Top Banner
Proceedings of National Seminar on Applied Technology, Science, and Arts (1 st APTECS), Surabaya, 22 Dec. 2009, ISSN 2086-1931 13 Application of Geographical Information System (GIS) for Mapping Landslide Susceptibility: A Case Study of Timor Tengah Selatan, NTT Province HERRY Z. KOTTA 1 , GREGORIUS KLAU 2 , SILVESTER TENA 3 , HENDRO LAMI 4 , YATURSANCE MANAFE 5 , NIXSON MEOK 6 , GODLIEF E. S. MIGE 7 , K. RANTELOBO 8 1 Jurusan Teknik Pertambangan - FST, Universitas Nusa Cendana, email: [email protected] 2 Dinas Pertambangan Prop. NTT, Jl. W. J. Lalamentik 15, Kupang, email: [email protected] 3,4,5,6,7,8 Jurusan Teknik Elektro – FST, Universitas Nusa Cendana, email: stena;hlami;ymanafe;nixson;rantelobo}@gmail.com Abstract — Landslide is one of the most serious natural disasters causing great losses in term of materials and lives. Digital maps of geology, ground slope, and dormant landslides are combined statistically in a geographic information system (GIS) to identify sites of future land sliding over a broad area. The case study area is at Timor Tengah Selatan (TTS) District, Nusa Tenggara Timur (NTT) Province, Indonesia. Landslide hazard potential and prediction model were assessed at regional scale 1:25.000 [1]. In this study, weighting and ranking of importance of factors to landslide occurrence are used to identification landslide potential areas. It is based on the observed relationship between each instability factor and the past landslide distribution. The obtained results allow to define the main factors causing land sliding as: slope rate, hydro-geological structure, surface weathering factors, distance to active faults and impact of human activities (land usage, plantation coverage etc). The degree of landslide hazard is expressed in relative term from very low to very high hazard level, and represents the expectation of future landslide occurrence based on the conditions of that particular area. It is obvious from the result map that the areas under high and very high hazard level are near the first and second stream orders of the study area. Finally, landslide hazard maps were produced. The result from this study represents differing hazard levels that show only the order of relative hazard at a particular site and not the absolute hazard. Keywords GIS, landslide susceptibility, NTT privince, mapping, TTS district I. PENDAHULUAN erakan massa tanah dan batuan atau yang lebih dikenal sebagai longsor merupakan salah satu bencana yang paling sering terjadi di Indonesia, terutama di musim penghujan. Bencana longsor memiliki dampak yang negatif bagi kehidupan manusia, seperti rusaknya pemukiman, konstruksi bangunan, jalan, lahan pertanian, dan bahkan dapat menimbulkan korban jiwa. Seperti juga di daerah-daerah lainnya di Indonesia, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) seringkali mengalami peristiwa bencana longsor. Untuk mengurangi jumlah korban dan kerugian atau bahkan mencegah terjadinya bencana longsor diperlukan suatu penelitian mengenai identifikasi dan analisis kondisi geologi yang mengontrol bencana tersebut. Kondisi geologi tersebut meliputi: geomorfologi, jenis batuan, struktur geologi, tataguna lahan dan sebaran kerapatan vegetasi. Dengan menambahkan data sebaran penggunaan lahan oleh manusia, dapat dilakukan identifikasi tingkat kerentanan gerakan massa tanah yang dapat dipergunakan secara optimal untuk menata suatu wilayah agar terlepas dari bencana tersebut. Lokasi penelitian terletak di bagian tengah dari pulau Timor seperti pada Gbr.1. Gbr. 1. Peta Indeks Lokasi Penelitian Berdasarkan pemaparan di atas, maksud dari penelitian ini adalah mengetahui tingkat kerentanan gerakan massa tanah dan batuan di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Untuk itu, sebagai tujuan penelitian adalah untuk menghitung dan memetakan tingkat kerentanan gerakan massa tanah di daerah tersebut. II. DASAR TEORI A. Geographical Information System (GIS) GIS adalah suatu sistem informasi menyangkut keberadaan obyek di permukaan bumi berikut informasi yang terkandung di dalamnya yang mempunyai keterkaitan secara geografis dengan obyek lainnya [2]. Badan Kordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL) menjabarkan GIS G 6 Kab. Timor Tengah Selatan 0 1cm 0 45 km
5

Application of Geographical Information System APTECS

Nov 20, 2015

Download

Documents

itokausegaul

GIS
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • Proceedings of National Seminar on Applied Technology, Science, and Arts (1st APTECS), Surabaya, 22 Dec. 2009, ISSN 2086-1931

    13

    Application of Geographical Information System (GIS) for Mapping

    Landslide Susceptibility: A Case Study of Timor Tengah Selatan, NTT Province

    HERRY Z. KOTTA1, GREGORIUS KLAU2 , SILVESTER TENA3, HENDRO LAMI 4, YATURSANCE MANAFE5, NIXSON

    MEOK6 , GODLIEF E. S. MIGE7 , K. RANTELOBO8

    1Jurusan Teknik Pertambangan - FST, Universitas Nusa Cendana, email: [email protected] 2Dinas Pertambangan Prop. NTT, Jl. W. J. Lalamentik 15, Kupang, email: [email protected]

    3,4,5,6,7,8 Jurusan Teknik Elektro FST, Universitas Nusa Cendana, email: stena;hlami;ymanafe;nixson;rantelobo}@gmail.com

    Abstract Landslide is one of the most serious natural disasters causing great losses in term of materials and lives. Digital maps of geology, ground slope, and dormant landslides are combined statistically in a geographic information system (GIS) to identify sites of future land sliding over a broad area. The case study area is at Timor Tengah Selatan (TTS) District, Nusa Tenggara Timur (NTT) Province, Indonesia. Landslide hazard potential and prediction model were assessed at regional scale 1:25.000 [1]. In this study, weighting and ranking of importance of factors to landslide occurrence are used to identification landslide potential areas. It is based on the observed relationship between each instability factor and the past landslide distribution. The obtained results allow to define the main factors causing land sliding as: slope rate, hydro-geological structure, surface weathering factors, distance to active faults and impact of human activities (land usage, plantation coverage etc). The degree of landslide hazard is expressed in relative term from very low to very high hazard level, and represents the expectation of future landslide occurrence based on the conditions of that particular area. It is obvious from the result map that the areas under high and very high hazard level are near the first and second stream orders of the study area. Finally, landslide hazard maps were produced. The result from this study represents differing hazard levels that show only the order of relative hazard at a particular site and not the absolute hazard.

    Keywords GIS, landslide susceptibility, NTT privince, mapping, TTS district

    I. PENDAHULUAN

    erakan massa tanah dan batuan atau yang lebih dikenal sebagai longsor merupakan salah satu bencana yang

    paling sering terjadi di Indonesia, terutama di musim penghujan. Bencana longsor memiliki dampak yang negatif bagi kehidupan manusia, seperti rusaknya pemukiman, konstruksi bangunan, jalan, lahan pertanian, dan bahkan dapat menimbulkan korban jiwa.

    Seperti juga di daerah-daerah lainnya di Indonesia, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) seringkali mengalami peristiwa bencana longsor. Untuk mengurangi jumlah korban dan kerugian atau bahkan mencegah terjadinya bencana longsor diperlukan suatu penelitian mengenai identifikasi dan analisis kondisi geologi yang mengontrol bencana tersebut. Kondisi geologi tersebut meliputi: geomorfologi, jenis batuan, struktur geologi, tataguna lahan dan sebaran kerapatan vegetasi. Dengan menambahkan data sebaran penggunaan lahan oleh manusia, dapat dilakukan identifikasi tingkat kerentanan gerakan massa tanah yang dapat dipergunakan secara optimal untuk menata suatu wilayah agar terlepas dari bencana tersebut.

    Lokasi penelitian terletak di bagian tengah dari pulau Timor seperti pada Gbr.1.

    Gbr. 1. Peta Indeks Lokasi Penelitian

    Berdasarkan pemaparan di atas, maksud dari penelitian ini adalah mengetahui tingkat kerentanan gerakan massa tanah dan batuan di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Untuk itu, sebagai tujuan penelitian adalah untuk menghitung dan memetakan tingkat kerentanan gerakan massa tanah di daerah tersebut.

    II. DASAR TEORI

    A. Geographical Information System (GIS)

    GIS adalah suatu sistem informasi menyangkut keberadaan obyek di permukaan bumi berikut informasi yang terkandung di dalamnya yang mempunyai keterkaitan secara geografis dengan obyek lainnya [2]. Badan Kordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL) menjabarkan GIS

    G6

    Kab. Timor Tengah Selatan

    0 1cm

    0 45 km

  • Proceedings of National Seminar on Applied Technology, Science, and Arts (1st APTECS), Surabaya, 22 Dec. 2009, ISSN 2086-1931

    14

    sebagai kumpulan yang terorganisir dari perangkat keras komputer (hardware), perangkat lunak (software), data geografi, dan personal yang didesain untuk memperoleh, menyimpan, memperbaiki, memanipulasi, menganalisis, dan menampilkan semua bentuk informasi yang bereferensi geografi. Secara lebih komprehesif GIS didefinisikan sebagai suatu sistem yang terintegrasi menggunakan perangkat komputer untuk melakukan proses yang berkelanjutan dan menyeluruh meliputi: pengumpulan data (capture); kompilasi (compilation); penyimpanan data (storage); pembaharuan dan perubahan; manipulasi (manipulation); pengaksesan data (retrieval); analisis (analysis); dan penampilan data (display). Komponen yang terdapat pada GIS secara umum mencakup tiga tahapan, yaitu: 1. Input, dapat berupa bahan data berupa citra/foto udara dan

    data primer dari lapangan. 2. Proses, mencakup sustu teknik query dari parameter-

    parameter input yang dilakukan secara overlay. Untuk melakukan analisis pada peta terlebih dahulu dilakukan penyamaan koordinat serta sistem proyeksi setiap parameter peta. Didalam penelitian ini dilakukan query dengan perhitungan data baik berupa penjumlahan, pengurungan, pembagian serta perkalian nilai dari peta.

    3. Output, yaitu berupa data peta yang disajikan guna tujuan tertentu.

    B. Analisis Spasial Data Geoteknis Data spasial merupakan suatu data yang berisikan suatu gambar/peta, yang bersifat kuantitatif (atribut) dan kualitatif (peta). Input dari sebuah data spasial yaitu berupa citra/foto udara atau survey lapangan yang dilakukan dengan suatu pen-skala-an yang kemudian dituangkan dalam suatu peta. Keunggulan data spasial adalah sebaran data dengan mudah diketahui dan dapat dimodelkan sesuai keinginan sehingga mudah untuk dianalisis. Pengolahan data secara spasial pada penelitian ini dilakukan dengan metode overlay (tumpang-tindih) dengan terlebih dahulu melakukan pemberian nilai/skor (skoring) dari setiap parameter [3]. Pada tahun 1988 Evans dan King [4] telah mempetakan sebuah daerah kerentanan gerakan tanah berdasarkan korelasi dari gerekan tanah yang sudah terjadi dengan kemiringan lereng serta kondisi geomorfologi. Berbagai penelitian juga telah membahas berbagai hal mengenai aplikasi GIS pada daerah rentan longsor [5],[6] dan [7].

    C. Mekanisme terjadinya gerakan tanah Gerakan tanah merupakan salah satu proses geologi yang terjadi akibat interaksi pengaruh antara beberapa kondisi. Beberapa kondisi tersebut meliputi kondisi morfologi, geologi, struktur geologi, hidrogeologi dan tata guna lahan. Kondisi-kondisi tersebut saling berpengaruh sehingga mewujudkan suatu kondisi lereng yang cenderung atau berpotensi untuk bergerak. Kondisi lereng demikian ini disebut sebagai kondisi rentan untuk bergerak. Pengertian rentan di sini berarti berpotensi (berbakat) atau berkecenderungan untuk bergerak, namun belum mengalami gerakan [8]. Lereng yang telah dikategorikan sebagai lereng yang rentan bergerak merupakan suatu lereng dengan massa tanah/batuan penyusun yang sudah

    siap untuk bergerak, namun belum dapat dipastikan kapan gerakan itu terjadi. Gerakan pada lereng baru benar-benar dapat terjadi apabila ada pemicu gerakan. Pemicu gerakan merupakan proses-proses alamiah ataupun non alamiah yang dapat merubah kondisi lereng dari rentan (siap bergerak) menjadi mulai bergerak. Pemicu ini umumnya berupa hujan, getaran-getaran atau aktivitas manusia pada lereng, ataupun proses masuknya air ke dalam lereng melalui kebocoran pada saluran/kolam, dan sebagainya [9].

    III. M ETHODE

    A. Batasan Penelitian

    Mengacu pada Keputusan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral no. 1452 K/10/MEM/2000 [10], penelitian ini menggunakan pendekatan metode tidak langsung dan langsung. Metode pemetaan gerakan massa secara tidak langsung artinya tidak dilakukan pemetaan langsung di lapangan, melainkan dilakukan berdasar kepada analisis peta-peta pendukung yang telah tersedia sedangkan metode langsung yaitu dilakukan pemetaan langsung di lapangan pada titik-titik longsor. Setiap parameter pengontrol gerakan massa yang didapat, baik itu dari analisis peta geologi, peta topografi, foto udara, dan citra satelit, dan data lapangan, kemudian dilakukan analisis tumpang-tindih (overlay) dan dilakukan perhitungan nilai bobot (weight value). Sehingga hasil akhir dari penjumlahan setiap parameter yang telah diberi bobot tersebut dapat dibagi kedalam kelas-kelas tingkat kerentanan yang berkisar dari sangat rendah hingga tinggi [4] - [7].

    B. Tahapan Penelitian

    Analisis GIS terhadap tingkat kerentanan gerakan massa di Kabupaten TTS ini berdasarkan pada data-data sekunder dan data primer. Tahapan-tahapan penelitian yang dilakukan dalam analisis GIS terhadap tingkat kerentanan gerakan massa di Kabupaten Timor Tengah Selatan digambarkan seperti pada diagram alir penelitian dalam Gbr. 2.

    Gbr. 2. Proses Pembuatan GIS kerentanan gerakan tanah

  • Proceedings of National Seminar on Applied Technology, Science, and Arts (1st APTECS), Surabaya, 22 Dec. 2009, ISSN 2086-1931

    15

    IV. HASIL PENELITIAN

    Data lapangan menunjukkan tanah longsor, tersebar di desa-desa Oeekam, Baki, Tumu, Noebesa, Nobinobi, Bone, Sopo, Filli, Falas, Oenai, Napi, Oenlasi, Belle, Fatuulan, dan Kota Soe. Titik-titik longsor tersebut berada di bagian tengan wilayah administratif Kabupaten Timor Tengah Selatan. Analisis tumpang-tindih (overlay) dilakukan terhadap kelima parameter, yaitu: litologi, struktur geologi, kelerengan, vegetasi, dan penggunaan lahan, yang telah diberikan bobot sesuai dengan pengaruhnya terhadap keterjadian suatu gerakan massa (Tabel 1), klasifikasi tingkat kerentanan dapat diproses seperti pada Tabel 2.

    TABEL 1 BOBOT PARAMETER Pameter Bobot

    Struktur Geologi 1 Litologi 2 Kelerengan 3 Vegetasi 1 Penggunaan Lahan 1

    TABEL 2

    KLASIFIKASI KERENTANAN GERAKAN MASSA TANAH Kelas Pameter Skor Total

    I Sangat Rendah 1 8 II Rendah 9 16 III Sedang 17 24 IV Tinggi 25 - 32

    Hasil analisis tersebut menunjukkan didominasi sebaran 3 kelas saja, yaitu dari kisaran rendah (kelas 2) hingga sedang (kelas 3) (Gambar 3). Tingkat kerentanan tinggi (kelas 4) tersebar mengikuti zona patahan. Sedangkan tingkat kerentanan rendah (kelas 1) hanya diidentifikasi sangat kecil dan tersebar penyebarannya. Gbr. 3 juga menunjukkan bahwa semua titik tersebut berada pada zona tingkat kerentanan rendah hingga sedang. Terlihat bahwa hanya sebagian kecil malah berada pada zona tingkat kerentanan tinggi.

    Gbr. 3. Area sebaran titik tanah longsor pada peta tingkat kerentanan Ketika sebaran titik longsor tersebut ditampilkan diatas peta kelerengan dan peta kontur (Gbr. 4 dan 5), tampak bahwa sebagian besar peristiwa tersebut berlangsung pada daerah transisi antara kelas 3 (sedang) dan 4 (tinggi). Sebagian besar titik gerakan massa berada pada daerah dengan topografi relatif datar yang berada pada igir suatu lereng dengan tingkat kelerengan 3 hingga 4. Pengecualian berlaku kepada titik

    gerakan massa pada Desa Sopo, yang terjadi pada kelokan sungai. Bila dicermati lebih teliti lagi, semua titik tersebut berhubungan dengan proses erosi ke arah hulu (headward erosion) dari sungai-sungai yang ada, sehingga tercipta suatu kondisi dimana tebing-tebing terjal langsung berbatasan dengan daerah yang semula datar. Proses erosi ke arah hulu tersebut dapat berlangsung dengan mudah mengingat jenis batuan yang dilalui oleh sungai tersebut merupakan batuan yang bersifat mudah dierosi (kelas 4) (Gbr. 6)

    Gbr. 4. Sebaran titik tanah longsor (segitiga merah) pada peta kelerengan

    Gbr. 5. Sebaran titik tanah longsor pada peta kontur

    Gbr. 6. Sebaran titik tanah longsor pada peta geologi Pada kasus kota Soe, meski yang longsor merupakan termasuk material batugamping terumbu (Ql) yang bersifat tidak mudah longsor (kelas 1), namun sungai yang terletak di sebelah baratdaya kota tersebut menggerus batuan serpih Formasi Bobonaro (Tmb) yang bersifat sangat mudah longsor (kelas 4). Karena batugamping terumbu berada diatas dan menumpang secara tidakselaras di atas batuan lempung Formasi Bobonaro, maka kondisinya pun menjadi sangat labil.

  • Proceedings of National Seminar on Applied Technology, Science, and Arts (1st APTECS), Surabaya, 22 Dec. 2009, ISSN 2086-1931

    16

    Maka syarat-syarat terjadinya suatu gerakan massa pun terpenuhi di daerah tersebut. Situasi serupa juga terbangun pada titik-titik lainnya, seperti di Desa Tumu, dimana batugamping Formasi Batuputih (Tmpb) menumpang secara tidak selaras diatas batuan Formasi Bobonaro. Desa Baki juga mengalami situasi serupa, dimana batugamping Formasi Nakfunu (Kna) menumpang secara tidak selaras diatas Formasi Bobonaro. Kondisi berbeda dimiliki oleh desa-desa Sopo, Filli, dan Bone yang secara geologi tersusun oleh konglomerat Formasi Noele (QTn) yang bersifat mudah longsor (kelas 4). Di lokasi-lokasi tersebut gerakan massa tanah terjadi pada kondisi batuan yang mudah longsor. Namun di Desa Tumu dan Noebesa, gerakan massa tanah justru terjadi pada batugamping terumbu (Ql) yang menumpang diatas Formasi Noele, sehingga mekanismenya menyerupai apa yang terjadi di Kota Soe. Sebaran patahan tidak terlalu berpengaruh, meski di Desa Sopo terdapat 2 titik longsor yang berada tepat pada zona sesar yang dialiri oleh sungai (Gbr. 6). Sedangkan vegetasi dan penggunaan lahan tidak begitu banyak berpengaruh terhadap sebaran titik longsor (Gbr. 7 dan 8). Sebagian besar titik longsor berada pada zona vegetasi yang rapat hingga sedang (kelas 2 hingga 3), dimana tentunya diharapkan peran tumbuhan sebagai stabilisator serta penguat massa tanah dan batuan. Ditinjau dari penggunaan lahan, sebagian kecil titik longsor berada pada pemukiman dan perkebunan (kelas 4), seperti di Kota Soe, desa-desa Oenai, Napi, Oinlasi, Belle, dan Fatuulan. Selebihnya tersebar pada padang rumput (kelas 3).

    Gbr. 7. Sebaran titik tanah longsor pada peta vegetasi

    Gbr. 8. Sebaran titik tanah longsor pada peta penggunaan lahan

    V. KESIMPULAN

    Berdasarkan pada analisis tumpang-tindih terhadap paramater kelerengan, geologi, vegetasi, penggunaan lahan, dan struktur geologi, terdapat 4 kelas tingkat kerentanan gerakan massa di Kabupaten Timor Tengah Selatan, yaitu sangat rendah, rendah, sedang, dan tinggi.

    Meski suatu daerah dapat dinyatakan memiliki tingkat kerentanan gerakan massa yang rendah atau sedang, tidak berarti daerah tersebut sepenuhnya aman dari ancaman tanah longsor. Beberapa data observasi di lapangan menunjukkan adanya peran kelerengan dan geologi yang sangat dominan dan unik didalam mengontrol terjadinya suatu tanah longsor.

    Sebagian besar tanah longsor yang terobservasi terjadi akibat penggerusan sungai kearah hulu (headward erosion) yang bekerja sangat efektif pada batuan-batuan yang mudah tererosi, seperti litologi penyusun Formasi Bobonaro. Proses erosi tersebut dengan mudah dan cepat memperbesar tingkat kelerengan yang ada, dan meruntuhkan batuan yang ada di atas igirnya, meskipun batuan tersebut bersifat tidak mudah longsor dan dengan kelerengan yang landai, seperti pada kasus Kota Soe.

    Proses erosi kearah hulu ini memang tidak dapat dihentikan, karena merupakan suatu sistem keseimbangan lereng yang bersifat dinamis. Tindakan yang dapat dilakukan adalah memperlambatnya dengan menanam vegetasi yang tepat pada lereng-lereng sungai serta pembuatan retaining wall pada beberapa titik strategis. Prioritas hendaknya diberikan dengan memperhatikan kelas-kelas formasi batuan terhadap tingkat kerentanan erosinya.

    Penelitian selanjutnya adalah pemetaan kerentanan gerakan tanah pada daerah lain di propinsi NTT dengan menerapkan metode yang digunakan dalam penelitian ini. Hasil pemetaan tersebut direncanakan terhubung ke jaringan secara real-time melalui basis data berbasis web. Sistem ini juga akan menggunakan Decision Support Systems (DSS) yang dapat diintegrasikan dengan basis data lainnya.

    UCAPAN TERIMA KASIH

    Kami mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang turut membantu hingga penelitian ini dapat berlangsung, Dr. Wirawan, DEA dan Prof. Dr. Ingg. T. Usagawa sebagai Peer; pihak DIKTI sebagai penyandang dana; serta PREDICT-ITS, LPPM-ITS, Lembaga Penelitian UNDANA dan Lab. Geodinamik-UGM atas segala bantuannya.

    VI. DAFTAR PUSTAKA. [1] Peta Rupabumi Digital Indonesia 1 : 25.000, Lembar Niki Niki, Oinlasi,

    Malla, Oof dan Foto, Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL), Jakarta, 2004.

    [2] Liu, Jian-Guo, Essential Image Processing and GIS for Remote Sensing, West Sussex, UK, Wiley, 2009.

    [3] J. Chacon, C. Irigaray, T. Fernadez, and R.El Hamdouni, Engineering Geology Maps: Lanslides and GIS, Bulletin Eng. Geology Enviroment, No. 65, pp. 342-411, Oct. 2006.

    [4] J. P. King and N. C. Evan, The Natural Terrain Landslide Study: Debris Avalanche Susceptibility, Technical Note No. TN 1/98, Geotechnical Engineering Office, Hongkong, 1998.

    [5] Richard J. Pike, Russell W. Graymer and Steven Sobieszczyk, A Simple GIS Model for Mapping Landslide Susceptibility, Concepts and Modelling in Geomorphology: International Perspectives, Tokyo, pp. 185-197, 2003.

  • Proceedings of National Seminar on Applied Technology, Science, and Arts (1st APTECS), Surabaya, 22 Dec. 2009, ISSN 2086-1931

    17

    [6] Suree Teerarungsigul, Chongpan Chonglakmani and Friedrich Kuehn, Landslide Prediction Model Using Remote Sensing, GIS and Field Geology: A Case Study of Wang Chin District, Phrae Province, Northern Thailand, in Proc. 2007 International Conference on Geology of Thailand: Towards Sustainable Development and Sufficiency Economy, pp. 156-168.

    [7] K.C. Ng, K.M. Chiu, K.K.S. Ho and V.M.C. Chan, Application of GIS to landslide risk management in Hong Kong, in Proc. 2008 GoEdmonton2008, pp. 434-441.

    [8] Grim, R.E., Clay Mineralogy, Second Edition, McGraw-Hill Book Company, New York, USA, 1968.

    [9] Karnawati, D., Gerakan Tanah di Indonesia dan Upaya Penanggulangannya, Diktat Kuliah GeologiTeknik, Jurusan Teknik Geologi, FT UGM. (tidak dipublikasikan), 2001.

    [10] Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No : 1452 K/10/MEM/2000, Tentang Pedoman Teknis Pemetaan Zona Kerentanan Gerakan Tanah, 2000.