ARSITEKTUR VILLA YULIANA DI WATANSOPPENG KABUPATEN SOPPENG SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat ujian guna memperoleh gelar Sarjana Sastra pada Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin Oleh: HASRIANTI Nomor pokok : F 611 07 010 MAKASSAR 2013
161
Embed
ARSITEKTUR VILLA YULIANA DI WATANSOPPENG ...digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital...tiang kayu terhadap resapan air dari lantai ke atas. sendi-sendi yang biasanya terbuat
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
ARSITEKTUR VILLA YULIANA
DI WATANSOPPENG KABUPATEN SOPPENG
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat ujian
guna memperoleh gelar Sarjana Sastra
pada Fakultas Sastra
Universitas Hasanuddin
Oleh:
HASRIANTI
Nomor pokok : F 611 07 010
MAKASSAR
2013
vii
viii
Penulis juga mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada Kanda
Supriadi S.S.,M.A selaku Ketua Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas
Hasanuddin, yang selalu menghibur penulis dengan canda guraunya. Kanda Yadi
Mulyadi S.S., M.A selaku sekertaris jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas
Hasanuddin sekaligus penguji II penulis, terimakasih atas segala bantuan, diskusi,
kritikan, arahan, nasehat-nasehat serta peminjaman buku dalam proses pembuatan
skripsi ini. Penulis akan selalu belajar untuk siap menghadapi segala macam situasi,
baik maupun buruk.
Bapak Dr. Akin Duli, M.A selaku pembimbing I yang juga pernah menjadi
Penasehat Akademik penulis, terima kasih atas kesabaran dan kesediaan meluangkan
waktu membimbing penulis. Bapak Drs. Budianto Hakim selaku pembimbing II
penulis, terimakasih atas kesabaran dan kesediaan meluangkan waktu membimbing
penulis, beribu terimakasih atas diskusi, kritikan, arahan, nasehat-nasehat, serta
bantuan materi kepada penulis. Insya Allah selama pintu Tuhan masih diketuk, Dia
akan membukakannya
Bapak Dr. Anwar Thosibo, M.Hum selaku Penasehat Akademik dan
penguji I penulis, terimakasih atas ilmu yang diberikan kepada penulis. Bapak Drs.
Hasanuddin, M.A, terimakasih atas buku yang dipinjamkan, ilmu, diskusi-diskusi,
nasehat, dan bantuan materi yang diberikan. Tidak akan ada lagi kata “hanya Tuhan
dan saya yang tahu”. Bapak Drs. Muhammad Said.,M.A, terimakasih atas semua
ilmu, diskusi, jitakan-jitakan kecil di kepala penulis, kritikan, arahan, nasehat,
ix
pinjaman buku-buku, dan traktiran-traktirannya. Penulis benar-benar telah belajar,
bahwa setiap masalah harus dipahami dengan baik sebelum bereaksi. Bapak Drs.
Iwan Sumantri, M.A, terimakasih atas semua ilmu dan nasehat yang diberikan.
Hidup memang layak dinikmati, karena kita tak pernah tahu apakah besok masih ada
kehidupan atau tidak. Kanda Muhammad Nur, S.S, M.A, terimakasih atas semua
ilmu yang telah diberikan kepada penulis. Kanda Asmunandar, S.S, M.A,
terimakasih atas semua ilmu, diskusi, kritikan, dan bantuan-bantuan yang diberikan
kepada penulis.
Terimakasih yang begitu besar penulis haturkan kepada Ibu Dra. Khadijah
Thahir Muda, M.Si, atas ilmu, motivasi, dan nasehat yang diberikan. Hidup adalah
sebuah proses, kuncinya adalah keikhlasan. Ibu Dra. Erni Erawati Lewa, M.Si, atas
semua ilmu dan nasehat yang diberikan, bahwa setiap kata yang akan diucap
hendaknya dipikirkan lebih dahulu, sebab kata tak pernah dapat ditarik kembali. Ibu
Rosmawati, S.S.,M.Si, yang pernah pula menjadi Penasehat Akademik penulis,
terimakasih atas semua ilmu dan nasehat-nasehat yang diberikan kepada penulis.
Kanda Yusriana, S.S.,M.A, terimakasih atas ilmu, diskusi, dan nasehat-nasehat yang
diberikan, serta buku-buku yang dipinjamkan. Teruntuk Bunda Marwati, S.S yang
tak pernah lelah dan selalu sabar membantu penulis mengurus seluruh persoalan
administratif, beribu-ribu terimakasih penulis ucapkan atas segalanya. Semoga Allah
SWT memberi balasan berlipat-lipat kebaikan.
x
Tak lupa pula penulis haturkan terimakasih kepada segenap jajaran pegawai
Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Makassar atas segala bantuan yang
diberikan, baik moril maupun materil selama pelaksanaan KKN dan penelitian
penulis. Demikian halnya penulis sembahkan kepada segenap jajaran pegawai Balai
Arkeologi (Balar) Makassar, terkhusus kepada Ibu Dra. Nani Somba dan Ibu Dra.
Bernadeta Apriastuti atas nasehat-nasehat dan bantuan materi yang diberikan.
Penulis tidak mungkin dapat menyelesaikan skripsi dan kuliah tanpa bantuan ibunda
sekalian. Tentu saja, masalah akan selalu ada selama manusia masih bernafas.
Terima kasih tak terhingga penulis haturkan kepada kanda Didot
(Muhammad Ridha, S.S) atas diskusi dan segala bantuan yang diberikan selama
penulis melakukan penelitian di Villa Yuliana. Juga kepada kanda Ima (Khusnul
Khatimah, S.S) yang telah mengijinkan penulis tinggal di rumahnya dan
merepotkan kanda dengan urusan administrasi selama penelitian; kanda Subhan
(Subhan Sahabuddin, S.S); kanda Oyenk (Sudianto, S.S) atas diskusi dan
kesediaannya menemani penulis melakukan penelitian, tumpangan gratis saat pulang
ke Makassar, serta traktiran-traktirannya. Tak lupa juga kepada pegawai-pegawai di
Dinas Pariwisata Kabupaten Soppeng dan Museum Latemmala Kabupaten Soppeng
untuk Mie Tiktik dan ojek gratis selama penelitian penulis.
Ucapan yang sangat tulus penulis haturkan kepada kanda-kandaku: kak
bayu, dan semua yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terimakasih atas
semua bantuan dan motivasi yang diberikan. Ucapan yang sama penulis sampaikan
kepada teman-teman di Caritas dan UKMM. Penulis mengucapkan terimakasih yang
tak terhingga kepada sahabat-sahabatku di Solid’04, Reni Abu, kak Asia, atas
semua kegilaan, motivasi, dan segala bantuan yang diberikan kepada penulis.
Akhirnya, karya tulis ilmiahku yang sangat sederhana lagi kecil ini
kupersembahkan kepada kedua orangtuaku, Abd. Razak. S dan Kanang yang tak
henti-hentinya mendo’akan dan menyemangatiku untuk menyelesaikan kuliah. I love
you, mom, dad, mmuach.
Makassar, 13 September 2013
Hasrianti
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar Hlm. 1. Denah bangunan Villa Yuliana dan bangunan tambahannya 54 2. Denah ruangan lantai I bangunan Villa Yuliana 55 3. Denah ruangan lantai II bangunan Villa Yuliana 56 4. Sketsa tiang dengan pelengkung pada teras depan lantai I
bangunan Villa Yuliana 59 5. Sketsa atap bangunan Villa Yuliana tampak atas 81 6. Tata letak Villa Yuliana dan Istana Datu Soppeng dalam peta
topografi Watansoppeng 86 7. Tipologi denah bangunan bergaya Indische Empire 90 8. Perbandingan tipologi bargeboard pada atap rumah-rumah bergaya
Victorian style dengan bargeboard pada atap Villa Yuliana 96 9. Ragam bentuk pelengkung pada tudung dan balustrade teras depan
lantai II 99 10. Tampilan wajah depan Villa Yuliana dan Rumah Bugis 100 11. Denah yang menunjukkan keletakan pintu dan jendela pada Villa
Yuliana 110 12. Gambar detail pintu-pintu Villa Yuliana 111 13. Gambar detail tipe-tipe jendela pada Villa Yuliana 113 14. Denah Situs Villa Yuliana Lamp. 15. Potongan denah bangunan Villa Yuliana Lamp.
xviii
DAFTAR PETA
Peta 1. Peta administratif Provinsi Sulawesi Selatan Lamp. 2. Peta administrative Kabupaten Soppeng Lamp. 3. Peta situasi Situs Villa Yuliana Lamp.
lorong pejalan kaki yang berata dengan deretan di kedua sisinya biasanya berbentuk lengkung; disebut pula pelengkung disebut juga pelengkung, konstruksi kurva yang membentang di atas sebuah bukaan, biasanya terdapat balok berbentuk tirus yang disebut voussoirs seluruh elemen birai tangga, dapat juga memanjang di sepanjang balkon, termasuk di dalamnya susur birai dan baluster. papan dekorasi terletak di ujung atap pelana campuran semen, kerikil, dan pasir yang diaduk dengan air untuk tiang rumah, pilar, dinding, dsb. tempat perbenhentian pada tangga yang panjang
konsol penyangga atap tritisan bagian kusen dipasang pada tiang (style) di bagian bawah, khusus untuk kusen pintu, berfungsi untuk menahan gerakan tiang ke segala arah dan melindungi tiang kayu terhadap resapan air dari lantai ke atas. sendi-sendi yang biasanya terbuat dari besi sebagai penyambung daun pintu/jendela dengan kusennya alat pengunci dinding yang berbentuk segitiga terletak di antara ujung (atap rumah yang menonjol) teras penguasa molding; bagian dari dinding arch tempat sandaran batu voussoir. pelaminan; singgasana pengantin Bugis bagian yang lebih pada penutup atap; sayap atap tempat melekatnya engsel pada kusen kuda-kuda penopang dinding huruf kubah batu-batu penyusun arch
xxi
ABSTRACT
HASRIANTI, 2013, The Architectural Villa Juliana in Watansoppeng of Soppeng Regency, led by Dr. Akin Duli, M.A and Drs. Budianto judge.
This study aims to determine the form of architecture, acculturation of Bugis and Dutch colonial architecture, as well as the meaning behind the layout and use of the Bugis architecture of Villa Yuliana. Research methodes are qualitative-inductive by used a shape analysis, typology, and semiotics, with the data synthesis process. The results showed that the architecture of Villa Juliana is designed with a form that supports recreational building, both on the spatial, architectural elements, colors, and materials. The choice of location in addition to the consideration of view oriented to get the best natural scenery, is also a symbol of power and facilitate the control of the Dutch East Indies to Soppeng kingdom. Employing Bugis architecture is an attempt to adapt to the local climate and attempt to win the hearts of the Soppeng people.
Arsitektur kolonial Belanda adalah bagian dari sejarah Indonesia yang
panjang. Melalui arsitektur sebenarnya dapat dibaca karakter sebuah bangsa
yang tangguh dan kaya akan khasanah budaya. Budaya adalah akar eksistensi
suatu etnik di suatu wilayah yang unik dan memiliki keistimewaan sendiri
(Pratiwo, 2009: xxi).
Ketika Belanda datang ke nusantara, berlangsung sebuah proses
bertemu dan berinteraksi antara orang-orang Belanda dan masyarakat pribumi.
Pertemuan dan interaksi tersebut memungkinkan terjadinya pertukaran budaya
yang mengakibatkan terciptanya budaya cangkokan (hybrid cultures). Hal ini
sebagaimana pendapat Orser (dalam Funari,dkk, Ed, 1999: 3) seperti berikut:
The theoretical basis of this perspective is the idea that the world became a different place when colonizing Europeans began to travel across the globe, meeting and interacting with diverse peoples as they went. The hybrid cultures that were subsequently created in the Americans, Asia, Africa, the South Seas, and even in Europe are the outcomes of these dramatic cultural exchanges.
Di berbagai kota kabupaten, karesidenan dan ibukota propinsi terdapat
bermacam-macam gaya bangunan yang mewakili zamannya, salah satunya
adalah gaya Indis1 yang memiliki ciri sendiri (Soekiman, 2000: 14-15).
Parmono Atmadi menyebut bentuk bangunan rumah tempat tinggal para
pejabat pemerintah Hindia Belanda yang memiliki ciri-ciri perpaduan antara
bentuk bangunan Belanda dan rumah tradisional sebagai arsitektur Indis.
Lebih luas, monumen estetis hasil budaya binaan (cultural construct) dan
imajinasi kolektif, serta ekspresi kreatif sekelompok masyarakat di Hindia
Belanda yang menggunakan dasar budaya Belanda dan Indonesia disebut
kebudayaan Indis (Soekiman, 2000: 7, 19-20).
Kebudayaan Indis terwujud ke dalam ide, aktivitas, dan artefak sesuai
dengan tiga gejala kebudayaan yang disebutkan oleh J.J. Honingmann dalam
buku The World of Man (Koentjaraningrat, 2002: 186). Secara singkat, dapat
dikatakan bahwa bangunan peninggalan Hindia Belanda merupakan wujud
artefak (material culture) dari kebudayaan Indis. Pendapat ini sesuai dengan
pernyataan Zarankin (2005: 237) yaitu, bangunan arsitektural merupakan
sebuah produk budaya karena dirancang dan dibangun oleh manusia, sehingga
dapat dikaji secara arkeologis2.
Arkeologi sangat erat hubungannya dengan berbagai disiplin ilmu,
terutama sejarah paleoantropologi, antropologi budaya, geologi, geografi,
arsitektur, pengindraan jauh, dan dapat dimanfaatkan untuk kegiatan
pariwisata. Keterkaitan arkeologi dengan ilmu arsitektur ialah menganalisis
arsitektur bangunan kuno yang dikaitkan dengan visi budaya bangsa (Bintarto,
1995: 1-2).
Watansoppeng sebagai salah satu wilayah bekas koloni Pemerintah
Hindia Belanda, terdapat bangunan peninggalan Hindia Belanda, antara lain
Vila Yuliana, Istana Arajang Bola Ridie, Rumah Candue (dibongkar tahun
Belanda 1959), Rumah Sakit Soppeng (dibongkar tahun 1970), Rumah Batoe
bekas rumah Gezagheber Soppeng, Pasar Watansoppeng, dan Pasar
Tadjoentjoe. Bangunan-bangunan tersebut sebagian telah dirobohkan dan di
atasnya berdiri bangunan baru. Meskipun keberadaannya membangkitkan
kenangan buruk terhadap penjajahan, namun bangunan-bangunan peninggalan
Belanda memiliki nilai guna dalam membangkitkan semangat nasionalisme;
penelitian sejarah, arkeologi, dan arsitektur; dan di masa sekarang di saat
bidang pariwisata sedang berkembang di berbagai daerah, bangunan tersebut
apabila dikelola dengan baik dapat menjadi objek wisata yang menarik.
Vila Yuliana adalah salah satu bangunan peninggalan Hindia Belanda
yang masih bertahan di Kabupaten Soppeng, dan satu-satunya yang masih
mempertahankan keaslian gaya arsitektur kolonial Belanda hingga kini,
walaupun telah dipugar pada tanggal 2 Mei 2000. Fasad (tampilan depan)
bangunan menyiratkan adanya perpaduan antara bangunan kolonial Belanda
dan rumah tradisional Bugis.
Vila Yuliana memiliki nilai budaya tinggi, baik sebagai bangunan
bersejarah maupun sebagai tinggalan arkeologis periode kolonial. Sebagai
bangunan bersejarah, karena beberapa peristiwa sejarah pernah terjadi di
dalamnya dan melibatkan fungsi bangunan. Sebagai tinggalan arkeologis
periode kolonial memiliki wujud fisik yang memberi informasi tentang
budaya pada zamannya, misalnya gaya arsitektur khas kolonial dan
akulturasinya dengan lingkungan lokal (Lia Nuralia, 1999: 93-94); teknik
rancang bangun bangunan; dimensi sosial, ekonomi dan politik; dan dalam
wilayah lebih luas, hubungan antara setiap bangunan dan lingkungan di Kota
Watansoppeng bahkan Kabupaten Soppeng dapat memberi informasi tentang
struktur dan pola pemukiman pada periode kolonial.
Perpaduan arsitektur kolonial Belanda dan Bugis yang dimiliki oleh
Vila Yuliana, bagi penulis merupakan fenomena arsitektur unik yang menarik
untuk diangkat menjadi topik atau kajian penelitian skripsi.
B. Riwayat Penelitian
Bangunan-bangunan peninggalan kolonial Belanda yang tersebar di
seluruh Indonesia, termasuk di Propinsi Sulawesi Selatan, merupakan objek
yang banyak diteliti. Beberapa penelitian yang telah dilakukan, diantaranya:
Yulianto Sumalyo (1988) dalam disertasi berjudul “L’Architecture
Colonial Hollandais en Indonesie (Dans le Cas de Semarang, Magelang,
Pasuruan; Des Grands Architecs Hollands en Indonesie)”, membahas
arsitektur kolonial dalam konteks struktur, bentuk kota, dan arsitektur kolonial
Belanda pada Kota Semarang, Magelang, dan Pasuruan. Sumalyo juga
membandingkan karya-karya dan pandangan-pandangan arsitektural para
arsitek Belanda di Indonesia, antara lain Henri Maclaine Pont, Herman
Thomas Karsten, C.P. Wolf Schoemaker, W. Lemei, C. Citroen, Biro Insinyur
Arsitek ED. Cuypers dan Hulswit Batavia, serta AIA (Algemeen Ingineurs en
Architecten). Disertasi tersebut telah diterbitkan sebagai buku berjudul
Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia pada tahun 1993 oleh Gadjah Mada
University Press.
Helen Jessup (1988) dalam disertasi berjudul “Nederlands
Architecture in Indonesia 1900-1942”, membahas arsitektur Belanda di
Indonesia pada tahun 1900 hingga 1942. Jessup memberikan perhatian khusus
pada karya-karya Maclaine dan Karsten yang memadukan arsitektur Belanda
dengan arsitektur tradisional Jawa dan Sumatera. Dalam disertasinya tersebut,
Jessup meyimpulkan bahwa arsitektur Belanda di Indonesia dalam beberapa
kasus dapat memberikan informasi yang berguna untuk memahami Indonesia,
dan di sisi lain juga dapat menggambarkan keadaan sosial, ekonomi, dan
politik Belanda.
Djoko Soekiman (1996) dalam disertasinya yang telah diterbitkan
sebagai buku berjudul “Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat
Pendukungnya di Jawa (Abad XVIII sampai Medio Abad XX)”, secara rinci
menguraikan perpaduan antara budaya Barat dan unsur-unsur budaya Timur di
Jawa, yang disebut sebagai budaya Indis, antara lain gaya hidup masyarakat
Indis; lingkungan permukiman masyarakat Eropa, Indis, dan Pribumi; dan
ragam hias rumah tinggal. Soekiman melakukan kajian pada arsip dan
dokumen yang terdapat di negeri Belanda dan di Indonesia, dengan
menggunakan pendekatan Indonesia-sentrisme.
Ketiga disertasi tersebut di atas, telah memberikan pengetahuan yang
sangat berharga tentang perkembangan arsitektur Kolonial Belanda di
Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Sayangnya, tidak terdapat pembahasan
tentang arsitektur kolonial Belanda di Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi,
dan Papua. Padahal, setiap wilayah tersebut memiliki budaya sendiri, yang
tentunya akan melahirkan gaya arsitektur sendiri apabila berakulturasi dengan
arsitektur Kolonial Belanda.
Di Pulau Sulawesi, khususnya Propinsi Sulawesi Selatan, beberapa
penelitian terhadap bangunan-bangunan Kolonial Belanda telah pula
dilakukan, antara lain:
Khusnul Khatimah (2002) dalam skripsinya berjudul “Pengelolaan
Situs Vila Yuliana di Watansoppeng Kabupaten Soppeng”, membahas
mengenai penanganan yang tepat pada kondisi bangunan Vila Yuliana yang
mengalami kerusakan pada beberapa bagian fisik. Selain itu, Khatimah juga
memberi solusi akomodatif bagi konflik kepentingan pada Vila Yuliana dan
bentuk pemanfaatan situs Vila Yuliana yang berkontribusi bagi masyarakat
dan pemerintah daerah dengan berbasis pelestarian. Pada bagian deskripsi data
penelitian, diuraikan arsitektur Vila Yuliana, yang mencakup keletakan, tata
ruang, kelengkapan dan penampilan serta ragam hias pada bangunan tersebut.
Namun, uraian hanya sebatas deskripsi tanpa analisis lebih mendalam, baik
terhadap keletakan, tata ruang, dan ragam hias pada bangunan. Seperti pada
sebuah halaman, Khatimah mengatakan bahwa berdasarkan pengamatan
terhadap konstruksi dan arsitektur bangunan Vila Yuliana secara keseluruhan,
gaya bangunan Belanda lebih mendominasi dibandingkan dengan arsitektur
lokal. Pendapat tersebut tidak dilengkapi dengan analisis yang dapat
memperlihatkan adanya dominasi yang dimaksud. Hal ini dapat dipahami
mengingat bahwa Khatimah meneliti tentang pengelolaan dan bukan arsitektur
Vila Yuliana.
Buhanis Raminaa (2005) dalam skripsinya berjudul “Arsitektur
Gedung Mulo Makassar”, membahas mengenai bentuk arsitektur Gedung
Mulo di Makassar yang menunjukkan ciri sebagai bangunan sekolah dan
pengaruh lingkungan lokal pada arsitektur bangunan tersebut. Raminaa
menyimpulkan bahwa Gedung Mulo direncanakan dan dibangun hanya untuk
keperluan sekolah dengan kapasitas antara 360 hingga 432 murid, lebih dari
15 orang guru serta beberapa staf administrasi dan tata usaha. Pengaruh
budaya lingkungan lokal tidak ditemukan secara pasti pada bangunan.
Penelitian lain terkait bangunan kolonial di Sulawesi Selatan, antara
lain Rizal Randa yang menulis tentang arsitektur Gereja Protestan Indonesia
Barat Imanuel Makassar pada tahun 2002; Suhartiyah Umar menulis tentang
peninggalan bangunan-bangunan kolonial di dalam Benteng Fort Rotterdam
pada tahun 2003; Surianti menulis tentang arsitektur bangunan kolonial
Pengadilan Negeri Makassar pada tahun 2003; Sutrisno menulis tentang
peninggalan bangunan kolonial di Benteng Kabupaten Pinrang pada tahun
2003; dan, Marselyna menulis tentang bangunan-bangunan kolonial di Pare-
Pare (kajian pelestarian dan pemanfaatan sumber daya arkeologi) pada tahun
2004.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu:
(1) Kajian arsitektural pada bangunan kolonial di Sulawesi Selatan,
sejauh penelusuran pustaka yang penulis lakukan, belum
membahas persoalan akulturasi antara arsitektur Kolonial
Belanda dan arsitektur tradisional setempat.
(2) Penelitian mengenai bangunan peristirahatan di Propinsi
Sulawesi Selatan belum dilakukan.
(3) Hanya terdapat satu penelitian yang membahas bangunan
peninggalan Kolonial Belanda di Kabupaten Soppeng, Propinsi
Sulawesi Selatan.
(4) Penelitian yang pernah dilakukan di Vila Yuliana belum
mengkaji persoalan arsitektur secara khusus.
(5) Dan oleh karena itu, maka penelitian mengenai arsitektur Vila
Yuliana penting untuk dilakukan.
C. Rumusan dan Ruang Lingkup Masalah
Vila Yuliana merupakan sebuah fenomena yang unik. Fasad (tampilan
depan) bangunan tersebut menunjukkan perpaduan antara bangunan kolonial
Belanda dan rumah tradisional Bugis. Sekilas, Vila Yuliana terlihat
menyerupai bangunan gereja, sehingga tidak mengherankan apabila timbul
anggapan bahwa Vila Yuliana adalah sebuah gereja.
Vila Yuliana dibangun sekitar tahun 1906, pada masa pemerintahan
Gubernur Sulawesi C.A. Kroesen (Pananrangi Hamid, 1991: 213-237).
Informasi lain menyebutkan Vila Yuliana mulai dibangun pada tahun 1900
dan selesai pada tahun 1905, dibangun oleh seorang arsitek Belanda yang
sengaja didatangkan dari negeri Belanda, diperintahkan oleh C.A. Kroesen (A.
Wanua Tangke, 2007: 89).
Sumber lisan menyebutkan bahwa Vila Yuliana pada awalnya
dipersiapkan untuk menyambut kedatangan Ratu Yuliana ke Sulawesi
Selatan3. Namun, kondisi keamanan yang buruk mengakibatkan Ratu Yuliana
batal berkunjung. Meskipun demikian, Vila Yuliana tetap berfungsi sebagai
tempat peristirahatan pejabat pemerintah Hindia Belanda (Khusnul Khatimah,
2002: 31), juga tempat menginap dan beristirahat untuk tamu pemerintah yang
kebetulan datang ke Soppeng (A. Wanua Tangke, 2007: 90).
Menurut Gany (2003, dalam www.soppeng.org, diakses 5-12-2012),
Vila Yuliana merupakan hadiah dari Ratu Wilhelmina beberapa saat setelah
kelahiran putrinya Yuliana, sebagai simbol penyerahan kekuasaan dari
Kerajaan Soppeng kepada Pemerintah Hindia Belanda, yang juga pernah
digunakan sebagai kediaman resmi kontrolir Soppeng pada masa
pemerintahan Hindia Belanda.
Sulit memastikan fungsi Vila Yuliana berdasarkan informasi yang
tersedia, yang berbeda-beda satu dengan yang lain. Selain itu, penulis tidak
menemukan arsip yang membahas perihal tersebut. Satu hal yang pasti, kini
hubungan yang selaras antara agama Katholik dengan lingkungan (Sumalyo,
1993: 17). Maka, muncul pertanyaan, bagaimana dengan penggunaan
arsitektur setempat untuk sebuah bangunan peristirahatan? Melambangkan
apakah hal tersebut? Unsur-unsur apa saja yang melatari keletakan bangunan
Vila Yuliana berhadapan langsung dengan Istana Datu Soppeng?
Berdasarkan uraian di atas, pertanyaan yang akan dijawab dalam
penelitian ini dapat dirincikan sebagai berikut:
(1) Bagaimana bentuk arsitektur Vila Yuliana yang mencerminkan
bangunan peristirahatan?
(2) Bagaimana bentuk perpaduan antara arsitektur Kolonial Belanda dan
arsitektur tradisional Bugis pada bangunan Vila Yuliana?
(3) Apa maksud penempatan (keletakan) bangunan Vila Yuliana dan
penggunaan arsitektur tradisional Bugis pada bangunan Vila Yuliana?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian merupakan sasaran yang hendak dicapai sebelum
melakukan penelitian dan mengacu pada rumusan masalah. Sedangkan
manfaat penelitian adalah apa yang diharapkan dari hasil penelitian (Ali, dkk,
2011: 11). Berdasarkan pengertian tersebut, maka tujuan dan manfaat
penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Tujuan Penelitian
Menurut Lewis Binford terdapat tiga tujuan arkeologi yaitu,
rekonstruksi sejarah kebudayaan, rekonstruksi tingkah laku, dan
penggambaran proses budaya (Iwan Sumantri, 2001: 26). Dengan
melihat ketiga tujuan tersebut, maka secara umum tujuan penelitian
ini ialah untuk merekonstruksi sejarah kebudayaan.
Tujuan khusus penelitian ini ialah :
(1) Mengetahui bentuk arsitektur Vila Yuliana yang
mencerminkan bangunan peristirahatan. Diharapkan setelah
mengetahui hal tersebut, fungsi bangunan Vila Yuliana
menjadi lebih jelas.
(2) Mengetahui bentuk perpaduan arsitektur Kolonial Belanda
dan arsitektur tradisional Bugis pada bangunan Vila Yuliana.
(3) Mengetahui maksud penempatan (keletakan) bangunan Vila
Yuliana dan penggunaan arsitektur tradisional Bugis pada
bangunan Vila Yuliana.
2. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diperoleh dari kajian arsitektur Vila
Yuliana ialah:
a. Manfaat akademis
(1) Menambah pengetahuan tentang keberagaman
arsitektur kolonial Belanda di Indonesia, khususnya
bangunan kolonial yang berfungsi sebagai bangunan
peristirahatan di Sulawesi Selatan.
(2) Sebagai data tambahan untuk penelitian selanjutnya.
b. Manfaat praktis
Diharapkan hasil kajian arsitektur Vila Yuliana
dapat menjadi salah satu bahan acuan dalam agenda
nasional membangun karakter budaya bangsa yang kian
mengalami degradasi.
E. Landasan Teori
1. Arkeologi Sejarah
Arkeologi sejarah mengkaji tinggalan budaya dari masyarakat
yang telah mengenal tulisan dan mampu mencatat sejarah mereka
sendiri. Berbeda dengan arkeologi prasejarah yang mengkaji sejarah
budaya sebelum manusia mengenal tulisan, sebagaimana dijelaskan
oleh James Deetz (dalam Funari, 1999: 2) dalam pernyataan berikut:
Historical archaeology studies the cultural remains of literate societies that were capable of recording their own history. In this respect it contrasts directly with prehistoric archaeology, which treats all of the cultural history before the advent of writing—millions of years in duration.
Salah satu objek kajian arkeologi sejarah ialah bangunan
kolonial Belanda sebagai produk budaya materi. Lia Nuralia (2009:
94) mengartikan bangunan kolonial Belanda sebagai bangunan yang
didirikan pada masa pendudukan Hindia Belanda, baik mengandung
cerita sejarah maupun hanya sebagai tinggalan arkeologis periode
kolonial.
Dalam penerapannya, kadang terjadi tumpang tindih antara
kajian arkeologi dengan kajian sejarah (Said, 2006: 110). Arkeologi
sejarah menggabungkan penggunaan bukti fisik masa lalu (data
arkeologi) dengan data-data sejarah seperti arsip, peta kuno, lukisan
tua, foto lama, dan sejarah lisan (oral history), seperti disebutkan oleh
Anonim (2004) dalam kutipan berikut:
Historical archaeology is an international discipline concerned with studying the past using physical evidence in conjunction with other types of historical sources as documents, maps, illustrations, photographs and oral history. It focuses on the objects used by people in the past and the places where they lived and worked. It can tell us about the way things were made and used and how people lived their daily lives.
Meskipun demikian, peluang ilmu arkeologi juga semakin besar untuk
menguji kebenaran data sejarah yang sering tidak lepas dari
subjektivitas penulis (Said, 2006: 110).
2. Arsitektur
Menurut Kamus Bahasa Indonesia, arsitektur adalah seni dan
ilmu merancang serta membuat konstruksi bangunan, jembatan, dan
sebagainya; atau metode dan gaya rancangan suatu konstruksi
bangunan (Sugono, dkk, 2008: 88). Dari segi seni, arsitektur adalah
seni bangunan termasuk di dalamnya bentuk dan ragam hiasnya. Dari
segi teknik, arsitektur adalah sistem mendirikan bangunan termasuk
proses perancangan, konstruksi, struktur, dan dalam hal ini juga
menyangkut aspek dekorasi dan keindahan. Dari segi ruang, arsitektur
adalah pemenuhan kebutuhan ruang oleh manusia atau kegiatan
manusia untuk melaksanakan aktivitas tertentu. Dari segi sejarah,
kebudayaan dan geografi, arsitektur adalah ungkapan fisik dan
peninggalan budaya dari suatu masyarakat dalam batasan tempat dan
waktu tertentu (Sumalyo, 2005: 1).
Amos Rapoport (dalam Oesman, 2008: 386) memaknai
arsitektur sebagai gejala budaya dasar, yang lahir dari kebutuhan
pokok manusia dalam mencari tempat untuk bernaung. Menurut
Rapoport, arsitektur adalah hasil kebudayaan dari perilaku manusia
berhubungan dengan lingkungannya, atau adaptasi manusia terhadap
alam dan sosial budayanya. Hampir sama dengan Rapoport, Sumalyo
(2005: 2) berpendapat bahwa arsitektur adalah hasil interaksi antara
kebudayaan manusia dan alam, dalam hal ini termasuk letak, iklim,
topografi, dan faktor lingkungan lainnya.
Tujuan arsitektur lebih dari sekedar fungsi tempat bernaung
guna berlindung dari panas dan hujan. Arsitektur mengingatkan
manusia tentang suatu peristiwa; menyatakan kekuasaan, status, atau
hal-hal pribadi atau kelompok; dan mengkiaskan sistem-sistem nilai
(Snyder & Anthony, 1991: 25). Arsitektur sebagai salah satu hasil
karya budaya, dapat dijadikan petunjuk bagi perkembangan budaya
suatu bangsa (Atmadi, dkk, 1997: 23).
a. Arsitektur Kolonial Belanda
Arsitektur kolonial Belanda di Indonesia adalah
fenomena budaya yang unik, tidak terdapat di lain tempat,
juga pada negara-negara bekas koloni, karena arsitektur
kolonial Belanda di Indonesia terdapat pencampuran
budaya penjajah dengan budaya Indonesia (Sumalyo, 1993:
2).
Wujud arsitektur kolonial Belanda di Indonesia
merupakan wujud yang spesifik, sebagai hasil kompromi
arsitektur modern di Belanda kepada iklim tropis basah di
Indonesia. Terdapat pula beberapa bangunan arsitektur
kolonial Belanda yang mengambil elemen-elemen
tradisional setempat untuk diterapkan ke dalam bentuk
bangunan (Samsudi, 2000: 67 & 70).
Bangunan kolonial Belanda umumnya berdinding
tembok tebal dari bahan batu-bata yang diplaster, memiliki
pintu dan jendela berukuran lebar dan tinggi, serta tiang-
tiang pada serambi depan dan belakang bergaya neo-klasik.
Bentuk atap limasan atau pelana, dengan sudut kemiringan
sekitar 30 atau lebih. Pada atap terdapat elemen gavel
(gable), dormer, dan menara (tower), dan deltils (Ibid: 69).
Gavel adalah bagian triangular pada atap.
Penggunaan menara secara fisik menambah estetika dan
dapat digunakan untuk melihat pemandangan luar. Fungsi
menara adalah untuk mengalirkan udara panas dari
ruangan ke luar ruangan. Dormer adalah jendela tambahan
pada atap. Deltils adalah konsol penyangga atap tritisan.
(Ibid: 70).
Sejumlah ahli membagi periode perkembangan
bangunan Kolonial Belanda di Indonesia ke dalam tiga atau
empat periode, diantaranya Helen Jessup dan Josef
Prijotomo. Menurut Helen Jessup (1984, dalam Abbas,
2006: 229-230) perkembangan gaya bangunan Kolonial
Belanda terbagi atas empat periode, yaitu:
(1) Tahun 1700-an adalah periode kekuasaan VOC
(Vereenigde Oost-Indische Compagnie) di
Indonesia. Pada masa ini bangunan-bangunan
didirikan mengikuti gaya bangunan dari Negeri
Belanda tanpa mempertimbangkan kondisi iklim
dan budaya setempat.
(2) Tahun 1800-an hingga 1902, yaitu masa
peralihan dari periode kekuasaan VOC ke
periode kekuasaan Kerajaan Belanda. Pada masa
ini bangunan-bangunan berkesan megah
didirikan untuk menunjukkan kekuasaan yang
berkuasa, dan umumnya bergaya arsitektur neo-
klasik.
(3) Tahun 1902 hingga 1920-an, politik etis
diberlakukan di Indonesia, yang berdampak
pada pembangunan bangunan-bangunan modern
yang lebih berorientasi ke Belanda.
(4) Tahun 1920 hingga 1940-an. Pada masa ini,
gerakan pembaruan dalam arsitektur
bermunculan serta memunculkan gaya
campuran dan berbagai gaya arsitektur,
misalnya art deco.
Josef Prijotomo (dalam Abbas, 2006: 230) membagi
periode perkembangan gaya arsitektur bangunan Kolonial
Belanda ke dalam tiga periode, yaitu:
(1) Abad XVII hingga akhir Perang Dunnia II
berkembang gaya seni bangun neo-klasik seperti
yang terdapat di Belanda.
(2) Akhir abad XIX hingga awal abad XX,
bangunan kolonial telah dipengaruhi oleh
arsitektur tradisional Indonesia, baik dalam
penggunaan bahan maupun gaya bangunan.
(3) Tahun 1930-an, gaya bangunan telah mendapat
percampuran berbagai gaya, yang bisa dilihat
contohnya pada beberapa masjid di Medan,
Banda Aceh, dan Pulau Penyengat yang
dibangun dengan gaya Moor, hingga Istana
Sultan Bima yang dibangun pada pertengahan
tahun 1930-an.
Menurut Sumalyo (2005: 28), perkembangan gaya
arsitektur pada bangunan Kolonial Belanda di Indonesia
terbagi atas lima periode, yaitu:
(1) Abad XVIII hingga abad XIX berkembang gaya
arsitektur neo klasik.
(2) Abad XIX hingga awal abad XX berkembang
gaya eklektik.
(3) Akhir abad XIX berkembang gaya modernisme
art nouveau.
(4) Awal abad XX berkembang gaya art deco.
(5) Pertengahan abad XX gaya arsitektur
berkembang kepada arsitektur fungsionalisme
dan arsitektur pasca Perang Dunia II.
b. Arsitektur Tradisional Bugis
Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan
yang terdiri atas banyak suku bangsa dengan kebudayaan
berbeda satu sama lain. Salah satunya ialah suku bangsa
Bugis yang tersebar di beberapa kabupaten di Propinsi
Sulawesi Selatan, seperti Bulukumba, Sinjai, Bone,
Pada dasarnya arsitektur selalu ingin menyampaikan pesan, hanya karena pesan itu tidak tertulis maka pesan tadi dapat saja diartikan berbeda dari yang dimaksudkan. Selain itu pesan yang diharapkan dapat dan hampir selalu diartikan lain oleh seseorang yang mencoba membaca pesan tersebut. Apalagi bila pengamatan dilakukan dengan selisih waktu yang cukup lama.
Secara umum dapat dikatakan bahwa bangunan arsitektural memiliki
informasi pertama sebagai tempat hunian, namun bukan berarti tidak
mengandung informasi (arti) lain.
F. Metode Penelitian
1. Metode Penelitian
Penelitian merupakan usaha memahami fakta secara rasional
empiris melalui prosedur kegiatan tertentu sesuai dengan cara yang
ditentukan peneliti. Metode penelitian terbagi atas metode kualitatif
dan kuantitatif. Penelitian kualitatif bertujuan menghasilkan teori
umum berdasarkan hasil analisis data yang berupa catatan lapangan
(deskripsi), foto, arsip dan artefak. Rancangan penelitian bersifat
fleksibel dengan analisis data yang bersifat induktif. Berbeda dengan
penelitian kuantitatif yang bertujuan menguji teori berdasarkan
hipotesis dan variabel penelitian. Penelitian kuantitatif digunakan pada
penelitian eksperimental dan penelitian-penelitian yang menggunakan
data statistik. Rancangan penelitian formal dan terstruktur dengan
analisis data yang bersifat deduktif (Maryaeni, 2005: 1-5).
Memperhatikan karakteristik kedua jenis penelitian tersebut di
atas, latar belakang, rumusan masalah, dan sasaran penelitian, maka
dalam penelitian ini digunakan metode penelitian kualitatif.
2. Tahap-tahap Penelitian
Menurut James Deetz (1976: 8), seperti ilmu fisika, kimia,
biologi, dan ilmu lain, penelitian arkeologi juga mengobservasi,
mendeskripsi, dan mengeksplanasi data. Tahapan penelitian seperti
yang disebutkan James Deetz tersebut digunakan dalam penelitian ini,
hanya saja tahap observasi dan deskripsi dimasukkan ke dalam tahap
pengumpulan data, lalu berlanjut ke tahap pengolahan data, dan
berakhir dengan tahap analisis. Tahap-tahap tersebut dapat diuraikan
sebagai berikut:
a. Pengumpulan Data
1) Data Penelitian
Data dalam penelitian ini terdiri atas data
primer dan data sekunder. Data primer yang
dimaksud adalah bangunan Vila Yuliana, sedangkan
data sekunder yang dimaksud adalah literatur-
literatur, baik berasal dari arsip, buku, jurnal, dan
laporan penelitian yang digunakan untuk
membangun landasan teori dan menganalisis data
primer.
Landasan teori dalam penelitian ini tidak
digunakan untuk membuktikan hipotesis, tetapi
digunakan sebagai alat analisis. Hal ini sebagaimana
pendapat Maryaeni (2008: 32) yang mengatakan
bahwa:
Teori sebagai konsep deduktif yang digunakan dalam pengumpulan dan analisis data mesti diposisikan sebagai alat, bukan sebagai proposisi yang diuji kebenarannya. Dengan demikian, analisis data bukan untuk memperkuat teori yang ada sebelumnya melainkan untuk membuahkan teori secara substansif.
2) Strategi Pengumpulan Data
a) Data Primer
Data primer merupakan data utama
dalam penelitian ini, yaitu bangunan Vila
Yuliana. Pengumpulan data dilakukan dengan
serangkaian kegiatan perekaman data,
meliputi:
(1) Observasi situs, yaitu sesuai dengan
Kamus Bahasa Indonesia (Sugono,dkk,
2008: 1084) adalah melakukan
pengamatan secara langsung pada Vila
Yuliana.
(2) Pendeskripsian, yaitu mencatat fakta dan
gejala yang teramati pada kondisi fisik
bangunan Vila Yuliana selama
melakukan observasi, misalnya ukuran
jendela dan pintu, jumlah tiang, bentuk
atap, dan sebagainya.
(3) Pemotretan, yaitu merekam gambar dua
dimensi bangunan Vila Yuliana dengan
menggunakan kamera. Pemotretan
dilakukan pada bangunan Vila Yuliana
secara keseluruhan, baik tampak depan,
samping, maupun belakang; jendela;
pintu; tiang; ragam hias; tangga; dan atap
(bila memungkinkan).
(4) Penggambaran, yaitu menggambar
denah, peta situasi, dan sketsa bangunan
Vila Yuliana.
(5) Pengukuran, yaitu mengukur panjang,
lebar, dan tebal pintu dan jendela; tinggi
tiang; dan sebagainya.
(6) Wawancara.
b) Data Sekunder
Data sekunder dalam penelitian ini
merupakan data penunjang yang digunakan
dalam menganilisis data primer, antara lain
laporan penelitian bangunan Vila Yuliana dan
penelitian lain yang relevan, sejarah bangunan
Vila Yuliana, teori-teori arsitektur secara
umum, arsitektur kolonial Belanda, arsitektur
tradisional Bugis, dan gambaran wilayah
Soppeng. Pengumpulan data sekunder
dilakukan dengan menulusuri situs internet
dan mendatangi tempat-tempat yang dianggap
memiliki data yang dibutuhkan, antara lain:
(1) Perpustakaan Jurusan Arkeologi
Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin.
(2) Perpustakaan Fakultas Sastra Universitas
Hasanuddin.
(3) Perpustakaan Pusat Universitas
Hasanuddin.
(4) Perpustakaan Jurusan Arsitektur
Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin.
(5) Balai Kajian Sejarah dan Nilai
Tradisional Masyarakat Makassar.
(6) Balai Arkeologi (Balar) Makassar.
(7) Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB)
Makassar.
(8) Dan lain-lain.
c) Alat Penelitian
Dalam pengumpulan data digunakan
peralatan antara lain: GPS (Global Positioning
System), kompas, skala, roll meter, kamera
digital, lembar deskripsi, millimeter block, alat
tulis menulis, dan alat perekam suara.
b. Pengolahan Data
Data-data yang telah diperoleh pada tahap
selanjutnya akan diklasifikasi berdasarkan nama atribut
yang dilabelkan, jumlah, dan bentuk. Hasil klasifikasi
akan dibuatkan tabel untuk memudahkan dalam
Bab II : Profil wilayah Kabupaten Soppeng
Bab III : Deskripsi bangunan Vila Yuliana.
Bab IV : Analisis data penelitian, terdiri atas analisis dan hasil analisis.
Bab V : Penutup, berisi kesimpulan dan saran.
Terjemahan: Inilah Kitab/bagian yang menyampaikan tentang daerah Soppeng….. yang mewartakan tentang daerah Soppeng….. pada saat ditinggalkannya negeri Sewo dan Gattareng, maka turunlah orang-orang (penduduk negeri tersebut) untuk bermukim di suatu tempat, yaitu negeri Soppeng. Adapun orang-orang yang berasal dari Sewo disebut orang Soppeng Riaja, sedangkan mereka yang berasal dari Gattarang disebut kemudian sebagai orang Soppeng Rilau…
Muh. Hidayat (1995: 16) menambahkan bahwa kelompok etnis tersebut
berjumlah 60 kelompok yang masing-masing diketuai oleh seorang bergelar
Matowa. Setelah Soppeng terbentuk menjadi sebuah kerajaan, berlangsung
perpindahan penduduk ke pusat-pusat distribusi, yang kemudian menurunkan
generasi etnis Bugis Soppeng kini.
Dalam perkembangan terakhir, beberapa penduduk dari luar daerah,
termasuk orang-orang dari etnis Tionghoa telah bermigrasi ke Kabupaten
Soppeng. Pada tahun 2010, jumlah penduduk yaitu 230.744 jiwa, terdiri dari
108.115 jiwa penduduk berjenis kelamin laki – laki dan 122.629 jiwa
penduduk berjenis kelamin perempuan. Penduduk tersebut tersebar di dalam
wilayah Kabupaten Soppeng dengan kepadatan 154 jiwa per Km². Mayoritas
penduduk menganut agama Islam, yaitu sekitar 99,7 % dari total penduduk
yang ada. Selebihnya, terdapat 0,29 % penduduk yang menganut agama
Kristen, 0,007 % penduduk yang menganut agama Hindu, dan 0,003 %
penduduk menganut agama Budha. Penduduk Kabupaten Soppeng umumnya
bekerja di sektor pertanian dengan persentase sebesar 68,17 %, sektor
perdagangan, restoran dan perhotelan sebesar 14,96 %, sektor jasa
kemasyarakatan sebesar 10,54 %, sektor perindustrian sebesar 4,32 %, dan
selebihnya bekerja pada sektor-sektor lain (BPS Kab. Soppeng).
Di beberapa daerah Bugis termasuk Soppeng, masyarakat dibedakan
dalam tiga kelompok strata sosial, sebagaimana yang disebutkan oleh
Mattulada (1984: 259-278) dan Friedericy (dalam Koentjaraningrat, 1999:
276), yaitu:
(a) Anak Arung, yaitu kelompok yang terdiri dari kaum kerabat raja-
raja,
(b) To Samak, yaitu kelompok yang terdiri dari orang-orang
merdeka atau masyarakat kebanyakan, dan
(c) Ata, yaitu kelompok yang terdiri dari para budak, orang-orang
yang tertangkap dalam peperangan, atau orang-orang yang
melanggar pantangan adat.
Sistem kekerabatan masyarakat Soppeng bersifat bilateral yang terbentuk
melalui dua jalur, yaitu assialang atau perkawinan, dan ambijangeng atau
keturunan (Muh. Hidayat, 1995: 17).
Menurut Bahru Kallupa (1989., dalam Muh. Hidayat, 1995: 17),
masyarakat Soppeng mengenal adat istiadat yang merupakan segala aturan
(tindakan, dan sebagainya) yang sudah menjadi kebiasaan secara turun
temurun (Sugono, dkk., 2008: 10) dengan istilah pangngadareng. Konsep
pangngadareng pada awalnya hanya terdiri dari empat unsur, yaitu ade’,
bicara, rapangi, dan wari. Setelah Islam diterima secara melembaga, unsur
Arsitektur Villa Yuliana di Watansoppeng Kabupaten Soppeng 42
sara’ kemudian ditambahkan ke dalam konsep tersebut (Mattulada, 1982.,
dalam Morrel, 2005: 249).
Sebelum agama Islam diterima, masyarakat Soppeng telah mengenal
sistem kepercayaan terhadap Dewata. Dalam lontara Galigo, Dewata dikenal
dengan sebutan Patotoe (penentu nasib), Dewata Sauwae (yang tunggal), dan
Turiea’rana (yang tertinggi). Konsep pemujaan terhadap dewa-dewa ini
seringkali diwujudkan dalam suatu bentuk upacara, terutama yang
berhubungan dengan pertanian, diantaranya adalah tudang sipulung di
Lakkelinja, upacara meminta hujan, massempe, mappadendang, dan
massappowanua (Bahru Kallupa, 1989: 9., dalam Muh. Hidayat, 1995: 18).
C. Penamaan Soppeng
Asal-usul nama Soppeng dapat ditelusuri melalui mitos dan cerita
rakyat yang berkembang di kalangan masyarakat Soppeng. Mitos dan cerita
rakyat tersebut memiliki dua versi (Mohammad Natsir, dkk., 2009: 6-9),
yaitu:
Versi pertama memandang, bahwa pada dasarnya nama Soppeng
diambil dari sebuah pohon yang buahnya menyerupai anggur dan orang Bugis
Soppeng menyebutnya buah ‘caloppeng’ atau seringkali juga disebut
‘coppeng’. Menurut riwayat, di dekat bekas Istana Kerajaan Soppeng, tumbuh
sebuah pohon caloppeng atau coppeng yang sangat besar. Untuk menyatakan
kebesaran itu maka bunyi C pada Coppeng menjadi S pada Soppeng.
Dalam struktur bahasa daerah Bugis dialek Soppeng, ditemukan
banyak perubahan sebutan dari huruf C menjadi S dan sebaliknya.
Contohnya, pada kata salo (bahasa Bugis: sungai) yang berubah menjadi calo
untuk menyebutkan sungai yang beraliran air kecil, atau sappo (bahasa Bugis:
saudara sepupu) menjadi cappo untuk menunjukkan hubungan kekerabatan
dengan orang lain selain saudara sepupu. Apabila dikaitkan dengan nama
Soppeng, maka boleh jadi benar nama tersebut berasal dari nama pohon
Coppeng yang hingga kini masih banyak tumbuh di dalam wilayah Soppeng.
Versi kedua meninjau asal usul nama Soppeng dari aspek penggunaan
bahasa daerah Bugis, khususnya perubahan kata, baik melalui
penyederhanaan sebutan maupun penggabungan dua kata atau lebih menjadi
satu kata. Dalam hal ini, kata Soppeng dipandang sebagai hasil penggabungan
dari dua buah kata Bugis, yaitu kata sosso dan lappeng. Sosso berarti turun,
sedangkan lappeng merupakan nama sebuah tempat.
Abu Bakar Mangiri (dalam Mohammad Natsir, dkk., 2009: 9),
berpendapat seperti berikut:
Soppeng diambil dari kata Sosso + Lappeng. Jadi SO (SSO) + (LA) LAPPENG maksudnya bahwa orang Soppeng itu (SOSSO) dari Sewo ke Lappeng ialah sebuah tempat di dekat bekas istana Datu Soppeng. SOSSO berarti turun atau pindah.
Menurutnya, nama Soppeng merupakan hasil penggabungan dari dua kata
Bugis, yaitu sosso dan lappeng. Dengan demikian, asal kata Soppeng adalah
sosso lappeng, yang jika disederhanakan berubah menjadi Soppeng.
D. Sejarah Kabupaten Soppeng
Pada sekitar tahun 1300 M, Soppeng merupakan sebuah wilayah yang
dihuni oleh 60 kelompok suku masyarakat, dimana setiap kelompok dipimpin
oleh seseorang bergelar Matowa. 30 kelompok suku bermukim di Soppeng
Riaja atau Soppeng Barat dan 30 kelompok suku lainnya bermukim di
Soppeng Rilau atau Soppeng Timur (Abdurrazak, 2004: 94-95; Mohammad
Natsir, 2009: 10-11).
Menurut Abdurrazak Dg. Patunru (2004: 95-96), dalam abad XIV
Soppeng pernah dilanda bencana kelaparan. Selama tujuh tahun tidak turun
hujan, sehingga penduduk tidak dapat menanami sawah dan ladang. Oleh
sebab itu, Arung Bila yang bertugas sebagai wakil Raja Luwu Sawerigading
di Soppeng memutuskan mengadakan rapat dengan seluruh Matowa untuk
membicarakan dan mengambil kebijakan agar seluruh rakyat Soppeng dapat
diselamatkan dari bencana tersebut. Keadaan saat rapat berlangsung
dijelaskan oleh Abdurrazak (Ibid) seperti berikut:
Rapat itu dilangsungkan di tempat terbuka, di bawah pohon besar. Ketika rapat sedang berlangsung, terdengarlah suara ribut dua ekor burung kakatua di atas pohon.……berkelahi memperebutkan setangkai padi yang berisi. Arung Bila memerintahkan menghalau burung kakatua itu. Beberapa matowa berusaha mengikuti kedua burung itu untuk mengetahui dari mana burung itu memperoleh tangkai padi itu. Ternyata kedua ekor burung itu terbang ke Utara…..Tidak lama kemudian sampailah mereka itu pada sebuah hutan dalam daerah LEworeng [Leworeng]. Kedua ekor burung itu menghilang dalam hutan…yang oleh penduduk dinamai Sekanjili. Matowa-matowa…juga masuk ke dalam hutan itu. Tiba-tiba mereka itu mendapati beberapa orang pada suatu tempat terbuka dalam hutan itu. Seorang dari mereka itu berpakaian indah, duduk di atas sebuah batu, dinaungi oleh sebuah payung besar yang dipegang oleh tiga orang sebagai pengikut. Arung Bila bertanya kepada mereka itu, siapakah
Pada tahun 1908, empat lili Kedatuan Soppeng yaitu, Kiru-kiru,
Siddo, Ajakkang dan Balusu, yang pada awalnya tergabung dalam ke-25 lili
Kedatuan Soppeng, dilebur oleh pemerintah Belanda menjadi pemerintah
Kerajaan sendiri (Zelf Bestuur), yaitu Soppeng ri Aja (Surat Gubernur-
Jenderal tertanggal 3 September 1908 No. 28, dalam Abdurrazak, 2004: 116).
Kemudian, Penguasa Militer Kooy (Militair Gezagheber Kooy) membagi
Soppeng ke dalam tujuh buah distrik, yaitu distrik Lalabata, distrik Lili ri
Lau, distrik Lili ri Aja, distrik Pattojo, distrik Citta, distrik Mario ri Awa, dan
distrik Mario ri Wawo.
Sekitar tahun 1923, yaitu ketika A.J.L.Couvreur menjadi Gubernur di
Celebes dan daerah taklukannya, distrik-distrik diubah menjadi
Adatgemeenschap atau Persekutuan Adat yang diberikan hak mengurus
rumah tangga sendiri, terutama di bidang keuangan, yaitu kas
Adatgemeenschap. Di bidang peradilan dibentuk Hadat Kecil yang diketuai
oleh Kepala Adatgemeenschap dengan wewenang dalam perkara-perkara
perdata mengenai barang-barang sengketa yang berharga tidak lebih dari Rp.
100,- serta perkara kejahatan kecil dan pelanggaran-pelanggaran sebagaimana
yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pada tingkat
pemerintah pusat kerajaan diadakan pembagian tugas di antara anggota
pemerintah kedatuan, seperti Arung Bila untuk urusan pemerintahan umum;
seorang pabbicara untuk bidang kehakiman, kepolisian dan pekerjaan umum;
serta suami Datu Soppeng sebagai wakil permaisuri dalam hal-hal luar biasa
(Abdurrazak, 2004: 121).
Pada tahun 1942 hingga 1945, Soppeng berada dalam kekuasaan
Jepang. Kontrolir Belanda digantikan Kontrolir Jepang yang disebut
Bunkenkanrikan. Proklamasi kemerdekaan oleh Soekarno-Hatta pada tanggal
17 Agustus 1945, mengakhiri kekuasaan Jepang di seluruh Indonesia. Pada
awal tahun 1946, Belanda kembali berkuasa di Soppeng hingga pertengahan
tahun 1950, ketika terjadi kekacauan sebagai akibat timbulnya pergolakan
politik di Sulawesi-Selatan dan Tenggara pasca pembentukan Republik
Indonesia Serikat (RIS). Kedatuan Soppeng secara resmi terhapus pada tahun
1958, dengan pembentukan Soppeng menjadi Daerah Otonom Tingkat II
berdasarkan Undang-Undang Darurat No.4 tahun 1957, dan Datu Soppeng
Haji Andi Wana diangkat oleh Pemerintah Pusat menjadi Kepala Daerah
Soppeng. Sekitar tahun 1961, Adatgemeenschap atau Persekutuan Adat
diubah menjadi kecamatan administratif, meliputi Kecamatan Mario ri
Wawo, Kecamatan Lili’ri Lauq, Kecamatan Lili ri Aja, Kecamatan Lalebbata
dan Kecamatan Mario ri Awa (Ibid: 122-125).
BAB III
DESKRIPSI BANGUNAN VILLA YULIANA
A. Latar Sejarah Bangunan Villa Yuliana
Villa Yuliana dibangun oleh seorang arsitek Belanda yang sengaja
didatangkan dari Negeri Belanda, diperintahkan oleh C.A.Krosen (A.Wanua
Tangke, 2007: 89). Tidak ada informasi perihal siapa nama arsitek tersebut.
Menurut penuturan Hamruddin Laide (Wawancara, 21-02-2013), arsitek Villa
Yuliana merupakan seorang tawanan Kerajaan Belanda berkebangsaan
Belgia, yang dikirim ke Soppeng (Indonesia) untuk mengerjakan bangunan.
Hamruddin Laide menuturkan pula bahwa, Villa Yuliana dibangun pada
tahun 1905 hingga 1909. Berbeda dengan keterangan tersebut, menurut
A.Wanua Tangke (2007: 90) villa dibangun pada tahun 1900 hingga 1905,
sedangkan menurut Pananrangi Hamid (1991: 213-237) villa dibangun sekitar
tahun 1906 pada masa pemerintahan Gubernur Sulawesi C.A.Kroesen.
Cerita di balik penamaan Villa Yuliana terdapat dua versi. Menurut
Haerun Rasid (Wawancara, 19-02-2013), versi pertama memandang bahwa
bangunan pada awalnya dipersiapkan untuk menyambut kedatangan Ratu
Yuliana, namun kunjungan tersebut batal karena saat itu timbul
pemberontakan di beberapa daerah di Indonesia. Versi kedua memandang
48
bahwa pemberian nama sebagai bentuk pengabdian orang Belanda di Hindia
kepada Rajanya (A.Wanua Tangke, 2007: 91).
Pada tahun 1996, bangunan Villa Yuliana masih berada di bawah
penanganan Pemerintah Daerah Kabupaten Soppeng dan telah dilakukan
pemugaran pada bangunan tersebut. Kemudian, pada tahun 1998 didaftar
menjadi Benda Cagar Budaya dengan nomor registrasi 448, di bawah
penanganan Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sulawesi Selatan dan
Tenggara. Pada tanggal 2 Mei 2000 dilakukan pemugaran, pembuatan pagar
keliling bangunan sekitar 200 m², pemasangan papan larangan, penempatan
juru pelihara situs dan studi pemintakatan dengan SK-Nomor:
213/C.1/M/2000 (Khusnul Khatimah, 2002: 32) oleh BP3 Sulawesi Selatan,
Tenggara dan Tengah. Pemugaran yang dilakukan antara lain mengganti
bahan konstruksi atap dari sirap ke asbes gelombang, sebagian besar balok
pada rangka atap, dan cat dari hijau ke merah tua. Berdasarkan Surat Perintah
Tugas Nomor 150/M.3/ST/UPT/BD/28.1/2003 Tanggal 28 Januari 2003, BP3
Sulawesi Selatan, Tenggara dan Tengah melakukan pendataan kerusakan dan
pendokumentasian gambar pada bangunan Villa Yuliana dalam rangka
pemulihan arsitektur dan pelestarian bangunan (Agustono, 2003). Kemudian,
bahan konstruksi atap, baik penutup maupun rangka atap dikembalikan pada
keadaan semula, begitupun dengan warna cat.
Bangunan Villa Yuliana telah beberapa kali berubah fungsi. Menurut
A.Wanua Tangke (2007: 90) dan Adam Musa (dalam Khusnul Khatimah,
2002: 31), pada masa pendudukan Belanda, bangunan tersebut berfungsi
sebagai tempat menginap dan peristirahatan pejabat pemerintah Hindia
Belanda. Pananrangi Hamid (2001: 237) berpendapat bahwa, Villa Yuliana
merupakan hadiah dari Ratu Wilhelmina beberapa saat setelah kelahiran
putrinya Yuliana, sebagai simbol penyerahan kekuasaan dari Kerajaan
Soppeng kepada Pemerintah Hindia Belanda, yang juga pernah digunakan
sebagai kediaman resmi kontrolir Soppeng pada masa pemerintahan Hindia
Belanda. Sementara menurut Hamruddin Laide (Wawancara, 21-02-2013),
tahun 1909 hingga 1942 bangunan Villa Yuliana difungsikan sebagai markas
Pemerintah Hindia Belanda.
Hamruddin Laide (Wawancara, 21-03-2013) menuturkan pula bahwa,
pada masa selanjutnya saat Soppeng dikuasai oleh tentara Jepang (1942 –
1945) Villa Yuliana difungsikan sebagai markas tentara Jepang. Kemudian
pada tahun 1945 hingga 1957, villa kosong. Setelah tahun 1957 hingga 1992
villa difungsikan sebagai rumah tinggal oleh penduduk setempat. Khusnul
Khatimah (2002: 32-33) dalam laporan penelitiannya menulis, pada tahun
1992 hingga 1995 bangunan Villa Yuliana difungsikan sebagai asrama
pegawai bujang Pemda, Polisi, dan Dinas Pemadam Kebakaran. Pada tahun
2001 bangunan Vila Yuliana dipergunakan oleh sebuah sanggar seni di
Kabupaten Soppeng sebagai tempat latihan. Kemudian sejak awal tahun 2002
bangunan ini tidak difungsikan lagi. Kini, bangunan Vila Yuliana difungsikan
sebagai Museum Daerah Latemmamala oleh Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Pemerintah Kabupaten Soppeng, sejak diresmikan pada tanggal 23
Maret 2008 (http://sejarah.kompasiana.com, 14-03-2013).
Pagar teras di sisi Selatan diberi kisi-kisi berkepala
busur.
sebelah kanan lantai I berhubungan dengan teras di
lantai II.
Pondasi atau landasan dari papan kayu
berbentuk lonjong dengan ukuran 186 cm x 58 cm
x 3 cm. Anak tangga (trede) berjumlah 24 buah,
terbagi atas 13 tanjakan awal dan 11 tanjakan akhir.
Anak tangga datar (antrede) dari papan kayu
berbentuk persegi panjang berukuran 113 cm x 31
cm, lima diantaranya yang terletak di awal tanjakan
akhir berbentuk trapezium dan membentuk
belokan. Anak tangga tegak (optrade) berukuran
113 cm x 17 cm dengan profil.
Di antara tanjakan awal dan tanjakan akhir
tangga terdapat bordes dari papan kayu berukuran
127 cm x 127 cm x 17 cm. Papan bordes disangga
oleh balok dan tiga buah tiang kayu berukuran 217
cm x 21,4 cm. Pada salah satu sudut, balok
penyangga ditancapkan ke dinding kolom arkade.
Sisi dalam dan luar balok penyangga bordes dihiasi
oleh ukiran berbentuk garis lurus dan belah ketupat.
Pada tiang penyangga balok terdapat hiasan ukiran
motif segi empat dan profil di bagian kepala
(capital), ukiran garis lurus di badan tiang, dan
Pagar pengaman dan pegangan tangga
bertumpu pada lima buah tiang, dua tiang terletak
di bawah (dasar) berukuran 131 cm x 10 cm, satu di
tengah berukuran 215 cm x 12 cm, dan dua di atas
(puncak) berukuran 110 cm x 10 cm yang dipasang
di atas anak tangga menyatu dengan konstruksi ibu
tangga. Setiap tiang tumpuan terbuat dari balok
kayu dengan kepala merunjung ke atas seperti
limas, yang diberi ukiran garis lurus vertikal pada
badan dan profil dengan gerigi pada kepala. Pada
kaki tiang tumpuan tengah diberi ornamen timbul
menyerupai bunga.
2) Tangga belakang
Tangga belakang merupakan tangga masif
dari beton dengan model tangga balik (U). Tangga
terletak di teras belakang samping kiri lantai I,
berhubungan dengan teras belakang lantai II.
Pondasi atau landasan dari struktur beton
setebal 10 cm. Anak tangga (trede) berjumlah 19
buah, terbagi atas 13 tanjakan awal dan enam
tanjakan akhir. Anak tangga datar (antrede)
berukuran 78 cm x 28 cm, sedangkan anak tangga
tegak (optrede) berukuran 78 cm x 20 cm. Di
Lantai dan Plafon
Teras
Ragam Hias
Penutup lantai dari bambu (salima) dan papan kayu (dapara). Plafon adalah bagian bawah lantai loteng (rakkecmg).
Teras (lego-lego) adalah ruangan tambahan yang terletak di bagian depan badan rumah (ale bola).
Ragam hias pada rumah Bugis terdiri dari ragam hias naturalis (flora dan fauna). Flora : bunga parenreng Fauna: ayam jantan (manuk), kepala kerbau dan naga (ular besar).
Doric, Ionic, Corinthian, Composite. Penutup lantai dari ubin atau marmer. Plafon bisa dari beton, tripleks, rotan, dan kayu, kadang-kadang diberi hiasan.
Tanpa teras
Ragam hias terdiri dari ragam hias geometris dan naturalis. Geometris: lingkaran, persegi, segi tiga, dsb. Naturalis : manusia, flora dan fauna.
Penutup lantai I: ubin, penutup lantai II: papan kayu. Plafon adalah bagian bawah lantai loteng, kecuali dapur dan WC yang menggunakan plafon dari beton. Teras terdiri dari teras depan dan belakang, terdapat di lantai I maupun lantai II. Wujud teras depan lantai II mirip seperti lego-lego pada rumah Bugis. Ragam hias terdiri dari ragam hias geometris dan naturalis (flora). Geometris: garis lurus, persegi, lingkaran, segi tiga dan belah ketupat. Flora : bunga parenreng, sulur daun, dan bunga.
(Sumber: Analisis, 2013)
3. Maksud Dibalik Keletakan dan Penggunaan Arsitektur Bugis pada Villa
Yuliana
Villa Yuliana memiliki informasi pertama sebagai tempat
tinggal/peristirahatan, namun bukan berarti tidak mengandung informasi
(arti) lain. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Parmono Atmadi (dalam
Sukada, 1989: 33-34) dalam kutipan berikut:
Pada dasarnya arsitektur selalu ingin menyampaikan pesan, hanya karena pesan itu tidak tertulis maka pesan tadi dapat saja diartikan berbeda dari yang dimaksudkan. Selain itu pesan yang diharapkan dapat dan hampir selalu diartikan lain oleh seseorang yang mencoba membaca pesan tersebut. Apalagi bila pengamatan dilakukan dengan selisih waktu yang cukup lama.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Villa Yuliana merupakan salah satu bangunan bekas rumah
tinggal/pesanggrahan pejabat militer Pemerintah Hindia Belanda.
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan
bahwa bentuk arsitektur Villa Yuliana yang mencerminkan fungsi
bangunan nampak pada elemen-elemen seperti proporsi bangunan yang
asimetris, bentuk denah/tata ruang, serta penggunaan warna hijau pada
bukaan, tangga, bargeboard, dan tiang. Keberadaan menara yang
menimbulkan anggapan bahwa Villa Yuliana adalah sebuah gereja, tidak
lain berfungsi simbolik sebagai lambang keimanan penghuninya.
Bentuk arsitektur Villa Yuliana memadukan gaya arsitektur
bangunan Eropa dan rumah tradisional Bugis. Di dalam perpaduan
(akulturasi) tersebut, pengaruh arsitektur Eropa lebih dominan dibanding
arsitektur Bugis. Gaya Eropa yang mendominasi merupakan perpaduan
gaya klasik yaitu Indische Empire, Renaisans, Viktoria dan Gotik, dengan
gaya modern (Art Nouveau).
Perpaduan berbagai gaya dalam bentuk arsitektur Villa Yuliana
tidak lepas dari pengaruh periodisasi perkembangan bangunan Kolonial
Belanda di Indonesia. Sesuai dengan pendapat Samuel Hartono dan
Handinoto (2006: 2), Villa Yuliana yang didirikan pada awal abad XX