BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Agama menurut Islam adalah apa yang diturunkan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an dan Sunnah yang berisi perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk bagi kemaslahatan umat baik itu urusan dunia maupun akhirat. Beragama Islam adalah suatu bentuk keyakinan manusia terhadap berbagai hal yang diajarkan dalam Al-Qur’an. Beragama Islam berarti meyakini sepenuhnya terhadap pokok-pokok ajaran dan keyakinan agama Islam. Tidak ada manusia yang mengaku beragama Islam tanpa meyakini hal-hal yang telah ditetapkan dalam agama Islam. Dalam agama Islam terdapat pilar-pilar keimanan yang dikenal dengan rukun iman. Rukun iman terdiri dari enam pilar yang merupakan keyakinan umat Islam terhadap hal-hal yang hanya dapat diyakini secara transedental atau sebuah kepercayaan terhadap hal-hal di luar nalar manusia. Rukun Iman terdiri dari iman kepada Allah SWT, iman terhadap malaikat- malaikat Allah, iman kepada kitab-kitab Allah, iman kepada Rasul-Rasul Allah SWT, iman kepada hari kiamat, iman kepada qada’ dan qadar. Keenam pilar iman umat Islam tersebut merupakan sesuatu hal yang wajib diyakini oleh setiap umat Muslim. Jika salah satu rukun iman tersebut tidak diyakini maka gugurlah keimanannya. Meyakini keenam rukun iman merupakan suatu 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Agama menurut Islam adalah apa yang diturunkan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an
dan Sunnah yang berisi perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk bagi
kemaslahatan umat baik itu urusan dunia maupun akhirat. Beragama Islam adalah suatu
bentuk keyakinan manusia terhadap berbagai hal yang diajarkan dalam Al-Qur’an. Beragama
Islam berarti meyakini sepenuhnya terhadap pokok-pokok ajaran dan keyakinan agama
Islam. Tidak ada manusia yang mengaku beragama Islam tanpa meyakini hal-hal yang telah
ditetapkan dalam agama Islam.
Dalam agama Islam terdapat pilar-pilar keimanan yang dikenal dengan rukun iman.
Rukun iman terdiri dari enam pilar yang merupakan keyakinan umat Islam terhadap hal-hal
yang hanya dapat diyakini secara transedental atau sebuah kepercayaan terhadap hal-hal di
luar nalar manusia. Rukun Iman terdiri dari iman kepada Allah SWT, iman terhadap
malaikat-malaikat Allah, iman kepada kitab-kitab Allah, iman kepada Rasul-Rasul Allah
SWT, iman kepada hari kiamat, iman kepada qada’ dan qadar.
Keenam pilar iman umat Islam tersebut merupakan sesuatu hal yang wajib diyakini
oleh setiap umat Muslim. Jika salah satu rukun iman tersebut tidak diyakini maka gugurlah
keimanannya. Meyakini keenam rukun iman merupakan suatu kewajiban yang tidak dapat
dihindarkan oleh setiap umat Muslim.
Penulis akan mengkaji berbagai hal yang menyangkut keenam pilar keimanan yang
harus dimiliki oleh setiap Muslim, baik berupa dalil maupun pengaruh keimanan tersebut
terhadap kehidupan seorang Muslim. Diharapkan kajian ini akan menambah pemahaman baik
penulis maupun membaca mengenai pentingnya rukun iman dalam kehidupan manusia.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka berikut ini merupakan rumusan masalah yang akan dikaji dalam makalah ini, yaitu:
1. Apakah yang dimaksud dengan rukun Iman?
2. Apakah arti iman kepada Allah?
1
3. Apakah arti iman kepada malaikat?
4. Apakah arti iman kepada kitab-kitab Allah?
5. Apakah arti iman kepada Rasul-Rasul Allah?
6. Apakah arti iman kepada hari kiamat?
7. Apakah arti iman kepada qada’ dan qadar?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penyusunan makalah Arkanul Iman ini adalah:
1. Memahami maksud rukun Iman.
2. Mengetahui kedudukan rukun Iman dalam agama Islam.
3. Memahami makna rukun iman terhadap kehidupan seorang muslim.
1.4 Metode dan Teknik Penulisan
Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah metode deskriptif
analitik, yaitu dengan mengungkapkan masalah-masalah yang dikaji dan kemudian dianalisis
berdasarkan teori-teori yang tersedia dan pengetahuan penulis. Adapun teknik penulisan yang
digunakan adalah kajian kepustakaan terhadap berbagai sumber literatur.
1.5 Sistematika Penulisan
Makalah ini disusun dengan sistematika penulisan sebagai berikut yaitu bab I berisi
pendahuluan, tentang latar belakang masalah, rumusan dan tujuan, penulisan, metode dan
teknik penulisan serta sistematika penulisan; bab II berisi pembahasan materi, yang berisi
tentang pengertian, dalil-dalil dan materi rukun Iman; bab III berisi penutup, berisi
kesimpulan dan saran serta lampiran berisi pertanyaan dan jawaban hasil diskusi dengan para
mahasiswa kelas A angkatan 2011 Farmasi UNPAD.
2
BAB IIPEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Iman secara bahasa berarti at-tashdiiq (pembenaran), sebagaimana firman
Allah ta’ala :
�ن� ل �مؤ�م�ن� ب �ت� ن� أ و�م�ا
“Dan kamu sekali-kali tidak akan percaya/membenarkan kepada kami” [QS. Yuusuf : 17]
Dikarenakan ia merupakan lafadh syar’iy, maka tidak cukup hanya diartikan dari segi
bahasa saja, akan tetapi harus dikembalikan pada pengertian nash-nash syar’iy. Maka, kita
dapati Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyebutkan beberapa penjelasan
penting tentang perbedaan antara tashdiiq dan iman.
Beliau rahimahullah berkata :
“Bahwasannya iman itu tidak bersinonim dengan at-tashdiiq dalam makna. Karena setiap
orang menyampaikan khabar penglihatan langsung ataupun tidak langsung (ghaib), dapat
dikatakan kepadanya secara bahasa : ‘shadaqta’ (engkau benar), sebagaimana dapat juga
dikatakan : ‘kadzabta (engkau dusta). Barangsiapa yang mengatakan : ‘langit itu di atas
kami’, maka dapat dikatakan kepadanya : ‘shadaqa’ (ia benar), sebagaimana juga dapat
dikatakan : ‘kadzaba’ (ia dusta/tidak benar). Adapun lafadh iman tidaklah digunakan kecuali
dalam penerimaan khabar dari yang ghaib (tidak terlihat secara tidak langsung). Tidak
didapatkan dalam pembicaraan ada orang yang menyampaikan khabar dengan
penglihatannya langsung : ‘matahari telah terbit dan tenggelam’; kemudian
dikatakan :‘aamannaahu’ sebagaimana dapat dikatakan : shadaqnaahu’….. Sesungguhnya
kata iman berasal dari kata al-amnu. Kata tersebut dipergunakan dalam khabar yang
dipercayai oleh orang yang meyampaikan khabar, seperti permasalahan ghaib. Oleh
karenanya, tidak didapatkan dalam Al-Qur’an dan yang lainnya lafadh aamana lahu (aku
mempercayainya), kecuali dalam pengertian ini” [Al-Iimaan oleh Ibnu Taimiyyah, hal. 276-
277]
Beliau rahimahullah juga berkata :
كل أن اللغة في المعلوم من فإنه التصديق، كلفظ بالتكذيب يقابل لم اللغة في اإليمان لفظ أن
: : : كذبناه، أو له آمنا مخبر لكل يقال وال كذبناه، أو صدقناه ويقال كذبت، أو صدقت له يقال مخبر
: . : مؤمن هو يقال الكفر لفظ اإليمان مقابلة في المعروف بل له، مكذب أو له مؤمن أنت يقال وال
كافر أو
3
“Bahwasannya lafadh al-iman secara bahasa tidaklah dipertentangkan dengan lafadh at-
takdziib, sebagaimana lafadh at-tashdiiq. Telah diketahui dalam bahasa setiap orang
menyampaikan khabar dapat dikatakan kepadanya : shadaqta (engkau benar)
ataupunkadzabta (engkau dusta). Oleh karenannya, dapat pula
dikatakan : shadaqnaahu (kami mempercayainya) atau kadzabnaahu (kami
mendustakannya). Namun tidak dikatakan kepada setiap orang yang menyampaikan
khabar : aamannaa lahu (kami beriman kepadanya) atau kadzabnaahu (kami
mendustakannya). Tidak pula dikatakan : anta mu’minun lahu (engkau mengimaninya)
atau anta mukadzdzibun lahu (engkau mendustakannya). Namun yang diketahui sebagai
kebalikan al-imaan adalah lafadh al-kufr (kafir), sehingga (yang seharusnya)
dikatakan : huwa mu’minun au kufrun (ia orang yang beriman atau kafir)”.
Definisi Iman secara istilah syari’iy yaitu:
1. Al-Imaam Ismaa’iil bin Muhammad At-Taimiy rahimahullah berkata :
ة والظاهر الباطنة الطاعات جميع عن عبارة الشرع في اإليمان
“Iman dalam pengertian syar’iy adalah satu perkataan yang mencakup makna semua
ketaatan lahir dan batin” [Al-Hujjah fii Bayaanil-Mahajjah, 1/403].
2. Imaam Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata :
“Para ahli fiqh dan hadits telah sepakat bahwasannya iman itu perkataan dan perbuatan.
Dan tidaklah ada perbuatan kecuali dengan niat” [At-Tamhiid, 9/238].
3. Al-Imaam Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata :
“Hakekat iman terdiri dari perkataan dan perbuatan. Perkataan ada dua : perkataan hati,
yaitu i’tiqaad; dan perkataan lisan, yaitu perkataan tentang kalimat Islam (mengikrarkan
syahadat –Abul-Jauzaa’). Perbuatan juga ada dua : perbuatan hati, yaitu niat dan keikhlasannya;
dan perbuatan anggota badan. Apabila hilang keempat hal tersebut, akan hilang iman
dengan kesempurnaannya. Dan apabila hilang pembenaran (tashdiiq) dalam hati, tidak
akan bermanfaat tiga hal yang lainnya” [Ash-Shalaah wa Hukmu Taarikihaa, hal. 35].
4. Ahlus-Sunnah berpendapat bahwa iman itu adalah perkataan dan perbuatan. Yang mereka
maksudkan dengan perkataan adalah perkataan lisan dengan adanya pengikraran, dan
perkataan hati dengan i’tiqaad. Adapun yang mereka maksudkan dengan perbuatan
adalah perbuatan hati yaitu niat dan ikhlash, serta perbuatan anggota tubuh dengan
melakukan berbagai kewajiban dan meninggalkan berbagai keharaman.
5. Al-Imaam Abu ‘Ubaid Al-Qaasim bin Sallaam dalam kitab Al-Iimaan berkata :
4
: : اإليمان إحداهما فقالت فرقتين األمر هذا في افترقوا بالدين والعناية العلم أهل أن
: اإليمان بل األخرى الفرقة وقالت الجوارح وعمل األلسنة وشهادة بالقلوب لله باإلخالص
اإليمان وليسمن وبر، تقوى هي فإنما األعمال فأما واأللسنة، .بالقلوب
جعلت التي الطائفة يصدقان والسنة الكتاب فوجدنا الطائفتين، اختالف في نظرنا وإذا
األخرى قالت ما وينفيان جميعا والعمل والقول بالنية .اإليمان
“Bahwasannya para ulama dan orang-orang yang mempunyai perhatian terhadap agama
dalam permasalahan ini terbagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok di antara mereka
berkata : Iman itu adalah ikhlash kepada Allah dengan hati, syahadat yang diucapkan oleh
lisan, dan perbuatan dengan anggota badan. Kelompok kedua berkata : Iman itu adalah
dengan hati dan lisan saja. Adapun perbuatan hanyalah ketaqwaan dan kebaikan, bukan
termasuk bagian dari iman. Dan jika kita memperhatikan perbedaan antara dua kelompok
tersebut, kita akan mendapati Al-Qur’an dan As-Sunnah membenarkan kelompok
(pertama) yang menjadikan iman dengan adanya niat, perkataan, dan perbuatan; yang
bersamaan dengan itu menafikkan (kebenaran) apa yang dikatakan kelompok kedua” [Al-
Iimaan, hal. 53].
Dengan begitu dapat disimpulkan adanya perbedaan pendapat tentang pengertian iman.
Oleh karena itu, iman menuntut adanya perkataan dan perbuatan. Iman tidak cukup hanya
dengan keberadaan satu di antara keduanya tanpa yang lain. Karena kata iman hanyalah ada
pada orang yang membenarkan seluruh syari’at yang Allah turunkan kepada
Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam, dengan niat, iqraar (pengakuan), dan perbuatan. Orang
yang membenarkan (dalam hati) namun tidak mengikrarkan melalui lisannya dan tidak
mengamalkan ketaatan melalui anggota badannya yang ia diperintahkan dengannya, maka
tidak berhak dinamakan beriman. Begitu juga, barangsiapa yang mengikrarkan dengan
lisannya dan mengerjakan dengan anggota badannya, namun ia tidak membenarkan hal itu
dalam hatinya; maka tidak berhak pula dinamakan beriman. Al-Imaam Sahl bin ‘Abdillah At-
Tustuuriy rahimahullah ketika ditanya tentang iman, ia berkata :
. نية، بال وعمال قوال كان وإذا كفر فهو عمل، بال قوال كان إذا اإليمان ألن وسنة، ونية وعمل قول
. بدعة فهو سنة، بال ونية وعمال قوال كان وإذا نفاق فهو
“(Iman itu adalah) perkataan, perbuatan, niat, dan sunnah. Karena seandainya iman hanyalah
perkataan tanpa perbuatan, maka ia adalah kekufuran. Seandainya ia hanyalah perkataan dan
perbuatan namun tanpa niat, maka ia adalah kemunafikan. Dan seandainya ia hanyalah
perkataan, perbuatan, dan niat, namun tanpa sunnah, maka ia adalah kebid’ahan” [majmuu’
Al-Fataawaa, 7/171].
5
2.2 Arti Iman kepada Allah SWT
Iman adalah membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan lisan, dan memperbuat
dengan anggota badan (beramal). Dengan demikian iman kepada Allah berarti meyakini
dengan sepenuh hati bahwa Allah SWT itu ada, Allah Maha Esa. Keyakinan itu diucapkan
dalam kalimat :
الله إال الإله أن أشهد
“Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah”
Sebagai perwujudan dari keyakinan dan ucapan itu, harus diikuti dengan perbuatan,
yakni menjalankan perintah Allah dan menjauhi laranganNya.
Rukun Iman yang pertama adalah iman kepada Allah SWT yang merupakan dasar dari
seluruh ajaran Islam. Orang yang akan memeluk agama Islam terlebih dahulu harus
mengucapkan kalimat syahadat. Pada hakekatnya kepercayaan kepada Allah SWT sudah
dimiliki manusia sejak ia lahir. Bahkan manusia telah menyatakan keimanannya kepada
Allah SWT sejak ia berada di alam arwah. Firman Allah SWT :
بلى قالوا بربكم الست انفسهم على وأشهدهم ذريتهم ظهورهم من أدم بني من ربك اخذ وإذ
شهدنا
“Dan ingatlah, ketika TuhanMu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka
dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) : “Bukankah Aku
ini Tuhanmu?” Mereka menjawab : “Betul Engkau Tuhan kami, kami bersaksi.” (QS. Al-
A’raf : 172)
Jauh sebelum datangnya agama Islam, orang-orang jahiliyah juga sudah mengenal
Allah SWT. Mereka mengerti bahwa yang menciptakan alam semesta dan yang harus
disembah adalah dzat yang Maha Pencipta, yakni Allah SWT. Sebagaimana diungkapkan di
dalam Al-Qur’an :
العليم العزيز خلقهن ليقولن واألرض السموت خلق من سألتهم ولئن
“Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka : “Siapakah yang menciptakan langit dan
bumi?”, niscaya mereka akan menjawab : “Semuanya diciptakan oleh Yang Maha Perkasa
lagi Maha Mengetahui.” (QS. Az-Zukhruf : 9)
Manusia memiliki kecenderungan untuk berlindung kepada sesuatu Yang Maha
Kuasa. Yang Maha Kuasa itu adalah dzat yang mengatur alam semesta ini. Dzat yang
mengatur alam semesta ini sudah pasti berada di atas segalanya. Akal sehat tidak akan
menerima jika alam semesta yang sangat luas dan teramat rumit ini diatur oleh dzat yang
kemampuannya terbatas. Sekalipun manusia sekarang ini sudah dapat menciptakan teknologi
6
yang sangat canggih, namun manusia tidak dapat mengatur alam raya ini. Dengan
kecanggihan teknologinya, manusia tidak akan dapat menghentikan barang sedetik pun bumi
untuk berputar.
Dzat Allah adalah sesuatu yang ghaib. Akal manusia tidak mungkin dapat
memikirkan dzat Allah. Oleh sebab itu mengenai adanya Allah SWT, kita harus yakin dan
puas dengan apa yang telah dijelaskan Allah SWT melalui firman-firman-Nya dan bukti-
bukti berupa adanya alam semesta ini.
Ketika Rasulullah SAW mendapat kabar tentang adanya sekelompok orang yang
berusaha memikirkan dan mencari hakekat dari dzat Allah, maka beliau melarang mereka
untuk melakukan hal itu. Rasulullah SAW bersabda :
فى تفكروا وسلم عليه الله صلى النبي وقال عزوجل الله فى تفكروا قوما عباسأن ابن عن
( الشيخ ( ابو رواه الله ذات فى تفكروا وال الله خلق
“Dari Ibnu Abbas RA, diceritakan bahwa ada suatu kaum yang memikirkan tentang (hakekat)
dzat Allah Azza Wajalla, maka Nabi SAW bersabda : “Pikirkanlah tentang ciptaan Allah dan
janganlah kamu memikirkan (hakekat) dzat Allah.” (HR. Abu Asy-Syaikh)
Sebagai perwujudan dari keyakinan akan adanya Allah, Tuhan Yang Maha Esa adalah
pengabdian kita kepada Nya. Pengabdian kita kepada Allah adalah pengabdian dalam bentuk
peribadatan, kepatuhan, dan ketaatan secara mutlak. Tidak menghambakan diri kepada selain
Allah, dan tidak pula mempersekutukan Nya dengan sesuatu yang lain. Itulah keimanan yang
sesungguhnya. Jika sudah demikian Insya Allah hidup kita akan tentram. Apabila hati dan
jiwa sudah tentram, maka seseorang akan berani dan tabah dalam menghadapi liku-liku
kehidupan ini. Segala nikmat dan kesenangan selalu disyukurinya. Sebaliknya setiap musibah
dan kesusahan selalu diterimanya dengan sabar.
Dasar Beriman Kepada Allah
a. Kecenderungan dan pengakuan hati
b. Wahyu Allah atau Al-Qur’an
c. Petunjuk Rasulullah atau Hadits
Setiap manusia secara fitrah, ada kecenderungan hatinya untuk percaya kepada
kekuatan ghaib yang bersifat Maha Kuasa. Tetapi dengan rasa kecenderungan hati secara
fitrah itu tidak cukup. Pengakuan hati merupakan dasar iman. Namun dengan pengakuan hati
tidak akan ada artinya, tanpa ucapan lisan dan pengalaman anggota tubuh. Sebab antara
pengakuan hati, pengucapan lisan, dan pengalaman anggota tubuh merupakan satu kesatuan
7
yang tak dapat dipisahkan. Untuk mencapai keimanan yang benar tidak hanya berdasarkan
fitrah pengakuan hati nurani saja, tetapi harus dipadukan dengan Al-Qur’an dan Hadits.
Iman kepada Allah SWT merupakan pokok dari seluruh iman yang tergabung dalam
rukun iman. Karena iman kepada Allah SWT merupakan pokok dari keimanan yang lain,
maka keimanan kepada Allah SWT harus tertanam dengan benar kepada diri seseorang.
Sebab jika iman kepada Allah SWT tidak tertanam dengan benar, maka ketidak-benaran ini
akan berlanjut kepada keimanan yang lain, seperti iman kepada malaikat-malaikat Nya, kitab-
kitab Nya, rasul-rasul Nya, hari kiamat, serta qadha dan qadar Nya. Dan pada akhirnya akan
merusak ibadah seseorang secara keseluruhan. Di masyarakat tidak jarang kita jumpai cara-
cara beribadah seorang yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, padahal orang tersebut
mengaku beragama Islam.
Ditinjau dari segi yang umum dan yang khusus ada dua cara beriman kepada Allah
SWT :
a. Bersifat Ijmali
Cara beriman kepada Allah SWT yang bersifat ijmali maksudnya adalah, bahwa kita
mepercayai Allah SWT secara umum atau secara garis besar. Al-Qur’an sebagai suber ajaran
pokok Islam telah memberikan pedoman kepada kita dalam mengenal Allah SWT.
Diterangkan, bahwa Allah adalah dzat yang Maha Esa, Maha Suci. Dia Maha Pencipta, Maha
Mendengar, Maha Kuasa, dan Maha Sempurna.
b. Bersifat Tafshili
Cara beriman kepada Allah SWT yang bersifat tafsili, maksudnya adalah mempercayai Allah
secara rinci. Kita wajib percaya dengan sepenuh hati bahwa Allah SWT memiliki sifat-sifat
yang berbeda dengan sifat-sifat makhluk Nya. Sebagai bukti adalah adanya “Asmaul Husna”
yang kita dianjurkan untuk berdoa dengan Asmaul Husna serta menghafal dan juga meresapi
dalam hati dengan menghayati makna yang terkandung di dalamnya.
2.3 Iman kepada Malaikat-Malaikat Allah
Iman kepada Malaikat merupakan salah satu landasan agama Islam.
AllahTa`ala berfirman yang artinya: “Rasul telah beriman kepada al-Quran yang diturunkan
kepadanya dari Tuhannya, demikian juga orang-orang yang beriman. Semuanya beriman
kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya….” (QS. Al-
Baqarah: 285) Rasulullah ketika ditanya oleh Jibril `alaihis salam tentang iman, beliau
menjawab: “(Iman yaitu) Engkau beriman dengan Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-
8
Nya, para rasul-Nya, hari akhir, dan beriman dengan takdir yang baik dan buruk.”
(Muttafaq `alaih)
Syaikh DR. Muhammad bin `Abdul Wahhab al-`Aqiil mengatakan, “Dalil-dalil dari
al-Qur`an, as-Sunnah, dan ijma` (kesepakatan) kaum muslimin (tentang malaikat)
menunjukkan hal-hal sebagai berikut:
Malaikat merupakan salah satu makhluk di antara makhluk-makhluk ciptaan Allah.
Allah menciptakan mereka untuk beribadah kepada-Nya, sebagaimana Allah
menciptakan jin dan manusia juga untuk beribadah kepada-Nya semata.
Mereka adalah makhluk yang hidup, berakal, dan dapat berbicara.
Malaikat hidup di alam yang berbeda dengan alam jin dan manusia. Mereka hidup di
alam yang mulia lagi suci, yang Allah memilih tempat tersebut di dunia karena
kedekatannya, dan untuk melaksanakan perintah-Nya, baik perintah yang yang
bersifat kauniyyah, maupun syar`iyyah.
Allah Ta`ala menciptakan malaikat dari cahaya. Hal tersebut sebagaimana terdapat
dalam hadits dari Ummul Mu`minin `Aisyah radhiyallah `anha, dia mengatakan bahwasanya
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: “Malaikat diciptakan dari cahaya.” (HR.
Muslim.
Wujud para malaikat telah dijabarkan di dalam Al Qur'an ada yang memiliki sayap
sebanyak 2, 3 dan 4. surah Faathir 35:1 yang berbunyi:
“ Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, Yang menjadikan malaikat
sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai
sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada
ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu. (Faathir 35:1) ”
Kemudian dalam beberapa hadits dikatakan bahwa Jibril memiliki 600 sayap, Israfil
memiliki 1200 sayap, dimana satu sayapnya menyamai 600 sayap Jibril dan yang terakhir
dikatakan bahwa Hamalat al-'Arsy memiliki 2400 sayap dimana satu sayapnya menyamai
1200 sayap Israfil.
Wujud malaikat mustahil dapat dilihat dengan mata telanjang, karena mata manusia
tercipta dari unsur dasar tanah liat kering dari lumpur hitam yang diberi bentuk[29] tidak akan
mampu melihat wujud dari malaikat yang asalnya terdiri dari cahaya, hanya Nabi
9
Muhammad SAW yang mampu melihat wujud asli malaikat bahkan sampai dua kali. Yaitu
wujud asli malikat Jibril .
Mereka tidak bertambah tua ataupun bertambah muda, keadaan mereka sekarang
sama persis ketika mereka diciptakan. Dalam ajaran Islam, ibadah manusia dan jin lebih
disukai oleh Allah dibandingkan ibadah para malaikat, karena manusia dan jin bisa
menentukan pilihannya sendiri berbeda dengan malaikat yang tidak memiliki pilihan lain.
Malaikat mengemban tugas-tugas tertentu dalam mengelola alam semesta. Mereka dapat
melintasi alam semesta secepat kilat atau bahkan lebih cepat lagi. Mereka tidak berjenis lelaki
atau perempuan dan tidak berkeluarga.
Sifat-sifat malaikat yang diyakini oleh umat Islam adalah sebagai berikut:
1. Selalu bertasbih siang dan malam tidak pernah berhenti
2. Suci dari sifat-sifat manusia dan jin, seperti hawa nafsu, lapar, sakit, makan, tidur,
bercanda, berdebat, dan lainnya.
3. Selalu takut dan taat kepada Allah.
4. Tidak pernah maksiat dan selalu mengamalkan apa saja yang diperintahkan-Nya.
5. Mempunyai sifat malu.
6. Bisa terganggu dengan bau tidak sedap, anjing dan patung.
7. Tidak makan dan minum.
8. Mampu mengubah wujudnya.
9. Memiliki kekuatan dan kecepatan cahaya.
Malaikat tidak pernah lelah dalam melaksanakan apa-apa yang diperintahkan kepada mereka.
Menurut syariat Islam ada beberapa tempat dimana para malaikat tidak akan mendatangi
tempat (rumah) tersebut dan ada pendapat lain yang mengatakan adanya pengecualian
terhadap malaikat-malaikat tertentu yang tetap akan mengunjungi tempat-tempat tersebut.
Pendapat ini telah disampaikan oleh Ibnu Wadhdhah, Imam Al-Khaththabi, dan yang lainnya.
Tempat atau rumah yang tidak dimasuki oleh malaikat itu di antara lain adalah:
1. Tempat yang di dalamnya terdapat anjing, (kecuali anjing untuk kepentingan
penjagaan keamanan, pertanian dan berburu);
2. Tempat yang terdapat patung (gambar);
3. Tempat yang di dalamnya ada seseorang muslim yang mengancungkan
dengan senjata terhadap saudaranya sesama muslim;
10
4. Tempat yang memiliki bau tidak sedap atau menyengat.
Kesemuanya itu berdasarkan dalil dari hadits shahih yang dicatatat oleh para Imam, di
antaranya adalah Ahmad, Hambali, Bukhari, Tirmidzy, Muslim dan lainnya. Tidak sedikit
nash hadits yang menyatakan bahwa malaikat rahmat tidak akan memasuki rumah yang di
dalamnya terdapat anjing dan pahala pemilik anjing akan susut atau berkurang.
Malaikat Jibril pun enggan untuk masuk ke rumah Muhammad sewaktu ia berjanji
ingin datang ke rumahnya, dikarenakan ada seekor anak anjing di bawah tempat
tidur. Malaikat Rahmat pun tidak akan mendampingi suatu kaum yang terdiri atas orang-
orang yang berteman dengan (memelihara) anjing.
Iman kepada malaikat menjadikan manusia berhati-hati dalam tindak-tanduknya
karena mereka yakin ada dan akan diminta pertanggungjawabannya di akhirat kelak. Iman
kepada malaikat mempunyai pengaruh positif dan manfaat yang besar bagi kehidupan
seseorang, antara lain sebagai berikut :
1. Semakin meyakini kebesaran, kekuatan dan kemahakuasaan Allah SWT.
2. Bersyukur kepada-Nya, karena telah menciptakan para malaikat untuk membantu
kehidupan dan kepentingan manusia dan jin.
3. Menumbuhkan cinta kepada amal shalih, karena mengetahui ibadah para malaikat.
4. Merasa takut berbuat maksiat karena meyakini berbagai tugas malaikat seperti mencatat
perbuatannya, mencabut nyawa, dan menyiksa di neraka.
5. Cinta kepada malaikat karena kedekatan ibadahnya kepada Allah SWT.
2.4 Iman kepada Kitab-Kitab Allah
Meyakini kitab-kitab Allah SWT Maksudnya adalah, meyakini dengan sebenarnya
bahwa Allah memiliki kitab-kitab yang diturunkan-Nya kepada para nabi dan rasul-Nya,
yang benar-benar merupakan Kalam (firman, ucapan)-Nya. Ia adalah cahaya dan petunjuk.
Apa yang dikandungnya adalah benar.
Lafadz dan makna al-Kitab bukanlah berasal dari Rasulullah. Juga tidak muncul atas
pemikiran dan kehendak beliau. Fungsi Rasulullah dalam hal ini adalah merupakan
penyampai kalam Ilahi itu dengan kebenaran dan amanah yang sempurna. Kemudian beliau
ditugasi untuk memberikan penjelasan tentang isinya yang masih global dan menafsirkan
firman-firman yang perlu diberi penafsiran melalui ilmu yang dianugerahkan oleh Allah
11
SWT. Ummat manusia tidak mungkin mampu mengambil manfaat dalam bentuknya yang
sempurna dari isi al-Kitab itu dan karena itu pulalah mereka membutuhkan seorang “maha
guru” yang bisa menanamkan ilmu yang terdapat dalam al-Kitab itu dalam jiwa mereka.
Tidak ada yang mengetahui jumlahnya selain Allah. Wajib beriman secara
ijmal, kecuali yang telah disebutkan namanya oleh Allah, maka wajib baginya mengimaninya
secara tafshil, yaitu Taurat, Injil, Zabur, dan Al-Qur’an.
Allah menyatakan bahwa orang mukmin harus meyakini adanya kitab-kitab suci yang
turun sebelum Al Qur’an seperti disebutkan dalam firman Allah berikut ini.
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan rasul-Nya
dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan
sebelumnya”. (QS An Nisa : 136)
Selain wajib mengimani bahwa Al-Qur’an diturunkan dari sisi Allah, wajib pula
mengimani bahwa Allah telah mengucapkannya sebagaimana Dia telah mengucapkan seluruh
kitab lain yang diturunkan. Wajib pula melaksanakan berbagai perintah dan kewajiban serta
menjauhi berbagai larangan yang terdapat di dalamnya. Al-Qur’an merupakan tolok ukur
kebenaran kitab-kitab terdahulu. Hanya Al-Qur’anlah yang dijaga oleh Allah dari pergantian
dan perubahan. Al-Qur’an adalah Kalam Allah yang diturunkan, dan bukan makhluk, yang
berasal dari-Nya dan akan kembali kepada-Nya.
Seorang Muslim harus memutuskan kaitan dirinya dengan semua kitab itu dan hanya
menyambungkan tali ketaatannya semata-mata kepada al-Qur’an. Karena :
1. Sebagian besar dari kitab suci itu sudah tidak lagi kita dapati di dunia ini, sedangkan yang
masih bisa ditemukan kondisinya sudah tidak terpelihara lagi seperti aslinya
2. Kitab-kita yang ada di dunia sekarang ini – kecuali al-Qur’an – ajaran-ajarannya secara
jelas memperlihatkan bahwa kitab-kitab itu berlaku untuk masa-masa tertentu dan pada
bagian dunia tertentu pula
3. Tidak ada satu pun di antara kitab-kitab itu – selain al-Qur’an – yang mengandung
kebenaran dalam semua aspek ajarannya atau memuat penjelasan yang gamblang yang
seluruhnya mampu mengemukakan petunjuk bagi semua aspek kehidupan.
Iman kepada kitab Allah bagi manusia dapat memberikan keyakinan yang kuat akan
kebenaran jalan yang ditempuhnya, karena jalan yang harus ditempuh manusia telah
diberitahukan Allah dalam kitab suci. Manusia tidak memiliki kemampuan untuk melihat
masa depan yang akan ditempuhnya setelah kehidupan untuk melihat masa depan yang akan
12
ditempuhnya setelah hidup berakhir, maka dengan pemberitahuan kitab suci manusia dapat
mengatur hidupnya menyesuaikan dengan rencana Allah, sehingga manusia mempunyai masa
depan yang jelas.
Menjadikan manusia tidak kesulitan, atau agar kehidupan manusia menjadi aman,
tenteram, damai, sejahtera, selamat dunia dan akhirat serta mendapat ridha Allah dalam
menjalani kehidupan. Sebagaiman firman Allah dalam surat Thaha sebagai berikut.
Artinya: “Kami tidak menurunkan Al Quran ini kepadamu agar kamu menjadi susah”. (Q.S
Thaha: 2)
Untuk mencegah dan mengatasi perselisihan diantara sesama manusia yang disebabkan
perselisihan pendapat dan merasa bangga terhadap apa yang dimilkinya masing-masing,
meskipun berbeda pendapat tetap diperbolehkan. Seperti disebutkan dalam firman Allah
berikut.
Artinya: “Manusia dahulunya hanyalah satu umat, kemudian mereka berselisih. Kalau
tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dari Tuhanmu dahulu, pastilah telah diberi
keputusan di antara mereka, tentang apa yang mereka perselisihkan itu.” (Q.S. Yunus: 19)
2.5 Iman kepada Rasul-Rasul Allah
Iman kepada Rasul Allah termasuk rukun iman yang keempat dari enam rukun yang
wajib diimani oleh setiap umat Islam. Yang dimaksud iman kepada para rasul ialah meyakini
dengan sepenuh hati bahwa para rasul adalah orang-orang yang telah dipilih oleh Allah swt.
untuk menerima wahyu dariNya untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia agar
dijadikan pedoman hidup demi memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Menurut Imam Baidhawi, Rasul adalah orang yang diutus Allah swt. dengan syari’at
yang baru untuk menyeru manusia kepadaNya. Sedangkan nabi adalah orang yang diutus
Allah swt. untuk menetapkan (menjalankan) syari’at rasul-rasul sebelumnya. Sebagai contoh
bahwa nabi Musa adalah nabi sekaligus rasul. Tetapi nabi Harun hanyalah nabi, sebab ia
tidak diberikan syari’at yang baru. Ia hanya melanjutkan atau membantu menyebarkan
syari’at yang dibawa nabi Musa AS.
Mengenai identitas rasul dapat dibaca dalam Q.S. Al Anbiya ayat 7 dan Al-Mukmin
ayat 78 yang artinya: “ Kami tiada mengutus rasul-rasul sebelum kamu (Muhammad)
melainkan beberapa orang laki-laki yang kami beri wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah
olehmu kepada orang-orang yang berilmu jika kamu tiada mengetahui.” (Q.S. al Anbiya: 7)
13
"Dan sesungguhnya telah kami utus beberapa orang Rasul sebelum kamu, di antara
mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada pula yang tidak Kami
ceritakan kepadamu. Tidak dapat bagi seorang Rasul membawa suatu mukjizat, melainkan
dengan seizin Allah; maka apabila telah datang perintah dari Allah, diputuskan (semua
perkara) dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil."
(Q.S. Al-Mukmin : 78)
Dalam ayat di atas dijelaskan, bahwa rasul-rasul yang pernah diutus oleh Allah swt.
adalah mereka dari golongan laki-laki, tidak pernah ada rasul berjenis kelamin perempuan,
dan jumlah rasul yang diutus sebelum Nabi Muhammad saw. sebenarnya sangat banyak. Di
antara para rasul itu ada yang diceritakan kisahnya di dalam Al-Quran dan ada yang tidak.
g. Beriman kepada takdir akan melahirkan sikap optimis, tidak mudah kecewa dan putus
asa, sebab yang menimpanya ia yakini sebagai ketentuan yang telah Allah takdirkan
kepadanya dan Allah akan memberikan yang terbaik kepada seorang muslim, sesuai dengan
sifatnya yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
3.2 Saran
Penulis menyarankan agar kita sebagai umat muslim untuk terus meningkatkan keimanan kita terhadap Allah SWT agar hidup kita baik di dunia maupun di akhirat dapat terus mendapat ridha Allah SWT.
29
s
Muhammad Nur. 1987. Muhtarul Hadis. Surabaya: Pt. Bina Ilmu.
Syed Mahmudunnasir. 1994. Islam, Konsepsi dan Sejarahnya. Bandung: Rosdakarya.
Tim Arafah, 2006, Pendidikan Agama Islam 3, Semarang : Aneka Ilmu.
30
LAMPIRAN
PERTANYAAN BESERTA JAWABAN
1. Bagaimana sikap kita sebagai umat muslim terhadap kitab-kitab terdahulu dan kitab-kitab
yang berbentuk lembaran-lembaran?
Jawab: Kitab suci yang wajib diketahui dan diyakini ada 4, yaitu:
1. Kitab Suci Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa Alaihissalam.
2. Kitab Suci Zabur yang diturunkan kepada Nabi Daud Alaihissalam.
3. Kitab Suci Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa Alaihissalam
4. Kitab Suci Al Quran yang diturunkan kepada Baginda Rasulullah saw.
Semua kitab suci itu dari Allah dan isinya semuanya benar, tidak boleh ada sedikitpun
keraguan terhadapnya. Hanya kitab taurat dan injil yang ada ditangan penganut-penganutnya
sekarang ini yang tidak lagi menurut yang aslinya, sudah banyak diubah oleh pendeta-
pendetanya dulu, sehingga tidak dapat lagi dipercaya isinya, demikian keyakinan ummat
Islam. Kita mengimani setiap kitab yang diturunkan kepada para rasul. Jika kita tidak
mengetahuinya, maka kewajiban kita adalah beriman secara global
2. Apakah cukup untuk mengenal Allah dengan mengenali dirinya sesuai dengan firman
Rasulullah : “Barangsiapa mengenali dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya” ?
Jawab: Sebagian meditator atau ahli sufi menggunakan pendekatan filsafat ini dalam mencari
Tuhan, yaitu tahapan mengenal diri dari segi wilayah-wilayah alam pada dirinya, misalnya
mengenali hatinya dan suasananya, pikiran, perasaannya, dan lain-lain sehingga dia bisa
membedakan dari mana intuisi itu muncul, ... apakah dari fikirannya, dari perasaannya, atau
dari luar dirinya. Setelah itu bertambah dengan mengenal alam semesta dan kejadian-kejadian
yang ada di alam semesta sehingga bertambah iman kepada Allah
3. Apa arti signifikan dari qada dan qadar? Lalu, takdir dan nasib apakah masuk kepeada
qada dan qadar?
31
Jawab: Qadha adalah ketentuan, hukum atau rencana Allah sejak zaman azali. Qadar adalah
kenyataan dari ketentuan atau hukum Allah. Jadi hubungan antara qadha qadar ibarat rencana
dan perbuatan. Orang kadang-kadang menggunakan istilah qadha dan qadar dengan satu
istilah, yaitu Qadar atau takdir. Jika ada orang terkena musibah, lalu orang tersebut
mengatakan, ”sudah takdir”, maksudnya qadha dan qadar. takdir itu ada dua macam :
a.Takdir mua’llaq: yaitu takdir yang erat kaitannya dengan ikhtiar manusia. Contoh
seorang siswa bercita-cita ingin menjadi insinyur pertanian. Untuk mencapai cita-citanya itu
ia belajar dengan tekun. Akhirnya apa yang ia cita-citakan menjadi kenyataan. Ia menjadi
insinyur pertanian.
b.Takdir mubram; yaitu takdir yang terjadi pada diri manusia dan tidak dapat
diusahakan atau tidak dapat di tawar-tawar lagi oleh manusia. Contoh. Ada orang yang
dilahirkan dengan mata sipit , atau dilahirkan dengan kulit hitam sedangkan ibu dan bapaknya
kulit putih dan sebagainya.
Nasib itu sendiri termasuk ke dalam takdir mu’allaq karena nasib masih dapat diubah selama
orang tersebut masih mau berusaha untuk merubah nasibnya.
4. Jodoh adalah salah satu yang sudah ditetapkan oleh Allah, lalu bagaimana dengan
seseorang yang meninggal sebelum bertemu dengan jodohnya?
Jawab: Jodoh, termasuk rezeki seseorang. Jadi memang sudah ditentukan oleh Allah
semenjak manusia belum diciptakan, dan sudah ditulis di Lauh Mahfuzh. Dalam hal ini, kita
tidak diperintahkan untuk memikirkan tentang takdir tersebut, tapi hanya diperintahkan untuk
berusaha. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Beramallah, masing-masing akan
dimudahkan melakukan apa telah dituliskan baginya.” (Riwayat Muslim).
Sebenarnya, berusaha atau tidak berusaha, jodoh sudah ditetapkan. Tapi masalahnya bukan
itu. Bahwa kita tetaplah dianggap berbuat keliru, bila kita tidak berusaha. Yang dituntut oleh
Allah dari kita adalah upaya, ikhtiar dan niat baik. Jodoh tetap Allah yang menentukan. Jadi
soal jodoh, rezeki dan takdir kita tidak berhak mengurusnya, tapi kita hanya diperintahkan
untuk berusaha. Dengan upaya yang benar dan niat yang bersih itulah, kita akan diberi
pahala. Hasilnya, Allah yang menentukan.
32
5. Maksud dari sebuah hadits qudsi Allah berfirman yang artinya :” Siapa yang tidak ridha
dengan qadha-Ku dan qadar-Ku dan tidak sabar terhadap bencana-Ku yang aku timpakan
atasnya, maka hendaklah mencari Tuhan selain Aku. (H.R.Tabrani) apa?
Jawab: Takdir Allah merupakan iradah (kehendak) Allah. Oleh sebab itu takdir tidak selalu
sesuai dengan keinginan kita. Tatkala takdir atas diri kita sesuai dengan keinginan kita,
hendaklah kita beresyukur karena hal itu merupakan nikmat yang diberikan Allah kepada
kita. Ketika takdir yang kita alami tidak menyenangkan atau merupakan musibah, maka
hendaklah kita terima dengan sabar dan ikhlas. Kita harus yakin, bahwa di balik musibah itu
ada hikmah yang terkadang kita belum mengetahuinya. Allah Maha Mengetahui atas apa