APLIKASI UUD 1945 PASAL 29 AYAT 2 DALAM KEHIDUPAN BERMASYARAKAT DI INDONESIA DISUSUN OLEH MARIO O H M SIPIL 1C POLMED 2009 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebebasan beragama merupakan amanat konstitusi. Dalam UUD 45 Pasal 29 ayat (2) disebutkan, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Dalam Pasal 28E tentang Hak Asasi Manusia hasil amendemen UUD 1945 tahun 2000 disebutkan, (1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya… (2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya Persoalan kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia hingga kini masih menjadi problem yang sangat serius dan banyak mendatangkan konflik di tengah masyarakat. Wacana kebebasan beragama sesungguhnya sudah berkembang sejak bangsa ini akan diproklamirkan tahun 1945 silam, bahkan jauh sebelum itu. Melalui Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), wacana ini hangat 1
27
Embed
APLIKASI UUD 1945 PASAL 29 AYAT 2 DALAM KEHIDUPAN BERMASYARAKAT DI INDONESIA
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
APLIKASI UUD 1945 PASAL 29 AYAT 2 DALAM KEHIDUPAN BERMASYARAKAT DI INDONESIA
DISUSUN OLEH
MARIO O H M
SIPIL 1C POLMED
2009
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebebasan beragama merupakan amanat konstitusi. Dalam UUD 45
4. Restriction for the Protection of Morals (Pembatasan untuk Melindungi
Moral Masyarakat). Untuk justifikasi kebebasan memenifestasikan
agama atau kepercayaan yang terkait dengan moral dapat
menimbulkan kontroversi. Konsep moral merupakan turunan dari
berbagai tradisi keagamaan, filsafat, dan social. Olehkarena itu,
pembatasan yang terkait dengan prinsip-prinsip moral tidak dapat
diambil hanya dari tradisi atau agama saja. Pembatasan dapat
dilakukan oleh Undang-Undang untuk tidak disembelih guna
kelengkapan ritual aliran agama tertentu.
5. Restriction for the Protection of The (Fundamental) Rights and
Freedom of Others. (Pembatasan untuk Melindungi Kebebasan
Mendasar dan Kebebasan Orang Lain)
5.1 Proselytism (Penyebaran Agama). Dengan adanya hukuman
terhadap tindakan proselytism, pemerintah mencampuri
kebebasan seseorang di dalam memanifestasikan agama mereka
melalui aktivitas-aktivitas misionaris dalam rangka melindungi
agar kebebasan orang lain untuk tidak dikonversikan.
5.2 Pemerintah berkewajiban membatasi manifestasi dari agama atau
kepercayaan yang membahayakan hak-hak fundamental dari
orang lain, khususnya hak untuk hidup, kebebasan, integritas fisik
dari kekerasan, pribadi, perkawinan, kepemilikan, kesehatan,
pendidikan, persamaan, melarang perbudakan, kekejaman dan
juga hak kaum minoritas.
Merujuk dasar-dasar tersebut di atas, dalam perspektif HAM hak
kebebasan beragama atau berkeyakinan ini dapat disarikan ke dalam
delapan komponen, yaitu:3
3 Kedelapan komponen ini disarikan dari berbagai instrument internasional yang memuat tentang kebebasan beragama atau berkeyakinan seperti Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia, pasal 18; Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik pasal 18.1 s.d. 18.4. dll. Lihat, Tore Lindholm, W. Cole Durham, Jr. Bahia G. Tahzib-Lie (ed), Facilitating Freedom of Religion or Belief: A Deskbook, Netherland, Martinus Nijhoff Publishers, 2004, pp. xxxvii-xxxix. Lihat juga Chandra Setiawan dan Asep Mulyana (ed), op.cit., 3-4.
14
1. Kebebasan Internal. Setiap orang memunyai kebebasan berpikir,
berkeyakinan, dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk
menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya
sendiri termasuk untuk berpindah agama atau kepercayaannya.
2. Kebebasan Eksternal. Setiap orang memiliki kebebasan, secara
individu atau di dalam masyarakat, secara publik atau pribadi, untuk
memanifestasikan agama atau kepercayaannya di dalam pengajaran,
pengalamannya dan peribadahannya.
3. Tidak ada Paksaan. Tidak seorang pun dapat menjadi subyek
pemaksaan yang akan mengurangi kebebasannya untuk memiliki atau
mengadopsi suatu agama atau kepercayaan yang menjadi pilihannya.
4. Tidak Diskriminatif. Negara berkewajiban untuk menghormati dan
menjamin kebebasan beragama atau berkepercayaan semua individu
di dalam wilayah kekuasaan tanpa membedakan suku, warna kulit,
jenis kelamin, bahasa dan keyakinan, politik atau pendapat, penduduk
asli atau pendatang, asal-usul.
5. Hak dari Orang Tua dan Wali. Negara berkewajiban untuk
menghormati kebebasan orang tua, dan wali yang sah (jika ada) untuk
menjamin bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anaknya
sesuai dengan keyakinannya sendiri.
6. Kebebasan Lembaga dan Status Legal. Aspek yang vital dari
kebebasan beragama atau berkeyakinan, bagi omunitas keagamaan
untuk berorganisasi atau berserikat sebagai komunitas. Oleh karena
itu, komunitas keagamaan mempunyai kebebasan dalam beragama
atau berkeyakinan, termasuk di dalamnya hak kemandirian di dalam
pengaturan organisasinya.
7. Pembatasan yang diijinkan pada Kebebasan Eksternal. Kebebasan
untuk memanifestasikan keagamaan atau keyakinan seseorang hanya
dapat dibatasi oleh undang-undang dan kepentingan melindungi
keselamatan dan ketertiban public, kesehatan atau kesusilaan umum
atau hak-hak dasar orang lain.
Non-Derogability. Negara tidak boleh mengurangi kebebasan
beragama atau berkeyakinan dalam keadaan apa pun.
15
Tidak hanya dalam konstitusi, prinsip kebebasan dan toleransi
beragama juga berakar dalam tradisi agama dan kepercayaan. Pada
tradisi Islam, misalnya, prinsip-prinsip tersebut ditegaskan dalam al-Quran
dan Hadis, termasuk dalam kitab fikih, tafsir, dan bukti sejarah keislaman.
Dalam al-Quran prinsip-prinsip tersebut termuat dalam QS. Al-Baqarah, 2:
256 (tidak ada paksaan dalam beragama); Yunus 99 (larangan memaksa
penganut agama lain memeluk Islam); Ali Imran, 64 (himbauan kepada
ahli kitab untuk mencari titik temu dan mencapaai “kalimatun sawa”); al-
Mumtahanah, 8-9 (anjuran berbuat baik, berlaku adil, dan menolong
orang-orang non-muslim yang tidak memusuhi dan mengusir mereka).
Dalam tradisi fikih, prinsip ini termuat dalam konsep “maqashid al-
syariah”: kebebasan untuk hidup (hifz al-nafs); kebebasan beropini dan
berpendapat (hifz al-‘aql); menjaga kelangsungan hidup (hifz al-nasl);
kebebasan memiliki properti (hifz al-nasl); kebebasan beragama (hifz al-
din).4
Dalam tradisi Katholik dan Protestan, prinsip ini terdapat Kitab
Galatia: Kasihilah sesama manusia seperti kamu mengasihi diri sendiri,
Injil Matius 22: 37-40 (Hukum Kasih), atau dalam Advent – Matius 7 : 12-
Advent: “Apa yang kamu kehendaki supaya orang lain perbuat padamu,
perbuatlah demikian juga, karena inilah isi kitab hukum Taurat dan kitab
para nabi; Hindu dalam Tri Hita Karana (Parahyangan, Pawongan,
Pelemahan), Tat Twam Asi (Aku adalah Kau, Kau adalah aku); Budha
dalam kitab Falisuta dan Kalamasuta (jangan mencela agama lain karena
dengan mencela agama lain, berarti telah mencela atau mengubur
agamanya; Khonghucu dalam ajaran “di empat penjuru lautan, semua
manusia bersaudara”.
Sementara itu dalam tradisi kepercayaan dan komunitas lokal,
prinsip-prinsip ini memiliki akar kuat. Misalnya petuah Ura’ngi Rua,
Kaluppai Rua (ingatlah kejahatan kepada orang lain dan ingat kebaikan
orang-orang kepadamu serta lupakanlah kebaikanmu kepada orang lain
4 Siti Musdah Mulia “Menuju Kebebasan Beragama” dalam Chandra Setiawan dan Asep Mulyana (ed), hal 48
16
serta lupakanlah kejahatan orang kepadamu dalaam falsafah Bugis-
Makasar atau “to kamase-kamase” (saling mengasihi sesamaa manusia)
dalam tradisi komunitas Kajang.
UUD 45 dalam sistem hukum di Indonesia dikenal sebagai sumber
dari segala sumber hukum yang menjadi turunannya. Adapun tingkatan
hukum di Indonesia setelah UUD 45 adalah: Undang-Undang, Peraturan
Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang, dan Peraturan Daerah. Dalam sistim hukum global Indonesia
banyak juga meratifikasi berbagi konvenan Internasional seperti
Konvenan Internasional Hak Sipil dan Politik lewat UU 12/2005. Dalam
masa reformasi UUD 45 paling tidak telah mengalami empat kali
amandemen, sungguh sebuah masa perubahan yang sangat cepat dalam
hukum di Indonesia.
Banyak sekali produk hukum yang lahir dalam masa reformasi
dihasilkan sebagai produk kontestasi etno politik dari berbagai kelompok
masyarakat baik ditingkat pusat maupun daerah. Reformasi berjalan
dengan berbagai upaya legislatif mengisi ruang hukum Negara Indonesia
dengan berbagai produk hukum. Bercampur dengan situasi politik dan
ekonomi Negara dan berbagai agenda kepentingan lainnya reformasi
telah menghasilkan sejumlah produk hokum, mulai dari UU sampai
dengan Peraturan Daerah. Sangat disayangkan, sejumlah produk hokum
atau peraturan yang ada menimbulkan ketegangan di masyarakat dan
tumpang tindih bahkan ada juga yang melihat sebagai produk-produk
multitafsir. Sebut saja Undang-undang Perlindungan Anak tahun 2002,
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, Undang-
undang Administrasi Kependudukan 2006, Keputusan Presiden No.
11/2003 tentang penerapan Syariat Islam di Aceh, Peraturan Daerah
(Perda) tentang penerapan Syariat Islam di beberapa daerah, PBM No. 8/9
Tahun 2006 dll.
17
Berikut beberapa situasi ragam aksi kekerasan dan pemaksaan
kehendak berdasarkan tafsir kelompok tertentu terjadi di bumi pertiwi ini,
yang terjadi baik dilakukan kelompok masyarakat maupun pemerintah ;
1. Perda-perda bernuasa Syariat Agama. Beberapa daerah di Indonesia,
para pimpinan setempat menerapkan praktek agama yang lebih ketat .
Misalnya, di kabupaten Cianjur, beberapa kabupaten maupun
kotamadya Sumatera Barat, Gowa, Maros dll. ada peraturan daerah
mengharuskan semua pegawai pemerintahan maupun siswa sekolah
untuk mengenakan pakaian Muslim. Beberapa penduduk mengatakan
bahwa pihak berwenang mencampuri urusan pribadi mereka. Bahkan
praktek-praktek agama Islam yang lebih ketat memberikan waktu
untuk para pegawai untuk menjalankan shalat berjamaah. Contoh lain
adalah munculnya Rancangan Perda (raperda) Kota Injil di Monokwari
Papua.
2. Kaum perempuan di Tangerang mengalami pembatasan dalam ruang
publik setelah keluarnya Perda No 8 tahun 2005. Terjadi pembatasan
aktivitas perempuan di waktu malam hari. Dan peristiwa penangkapan
seorang perempuan buruh pabrik menjadi bukti bahwa peraturan yang
ada sangat diskriminatif dan membatasi hak ekonomi kaum
perempuan untuk bekerja mencari nafkah.
3. Penerapan UU Perlindungan Anak 2002 telah memenjarakan 3 orang
perempuan di Indramayu, Jawa Barat yang ditangkap pada 13 Mei
2005 dengan alasan berusaha menarik anak-anak Muslim masuk
Kristen. Para perempuan tersebut ditangkap setelah anggota
komunitas mengeluhkan bahwa pada saat dilakukannya program
sekolah Minggu di rumah mereka, mereka memberikan kotak pensil
dan kaos kepada para pengunjung, termasuk anak-anak Muslim.
4. Organisasi keagamaan asing harus mendapatkan ijin dari Departemen
Agama untuk memberikan jenis bantuan apapun (baik dalam bentuk
bantuan itu sendiri, personil, maupun keuangan) kepada kelompok-
kelompok keagamaan di dalam negeri. Walaupun pada umumnya
pemerintah tidak melaksanakan persyaratan ini, beberapa kelompok
18
Kristen menyatakan bahwa pemerintah menerapkannya lebih sering
kepada kelompok minoritas daripada kepada kelompok mayoritas
Muslim.
5. Peraturan bersama 2 Menteri. Sebelum dan sesudah adanya PBM no 9
dan 8 2006 terjadi aksi penutupan rumah ibadah Kristiani terjadi
secara serentak dan terencana. Dalam beberapa kejadian terjadi aksi
kekerasan yang terjadi di depan aparat keamanan pemerintah dan ada
kesan pembiaran terhadap aksi kekerasan, terjadi dalam aksi penutup
tiga gereja di Perumahan Jatimulya, Bekasi (sampai tulisan ini dibuat
aksi ketidakadilan masih terjadi, pembongkaran rumah ibadah oleh
pemerintah kabupaten Bekasi).
6. Pada tanggal 8 Maret 2007, 200 anggota FPI dan Forum Betawi
Rempug, menyerang Sekolah Tinggi Theologia Injili Arastamar di
Jakarta Timur yang menuntut agar sekolah tersebut ditutup karena
merasa terganggu dengan kegiatan mahasiswa juga menyatakan
bahwa sekolah tersebut ilegal walaupun terdapat fakta bahwa sekoah
tersebut memiliki ijin.
7. Aksi anarkis dilakukan FPI pada saat hari lahirnya Pancasila 1 Juni 2008
di Monas. Dalam suasana semangat kabangsaan yang ada, peristiwa
kekerasan terjadi hanya karena perasaan tidak suka. Sungguh sebuah
keadaan yang memalukan dalam negara Pancasila.
Demikian hanya beberapa contoh kecil ragam persoalan yang
terjadi seputar kebebasan beragama dan berkeyakinan dan disayangkan
apa yang terjadi dan bila mencermati Undang-Undang Dasar (UUD) 1945
menyatakan bahwa negara menjamin kebebasan beragama dan
berkepercayaan (Pasal 28E jo Pasal 29 ayat 1). Bahkan, dalam Pasal 28I
UUD 1945 dinyatakan bahwa kebebasan beragama tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apa pun. Ketentuan itu masih diperkuat lagi dalam
Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik mengakui hak kebebasan
beragama dan berkeyakinan (Pasal 18) maupun Pasal 22 UU No 39/1999
tentang HAM. Setiap orang mempunyai kebebasan berpikir, berkeyakinan,
dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau
menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri. Setiap
19
orang memiliki kebebasan, apakah secara individu atau di dalam
masyarakat, secara publik atau pribadi untuk memanifestasikan agama
atau keyakinan di dalam pengajaran dan peribadatannya.
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
1. Bahwa negara Indonesia menjamin kemerdekaan untuk beragama bagi rakyat nya
2. Indonesia bukan negara agama tetapi negara yang beragama
3. Marilah kita menjaga persaudaraan walaupun berbeda agama dengan mengormati dan menghargai satu sama lain.
BAB V
PENUTUP
Dalam suasana reformasi yang menuntut perubahan paradigma
segala bentuk ketentuan perundangan berbagai aras yang diskriminatif
perlu diganti. SKB Menag-Mendagri 1969 amat merugikan semua agama
di Indonesia, terutama sekali gereja-gereja telah mengalami penderitaan
yang amat dalam sehubungan dengan SKB tersebut. Secara hukum,
konstitusional, material, teologis, SKB itu amat kontraproduktif dan
diskriminatif. Tak ada pilihan lain kecuali pemerintah mencabutnya dan
mengupayakan agar ada penyamaan izin pembangunan rumah ibadah
dengan izin bangunan-bangunan yang lain.
Penyusunan suatu ketentuan baru tentang pembangunan rumah
ibadah harus menjadikan hal berikut sebagai referensi utama:
a) Ketentuan tersebut harus berangkat dari kondisi realistik bahwa
masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang menganut berbagai
agama, dana agama-agama itu mempunyai hak serta kewajiban yang
sama dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan tidak boleh
diperlakukan dengan bertolak dari jumlah penganut.
b) Ketentuan tersebut harus mengacu serta mencerminkan jiwa dan
semangat Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, GBHN, Wawasan
20
Nusantara yang memberi posisi sentral bagi kehidupan keagamaan
masyarakat Indonesia dan yang di dalamnya kemerdekaan tiap penduduk
untuk memeluk agamanya dan beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya dijamin oleh negara.
c) Ketentuan tersebut harus memberi peluang bagi penambahan sarana-
sarana rumah ibadah sebagai bagian padu dari pembinaan mental-
spiritual.
d) Ketentuan tersebut memberikan penegasan tentang peranan negara
(sesuai dengan Pasal 29 ayat 2 UUD 1945) sehingga pembangunan rumah
ibadah tidak seakan-akan tergantung dan atau merupakan belas kasihan
dari seorang pejabat atau suatu kelompok/golongan tertentu di dalam
masyarakat.
e) Ketentuan tersebut tidak boleh membatasi/menghalangi hak setiap
makhluk untuk mengekspresikan keberagamaannya kepada Sang Khalik.
Artinya jika oleh karena satu dan hal, rumah-rumah ibadah belum dapat
dibangun, maka hak umat beragama untuk mengungkapkan
keberagamaannya kepada Allah Yang Esa itu tetap dijamin, walaupun
untuk sementara tidak dilaksanakan di dalam ruang gereja/ ruang ibadah