Top Banner
PENGANTAR Ajaran Agama Islam menyediakan prinsip-prinsip umum untuk cara hidup perseorangan, keluarga, masyarakat, negara, dan dunia demi menjamin perdamaian, stabilitas, keadilan, dan hubungan-hubungan yang membuahkan, tetapi Islam tidak menguraikan program-progam praktis yang terperinci, karena hal-hal yang rinci seperti itu mesti mengalami perubahan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan di dalam keadaan lingkungan manusia dalam waktu dan tempat yang berbeda. Islam mengizinkan ruang yang luas untuk berijtihad. Dalam konteks mendiskusikan multikulturalisme dengan skup bahasan yang lebih spesifik pendidikan multikultural, maka dapat dikatakan bahwa sebenarnya prinsip dasarnya telah ada dalam Al-Qur’an, Hadits, Sirah Nabi Muhammad, Sejarah Sosial Masyarakat Islam. Tinggal bagaimana hal tersebut dapat diaplikasikan dalam pendidikan multikultural. Pendidikan Multikultural adalah pendidikan yang menghargai diversitas dan mewadahi perspektif dari beragam kelompok kultural atas dasar basis regular.Konsep Pendidikan Multikultural harus dirancang dari sejak epistimologi sampai tataran teknis pembelajaran di kelas untuk memberdayakan siswa. Agar peserta didik dapat memahami keniscayaan pluralitas. Multikulturalisme adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pandangan mengenai ragam kehidupan di dunia, ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap adanya keragaman, dan berbagai macam
178

arsip saja

May 08, 2023

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: arsip saja

PENGANTAR

Ajaran Agama Islam menyediakan prinsip-prinsip umum

untuk cara hidup perseorangan, keluarga, masyarakat, negara,

dan dunia demi menjamin perdamaian, stabilitas, keadilan, dan

hubungan-hubungan yang membuahkan, tetapi Islam tidak

menguraikan program-progam praktis yang terperinci, karena

hal-hal yang rinci seperti itu mesti mengalami perubahan

untuk menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan di dalam

keadaan lingkungan manusia dalam waktu dan tempat yang

berbeda. Islam mengizinkan ruang yang luas untuk berijtihad.

Dalam konteks mendiskusikan multikulturalisme dengan skup

bahasan yang lebih spesifik pendidikan multikultural, maka

dapat dikatakan bahwa sebenarnya prinsip dasarnya telah ada

dalam Al-Qur’an, Hadits, Sirah Nabi Muhammad, Sejarah Sosial

Masyarakat Islam. Tinggal bagaimana hal tersebut dapat

diaplikasikan dalam pendidikan multikultural.

Pendidikan Multikultural adalah pendidikan yang

menghargai diversitas dan mewadahi perspektif dari beragam

kelompok kultural atas dasar basis regular.Konsep Pendidikan

Multikultural harus dirancang dari sejak epistimologi sampai

tataran teknis pembelajaran di kelas untuk memberdayakan

siswa. Agar peserta didik dapat memahami keniscayaan

pluralitas.

Multikulturalisme adalah istilah yang digunakan untuk

menjelaskan pandangan mengenai ragam kehidupan di dunia,

ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang

penerimaan terhadap adanya keragaman, dan berbagai macam

Page 2: arsip saja

budaya yang ada dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai-

nilai, sistem, budaya, kebiasaan dan politik yang mereka

anut.

Indonesia, melebihi kebanyakan negara-negara lain,

merupakan negara yang

tidak saja multi-suku, multi-etnik, multi-agama tetapi juga

multi-budaya. Kemajemukan tersebut pada satu sisi merupakan

kekuatan sosial dan keragaman yang indah apabila satu sama

lain bersinergi dan saling bekerja sama untuk membangun

bangsa. Namun, pada sisi lain, kemajemukan tersebut apabila

tidak dikelola dan dibina dengan tepat dan baik akan menjadi

pemicu dan penyulut konflik dan kekerasan yang dapat

menggoyahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa. Peristiwa

Ambon,Poso, dan yang palin terbaru Tolikara misalnya,

merupakan contoh kekerasan dan konflik horizontal yang telah

menguras energi dan merugikan tidak saja jiwa dan materi

tetapi juga mengorbankan keharmonisan antar sesama masyarakat

Berkenaan dengan masalah pluralisme, kita dapatkan

kenyataan bahwa masyarakat kita masih menunjukkan pemahaman

yang dangkal dan kurang sejati. Istilah “pluralisme” sudah

menjadi barang harian dalam wacana umum nasional

kita. Namun dalam masyarakat ada tanda-tanda bahwa orang

memahami pluralisme hanya sepintas lalu, tanpa makna yang

lebih mendalam, dan yang lebih

penting, tidak berakar dalam ajaran kebenaran.

Pendidikan Multikultural yang juga akan banyak bicara

masalah pluralitas. sangat penting diajarkan di Perguruan

Tinggi seperti di Universitas Islam Negeri (UIN) Sumatera

Page 3: arsip saja

Utara. Kehadiran Universitas Islam Negeri Sumatera Utara

adalah menjadi bagian dari upaya mengakomodir kepentingan

ummat, bangsa dan Negara dari berbagai elemen masyarakat.

Diketahui bahwa masyarakat Sumatera Utara yang memiliki

berbagai etnis, golongan dan keagamaan membutuhkan konsep

yang menjadi landasan dalam membangun ummat. Untuk itu

pendidikan berbasis multikultural adalah pilihan dalam

memberikan jawaban terhadap upaya peran UIN Sumatera Utara

bagi kemajuan bersama.

Pendidikan multikultural kian mendesak untuk di

laksanakan di sekolah. dengan pendidikan multikultural,

sekolah menjadi lahan untuk menghapus prasangka, dan

sekaligus untuk melatih dan membangun karakter siswa agar

mampu bersikap demokratis, humanis dan pluralis. Ada dua hal

yang perlu dilakukan dalam pembangunan pendidikan

multikultural di sekolah, yaitu; pertama, melakukan dialog

dengan menempatkan setiap peradaban dan kebudayaan yang ada

pada posisi sejajar. Kedua, mengembangkan toleransi untuk

memberikan kesempatan masing-masing kebudayaan saling

memahami. Toleransi disini tidak hanya pada tataran

konseptual, melainkan juga pada teknik operasionalnya.

Buku Pembelajaran Berbasis Pendidikan Multikultural

mencoba memberikan pilihan dari konsep sampai pada teknis

membelajarkan di depan kelas. Nilai nilai dasar tentang

pendidikan multikultural memberikan fondasi utama memakani

arti kehidupan yang beragam, kemudian bagiamana mengkemasnya

menjadi kurikulum dan selanjutnya menyampaikannya di depan

kelas.

Page 4: arsip saja

Tujuan Penulisan Buku

- Untuk menjadi referensi UIN Sumatera Utara dalam rangka

pengembangan keilmuan khususnya katalisator

Transdisipliner.

- Untuk menjadi referensidosen mahasiswa di lingkungan

fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan dalam merancang dan

mengembangkan pembelajaran berbasis pendidikan

multikultural.

- Untuk menjadi reformulasi pembelajaran di sekolah atau

madarasah dalam hal pengembangan kepribadian yang

menghargai keragaman.

BAB I

PENDAHULUAN

A. Pengertian Pendidikan Multikultural.

Mempelajari multikulturalisme tidak bisa terlepas dari

diskusi pluralisme. Maka sebelum mendiskusikan

multikulturalisme, maka perlu sekilas mempelajari pluralisme.

Menurut Frans Magnis Suseno (2008:27) pluralisme tidak lain

adalah kesediaan untuk menjunjung tinggi pluralitas.

Pluralisme tidak berarti menyatakan bahwa semua agama sama

saja, tidak ada kaitan dengan pertanyaan manakah agama yang

Page 5: arsip saja

benar dan mana yang paling baik. Pluralisme adalah kesediaan

untuk menerima kenyataan bahwa dalam masyarakat ada cara

hidup, budaya, dan keyakinan agama yang berbeda, serta

kesediaan untuk hidup, bergaul dan bekerja bersama serta

membangun dengan mereka. Suseno mengatakan bahwa sosok yang

pluralis akan memunculkan karakter yang humanis, dan

demokratis. Sosok pluralis akan menghormati dan menghargai

sesama manusianya dalam identitasnya, dan itu menghargai

adanya perbedaan.

Menurut Azyumardi Azra bahwa secara sederhana

multikulturalisme bisa dipahami sebagai pengakuan, bahwa

sebuah Negara atau masyarakat adalah beragam dan majemuk.

Atau dapat pula diartikan sebagai kepercayaan kepada

normalitas dan penerimaan keragaman.

Multikulturalisme secara sederhana dapat dikatakan

pengakuan atas pluralisme budaya. Pluralisme budaya bukanlah

suatu yang given, melainkan merupakan sebuah proses

internalisasi nilai-nilai dalam suatu komunitas (Tilaar,

2012:930). Selanjutnya Tilaar (2004) mengatakan bahwa

pengertian tentang multikulturalisme setidaknya mengandung

dua pengertian yang sangat kompleks yaitu multi yang berarti

plural, kulturalisme berisi pengertian kultur atau budaya.

Istilah plural mengandung arti yang berjenis-jenis, karena

pluralisme bukan berarti seekedar pengakuan akan adanya hal-

hal yang berjenis, namun pengakuan yang memiliki implikasi-

implikasi politis, sosial dan ekonomi. Oleh sebab itu

pluralisme bersangkutan dengan prinsip-prinsip demokrasi.

Dalam bukunya “Demokrasi Kami” Donny Gahraldian (2006)

Page 6: arsip saja

mendefinisikan pluralisme “adalah konstelasi nilai yang di dalamnya

memuat toleransi, solidaritas, kebebasan dan keadilan.”

Pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian sejati

kebhinekaan dalam ikatanikatan keadaban” (genuine engagement of

diversities within the bonds of civility). Bahkan pluralisme adalah juga

suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain

melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang

dihasilkannya (Nurcholish dalam Ensiklopedi Nurcholish Madjid

Jilid 3: 2694). Selanjutnya Nurcholish menjelaskan bahwa

pluralisme juga tidak boleh dipahami sekadar sebagai

“kebaikan negatif ” (negative good), hanya ditilik dari

kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme (to keep fanaticism at

bay). Pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian sejati

kebhinekaan dalam ikatanikatan keadaban” (genuine engagement of

diversities within the bonds of civility). Bahkan pluralisme adalah juga

suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain

melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang

dihasilkannya.

Dengan cukup panjang, Osman (2012) dalam bukunya “Islam,

Pluralisme, dan Toleransi Keagamaan: Pandangan Al-Qur’an, Kemanusiaan,

Sejarah, dan Peradaban,”mendefinisikan pluralisme sebagai berikut:

“Pluralisme adalah bentuk kelembagaan di mana penerimaanterhadap keragaman melingkupi masyarakat tertentu ataudunia secara keseluruhan. Maknanya lebih dari sekadartoleransi moral atau koeksistensi pasif. Toleransi adalahpersoalan kebiasaan dan perasaan pribadi, sementarakoeksistensi adalah semata-mata penerimaan terhadap pihaklain, yang tidak melampaui ketiadaan konflik. Pluralisme,di satu sisi, mensyaratkan ukuran-ukuran kelembagaan danlegal yang melindungi dan mengesahkan kesetaraan danmengembangkan rasa persaudaraan di antara manusia sebagai

Page 7: arsip saja

pribadi atau kelompok, baik ukuran-ukuran itu bersifatbawaan ataupun perolehan. Begitu pula, pluralisme menuntutsuatu pendekatan yang serius terhadap memahami pihak laindan kerja sama yang membangun untuk kebaikan semua. Semuamanusia seharusnya menikmati hak-hak dan kesempatan-kesempatan yang sama, dan seharusnya memenuhi kewajiban-kewajiban yang sama sebagai warga negara dan warga dunia.Setiap kelompok semestinya memiliki hak untuk berhimpundan berkembang, memelihara identitas dan kepentingannya,dan menikmati kesetaraan hak-hak dan kewajiban-kewajibandalam negara dan dunia internasional.”

Membaca definisi pluralisme di atas maka sebenarnya tidak

terdapat perbedaan antara kajian multikulturalisme dan

pluralisme, melainkan hanya perbedaan istilah. Secara

sederhana multikulturalisme berarti “keberagaman budaya”.

(Lash dan Featherstone, 2002:2-6). Sebenarnya, ada tiga

istilah yang kerap digunakan secara bergantian untuk

menggambarkan masyarakat yang terdiri keberagaman tersebut –

baik keberagaman agama, ras, bahasa, dan budaya yang berbeda-

yaitu pluralitas (plurality), keragaman (diversity), dan

multikultural (multicultural). Ketiga ekspresi itu sesungguhnya

tidak merepresentasikan hal yang sama, walaupun semuanya

mengacu kepada adanya ’ketidaktunggalan’. Konsep pluralitas

mengandaikan adanya ’hal-hal yang lebih dari satu’ (many);

keragaman menunjukkan bahwa keberadaan yang ’lebih dari satu’

itu berbeda-beda, heterogen, dan bahkan tak dapat disamakan.

Dibandingkan dua konsep terdahulu, multikulturalisme

sebenarnya relatif baru. Secara konseptual terdapat perbedaan

signifikan antara pluralitas, keragaman, dan multikultural.

Inti dari multikulturalisme adalah kesediaan menerima

kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa

Page 8: arsip saja

memperdulikan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa,

ataupun agama. Apabila pluralitas sekadar merepresentasikan

adanya kemajemukan (yang lebih dari satu), multikulturalisme

memberikan penegasan bahwa dengan segala perbedaannya itu

mereka adalah sama di dalam ruang publik. Multikulturalisme

menjadi semacam respons kebijakan baru terhadap keragaman.

Dengan kata lain, adanya komunitas-komunitas yang berbeda

saja tidak cukup; sebab yang terpenting adalah bahwa

komunitas-komunitas itu diperlakukan sama oleh negara. Oleh

karena itu, multikulturalisme sebagai sebuah gerakan menuntut

pengakuan (politics of recognition)1 terhadap semua perbedaan

sebagai entitas dalam masyarakat yang harus diterima,

dihargai, dilindungi serta dijamin eksisitensinya.

Setelah muncul sebagai disiplin ilmu pada dekade 1960-an

dan 1970-an pendidikan berbasis multikulturalisme atau

dikenal sebagai Multicultural Based Education mengalami banyak

pemahaman, definisi dan konsep. Salah satu yang dipakai di

duia Barat adalah Multicultural Based Education (Mahfud, 2010:1996)

Pendidikan multikultural berawal dari berkembangnya

gagasan dan kesadaran tentang “interkulturalisme” seusai

1 Politics of recognition dikemukan oleh Charles Taylor pada 1992 di depan kuliahterbuka diPrincenton University. Mulanya gagasanya adalah gagasan politik yangkemudian berkembang di kajian lain, flsafat, sosiologi, budaya danlainnya. Gagasanya dipengaruhi oleh padangan Jean-Jacques Rousseau dalamDiscourse Inequality dan kesamaan martabat (equal dignity of human rights) yangdicetuskan Immanuel Kant. Gagasan Taylor bersumber pada pertama, bahwasesungguhnya harkat dan martabat manusia adalah sama. Kedua, pada dasarnyabudaya dalam masyarakat adalah berbeda-beda, oleh karena itu membutuhkanhal yang ketiga, yaitu pengakuan atas bentuk perbedaan budaya oleh semuaelement sosial-budaya, termasuk juga negara. Charles Taylor. “ThePolitics of Recognation” dalam Amy Gutman. Multiculturalism, Examining the Politicsof Recognation (Princenton: Princenton University Press, 1994), hlm. 18.

Page 9: arsip saja

Perang Dunia Kedua (Tilaar, 2002). Pada saat itu perkembangan

politik internasional menyangkut isu hak asasi manusia,

kemerdekaan dari kolonialisme dan diskriminasi, dan

meningkatnya keberagaman.

Salah satu definisi klasik mengenai pendidikan

multikultural dikemukakan oleh Hilda Hernandez yang

menekankan bahwa pendidikan multikultural mengakui realitas

politik, sosial, dan ekonomi yang dialami oleh masing-masing

individu dalam pertemuan manusia yang kompleks dan beragam

secara kultural.

Definisi yang dikemukakan oleh Hernandez tersebut juga

bermaksud merefleksikan pentingnya budaya, ras, gender,

etnisitas, agama, status sosial, ekonomi, da pengecualian-

pengecualian alam proses pendidikan (Mahfud, 2010: 196).

Pendidikan multikultural mengenai keragaman kebudayaan

(Andersen, 1994: 320). James Banks (1993:3) menjelaskan

pendidikan multikultural sebaai pendidikan untuk keragaman.

Pendidikan dengan wawasan mutlikultural dalam rumusan James

A. Bank adalah konsep, ide atau falsafah sebagai suatu

rangkaian kepercayaan (set of believe) dan penjelasan yang

mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis di

dalam membentuk membentuk gaya hidup, pengalaman sosial,

identitas pribadi, kesempatan-kesempatan pendidikan dari

individu, kelompok maupun negara.

Mack,C,Jr (2002) dalam sebuah artikel berjudul “Mistaken

Identify and Issues in Multicultural Education Initiatives” dalam The Winning

Paper di Nipissing University.

Page 10: arsip saja

“Pendidikan multikultural mencerminkan keseimbangan antara pemahamanpersamaan dan perbedaan budaya serta mendorong individu untukmempertahankan dan memperluas wawasan budaya dan kebudayaanmereka sendiri.”

Menurut Sonia Nieto, pendidikan multikultural adalah

proses pendidikan yang komperhensif dan mendasar bagi semua

peserta didik. Jenis pendidikan ini menentang bentuk rasisme

dan segala bentuk diskriminasi di sekolah, masyarakat dengan

menerima serta mengafirmasi pluralitas (etnik, ras, bahasa,

agama, ekonomi, gender dan lain sebagainya) yang

terrefleksikan diantara peserta didik, komunitas mereka, dan

guru-guru. Menurutnya, pendidikan multikultur ini haruslah

melekat dalam kurikulum dan strategi pengajaran, termasuk

juga dalam setiap interaksi yang dilakukan diantara para

guru, murid dan keluarga serta keseluruhan suasana

belajarmengajar. Karena jenis pendidikan ini merupakan

pedagogi kritis, refleksi dan menjadi basis aksi perubahan

dalam masyarakat, pendidikan multikultural mengembangkan

prisip-prinsip demokrasi dalam berkeadilan sosial (Nieto,

2002: 29)

Menurut La Belle (25-26) terdapat lima tipologi pendidikan

multikultural yang sedang berkembang, yaitu:

1. Mengajar mengenai kelompok siswa yang memiliki budaya yang lain

(culture difference). Perubahan ini terutama pada siswa dalam

transisi dari berbagai kelompok kebudayaan ke dalam arus

utama budaya yang ada.

2. Hubungan manusia. Program ini membantu siswa dari

kelompok-kelompok tertentu sehingga dapat mengikuti

Page 11: arsip saja

bersama-sama dengan siswa yang lain dalam kehidupan

sosial.

3. Single group studies. Program ini membantu siswa dari

kelompok-kelompok tertentu sehingga siswa yang

bersangkutan dapat mengikuti bersama-sama dengan siswa

yang lain dalam kehidupan sosial.

4. Pendidikan multikultural. Program ini merupakan suatu

reformasi pendidikan di sekolah-sekolah dengan

menyediakan kurikulum serta materi-materi pelajaran yang

menekankan pada adanya perbedaan siswa dalam bahasa,

yang keseluruhannya untuk memajukan pluralisme

kebudayaan dan ekualitas sosial.

5. Pendidikan multikultural yang bersifat rekonstruksi sosial. Program ini

merupakan sebuah program yang bertujuan menyatukan

perbedaan-perbedaan kultural dan menantang ketimpangan-

ketimpangan sosial yang ada di masyarakat. Program ini

oleh Pepi Leistyna dalam buku Defining and designing

multiculturalism sebagai critical multicultural education.

Pendidikan multikultural adalah merupakan suatu wacana

yang lintas batas, karena terkait dengan masalah-masalah

keadilan sosial (social justice), demokarasi dan hak asasi

manusia.

Sebagai sebuah gerakan, menurut Bhikhu Parekh, baru

sekitar 1970-an multikulturalisme muncul pertama kali di

Kanada dan Australia, kemudian di Amerika Serikat, Inggris,

Jerman, dan lainnya. Setelah itu, diskursus

multikulturalismecberkembang dengan sangat cepat. Setelah

tiga dekade sejak digulirkan, multikulturalisme sudah

Page 12: arsip saja

mengalami dua gelombang penting yaitu, pertama

multikulturalisme dalam konteks perjuangan pengakuan budaya

yang berbeda. Prinsip kebutuhan terhadap pengakuan (needs of

recognition) adalah ciri utama dari gelombang pertama ini.

Gelombang kedua, adalah multikulturalisme yang melegitimasi

keragaman budaya, yang mengalami beberapa tahapan,

diantaranya:5 kebutuhan atas pengakuan, melibatkan berbagai

disiplin akademik lain, pembebasan melawan imperialisme dan

kolonialisme, gerakan pembebasan kelompok identitas dan

masyarakat asli/masyarakat adat (indigeneous people), post-

kolonialisme, globalisasi, post-nasionalisme, post-modenisme dan

post-strukturalisme yang mendekonstruksi stuktur kemapanan

dalam masyarakat (Jay,2005)

Multikulturalisme gelombang kedua ini, menurut Steve

Fuller pada gilirannya

memunculkan tiga tantangan yang harus diperhatikan sekaligus

harus diwaspadai, yaitu, pertama adanya hegemoni barat dalam

bidang politik, ekonomi, sosial dan ilmu pengetahuan.

Komunitas, utamanya negara-negara berkembang, perlu

mempelajari sebab-sebab dari hegemoni barat dalam bidang-

bidang tersebut dan mengambil langkahlangkah seperlunya

mengatasinya, sehingga dapat sejajar dengan dunia barat.

Kedua, esensialisasi budaya. Dalam hal ini multikulturalisme

berupaya mencari esensi budaya tanpa harus jatuh ke dalam

pandangan yang xenophobia dan etnosentrisme. Multikulturalisme

dapat melahirkan tribalisme yang sempit yang pada akhirnya

merugikan komunitas itu sendiri di dalam era globalisasi.

Ketiga, proses globalisasi, bahwa globalisasi bisa memberangus

Page 13: arsip saja

identitas dan kepribadian suatu budaya (Fuller dalam

Tilaar,2002: 84-85).

Aar tidak salah memahami diskursus tentang

multikulturalisme, Bikhu Parekh menggarisbawahi tiga asumsi

mendasar yang harus diperhatikan dalam kajian ini, yaitu

pertama, pada dasarnya manusia akan terikat dengan struktur

dan sistem budayanya sendiri dimana dia hidup dan

berinteraksi. Keterikatan ini tidak berarti bahwa manusia

tidak bisa bersikap kritis terhadap sistem budaya tersebut,

akan tetapi mereka dibentuk oleh budayanya dan akan selalu

melihat segala sesuatu berdasarkan budayanya tersebut. Kedua,

perbedaan budaya merupakan representasi dari sistem nilai dan

cara pandang tentang kebaikan yang berbeda pula. Oleh karena

itu, suatu budaya merupakan satu entitas yang relatif

sekaligus partial dan memerlukan budaya lain untuk

memahaminya. Sehingga, tidak satu budaya-pun yang berhak

memaksakan budayanya kepada sistem budaya lain (Raz,

1986:375)

Ketiga, pada dasarnya, budaya secara internal merupakan

entitas yang plural yang merefleksikan interaksi antar

perbedaan tradisi dan untaian cara pandang. Hal ini tidak

berarti menegasikan koherensi dan identitas budaya, akan

tetapi budaya pada dasarnya adalah sesuatu yang majemuk,

terus berproses dan terbuka (Parekh, dalam Raz,1996)

B. Faktor-faktor Pendidikan Multikultural

Sebagian perbedaan perolehan dalam masyarakat manusia

lahir akibat keyakinan atau pandangan tertentu yang dianut.

Page 14: arsip saja

Apabila dibiarkan tumbuh, perbedaan-perbedaan semacam itu

dapat menjadi sumber konflik yang sama serius dan sama

bahayanya dengan perbedaan-perbedaan bawaan (Osman, 2012:

18). Ini adalah salah satu faktor, kenapa pendidikan

multikultural penting dilakukan.

Paham kemajemukan masyarakat adalah salah satu nilai

keislaman yang sangat tinggi, yang oleh para pengamat modern

sangat dihargai. Pluralisme inilah salah satu ajaran pokok

Islam yang amat relevan dengan zaman (Ensiklopedi Nurcholish

Madjid Jilid 3: 2702). “Pluralisme sesungguhnya adalah sebuah Aturan

Tuhan (Sunnatullâh, “Sunnatullah”) yang tidak akan berubah, sehingga tidak

dilawan atau diingkari. Islam adalah agama yang Kitab Sucinya dengan tegas

mengakui hak agama-agama lain, kecuali yang berdasarkan paganisme atau

syirik, untuk hidup dan menjalankan ajaran masing-masing dengan penuh

kesungguhan. Kemudian pengakuan akan hak agama- agama lain itu dengan

sendirinya merupakan dasar paham kemajemukan sosial-budaya dan agama”

sebagai ketetapan Tuhan yang tidak berubah-ubah.” Begitu pentingnya

memahami multikultural sebagai ajaran Islam dan merupakan

ciri masyarakat modern, maka hal ini menjadi faktor dalam

menjalankan pendidikan multikultural.

Menurut Jennifer Romanowski (2002) dalam artikel “Exploring

My Practicum Community A Critical Analysis of Multicultural Education Initiatives”

beberapa faktor kunci dalam menjalankan pendidikan

multikultural yaitu tidak adanya kebijakan secara makro

(nasional) dan mikro (daerah atau pun di institusional

sekolah) yang menghambat toleransi. Sehingga dengan kebijakan

yang pro terhadap pendidikan multikultural, sehingga iklim

Page 15: arsip saja

sekolah akan berkembang budaya saling menghargai dan tidak

rasis.

Menarik apa yang dikatakan oleh Cox (1984: 223) berikut:

“There can be no doubt about religiously heteregenous quality of the dawningpostmodern world. Not only do we live on a spirituality multiplex globe, butnearly every continent, nation, and city itself increasing pluralistic.”

Menurut Mahfud (1999: 236-237) upaya pembanguna pendidikan

multikultural hanya dapat terwujud, jika:

1. Konsep multikulturalisme menyebar luas dan dipahami

urgensinya bagi Bangsa Indonesia yang multikultural.

Juga adanya keinginan Bangsa Indonesia pada tingkat

nasional an lokal untuk mengadopsi dan menjadikannya

pedoman kehidupan bermasyarakat.

2. Adanya kesamaan paham di antara para ahli mengenai makna

multikulturalisme bagi keidupan berbangsa dan bernegara.

3. Upaya-upaya lain yang dapat dilakukan guna mewujudkan

cita-cita pendidikan multikultural.

Kita bangsa Indonesia sering menyebut negeri ini sebagai

sebuah masyarakat majemuk (plural), disebabkan hampir semua

agama, khususnya agama-agama besar (Islam, Kristen, Hindu,

dan Buddha) terwakili di kawasan ini (Ensiklopedi NM Jilid 3:

2711). Dikarenakan agama-agama besar ada di Indonesia, maka

hal ini juga melatar belakangi untuk meminimalisir konflik

antar umat beragama dengan jalur pendidikan.

Diversitas dalam masyarakat modern bisa berupa banyak hal,

termasuk perbedaan yang secara alamiah diterima oleh individu

maupun kelompok dan yang dikonstruksikan secara bersama dan

menjadi semacam common sense. Perbedaan tersebut menurut Bikhu

Page 16: arsip saja

Parekh bisa dikategorikan dalam tiga hal - salah satu atau

lebih dari tiga hal-, yaitu pertama perbedaan subkultur

(subculture diversity), yaitu individu atau sekelompok masyarakat

yang hidup dengan cara pandang dan kebiasaan yang berbeda

dengan komunitas besar dengan sistem nilai atau budaya pada

umumnya yang berlaku. Kedua, perbedaan dalam perpektif

(perspectival diversity), yaitu individu atau kelompok dengan

perpektif kritis terhadap mainstream nilai atau budaya mapan

yang dianut oleh mayoritas masyarakat di sekitarnya. Ketiga,

perbedaan komunalitas (communal diversity), yakni individu atau

kelompok yang hidup dengan gaya hidup yang genuine sesuai

dengan identitas komunal mereka (indigeneous people way of life)

(Bikhu Pareh dalam Najib (Taylor, 1994)

H.A.R. Tilaar menggariswahi bahwa model pendidikan yang

dibutuhkan di Indonesia harus memperhatikan enam hal, yaitu,

pertama, pendidikan multikultural haruslah berdismensi “right to

culture” dan identitas lokal. Kedua, kebudayaan Indonesia yang

menjadi, artinya kebudayaan Indonesia merupakan Weltanshauung

yang terus berproses dan merupakan bagian integral dari

proses

kebudayaan mikro. Oleh karena itu, perlu sekali untuk

mengoptimalisasikan budaya lokal yang beriringan dengan

apresiasi terhadap budaya nasional. Ketiga, pendidikan

multikultural normatif yaitu model pendidikan yang memperkuat

identitas nasional yang terus menjadi tanpa harus

menghilangkan identitas budaya lokal yang ada. Keempat,

pendidikan multikultural merupakan suatu rekonstruksi sosial,

artinya pendidikan multikultural tidak boleh terjebak pada

Page 17: arsip saja

xenophobia, fanatisme dan fundamentalisme, baik etnik, suku,

ataupun agama. Kelima, pendidikan multikultural merupakan

pedagogik pemberdayaan (pedagogy of empowerment) dan pedagogik

kesetaraan dalam kebudayaan yang beragam (pedagogy of equity).

Pedagogik pembedayaan pertama-tama berarti, seseorang diajak

mengenal budayanya sendiri dan selanjutnya digunakan untuk

mengembangkan budaya Indonesia di dalam bingkai negara-bangsa

Indonesia. Dalam upaya tersebut diperlukan suatu pedagogik

kesetaraan antar-individu, antar suku, antar agama dan

beragam perbedaan yang ada. Keenam, pendidikan multikultural

bertujuan mewujudkan visi Indonesia masa depan serta etika

bangsa. Pendidikan ini perlu dilakukan untuk mengembangkan

prinsip-prinsip etis (moral) masyarakat Indonesia yang

dipahami oleh keseluruhan komponen sosial-budaya yang plural

(Tilaar, 2002: 185-190)

Mengenai faktor mengapa pentingnya pendidikan

multikultural, maka sangatlah penting untuk memahami

pandangan Nurcholish Madjid mengenai Kerukunan dalam Ragam

Budaya.

Usaha memahami masalah budaya tidak akan lepas dari

masalah sejarah. Sebab eksistensi budaya tentu membentang

tidak saja dalam dimensi ruang yang mendatar, tapi juga

dimensi waktu yang menyangkut masa lalu, masa kini, dan

kemungkinan masa depan dalam bentuk antisipasi atau prediksi.

Dalam membahas masalah budaya Indonesia, kita biasa

menyatakan kompleksitas persoalannya. Sebagai negara dan

bangsa keempat terbesar di muka bumi (setelah Cina, India,

dan Amerika Serikat), dengan 17.000 pulau, besar dan kecil,

Page 18: arsip saja

yang terbentang dari Sabang sampai Merauke seperti dari

London di Inggris sampai Teheran atau lebih di Iran, argumen

kompleksitas itu kiranya dapat dibenarkan. Dan kompleksitas

itu tidak majemuknya masyarakat kita dari segikebahasaan,

adat istiadat, dan seterusnya, namun juga menyangkut masalah

tingkat kualitas perkembangan segmen-segmen masyarakat kita

sejak dari mereka yang sudah mulai memasuki “gelombang

ketiga” (third wave dalam istilah

Alvin Toffler) dengan gejala telekomunikasi dan jaringan

informasi global seperti internet, sampai kepada segmen-

segmen masyarakat kita yang bahkan memasuki gelombang pertama

(budaya agraris) pun masih belum, seperti ditunjukkan oleh

adanya saudara-saudara kita di pedalaman Sumatera,

Kalimantan, dan Irian Jaya yang belum mengenal sistem

pertanian teratur (suatu sistem yang dirintis dan

dikembangkan oleh bangsa-bangsa lembah Sungai Dajlah-Furat—

Mesopotamia—sekitar lima sampai enam ribu tahun yang lalu).

Jelas sekali, bahwa berbagai kesenjangan horizonal dan

vertikal itu sangat berpengaruh kepada masalahmasalah

kemasyarakatan nasional kita, termasuk masalah kerukunan

antarumat beragama. Kalau perubahan dan perpindahan dari satu

ke gelombang berikutnya biasanya menimbulkan krisis (seperti

dibuktikan oleh adanya perang saudara Amerika antara Utara

yang industrial— gelombang kedua, melawan Selatan yang

agraris—gelombang pertama), maka adanya spektrum tingkat

perkembangan sosial-budaya Indonesia sejak dari yang masih

berada di “pragelombang” sampai kepada yang sudah mulai

memasuki gelombang ketiga tentu akan lebihlebih lagi

Page 19: arsip saja

menimbulkan berbagai krisis. Dan ini pun tentu mempengaruhi

usaha-usaha menggalang kerukunan antarumat beragama. Krisis

itu berpangkal pada adanya gejala yang sangat umum dalam

masyarakat-masyarakat yang sedang mengalami perubahan sosial

besar dan cepat seperti gejala deprivasi relatif (perasaan

tidak dapat ikut serta dalam proses-proses perubahan),

dislokasi (perasaan kehilangan tempat dalam masyarakat yang

sedang berubah), disorientasi (perasaan kehilangan arah,

khususnya dalam hal rasa makna dan tujuan hidup karena sistem

dan pranata lama tidak lagi dapat dipertahankan), dan hasil

itu semua, kekecewaan yang mendalam (disappointment). Kesemua

pengalaman tak mengenakkan itu memerlukan solusi serta

jawaban atas permasalahannya. Dambaan kepada adanya solusi

dan jawaban itu seringkali mendorong individu-individu untuk

mencari dan kemudian bergabung dengan siapa saja yang sanggup

menyediakannya. Biasanya semakin sederhana dan “tegas” solusi

dan jawaban yang diberikan, akan semakin menarik dan semakin

banyak diminati. Dari sini timbul dukungan kepada ajaran-

ajaran yang bersifat kultus, dengan gaya penganutan yang

militan, fanatik, tertutup, dan seringkali antisosial (akibat

takut terkena “polusi keyakinan dan pikiran” orang lain dalam

masyarakat luas). Akibatnya ialah sikap- sikap tidak

bersahabat yang dengan sendirinya menghalangi dialog dan

usaha pemersatuan dan kerukunan.

Husniyatus Salamah (2013) dalam artikel “Pendidikan

Multikultural: Upaya Membangun Keragaman Inklusif di Sekolah”

mengemukakan faktor mengapa pendidikan multikultural penting,

sebagai berikut:

Page 20: arsip saja

1. Pendidikan multikultural secara inheren sudah ada sejak

bangsa Indonesia ada. Falsafah bangsa Indonesia adalah

suka gotong royong, membantu, menghargai antara suku dan

lainnya.

2. Pendidikan multikultural memberikan secercah harapan

dalam mengatasi berbagai gejolak masyarakat yang terjadi

akhir-akhir ini. Keberhasilan pendidikan dengan

mengabaikan ideologi, nilai-nilai, budaya, kepercayaan

dan agama yang dianut masing-masing suku dan etnis harus

dibayar mahal dengan terjadinya berbagai gejolak dan

pertentangan antar etnik dan suku. Salah satu penyebab

munculnya gejolak seperti ini, adalah model pendidikan

yang dikembangkan selama ini lebih mengarah pada

pendidikan kognitif intelektual dan keahlian

psikomotorik yang bersifat teknis semata. Padahal kedua

ranah pendidikan ini lebih mengarah kepada keahlian yang

lepas dari ideologi dan nilai-nilai yang ada dalam

tradisi masyarakat, sehingga terkesan monolitik berupa

nilai-nilai ilmiah akademis dan teknis empiris.

Sementara menurut pendidikan multikultural, adalah

pendidikan yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai

keyakinan, heterogenitas, pluralitas agama apapun

aspeknya dalam masyarakat.

3. Pendidikan multikultural menentang pendidikan yang

berorientasi bisnis. Pendidikan yang diharapkan oleh

bangsa Indonesia sebenarnya bukanlah pendidikan

ketrampilan semata, melainkan pendidikan yang harus

mengakomodir semua jenis kecerdasan, yang sering disebut

Page 21: arsip saja

kecerdasan ganda (multiple intelligence). Menurut Howard

Gardner, kecerdasan ganda yang perlu dikembangkan secara

seimbang adalah kecerdasan verbal linguistic, kecerdasan

logika matematika, kecerdasan yang terkait dengan

spasialRuang, kecerdasan fisik kinestetik, kecerdasan

dalam bidang musik, kecerdasan yang terkait dengan

lingkungan alam, kecerdasan interpersonal dan kecerdasan

intrapersonal. Jadi, jika ketrampilan saja yang

dikembangkan maka pendidikan itu jelas berorientasi

bisnis.

4. Pendidikan multikultural sebagai resistensi fanatisme

yang mengarah pada jenis kekerasan. Kekerasan muncul

ketika saluran perdamaian sudah tidak ada lagi.

C. Tujuan Pendidikan Multikultural

James A. Banks dalam bukunya yang berjudul “Multicultural

Education: Characteristics and goals” merumuskan tujuan pendidikan

multikultural sebagai berikut:

“The goal of multicultural education is an education forfreedom...multicultural education should help students to help the knowledge,attitudes, and skills to participate in a democratic and freesociety...multicultural education promotes the freedom, abilities and skills toross ethnic and cultural boundaries to participation in other cultures andgroups.”

“Tujuan pendidikan multikultural adalah pendidikan untukkebebasan. Pendidikan multikultural dimaksudkan untukmembantu para siswa dalam mengembangkan pengetahuan, sikapdan keterampilan dalam berpartisipasi dalam masyarakatyang bebas dan demokrasi. Pendidikan multikulturalmengembangkan kebebasan, kemampuan dan keterampilan dalam

Page 22: arsip saja

menerobos batas-batas budaya dan etnis dalamberpartisipasi dengan kebudayaan dan kelompok lain.”

James menjelaskan bahwa substansi dari pendidikan

multikultural adalah pendidikan untuk kebebasan dan

penyebarluasan gerakan inklusif dengan misi untuk memperkuat

hubungan sesama dari berbagai perbedaan. Pendidikan

multikultural diharapkan akan dapat menghilangkan rasisme.

Jika dilihat dalam kondisi keindonesiaan tujuan pendidikan

multikultural semestinya dapat menghilangkan konflik

keagamaan, karena kondisi sosiologis di Indonesia lebih

memungkinkan konflik antar agama daripada konflik rasis

sebagaimana di Amerika dan Eropa.

Menurut Ainul Yaqin (2005) Tujuan pendidikan multikultural

ada dua, yakni tujuan awal dan tujuan akhir. Tujuan awal

merupakan tujuan sementara karena tujuan ini hanya berfungsi

sebagai perantara agar tujuan akhirnya tercapai dengan baik.

Pada dasarnya tujuan awal pendidikan multikultural yaitu

membangun wacana pendidikan, pengambil kebijakan dalam dunia

pendidikan dan mahasiswa jurusan ilmu pendidikan ataupun

mahasiswa umum. Harapannya adalah apabila mereka mempunyai

wacana pendidikan multikultural yang baik maka kelak mereka

tidak hanya mampu untuk menjadi transformator pendidikan

multikultural yang mampu menanamkan nilai-nilai pluralisme,

humanisme dan demokrasi secara langsung di sekolah kepada

para peserta didiknya. Sedangkan tujuan akhir pendidikan

multikultural adalah peserta didik tidak hanya mampu memahami

dan menguasai materi pelajaran yang dipelajarinya akan tetapi

Page 23: arsip saja

diharapakan juga bahwa para peserta didik akan mempunyai

karakter yang kuat untuk selalu bersikap demokratis, pluralis

dan humanis. Karena tiga hal tersebut adalah ruh pendidikan

multikultural.

Menurut James Blank (2003) ada lima dimensi pendidikan

multikultural yang saling berkaitan, yaitu: 1)

Mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk

mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi, dan teori

dalam mata pelajaran; 2) Membawa siswa untuk memahami

implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran; 3)

Menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa

dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik; 4)

Mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan

metode pengajarannya; 5) Melatih kelompok untuk

berpartisipasi dalam berbagai kegiatan, berinteraksi dengan

seluruh siswa dan staf yang berbeda ras dan etnis untuk

menciptakan budaya akademik.

Terdapat lima tujuan pendidikan multikultural yang

dikemukakan oleh James A. Banks, yaitu:

1. Meningkatkan pemahaman diri dan konsep diri secara baik.

2. Meningkatkan kepekaan dalam memahami orang lain,

termasuk terhadap berbagai kelompok budaya di negaranya

sendiri atau pun negara lain.

3. Meningkatkan kemampuan untuk merasakan dan memahami

kemajemukan, interpretasi kebangsaan dan budaya yang

kadang-kadang bertentangan menyangkut sebuah peristiwa,

nilai dan perilaku.

4. Membuka pikiran ketika merespon isu.

Page 24: arsip saja

5. Memahami latar belakang munculnya pandangan stereotipe

dan menghargai semua orang.

Paradigma pendidikan multikultural diharapkan dapat

menghapus stereotipe, sikap dan pandangan egoistik,

individualistik dan ekslusif di kalangan peserta didik

(Zubaedi, 2005: 71). Melalui pendidikan multikultural

diharapkan seseorang akan menyadari bahwa keberadaannya tidak

bisa terlepas dari keberadaan yang lain (liyan) yang meliputi

pluralitas ras, etnis, agama, budaya dan pandangan politik.

melalui pendidikan multikultural maka akan diharapkan peserta

didik dapat mengidentifikasi dirinya dan lingkungannya.

D. Penelitian Pendidikan Multikultural

Berbicara pendidikan multikultural aspeknya sangat luas,

maka penelitian-penelitian mengenai pendidikan multikultural

bisa meliputi permasalahan kebebasan beragama, konflik

sosial, konflik antar etnik dan antar agama, kasus-kasus

intoleran, serta bagaimana permasalahan multikultural

dijalankan di dunia pendidikan secara makro dan di dalam

proses pendidikan secara mikro. Hal ini menjadi kajian para

pegiat pendidikan multikultural.Berikut adalah penelitian-

penelitian yang berkenaan dengan pendidikan multikultural.

Mahfud (237) mengatakan bahwa kajian mengenai

multikulturalisme meliputi berbagai permasalahan, antara satu

masalah dengan masalah yang lain tidak bisa dipisahkan. Hal

ini diantaranya adalah tentang politik dan demokrasi,

keadilan dan penegakkan hukum, kesempatan kerja dan berusaha,

HAM, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-

prinsip etika dan moral.

Page 25: arsip saja

Sebuah penelitian terbaru (tahun 2015) dilakukan oleh

Komisi nasional Hak Azazi Manusia (KOMNAS HAM) tahun 2015

terhadap kasus pembakaran mesjid pada Hari Raya Idul Fitri

tahun 2015 di Tolikara. Berdasarkan penelitian (investigasi)

yang dilakukan oleh KOMNAS HAM bahwa ditemukan: 1) Kasus

pembakaran mesjid yang dilakukan di Tolikara dilakukan

setelah pembubaran Sholat Ied pada saat rakaat pertama di

takbir ketujuh; 2) Pelangaran Ham Pasal 2 Undang-undang Ham,

yaitu pelanggaran terhadap hak hidup adanya 12 orang

masyarakat Tolikara yg tertembak, satu meninggal, 11

mengalami luka tembak. 3) Pelaggaran Ham ini ternyata seperti

mendapat dukungan oleh Pemerintah Daerah, yaitu adanya

Peraturan Daerah yang diskriminatif mengenai tidak bolehnya

agama lain beraktivitas di Tolikara. Beberapa poin dari Perda

tersebut adalah: tidak boleh berjilbab di depan publik,

mesjid tidak boleh menggunakan pengeras suara, dan tidak

bolehnya menyelenggarakan sholat Idul Fitri; 4) Perda

diskriminatif yang disetujuai oleh Bupati Tolikara ternyata

diusulkan oleh kelompok gereja dan tokoh-tokoh gereja.

Berdasarkan temuan penelitian yang dilakukan KOMNAS HAM

tahun 2015 tersebut dapat dilihat bahwa pemerintah mendukung

terjadinya kasus intoleran melalui kebijakan-kebijakan yang

dikeluarkan oleh Bupati. Sehingga masyarakat seperti mendapat

legitimasi untuk menyingkirkan aktivitas masyarakat lain yang

menganut agama yang minoritas di Tolikara.

Listia, Laode Arham, Lian Gogali, Problematika Pendidikan

Agama di Kota Jogjakarta 2004-2006. Penelitian ini dierbitkan oleh

Interfidei, tahun 2007. Masalah penelitian ini berusaha mengkaji

Page 26: arsip saja

kebijakan pemerintah yaitu untuk memeriksa bagaimana konteks

sosial plitik yang mewarnai munculnya kebijakan pendidikan

agama di sekolah-sekolah umum, mengingat sebelumnya pada masa

rezim Soekarno pendidikan agama di sekolah, di perguruan

tinggi umum adalah bersifat pilihan. Juga dikaji bagaimana

wacana keagamaan yang dikembangkan institusi keagamaan saat

itu berkaitan dengan masalah ubungan agama dan negara dan

pengelolaan masyarakat majemuk agama di sekolah-sekolah umum,

bagaimana pula kaitannya dengan masalah hubungan agama dan

negara dan pengelolaan masyarakat majemuk, mengingat masa

rezim Soekarno pendidikan agama di sekolah atau dilaksanakan

bila mendapat ijin dari orang tua atau wali siswa.

Permasalahan penelitian berikutnya adalah bagaimana

pentingnya para siswa di sekolah umum diberikan pembelajaran

mengenai pentingnya memahami situasi masyarakat yang majemuk

dalam hal agama. Selanjutnya juga membahas bagaimana

tanggapan atas pemberlakuan pendidikan agama dalam masalah

identitas dan pengelompokan masyarakat. Bagaimana tanggapan

itu berproses dengan situasi kongkret di sekitarnya dan

adakah alternatif model pendidikan agama yang ditawarkan

masyarakat serta berbagai ketegangan yang terjadi dengan

pemegang otoritas keagamaan pendidikan.

Dalam penelitian ini ditemukan bahwa pada level politik

pendidikan yang berfokus pada kebijakan-kebijakan negara

terkait pendidikan agama ada imbas yang sangat jelas.

Terdapat tarik menarik dan ketegangan politik yang berkaitan

dengan ideologi negara. Hal ini dikarenakan karena adanya

kelompok kepentingan yang berbasis agama yang tidak

Page 27: arsip saja

menyepakati pemisahan urusan agama dan negara. Selajutnya

juga ditemukan bahwa walau pun pendidikan agama tidak

dimasukkan ke dalam ujian nasional, namun berkaitan dengan

administrasi kependidikan di sekolahitkan, kurikulum hingga

evaluasi yang dilakukan, justru makin merumitkan pendidikan

agama.

Penelitian ini juga menemukan bahwa banyak kelompok

masyarakat yang meletakkan masalah agama sebagai urusan

pribadi, bukan urusan yang harus gitu dibawa pada ranah

publik. Sementara dikalangan siswa masih pada umumnya

berpikiran santai mengenai perbedaan agama, namun setelah

melalui proses pendidikan, para siswa tertanan konsep bahwa

agama sebagai sesuatu yang memisahkan manusia. Para pengambil

kebijakan lebih banyak bersikap curiga terhadap perbedaan

agama.

Penelitian juga menemukan, terdapat kelompok-kelompok

masyarakat yang mengambil sikap kritis terhadap kebijakan-

kebijakan pendidikan yang berkenaan dengan pluralitas. Aksi

dari sikap berseberangan ini membuat kelompok masyarakat

tersebut merasa perlu membangun sebuah pendidikan alternatif.

Penelitian ini mengungkap bahwa pemisahan anak dari

perbedaan agama di sekolah dapat menjadi embrio diskriminasi

bangsa. Hal ini terjadi karena sekolah tidak menjalankan

pendidikan keagamaan, tetapi lebih cendrung menjalankan

pelajaran agama. Menurut hasil penelitian ini lembaga

pendidikan mempunyai andil terhadap terjadinya perpecahan

bangsa. Hal ini dikarenakan sekolah masih menjalankan tugas

Page 28: arsip saja

indoktrinasi mengenai dogma-dogma agama namun minus dialog

dan mempelajari tentang agama lain.

Pada bagian lain, penelitian ini menjelaskan bahwa tujuan

kurikulum tidak menjamin pendidikan agama berjalan dengan

baik. Karena guru sebagai garda terdepan menjalankan

kurikulum memiliki persepsi dan perspektif masing-masing

dalam mengajarkan agama kepada para siswa.

Penelitian ini menganjurkan adanya integrasi ilmu dan

agama. Selaa ini pengajaran agama dan ilmu tidak terintegrasi

sehingga dikotomi pun terpelihara dan menjadi masalah yang

berkelanjutan. Penelitian ini belum sampai memberikan solusi

operasional mengenai problematika pendidikan agama. Namun

telah berhasil menemukan titik-titik masalah pendidikan agama

di Jogjakarta, dimana penelitian ini dilakukan.

Halili, dkk, Kepemimpinan Tanpa Prakarsa: Kondisi Kebebasan

Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2012, diterbitkan Pustaka

Masyarakat Setara. Kesimpulan penelitian yang menyorot

masalah kebebasan beragama ini, yaitu: Pertama, secara makro

kondisi kebebasan beragama/ berkeyakinan di Indonesia tidak

mengalami kemajuan akibat masih terus dipeliharanya berbagai

produk peraturan perundang-undangan yang diskriminatif,

seperti UU No.1/PNPS/1965, Peraturan Bersama Menteri Agama

dan Menteri Dalam Negeri, SKB pembatasan Ahmadiyah, dan

peraturan daerah diskriminatif lainnya. Semua produk hukum di

atas telah menjadi alat legitimasi bagi organisasi-organisasi

Islam garis keras dan masyarakat melakukan aksi kekerasan,

yang semakin meningkat pada tahun 2012.

Page 29: arsip saja

Kedua, SETARA Institute mencatat 264 peristiwa pelanggaran

kebebasan beragama/ berkeyakinan dengan 371 bentuk tindakan,

yang menyebar di 28 provinsi. Terdapat 5 provinsi dengan

tingkat pelanggaran paling tinggi yaitu, Jawa Barat (76

peristiwa), Jawa Timur (42), Aceh (36), Jawa Tengah (30), dan

Sulawesi Selatan (17).

Ketiga, peristiwa tertinggi terjadi terjadi di bulan Oktober

(40) dan bulan Mei (38) peristiwa. Berikutnya berturut-turut:

Agutus (28) peristiwa, November (24) peristiwa, April (23)

peristiwa, Maret dan Juni, masing-masing (22) peristiwa,

Januari (21) peristiwa, Juli (11) peristiwa, Februari (8)

peristiwa pada bulan Desember (2) peristiwa.

Berdasarkan 18 masalah utama yang ditemukan, maka SETARA

Institute sebagai penyelenggara penelitian merekomendasikan

tujuh poin sebagai berikut:

1. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sebagai kepala negara

hendaknya memanfaatkan sisa kepmimpinan politiknya yang

kurang dari dua tahun untuk: 1) menuntaskan berbagai

peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan

khususnya terkait: peristiwa Ahmadiyah, tempat ibadah,

dengan menindak tegas pelaku kekerasan, baik individu

mau pun organisasi; 2) mengatasi penelantaran pengungsi

Syi’ah Sampang dan Ahmadiyah Transito Mataram; 3)

mengambil tindakan untuk penanganan kebijakan

diskriminaif di berbagai daerah, dan 4) mengambil

kebijakan sebagai kepala negara untuk menghentikan

kriminalisasi korban pelanggaran kebebasan

beragama/berkeyainan.

Page 30: arsip saja

2. Pemerintah dan DPR RI mestinya memprakarsai pembentukan

UU Penghapusan Diskriminasi Agama/Keyakinan yang

prinsip-prinsipnya diturunkan dari jaminan

konstitusional dalam UUD 1945 serta dengan mengadopsi

prinsip-prinsip HAM secara holistik.

3. Mahkamah Agung hendaknya membuat kerangka kebijakan

untuk dipedomani lembaga-lembaga peradilan di bawahnya

untuk menggunakan Pasal-pasal UUD 1945 yang memberikan

jaminan kebebasan beragama/ berkeyakinan.

4. DPR RI memberi perhatian dan menjalankan pengawasan

serius terhadap implementasi hak konstitusional warga

untuk bebas beragama berkeyakinan dengan membentuk

kaukus parlemen untuk kebebasan beragama/berkeyakinan

dan menyusun agenda pengawasan dan legislasi yang

kondusif bagi jaminan kebebasan beragama/berkeyakinan.

5. Kepolisian RI menyusun kebijakan internal yang kondusif

bagi pemajuan jaminan kebebasan beragama/berkeyakinan

dengan melakukan pelatihan khusus bagi aparat kepolisian

tentang pluralisme dan kebebasan beragama.berkeyakinan,

termasuk langkah-langkah penanganan konflik dan/atau

ekerasan atas nama agama.

6. Pemerintah dan DPR RI menindaklanjuti berbagai

rekomendasi Dewan HAM PBB yang disampaikan pada Universal

Periodic Review (UPR) pada Mei 2012.

7. Pemerintah mengundang Pelapor khusus PBB untuk kebebasan

beragama/berkeyakinan dan memberikan akses seluas-

luasnya untuk melakukan investigasi berbagai peristiwa

pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan.

Page 31: arsip saja

Ismail Hasani, dan Bonar Tigor Naipospos (editor), Wajah

Para “Pembela” Islam: Radikalisme Agama dan Implikasinya terhadap Jaminan

Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Jabodetabek dan Jawa Barat,

diterbitkan oleh Pustaka Masyarakat Setara, Jakarta, tahun

2010.

Secara keseluruhan terdapat empat kesimpulan penelitian

ang diselenggrakan oleh SETARA Institute yaitu: 1) potret

keagamaan masyarakat perkotaan termasuk pandangannya terhadap

organisas Islam radikal tumbuh di Jakarta dan Jawa Barat; 2)

paparan argumentasi mengapa organisasi Islam radikal tumbuh

di Jakarta dan Jawa Barat; 3) profil organisasi Islam

radikal; 4) implikasi terhadap jaminan kebebasan

beragama/berkeyakinan.

Secara keseluruhan, sikap pandangan keagamaan masyarakat

jabodetabek, berdasarkan temuan penelitian ini memperlihatkan

intoleransi yang cukup tinggi. Walu pun secara umum

masyarakat Jaodetabek tergolong intoleran, namun penelitian

ini memperlihatkan warga belum pada tahap fundamentalis atau

radikal. Radikalisme adalah lanjutan dari sikap intoleran.

Argumen mengapa organisasi Islam radkal tumbuh dan

berkembang di Jakarta dan Jawa Barat salah satunya

dikarenakan adanya kekosongan ideologi transformatif yang

diwariskan ole Orde Baru. Alienasi dan frustrasi masyarakat

urban Jabodetabek di akar rumput pada akhirnya menemukan

Islam sebagai jawaban yang rupanya lebih dapat memberikan

jaminan kepastian. Pada umumnya masyarakat yang erlibat dalam

intoleran ini justru tergolong masyarakat yang tidak taat

dalam menjalankan kewajiban sebagai Muslim.

Page 32: arsip saja

Berbeda dengan Jawa Barat, gerakan Islam radikal memiliki

genealogi kuat dan dapat ditelusuri secara lebih jelas. Jawa

Barat pernah menjadi basis perjuangan untuk merebut kekuasaan

dengan mendirikan Negara Islam melalui gerakan Darul Islam.

Juga secara politis-historis Jawa Barat merupakan basis

Masyumi. Namun karena kegagaln Masyumi dalam gelanggang

politik Orde Baru membuat DDII menjadi sarana alternatif bagi

kalangan Masyumi.

Pada umumnya dapat disimpulkan bahwa ormas-ormas itu lahir

secara spontan dan dipicu oleh brbagai peristiwa yang

dianggap mengancam Islam dan umat Islam.

Nanang Martono, Ancaman Intoleransi di Sekolah. Penelitian Nanang

Martono ini lebih bersifat penelitian grand tour untuk melihat

kondisi intoleransi yang terjadi di Papua yaitu adanya

pembakaran tempat ibadah di umat Islam di Papua. Martono

(2015) menganalisis problem sikap politik pemerintah dalam

menghadapi konflik bernuansa perbedaan agama. Namun, saya

ingin mengkritisinya dari sisi praktik pendidikan dalam

beberapa waktu terakhir.

Masalah kerukunan antarumat beragama menjadi isu utama

yang menjadi bahan pembicaraan sebagian besar masyarakat.

Media pun kembali menunjukkan posisinya. Isu diskriminasi

menjadi pokok masalah yang dikritisi banyak pihak. Selain

itu, isu keberpihakan pemerintah atas kelompok agama tertentu

juga seolah menjadi topik penting. Masyarakat kembali

mengusik perbedaan sikap pemerintah ketika mengatasi kejadian

“masjid dibakar” dengan “ledakan di gereja”.

Page 33: arsip saja

Martono (2015) menganalisis problem sikap politik

pemerintah dalam menghadapi konflik bernuansa perbedaan

agama. Namun, saya ingin mengkritisinya dari sisi praktik

pendidikan dalam beberapa waktu terakhir. Menurut Martono,

masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang sangat plural.

Masyarakat dunia pun mengakui bahwa Indonesia adalah negara

yang paling toleran dengan kelompok minoritas. Hari besar

agama pun selalu diperingati sebagai hari libur nasional. Tak

terkecuali hari besar agama kelompok minoritas, semua

dijadikan “tanggal merah”. Ini artinya, nuansa toleransi

antarumat beragama sangat diperhatikan melalui hal-hal

sepele: “hari libur”. Dan kondisi ini mungkin tidak dijumpai

di negara lain.

Indonesia sangat menghargai umat beragama, berbeda dengan

negara-negara di Eropa. Martono (2015) memberikan sebuah

perbandingan dengan Prancis misalnya, yang secara tersurat

menganut prinsip “egalite” atau kesamaan posisi semua warga

negara pun tidak meliburkan peringatan Idul Fitri dan hari

besar agama minoritas. Prancis hanya meliburkan hari Natal

sebagai hari raya kelompok mayoritas. Ini merupakan bukti

kecil ketika agama minoritas tidak mendapat tempat strategis

atau mendapat perhatian yang sama dari pemerintah (yang

katanya egaliter). Kondisi ini jelas berbeda dengan apa yang

terjadi di Indonesia. Melihat perbandingan di Prancis

tersebut Martono (2015) menyimpulkan sudah lebih dari cukup

untuk menumbuhkan semangat toleransi antarumat beragama di

Indonesia.

Page 34: arsip saja

Namun menurut Martono (2015) pada kenyataannya di

masyarakat menunjukkan kondisi yang sangat berbeda. Isu agama

ternyata masih menjadi isu sensitif yang mudah memicu konflik

sosial. Dalam kebijakan pendidikan, ini tergambar jelas

ketika Mendikbud Anies melemparkan wacana untuk mengatur tata

cara berdoa sebelum memulai pelajaran. Kelompok fanatik

(terutama muslim) langsung mengklaim bahwa pemerintah tidak

berpihak pada umat Islam sebagai kelompok mayoritas.

Martono (2015) menjelaskan bahwa wilayah “kekuasaan

negara” dalam pendidikan tentu saja harus meregulasi

kebijakan di sekolah publik, ketika sekolah tersebut adalah

sekolah “milik bersama”. Artinya, sekolah publik sejatinya

melayani semua golongan, bukan melayani kelompok mayoritas

saja. Idealnya, sekolah publik juga harus memperhatikan

kepentingan kelompok minoritas yang hak yang sama untuk

mengakses pendidikan.

Martono (2015) mengambil kasus terbaru (2015) ketika

Mentri Pendidikan, Anis Baswedan mengeluarkan beragam

peraturan di sekolah, misalnya berdoa. Dalam masalah tata

cara berdoa menurut Martono memang sebaiknya pemerintah

perlu merumuskan tata cara berdoa yang bersifat umum bila di

sebuah kelas ada pemeluk agama yang berbeda. Tidak bijak

ketika siswa Nasrani dipaksa mendengarkan surat Al Fatihah

setiap hari karena ia minoritas, sebaliknya, juga tidak bijak

memaksa siswa muslim mendengarkan bacaan-bacaan dari Injil

ketika berdoa di kelas yang mayoritas nasrani. Berdoa tidak

selamanya harus membaca surat Al Fatihah. Perlakuan ini tentu

berbeda dengan sekolah swasta berbasis agama. Toleransi harus

Page 35: arsip saja

dimulai dari kedua belah pihak, bukan minoritas yang selalu

mengikuti mayoritas.

Selanjutnya Martono menjelaskan bahwa dalam masalah

pendidikan agama, dalam UU Sisdiknas juga telah disebutkan

bahwa setiap sekolah harus memfasilitasi pendidikan agama

bagi semua pemeluk agama yang bersekolah di sekolah tersebut.

Ini artinya, bila di sekolah tersebut ada pemeluk agama

Kristen meski hanya satu orang, maka sekolah wajib

menyediakan guru agama Kristen untuk siswa tersebut, atau

sebaliknya, ketika ada umat muslim yang menjadi minoritas di

sebuah sekolah. Martono mengatakan bahwa pendidikan agama di

sekolah adalah ciri yang menjadi keunggulan dalam praktik

pendidikan nasional, ketika negara-negara Barat tidak

menggelar pendidikan agama di sekolah olehkarena itu ciri

ini harus tetap dipertahankan.

Selanjutnya Martono (2015) menyorot permasalahan segregasi

sosial (pemisahan sosial) di sekolah dalam beberapa waktu

terakhir (2015). Fenomena segregasi (pemisahan) sosial

semakin menguat dalam praktik pendidikan si sekolah. Sekolah-

sekolah swasta berbasis agama semakin menjamur di masyarakat.

Bahkan peningkatan jumlah sekolah swasta ini semakin tidak

terkontrol. Martono menilai adanya pemisahan secara nyata

antara tempat sekolah siswa muslim dan non muslim. Secara

sosiologis ini menunjukkan bahwa ada gejala pencampuran atau

penyatuan institusi pendidikan dan institusi agama. Atau,

masyarakat mungkin telah menganggap bahwa institusi agama

yang ada selama ini gagal menjalankan perannya. Untuk itu,

mereka menyerahkan masalah pendidikan agama di sekolah

Page 36: arsip saja

(institusi pendidikan), bukan di masjid, gereja, atau

institusi agama yang lain.

Sebagian orang tua (terutama dari kelas atas) lebih

memilih memasukkan putra putrinya ke sekolah-sekolah swasta

berbasis agama (yang berbiaya mahal). Mereka percaya bahwa

sekolah-sekolah tersebut mampu mendidik anak-anak mereka

“dengan benar” sesuai ajaran agama yang mereka anut.

Sementara, masjid atau gereja hanya dimaknai sebagai tempat

sholat atau beribadah, tidak lebih dari itu.

Segregasi sosial ini menurut Martono (2015) bisa

berdampak positif dan negatif. Pertama, menjamurnya sekolah

swasta berbasis agama memberikan harapan baru bagi orang tua

untuk mendapatkan tempat pendidikan yang sesuai dengan

keyakinan mereka. Mereka juga yakin, masalah perilaku atau

moralitas anak-anak mereka akan terjamin ketika anak-anak

mereka bersekolah di sekolah berbasis agama. Sementara,

sekolah negeri dipandang kurang memberikan pendidikan agama.

Kedua, ini juga menjadi ancaman serius terjadinya

segregasi sosial yang berdampak pada peningkatan intoleransi

antarumat beragama. Disadari atau tidak, sekolah publik

adalah satu-satunya “ruang publik” yang mampu menyatukan

siswa dari beragam keyakinan untuk saling belajar satu sama

lain. Namun, ketika ruang-ruang tersebut kembali dipisahkan

oleh “tempat sekolah yang eksklusif”, maka nyaris tidak ada

lagi ruang-ruang yang mampu menumbuhkan semangat toleransi

antarumat beragama. Siswa muslim hanya akan bergaul dan

berteman dengan siswa muslim, siswa nasrani juga akan

Page 37: arsip saja

berteman dengan siswa nasrani, juga siswa dari agama yang

lain. Ketakutan ini semakin menguat ketika semangat

individualisme juga telah menghinggapi kesadaran sebagian

besar siswa. Martono menawarkan solusi pemerintah harus

membuat regulasi muatan kurikulum di sekolah swasta berbasis

agama.

Selanjutnya Martono (2015) mengusulkan bahwa sekolah

swasta berbasis agama wajib memuat pendidikan multikultural

dalam proses pembelajarannya, melalui kurikulum formal maupun

kurikulum tersembunyi. Ini bertujuan untuk memberikan

pengetahuan dan kesadaran dalam diri siswa bahwa dalam

kehidupan sosial di masyarakat mereka harus dapat

berinteraksi dengan masyarakat dari berbagai golongan. Bahwa

di luar sekolah, mereka tidak hanya berinteraksi dengan

sesama muslim atau sesama nasrani, namun mereka akan

berinteraksi dengan umat lain yang sangat berbeda kondisi dan

cara berpikirnya.

Penelitian oleh Agus Moh. Najib, Ahmad Baidowi, Zainudin

“Multikulturalisme dalam Pendidikan Islam: Studi terhadap UIN Yogyakarta, IAIN

Banjarmasin, dan STAIN Surakarta. Penelitian ini hendak menunjukkan

apakah tiga PTAI, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, IAIN

Antasari Banjarmasin dan STAIN Surakarta, sebagai sampel

institusi pendidikan, telah mengembangkan pembelajaran yang

berwawasan multikultural. Aspek yang dijadikan perwakilan

elemen multikultural dalam penelitian ini adalah persoalan

identitas, kebebasan berekspresi dan berkeyakinan serta

proses pencerdasan. Hasil riset menunjukkan UIN Sunan

Kalijaga, secara kelembagaan, menjadi model perwujudan

Page 38: arsip saja

semangat multikultur dengan adanya berbagai lembaga atau

pusat studi, baik di tingkat universitas maupun di tingkat

fakultas, yang mendialogkan Islam dengan berbagai realita

sosial budaya dan berbagai isu lokal, nasional, regional

maupun global yangberkembang. Secara akademik IAIN Antasari

menjadi model pembelajaran bagaimana mendialogkan Islam

dengan realita sosial budaya yang ada serta apresiasi positif

lembaga pendidikan Islam terhadap budaya lokal. Sementara

itu, dalam program pengabdian kepada masyarakat, STAIN

Surakarta menjadi terdepan dalam penerapan model “KKN

transformatif” yang menerapkan PAR dan PRA sebagai ikhtiar

memberdayakan masyarakat.

Implementasi semangat multikultural pada aspek

kelembangaan diwujudkan dengan cara beragam. Di UIN Sunan

Kalijaga, sebagai model ideal perwujudan semangat multikultur

disbanding 2 PTAI lain (IAIN Banjarmasin dan STAIN Surakarta)

diperlihatkan oleh adanya berbagai lembaga atau pusat studi,

baik di tingkat universitas maupun di tingkat fakultas, yang

mendialogkan Islam dengan berbagai realita sosial budaya dan

berbagai isu lokal, nasional, regional maupun global yang

berkembang. Selain itu, UIN Sunan Kalijaga membuka diri

dengan menerima mahasiswa non muslim untuk menuntut ilmu baik

pada program S1 maupun pascasarjana. Pada aspek akademik,

IAIN Antasari menjadi model pembelajaran bagaimana

mendialogkan Islam dengan realita sosial budaya yang ada

serta apresiasi positif lembaga pendidikan Islam terhadap

budaya lokal. Ini diperlihatkan dengan memperkenalkan,

mendemostrasi dan memahami berbagai kearifan budaya dan

Page 39: arsip saja

diversitas budaya yang ada di seputar kampus. Mahasiswa dapat

menyaksikan secara langsung ritual-ritual budaya yang hingga

sekarang masih dipertahankan oleh berbagai komunitas di

Banjarmasin. Ini mendorong minat mahasiswa dan dosen untuk

mehamai berbagai peristiwa budaya sekitar melalui berbagai

karya ilmiah yang ditulis dan mengangkatnya sebagai warisan

budaya yang perlu dipertahankan. Sementara itu, pada aspek

Pengabdian Kepada Masyarakat, STAIN Surakarta menjadi

terdepan dalam penerapan model “KKN transformatif” yang

menerapkan PAR dan PRA. Model ini menjadi garda depan dalam

mentransformasikan serta memberdayakan masyarakat.

Penelitian berikutnya dilakukan oleh Masyhuri dengan judul

penelitian Bakar Pecinan! (Konflik Pribumi vs Cina di Kudus Tahun 1918),

yang diterbitkan oleh Grafika Indah, Jakarta: 2006.

Penelitian ini lebih bersifat penelitian sejarah konflik yang

penekanan kajian dilakukan di Kudus pada tahun 1918. Dalam

kesimpulannya peneliti melihat konflik sosial yang terjadi di

Kudus dengan konsep Sartono Kartodirjo dengan “The Local

sarekat Islam Movements” yang melihat konflik sosial masa itu

dikn sikap diarenakan faktor: pertumbuhan nasionalisme,

persaingan ekonomi, penghinaan agama, dan sikap anti cina

yang menjadi sikap gerakan Sarekat Islam. Terdapat corak yang

sama ketika konflik sosial di udus tahun 1918 pada tahun

1912, s

Prinsip yang menjadi gerakan Sarekat Islam tersebut terbaa

ketika Sarekat Islam didirikan di Kudus , sehingga mulai

muncul kesadraan nasionalisme, rasa harga diri, dan menolak

diskriminasi atau pembatasan-pembatasan yang dirasakan kaum

Page 40: arsip saja

pribumi. Sikap seperti ini smakin kokoh, begitu juga

sebaliknya, kelompok kalangan orang Cina juga mengalami

radikalisasi dan persatuan yang kokoh, hingga kedua kelompok

ini salngi berhadap-hadapan, hingga terjadinya konflik

sosial.

Beberapa poin pening yang dapat dipelajari dari penelitian

sejarah konflik tersebut adalah bahwa konflik sosial yang

terjadi dari masa lalu tidak jauh-jauh dari permasalahan

diskriminasi, akses sumber daya alam, suku, hak ekonomi,

pandangan agama dan perbedaan agama. Hingga saat ini pola-

pola konflik sebagaimana yang pernah terjad di Kudus pada

tahun 1918 masih sering terjadi.

Page 41: arsip saja

BAB II

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM PERSPEKTIF AGAMA

A.Konsep Islam tentang Pendidikan Multikultural

Dalam ayat-ayat Al-Qur’an berikut yang disertai dengan

penafsirannya, maka akan dapat dilihat bagaimana Islam

memandang multikultural atau kemajemukan.

49. dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamumengingat kebesaran Allah (Adz Dzariyat:49)

Apa pun hubungannya, yang jelas ayat-ayat di atas bagaikan

menyatakan: Dan langit Kami bangun, yakni ciptakan dengan "tangan-

tangan': yakni kuasa dan kekuatan Kami Yang Mahadahsyat atau

berdasar nikmat Kami yang melimpah dan sesungguhnya Kami benar-benar

Mahaluas dalam kekuasaan Kami tanpa ada sesuatu pun yang

menghalangi-Nya. Dan bumi tempat hunian manusia itu Kami hamparkan;

maka sebaik-baik yang Penghampar adalah Kami. Dan segala sesuatu, baik

makhluk hidup maupun mati, telah Kami ciptakan berpasang-pasangan- agar

mereka saling melengkapi-supaya kamu mengingat bahwa hanya Allah

Yang Maha Esa dan hanya Dia Yang Mahakuasa (Shihab, 2009: 100).

Page 42: arsip saja

36. Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya,baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupundari apa yang tidak mereka ketahui (Yaasin: 36)

Quraish Shihab (2009: 149-150) menafsirkan bahwa ayat di

atas menyucikan Allah dari segala sifat buruk atau kekurangan

yang disandangkan kepada-Nya. Betapa tidak, Allah yang mereka

durhakai itu adalah Dia yang antara lain menciptakan segala

tumbuhan dan menumbuhkan buah-buahan dengan cara menciptakan

pasangan bagi masingmasing. Dengan tujuan itu, ayat di atas

menyatakan: Mahasuci Dia dari segala kekurangan dan sifat

buruk. Dia-lah Tuhan Ytwg telah menciptakan pasanganpasangan

semuanya, pasangan yang berfungsi sebagai pejantan dan

betina,baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi, seperti kurma dan

anggur, dan demikian juga dari diri mereka sebagai manusia, di

mana mereka terdiri dari lelaki dan perempuan, dan demikian

pula dari apa yang tidak atau belum mereka ketahui, baik makhluk

hidup maupun benda tak bernyawa. Semen tara ulama membatasi

makna kata ( [..')jl ) azwajlpasangan pada ayat ini hanya pada

makhluk hidup saja. Tim penulis Tafiir al-Muntakhab, misalnya,

menulis bahwa: "Kata 'min'dalam ayat ini berfungsi sebagai

penjelas. Yakni, bahwa Allah telah 'menciptakan pejantan dan

betina pada semua makhluk ciptaan-Nya, baik berupa tumbuh-

tumbuhan, hewan, manusia maupun makhluk hidup lainnya yang

tak kasat mata dan belum diketahui manusia."

Page 43: arsip saja

Pendapat ini tidak sejalan dengan makna kebahasaan, maksud

sekian banyak ayat al-Qur' an serta kenyataan ilmiah yang

ditemukan dewasa ini. Dari segi bahasa, kata ( [..')jI )

azwaj adalah bentuk jamak dari kata ( [..)j ) zauj, yakni

pasangan. Kata ini-menurut pakar bahasa al-Qur' an, ar-Raghib

al-Ashfahani-digunakan umuk masing-masing dari dua hal yang

berdampingan (bersamaan), baik jantan maupun betina, binatang

(termasuk binatang berakal, yakni manusia), dan juga

digunakan menunjuk kedua yang berpasangan itu. Dia juga

digunakan menunjuk hal yang sama bagi selain binatang seperti

alas kaki. Selanjutnya, ar-Raghib menegaskan bahwa

keberpasangan tersebut bisa akibat kesamaan dan bisa juga

karena bertolak belakang. !tu dari segi bahasa. Ayat-ayat al-

Qur'an pun menggunakan kata tersebut dalam pengertian umum,

bukan hanya untuk makhluk hidup. Allah berfirman: "Dan segala

sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat

(kebesaranAllah)" (QS. adz-Dzariyat [51 ]: 49). Dari sini,

adamalam ada siang, ada senang ada susah, ada atas ada bawah,

demikian seterusnya. Semua-selama dia makhluk-memiliki

pasangan. Hanya sang Khalik, Allah swt. yang tidak ada

pasangan-Nya, tidak ada pula sama-Nya. Dari segi ilmiah

terbukti bahwa listrik pun berpasangan, ada arus positif dan

ada juga arus negatif, demikian juga atom, yang tadinya

diduga merupakan wujud yang terkecil dan tidak dapat terbagi,

ternyata ia pun berpasangan. Atom terdiri dari elektron dan

proton.

Page 44: arsip saja

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telahmenciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya[263] Allahmenciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepadaAllah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling memintasatu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. SesungguhnyaAllah selalu menjaga dan mengawasi kamu (An-Nisaa’:1)

Menurut jumhur mufassirin ialah dari bagian tubuh (tulang

rusuk) Adam a.s. berdasarkan hadis riwayat Bukhari dan

Muslim. di samping itu ada pula yang menafsirkan dari padanya

ialah dari unsur yang serupa Yakni tanah yang dari padanya

Adam a.s. diciptakan. Menurut kebiasaan orang Arab, apabila

mereka menanyakan sesuatu atau memintanya kepada orang lain

mereka mengucapkan nama Allah seperti :As aluka billah

artinya saya bertanya atau meminta kepadamu dengan nama

Allah.

Islam pada esensinya memandang kemanusiaan secara sangat

positif dan optimis. Meurut Islam, manusia berasal dari satu

asal yang sama; keturunan dam dan Hawa. Meski berasal dari

nenek moyang yang sama, tetapi kemudian manusia menjadi

bersuku-suku, berkaum-kaum, atau berbangsa-bangsa lengkap

dengan kebudayaannya masing-masing (Azra, 1999: 32).

Dalam pandangan Islam, bukanlah karena warna kulti dan

bangsa, tetapi hanyalah tergantung pada tingkat ketakwaan

Page 45: arsip saja

masing-masing, sebagaimana digambarkan dalam Q.S. al-

Hujurat/49: 13.

“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-lakidan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa danbersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orangyang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwadiantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”(Q.S. al-Hujurat/49: 13)

Setelah memberi petunjuk tata krarna pergaulan dengan

sesarna muslim, ayat di atas beralih kepada uraian tentang

prinsip dasar hubungan antarmanusia. Karena itu, ayat di atas

tidak lagi menggunakan panggilan yang ditujukan kepada orang-

orang beriman, tetapi kepada jenis man usia. Allah berfirman:

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-Iaki dan

seorang perempuan, yakni Adam dan Hawwa', atau dari sperma

(benih laki-Iaki) dan ovum (in dung telur perempuan), serta

menjadikan kamu berbangsa-bangsa juga bersuku-suku supaya kamu saling

kenal-mengenal yang mengantar kamu untuk bantu-membantu serta

saling melengkapi, sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi

Allah ialah yang paling bertakwa di an tara kamu. SesungguhnyaAllah Maha

Mengetahui lagi Maha Mengenal sehingga tidak ada sesuatu pun yang

tersembunyi bagi-Nya, walau detak detik jan tung dan niat

seseorang.

Penggalan pertama ayat di atas sesungguhnya Kami menciptakan

kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan adalah pengantar

Page 46: arsip saja

untuk menegaskan bahwa semua manusia derajat kemanusiaannya

sarna di sisi Allah, tidak ada perbedaan antara satu suku dan

yang lain. Tidak ada juga perbedaan pada nilai kemanusiaan

antara laki-Iaki dan perempuan karena semua diciptakan dari

seorang laki-Iaki dan seorang perempuan. Pengantar tersebut

mengantar pada kesimpulan yang disebut oleh penggalan

terakhir ayat ini yakni "Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu

di sisi Allah ialah yang paling Karena itu, berusahalah untuk

meningkatkan ketakwaan agar menjadi yang termulia di sisi

Allah.

Diriwayatkan oleh Abu Daud bahwa ayat ini turun berkenaan

dengan Abu Hind yang pekerjaan sehari-harinya adalah

pembekam. Nabi meminta kepada Bani Bayadhah agar menikahkan

salah seorang putri mereka dengan Abu Hind, tetapi mereka

enggan dengan alasan tidak wajar mereka menikahkan putri

mereka dengannya yang merupakan salah seorang bekas budak

mereka. Sikap keliru ini dikecarn oleh al-Qur' an dengan

menegaskan bahwa kemuliaan di sisi Allah bukan karena

kerurunan at au garis kebangsawanan tetapi karena ketakwaan.

Ada juga riwayat yang menyatakan bahwa Us aid Ibn Abi aI-Ish

berkomentar ketika mendengar Bilal mengumandangkan azan di

Ka'bah bahwa: "Alb.amdulilldh, ayahku wafat sebelum melihat

kejadian ini. " Ada lagi yang berkomentar: "Apakah Muhammad

tidak menemukan selain burung gagak ini untuk beradzan?" Apa

pun sabab nuzul-nya, yang jelas ayat di atas menegaskan kesatuan

asal usul manusia dengan menunjukkan kesamaan derajat

kemanusiaan manusia. Tidak wajar seseorang berbangga dan

merasa diri lebih tinggi daripada yang lain, bukan saja

Page 47: arsip saja

antara satu bangsa, suku, atau warna kulit dan selainnya,

tetapi antara jenis kelamin mereka. Karena kalaulah

seandainya ada yang berkata bahwa Hawwa', yang perempuan itu,

bersumber daripada tulang

rusukAdam, sedangAdam adalah laki-laki, dan sumber sesuatu

lebih tinggi derajatnya dari cabangnya, sekali lagi

seandainya ada yang berkata demikian itu hanya khusus

terhadap Adam dan Hawwa', tidak terhadap semua manusia karena

manusia selain mereka berdua- kecuali elsa as.- lahir akibat

percampuran laki-laki dan perempuan.

Dalam konteks ini, sewaktu haji wada' (perpisahan), Nabi

saw. Berpesan antara lain: "Wahai seluruh manusia,

sesungguhnya Tuhan kamu Esa, ayah kamu satu, tiada kelebihan

orang Arab atas non Arab, tidak juga non Arab atas orang

Arab, atau orang (berkulit) hitam atas yang (berkulit) merah

(yakni putih) tidak juga sebaliknya kecuali dengan takwa,

sesungguhnya semuliamulia kamu di sisi Allah adalah yang

paling bertakwa." (HR. al-Baihaqi melalui Jabir Ibn Kata (y

syu'ub adalah bentuk jamak dari kata sya'b. Kata ini digunakan

untuk menunjuk kumpulan dari sekianqabilah yang biasa

diterjemahkan suku yang merujuk kepada satu kakek. Qabilahlsuku

pun terdiri dari sekian banyak kelompok keluarga yang dinamai

'imarah, dan yang ini terdiri lagi dari sekian banyak kelompok

yang dinamai bathn. Di bawah bathn ada sekian (W) Jakhdz hingga

akhirnya sampai pada himpunan keluarga yang terkecil.

Terlihat dari penggunaan kata sya'b bahwa ia bukan menunjuk

kepada pengertian bangsa sebagaimana dipahami dewasa ini.

Memang, paham kebangsaan-sebagaimana dikenal dewasa ini-

Page 48: arsip saja

pertama kali muncul dan berkembang di Eropa pada abad XVIII M

dan baru dikenal umat Islam sejak masuknya Napoleon ke Mesir

akhir abadXVIII itu. Namun, ini bukan berarti bahwa paham

kebangsaan dalam pengertian modern tidak disetujui oleh al-

Qur' an. Bukan di sini tempatnya menguraikan hal itu.

Rujuklah antara lain buku penulis -wawasan al-Quran untuk

memahami persoalan ini. Kata (Ij)w) ta'draft terambil dari kata

(J..f') 'araJa yang berarti mengenal. Patron kata yang digunakan ayat

ini mengandung makna timbal balik. Dengan demikian, ia

berarti saling mengesemakin kuat pengenalan satu pihak kepada

selainnya, semakin terbuka peluang untuk saling memberi

manfaat. Karena itu, ayat di atas menekankan perlunya saling

mengenal. Perkenalan itu dibutuhkan untuk saling menarik

pelajaran dan pengalarnan pihak lain guna meningkatkan

ketakwaan kepada Allah swt. yang darnpaknya tecerrnin pada

kedarnaian dan kesejahteraan hidup duniawi dan kebahagiaan

ukhrawi. Anda tidak dapat menarik pelajaran, tidak dapat

saling melengkapi dan menarik manfaat, bahkan tidak dapat

bekerja sarna tanpa saling mengenal. Saling mengenal yang

digarisbawahi oleh ayat di atas adalah "pancing" nya bukan

"ikan" nya. Yang ditekankan adalah caranya bukan manfaatnya

karena, seperti kata orang, memberi "pancing" jauh lebih baik

daripada memberi "ikan".

Demikian juga halnya dengan pengenalan terhadap alam raya.

Semakin banyak pengenalan terhadapnya, semakin banyak pula

rahasia-rahasianya yang

terungkap, dan ini pada gilirannya melahirkan kemajuan ilmu

pengetahuan dan teknologi serta menciptakan kesejahteraan

Page 49: arsip saja

lahir dan batin, dunia dan akhirat. Dari sini pula sejak dini

al-Qur' an menggarisbawahi bahwa: "Sungguh manusia berlaku

sewenang-wenang bila ia merasa tidak butuh" (QS. al-'Alaq [96]: 6-7).

Salah satu darnpak ketidakbutuhan itu adalah keengganan

menjalin hubungan, keengganan saling mengenal dan ini pada

gilirannya melahirkan bencana dan perusakan di dunia. Kata

( .J'i ) akramakum terarnbil dari kata ( .J' ) karuma yang

pada dasarnya berarti yang baik dan istimewa sesuai objeknya. Manusia

yang baik dan istimewa adalah yang memiliki akhlak yang baik

terhadap Allah dan terhadap sesama makhluk. Manusia memiliki

kecenderungan untuk mencari bahkan bersaing dan berlomba

menjadi yang terbaik. Banyak sekali manusia yang menduga

bahwa kepemilikan materi, kecantikan, serta kedudukan sosial

karena kekuasaan atau garis keturunan merupakan kemuliaan

yang harus dimiliki dan karena itu banyak yang berusaha

memilikinya. Tetapi, bila diarnaci, apa yang dianggap

keistimewaan dan sumber kemuliaan itu sifatnya sangat

sementara bahkan tidak jarang mengantar pemiliknya kepada

kebinasaan (Shihab, 2012: 615-618, Jilid 12).

Menurut Azra (1999: 32) Surat al-Hujurat ayat 13 tersebut

menjadi dasar perspektif Islam tentang “kesatuan umat

manusia” (universal humanity), yang pada gilirannya akan

mendorong berkembangnya solidaritas antar manusia (ukhuwah

insaniyah atau ukhuwah basyariyah).

Syahrin Harahap (2011: 156) menjelaskan bahwa dalam

perspektif Islam terdapat dua jurusan, yaitu:

1. Multikulturalisme komunitas Muslim (multikulturalisme

internal). Multikulturalisme internal adalah kesadaran

Page 50: arsip saja

dan kesediaan menerima keanekaragaman internal

dikalangan ummat Islam. Kemajemukan internal ini

meliputi: pengelompokan sosial, bidang fiqih, teologi,

dan idang tasawuf.

2. Multikulturalisme antara Muslim dan komunitas agama-

agama lain (multikulturalsime eksternal).

Multikulturalisme eksternal ditandai dengan pluralitas

komunal agama, merupakan fakta yang tidak dihindari

dalam kehidupan masyarakat Muslim.

Jika melihat pendidikan multikultural dalam konsep

Pendidikan Agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam

mnyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati

hingga mengimani, bertaqwa, dan berakhlaq mulia dalam

mengamalkan ajaran agama Islam dari sumber utamanya kitab

suci Alqur’an dan Hadits, melalui kegiatan bimbingan

pengajaran, latihan, serta penggunaan pengalaman. Bersamaan

dengan tuntunan untuk menghormati penganut agama lain dalam

hubungannya dengan kerukunan antar umat beragama dalam

masyarakat hingga terwujud kesatuan dan persatuan bangsa

(Listia, 2007: 16)

Perbedaan dalam Sejarah Islam

Dalam sejarah Islam banyak terjadi perselisihan, dan

bahkan konflik yang sebenarnya dapat dijadikan pelajaran

bagaimana perbedaan itu mengancam umat dan bagaimana pula

mengatasi perbedaan yang berdampak buruk.

Osman (2012: 38) menjelaskan bahwa perbedaan pandangan di

kalangan Muslim pada masa awal, bahkan pada masa hidup Nabi,

Page 51: arsip saja

dan setiap pandangan didengarkan dengan cukup adil. Ketika

Nabi wafat, pertemuan publik diadakan untuk mendiskusikan

siapa yang akan menggantikan beliau sebagai kepala negara.

Perbedaan-perbedaan muncul dalam pertemuan itu, tidak hanya

antar-individu, melainkan juga antar kelompok, seperti

kelompok pendatang dari Makkah, kelompok pendukung dari

Madinah dan beberapa keluarga Nabi dan pengikut setianya.

Setiap kelompok menginginkan agar kepala negara baru itu

berasal dari kelompok mereka sendiri. Peristiwa ini menjadi

sebab paling awal munculnya kelompok-kelompok dan partai-

partai politik dalam sejarah Islam, kendati tidak semua faksi

ini terus ada. al-Qur’an mengisyaratkan bahwa tugas menyeru

orang kepada kebaikan, menyuruh perbuatan baik, dan mencegah

perbuatan jahat dapat dilaksanakan oleh sebuah kelompok. Hak

untuk berhimpun dan berkumpul, baik yang bersifat sementara

atau tetap, adalah penting sekali guna memungkinkan setiap

pandangan didengar dan menjadikan pandangan tersebut mampu

bersaing dengan pandangan lain serta mampu bertahan.

Para khalifah pada masa awal menghadapi berbagai macam

oposisi dari perseorangan maupun kelompok, spontan maupun

terorganisasi, damai maupun militan. Khalifah pertama Abu

Bakar mendorong munculnya oposisi ketika dia memutuskan untuk

menggunakan kekuatan terhadap suku-suku yang menolak untuk

membayar zakat untuk kesejahteraan sosial setelah wafatnya

Nabi. Dia memandang hal itu sebagai suatu tindakan perlawanan

ter-hadap pemerintah pusat yang tidak dapat ditoleransi.

Tindakan Abu Bakar itu berbeda dengan Umar ibn al-Khattab,

sahabat Nabi, yang tatkala menjadi khalifah dan usulan-

Page 52: arsip saja

usulannya ditentang oleh beberapa sahabat Nabi, Umar ibn al-

Khattab harus mempertahankan pandangannya melalui musyawarah

di hadapan kumpulan para sahabat terkemuka dan bahkan publik

(Osman,2012: 39)

Gagasannya memperkenalkan pajak tanah (kharaj), misalnya,

sangat ditentang karena banyak pihak yang berpikir bahwa

zakat semestinya menjadi satu-satunya pajak yang dikumpulkan

oleh penguasa Islam. Khalifah harus mempertahankan argumennya

serta meyakinkan sepuluh hakim terkemuka.15 Penggantinya,

Khalifah Usman, menghadapi oposisi dari sahabat Nabi

terkemuka, seperti Abdullah ibn Mas’ud, ketika dia memutuskan

bahwa sebuah versi al-Qur’an yang telah diverifikasi harus

digunakan oleh seluruh umat Islam, sehingga kesalahan-

kesalahan lisan ataupun tulisan dapat dihindari.

Semua oposisi yang dihadapi oleh para khalifah pada masa

awal ini tercatat, dan tidak ada usaha baik oleh pihak

penguasa maupun para sejarawan untuk menutupinya, kendati

oposisi itu kemudian berubah menjadi kekerasan, seperti

misalnya contoh perdebatan yang berakhir dengan pembunuhan

Khalifah Usman.

Penerus Usman, keponakan Nabi, Khalifah Ali ibn Abi Thalib,

menghadapi oposisi yang keras di sejumlah medan. Ketika dia

ditekan oleh banyak pendukungnya untuk menerima arbitrase

antara dirinya dan sang penentang, Muawiyah ibn Abi sufyan,

Gubernur Syria, beberapa pendukung lainnya terbelah dan

memberontak melawannya. Mereka berkumpul di dalam masjid di

mana sang khalifah sedang berbicara, dan memotong

pembicaraannya dengan berteriak, “tidak ada hukum yang meng-

Page 53: arsip saja

atur kecuali hukum Allah.” Khalifah Ali menanggapi bahwa apa

yang mereka katakan adalah benar, tetapi mereka menggunakan

kata-kata mereka untuk maksud yang keliru. Namun demikian,

oposisi mereka tidaklah menghilangkan hak-hak mereka.

Masjid-masjid selalu terbuka untuk pertemuan mereka, apa pun

oposisi yang mungkin mereka ekspresikan, dan Khalifah tidak

pernah memperkenankan penggunaan kekerasan terhadap mereka.

Hak mereka atas pendapatan publik akan selalu dilindungi

sepanjang mereka memenuhi kewajiban publik mereka.16 Ini

merupakan pernyataan perintis mengenai hak-hak oposisi di

dalam negara Islam. Ironisnya, pemberontak garis keras

(khawârij) mendominasi dan salah seorang dari mereka yang hak

oposisi damainya telah dijamin Khalifah membunuh sang

Khalifah pada saat beliau dalam perjalanan menuju masjid!

Bagaimana pun pentingnya prinsip syura dalam hukum publik

Islam, orang-orang Arab Muslim—dengan struktur kesukuan dan

pengalaman sosial budaya mereka—tidak mampu mengembangkan

suatu mekanisme untuk mempertahankan penegakan prinsip syura

tersebut melalui lembaga-lembaga tertentu. Hal itu dibiarkan

bergantung pada niat baik pemimpin, serta kesadaran,

inisiatif dan keberanian dari pihak yang dipimpin. Dengan

tidak adanya pondasi yang kuat dalam bentuk suatu lembaga,

tindakan mengekspresikan secara terbuka pandangan melawan

para penguasa yang menindas dapat berisiko. Individu-individu

bahkan dapat kehilangan nyawa mereka melawan kekuasaan

pemerintah, dan kekerasan dapat berkembang menjadi kekacauan

yang mengakibatkan luka fisik dan moral yang lama membekas di

berbagai pihak. Karena itu, setelah sistem syura sempat hidup

Page 54: arsip saja

dalam periode singkat di Madinah pada masa kekuasaan para

khalifah, yang kemudian muncul adalah dinasti- dinasti

berdasarkan garis keturunan yang didirikan oleh Bani Umayyah

dan Bani Abbasiyah, serta dinasti-dinasti otonom atau yang

memisahkan diri dari kekhalifahan. Wilayah-wilayah yang

tersisa untuk ruang perbedaan pendapat adalah teologi dan

fikih, karena di sana pendapat-pendapat dapat diungkapkan

secara damai di tengah komunitas pendengar yang terbatas,

khususnya para mahasiswa. Pandangan-pandangan teologis yang

dapat mem-bangkitkan militansi adalah pandangan-pandangan

teologis Syiah, orang-orang yang meyakini hak keturunan Ali

untuk berkuasa melalui generasi penerus mereka dan para

pengikut pemberontak yang melawan kalifah tersebut, yang

menentang kekuasaan yang mapan (khawarij). Kebanyakan kaum

Syiah menjadi pasif setelah berkali-kali kalah, khususnya

setelah raibnya Imam ke-12 mereka, sedangkan faksi Khawarij

tidak dapat bertahan. Hak untuk memiliki dan mengungkapkan

pandangan yang berbeda dan hak berkumpul untuk menyokongnya

hampir-hampir dilupakan, sampai kemudian dihidupkan kembali

pada masa zaman modern oleh para pemikir seperti Jamaluddin

al- Afghani (w. 1897) dan Muhammad Abduh (w. 1905). Betapa

pun itu adalah sebuah prinsip penting untuk mempertahankan

pluralisme di semua jalan hidup manusia. Kecuali jika

pendapat-pendapat yang berbeda itu itu diberikan kesempatan

yang sama untuk diungkapkan, serta dimungkinkan untuk

mengumpulkan dukungan melalui sebuah mekanisme yang sah dan

lembaga yang terorganisasi secara baik, bagaimana mungkin

Page 55: arsip saja

manfaat dari pendapat-pendapat yang berbeda itu dapat dinilai

dan diputuskan secara adil?

Islam Memaklumi Perbedaan Pendapat

Dalam ajaran Islam perbedaan merupakan hal biasa, bahkan

dalam sejarah intelektual Islam justru perbedaan pendapat

tersebutlah yang justru memperkaya khasanah dan memajukan

peradaban Islam. Maka dala Islam tidaklah aneh jika terjadi

perbedaan penafsiran, perbedaan rujukan, dan bahkan perbedaan

mazhab yang berdampak pada perbedaan praktik ibadah.

Konsep perbedaan pendapat yang dikemukakan oleh Mohamed

Fathi Osman (2012: 38-39) menjelaskan bahwa perbedaan justru

tidak bisa dihindarkan dalam mencari islam. Menurut Osman

bahwa Al-Qur’an mensyaratkan dilaksanakannya diskusi umum,

saling tukar pandangan serta musyawarah yang serius mengenai

masalah-masalah publik sebelum suatu keputusan dapat dicapai

(3:159; 42:38). Perbedaan pendapat, bahkan perdebatan

sekalipun, diharapkan (4:59). Kaum Muslim harus berargumen

dengan cara yang paling baik (16:125), secara logis dan etis,

dan yang menjadi kerangka acuan mereka hendaknya adalah

nilai-nilai dan prinsip-prinsip al-Qur’an dan Sunnah.

Musyawarah dan mufakat antara suami-istri hendaknya melandasi

pengaturan urusan keluarga (2:233), dalam rangka

mengembangkan budaya dan tradisi di dalam keseluruhan

masyarakat. Anak-anak harus selalu dinasihati dan dilatih

oleh kedua orang tua mereka untuk mengungkapkan pandangan-

pandangannya tentang apa yang baik dan seharusnya diikuti,

serta apa yang buruk dan seharusnya ditolak (31:17).

Menyatakan pendapat merupakan tugas moral dan terkadang tugas

Page 56: arsip saja

hukum, bukan sekadar sebuah hak (misalnya, 2:283; 3:110).

Dalam iklim kebebasan berpendapat dan berekspresi, perbedaan-

perbedaan merupakan hal yang tidak dapat dielakkan. Akan

tetapi, perbedaan-perbedaan harus ditangani secara konseptual

dan etis, tidak diabaikan atau ditekan. Pada akhirnya, suatu

keputusan hendaknya dicapai dan dilaksanakan secara bersama

dan tegas (3:159).

Ualasan Osman (2012) mengenai biasanya perbedaan pendapat

dalam Islam, tentunya akan berimplikasi pada munculnya

keragaman dalam memaknai teks, kebudayaan, nilai, yang juga

dapat dilihat dalam praktik kehidupan manusia.

B. Konsep Kristen dan Katholik tentang Pendidikan

Multikultural

Dalam Deklarasi Konsili Vatikan II tentang sikap, Gereja

terhadap, agama-agama lain didasarkan pada asal kisah rasul-

rasul 17 : 26 sebagai berikut:

“Adapun segala bangsa itu merupakan satu masyarakat dan asalnya punsatu juga, karena Tuhan menjadikan seluruh bangsa ma¬nusia untukmenghuni seluruh bumi." Selanjutnya termaktub: "Dalam zamankita ini, di mana bangsa, manusia makin hari makin erat bersatu, hubunganantara bangsa menjadi kokoh, gereja lebih seksama mempertimbangkanbagaimana hubungannya dengan agama-agama Kristen lain. Karenatugasnya memelihara persatuan dan perdamaian di antara manusia danjuga di antara para bangsa, maka di dalam deklarasi ini gerejamempertimbangkan secara istimewa apakah kesamaan manusia dan apayang menarik mereka untuk berkawan.”

Apa yang dinyatakan dalam Deklarasi tersebut, didsarkan

atas ajaran Katolik kasihanilah Tuhan Allahmu dengan segenap

hatimu dan segenap jiwamu dan dengan segenap, hal budimu dan

Page 57: arsip saja

dengan segenap kekuatanmu dan kasihanilah sesama manusia

seperti dirimu sendiri.

“the Church also has a high regard for the Muslims, who woship one God,living and subsistent, merciful and omnipotent, the Creator of heaven andearth....as a result of their monotheism, believers in Allah are particuarly closeto us.

Some of the most beautiful names in the human language are given to God ofthe Koran, but He is ultimately a God outside of the world, a God who is onlymajesty, never emmanuel, God with us. Islam is not a religion of redemption.There is no room for the Cross and the Resurrection, jesus is mentioned, butonly as a prophet who prepares for the last prophet, Mohammad. There isalso mention of Mary, His Virgin Mother, nut the tragedy of redemption iscompletely absent. For this reason not only the theology but also theanthropology of Islam is very distant from Christianity.” (Pope John PaulII, 1994: 91, 92-223)

Sedangkan dalam ajaran Kristen Protestan menganjurkan

agar antar sesama umat manusia selalu hidup rukun dan

harmonis. Agama Protestan beranggapan bahwa aspek kerukunan

hidup beragama dapat diwujudkan melalui Hukum Kasih yang

merupakan norma dan pedoman hidup yang terdapat dalam Al

Kitab. Hukum Kasih tersebut adalah mengasihi Allah dan

mengasihi sesama manusia.

Seorang Teolog Katolik dan juga seorang Filosuf, Frans

Magnis Suseno (2004) mengatakan mengenai pluralsime,

”meskipun saya tidak meyakini iman-kepercayaan Anda, meskipun iman Anda

bukan kebenaran bagi saya, saya sepenuhnya menerima keberadaan Anda. Saya

gembira bahwa Anda ada, saya bersedia belajar dari Anda, saya bersedia bekerja

sama dengan Anda.”

Jika dilihat dalam Pendidikan Agama Kristen pendidikan

adalah usaha yang dilakukan secara terencana dan kontinyu

dalam rangka mengembangkan kemampuan pada siswa agar dengan

Page 58: arsip saja

pertolongan Roh Kudus dapat memahami dan menghayati kasih

Allah di dalam Yesus Kristus yang dinyatakannya dalam

kehidupan sehari-hari, terhadap sesama dan lingkungan

hidupnya. Dengan demikian tiap orang yang terlibat dalam

proses pembelajaran PAK memiliki keterpaggilan untuk

mewujudkan tanda-tanda Kerajaan Allah dalam kehidupan pribadi

maupun sebagai komunitas (Listia, 2007: 16).

Sedangkan dalam Pendidikan Agama Katholik bahwa pendidikan

merupakan usaha yang terencana dan berkesinambungan dalam

rangka mengembagkan kemampuan pada siswa untuk memperteguh

iman dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan

agama Katolik, dengan tetap memperhatikan penghormatan

terhadap agama lain dalam hubungan kerukunan antar umat

beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional

(Listia, 2007: 16).

C. Konsep Hindu tentang Pendidikan Multikultural

Kutipan berikut akan dapat mengantarkan non-Hindu untuk

memahami multikultural dalam Hindu.

“Bahkan sekarang, jika seseorang tahu “Aku adalah brahman” dengan cara ini,dia menjadi seluruh dunia ini. Bahkan, para dewa tidak mampu mencegahnya,sebab dia menjadi diri mereka sendiri (atman). Jadi, ketika seorang manusiamenghormati dewa lain, berpikir,”Dia adalah yang satu, dan aku adalah yanglain,”dia tidak mengerti.”

Pernyataan ini dikutip dari buku karya Karen

Amstrong ,”Masa Depan Tuhan: Sanggahan terhadap Fundamentalisme dan

Ateisme” yang dikutip (2009: 77) Amstrong dari Patanjali, “Yoga

Sutra.” Kutipan ini mencerminkan bahwa kedirian sebenarnya

Page 59: arsip saja

membutuhkan diri yang lain. Hal ini senada dengan apa yang

menjadi filosofi Mahatma Gandhi, Bapak Bangsa India “Tat Twan

Asi-Tat Twan Asi” yang artinya “aku adalah kamu, kamu adalah aku”

kesatuan dan kemanusiaan ini pernah menjadi inspirasi

Soekarno dalam prosesnya mensintesiskan Pancasila, sebagai

rumusan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam agama Hindu disebut dengan Catur Purusa Artha, yang

mencakup Dharma, Artha, Kama, dan Moksha. Dharma berarti

susila atau berbudi luhur, dengan Dharma seseorang dapat

mencapai kesempurnaan hidup, baik untuk diri sendiri,

keluarga, dan masyarakat. Artha, berarti kekayaan dapat

memberikan kenikmatan dan kepuasan hidup. Mencari harta

didasarkan pada Dharma. Kama berarti kenikmatan dan

kepuasan. Kama pun harus diperoleh berdasarkan Dharma.

Moskha berarti kebahagiaan abadi, yakni terlepasnya atman

dari lingkaran samsara. Moskha merupakan tujuan akhir dari

agama Hindu yang setiap saat selalu dicari sampai berhasil.

Upaya mencari Moskha juga mesti berdasarkan Dharma. Keempat

dasar inilah yang merupakan titik tolak terbinanya kerukunan

antarumat beragama. Keempat dasar tersebut dapat memberikan

sikap hormat-menghormati dan harga menghargai keberadaan umat

beragama lain. Tidak saling mencurigai dan saling

menyalahkan.

Aplikasi pendidikan multikultural dalam Pendidikan Agama

Hindu adalah bahwa pendidikan merupakan upaya sadara dan

terencana, menyiapkan peserta didik dalam mengenal, memahami,

menghayati, hingga mengimani, bertakwa dan berakhlak mulia

dalam mengamalkan ajaran agama Hindu dari sumber utamanya

Page 60: arsip saja

kitab suci: Sruti, Smerti, Sila, Acara dan Atmanastusti

(Listia, 2007: 16-17)

D. Konsep Budha tentang Pendidikan Multikultural

Mengenai keragaman dan kerukunan dalam agama Budha

terdapat pandangan: 1) hidup adalah suatu penderitaan

(dukha): 2) penderitaan disebabkan karena keinginan yang

rendah (samudaya); 3) apabila keniginan renda dapat

dihilangkan maka penderitaan akan berakhir; 4) jakan untuk

menghlangkan keinginan rendah adalah dengan melaksanakan

delapan jalan utama (Kepercayaan yang benar, Niat/pikiran

yang benar; Ucapan yang benar; Perbuatan yang benar;

Kesadaran yang benar; Mata pencaharian/usaha yang benar; Daya

upaya yang benar; Semadhi/pemusatan pikiran yang benar. Budha

Gautama mengajarkan: 1) keyakinan kepada Tuha Yang Maha Esa

tidak dapat ditembus oleh pikiran manusia; 2) Metta berarti

belas kasih terhadap sesama mahluk; 3) Karunia, kasih sayang

terhadap sesama mahluk; 4) Mudita, perasaan turut bahagia

dengan kebahagia terhadap mahluk lain dan mengalami

penderitaan melihat penderitaan orang lain; 5) Karama

(reinkarnasi) hukum sebab akibat.

Dalam Pendidikan Agama Budha bahwa pendidikan adlah usaha

sadar yang dilakukan secara terencana dan kontinyu dalam

rangka mengembangkan kemampuan peserta didik agar dengan

pengalaman terhadap Budha Dharma yang diperoleh dari

Pendidikan Agama Budha di sekolah dapat diterapkan dan

Page 61: arsip saja

diwujudkan dalam perilaku sehari-hari, sehingga memberikan

manfaat bagi dirinya sendiri.

Setelah menguraikan konsep-konsep multikultural dalam

pandangan agama dan pendidikan agama yang ada di Indonesia,

maka apa yang disampaikan oleh Zubaedi (2005: 73) berikut

harusnya dapat diaplikasikan, sehingga pendidikan

multikultural tidak terhenti dalam wacana.

“Toleransi harus dididikkan, tidak cukup berhenti pada wacana. Keputusanmajelis ulama, keputusan konsili, kesepakatan sidang dewan gereja-gerejasedunia, dan kesepakatan hasil pertemuan tokoh agama yang menganjurkantoleransi tidak akan cukup efektif bila hanya berhenti di alas kertas dan bibir,tanpa dukungan pendidikan dalam arti luas.”

Menurut Zubaedi (2005: 73) konsekwensi dari keinginan

pemerintah terhadap pemahaman multikultural, maka

konsekwensinya adalah agar pendidikan dan pengajaran harus

memperkokoh pluralisme dan menentang adanya rasisme,

diskriminasi gender dan bentuk-bentuk lain dari intoleransi

dan dominasi sosial. Maka dalam konteks pendidikan

multikultural maka harus ada perubahan kurikulum, model

pembelajaran, suasana sekolah, kegiatan ekstra kurikuler, dan

peranan guru yang mengarahkan kepada misi multikultural.

Page 62: arsip saja

BAB III

KOMPONEN KOMPONEN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

A. Gender

Isu jender merupakan isu yang merambah dalam berbagai

dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya di

Indonesia pada era reformasi. Jender lebih sering berjalan

bersama perjuangan feminisme, dimana kaum perempuan menuntut

keadilan dan kesama rataan dengan peran laki-laki. Sebelum

isu jender digemakan posisi kaum perempuan sangatlah lemah.

Page 63: arsip saja

Sehingga tidaklah salah seperti apa yang diungkapkan oleh

Alvin J. Schmidt (1989: Xiii) dalam “Veiled and Silenced: How

Culture Shaped Sexist Theology, berikut “kebanyakan laki-laki pernah

mendengar, atau bahkan mungkin percaya, bahwa wanita “lebih rendah” atau

“tidak sederajat” dengan laki-laki.” Amina Wadud (1999: 41) dalam

bukunya “Qur’an Menurut Perempuan: Meluruskan Bias Gender dalam Tradisi

Tafsir” menentang prasangka yang merendahkan kaum perempuan

tersebut.

Kesadaran akan adanya ketidakadilan terhadap perempuan

sudah lama terjadi dan sudah ada perjuangan, hanya saja pada

masa itu belum ada istilah feminisme (Overholt, 1985: 122).

Istilah feminisme mulai disosialisasikan oleh majalan Century

pada musim. semi tahun 1914, meski sejak 1910-an kata

feminisme (yang berakar darai kata bahasa Prancis) sudah

sering dipergunakan (Demartoto, 2007: 40).

Kata feminisme yang berasal dari bahasa Prancis “feministe”,

digunakan pertama kali di Prancis tahun 1880-an unntuk

menyatakan perjuangan kaum perempuan yang pertama di Prancis.

Sejak itulah feminisme tersebar di seluruh Eropa sampai AS,

melalui New York 1906. Gerakan feminisme di New York diwarnai

dengan tuntutan kaum perempuan sebagai warga negara, hak

perempuan di bidang sosial, politik, dan ekonomi (Demartoto,

2007: 40). Selanjutnya Demartoto mengatakan perjuangan

feminisme abad 19 ditandai dengan perjuangan menuntut hak

politik dan hukum, khususnya hak memilih, hak mendapat upah,

dan hak atas hukum lainnya.

Page 64: arsip saja

Feminisme abad 20, perjuangannya berkembang dan merambah

bidang ekonomi. Pemogokan buruh perempuan dari industri

pakaian, mewarnai gerakan feminisme. Pemogokan buruh

perempuan dari industri pakaian. Pada tahun 1906 terjadi

pemogokan buruh perempuan secara besar-besaran di New York.

Mereka menuntut persamaan upah. Sejak peristiwa demonstarasi

besar ini kemudian uncul organisasi-organisasi yang

memperjuangkan gender dengan ideologi feminisme.

Perjuangan gender ari kaum feminisme ini menginginkan

adanya kejelasan relasi yang setara antara perempuan dan

laki-laki. Aspek terpenting dalam pemahan istilah ini adalah

kesetaraan, fairness. Baik laki-laki maupun perempuan

memiliki persamaan dan perbedaan yang alamiah dan berdasarkan

kebudayaan. Budaya memberikan peran gender kepada laki-laki

dan perempuan (Demartoto, 2007: 40)

Filosuf penulis buku “Deschooling Society”, Ivan Illich (1982)

dalam bukunya “Gender” menolak diskriminasi gender. Bagi

Illich setiap perbedaan memiliki fungsi sinergisitas yang

dapat saling mengisi, justru perbedaan tersebut menjadi

penting dalam menjalankan fungsionalnya.

“Karena laki-laki dan wanita terpisah, maka gender punterjalin secara berbeda salam setiap budaya dan waktu.Mereka dapat menguasai wilayah masing-masing dan jarangberhubungan, atau mereka dapat dijalin seperti untaiankata alam Book of Kells. Terkadang tidak ada keranjang yangdapat dianyam, tidak ada api yang dapat dinyalakan, tanpakolaborasi dua pasang tangan. Setiap budaya menyatukangender dengan caranya sendiri.”

Page 65: arsip saja

Sedangkan menurut sayyid Qutb (1980) Al-Qur’an tidak

berusaha meniadakan perbedaan antara laki-laki dan wanita

atau menghapuskan nilai fungsional dari perbedaan gender yang

membantu agar setiap msyarakat dapat berjalan dengan lancar

dan dapat memahami kebutuhannya. Sesungguhnya, hubungan

fungsional yang harmonis dan saling mendukung antara laki-

laki dan wanita dapat dipahami sebagai bagian dari tujuan Al-

Qur’an dalam masyarakat. Amina Wadud (2001: 44) menambahkan

tabsir tersebut bahwa Al-Qur’an tidak menganjurkan atau

mendukung peran tunggal atau definisi tunggal dari

seperangkat peran, semata-mata, untuk masing-msing gender di

seluruh budaya.

Sementara menurut Errington (1990) bahwa di sebagian Asia

Tenggara laki-laki dan perempuan dipandang sebagai mahluk

yang sama yaitu mahluk yang memiliki jiwa dan fungsi yang

sama yaitu mahluk yang memiliki jiwa dan fungsi angat mirip

atau setara.

Sebuah penelitian “How gender makes a difference in Wana Society”

yang dilakukan oleh Payne (1991), bahwa dibanyak negara maju

menunjukkan akses dan kontrol terhadap sumber daya eluarga

bahkan dalam kasus sumber daya itu diakumulasi bersama,

terdistribusi secara tidak setara. Beberapa contoh

dikemukakan oleh Payne dalam kajiannya bahwa mobil rumah yang

dimiliki keluarga sebagian besar atas nama suaminya.

Apa yang dikemukakan Payne (1991) tersebut juga

dsampaikan oleh Davidson (1993),”...meskipun perempuan merupakan

Page 66: arsip saja

setengah dari populasi dunia, dan spertiga dari tenaga kerja resmi, mereka

hanya menerima satu persen dari pendapatan dunia serta memiliki kurang dari

satu persen kekayaan dunia.”

Lebih ekstrim lagi dalam menyampaikan diskriminasi yang

dialami oleh kaum perempuan, Hubies menulis sebagai

berikut,”Pekerjaan domestik perempuan dari generasi ke generasi tidak

pernah diperhitungkan sebagai aset bernilai ekonomis. Keadaan ini berjalan

tanpa protes karena dianggap merupakan kewajiban budaya. Secara tidak

sengaja perempuan yang bekerja mengurus keluarga nyaris dilihat sebagai

orang “tidak bekerja” dan dilegalisasi dalam kosa kata bukan angkatan kerja.”

Fakta-fakta mengenai diskriminasi gender tersebut terjadi

dikarenakan masih kurangnya kesadaran akan perjuangan gender.

Olehkarena itu perspektif gender sangatlah penting masuk

dalam materi atau perspektif dalam menjalankan pendidikan

multikultural.

Dalam konteks Indonesia sebenarnya, kedudukan perempuan di

Indonesia secara formal cukup kuat sebab banyak ketentuan

dalam berbagai undang-undang serta peraturan lain yang

memberi perlindungan yuridis pada kaum perempuan (Budiarjo,

2010: 257). Budiarjo menjelaskan bahwa Indonesia juga telah

meratifikasi dua perjanjian, yaitu Perjanjian mengenai Hak

Politik Perempuan (Convention on the Ppolitical Rights of

Women) dan Perjanjian mengenai Penghapusan Diskriminasi

terhadap Perempuan (Convention on the Political Elimination

of All Forms of Discrimination against Women, CEDAW).

Kemudian pada tahun 1993, Indonesia telah menerima Deklarasi

Eina yang sangat mendukung kedudukan perempuan. Begitu juga

Page 67: arsip saja

dalam Undang-undan Pemilu Tahun 2004 juga telah memberikan

kesempatan agar perempuan dipertimbangkan menduduki 30% kursi

wakil rakyat. DPR juga telah menghapuskan tindak kekerasan

dalam rumah tangga dengan mengesahkan undang-undang yang pro

pada perempuan yaitu Undang-undang No.23 Tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), dan juga

Undang-undang No.12 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Perdagangan Orang (PTPPO).

Jika dilihat pemetaan akomodisasi dari pejuangan gender di

Indonesia, dapat dilihat dalam tabel berikut.

1. 1945: Undang-Undang dasar 1945, Pasal 27

2. 1958: Undang-Undang No. 68 Tahun 1958, Konvensi Hak

Politik Perempuan

3. 1984: Undang-Undang No.7 tahun 1984, Konvensi

Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Wanita (CEDAW)

4. 1966/1976: Kovenan Hak Sipil dan Politik dan Kovenan Hak

Ekonomi, Sosial dan Budaya, Pasal 3 (belum diratifikasi

Indonesia)

5. 1993: Deklarasi Wina, Pasal 1/18

6. 1998: S.K. Presiden No.81, Komisi Nasional Anti

Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan)

didirikan

7. 2002: Protocol dari CEDAW ditandatangani

8. 2003: Undang-Undang No. 12, Pemilihan Umum, Pasal 65

(Budiarjo,2010: 261).

Jika dilihat akomodir kaum kepentinga dalam tabel

tersebut dapatlah dilihat bahwa di Indonesia telah

Page 68: arsip saja

memperhatikan apa yang diperjuangkan kaum feminisme dengan

gerakan kesetaraan gender. Walau pun dalam berbagai asus

masih terdapat kepentingan wanita yang diperjuangkan.

Misalnya kriminalisasi dalam Undang-undang Anti Pornografi

Pendekatan gender merupakan aktivitas pendidikan

multikultural dengan  penyadaran kepada peserta didik untuk

tidak diskriminatif terhadap perbedaan jenis kelamin. Karena

sebenarnya jenis kelamin bukanlah hal yang menghalangi

seseorang untuk mencapai kesuksesan. Dengan pendekatan ini,

segala bentuk konstruksi sosial yang ada di sekolah yang

menyatakan bahwa perempuan berada di bawah laki-laki bisa

dihilangkan. Pendekatan gender sangat memungkinkan bagi

terciptanya kesadaran multikultural di dalam pendidikan dan

kebudayaan. Dan tentu saja, tidak menutup kemungkinan

berbagai pendekatan yang lainnya, selain enam yang disebutkan

tadi di atas, sangat mungkin untuk diterapkan.

Francois Marie Charles Fourier (1772-1837), seorang filsuf

dan intelektual asal Prancis merupakan seorang intelektual

yang sangat berpengaruh. Julia Suryakusuma (2014: 59) dalam

“Merancang Arah Baru Demokrasi” mengatakan bahwa istilah feminisme

ditemukan oleh Fourier. Fourier pernah meunulis:

“The change in a historical epoch can always be determinedby the progress of women towards freedom, because in therelation of woman to man, of the weak to the strong, thevictory of human nature over brutality is most evident.The degree of emancipation of women is the natural measureof general emancipation.”

“Perubahan dalam suatu zaman selalu dapat diukur darikemajuan yang telah dicapai perempuan, karena di dalamhubungan laki-laki dan perempuan, yang lemah dengan yang

Page 69: arsip saja

kuat, kemenangan atas alam manusia di atas biadab, itulahukuran yang paling nyata. Derajat emansipasi perempuanmerupakan ukuran paling wajar emansipasi masyarakat secarakeseluruhan.”

Kutipan dari pemikir pejuang kesetaraan jender, Fourier

tersebut dapat memberikan gambaran bahwa perjuangan

kemanusiaan, perjuangan mewujudakan peradaban manusia yang

egaliteria, humanis dan menghargai perbedaan kultural hanya

akan dapat terwujud dengan keterlibatan kaum perempuan.

B. Suku

Al-Qur’an menyatakan bahwa pluralisme ras dan etnis harus

diakui, dan kelompok-kelompok ras dan etnis yang bermacam-

macam itui harus saling mengenal dengan baik (30:22; 49:13),

Dengan kelahiran negara nasional Indonsia, satu-satuan

komunitas politik pra-Indonesia –yang dalam perspektif

primordialis dan perenialis, bisa dilukiskan telah membentuk

aneka bangsa tersendiri-diturunkan posisinya menjadi “suku

bangsa” (Lahif, 2011: 369). Dalam bahasa Soekarno suku adalah

“Suku itu dalam bahasa Jawa artinya sikil, kaki. Jadi Bangsa Indonesia banyak

kakinya...ada kaki Jawa, kaki Sunda, kaki Sumatera, kaki Irian, kaki Dayak, kaki

Bali, kaki Sumba, kaki Peranakan Tionghoa...kaki daripada satu tubuh, tubuh

bangsa Indonesia!”

Kelompok etnik (suku bangsa)merupakan golongan sosial yang

dibedakan dari golongan-golongan sosia lainnya, karena

mempunyai ciri-ciri yang paling mendasar dan umum berkaitan

dengan asal-usul, tempat, serta budayanya (Takari, 2008: 41).

Selanjutnya Takari menjelaskan bahwa kelompok etnik adalah

Page 70: arsip saja

segolongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan

identitasnya yang diperkuat oleh kesamaan bahasa, kesamaan

dalam kesenian, adat istiadat, dan nenek moyang yang

merupakan ciri-ciri sebuah kelompok etnik. Jika ras lebih

dilihat dari perbedaan fisik, maka etnik lebih dilihat dari

perbedaan kebudayaan dalam arti yang luas. Satu ras dapat

terdiri dar berbagai macam kelompok etnik yang berbeda.

Menurut Takari (2008: 42) dalam sebuah kelompok etnik bisa

saja terjadi diferensiasi sosial. Sebuah kelompok etnik

terbentuk dari sejumlah orang yang menghendaki hidup bersama,

dalam waktu yang lama, dan di suatu tempat yang sama. Mereka

mengadakan interaksi yang tetap, memiliki sistem nilai, norma

dan kebudayaan yang mengikat mereka menjadi satu kesatuan.

Dengan adanya kesamaan yang mereka miliki mereka menjadi satu

kesatuan dalam masyarakat.

Rasa kesukuan yang berlebihan dapat melahirkan

ketidakharmonisan di dalam kehidupan bangsa yang pluralistis

(Tilaar, 2012: 937). Dalam pendidikan multikultural tidak

ada pengelompokan-pengelompokan komunitas yang mengagungkan

nilai-nilai kelompok sendiri, tetapi yang dikenal adalah

nilai-nilai budaya dari komunitas suku lain (Tilaar, 2012:

937). Menurut Tilaar di dalam pendidikan multikultural tidak

ada pengagungan dan fundamentalisme sosial budaya, dan

kesukuan.

Pendidikan multikultural mengalami kesulitan, yaitu di satu

sisi pendidikan multikultural harus memperdalam rasa

identitas kesukuan yang kemudian secara terbuka mengenal dan

mngerti nilai-nilai sosial budaya dan agama dari suku lain

Page 71: arsip saja

(Tilaar, 2012: 937). Pada tahap berikutnya adalah penghargaan

yang sama terhaap sistem nilai dari setiap suku,mengetahui

dan menghargai kelebihan-kelebihannya, serta membatasi diri

dari kemungkinan bentrok dari sistem nilai yang berbeda yang

dianut oleh suku lain.

Melalui penidikan multikultural, maka akan sangat

bermanfaat menjadi media untuk saling memahami di antara

ratusan suku berbeda yang ada di Indonesia sehingga akan

memahami adanya pluralitas dalam satu Indonesia.

C. Agama

Durkheim (1965) mendefinisikan agama sebagai sebuah sistem

budaya yang biasanya berisikan keyakinan dan ritual-ritual

yang menyediakan ultimasi makna dan tujuan yang membuat

sebuah realitas yang sakral yang semuanya menekankan pada

supernatural. Giddens (1996; 534) memaparkan tiga elemen

kunci dari definisi Durkheim tersebut: 1) Agama sebagai

bentuk budaya; 2) Agama meliputi keyakinan yang berbentuk

praktik ritual; 3) Agama merupakan sebuah tujuan. Sementra

Russel (2010) mengatakan bahwa agama merupakan sebuah

fenomena kompleks antara individu dan aspek sosial.

Giddens (1996) memandang bahwa dalam masyarakat

tradisional agama memainkan peran penting dalam kehidupan

sosial sehingga relegiusitas termanifestasi dalam budaya

masyarakat seperti: musik, lukisan, tarian, dan sastra.

Daniel Dhakidae (2012) “Fathi Osman Meninggalkan Relung-Relung

Hampa Tanpa Analisis Kekuasaan” mengatakan Agama baru berarti bagi

seseorang kalau orang itu mengatakan bahwa agama tertentu

Page 72: arsip saja

baik untuk dirinya, masyarakatnya, dan kebudayaannya, dan

dengan itu memberikan makna bagi hidupnya sendiri dan

kehidupan sosial lainnya. Agama-agama selalu berfungsi

semacam ini, karena agama dalam arti yang sangat luas tidak

lain daripada suatu referensi hidup yang paling awal, boleh

dikatakan “primitif,” untuk masyarakat manapun di dunia ini.

Ketika lahir, seorang dimasukkan ke dalam suatu masyarakat

tertentu, dan dengan demikian sudah berhadapan dengan agama

yang mengatur ritusnya sejak lahir, sejak memotong urat pusar

utama, mencukur rambut, memberi nama, dan kelak menguasai

sebagian besar kalender kehidupan sampai kematiannya.

Sedemikian detailnya peran agama dalam kehidupan manusia,

sebagaimana dikemukakan Dhakidae.

Seorang Pendeta yang juga merupakan seorang Filsuf asal

Jerman, pernah mengatakan, “There is no peace in the world, without

peace among the nations, there is no peace among the nations without peace

among the religions, and there is no peace among the religions without

investigating the teachings of the religions.” Pernyataan Hans Kung yang

sangat sering dipakai sebagai dalil dialog antar agama

tersebut jika diartikan, “Tidak ada perdamaian di dunia,

tanpa adanya perdamaian antar bangsa-bangsa, Tidak ada

perdamaian antar bangsa tanpa adanya perdamaian antar agama-

agama, dan tidak ada perdamaian antara agama-agama tanpa

adanya mempelajari ajaran-ajaran dari agama-agama.”

Menurut Komarudin Hidayat yang berusaha menjelaskan

pluralisme dalam cara pandang filsafat perennial adalah

kepercayaan bahwa Kebenaran Mutlak (The Truth) hanyalah satu,

tidak terbagi, tetapi dari Yang Satu ini memancar berbagai

Page 73: arsip saja

“kebenaran” (truths). Sederhananya, Allah itu satu, tetapi

masing-masing agama meresponinya dan membahasakannya secara

berbeda-beda, maka muncullah banyak agama. Hakekat dari semua

agama adalah sama, hanya tampilan luarnya yang berbeda. Dalam

perkembangannya pandangan pluralisme agama ini banyak

mendapatkan kritik, namun bagi para pegiat dialog antar agama

sering dijadikan wacana untuk menciptakan diskursus-diskursus

mengenai kerukunan umat beragama.

“ Islam accords to these two religions (Judaism andChristianity) special status. First, each of them is thereligion of God. Their founders on earth-Abraham, Moses,Davis, Jesus- are the prophets of God. What they haveconveyed the Torah, the Psams, the vangels-are revelationsrom God. To believe in these prophets, in the revelationsthey have brought, is integral to the vary faith of Islam.To dibelieve them-nay, to discriminate between them-isapostasy.” (al-Faruqi, 1986: 191)

Menurut Nurcholis Madjid karena iman berkaitan dengan

kemanusiaan, dab dalam konteks ini adalah paham kesejajaran

di antara sesama manusia-sudah merupakan hal yang logis, jika

iman juga harus berkaitan dengan paham kemajemukan sebagai

kelanjutannya. Bahkan tentang paham kemajemukan ini menurut

Nurcholish, dalam Al-Qur’an terdapat petunjuk yang dengan

tegas menekankan bahwa kemajemukan adalah takdir Allah.

Olehkarena itu, yang diharapkan dari setiap umat beragama:

menerima kemajemukan itu sebagaimana adanya, kemudian

menumbuhkan sikap bersama yang sehat, menggunakan segi-segi

kelebihan masing-masing, untuk secara maksimal saling

mendorong usaha mewujudkan berbagai kebaikan (al-khayrat)

dalam masyarakat. Sementara segala persoalan perbedaan,

Page 74: arsip saja

seperti perbedaan antar agama diserahkan saja kepada Tuhan

semata (dalam Rahman,2011:198)

Menurut Cak Nur, dalam garis besarnya Al-Quran itu adalah

“pesan keagamaan” yang harus selalu dirujuk dalam kehidupan

keagamaan seorang Muslim. Seluruh isi Al-Quran—bahkan semua

Kitab Suci yang pernah diturunkan kepada nabi-nabi—pada

dasarnya merupakan “pesan keagamaan” itu. Pandangan ini

mengacu kepada sebuah hadis Nabi, yang sering dikutipnya, al-

dîn nashîhah, “agama itu adalah nasihat”—agama adalah sebuah pesan,

demikian Nurcholish Madjid memandang agama. Budhy Munawar

Rachman (2011:52) menjelaskan bahwa apa yang dimaksud pesan

oleh Nurcholish di atas adalah bahwa manusia harus menegakkan

keadilan.

Seringnya agama menjadi sumber konflik, membuat banyak

para sarjana yang mempertanyakan peran agama dalam

masyarakat, seperti yang dipertanyakan oleh Bertrand Russel

“Apa sumbangan agama terhadap peradaban agama?”. Berbeda

dengan pandangan Russel, Nurcholish Madjid (dalam Ensiklopedi

NM, Jilid 3, 2012: 2415) memiliki optimisme terhadap peranan

agama bagi peradaban. “Agama adalah sistem kepercayaan, dan agama

besar memiliki dimensi moral yang besar untuk menopang peradaban yang

besar.”

Argumentasi Nurcholish Madjid bahwa peradaban-peradaban

besar umat manusia, sebagaimana dilambangkan dalam berbagai

bangunan monumental peninggalan masa silam, selalu

berdasarkan, atau setidaknya berkaitan, dengan suatu agama.

Agama menentukan corak budaya, yang pada urutannya akan

Page 75: arsip saja

menentukan corak komunitas kemasyarakatan, kemudian

perpolitikan, ekonomi, dan akhirnya, teknologi.

Sedangkan Charles Kimbal (2003) dalam bukunya “Kala Agama

jadi Bencana” mengkritik keras umat beragama yang menjadikan

agama sebagai alasan untuk saling membunuh dan merupakan

sumber konflik dalam sejarah umat manusia. Kimbal memberi

contoh konflik seperti Peran Sali antara Islam dan Kristen,

konflik Arab dan Israel, konflik sektarian antara Syi’an dan

Sunni, dan konflik antara Katolik dan Kristen. Kritik lebih

radikal lagi disampaikan oleh A.N. Wilson dalam bukunya,

“Against Religion: Why We Should Try to Live Without it (Melawan Agama:

Mengapa Kita Harus Mencoba Hidup Tanpa Dia). Berikut

kutipannya yang menentang agama.

“Dalam Alkitab (Bibel) dikatakan bahwa cinta uang adalahakar segala kejahatan. Mungkin lebih benar lagi kalaudikatakan bahwa cinta Tuhan adalah akar segala kejahatan.Agama adalah tragedi umat manusia. Ia mengajak kepada yangpaling luhur, paling murni, paling tinggi dalam jiwamanusia, namun hampir tidak ada sebuah agama yang tidakikut bertanggung jawab atas berbagai peperangan, tirani,dan penindasan kebenaran. Marx menggambarkan agama sebagaicandu rakyat; tetapi agama jauh lebih berbahaya daripadacandu. Agama tidak membuat orang tertidur. Agama mendorongorang untuk menganiaya sesamanya, untuk mengagungkanperasaan dan pendapat mereka sendiri atas perasaan danpendapat orang lain, untuk mengklaim bagi diri merekasendiri sebagai pemilik kebenaran.”

Pada tataran teologis, agama menawarkan nilai-nilai luhur

yang berpihak pada manusia dan kemanusiaan, seperti persoalan

keadilan, moralitas, perdamaian dan keselamatan. Bahkan salah

satu fungsi terpenting agama menurut Quraish Shihab adalah

menciptakan rasa aman sejahtera bagi pemeluknya, sehingga

Page 76: arsip saja

terlihat adanya keterkaitan antara “iman” dengan aman, rasa

aman itu sendiri diperoleh karena adanya kesesuaian antara

sikap manusia dengan petunjuk Tuhan.

Konflik agama muncul ketika wahyu Tuhan yang mutlak

absolut sampai pada tataran kognisi manuisa, yang merupakan

produk nalar manusia mengandung nilai relativitas, dianggap

pemeluknya sama mutlak absolutnya dengan wahyu Tuhan (Amich

Alhumami, 1993:4). Sebab, ketika wahyu Tuhan dijadikan

manusia sebagai pedoaman pola kelakuannya, wahyu itu telah

hilang sifat a-historis dan absolusitasnya, karena telah diubah

manusia menjadi bagian dari kehidupannya sebagai sebuah

sistem kebudayaan melalui interpretasi manusia (Abdul Munir

Mulkhan, 1993:4).

Dalam sejarah hubungan antar umat beragama di Indonesia,

tercatat bahwa bibit perselisihan antar umat beragama ini

terletak pada bidang garapan misi atau masalah penyebaran

agama. Persaingan dalam penyebaran agama ini terjadi sejak

kedatangan kolonialisme Portugis dan Belanda yang membawa

missi untuk menyebarkan agama Kristen (Sumartana, 1991)

Osman (2012: 20) menjelaskan bahwa umat manusia dapat

menyelesaikan konflik agama dengan terus mendiskusikan

perbedaan-perbedaan mereka dengan cara yang masuk akal, dan

tetap mengakui ke-majemukan mereka. Dalam perkara-perkara

duniawi, mereka dapat mengatasi perbedaan-perbedaan mereka

dengan mencapai mayoritas untuk suatu pandangan tertentu.

Namun, dalam perkara agama, kebebasan beragama harus dijamin

untuk setiap manusia. Dialog antar-iman dapat diarahkan untuk

mencapai pengertian yang lebih baik mengenai “pihak lain”,

Page 77: arsip saja

dan menghindari pe-maksaan keyakinan yang menyakiti atau

tidak adil terhadap pihak lain. Al-Qur’an mengajarkan bahwadialog semacam ini harus dilakukan dengan cara yang paling

konstruktif baik dari segi metode maupun moral (16:125; 29:46).

Hendaknya tidak ada kelompok yang menggunakan argumennya

berdasarkan premis bahwa argumennya adalah satu-satunya yang

mewakili kebenaran secara keseluruhan: “Dan sesungguhnya kami atau

kalian pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata.

Katakanlah: ‘Kalian tidak akan ditanya tentang dosa yang mungkin telah kami

perbuat, dan kami tidak akan ditanya tentang apapun yang kalian perbuat’.

Katakanlah: ‘Tuhan kita akan mengumpulkan kita semua, kemudian Dia

menyingkapkan kebenaran di antara kita dengan adil’ (34:24-26).”

D. Sosial

Persatuan Indonesia dalam kerangka civic-political nationalism

mensyaratkan loyalitas warga pada seperangkat cita-cita

politik. olehkarena itu formasi kebangsaan dalam kerangka

menghadapi musuh bersama maka perlu diwujudkan apa yang

dicita-citakan ketika mendirikan Negara Indonesia yaitu

menegakkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat

Indonesia.

“satu untuk semua, semua untuk satu” demikian prinsip-

prinsip sosialisme yang menjadi dasar adanya Sila Keadilan

Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Melalui prinsip

kesamarataan ini Soekarno memimpikan bahwa di Indonesia tidak

akan ada kaum tertindas dan tidak ada yang papa sengsara

Page 78: arsip saja

seolah-olah tidak ada negara. Berikut penjelasan Soekarno

mengenai prinsip sosisal di Indonesia.

“Nasionalisme masyarakat, sosio nasionalisme, bukanlahnasionalisme “ngelamun”, tetapi ialah nasionalisme yangdengan dua-dua kakinya berdiri dalam masyarakat. Memang,maksudnya sosio-nasionalisme ialah memperbaiki keadaan-keadaan di dalam masyarakat itu, sehingga keadaan yang kinipincang it menjadi keadaan yan sempurna, tidak ada kaumyang tertindas, tidak ada kaum yang cilaka, tidak ada kaumyang papa-sengsara.”

Apa hubungan konsep sosio nasionalisme Soekarno tersebut

dengan pendidikan multikultural? Berbicara pendidikan multi

kultural tidak semata hanya perbedaan etnis, agam, dan

budaya. Merupakan sebuah fakta sebagaimana yang ditampilkan

dalam sub penelitian pendidikan multikultural di buku ini

bahwa konflik-konflik yang mengatasnamakan agama, tidak

jarang dibaliknya ada motif ekonomi dan adanya motif

kecemburuan sosial karena adanya kepincangan dalam pembagian

sumber daya dan perekonomian. Olehkarena itu dalam mewujudkan

pendidikan multikultural, tugas utama pemerintah adalah

mewujudkan Sila Keadilan Sosial terlebih dahulu. Sehingga

dalam kondisi masyarakat yang sejahtera maka akan dapat

pememinimalisir konflik dan akan lebih terbuka terhadap

keragaman. Tanpa adanya keadilan sosial, maka diskursus

mengenai multikulturalisme, pluralisme yang inging

diinternalisasikan melalui pendidikan multikultural akan

sangat sulit untuk mencapai hasil yang memuaskan.

Sila Keadilan Sosial merupakan perwujudan yang paling

kongkrit dari- prinsip-prinsip Pancasila. Satu-satunya sila

Page 79: arsip saja

Pancasila yang dilukiskan dalam Pembukaan UUD 1945 dengan

menggunakan kata kerja “mewujudkan suatu keadilan sosial bagi

seluruh rakyat Indonesia” (Latif, 2011: 606). Menurut Yudi

Latif bahwa dengan mewujudkan keadilan sosial tersebut berati

Indonesia telah menjalankan moral ketuhanan, landasan pokok

perikemanusiaan, simpul persatuan, matra kedaulatan rakyat.

Sila Keadilan Sosial jangan hanya ungkapan atau konsep belaka

untuk memberangus ketertindasan dan kemiskinan, kata Yudi

Laif (2011: 608),”Dengan pemenuhan imperatif moral sila keadilan sosial,

diharapkan jeritan panjang rakyat Indonesia untuk keluar dari belenggu

kemiskinan dan penderitaan bisa menemukan impian kebahagiaannya:’gemah

ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja’, sebuah negeri yang berlimpah

kebajikan dengan rdhla Tuhan.”

Pendidikan multikultural jangan terjebak permasalahan

keragaman budaya saja. Tetapi juga harus mengupas dan

menjelaskan berbagai permasalahan sosial di masyarakat.

Menurut Tilaar (2012:485) pendidikan yang yatberbasis

multikulturalisme harus melihat ketmpangan-ketimpangan di

dalam kehidupan masyarakat. Karena adanya struktural ras yang

secara sadar atau tidak, mempengaruhi kehidupan

bermasyarakat. Permasalahan sosial seperti kemiskinan membuat

segregasi dan stratifikasi sosial dan budaya, sehingga adanya

kelompok yang mendominasi dan ada kelompok sosial masyarakat

yang dimarjinalisasi.

Pendidikan multi kultural merupakan sebuah rekonstruksi

sosial. Dikatakan sebagai rekonstruksi sosial yaitu

pendidikan multikultural merupakan upaya untuk melihat

kembali kehidupan sosial yang ada di Indonesia.

Page 80: arsip saja

Menurut Soekanto (2003:365) kepincangan dan permasalahan

sosial sangat tergantung kepada sistem nilai sosial

masyarakat tersebut. Namun secara umum permasalahan sosial

yang terjadi di Indonesia saat ini, yaitu:

1. Kemiskinan

Kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan dimana

seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri

sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tiak

mampu memanfaatkan mental maupun fisiknya dalam kelompok

tersebut. Kemiskinan akan dianggap permasalahan sosial

apabila perbedaan kedudukan ekonomis para warga

masyarakat ditentukan secara tegas.

2. Kejahatan

Dalam ilmu osiologi bahwa kejahatan disebabkan karena

kondisi-kondisi dan proses-proses perilaku-perilaku

sosial lainnya. Tindak kejahatan sangat terpengaruh oleh

kondisi dan proses seperti: gerak sosial, persaingan

serta pertentangan kebudayaan, ideologi politik, agama,

ekonomi, dan seterusnya.

3. Disorganisasi keluarga

Disorganisasi keluarga adalah perpecahan keluarga

sebagai suatu unit, karena anggota-anggotanya gagal

memenuhi kewajiban-kewajibannya yang sesuai dengan

peranan sosialnya. Secara sosiologis, bentuk

disorganisasi keluarga yaitu: perceraian, krisis

keluarga dan sebagainya seperti perpisahan tempat tidur.

4. Masalah generasi muda dalam masyarakat modern

Page 81: arsip saja

Masalah generasi muda pada umumnya ditandai oleh duua

ciri berlawanan, yakni, keinginan untuk melawan dan

sikap yang apatis. Masa muda dipandang sebagai masa yang

berbahaya karena pada masa inilah mereka meninggalkan

masa kehidupan anak-anak untuk mencapai tahap

kedewasaan. Pada masa inilah generasi muda membutuhkan

bimbingan terutama dari orangtua.

5. Peperangan

Peperangan merupakan masalah sosial yang paling sulit

untuk diselesaikan sepanjang sejarah kehidupan manusia.

Masalah perang berbeda dengan masalah sosial lainnya

karena menyangkut beberapa masalah sekaligus, sehingga

membutuhkan kerjasama internasional. Dalam ilmu

Sosiologi peperangan sebagai suatu gejala yang

disebabkan oleh berbagai faktor. Peperangan menyebabkan

disorganisasi dalam berbagai aspek kemasyarakatan, baik

bagi negara yang keluar sebagai pemenang, apalagi bagi

negara yang mengalami kekalahan.

6. Pelanggaran terhadap norma-norma masyarakat

Pelanggaran norma masyarakat seperti pelacuran,

alkoholism, homoseksualitas, lebian, dan berbagai

permasalahan sosial lainnya merupakan permasalahan yang

sulit dielesaikan di tengah masyarakat modern. Jika

perilaku sosial yang menyimpang ini semakinmeluas maka

akan dapat mengakibatkan dampak negati dalam kehidupan

masyarakat.

7. Masalah kependudukan

Page 82: arsip saja

Penduduk suatu negara pada dasarnya merupakan sumber

yang sangat penting bagi pembangunan, sebab penduduk

merupakan subyek serta obyek pembangunan. Negara

bertanggungjawab terhadap kesejahteraan penduduknya,

namun di tengah semakin meledaknya jumlah penduduk

membuat negara mengalami kesulitan dalam mensejahterakan

rakyatnya. Olehkarena itu negara berkeinginan mengatur

jumlah penduduk.

8. Masalah lingkungan hidup

Pencemaran akan terjadi apabila di dalam lingkungan

hidup manusia, baik yang bersifat fiisik, biologis

maupun sosial, terdapat suatu bahan yang merugikan

eksistensi manusia. Pencemaran lingkungan terjadi karena

aktivitas manusia misalnya dalam pertanian,

pertambangan, dan transportasi.

9. Birokrasi

Pengertian birokrasi menunjuk pada suatu organisasi yang

dimaksudkan untuk mengerahkan tenaga dengan teratur dan

terus menerus, untuk mencapai suatu tujua tertentu.

Dengan kata lain birokrasi adalah organisisasi yang

berbentuk hirarkis, yang ditetapkan secara rasional

untuk mengkoordinasi pekerjaan orang-orang untuk

kepentingan pelaksanaan tugas admnistratif. Dampak dari

birokrasi ini adalah adanya aturan yang ketat sehingga

sering menghilangkan penyelesaian substatntif akan suatu

masalah yang seharusnya dapat diselesaikan secara cepat.

Berbicara permasalahan sosial berarti juga membicarakan

keadilan sosial. Menurut Frans Magnis Suseno (2008: 31)

Page 83: arsip saja

keadilan sosial merupakan bottom line harkat etis sebuah negara.

Banyak konflik terjadi tidak terlepas dari permasalahan

ketidakadilan. Keadilan sosial yaitu dimana kebutuhan dasar

segenap insan Indonesia dapat teroenuhi. Olehkarena itu dalam

keadilan sosial dituntut solidaritas sosial yaitu sebuah

sikap yang membantu dan memperlakukan warga yang paling

lemeh: mereka yang masih miskin, kelompok minoritas, para

perempuan, dan semua mereka yang tidak mampu membantu mereka

sendiri.

Sedangkan dalam pandangan Hassan Hanafi (1998) mengatakan

bahwa walaupun dalam Al-Qur’an dinyatakan terdapat umat yang

satu (ummatun wahidah),namun dalam kenyataan obyektif

masyarakat terbagi dua, yaitu ummat yang miskin dan ummat ang

kaya. Adajanya stratifikasi sosial ini merpakan realitas

kehidupan masyarakat. Sedangkan menurut Moeslim Abdurrahman

(2003) bahwa agama Islam harus bia menjadi sarana kritik

sosial, yaitu dimana Islam bisa mengkritik keadaan

ketidakadilan di masyarakat namun turut serta memberi

kontribusi transformasi sosial dimana Islam akan mendorong

kehidupan sosial masyarakat yang lebih baik. Selanjutnya

Abdurrahman menegaskan agama harus bekerja memberikan

kelembagaan, agar orang miskin secara kolektif masuk dalam

the new social movement, suatu building block baru bagi siapa saja

yang berada dalam subordinasi kekuasaan.

E. Masyarakat Urban

Koentjaraningrat (2005:122) Manusia adalah makhluk sosial

yang membutuhkan manusia lain dalam kehidupannya, sekelompok

manusia yang saling membutuhkan tersebut akan membentuk suatu

Page 84: arsip saja

kehidupan bersama yang disebut dengan masyarakat. Masyarakat

itu sendiri dapat didefinisikan sebagai suatu kesatuan hidup

manusia yang berinteraksi sesuai dengan sistem adat istiadat

tertentu yang sifatnya berkesinambungan dan terikat oleh

suatu rasa identitas bersama.

Pada masyarakat kota ada beberapa ciri-ciri yang menonjol,

pada umumnya masyarakat kota dapat mengurus dirinya sendiri

tanpa harus bergantung pada orang lain; masyarakat kota

mempunyai jalan pikiran rasional yang meenyebabkan interaksi-

interaksi yang terjadi lebih didasarkan pada faktor

kepentingan daripada faktor pribadi; jalan kehidupan yang

cepat di kota mengakibatkan pentingnya faktor waktu sehingga

pembagian waktu yang teliti sangat penting untuk dapat

mengejar kebutuhan-kebutuhan seorang individu; dan perubahan-

perubahan sosial tampak dengan nyata di kota-kota karena kota

biasanya terbuka dalam menerima pengaruh luar.

Dalam kehidupan masyarakat modern sekarang ini sering

dibedakan antara mayarakat urban atau yang sering disebut

dengan masyarakat kota dengan masyarakat desa. Pembedaan

antara masyarakat kota dengan masyarakat desa pada hakikatnya

bersifat gradual, agak sulit memberikan batasan apa yang

dimaksud dengan perkotaan karena adanya hubungan antara

konsetrasi penduduk dengan gejala-gejala sosial yang

dinamakan urbanisme

Beberapa ciri-ciri masyarakat kota yang selalu berusaha

meningkatkan kualitas hidupnya dan terbuka dalam menerima

pengaruh luar tersebut menyebabkan teknologi terutama

teknologi informasi berkembang dengan pesat dalam masyarakat

Page 85: arsip saja

kota karena bagi masyarakat kota penggunaan teknologi

informasi di segala bidang telah sangat signifikan

meningkatkan kualitas kehidupan mereka (Soekanto, 2006:139-

140)

Masyarakat urban yang mengarah pada indutrialisasi, telam

membuat msayarakat menjadi mekanis dan kehilangan makna

hidup. Oleh Erich From masyarakatar urban yang lupa akan

makna hidupnya ini adalah sebuah megamachine society, dimana

masyarakat urban telah teralienasi dalam kehidupannya. Hal

ini dapat dilihat dari kutipan tulisan From.

“Alienasi yang kita temukan dalam masyarakat modern adalahhampir total; ia meliputi hubungan manusia denganpekerjaannya, ke benda-benda yang ia konsumsi, ke negara,ke sesamanya, dan ke dirinya sendiri. Manusia telahmenciptaka suatu dunia dari barangbarang buatan manusiayang tidak pernah ada sebelumnya. Ia telah membangunpermesinan sosial yang ruwet untuk mengatur permesinanteknis yang ia bangun. Namun, seluruh kreasinya itu tegakdi atas dan mengatasi dirinya sendiri. Memang ia merasadirinya sebagai pencipta dan pusat, tapi juga sebagaibudak sebuah berhala Golem yang ia buat dengan tangannyasendiri. Semakin kuat dan besar kekuatan yang ia lepaskan,semakin ia merasa dirinya tak berdaya sebagai manusia. Iamenghadapi dirinya sendiri dengan kekuatan dirinya yangdikandung dalam benda-benda yang ia ciptakan, yang daridirinya sendiri. Ia dikuasai oleh kreasinya sendiri, dantelah kehilangan kekuasaan terhadap dirinya sendiri. Iatelah membuat sebuah patung anak sapi emas, dan berkata,“Inilah dewamu yang membawa kamu keluar dari Mesir.”

Alienasi itulah yang menyebabkan orang tertarik kepada

kultuskultus. Sebab alienasi menimbulkan rasa kesepian yang

mencekam, yang merindukan perkawanan akrab dan hangat, yang

mendambakan suatu penjelasan tentang apa

Page 86: arsip saja

dan ke mana hidup ini. Toffler menjelaskan kenyataan ini

sebagai berikut: “Untuk orang-orang yang kesepian, kultus-

kultus menawarkan, pada permulaannya, persahabatan yang

merata. Kata seorang petugas Unification Church: ‘Kalau ada

orang kesepian, kita bicara kepada mereka. Banyak orang kesepian di sekitar

kita.’ Pendatang baru itu dikelilingi oleh orangorang yang

menawarkan persahabatan dan isyarat dukungan kuat. Banyak

kultus yang menghendaki kehidupan komunal. Kehangatan dan

perhatian yang tiba-tiba ini sedemikan kuatnya memberi rasa

kebaikan sehingga anggota-anggota kultus sering bersedia

untuk memutuskan hubungan dari keluarga dan teman-teman lama

mereka, untuk

mendermakan penghasilannya kepada kultus, (kadang-kadang)

menerima narkotika dan bahkan seks sebagai imbalan.” (Madjid,

2012:1884, Ensiklopedi NM Jilid 3).

Masyarakat urban yang cendrung individualis akan sangat

rawan mengalami apa yang digambarkan oleh Eric Fromm di atas.

Dampak dari masyarakat yang asosial salah satunya adalah

sikap intoleransi dan bahkan fundamentalisme sebagaimana yang

dikatakan Madjid (2012: 1884) sebagai pelarian,

fundamentalisme keagamaan pun tidak begitu jauh dari kultus.

Unsur-unsur yang menjadi ciri utama kultus juga merupakan

unsur-unsur yang menjadi ciri utama fundamentalisme, seperti

ketertutupan, pemaksaan disiplin yang keras, hasungan

kepada pengorbanan harta dan jiwa yang tidak proporsional,

absolutisme dan janji-janji keselamatan yang diberikan dengan

tegas dan sederhana. Sepertindicontohkan oleh peristiwa bunuh

diri massal para pengikut kultus People’s Temple pimpina Jim

Page 87: arsip saja

Jones setelah pindah dari Amerika ke Guyana dan pengikut

kultus Branch Davidian pimpinan David Koresh di Waco, Texas,

sebuah

kultus dapat berkembang menjadi sangat anti-sosial, bahkan

menjerumuskan para pengikutnya kepada psikologi “ingin mati”

(death wish). Dan fundamentalisme pun dapat menunjukkan sikap-

sikap anti-sosial serupa itu, meskipun mungkin dengan

kadar yang lebih rendah (Madjid, 2012:1885 dalam Ensiklopedi

NM Jilid 3).

Berdasarkan kerawanan masyarakat perkotaan yang justru

akan menghadapi permasalahan psikis yang akan menjadikan

banyak hal sebagai kultus makan akan menjadi ruang terjadinya

tindakan intoleran. Hal ini terbukti dengan apa yang telah

dibahas dalam sub judul penelitian yang salah satunya

membahas perilaku intoleransi justru terjadi di kota seperti

Jabodetabek dan Jawab Barata.

Merujuk pendapat berikut dapat dikatakan bahwa agama

memainkan peran penting apakah masyarakat akan menjadi damai

atau malah berkonflik. Dalam sosiologi sistematik, agama

berada pada puncak hubungan sibernetik yang meliputi— dalam

urutan berjenjang— budaya, komunitas kemasyarakatan (societal

community), Perpolitikan (polity), ekonomi dan teknologi. Secara

sibernetik, susunan atas mengendalikan (control) susunan di

bawahnya, dan susunan bawah mengkondisikan susunan di atasnya

(Ensiklopedi NM Jilid 3, 2012: 2415)

Page 88: arsip saja

BAB IV

PEMBELAJARAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

A. Perencanaan Pembelajaran Pendidikan Multikultural

Perencanaan pengajaran dapat diartikan sebagai proses

penyusunan materi pelajaran, penggunaan media pengajaran,

penggunaan pendekatan, penggunaan media pengajaran,

penggunaan pendekaan dan metode pengajaran, dan penilaian

dalam suatu alokasi waktu yang akan dilaksanakan pada masa

tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan (Majid,

2008:17)

Konsep perencanaan pengajaran dapat dilihat dari berbagai

sudut pandang sebagai berikut:

1. Perencanaan pengajaran sebagai teknologi. Adalah suatu

perencanaan yang mendorong penggunaan teknik-teknik yang

dapat mengembangkan tingkah laku kognitif dan teori-

Page 89: arsip saja

teori konstruktif terhadap solusi dan problem-problem

pengajaran.

2. Perencanaan pengajaran sebagai suatu sistem. Adalah sebuah

susunan dari sumber-sumber dan prosedur-prosedur untuk

menggerakkan pembelajaran.

3. Perencanaan pengajaran sebagai sebuah disiplin. Adalah cabang

dari pengetahuan yang ut memperhatikan hasil-hasil

penelitian dan teori tentang strategi pengajaran dan

implementasinya terhadap strategi tersebut.

4. Perencanaan pengajaran sebagai sains. Adalah mengkreasi secara

spesifikasi dari pengembangan, implementasi,evaluasi,

dan pemeliharaan akan situasi fasilitas pembelajaran

dengan segala kompleksitasnya.

5. Perencanaan pengajaran sebagai sebuah proses. Adalah

pengembangan bahan ajar secara sistematik yang digunakan

secara khusus atas dasar teori pembelajaran.

6. Perencanaan pengajaran sebagai sebuah realitas. Adalah ide

pengajaran dikembangkan dengan memberikan hubungan

pengajaran dengan kehidupan dan realitas (Majid, 2008:

17-18).

Selanjutnya Majid (2008: 18-19) memberikan dimensi-dimensi

perencanaan pengajaran yang mesti diperhatikan oleh seorang

pendidik yaitu: signifikansi; Feasibilitas, Relevansi;

Kepastian; Ketelitian; Adaptabilitas; Waktu; Monitoring; dan

Perencanaan. Khusus dalam dimensi perencanaan, maka harus

diperhatikan isi perencanaan sebagai berikut:

1. Tujuan apa yang diinginkan, atau bagaimana cara

mengoranisir aktivitas belajar dan layanan pendukungnya.

Page 90: arsip saja

2. Program dan layanan, atau bagaimana cara mengoganisir

aktivitas belajar dan layanan pendukungnya.

3. Tenaga manusia, yakni mencakup cara-cara mengembangkan

prestasi, spesialisasi, perilaku, kompetensi, maupun

kepuasan mereka.

4. Keuangan, meliputi rencana penerimaan dan pengeluaran.

5. Bangunan fisik tentang cara-cara penggunaan pola

distribusi kaitannya dengan psikologis.

6. Struktur organisasi, magaimana cara pembagian tugas.

7. Konteks sosial harus diperhatikan.

Dalam merencanakan pendidikan multikultural, maka harus

benar-benar diketahui prinsip-prinsip paradigma pendidikan

multikultural yang dapat dijadikan acuan, sebagai berikut:

1. Pendidikan multikultural harus menawarkan beragam

kurikulum yang merepresentasikan beragam kurikulum yang

merepresentasikan pandangan dan perspektif banyak orang.

2. Pendidikan multikultural harus didasarkan pada asumsi

bahwa tidak ada penafsiran tunggal terhadap kebenaran

sejarah.

3. Kurikulum dicapai sesuai dengan penekanan analisis

komparatif dengan sudut pandang kebudayaan yang berbeda-

beda.

4. Pendidikan multikultural harus mendukung prinsip-prinsip

pokok dalam memberantas pandangan klise tentang ras,

budaya dan agama (Zubaedi,2009:72)

Sebelum merencanakan dan melaksanakan secara teknis

pendidikan multikultural, perlu dipertimbangkan pendapat

Tilaar (2012: 483) yang mengatakan bahwa pada dasarnya

Page 91: arsip saja

pendidikan interkultural2 yang dapat diaplikasikan di

pendidikan multikultural, yaitu:

1. Melalui pendidikan interkultural, seseorang tidak malu

terhadap latarbelakang budayanya.

2. Perlu dikembangkan sikap toleransi terhadap perbedaan-

perbedaan, ras, agama, dan budaya. Dalam pengembangan

sikap toleransi ini maka dianjurkan menjalankan program

asimilasi budaya.

Olehkarena itu menurut Tilaar sangatlah penting dalam

pendidikan mengembangkan dua hal:

1. Masalah prasangka (prejudice). Berbagai penelitian dan

praktik untuk untuk mencari akar-akar dari prasangka,

baik prasangka ras maupun prasangka agama.

2. Mencari cara-cara yang efektif untuk mengubah tingkah

laku untuk mengatasi prasangka-prasangka tersebut.

B. Strategi Pembelajaran Pendidikan Multikultural

Menurut Geneva Gay (1994) dalam artikelnya yang berjudul “A

Synthesis of Scholarship in Multicultural Education” bahwa strategi

penting dalam menerapkan pendidikan multikultural adalah

kurikulum yang berpusatkan pada keragaman.

“Prinsip-prinsip penting dalam menerapkan pendidikan multikultural adalahkurikulum berdasarkan sejarah dan berpusat pada keragaman, berorientasipada perbaikan, pengajaran mengarah pada keragaman, kurikulum

2 Pada dekade tahun 40 dan 50-an telah lahir sebuah konsep pendidikanyang disebut pendidikan interkultural dan interkelompok (intercultural andinter-group education). Menurut Tilaar pada dasarnya konsep pendidikaninterkultural ini merupakan sebuah upaya cross cultural education, yaitu mencarinilai-nilai universal yang dapat diterima oleh berbagai kelompokmasyarakat.

Page 92: arsip saja

tergantung pada konteks, bersifat menyerap dan dapat diterapkan secara luasdan bersifat komprehensif dan mencakup semua level pendidikan.”

Jika melihat apa yang dianjurkan oleh geneva Gay tersbut,

maka starategi penting yang harus dijalankan para pemangku

kepentingan adalah merumuskan kurikulum sampai aplikasinya di

kelas dengan prinsip-prinsip pluralisme. Kendala utama dalam

menjalankan pendidikan multikultural di Indonesia adalah

masih adanya stigma negatif masyarakat Indonesia dengan kata

“pluralisme”. Terlebih lagi aktivitas multikultural semakin

meadi sulit setelah Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan

bahwa pluralisme hukumnya adalah haram. Terjadi

kesalahpahaman antar pegiat multikultural dengan masyarakat

dan MUI mengenai diskursus pluralisme. Padahal pluralisme

adalah prinsip dasar ketika memang benar-benar ingin

menjalankan pendidikan multikultural dalam kerangka kehidupan

berbangsa dan bernegara.

Strategi yang ditawarkan Tilaar (2012: 484) berikut dapat

dijadikan rujukan dalam menjalankan pendidikan multikultural

tidak lagi difokuskan kepada kelompok-kelompok agama atau

mainstream budaya, tetapi kepada pengembangan nilai-nilai

demokratis. Pendidikan berbasis multikultural harus melihat

masalah-masalah masyarakat secara lebih luas. Bukan hanya

memasukkan masalah-masalah struktural ras, tetapi juga

mempersoalkan masalah-masalah kemiskinan, penindasan, dan

keterbelaknagan kelompok-kelompok minoritas dalam ilmu

pengetahuan. Maka salah satu strateginya adalah juga dengan

Page 93: arsip saja

mengembangkan ethnic studies yang juga dijalankan dari pendidikan

dasar sampai pendidikan tinggi.

Menurut Tilaar (2012: 491) dalam pendidikan multikultural

menekankan pada pengembangan kesadaran dan pengalaman yang

dihadapi dalam kehidupan sosial yang nyata, sebagai berikut:

1. Mengembangkan keterampilan dalam tindakan sosial.

Dalam hal ini, sekolah, ruang-ruang kelas difungsikan

sebagai tempat pelatihan untuk menjadi warga negara yang

aktif dan memiliki keterampilan dalam kehidupan sosial.

Para peserta pendidikan diajarkan bagaimana mengemukakan

pendapat yang sehat, mengambil keputusan ditengah orang

banyak, bagaimana mencapai konsensus, dan agaimana

menerima kesepakatan sebagai hasil konsensus. Sikap

demokratis haruslah merupakan bagian utama dalam proses

belajar.

2. Mengembangkan sikap saling pengertian

Dalam strategi ini, menurut Tilaar siswa diajarkan

bagaimana mencapai saling pengertian antar ras, antar

stratifikasi sosial, gender untuk berbagai masalah

bersama, serta bagaimana menciptakan keadilan.

Para penganjur pendidikan multikultural

merekomendasikan prinsip-prinsip dan praktek sebagai

berikut: a) perlu adanya komitmen dari para pendidik

untuk menghapuskan berbagai jenis segregasi dan

diskriminasi; b) kemampuan dari para pendidik untuk

menjembatani berbagai perbedaan, baik antar guru dengan

siswa, maupun siswa sesama siswa; c) komitmen terhadap

pendidikan multikultural sebagai program jangka panjang,

Page 94: arsip saja

proses yang lambat dan mengikutsertakan pada orang tuan

dan masyarakat lokal; d) memasukkan program pendidikan

multikultural di dalam kurikulum, baik dalam aspek

afektif maupun dalam kegiatan kognitif; e) demokratisasi

dari praktik mengajar melalui cara-cara atau teknik yang

memberikan kebebasan dan kesempatan kepada setiap orang

untuk didengar; f) perhatian kepada minat yang semakin

meningkat kepada para siswa mengenai keterampilan-

keterampilan dasar dalam praktik multikultural; g)

mengekspos kepada para siswa mengenai pengertian-

pengertian mengenai penindasan dan ketidakadilan. Serta

mengidentifikasi hak bagaimana caranya untuk mengatasi

permasalahan hak azazi manusia.

C. Media Pembelajaran Pendidikan Multikultural

Menerapkan pendidikan multikultural sangat tergantung

kepada kompetensi guru yang mengaplikasikan pendidikan

multikultural dalam proses pembelajaran. Media yang digunakan

dalam pembelajaran pendidikan multikultural sangat banyak

tersedia dan mudah diakses. Olehkarena itu dalam

mempersiapkan media pembelajaran pendidikan multikultural

dibutuhkan kreativitas guru.

Terdapat empat langkah penting dalam mengembangkan media

pembelajaran pendidikan multikultural (Zubaedi, 2005:76),

yaitu:

1. Guru mereduksi atau mengikis sikap negatif yang mungkin

mereka miliki terhadap pluralisme sosial, keagamaan, dan

etnis.

Page 95: arsip saja

2. Seorang pendidik dan anak didik melakukan analisis

situasi agar akrab dengan masyarakat.

3. Seorang pendidik dan anak didik memilih materi yang

relevan dan sekaligus menarik.

4. Seorang pendidik dan anak didik, bersama-sama

menyelidiki persoalan yang berkaitan dengan materi yang

dipilih. Dalam hal ini, seorang pendidik disarankan

mengidentifikasi persoalan sosial yang berkaitan dengan

agama, suku, kehidupan ekonomi, kemampuan mental serta

fisik.

Berdasarkan empat prisnip dia tas maka pndidik ketika

merancang media akan sangat peka dengan permasalahan sosial,

etika (Zubaedi, 76). Olehkarena itu seorang guru yang ingin

merancang media pembelajaran pendidikan multikultural sangat

disarankan menggunakan metode-metode yang bersifat

antropologis dan sosiologis. Sehingga akan menjadi sensitif

terhadap berbagai isu multikultural di luar ruang sekolah dan

institusi sekolah.

Salah satu contoh sederhana seperti yang dianjurkan oleh

Zubaedi (2005: 74) yaitu dengan menggunakan permainan “Payung

Multikultural” (the multicultural umbrella). Dalam menjalankannya

pada tiap-tiap ruas bagian luar payung ditulisi berbagai

etnis, ras, agama, budaya, kelompok masyarakat yang memiliki

kebutuhan/keadaan seperti anak-anak terlantar, orang-orang

cacat, penderita AIDS, dan sebagainya.

Seorang pendidik bisa menggunakan “Payung Multikultural”

dalam membantu anak didik untuk memahami keterlibatan banyak

kelompok dan keinginan masyarakat. Caranya, anak didik di

Page 96: arsip saja

kelas diberi waktu 5-10 menit untuk menyusun daftar anggota

kelompoknya. Tiap-tiap kelompok membacakan apa yang tertulis

di ruas payung yang dihadapinya. Setelah itu,kelompok lain

disuruh untuk memberikan reaksi, dan tanggapan.

Selanjutnya jika anak didik bisa menarik pemahaman

terhadap payung multikultural tersebut, diyakini hal itu akan

dapat menumbuhkan sensirifitas multikultural mereka. akan

muncul kesadaran bahwa terdapat aneka ragam ras, etnis,

agama, kebudayaan, kelompok, ideologi, sikap politik, dan

beragam kepentingan yang semua perbedaan itu tidak akan

menghalangi mereka untuk hidup damai, rukun dan harmonis.

D. Evaluasi Pembelajaran Pendidikan Multikultural

Evaluasi merupakan komponen yang sangat penting dalam

penyelenggaraan pendidikan. Dengan sistem evaluasi yang baik

maka kualitas pembelajaran diharapkan akan meningkat. Untuk

meningkatkan kualitas pembelajaran tersebut, evaluasi

sebaiknya dilakukan dengan memperhatikan semua ranah yang

dimiliki peserta didik. Adapun dari segi istilah, sebagaimana

dikemukakan oleh Edwind Wandt dan Gerald W. Brown (1977).

Evaluation refers to the act or procces to determining the value of something.

Menurut defenisi ini, maka istilah evaluasi itu menunjuk

kepada atau mengandung pengertian suatu tindakan atau suatu

proses untuk menentukan nilai dari sesuatu.

Tilaar (2012: 943) mengemukkan jika berbicara mengenai

pendidikan multikultural maka terdapat beberapa hal penting

yang harus di evaluasi, yaitu:1) lembaga pendidikan sebagai

pusat kebudayaan; 2) pendidikan kewargaan; 3) kurikulum

pendidikan multikultural; 4) kebijakan perbukuan; 5)

Page 97: arsip saja

pendidikan guru. Secara makro maka lima hal yang dikemukakan

oleh Tilaar tersebut harus di evaluasi. Berikut

penjelasasnnya pentingnya mengevaluasi lima program tersebut:

1. Evaluasi lembaga pendidikan sebagai pusat kebudayaan.

Lembaga pendidikan bukan hanya sebagai pusat belajar

mengajar tetapi harus merupakan pusat penghayatan dan

pengembangan budaya, baik budaya lokal, nasional, maupun

global. Lembaga pendidikan sebagai pusat budaya berarti

juga merupakan dialog dan komunikasi antarwarga lokal

sehingga dapat ditumbuhkan sikap toleransi antar warga.

Olehkarena itu sejauhmana lembaga pendidikan mampu

menginternalisasikan nilai-nilai udaya dan sikap toleran

harus menjadi evaluasi, terutama bagaimana pembelajaran

berlangsung dengan tidak mengabaikan prinsip

internalisasi budaya.

2. Pendidikan Kewargaan

Dimasa lampau yang diterapkan adalah penddikan kewarga

negaraan bukan kewargaan. Kewarga negaraan fokus pada

hak dan kewajiban warga negara. Sementara kewargaan

semestinya diberikan sebelum pendidikan kewarga negaraan

diberikan. Olehkarena itu evaluasi pendidikan kewargaan

perlu dievaluasi.

3. Kurikulum Pendidikan Multikultural

Dalam kurikulum pendidikan multikultural tidak terdapat

keseragaman diseluruh Indonesia. Pendidikan

multikultural tidak dapat diajarkan dalam bentuk sata

mata kuliah atau mata pelajaran saja. Pendidikan

Page 98: arsip saja

multikultural dijalankan dengan pendekatan holistik, dan

menjiwai seluruh proses belajar mengajar.

4. Kebijakan penyebaran informasi

Karena pendidikan multikultural sangat holistik yang

tidak hanya berlangsung di sekolah tetapi juga bisa

melalui jejaring internet maka diperlukan perpustakaan,

internet (warnet), taman budaya yang dapat dijadikan

sarana pendidikan multikultural. Apa saja yang telah

dilakukan pemerintah terhadap tempat-tempat persemaian

multikultural selain di sekolah tersebut, perlu diakukan

evaluasi.

5. Pendidikan guru

Di sekolah uru adalah garis terdepan untuk suksesnya

program pendidikan multikultural. Olehkarena itu

pemerintah harus benar-benara mempersiapkan guru yang

berkompeten untuk menyebarkan pendidikan multikultural.

Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan pembenahan

pendidikan guru dengan menambahkan satu keahlian

mengenai pendidikan multikultural.

Harian Kompas tanggal 7 Januari 2003 memuat artikel

berjudul “Pendidikan Multikultural” yang ditulis oleh Paul Suparno.

Dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa salah satu hal

penting yang harus dievaluasi adalah kurikulum. “...evaluasi

kurikulum harus menghargai perbedaan dan tidak diskriminatif.

Isi dan bahan ajar di sekolah perlu dipilih yang sungguh

menekankan pengenalan dan penghargaan terhadap budaya dan

nilai lain.”

Page 99: arsip saja

Salah satu langkah strategis yang dapat dilakukan dalam

melakukan evaluasi pendidikan multikultural adalah dengan

melakukan supervisi, khususnya dengan supervisi klinis.

Melalui supervisi klini inilah akan dapat dilihat di lapangan

bagaimana guru dalam menjalankan prinsip pendidikan

multikultural. Secara umum tujuan utama supervisor adalah

memperbaiki instruksional guru di kelas. Supervisi klinis

memberikan umpan balik kepada guru untuk memperbaiki hasil.

Supervisi klinis membantu mendiagnosa masalah-masalah

instruksional dan memberikan informasi berharga yang dapat

menyelesaikan masalah. Sebagai hasilnya guru dapat dengan

jelas melihat perbedaan-perbedaan apa yang mereka kerjakan,

dan apa yang mereka pikir sedang mereka kerjakan.

Evaluasi program pendidikan multikultural juga dapat

dilakukan dengan teknik sebagai berikut.

Teknik dan instrumen yang digunakan untuk penilaian

kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan sebagai

berikut.

a. Penilaian kompetensi sikap

Pendidik melakukan penilaian kompetensi sikap melalui

observasi, penilaian diri, penilaian “teman

sejawat”(peer evaluation) oleh peserta didik dan

jurnal. Instrumen yang digunakan untuk observasi,

penilaian diri, dan penilaian antarpeserta didik

adalah daftar cek atau skala penilaian (rating

scale) yang disertai rubrik, sedangkan pada jurnal

berupa catatan pendidik.

Page 100: arsip saja

1) Observasi merupakan teknik penilaian yang

dilakukan secara berkesinambungan dengan

menggunakan indera, baik secara langsung maupun

tidak langsung dengan menggunakan pedoman

observasi yang berisi sejumlah indikator perilaku

yang diamati.

2) Penilaian diri merupakan teknik penilaian dengan cara

meminta peserta didik untuk mengemukakan kelebihan

dan kekurangan dirinya dalam konteks pencapaian

kompetensi. Instrumen yang digunakan berupa lembar

penilaian diri.

3) Penilaian antarpeserta didik merupakan teknik

penilaian dengan cara meminta peserta didik untuk

saling menilai terkait dengan pencapaian kompetensi.

Instrumen yang digunakan berupa lembar penilaian

antarpeserta didik.

4) Jurnal merupakan catatan pendidik di dalam dan di

luar kelas yang berisi informasi hasil pengamatan

tentang kekuatan dan kelemahan peserta didik

yang berkaitan dengan sikap dan perilaku.

b. Penilaian Kompetensi Pengetahuan

Pendidik menilai kompetensi pengetahuan melalui

tes tulis, tes lisan, dan penugasan.

1) Instrumen tes tulis berupa soal pilihan ganda,

isian, jawaban singkat, benar-salah, menjodohkan,

dan uraian Instrumen uraian dilengkapi pedoman

penskoran.

2) Instrumen tes lisan berupa daftar pertanyaan.

Page 101: arsip saja

3) Instrumen penugasan berupa pekerjaan rumah

dan/atau projek yang dikerjakan secara individu

atau kelompok sesuai dengan karakteristik tugas.

c. Penilaian Kompetensi Keterampilan

Pendidik menilai kompetensi keterampilan melalui

penilaian kinerja, yaitu penilaian yang menuntut

peserta didik mendemonstrasikan suatu kompetensi

tertentu dengan menggunakan tes praktik, projek, dan

penilaian portofolio. Instrumen yang digunakan berupa

daftar cek atau skala penilaian (rating scale) yang

dilengkapi rubrik.

1) Tes praktik adalah penilaian yang menuntut

respon berupa keterampilan melakukan suatu

aktivitas atau perilaku sesuai dengan tuntutan

kompetensi.

2) Projek adalah tugas-tugas belajar (learning tasks)

yang meliputi kegiatan perancangan, pelaksanaan,

dan pelaporan secara tertulis maupun lisan dalam

waktu tertentu.

3) Penilaian portofolio adalah penilaian yang

dilakukan dengan cara menilai kumpulan seluruh

karya peserta didik dalam bidang tertentu yang

bersifat reflektif-integratif untuk mengetahui

minat, perkembangan, prestasi, dan/atau

kreativitas peserta didik dalam kurun waktu

tertentu. Karya tersebut dapat berbentuk tindakan

nyata yang mencerminkan kepedulian peserta didik

Page 102: arsip saja

terhadap lingkungannya. Instrumen penilaian harus

memenuhi persyaratan:

a) substansi yang merepresentasikan kompetensi yang

dinilai;

b) konstruksi yang memenuhi persyaratan teknis

sesuai dengan bentuk instrumen yang digunakan; dan

c) penggunaan bahasa yang baik dan benar serta

komunikatif sesuai dengan tingkat perkembangan

peserta didik.

BAB V

MANAJEMEN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

A. Mempersiapkan Guru untuk Pendidikan Multikultural

Page 103: arsip saja

Tujuan pendidikan nasional sebagaimana tertuang dalam

Undang-undang sisdiknas No. 20 Tahun 2003 adalah Pendidikan

nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk

watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya

potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan

bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,

berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara

yang demokratis serta bertanggung jawab.

Untuk mencapai tujuan tersebut maka salah satu faktor

pendukungnya adalah ketersediaan sumber daya manusia (tenaga

pendidik) yang unggul. Dalam UU No. 20 Tahun 2003 disebutkan

bahwa tenaga kependidikan bertugas melaksanakan administrasi,

pengelolaan, pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis

untuk menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan.

Sedangkan pendidik merupakan tenaga professional yang

bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran,

menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan

pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian

masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.

Dalam mewujudkan tenaga pendidik yang unggul itulah

terdapat undang-undang terkait dengan tenaga pendidik dan

kependidikan. Aturan mengenai tenaga pendidik dan

kependidikan terdapat dalam Undang-undang yaitu:

a. UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pasal 39-44 tentang

tenaga pendidik dan kependidikan.

b. UU Guru dan Dosen No. 14 Tahun 2005.

Page 104: arsip saja

c. UU Standar Nasional Pendidikan No. 19 tahun 2005,

dalam standar tenaga pendidik dan kependidikan.

d. Permendiknas No. 12 Tahun 2007 tentang Standar

Pengawas Sekolah/Madrasah. Di dalamnya terdapat dua

komponen inti yaitu kualifikasi dan kompetensi.

Kompetensi Kepribadian, Kompetensi Supervisi

Manajerial, Kompetensi Supervisi Akademik, Kompetensi

Evaluasi Pendidikan, Kompetensi Penelitian dan

Pengembangan, dan Kompetensi Sosial. Enam kompetensi

tersebut memiliki indicator yang berbeda sesuai

dengan jenjang pendidikan yang diampunya.

e. Permendiknas No. 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala

Sekolah/Madrasah. Di dalamnya terdapat dua hal, yaitu

kualifikasi dan kompetensi. Kompetensi di sini

dimaksudkan yaitu kompetensi kepribadian, Kompetensi

manajerial, Kompetensi kewirausahaan, Kompetensi

supervise, dan Kompetensi sosial.

f. Permendiknas No. 27 Tahun 2007 tentang Standar

Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor. Dalam

lampirannya memuat tentang kualifikasi dan

kompetensi. Kompetensi yang dimaksud adalah

Kompetensi Pedagogik, Kompetensi Kepribadian,

Kompetensi Sosial, dan Kompetensi Profesional.

g. Permendiknas No. 26 Tahun 2008 tentang Standar Tenaga

Laboratorium Sekolah/Madrasah. Di dalamnya memuat

tentang kewajiban sekolah/madrasah untuk menentukan

kepala laboratorium dan teknisi laboratorium untuk

Sekolah/Madrasah.

Page 105: arsip saja

h. Permendiknas No. 45 Tahun 2009 tentang Standar

Teknisi Sumber Belajar Pada Kursus dan Pelatihan. Di

dalamnya terdapat dua komponen yaitu kualifikasi dan

kompetensi.

i. Permendiknas No. 44 Tahun 2009 tentang Standar

Pengelola Pendidikan Pada Program Paket A, Paket B,

dan Paket C. Dalam lampiran undang-undang tersebut

terdapat kualifikasi dan kompetensi. Kompetensi yang

dimaksud adalah Kompetensi Kepribadian, Kompetensi

Sosial, dan Kompetensi Manajerial.

j. Permendiknas No. 43 Tahun 2009 tentang Standar Tenaga

Administrasi Pendidikan Pada Program Paket A, Paket

B, dan Paket C. Dalam lampiran undang-undang tersebut

terdapat kualifikasi dan kompetensi. Kompentensi yang

dimaksud adalah Kompetensi Kepribadian, Kompetensi

Sosial, dan Kompetensi Teknis.

k. Permendiknas No. 41 Tahun 2009 tentang Standar

Pembimbing Pada Kursus dan Pelatihan. Dalam lampiran

undang-undang tersebut memuat kualifikasi dan

kompetensi. Kompetensi yang dimaksud adalah

Kompetensi Pedagogik, Kompetensi Kepribadian,

Kompetensi Sosial, dan Kompetensi Profesional.

l. Permendiknas No. 40 Tahun 2009 tentang Standar

Penguji Pada Kursus dan Pelatihan. Dalam lampiran

undang-undang tersebut terdapat kualifikasi dan

kompetensi. Kompetensi yang dimaksud adalah

Kompetensi Pedagogik, Kompetensi Kepribadian,

Kompetensi Sosial, dan Kompetensi Profesional.

Page 106: arsip saja

Landasan di atas merupakan peluang peningkatan tenaga guru

agar dapat meningkatkan kompetensinya untuk menjalankan

pendidikan multikultural dikarenakan pendidikan multikultural

membutuhkan tenaga-tenaga pendidik yang memahami konsep

pendidikan multikultural yang memahami budaya lokal,

nasional, dan global. Menurut Tilaar (2012:945) di Indonesia

pada masa reformasi terjadi pola pendidikan guru yang

ekstrim, misalnya pendidikan guru dilakukan sesuai otonomi

daerah yang diselenggarakan daerah masing-masing. Tilaar

mengatakan bahwa yang dibutuhkan sebenarnya adalah tenaga

pendidik nasional yang tidak hanya mengetahui nilai-nilai

budaya komunitas nasional, tetapi juga harus mengetahui

nilai-nilai budaya lokal dimana tempat tenaga pendidik

tersebut berkarya.

Tilaar mengungkapkan strategi untuk peningkatan kualitas

guru adalah:

a. Profesi guru harus memiliki status yang sama dengan

profesi yang lain yang selalu membutuhkan pengembangan.

Guru profesional harus memenuhi syarat berikut: memiliki

program pendidikan yang jelas, kuat dan aktif dalam

program pendidikan secara umum, unggul, cerdas dan

antusias untuk membantu peserta didik.

b. Pendidik profesional harus mendapatkan sumber yang

cukup.

c. Profesionalisme guru harus diimbangi dengan peningkatan

renumerasi (Tilaar,2008 :142-143)

Guru merupakan garda terdepan dalam menjalankan pendidikan

multikultural. Olehkarena itu guru harus memahami konsep

Page 107: arsip saja

pendidikan multikultural hingga mampu menerapkannya secara

operasional di kelas. Namun untuk seorang guru yang memahami

pendidikan multikultural tersebut tentunya harus melalui

proses pendidikan yang diselenggarakan oleh lembaga

pendidikan tenaga keguruan.

Apa yang disampaikan oleh Zubaedi (2005: 74) berikut

mencerminkan sebuah pelaksanaan operasional pendidikan

multikultural di dalam kelas.

“...ketika seorang guru mengajarkan sebuah materikeilmuan, ia perlu memasukkan nilai dan tokoh dari budayalain agar siswa mengerti bahwa dalam ilmu itu dikembangkandalam tiap budaya. Jika memberi contoh ilmuwan dan hasilteknologi, ia perlu juga mengambil berbagai budaya danlatar belakang budaya masing-masing, termasuk jender.Kesamaan dan perbedaan antar budaya perlu dijelaskan dandimengerti. Siswa dibantu untuk kian mengerti nilai budayalain, menerima dan menghargainya. Misalnya, dalammengajarkan makanan, pakaian, cara hidup, bukan hanyadijelaskan dari budayanya sendiri, tetapi juga yang lain.”

Jika dilihat apa yang disampaikan oleh Zubaedi di atas,

bahwa sebenarnya pendidikan multikultural tidaklah sulit.

Banyak materi yang dapat menjadi sumber pembelajaran

pendidikan multikultural. Hanya saja untuk menjalankan itu

semua dibutuhkan seorang guru yang open minded dan kretif,

yang terpenting adalah guru tersebut tidak ingin menjadikan

peserta didik sesuai ideologi yang dianutnya. Jika ini

dilakukan oleh guru, maka apa yang disampaikan oleh Paulo

Freire dalam bukunya “Opresed Pedagogy” mengenai guru hanya akan

mereproduksi model dirinya sedniri, atau guru hanya

melahirkan penindas baru akan terjadi.

Page 108: arsip saja

Pentingnya peran guru dalam pendidikan multikultural. Maka

lembaga pendidikan tenaga kependidikan merupakan lembaga yang

bertanggung jawab untuk mempersipakan tenaga guru yang handal

dalam menerapkan pendidikan multikultural.

B. Setting Sekolah/Madrasah untuk Pendidikan Multikultural

Menjalankan pendidikan multikultural maka juga harus

membicarakan sekolah sebagai institusi. Mengenai sekolah ini

ada sebuah kutipan yang mungkin penting untuk direnungkan

dari buku yang berjudul “Teaching as Subversive Activity” yang ditulis

oleh Neil Postman dan Charles Weingartner (1971) yang sudah

diterjemahkan dengan judul “Mengajar sebagai Aktivitas

Subversif” (2001:xvii).

“Sebuah institusi yang kita sebut ‘sekolah’ adalah satuinstitusi yang kita maksudkan untuk tujuan seperti di atasdan karena itulah kita menciptakannya. Apabila hal inidirasa tidak relevan sebagaimana Marshall McLuhanmengatakannya, apabila sekolah ini ternyata memberibenteng kepada anak-anak sehingga mereka terpisah darirealitas, seperti yang dikatakan oleh oleh Norbert Wiener;apabila sekolah ternyata mengajarkan kekunoan, sepertiyang dikatakan oleh John Gardner; apabila sekolah tidakmengembangkan kecerdasan seperti yang dikatakan olehJerome Bruner; apabila ternyata sekolah itu didaarkan padarasa takut, seperti yang dikatakan oleh John Holt; apabilaternyata sekolah itu menghilangkan peningkatan proses-proses pebelajaran yang penting, seperti apa yangdikatakan oleh Carl Rogers; apabila ternyata sekolah itumenyebabkan keterasingan, sebagaimana yang dikatakan olehPaul Goodman; apabila ternyata sekolah itu menghukumkretivitas dan interdependensi, seperti yang telahdikatakan oleh Edgar Friedenberg; pendek kata apabilaternyata sekolah itu tidak melakukan apa yang seharusnyadilakukan, maka sekolah itu bisa diubah; bahkan harusdiubah.”

Page 109: arsip saja

Dalam konteks pendidikan multikultural, maka kutipan dari

Neil Postman tersebut dapat ditambahakan dengan kalimat

“Apabila ternyata sekolah itu tidak mengajarkan pendidikan multikultural, maka

sekolah itu pasti bisa dirubah untuk menerapkan pendidikan multikultural.”

Ketika berbicara pendidikan multikultural dalam kerangka

persekolahan (schooling) maka sudah bersifat praktis dalam

mentransmisi apa yang diinginkan oleh pendidikan (education).

Menurut Daoed Joesoef (2014:62) persekolahan adalah bentuk

isntitusional dari pendidikan yang berusaha, karena resmi

ditugaskan oleh pendidikan, menetapkan bentuk-bentuk yang

relevan dari nilai-nilai aneka pengetahuan, keterampilan,

seni, norma, dan sebagainya serta mentransmit semua itu

kepada anak didik. Dunia persekolahan berkewajiban untuk

melayani peserta didik.

Sekolah adalah kata kunci dalam menjalankan pendidikan

multikultural, olehkarena itu prinsip-prinsip yang ada di

sekolah harus seirama dengan pendidikan multikultural,

termasuk segala kebijakan yang berkenaan dengan pendidikan

multikultural yang dirumuskan oleh pengambil kebijakan.

Sebuah contoh kongkrit pelaksanaan pendidikan multikultural

di sekolah disampaika oleh Romanowski (2002) berikut:

“.....Juga harus menumbuhkan kepekaan terhadap perbedaanbudaya, di antaranya mencakup pakaian, musik dan makanankesukaan. Selain itu, juga memberikan kebebasan bagi anakdalam merayakan hari-hari besar umat beragama sertamemperkokoh sikap anak agar merasa butuh terlibat dalampengambilan keputusan secara demokratis.”

Page 110: arsip saja

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Romanowski

(2002) mengenai pendidikan multikulturalm bahwa kunci utama

dalam pendidikan multikultural adalah adanya settingan budaya

toleransi di sekolah. Menurut Fernando Savater bahwa sikap

toleransi yang dikembangkan di sekolah adalah sikap kewargaan

yang aktif, bukan sikap toleransi yang spontan.

Sekolah merupakan pusat kebudayaan yang menekankan

pentingnya sekolah sebagai agen pengembangan individu untuk

menjadi anggota masyarakat yang berbudaya (Prayitno,

2011:126). Prayitno yang mengajukan Sekolah sebagai Pusat

Kebudayaan memiliki garis besar sebagai berikut:

1. Sekolah menyiapkan warga masyarakat.

2. Sekolah mengolah berbagai unsur budaya.

3. Sekolah membersihkan/menormalisasi kondisi menyimpang

4. Anti kekerasan dalam pendidikan

5. Kemitraan sekolah dan masyarakat.

Mantan Menteri Pendidikan, Malik Fadjar pernah mengatakan

bahwa “Madrasah adalah madrasah”, menurut Tilaar (2004) maksud

dari pernyataan tersebut adalah madrasah mempunyai visi,

misi, dan karakteristik yang sangat khas di dalam masyarakat

dan bangsa Indonesia baik dilihat dari segi kebudayaan,

pendidikan, politik, dan ekonomi. Suasana lembaga madrasah

memiliki ciri khas sebagai berikut. Dengan suasana tersebut

akan mempermudah untuk menjalankan pendidikan multikultural

1. Perwujudan nilai-nilai keislaman di dalam keseluruhan

kehidupan lembaga madrasah.

2. Kehidupan moral yang berkualitas.

Page 111: arsip saja

3. Manajemen yang profesional, terbuka, dan berperan aktif

dalam masyarakat (Tilaar, 2004:179)

Salamah (2013) mengatakan bahwa disekolah perlu dkembangkan

Pradigma Dialogis-Persuasif yang lebih mengedepankan dialog

dan cara-cara damai dalam melihat perselisihan dan perbedaan

pemahaman keagmaan dari pada melakukan tindakan-tondakan

fisik seperti teror, perang, dan bentuk kekerasan lainnya.

Paradigma kontekstual berarti menerapkan cara berfikir kritis

dalam memahami teks-teks keagamaan. Paradigma keagamaan yang

substantif berarti lebih mementingkan dan menerapkan nilai-

nialai agama dari pada hanya melihat dan mengagungkan simbol-

simbol keagamaan. Sedangkan peradigma pemahaman keagamaan

aktif sosial berati agama tidak hanya menjadi alat pemenuhan

kebutuhan rohani secara pribadi saja. Akan tetapi yang

terpenting adalah membangun kebersamaan dan solidaritas bagi

seluruh manusia melalui aksi-aksi sosial yang nyata yang

dapat meningkatkan kesejahteraan umat manusia.

C. Setting Kelas untuk Pendidikan Multikultural

Zubaedi (2005: 77) dalam buku “Pendidikan Berbasis Masyarakat:

Upaya Menawarkan Solusi terhadap Berbagai Problem Sosial” dalam setting

kelas untuk tujuan pendidikan multikultural dapat diatur

dengan strategi pendekatan pembelajaran koperatif. “Jika

konsisten berpegang paradigma pendidikan multikultural, maka seorang

pendidika dituntut untuk mau dan mampu menerapkan strategi pembelajaran

kooperatif.” Kooperatif learning digunakan dalam seting kelas

dikarenakan dalam pergaulan sosial dengan para siswa yang

Page 112: arsip saja

memiliki berbagai sifat yang beragam serta bisa menciptaan

suasana belajar yang menyenangkan.

Sebuah setingan kelas dapat dikatakan kooperatif learning

jika memliki lima ciri berikut:

1. Adanya positive interdependence atau sikap saling

ketergantungan. Anggota kelompok menjalankan peran

sebagai pembahas sebuah topik diskusi, penanggap dan

pendukung hingga mencapai konsensus.

2. Adanya face to face pro motive interaction atau adanya interaksi

tatap muka yang membangun. Para siswa berdiskusi,

mengajar dan menjelaskan kepada siswa lain dengan cara

membangun, seperti memberikan dorongan, dan saling

membantu siswa dalam belajar.

3. Adanya individual accountability atau pertanggngjawaban secara

individual. Para siswa dinilai secara individual.

Langkah ini untuk meyakinkan bahwa masing-masing ana

telah bekerja sesuai bidang pekerjaan yang menjad

tugasnya.

4. Social skills atau keterampilan sosial yang dibutuhkan dalam

bekerja dengan yang lain, seperti kepemimpinan,

mengambil keputusan, membangun kepercayaan, komunikasi

dan keterampilan manajemen konflik.

5. Groups process their effectiveness dimana masing-masing kelompok

mendiskusikan kemajuan mereka dan memberikn masukan

sehingga masing-masing bisa meningkatkan diri (Zubaedi,

2005L 77-78).

Page 113: arsip saja

Melalui pengaturan kelas dengan strategi cooperative learning

maka akan mendorong anak untuk saling belajar segi positif

dari pihak lain. diharapkan dari pengaturan seperti ini akan

terbentuk sikap toleransi, menghormati, dan saling memahami.

Dan akan tertanam prinsip-prinsip atau nilai-nilai yang

menjadi misi pendidikan multikultural.

Namun hal terpenting dalam menjalankan pendidikan

multikultural, adalah pihak sekolah dan guru jangan

konserfatif dalam pembelajaran yang hanya dilakukan di kelas.

Artinya guru dan sekolah harus jeli untuk melihat setingan di

luar kelas yang akan dapat memberikan khasanah berbeda dan

lebih bermakna dalam menjalankan pendidikan multikultural.

Misalnya dengan melakukan kunjungan-kunjungan dari kelompok

lain yang memiliki nilai-nilai atau budaya yang berbeda.

Sehingga memberikan ruang luas kepada peserta didik untuk

mengobservasi dan merasakan langsung apa yang dimaksud dengan

keberagaman.

Page 114: arsip saja

BAB VI

KURIKULUM PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

A. Pendidikan Multikultural untuk Kerukunan Umat Beragama

Dalam menjalankan pendidikan multikultural, sangatlah

penting untuk mempelajari kembali empat pilar pendidikan

universal yang telah dirancang oleh Perserikatan Bangsa-

Bangsa dalam hal ini adalah UNESCO. Jacques Delors dalam

Learning: The Treasure Within menguraikan konsep tersebut sebagai

berikut: Learning to Know (belajar untuk mengetahui), Learning to

Do (belajar untuk berbuat), Learning to Be (belajar untuk menjadi

diri sendiri), dan Learning to live together (belajar untuk hidup

Page 115: arsip saja

bersama). Dalam kontek pendidikan multikultural, maka empat

prinsip pendidikan universal tersebut dikontekstualisasikan

dengan apa yang dibutuhkan dalam pendidikan multikultural.

Learning to Know (belajar untuk mengetahui), menekankan pada

bahwa memperoleh pengetahuan merupakan sebuah proses yang

tidak boleh berakhir namun akan terus diperkaya dalam

berbagai bentuk pengalaman. Pada prinsip ini akan membuat

peserta didik dapat memahami realitas dan dapat bersikap

kritis terhadap realitas tersebut.

Learning to Do (belajar untuk berbuat) bahwa belajar haruslah

dapat mempraktikannya dan tida terhenti dalam pengetahuan.

Dalam prisnip ini peserta didik dapat menjalankan apa yang

dipelajarinya yang dapat bermanfaat bagi dirinya dan

masyarakat. Apakah hal yang berkenaan dengan pekerjaan, atau

bisa juga dalam konteks pendidikan multikutural, mereka dapat

mempraktikannya untuk dapat hidup harmonis dari berbagai

latar belakang berbeda dari orang atau lingkungannya.

Learning to Be (belajar untuk menjadi diri sendiri),bahwa

pendidikan hendaknya berkontribusi dalam mewujudkan individu

ke arah yang lebih baik. Pendidikan harus dapat mengasah daya

intelektual, estetika, spiritualisme, humanisme yang kelak

akan menjadikannya sosok yang berkarakter universal. Dalam

kontek pendidikan multikultutral pendidikan diharapkan dapat

menjadikan pribadi yang humanis. Pendidikan diharapkan dapat

membentuk generasi muda yang disatu sisi bisa menjadi

universalis dalam memandang kemajemukan, namun disisi lain

juga mampu menjadi spesialis, dimana ia terampil dalam

bekerja, dan tidak tercerabut dari akar dan budayanya.

Page 116: arsip saja

Learning to live together (belajar untuk hidup

bersama). ,Generasi yang telah mengalami pendidikan yang

telah mampu mengenal siapa dirinya dan masyarakatnya, maka

pada tahap berikutnya mereka diharapkan dapat mengenal dan

memahami apa saja yang ada di sekitarnya terutama

masyarakatnya. Merek diharapkan dapat bersikap

interdependensi atau tidak asosial, generasi muda justru

dapat lebih bersinergi dalam kehadiran masyarakata atau

individu yang memang berbeda secara kodratnya. Dengan

prsinsip keempat ini maka segala macam perbedaan, terutama

perbedaan agama tidaklah dapat menghalangi seseorang untuk

dapat hidup berdampingan dan bekerjasama dalam melakukan hal

konstruktif dan produktif bagi masyarakat, negara, bahkan

dunia.

Dalam menyikapi perbedaan agama yang sering menjadi sumber

konflik di Indonesia, maka sangatlah penting untuk

merenungkan kembali dari apa yang pernah disampaikan Bapak

Pendiri Bangsa, Soekarno berikut: “Mesik pun agamanya berlain-

lainan, meskipun warna kulit nya berlain-lainan asal ia tadinya, yaitu gerombolan

manusia itu, mengalami bertahun-tahun, berpuluh-puluh, baratus-ratus tahun

mengalami nasib yang sama, maka karena mengalami nasib yang sama itu akan

tumbuh persatuan watak dan persatuan watak inilah yang menentukan sifat

bangsa.” Melalui sikapnya ini, Soekarno ingin menyampaikan

pandangannya bahwa semestinya sikappersatuan itu tidak hanya

didasarkan hanya pada sama agama. Pandangan Soekarno ini pada

dasarnya konsep Otto Bauer “Bangsa adalah satu persamaan, satu

persatuan karakter, watak, yang persatuanatau karakter ini tumbuh, lahir, terjadi

karena persatuan pengalaman.”

Page 117: arsip saja

Nurcholish Madjid berpandangan bahwa pada dasarnya paham

kemajemukan (multikultural) masyarakat atau pluralisme tidak

cukup hanya dengan sikap mengakui dan menerima kenyataan

bahwa masyarakat, bersifat majemuk, tapi—yang lebih mendasar—

harus disertai dengan sikap tulus menerima kenyataan

kemajemukan itu sebagai bernilai positif, dan merupakan

rahmat.

Perspektif teologi Islam tentang kerukunan hidup antar

agama dan konsekwensinya, antar umat beragama-berkaitan erat

dengan doktrin Islam tentang hubungan antara sesama manusia

dan hubungan antara Islam dengan agama-agama lain (Azra,

1999: 31-32). Dalam sejarah Islam, secara jelas dapat dilihat

bagaimana Islam dapat menjaga kerukunan dengan non muslim.

Budhy Munawar Rachman (2011) menyatakan bahwa pandangan-

pandangan keagamaan yang memberikan ruang kepada toleransi

tampaknya semakin penting disosialisasikan, agar apa yang

kita sebut “Pentingnya Menghubungkan Tali Kasih Sayang Antar

Umat Beragama” menjadi sesuatu yang mungkin dilakukan tanpa

ada stigma atau hambatan teologis. Padahal dalam surah Ali

Imran (Q.S. 3:64), Alquran jelas-jelas menganjurkan kita

mencari titik temu (kalimat-un sawa’).

Dalam konteks Indonesia, ketika berbicara pendidikan

multikultural, hal pertama yang paling peka dan rawan konflik

antar umat beragama adalah masalah agama daripada

permasalahan Ras sebagaimana yang menjadi masalah besar di

Eropa atau pun di Amerika. Di Indonesia konflik-konflik

sosial lebih disebabkan permasalahan agama. Olehkarena itu

konsep pendidikan agama yang diaplikaasikan di sekolah harus

Page 118: arsip saja

dapat mendukung apa yang menjadi visi dan misi pendidikan

multikultural.

Frans Magnis Suseno (2004) menegaskan bahwa pada

kenyataannya, dalam masyarakat terdapat beranekaragam agama

atau keyakinan yang dianut setiap orang atau kelompok orang.

Menarik apa yang ditulis SETARA Institute (2010: 207) dalam

laporan penelitiannya pada tahun 2010, berikut kutipannya.

“Masyarakat atau penduduk Indonesia tidak hanya terdiri atas parapenganut agama yang berasal dari Timur Tengah seperti Yahudi, Kristen atauKatolik, dan Islam. Juga bukan hanya terdiri atas para penganut agama yangberasal dari Timur Tengah seperti Yahudi, Kristen atau Katolik, dan Islam.Juga bukan hanya dari wilayah Asia seperti Hindu, Budha, Konghucu, ataukepercayaan dari Tiongkok seperti Falun Gong. Masyarakat Indonesiamemiliki sistem kepercayaan atau agamanya sendiri, seperti Sunda Wiwitan(pada masyarakat Jawa Barat dan Banten), Kejawen (Jawa Tengah dan JawaTimur), Parmalim (Batak Toba), Tonaas Walian (Minahasa, Sulawesi Utara),Tolottang (Sulawesi Selatan), Wetu Telu (Lombok, NTB), Naurus (Pulau Seram,Maluku). Ada juga kepercayaan atau agama lokal sebagian pendudukMentawai Arat Bulungan dan Pagureikan. Juga penduduk Papua terutamayang berada di pedalaman memiliki agama/kepercayaan dan tradisikulturalnya sendiri.

Berdasarkan kutipan tersebut dapat dilihat kondisi umat

beragama yang begitu beragam. Sehingga tidak bisa dipungkiri

lagi bahwa konsep multikultural harus dijalankan dan

diinternaliasi dalam pendidikan multikultural.

Djohar (2007) menawarkan perubahan Pendidikan Agama

menjadi Pendidikan Keagamaan sebagai solusi bagi kerukunan

umat beragama. Berikut kutipannya.

“Pendidikan Agama diubah menjadi Pendidikan Keagamaan. Pendidikankeagamaan dimaksudkan adalah pendidikan yang mengkaji masalahkeagamaan di negara kita, atau paham agama umumnya. Mengapa adaagama? Macam-macam agama di Indonesia? Perbedaan dasarnya apa?Kesamaan dasarnya apa? Dan seterusnya. Melalui kajian pendidikan

Page 119: arsip saja

keagamaan, maka diharapkan siswa memperoleh pemahaman tentangberbagai macam agama di Indonesia, dengan demikian diharapkan memilikikemampuan untuk menyikapinya. Kesulitannya model ini ialah dalampenerapannya, ialah bila gurunya kurang memiliki sikap objektif ataumemihak kepada agamanya sendiri. Bila hal ini terjadi dapat merugikan anakyang memiliki keakinan agama lain.”

Jika dilihat apa yang ditawarkan oleh Djohar tersebut,

sebenarnya tidak begitu berbeda dengan pendidikan

multikultural, hanya saja pendidikan keagamaan yang

ditawarkan oleh Djohar tersebut lebih fokus pada agama saja,

sementara pendidikan multikultural melihat dalam banyak

aspek.

Mewujudkan persaudaraan— atau dalam bahasa agama disebut

silat-u ‘l-rahm (saling memberi kasih-sayang atau saling cinta)—

adalah kewajiban setiap umat beragama. Biasanya istilah ini

dipakai dalam hubungan keluarga, maupun kelompok. Tapi bisa

juga diperluas dalam bingkai kemanusiaan. Dasar silaturahmi

adalah persaudaraan (ukhuwwah), yang biasanya dipakai dalam

konteks persaudaraan sesama orang beriman (ukhuwwah

islamiyyah), merentang kepada persaudaraan sesama (Rachman,

2011)

Menurut Budhy Munawar Rachman (2011) dalam artikel Basis

Teologi Persaudaraan Agama bahwa ayat Alquran surah al-Hujurat

(49:10-12) menggambarkan segi prinsipil dan teknis

pelaksanaan persaudaraan ini. Ayat panjang ini menggambarkan

bahwa persaudaraan di antara orang-orang yang beriman secara

teologis adalah idaman terbesar umat Islam. Tetapi menurut

Alquran itu hanya bisa dicapai jika etika pergaulan

antarmanusia diwujudkan dengan tidak saling memperolok,

Page 120: arsip saja

menertawakan, berprasangka, memata-matai, dan saling

menggunjing. Dalam ayat di atas juga digambarkan bahwa orang

beriman itu bersaudara.

Menurut Nurcholish Madjid (dalam Ensiklopedi NM, 2012:

1495) tinjauan kembali masalah kerukunan umat beragama akan

lengkap sempurna jika dilakukan dari dua segi: pertama segi

ajaran agama yang merupakan pangkal keharusankeharusan; dan

kedua segi sosial historis yang merupakan wadah kenyataan-

kenyataan. Segi yang pertama mungkin tidak terlalu sulit.

Asalkan kita memiliki peranti yang diperlukan untuk melihat

dan mengapresiasi kembali khazanah keagamaan secara luas dan

mendalam. Kesulitannya ialah faktor penerimaannya oleh

masyarakat umum, khususnya mereka yang telah terkungkung oleh

stereotipe-stereotipe keagamaan yang dapat disebut sebagai

kristalisasi dari pengalaman getir-pahit kesenjangan sosial

atau semata-mata oleh obskurantisme (ketidakpedulian

intelektual), bahkan mungkin hanya karena kesenjangan dalam

bahan bacaan (Ensiklopedi NM, 2012: 1495).

Kerukunan umat beragama terpenting adalah adanay

keteladanan dari para tokoh agama dalam memberikan contoh

hidup toleransi dan menghargai perbedaan. Ketika para tokoh

memberi contoh keharmonisan, maka hal itu akan dapat

memberikan teladan bagi generasi uda dan para pelajar atau

pun mahasiswa di lembaga pendidikan.

Kasus intoleran pernah dilakukan tokoh agama, dalam hal

ini Paus Benedictus XVI. Pernyataanrsial kontroversial

pemimpin umat Katolik itu disampaikannya pada September 2006

di Regensburg, Jerman. Benedictus mengutip ucapan Kaisar

Page 121: arsip saja

Bizantium dari abad keempat belas mengenai Nabi Muhammad:

“Tunjukkan kepadaku hal baru yang dibawa Muhammad, dan akan kita jumpai

hal-hal yang jahat dan tidak manusiawi belaka, seperti perintahnya untuk

menyebarkan ajarannya dengan pedang.” (sebagaimana dikutip dalam

buku John Esposito, Masa Depan Islam: antara Tantangan Kemajemukan

dan Benturan dengan Barat, Penerbit Mizan, 2010: 280-281).

Pernyataan Benedictus tersebut menyebabkan banyak

kekecewaan para tokoh lintas agama. Esposito 2010: 280-283)

mencatat juga tentang tiga bulan setelah pernyataan tersebut

delapan ulama menyatakan keprihatinannya. Kemudian pada

tanggal 13 Oktober 2007, sejumlah pemimpin Muslim (mufti,

akademisi, intelektual, menteri, penulis buku) dari seluruh

dunia menuliskan surat terbuka “Satu Kata Bersama Antara Kami

dan Anda”, kepada para pemimpin gereja diseluruh dunia.

Esposito menyampaikan maksud surat terbuka tersebut dalam

kutipan berikut:

“Lebih dari setengah populasi dunia terdiri dari umatMuslim dan Kristen. Tanpa perdamaian dan keadilan diantara dua masyarakat beragama ini, tidak mungkinperdamaian dunia yang penuh arti. Masa depan duniabergantung pada perdamian antara Muslim dan Kristen.

Batu pijakan perdamian dan saling pengertian ini sudahada, yaitu bagian dari prinsip kedua agama: kecintaankepada Tuhan Yang Maha Esa, dan kecintaan pada sesama.Prinsip ini berkali-kali dijumpai dalam kitab suci Islamdan Kristen. Dengan demikian, Keesaan Tuhan, dan keharusanmencintai sesama menjadi landasan bersama umat Islam danKristen.”

Surat terbuka yang disampaikan oleh para tokoh dunia dari

berbagai lintas ini mencerminkan kekhawatiran akan terjadinya

konflik berdasarkan agama yang dipicu oleh tokoh agama. Para

Page 122: arsip saja

tokoh dunia menyadari bahwa Islam dan Kristen merupakan dua

agama besar yang seharusnya memberikan kontribusi bagi

perdamaian dunia, sehingga dibutuhkan kerukunan dua agam

besar ini. Tentunya apa yang disampaikan para tokoh dunia

ini bersifat kasuistik yang kebetulan pada saat itu adalah

hubungan Islam dan Kristen. Pada kenyataannya semestinya

setiap agama di seluruh dunia, terutama tokoh agamanya jangan

memantik konflik yang akan berdampak pada kehidupan dan hak

hidup manusia. Sebagaimana ditekankan dalam “satu Kata

Bersama” berikut:

“Dengan persenjataan mengerikan di dunia modern ini;

dengan umat Muslim dan Kristen saling berinteraksi di

mana-mana tidak seperti di masa lalu, tak satu pun pihak

yang dapat secara penuh memenangi konflik antara lebih

dari setengah penduduk dunia. Maka dari itu, masa depan

bersama menjadi taruhannya. Kelangsungan dunia itu sendiri

mungkin dipertaruhkan.”

Surat terbuka tokoh-tokoh dunia tersebut segera disikapi

oleh para pemimpin dan cendekiawan Kristen di seluruh dunia.

Uskup Agung Canterbury, Paus Benedictus XVI, Patriarkat

Ortodoks Alexei II dari Rusia, pimpinan Federasi Dunia

Lutheran, dan banyak lainnya mengakui pentingnya surat

terbuka ini (Esposito, 2010: 283). Sedangkan di Amerika,

lebih dari tiga ratus cendekiawan serta pemimpin arus utama

dan evangelis Amerika terkemuka menanggapi dalam sebuah surat

terbuka yang mengesahkan pernyataan,”Bersama-sama Mencintai

Page 123: arsip saja

Tuhan dan Sesama”. Pernyataan bersama ini dipublikasikan di

New Yor Times dan surat kabar lainnya.

Kasus intoleran yang dipicu oleh tokoh agam juga terjadi

di Myanmar dalam periode waktu yang lama. Hingga memuncaknya

pada tahun 2015 ketika terjadi eksodus pengungssi dari etnis

Rohingya yang ada di Myanmar ke berbagai negara, salah

satunya adalah mereka menuju Indonesia untuk meminta

prlindungan. Etnis Rohingnya mencari perlindungan karena

konflik sektarian yang dipicu oleh tokoh agama Budhadi

Myanmar yang menaruh kecurigaan terhadap etnis Rohingya yang

beragama Islam akan menggeser agama Budha dengan asumsinya

sebagaimana yang pernah terjadi di Indonesia. Pernyataan-

pernyataan profokativ tokoh agama udha di Myanmar tersebut

membuat terjadinya pemberangusan etnis (genocide) yang

didasarkan perbedaan agama.

Jika tidak adanya upaya untuk menderadikalisasi

kefanatisan buta terhadap agama tersebut di sleuruh dunia,

khsuusnya di Indonesia. Maka dapat dipastikan agama terus

akan menjadi ladang pertumpaha darah yang didasarkan pada

perjuangan membela agama, sebagaimana yang terjadi di Syria,

Irak, dimana konflik sektarian telah menghilangkan ribuan

nyawa tidak bersalah.

Perdamaian yang dapat diwujudkan dengan adanya pemahaman

multikulturalisme secara langsung maupun tidak langsung akan

membangun masyarakat sipil yang akan berdampak pada

“kelanggengan” pemerintah dalam menjalankan program

pembangunan. Penelitian yang dilakukan oleh Hans Antlov dan

Page 124: arsip saja

Anna Wetterberg “Masyarakat Sipil, Akuntabilitas Publik, dan Masa Depan

Pemerintahan daerah” dalam Prisma,Vol.29, Juli 2010, bahwa

pengalaman organisasi akar rumput di Indonesia atas

partisipasi masyarakat dan akuntabilitas antara negara dan

aktor masyarakat sipil telah mengonsolidasi desentralisasi

dan demokratisasi dan menghasilkan perkembangan yang positif.

Melalui pendidikan diharapkan akan terjadi social chemistry

atau persenyawaan sosial. Hal ini dinyatakan oleh Sosiolog

Ulrich yang menyatakan bahwa melalui pendidikan semestinya

akan mampu meleburkan padangan-pandangan sempit untuk menjadi

pandangan yang luas dalam kontek kebersamaan. Sehingga akan

tercipata sebuah konsesnus mengenai pentingnya untuk hidup

bersama. Tidak lagi tersekat-sekat oleh pandangan radikal

sebuah nilai atau ideologi yang diperoleh di sekolah atau pun

ajaran agama. Olehkarena itu tanpa peran pendidikan di

sekolah, makaperjuangan menghilangkan konflik sektarian akan

menjadi sangat sulit. Sekolah harus memberi kontribusi bahwa

kerukunan umat beragama harus terus dijaga sampai kapan pun.

B. Pendidikan Multikultural untuk Mencegah Ekstrimisme

“Tidak ada istilah serumit “terorisme”. Istilah

tersebut bukan sekadar istilah biasa, melainkan

wacana baru yang ramai diperbincangkan khalayak

dunia dan mempunyai implikasi besar bagi tatanan

politik global. Terorisme bukan sekadar diskursus,

akan tetapi sebuah gerakan global yang hinggap di

Page 125: arsip saja

mana pun dan kapan pun” tulis Zuhairi Misrawi (2011)

dalam kolom berjudul “Islam dan Terorisme” Ketika berbicara pendidikan multikultural, maka pasti akan

berhadap-hadapan dengan permasalahan benturan konsep dengan

apa yang dikatakan dengan ekstrimisme, fundamentalisme,

terorisme, dan radikalisme.

Sekarang ini, umat Islam merasakan adanya serangan baru

dunia Barat, melalui media pers, yang dikaitkan dengan apa

yang disebut “fundamentalisme Islam”. Jelas bahwa berbagai

gejala sosial-politik yang diungkap Barat sebagai gejala

fundamentalisme Islam, itu dipandang dan ditanggapi oleh

sebagianbesar umat Islam sebagai gangguan, jika bukan

kekacauan (Ensiklopedi NM, Jilid 1: 722).

Fundamentalisme adalah istilah yang dikaitkan kalangan

Barat dengan terjadinya Revolusi Iran pada tahun 1979, yang

memunculkan kekuatan Muslim Syi’ah radikal dan fanatik yang

siap mati melawan the great satan, Amerika Serikat (Azra, 1996:

107). Olehkarena itu istilah fundamentalisme ini relatif

baru, khususnya dalam dunia Islam. Sedangkan Ernest Gellner

(1992:2) mengatakan bahwa gagasan dasar fundamentalisme atau

integrisme3 adalah bahwa suatu agama tertentu dipegang kokoh

dalam bentuk literal (harfiah) dan bulat, tanpa kompromi,

pelunakan, reinterpretasi dan pengurangan.

Terorisme merupakan sejumlah tindakan kekerasan khususya

yang menyangkut dengan politik (political violence) justifiable dan

3 Integrisme adalah istilah Prancis yang mengacu kepada kelompok“tradisionalis” Katolik yang ingin mengintegrasikan seluruh kehidupan kedalam agama mereka; da sebaliknya, agama ke dalam seluruh aspekkehidupan.

Page 126: arsip saja

sebagian lagi unjustifiable. Kelompok unjustifiable inilah yang sering

disebut sebagai teror dan terorisme (Azra, 1996: 143). Political

violence yang terklasifikasi dalam justifiable merupakan perjuangan

politik, misalnya sebagaimana yang dilakukan oleh PLO dan

Hamas di Palestina. Walu pun terdapat beragam pandangan

mengenai apa yang terjadi pada negara-negara yang menuntut

kemerdekaan dari penjajahan. Sedangkan kekerasan politik

unjustifiable seperti yang dilakukan oleh ISIS di timur Tengah.

Terorisme sebagai sebuah paham memang berbeda

dengan kebanyakan paham yang tumbuh dan berkembang

di dunia, baik dulu maupun yang mutakhir. Terorisme

selalu identik dengan teror, kekerasan, ekstremitas,

dan intimidasi. Para pelakunya biasa disebut sebagai

teroris. Karena itu, terorisme sebagai paham yang

identik dengan teror seringkali menimbulkan

konsekuensi negatif bagi kemanusiaan. Terorisme

kerap menjatuhkan korban kemanusiaan dalam jumlah

yang tak terhitung (Mishrawi, 2011) Berdasarkan pengamatan Misrawi (2011) terorisme

diartikulasikan dalam tiga bentuk. Pertama, terorisme yang

bersifat personal. Aksi-aksi terorisme dilakukan perorangan.

Biasanya, dalam pengeboman bus seperti di Kairo merupakan

sebuah aksi personal. Pengeboman mal-mal dan pusat

perbelanjaan juga dapat dikategorikan sebagai terorisme yang

dilakukan secara personal.

Page 127: arsip saja

Kedua, terorisme yang bersifat kolektif. Para teroris

melakukannya secara terencana. Biasanya, terorisme semacam

ini dilembagakan dalam sebuah jaringan yang rapi. Yang sering

disebut-sebut sebagai terorisme dalam kategori ini adalah

Jaringan al-Qaeda. Sasaran terorisme dalam kategori ini

adalah simbol-simbol kekuasaan dan pusat-pusat perekonomian.

Ketiga, terorisme yang dilakukan baru, yang biasa disebut

dengan “terorisme (oleh) negara” (state terrorism).

Penggagasnya adalah Perdana Menteri Malaysia, Mahathir

Muhammad dalam hajatan OKI terakhir. Menurutnya, terorisme

yang dikerahkan negara, tidak kalah dahsyatnya dari terorisme

personal maupun kolektif. Kalau kedua bentuk terdahulu

dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi, terorisme yang

dilakukan sebuah negara dapat dilihat secara kasat mata.

Ketiga-tiganya mempunyai titik temu, yaitu sama-sama

mencari tumbal dan korban. Yang mencolok dalam terorisme

adalah “balas dendam”. Karenanya, terorisme identik dengan

kenekatan dan keterpanggilan untuk melawan secara serampangan

(Misrawi, 2011). Terorisme sebagai gerakan yang membawa

ambisi kebenaran, menggunakan pelbagai kendaraan. Ada yang

menggunakan kendaraan agama, politik dan ekonomi. Apapun

kendaraannya, terorisme menampilkan wataknya yang serba

hegemonik, anarkis, dan radikal. Inilah kesan yang bisa

ditangkap mengenai terorisme. Hampir seluruh gambarannya

buruk dan tidak manusiawi. Para teroris, biasanya melandaskan

pada kebutuhan untuk membangun sebuah menara yang disebut

“identitas yang tunggal”. Terorisme mengandaikan adanya

Page 128: arsip saja

“absolutisme”, baik dalam tataran suprastruktur maupun

struktur.

Sementara Nurcholish (dalam Ensiklopedi NM Jilid, 2012:

723) bahwa fundamentalisme merupakan gejala-gejala sosial-

psikologis sebagai akibat perubahan yang sangat cepat dapat

dengan mudah dimanipulasi untuk tujuan-tujuan tertentu. Hal

ini disebabkan karena gejala-gejala ini dengan sendirinya

diikuti perasaan kecewa, dendam, dan keinginan emosional

untuk melawan “kemapanan” (establishment). Kemapanan di sini

biasanya dianalogikan dengan pemerintah dan kelompok elite

pengusa ( ruling elite ).

May (1974: 277) membagi terorisme ke dalam dua bagian:

penguasa teror (regime of teror) dan cengkraman suasana teror

(siege terror). Regime of terror mengacu kepada terorisme untuk

melayani kekuasaan yang mapan sedangkan Siege teror mengacu

kepada terorisme untuk kepentingan gerakan-gerakan

revolusioner. Sedangkan Thornton sebagaimana dikutip oleh

Wilkinson (1974) membedakan empat jenis terorisme: kriminal4,

psikis5, perang6, dan politik.7

Berbeda dengan di Indonesia dalam penelitian SETARA

Institute (2010: 88) dalam beberapa tahun terakhir penyebab

utamanya bukanlah terletak pada adanya cita-cita-cita

penegakan syariat Islam. Berkembangnya terorisme di

4 Terorisme kriminal didefinisikan sebagai penggunaan teror secarasistematis untuk mencapai tujuan-tujuan material.5 Terorisme psikis mempunyai tujuan-tujuan mistik, keagamaan atau magis.6 Terorisme perang bertujuan melumpuhkan lawan, menghancurkan pertahanandan melumpuhkan kekuatan bertarung sehingga apat menghancurkannya.7 Terorisme politik secara umum didefinisikan sebagai penggunaan atauancaman kekerasan untuk mencapai tujuan-tujuan politik.

Page 129: arsip saja

Indonesia, menurut sebagian besar di latar belakangi oleh

ketidakadilan ekonomi dan ketidakadilan politik.

Sedangkan istilah radikal mengacu kepada gagasan dan

tindkan kelompok yang bergerak untuk menumbangkan tatanan

politik mapan; negara-negara atau rejim-rerjim yang Bertujuan

melemahkan otoritas politik dan legitimasi negara-negara dan

rejim-rejim lain; dan negara-negara yang berusaha

menyesuaikan atau mengubah hubungan-hubungan kekuasaan yang

ada dalam sistem internasional (Azra, 1996:147). Selanjutnya

Azra menjelaskan bahwa istilah radikalisme karenanya secara

intrinsik berkaitan dengan konsep tentang perubahan politik

dan sosial pada berbagai tingkatan.

Dalam konteks kekinian pasca Tragedi Menara Kembar di

Amerika, Islam selalu mendapat stigma negatif dari Dunia

Barat, seolah-olah apa saja yang bersumber dari ajaran Islam

merupakan terorisme. Salah satu ajaran Islam yang sering

menjadi sorotan sebagai ajaran teror dari Islam adalah konsep

jihad, yang melulu sering dimaknai dan ditafsirkan sebagai

perang suci bagi para pengkaji Islam dari Barat atau pun

masyarakat Barat. walau sejatinya konsep Jihad dalam Islam

bukan hanya perang angkat sejata. Berikut kutipan mengenai

Jihad yang dimaknai Perang Suci oleh Karen Amstrong (2011).

“Jihad berasal dari Bahasa Arab. Kata ini secara harfiah berarti “perjuangan”dan biasanya digunakan dalam Alqur’an sebagai kata kerja: kaum muslimdidorong untuk “berjuang secara perkasa di jalan Tuhan”. Gagasanperjuangan dan pencapaian ini demikian penting dalam Islam dan kata jihadselalu mempertahankan konotasi ini. Tetapi paling sering kata “perjuangan”ini mengacu pada perang yang terpaksa dkemudian hari, setelah maknanyadiperluas, kata ini menjadi bermakna “perang suci” dan dalam pengertian

Page 130: arsip saja

itulah kata ini didiskusikan pada pembahasan syariah, berabad-abad setelahMuhammad wafat.”

Namun Charles Kimbal dalam bukunya “Ketika Agama Jadi Bencana”

menyadari kekeliruan media Barat khususnya yang memaknai

Jihad sebagai Perang Suci.

“Secara literal, jihad berarti “berusaha” atau “berjuang di jalan Allah”. SemuaMulsim diperintahkan untuk ber-jihad. Istilah Perang Suci, yang banyakdigunakan media Barat dan di kalangan beberapa Muslim, hanyalah salahsatu bentuk jihad. Namun, penebarluasan ini bukanlah fokus utama bagiistilah yang syarat makna di sepanjang sejarah Islam ini. Kata-kataperingatan sangat penting bagi non-Muslim. Meskipun ada sejumlahekstrimis di kalangan Muslim yang menyerukan dan melakukan tindakantercela di bawah panji jihad, mereka hanya mewakili minoritas kecil dalamtubuh umat Islam..”

Hingga saat ini di dunia Barat, masih menganggap ajaran

jihad semata-mata hanyalah ajaran perang dan ajaran teror.

Disinilah pentingnya apa yang dianjurkan oleh Hans Kung

pentingnya untuk mempelajari ajaran-ajaran agama lain agar

dapat dipahami dan dapat menciptakan suasana dialog peradaban

sehingga tidak terjadi apa yang dikatakan oleh Hutington

mengenai benturan peradaban Barat dan Islam.

Tesis Huntington mengenai Clash of Civilization mendapat

perhatian banyak media, salah satunya adalah The Economist

yang menurunkan sebuah tulisan berikut.

“Permusuhan masa lalu dan kemarahan masa kini tidak perlumenjadi premis-premis silogisme yang harus berakhir denganpeperangan baru antara Islam dengan Barat. Kedua peradabanini memiliki lebih banyak kesamaan satu sama lain,dibandingkan yang dimiliki keduanya dengan dunia Konghucuatau Hindu, atau dengan sebagian besar koleksi budayaHuntington. Proposisi survei ini adalah bahwa tidak adaalasan yang dapat dibantah mengapa kaum Muslim danmasyarakat Barat tidak dapat hidup damai satu sama lain.

Page 131: arsip saja

Keduanya, baik kaum Muslim maupun masyarakat Barat, perlumenghadapi hal ini dengan akal sehat dan perlu mengkajikembali ide-ide mereka saat ini tentang dunia. Secarakhusus, kaum Muslim perlu mencari cara untuk menyesuaikankebiasaan-kebiasaan mereka dalam tiga persyaratan khususkehidupan modern (yakni, menghadapi perekonomian modern,menerima ide tentang kesetaraan seksual, dan belajarmenyerap prinsip demokrasi). Tidak ada kendala fatal bagihal itu; tidak ada hal-hal mendasar dalam kedua peradabantersebut [yakni, Muslim dan Barat—peny.] yang menyebabkanharmoni mustahil terwujud… Barat pun harus memberikankontribusi. Di satu sisi, melihat secara jernih apa yanghendak dicapai Eropa dan Amerika dalam hubungan merekadengan Islam. Di sisi lain, perubahan yang mungkin terjadidalam pandangan hidup orang Barat sendiri, suatu perubahanyang akan memperluas platform ide-ide bersama yang menjadilandasan pijak kedua peradaban [Muslim dan Barat—peny.]ini”8

The Economist mengemukakan anti tesis dari tesis

Huntington mengenai benturan Islam dan barat. The Economist

bukanlah hal mustahil Islam dan Barat bekerjasama.

Zayes Yasin, seorang ahli rekayasa biomedis dan mantan

ketua Harvard Islamic Society memicu protes terhadap pemaknaan

jihad di dunia Barat. hal ini disampaikannya ketika ia

berpidato dalam kelulusannya di Universitas Harvard, berikut

pidatonya yang menggugat dunia Barat yang memamaknai jihad

sebagai ekstrimisme.

“Jihad dalam tradisi Muslim menggambarkan suatu perjuangan untukmelakukan kebajikan. Ini sama sekali bukan pidato tentang jihad dalampengertian perang, atau jihad 11 , september, atau Israel dan Palestina, ataupolitik. saya ingin menggunakan ide perjuangan untuk menyatakan bahwakita sebagai lulusan Harvard, yang telah diberi rahmat yang luar biasa,memiliki tugas dan tanggung jawab kepada dunia untuk berjuang amelawanketidakadilan, dan berjuang demi keadilan sosial.”

8 The Fundamental Fear: Islam and the West,” survei dalam majalah The Economist, 6 Aguustus 1994.

Page 132: arsip saja

Zayed Yasin berpandangan bahwa pada tingkat yang paling

dasar, jihad adalah satu prjuangan terus menerus agar menjadi

orang yang baik dan bermoral, melakukan perbuatan baik untuk

orang lain dan bagi kemaslahatan masyarakat (Kimbal, 2011:

298).

Menyikapi permasalahan Islam Ekstrim, Yusuf Qardhawi dalam

bukunya “Islan “Ekstrem”: Analisis dan Pemecahannya” (1985:17)

menjelaskan bahwa dalam nash-nash Islam selalu menyeru kepada

sikap I’tidal (sikap tengah, moderasi), dan melarang sikap

berlebih-lebihan (ghuluw) atau ekstrim. Sikap moderat ini

menurut Qardhawi dapat dilihat dalam Alqur’an QS.5:77.

“Katakanlah: "Hai ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampauibatas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. dan janganlah kamumengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelumkedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan(manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus".

Setelah jelas kesesatan dan kekeliruan orang Yahudi serra

Nasrani, kedua kelompok Ahl al-Kitab itu diingatkan agar

tidak melampaui batas dalam beragama, termasuk melampaui

batas dalam keyakinan tentang elsa as. Dengan

mempertuhankannya, sebagaimana orang-orang Nasrani, atau

menuduhnya anak haram, sebagaimana orang Yahudi. Katakanlah:

"Hai Ahl al-Kitdb, Yahudi dan Nasrani,janganlah kamu berlebih-lebihan yakni

melampaui batas dalam agama kamu dengan cara tidak benar, antara

lain jangan memperruhankan elsa as. atau melecehkan beliau

(Shihab, 2009:209)

Page 133: arsip saja

Dan janganlah kamu berlaku seperti orang yang bersungguh-

sungguh mengikuti hawa nafiu orangorangyang telah sesat dahulu sebelum

kedatangan Nabi Muhammad saw. Dan mereka tidak sekadar sesat

tetapi juga telah menyesatkan banyak orang, dan mereka sesat dari jalan

yang lurus setelah kedatangan Nabi Muhammad saw. Kata taghlulkamu

berlebih-lebihan digunakan juga dalam arti meneliti hakikat sesuatu

dengan sungguh-sungguh serta menganalisis yang tersembunyi dari satu teks.

Karena itu, ayat di atas menambahkan kata ghair al-b.aql dengan

cara yang tidak benar. Dapat juga dikatakan bahwa kata ghair al-b.aq

bermakna yang tercel a, dalam arti yang tidak dibenarkan, karena haq

adalah sesuatu yang terpuji sehingga yang bukan haq adalah

yang tercela. Ini untuk mengisyaratkan bahwa boleh jadi ada

sesuatu

yang berlebihan tetapi tidak tercel a, seperti memuji satu

amal kebajikan.

Demikian Ibn 'Asyur. Di atas, disebutkan dua kesesatan.

Kesesatan pertama menyangkut kandungan tuntunan Nabi Musa

atau dan 'lsa dan kesesatan kedua berkaitan dengan tuntunan

Nabi Muhammad saw. dan al-Qur'an. Thabathaba'i berpendapat

lain. Menurutnya, ayat ini mengajak orangorang Yahudi dan

Nasrani sejak terjadinya kekeliruan akidah mereka hingga masa

kini ten tang Tuhan dan manusia agar tidak melampaui batas

dalam beragama, yakni dalam memandang 'lsa as. sebagai anak T

uhan, sebagaimana keyakinan umat Nasrani, dan tidak juga

memandang 'Uzair demikian sebagaimana keyakinan orang Yahudi.

Mereka dilarang mengikuti hawa nafsu kaum sebelum mereka,

yakni para penyembah berhala yang meyakini adanya anak-anak T

uhan, sebagaimana dijelaskan dalam sejarah agama-agama,

Page 134: arsip saja

seperti agama Mesir Kuno, Yunani, India, dan Cina. Memang

sangat logis jika ajaran mereka itu telah menyusup dan

meresap ke dalam keyakinan umat Yahudi dan Nasrani sehingga

mereka pun memercayai 'lsa dan 'Uzair sebagai anakanakTuhan.

Ini juga telah diisyaratkan oleh al-Qur'an dengan firman-Nya

(At-Taubah:30).

Dapat juga firman-Nya ya Ahl al-Kitab dipahami sebagai

dirujukan kepada orang-orang Nasrani saja karena ayat ini

ditemparkan sesudah kecaman kepada mereka dan, dengan

demikian, yang dimaksud dengan larangan ini adalah larangan

kepada orang-orang Nasrani agar ridak berlebihan dalam

memandang 'lsa as. sebagaimana orang-orang Yahudi sebelum

mereka yang relah mengikuti hawa nafsu mereka. Umar Nasrani

sangat membenci orang Yahudi yang berlebihan dalam sikap

keberagamaan mereka. Terapi, tanpa sadar, mereka telah

menempuh cara yang sarna dalam beragama. Dari sini, teguran

di atas menjadi sangat pada tempatnya.

Nabi Muhammad saw juga memperingatkan umatnya agar tidak

melampaui batas dalam beragama. "Janganlah melampaui batas dalam

beragama karena urn at sebelum kamu binasa disebabkan olehnya" (HR.

Ahmad). Dalam Shab.ib. Bukhari diriwayatkan melalui 'Umar ra.

bahwa Nabi saw. bersabda: "Janganlah kamu memujiku sebagaimana

orang Nasrani memuji putra Maryam. Aku ridak lain kecuali hamba, maka

karakanlah: 'HambaAllah dan Rasul-Nya'." (Shihab, 2009: 211).

Mengenai tidak bolehnya bersikap ekstrim juga banyak

hadits shahih yang menyampaikan tidak bolehnya bersikap

ekstrim. Salah satunya hadits sahih yang dirawi oleh Imam

Ahmad,”Hindarkanlah daripadamu sikap melampaui batas dalam agama,

Page 135: arsip saja

karena sesungguhnya orang-orang sebelum kamu telah binasa karenanya.”

Dalam hadits lain, yang dirawikan oleh Abu Ya’la: “Janganlah

kamu memperberat dirimu, nanti Allah memperberat atas kamu. Suatu kaum

telah memberati diri mereka sendiri hingga Allah memperberat atas mereka.

lihatlah sisa-sisa hal itu seperti dalam cara hidup para pendeta Kaum Nasrani.”

Menurut Qardhawi (1985:19) hadits di atas merupakan sikap

Nabi saw yang selalu menentang sikap ekstrim dan sikap

berlebih-lebihan dan keluar dari ajaran Islam. Maksud para

pendeta kaum Nasrani tersebut menurut Qardhawi bahwa dalam

Islam tidak mensyariatkan sikap hidup kerahiban yang menjauhi

kehidupan dunia. Islam tidak membenarkan umatnya hidup

mengucilkan diri dari kehidupan dan hubungan

masyarakat.bahkan Islam memerintahkan umatnya untuk

menegakkan asas persaudaraan dan rasa senasib sepenanggungan,

dengan tidak menyia-nyiakan kepentingan manusia dalam

memakmurkan dunia.

Selanjutnya Qardhawi (1985:32-50) menyebut tanda-tanda

sikap ekstrim, yaitu:

1. Fanatik pada suatu pendapat dan tidak mengakui pendapat-

pendapat lain.

2. Kebanyakan orang mewajibkan atas manusia sesuatu yang

tidak diwajibkan Allah atas mereka.

3. Memperberat yang tidak pada tempatnya.

4. Sikap kasar dan keras.

5. Buruk sangka terhadap manusia.

6. Terjerumus ke dalam jurang pengafiran.

Page 136: arsip saja

Lalu apa relasinya penjelasan konsep-konsep di atas dengan

pendidikan multikultural? Melihat begitu dahsyatnya

diskursus mengenai berbagai ajaran agama, filsafat dan

ideologi dalam ruang publik membuat pendidikan multikultural

dapat menjadi media untuk terjadinya dialog dari hati ke hati

peserta didik. Generasi muda diajak untuk saling memahami

perbedaan suku agama, ras dan golongan. Namun hal yang

terpenting dalam pendidikan multikultural adalah mampu

melakukan deradikalisasi pandangan-pandangan keagamaan.

C. Pendidikan Multikultural untuk Menghilangkan Perbedaan

“Negara memiliki peran penting untuk menghapuskan

perbedaan dalam prinsip-prinsip keberlangsungan negara.

Sebagaimana yang telah disepakati berbagai negara dalam Pasal

5 Deklarasi Wina (Juni 1993). “Negara-negara wajib untuk

memajukan dan melindungi semua hak asasi dan kebebasan-

kebebasan fundamental, lepas dari sistem politik, ekonomi,

dan budaya mereka (...,it is the duty of States, regardless of their political,

economic and cultural systems, to promote and protect all human rights and

fundamental freedoms). Secara global, negara-negara dunia sudah

mengantisipasi bahwa perbedaan yang ada di negara-negara akan

menyebabkan diskriminasi.

Pancasila harus menjadi dasar jika benar-benar ingin

menjalankan pendidikan multikultural. Di dalam pasal-pasal

Pancasila, kesemuanya terdapat nilai-nilai yang ingin

diinernalisasikan melalui pendidikan multikultural. Yudi

Page 137: arsip saja

Latihif (2011) mengatakan “Prinsip ketiga Pancasila meletakkan dan

dasar kebangsaan sebagai simpul persatuan Indonesia. Suatu konsepsi

kebangsaan yang mengekspresikan persatuan dalam keragaman, dan

keragaman dalam persatuan (unity in diversity, diversity in unity), yang dalam

slogan negara dinyatakan dalam ungkapan ‘bhineka unggal ika’.”

Sebagaimana yang sudah dibahas dalam sub judul suku di

buku ini mengenai pandangan Soekarno bahwa suku merupakan

kaki, yang artinya setiap suku di Indonesia adalah kaki dari

satu tubuh Indonesia. Maka jika diperluas lagi tidak menjadi

suku, api setiap agama, setiap profesi, setiap pandangan

politik yang masih dalam wilayah Ngara Kesatuan Republik

Indonesia semuanya merupakan kaki-kaki yang kokoh untuk

menopang satu tubuh, Indonesia.

Furnivall (1980) mencirikan masyarrakat plural sebagai

masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen atau

tatanan sosial yang hidup berdampingan, tetapi tanpa lebur

dalam satu unit politik. dalam masyarakat semacam itu “tidak

ada kehendak bersama kecuali, mungkin, dalam perkara-perkara

yang amat mendesak, misalnya melawan agresi dari luar”.

Ketiadaan kehendak bersama itu menjadikan upaya membangun

sebuah bangsa dalam masyarakat seperti itu sebuah tugas yang

teramat berat. Olehkarena itu Yudi Lathif (2011: 369)

“Mengupayakan persatuan masyarakat plural seperti Indonesia bukanlah

perkara mudah.” Latif selanjutnya menjelaskan bahwa hal ini

sudah disadari oleh pendiri bangsa. Sehingga dimunculkanlah

sentimen nasionalisme yang menggerakkan,”suatu itikad, suatu

keinsyafan rakyat, bahwa rakyat itu adalah satu golongan, satu bangsa.”

Page 138: arsip saja

Dalam pandangan Ernest Renan bahwa bangsa adalah satu jiwa

“une nation est un ame”. Satu bangsa adalah satu solidaritas yang

besar “une nation est un grand solidarite”. Hal terpenting untuk

mengikat segala macam perbedaan dalam satu bangsa dalam

pandangan Renan adalah kehendak untuk hidup bersama “le desire

d’ etre ensemble.” Prinsip kebangsaan yang dikemukakan oleh Renan

ini disimpulkan oleh Soekarno “Jadi gerombolan manusia, meskipun

agamanya berwarna macam-macam, meskipun bahasanya bermacam-macam,

asal gerombolan manusia itu mempunyai kehendak untuk hidup bersam, itu

adalah bangsa.”

Ke-kita-an kebangsaan tidak mengurangi kebersamaan – hak

kebersamaan lain para konstituennya, yaitu bentuk-bentuk

kebersamaan yang berdasarkan pada kenyataan-kenyataan lain.

misalnya kenyataan etnis, kenyataan religius, kenyataan

partai (Fuad Hasan, 2006). Menurut Fuad Hasan bahwa

keniscayaan perbedaan etnis, suku, agama, partai bukanlah

menjadi alaan untuk tidak bisa mentransedensikannya ke dalam

semangat keindonesiaan, semangat persatuan. KH. Abdurrahman

wahid pernah menulis berjudul, “Islamku, Islam Anda, Islam

Kita”, semestinya konsep kekitaan ini menjadi semangat yang

ditampilkan daripada semangat ke kamian yang hanya akan

menciptakan perbedaan semakin jelas dan tidak produktif dalam

kehidupan bermasyarakay, berbangsa dan bernegara. Hal ini

juga menjadi kekhawatiran Nurcholish Madjid: “Masyarakat yang

terkotak-kotak dengan masing-masing penuh curiga kepada satu sama lainnya

bukan saja mengakibatkan tidak efisiensinya cara hidup demokratis, tapi juga

dapat menjurus kepada lahirnya pola tingkah laku yang bertentangan dengan

Page 139: arsip saja

nilai-nilai asasi demokrasi. Pengakuan akan kebebasan burani (freedom of

conscience), persamaan hak dan kewajiban bagi semua (egalitarianisme), dan

tingkah laku penuh percaya kepada itikad baik kepada orang dan kelompok lain

mengharuskan adanya landasan pandangan kemanusiaan yang positif dan

optimis.”

Konsep persatuan di Indonesia bukanlah meniadakan

keragaman, namun setiap entitas dalam bangsa tetap dapat

mempertahankan kekhasan masing-masing. “Secara konsepsional,

Indonesia telah memiliki prinsip dan visi kebangsaan yang

kuat, yang bukan saja dapat mempertemukan kemajemukan

masyarakat dalam kebaruan komunitas politik bersama, tetapi

juga mampu memberi kemungkinan bagi keragaman komunitas untuk

tidak tercerabut dari akr tradisi dan kesejarahannya masing-

masing” (Latif, 377).

Said (2004) mengatakan bahwa istilah pendidikan

multikultural dapat digunakan pada tingkat deskriptif dan

normatif, yang menggambarkan isu-isu dan masalah- masalah

pendidikan berkaitan dengan masyarakat multikultural. Labih

jauh lagi mencakup pengertian tentang pertimbangan terhadap

kebijakan-kebijakan dan strategi-strategi pendidikan dalam

masyarakat multikultural. Dalam konteks deskriptif ini, maka

kurikulum pendidikan multkultural harus mencakup subjek-

subjek seperti : toleransi, tema-tema tentang perbedaan etno-

kultural, dan agama; bahaya diskriminasi; penyelesaian

konflik dan mediasi; HAM; demokrasi dan pluralitas;

kemanusiaan universal dan subjek-subjek lain yang relevan.

D. Pendidikan Multikultural untuk Pembangunan Bangsa

Page 140: arsip saja

Tidak bisa dipungkiri bahwa kehidupan umat manusia saat

ini sangatlah pluralistik dan multikultur . olehkarena itu

semestinya perbedaan agama, pandangan politik, perbeaan etnis

suku bukan menjadi penghalang bagi pembangunan masyarakat,

bangsa, negara dan kehidupan global. Teologi-teologi danyang

ada dalam kehidupan setiap individu masyarakat semestinya

menjadi energi untuk hidup bersama dan membangun kehidupan

bersama yang lebih baik. Menarik apa yang ditulis oleh

Charles Kimbal dalam bukunya “Ketika Agama jadi Bencana” (2008:

xxvi) berikut:

“Sekarang kita memang sedang hidup dalam iklim yang amat pluralis. Tidakhanya agama sebagai institusi, teologi sebagai ilmu pun tak dikecualikan daritantangan itu. Harus diakui, menghadapi tantangan pluralisme global,teologi klasik-tradisional sudah tidak memadai lagi. Sekarang bukan saatnyateologi bertanya, apakah umat di luar “agama”-ku diselamatkan atau tidak,atau bagaimana mereka bisa diselamatkan? Teologi perlu meninggalkanperspektifnya yang sempit itu. Sekarang teologi mesti terbuka, bahwa Tuhanmempunyai rencana “keselamatan umat manusia yang menyeluruh”.

Melihat apa yang sampaikan oleh Kimbal tersebut, sekiranya

penting untukk tidak lagi menghabiskan energi mengenai klaim

kebenaran (truth claim). Olehkarena itu apa yang dianjurkan

oleh Nurcholsih Madjid mengenai perlunya melakukan dialog

dengan prinsip relativitas internal dan relativitas

eksternal. Relativitas internal mengacu pada dialog antar

mazhab atau pandangan beragama, misalnya antara Syiah dan

Sunni, atau kalau di Indonesia pentingnya dialog antara

Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah atau organisasi Islam

lainnya, sehingga dapat meredam konflik. Sedangkan

relativitas eksternal mengacu pada dialog dengan prinsip

Islam “lakum diukum waliyadin.” Ketika terjadinya keamanan dan

Page 141: arsip saja

kenyamanan dalam kehidupan beragama, maka hal ini akan

memberi kontribusi bagi pembangunan bangsa dan kehidupan

bernegara.

Visi pembangunan nasional yaitu untuk memperkuat jati diri

dan kepribadian manusia, masyarakat dan bangsa Indonesia

dalam suasana yang demokratis, tentram, aman, dan damai.

(Tilaar, 2004: 166). Dikarenakan visi tersebut, maka

pembangunan di Indonesia dibutuhkan masyarakat baru yang

memiliki karakter: damai, demokratis, berkeadilan, berdaya

saing, dan sejahtera. Selanjutnya Tilaar menjelaskan bahwa

untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang berkualitas maka

dibutuhkan manusia yang:

1. Sehat,

2. Mandiri,

3. Beriman,

4. Bertaqwa,

5. Berakhlak mulia,

6. Cinta tanah air,

7. Sadara hukum dan lingungan.

8. Menguasai ipteks,

9. Memiliki etos kerja tinggi, dan

10. Berdisiplin

Visi tersebut bisa dicapai dengan mancantumkannya ke dalam

misi pendidikan. Sehingga dalam misi pendidikan manusia

Indonesia dibutuhkan kualitas yang: demokratis, berakhlak

mulia, kreatif, inovatif, berwawasan kebangsaan, cerda,

sehat, berdisiplin, bertanggungjawab, dan menguasai Ipteks

Page 142: arsip saja

(Tilaar, 2004: 167). Wujud dari misi pendidikan tersebut,

yaitu:

1. Memberdayakan lembaga pendidikan sebagai pusat

pembudayaan nilai. Dalam usaha tersebut perlu melibatkan

dan meningkatkan partisipasi keluarga dan masyarakat.

2. Pembaharuan dan pemantapan sistem pendidikan yang

berdasarkan kepada prinsip desentralisasi, otonomi

keilmuan dan manajemen (Tilaar, 2004: 168).

Dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 32 berbunyi

“Kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak kebudayaan di daerah.” Para

Pendiri Bangsa telah memandang penting mengenai multikultural

yang akan menjadi kebudayaan Bangsa Indonesia. Menurut Reed

(1997) dengan adanya multikulturalisme maka sebuah masyarakat

dilihat sebagai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam

masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mozaik,

dimana dalam mozaik tersebut tercakup semua kebudayaan dari

masyarakat-masyarakat kecil yang membentuk masyarakat yang

lebih besar, yang mempunyai kebudayaan yang seperti sebuah

mozaik tersebut.

Pendidikan multikultural sangat sesuai dengan deklarasi

universal dalam membangun di milenium ketiga, yaitu upaya

mengatasi berbagai ketimpangan yang terjadi dalam kehidupan

manusia, kehidupan global, termasuk Indonesia (Tilaar, 2012:

946). Selanjutnya Tilaar menjelaskan bahwa pendidikan

multikultural akan berdampak pada kehidupan kesetaraan dalam

berbangsa dan bernegara. Pendidikan multikultural juga

merupakan partisipasi masyarakat dan bangsa Indonesia dalam

Page 143: arsip saja

mewujudkan kehidupan dunia yang lebih serasi dan menghapuskan

ketimpangan di dunia.

Dalam konteks demokrasi, pendidikan multikultural akan

sangat berinergi untuk menjalankan prinsip negara Indonesia

sebagai negara demokratis. Pendidikan multikultural akan

memberikan penyadaran bagi generasi muda mengenai pluralisme.

John Rawls (1974) dalam bukunya Theory of Justice menjelaskan

demokrasi dalam kerangka pluralisme dengan nalar publik,

yaitu agar setiap kelompok yang berbeda harus saling

mengkomunikasikan perbedaannya sehingga dapat dimengerti oleh

sebanyak mungkin bagi pihak yang berkepentingan. Dalam nalar

publik yang merpakan pengajuan dari setiap warga negara

setiap kali mereka mengusulkan , mendukung atau menolak dari

sebuah diskursus atau kebijakan yang melibatkan pemerintah.

Sehingga setiap keberagaman yang masuk ke ranah publik dan

ranaj politik demokrasi-pluralistik maka setiap kelompok

harus memafhumkan keniscayaan keberagaman.

Perbedaan dan keragaman bukanlah alasan untuk berpisah dan

bercerai berai hingga mengabaikan pembangunan bangsa.

Generasi muda, pelajar penting untuk merenungkan kembali

Pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945 berikut:

“Sebagai tadi telah saya katakan, kita mendirikan NegaraIndonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buatsemua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan Islam buatIndonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan VanEck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buatIndonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia-semua buatsemua! Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yangtiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataanIndonesia yang tulen, yaitu perkataan ‘Gotong Royong”.

Page 144: arsip saja

Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah Negara GotongRoyong!”

Poin penting dari pidato Soekarno tersebut adalah semangat

gotong royong. Indonesia dengan segala keberagaman justru

akan menjadi kokoh sebagaimana yang terjadi di Amerika

Serikat. Kalau di Amerika Serikat maju karena semangat

pluralismenya untuk bersatu, maka semestinya Indonesia juga

menjadikan kemajemukan di Indonesia sebagai alasan pentingnya

membangkitkan dan menjadikan gotong royong dalam menjalankan

amanat para pendiri bangsa, yaitu pembangunan yang

berkeadilan.

Daoed Joesoef (2014: 173-174) memandang bahwa selama ini

pembangunan masih sebatas retorika “mengisi kemerdekaan”,

pengelola negara lupa untuk membangun negara dengan

pendekatan buday, dalam hal ini maka kajian dan pnereapan

pendidikan multikultural akan menjadi sangat bermanfaat.

Pembangunan dengan pendekatan kebudayaan karena selain

kecendrungan masa depan kehidupan yang semakin cendrung

berpembwaan kebudayaan, ia pun secara eksplisit berurusan

dengan manusia. Sebab sejauh budaya adalah “sistem nilai yang

dihayati”, maka manusia bai berupa “mahluk” maupun “individu

otonom”, adalah yang membuat “ada” nilai itu dan sekaligus

memberi “makna” pada nilai yang bersangkutan (Joesoef, 2014:

173). Joesoef menganjurkan agar pemerintah perlu

memperhitungkan nilai-nilai budaya yang penting

dipertimbangkan dalam membangun bangsa, yaitu: a) Ruang; b)

Politik dimana demokrasi langsung bisa dipraktikkan di

tengah-tengah sistem demokrasi yang berlaku; c) Musyawarah

Page 145: arsip saja

(dialog) yang diniscayakan oleh Pancasila; d) martabat

manusia (human dignity) yang melekat pada posisi

kewarganegaraan (citizenship).

BAB VII

PERSPEKTIF PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

A. Masyarakat Madani dalam Konsep Indonesia

Sejarah Konsep Madani

Ketika Hijrah, di antara tindakan pertama Rasulullah Saw.—

segera setelah tiba di Yatsrib—ialah mengubah nama kota itu

menjadi Madinah, atau lengkapnya, Madînat Al-Nabî, “Kota Nabi”.

Ini bisa dibandingkan dengan keputusan Raja Constantin dari

Byzantium yang memberi nama Constantinopel (Constantinopolis,

“Kota Konstantin”) kepada kota yang didirikannya. Tetapi Nabi

tidaklah bermaksud untuk sekadar mengabadikan nama beliau

seperti maksud raja Eropa itu. Dengan mengubah nama kota

Yatsrib menjadi Madinah, Nabi memaksudkan sesuatu yang jauh

lebih mendalam. Dawam Rahardjo (1997:27-28) melacak bahwa

secara empirik istilah civil society yang juga sering diartikan

Page 146: arsip saja

sebagai masyarakat madani berasal dari istilah Latin civil

societas yang pada awanya dipakai oleh Cicero (106-43 SM)

seorang orator dan pujangga asal Roma, yang pengertiannya

sebagai sebuah Masyarakat Politik (political sociey) yang

menilai kode hukum sebagai dasar pengaturan hidup (Nurcholish

Madjid, 2012: 1745 Ensiklopedi NM,Jilid 3).

Pertama-tama, perkataan “madînah” sendiri memang berarti

“kota”. Selanjutnya, dari segi etimologis, perkataan itu

berasal dari akar kata yang sama dengan perkataan “madanîyah”

dan “tamaddun”, yang artinya “peradaban”, “civilization”. Maka,

secara harfiah “madînah” adalah tempat peradaban atau suatu

lingkungan hidup yang ber

Dalam bahasa Arab, padanan istilah “madanîyah” ialah

“hadlârah” (satu akar kata dengan perkataan “hâdlir”

[Indonesia: “hadir”]) yang menunjuk kepada pengertian asal

“pola hidup menetap di suatu tempat” (“sedentary”). Pengertian

ini

amat erat kaitannya dengan istilah “tsaqâfah”, suatu padanan

dalam bahasa Arab untuk “budaya”, “culture”, tapi sesungguhnya

juga mengisyaratkan pola kehidupan yang menetap di suatu

tempat tertentu. Sebab peradaban dan kebudayaan, dalam arti

idealnya, dapat diwujudkan hanya melalui pola kehidupan

sosial yang menetap, “sedentary” (Inggris), tidak berpindah-

pindah seperti dalam pola kehidupan kaum “nomad” (Inggris).

Oleh karena itu, konsep “madanîyah” tersebut akan menjadi

lebih tajam pengertiannya jika kita letakkan dalam konteks

pola kehidupan yang umum terdapat di Jazirah Arabia saat itu,

yaitu pola(Madjid, 2012: 1745).

Page 147: arsip saja

Kehidupan “badâwah”, “bâdiyah” atau “badw”, yang mengandung

makna pola kehidupan berpindahpindah, nomad, dan tidak

teratur, khususnya pola kehidupan gurun pasir. Bahkan

sesungguhnya istilah itu mengisyaratkan pola kehidupan

“primitif ” (“tingkat permulaan”), sebagaimana ditunjuk oleh

etimologi istilah itu sendiri (“badâwah”, “badw” adalah

seakar kata dengan “ibtidâ’” seperti dimaksud dalam istilah

“madrasah ibtidâ’îyah”, yakni “sekolah tingkat permulaan”).

Karena itu, orang yang berpola kehidupan berpindah-pindah,

tidak teratur, dan “kasar” dalam bahasa Arab disebut orang

“badâwî” atau“badawî” (“badui”, yang juga dipinjam dalam

bahasa Inggris menjadi “bedouin”), sebagai lawan dari mereka

yang disebut kaum “hadlarî” atau “madanî” (Madjid, 2012:1746,

Ensiklopedi NM Jilid 3).

Masyarakat Madani Warisan Nabi

Tidak lama setelah menetap di Madinah itulah, Nabi Saw.

Secara konkret meletakkan dasar-dasar masyarakat madani,

bersama semua unsur penduduk Madinah menggariskan ketentuan

hidup bersama dalam suatu dokumen yang dikenal sebagai Piagam

Madinah (Mîntsâq Al-Madînah). Dalam dokumen itu umat manusia

untuk pertama kalinya diperkenalkan, antara lain, kepada

wawasan kebebasan, terutama di bidang agama dan ekonomi,

serta tanggung jawab sosial dan politik, khususnya

pertahanan, secara bersama (Madjid, 2012: 1878, dalam

Ensiklopedi NM Jilid 3).

Masyarakat madani warisan Nabi Saw. yang bercirikan antara

lain egalitarianisme, penghargaan kepada orang berdasarkan

Page 148: arsip saja

prestasi (bukan prestise seperti keturunan, kesukuan, ras,

dan lain-lain), keterbukaan partisipasi seluruh anggota

masyarakat, dan penentuan kepemimpinan melalui pemilihan,

bukan berdasarkan keturunan, setelah Nabi wafat hanya

berlangsung selama tiga puluh tahun masa khilâfah râsyidah.

Sesudah itu, sistem sosial madani digantikan dengan sistem

yang lebih banyak diilhami oleh semangat kesukuan atau

tribalisme Arab pra-Islam yang kemudian dikukuhkan dengan

sistem dinasti keturunan atau geneologis. Sistem dinasti

geneologis itu tidak dikenal dalam ajaran Islam. ‘A’isyah,

janda Nabi yang disegani karena ilmunya, yang menjadi tokoh

wanita Islam klasik paling berpengaruh dan menjadi guru

banyak sekali pemimpin zaman itu, menamakan sistem dinasti

geneologis itu sebagai Hirqalîyah atau “Hirakliusisme”, mengacu

pada Kaisar Heraklius, penguasa Yunani saat itu, seorang

tokoh sistem dinasti geneologis (Madjid, 2012)

Begitulah keadaan dunia Islam yang terus-menerus hanya

mengenal sistem dinasti geneologis, sampai datangnya zaman

modern sekarang, di mana sebagian negeri Muslim menerapkan

konsep negara republik, dengan presiden dan pimpinan lainnya

yang dipilih. Karena itu justru dalam zaman modern ini

mungkin prasarana sosial dan kultural masyarakat madani yang

dahulu tidak ada pada bangsa mana pun di dunia, termasuk

bangsa Arab, akan terwujud. Maka kesempatan membangun

masyarakat madani menurut teladan Nabi justru mungkin lebih

besar pada saat sekarang ini.

Berpangkal dari pandangan hidup bersemangat Ketuhanan

dengan konsekuensi tindakan kebaikan kepada sesama manusia,

Page 149: arsip saja

masyarakat madani tegak berdiri di atas landasan keadilan,

yang antara lain bersendikan keteguhan berpegang pada hukum.

Menegakkan hukum adalah amanat Tuhan, yang diperintahkan

untuk dilaksanakan kepada yang berhak (Q., 4: 58). Dan Nabi

Saw. telah memberi teladan kepada kita. Secara amat setia

beliau laksanakan perintah Allah itu. Apalagi Al-Quran juga

menegaskan bahwa tugas suci semua nabi ialah menegakkan

keadilan (Q., 10: 47). Juga ditegaskan bahwa para rasul yang

dikirimkan Allah ke tengah umat manusia dibekali dengan kitab

suci dan ajaran keadilan, agar manusia tegak dengan keadilan

itu (Q., 57: 25). Keadilan harus ditegakkan tanpa memandang

siapa yang akan terkena akibatnya. Keadilan juga harus

ditegakkan, meskipun mengenai diri sendiri, kedua orangtua

atau sanak keluarga (Q., 4: 135).

Bahkan terhadap orang yang membenci kita pun, kita harus

tetap berlaku adil, meskipun sepintas lalu keadilan itu akan

merugikan kita sendiri (Q., 5: 8). Atas pertimbangan ajaran

itulah Nabi Saw. dalam rangka menegakkan masyarakat madani

atau civil society tidak pernah membedakan antara “orang atas”,

“orang bawah”, ataupun keluarga sendiri. Beliau pernah

menegaskan bahwa hancurnya bangsabangsa di masa dahulu adalah

karena jika “orang atas” melakukan kejahatan dibiarkan, tapi

jika “orang bawah” melakukannya pasti dihukum. Karena itu Nabi

juga menegaskan bahwa seandainya Fathimah, putri kesayangan

beliau, melakukan kejahatan, maka beliau akan hukum dia

sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Masyarakat berperadaban

tidak akan terwujud jika hukum tidak ditegakkan dengan adil,

yang dimulai denganketulusan komitmen pribadi.

Page 150: arsip saja

Masyarakat berperadaban memerlukan adanya pribadi-pribadi

yang dengan tulus mengikatkan jiwanya kepada wawasan keadilan.

Ketulusan ikatan jiwa itu terwujud hanya jika orang

bersangkutan ber-îmân, percaya, mempercayai, dan menaruh

kepercayaan kepada Tuhan, dalam suatu keimanan etis, artinya

keimanan bahwa Tuhan menghendaki kebaikan dan menuntut

tindakan kebaikan manusia kepada sesamanya. Dan tindakan

kebaikan kepada sesama manusia itu harus didahului dengan diri

sendiri menempuh hidup kebaikan, seperti dipesankan Allah

kepada para rasul, agar mereka “makan dari yang baik-baik

dan berbuat kebajikan” (Q., 23: 51).

Nurcholish Madjid berpandangan bahwa Ketulusan ikatan

jiwa juga memerlukan sikap yang yakin pada adanya tujuan hidup

yang lebih tinggi daripada pengalaman hidup sehari-hari di

dunia ini. Ketulusan ikatan jiwa itu membutuhkan keyakinan

bahwa makna dan hakikat hidup manusia pasti akan menjadi

kenyataan dalam kehidupan abadi, kehidupan setelah mati,

dalam pengalaman bahagia atau sengsara. Karena itu, ketulusan

ikatan jiwa pada keadilan mengharuskan orang memandang hidup

jauh ke depan, tidak menjadi tawanan keadaan di waktu sekarang

dan di tempat ini (dunia) (Q.,7: 169). Tetapi tegaknya hukum

dan keadilan tidak hanya memerlukan komitmen-komitmen pribadi.

Komitmen pribadi, yang menyatakan diri dalam bentuk “iktikad

baik”, memang mutlak diperlukan sebagai pijakan moral dan

etika dalam masyarakat. Sebab, bukankah masyarakat adalah

jumlah keseluruhan pribadi-pribadi para anggotanya? Apalagi

terhadap para pemimpin masyarakat atau public figure, maka

kebaikan iktikad itu lebih-lebih lagi dituntut, dengan

Page 151: arsip saja

menelusuri masa lalu sang (calon) pemimpin, baik dirinya

sendiri maupun mungkin keluarganya. Karena itu, di banyak

negara seorang calon pemimpin formal harus mempunyai catatan

pengalaman hidup yang baik, melalui pengujian, bukan oleh

perorangan atau kelembagaan, tapi oleh masyarakat luas, dalam

suasana kebebasan yang menjamin kejujuran. Namun

sesungguhnya, seperti halnya dengan keimanan yang bersifat

amat pribadi, iktikad baikbukanlah suatu perkara yang dapat

diawasi dari luar diri orang bersangkutan. Ia dapat bersifat

sangat subjektif, dibuktikan oleh hampir mustahilnya orang

tidak mengaku beriktikad baik. Kecuali dapat diterka melalui

gejala lahiri belaka, suatu iktikad baik tidak dapat

dibuktikan, karena menjadi bagian dari bunyi hati sanubari

orang bersangkutan yang paling rahasia dan mendalam.

Oleh sebab itu, iktikad baik pribadi saja tidak cukup

untuk mewujudkan masyarakat berperadaban. Iktikad baik yang

merupakan buah keimanan itu harus diterjemahkan menjadi “amal

saleh”, yang secara takrif adalah tindakan yang membawa

kebaikan untuk sesama manusia. Tindakan kebaikan bukanlah

untuk kepentingan Tuhan, sebab Tuhan adalah Mahakaya, tidak

Siapa pun yang melakukan tindakan kebaikan maka dia

sendirilah, melalui hidup kemasyarakatannya, yang akan

memetik dan merasakan kebaikan dan kebahagiaan. Begitu pula

sebaliknya, siapa pun yang melakukan kejahatan, maka ia

sendiri yang akan menanggung akibat kejahatan dan

kerugiannya. Jika kita perhatikan apa yang terjadi dalam

kenyataan sehari-hari, jelas sekali bahwa nilai-nilai

kemasyarakatan yang terbaik sebagian besar dapat terwujud

Page 152: arsip saja

hanya dalam tatanan hidup kolektif yang memberi peluang pada

adanya pengawasan sosial. Tegaknya hukum dan keadilan mutlak

memerlukan suatu bentuk interaksi sosial yang memberi peluang

bagi adanya pengawasan itu.

Pengawasan sosial adalah konsekuensi langsung dari iktikad

baik yang diwujudkan dalam tindakan kebaikan. Selanjutnya,

pengawasan sosial tidak mungkin terselenggara dalam suatu

tatanan sosial yang tertutup. Amal saleh atau kegiatan “demi

kebaikan” dengan sendirinya berdimensi kemanusiaan, karena

berlangsung dalam suatu kerangka hubungan sosial, dan

menyangkut orang banyak. Suatu klaim berbuat baik untuk

masyarakat, apalagi jika perbuatan atau tindakan itu

dilakukanmelalui penggunaan kekuasaan,tidak dapat dibiarkan

berlangsung dengan mengabaikan masyarakat itu sendiri dengan

berbagai berbagai pandangan, penilaian, dan pendapat yang

ada. Dengan demikian, masyarakat madani bakal terwujud hanya

jika terdapat cukup semangat keterbukaan dalam masyarakat.

Keterbukaan adalah konsekuensi dari perikemanusiaan, suatu

pandangan yang melihat sesama manusia secara positif dan

optimistis (Madjid, 20120.

Perkembangan konsep Madani

Membahas masyarakat madani maka harus dimulai dari konsep

Negara Madinah yang pernah dibangun pada masa Nabi. Robert N.

Bellah mengatakan bahwa konsep Negara Madinah yang dibangun

masa Nabi merupakan contoh pertama nasionalisme modern. Dalam

Negara Madinah sangat memperhatikan kepentingan seluruh warga

bangsa tanpa terkecuali (Bellah, 1976). Menurut Madjid

Page 153: arsip saja

(2008:198) sebenarnya Robert N.Bellah menilai bahwa sistem

madinah masa Nabi dan masa empat khalifah sesudahnya sebagai

sangat modern (remarkably modern), bahkan terlalu modern

untuk zaman dan tempatnya, sehingga hanya berlangsung hanya

dalam jangka waktu yang relatif pendek. Menurut Bellah konsep

Negara Madinah masa Nabi pada masa itu belum tersedia

prasarana sosial-budaya yang diperlukan untuk menopang sistim

Negara Madinah yang sangat modern tersebut. Sehingga Bellah

menyebut konsep masyarakat madani masa Nabi sebagai “a better

model for modern national comunity building than might be imagined”. Dari

apa yang digambarkan Bellah tersebut, pada dasarnya konsep

masyarakat madani dalam Islam lebih modern dari yang sedang

dibangun masyarakat modern.

Menurut Bellah, prinsip tauhid dalam Islam memuat

masayarakat madani dalam Islam menjadi modern.”...Third was the

radical devaluation, one might legitimately say secularization, of all existing social

structures in face of this central God-man relationship. This means above all the

removal of kinship, which had been the chief locus of the sacred in pre-Islamic

Arabia, from its central significance.”Madjid menjelaskan maksud Bellah

tersebut bahwa semangat tauhid membuat manusia memperoleh

kemerdekaannya yang hakiki, karena terbebaskan dari segala

penghambaan terhadap sesama mahluk, terutama manusia. Dengan

prinsip tauhid ini manusia harus menentang kekuasaan yang

merampas kebebasan. Bellah melanjutkan bahwa prinsip

masyarakat madinah adalah suatu bentuk nasionalisme yang

egaliter partisipatif.

Pendidikan multikultural dapat berkontribusi bagi

kehidupan demokrasi di Indonesia. Dalam pendekatan pendidikan

Page 154: arsip saja

demokrasi John Dewey proses demokratisasi di sebuah bangsa

harus menjadi way of life. Olehkaraenaitu demokrasi yang terdapat

dalam pendidikan multikultural dalam proses pendidikannya

harus menjalankan prinsip demokrasi.

Di Indonesia masa modern telah terbangun sebuah masyarakat

madani dengan rumusan dengan Pancasila. Dalam payung

Pancasila ini segala macam perbedaan disatukan. Apa yang

berlangsung di Indonesia ini oleh Robert N Bellah disebut

sebagai “agama sipil.” Konsep masyarakat madani di Amerika

membuat Bellah menyebutnya dengan agama sipil, konsep ini

dituli Bellah dalam sebuah tulisan berjudul “Agama Sipil di

Amerika” (Bellah, 2009). Bellah menjelaskan banyak orang yang

salah menilai bahwa spirit Amerika adalah spirit

Kristianitas, padahal yang terjadi adalah agama sipil yang

diluar dan terpisah dari lembaga-lembaga keagamaan seperti

gereja.olehkarena itu Bellah menawarkan agama sipil ini

sebagai solusi membangun masyarakat madani.

B. Multikultural dalam Masyarakat Indonesia

Apakah yang dimaksud dengan kebudayaan Indonesia? Apakah

yang dimaksud dengan puncak-puncak kebudayaan suku bangsa

yang ada di Nusantara? (Tilaar, 2012:935) pertanyaan tersebut

dikemukakan Tilaar sebagai upaya untuk mencari hakikat

kebudayaan Indonesia. Menurut Tilaar bahwa di Indonesia dalam

konteks budaya makro bahwa budaya Indonesia sedang proses

menjadi dan merupakan proses terus menerus tanpa ujung dari

generasi ke generasi.

Page 155: arsip saja

Ada pernyataan menarik dari Budayawan, Emha Ainun Nadjib

atau yang lebih dikenal dengan Cak Nun. Cak Nun mengatakan,

“Indonesia ini bukan kumpulan suku-suku kemudian menjadi Bangsa. Indonesia

ini adalah bangsa-bangsa yang berkumpul menjadi “United Nation of

Nusantara”. Karena Jawa itu bangsa, Aceh itu bangsa, Batak itu bangsa, bukan

suku-suku.”

Puncak dari “teologi kerukunan” di Indonesia adalah

penerimaan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi pada

18 Agustus 1945 (Azra, 1999: 41). Azra mengatakan bahwa

Pancasila dapat dikatakan kalimatun sawa’ yang mengutamakan

kerukunan dan integrasi nasional, dan tidak menonjolkan salah

satu agama, atau agama mayoritas belaka. Multikulturalisme

didorong atas pengakua terhadap hak azazi manusia dan hak

akan kebudayaan.

Nurcholish Madjid (2004:40) mengatakan jika tidak adanya

konvergensi bergaman kebudayaan, misalna antara Islam dan

budaya lokal maka peluang konflik akan menjadi besar, dan

akan menjadi permasalahan nasional. Sebagaimana yang

dinyatakan Nurcholish (2004: 41) berikut: “pada terjadinya

konvergensi besar menuju ke arah titik-titik temu itulah terletak jaminan bagi

kelangsungan hidup bangsa Indonesia dan ketangguhannya.”

Di Nusantara, konsep masyarakat madani sebagaimana yang

pernah diterapkan masa Nabi tersebut dapat dilihat dalam

konsep Bhineka Tunggal Ika. Berikut pendapat Nurcholish Madjid

(2004:97) mengenai kemjemukan yang berdasarkan kenusantaraan,

“Bhineka Tunggal Ika gubahan Empu Tantular itu dimaksudkan sebagai

pengakuan positif kepada keanekaragaman orientasi keagamaan dalam

masyarakat, karena hakikat dan tujuan semuanya itu satu dan sama, yaitu

Page 156: arsip saja

berbakti kepada Yang Maha Esa dan berbuat baik kepada sesama mahluk: Tan

Hana Dharma Mangroa, tidak ada jalan kebaikan yang mendua dalam tujuan.”

Menurut Nurcholish (2004:99) prinsip Bhineka Tunggal Ika

mendorong berlangsungnya cross-cultural fertilization, penyuburan

silang budaya nasional hibrida yang lebih unggul dan lebih

tangguh. Olehkarena itu tidak perlu adanya penyeragaman,

karena hal itu akan mengarahkan kepada totaliterian.

Bagi Nurcholish paham kemajemukan masyarakat adalah bagian

amat penting dari tatanan masyarakat maju. Dalam paham itulah

dipertaruhkan, antara lain, sehatnya demokrasi dan keadilan.

Pluralisme tidak saja mengisyaratkan adanya sikap bersedia

mengakui hak kelompok lain untuk ada, tetapi juga mengandung

makna kesediaan berlaku adil kepada kelompok lain itu atas

dasar perdamaian dan saling menghormati.

Indonesia adalah sebuah bangsa besar yang mewadahi warisan

kejayaan peradaban nuantara dan kerajaan-kerajaan bahari

terbesar di muka bumi. Jika tanah dan air yang kurang lebih

sama, nenek moyang bangsa Indonesia pernah menorehkan tinta

keemasannya, tidak ada alasan bagi manusia baru Indonesia

untuk tidak mengukir kegemilangan. Bila mampu membangun

bangsa yang sesuai dengan jati dirinya, harkat bangsa ini di

pentas dunia bisa sepadan dengan keluasan wilayah dan

kuantitas penduduknya (Latif, 2001: 377)

Dalam konteks mengembangkan multikulturalisme sumbangan

Pemikiran Nurcholish Madjid tentang pluralisme akan membuat

masyarakat menerima realitas kehidupan agama yang majemuk.

Sikap intelektualitas Nurcholish ini berada dalam bingkai

paradigma inklusif, sehingga pemikirannya tentang pluralisme

Page 157: arsip saja

sering dikatakan sebagai sebuah “teologi inklusif”, yaitu

suatu bentuk teologi yang berusaha mencari titik persamaan

(kalimatun sawa, common platform) dan mengakui dengan lapang hak

hidup penganut agama lain.

C. Membangun Masyarakat dari Kelas Multikultural

Kemajuan dan kemaslahatan merupakan produk terpenting dari

nasionalisme dan patriotisme. Dalam kesadaran nasionalisme

danpatriotisme progresif, Indonesia bukan hanya suatu bangsa

(nation) melainkan juga suatu notion (pengertian) (Latif,

2011: 377). Sebagaimana pernah dinyatakan oleh Hatta,”Karena

dia melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan dan

untuk mewujudkannya, tiap orang Indonesia akan berusaha dengan segala

tenaga dan kemampuannya.”

Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem

pendidikan nasional Pasal 4 ayat 1 dicantumkan mengenai

masalah-masalah nilai-nilai kultural sebagai salah satu

prinsip penyelenggaraan pendidikan yang harus memperhatikan

nilai-nilai kultural sebagai salah satu prinsip

penyelenggaraan pendidikan yang harus memperhatikan nilai-

nilai kultural dan kemajemukan bangsa.

Membangun masyarakat yang sadar akan kemajemukan,maka

pendekatan yang harus dilakukan adalan pendekatan

internalisasi di dalam kelas. Berikut adalah tahap yang dapat

dilakukan di kelas untuk menginternalisasikan pendidikan

multikultural melalui pendekatan budaya organisasi yang pada

hakikatnya sama dengan prinsip transformasi nilai dalam ilmu

pendidikan.

Page 158: arsip saja

Robbins dan Judge (2007) menyebutkan bahwa proses

internalisasi dapat dilakukan melalu tiga tahap, yaitu

prearrival stage, encounter stage, dan metamorphosis sgtage. Prearrival stage

adalah suatu periode dari pembelajaran dalam proses

sosialisasi yang dilakukan sebelum siswa bergabung dalam

sekolah. Encounter stage adalah tahapan dalam proses sosialisasi

yang mana siswa (baca peserta didik) melihat apa yang disukai

dalam sekolah dan menghadapi kemungkinan harapan dan realitas

yang mungkin berbeda. Dan metamorphosis stage adalah tahapan

dalam proses sosialisasi yang mana siswa berubah dan mengatur

pekerjaannya, kelompok kerjanya, dan sekolahnya.

Hanggraeni (2012:155) menjelaskan internalisasi pada Tahap

prakedatangan (prearrival stage) secara terbuka mengakui bahwa

setiap individu datang dengan sekumpulan nilai, sikap, dan

harapan tertentu. Hal ini mencakup tugas yang akan dijalankan

mau pun sekolah (sekolah). Tahap perjumpaan adalah tahap

yang terjadi ketika siswa (siswa) masuk ke dalam sekolah

(sekolah). Di sini, individu menghadapi kemungkinan dikotomi

antara harapan - mengenai tugas, sekolah secara umum - dengan

kenyataan. Jika harapan ternyata kurang lebih sama dengan

kenyataan, maka tahap perjumpaan ini sekedar memberikan

penegasan kembali mengenai persepsi yang telah diperoleh

sebelumnya. Namun, jika harapan dan kenyataan berbeda,

anggota (siswa) baru harus melalui internalisasi untuk

melepas berbagai asumsi yang sebelumnya di dapatkan dan

menggantinya dengan asumsi yang dipandang tepatdi sekolah.

Pada tahapan metamorphosis yang terjadi ketika siswa harus

memecahkan segala masalah yang ditemuinya di masa perjumpaan.

Page 159: arsip saja

Pada tahap ini, internalisasi dikatakan berhasil ketika siswa

sudah merasa nyaman dengan sekolah dan pekerjaan mereka.

Mereka telah menginternalisasi berbagai norma sekolah dan

kelompok kerja mereka, dan memahami serta menerima norma-

norma tersebut. Mereka memahami sistem, tidak hanya tugas

mereka sendiri tetapi juga aturan, prosedur, dan praktik-

praktik yang diterima secara informal.

Proses Internalisasi Pendidikan Multikultural

Dalam pelaksanaan pendidikan multikultural, James, A,

Banks menjelaskan dalam tulisannya “Multicultural Education: Historical

Development, Dimensions, and Practice” menyampaikan lima dimensi yang

harus ada yaitu, pertama, adanya integrasi pendidikan dalam

kurikulum (content integration) yang didalamnya melibatkan

keragaman dalam satu kultur pendidikan yang tujuan utamanya

adalah menghapus prasangka. Kedua, konstruksi ilmu pengetahuan

(knowledge construction) yang diwujudkan dengan mengetahui dan

memahami secara komperhensif keragaman yang ada. Ketiga,

pengurangan prasangka (prejudice reduction) yang lahir dari

interaksi antar keragaman dalam kultur pendidikan. Keempat,

pedagogik kesetaraan manusia (equity pedagogy) yang memberi

ruang dan kesempatan yang sama kepada setiap element yang

Page 160: arsip saja

beragam. Kelima, pemberdayaan kebudayaan sekolah (empowering

school culture). Hal yang kelima ini adalah tujuan dari

pendidikan multikultur yaitu agar sekolah menjadi element

pengentas sosial (transformasi sosial) dari struktur

masyarakat yang timpang kepada struktur yang berkeadilan.

Guru di kelas ketika akan menjalankan pendidikan

multikultural,harus benar-benar dapat mengasah batin peserta

didik bagaimana menjadi warga negara yang baik, bagaimana

menjadi manusia yang beradab, dan bagaimana dapat hidup

berdampingan dalam masyarakat. Hal ini pernah disampaikan

Wiranatakoesoema pada sidang BPUPK “Pada hemat saya, hal yang

menyedihkan ini disebabkan karena manusia tidak atau tidak

cukup menerima latihan batin, ialah latihan yang menimbulkan

salam sanubarinya suatu kekuatan yang menggerakkan ia (motive

force) untuk mengenal kebenarannya dan menerima macam-macam

pertanggungan jawab sebagai seorang anggota masyarakat yang

aktif,...bukankah tujuan kita pro natia. Tetapi pro patria per orbis

concordiam. Maka alam moral ini hendaknya kita pecahkan, karena

latihan otak (intellect) saja, betapa besarnya juga, sungguh

tidak akan mencukupi untuk menjadikan manusia menjadi anggota

masyarakat yang baik.”

Kegelisahan Wiranatakoesoema mengenai begitu sulitnya

manusia dalam menjalankan kehidupan bermsayarakat,

dikarenakan manusia masih belum berusaha mengolah batin

tentang realitas kemajemukan, sehingga merasa tidak nyaman

ketika dalam perbedaan. Olehkarena itu para pendidik yang

mempraktikan pendidikan multikultural haruslah dengan ikhlas

dan secara total keseluruhan mental dan batin untuk

Page 161: arsip saja

menginsafkan peserta didik mengenai keragaman dan pentingnya

berdialog dalam keragaman tersebut. Proses pembelajaran

pendidikan multikultural di dalam kelas, tidak mesti terpaku

dalam buku-buku teks namun dapat dari berbagai media semisal

mendialogkan apa yang menurut para siswa berbeda dar diri

mereka dan bagaimana mereka menyikapi semuanya dan

sebagaimana kah mestinya menghadapi kemajemukan itu. Semua

sikap menerima kemajemukan adalah sikap total batin individu,

bukan sikap yang basa basi atau kepura-puraan.

Dalam menjalankan pendidikan multikultural di kelas,

seorang guru mesti berupaya dengan berbagai strategi dan

metode untuk mentransformasikan radikalisme ke-kami-an

menjadi sikap radikal ke-kita-an.sehingga dengan sikap kokoh

kekitaan tersebut akan dapat secara kuat menghapus sikap

saling curiga dan mencurigai. Sebaliknya akan muncul sikap

saling menghargai dan menghormati serta memiliki itikad baik

untuk hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

BAB VIII

PENUTUP

Apa pun istilahnya: multikulturalisme,

pluralisme,pluralitas, kemajemukan pada prinsipnya bahwa kita

tidak bisa menghindari keniscayaan perbedaan. Franz Magnis

Suseno dalam Pidato “Etika Kebangsaan Rtika Kemanusiaan: 79

Tahun sesudah Sumpah Pemuda” mengatakan bahwa berbicara

Page 162: arsip saja

multikulturalisme dengan dasarnya pluralisme adalah tidak ada

kaitannya dengan kesalhpahaman mengenai pandangan bahwa semua

agama saja, atau yang lebih dikenal dengan diksursus

pluralisme agama. Melainkan pluralsime yang dibuthkan dalam

multikulturalisme adalah sebuah sikap kesediaan untuk

menerima kenyataan bahwa masyarakat ada cara hidup, budaya,

dan keyakinan agamayang berbeda, serta kesediaan untuk hidup,

bergaul dan bekerjasama serta membangun negara bersama-sama

(gotong royong).

Multikulturalisme merupakan syarat mutlak agar Indonesia

yang sangat beragam agar tetap menjadi satu. Kemajemukan

semstinya dipandang secara positif sebagaimana apa yang

menjadi kearifan lokal dari Minangkabar “Tigo Tungku

Sejerangan” yang artinya justru karena ada perbedaan tumpukan

tungku dan kayu bakar maka dapat menyala api untuk masak.

Maknanya, justru dikarenakan keragaman iilah Indonesia

menjadi sebuah Suku Bangsa yang membangun untuk kemanusiaan

yang melindungi rakyatnya dan peduli terhadap permasalahan

kemanusiaa yang terjadi di dunia.

Sikap seorang yang menghargai multikulturalisme, maka

semestinya memahami pentingnya pluralsime, dan seorang

pluralis akan menjadi sosok humanis. Dan seorang humanis akan

menghargai nilai-nilai kemanusiaan yang termanifestasi dalam

pikiran, pernyataan, dan sikapnya sehari-hari. Sehingga

aktivitas yang dilakukannya tidak melanggar nilai-nilai

kemanusiaan dan memberikan kontribusi positif terhadap

persatuan dan pembangunan di masyarakatnya.

Page 163: arsip saja

Pendidikan multikultural akan menginernalisasikan kepada

generasi muda khususnya kepda pelajar atau pun mahasiswa

bahwa setiap perbedaan sikap politik dan perbedaan pandangan

agama tidak akan memicu konflik sektarian yang hanya justru

mengorbankan individu atau masyarakat yang tidak berdosa.

Perbedaan-perbedan pandangan di era modern dan demokratis ini

telah memiliki jalur dan kanalisas itersendiri. Mialnya

ketika memiliki perbedaan pandangan yang bersifat

intelektual, eperti menolak sebuah pandangan akademis, maka

juga bisa dijawab dengan sikap akademis, yaitu ulisan atau

melakukan peneltian.

Sedangkan perbedaan-perbedaan yang memicu sebuah sikap

menghina sebuah ajaran agama, maka negara harus mengeakkan

hukum agara tidak memicu konflik lebih luas. Sedangkan

kesalahpahaman tehadap ajaran-ajaran agama atau nilai yang

dianut oleh kelompok lain, semestinya diselesaikan dengan

sikap ingin tahu dengan belajar dan melakukan dialog.

Sehingga tidak memiliki sikap prejudice terhadap sebuah konsep

atau ajara, atau nilai-nilai yang dianut oleh kelompok lain.

Tindakan-tindakan dialogis dan penegakan hukuma adalah cermin

masyarakat sipil, atau masyarakat madani sebagaimana pernah

diberikan tauladan oleh Nabi Muhammad saw, dimana Nabi

menghargai nilai-nilai kemanusiaan dan melindungi kaum

minorita (kaum zinni).

Melalui pendidikan multikultural diharapkan muncul sikap

kepada generasi muda, bahwa menolak segala sikap kekerasan

dan menjalankan hukum rimba. Pendidikan multikultural akan

memberikan sikap kebangsaan, kemanusiaan, keindonesiaa, tanpa

Page 164: arsip saja

mecerabut seseorang atau pun kelompok dari apa yang

dianutnya.

Sikap inklusif akan menjadi nilai-nilai dasar dalam

menyelenggarakan negara Indonesia. Dimana setiap perbedaan

tidak melahirkan kecurigaan dan saling menyalahkan. Pada

dasarnya nilai inklusif telah ada dalam dasar negara,

pancasila dan ajaran-ajaran agama besar yang ada d Indonesia.

Hanya saja perlu sikap kongkrit dan nyata untuk

mengplikasikannya, sehingga tidak hanya terhenti dalam

wacana-wacana yang hanya dikonsumsi secara masyarakat

akademis.

Emestinya apa yang menjadi diskursus masyarakat kampus,

masyarakat sekolahan, harus mampu mencapai masyarakat awam,

masyarakat desa, masyarakat urban yang senyatanya berhadap-

hadapan dengan kemajemukan dan rawan terjadi konflik karena

ketidaktahuan mereka terhadap apa yang digaungkan negara dan

masyarakat akademis tentang pluralitas. Perlu ada aksi nyata

bagaimana masyarakat desa juga merasakan dan ikut

memperjuangkan prinsip-prisnsip yang diperjuangkan dalam

pendidikan multikultural.

John Gardner (1992) , mengatakan, “no nation can achieve

greatness unless it believes in something, and unless that something has moral

dimensions to sustain a great civilitation” (tidak ada bangsa yang mampu

mencapai kebesaran kecuali jika bangsa itu percaya kepada

sesuatu, dan kecuali jika sesuatu itu memiliki dimensi moral

untuk menopang suatu peradaban yang besar. Bangsa Indonesia

harus menjadikan kemajemukan sebagai nilai utama yang justru

akan memperkokoh persatun kehidupan berbangsa dan bernegara.

Page 165: arsip saja

Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah anugerah

Tuhan yang direbut dengan perjuangan rakyat Indonesia dari

berbagai macam suku, agama, pandangan politik, dan berbagai

perbedaan lainnya. Tanpa adanya persatuan maka apa yang

disampaikan dalam Al-Qur’an Allah tidak akan mengubah nasib

kaum tersebut. Jika saja pada masa perjuangan kemerdekaan,

rakyat Hindia Belnda yang begitu beragam tidak bersatu padu

untuk merebut kemerdekaan, tentunya kemerdekaan itu tidak

akan terwujud sampai sekarang. Sebuah kenyataan sejarah,

bahwa Indonesia didirikan oleh keragaman yang dipersatukan

oleh semangat untuk hidup bersama.

Melalui pendidikan multikultural diharapkan eksklusivisme

yang akhir-akhir ini menjadi permasalahan besar bangsa

Indonesia, seperti munculnya radikalisme agama, atau pun

politik etnis akan membantu mengeominir eksklusivisme

tersebut. Untuk itu dalam menjalnakan pendidikan

multikultural dibutuhkan pendidik yang memahami konsep dasar

dan menjalanakna pendidikan multikultural dan mereka tidak

terjebak dalam eksklusivisme yang justru akan mereproduksi

radikalisme dan eksklusivisme yang menjadi masalah.

Penting, bagi kita untuk meresapi sila-sila dari

Pancasila, sebagaimana yang dinyatakan oleh Notonagoro (1974)

“Sila Ketiga: Peratuan Indonesia diliputi dan dijiwai oleh

sila-sila ke-Tuhanan Yang Maha Esa serta kemanusiaan yang

adil dan beradab, meliputi dan menjiwai sila-sila kerakyatan

yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

pemusyawaratan/perwakilan, keadilan sosial bagi seluruh

rakyat Indonesia.”

Page 166: arsip saja

Penting bagi kita merenungi sebuah cita-cita untuk ikut

serta ambil peran dalam usaha bersama bangsa kita untuk

mewujudkan masyarakat berperadaban, masyarakat madani, civil

society, di negeri kita yang tercinta, Republik Indonesia. Hal

ini dikarenakan terbentuknya masyarakat madani merupakan

bagian mutlak dari wujud cita-cita kenegaraan, yaitu

mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Yudi Lathif dalam bukunya “ Negara Paripurna: Historisitas,

Rasionalitas, dan Aktualitas” yang menyampaikan pandangan John Rawls

(1980-540) bahwa sumber persatuan dari kebangsaan

multikultural adalah apa yang disebutnya sebagai “konsepsi

keadilan bersama” (a share conception of justice). Joh Rawl

berpandangan “ Meskipun suatu masyarakat yang tertata baik

tercerai berai dan pluralistis...kesepakatan publik atas

persoalan keadilan sosial dan politik mendukung kesetiakaanan

sipil dan menyelamatkan ikatan asosiasi” (although a well-ordered

society is divided and pluralistic ....public agreement on questions of political and

social justice supports ies of civic friendship and secures the bonds of

association).

Agama Bukan Sumber Konflik

Khusus mengenai kebebasan beragama/berkeyakinan hasil

amandemen UUD 1945 di atas memberijaminan konstitusional yang

sangat kuat. Pasal 28E UUD 1945 memberi penegasan, bahwa: (1)

“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut

agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih

pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di

wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”;

dan (2) “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini

Page 167: arsip saja

kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati

nuraninya” (cetak miring ditambahkan). Dengan itu menjadi

jelas bahwa hak dan kebebasan beragama/berkeyakinan merupakan

pilihan yang bebas “sesuai dengan hati nurani” seseorang yang

harus dihormati. Tidak ada institusi apa pun yang dapat

menghalangi, meniadakan atau memaksakan agama atau keyakinan

pada seseorang . olehkarena itu tidak setiap kekerasan dan

intimidasi terhadap kelompok-kelompok agama adalah sebuah

pelanggaran hukum.

Warga non-Muslim di sebuah negara Islam harus diperlakukan

oleh kaum Muslim dan pemerintah dengan baik dan adil (60:8).

Martabat dan hak-hak kaum minoritas sebagai “anak Adam” harus

dijamin, dan mereka pun dilindungi oleh hukum Islam dan

penguasa negara. (33) Dokumen yang dikeluarkan oleh Nabi

Muhammad setelah tiba di Madinah, di mana beliau menjadi

pemimpin negara paling awal dalam sejarah setelah hijrahnya

dari Makkah, mengindikasikan komponen-komponen utama struktur

sosial di dalam negara-kota tersebut. Di samping para

pendatang dari Makkah (al-muhâjirûn) dan suku-suku pendukung

dari Madinah (al-ansâr), orang-orang Yahudi disebut sebagai

sebuah komunitas yang mempunyai identitas “yang berbeda dari

yang lain”. Orang-orang Yahudi dan penduduk Muslim Madinah

sama-sama bertanggung jawab untuk menopang atau

mempertahankan negara kota yang baru tersebut. Jika pun

hubungan antara kaum Muslim dan Yahudi di Madinah rusak

karena alasan apa pun, terlepas dari siapa yang bertanggung

jawab atas rusaknya hubungan tersebut, prinsip pluralisme

akan tetap sah secara moral dan hukum.

Page 168: arsip saja

Penduduk tetap non-Muslim dalam negara Islam disebut

dzimmi, sebuah kata Arab yang berarti “mereka dijanjikan

perlindungan atas seluruh hak mereka oleh masyarakat Muslim

dan pemerintah negara”. al-Qur’an berulang-ulang menekankan

bahwa perbedaan manusia dalam soal keyakinan agama hendaknya

sama sekali tidak menyebabkan lahirnya konflik. Hanya

tindakan zalim dan agresi yang membenarkan dilakukannya

tindakan pertahanan diri yang sah (misalnya, 2:190; 60:9).

Kelompok dzimmi, sebagaimana ditekankan sebelumnya, secara

umum memiliki hak dan kewajiban yang sama. Peran Global dalam Pendidikan Multikultural

Komitmen moral di setiap negeri oleh penguasa negara

diperlukan untuk membentengi multikulturalisme secara internal

dan universal. Komitmen moral yang semacma itu penting di

dalam organisasi-organisasi regional (seperti Masyarakat Eropa,

Organisasi Negara-negara Amerika, Liga Negara-negara Arab,

Organisasi Konferensi Islam, Organisasi Asia Tenggara, dsb.),

dan di dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa serta badan-badan dan

lembaga-lembaga yang berada di bawahnya dan yang berafiliasi

dengannya, sehingga dapat melindungi dan memelihara globalisme

universal.

Masyarakat Barat penting juga untuk memahami dan

menginternalissikan tentang apa yang sesungguhnya terjadi dan

dipahami dalam Islam dan bagaimana relasinya dengan agama lain.

hal ini diperlukan agar tidak terus terjadi kesalahpahaman

mengenai salah satu agama tertentu. Dunia berdialog, dunia

saling mempelajari dan memahami antar berbagai kareker yang ada

di dunia untuk kemudian mensistesikannya menjadi sebuh konsep

multi kultural global, dimana pembicaraan dan penerapan

Page 169: arsip saja

pendidikan multikultural tidak lagi hanya sebuah proyek

deradikalisasi, melainkan menjadi proyek kemanusiaan yang murni

untuk perdamain muka bumi. Hanya dalam sikap pluralistik, kita

manusia abad ke-21 dapat membangun kehidupan bersama yang

berdamai, positif, penuh sikap hormat satu terhadap lain, dan

bekerja sama dalam mengatasi masalah-masalah besar kita.

Pasal 281, ayat 1 berikut akan menutup buku Pendidikan

Berbasis Multikultural ini:

“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran danhati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakuisebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atasdasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidakdapat dikurangi dalam keadaan apa pun.”

Page 170: arsip saja

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Moeslim, Islam sebagai Kritik Sosial, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2003.

Agil, Said. 2004. Aktualisasi Nilai-nilai Qur’ani dalam Sistem PendidikanIslam . Jakarta Selatan: Ciputat Press.

Amstrong, Karen, Masa Depan Tuhan: Sanggahan terhadap Fundamentalisme dan Ateisme, Jakarta: Mizan, 2011.

Amstrong, Karen, Perang Suci: Kisah Setail Perang Salib, Akar Pemicunya, dan Dampaknya terhadap Zaman Sekarang, Jakarta: Serambi, 2011.

Atkinson, Jane Monning, How gender makes a difference in Wana Society, dalam “Power and Difference: Gender in Island Southeast Asia, Stanford: Stanford University Press, 1990.

Azra, azyumardi, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam, Jakarta: Paramadina, 1999.

Azra, azyumardi, Pergolakan Politik Islam: dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme, Jakarta: Paramadina, 1996.

Page 171: arsip saja

Bank, James A. dan Cherry A. McGee (ed). Handbook of Research on Multicultural Education (San Francisco: Jossey-Bass, 2001).

Bellah, N. Robert, Islamic Tradition and the Problem of Modernization. New York: Harper dan Row, 1976.

Bellah, N. Robert, Agama Sipil di amerika dalam Menggugat Pendidikan: Fundamentalis, Konservatif, Liberal, Anarkis, Jakarta: Pustaka Pelajar, 2009.

Budiarjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 2010.

Van Bruinessen, van, Martin, "Genealogies of Islamic Radicalism in post-Suharto Indonesia",Southeast Asia Research no 2, 2002,

Chan, M. Sam., Emzir, Isu-isu Kritis Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah, Bohor, Ghalia Indonesia, 2007.

Cox, Harvey, Turning East: Why Americans Looks to the Orient for Spiritulity, New York: 1977.

Davidson, J, Women and Enivironment in the Third World:Alliance for the Future. London: Eartscan Publication Ltd, 1993.

Demartoto, Agus, Menyibak Sensititivitas Gender dalam Keluarga Difabel, Jawa Tengah: UNS Pres, 2007.

Djohar, Pendidikan Agama di Sekolah Umum dalam Konteks Masyarakat Majemuk di Yogyakarta. Yogyakarta: Interfidei. Dan Benturan dengan

Esposito, L. John, Masa Depan Islam: antara Tantangan Kemajemukan dan Benturan dengan Barat, Jakarta: Mizan, 2010.

Farusi Ismail al-& Lois Lamya al-Faruqi, The Cultural Atlas of Islam,New York: MacmUrban Education Program, 1994.illan, 1986.

Freire, Paulo, Pendidikan Kaum Tertindas, Jakarta: LP3ES, 1972.

Page 172: arsip saja

Furnivall, J.S, “Plural Societies” dalam H-D. Evers, “Sociology of

South-East Asia: Reading on Social Change and Development. Kuala Lumpur:

Oxford Universiy Press, 1980.

Gay, Geneva, A Synthesis of Scholarship in Multicultural Education, dalam

Urban Education Monograph Series, Washington: NCREL’s Urban

Education Program, 1994.

Gahraldian, Donny, Demokrasi Kami, Jakarta: Koekoesan, 2006.

Gellner, Ernest, Post Modernisme, Reason and Religion, London: 1992.

Giddens, Anthony. Sociology 5th UK: Cambridge. 2006

Gutman, Amy, Multiculturalism, Examining the Politics of Recognation,Princenton: Princenton University Press, 1994.

Hasan, Fuad, Catatan Perihal Restorasi Pancasila, dalam RestorasiPancasila, Mendamaikan Politik Identitas dan Modernitas,Jakarta, 2006.

Hasani, Ismail., Naipospos, Tigor, Bonar (editor), Wajah Para “Pembela” Islam: Radikalisme Agama dan Implikasinya terhadap Jaminan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Jabodetabek dan Jawa Barat, Jakarta: Setara, 2010.

Halili, dkk, Kepemimpinan : Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan diIndonesia 2012, Jakarta: Setara, 2012.

Hanggraeni, Dewi. Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta: LembagaPenerbit FEUI, 2012.

Illich, Ivan, Gender, New York: Pantheo Books, 1982.

Joesoef, Daoed, Studi Strategi: Logika Ketahanan dan Pembangunan Nasional, Jakarta: Kompas: 2014.

Kimball, Charles, Kala Agama Jadi Bencana, Jakarta: 2008.

Page 173: arsip saja

Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi 1, (Jakarta: Rineka Cipta, Cetakan Ketiga, 2005)

La Belle, Thomas J, dan Christopher R.Ward, Multiculturalism and Education, New York: State University of New York Press, 2002.

Lash, Scott dan Featherstone, Mike (ed.), Recognition And Difference: Politics, Identity,Multiculture, London: Sage Publication, 2002.

Latif, Yudi, Negara Paripurna:: Historisitas, rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Jakarta: Gramedia, 2011.

Leistyna, Pepi, Defining and Designing Multiculturalism, New York: State University of New York Press, 2002.

Listia, Laode Arham, Lian Gogali, Problematika Pendidikan Agama di Kota Jogjakarta 2004-2006. Yogyakarta, 2007.

Mack,C,Jr, Mistaken Identify and Issues in Multicultural Education Initiatives”dalam The Winning Paper. USA: Nipissing University, 2002.

Mahfud, Choirul, Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: 2010.

Majid, Abdul, Perencanaan Pembelajaran: Mengembangkan Standar Kompetensi Guru, Bandung Roda, 2008.

Mantik, Maria Josephine. (2012). Konsep Multikulturalisme dan Pluralisme dalam ‘Lalita’ karya Ayu Utami (diunduh dalam format .pdf pada tanggal 10 September 2014 pada pkl. 12.43 WIB).

Masyhuri, Bakar Pecinan! (Konflik Pribumi vs Cina di Kudus Tahun 1918), Jakarta: Grafika Indah, 2006

Miller,P.John, Cerdas di Kelas Sekolah Kepribadian: Rangkuman Model

Pengembangan Kepribadian dalam Pendidikan Berbasis Kelas, Yogyakarta:

Kreasi Wacana, 2002.

Misrawi, Zuhairi, Islam dan Terorisme”, Kolom, Jakarta: 2011

May, W.F, Terrorism as Strategy and Ecstasy, Social Research, 1974.

Page 174: arsip saja

Mulkhan, Abdul Munir. “Logika Ekonomi dan Agama dalamFenomena ProtesSosial,”Kompas (Jakarta), 9 Maret 1993.

Najib,Moh, Agu., Ahmad Baidowi, Zainudin “Multikulturalisme dalamPendidikan Islam: Studi terhadap UIN Yogyakarta, IAIN Banjarmasin, dan STAINSurakarta. Tanpa tahun.

Nieto, Sonia, Language, Culture and Teaching (Mahwah, NJ: LawrenceEarlbaum, 2002).

Osman, Fathi, Mohammed, Islam, Pluralisme, dan Toleransi Keagamaan:Pandangan Al-Qur’an, Kemanusiaan, Sejarah, dan Peradaban, Edisi Digital,Jakarta: Democracy Project, 2012.

Overholt, C, Gender Roles in Development Projects: A Case Book,Conecticut: Kumarian Pres, 1985.

Parekh, Bikhu, “What is Multiculturalism?” dalam Jurnal India Seminar, Desember1999.

Prayitno, dan Manullang, Belferik, Pendidikan Karakter: dalam Pembangunan Bangsa, Jakarta: Grasindo, 2011.

Priyono, AE., Usman Hamid (Ed), Merancang Arah Baru Demokrasi: Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta: KPG, 2014.

Qardhawi, Yusuf, Islam Ekstrem: Analisis dan Pemecahannya, Bandung, 1985.

Qutb, Sayyid, Fi Zilal al-Qur’an, Jilid 6, Kairo: Dar al-Syuruq, 1980.

Rachman, Munawar, Budhy, Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme: Islam Progresif dan Perkembangan Diskursusnya, Jakarta: Grasindo, 2010.

Rachman, Munawar, Budhy, Membaca Nurcholish Madjid: Islam dan Pluralisme,edisi digital, Jakarta: Democracy Project, 2011.

Rachman, Munawar, Budhy, Basis Teologi Persaudaraan antar-Agama, Kolom, Edisi 007, Agustus 2011.

Page 175: arsip saja

Rachman, Munawar, Budhy, (Penyuting), Membela Kebebasan Beragama: Percakapan tentang Sekulerisme, Liberalisme, dan Pluralisme, Buku 1,Jakarta: Democracy Project,2011.

Rachman, Munawar, Budhy (Ed.), Ensiklopedi Nurcholish Madjid: Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban, Edisi Digital,Jilid 3, Jakarta:Democracy Project,2012.

Rachman, Munawar, Budhy (Ed.), Ensiklopedi Nurcholish Madjid: Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban, Edisi Digital,Jilid 4, Jakarta:Democracy Project,2012.

Reed, Ishmed (Ed.), Multi America: Essays on Culture Wars and Peace. Pinguin.

Romanowski, Jennifer, Exploring My Practicum Community A Critical Analysis of Multicultural Education Initiatives, The Winning Paper. USA: Nipissing University, 2002.

Schmidt,J, Alvin, (1989: Xiii) dalam “Veiled and Silenced: How Culture Shaped Sexist Theology,Georgia: Mercer University Press, 1989.

Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, ,Jilid 3. Jakarta: Lentera Hati, 2009.

Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, ,Jilid 12. Jakarta: Lentera Hati, 2009.

Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, ,Jilid 13. Jakarta: Lentera Hati, 2009.

Paul II, Pope John, Crossing the Treshold of Hope, (ed.) Vvittorio Messori, New York: Alfred A. Knopf, 1994.

Page 176: arsip saja

Postman, Neil, Mengajar sebagai Aktivitas Subversif, Yokgyakarta: Jendela, 2001.

Robbins, Stephen P & Judge, Timothy A. Organizational Behavior,Twelfth Edition, New Jersey: Pearson Prentice Hall,2007.

Russell, Bertrand, Education and the Social Order. London and NewYork: Routledge. 2010

Soekanto, Soerjono, Sosiologi: Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers, 2003

Suseno, Frans Magnis S.J, Etika Kebangsaan Etika Kemanusiaan: 79 Tahun sesudah Sumpah Pemuda, Yogyakarta: Impulse dan Kanisius, 2008

Suseno, Frans Magnis S.J, Menjadi Saksi Kristus di Tengah Masyarakat Majemuk. Jakarta: Obor, 2004

Takari, Muhammad, Budaya Musik dan Tari Melayu Sumatera Utara, Medan: USU Press, 2008.

Tilaar, H.A.R, Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2012.

Tilaar, H.A.R, Kalaeidosop Pendidikan Nasional, Jakarta: Kompas, 2012

Tilaar, H.A.R. Multikulturalisme, Tantangan-tantangan Global MasaDepan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo,2004.

Tilaar, H.A.R, Manajemen Pendidikan Nasional: Kajian Pendidikan MasaDepan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008

Tilaar, H.A.R, 2004, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Jakarta:Rineka Cipta, 2004.

Wadus, Amina, Qur’an Menurut Perempuan: Meluruskan Bias Gender dalamTradisi Tafsir, Jakarta: Serambi,2001.

Wilkinson, P, Political Terrorism, London: 1974.

Page 177: arsip saja

A.N. Wilson, Against Religion: Why We Should Try to Live Without it,

Yaqin, M. Ainul. 2005. Pendidikan Multural; Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan. Yogyakarta: Pilar Media.

Zubaedi, Pendidikan Berbasis Masyarakat: Upaya Menawarkan Solusi terhadapberbagai Problem Sosial, Jakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

Internet

Annick M.Brenne. ClinicalSupervisionhttp://www.soencouragement.org/clinical-supervisoin-case-study.htm

Gregory Jay. “Critical Contexts For Multiculturalism” dalamhttp://www.uwm.edu/~gjay/Multicult/contextsmulticult.htm, download 2 Desember 2005

http://fitk.uinsby.ac.id/30-karya-tulis/83-pendidikan-multikultural-upaya-membangun-keberagaman-inklusif-di-sekolah.html

Page 178: arsip saja