PENGANTAR Ajaran Agama Islam menyediakan prinsip-prinsip umum untuk cara hidup perseorangan, keluarga, masyarakat, negara, dan dunia demi menjamin perdamaian, stabilitas, keadilan, dan hubungan-hubungan yang membuahkan, tetapi Islam tidak menguraikan program-progam praktis yang terperinci, karena hal-hal yang rinci seperti itu mesti mengalami perubahan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan di dalam keadaan lingkungan manusia dalam waktu dan tempat yang berbeda. Islam mengizinkan ruang yang luas untuk berijtihad. Dalam konteks mendiskusikan multikulturalisme dengan skup bahasan yang lebih spesifik pendidikan multikultural, maka dapat dikatakan bahwa sebenarnya prinsip dasarnya telah ada dalam Al-Qur’an, Hadits, Sirah Nabi Muhammad, Sejarah Sosial Masyarakat Islam. Tinggal bagaimana hal tersebut dapat diaplikasikan dalam pendidikan multikultural. Pendidikan Multikultural adalah pendidikan yang menghargai diversitas dan mewadahi perspektif dari beragam kelompok kultural atas dasar basis regular.Konsep Pendidikan Multikultural harus dirancang dari sejak epistimologi sampai tataran teknis pembelajaran di kelas untuk memberdayakan siswa. Agar peserta didik dapat memahami keniscayaan pluralitas. Multikulturalisme adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pandangan mengenai ragam kehidupan di dunia, ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap adanya keragaman, dan berbagai macam
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PENGANTAR
Ajaran Agama Islam menyediakan prinsip-prinsip umum
untuk cara hidup perseorangan, keluarga, masyarakat, negara,
dan dunia demi menjamin perdamaian, stabilitas, keadilan, dan
hubungan-hubungan yang membuahkan, tetapi Islam tidak
menguraikan program-progam praktis yang terperinci, karena
hal-hal yang rinci seperti itu mesti mengalami perubahan
untuk menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan di dalam
keadaan lingkungan manusia dalam waktu dan tempat yang
berbeda. Islam mengizinkan ruang yang luas untuk berijtihad.
Dalam konteks mendiskusikan multikulturalisme dengan skup
bahasan yang lebih spesifik pendidikan multikultural, maka
dapat dikatakan bahwa sebenarnya prinsip dasarnya telah ada
dalam Al-Qur’an, Hadits, Sirah Nabi Muhammad, Sejarah Sosial
Masyarakat Islam. Tinggal bagaimana hal tersebut dapat
diaplikasikan dalam pendidikan multikultural.
Pendidikan Multikultural adalah pendidikan yang
menghargai diversitas dan mewadahi perspektif dari beragam
kelompok kultural atas dasar basis regular.Konsep Pendidikan
Multikultural harus dirancang dari sejak epistimologi sampai
tataran teknis pembelajaran di kelas untuk memberdayakan
siswa. Agar peserta didik dapat memahami keniscayaan
pluralitas.
Multikulturalisme adalah istilah yang digunakan untuk
menjelaskan pandangan mengenai ragam kehidupan di dunia,
ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang
penerimaan terhadap adanya keragaman, dan berbagai macam
budaya yang ada dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai-
nilai, sistem, budaya, kebiasaan dan politik yang mereka
anut.
Indonesia, melebihi kebanyakan negara-negara lain,
merupakan negara yang
tidak saja multi-suku, multi-etnik, multi-agama tetapi juga
multi-budaya. Kemajemukan tersebut pada satu sisi merupakan
kekuatan sosial dan keragaman yang indah apabila satu sama
lain bersinergi dan saling bekerja sama untuk membangun
bangsa. Namun, pada sisi lain, kemajemukan tersebut apabila
tidak dikelola dan dibina dengan tepat dan baik akan menjadi
pemicu dan penyulut konflik dan kekerasan yang dapat
menggoyahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa. Peristiwa
Ambon,Poso, dan yang palin terbaru Tolikara misalnya,
merupakan contoh kekerasan dan konflik horizontal yang telah
menguras energi dan merugikan tidak saja jiwa dan materi
tetapi juga mengorbankan keharmonisan antar sesama masyarakat
Berkenaan dengan masalah pluralisme, kita dapatkan
kenyataan bahwa masyarakat kita masih menunjukkan pemahaman
yang dangkal dan kurang sejati. Istilah “pluralisme” sudah
menjadi barang harian dalam wacana umum nasional
kita. Namun dalam masyarakat ada tanda-tanda bahwa orang
memahami pluralisme hanya sepintas lalu, tanpa makna yang
lebih mendalam, dan yang lebih
penting, tidak berakar dalam ajaran kebenaran.
Pendidikan Multikultural yang juga akan banyak bicara
masalah pluralitas. sangat penting diajarkan di Perguruan
Tinggi seperti di Universitas Islam Negeri (UIN) Sumatera
Utara. Kehadiran Universitas Islam Negeri Sumatera Utara
adalah menjadi bagian dari upaya mengakomodir kepentingan
ummat, bangsa dan Negara dari berbagai elemen masyarakat.
Diketahui bahwa masyarakat Sumatera Utara yang memiliki
berbagai etnis, golongan dan keagamaan membutuhkan konsep
yang menjadi landasan dalam membangun ummat. Untuk itu
pendidikan berbasis multikultural adalah pilihan dalam
memberikan jawaban terhadap upaya peran UIN Sumatera Utara
bagi kemajuan bersama.
Pendidikan multikultural kian mendesak untuk di
laksanakan di sekolah. dengan pendidikan multikultural,
sekolah menjadi lahan untuk menghapus prasangka, dan
sekaligus untuk melatih dan membangun karakter siswa agar
mampu bersikap demokratis, humanis dan pluralis. Ada dua hal
yang perlu dilakukan dalam pembangunan pendidikan
multikultural di sekolah, yaitu; pertama, melakukan dialog
dengan menempatkan setiap peradaban dan kebudayaan yang ada
pada posisi sejajar. Kedua, mengembangkan toleransi untuk
memberikan kesempatan masing-masing kebudayaan saling
memahami. Toleransi disini tidak hanya pada tataran
konseptual, melainkan juga pada teknik operasionalnya.
Buku Pembelajaran Berbasis Pendidikan Multikultural
mencoba memberikan pilihan dari konsep sampai pada teknis
membelajarkan di depan kelas. Nilai nilai dasar tentang
pendidikan multikultural memberikan fondasi utama memakani
arti kehidupan yang beragam, kemudian bagiamana mengkemasnya
menjadi kurikulum dan selanjutnya menyampaikannya di depan
kelas.
Tujuan Penulisan Buku
- Untuk menjadi referensi UIN Sumatera Utara dalam rangka
pengembangan keilmuan khususnya katalisator
Transdisipliner.
- Untuk menjadi referensidosen mahasiswa di lingkungan
fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan dalam merancang dan
mengembangkan pembelajaran berbasis pendidikan
multikultural.
- Untuk menjadi reformulasi pembelajaran di sekolah atau
madarasah dalam hal pengembangan kepribadian yang
menghargai keragaman.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pengertian Pendidikan Multikultural.
Mempelajari multikulturalisme tidak bisa terlepas dari
diskusi pluralisme. Maka sebelum mendiskusikan
multikulturalisme, maka perlu sekilas mempelajari pluralisme.
Menurut Frans Magnis Suseno (2008:27) pluralisme tidak lain
adalah kesediaan untuk menjunjung tinggi pluralitas.
Pluralisme tidak berarti menyatakan bahwa semua agama sama
saja, tidak ada kaitan dengan pertanyaan manakah agama yang
benar dan mana yang paling baik. Pluralisme adalah kesediaan
untuk menerima kenyataan bahwa dalam masyarakat ada cara
hidup, budaya, dan keyakinan agama yang berbeda, serta
kesediaan untuk hidup, bergaul dan bekerja bersama serta
membangun dengan mereka. Suseno mengatakan bahwa sosok yang
pluralis akan memunculkan karakter yang humanis, dan
demokratis. Sosok pluralis akan menghormati dan menghargai
sesama manusianya dalam identitasnya, dan itu menghargai
adanya perbedaan.
Menurut Azyumardi Azra bahwa secara sederhana
multikulturalisme bisa dipahami sebagai pengakuan, bahwa
sebuah Negara atau masyarakat adalah beragam dan majemuk.
Atau dapat pula diartikan sebagai kepercayaan kepada
normalitas dan penerimaan keragaman.
Multikulturalisme secara sederhana dapat dikatakan
pengakuan atas pluralisme budaya. Pluralisme budaya bukanlah
suatu yang given, melainkan merupakan sebuah proses
internalisasi nilai-nilai dalam suatu komunitas (Tilaar,
2012:930). Selanjutnya Tilaar (2004) mengatakan bahwa
pengertian tentang multikulturalisme setidaknya mengandung
dua pengertian yang sangat kompleks yaitu multi yang berarti
plural, kulturalisme berisi pengertian kultur atau budaya.
Istilah plural mengandung arti yang berjenis-jenis, karena
pluralisme bukan berarti seekedar pengakuan akan adanya hal-
hal yang berjenis, namun pengakuan yang memiliki implikasi-
implikasi politis, sosial dan ekonomi. Oleh sebab itu
pluralisme bersangkutan dengan prinsip-prinsip demokrasi.
Dalam bukunya “Demokrasi Kami” Donny Gahraldian (2006)
mendefinisikan pluralisme “adalah konstelasi nilai yang di dalamnya
memuat toleransi, solidaritas, kebebasan dan keadilan.”
Pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian sejati
kebhinekaan dalam ikatanikatan keadaban” (genuine engagement of
diversities within the bonds of civility). Bahkan pluralisme adalah juga
suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain
melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang
dihasilkannya (Nurcholish dalam Ensiklopedi Nurcholish Madjid
Jilid 3: 2694). Selanjutnya Nurcholish menjelaskan bahwa
pluralisme juga tidak boleh dipahami sekadar sebagai
“kebaikan negatif ” (negative good), hanya ditilik dari
kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme (to keep fanaticism at
bay). Pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian sejati
kebhinekaan dalam ikatanikatan keadaban” (genuine engagement of
diversities within the bonds of civility). Bahkan pluralisme adalah juga
suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain
melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang
dihasilkannya.
Dengan cukup panjang, Osman (2012) dalam bukunya “Islam,
Pluralisme, dan Toleransi Keagamaan: Pandangan Al-Qur’an, Kemanusiaan,
Sejarah, dan Peradaban,”mendefinisikan pluralisme sebagai berikut:
“Pluralisme adalah bentuk kelembagaan di mana penerimaanterhadap keragaman melingkupi masyarakat tertentu ataudunia secara keseluruhan. Maknanya lebih dari sekadartoleransi moral atau koeksistensi pasif. Toleransi adalahpersoalan kebiasaan dan perasaan pribadi, sementarakoeksistensi adalah semata-mata penerimaan terhadap pihaklain, yang tidak melampaui ketiadaan konflik. Pluralisme,di satu sisi, mensyaratkan ukuran-ukuran kelembagaan danlegal yang melindungi dan mengesahkan kesetaraan danmengembangkan rasa persaudaraan di antara manusia sebagai
pribadi atau kelompok, baik ukuran-ukuran itu bersifatbawaan ataupun perolehan. Begitu pula, pluralisme menuntutsuatu pendekatan yang serius terhadap memahami pihak laindan kerja sama yang membangun untuk kebaikan semua. Semuamanusia seharusnya menikmati hak-hak dan kesempatan-kesempatan yang sama, dan seharusnya memenuhi kewajiban-kewajiban yang sama sebagai warga negara dan warga dunia.Setiap kelompok semestinya memiliki hak untuk berhimpundan berkembang, memelihara identitas dan kepentingannya,dan menikmati kesetaraan hak-hak dan kewajiban-kewajibandalam negara dan dunia internasional.”
Membaca definisi pluralisme di atas maka sebenarnya tidak
terdapat perbedaan antara kajian multikulturalisme dan
pluralisme, melainkan hanya perbedaan istilah. Secara
sederhana multikulturalisme berarti “keberagaman budaya”.
(Lash dan Featherstone, 2002:2-6). Sebenarnya, ada tiga
istilah yang kerap digunakan secara bergantian untuk
menggambarkan masyarakat yang terdiri keberagaman tersebut –
baik keberagaman agama, ras, bahasa, dan budaya yang berbeda-
yaitu pluralitas (plurality), keragaman (diversity), dan
multikultural (multicultural). Ketiga ekspresi itu sesungguhnya
tidak merepresentasikan hal yang sama, walaupun semuanya
mengacu kepada adanya ’ketidaktunggalan’. Konsep pluralitas
mengandaikan adanya ’hal-hal yang lebih dari satu’ (many);
keragaman menunjukkan bahwa keberadaan yang ’lebih dari satu’
itu berbeda-beda, heterogen, dan bahkan tak dapat disamakan.
Dibandingkan dua konsep terdahulu, multikulturalisme
sebenarnya relatif baru. Secara konseptual terdapat perbedaan
signifikan antara pluralitas, keragaman, dan multikultural.
Inti dari multikulturalisme adalah kesediaan menerima
ataupun agama. Apabila pluralitas sekadar merepresentasikan
adanya kemajemukan (yang lebih dari satu), multikulturalisme
memberikan penegasan bahwa dengan segala perbedaannya itu
mereka adalah sama di dalam ruang publik. Multikulturalisme
menjadi semacam respons kebijakan baru terhadap keragaman.
Dengan kata lain, adanya komunitas-komunitas yang berbeda
saja tidak cukup; sebab yang terpenting adalah bahwa
komunitas-komunitas itu diperlakukan sama oleh negara. Oleh
karena itu, multikulturalisme sebagai sebuah gerakan menuntut
pengakuan (politics of recognition)1 terhadap semua perbedaan
sebagai entitas dalam masyarakat yang harus diterima,
dihargai, dilindungi serta dijamin eksisitensinya.
Setelah muncul sebagai disiplin ilmu pada dekade 1960-an
dan 1970-an pendidikan berbasis multikulturalisme atau
dikenal sebagai Multicultural Based Education mengalami banyak
pemahaman, definisi dan konsep. Salah satu yang dipakai di
duia Barat adalah Multicultural Based Education (Mahfud, 2010:1996)
Pendidikan multikultural berawal dari berkembangnya
gagasan dan kesadaran tentang “interkulturalisme” seusai
1 Politics of recognition dikemukan oleh Charles Taylor pada 1992 di depan kuliahterbuka diPrincenton University. Mulanya gagasanya adalah gagasan politik yangkemudian berkembang di kajian lain, flsafat, sosiologi, budaya danlainnya. Gagasanya dipengaruhi oleh padangan Jean-Jacques Rousseau dalamDiscourse Inequality dan kesamaan martabat (equal dignity of human rights) yangdicetuskan Immanuel Kant. Gagasan Taylor bersumber pada pertama, bahwasesungguhnya harkat dan martabat manusia adalah sama. Kedua, pada dasarnyabudaya dalam masyarakat adalah berbeda-beda, oleh karena itu membutuhkanhal yang ketiga, yaitu pengakuan atas bentuk perbedaan budaya oleh semuaelement sosial-budaya, termasuk juga negara. Charles Taylor. “ThePolitics of Recognation” dalam Amy Gutman. Multiculturalism, Examining the Politicsof Recognation (Princenton: Princenton University Press, 1994), hlm. 18.
Perang Dunia Kedua (Tilaar, 2002). Pada saat itu perkembangan
politik internasional menyangkut isu hak asasi manusia,
kemerdekaan dari kolonialisme dan diskriminasi, dan
meningkatnya keberagaman.
Salah satu definisi klasik mengenai pendidikan
multikultural dikemukakan oleh Hilda Hernandez yang
menekankan bahwa pendidikan multikultural mengakui realitas
politik, sosial, dan ekonomi yang dialami oleh masing-masing
individu dalam pertemuan manusia yang kompleks dan beragam
secara kultural.
Definisi yang dikemukakan oleh Hernandez tersebut juga
bermaksud merefleksikan pentingnya budaya, ras, gender,
etnisitas, agama, status sosial, ekonomi, da pengecualian-
pengecualian alam proses pendidikan (Mahfud, 2010: 196).
Pendidikan multikultural mengenai keragaman kebudayaan
(Andersen, 1994: 320). James Banks (1993:3) menjelaskan
pendidikan multikultural sebaai pendidikan untuk keragaman.
Pendidikan dengan wawasan mutlikultural dalam rumusan James
A. Bank adalah konsep, ide atau falsafah sebagai suatu
rangkaian kepercayaan (set of believe) dan penjelasan yang
mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis di
dalam membentuk membentuk gaya hidup, pengalaman sosial,
identitas pribadi, kesempatan-kesempatan pendidikan dari
individu, kelompok maupun negara.
Mack,C,Jr (2002) dalam sebuah artikel berjudul “Mistaken
Identify and Issues in Multicultural Education Initiatives” dalam The Winning
Paper di Nipissing University.
“Pendidikan multikultural mencerminkan keseimbangan antara pemahamanpersamaan dan perbedaan budaya serta mendorong individu untukmempertahankan dan memperluas wawasan budaya dan kebudayaanmereka sendiri.”
Menurut Sonia Nieto, pendidikan multikultural adalah
proses pendidikan yang komperhensif dan mendasar bagi semua
peserta didik. Jenis pendidikan ini menentang bentuk rasisme
dan segala bentuk diskriminasi di sekolah, masyarakat dengan
menerima serta mengafirmasi pluralitas (etnik, ras, bahasa,
agama, ekonomi, gender dan lain sebagainya) yang
terrefleksikan diantara peserta didik, komunitas mereka, dan
guru-guru. Menurutnya, pendidikan multikultur ini haruslah
melekat dalam kurikulum dan strategi pengajaran, termasuk
juga dalam setiap interaksi yang dilakukan diantara para
guru, murid dan keluarga serta keseluruhan suasana
belajarmengajar. Karena jenis pendidikan ini merupakan
pedagogi kritis, refleksi dan menjadi basis aksi perubahan
dalam masyarakat, pendidikan multikultural mengembangkan
prisip-prinsip demokrasi dalam berkeadilan sosial (Nieto,
2002: 29)
Menurut La Belle (25-26) terdapat lima tipologi pendidikan
multikultural yang sedang berkembang, yaitu:
1. Mengajar mengenai kelompok siswa yang memiliki budaya yang lain
(culture difference). Perubahan ini terutama pada siswa dalam
transisi dari berbagai kelompok kebudayaan ke dalam arus
utama budaya yang ada.
2. Hubungan manusia. Program ini membantu siswa dari
kelompok-kelompok tertentu sehingga dapat mengikuti
bersama-sama dengan siswa yang lain dalam kehidupan
sosial.
3. Single group studies. Program ini membantu siswa dari
kelompok-kelompok tertentu sehingga siswa yang
bersangkutan dapat mengikuti bersama-sama dengan siswa
yang lain dalam kehidupan sosial.
4. Pendidikan multikultural. Program ini merupakan suatu
reformasi pendidikan di sekolah-sekolah dengan
menyediakan kurikulum serta materi-materi pelajaran yang
menekankan pada adanya perbedaan siswa dalam bahasa,
yang keseluruhannya untuk memajukan pluralisme
kebudayaan dan ekualitas sosial.
5. Pendidikan multikultural yang bersifat rekonstruksi sosial. Program ini
merupakan sebuah program yang bertujuan menyatukan
perbedaan-perbedaan kultural dan menantang ketimpangan-
ketimpangan sosial yang ada di masyarakat. Program ini
oleh Pepi Leistyna dalam buku Defining and designing
multiculturalism sebagai critical multicultural education.
Pendidikan multikultural adalah merupakan suatu wacana
yang lintas batas, karena terkait dengan masalah-masalah
keadilan sosial (social justice), demokarasi dan hak asasi
manusia.
Sebagai sebuah gerakan, menurut Bhikhu Parekh, baru
sekitar 1970-an multikulturalisme muncul pertama kali di
Kanada dan Australia, kemudian di Amerika Serikat, Inggris,
Jerman, dan lainnya. Setelah itu, diskursus
multikulturalismecberkembang dengan sangat cepat. Setelah
tiga dekade sejak digulirkan, multikulturalisme sudah
mengalami dua gelombang penting yaitu, pertama
multikulturalisme dalam konteks perjuangan pengakuan budaya
yang berbeda. Prinsip kebutuhan terhadap pengakuan (needs of
recognition) adalah ciri utama dari gelombang pertama ini.
Gelombang kedua, adalah multikulturalisme yang melegitimasi
keragaman budaya, yang mengalami beberapa tahapan,
diantaranya:5 kebutuhan atas pengakuan, melibatkan berbagai
disiplin akademik lain, pembebasan melawan imperialisme dan
kolonialisme, gerakan pembebasan kelompok identitas dan
masyarakat asli/masyarakat adat (indigeneous people), post-
kolonialisme, globalisasi, post-nasionalisme, post-modenisme dan
post-strukturalisme yang mendekonstruksi stuktur kemapanan
dalam masyarakat (Jay,2005)
Multikulturalisme gelombang kedua ini, menurut Steve
Fuller pada gilirannya
memunculkan tiga tantangan yang harus diperhatikan sekaligus
harus diwaspadai, yaitu, pertama adanya hegemoni barat dalam
bidang politik, ekonomi, sosial dan ilmu pengetahuan.
Komunitas, utamanya negara-negara berkembang, perlu
mempelajari sebab-sebab dari hegemoni barat dalam bidang-
bidang tersebut dan mengambil langkahlangkah seperlunya
mengatasinya, sehingga dapat sejajar dengan dunia barat.
Kedua, esensialisasi budaya. Dalam hal ini multikulturalisme
berupaya mencari esensi budaya tanpa harus jatuh ke dalam
pandangan yang xenophobia dan etnosentrisme. Multikulturalisme
dapat melahirkan tribalisme yang sempit yang pada akhirnya
merugikan komunitas itu sendiri di dalam era globalisasi.
Ketiga, proses globalisasi, bahwa globalisasi bisa memberangus
identitas dan kepribadian suatu budaya (Fuller dalam
Tilaar,2002: 84-85).
Aar tidak salah memahami diskursus tentang
multikulturalisme, Bikhu Parekh menggarisbawahi tiga asumsi
mendasar yang harus diperhatikan dalam kajian ini, yaitu
pertama, pada dasarnya manusia akan terikat dengan struktur
dan sistem budayanya sendiri dimana dia hidup dan
berinteraksi. Keterikatan ini tidak berarti bahwa manusia
tidak bisa bersikap kritis terhadap sistem budaya tersebut,
akan tetapi mereka dibentuk oleh budayanya dan akan selalu
melihat segala sesuatu berdasarkan budayanya tersebut. Kedua,
perbedaan budaya merupakan representasi dari sistem nilai dan
cara pandang tentang kebaikan yang berbeda pula. Oleh karena
itu, suatu budaya merupakan satu entitas yang relatif
sekaligus partial dan memerlukan budaya lain untuk
memahaminya. Sehingga, tidak satu budaya-pun yang berhak
memaksakan budayanya kepada sistem budaya lain (Raz,
1986:375)
Ketiga, pada dasarnya, budaya secara internal merupakan
entitas yang plural yang merefleksikan interaksi antar
perbedaan tradisi dan untaian cara pandang. Hal ini tidak
berarti menegasikan koherensi dan identitas budaya, akan
tetapi budaya pada dasarnya adalah sesuatu yang majemuk,
terus berproses dan terbuka (Parekh, dalam Raz,1996)
B. Faktor-faktor Pendidikan Multikultural
Sebagian perbedaan perolehan dalam masyarakat manusia
lahir akibat keyakinan atau pandangan tertentu yang dianut.
Apabila dibiarkan tumbuh, perbedaan-perbedaan semacam itu
dapat menjadi sumber konflik yang sama serius dan sama
bahayanya dengan perbedaan-perbedaan bawaan (Osman, 2012:
18). Ini adalah salah satu faktor, kenapa pendidikan
multikultural penting dilakukan.
Paham kemajemukan masyarakat adalah salah satu nilai
keislaman yang sangat tinggi, yang oleh para pengamat modern
sangat dihargai. Pluralisme inilah salah satu ajaran pokok
Islam yang amat relevan dengan zaman (Ensiklopedi Nurcholish
Madjid Jilid 3: 2702). “Pluralisme sesungguhnya adalah sebuah Aturan
Tuhan (Sunnatullâh, “Sunnatullah”) yang tidak akan berubah, sehingga tidak
dilawan atau diingkari. Islam adalah agama yang Kitab Sucinya dengan tegas
mengakui hak agama-agama lain, kecuali yang berdasarkan paganisme atau
syirik, untuk hidup dan menjalankan ajaran masing-masing dengan penuh
kesungguhan. Kemudian pengakuan akan hak agama- agama lain itu dengan
sendirinya merupakan dasar paham kemajemukan sosial-budaya dan agama”
sebagai ketetapan Tuhan yang tidak berubah-ubah.” Begitu pentingnya
memahami multikultural sebagai ajaran Islam dan merupakan
ciri masyarakat modern, maka hal ini menjadi faktor dalam
menjalankan pendidikan multikultural.
Menurut Jennifer Romanowski (2002) dalam artikel “Exploring
My Practicum Community A Critical Analysis of Multicultural Education Initiatives”
beberapa faktor kunci dalam menjalankan pendidikan
multikultural yaitu tidak adanya kebijakan secara makro
(nasional) dan mikro (daerah atau pun di institusional
sekolah) yang menghambat toleransi. Sehingga dengan kebijakan
yang pro terhadap pendidikan multikultural, sehingga iklim
sekolah akan berkembang budaya saling menghargai dan tidak
rasis.
Menarik apa yang dikatakan oleh Cox (1984: 223) berikut:
“There can be no doubt about religiously heteregenous quality of the dawningpostmodern world. Not only do we live on a spirituality multiplex globe, butnearly every continent, nation, and city itself increasing pluralistic.”
Menurut Mahfud (1999: 236-237) upaya pembanguna pendidikan
multikultural hanya dapat terwujud, jika:
1. Konsep multikulturalisme menyebar luas dan dipahami
urgensinya bagi Bangsa Indonesia yang multikultural.
Juga adanya keinginan Bangsa Indonesia pada tingkat
nasional an lokal untuk mengadopsi dan menjadikannya
pedoman kehidupan bermasyarakat.
2. Adanya kesamaan paham di antara para ahli mengenai makna
multikulturalisme bagi keidupan berbangsa dan bernegara.
3. Upaya-upaya lain yang dapat dilakukan guna mewujudkan
cita-cita pendidikan multikultural.
Kita bangsa Indonesia sering menyebut negeri ini sebagai
sebuah masyarakat majemuk (plural), disebabkan hampir semua
agama, khususnya agama-agama besar (Islam, Kristen, Hindu,
dan Buddha) terwakili di kawasan ini (Ensiklopedi NM Jilid 3:
2711). Dikarenakan agama-agama besar ada di Indonesia, maka
hal ini juga melatar belakangi untuk meminimalisir konflik
antar umat beragama dengan jalur pendidikan.
Diversitas dalam masyarakat modern bisa berupa banyak hal,
termasuk perbedaan yang secara alamiah diterima oleh individu
maupun kelompok dan yang dikonstruksikan secara bersama dan
menjadi semacam common sense. Perbedaan tersebut menurut Bikhu
Parekh bisa dikategorikan dalam tiga hal - salah satu atau
lebih dari tiga hal-, yaitu pertama perbedaan subkultur
(subculture diversity), yaitu individu atau sekelompok masyarakat
yang hidup dengan cara pandang dan kebiasaan yang berbeda
dengan komunitas besar dengan sistem nilai atau budaya pada
umumnya yang berlaku. Kedua, perbedaan dalam perpektif
(perspectival diversity), yaitu individu atau kelompok dengan
perpektif kritis terhadap mainstream nilai atau budaya mapan
yang dianut oleh mayoritas masyarakat di sekitarnya. Ketiga,
perbedaan komunalitas (communal diversity), yakni individu atau
kelompok yang hidup dengan gaya hidup yang genuine sesuai
dengan identitas komunal mereka (indigeneous people way of life)
(Bikhu Pareh dalam Najib (Taylor, 1994)
H.A.R. Tilaar menggariswahi bahwa model pendidikan yang
dibutuhkan di Indonesia harus memperhatikan enam hal, yaitu,
pertama, pendidikan multikultural haruslah berdismensi “right to
culture” dan identitas lokal. Kedua, kebudayaan Indonesia yang
menjadi, artinya kebudayaan Indonesia merupakan Weltanshauung
yang terus berproses dan merupakan bagian integral dari
proses
kebudayaan mikro. Oleh karena itu, perlu sekali untuk
mengoptimalisasikan budaya lokal yang beriringan dengan
apresiasi terhadap budaya nasional. Ketiga, pendidikan
multikultural normatif yaitu model pendidikan yang memperkuat
identitas nasional yang terus menjadi tanpa harus
menghilangkan identitas budaya lokal yang ada. Keempat,
pendidikan multikultural merupakan suatu rekonstruksi sosial,
artinya pendidikan multikultural tidak boleh terjebak pada
xenophobia, fanatisme dan fundamentalisme, baik etnik, suku,
ataupun agama. Kelima, pendidikan multikultural merupakan
pedagogik pemberdayaan (pedagogy of empowerment) dan pedagogik
kesetaraan dalam kebudayaan yang beragam (pedagogy of equity).
Pedagogik pembedayaan pertama-tama berarti, seseorang diajak
mengenal budayanya sendiri dan selanjutnya digunakan untuk
mengembangkan budaya Indonesia di dalam bingkai negara-bangsa
Indonesia. Dalam upaya tersebut diperlukan suatu pedagogik
kesetaraan antar-individu, antar suku, antar agama dan
beragam perbedaan yang ada. Keenam, pendidikan multikultural
bertujuan mewujudkan visi Indonesia masa depan serta etika
bangsa. Pendidikan ini perlu dilakukan untuk mengembangkan
prinsip-prinsip etis (moral) masyarakat Indonesia yang
dipahami oleh keseluruhan komponen sosial-budaya yang plural
(Tilaar, 2002: 185-190)
Mengenai faktor mengapa pentingnya pendidikan
multikultural, maka sangatlah penting untuk memahami
pandangan Nurcholish Madjid mengenai Kerukunan dalam Ragam
Budaya.
Usaha memahami masalah budaya tidak akan lepas dari
masalah sejarah. Sebab eksistensi budaya tentu membentang
tidak saja dalam dimensi ruang yang mendatar, tapi juga
dimensi waktu yang menyangkut masa lalu, masa kini, dan
kemungkinan masa depan dalam bentuk antisipasi atau prediksi.
Dalam membahas masalah budaya Indonesia, kita biasa
menyatakan kompleksitas persoalannya. Sebagai negara dan
bangsa keempat terbesar di muka bumi (setelah Cina, India,
dan Amerika Serikat), dengan 17.000 pulau, besar dan kecil,
yang terbentang dari Sabang sampai Merauke seperti dari
London di Inggris sampai Teheran atau lebih di Iran, argumen
kompleksitas itu kiranya dapat dibenarkan. Dan kompleksitas
itu tidak majemuknya masyarakat kita dari segikebahasaan,
adat istiadat, dan seterusnya, namun juga menyangkut masalah
tingkat kualitas perkembangan segmen-segmen masyarakat kita
sejak dari mereka yang sudah mulai memasuki “gelombang
ketiga” (third wave dalam istilah
Alvin Toffler) dengan gejala telekomunikasi dan jaringan
informasi global seperti internet, sampai kepada segmen-
segmen masyarakat kita yang bahkan memasuki gelombang pertama
(budaya agraris) pun masih belum, seperti ditunjukkan oleh
adanya saudara-saudara kita di pedalaman Sumatera,
Kalimantan, dan Irian Jaya yang belum mengenal sistem
pertanian teratur (suatu sistem yang dirintis dan
dikembangkan oleh bangsa-bangsa lembah Sungai Dajlah-Furat—
Mesopotamia—sekitar lima sampai enam ribu tahun yang lalu).
Jelas sekali, bahwa berbagai kesenjangan horizonal dan
vertikal itu sangat berpengaruh kepada masalahmasalah
kemasyarakatan nasional kita, termasuk masalah kerukunan
antarumat beragama. Kalau perubahan dan perpindahan dari satu
ke gelombang berikutnya biasanya menimbulkan krisis (seperti
dibuktikan oleh adanya perang saudara Amerika antara Utara
yang industrial— gelombang kedua, melawan Selatan yang
agraris—gelombang pertama), maka adanya spektrum tingkat
perkembangan sosial-budaya Indonesia sejak dari yang masih
berada di “pragelombang” sampai kepada yang sudah mulai
memasuki gelombang ketiga tentu akan lebihlebih lagi
menimbulkan berbagai krisis. Dan ini pun tentu mempengaruhi
dalam bidang musik, kecerdasan yang terkait dengan
lingkungan alam, kecerdasan interpersonal dan kecerdasan
intrapersonal. Jadi, jika ketrampilan saja yang
dikembangkan maka pendidikan itu jelas berorientasi
bisnis.
4. Pendidikan multikultural sebagai resistensi fanatisme
yang mengarah pada jenis kekerasan. Kekerasan muncul
ketika saluran perdamaian sudah tidak ada lagi.
C. Tujuan Pendidikan Multikultural
James A. Banks dalam bukunya yang berjudul “Multicultural
Education: Characteristics and goals” merumuskan tujuan pendidikan
multikultural sebagai berikut:
“The goal of multicultural education is an education forfreedom...multicultural education should help students to help the knowledge,attitudes, and skills to participate in a democratic and freesociety...multicultural education promotes the freedom, abilities and skills toross ethnic and cultural boundaries to participation in other cultures andgroups.”
“Tujuan pendidikan multikultural adalah pendidikan untukkebebasan. Pendidikan multikultural dimaksudkan untukmembantu para siswa dalam mengembangkan pengetahuan, sikapdan keterampilan dalam berpartisipasi dalam masyarakatyang bebas dan demokrasi. Pendidikan multikulturalmengembangkan kebebasan, kemampuan dan keterampilan dalam
menerobos batas-batas budaya dan etnis dalamberpartisipasi dengan kebudayaan dan kelompok lain.”
James menjelaskan bahwa substansi dari pendidikan
multikultural adalah pendidikan untuk kebebasan dan
penyebarluasan gerakan inklusif dengan misi untuk memperkuat
hubungan sesama dari berbagai perbedaan. Pendidikan
multikultural diharapkan akan dapat menghilangkan rasisme.
Jika dilihat dalam kondisi keindonesiaan tujuan pendidikan
multikultural semestinya dapat menghilangkan konflik
keagamaan, karena kondisi sosiologis di Indonesia lebih
memungkinkan konflik antar agama daripada konflik rasis
sebagaimana di Amerika dan Eropa.
Menurut Ainul Yaqin (2005) Tujuan pendidikan multikultural
ada dua, yakni tujuan awal dan tujuan akhir. Tujuan awal
merupakan tujuan sementara karena tujuan ini hanya berfungsi
sebagai perantara agar tujuan akhirnya tercapai dengan baik.
Pada dasarnya tujuan awal pendidikan multikultural yaitu
membangun wacana pendidikan, pengambil kebijakan dalam dunia
pendidikan dan mahasiswa jurusan ilmu pendidikan ataupun
mahasiswa umum. Harapannya adalah apabila mereka mempunyai
wacana pendidikan multikultural yang baik maka kelak mereka
tidak hanya mampu untuk menjadi transformator pendidikan
multikultural yang mampu menanamkan nilai-nilai pluralisme,
humanisme dan demokrasi secara langsung di sekolah kepada
para peserta didiknya. Sedangkan tujuan akhir pendidikan
multikultural adalah peserta didik tidak hanya mampu memahami
dan menguasai materi pelajaran yang dipelajarinya akan tetapi
diharapakan juga bahwa para peserta didik akan mempunyai
karakter yang kuat untuk selalu bersikap demokratis, pluralis
dan humanis. Karena tiga hal tersebut adalah ruh pendidikan
multikultural.
Menurut James Blank (2003) ada lima dimensi pendidikan
multikultural yang saling berkaitan, yaitu: 1)
Mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk
mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi, dan teori
dalam mata pelajaran; 2) Membawa siswa untuk memahami
implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran; 3)
Menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa
dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik; 4)
Mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan
metode pengajarannya; 5) Melatih kelompok untuk
berpartisipasi dalam berbagai kegiatan, berinteraksi dengan
seluruh siswa dan staf yang berbeda ras dan etnis untuk
menciptakan budaya akademik.
Terdapat lima tujuan pendidikan multikultural yang
dikemukakan oleh James A. Banks, yaitu:
1. Meningkatkan pemahaman diri dan konsep diri secara baik.
2. Meningkatkan kepekaan dalam memahami orang lain,
termasuk terhadap berbagai kelompok budaya di negaranya
sendiri atau pun negara lain.
3. Meningkatkan kemampuan untuk merasakan dan memahami
kemajemukan, interpretasi kebangsaan dan budaya yang
kadang-kadang bertentangan menyangkut sebuah peristiwa,
nilai dan perilaku.
4. Membuka pikiran ketika merespon isu.
5. Memahami latar belakang munculnya pandangan stereotipe
dan menghargai semua orang.
Paradigma pendidikan multikultural diharapkan dapat
menghapus stereotipe, sikap dan pandangan egoistik,
individualistik dan ekslusif di kalangan peserta didik
(Zubaedi, 2005: 71). Melalui pendidikan multikultural
diharapkan seseorang akan menyadari bahwa keberadaannya tidak
bisa terlepas dari keberadaan yang lain (liyan) yang meliputi
pluralitas ras, etnis, agama, budaya dan pandangan politik.
melalui pendidikan multikultural maka akan diharapkan peserta
didik dapat mengidentifikasi dirinya dan lingkungannya.
D. Penelitian Pendidikan Multikultural
Berbicara pendidikan multikultural aspeknya sangat luas,
maka penelitian-penelitian mengenai pendidikan multikultural
bisa meliputi permasalahan kebebasan beragama, konflik
sosial, konflik antar etnik dan antar agama, kasus-kasus
intoleran, serta bagaimana permasalahan multikultural
dijalankan di dunia pendidikan secara makro dan di dalam
proses pendidikan secara mikro. Hal ini menjadi kajian para
pegiat pendidikan multikultural.Berikut adalah penelitian-
penelitian yang berkenaan dengan pendidikan multikultural.
Mahfud (237) mengatakan bahwa kajian mengenai
multikulturalisme meliputi berbagai permasalahan, antara satu
masalah dengan masalah yang lain tidak bisa dipisahkan. Hal
ini diantaranya adalah tentang politik dan demokrasi,
keadilan dan penegakkan hukum, kesempatan kerja dan berusaha,
HAM, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-
prinsip etika dan moral.
Sebuah penelitian terbaru (tahun 2015) dilakukan oleh
Komisi nasional Hak Azazi Manusia (KOMNAS HAM) tahun 2015
terhadap kasus pembakaran mesjid pada Hari Raya Idul Fitri
tahun 2015 di Tolikara. Berdasarkan penelitian (investigasi)
yang dilakukan oleh KOMNAS HAM bahwa ditemukan: 1) Kasus
pembakaran mesjid yang dilakukan di Tolikara dilakukan
setelah pembubaran Sholat Ied pada saat rakaat pertama di
takbir ketujuh; 2) Pelangaran Ham Pasal 2 Undang-undang Ham,
yaitu pelanggaran terhadap hak hidup adanya 12 orang
masyarakat Tolikara yg tertembak, satu meninggal, 11
mengalami luka tembak. 3) Pelaggaran Ham ini ternyata seperti
mendapat dukungan oleh Pemerintah Daerah, yaitu adanya
Peraturan Daerah yang diskriminatif mengenai tidak bolehnya
agama lain beraktivitas di Tolikara. Beberapa poin dari Perda
tersebut adalah: tidak boleh berjilbab di depan publik,
mesjid tidak boleh menggunakan pengeras suara, dan tidak
persaingan ekonomi, penghinaan agama, dan sikap anti cina
yang menjadi sikap gerakan Sarekat Islam. Terdapat corak yang
sama ketika konflik sosial di udus tahun 1918 pada tahun
1912, s
Prinsip yang menjadi gerakan Sarekat Islam tersebut terbaa
ketika Sarekat Islam didirikan di Kudus , sehingga mulai
muncul kesadraan nasionalisme, rasa harga diri, dan menolak
diskriminasi atau pembatasan-pembatasan yang dirasakan kaum
pribumi. Sikap seperti ini smakin kokoh, begitu juga
sebaliknya, kelompok kalangan orang Cina juga mengalami
radikalisasi dan persatuan yang kokoh, hingga kedua kelompok
ini salngi berhadap-hadapan, hingga terjadinya konflik
sosial.
Beberapa poin pening yang dapat dipelajari dari penelitian
sejarah konflik tersebut adalah bahwa konflik sosial yang
terjadi dari masa lalu tidak jauh-jauh dari permasalahan
diskriminasi, akses sumber daya alam, suku, hak ekonomi,
pandangan agama dan perbedaan agama. Hingga saat ini pola-
pola konflik sebagaimana yang pernah terjad di Kudus pada
tahun 1918 masih sering terjadi.
BAB II
PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM PERSPEKTIF AGAMA
A.Konsep Islam tentang Pendidikan Multikultural
Dalam ayat-ayat Al-Qur’an berikut yang disertai dengan
penafsirannya, maka akan dapat dilihat bagaimana Islam
memandang multikultural atau kemajemukan.
49. dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamumengingat kebesaran Allah (Adz Dzariyat:49)
Apa pun hubungannya, yang jelas ayat-ayat di atas bagaikan
menyatakan: Dan langit Kami bangun, yakni ciptakan dengan "tangan-
tangan': yakni kuasa dan kekuatan Kami Yang Mahadahsyat atau
berdasar nikmat Kami yang melimpah dan sesungguhnya Kami benar-benar
Mahaluas dalam kekuasaan Kami tanpa ada sesuatu pun yang
menghalangi-Nya. Dan bumi tempat hunian manusia itu Kami hamparkan;
maka sebaik-baik yang Penghampar adalah Kami. Dan segala sesuatu, baik
makhluk hidup maupun mati, telah Kami ciptakan berpasang-pasangan- agar
mereka saling melengkapi-supaya kamu mengingat bahwa hanya Allah
Yang Maha Esa dan hanya Dia Yang Mahakuasa (Shihab, 2009: 100).
36. Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya,baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupundari apa yang tidak mereka ketahui (Yaasin: 36)
Quraish Shihab (2009: 149-150) menafsirkan bahwa ayat di
atas menyucikan Allah dari segala sifat buruk atau kekurangan
yang disandangkan kepada-Nya. Betapa tidak, Allah yang mereka
durhakai itu adalah Dia yang antara lain menciptakan segala
tumbuhan dan menumbuhkan buah-buahan dengan cara menciptakan
pasangan bagi masingmasing. Dengan tujuan itu, ayat di atas
menyatakan: Mahasuci Dia dari segala kekurangan dan sifat
buruk. Dia-lah Tuhan Ytwg telah menciptakan pasanganpasangan
semuanya, pasangan yang berfungsi sebagai pejantan dan
betina,baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi, seperti kurma dan
anggur, dan demikian juga dari diri mereka sebagai manusia, di
mana mereka terdiri dari lelaki dan perempuan, dan demikian
pula dari apa yang tidak atau belum mereka ketahui, baik makhluk
hidup maupun benda tak bernyawa. Semen tara ulama membatasi
makna kata ( [..')jl ) azwajlpasangan pada ayat ini hanya pada
makhluk hidup saja. Tim penulis Tafiir al-Muntakhab, misalnya,
menulis bahwa: "Kata 'min'dalam ayat ini berfungsi sebagai
penjelas. Yakni, bahwa Allah telah 'menciptakan pejantan dan
betina pada semua makhluk ciptaan-Nya, baik berupa tumbuh-
tumbuhan, hewan, manusia maupun makhluk hidup lainnya yang
tak kasat mata dan belum diketahui manusia."
Pendapat ini tidak sejalan dengan makna kebahasaan, maksud
sekian banyak ayat al-Qur' an serta kenyataan ilmiah yang
ditemukan dewasa ini. Dari segi bahasa, kata ( [..')jI )
azwaj adalah bentuk jamak dari kata ( [..)j ) zauj, yakni
pasangan. Kata ini-menurut pakar bahasa al-Qur' an, ar-Raghib
al-Ashfahani-digunakan umuk masing-masing dari dua hal yang
berdampingan (bersamaan), baik jantan maupun betina, binatang
(termasuk binatang berakal, yakni manusia), dan juga
digunakan menunjuk kedua yang berpasangan itu. Dia juga
digunakan menunjuk hal yang sama bagi selain binatang seperti
alas kaki. Selanjutnya, ar-Raghib menegaskan bahwa
keberpasangan tersebut bisa akibat kesamaan dan bisa juga
karena bertolak belakang. !tu dari segi bahasa. Ayat-ayat al-
Qur'an pun menggunakan kata tersebut dalam pengertian umum,
bukan hanya untuk makhluk hidup. Allah berfirman: "Dan segala
sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat
(kebesaranAllah)" (QS. adz-Dzariyat [51 ]: 49). Dari sini,
adamalam ada siang, ada senang ada susah, ada atas ada bawah,
demikian seterusnya. Semua-selama dia makhluk-memiliki
pasangan. Hanya sang Khalik, Allah swt. yang tidak ada
pasangan-Nya, tidak ada pula sama-Nya. Dari segi ilmiah
terbukti bahwa listrik pun berpasangan, ada arus positif dan
ada juga arus negatif, demikian juga atom, yang tadinya
diduga merupakan wujud yang terkecil dan tidak dapat terbagi,
ternyata ia pun berpasangan. Atom terdiri dari elektron dan
proton.
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telahmenciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya[263] Allahmenciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepadaAllah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling memintasatu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. SesungguhnyaAllah selalu menjaga dan mengawasi kamu (An-Nisaa’:1)
Menurut jumhur mufassirin ialah dari bagian tubuh (tulang
rusuk) Adam a.s. berdasarkan hadis riwayat Bukhari dan
Muslim. di samping itu ada pula yang menafsirkan dari padanya
ialah dari unsur yang serupa Yakni tanah yang dari padanya
Adam a.s. diciptakan. Menurut kebiasaan orang Arab, apabila
mereka menanyakan sesuatu atau memintanya kepada orang lain
mereka mengucapkan nama Allah seperti :As aluka billah
artinya saya bertanya atau meminta kepadamu dengan nama
Allah.
Islam pada esensinya memandang kemanusiaan secara sangat
positif dan optimis. Meurut Islam, manusia berasal dari satu
asal yang sama; keturunan dam dan Hawa. Meski berasal dari
nenek moyang yang sama, tetapi kemudian manusia menjadi
bersuku-suku, berkaum-kaum, atau berbangsa-bangsa lengkap
dengan kebudayaannya masing-masing (Azra, 1999: 32).
Dalam pandangan Islam, bukanlah karena warna kulti dan
bangsa, tetapi hanyalah tergantung pada tingkat ketakwaan
masing-masing, sebagaimana digambarkan dalam Q.S. al-
Hujurat/49: 13.
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-lakidan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa danbersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orangyang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwadiantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”(Q.S. al-Hujurat/49: 13)
Setelah memberi petunjuk tata krarna pergaulan dengan
sesarna muslim, ayat di atas beralih kepada uraian tentang
prinsip dasar hubungan antarmanusia. Karena itu, ayat di atas
tidak lagi menggunakan panggilan yang ditujukan kepada orang-
orang beriman, tetapi kepada jenis man usia. Allah berfirman:
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-Iaki dan
seorang perempuan, yakni Adam dan Hawwa', atau dari sperma
(benih laki-Iaki) dan ovum (in dung telur perempuan), serta
menjadikan kamu berbangsa-bangsa juga bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal yang mengantar kamu untuk bantu-membantu serta
saling melengkapi, sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi
Allah ialah yang paling bertakwa di an tara kamu. SesungguhnyaAllah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal sehingga tidak ada sesuatu pun yang
tersembunyi bagi-Nya, walau detak detik jan tung dan niat
seseorang.
Penggalan pertama ayat di atas sesungguhnya Kami menciptakan
kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan adalah pengantar
untuk menegaskan bahwa semua manusia derajat kemanusiaannya
sarna di sisi Allah, tidak ada perbedaan antara satu suku dan
yang lain. Tidak ada juga perbedaan pada nilai kemanusiaan
antara laki-Iaki dan perempuan karena semua diciptakan dari
seorang laki-Iaki dan seorang perempuan. Pengantar tersebut
mengantar pada kesimpulan yang disebut oleh penggalan
terakhir ayat ini yakni "Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu
di sisi Allah ialah yang paling Karena itu, berusahalah untuk
meningkatkan ketakwaan agar menjadi yang termulia di sisi
Allah.
Diriwayatkan oleh Abu Daud bahwa ayat ini turun berkenaan
dengan Abu Hind yang pekerjaan sehari-harinya adalah
pembekam. Nabi meminta kepada Bani Bayadhah agar menikahkan
salah seorang putri mereka dengan Abu Hind, tetapi mereka
enggan dengan alasan tidak wajar mereka menikahkan putri
mereka dengannya yang merupakan salah seorang bekas budak
mereka. Sikap keliru ini dikecarn oleh al-Qur' an dengan
menegaskan bahwa kemuliaan di sisi Allah bukan karena
kerurunan at au garis kebangsawanan tetapi karena ketakwaan.
Ada juga riwayat yang menyatakan bahwa Us aid Ibn Abi aI-Ish
berkomentar ketika mendengar Bilal mengumandangkan azan di
Ka'bah bahwa: "Alb.amdulilldh, ayahku wafat sebelum melihat
kejadian ini. " Ada lagi yang berkomentar: "Apakah Muhammad
tidak menemukan selain burung gagak ini untuk beradzan?" Apa
pun sabab nuzul-nya, yang jelas ayat di atas menegaskan kesatuan
asal usul manusia dengan menunjukkan kesamaan derajat
kemanusiaan manusia. Tidak wajar seseorang berbangga dan
merasa diri lebih tinggi daripada yang lain, bukan saja
antara satu bangsa, suku, atau warna kulit dan selainnya,
tetapi antara jenis kelamin mereka. Karena kalaulah
seandainya ada yang berkata bahwa Hawwa', yang perempuan itu,
bersumber daripada tulang
rusukAdam, sedangAdam adalah laki-laki, dan sumber sesuatu
lebih tinggi derajatnya dari cabangnya, sekali lagi
seandainya ada yang berkata demikian itu hanya khusus
terhadap Adam dan Hawwa', tidak terhadap semua manusia karena
manusia selain mereka berdua- kecuali elsa as.- lahir akibat
percampuran laki-laki dan perempuan.
Dalam konteks ini, sewaktu haji wada' (perpisahan), Nabi
saw. Berpesan antara lain: "Wahai seluruh manusia,
sesungguhnya Tuhan kamu Esa, ayah kamu satu, tiada kelebihan
orang Arab atas non Arab, tidak juga non Arab atas orang
Arab, atau orang (berkulit) hitam atas yang (berkulit) merah
(yakni putih) tidak juga sebaliknya kecuali dengan takwa,
sesungguhnya semuliamulia kamu di sisi Allah adalah yang
paling bertakwa." (HR. al-Baihaqi melalui Jabir Ibn Kata (y
syu'ub adalah bentuk jamak dari kata sya'b. Kata ini digunakan
untuk menunjuk kumpulan dari sekianqabilah yang biasa
diterjemahkan suku yang merujuk kepada satu kakek. Qabilahlsuku
pun terdiri dari sekian banyak kelompok keluarga yang dinamai
'imarah, dan yang ini terdiri lagi dari sekian banyak kelompok
yang dinamai bathn. Di bawah bathn ada sekian (W) Jakhdz hingga
akhirnya sampai pada himpunan keluarga yang terkecil.
Terlihat dari penggunaan kata sya'b bahwa ia bukan menunjuk
kepada pengertian bangsa sebagaimana dipahami dewasa ini.
Memang, paham kebangsaan-sebagaimana dikenal dewasa ini-
pertama kali muncul dan berkembang di Eropa pada abad XVIII M
dan baru dikenal umat Islam sejak masuknya Napoleon ke Mesir
akhir abadXVIII itu. Namun, ini bukan berarti bahwa paham
kebangsaan dalam pengertian modern tidak disetujui oleh al-
Qur' an. Bukan di sini tempatnya menguraikan hal itu.
Rujuklah antara lain buku penulis -wawasan al-Quran untuk
memahami persoalan ini. Kata (Ij)w) ta'draft terambil dari kata
(J..f') 'araJa yang berarti mengenal. Patron kata yang digunakan ayat
ini mengandung makna timbal balik. Dengan demikian, ia
berarti saling mengesemakin kuat pengenalan satu pihak kepada
selainnya, semakin terbuka peluang untuk saling memberi
manfaat. Karena itu, ayat di atas menekankan perlunya saling
mengenal. Perkenalan itu dibutuhkan untuk saling menarik
pelajaran dan pengalarnan pihak lain guna meningkatkan
ketakwaan kepada Allah swt. yang darnpaknya tecerrnin pada
kedarnaian dan kesejahteraan hidup duniawi dan kebahagiaan
ukhrawi. Anda tidak dapat menarik pelajaran, tidak dapat
saling melengkapi dan menarik manfaat, bahkan tidak dapat
bekerja sarna tanpa saling mengenal. Saling mengenal yang
digarisbawahi oleh ayat di atas adalah "pancing" nya bukan
"ikan" nya. Yang ditekankan adalah caranya bukan manfaatnya
karena, seperti kata orang, memberi "pancing" jauh lebih baik
daripada memberi "ikan".
Demikian juga halnya dengan pengenalan terhadap alam raya.
Semakin banyak pengenalan terhadapnya, semakin banyak pula
rahasia-rahasianya yang
terungkap, dan ini pada gilirannya melahirkan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta menciptakan kesejahteraan
lahir dan batin, dunia dan akhirat. Dari sini pula sejak dini
al-Qur' an menggarisbawahi bahwa: "Sungguh manusia berlaku
sewenang-wenang bila ia merasa tidak butuh" (QS. al-'Alaq [96]: 6-7).
Salah satu darnpak ketidakbutuhan itu adalah keengganan
menjalin hubungan, keengganan saling mengenal dan ini pada
gilirannya melahirkan bencana dan perusakan di dunia. Kata
( .J'i ) akramakum terarnbil dari kata ( .J' ) karuma yang
pada dasarnya berarti yang baik dan istimewa sesuai objeknya. Manusia
yang baik dan istimewa adalah yang memiliki akhlak yang baik
terhadap Allah dan terhadap sesama makhluk. Manusia memiliki
kecenderungan untuk mencari bahkan bersaing dan berlomba
menjadi yang terbaik. Banyak sekali manusia yang menduga
bahwa kepemilikan materi, kecantikan, serta kedudukan sosial
karena kekuasaan atau garis keturunan merupakan kemuliaan
yang harus dimiliki dan karena itu banyak yang berusaha
memilikinya. Tetapi, bila diarnaci, apa yang dianggap
keistimewaan dan sumber kemuliaan itu sifatnya sangat
sementara bahkan tidak jarang mengantar pemiliknya kepada
kebinasaan (Shihab, 2012: 615-618, Jilid 12).
Menurut Azra (1999: 32) Surat al-Hujurat ayat 13 tersebut
menjadi dasar perspektif Islam tentang “kesatuan umat
manusia” (universal humanity), yang pada gilirannya akan
mendorong berkembangnya solidaritas antar manusia (ukhuwah
insaniyah atau ukhuwah basyariyah).
Syahrin Harahap (2011: 156) menjelaskan bahwa dalam
perspektif Islam terdapat dua jurusan, yaitu:
1. Multikulturalisme komunitas Muslim (multikulturalisme
internal). Multikulturalisme internal adalah kesadaran
dan kesediaan menerima keanekaragaman internal
dikalangan ummat Islam. Kemajemukan internal ini
meliputi: pengelompokan sosial, bidang fiqih, teologi,
dan idang tasawuf.
2. Multikulturalisme antara Muslim dan komunitas agama-
agama lain (multikulturalsime eksternal).
Multikulturalisme eksternal ditandai dengan pluralitas
komunal agama, merupakan fakta yang tidak dihindari
dalam kehidupan masyarakat Muslim.
Jika melihat pendidikan multikultural dalam konsep
Pendidikan Agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam
mnyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati
hingga mengimani, bertaqwa, dan berakhlaq mulia dalam
mengamalkan ajaran agama Islam dari sumber utamanya kitab
suci Alqur’an dan Hadits, melalui kegiatan bimbingan
pengajaran, latihan, serta penggunaan pengalaman. Bersamaan
dengan tuntunan untuk menghormati penganut agama lain dalam
hubungannya dengan kerukunan antar umat beragama dalam
masyarakat hingga terwujud kesatuan dan persatuan bangsa
(Listia, 2007: 16)
Perbedaan dalam Sejarah Islam
Dalam sejarah Islam banyak terjadi perselisihan, dan
bahkan konflik yang sebenarnya dapat dijadikan pelajaran
bagaimana perbedaan itu mengancam umat dan bagaimana pula
mengatasi perbedaan yang berdampak buruk.
Osman (2012: 38) menjelaskan bahwa perbedaan pandangan di
kalangan Muslim pada masa awal, bahkan pada masa hidup Nabi,
dan setiap pandangan didengarkan dengan cukup adil. Ketika
Nabi wafat, pertemuan publik diadakan untuk mendiskusikan
siapa yang akan menggantikan beliau sebagai kepala negara.
Perbedaan-perbedaan muncul dalam pertemuan itu, tidak hanya
antar-individu, melainkan juga antar kelompok, seperti
kelompok pendatang dari Makkah, kelompok pendukung dari
Madinah dan beberapa keluarga Nabi dan pengikut setianya.
Setiap kelompok menginginkan agar kepala negara baru itu
berasal dari kelompok mereka sendiri. Peristiwa ini menjadi
sebab paling awal munculnya kelompok-kelompok dan partai-
partai politik dalam sejarah Islam, kendati tidak semua faksi
ini terus ada. al-Qur’an mengisyaratkan bahwa tugas menyeru
orang kepada kebaikan, menyuruh perbuatan baik, dan mencegah
perbuatan jahat dapat dilaksanakan oleh sebuah kelompok. Hak
untuk berhimpun dan berkumpul, baik yang bersifat sementara
atau tetap, adalah penting sekali guna memungkinkan setiap
pandangan didengar dan menjadikan pandangan tersebut mampu
bersaing dengan pandangan lain serta mampu bertahan.
Para khalifah pada masa awal menghadapi berbagai macam
oposisi dari perseorangan maupun kelompok, spontan maupun
terorganisasi, damai maupun militan. Khalifah pertama Abu
Bakar mendorong munculnya oposisi ketika dia memutuskan untuk
menggunakan kekuatan terhadap suku-suku yang menolak untuk
membayar zakat untuk kesejahteraan sosial setelah wafatnya
Nabi. Dia memandang hal itu sebagai suatu tindakan perlawanan
ter-hadap pemerintah pusat yang tidak dapat ditoleransi.
Tindakan Abu Bakar itu berbeda dengan Umar ibn al-Khattab,
sahabat Nabi, yang tatkala menjadi khalifah dan usulan-
usulannya ditentang oleh beberapa sahabat Nabi, Umar ibn al-
Khattab harus mempertahankan pandangannya melalui musyawarah
di hadapan kumpulan para sahabat terkemuka dan bahkan publik
(Osman,2012: 39)
Gagasannya memperkenalkan pajak tanah (kharaj), misalnya,
sangat ditentang karena banyak pihak yang berpikir bahwa
zakat semestinya menjadi satu-satunya pajak yang dikumpulkan
oleh penguasa Islam. Khalifah harus mempertahankan argumennya
serta meyakinkan sepuluh hakim terkemuka.15 Penggantinya,
Khalifah Usman, menghadapi oposisi dari sahabat Nabi
terkemuka, seperti Abdullah ibn Mas’ud, ketika dia memutuskan
bahwa sebuah versi al-Qur’an yang telah diverifikasi harus
digunakan oleh seluruh umat Islam, sehingga kesalahan-
kesalahan lisan ataupun tulisan dapat dihindari.
Semua oposisi yang dihadapi oleh para khalifah pada masa
awal ini tercatat, dan tidak ada usaha baik oleh pihak
penguasa maupun para sejarawan untuk menutupinya, kendati
oposisi itu kemudian berubah menjadi kekerasan, seperti
misalnya contoh perdebatan yang berakhir dengan pembunuhan
Khalifah Usman.
Penerus Usman, keponakan Nabi, Khalifah Ali ibn Abi Thalib,
menghadapi oposisi yang keras di sejumlah medan. Ketika dia
ditekan oleh banyak pendukungnya untuk menerima arbitrase
antara dirinya dan sang penentang, Muawiyah ibn Abi sufyan,
Gubernur Syria, beberapa pendukung lainnya terbelah dan
memberontak melawannya. Mereka berkumpul di dalam masjid di
mana sang khalifah sedang berbicara, dan memotong
pembicaraannya dengan berteriak, “tidak ada hukum yang meng-
atur kecuali hukum Allah.” Khalifah Ali menanggapi bahwa apa
yang mereka katakan adalah benar, tetapi mereka menggunakan
kata-kata mereka untuk maksud yang keliru. Namun demikian,
oposisi mereka tidaklah menghilangkan hak-hak mereka.
Masjid-masjid selalu terbuka untuk pertemuan mereka, apa pun
oposisi yang mungkin mereka ekspresikan, dan Khalifah tidak
pernah memperkenankan penggunaan kekerasan terhadap mereka.
Hak mereka atas pendapatan publik akan selalu dilindungi
sepanjang mereka memenuhi kewajiban publik mereka.16 Ini
merupakan pernyataan perintis mengenai hak-hak oposisi di
dalam negara Islam. Ironisnya, pemberontak garis keras
(khawârij) mendominasi dan salah seorang dari mereka yang hak
oposisi damainya telah dijamin Khalifah membunuh sang
Khalifah pada saat beliau dalam perjalanan menuju masjid!
Bagaimana pun pentingnya prinsip syura dalam hukum publik
Islam, orang-orang Arab Muslim—dengan struktur kesukuan dan
pengalaman sosial budaya mereka—tidak mampu mengembangkan
suatu mekanisme untuk mempertahankan penegakan prinsip syura
tersebut melalui lembaga-lembaga tertentu. Hal itu dibiarkan
bergantung pada niat baik pemimpin, serta kesadaran,
inisiatif dan keberanian dari pihak yang dipimpin. Dengan
tidak adanya pondasi yang kuat dalam bentuk suatu lembaga,
tindakan mengekspresikan secara terbuka pandangan melawan
para penguasa yang menindas dapat berisiko. Individu-individu
bahkan dapat kehilangan nyawa mereka melawan kekuasaan
pemerintah, dan kekerasan dapat berkembang menjadi kekacauan
yang mengakibatkan luka fisik dan moral yang lama membekas di
berbagai pihak. Karena itu, setelah sistem syura sempat hidup
dalam periode singkat di Madinah pada masa kekuasaan para
khalifah, yang kemudian muncul adalah dinasti- dinasti
berdasarkan garis keturunan yang didirikan oleh Bani Umayyah
dan Bani Abbasiyah, serta dinasti-dinasti otonom atau yang
memisahkan diri dari kekhalifahan. Wilayah-wilayah yang
tersisa untuk ruang perbedaan pendapat adalah teologi dan
fikih, karena di sana pendapat-pendapat dapat diungkapkan
secara damai di tengah komunitas pendengar yang terbatas,
khususnya para mahasiswa. Pandangan-pandangan teologis yang
dapat mem-bangkitkan militansi adalah pandangan-pandangan
teologis Syiah, orang-orang yang meyakini hak keturunan Ali
untuk berkuasa melalui generasi penerus mereka dan para
pengikut pemberontak yang melawan kalifah tersebut, yang
menentang kekuasaan yang mapan (khawarij). Kebanyakan kaum
Syiah menjadi pasif setelah berkali-kali kalah, khususnya
setelah raibnya Imam ke-12 mereka, sedangkan faksi Khawarij
tidak dapat bertahan. Hak untuk memiliki dan mengungkapkan
pandangan yang berbeda dan hak berkumpul untuk menyokongnya
hampir-hampir dilupakan, sampai kemudian dihidupkan kembali
pada masa zaman modern oleh para pemikir seperti Jamaluddin
al- Afghani (w. 1897) dan Muhammad Abduh (w. 1905). Betapa
pun itu adalah sebuah prinsip penting untuk mempertahankan
pluralisme di semua jalan hidup manusia. Kecuali jika
pendapat-pendapat yang berbeda itu itu diberikan kesempatan
yang sama untuk diungkapkan, serta dimungkinkan untuk
mengumpulkan dukungan melalui sebuah mekanisme yang sah dan
lembaga yang terorganisasi secara baik, bagaimana mungkin
manfaat dari pendapat-pendapat yang berbeda itu dapat dinilai
dan diputuskan secara adil?
Islam Memaklumi Perbedaan Pendapat
Dalam ajaran Islam perbedaan merupakan hal biasa, bahkan
dalam sejarah intelektual Islam justru perbedaan pendapat
tersebutlah yang justru memperkaya khasanah dan memajukan
peradaban Islam. Maka dala Islam tidaklah aneh jika terjadi
perbedaan penafsiran, perbedaan rujukan, dan bahkan perbedaan
mazhab yang berdampak pada perbedaan praktik ibadah.
Konsep perbedaan pendapat yang dikemukakan oleh Mohamed
Fathi Osman (2012: 38-39) menjelaskan bahwa perbedaan justru
tidak bisa dihindarkan dalam mencari islam. Menurut Osman
bahwa Al-Qur’an mensyaratkan dilaksanakannya diskusi umum,
saling tukar pandangan serta musyawarah yang serius mengenai
masalah-masalah publik sebelum suatu keputusan dapat dicapai
(3:159; 42:38). Perbedaan pendapat, bahkan perdebatan
sekalipun, diharapkan (4:59). Kaum Muslim harus berargumen
dengan cara yang paling baik (16:125), secara logis dan etis,
dan yang menjadi kerangka acuan mereka hendaknya adalah
nilai-nilai dan prinsip-prinsip al-Qur’an dan Sunnah.
Musyawarah dan mufakat antara suami-istri hendaknya melandasi
pengaturan urusan keluarga (2:233), dalam rangka
mengembangkan budaya dan tradisi di dalam keseluruhan
masyarakat. Anak-anak harus selalu dinasihati dan dilatih
oleh kedua orang tua mereka untuk mengungkapkan pandangan-
pandangannya tentang apa yang baik dan seharusnya diikuti,
serta apa yang buruk dan seharusnya ditolak (31:17).
Menyatakan pendapat merupakan tugas moral dan terkadang tugas
hukum, bukan sekadar sebuah hak (misalnya, 2:283; 3:110).
Dalam iklim kebebasan berpendapat dan berekspresi, perbedaan-
perbedaan merupakan hal yang tidak dapat dielakkan. Akan
tetapi, perbedaan-perbedaan harus ditangani secara konseptual
dan etis, tidak diabaikan atau ditekan. Pada akhirnya, suatu
keputusan hendaknya dicapai dan dilaksanakan secara bersama
dan tegas (3:159).
Ualasan Osman (2012) mengenai biasanya perbedaan pendapat
dalam Islam, tentunya akan berimplikasi pada munculnya
keragaman dalam memaknai teks, kebudayaan, nilai, yang juga
dapat dilihat dalam praktik kehidupan manusia.
B. Konsep Kristen dan Katholik tentang Pendidikan
Multikultural
Dalam Deklarasi Konsili Vatikan II tentang sikap, Gereja
terhadap, agama-agama lain didasarkan pada asal kisah rasul-
rasul 17 : 26 sebagai berikut:
“Adapun segala bangsa itu merupakan satu masyarakat dan asalnya punsatu juga, karena Tuhan menjadikan seluruh bangsa ma¬nusia untukmenghuni seluruh bumi." Selanjutnya termaktub: "Dalam zamankita ini, di mana bangsa, manusia makin hari makin erat bersatu, hubunganantara bangsa menjadi kokoh, gereja lebih seksama mempertimbangkanbagaimana hubungannya dengan agama-agama Kristen lain. Karenatugasnya memelihara persatuan dan perdamaian di antara manusia danjuga di antara para bangsa, maka di dalam deklarasi ini gerejamempertimbangkan secara istimewa apakah kesamaan manusia dan apayang menarik mereka untuk berkawan.”
Apa yang dinyatakan dalam Deklarasi tersebut, didsarkan
atas ajaran Katolik kasihanilah Tuhan Allahmu dengan segenap
hatimu dan segenap jiwamu dan dengan segenap, hal budimu dan
dengan segenap kekuatanmu dan kasihanilah sesama manusia
seperti dirimu sendiri.
“the Church also has a high regard for the Muslims, who woship one God,living and subsistent, merciful and omnipotent, the Creator of heaven andearth....as a result of their monotheism, believers in Allah are particuarly closeto us.
Some of the most beautiful names in the human language are given to God ofthe Koran, but He is ultimately a God outside of the world, a God who is onlymajesty, never emmanuel, God with us. Islam is not a religion of redemption.There is no room for the Cross and the Resurrection, jesus is mentioned, butonly as a prophet who prepares for the last prophet, Mohammad. There isalso mention of Mary, His Virgin Mother, nut the tragedy of redemption iscompletely absent. For this reason not only the theology but also theanthropology of Islam is very distant from Christianity.” (Pope John PaulII, 1994: 91, 92-223)
Sedangkan dalam ajaran Kristen Protestan menganjurkan
agar antar sesama umat manusia selalu hidup rukun dan
harmonis. Agama Protestan beranggapan bahwa aspek kerukunan
hidup beragama dapat diwujudkan melalui Hukum Kasih yang
merupakan norma dan pedoman hidup yang terdapat dalam Al
Kitab. Hukum Kasih tersebut adalah mengasihi Allah dan
mengasihi sesama manusia.
Seorang Teolog Katolik dan juga seorang Filosuf, Frans
Magnis Suseno (2004) mengatakan mengenai pluralsime,
”meskipun saya tidak meyakini iman-kepercayaan Anda, meskipun iman Anda
bukan kebenaran bagi saya, saya sepenuhnya menerima keberadaan Anda. Saya
gembira bahwa Anda ada, saya bersedia belajar dari Anda, saya bersedia bekerja
sama dengan Anda.”
Jika dilihat dalam Pendidikan Agama Kristen pendidikan
adalah usaha yang dilakukan secara terencana dan kontinyu
dalam rangka mengembangkan kemampuan pada siswa agar dengan
pertolongan Roh Kudus dapat memahami dan menghayati kasih
Allah di dalam Yesus Kristus yang dinyatakannya dalam
kehidupan sehari-hari, terhadap sesama dan lingkungan
hidupnya. Dengan demikian tiap orang yang terlibat dalam
proses pembelajaran PAK memiliki keterpaggilan untuk
mewujudkan tanda-tanda Kerajaan Allah dalam kehidupan pribadi
maupun sebagai komunitas (Listia, 2007: 16).
Sedangkan dalam Pendidikan Agama Katholik bahwa pendidikan
merupakan usaha yang terencana dan berkesinambungan dalam
rangka mengembagkan kemampuan pada siswa untuk memperteguh
iman dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan
agama Katolik, dengan tetap memperhatikan penghormatan
terhadap agama lain dalam hubungan kerukunan antar umat
beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional
(Listia, 2007: 16).
C. Konsep Hindu tentang Pendidikan Multikultural
Kutipan berikut akan dapat mengantarkan non-Hindu untuk
memahami multikultural dalam Hindu.
“Bahkan sekarang, jika seseorang tahu “Aku adalah brahman” dengan cara ini,dia menjadi seluruh dunia ini. Bahkan, para dewa tidak mampu mencegahnya,sebab dia menjadi diri mereka sendiri (atman). Jadi, ketika seorang manusiamenghormati dewa lain, berpikir,”Dia adalah yang satu, dan aku adalah yanglain,”dia tidak mengerti.”
Pernyataan ini dikutip dari buku karya Karen
Amstrong ,”Masa Depan Tuhan: Sanggahan terhadap Fundamentalisme dan
Ateisme” yang dikutip (2009: 77) Amstrong dari Patanjali, “Yoga
Sutra.” Kutipan ini mencerminkan bahwa kedirian sebenarnya
membutuhkan diri yang lain. Hal ini senada dengan apa yang
menjadi filosofi Mahatma Gandhi, Bapak Bangsa India “Tat Twan
Asi-Tat Twan Asi” yang artinya “aku adalah kamu, kamu adalah aku”
kesatuan dan kemanusiaan ini pernah menjadi inspirasi
Soekarno dalam prosesnya mensintesiskan Pancasila, sebagai
rumusan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam agama Hindu disebut dengan Catur Purusa Artha, yang
mencakup Dharma, Artha, Kama, dan Moksha. Dharma berarti
susila atau berbudi luhur, dengan Dharma seseorang dapat
mencapai kesempurnaan hidup, baik untuk diri sendiri,
keluarga, dan masyarakat. Artha, berarti kekayaan dapat
memberikan kenikmatan dan kepuasan hidup. Mencari harta
didasarkan pada Dharma. Kama berarti kenikmatan dan
kepuasan. Kama pun harus diperoleh berdasarkan Dharma.
Moskha berarti kebahagiaan abadi, yakni terlepasnya atman
dari lingkaran samsara. Moskha merupakan tujuan akhir dari
agama Hindu yang setiap saat selalu dicari sampai berhasil.
Upaya mencari Moskha juga mesti berdasarkan Dharma. Keempat
dasar inilah yang merupakan titik tolak terbinanya kerukunan
antarumat beragama. Keempat dasar tersebut dapat memberikan
sikap hormat-menghormati dan harga menghargai keberadaan umat
beragama lain. Tidak saling mencurigai dan saling
menyalahkan.
Aplikasi pendidikan multikultural dalam Pendidikan Agama
Hindu adalah bahwa pendidikan merupakan upaya sadara dan
terencana, menyiapkan peserta didik dalam mengenal, memahami,
menghayati, hingga mengimani, bertakwa dan berakhlak mulia
dalam mengamalkan ajaran agama Hindu dari sumber utamanya
kitab suci: Sruti, Smerti, Sila, Acara dan Atmanastusti
(Listia, 2007: 16-17)
D. Konsep Budha tentang Pendidikan Multikultural
Mengenai keragaman dan kerukunan dalam agama Budha
terdapat pandangan: 1) hidup adalah suatu penderitaan
(dukha): 2) penderitaan disebabkan karena keinginan yang
rendah (samudaya); 3) apabila keniginan renda dapat
dihilangkan maka penderitaan akan berakhir; 4) jakan untuk
menghlangkan keinginan rendah adalah dengan melaksanakan
delapan jalan utama (Kepercayaan yang benar, Niat/pikiran
yang benar; Ucapan yang benar; Perbuatan yang benar;
Kesadaran yang benar; Mata pencaharian/usaha yang benar; Daya
upaya yang benar; Semadhi/pemusatan pikiran yang benar. Budha
Gautama mengajarkan: 1) keyakinan kepada Tuha Yang Maha Esa
tidak dapat ditembus oleh pikiran manusia; 2) Metta berarti
belas kasih terhadap sesama mahluk; 3) Karunia, kasih sayang
terhadap sesama mahluk; 4) Mudita, perasaan turut bahagia
dengan kebahagia terhadap mahluk lain dan mengalami
penderitaan melihat penderitaan orang lain; 5) Karama
(reinkarnasi) hukum sebab akibat.
Dalam Pendidikan Agama Budha bahwa pendidikan adlah usaha
sadar yang dilakukan secara terencana dan kontinyu dalam
rangka mengembangkan kemampuan peserta didik agar dengan
pengalaman terhadap Budha Dharma yang diperoleh dari
Pendidikan Agama Budha di sekolah dapat diterapkan dan
diwujudkan dalam perilaku sehari-hari, sehingga memberikan
manfaat bagi dirinya sendiri.
Setelah menguraikan konsep-konsep multikultural dalam
pandangan agama dan pendidikan agama yang ada di Indonesia,
maka apa yang disampaikan oleh Zubaedi (2005: 73) berikut
harusnya dapat diaplikasikan, sehingga pendidikan
multikultural tidak terhenti dalam wacana.
“Toleransi harus dididikkan, tidak cukup berhenti pada wacana. Keputusanmajelis ulama, keputusan konsili, kesepakatan sidang dewan gereja-gerejasedunia, dan kesepakatan hasil pertemuan tokoh agama yang menganjurkantoleransi tidak akan cukup efektif bila hanya berhenti di alas kertas dan bibir,tanpa dukungan pendidikan dalam arti luas.”
Menurut Zubaedi (2005: 73) konsekwensi dari keinginan
pemerintah terhadap pemahaman multikultural, maka
konsekwensinya adalah agar pendidikan dan pengajaran harus
memperkokoh pluralisme dan menentang adanya rasisme,
diskriminasi gender dan bentuk-bentuk lain dari intoleransi
dan dominasi sosial. Maka dalam konteks pendidikan
multikultural maka harus ada perubahan kurikulum, model
pembelajaran, suasana sekolah, kegiatan ekstra kurikuler, dan
peranan guru yang mengarahkan kepada misi multikultural.
BAB III
KOMPONEN KOMPONEN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
A. Gender
Isu jender merupakan isu yang merambah dalam berbagai
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya di
Indonesia pada era reformasi. Jender lebih sering berjalan
bersama perjuangan feminisme, dimana kaum perempuan menuntut
keadilan dan kesama rataan dengan peran laki-laki. Sebelum
isu jender digemakan posisi kaum perempuan sangatlah lemah.
Sehingga tidaklah salah seperti apa yang diungkapkan oleh
Alvin J. Schmidt (1989: Xiii) dalam “Veiled and Silenced: How
Culture Shaped Sexist Theology, berikut “kebanyakan laki-laki pernah
mendengar, atau bahkan mungkin percaya, bahwa wanita “lebih rendah” atau
“tidak sederajat” dengan laki-laki.” Amina Wadud (1999: 41) dalam
bukunya “Qur’an Menurut Perempuan: Meluruskan Bias Gender dalam Tradisi
Tafsir” menentang prasangka yang merendahkan kaum perempuan
tersebut.
Kesadaran akan adanya ketidakadilan terhadap perempuan
sudah lama terjadi dan sudah ada perjuangan, hanya saja pada
masa itu belum ada istilah feminisme (Overholt, 1985: 122).
Istilah feminisme mulai disosialisasikan oleh majalan Century
pada musim. semi tahun 1914, meski sejak 1910-an kata
feminisme (yang berakar darai kata bahasa Prancis) sudah
sering dipergunakan (Demartoto, 2007: 40).
Kata feminisme yang berasal dari bahasa Prancis “feministe”,
digunakan pertama kali di Prancis tahun 1880-an unntuk
menyatakan perjuangan kaum perempuan yang pertama di Prancis.
Sejak itulah feminisme tersebar di seluruh Eropa sampai AS,
melalui New York 1906. Gerakan feminisme di New York diwarnai
dengan tuntutan kaum perempuan sebagai warga negara, hak
perempuan di bidang sosial, politik, dan ekonomi (Demartoto,
2007: 40). Selanjutnya Demartoto mengatakan perjuangan
feminisme abad 19 ditandai dengan perjuangan menuntut hak
politik dan hukum, khususnya hak memilih, hak mendapat upah,
dan hak atas hukum lainnya.
Feminisme abad 20, perjuangannya berkembang dan merambah
bidang ekonomi. Pemogokan buruh perempuan dari industri
pakaian, mewarnai gerakan feminisme. Pemogokan buruh
perempuan dari industri pakaian. Pada tahun 1906 terjadi
pemogokan buruh perempuan secara besar-besaran di New York.
Mereka menuntut persamaan upah. Sejak peristiwa demonstarasi
besar ini kemudian uncul organisasi-organisasi yang
memperjuangkan gender dengan ideologi feminisme.
Perjuangan gender ari kaum feminisme ini menginginkan
adanya kejelasan relasi yang setara antara perempuan dan
laki-laki. Aspek terpenting dalam pemahan istilah ini adalah
kesetaraan, fairness. Baik laki-laki maupun perempuan
memiliki persamaan dan perbedaan yang alamiah dan berdasarkan
kebudayaan. Budaya memberikan peran gender kepada laki-laki
dan perempuan (Demartoto, 2007: 40)
Filosuf penulis buku “Deschooling Society”, Ivan Illich (1982)
dalam bukunya “Gender” menolak diskriminasi gender. Bagi
Illich setiap perbedaan memiliki fungsi sinergisitas yang
dapat saling mengisi, justru perbedaan tersebut menjadi
penting dalam menjalankan fungsionalnya.
“Karena laki-laki dan wanita terpisah, maka gender punterjalin secara berbeda salam setiap budaya dan waktu.Mereka dapat menguasai wilayah masing-masing dan jarangberhubungan, atau mereka dapat dijalin seperti untaiankata alam Book of Kells. Terkadang tidak ada keranjang yangdapat dianyam, tidak ada api yang dapat dinyalakan, tanpakolaborasi dua pasang tangan. Setiap budaya menyatukangender dengan caranya sendiri.”
Sedangkan menurut sayyid Qutb (1980) Al-Qur’an tidak
berusaha meniadakan perbedaan antara laki-laki dan wanita
atau menghapuskan nilai fungsional dari perbedaan gender yang
membantu agar setiap msyarakat dapat berjalan dengan lancar
dan dapat memahami kebutuhannya. Sesungguhnya, hubungan
fungsional yang harmonis dan saling mendukung antara laki-
laki dan wanita dapat dipahami sebagai bagian dari tujuan Al-
Qur’an dalam masyarakat. Amina Wadud (2001: 44) menambahkan
tabsir tersebut bahwa Al-Qur’an tidak menganjurkan atau
mendukung peran tunggal atau definisi tunggal dari
seperangkat peran, semata-mata, untuk masing-msing gender di
seluruh budaya.
Sementara menurut Errington (1990) bahwa di sebagian Asia
Tenggara laki-laki dan perempuan dipandang sebagai mahluk
yang sama yaitu mahluk yang memiliki jiwa dan fungsi yang
sama yaitu mahluk yang memiliki jiwa dan fungsi angat mirip
atau setara.
Sebuah penelitian “How gender makes a difference in Wana Society”
yang dilakukan oleh Payne (1991), bahwa dibanyak negara maju
menunjukkan akses dan kontrol terhadap sumber daya eluarga
bahkan dalam kasus sumber daya itu diakumulasi bersama,
terdistribusi secara tidak setara. Beberapa contoh
dikemukakan oleh Payne dalam kajiannya bahwa mobil rumah yang
dimiliki keluarga sebagian besar atas nama suaminya.
Apa yang dikemukakan Payne (1991) tersebut juga
dsampaikan oleh Davidson (1993),”...meskipun perempuan merupakan
setengah dari populasi dunia, dan spertiga dari tenaga kerja resmi, mereka
hanya menerima satu persen dari pendapatan dunia serta memiliki kurang dari
satu persen kekayaan dunia.”
Lebih ekstrim lagi dalam menyampaikan diskriminasi yang
dialami oleh kaum perempuan, Hubies menulis sebagai
berikut,”Pekerjaan domestik perempuan dari generasi ke generasi tidak
pernah diperhitungkan sebagai aset bernilai ekonomis. Keadaan ini berjalan
tanpa protes karena dianggap merupakan kewajiban budaya. Secara tidak
sengaja perempuan yang bekerja mengurus keluarga nyaris dilihat sebagai
orang “tidak bekerja” dan dilegalisasi dalam kosa kata bukan angkatan kerja.”
Fakta-fakta mengenai diskriminasi gender tersebut terjadi
dikarenakan masih kurangnya kesadaran akan perjuangan gender.
Olehkarena itu perspektif gender sangatlah penting masuk
dalam materi atau perspektif dalam menjalankan pendidikan
multikultural.
Dalam konteks Indonesia sebenarnya, kedudukan perempuan di
Indonesia secara formal cukup kuat sebab banyak ketentuan
dalam berbagai undang-undang serta peraturan lain yang
memberi perlindungan yuridis pada kaum perempuan (Budiarjo,
2010: 257). Budiarjo menjelaskan bahwa Indonesia juga telah
meratifikasi dua perjanjian, yaitu Perjanjian mengenai Hak
Politik Perempuan (Convention on the Ppolitical Rights of
Women) dan Perjanjian mengenai Penghapusan Diskriminasi
terhadap Perempuan (Convention on the Political Elimination
of All Forms of Discrimination against Women, CEDAW).
Kemudian pada tahun 1993, Indonesia telah menerima Deklarasi
Eina yang sangat mendukung kedudukan perempuan. Begitu juga
dalam Undang-undan Pemilu Tahun 2004 juga telah memberikan
kesempatan agar perempuan dipertimbangkan menduduki 30% kursi
wakil rakyat. DPR juga telah menghapuskan tindak kekerasan
dalam rumah tangga dengan mengesahkan undang-undang yang pro
pada perempuan yaitu Undang-undang No.23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), dan juga
Undang-undang No.12 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang (PTPPO).
Jika dilihat pemetaan akomodisasi dari pejuangan gender di
Indonesia, dapat dilihat dalam tabel berikut.
1. 1945: Undang-Undang dasar 1945, Pasal 27
2. 1958: Undang-Undang No. 68 Tahun 1958, Konvensi Hak
Politik Perempuan
3. 1984: Undang-Undang No.7 tahun 1984, Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Wanita (CEDAW)
4. 1966/1976: Kovenan Hak Sipil dan Politik dan Kovenan Hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya, Pasal 3 (belum diratifikasi
Indonesia)
5. 1993: Deklarasi Wina, Pasal 1/18
6. 1998: S.K. Presiden No.81, Komisi Nasional Anti
Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan)
didirikan
7. 2002: Protocol dari CEDAW ditandatangani
8. 2003: Undang-Undang No. 12, Pemilihan Umum, Pasal 65
(Budiarjo,2010: 261).
Jika dilihat akomodir kaum kepentinga dalam tabel
tersebut dapatlah dilihat bahwa di Indonesia telah
memperhatikan apa yang diperjuangkan kaum feminisme dengan
gerakan kesetaraan gender. Walau pun dalam berbagai asus
masih terdapat kepentingan wanita yang diperjuangkan.
Misalnya kriminalisasi dalam Undang-undang Anti Pornografi
Pendekatan gender merupakan aktivitas pendidikan
multikultural dengan penyadaran kepada peserta didik untuk
tidak diskriminatif terhadap perbedaan jenis kelamin. Karena
sebenarnya jenis kelamin bukanlah hal yang menghalangi
seseorang untuk mencapai kesuksesan. Dengan pendekatan ini,
segala bentuk konstruksi sosial yang ada di sekolah yang
menyatakan bahwa perempuan berada di bawah laki-laki bisa
dihilangkan. Pendekatan gender sangat memungkinkan bagi
terciptanya kesadaran multikultural di dalam pendidikan dan
kebudayaan. Dan tentu saja, tidak menutup kemungkinan
berbagai pendekatan yang lainnya, selain enam yang disebutkan
tadi di atas, sangat mungkin untuk diterapkan.
Francois Marie Charles Fourier (1772-1837), seorang filsuf
dan intelektual asal Prancis merupakan seorang intelektual
yang sangat berpengaruh. Julia Suryakusuma (2014: 59) dalam
“Merancang Arah Baru Demokrasi” mengatakan bahwa istilah feminisme
ditemukan oleh Fourier. Fourier pernah meunulis:
“The change in a historical epoch can always be determinedby the progress of women towards freedom, because in therelation of woman to man, of the weak to the strong, thevictory of human nature over brutality is most evident.The degree of emancipation of women is the natural measureof general emancipation.”
“Perubahan dalam suatu zaman selalu dapat diukur darikemajuan yang telah dicapai perempuan, karena di dalamhubungan laki-laki dan perempuan, yang lemah dengan yang
kuat, kemenangan atas alam manusia di atas biadab, itulahukuran yang paling nyata. Derajat emansipasi perempuanmerupakan ukuran paling wajar emansipasi masyarakat secarakeseluruhan.”
Kutipan dari pemikir pejuang kesetaraan jender, Fourier
tersebut dapat memberikan gambaran bahwa perjuangan
kemanusiaan, perjuangan mewujudakan peradaban manusia yang
egaliteria, humanis dan menghargai perbedaan kultural hanya
akan dapat terwujud dengan keterlibatan kaum perempuan.
B. Suku
Al-Qur’an menyatakan bahwa pluralisme ras dan etnis harus
diakui, dan kelompok-kelompok ras dan etnis yang bermacam-
macam itui harus saling mengenal dengan baik (30:22; 49:13),
Dengan kelahiran negara nasional Indonsia, satu-satuan
komunitas politik pra-Indonesia –yang dalam perspektif
primordialis dan perenialis, bisa dilukiskan telah membentuk
aneka bangsa tersendiri-diturunkan posisinya menjadi “suku
bangsa” (Lahif, 2011: 369). Dalam bahasa Soekarno suku adalah
“Suku itu dalam bahasa Jawa artinya sikil, kaki. Jadi Bangsa Indonesia banyak
kakinya...ada kaki Jawa, kaki Sunda, kaki Sumatera, kaki Irian, kaki Dayak, kaki
Bali, kaki Sumba, kaki Peranakan Tionghoa...kaki daripada satu tubuh, tubuh
bangsa Indonesia!”
Kelompok etnik (suku bangsa)merupakan golongan sosial yang
dibedakan dari golongan-golongan sosia lainnya, karena
mempunyai ciri-ciri yang paling mendasar dan umum berkaitan
dengan asal-usul, tempat, serta budayanya (Takari, 2008: 41).
Selanjutnya Takari menjelaskan bahwa kelompok etnik adalah
segolongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan
identitasnya yang diperkuat oleh kesamaan bahasa, kesamaan
dalam kesenian, adat istiadat, dan nenek moyang yang
merupakan ciri-ciri sebuah kelompok etnik. Jika ras lebih
dilihat dari perbedaan fisik, maka etnik lebih dilihat dari
perbedaan kebudayaan dalam arti yang luas. Satu ras dapat
terdiri dar berbagai macam kelompok etnik yang berbeda.
Menurut Takari (2008: 42) dalam sebuah kelompok etnik bisa
saja terjadi diferensiasi sosial. Sebuah kelompok etnik
terbentuk dari sejumlah orang yang menghendaki hidup bersama,
dalam waktu yang lama, dan di suatu tempat yang sama. Mereka
mengadakan interaksi yang tetap, memiliki sistem nilai, norma
dan kebudayaan yang mengikat mereka menjadi satu kesatuan.
Dengan adanya kesamaan yang mereka miliki mereka menjadi satu
kesatuan dalam masyarakat.
Rasa kesukuan yang berlebihan dapat melahirkan
ketidakharmonisan di dalam kehidupan bangsa yang pluralistis
(Tilaar, 2012: 937). Dalam pendidikan multikultural tidak
ada pengelompokan-pengelompokan komunitas yang mengagungkan
nilai-nilai kelompok sendiri, tetapi yang dikenal adalah
nilai-nilai budaya dari komunitas suku lain (Tilaar, 2012:
937). Menurut Tilaar di dalam pendidikan multikultural tidak
ada pengagungan dan fundamentalisme sosial budaya, dan
kesukuan.
Pendidikan multikultural mengalami kesulitan, yaitu di satu
sisi pendidikan multikultural harus memperdalam rasa
identitas kesukuan yang kemudian secara terbuka mengenal dan
mngerti nilai-nilai sosial budaya dan agama dari suku lain
(Tilaar, 2012: 937). Pada tahap berikutnya adalah penghargaan
yang sama terhaap sistem nilai dari setiap suku,mengetahui
dan menghargai kelebihan-kelebihannya, serta membatasi diri
dari kemungkinan bentrok dari sistem nilai yang berbeda yang
dianut oleh suku lain.
Melalui penidikan multikultural, maka akan sangat
bermanfaat menjadi media untuk saling memahami di antara
ratusan suku berbeda yang ada di Indonesia sehingga akan
memahami adanya pluralitas dalam satu Indonesia.
C. Agama
Durkheim (1965) mendefinisikan agama sebagai sebuah sistem
budaya yang biasanya berisikan keyakinan dan ritual-ritual
yang menyediakan ultimasi makna dan tujuan yang membuat
sebuah realitas yang sakral yang semuanya menekankan pada
supernatural. Giddens (1996; 534) memaparkan tiga elemen
kunci dari definisi Durkheim tersebut: 1) Agama sebagai
bentuk budaya; 2) Agama meliputi keyakinan yang berbentuk
praktik ritual; 3) Agama merupakan sebuah tujuan. Sementra
Russel (2010) mengatakan bahwa agama merupakan sebuah
fenomena kompleks antara individu dan aspek sosial.
Giddens (1996) memandang bahwa dalam masyarakat
tradisional agama memainkan peran penting dalam kehidupan
sosial sehingga relegiusitas termanifestasi dalam budaya
masyarakat seperti: musik, lukisan, tarian, dan sastra.
Daniel Dhakidae (2012) “Fathi Osman Meninggalkan Relung-Relung
Hampa Tanpa Analisis Kekuasaan” mengatakan Agama baru berarti bagi
seseorang kalau orang itu mengatakan bahwa agama tertentu
baik untuk dirinya, masyarakatnya, dan kebudayaannya, dan
dengan itu memberikan makna bagi hidupnya sendiri dan
kehidupan sosial lainnya. Agama-agama selalu berfungsi
semacam ini, karena agama dalam arti yang sangat luas tidak
lain daripada suatu referensi hidup yang paling awal, boleh
dikatakan “primitif,” untuk masyarakat manapun di dunia ini.
Ketika lahir, seorang dimasukkan ke dalam suatu masyarakat
tertentu, dan dengan demikian sudah berhadapan dengan agama
yang mengatur ritusnya sejak lahir, sejak memotong urat pusar
utama, mencukur rambut, memberi nama, dan kelak menguasai
sebagian besar kalender kehidupan sampai kematiannya.
Sedemikian detailnya peran agama dalam kehidupan manusia,
sebagaimana dikemukakan Dhakidae.
Seorang Pendeta yang juga merupakan seorang Filsuf asal
Jerman, pernah mengatakan, “There is no peace in the world, without
peace among the nations, there is no peace among the nations without peace
among the religions, and there is no peace among the religions without
investigating the teachings of the religions.” Pernyataan Hans Kung yang
sangat sering dipakai sebagai dalil dialog antar agama
tersebut jika diartikan, “Tidak ada perdamaian di dunia,
tanpa adanya perdamaian antar bangsa-bangsa, Tidak ada
perdamaian antar bangsa tanpa adanya perdamaian antar agama-
agama, dan tidak ada perdamaian antara agama-agama tanpa
adanya mempelajari ajaran-ajaran dari agama-agama.”
Menurut Komarudin Hidayat yang berusaha menjelaskan
pluralisme dalam cara pandang filsafat perennial adalah
kepercayaan bahwa Kebenaran Mutlak (The Truth) hanyalah satu,
tidak terbagi, tetapi dari Yang Satu ini memancar berbagai
“kebenaran” (truths). Sederhananya, Allah itu satu, tetapi
masing-masing agama meresponinya dan membahasakannya secara
berbeda-beda, maka muncullah banyak agama. Hakekat dari semua
agama adalah sama, hanya tampilan luarnya yang berbeda. Dalam
perkembangannya pandangan pluralisme agama ini banyak
mendapatkan kritik, namun bagi para pegiat dialog antar agama
sering dijadikan wacana untuk menciptakan diskursus-diskursus
mengenai kerukunan umat beragama.
“ Islam accords to these two religions (Judaism andChristianity) special status. First, each of them is thereligion of God. Their founders on earth-Abraham, Moses,Davis, Jesus- are the prophets of God. What they haveconveyed the Torah, the Psams, the vangels-are revelationsrom God. To believe in these prophets, in the revelationsthey have brought, is integral to the vary faith of Islam.To dibelieve them-nay, to discriminate between them-isapostasy.” (al-Faruqi, 1986: 191)
Menurut Nurcholis Madjid karena iman berkaitan dengan
kemanusiaan, dab dalam konteks ini adalah paham kesejajaran
di antara sesama manusia-sudah merupakan hal yang logis, jika
iman juga harus berkaitan dengan paham kemajemukan sebagai
kelanjutannya. Bahkan tentang paham kemajemukan ini menurut
Nurcholish, dalam Al-Qur’an terdapat petunjuk yang dengan
tegas menekankan bahwa kemajemukan adalah takdir Allah.
Olehkarena itu, yang diharapkan dari setiap umat beragama:
menerima kemajemukan itu sebagaimana adanya, kemudian
menumbuhkan sikap bersama yang sehat, menggunakan segi-segi
kelebihan masing-masing, untuk secara maksimal saling
mendorong usaha mewujudkan berbagai kebaikan (al-khayrat)
dalam masyarakat. Sementara segala persoalan perbedaan,
seperti perbedaan antar agama diserahkan saja kepada Tuhan
semata (dalam Rahman,2011:198)
Menurut Cak Nur, dalam garis besarnya Al-Quran itu adalah
“pesan keagamaan” yang harus selalu dirujuk dalam kehidupan
keagamaan seorang Muslim. Seluruh isi Al-Quran—bahkan semua
Kitab Suci yang pernah diturunkan kepada nabi-nabi—pada
dasarnya merupakan “pesan keagamaan” itu. Pandangan ini
mengacu kepada sebuah hadis Nabi, yang sering dikutipnya, al-
dîn nashîhah, “agama itu adalah nasihat”—agama adalah sebuah pesan,
demikian Nurcholish Madjid memandang agama. Budhy Munawar
Rachman (2011:52) menjelaskan bahwa apa yang dimaksud pesan
oleh Nurcholish di atas adalah bahwa manusia harus menegakkan
keadilan.
Seringnya agama menjadi sumber konflik, membuat banyak
para sarjana yang mempertanyakan peran agama dalam
masyarakat, seperti yang dipertanyakan oleh Bertrand Russel
“Apa sumbangan agama terhadap peradaban agama?”. Berbeda
dengan pandangan Russel, Nurcholish Madjid (dalam Ensiklopedi
NM, Jilid 3, 2012: 2415) memiliki optimisme terhadap peranan
agama bagi peradaban. “Agama adalah sistem kepercayaan, dan agama
besar memiliki dimensi moral yang besar untuk menopang peradaban yang
besar.”
Argumentasi Nurcholish Madjid bahwa peradaban-peradaban
besar umat manusia, sebagaimana dilambangkan dalam berbagai
bangunan monumental peninggalan masa silam, selalu
berdasarkan, atau setidaknya berkaitan, dengan suatu agama.
Agama menentukan corak budaya, yang pada urutannya akan
menentukan corak komunitas kemasyarakatan, kemudian
perpolitikan, ekonomi, dan akhirnya, teknologi.
Sedangkan Charles Kimbal (2003) dalam bukunya “Kala Agama
jadi Bencana” mengkritik keras umat beragama yang menjadikan
agama sebagai alasan untuk saling membunuh dan merupakan
sumber konflik dalam sejarah umat manusia. Kimbal memberi
contoh konflik seperti Peran Sali antara Islam dan Kristen,
konflik Arab dan Israel, konflik sektarian antara Syi’an dan
Sunni, dan konflik antara Katolik dan Kristen. Kritik lebih
radikal lagi disampaikan oleh A.N. Wilson dalam bukunya,
“Against Religion: Why We Should Try to Live Without it (Melawan Agama:
Mengapa Kita Harus Mencoba Hidup Tanpa Dia). Berikut
kutipannya yang menentang agama.
“Dalam Alkitab (Bibel) dikatakan bahwa cinta uang adalahakar segala kejahatan. Mungkin lebih benar lagi kalaudikatakan bahwa cinta Tuhan adalah akar segala kejahatan.Agama adalah tragedi umat manusia. Ia mengajak kepada yangpaling luhur, paling murni, paling tinggi dalam jiwamanusia, namun hampir tidak ada sebuah agama yang tidakikut bertanggung jawab atas berbagai peperangan, tirani,dan penindasan kebenaran. Marx menggambarkan agama sebagaicandu rakyat; tetapi agama jauh lebih berbahaya daripadacandu. Agama tidak membuat orang tertidur. Agama mendorongorang untuk menganiaya sesamanya, untuk mengagungkanperasaan dan pendapat mereka sendiri atas perasaan danpendapat orang lain, untuk mengklaim bagi diri merekasendiri sebagai pemilik kebenaran.”
Pada tataran teologis, agama menawarkan nilai-nilai luhur
yang berpihak pada manusia dan kemanusiaan, seperti persoalan
keadilan, moralitas, perdamaian dan keselamatan. Bahkan salah
satu fungsi terpenting agama menurut Quraish Shihab adalah
menciptakan rasa aman sejahtera bagi pemeluknya, sehingga
terlihat adanya keterkaitan antara “iman” dengan aman, rasa
aman itu sendiri diperoleh karena adanya kesesuaian antara
sikap manusia dengan petunjuk Tuhan.
Konflik agama muncul ketika wahyu Tuhan yang mutlak
absolut sampai pada tataran kognisi manuisa, yang merupakan
produk nalar manusia mengandung nilai relativitas, dianggap
pemeluknya sama mutlak absolutnya dengan wahyu Tuhan (Amich
Alhumami, 1993:4). Sebab, ketika wahyu Tuhan dijadikan
manusia sebagai pedoaman pola kelakuannya, wahyu itu telah
hilang sifat a-historis dan absolusitasnya, karena telah diubah
manusia menjadi bagian dari kehidupannya sebagai sebuah
sistem kebudayaan melalui interpretasi manusia (Abdul Munir
Mulkhan, 1993:4).
Dalam sejarah hubungan antar umat beragama di Indonesia,
tercatat bahwa bibit perselisihan antar umat beragama ini
terletak pada bidang garapan misi atau masalah penyebaran
agama. Persaingan dalam penyebaran agama ini terjadi sejak
kedatangan kolonialisme Portugis dan Belanda yang membawa
missi untuk menyebarkan agama Kristen (Sumartana, 1991)
Osman (2012: 20) menjelaskan bahwa umat manusia dapat
menyelesaikan konflik agama dengan terus mendiskusikan
perbedaan-perbedaan mereka dengan cara yang masuk akal, dan
tetap mengakui ke-majemukan mereka. Dalam perkara-perkara
duniawi, mereka dapat mengatasi perbedaan-perbedaan mereka
dengan mencapai mayoritas untuk suatu pandangan tertentu.
Namun, dalam perkara agama, kebebasan beragama harus dijamin
untuk setiap manusia. Dialog antar-iman dapat diarahkan untuk
mencapai pengertian yang lebih baik mengenai “pihak lain”,
dan menghindari pe-maksaan keyakinan yang menyakiti atau
tidak adil terhadap pihak lain. Al-Qur’an mengajarkan bahwadialog semacam ini harus dilakukan dengan cara yang paling
konstruktif baik dari segi metode maupun moral (16:125; 29:46).
Hendaknya tidak ada kelompok yang menggunakan argumennya
berdasarkan premis bahwa argumennya adalah satu-satunya yang
mewakili kebenaran secara keseluruhan: “Dan sesungguhnya kami atau
kalian pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata.
Katakanlah: ‘Kalian tidak akan ditanya tentang dosa yang mungkin telah kami
perbuat, dan kami tidak akan ditanya tentang apapun yang kalian perbuat’.
Katakanlah: ‘Tuhan kita akan mengumpulkan kita semua, kemudian Dia
menyingkapkan kebenaran di antara kita dengan adil’ (34:24-26).”
D. Sosial
Persatuan Indonesia dalam kerangka civic-political nationalism
mensyaratkan loyalitas warga pada seperangkat cita-cita
politik. olehkarena itu formasi kebangsaan dalam kerangka
menghadapi musuh bersama maka perlu diwujudkan apa yang
dicita-citakan ketika mendirikan Negara Indonesia yaitu
menegakkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat
Indonesia.
“satu untuk semua, semua untuk satu” demikian prinsip-
prinsip sosialisme yang menjadi dasar adanya Sila Keadilan
Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Melalui prinsip
kesamarataan ini Soekarno memimpikan bahwa di Indonesia tidak
akan ada kaum tertindas dan tidak ada yang papa sengsara
seolah-olah tidak ada negara. Berikut penjelasan Soekarno
mengenai prinsip sosisal di Indonesia.
“Nasionalisme masyarakat, sosio nasionalisme, bukanlahnasionalisme “ngelamun”, tetapi ialah nasionalisme yangdengan dua-dua kakinya berdiri dalam masyarakat. Memang,maksudnya sosio-nasionalisme ialah memperbaiki keadaan-keadaan di dalam masyarakat itu, sehingga keadaan yang kinipincang it menjadi keadaan yan sempurna, tidak ada kaumyang tertindas, tidak ada kaum yang cilaka, tidak ada kaumyang papa-sengsara.”
Apa hubungan konsep sosio nasionalisme Soekarno tersebut
dengan pendidikan multikultural? Berbicara pendidikan multi
kultural tidak semata hanya perbedaan etnis, agam, dan
budaya. Merupakan sebuah fakta sebagaimana yang ditampilkan
dalam sub penelitian pendidikan multikultural di buku ini
bahwa konflik-konflik yang mengatasnamakan agama, tidak
jarang dibaliknya ada motif ekonomi dan adanya motif
kecemburuan sosial karena adanya kepincangan dalam pembagian
sumber daya dan perekonomian. Olehkarena itu dalam mewujudkan
pendidikan multikultural, tugas utama pemerintah adalah
mewujudkan Sila Keadilan Sosial terlebih dahulu. Sehingga
dalam kondisi masyarakat yang sejahtera maka akan dapat
pememinimalisir konflik dan akan lebih terbuka terhadap
keragaman. Tanpa adanya keadilan sosial, maka diskursus
mengenai multikulturalisme, pluralisme yang inging
diinternalisasikan melalui pendidikan multikultural akan
sangat sulit untuk mencapai hasil yang memuaskan.
Sila Keadilan Sosial merupakan perwujudan yang paling
kongkrit dari- prinsip-prinsip Pancasila. Satu-satunya sila
Pancasila yang dilukiskan dalam Pembukaan UUD 1945 dengan
menggunakan kata kerja “mewujudkan suatu keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia” (Latif, 2011: 606). Menurut Yudi
Latif bahwa dengan mewujudkan keadilan sosial tersebut berati
Indonesia telah menjalankan moral ketuhanan, landasan pokok
Sila Keadilan Sosial jangan hanya ungkapan atau konsep belaka
untuk memberangus ketertindasan dan kemiskinan, kata Yudi
Laif (2011: 608),”Dengan pemenuhan imperatif moral sila keadilan sosial,
diharapkan jeritan panjang rakyat Indonesia untuk keluar dari belenggu
kemiskinan dan penderitaan bisa menemukan impian kebahagiaannya:’gemah
ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja’, sebuah negeri yang berlimpah
kebajikan dengan rdhla Tuhan.”
Pendidikan multikultural jangan terjebak permasalahan
keragaman budaya saja. Tetapi juga harus mengupas dan
menjelaskan berbagai permasalahan sosial di masyarakat.
Menurut Tilaar (2012:485) pendidikan yang yatberbasis
multikulturalisme harus melihat ketmpangan-ketimpangan di
dalam kehidupan masyarakat. Karena adanya struktural ras yang
secara sadar atau tidak, mempengaruhi kehidupan
bermasyarakat. Permasalahan sosial seperti kemiskinan membuat
segregasi dan stratifikasi sosial dan budaya, sehingga adanya
kelompok yang mendominasi dan ada kelompok sosial masyarakat
yang dimarjinalisasi.
Pendidikan multi kultural merupakan sebuah rekonstruksi
sosial. Dikatakan sebagai rekonstruksi sosial yaitu
pendidikan multikultural merupakan upaya untuk melihat
kembali kehidupan sosial yang ada di Indonesia.
Menurut Soekanto (2003:365) kepincangan dan permasalahan
sosial sangat tergantung kepada sistem nilai sosial
masyarakat tersebut. Namun secara umum permasalahan sosial
yang terjadi di Indonesia saat ini, yaitu:
1. Kemiskinan
Kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan dimana
seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri
sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tiak
mampu memanfaatkan mental maupun fisiknya dalam kelompok
tersebut. Kemiskinan akan dianggap permasalahan sosial
apabila perbedaan kedudukan ekonomis para warga
masyarakat ditentukan secara tegas.
2. Kejahatan
Dalam ilmu osiologi bahwa kejahatan disebabkan karena
kondisi-kondisi dan proses-proses perilaku-perilaku
sosial lainnya. Tindak kejahatan sangat terpengaruh oleh
kondisi dan proses seperti: gerak sosial, persaingan
serta pertentangan kebudayaan, ideologi politik, agama,
ekonomi, dan seterusnya.
3. Disorganisasi keluarga
Disorganisasi keluarga adalah perpecahan keluarga
sebagai suatu unit, karena anggota-anggotanya gagal
memenuhi kewajiban-kewajibannya yang sesuai dengan
peranan sosialnya. Secara sosiologis, bentuk
disorganisasi keluarga yaitu: perceraian, krisis
keluarga dan sebagainya seperti perpisahan tempat tidur.
4. Masalah generasi muda dalam masyarakat modern
Masalah generasi muda pada umumnya ditandai oleh duua
ciri berlawanan, yakni, keinginan untuk melawan dan
sikap yang apatis. Masa muda dipandang sebagai masa yang
berbahaya karena pada masa inilah mereka meninggalkan
masa kehidupan anak-anak untuk mencapai tahap
kedewasaan. Pada masa inilah generasi muda membutuhkan
bimbingan terutama dari orangtua.
5. Peperangan
Peperangan merupakan masalah sosial yang paling sulit
untuk diselesaikan sepanjang sejarah kehidupan manusia.
Masalah perang berbeda dengan masalah sosial lainnya
karena menyangkut beberapa masalah sekaligus, sehingga
membutuhkan kerjasama internasional. Dalam ilmu
Sosiologi peperangan sebagai suatu gejala yang
disebabkan oleh berbagai faktor. Peperangan menyebabkan
disorganisasi dalam berbagai aspek kemasyarakatan, baik
bagi negara yang keluar sebagai pemenang, apalagi bagi
negara yang mengalami kekalahan.
6. Pelanggaran terhadap norma-norma masyarakat
Pelanggaran norma masyarakat seperti pelacuran,
alkoholism, homoseksualitas, lebian, dan berbagai
permasalahan sosial lainnya merupakan permasalahan yang
sulit dielesaikan di tengah masyarakat modern. Jika
perilaku sosial yang menyimpang ini semakinmeluas maka
akan dapat mengakibatkan dampak negati dalam kehidupan
masyarakat.
7. Masalah kependudukan
Penduduk suatu negara pada dasarnya merupakan sumber
yang sangat penting bagi pembangunan, sebab penduduk
merupakan subyek serta obyek pembangunan. Negara
bertanggungjawab terhadap kesejahteraan penduduknya,
namun di tengah semakin meledaknya jumlah penduduk
membuat negara mengalami kesulitan dalam mensejahterakan
rakyatnya. Olehkarena itu negara berkeinginan mengatur
jumlah penduduk.
8. Masalah lingkungan hidup
Pencemaran akan terjadi apabila di dalam lingkungan
hidup manusia, baik yang bersifat fiisik, biologis
maupun sosial, terdapat suatu bahan yang merugikan
eksistensi manusia. Pencemaran lingkungan terjadi karena
aktivitas manusia misalnya dalam pertanian,
pertambangan, dan transportasi.
9. Birokrasi
Pengertian birokrasi menunjuk pada suatu organisasi yang
dimaksudkan untuk mengerahkan tenaga dengan teratur dan
terus menerus, untuk mencapai suatu tujua tertentu.
Dengan kata lain birokrasi adalah organisisasi yang
berbentuk hirarkis, yang ditetapkan secara rasional
untuk mengkoordinasi pekerjaan orang-orang untuk
kepentingan pelaksanaan tugas admnistratif. Dampak dari
birokrasi ini adalah adanya aturan yang ketat sehingga
sering menghilangkan penyelesaian substatntif akan suatu
masalah yang seharusnya dapat diselesaikan secara cepat.
Berbicara permasalahan sosial berarti juga membicarakan
keadilan sosial. Menurut Frans Magnis Suseno (2008: 31)
keadilan sosial merupakan bottom line harkat etis sebuah negara.
Banyak konflik terjadi tidak terlepas dari permasalahan
ketidakadilan. Keadilan sosial yaitu dimana kebutuhan dasar
segenap insan Indonesia dapat teroenuhi. Olehkarena itu dalam
keadilan sosial dituntut solidaritas sosial yaitu sebuah
sikap yang membantu dan memperlakukan warga yang paling
lemeh: mereka yang masih miskin, kelompok minoritas, para
perempuan, dan semua mereka yang tidak mampu membantu mereka
sendiri.
Sedangkan dalam pandangan Hassan Hanafi (1998) mengatakan
bahwa walaupun dalam Al-Qur’an dinyatakan terdapat umat yang
satu (ummatun wahidah),namun dalam kenyataan obyektif
masyarakat terbagi dua, yaitu ummat yang miskin dan ummat ang
kaya. Adajanya stratifikasi sosial ini merpakan realitas
kehidupan masyarakat. Sedangkan menurut Moeslim Abdurrahman
(2003) bahwa agama Islam harus bia menjadi sarana kritik
sosial, yaitu dimana Islam bisa mengkritik keadaan
ketidakadilan di masyarakat namun turut serta memberi
kontribusi transformasi sosial dimana Islam akan mendorong
kehidupan sosial masyarakat yang lebih baik. Selanjutnya
Abdurrahman menegaskan agama harus bekerja memberikan
kelembagaan, agar orang miskin secara kolektif masuk dalam
the new social movement, suatu building block baru bagi siapa saja
yang berada dalam subordinasi kekuasaan.
E. Masyarakat Urban
Koentjaraningrat (2005:122) Manusia adalah makhluk sosial
yang membutuhkan manusia lain dalam kehidupannya, sekelompok
manusia yang saling membutuhkan tersebut akan membentuk suatu
kehidupan bersama yang disebut dengan masyarakat. Masyarakat
itu sendiri dapat didefinisikan sebagai suatu kesatuan hidup
manusia yang berinteraksi sesuai dengan sistem adat istiadat
tertentu yang sifatnya berkesinambungan dan terikat oleh
suatu rasa identitas bersama.
Pada masyarakat kota ada beberapa ciri-ciri yang menonjol,
pada umumnya masyarakat kota dapat mengurus dirinya sendiri
tanpa harus bergantung pada orang lain; masyarakat kota
mempunyai jalan pikiran rasional yang meenyebabkan interaksi-
interaksi yang terjadi lebih didasarkan pada faktor
kepentingan daripada faktor pribadi; jalan kehidupan yang
cepat di kota mengakibatkan pentingnya faktor waktu sehingga
pembagian waktu yang teliti sangat penting untuk dapat
mengejar kebutuhan-kebutuhan seorang individu; dan perubahan-
perubahan sosial tampak dengan nyata di kota-kota karena kota
biasanya terbuka dalam menerima pengaruh luar.
Dalam kehidupan masyarakat modern sekarang ini sering
dibedakan antara mayarakat urban atau yang sering disebut
dengan masyarakat kota dengan masyarakat desa. Pembedaan
antara masyarakat kota dengan masyarakat desa pada hakikatnya
bersifat gradual, agak sulit memberikan batasan apa yang
dimaksud dengan perkotaan karena adanya hubungan antara
konsetrasi penduduk dengan gejala-gejala sosial yang
dinamakan urbanisme
Beberapa ciri-ciri masyarakat kota yang selalu berusaha
meningkatkan kualitas hidupnya dan terbuka dalam menerima
pengaruh luar tersebut menyebabkan teknologi terutama
teknologi informasi berkembang dengan pesat dalam masyarakat
kota karena bagi masyarakat kota penggunaan teknologi
informasi di segala bidang telah sangat signifikan
meningkatkan kualitas kehidupan mereka (Soekanto, 2006:139-
140)
Masyarakat urban yang mengarah pada indutrialisasi, telam
membuat msayarakat menjadi mekanis dan kehilangan makna
hidup. Oleh Erich From masyarakatar urban yang lupa akan
makna hidupnya ini adalah sebuah megamachine society, dimana
masyarakat urban telah teralienasi dalam kehidupannya. Hal
ini dapat dilihat dari kutipan tulisan From.
“Alienasi yang kita temukan dalam masyarakat modern adalahhampir total; ia meliputi hubungan manusia denganpekerjaannya, ke benda-benda yang ia konsumsi, ke negara,ke sesamanya, dan ke dirinya sendiri. Manusia telahmenciptaka suatu dunia dari barangbarang buatan manusiayang tidak pernah ada sebelumnya. Ia telah membangunpermesinan sosial yang ruwet untuk mengatur permesinanteknis yang ia bangun. Namun, seluruh kreasinya itu tegakdi atas dan mengatasi dirinya sendiri. Memang ia merasadirinya sebagai pencipta dan pusat, tapi juga sebagaibudak sebuah berhala Golem yang ia buat dengan tangannyasendiri. Semakin kuat dan besar kekuatan yang ia lepaskan,semakin ia merasa dirinya tak berdaya sebagai manusia. Iamenghadapi dirinya sendiri dengan kekuatan dirinya yangdikandung dalam benda-benda yang ia ciptakan, yang daridirinya sendiri. Ia dikuasai oleh kreasinya sendiri, dantelah kehilangan kekuasaan terhadap dirinya sendiri. Iatelah membuat sebuah patung anak sapi emas, dan berkata,“Inilah dewamu yang membawa kamu keluar dari Mesir.”
Alienasi itulah yang menyebabkan orang tertarik kepada
kultuskultus. Sebab alienasi menimbulkan rasa kesepian yang
mencekam, yang merindukan perkawanan akrab dan hangat, yang
mendambakan suatu penjelasan tentang apa
dan ke mana hidup ini. Toffler menjelaskan kenyataan ini
sebagai berikut: “Untuk orang-orang yang kesepian, kultus-
kultus menawarkan, pada permulaannya, persahabatan yang
merata. Kata seorang petugas Unification Church: ‘Kalau ada
orang kesepian, kita bicara kepada mereka. Banyak orang kesepian di sekitar
kita.’ Pendatang baru itu dikelilingi oleh orangorang yang
menawarkan persahabatan dan isyarat dukungan kuat. Banyak
kultus yang menghendaki kehidupan komunal. Kehangatan dan
perhatian yang tiba-tiba ini sedemikan kuatnya memberi rasa
kebaikan sehingga anggota-anggota kultus sering bersedia
untuk memutuskan hubungan dari keluarga dan teman-teman lama
mereka, untuk
mendermakan penghasilannya kepada kultus, (kadang-kadang)
menerima narkotika dan bahkan seks sebagai imbalan.” (Madjid,
2012:1884, Ensiklopedi NM Jilid 3).
Masyarakat urban yang cendrung individualis akan sangat
rawan mengalami apa yang digambarkan oleh Eric Fromm di atas.
Dampak dari masyarakat yang asosial salah satunya adalah
sikap intoleransi dan bahkan fundamentalisme sebagaimana yang
dikatakan Madjid (2012: 1884) sebagai pelarian,
fundamentalisme keagamaan pun tidak begitu jauh dari kultus.
Unsur-unsur yang menjadi ciri utama kultus juga merupakan
unsur-unsur yang menjadi ciri utama fundamentalisme, seperti
ketertutupan, pemaksaan disiplin yang keras, hasungan
kepada pengorbanan harta dan jiwa yang tidak proporsional,
absolutisme dan janji-janji keselamatan yang diberikan dengan
tegas dan sederhana. Sepertindicontohkan oleh peristiwa bunuh
diri massal para pengikut kultus People’s Temple pimpina Jim
Jones setelah pindah dari Amerika ke Guyana dan pengikut
kultus Branch Davidian pimpinan David Koresh di Waco, Texas,
sebuah
kultus dapat berkembang menjadi sangat anti-sosial, bahkan
menjerumuskan para pengikutnya kepada psikologi “ingin mati”
(death wish). Dan fundamentalisme pun dapat menunjukkan sikap-
sikap anti-sosial serupa itu, meskipun mungkin dengan
kadar yang lebih rendah (Madjid, 2012:1885 dalam Ensiklopedi
NM Jilid 3).
Berdasarkan kerawanan masyarakat perkotaan yang justru
akan menghadapi permasalahan psikis yang akan menjadikan
banyak hal sebagai kultus makan akan menjadi ruang terjadinya
tindakan intoleran. Hal ini terbukti dengan apa yang telah
dibahas dalam sub judul penelitian yang salah satunya
membahas perilaku intoleransi justru terjadi di kota seperti
Jabodetabek dan Jawab Barata.
Merujuk pendapat berikut dapat dikatakan bahwa agama
memainkan peran penting apakah masyarakat akan menjadi damai
atau malah berkonflik. Dalam sosiologi sistematik, agama
berada pada puncak hubungan sibernetik yang meliputi— dalam
Kepastian; Ketelitian; Adaptabilitas; Waktu; Monitoring; dan
Perencanaan. Khusus dalam dimensi perencanaan, maka harus
diperhatikan isi perencanaan sebagai berikut:
1. Tujuan apa yang diinginkan, atau bagaimana cara
mengoranisir aktivitas belajar dan layanan pendukungnya.
2. Program dan layanan, atau bagaimana cara mengoganisir
aktivitas belajar dan layanan pendukungnya.
3. Tenaga manusia, yakni mencakup cara-cara mengembangkan
prestasi, spesialisasi, perilaku, kompetensi, maupun
kepuasan mereka.
4. Keuangan, meliputi rencana penerimaan dan pengeluaran.
5. Bangunan fisik tentang cara-cara penggunaan pola
distribusi kaitannya dengan psikologis.
6. Struktur organisasi, magaimana cara pembagian tugas.
7. Konteks sosial harus diperhatikan.
Dalam merencanakan pendidikan multikultural, maka harus
benar-benar diketahui prinsip-prinsip paradigma pendidikan
multikultural yang dapat dijadikan acuan, sebagai berikut:
1. Pendidikan multikultural harus menawarkan beragam
kurikulum yang merepresentasikan beragam kurikulum yang
merepresentasikan pandangan dan perspektif banyak orang.
2. Pendidikan multikultural harus didasarkan pada asumsi
bahwa tidak ada penafsiran tunggal terhadap kebenaran
sejarah.
3. Kurikulum dicapai sesuai dengan penekanan analisis
komparatif dengan sudut pandang kebudayaan yang berbeda-
beda.
4. Pendidikan multikultural harus mendukung prinsip-prinsip
pokok dalam memberantas pandangan klise tentang ras,
budaya dan agama (Zubaedi,2009:72)
Sebelum merencanakan dan melaksanakan secara teknis
pendidikan multikultural, perlu dipertimbangkan pendapat
Tilaar (2012: 483) yang mengatakan bahwa pada dasarnya
pendidikan interkultural2 yang dapat diaplikasikan di
pendidikan multikultural, yaitu:
1. Melalui pendidikan interkultural, seseorang tidak malu
terhadap latarbelakang budayanya.
2. Perlu dikembangkan sikap toleransi terhadap perbedaan-
perbedaan, ras, agama, dan budaya. Dalam pengembangan
sikap toleransi ini maka dianjurkan menjalankan program
asimilasi budaya.
Olehkarena itu menurut Tilaar sangatlah penting dalam
pendidikan mengembangkan dua hal:
1. Masalah prasangka (prejudice). Berbagai penelitian dan
praktik untuk untuk mencari akar-akar dari prasangka,
baik prasangka ras maupun prasangka agama.
2. Mencari cara-cara yang efektif untuk mengubah tingkah
laku untuk mengatasi prasangka-prasangka tersebut.
B. Strategi Pembelajaran Pendidikan Multikultural
Menurut Geneva Gay (1994) dalam artikelnya yang berjudul “A
Synthesis of Scholarship in Multicultural Education” bahwa strategi
penting dalam menerapkan pendidikan multikultural adalah
kurikulum yang berpusatkan pada keragaman.
“Prinsip-prinsip penting dalam menerapkan pendidikan multikultural adalahkurikulum berdasarkan sejarah dan berpusat pada keragaman, berorientasipada perbaikan, pengajaran mengarah pada keragaman, kurikulum
2 Pada dekade tahun 40 dan 50-an telah lahir sebuah konsep pendidikanyang disebut pendidikan interkultural dan interkelompok (intercultural andinter-group education). Menurut Tilaar pada dasarnya konsep pendidikaninterkultural ini merupakan sebuah upaya cross cultural education, yaitu mencarinilai-nilai universal yang dapat diterima oleh berbagai kelompokmasyarakat.
tergantung pada konteks, bersifat menyerap dan dapat diterapkan secara luasdan bersifat komprehensif dan mencakup semua level pendidikan.”
Jika melihat apa yang dianjurkan oleh geneva Gay tersbut,
maka starategi penting yang harus dijalankan para pemangku
kepentingan adalah merumuskan kurikulum sampai aplikasinya di
kelas dengan prinsip-prinsip pluralisme. Kendala utama dalam
menjalankan pendidikan multikultural di Indonesia adalah
masih adanya stigma negatif masyarakat Indonesia dengan kata
“pluralisme”. Terlebih lagi aktivitas multikultural semakin
meadi sulit setelah Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan
bahwa pluralisme hukumnya adalah haram. Terjadi
kesalahpahaman antar pegiat multikultural dengan masyarakat
dan MUI mengenai diskursus pluralisme. Padahal pluralisme
adalah prinsip dasar ketika memang benar-benar ingin
menjalankan pendidikan multikultural dalam kerangka kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Strategi yang ditawarkan Tilaar (2012: 484) berikut dapat
dijadikan rujukan dalam menjalankan pendidikan multikultural
tidak lagi difokuskan kepada kelompok-kelompok agama atau
mainstream budaya, tetapi kepada pengembangan nilai-nilai
demokratis. Pendidikan berbasis multikultural harus melihat
masalah-masalah masyarakat secara lebih luas. Bukan hanya
memasukkan masalah-masalah struktural ras, tetapi juga
mempersoalkan masalah-masalah kemiskinan, penindasan, dan
keterbelaknagan kelompok-kelompok minoritas dalam ilmu
pengetahuan. Maka salah satu strateginya adalah juga dengan
mengembangkan ethnic studies yang juga dijalankan dari pendidikan
dasar sampai pendidikan tinggi.
Menurut Tilaar (2012: 491) dalam pendidikan multikultural
menekankan pada pengembangan kesadaran dan pengalaman yang
dihadapi dalam kehidupan sosial yang nyata, sebagai berikut:
1. Mengembangkan keterampilan dalam tindakan sosial.
Dalam hal ini, sekolah, ruang-ruang kelas difungsikan
sebagai tempat pelatihan untuk menjadi warga negara yang
aktif dan memiliki keterampilan dalam kehidupan sosial.
Para peserta pendidikan diajarkan bagaimana mengemukakan
pendapat yang sehat, mengambil keputusan ditengah orang
banyak, bagaimana mencapai konsensus, dan agaimana
menerima kesepakatan sebagai hasil konsensus. Sikap
demokratis haruslah merupakan bagian utama dalam proses
belajar.
2. Mengembangkan sikap saling pengertian
Dalam strategi ini, menurut Tilaar siswa diajarkan
bagaimana mencapai saling pengertian antar ras, antar
stratifikasi sosial, gender untuk berbagai masalah
bersama, serta bagaimana menciptakan keadilan.
Para penganjur pendidikan multikultural
merekomendasikan prinsip-prinsip dan praktek sebagai
berikut: a) perlu adanya komitmen dari para pendidik
untuk menghapuskan berbagai jenis segregasi dan
diskriminasi; b) kemampuan dari para pendidik untuk
menjembatani berbagai perbedaan, baik antar guru dengan
siswa, maupun siswa sesama siswa; c) komitmen terhadap
pendidikan multikultural sebagai program jangka panjang,
proses yang lambat dan mengikutsertakan pada orang tuan
dan masyarakat lokal; d) memasukkan program pendidikan
multikultural di dalam kurikulum, baik dalam aspek
afektif maupun dalam kegiatan kognitif; e) demokratisasi
dari praktik mengajar melalui cara-cara atau teknik yang
memberikan kebebasan dan kesempatan kepada setiap orang
untuk didengar; f) perhatian kepada minat yang semakin
meningkat kepada para siswa mengenai keterampilan-
keterampilan dasar dalam praktik multikultural; g)
mengekspos kepada para siswa mengenai pengertian-
pengertian mengenai penindasan dan ketidakadilan. Serta
mengidentifikasi hak bagaimana caranya untuk mengatasi
permasalahan hak azazi manusia.
C. Media Pembelajaran Pendidikan Multikultural
Menerapkan pendidikan multikultural sangat tergantung
kepada kompetensi guru yang mengaplikasikan pendidikan
multikultural dalam proses pembelajaran. Media yang digunakan
dalam pembelajaran pendidikan multikultural sangat banyak
tersedia dan mudah diakses. Olehkarena itu dalam
mempersiapkan media pembelajaran pendidikan multikultural
dibutuhkan kreativitas guru.
Terdapat empat langkah penting dalam mengembangkan media
pembelajaran pendidikan multikultural (Zubaedi, 2005:76),
yaitu:
1. Guru mereduksi atau mengikis sikap negatif yang mungkin
mereka miliki terhadap pluralisme sosial, keagamaan, dan
etnis.
2. Seorang pendidik dan anak didik melakukan analisis
situasi agar akrab dengan masyarakat.
3. Seorang pendidik dan anak didik memilih materi yang
relevan dan sekaligus menarik.
4. Seorang pendidik dan anak didik, bersama-sama
menyelidiki persoalan yang berkaitan dengan materi yang
dipilih. Dalam hal ini, seorang pendidik disarankan
mengidentifikasi persoalan sosial yang berkaitan dengan
agama, suku, kehidupan ekonomi, kemampuan mental serta
fisik.
Berdasarkan empat prisnip dia tas maka pndidik ketika
merancang media akan sangat peka dengan permasalahan sosial,
etika (Zubaedi, 76). Olehkarena itu seorang guru yang ingin
merancang media pembelajaran pendidikan multikultural sangat
disarankan menggunakan metode-metode yang bersifat
antropologis dan sosiologis. Sehingga akan menjadi sensitif
terhadap berbagai isu multikultural di luar ruang sekolah dan
institusi sekolah.
Salah satu contoh sederhana seperti yang dianjurkan oleh
Zubaedi (2005: 74) yaitu dengan menggunakan permainan “Payung
Multikultural” (the multicultural umbrella). Dalam menjalankannya
pada tiap-tiap ruas bagian luar payung ditulisi berbagai
etnis, ras, agama, budaya, kelompok masyarakat yang memiliki
kebutuhan/keadaan seperti anak-anak terlantar, orang-orang
cacat, penderita AIDS, dan sebagainya.
Seorang pendidik bisa menggunakan “Payung Multikultural”
dalam membantu anak didik untuk memahami keterlibatan banyak
kelompok dan keinginan masyarakat. Caranya, anak didik di
kelas diberi waktu 5-10 menit untuk menyusun daftar anggota
kelompoknya. Tiap-tiap kelompok membacakan apa yang tertulis
di ruas payung yang dihadapinya. Setelah itu,kelompok lain
disuruh untuk memberikan reaksi, dan tanggapan.
Selanjutnya jika anak didik bisa menarik pemahaman
terhadap payung multikultural tersebut, diyakini hal itu akan
dapat menumbuhkan sensirifitas multikultural mereka. akan
muncul kesadaran bahwa terdapat aneka ragam ras, etnis,
agama, kebudayaan, kelompok, ideologi, sikap politik, dan
beragam kepentingan yang semua perbedaan itu tidak akan
menghalangi mereka untuk hidup damai, rukun dan harmonis.
D. Evaluasi Pembelajaran Pendidikan Multikultural
Evaluasi merupakan komponen yang sangat penting dalam
penyelenggaraan pendidikan. Dengan sistem evaluasi yang baik
maka kualitas pembelajaran diharapkan akan meningkat. Untuk
meningkatkan kualitas pembelajaran tersebut, evaluasi
sebaiknya dilakukan dengan memperhatikan semua ranah yang
dimiliki peserta didik. Adapun dari segi istilah, sebagaimana
dikemukakan oleh Edwind Wandt dan Gerald W. Brown (1977).
Evaluation refers to the act or procces to determining the value of something.
Menurut defenisi ini, maka istilah evaluasi itu menunjuk
kepada atau mengandung pengertian suatu tindakan atau suatu
proses untuk menentukan nilai dari sesuatu.
Tilaar (2012: 943) mengemukkan jika berbicara mengenai
pendidikan multikultural maka terdapat beberapa hal penting
yang harus di evaluasi, yaitu:1) lembaga pendidikan sebagai
pusat kebudayaan; 2) pendidikan kewargaan; 3) kurikulum
pendidikan multikultural; 4) kebijakan perbukuan; 5)
pendidikan guru. Secara makro maka lima hal yang dikemukakan
oleh Tilaar tersebut harus di evaluasi. Berikut
penjelasasnnya pentingnya mengevaluasi lima program tersebut:
1. Evaluasi lembaga pendidikan sebagai pusat kebudayaan.
Lembaga pendidikan bukan hanya sebagai pusat belajar
mengajar tetapi harus merupakan pusat penghayatan dan
pengembangan budaya, baik budaya lokal, nasional, maupun
global. Lembaga pendidikan sebagai pusat budaya berarti
juga merupakan dialog dan komunikasi antarwarga lokal
sehingga dapat ditumbuhkan sikap toleransi antar warga.
Olehkarena itu sejauhmana lembaga pendidikan mampu
menginternalisasikan nilai-nilai udaya dan sikap toleran
harus menjadi evaluasi, terutama bagaimana pembelajaran
berlangsung dengan tidak mengabaikan prinsip
internalisasi budaya.
2. Pendidikan Kewargaan
Dimasa lampau yang diterapkan adalah penddikan kewarga
negaraan bukan kewargaan. Kewarga negaraan fokus pada
hak dan kewajiban warga negara. Sementara kewargaan
semestinya diberikan sebelum pendidikan kewarga negaraan
diberikan. Olehkarena itu evaluasi pendidikan kewargaan
perlu dievaluasi.
3. Kurikulum Pendidikan Multikultural
Dalam kurikulum pendidikan multikultural tidak terdapat
keseragaman diseluruh Indonesia. Pendidikan
multikultural tidak dapat diajarkan dalam bentuk sata
mata kuliah atau mata pelajaran saja. Pendidikan
multikultural dijalankan dengan pendekatan holistik, dan
menjiwai seluruh proses belajar mengajar.
4. Kebijakan penyebaran informasi
Karena pendidikan multikultural sangat holistik yang
tidak hanya berlangsung di sekolah tetapi juga bisa
melalui jejaring internet maka diperlukan perpustakaan,
internet (warnet), taman budaya yang dapat dijadikan
sarana pendidikan multikultural. Apa saja yang telah
dilakukan pemerintah terhadap tempat-tempat persemaian
multikultural selain di sekolah tersebut, perlu diakukan
evaluasi.
5. Pendidikan guru
Di sekolah uru adalah garis terdepan untuk suksesnya
program pendidikan multikultural. Olehkarena itu
pemerintah harus benar-benara mempersiapkan guru yang
berkompeten untuk menyebarkan pendidikan multikultural.
Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan pembenahan
pendidikan guru dengan menambahkan satu keahlian
mengenai pendidikan multikultural.
Harian Kompas tanggal 7 Januari 2003 memuat artikel
berjudul “Pendidikan Multikultural” yang ditulis oleh Paul Suparno.
Dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa salah satu hal
penting yang harus dievaluasi adalah kurikulum. “...evaluasi
kurikulum harus menghargai perbedaan dan tidak diskriminatif.
Isi dan bahan ajar di sekolah perlu dipilih yang sungguh
menekankan pengenalan dan penghargaan terhadap budaya dan
nilai lain.”
Salah satu langkah strategis yang dapat dilakukan dalam
melakukan evaluasi pendidikan multikultural adalah dengan
melakukan supervisi, khususnya dengan supervisi klinis.
Melalui supervisi klini inilah akan dapat dilihat di lapangan
bagaimana guru dalam menjalankan prinsip pendidikan
multikultural. Secara umum tujuan utama supervisor adalah
memperbaiki instruksional guru di kelas. Supervisi klinis
memberikan umpan balik kepada guru untuk memperbaiki hasil.
Supervisi klinis membantu mendiagnosa masalah-masalah
instruksional dan memberikan informasi berharga yang dapat
menyelesaikan masalah. Sebagai hasilnya guru dapat dengan
jelas melihat perbedaan-perbedaan apa yang mereka kerjakan,
dan apa yang mereka pikir sedang mereka kerjakan.
Evaluasi program pendidikan multikultural juga dapat
dilakukan dengan teknik sebagai berikut.
Teknik dan instrumen yang digunakan untuk penilaian
kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan sebagai
berikut.
a. Penilaian kompetensi sikap
Pendidik melakukan penilaian kompetensi sikap melalui
observasi, penilaian diri, penilaian “teman
sejawat”(peer evaluation) oleh peserta didik dan
jurnal. Instrumen yang digunakan untuk observasi,
penilaian diri, dan penilaian antarpeserta didik
adalah daftar cek atau skala penilaian (rating
scale) yang disertai rubrik, sedangkan pada jurnal
berupa catatan pendidik.
1) Observasi merupakan teknik penilaian yang
dilakukan secara berkesinambungan dengan
menggunakan indera, baik secara langsung maupun
tidak langsung dengan menggunakan pedoman
observasi yang berisi sejumlah indikator perilaku
yang diamati.
2) Penilaian diri merupakan teknik penilaian dengan cara
meminta peserta didik untuk mengemukakan kelebihan
dan kekurangan dirinya dalam konteks pencapaian
kompetensi. Instrumen yang digunakan berupa lembar
penilaian diri.
3) Penilaian antarpeserta didik merupakan teknik
penilaian dengan cara meminta peserta didik untuk
saling menilai terkait dengan pencapaian kompetensi.
Instrumen yang digunakan berupa lembar penilaian
antarpeserta didik.
4) Jurnal merupakan catatan pendidik di dalam dan di
luar kelas yang berisi informasi hasil pengamatan
tentang kekuatan dan kelemahan peserta didik
yang berkaitan dengan sikap dan perilaku.
b. Penilaian Kompetensi Pengetahuan
Pendidik menilai kompetensi pengetahuan melalui
tes tulis, tes lisan, dan penugasan.
1) Instrumen tes tulis berupa soal pilihan ganda,
isian, jawaban singkat, benar-salah, menjodohkan,
dan uraian Instrumen uraian dilengkapi pedoman
penskoran.
2) Instrumen tes lisan berupa daftar pertanyaan.
3) Instrumen penugasan berupa pekerjaan rumah
dan/atau projek yang dikerjakan secara individu
atau kelompok sesuai dengan karakteristik tugas.
c. Penilaian Kompetensi Keterampilan
Pendidik menilai kompetensi keterampilan melalui
penilaian kinerja, yaitu penilaian yang menuntut
peserta didik mendemonstrasikan suatu kompetensi
tertentu dengan menggunakan tes praktik, projek, dan
penilaian portofolio. Instrumen yang digunakan berupa
daftar cek atau skala penilaian (rating scale) yang
dilengkapi rubrik.
1) Tes praktik adalah penilaian yang menuntut
respon berupa keterampilan melakukan suatu
aktivitas atau perilaku sesuai dengan tuntutan
kompetensi.
2) Projek adalah tugas-tugas belajar (learning tasks)
yang meliputi kegiatan perancangan, pelaksanaan,
dan pelaporan secara tertulis maupun lisan dalam
waktu tertentu.
3) Penilaian portofolio adalah penilaian yang
dilakukan dengan cara menilai kumpulan seluruh
karya peserta didik dalam bidang tertentu yang
bersifat reflektif-integratif untuk mengetahui
minat, perkembangan, prestasi, dan/atau
kreativitas peserta didik dalam kurun waktu
tertentu. Karya tersebut dapat berbentuk tindakan
nyata yang mencerminkan kepedulian peserta didik
terhadap lingkungannya. Instrumen penilaian harus
memenuhi persyaratan:
a) substansi yang merepresentasikan kompetensi yang
dinilai;
b) konstruksi yang memenuhi persyaratan teknis
sesuai dengan bentuk instrumen yang digunakan; dan
c) penggunaan bahasa yang baik dan benar serta
komunikatif sesuai dengan tingkat perkembangan
peserta didik.
BAB V
MANAJEMEN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
A. Mempersiapkan Guru untuk Pendidikan Multikultural
Tujuan pendidikan nasional sebagaimana tertuang dalam
Undang-undang sisdiknas No. 20 Tahun 2003 adalah Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab.
Untuk mencapai tujuan tersebut maka salah satu faktor
pendukungnya adalah ketersediaan sumber daya manusia (tenaga
pendidik) yang unggul. Dalam UU No. 20 Tahun 2003 disebutkan
bahwa tenaga kependidikan bertugas melaksanakan administrasi,
pengelolaan, pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis
untuk menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan.
Sedangkan pendidik merupakan tenaga professional yang
bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran,
menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan
pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian
masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.
Dalam mewujudkan tenaga pendidik yang unggul itulah
terdapat undang-undang terkait dengan tenaga pendidik dan
kependidikan. Aturan mengenai tenaga pendidik dan
kependidikan terdapat dalam Undang-undang yaitu:
a. UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pasal 39-44 tentang
tenaga pendidik dan kependidikan.
b. UU Guru dan Dosen No. 14 Tahun 2005.
c. UU Standar Nasional Pendidikan No. 19 tahun 2005,
dalam standar tenaga pendidik dan kependidikan.
d. Permendiknas No. 12 Tahun 2007 tentang Standar
Pengawas Sekolah/Madrasah. Di dalamnya terdapat dua
Pengembangan, dan Kompetensi Sosial. Enam kompetensi
tersebut memiliki indicator yang berbeda sesuai
dengan jenjang pendidikan yang diampunya.
e. Permendiknas No. 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala
Sekolah/Madrasah. Di dalamnya terdapat dua hal, yaitu
kualifikasi dan kompetensi. Kompetensi di sini
dimaksudkan yaitu kompetensi kepribadian, Kompetensi
manajerial, Kompetensi kewirausahaan, Kompetensi
supervise, dan Kompetensi sosial.
f. Permendiknas No. 27 Tahun 2007 tentang Standar
Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor. Dalam
lampirannya memuat tentang kualifikasi dan
kompetensi. Kompetensi yang dimaksud adalah
Kompetensi Pedagogik, Kompetensi Kepribadian,
Kompetensi Sosial, dan Kompetensi Profesional.
g. Permendiknas No. 26 Tahun 2008 tentang Standar Tenaga
Laboratorium Sekolah/Madrasah. Di dalamnya memuat
tentang kewajiban sekolah/madrasah untuk menentukan
kepala laboratorium dan teknisi laboratorium untuk
Sekolah/Madrasah.
h. Permendiknas No. 45 Tahun 2009 tentang Standar
Teknisi Sumber Belajar Pada Kursus dan Pelatihan. Di
dalamnya terdapat dua komponen yaitu kualifikasi dan
kompetensi.
i. Permendiknas No. 44 Tahun 2009 tentang Standar
Pengelola Pendidikan Pada Program Paket A, Paket B,
dan Paket C. Dalam lampiran undang-undang tersebut
terdapat kualifikasi dan kompetensi. Kompetensi yang
dimaksud adalah Kompetensi Kepribadian, Kompetensi
Sosial, dan Kompetensi Manajerial.
j. Permendiknas No. 43 Tahun 2009 tentang Standar Tenaga
Administrasi Pendidikan Pada Program Paket A, Paket
B, dan Paket C. Dalam lampiran undang-undang tersebut
terdapat kualifikasi dan kompetensi. Kompentensi yang
dimaksud adalah Kompetensi Kepribadian, Kompetensi
Sosial, dan Kompetensi Teknis.
k. Permendiknas No. 41 Tahun 2009 tentang Standar
Pembimbing Pada Kursus dan Pelatihan. Dalam lampiran
undang-undang tersebut memuat kualifikasi dan
kompetensi. Kompetensi yang dimaksud adalah
Kompetensi Pedagogik, Kompetensi Kepribadian,
Kompetensi Sosial, dan Kompetensi Profesional.
l. Permendiknas No. 40 Tahun 2009 tentang Standar
Penguji Pada Kursus dan Pelatihan. Dalam lampiran
undang-undang tersebut terdapat kualifikasi dan
kompetensi. Kompetensi yang dimaksud adalah
Kompetensi Pedagogik, Kompetensi Kepribadian,
Kompetensi Sosial, dan Kompetensi Profesional.
Landasan di atas merupakan peluang peningkatan tenaga guru
agar dapat meningkatkan kompetensinya untuk menjalankan
pendidikan multikultural dikarenakan pendidikan multikultural
membutuhkan tenaga-tenaga pendidik yang memahami konsep
pendidikan multikultural yang memahami budaya lokal,
nasional, dan global. Menurut Tilaar (2012:945) di Indonesia
pada masa reformasi terjadi pola pendidikan guru yang
ekstrim, misalnya pendidikan guru dilakukan sesuai otonomi
daerah yang diselenggarakan daerah masing-masing. Tilaar
mengatakan bahwa yang dibutuhkan sebenarnya adalah tenaga
pendidik nasional yang tidak hanya mengetahui nilai-nilai
budaya komunitas nasional, tetapi juga harus mengetahui
nilai-nilai budaya lokal dimana tempat tenaga pendidik
tersebut berkarya.
Tilaar mengungkapkan strategi untuk peningkatan kualitas
guru adalah:
a. Profesi guru harus memiliki status yang sama dengan
profesi yang lain yang selalu membutuhkan pengembangan.
Guru profesional harus memenuhi syarat berikut: memiliki
program pendidikan yang jelas, kuat dan aktif dalam
program pendidikan secara umum, unggul, cerdas dan
antusias untuk membantu peserta didik.
b. Pendidik profesional harus mendapatkan sumber yang
cukup.
c. Profesionalisme guru harus diimbangi dengan peningkatan
renumerasi (Tilaar,2008 :142-143)
Guru merupakan garda terdepan dalam menjalankan pendidikan
multikultural. Olehkarena itu guru harus memahami konsep
pendidikan multikultural hingga mampu menerapkannya secara
operasional di kelas. Namun untuk seorang guru yang memahami
pendidikan multikultural tersebut tentunya harus melalui
proses pendidikan yang diselenggarakan oleh lembaga
pendidikan tenaga keguruan.
Apa yang disampaikan oleh Zubaedi (2005: 74) berikut
mencerminkan sebuah pelaksanaan operasional pendidikan
multikultural di dalam kelas.
“...ketika seorang guru mengajarkan sebuah materikeilmuan, ia perlu memasukkan nilai dan tokoh dari budayalain agar siswa mengerti bahwa dalam ilmu itu dikembangkandalam tiap budaya. Jika memberi contoh ilmuwan dan hasilteknologi, ia perlu juga mengambil berbagai budaya danlatar belakang budaya masing-masing, termasuk jender.Kesamaan dan perbedaan antar budaya perlu dijelaskan dandimengerti. Siswa dibantu untuk kian mengerti nilai budayalain, menerima dan menghargainya. Misalnya, dalammengajarkan makanan, pakaian, cara hidup, bukan hanyadijelaskan dari budayanya sendiri, tetapi juga yang lain.”
Jika dilihat apa yang disampaikan oleh Zubaedi di atas,
bahwa sebenarnya pendidikan multikultural tidaklah sulit.
Banyak materi yang dapat menjadi sumber pembelajaran
pendidikan multikultural. Hanya saja untuk menjalankan itu
semua dibutuhkan seorang guru yang open minded dan kretif,
yang terpenting adalah guru tersebut tidak ingin menjadikan
peserta didik sesuai ideologi yang dianutnya. Jika ini
dilakukan oleh guru, maka apa yang disampaikan oleh Paulo
Freire dalam bukunya “Opresed Pedagogy” mengenai guru hanya akan
mereproduksi model dirinya sedniri, atau guru hanya
melahirkan penindas baru akan terjadi.
Pentingnya peran guru dalam pendidikan multikultural. Maka
lembaga pendidikan tenaga kependidikan merupakan lembaga yang
bertanggung jawab untuk mempersipakan tenaga guru yang handal
dalam menerapkan pendidikan multikultural.
B. Setting Sekolah/Madrasah untuk Pendidikan Multikultural
Menjalankan pendidikan multikultural maka juga harus
membicarakan sekolah sebagai institusi. Mengenai sekolah ini
ada sebuah kutipan yang mungkin penting untuk direnungkan
dari buku yang berjudul “Teaching as Subversive Activity” yang ditulis
oleh Neil Postman dan Charles Weingartner (1971) yang sudah
diterjemahkan dengan judul “Mengajar sebagai Aktivitas
Subversif” (2001:xvii).
“Sebuah institusi yang kita sebut ‘sekolah’ adalah satuinstitusi yang kita maksudkan untuk tujuan seperti di atasdan karena itulah kita menciptakannya. Apabila hal inidirasa tidak relevan sebagaimana Marshall McLuhanmengatakannya, apabila sekolah ini ternyata memberibenteng kepada anak-anak sehingga mereka terpisah darirealitas, seperti yang dikatakan oleh oleh Norbert Wiener;apabila sekolah ternyata mengajarkan kekunoan, sepertiyang dikatakan oleh John Gardner; apabila sekolah tidakmengembangkan kecerdasan seperti yang dikatakan olehJerome Bruner; apabila ternyata sekolah itu didaarkan padarasa takut, seperti yang dikatakan oleh John Holt; apabilaternyata sekolah itu menghilangkan peningkatan proses-proses pebelajaran yang penting, seperti apa yangdikatakan oleh Carl Rogers; apabila ternyata sekolah itumenyebabkan keterasingan, sebagaimana yang dikatakan olehPaul Goodman; apabila ternyata sekolah itu menghukumkretivitas dan interdependensi, seperti yang telahdikatakan oleh Edgar Friedenberg; pendek kata apabilaternyata sekolah itu tidak melakukan apa yang seharusnyadilakukan, maka sekolah itu bisa diubah; bahkan harusdiubah.”
Dalam konteks pendidikan multikultural, maka kutipan dari
Neil Postman tersebut dapat ditambahakan dengan kalimat
“Apabila ternyata sekolah itu tidak mengajarkan pendidikan multikultural, maka
sekolah itu pasti bisa dirubah untuk menerapkan pendidikan multikultural.”
Ketika berbicara pendidikan multikultural dalam kerangka
persekolahan (schooling) maka sudah bersifat praktis dalam
mentransmisi apa yang diinginkan oleh pendidikan (education).
Menurut Daoed Joesoef (2014:62) persekolahan adalah bentuk
isntitusional dari pendidikan yang berusaha, karena resmi
ditugaskan oleh pendidikan, menetapkan bentuk-bentuk yang
relevan dari nilai-nilai aneka pengetahuan, keterampilan,
seni, norma, dan sebagainya serta mentransmit semua itu
kepada anak didik. Dunia persekolahan berkewajiban untuk
melayani peserta didik.
Sekolah adalah kata kunci dalam menjalankan pendidikan
multikultural, olehkarena itu prinsip-prinsip yang ada di
sekolah harus seirama dengan pendidikan multikultural,
termasuk segala kebijakan yang berkenaan dengan pendidikan
multikultural yang dirumuskan oleh pengambil kebijakan.
Sebuah contoh kongkrit pelaksanaan pendidikan multikultural
di sekolah disampaika oleh Romanowski (2002) berikut:
“.....Juga harus menumbuhkan kepekaan terhadap perbedaanbudaya, di antaranya mencakup pakaian, musik dan makanankesukaan. Selain itu, juga memberikan kebebasan bagi anakdalam merayakan hari-hari besar umat beragama sertamemperkokoh sikap anak agar merasa butuh terlibat dalampengambilan keputusan secara demokratis.”
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Romanowski
(2002) mengenai pendidikan multikulturalm bahwa kunci utama
dalam pendidikan multikultural adalah adanya settingan budaya
toleransi di sekolah. Menurut Fernando Savater bahwa sikap
toleransi yang dikembangkan di sekolah adalah sikap kewargaan
yang aktif, bukan sikap toleransi yang spontan.
Sekolah merupakan pusat kebudayaan yang menekankan
pentingnya sekolah sebagai agen pengembangan individu untuk
menjadi anggota masyarakat yang berbudaya (Prayitno,
2011:126). Prayitno yang mengajukan Sekolah sebagai Pusat
Kebudayaan memiliki garis besar sebagai berikut:
1. Sekolah menyiapkan warga masyarakat.
2. Sekolah mengolah berbagai unsur budaya.
3. Sekolah membersihkan/menormalisasi kondisi menyimpang
4. Anti kekerasan dalam pendidikan
5. Kemitraan sekolah dan masyarakat.
Mantan Menteri Pendidikan, Malik Fadjar pernah mengatakan
bahwa “Madrasah adalah madrasah”, menurut Tilaar (2004) maksud
dari pernyataan tersebut adalah madrasah mempunyai visi,
misi, dan karakteristik yang sangat khas di dalam masyarakat
dan bangsa Indonesia baik dilihat dari segi kebudayaan,
pendidikan, politik, dan ekonomi. Suasana lembaga madrasah
memiliki ciri khas sebagai berikut. Dengan suasana tersebut
akan mempermudah untuk menjalankan pendidikan multikultural
1. Perwujudan nilai-nilai keislaman di dalam keseluruhan
kehidupan lembaga madrasah.
2. Kehidupan moral yang berkualitas.
3. Manajemen yang profesional, terbuka, dan berperan aktif
dalam masyarakat (Tilaar, 2004:179)
Salamah (2013) mengatakan bahwa disekolah perlu dkembangkan
Pradigma Dialogis-Persuasif yang lebih mengedepankan dialog
dan cara-cara damai dalam melihat perselisihan dan perbedaan
pemahaman keagmaan dari pada melakukan tindakan-tondakan
fisik seperti teror, perang, dan bentuk kekerasan lainnya.
Paradigma kontekstual berarti menerapkan cara berfikir kritis
dalam memahami teks-teks keagamaan. Paradigma keagamaan yang
substantif berarti lebih mementingkan dan menerapkan nilai-
nialai agama dari pada hanya melihat dan mengagungkan simbol-
simbol keagamaan. Sedangkan peradigma pemahaman keagamaan
aktif sosial berati agama tidak hanya menjadi alat pemenuhan
kebutuhan rohani secara pribadi saja. Akan tetapi yang
terpenting adalah membangun kebersamaan dan solidaritas bagi
seluruh manusia melalui aksi-aksi sosial yang nyata yang
dapat meningkatkan kesejahteraan umat manusia.
C. Setting Kelas untuk Pendidikan Multikultural
Zubaedi (2005: 77) dalam buku “Pendidikan Berbasis Masyarakat:
Upaya Menawarkan Solusi terhadap Berbagai Problem Sosial” dalam setting
kelas untuk tujuan pendidikan multikultural dapat diatur
dengan strategi pendekatan pembelajaran koperatif. “Jika
konsisten berpegang paradigma pendidikan multikultural, maka seorang
pendidika dituntut untuk mau dan mampu menerapkan strategi pembelajaran
kooperatif.” Kooperatif learning digunakan dalam seting kelas
dikarenakan dalam pergaulan sosial dengan para siswa yang
memiliki berbagai sifat yang beragam serta bisa menciptaan
suasana belajar yang menyenangkan.
Sebuah setingan kelas dapat dikatakan kooperatif learning
jika memliki lima ciri berikut:
1. Adanya positive interdependence atau sikap saling
ketergantungan. Anggota kelompok menjalankan peran
sebagai pembahas sebuah topik diskusi, penanggap dan
pendukung hingga mencapai konsensus.
2. Adanya face to face pro motive interaction atau adanya interaksi
tatap muka yang membangun. Para siswa berdiskusi,
mengajar dan menjelaskan kepada siswa lain dengan cara
membangun, seperti memberikan dorongan, dan saling
membantu siswa dalam belajar.
3. Adanya individual accountability atau pertanggngjawaban secara
individual. Para siswa dinilai secara individual.
Langkah ini untuk meyakinkan bahwa masing-masing ana
telah bekerja sesuai bidang pekerjaan yang menjad
tugasnya.
4. Social skills atau keterampilan sosial yang dibutuhkan dalam
bekerja dengan yang lain, seperti kepemimpinan,
mengambil keputusan, membangun kepercayaan, komunikasi
dan keterampilan manajemen konflik.
5. Groups process their effectiveness dimana masing-masing kelompok
mendiskusikan kemajuan mereka dan memberikn masukan
sehingga masing-masing bisa meningkatkan diri (Zubaedi,
2005L 77-78).
Melalui pengaturan kelas dengan strategi cooperative learning
maka akan mendorong anak untuk saling belajar segi positif
dari pihak lain. diharapkan dari pengaturan seperti ini akan
terbentuk sikap toleransi, menghormati, dan saling memahami.
Dan akan tertanam prinsip-prinsip atau nilai-nilai yang
menjadi misi pendidikan multikultural.
Namun hal terpenting dalam menjalankan pendidikan
multikultural, adalah pihak sekolah dan guru jangan
konserfatif dalam pembelajaran yang hanya dilakukan di kelas.
Artinya guru dan sekolah harus jeli untuk melihat setingan di
luar kelas yang akan dapat memberikan khasanah berbeda dan
lebih bermakna dalam menjalankan pendidikan multikultural.
Misalnya dengan melakukan kunjungan-kunjungan dari kelompok
lain yang memiliki nilai-nilai atau budaya yang berbeda.
Sehingga memberikan ruang luas kepada peserta didik untuk
mengobservasi dan merasakan langsung apa yang dimaksud dengan
keberagaman.
BAB VI
KURIKULUM PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
A. Pendidikan Multikultural untuk Kerukunan Umat Beragama
Dalam menjalankan pendidikan multikultural, sangatlah
penting untuk mempelajari kembali empat pilar pendidikan
universal yang telah dirancang oleh Perserikatan Bangsa-
Bangsa dalam hal ini adalah UNESCO. Jacques Delors dalam
Learning: The Treasure Within menguraikan konsep tersebut sebagai
berikut: Learning to Know (belajar untuk mengetahui), Learning to
Do (belajar untuk berbuat), Learning to Be (belajar untuk menjadi
diri sendiri), dan Learning to live together (belajar untuk hidup
bersama). Dalam kontek pendidikan multikultural, maka empat
prinsip pendidikan universal tersebut dikontekstualisasikan
dengan apa yang dibutuhkan dalam pendidikan multikultural.
Learning to Know (belajar untuk mengetahui), menekankan pada
bahwa memperoleh pengetahuan merupakan sebuah proses yang
tidak boleh berakhir namun akan terus diperkaya dalam
berbagai bentuk pengalaman. Pada prinsip ini akan membuat
peserta didik dapat memahami realitas dan dapat bersikap
kritis terhadap realitas tersebut.
Learning to Do (belajar untuk berbuat) bahwa belajar haruslah
dapat mempraktikannya dan tida terhenti dalam pengetahuan.
Dalam prisnip ini peserta didik dapat menjalankan apa yang
dipelajarinya yang dapat bermanfaat bagi dirinya dan
masyarakat. Apakah hal yang berkenaan dengan pekerjaan, atau
bisa juga dalam konteks pendidikan multikutural, mereka dapat
mempraktikannya untuk dapat hidup harmonis dari berbagai
latar belakang berbeda dari orang atau lingkungannya.
Learning to Be (belajar untuk menjadi diri sendiri),bahwa
pendidikan hendaknya berkontribusi dalam mewujudkan individu
ke arah yang lebih baik. Pendidikan harus dapat mengasah daya
intelektual, estetika, spiritualisme, humanisme yang kelak
akan menjadikannya sosok yang berkarakter universal. Dalam
kontek pendidikan multikultutral pendidikan diharapkan dapat
menjadikan pribadi yang humanis. Pendidikan diharapkan dapat
membentuk generasi muda yang disatu sisi bisa menjadi
universalis dalam memandang kemajemukan, namun disisi lain
juga mampu menjadi spesialis, dimana ia terampil dalam
bekerja, dan tidak tercerabut dari akar dan budayanya.
Learning to live together (belajar untuk hidup
bersama). ,Generasi yang telah mengalami pendidikan yang
telah mampu mengenal siapa dirinya dan masyarakatnya, maka
pada tahap berikutnya mereka diharapkan dapat mengenal dan
memahami apa saja yang ada di sekitarnya terutama
masyarakatnya. Merek diharapkan dapat bersikap
interdependensi atau tidak asosial, generasi muda justru
dapat lebih bersinergi dalam kehadiran masyarakata atau
individu yang memang berbeda secara kodratnya. Dengan
prsinsip keempat ini maka segala macam perbedaan, terutama
perbedaan agama tidaklah dapat menghalangi seseorang untuk
dapat hidup berdampingan dan bekerjasama dalam melakukan hal
konstruktif dan produktif bagi masyarakat, negara, bahkan
dunia.
Dalam menyikapi perbedaan agama yang sering menjadi sumber
konflik di Indonesia, maka sangatlah penting untuk
merenungkan kembali dari apa yang pernah disampaikan Bapak
Pendiri Bangsa, Soekarno berikut: “Mesik pun agamanya berlain-
lainan, meskipun warna kulit nya berlain-lainan asal ia tadinya, yaitu gerombolan
manusia itu, mengalami bertahun-tahun, berpuluh-puluh, baratus-ratus tahun
mengalami nasib yang sama, maka karena mengalami nasib yang sama itu akan
tumbuh persatuan watak dan persatuan watak inilah yang menentukan sifat
bangsa.” Melalui sikapnya ini, Soekarno ingin menyampaikan
pandangannya bahwa semestinya sikappersatuan itu tidak hanya
didasarkan hanya pada sama agama. Pandangan Soekarno ini pada
dasarnya konsep Otto Bauer “Bangsa adalah satu persamaan, satu
persatuan karakter, watak, yang persatuanatau karakter ini tumbuh, lahir, terjadi
karena persatuan pengalaman.”
Nurcholish Madjid berpandangan bahwa pada dasarnya paham
kemajemukan (multikultural) masyarakat atau pluralisme tidak
cukup hanya dengan sikap mengakui dan menerima kenyataan
bahwa masyarakat, bersifat majemuk, tapi—yang lebih mendasar—
harus disertai dengan sikap tulus menerima kenyataan
kemajemukan itu sebagai bernilai positif, dan merupakan
rahmat.
Perspektif teologi Islam tentang kerukunan hidup antar
agama dan konsekwensinya, antar umat beragama-berkaitan erat
dengan doktrin Islam tentang hubungan antara sesama manusia
dan hubungan antara Islam dengan agama-agama lain (Azra,
1999: 31-32). Dalam sejarah Islam, secara jelas dapat dilihat
bagaimana Islam dapat menjaga kerukunan dengan non muslim.
Budhy Munawar Rachman (2011) menyatakan bahwa pandangan-
pandangan keagamaan yang memberikan ruang kepada toleransi
tampaknya semakin penting disosialisasikan, agar apa yang
kita sebut “Pentingnya Menghubungkan Tali Kasih Sayang Antar
Umat Beragama” menjadi sesuatu yang mungkin dilakukan tanpa
ada stigma atau hambatan teologis. Padahal dalam surah Ali
Imran (Q.S. 3:64), Alquran jelas-jelas menganjurkan kita
mencari titik temu (kalimat-un sawa’).
Dalam konteks Indonesia, ketika berbicara pendidikan
multikultural, hal pertama yang paling peka dan rawan konflik
antar umat beragama adalah masalah agama daripada
permasalahan Ras sebagaimana yang menjadi masalah besar di
Eropa atau pun di Amerika. Di Indonesia konflik-konflik
sosial lebih disebabkan permasalahan agama. Olehkarena itu
konsep pendidikan agama yang diaplikaasikan di sekolah harus
dapat mendukung apa yang menjadi visi dan misi pendidikan
multikultural.
Frans Magnis Suseno (2004) menegaskan bahwa pada
kenyataannya, dalam masyarakat terdapat beranekaragam agama
atau keyakinan yang dianut setiap orang atau kelompok orang.
Menarik apa yang ditulis SETARA Institute (2010: 207) dalam
laporan penelitiannya pada tahun 2010, berikut kutipannya.
“Masyarakat atau penduduk Indonesia tidak hanya terdiri atas parapenganut agama yang berasal dari Timur Tengah seperti Yahudi, Kristen atauKatolik, dan Islam. Juga bukan hanya terdiri atas para penganut agama yangberasal dari Timur Tengah seperti Yahudi, Kristen atau Katolik, dan Islam.Juga bukan hanya dari wilayah Asia seperti Hindu, Budha, Konghucu, ataukepercayaan dari Tiongkok seperti Falun Gong. Masyarakat Indonesiamemiliki sistem kepercayaan atau agamanya sendiri, seperti Sunda Wiwitan(pada masyarakat Jawa Barat dan Banten), Kejawen (Jawa Tengah dan JawaTimur), Parmalim (Batak Toba), Tonaas Walian (Minahasa, Sulawesi Utara),Tolottang (Sulawesi Selatan), Wetu Telu (Lombok, NTB), Naurus (Pulau Seram,Maluku). Ada juga kepercayaan atau agama lokal sebagian pendudukMentawai Arat Bulungan dan Pagureikan. Juga penduduk Papua terutamayang berada di pedalaman memiliki agama/kepercayaan dan tradisikulturalnya sendiri.
Berdasarkan kutipan tersebut dapat dilihat kondisi umat
beragama yang begitu beragam. Sehingga tidak bisa dipungkiri
lagi bahwa konsep multikultural harus dijalankan dan
diinternaliasi dalam pendidikan multikultural.
Djohar (2007) menawarkan perubahan Pendidikan Agama
menjadi Pendidikan Keagamaan sebagai solusi bagi kerukunan
umat beragama. Berikut kutipannya.
“Pendidikan Agama diubah menjadi Pendidikan Keagamaan. Pendidikankeagamaan dimaksudkan adalah pendidikan yang mengkaji masalahkeagamaan di negara kita, atau paham agama umumnya. Mengapa adaagama? Macam-macam agama di Indonesia? Perbedaan dasarnya apa?Kesamaan dasarnya apa? Dan seterusnya. Melalui kajian pendidikan
keagamaan, maka diharapkan siswa memperoleh pemahaman tentangberbagai macam agama di Indonesia, dengan demikian diharapkan memilikikemampuan untuk menyikapinya. Kesulitannya model ini ialah dalampenerapannya, ialah bila gurunya kurang memiliki sikap objektif ataumemihak kepada agamanya sendiri. Bila hal ini terjadi dapat merugikan anakyang memiliki keakinan agama lain.”
Jika dilihat apa yang ditawarkan oleh Djohar tersebut,
sebenarnya tidak begitu berbeda dengan pendidikan
multikultural, hanya saja pendidikan keagamaan yang
ditawarkan oleh Djohar tersebut lebih fokus pada agama saja,
sementara pendidikan multikultural melihat dalam banyak
aspek.
Mewujudkan persaudaraan— atau dalam bahasa agama disebut
silat-u ‘l-rahm (saling memberi kasih-sayang atau saling cinta)—
adalah kewajiban setiap umat beragama. Biasanya istilah ini
dipakai dalam hubungan keluarga, maupun kelompok. Tapi bisa
juga diperluas dalam bingkai kemanusiaan. Dasar silaturahmi
adalah persaudaraan (ukhuwwah), yang biasanya dipakai dalam
konteks persaudaraan sesama orang beriman (ukhuwwah
islamiyyah), merentang kepada persaudaraan sesama (Rachman,
2011)
Menurut Budhy Munawar Rachman (2011) dalam artikel Basis
Teologi Persaudaraan Agama bahwa ayat Alquran surah al-Hujurat
(49:10-12) menggambarkan segi prinsipil dan teknis
pelaksanaan persaudaraan ini. Ayat panjang ini menggambarkan
bahwa persaudaraan di antara orang-orang yang beriman secara
teologis adalah idaman terbesar umat Islam. Tetapi menurut
Alquran itu hanya bisa dicapai jika etika pergaulan
antarmanusia diwujudkan dengan tidak saling memperolok,
menertawakan, berprasangka, memata-matai, dan saling
menggunjing. Dalam ayat di atas juga digambarkan bahwa orang
beriman itu bersaudara.
Menurut Nurcholish Madjid (dalam Ensiklopedi NM, 2012:
1495) tinjauan kembali masalah kerukunan umat beragama akan
lengkap sempurna jika dilakukan dari dua segi: pertama segi
ajaran agama yang merupakan pangkal keharusankeharusan; dan
kedua segi sosial historis yang merupakan wadah kenyataan-
kenyataan. Segi yang pertama mungkin tidak terlalu sulit.
Asalkan kita memiliki peranti yang diperlukan untuk melihat
dan mengapresiasi kembali khazanah keagamaan secara luas dan
mendalam. Kesulitannya ialah faktor penerimaannya oleh
masyarakat umum, khususnya mereka yang telah terkungkung oleh
stereotipe-stereotipe keagamaan yang dapat disebut sebagai
kristalisasi dari pengalaman getir-pahit kesenjangan sosial
atau semata-mata oleh obskurantisme (ketidakpedulian
intelektual), bahkan mungkin hanya karena kesenjangan dalam
bahan bacaan (Ensiklopedi NM, 2012: 1495).
Kerukunan umat beragama terpenting adalah adanay
keteladanan dari para tokoh agama dalam memberikan contoh
hidup toleransi dan menghargai perbedaan. Ketika para tokoh
memberi contoh keharmonisan, maka hal itu akan dapat
memberikan teladan bagi generasi uda dan para pelajar atau
pun mahasiswa di lembaga pendidikan.
Kasus intoleran pernah dilakukan tokoh agama, dalam hal
ini Paus Benedictus XVI. Pernyataanrsial kontroversial
pemimpin umat Katolik itu disampaikannya pada September 2006
di Regensburg, Jerman. Benedictus mengutip ucapan Kaisar
Bizantium dari abad keempat belas mengenai Nabi Muhammad:
“Tunjukkan kepadaku hal baru yang dibawa Muhammad, dan akan kita jumpai
hal-hal yang jahat dan tidak manusiawi belaka, seperti perintahnya untuk
menyebarkan ajarannya dengan pedang.” (sebagaimana dikutip dalam
buku John Esposito, Masa Depan Islam: antara Tantangan Kemajemukan
dan Benturan dengan Barat, Penerbit Mizan, 2010: 280-281).
Pernyataan Benedictus tersebut menyebabkan banyak
kekecewaan para tokoh lintas agama. Esposito 2010: 280-283)
mencatat juga tentang tiga bulan setelah pernyataan tersebut
delapan ulama menyatakan keprihatinannya. Kemudian pada
tanggal 13 Oktober 2007, sejumlah pemimpin Muslim (mufti,
akademisi, intelektual, menteri, penulis buku) dari seluruh
dunia menuliskan surat terbuka “Satu Kata Bersama Antara Kami
dan Anda”, kepada para pemimpin gereja diseluruh dunia.
Esposito menyampaikan maksud surat terbuka tersebut dalam
kutipan berikut:
“Lebih dari setengah populasi dunia terdiri dari umatMuslim dan Kristen. Tanpa perdamaian dan keadilan diantara dua masyarakat beragama ini, tidak mungkinperdamaian dunia yang penuh arti. Masa depan duniabergantung pada perdamian antara Muslim dan Kristen.
Batu pijakan perdamian dan saling pengertian ini sudahada, yaitu bagian dari prinsip kedua agama: kecintaankepada Tuhan Yang Maha Esa, dan kecintaan pada sesama.Prinsip ini berkali-kali dijumpai dalam kitab suci Islamdan Kristen. Dengan demikian, Keesaan Tuhan, dan keharusanmencintai sesama menjadi landasan bersama umat Islam danKristen.”
Surat terbuka yang disampaikan oleh para tokoh dunia dari
berbagai lintas ini mencerminkan kekhawatiran akan terjadinya
konflik berdasarkan agama yang dipicu oleh tokoh agama. Para
tokoh dunia menyadari bahwa Islam dan Kristen merupakan dua
agama besar yang seharusnya memberikan kontribusi bagi
perdamaian dunia, sehingga dibutuhkan kerukunan dua agam
besar ini. Tentunya apa yang disampaikan para tokoh dunia
ini bersifat kasuistik yang kebetulan pada saat itu adalah
hubungan Islam dan Kristen. Pada kenyataannya semestinya
setiap agama di seluruh dunia, terutama tokoh agamanya jangan
memantik konflik yang akan berdampak pada kehidupan dan hak
hidup manusia. Sebagaimana ditekankan dalam “satu Kata
Bersama” berikut:
“Dengan persenjataan mengerikan di dunia modern ini;
dengan umat Muslim dan Kristen saling berinteraksi di
mana-mana tidak seperti di masa lalu, tak satu pun pihak
yang dapat secara penuh memenangi konflik antara lebih
dari setengah penduduk dunia. Maka dari itu, masa depan
bersama menjadi taruhannya. Kelangsungan dunia itu sendiri
mungkin dipertaruhkan.”
Surat terbuka tokoh-tokoh dunia tersebut segera disikapi
oleh para pemimpin dan cendekiawan Kristen di seluruh dunia.
Uskup Agung Canterbury, Paus Benedictus XVI, Patriarkat
Ortodoks Alexei II dari Rusia, pimpinan Federasi Dunia
Lutheran, dan banyak lainnya mengakui pentingnya surat
terbuka ini (Esposito, 2010: 283). Sedangkan di Amerika,
lebih dari tiga ratus cendekiawan serta pemimpin arus utama
dan evangelis Amerika terkemuka menanggapi dalam sebuah surat
terbuka yang mengesahkan pernyataan,”Bersama-sama Mencintai
Tuhan dan Sesama”. Pernyataan bersama ini dipublikasikan di
New Yor Times dan surat kabar lainnya.
Kasus intoleran yang dipicu oleh tokoh agam juga terjadi
di Myanmar dalam periode waktu yang lama. Hingga memuncaknya
pada tahun 2015 ketika terjadi eksodus pengungssi dari etnis
Rohingya yang ada di Myanmar ke berbagai negara, salah
satunya adalah mereka menuju Indonesia untuk meminta
prlindungan. Etnis Rohingnya mencari perlindungan karena
konflik sektarian yang dipicu oleh tokoh agama Budhadi
Myanmar yang menaruh kecurigaan terhadap etnis Rohingya yang
beragama Islam akan menggeser agama Budha dengan asumsinya
sebagaimana yang pernah terjadi di Indonesia. Pernyataan-
pernyataan profokativ tokoh agama udha di Myanmar tersebut
membuat terjadinya pemberangusan etnis (genocide) yang
didasarkan perbedaan agama.
Jika tidak adanya upaya untuk menderadikalisasi
kefanatisan buta terhadap agama tersebut di sleuruh dunia,
khsuusnya di Indonesia. Maka dapat dipastikan agama terus
akan menjadi ladang pertumpaha darah yang didasarkan pada
perjuangan membela agama, sebagaimana yang terjadi di Syria,
Irak, dimana konflik sektarian telah menghilangkan ribuan
nyawa tidak bersalah.
Perdamaian yang dapat diwujudkan dengan adanya pemahaman
multikulturalisme secara langsung maupun tidak langsung akan
membangun masyarakat sipil yang akan berdampak pada
“kelanggengan” pemerintah dalam menjalankan program
pembangunan. Penelitian yang dilakukan oleh Hans Antlov dan
Anna Wetterberg “Masyarakat Sipil, Akuntabilitas Publik, dan Masa Depan
Pemerintahan daerah” dalam Prisma,Vol.29, Juli 2010, bahwa
pengalaman organisasi akar rumput di Indonesia atas
partisipasi masyarakat dan akuntabilitas antara negara dan
aktor masyarakat sipil telah mengonsolidasi desentralisasi
dan demokratisasi dan menghasilkan perkembangan yang positif.
Melalui pendidikan diharapkan akan terjadi social chemistry
atau persenyawaan sosial. Hal ini dinyatakan oleh Sosiolog
Ulrich yang menyatakan bahwa melalui pendidikan semestinya
akan mampu meleburkan padangan-pandangan sempit untuk menjadi
pandangan yang luas dalam kontek kebersamaan. Sehingga akan
tercipata sebuah konsesnus mengenai pentingnya untuk hidup
bersama. Tidak lagi tersekat-sekat oleh pandangan radikal
sebuah nilai atau ideologi yang diperoleh di sekolah atau pun
ajaran agama. Olehkarena itu tanpa peran pendidikan di
sekolah, makaperjuangan menghilangkan konflik sektarian akan
menjadi sangat sulit. Sekolah harus memberi kontribusi bahwa
kerukunan umat beragama harus terus dijaga sampai kapan pun.
B. Pendidikan Multikultural untuk Mencegah Ekstrimisme
“Tidak ada istilah serumit “terorisme”. Istilah
tersebut bukan sekadar istilah biasa, melainkan
wacana baru yang ramai diperbincangkan khalayak
dunia dan mempunyai implikasi besar bagi tatanan
politik global. Terorisme bukan sekadar diskursus,
akan tetapi sebuah gerakan global yang hinggap di
mana pun dan kapan pun” tulis Zuhairi Misrawi (2011)
dalam kolom berjudul “Islam dan Terorisme” Ketika berbicara pendidikan multikultural, maka pasti akan
berhadap-hadapan dengan permasalahan benturan konsep dengan
apa yang dikatakan dengan ekstrimisme, fundamentalisme,
terorisme, dan radikalisme.
Sekarang ini, umat Islam merasakan adanya serangan baru
dunia Barat, melalui media pers, yang dikaitkan dengan apa
yang disebut “fundamentalisme Islam”. Jelas bahwa berbagai
gejala sosial-politik yang diungkap Barat sebagai gejala
fundamentalisme Islam, itu dipandang dan ditanggapi oleh
sebagianbesar umat Islam sebagai gangguan, jika bukan
kekacauan (Ensiklopedi NM, Jilid 1: 722).
Fundamentalisme adalah istilah yang dikaitkan kalangan
Barat dengan terjadinya Revolusi Iran pada tahun 1979, yang
memunculkan kekuatan Muslim Syi’ah radikal dan fanatik yang
siap mati melawan the great satan, Amerika Serikat (Azra, 1996:
107). Olehkarena itu istilah fundamentalisme ini relatif
baru, khususnya dalam dunia Islam. Sedangkan Ernest Gellner
(1992:2) mengatakan bahwa gagasan dasar fundamentalisme atau
integrisme3 adalah bahwa suatu agama tertentu dipegang kokoh
dalam bentuk literal (harfiah) dan bulat, tanpa kompromi,
pelunakan, reinterpretasi dan pengurangan.
Terorisme merupakan sejumlah tindakan kekerasan khususya
yang menyangkut dengan politik (political violence) justifiable dan
3 Integrisme adalah istilah Prancis yang mengacu kepada kelompok“tradisionalis” Katolik yang ingin mengintegrasikan seluruh kehidupan kedalam agama mereka; da sebaliknya, agama ke dalam seluruh aspekkehidupan.
sebagian lagi unjustifiable. Kelompok unjustifiable inilah yang sering
disebut sebagai teror dan terorisme (Azra, 1996: 143). Political
violence yang terklasifikasi dalam justifiable merupakan perjuangan
politik, misalnya sebagaimana yang dilakukan oleh PLO dan
Hamas di Palestina. Walu pun terdapat beragam pandangan
mengenai apa yang terjadi pada negara-negara yang menuntut
kemerdekaan dari penjajahan. Sedangkan kekerasan politik
unjustifiable seperti yang dilakukan oleh ISIS di timur Tengah.
Terorisme sebagai sebuah paham memang berbeda
dengan kebanyakan paham yang tumbuh dan berkembang
di dunia, baik dulu maupun yang mutakhir. Terorisme
selalu identik dengan teror, kekerasan, ekstremitas,
dan intimidasi. Para pelakunya biasa disebut sebagai
teroris. Karena itu, terorisme sebagai paham yang
identik dengan teror seringkali menimbulkan
konsekuensi negatif bagi kemanusiaan. Terorisme
kerap menjatuhkan korban kemanusiaan dalam jumlah
yang tak terhitung (Mishrawi, 2011) Berdasarkan pengamatan Misrawi (2011) terorisme
diartikulasikan dalam tiga bentuk. Pertama, terorisme yang
bersifat personal. Aksi-aksi terorisme dilakukan perorangan.
Biasanya, dalam pengeboman bus seperti di Kairo merupakan
sebuah aksi personal. Pengeboman mal-mal dan pusat
perbelanjaan juga dapat dikategorikan sebagai terorisme yang
dilakukan secara personal.
Kedua, terorisme yang bersifat kolektif. Para teroris
melakukannya secara terencana. Biasanya, terorisme semacam
ini dilembagakan dalam sebuah jaringan yang rapi. Yang sering
disebut-sebut sebagai terorisme dalam kategori ini adalah
Jaringan al-Qaeda. Sasaran terorisme dalam kategori ini
adalah simbol-simbol kekuasaan dan pusat-pusat perekonomian.
Ketiga, terorisme yang dilakukan baru, yang biasa disebut
dengan “terorisme (oleh) negara” (state terrorism).
Penggagasnya adalah Perdana Menteri Malaysia, Mahathir
Muhammad dalam hajatan OKI terakhir. Menurutnya, terorisme
yang dikerahkan negara, tidak kalah dahsyatnya dari terorisme
personal maupun kolektif. Kalau kedua bentuk terdahulu
dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi, terorisme yang
dilakukan sebuah negara dapat dilihat secara kasat mata.
Ketiga-tiganya mempunyai titik temu, yaitu sama-sama
mencari tumbal dan korban. Yang mencolok dalam terorisme
adalah “balas dendam”. Karenanya, terorisme identik dengan
kenekatan dan keterpanggilan untuk melawan secara serampangan
(Misrawi, 2011). Terorisme sebagai gerakan yang membawa
ambisi kebenaran, menggunakan pelbagai kendaraan. Ada yang
menggunakan kendaraan agama, politik dan ekonomi. Apapun
kendaraannya, terorisme menampilkan wataknya yang serba
hegemonik, anarkis, dan radikal. Inilah kesan yang bisa
ditangkap mengenai terorisme. Hampir seluruh gambarannya
buruk dan tidak manusiawi. Para teroris, biasanya melandaskan
pada kebutuhan untuk membangun sebuah menara yang disebut
“identitas yang tunggal”. Terorisme mengandaikan adanya
“absolutisme”, baik dalam tataran suprastruktur maupun
struktur.
Sementara Nurcholish (dalam Ensiklopedi NM Jilid, 2012:
723) bahwa fundamentalisme merupakan gejala-gejala sosial-
psikologis sebagai akibat perubahan yang sangat cepat dapat
dengan mudah dimanipulasi untuk tujuan-tujuan tertentu. Hal
ini disebabkan karena gejala-gejala ini dengan sendirinya
diikuti perasaan kecewa, dendam, dan keinginan emosional
untuk melawan “kemapanan” (establishment). Kemapanan di sini
biasanya dianalogikan dengan pemerintah dan kelompok elite
pengusa ( ruling elite ).
May (1974: 277) membagi terorisme ke dalam dua bagian:
penguasa teror (regime of teror) dan cengkraman suasana teror
(siege terror). Regime of terror mengacu kepada terorisme untuk
melayani kekuasaan yang mapan sedangkan Siege teror mengacu
kepada terorisme untuk kepentingan gerakan-gerakan
revolusioner. Sedangkan Thornton sebagaimana dikutip oleh
Wilkinson (1974) membedakan empat jenis terorisme: kriminal4,
psikis5, perang6, dan politik.7
Berbeda dengan di Indonesia dalam penelitian SETARA
Institute (2010: 88) dalam beberapa tahun terakhir penyebab
utamanya bukanlah terletak pada adanya cita-cita-cita
penegakan syariat Islam. Berkembangnya terorisme di
4 Terorisme kriminal didefinisikan sebagai penggunaan teror secarasistematis untuk mencapai tujuan-tujuan material.5 Terorisme psikis mempunyai tujuan-tujuan mistik, keagamaan atau magis.6 Terorisme perang bertujuan melumpuhkan lawan, menghancurkan pertahanandan melumpuhkan kekuatan bertarung sehingga apat menghancurkannya.7 Terorisme politik secara umum didefinisikan sebagai penggunaan atauancaman kekerasan untuk mencapai tujuan-tujuan politik.
Indonesia, menurut sebagian besar di latar belakangi oleh
ketidakadilan ekonomi dan ketidakadilan politik.
Sedangkan istilah radikal mengacu kepada gagasan dan
tindkan kelompok yang bergerak untuk menumbangkan tatanan
politik mapan; negara-negara atau rejim-rerjim yang Bertujuan
melemahkan otoritas politik dan legitimasi negara-negara dan
rejim-rejim lain; dan negara-negara yang berusaha
menyesuaikan atau mengubah hubungan-hubungan kekuasaan yang
ada dalam sistem internasional (Azra, 1996:147). Selanjutnya
Azra menjelaskan bahwa istilah radikalisme karenanya secara
intrinsik berkaitan dengan konsep tentang perubahan politik
dan sosial pada berbagai tingkatan.
Dalam konteks kekinian pasca Tragedi Menara Kembar di
Amerika, Islam selalu mendapat stigma negatif dari Dunia
Barat, seolah-olah apa saja yang bersumber dari ajaran Islam
merupakan terorisme. Salah satu ajaran Islam yang sering
menjadi sorotan sebagai ajaran teror dari Islam adalah konsep
jihad, yang melulu sering dimaknai dan ditafsirkan sebagai
perang suci bagi para pengkaji Islam dari Barat atau pun
masyarakat Barat. walau sejatinya konsep Jihad dalam Islam
bukan hanya perang angkat sejata. Berikut kutipan mengenai
Jihad yang dimaknai Perang Suci oleh Karen Amstrong (2011).
“Jihad berasal dari Bahasa Arab. Kata ini secara harfiah berarti “perjuangan”dan biasanya digunakan dalam Alqur’an sebagai kata kerja: kaum muslimdidorong untuk “berjuang secara perkasa di jalan Tuhan”. Gagasanperjuangan dan pencapaian ini demikian penting dalam Islam dan kata jihadselalu mempertahankan konotasi ini. Tetapi paling sering kata “perjuangan”ini mengacu pada perang yang terpaksa dkemudian hari, setelah maknanyadiperluas, kata ini menjadi bermakna “perang suci” dan dalam pengertian
itulah kata ini didiskusikan pada pembahasan syariah, berabad-abad setelahMuhammad wafat.”
Namun Charles Kimbal dalam bukunya “Ketika Agama Jadi Bencana”
menyadari kekeliruan media Barat khususnya yang memaknai
Jihad sebagai Perang Suci.
“Secara literal, jihad berarti “berusaha” atau “berjuang di jalan Allah”. SemuaMulsim diperintahkan untuk ber-jihad. Istilah Perang Suci, yang banyakdigunakan media Barat dan di kalangan beberapa Muslim, hanyalah salahsatu bentuk jihad. Namun, penebarluasan ini bukanlah fokus utama bagiistilah yang syarat makna di sepanjang sejarah Islam ini. Kata-kataperingatan sangat penting bagi non-Muslim. Meskipun ada sejumlahekstrimis di kalangan Muslim yang menyerukan dan melakukan tindakantercela di bawah panji jihad, mereka hanya mewakili minoritas kecil dalamtubuh umat Islam..”
Hingga saat ini di dunia Barat, masih menganggap ajaran
jihad semata-mata hanyalah ajaran perang dan ajaran teror.
Disinilah pentingnya apa yang dianjurkan oleh Hans Kung
pentingnya untuk mempelajari ajaran-ajaran agama lain agar
dapat dipahami dan dapat menciptakan suasana dialog peradaban
sehingga tidak terjadi apa yang dikatakan oleh Hutington
mengenai benturan peradaban Barat dan Islam.
Tesis Huntington mengenai Clash of Civilization mendapat
perhatian banyak media, salah satunya adalah The Economist
yang menurunkan sebuah tulisan berikut.
“Permusuhan masa lalu dan kemarahan masa kini tidak perlumenjadi premis-premis silogisme yang harus berakhir denganpeperangan baru antara Islam dengan Barat. Kedua peradabanini memiliki lebih banyak kesamaan satu sama lain,dibandingkan yang dimiliki keduanya dengan dunia Konghucuatau Hindu, atau dengan sebagian besar koleksi budayaHuntington. Proposisi survei ini adalah bahwa tidak adaalasan yang dapat dibantah mengapa kaum Muslim danmasyarakat Barat tidak dapat hidup damai satu sama lain.
Keduanya, baik kaum Muslim maupun masyarakat Barat, perlumenghadapi hal ini dengan akal sehat dan perlu mengkajikembali ide-ide mereka saat ini tentang dunia. Secarakhusus, kaum Muslim perlu mencari cara untuk menyesuaikankebiasaan-kebiasaan mereka dalam tiga persyaratan khususkehidupan modern (yakni, menghadapi perekonomian modern,menerima ide tentang kesetaraan seksual, dan belajarmenyerap prinsip demokrasi). Tidak ada kendala fatal bagihal itu; tidak ada hal-hal mendasar dalam kedua peradabantersebut [yakni, Muslim dan Barat—peny.] yang menyebabkanharmoni mustahil terwujud… Barat pun harus memberikankontribusi. Di satu sisi, melihat secara jernih apa yanghendak dicapai Eropa dan Amerika dalam hubungan merekadengan Islam. Di sisi lain, perubahan yang mungkin terjadidalam pandangan hidup orang Barat sendiri, suatu perubahanyang akan memperluas platform ide-ide bersama yang menjadilandasan pijak kedua peradaban [Muslim dan Barat—peny.]ini”8
The Economist mengemukakan anti tesis dari tesis
Huntington mengenai benturan Islam dan barat. The Economist
bukanlah hal mustahil Islam dan Barat bekerjasama.
Zayes Yasin, seorang ahli rekayasa biomedis dan mantan
ketua Harvard Islamic Society memicu protes terhadap pemaknaan
jihad di dunia Barat. hal ini disampaikannya ketika ia
berpidato dalam kelulusannya di Universitas Harvard, berikut
pidatonya yang menggugat dunia Barat yang memamaknai jihad
sebagai ekstrimisme.
“Jihad dalam tradisi Muslim menggambarkan suatu perjuangan untukmelakukan kebajikan. Ini sama sekali bukan pidato tentang jihad dalampengertian perang, atau jihad 11 , september, atau Israel dan Palestina, ataupolitik. saya ingin menggunakan ide perjuangan untuk menyatakan bahwakita sebagai lulusan Harvard, yang telah diberi rahmat yang luar biasa,memiliki tugas dan tanggung jawab kepada dunia untuk berjuang amelawanketidakadilan, dan berjuang demi keadilan sosial.”
8 The Fundamental Fear: Islam and the West,” survei dalam majalah The Economist, 6 Aguustus 1994.
Zayed Yasin berpandangan bahwa pada tingkat yang paling
dasar, jihad adalah satu prjuangan terus menerus agar menjadi
orang yang baik dan bermoral, melakukan perbuatan baik untuk
orang lain dan bagi kemaslahatan masyarakat (Kimbal, 2011:
298).
Menyikapi permasalahan Islam Ekstrim, Yusuf Qardhawi dalam
bukunya “Islan “Ekstrem”: Analisis dan Pemecahannya” (1985:17)
menjelaskan bahwa dalam nash-nash Islam selalu menyeru kepada
sikap I’tidal (sikap tengah, moderasi), dan melarang sikap
berlebih-lebihan (ghuluw) atau ekstrim. Sikap moderat ini
menurut Qardhawi dapat dilihat dalam Alqur’an QS.5:77.
“Katakanlah: "Hai ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampauibatas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. dan janganlah kamumengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelumkedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan(manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus".
Setelah jelas kesesatan dan kekeliruan orang Yahudi serra
Nasrani, kedua kelompok Ahl al-Kitab itu diingatkan agar
tidak melampaui batas dalam beragama, termasuk melampaui
batas dalam keyakinan tentang elsa as. Dengan
mempertuhankannya, sebagaimana orang-orang Nasrani, atau
menuduhnya anak haram, sebagaimana orang Yahudi. Katakanlah:
"Hai Ahl al-Kitdb, Yahudi dan Nasrani,janganlah kamu berlebih-lebihan yakni
melampaui batas dalam agama kamu dengan cara tidak benar, antara
lain jangan memperruhankan elsa as. atau melecehkan beliau
(Shihab, 2009:209)
Dan janganlah kamu berlaku seperti orang yang bersungguh-
sungguh mengikuti hawa nafiu orangorangyang telah sesat dahulu sebelum
kedatangan Nabi Muhammad saw. Dan mereka tidak sekadar sesat
tetapi juga telah menyesatkan banyak orang, dan mereka sesat dari jalan
yang lurus setelah kedatangan Nabi Muhammad saw. Kata taghlulkamu
berlebih-lebihan digunakan juga dalam arti meneliti hakikat sesuatu
dengan sungguh-sungguh serta menganalisis yang tersembunyi dari satu teks.
Karena itu, ayat di atas menambahkan kata ghair al-b.aql dengan
cara yang tidak benar. Dapat juga dikatakan bahwa kata ghair al-b.aq
bermakna yang tercel a, dalam arti yang tidak dibenarkan, karena haq
adalah sesuatu yang terpuji sehingga yang bukan haq adalah
yang tercela. Ini untuk mengisyaratkan bahwa boleh jadi ada
sesuatu
yang berlebihan tetapi tidak tercel a, seperti memuji satu
amal kebajikan.
Demikian Ibn 'Asyur. Di atas, disebutkan dua kesesatan.
Kesesatan pertama menyangkut kandungan tuntunan Nabi Musa
atau dan 'lsa dan kesesatan kedua berkaitan dengan tuntunan
Nabi Muhammad saw. dan al-Qur'an. Thabathaba'i berpendapat
lain. Menurutnya, ayat ini mengajak orangorang Yahudi dan
Nasrani sejak terjadinya kekeliruan akidah mereka hingga masa
kini ten tang Tuhan dan manusia agar tidak melampaui batas
dalam beragama, yakni dalam memandang 'lsa as. sebagai anak T
uhan, sebagaimana keyakinan umat Nasrani, dan tidak juga
memandang 'Uzair demikian sebagaimana keyakinan orang Yahudi.
Mereka dilarang mengikuti hawa nafsu kaum sebelum mereka,
yakni para penyembah berhala yang meyakini adanya anak-anak T
uhan, sebagaimana dijelaskan dalam sejarah agama-agama,
seperti agama Mesir Kuno, Yunani, India, dan Cina. Memang
sangat logis jika ajaran mereka itu telah menyusup dan
meresap ke dalam keyakinan umat Yahudi dan Nasrani sehingga
mereka pun memercayai 'lsa dan 'Uzair sebagai anakanakTuhan.
Ini juga telah diisyaratkan oleh al-Qur'an dengan firman-Nya
(At-Taubah:30).
Dapat juga firman-Nya ya Ahl al-Kitab dipahami sebagai
dirujukan kepada orang-orang Nasrani saja karena ayat ini
ditemparkan sesudah kecaman kepada mereka dan, dengan
demikian, yang dimaksud dengan larangan ini adalah larangan
kepada orang-orang Nasrani agar ridak berlebihan dalam
memandang 'lsa as. sebagaimana orang-orang Yahudi sebelum
mereka yang relah mengikuti hawa nafsu mereka. Umar Nasrani
sangat membenci orang Yahudi yang berlebihan dalam sikap
keberagamaan mereka. Terapi, tanpa sadar, mereka telah
menempuh cara yang sarna dalam beragama. Dari sini, teguran
di atas menjadi sangat pada tempatnya.
Nabi Muhammad saw juga memperingatkan umatnya agar tidak
melampaui batas dalam beragama. "Janganlah melampaui batas dalam
beragama karena urn at sebelum kamu binasa disebabkan olehnya" (HR.
Ahmad). Dalam Shab.ib. Bukhari diriwayatkan melalui 'Umar ra.
bahwa Nabi saw. bersabda: "Janganlah kamu memujiku sebagaimana
orang Nasrani memuji putra Maryam. Aku ridak lain kecuali hamba, maka
karakanlah: 'HambaAllah dan Rasul-Nya'." (Shihab, 2009: 211).
Mengenai tidak bolehnya bersikap ekstrim juga banyak
hadits shahih yang menyampaikan tidak bolehnya bersikap
ekstrim. Salah satunya hadits sahih yang dirawi oleh Imam
Ahmad,”Hindarkanlah daripadamu sikap melampaui batas dalam agama,
karena sesungguhnya orang-orang sebelum kamu telah binasa karenanya.”
Dalam hadits lain, yang dirawikan oleh Abu Ya’la: “Janganlah
kamu memperberat dirimu, nanti Allah memperberat atas kamu. Suatu kaum
telah memberati diri mereka sendiri hingga Allah memperberat atas mereka.
lihatlah sisa-sisa hal itu seperti dalam cara hidup para pendeta Kaum Nasrani.”
Menurut Qardhawi (1985:19) hadits di atas merupakan sikap
Nabi saw yang selalu menentang sikap ekstrim dan sikap
berlebih-lebihan dan keluar dari ajaran Islam. Maksud para
pendeta kaum Nasrani tersebut menurut Qardhawi bahwa dalam
Islam tidak mensyariatkan sikap hidup kerahiban yang menjauhi
kehidupan dunia. Islam tidak membenarkan umatnya hidup
mengucilkan diri dari kehidupan dan hubungan
masyarakat.bahkan Islam memerintahkan umatnya untuk
menegakkan asas persaudaraan dan rasa senasib sepenanggungan,
dengan tidak menyia-nyiakan kepentingan manusia dalam
Indonesia telah memiliki prinsip dan visi kebangsaan yang
kuat, yang bukan saja dapat mempertemukan kemajemukan
masyarakat dalam kebaruan komunitas politik bersama, tetapi
juga mampu memberi kemungkinan bagi keragaman komunitas untuk
tidak tercerabut dari akr tradisi dan kesejarahannya masing-
masing” (Latif, 377).
Said (2004) mengatakan bahwa istilah pendidikan
multikultural dapat digunakan pada tingkat deskriptif dan
normatif, yang menggambarkan isu-isu dan masalah- masalah
pendidikan berkaitan dengan masyarakat multikultural. Labih
jauh lagi mencakup pengertian tentang pertimbangan terhadap
kebijakan-kebijakan dan strategi-strategi pendidikan dalam
masyarakat multikultural. Dalam konteks deskriptif ini, maka
kurikulum pendidikan multkultural harus mencakup subjek-
subjek seperti : toleransi, tema-tema tentang perbedaan etno-
kultural, dan agama; bahaya diskriminasi; penyelesaian
konflik dan mediasi; HAM; demokrasi dan pluralitas;
kemanusiaan universal dan subjek-subjek lain yang relevan.
D. Pendidikan Multikultural untuk Pembangunan Bangsa
Tidak bisa dipungkiri bahwa kehidupan umat manusia saat
ini sangatlah pluralistik dan multikultur . olehkarena itu
semestinya perbedaan agama, pandangan politik, perbeaan etnis
suku bukan menjadi penghalang bagi pembangunan masyarakat,
bangsa, negara dan kehidupan global. Teologi-teologi danyang
ada dalam kehidupan setiap individu masyarakat semestinya
menjadi energi untuk hidup bersama dan membangun kehidupan
bersama yang lebih baik. Menarik apa yang ditulis oleh
Charles Kimbal dalam bukunya “Ketika Agama jadi Bencana” (2008:
xxvi) berikut:
“Sekarang kita memang sedang hidup dalam iklim yang amat pluralis. Tidakhanya agama sebagai institusi, teologi sebagai ilmu pun tak dikecualikan daritantangan itu. Harus diakui, menghadapi tantangan pluralisme global,teologi klasik-tradisional sudah tidak memadai lagi. Sekarang bukan saatnyateologi bertanya, apakah umat di luar “agama”-ku diselamatkan atau tidak,atau bagaimana mereka bisa diselamatkan? Teologi perlu meninggalkanperspektifnya yang sempit itu. Sekarang teologi mesti terbuka, bahwa Tuhanmempunyai rencana “keselamatan umat manusia yang menyeluruh”.
Melihat apa yang sampaikan oleh Kimbal tersebut, sekiranya
penting untukk tidak lagi menghabiskan energi mengenai klaim
kebenaran (truth claim). Olehkarena itu apa yang dianjurkan
oleh Nurcholsih Madjid mengenai perlunya melakukan dialog
dengan prinsip relativitas internal dan relativitas
eksternal. Relativitas internal mengacu pada dialog antar
mazhab atau pandangan beragama, misalnya antara Syiah dan
Sunni, atau kalau di Indonesia pentingnya dialog antara
Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah atau organisasi Islam
lainnya, sehingga dapat meredam konflik. Sedangkan
relativitas eksternal mengacu pada dialog dengan prinsip
Islam “lakum diukum waliyadin.” Ketika terjadinya keamanan dan
kenyamanan dalam kehidupan beragama, maka hal ini akan
memberi kontribusi bagi pembangunan bangsa dan kehidupan
bernegara.
Visi pembangunan nasional yaitu untuk memperkuat jati diri
dan kepribadian manusia, masyarakat dan bangsa Indonesia
dalam suasana yang demokratis, tentram, aman, dan damai.
(Tilaar, 2004: 166). Dikarenakan visi tersebut, maka
pembangunan di Indonesia dibutuhkan masyarakat baru yang
memiliki karakter: damai, demokratis, berkeadilan, berdaya
saing, dan sejahtera. Selanjutnya Tilaar menjelaskan bahwa
untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang berkualitas maka
dibutuhkan manusia yang:
1. Sehat,
2. Mandiri,
3. Beriman,
4. Bertaqwa,
5. Berakhlak mulia,
6. Cinta tanah air,
7. Sadara hukum dan lingungan.
8. Menguasai ipteks,
9. Memiliki etos kerja tinggi, dan
10. Berdisiplin
Visi tersebut bisa dicapai dengan mancantumkannya ke dalam
misi pendidikan. Sehingga dalam misi pendidikan manusia
Indonesia dibutuhkan kualitas yang: demokratis, berakhlak
sehat, berdisiplin, bertanggungjawab, dan menguasai Ipteks
(Tilaar, 2004: 167). Wujud dari misi pendidikan tersebut,
yaitu:
1. Memberdayakan lembaga pendidikan sebagai pusat
pembudayaan nilai. Dalam usaha tersebut perlu melibatkan
dan meningkatkan partisipasi keluarga dan masyarakat.
2. Pembaharuan dan pemantapan sistem pendidikan yang
berdasarkan kepada prinsip desentralisasi, otonomi
keilmuan dan manajemen (Tilaar, 2004: 168).
Dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 32 berbunyi
“Kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak kebudayaan di daerah.” Para
Pendiri Bangsa telah memandang penting mengenai multikultural
yang akan menjadi kebudayaan Bangsa Indonesia. Menurut Reed
(1997) dengan adanya multikulturalisme maka sebuah masyarakat
dilihat sebagai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam
masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mozaik,
dimana dalam mozaik tersebut tercakup semua kebudayaan dari
masyarakat-masyarakat kecil yang membentuk masyarakat yang
lebih besar, yang mempunyai kebudayaan yang seperti sebuah
mozaik tersebut.
Pendidikan multikultural sangat sesuai dengan deklarasi
universal dalam membangun di milenium ketiga, yaitu upaya
mengatasi berbagai ketimpangan yang terjadi dalam kehidupan
manusia, kehidupan global, termasuk Indonesia (Tilaar, 2012:
946). Selanjutnya Tilaar menjelaskan bahwa pendidikan
multikultural akan berdampak pada kehidupan kesetaraan dalam
berbangsa dan bernegara. Pendidikan multikultural juga
merupakan partisipasi masyarakat dan bangsa Indonesia dalam
mewujudkan kehidupan dunia yang lebih serasi dan menghapuskan
ketimpangan di dunia.
Dalam konteks demokrasi, pendidikan multikultural akan
sangat berinergi untuk menjalankan prinsip negara Indonesia
sebagai negara demokratis. Pendidikan multikultural akan
memberikan penyadaran bagi generasi muda mengenai pluralisme.
John Rawls (1974) dalam bukunya Theory of Justice menjelaskan
demokrasi dalam kerangka pluralisme dengan nalar publik,
yaitu agar setiap kelompok yang berbeda harus saling
mengkomunikasikan perbedaannya sehingga dapat dimengerti oleh
sebanyak mungkin bagi pihak yang berkepentingan. Dalam nalar
publik yang merpakan pengajuan dari setiap warga negara
setiap kali mereka mengusulkan , mendukung atau menolak dari
sebuah diskursus atau kebijakan yang melibatkan pemerintah.
Sehingga setiap keberagaman yang masuk ke ranah publik dan
ranaj politik demokrasi-pluralistik maka setiap kelompok
harus memafhumkan keniscayaan keberagaman.
Perbedaan dan keragaman bukanlah alasan untuk berpisah dan
bercerai berai hingga mengabaikan pembangunan bangsa.
Generasi muda, pelajar penting untuk merenungkan kembali
Pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945 berikut:
“Sebagai tadi telah saya katakan, kita mendirikan NegaraIndonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buatsemua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan Islam buatIndonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan VanEck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buatIndonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia-semua buatsemua! Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yangtiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataanIndonesia yang tulen, yaitu perkataan ‘Gotong Royong”.
Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah Negara GotongRoyong!”
Poin penting dari pidato Soekarno tersebut adalah semangat
gotong royong. Indonesia dengan segala keberagaman justru
akan menjadi kokoh sebagaimana yang terjadi di Amerika
Serikat. Kalau di Amerika Serikat maju karena semangat
pluralismenya untuk bersatu, maka semestinya Indonesia juga
menjadikan kemajemukan di Indonesia sebagai alasan pentingnya
membangkitkan dan menjadikan gotong royong dalam menjalankan
amanat para pendiri bangsa, yaitu pembangunan yang
berkeadilan.
Daoed Joesoef (2014: 173-174) memandang bahwa selama ini
pembangunan masih sebatas retorika “mengisi kemerdekaan”,
pengelola negara lupa untuk membangun negara dengan
pendekatan buday, dalam hal ini maka kajian dan pnereapan
pendidikan multikultural akan menjadi sangat bermanfaat.
Pembangunan dengan pendekatan kebudayaan karena selain
kecendrungan masa depan kehidupan yang semakin cendrung
berpembwaan kebudayaan, ia pun secara eksplisit berurusan
dengan manusia. Sebab sejauh budaya adalah “sistem nilai yang
dihayati”, maka manusia bai berupa “mahluk” maupun “individu
otonom”, adalah yang membuat “ada” nilai itu dan sekaligus
memberi “makna” pada nilai yang bersangkutan (Joesoef, 2014:
173). Joesoef menganjurkan agar pemerintah perlu
memperhitungkan nilai-nilai budaya yang penting
dipertimbangkan dalam membangun bangsa, yaitu: a) Ruang; b)
Politik dimana demokrasi langsung bisa dipraktikkan di
tengah-tengah sistem demokrasi yang berlaku; c) Musyawarah
(dialog) yang diniscayakan oleh Pancasila; d) martabat
manusia (human dignity) yang melekat pada posisi
kewarganegaraan (citizenship).
BAB VII
PERSPEKTIF PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
A. Masyarakat Madani dalam Konsep Indonesia
Sejarah Konsep Madani
Ketika Hijrah, di antara tindakan pertama Rasulullah Saw.—
segera setelah tiba di Yatsrib—ialah mengubah nama kota itu
menjadi Madinah, atau lengkapnya, Madînat Al-Nabî, “Kota Nabi”.
Ini bisa dibandingkan dengan keputusan Raja Constantin dari
Byzantium yang memberi nama Constantinopel (Constantinopolis,
“Kota Konstantin”) kepada kota yang didirikannya. Tetapi Nabi
tidaklah bermaksud untuk sekadar mengabadikan nama beliau
seperti maksud raja Eropa itu. Dengan mengubah nama kota
Yatsrib menjadi Madinah, Nabi memaksudkan sesuatu yang jauh
lebih mendalam. Dawam Rahardjo (1997:27-28) melacak bahwa
secara empirik istilah civil society yang juga sering diartikan
sebagai masyarakat madani berasal dari istilah Latin civil
societas yang pada awanya dipakai oleh Cicero (106-43 SM)
seorang orator dan pujangga asal Roma, yang pengertiannya
sebagai sebuah Masyarakat Politik (political sociey) yang
menilai kode hukum sebagai dasar pengaturan hidup (Nurcholish
Madjid, 2012: 1745 Ensiklopedi NM,Jilid 3).
Pertama-tama, perkataan “madînah” sendiri memang berarti
“kota”. Selanjutnya, dari segi etimologis, perkataan itu
berasal dari akar kata yang sama dengan perkataan “madanîyah”
dan “tamaddun”, yang artinya “peradaban”, “civilization”. Maka,
secara harfiah “madînah” adalah tempat peradaban atau suatu
lingkungan hidup yang ber
Dalam bahasa Arab, padanan istilah “madanîyah” ialah
“hadlârah” (satu akar kata dengan perkataan “hâdlir”
[Indonesia: “hadir”]) yang menunjuk kepada pengertian asal
“pola hidup menetap di suatu tempat” (“sedentary”). Pengertian
ini
amat erat kaitannya dengan istilah “tsaqâfah”, suatu padanan
dalam bahasa Arab untuk “budaya”, “culture”, tapi sesungguhnya
juga mengisyaratkan pola kehidupan yang menetap di suatu
tempat tertentu. Sebab peradaban dan kebudayaan, dalam arti
idealnya, dapat diwujudkan hanya melalui pola kehidupan
sosial yang menetap, “sedentary” (Inggris), tidak berpindah-
pindah seperti dalam pola kehidupan kaum “nomad” (Inggris).
Oleh karena itu, konsep “madanîyah” tersebut akan menjadi
lebih tajam pengertiannya jika kita letakkan dalam konteks
pola kehidupan yang umum terdapat di Jazirah Arabia saat itu,
yaitu pola(Madjid, 2012: 1745).
Kehidupan “badâwah”, “bâdiyah” atau “badw”, yang mengandung
makna pola kehidupan berpindahpindah, nomad, dan tidak
teratur, khususnya pola kehidupan gurun pasir. Bahkan
sesungguhnya istilah itu mengisyaratkan pola kehidupan
“primitif ” (“tingkat permulaan”), sebagaimana ditunjuk oleh
etimologi istilah itu sendiri (“badâwah”, “badw” adalah
seakar kata dengan “ibtidâ’” seperti dimaksud dalam istilah
“madrasah ibtidâ’îyah”, yakni “sekolah tingkat permulaan”).
Karena itu, orang yang berpola kehidupan berpindah-pindah,
tidak teratur, dan “kasar” dalam bahasa Arab disebut orang
“badâwî” atau“badawî” (“badui”, yang juga dipinjam dalam
bahasa Inggris menjadi “bedouin”), sebagai lawan dari mereka
yang disebut kaum “hadlarî” atau “madanî” (Madjid, 2012:1746,
Ensiklopedi NM Jilid 3).
Masyarakat Madani Warisan Nabi
Tidak lama setelah menetap di Madinah itulah, Nabi Saw.
Secara konkret meletakkan dasar-dasar masyarakat madani,
bersama semua unsur penduduk Madinah menggariskan ketentuan
hidup bersama dalam suatu dokumen yang dikenal sebagai Piagam
Madinah (Mîntsâq Al-Madînah). Dalam dokumen itu umat manusia
untuk pertama kalinya diperkenalkan, antara lain, kepada
wawasan kebebasan, terutama di bidang agama dan ekonomi,
serta tanggung jawab sosial dan politik, khususnya
pertahanan, secara bersama (Madjid, 2012: 1878, dalam
Ensiklopedi NM Jilid 3).
Masyarakat madani warisan Nabi Saw. yang bercirikan antara
lain egalitarianisme, penghargaan kepada orang berdasarkan
prestasi (bukan prestise seperti keturunan, kesukuan, ras,
dan lain-lain), keterbukaan partisipasi seluruh anggota
masyarakat, dan penentuan kepemimpinan melalui pemilihan,
bukan berdasarkan keturunan, setelah Nabi wafat hanya
berlangsung selama tiga puluh tahun masa khilâfah râsyidah.
Sesudah itu, sistem sosial madani digantikan dengan sistem
yang lebih banyak diilhami oleh semangat kesukuan atau
tribalisme Arab pra-Islam yang kemudian dikukuhkan dengan
sistem dinasti keturunan atau geneologis. Sistem dinasti
geneologis itu tidak dikenal dalam ajaran Islam. ‘A’isyah,
janda Nabi yang disegani karena ilmunya, yang menjadi tokoh
wanita Islam klasik paling berpengaruh dan menjadi guru
banyak sekali pemimpin zaman itu, menamakan sistem dinasti
geneologis itu sebagai Hirqalîyah atau “Hirakliusisme”, mengacu
pada Kaisar Heraklius, penguasa Yunani saat itu, seorang
tokoh sistem dinasti geneologis (Madjid, 2012)
Begitulah keadaan dunia Islam yang terus-menerus hanya
mengenal sistem dinasti geneologis, sampai datangnya zaman
modern sekarang, di mana sebagian negeri Muslim menerapkan
konsep negara republik, dengan presiden dan pimpinan lainnya
yang dipilih. Karena itu justru dalam zaman modern ini
mungkin prasarana sosial dan kultural masyarakat madani yang
dahulu tidak ada pada bangsa mana pun di dunia, termasuk
bangsa Arab, akan terwujud. Maka kesempatan membangun
masyarakat madani menurut teladan Nabi justru mungkin lebih
besar pada saat sekarang ini.
Berpangkal dari pandangan hidup bersemangat Ketuhanan
dengan konsekuensi tindakan kebaikan kepada sesama manusia,
masyarakat madani tegak berdiri di atas landasan keadilan,
yang antara lain bersendikan keteguhan berpegang pada hukum.
Menegakkan hukum adalah amanat Tuhan, yang diperintahkan
untuk dilaksanakan kepada yang berhak (Q., 4: 58). Dan Nabi
Saw. telah memberi teladan kepada kita. Secara amat setia
beliau laksanakan perintah Allah itu. Apalagi Al-Quran juga
menegaskan bahwa tugas suci semua nabi ialah menegakkan
keadilan (Q., 10: 47). Juga ditegaskan bahwa para rasul yang
dikirimkan Allah ke tengah umat manusia dibekali dengan kitab
suci dan ajaran keadilan, agar manusia tegak dengan keadilan
itu (Q., 57: 25). Keadilan harus ditegakkan tanpa memandang
siapa yang akan terkena akibatnya. Keadilan juga harus
ditegakkan, meskipun mengenai diri sendiri, kedua orangtua
atau sanak keluarga (Q., 4: 135).
Bahkan terhadap orang yang membenci kita pun, kita harus
tetap berlaku adil, meskipun sepintas lalu keadilan itu akan
merugikan kita sendiri (Q., 5: 8). Atas pertimbangan ajaran
itulah Nabi Saw. dalam rangka menegakkan masyarakat madani
atau civil society tidak pernah membedakan antara “orang atas”,
“orang bawah”, ataupun keluarga sendiri. Beliau pernah
menegaskan bahwa hancurnya bangsabangsa di masa dahulu adalah
karena jika “orang atas” melakukan kejahatan dibiarkan, tapi
jika “orang bawah” melakukannya pasti dihukum. Karena itu Nabi
juga menegaskan bahwa seandainya Fathimah, putri kesayangan
beliau, melakukan kejahatan, maka beliau akan hukum dia
sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Masyarakat berperadaban
tidak akan terwujud jika hukum tidak ditegakkan dengan adil,
yang dimulai denganketulusan komitmen pribadi.
Masyarakat berperadaban memerlukan adanya pribadi-pribadi
yang dengan tulus mengikatkan jiwanya kepada wawasan keadilan.
Ketulusan ikatan jiwa itu terwujud hanya jika orang
bersangkutan ber-îmân, percaya, mempercayai, dan menaruh
kepercayaan kepada Tuhan, dalam suatu keimanan etis, artinya
keimanan bahwa Tuhan menghendaki kebaikan dan menuntut
tindakan kebaikan manusia kepada sesamanya. Dan tindakan
kebaikan kepada sesama manusia itu harus didahului dengan diri
sendiri menempuh hidup kebaikan, seperti dipesankan Allah
kepada para rasul, agar mereka “makan dari yang baik-baik
dan berbuat kebajikan” (Q., 23: 51).
Nurcholish Madjid berpandangan bahwa Ketulusan ikatan
jiwa juga memerlukan sikap yang yakin pada adanya tujuan hidup
yang lebih tinggi daripada pengalaman hidup sehari-hari di
dunia ini. Ketulusan ikatan jiwa itu membutuhkan keyakinan
bahwa makna dan hakikat hidup manusia pasti akan menjadi
kenyataan dalam kehidupan abadi, kehidupan setelah mati,
dalam pengalaman bahagia atau sengsara. Karena itu, ketulusan
ikatan jiwa pada keadilan mengharuskan orang memandang hidup
jauh ke depan, tidak menjadi tawanan keadaan di waktu sekarang
dan di tempat ini (dunia) (Q.,7: 169). Tetapi tegaknya hukum
dan keadilan tidak hanya memerlukan komitmen-komitmen pribadi.
Komitmen pribadi, yang menyatakan diri dalam bentuk “iktikad
baik”, memang mutlak diperlukan sebagai pijakan moral dan
etika dalam masyarakat. Sebab, bukankah masyarakat adalah
jumlah keseluruhan pribadi-pribadi para anggotanya? Apalagi
terhadap para pemimpin masyarakat atau public figure, maka
kebaikan iktikad itu lebih-lebih lagi dituntut, dengan
menelusuri masa lalu sang (calon) pemimpin, baik dirinya
sendiri maupun mungkin keluarganya. Karena itu, di banyak
negara seorang calon pemimpin formal harus mempunyai catatan
pengalaman hidup yang baik, melalui pengujian, bukan oleh
perorangan atau kelembagaan, tapi oleh masyarakat luas, dalam
suasana kebebasan yang menjamin kejujuran. Namun
sesungguhnya, seperti halnya dengan keimanan yang bersifat
amat pribadi, iktikad baikbukanlah suatu perkara yang dapat
diawasi dari luar diri orang bersangkutan. Ia dapat bersifat
sangat subjektif, dibuktikan oleh hampir mustahilnya orang
tidak mengaku beriktikad baik. Kecuali dapat diterka melalui
gejala lahiri belaka, suatu iktikad baik tidak dapat
dibuktikan, karena menjadi bagian dari bunyi hati sanubari
orang bersangkutan yang paling rahasia dan mendalam.
Oleh sebab itu, iktikad baik pribadi saja tidak cukup
untuk mewujudkan masyarakat berperadaban. Iktikad baik yang
merupakan buah keimanan itu harus diterjemahkan menjadi “amal
saleh”, yang secara takrif adalah tindakan yang membawa
kebaikan untuk sesama manusia. Tindakan kebaikan bukanlah
untuk kepentingan Tuhan, sebab Tuhan adalah Mahakaya, tidak
Siapa pun yang melakukan tindakan kebaikan maka dia
sendirilah, melalui hidup kemasyarakatannya, yang akan
memetik dan merasakan kebaikan dan kebahagiaan. Begitu pula
sebaliknya, siapa pun yang melakukan kejahatan, maka ia
sendiri yang akan menanggung akibat kejahatan dan
kerugiannya. Jika kita perhatikan apa yang terjadi dalam
kenyataan sehari-hari, jelas sekali bahwa nilai-nilai
kemasyarakatan yang terbaik sebagian besar dapat terwujud
hanya dalam tatanan hidup kolektif yang memberi peluang pada
adanya pengawasan sosial. Tegaknya hukum dan keadilan mutlak
memerlukan suatu bentuk interaksi sosial yang memberi peluang
bagi adanya pengawasan itu.
Pengawasan sosial adalah konsekuensi langsung dari iktikad
baik yang diwujudkan dalam tindakan kebaikan. Selanjutnya,
pengawasan sosial tidak mungkin terselenggara dalam suatu
tatanan sosial yang tertutup. Amal saleh atau kegiatan “demi
kebaikan” dengan sendirinya berdimensi kemanusiaan, karena
berlangsung dalam suatu kerangka hubungan sosial, dan
menyangkut orang banyak. Suatu klaim berbuat baik untuk
masyarakat, apalagi jika perbuatan atau tindakan itu
dilakukanmelalui penggunaan kekuasaan,tidak dapat dibiarkan
berlangsung dengan mengabaikan masyarakat itu sendiri dengan
berbagai berbagai pandangan, penilaian, dan pendapat yang
ada. Dengan demikian, masyarakat madani bakal terwujud hanya
jika terdapat cukup semangat keterbukaan dalam masyarakat.
Keterbukaan adalah konsekuensi dari perikemanusiaan, suatu
pandangan yang melihat sesama manusia secara positif dan
optimistis (Madjid, 20120.
Perkembangan konsep Madani
Membahas masyarakat madani maka harus dimulai dari konsep
Negara Madinah yang pernah dibangun pada masa Nabi. Robert N.
Bellah mengatakan bahwa konsep Negara Madinah yang dibangun
masa Nabi merupakan contoh pertama nasionalisme modern. Dalam
Negara Madinah sangat memperhatikan kepentingan seluruh warga
bangsa tanpa terkecuali (Bellah, 1976). Menurut Madjid
(2008:198) sebenarnya Robert N.Bellah menilai bahwa sistem
madinah masa Nabi dan masa empat khalifah sesudahnya sebagai
sangat modern (remarkably modern), bahkan terlalu modern
untuk zaman dan tempatnya, sehingga hanya berlangsung hanya
dalam jangka waktu yang relatif pendek. Menurut Bellah konsep
Negara Madinah masa Nabi pada masa itu belum tersedia
prasarana sosial-budaya yang diperlukan untuk menopang sistim
Negara Madinah yang sangat modern tersebut. Sehingga Bellah
menyebut konsep masyarakat madani masa Nabi sebagai “a better
model for modern national comunity building than might be imagined”. Dari
apa yang digambarkan Bellah tersebut, pada dasarnya konsep
masyarakat madani dalam Islam lebih modern dari yang sedang
dibangun masyarakat modern.
Menurut Bellah, prinsip tauhid dalam Islam memuat
masayarakat madani dalam Islam menjadi modern.”...Third was the
radical devaluation, one might legitimately say secularization, of all existing social
structures in face of this central God-man relationship. This means above all the
removal of kinship, which had been the chief locus of the sacred in pre-Islamic
Arabia, from its central significance.”Madjid menjelaskan maksud Bellah
tersebut bahwa semangat tauhid membuat manusia memperoleh
kemerdekaannya yang hakiki, karena terbebaskan dari segala
penghambaan terhadap sesama mahluk, terutama manusia. Dengan
prinsip tauhid ini manusia harus menentang kekuasaan yang
merampas kebebasan. Bellah melanjutkan bahwa prinsip
masyarakat madinah adalah suatu bentuk nasionalisme yang
egaliter partisipatif.
Pendidikan multikultural dapat berkontribusi bagi
kehidupan demokrasi di Indonesia. Dalam pendekatan pendidikan
demokrasi John Dewey proses demokratisasi di sebuah bangsa
harus menjadi way of life. Olehkaraenaitu demokrasi yang terdapat
dalam pendidikan multikultural dalam proses pendidikannya
harus menjalankan prinsip demokrasi.
Di Indonesia masa modern telah terbangun sebuah masyarakat
madani dengan rumusan dengan Pancasila. Dalam payung
Pancasila ini segala macam perbedaan disatukan. Apa yang
berlangsung di Indonesia ini oleh Robert N Bellah disebut
sebagai “agama sipil.” Konsep masyarakat madani di Amerika
membuat Bellah menyebutnya dengan agama sipil, konsep ini
dituli Bellah dalam sebuah tulisan berjudul “Agama Sipil di
Amerika” (Bellah, 2009). Bellah menjelaskan banyak orang yang
salah menilai bahwa spirit Amerika adalah spirit
Kristianitas, padahal yang terjadi adalah agama sipil yang
diluar dan terpisah dari lembaga-lembaga keagamaan seperti
gereja.olehkarena itu Bellah menawarkan agama sipil ini
sebagai solusi membangun masyarakat madani.
B. Multikultural dalam Masyarakat Indonesia
Apakah yang dimaksud dengan kebudayaan Indonesia? Apakah
yang dimaksud dengan puncak-puncak kebudayaan suku bangsa
yang ada di Nusantara? (Tilaar, 2012:935) pertanyaan tersebut
dikemukakan Tilaar sebagai upaya untuk mencari hakikat
kebudayaan Indonesia. Menurut Tilaar bahwa di Indonesia dalam
konteks budaya makro bahwa budaya Indonesia sedang proses
menjadi dan merupakan proses terus menerus tanpa ujung dari
generasi ke generasi.
Ada pernyataan menarik dari Budayawan, Emha Ainun Nadjib
atau yang lebih dikenal dengan Cak Nun. Cak Nun mengatakan,
“Indonesia ini bukan kumpulan suku-suku kemudian menjadi Bangsa. Indonesia
ini adalah bangsa-bangsa yang berkumpul menjadi “United Nation of
Nusantara”. Karena Jawa itu bangsa, Aceh itu bangsa, Batak itu bangsa, bukan
suku-suku.”
Puncak dari “teologi kerukunan” di Indonesia adalah
penerimaan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi pada
18 Agustus 1945 (Azra, 1999: 41). Azra mengatakan bahwa
Pancasila dapat dikatakan kalimatun sawa’ yang mengutamakan
kerukunan dan integrasi nasional, dan tidak menonjolkan salah
satu agama, atau agama mayoritas belaka. Multikulturalisme
didorong atas pengakua terhadap hak azazi manusia dan hak
akan kebudayaan.
Nurcholish Madjid (2004:40) mengatakan jika tidak adanya
konvergensi bergaman kebudayaan, misalna antara Islam dan
budaya lokal maka peluang konflik akan menjadi besar, dan
akan menjadi permasalahan nasional. Sebagaimana yang
silang budaya nasional hibrida yang lebih unggul dan lebih
tangguh. Olehkarena itu tidak perlu adanya penyeragaman,
karena hal itu akan mengarahkan kepada totaliterian.
Bagi Nurcholish paham kemajemukan masyarakat adalah bagian
amat penting dari tatanan masyarakat maju. Dalam paham itulah
dipertaruhkan, antara lain, sehatnya demokrasi dan keadilan.
Pluralisme tidak saja mengisyaratkan adanya sikap bersedia
mengakui hak kelompok lain untuk ada, tetapi juga mengandung
makna kesediaan berlaku adil kepada kelompok lain itu atas
dasar perdamaian dan saling menghormati.
Indonesia adalah sebuah bangsa besar yang mewadahi warisan
kejayaan peradaban nuantara dan kerajaan-kerajaan bahari
terbesar di muka bumi. Jika tanah dan air yang kurang lebih
sama, nenek moyang bangsa Indonesia pernah menorehkan tinta
keemasannya, tidak ada alasan bagi manusia baru Indonesia
untuk tidak mengukir kegemilangan. Bila mampu membangun
bangsa yang sesuai dengan jati dirinya, harkat bangsa ini di
pentas dunia bisa sepadan dengan keluasan wilayah dan
kuantitas penduduknya (Latif, 2001: 377)
Dalam konteks mengembangkan multikulturalisme sumbangan
Pemikiran Nurcholish Madjid tentang pluralisme akan membuat
masyarakat menerima realitas kehidupan agama yang majemuk.
Sikap intelektualitas Nurcholish ini berada dalam bingkai
paradigma inklusif, sehingga pemikirannya tentang pluralisme
sering dikatakan sebagai sebuah “teologi inklusif”, yaitu
suatu bentuk teologi yang berusaha mencari titik persamaan
(kalimatun sawa, common platform) dan mengakui dengan lapang hak
hidup penganut agama lain.
C. Membangun Masyarakat dari Kelas Multikultural
Kemajuan dan kemaslahatan merupakan produk terpenting dari
nasionalisme dan patriotisme. Dalam kesadaran nasionalisme
danpatriotisme progresif, Indonesia bukan hanya suatu bangsa
(nation) melainkan juga suatu notion (pengertian) (Latif,
2011: 377). Sebagaimana pernah dinyatakan oleh Hatta,”Karena
dia melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan dan
untuk mewujudkannya, tiap orang Indonesia akan berusaha dengan segala
tenaga dan kemampuannya.”
Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem
pendidikan nasional Pasal 4 ayat 1 dicantumkan mengenai
masalah-masalah nilai-nilai kultural sebagai salah satu
prinsip penyelenggaraan pendidikan yang harus memperhatikan
nilai-nilai kultural sebagai salah satu prinsip
penyelenggaraan pendidikan yang harus memperhatikan nilai-
nilai kultural dan kemajemukan bangsa.
Membangun masyarakat yang sadar akan kemajemukan,maka
pendekatan yang harus dilakukan adalan pendekatan
internalisasi di dalam kelas. Berikut adalah tahap yang dapat
dilakukan di kelas untuk menginternalisasikan pendidikan
multikultural melalui pendekatan budaya organisasi yang pada
hakikatnya sama dengan prinsip transformasi nilai dalam ilmu
pendidikan.
Robbins dan Judge (2007) menyebutkan bahwa proses
internalisasi dapat dilakukan melalu tiga tahap, yaitu
prearrival stage, encounter stage, dan metamorphosis sgtage. Prearrival stage
adalah suatu periode dari pembelajaran dalam proses
sosialisasi yang dilakukan sebelum siswa bergabung dalam
sekolah. Encounter stage adalah tahapan dalam proses sosialisasi
yang mana siswa (baca peserta didik) melihat apa yang disukai
dalam sekolah dan menghadapi kemungkinan harapan dan realitas
yang mungkin berbeda. Dan metamorphosis stage adalah tahapan
dalam proses sosialisasi yang mana siswa berubah dan mengatur
pekerjaannya, kelompok kerjanya, dan sekolahnya.
Hanggraeni (2012:155) menjelaskan internalisasi pada Tahap
prakedatangan (prearrival stage) secara terbuka mengakui bahwa
setiap individu datang dengan sekumpulan nilai, sikap, dan
harapan tertentu. Hal ini mencakup tugas yang akan dijalankan
mau pun sekolah (sekolah). Tahap perjumpaan adalah tahap
yang terjadi ketika siswa (siswa) masuk ke dalam sekolah
(sekolah). Di sini, individu menghadapi kemungkinan dikotomi
antara harapan - mengenai tugas, sekolah secara umum - dengan
kenyataan. Jika harapan ternyata kurang lebih sama dengan
kenyataan, maka tahap perjumpaan ini sekedar memberikan
penegasan kembali mengenai persepsi yang telah diperoleh
sebelumnya. Namun, jika harapan dan kenyataan berbeda,
anggota (siswa) baru harus melalui internalisasi untuk
melepas berbagai asumsi yang sebelumnya di dapatkan dan
menggantinya dengan asumsi yang dipandang tepatdi sekolah.
Pada tahapan metamorphosis yang terjadi ketika siswa harus
memecahkan segala masalah yang ditemuinya di masa perjumpaan.
Pada tahap ini, internalisasi dikatakan berhasil ketika siswa
sudah merasa nyaman dengan sekolah dan pekerjaan mereka.
Mereka telah menginternalisasi berbagai norma sekolah dan
kelompok kerja mereka, dan memahami serta menerima norma-
norma tersebut. Mereka memahami sistem, tidak hanya tugas
mereka sendiri tetapi juga aturan, prosedur, dan praktik-
praktik yang diterima secara informal.
Proses Internalisasi Pendidikan Multikultural
Dalam pelaksanaan pendidikan multikultural, James, A,
Banks menjelaskan dalam tulisannya “Multicultural Education: Historical
Development, Dimensions, and Practice” menyampaikan lima dimensi yang
harus ada yaitu, pertama, adanya integrasi pendidikan dalam
kurikulum (content integration) yang didalamnya melibatkan
keragaman dalam satu kultur pendidikan yang tujuan utamanya
adalah menghapus prasangka. Kedua, konstruksi ilmu pengetahuan
(knowledge construction) yang diwujudkan dengan mengetahui dan
memahami secara komperhensif keragaman yang ada. Ketiga,
pengurangan prasangka (prejudice reduction) yang lahir dari
interaksi antar keragaman dalam kultur pendidikan. Keempat,
pedagogik kesetaraan manusia (equity pedagogy) yang memberi
ruang dan kesempatan yang sama kepada setiap element yang
beragam. Kelima, pemberdayaan kebudayaan sekolah (empowering
school culture). Hal yang kelima ini adalah tujuan dari
pendidikan multikultur yaitu agar sekolah menjadi element
pengentas sosial (transformasi sosial) dari struktur
masyarakat yang timpang kepada struktur yang berkeadilan.
Guru di kelas ketika akan menjalankan pendidikan
multikultural,harus benar-benar dapat mengasah batin peserta
didik bagaimana menjadi warga negara yang baik, bagaimana
menjadi manusia yang beradab, dan bagaimana dapat hidup
berdampingan dalam masyarakat. Hal ini pernah disampaikan
Wiranatakoesoema pada sidang BPUPK “Pada hemat saya, hal yang
menyedihkan ini disebabkan karena manusia tidak atau tidak
cukup menerima latihan batin, ialah latihan yang menimbulkan
salam sanubarinya suatu kekuatan yang menggerakkan ia (motive
force) untuk mengenal kebenarannya dan menerima macam-macam
pertanggungan jawab sebagai seorang anggota masyarakat yang
aktif,...bukankah tujuan kita pro natia. Tetapi pro patria per orbis
concordiam. Maka alam moral ini hendaknya kita pecahkan, karena
latihan otak (intellect) saja, betapa besarnya juga, sungguh
tidak akan mencukupi untuk menjadikan manusia menjadi anggota
masyarakat yang baik.”
Kegelisahan Wiranatakoesoema mengenai begitu sulitnya
manusia dalam menjalankan kehidupan bermsayarakat,
dikarenakan manusia masih belum berusaha mengolah batin
tentang realitas kemajemukan, sehingga merasa tidak nyaman
ketika dalam perbedaan. Olehkarena itu para pendidik yang
mempraktikan pendidikan multikultural haruslah dengan ikhlas
dan secara total keseluruhan mental dan batin untuk
menginsafkan peserta didik mengenai keragaman dan pentingnya
berdialog dalam keragaman tersebut. Proses pembelajaran
pendidikan multikultural di dalam kelas, tidak mesti terpaku
dalam buku-buku teks namun dapat dari berbagai media semisal
mendialogkan apa yang menurut para siswa berbeda dar diri
mereka dan bagaimana mereka menyikapi semuanya dan
sebagaimana kah mestinya menghadapi kemajemukan itu. Semua
sikap menerima kemajemukan adalah sikap total batin individu,
bukan sikap yang basa basi atau kepura-puraan.
Dalam menjalankan pendidikan multikultural di kelas,
seorang guru mesti berupaya dengan berbagai strategi dan
metode untuk mentransformasikan radikalisme ke-kami-an
menjadi sikap radikal ke-kita-an.sehingga dengan sikap kokoh
kekitaan tersebut akan dapat secara kuat menghapus sikap
saling curiga dan mencurigai. Sebaliknya akan muncul sikap
saling menghargai dan menghormati serta memiliki itikad baik
untuk hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
BAB VIII
PENUTUP
Apa pun istilahnya: multikulturalisme,
pluralisme,pluralitas, kemajemukan pada prinsipnya bahwa kita
tidak bisa menghindari keniscayaan perbedaan. Franz Magnis
Suseno dalam Pidato “Etika Kebangsaan Rtika Kemanusiaan: 79
Tahun sesudah Sumpah Pemuda” mengatakan bahwa berbicara
multikulturalisme dengan dasarnya pluralisme adalah tidak ada
kaitannya dengan kesalhpahaman mengenai pandangan bahwa semua
agama saja, atau yang lebih dikenal dengan diksursus
pluralisme agama. Melainkan pluralsime yang dibuthkan dalam
multikulturalisme adalah sebuah sikap kesediaan untuk
menerima kenyataan bahwa masyarakat ada cara hidup, budaya,
dan keyakinan agamayang berbeda, serta kesediaan untuk hidup,
bergaul dan bekerjasama serta membangun negara bersama-sama
(gotong royong).
Multikulturalisme merupakan syarat mutlak agar Indonesia
yang sangat beragam agar tetap menjadi satu. Kemajemukan
semstinya dipandang secara positif sebagaimana apa yang
menjadi kearifan lokal dari Minangkabar “Tigo Tungku
Sejerangan” yang artinya justru karena ada perbedaan tumpukan
tungku dan kayu bakar maka dapat menyala api untuk masak.
Maknanya, justru dikarenakan keragaman iilah Indonesia
menjadi sebuah Suku Bangsa yang membangun untuk kemanusiaan
yang melindungi rakyatnya dan peduli terhadap permasalahan
kemanusiaa yang terjadi di dunia.
Sikap seorang yang menghargai multikulturalisme, maka
semestinya memahami pentingnya pluralsime, dan seorang
pluralis akan menjadi sosok humanis. Dan seorang humanis akan
menghargai nilai-nilai kemanusiaan yang termanifestasi dalam
pikiran, pernyataan, dan sikapnya sehari-hari. Sehingga
aktivitas yang dilakukannya tidak melanggar nilai-nilai
kemanusiaan dan memberikan kontribusi positif terhadap
persatuan dan pembangunan di masyarakatnya.
Pendidikan multikultural akan menginernalisasikan kepada
generasi muda khususnya kepda pelajar atau pun mahasiswa
bahwa setiap perbedaan sikap politik dan perbedaan pandangan
agama tidak akan memicu konflik sektarian yang hanya justru
mengorbankan individu atau masyarakat yang tidak berdosa.
Perbedaan-perbedan pandangan di era modern dan demokratis ini
telah memiliki jalur dan kanalisas itersendiri. Mialnya
ketika memiliki perbedaan pandangan yang bersifat
intelektual, eperti menolak sebuah pandangan akademis, maka
juga bisa dijawab dengan sikap akademis, yaitu ulisan atau
melakukan peneltian.
Sedangkan perbedaan-perbedaan yang memicu sebuah sikap
menghina sebuah ajaran agama, maka negara harus mengeakkan
hukum agara tidak memicu konflik lebih luas. Sedangkan
kesalahpahaman tehadap ajaran-ajaran agama atau nilai yang
dianut oleh kelompok lain, semestinya diselesaikan dengan
sikap ingin tahu dengan belajar dan melakukan dialog.
Sehingga tidak memiliki sikap prejudice terhadap sebuah konsep
atau ajara, atau nilai-nilai yang dianut oleh kelompok lain.
Tindakan-tindakan dialogis dan penegakan hukuma adalah cermin
masyarakat sipil, atau masyarakat madani sebagaimana pernah
diberikan tauladan oleh Nabi Muhammad saw, dimana Nabi
menghargai nilai-nilai kemanusiaan dan melindungi kaum
minorita (kaum zinni).
Melalui pendidikan multikultural diharapkan muncul sikap
kepada generasi muda, bahwa menolak segala sikap kekerasan
dan menjalankan hukum rimba. Pendidikan multikultural akan
memberikan sikap kebangsaan, kemanusiaan, keindonesiaa, tanpa
mecerabut seseorang atau pun kelompok dari apa yang
dianutnya.
Sikap inklusif akan menjadi nilai-nilai dasar dalam
menyelenggarakan negara Indonesia. Dimana setiap perbedaan
tidak melahirkan kecurigaan dan saling menyalahkan. Pada
dasarnya nilai inklusif telah ada dalam dasar negara,
pancasila dan ajaran-ajaran agama besar yang ada d Indonesia.
Hanya saja perlu sikap kongkrit dan nyata untuk
mengplikasikannya, sehingga tidak hanya terhenti dalam
wacana-wacana yang hanya dikonsumsi secara masyarakat
akademis.
Emestinya apa yang menjadi diskursus masyarakat kampus,
masyarakat sekolahan, harus mampu mencapai masyarakat awam,
masyarakat desa, masyarakat urban yang senyatanya berhadap-
hadapan dengan kemajemukan dan rawan terjadi konflik karena
ketidaktahuan mereka terhadap apa yang digaungkan negara dan
masyarakat akademis tentang pluralitas. Perlu ada aksi nyata
bagaimana masyarakat desa juga merasakan dan ikut
memperjuangkan prinsip-prisnsip yang diperjuangkan dalam
pendidikan multikultural.
John Gardner (1992) , mengatakan, “no nation can achieve
greatness unless it believes in something, and unless that something has moral
dimensions to sustain a great civilitation” (tidak ada bangsa yang mampu
mencapai kebesaran kecuali jika bangsa itu percaya kepada
sesuatu, dan kecuali jika sesuatu itu memiliki dimensi moral
untuk menopang suatu peradaban yang besar. Bangsa Indonesia
harus menjadikan kemajemukan sebagai nilai utama yang justru
akan memperkokoh persatun kehidupan berbangsa dan bernegara.
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah anugerah
Tuhan yang direbut dengan perjuangan rakyat Indonesia dari
berbagai macam suku, agama, pandangan politik, dan berbagai
perbedaan lainnya. Tanpa adanya persatuan maka apa yang
disampaikan dalam Al-Qur’an Allah tidak akan mengubah nasib
kaum tersebut. Jika saja pada masa perjuangan kemerdekaan,
rakyat Hindia Belnda yang begitu beragam tidak bersatu padu
untuk merebut kemerdekaan, tentunya kemerdekaan itu tidak
akan terwujud sampai sekarang. Sebuah kenyataan sejarah,
bahwa Indonesia didirikan oleh keragaman yang dipersatukan
oleh semangat untuk hidup bersama.
Melalui pendidikan multikultural diharapkan eksklusivisme
yang akhir-akhir ini menjadi permasalahan besar bangsa
Indonesia, seperti munculnya radikalisme agama, atau pun
politik etnis akan membantu mengeominir eksklusivisme
tersebut. Untuk itu dalam menjalnakan pendidikan
multikultural dibutuhkan pendidik yang memahami konsep dasar
dan menjalanakna pendidikan multikultural dan mereka tidak
terjebak dalam eksklusivisme yang justru akan mereproduksi
radikalisme dan eksklusivisme yang menjadi masalah.
Penting, bagi kita untuk meresapi sila-sila dari
Pancasila, sebagaimana yang dinyatakan oleh Notonagoro (1974)
“Sila Ketiga: Peratuan Indonesia diliputi dan dijiwai oleh
sila-sila ke-Tuhanan Yang Maha Esa serta kemanusiaan yang
adil dan beradab, meliputi dan menjiwai sila-sila kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
pemusyawaratan/perwakilan, keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.”
Penting bagi kita merenungi sebuah cita-cita untuk ikut
serta ambil peran dalam usaha bersama bangsa kita untuk
mewujudkan masyarakat berperadaban, masyarakat madani, civil
society, di negeri kita yang tercinta, Republik Indonesia. Hal
ini dikarenakan terbentuknya masyarakat madani merupakan
bagian mutlak dari wujud cita-cita kenegaraan, yaitu
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Yudi Lathif dalam bukunya “ Negara Paripurna: Historisitas,
Rasionalitas, dan Aktualitas” yang menyampaikan pandangan John Rawls
(1980-540) bahwa sumber persatuan dari kebangsaan
multikultural adalah apa yang disebutnya sebagai “konsepsi
keadilan bersama” (a share conception of justice). Joh Rawl
berpandangan “ Meskipun suatu masyarakat yang tertata baik
tercerai berai dan pluralistis...kesepakatan publik atas
persoalan keadilan sosial dan politik mendukung kesetiakaanan
sipil dan menyelamatkan ikatan asosiasi” (although a well-ordered
society is divided and pluralistic ....public agreement on questions of political and
social justice supports ies of civic friendship and secures the bonds of
association).
Agama Bukan Sumber Konflik
Khusus mengenai kebebasan beragama/berkeyakinan hasil
amandemen UUD 1945 di atas memberijaminan konstitusional yang
sangat kuat. Pasal 28E UUD 1945 memberi penegasan, bahwa: (1)
“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut
agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih
pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di
wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”;
dan (2) “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini
kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati
nuraninya” (cetak miring ditambahkan). Dengan itu menjadi
jelas bahwa hak dan kebebasan beragama/berkeyakinan merupakan
pilihan yang bebas “sesuai dengan hati nurani” seseorang yang
harus dihormati. Tidak ada institusi apa pun yang dapat
menghalangi, meniadakan atau memaksakan agama atau keyakinan
pada seseorang . olehkarena itu tidak setiap kekerasan dan
intimidasi terhadap kelompok-kelompok agama adalah sebuah
pelanggaran hukum.
Warga non-Muslim di sebuah negara Islam harus diperlakukan
oleh kaum Muslim dan pemerintah dengan baik dan adil (60:8).
Martabat dan hak-hak kaum minoritas sebagai “anak Adam” harus
dijamin, dan mereka pun dilindungi oleh hukum Islam dan
penguasa negara. (33) Dokumen yang dikeluarkan oleh Nabi
Muhammad setelah tiba di Madinah, di mana beliau menjadi
pemimpin negara paling awal dalam sejarah setelah hijrahnya
dari Makkah, mengindikasikan komponen-komponen utama struktur
sosial di dalam negara-kota tersebut. Di samping para
pendatang dari Makkah (al-muhâjirûn) dan suku-suku pendukung
dari Madinah (al-ansâr), orang-orang Yahudi disebut sebagai
sebuah komunitas yang mempunyai identitas “yang berbeda dari
yang lain”. Orang-orang Yahudi dan penduduk Muslim Madinah
sama-sama bertanggung jawab untuk menopang atau
mempertahankan negara kota yang baru tersebut. Jika pun
hubungan antara kaum Muslim dan Yahudi di Madinah rusak
karena alasan apa pun, terlepas dari siapa yang bertanggung
jawab atas rusaknya hubungan tersebut, prinsip pluralisme
akan tetap sah secara moral dan hukum.
Penduduk tetap non-Muslim dalam negara Islam disebut
dzimmi, sebuah kata Arab yang berarti “mereka dijanjikan
perlindungan atas seluruh hak mereka oleh masyarakat Muslim
dan pemerintah negara”. al-Qur’an berulang-ulang menekankan
bahwa perbedaan manusia dalam soal keyakinan agama hendaknya
sama sekali tidak menyebabkan lahirnya konflik. Hanya
tindakan zalim dan agresi yang membenarkan dilakukannya
tindakan pertahanan diri yang sah (misalnya, 2:190; 60:9).
Kelompok dzimmi, sebagaimana ditekankan sebelumnya, secara
umum memiliki hak dan kewajiban yang sama. Peran Global dalam Pendidikan Multikultural
Komitmen moral di setiap negeri oleh penguasa negara
diperlukan untuk membentengi multikulturalisme secara internal
dan universal. Komitmen moral yang semacma itu penting di
dalam organisasi-organisasi regional (seperti Masyarakat Eropa,
Organisasi Negara-negara Amerika, Liga Negara-negara Arab,
Organisasi Konferensi Islam, Organisasi Asia Tenggara, dsb.),
dan di dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa serta badan-badan dan
lembaga-lembaga yang berada di bawahnya dan yang berafiliasi
dengannya, sehingga dapat melindungi dan memelihara globalisme
universal.
Masyarakat Barat penting juga untuk memahami dan
menginternalissikan tentang apa yang sesungguhnya terjadi dan
dipahami dalam Islam dan bagaimana relasinya dengan agama lain.
hal ini diperlukan agar tidak terus terjadi kesalahpahaman
mengenai salah satu agama tertentu. Dunia berdialog, dunia
saling mempelajari dan memahami antar berbagai kareker yang ada
di dunia untuk kemudian mensistesikannya menjadi sebuh konsep
multi kultural global, dimana pembicaraan dan penerapan
pendidikan multikultural tidak lagi hanya sebuah proyek
deradikalisasi, melainkan menjadi proyek kemanusiaan yang murni
untuk perdamain muka bumi. Hanya dalam sikap pluralistik, kita
manusia abad ke-21 dapat membangun kehidupan bersama yang
berdamai, positif, penuh sikap hormat satu terhadap lain, dan
bekerja sama dalam mengatasi masalah-masalah besar kita.
Pasal 281, ayat 1 berikut akan menutup buku Pendidikan
Berbasis Multikultural ini:
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran danhati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakuisebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atasdasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidakdapat dikurangi dalam keadaan apa pun.”
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Moeslim, Islam sebagai Kritik Sosial, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2003.
Agil, Said. 2004. Aktualisasi Nilai-nilai Qur’ani dalam Sistem PendidikanIslam . Jakarta Selatan: Ciputat Press.
Amstrong, Karen, Masa Depan Tuhan: Sanggahan terhadap Fundamentalisme dan Ateisme, Jakarta: Mizan, 2011.
Amstrong, Karen, Perang Suci: Kisah Setail Perang Salib, Akar Pemicunya, dan Dampaknya terhadap Zaman Sekarang, Jakarta: Serambi, 2011.
Atkinson, Jane Monning, How gender makes a difference in Wana Society, dalam “Power and Difference: Gender in Island Southeast Asia, Stanford: Stanford University Press, 1990.
Azra, azyumardi, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam, Jakarta: Paramadina, 1999.
Azra, azyumardi, Pergolakan Politik Islam: dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme, Jakarta: Paramadina, 1996.
Bank, James A. dan Cherry A. McGee (ed). Handbook of Research on Multicultural Education (San Francisco: Jossey-Bass, 2001).
Bellah, N. Robert, Islamic Tradition and the Problem of Modernization. New York: Harper dan Row, 1976.
Bellah, N. Robert, Agama Sipil di amerika dalam Menggugat Pendidikan: Fundamentalis, Konservatif, Liberal, Anarkis, Jakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Budiarjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 2010.
Van Bruinessen, van, Martin, "Genealogies of Islamic Radicalism in post-Suharto Indonesia",Southeast Asia Research no 2, 2002,
Chan, M. Sam., Emzir, Isu-isu Kritis Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah, Bohor, Ghalia Indonesia, 2007.
Cox, Harvey, Turning East: Why Americans Looks to the Orient for Spiritulity, New York: 1977.
Davidson, J, Women and Enivironment in the Third World:Alliance for the Future. London: Eartscan Publication Ltd, 1993.
Demartoto, Agus, Menyibak Sensititivitas Gender dalam Keluarga Difabel, Jawa Tengah: UNS Pres, 2007.
Djohar, Pendidikan Agama di Sekolah Umum dalam Konteks Masyarakat Majemuk di Yogyakarta. Yogyakarta: Interfidei. Dan Benturan dengan
Esposito, L. John, Masa Depan Islam: antara Tantangan Kemajemukan dan Benturan dengan Barat, Jakarta: Mizan, 2010.
Farusi Ismail al-& Lois Lamya al-Faruqi, The Cultural Atlas of Islam,New York: MacmUrban Education Program, 1994.illan, 1986.
Freire, Paulo, Pendidikan Kaum Tertindas, Jakarta: LP3ES, 1972.
Furnivall, J.S, “Plural Societies” dalam H-D. Evers, “Sociology of
South-East Asia: Reading on Social Change and Development. Kuala Lumpur:
Oxford Universiy Press, 1980.
Gay, Geneva, A Synthesis of Scholarship in Multicultural Education, dalam
Gutman, Amy, Multiculturalism, Examining the Politics of Recognation,Princenton: Princenton University Press, 1994.
Hasan, Fuad, Catatan Perihal Restorasi Pancasila, dalam RestorasiPancasila, Mendamaikan Politik Identitas dan Modernitas,Jakarta, 2006.
Hasani, Ismail., Naipospos, Tigor, Bonar (editor), Wajah Para “Pembela” Islam: Radikalisme Agama dan Implikasinya terhadap Jaminan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Jabodetabek dan Jawa Barat, Jakarta: Setara, 2010.
La Belle, Thomas J, dan Christopher R.Ward, Multiculturalism and Education, New York: State University of New York Press, 2002.
Lash, Scott dan Featherstone, Mike (ed.), Recognition And Difference: Politics, Identity,Multiculture, London: Sage Publication, 2002.
Latif, Yudi, Negara Paripurna:: Historisitas, rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Jakarta: Gramedia, 2011.
Leistyna, Pepi, Defining and Designing Multiculturalism, New York: State University of New York Press, 2002.
Listia, Laode Arham, Lian Gogali, Problematika Pendidikan Agama di Kota Jogjakarta 2004-2006. Yogyakarta, 2007.
Mack,C,Jr, Mistaken Identify and Issues in Multicultural Education Initiatives”dalam The Winning Paper. USA: Nipissing University, 2002.
Mahfud, Choirul, Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: 2010.
Majid, Abdul, Perencanaan Pembelajaran: Mengembangkan Standar Kompetensi Guru, Bandung Roda, 2008.
Mantik, Maria Josephine. (2012). Konsep Multikulturalisme dan Pluralisme dalam ‘Lalita’ karya Ayu Utami (diunduh dalam format .pdf pada tanggal 10 September 2014 pada pkl. 12.43 WIB).
Masyhuri, Bakar Pecinan! (Konflik Pribumi vs Cina di Kudus Tahun 1918), Jakarta: Grafika Indah, 2006
Miller,P.John, Cerdas di Kelas Sekolah Kepribadian: Rangkuman Model
Pengembangan Kepribadian dalam Pendidikan Berbasis Kelas, Yogyakarta:
Kreasi Wacana, 2002.
Misrawi, Zuhairi, Islam dan Terorisme”, Kolom, Jakarta: 2011
May, W.F, Terrorism as Strategy and Ecstasy, Social Research, 1974.
Mulkhan, Abdul Munir. “Logika Ekonomi dan Agama dalamFenomena ProtesSosial,”Kompas (Jakarta), 9 Maret 1993.
Najib,Moh, Agu., Ahmad Baidowi, Zainudin “Multikulturalisme dalamPendidikan Islam: Studi terhadap UIN Yogyakarta, IAIN Banjarmasin, dan STAINSurakarta. Tanpa tahun.
Nieto, Sonia, Language, Culture and Teaching (Mahwah, NJ: LawrenceEarlbaum, 2002).
Osman, Fathi, Mohammed, Islam, Pluralisme, dan Toleransi Keagamaan:Pandangan Al-Qur’an, Kemanusiaan, Sejarah, dan Peradaban, Edisi Digital,Jakarta: Democracy Project, 2012.
Overholt, C, Gender Roles in Development Projects: A Case Book,Conecticut: Kumarian Pres, 1985.
Parekh, Bikhu, “What is Multiculturalism?” dalam Jurnal India Seminar, Desember1999.
Prayitno, dan Manullang, Belferik, Pendidikan Karakter: dalam Pembangunan Bangsa, Jakarta: Grasindo, 2011.
Priyono, AE., Usman Hamid (Ed), Merancang Arah Baru Demokrasi: Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta: KPG, 2014.
Qardhawi, Yusuf, Islam Ekstrem: Analisis dan Pemecahannya, Bandung, 1985.
Qutb, Sayyid, Fi Zilal al-Qur’an, Jilid 6, Kairo: Dar al-Syuruq, 1980.
Rachman, Munawar, Budhy, Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme: Islam Progresif dan Perkembangan Diskursusnya, Jakarta: Grasindo, 2010.
Rachman, Munawar, Budhy, Membaca Nurcholish Madjid: Islam dan Pluralisme,edisi digital, Jakarta: Democracy Project, 2011.
Rachman, Munawar, Budhy, (Penyuting), Membela Kebebasan Beragama: Percakapan tentang Sekulerisme, Liberalisme, dan Pluralisme, Buku 1,Jakarta: Democracy Project,2011.
Rachman, Munawar, Budhy (Ed.), Ensiklopedi Nurcholish Madjid: Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban, Edisi Digital,Jilid 3, Jakarta:Democracy Project,2012.
Rachman, Munawar, Budhy (Ed.), Ensiklopedi Nurcholish Madjid: Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban, Edisi Digital,Jilid 4, Jakarta:Democracy Project,2012.
Reed, Ishmed (Ed.), Multi America: Essays on Culture Wars and Peace. Pinguin.
Romanowski, Jennifer, Exploring My Practicum Community A Critical Analysis of Multicultural Education Initiatives, The Winning Paper. USA: Nipissing University, 2002.
Schmidt,J, Alvin, (1989: Xiii) dalam “Veiled and Silenced: How Culture Shaped Sexist Theology,Georgia: Mercer University Press, 1989.
Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, ,Jilid 3. Jakarta: Lentera Hati, 2009.
Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, ,Jilid 12. Jakarta: Lentera Hati, 2009.
Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, ,Jilid 13. Jakarta: Lentera Hati, 2009.
Paul II, Pope John, Crossing the Treshold of Hope, (ed.) Vvittorio Messori, New York: Alfred A. Knopf, 1994.
Postman, Neil, Mengajar sebagai Aktivitas Subversif, Yokgyakarta: Jendela, 2001.
Robbins, Stephen P & Judge, Timothy A. Organizational Behavior,Twelfth Edition, New Jersey: Pearson Prentice Hall,2007.
Russell, Bertrand, Education and the Social Order. London and NewYork: Routledge. 2010
Soekanto, Soerjono, Sosiologi: Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers, 2003
Suseno, Frans Magnis S.J, Etika Kebangsaan Etika Kemanusiaan: 79 Tahun sesudah Sumpah Pemuda, Yogyakarta: Impulse dan Kanisius, 2008
Suseno, Frans Magnis S.J, Menjadi Saksi Kristus di Tengah Masyarakat Majemuk. Jakarta: Obor, 2004
Takari, Muhammad, Budaya Musik dan Tari Melayu Sumatera Utara, Medan: USU Press, 2008.
Tilaar, H.A.R, Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2012.
Tilaar, H.A.R, Kalaeidosop Pendidikan Nasional, Jakarta: Kompas, 2012
Tilaar, H.A.R. Multikulturalisme, Tantangan-tantangan Global MasaDepan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo,2004.
Tilaar, H.A.R, Manajemen Pendidikan Nasional: Kajian Pendidikan MasaDepan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008
Tilaar, H.A.R, 2004, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Jakarta:Rineka Cipta, 2004.