantage dipastikan bukan
faktor yang mendorong laju adopsi inovasi model ini, tetapi juga belum tentu
faktor penghambat.
Berdasarkan teori, faktor kemudahan untuk dicoba (trialibility) mendukung
tingginya laju adopsi inovasi. Hasil kuesioner menunjukkan bahwa terdapat 60%
sekolah yang menerapkan model pembelajaran IPA Terpadu ini, sedang
sisanya 40% belum atau tidak melaksanakannya, walaupun ketika ditanyakan
pendapat para guru tentang penerapan model pembelajaran ini, lebih banyak
guru yang menyatakan tidak setuju (57%) dibandingkan yang menyatakan
setuju (43%). Dimungkinkan faktor kemudahan untuk dicoba inilah yang
membuat banyak sekolah telah melaksanakan model pembelajaran ini.
Dari sisi compatibility-nya, hasil kuesioner menunjukkan bahwa dari guru-guru
yang menyatakan tidak setuju dengan pemberlakuan model ini, 83% beralasan
guru IPA yang ada di sekolah (terpisah menjadi guru fisika, biologi, dan kimia)
tidak sesuai dengan model ini. Sementara itu, guru yang menyatakan setuju
lebih beralasan karena adanya perintah dari pemerintah.
Hasil kuesioner menunjukkan bahwa bagi para guru, inovasi model
pembelajaran IPA terpadu ini tidak memiliki kompleksitas yang tinggi, artinya
masih dianggap ide yang wajar. Hanya 17% guru yang menyatakan bahwa
model pembelajaran ini sulit dilaksanakan di sekolah. Ini sejalan dengan hasil
hanya 11% guru yang menganggap model pembelajaran ini sebagai inovasi.
Faktor observability tidak terdeteksi secara jelas dalam kuesioner ini, karena
sebagian besar guru baru mengenal model ini kurang dari 1 tahun, sehingga
masih belum bisa melihat hasil dari model pembelajaran ini. Namun kalau dilihat
dari besarnya alasan melaksanakan model ini karena adanya keharusan yang
ditetapkan pemerintah, maka tampaknya faktor observability bukan sebagai
faktor yang menentukan laju adopsi inovasi, paling tidak untuk saat-saat ini.
Jika dikaji dari jenis pengambilan keputusan, berdasarkan hasil kuesioner
tersirat bahwa bukan guru yang memutuskan apakah akan menerapkan model
pembelajaran terpadu atau tidak, melainkan sekolah atau kepala sekolah. Dari
jawaban atas pertanyaan alasan penerapan model ini, 44% adalah keputusan
sekolah dan 34% karena dianjurkan pemerintah (sama artinya dengan sekolah
yang memutuskan). Dengan demikian, sebenarnya laju adopsi inovasi ini akan
mudah, karena tidak terlalu banyak yang memutuskan adopsinya, yaitu hanya
sekolah atau kepala sekolah. Guru hanya sekedar sebagai pelaksana.
Jika hasil analisis teori terhadap saluran komunikasi menghasilkan saluran
komunikasi dari daerah ke pusat yang tidak efektif, ternyata hasil kuesioner
menunjukkan lain. Sebanyak 86% guru mengaku sudah mengenal model
pembelajaran IPA Terpadu ini, dan terbanyak mengenal melalui Kepala Sekolah
(50%) dan melalui personel dari Pusat Kurikulum (33%). Artinya, tidak ada
masalah dengan saluran komunikasi untuk adopsi inovasi ini.
Erat kaitannya dengan saluran komunikasi, struktur lapisan masyarakat
pendidikan (guru) di Indonesia yang dalam analisis teori diduga “terputus”
ternyata bukan merupakan hambatan bagi laju adopsi inovasi ini, karena seperti
telah disebutkan sebelumnya, sebanyak 50% guru mengenal model
pembelajaran IPA Terpadu melalui Kepala Sekolah dan 33% melalui Pusat
Kurikulum.
Kalau benar Pusat Kurikulum dan para staffnya merupakan change agent untuk
inovasi model pembelajaran IPA Terpadu ini, maka sebenarnya kegiatan
promosi yang telah mereka lakukan cukup berhasil, yaitu 33% guru mengenal
model ini melalui mereka, sedangkan sebagian besar yang lain melalui kepala
sekolah (50%). Tetapi, bukankah kepala sekolah juga mengenalnya dari Pusat
Kurikulum?
Khusus untuk faktor saluran komunikasi, struktur masyarakat pendidikan (guru),
dan kegiatan promosi yang dilakukan change agent, pemilihan daerah
dilakukannya kuesioner mungkin saja berpengaruh. Kuesioner dilakukan di
Jakarta Timur, yang masih merupakan bagian dari Ibukota negara, sehingga
cukup dekat dengan sumber inovasinya. Hasil berbeda mungkin saja akan
didapatkan jika kuesioner juga dilakukan di daerah-daerah lain yang jauh dari
Jakarta.
C. Penggabungan Hasil Analisis Teori dengan Hasil Kuesioner
Dari kedua analisis tersebut, yaitu analisis teori dan analisis kuesioner, hasil
yang diperoleh dapat digabungkan dengan melihat posisi faktor-faktor yang
dianalisis, apakah sebagai pendorong, penghambat, atau netral.
Tabel: Penggabungan Hasil Analisis Teori dan Kuesioner
FaktorPendorong Penghambat Kecenderungan
sebagaiTeori Kuesioner Teori Kuesioner
Relative advantage Ya Tidak Tidak Ya/Tidak Pendorong
Compatibility Tidak Tidak Ya Ya/Tidak Penghambat
Kompleksitas Tidak Ya/Tidak Ya Tidak Penghambat
Trialibility Ya Ya Tidak Tidak Pendorong
Observability Tidak Ya/Tidak Ya Ya/Tidak Netral
Jenis keputusan Tidak Ya Ya Tidak Netral
Saluran komunikasi Tidak Ya Ya Tidak Netral
Struktur sistem
sosial
Tidak Ya Ya Tidak Netral
Promosi change
agent
Tidak Ya Ya Tidak Netral
Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang memiliki
kecenderungan cukup kuat berperan sebagai pendorong atau penghambat