Top Banner
LAPORAN PROBLEM BASED LEARNING 3 BLOK DIGESTIVE SYSTEM “ADUH, PERUTKU..." Tutor : dr. Catharina Widiartini,M.Med.Ed. Kelompok 7 Himatun Istijabah G1A010007 Ratih Paringgit G1A010023 Rinda Puspita A. G1A010033 Shofa Shabrina Henandar G1A010051 Eviyanti Ratna Suminar G1A010063 Tsalasa Agustina G1A010178 Celestia Wohingati G1A010089 Handika Rezha A G1A010100 Eka Rizki Febriyanti G1A010111 Renata Nadhia M. Putri G1A008127 Jevan Fritz G1A007026 KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
37
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: apendisitis

LAPORAN PROBLEM BASED LEARNING 3

BLOK DIGESTIVE SYSTEM

“ADUH, PERUTKU..."

Tutor :

dr. Catharina Widiartini,M.Med.Ed.

Kelompok 7

Himatun Istijabah G1A010007

Ratih Paringgit G1A010023

Rinda Puspita A. G1A010033

Shofa Shabrina Henandar G1A010051

Eviyanti Ratna Suminar G1A010063

Tsalasa Agustina G1A010178

Celestia Wohingati G1A010089

Handika Rezha A G1A010100

Eka Rizki Febriyanti G1A010111

Renata Nadhia M. Putri G1A008127

Jevan Fritz G1A007026

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONALUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATANJURUSAN KEDOKTERAN

PURWOKERTO

2012

Page 2: apendisitis

PBL/CBL KASUS KE : 3 (tiga)

JUDUL SKENARIO : Aduh, perutku...

KELOMPOK : 7

HARI/TGL TUTORIAL : Senin / 4 Juni 2012 dan Rabu / 6 Juni 2012

Informasi 1

Seorang pasien, laki-laki 35 tahun datang ke IGD RS dengan keluhan

nyeri perut bagian atas sejak 2 hari sebelum masuk RS. Pasien tidak dapat

menunjukkan dengan tepat bagian yang dirasakan paling sakit. Pasien juga

mengeluh mual.

2 jam sebelum masuk RS pasien merasakan nyeri berpindah ke perut

kanan bawah. Pasien dapat menunjukkan dengan tepat letak sakitnya yaitu ± 5 cm

di sebelah kanan bawah pusat. Nyeri dirasakan seperti ditusuk-tusuk dan

berlangsung terus-menerus. Nyeri bertambah ketika sedang batuk atau mengedan.

Pada saat sampai RS, mual masih dirasakan bahkan disertai muntah.

Pasien mengeluh agak demam sejak 2 hari sebelum masuk RS. Pasien tidak

merasa ada perubahan pada pola buang air besar atau buang air kecilnya.

I. Klarifikasi Istilah:

1. Nyeri yang tidak dapat di tunjuk (nyeri visceral) : disebabkan oleh jejas

pada organ dengan saraf simpatis, nyeri ini dapat disebabkan oleh distensi

abnormal atau kontraksi pada diniding otot polos, tarikan cepat kapsul

yang menyelimuti suatu organ, misalnya hati, iskemi otot skelet, iritasi

serosa atau mukosa, pembengkakan jaringan. Nyeri yang disebabkan oleh

bagian dalam perut atau pelvis. Biasanya ditandai dengan distribusi dan

kualitas nyeri yang tidak jelas, seperti nyeri yang dalam tumpul, linu,

tertarik, diperas atau ditekan (Juffrie, 2010).

2. Nyeri letak diketahui (nyeri somatis) : diakibatkan aktivasi nocireseptor

pada jaringan kutan dalam. Nyeri somatis dapat dibagi menjadi dua, yaitu

nyeri somatis superfisial dan nyeri somatis dalam. Nyeri somatis

superficial terjadi akibat stimulasi nosireseptor di dalam kulit atau

Page 3: apendisitis

jaringan submukosa dan mukosa yg mendasari dan ditandai dengan

adanya sensasi rasa berdenyut, panas, atau tertusuk. Sedangkan nyeri

somatis dalam diakibatkan oleh jejas pada struktur dinding tubuh dan

dapat diketahui di mana lokasi persisnya pada tubuh, namun beberapa

menyebar ke daerah sekitarnya (Juffrie, 2010).

3. Perut kanan bawah : regio inguinal dextra (Martini,2009).

Regio abdomen ada yang membagi 4 kuadrant dan ada yang membagi 9

regio.

A. 4 kuadrant abdoment, yaitu :

Right Upper Quadrant Left Upper Quadrant

Right Lower Quadrant Left Lower Quadrant

B. 9 regio abdoment , yaitu :

Hypocondriaca dextra Epigastric Hypocondriaca sinistra

Lumbal dextra Umbilical Lumbal sinistra

Inguinal dextra Hypogastric Inguinal sinistra

4. Mual (nausea) : Suatu sensasi ingin muntah secara samar dialihkan ke

epigastrium dan abdomen, sering memuncak dengan muntah (Dorland,

2002).

5. Muntah : refleks kompleks yang diperantarai pusat muntah di medula

oblongata otak (Corwin, 2009)

6. Demam : kenaikan suhu tubuh di atas normal. Bila diukur pada rektal

>38°C (100,4°F), diukur pada oral >37,8°C, dan bila diukur melalui

aksila > 37,2 °C (99°F). Demam mengacu pada peningkatan suhu tubuh

yang berhubungan langsung dengan tingkat sitokin pirogen yang

diproduksi untuk mengatasi berbagai rangsang, misalnya terhadap toksin

bakteri, peradangan, dan rangsangan pirogenik lain. Bila produksi sitokin

pirogen secara sistemik masih dalam batas yang dapat ditoleransi maka

efeknya akan menguntungkan tubuh secara keseluruhan, tetapi bila telah

Page 4: apendisitis

melampaui batas kritis tertentu maka sitokin ini membahayakan tubuh

(Sherwood, 2001).

II. Batasan Masalah

1. Identitas

a. Nama : seorang laki-laki

b. Umur : 35 tahun

2. Riwayat Penyakit sekarang

a. Keluhan utama : nyeri perut

b. Onset : 2 hari yang lalu

c. Lokasi : 2 hari yang lalu nyeri perutnya di

bagian atas, 2 jam sebelum masuk RS nyeri berpindah ke perut bagian

bawah ± 5 cm di sebelah kanan bawah pusat ( regio inguinal dextra).

d. Kualitas : nyeri seperti ditusuk – tusuk

e. Kuantitas : nyeri berlangsung terus menerus

f. Faktor yang memperberat : ketika batuk dan mengedan

g. Faktor yang memperingan : -

h. Keluhan penyerta : mual, muntah, demam, tidak ada

perubahan pada pola buang air besar atau buang air kecil

3. Riwayat Penyakit Dahulu : -

4. Riwayat Penyakit Keluarga : -

5. Riwayat Penyakit Sosial : -

III. Rumusan Masalah

1. Organ apa saja yang terdapat pada setiap regio abdomen ?

2. Pada kasus ini, termasuk kedalam nyeri apa? dan apa diagnosis

bandingnya berdasarkan keluhan nyerinya ?

3. Apakah etiologi nyeri tersebut ?

4. Apakah diagnosis sementara dan alasan mendiagnosis ?

5. Apakah perlu intervensi bedah atau cukup terapi konservatif ?

Page 5: apendisitis

IV. Analisis Masalah

1. Organ – organ di regio abdomen : (Widjaja, 2009)

Right Hipokondriaka Epigastrium Left Hipokondriaka

Right lobe of liver

Gallblader

Portion of duodenum

Hepatic flexure of

colon

Portion of right

kidney

Suprarenal gland

-Pyloric end of

stomach

-Duodenum

-Pancreas

-Portion of liver

-Stomach

-Spleen

-Tail of pancreas

-Splenic flexure colon

-Upper pole of left

kidney

-Suprarenal gland

Right Lumbal Umbilikal Left Lumbal

-Ascending colon

-Lower half of right

kidney

-Portion of duodenum

and jejunum

-Omentum

-Mesentery

-Lower part of

duodenum

-Jejunum and ileum

-Descending colon

-Lower half of left

kidney

-Portion of jejunum and

ileum

Right Inguinal Hipogastrik Left Inguinal

-Caecum

-Appendix

-Lower end of ileum

-Right ureter

-Right spermatic cord

-Ileum

-Bladder

-Uterus (in

pregnancy)

-Sigmoid colon

-Left ureter

-Left spermatic cord

-left ovary

2. Nyeri abdomen ada tiga tipe, yaitu nyeri viseral, nyeri parietal (somatik),

dan nyeri alih. Nyeri viseral kadang-kadang mengacu kepada nyeri

primer, berasal dari organ abdomen dan disebabkan oleh peregangan

serabut saraf yang mengelilingi organ tersebut. Nyeri parietal atau nyeri

somatik (nyeri sekunder) terjadi akibat iritasi kimia atau bakteri pada

Page 6: apendisitis

struktur dan serabut saraf yang ada di sekitarnya. Sedangkan nyeri alih

disebabkan oleh irirtasi dermatom yang sama dan mengenan organ yang

sakit (Oman, 2008). Pada kasus, merupakan nyeri somatik. Berikut adalah

diagnosis berdasarkan nyeri :

Tipe Nyeri Manifestasi Klinik Etiologi

Viseral Kram, kembung (penuh

udara), kolik, nyeri sulit

ditentukan batasnya, dan

bersifat kambuhan yang

bertambah parah tetapi

kemudian berkurang

Appendisitis,

kolesistisis,

gastroenteritis,

obstruksi usus, kolik

renal.

Parietal Onset yang cepat, nyeri

bersifat tajam, terus

menerus, pegal dengan

intensitas yang berbeda,

terlokalisasi pada daerah

patologi

Virus atau bakteri:

peritonitis,

appendisitis stadium

lanjut, gastroenteritis.

Nyeri alih Jauh dari tempat kelainan

patologik

Infark miokardium,

angina (epigastrik),

pankreatitis (bahu kiri,

punggung), kolik renal

(paha, genitalia),

aneurisma aorta

abdominalis

(punggung), organ

reproduksi wanita

(paha sebelah dalam.

Tabel 1. Perbandingan nyeri abdomen ditinjau dari manifestasi klinis dan

Etiologinya (Oman, 2008).

Page 7: apendisitis

3. Pada nyeri abdomen akut, etiologi yang paling banyak adalah degenerasi,

infeksi, keganasan, danm trauma. Dalam kasus, kemungkinan etiologinya

adalah karena infeksi (Hardjodisastro, 2011).

4. Diagnosis sementara adalah :

A. Appendisitis

Inflamasi di apendiks, yang dikenal dengan appendisitis, dapat terjadi

karena tanpa penyebab yang jelas, setelah obstruksi apendiks oleh

feses, atau akibat terpuntirnya apendiks atau pembuluh darahnya.

Inflamasi menyebabkan apendiks membengkak dan nyeri yang dapat

menimbulkan gangren karena suplai darah terganggu. Apendiks juga

dapat pecah biasanya terjadi antara 36 dan 48 jam setelah awitan

gejala (Corwin, 2009).

Gambaran klinis (Corwin, 2009):

1) Awitan mendadak atau secara bertahap nyeri difus di daerah

epigastrium atau peri-umbilikus sering terjadi.

2) Dalam beberapa jam, nyeri menjadi lebih terlokalisasi dan dapat

dijelaskan sebagai nyeri tekan di daerah kuadran kanan bawah

abdomen.

3) Nyeri lepas (nyeri yang timbul sewaktu tekanan dihilangkan dari

bagian yang sakit) merupakan gejala klasik peritonitis dan umum

ditemukan di appendisitis. Terjadi defans muskular atau

pengencangan perut.

4) Demam

5) Mual dan muntah

B. Peritonitis

Peritonitis adalah peradangan peritoneum (membran serosa yang

melapisi rongga abdomen dan menutupi visera abdomen) yang terjadi

akibat penyebaran infeksi dari organ abdomen, perforasi saluran

cerna, atau dari luka tembus abdomen. Organisme yang sering

menginfeksi adalah organisme yang hidup di kolon, yang mencakup

Eschericia coli atau Bacteroides, sedangkan stafilokokus dan

streptokokus seringkali masuk dari luar (Price, 2006).

Page 8: apendisitis

Gejala dan tanda yang terjadi bervariasi bergantung pada luas

peritonitis, beratnya peritonitis, dan jenis organisme penyebabnya.

Gejala yang terjadi biasanya adalah demam, leukositosis, nyeri

abdomen (biasanya terus menerus), muntah, dan abdomen yang

tegang, kaku, nyeri tekan lepas, dan tanpa bunyi usus. Diagnosis

peritonitis ditegakkan secara klinis dengan adanya nyeri abdomen

(akut abdomen) dengan nyeri yang tumpul dan tidak terlalu jelas

lokasinya (peritoneum visceral) yang makin lama makin jelas

lokasinya (peritoneum parietal). Nyeri abdomen yang hebat biasanya

memiliki punctum maximum ditempat tertentu sebagai sumber infeksi

(Price, 2006).

5. Pada kasus perlu intervensi bedah karena nyeri abdomen akut merupakan

kegawat daruratan medis.

V. Informasi tambahan dan analisis informasi

Informasi 2

Pemeriksaan fisik

Keadaan umum : tampak kesakitan

Kesadaran : compos mentis

Vital sign

Tekanan darah : 130/90 mmHg

Denyut nadi : 92 x/menit

Frekuensi nafas : 20 x/ menit

Suhu aksila : 38,2 0C

Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

Thoraxs

Paru : dalam batas normal

Jantung : dalam batas normal

Abdomen

Inspeksi :dinding perut tidak tegang, tidak buncit, tidak tampak bekas

operasi, tidak tampak venektasi, darm contour (-), darm steifung

(-)

Auskultasi : bising usus (+) normal, metalic sound (-)

Page 9: apendisitis

Palpasi : perut supel, tidak teraba massa, defans muskuler (-), nyeri

tekan di titik Mc.burney (+), blumberg sign (+), Rovsing sign

(+), psoas sign (+), obturator sign (+), hepar sulit dinilai, lien

tidak teraba, ginjal tidak teraba

Perkusi : timpani, tes pekak alih (-), tes undulasi (-), nyeri ketok

costovertebrae (-)

Extremitas : superior : edema -/-, inferior : edema -/-

Interpretasi

pada vital sign pasien terjadi pre hipertensi, dan suhu badan panas, pada

pemeriksaan abdomen terdapat tanda – tanda appendisitis yaitu : nyeri tekan

di titik Mc.burney, blumberg sign, Rovsing sign, psoas sign, dan obturator

sign dan tidak ada tanda – tanda asites.

Informasi 3

Pemeriksaan Rectal Toucher (RT) : tonus sfingter ani cukup, ampula rekti

tidak kolaps, mukosa rectum licin, terdapat nyeri tekan arah jam 11, tidak

teraba benjolan, prostat tidak membesar.

Interpretasi

a) tonus sfingter ani cukup : tidak ada gangguan neuromuskular

b) ampula rekti tidak kolaps : tidak ada obstruksi gastrointestinal

c) mukosa rectum licin : tidak terdapat infiltrat

d) terdapat nyeri tekan arah jam 11 : pada pemeriksaan fisik rectal

toucher, penderita appendisitis akut terjadi nyeri tekan pada jam 9-12

(Bedah UGM, 2009).

e) tidak teraba benjolan : tidak ada massa

f) prostat tidak membesar : normal

Informasi 4

Hb : 13,8 g/dl

Ht : 43%

Eritrosit : 5,9 jt/dl

Leukosit : 12.000/µl

Trombosit : 185.000/µl

LED : 41 mm/jam

Page 10: apendisitis

Hitung jenis : Eosinofil 2, Basofil 0, Batang 2, Segmen 70, Limfosit 21,

Monosit 4

Pemeriksaan urin :

Warna : tidak berwarna, jernih

Bau : khas

Berat jenis : 1,010

PH : 6,5

Leukosit : negative

Bakteri : negative

Informasi 5

Pasien didiagnosis menderita appendisitis akut dan segera dikonsulkan ke

dokter spesialis bedah untuk dilakukan tindakan appendiktomi cito

VI. Sasaran Belajar

1. Ekspresi derajat kesakitan

2. Pengertian :

a. Darm contour

b. Darm steifung

c. Metalic sound

d. Defans muskuler

e. Blumberg sign

f. Rovsing sign

g. Psoas sign

h. Obturator sign

3. Macam – macam lokasi appendisitis beserta gejalanya

4. Anatomi organ terkait

5. Histologi dan fisiologi organ terkait

6. Interpretasi pemeriksaan penunjang

7. Penyebab dan Faktor resiko appendisitis akut

8. Patogenesis appendisitis akut

9. Patofisiologi appendisitis akut

10. Aspek kegawatan sistem digestive pada pasien

Page 11: apendisitis

11. Rencana follow up untuk pasien

12. komplikasi apendisistis akut

13. Prognosis appendisitis

VII. Jawaban Sasaran Belajar

1. Alat bantu yang lain digunakan untuk menilai intensitas atau keparahan

nyeri klien adalah bentuk skala analog visual (SAV), yang terdiri dari

sebuah garis horizontal yang di bagi secara rata menjadi 10 segmen

dengan nomor 0 sampai 10. Klien diberi tahu bahwa 0 menyatakan “tidak

ada nyeri sama sekali” dan 10 menyatakan “nyeri paling parah yang

mereka tidak dapat bayangkan”. Klien kemudian diminta untuk menandai

angka yang menurut mereka paling tepat dapat mejelaskan tingkat nyeri

yang mereka rasakan pada suatu waktu (Price, 2006).

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Tidak ada nyeri Nyeri sedang Nyeri hebat

Skema 1. Skala analog visual untuk menilai intensitas nyeri dengan menggunakan skala numerik

Sumber Price, 2006

Menurut Wong dan Baker dalam buku Fundamental,

mengembangkan skala wajah untuk mengkaji nyeri. Skala tersebut terdiri

dari enam wajah yang sedang tersenyum “tidak merasa nyeri” kemudian

secara bertahap meningkat menjadi wajah yang sangat ketakutan “nyeri

yang sangat”, klasifikasinya sebagai berikut :

Skala 0 (tidak sakit) ekspresi wajahnya klien masih dapat

tersenyum, skala 2 (sedikit sakit) ekspresi wajahnya kurang bahagia,

skala 4 (agak mengganggu) ekspresi wajahnya meringis, skala 6

(mengganggu aktivitas) ekpresi wajahnya sedih, skala 8 (sangat

mengganggu) ekspresi wajahnya sangat ketakutan, skala 10 (benar-benar

sakit) ekspresi wajahnya sangat ketakutan dan sampai menangis.

Page 12: apendisitis

Gambar 1. Skala wajahdari nilai 0-10

Sumber Price, 2006

2. Pengertian

a) Darm contour : gambaran bentuk usus yang terlihat dari luar dinding

abdomen (Swartz, 1997).

b) Darm steifung : gambaran gerakan peristaltik usus yang terlihat dari luar

dinding abdomen (Swartz, 1997).

c) Metalic sound : suara perkusi seperti suara tong (Swartz, 1997).

d) Defans muskuler : pengencangan dinding abdomen (Swartz, 1997).

e) Blumberg sign : nyeri lepas tekan ) adalah rasa nyeri yang hebat (dapat

dengan melihat mimik wajah) di abdomen kanan bawah saat tekanan

secara tiba-tiba dilepaskan setelah sebelumnya dilakukan penekanan

yang perlahan dan dalam di titik Mc Burney (D. Mike, 1999).

f) Rovsing sign : nyeri abdomen di kuadran kanan bawah, apabila kita

melakukan penekanan pada abdomen bagian kiri bawah, hal ini

diakibatkan oleh adanya nyeri lepas yang dijalarkan karena iritasi

peritoneal pada sisi yang berlawanan (D. Mike, 1999).

g) Psoas sign : dilakukan dengan posisi pasien berbaring pada sisi sebelah

kirisendi pangkal kanan diekstensikan. Nyeri pada cara ini

menggambarkan iritasi pada otot psoas kanan dan indikasi iritasi

retrocaecal dan retroperitoneal dari phlegmon atau abscess (D. Mike,

1999).

Page 13: apendisitis

Gambar 2. Melakukan Psoas Sign

Sumber D.Mike 1999

h) Obturator sign : Dengan gerakan fleksi dan endorotasi articulatio coxae

pada posisi telentang  terjadi nyeri (+). Obturator sign adalah rasa nyeri

yang terjadi bila panggul dan lutut difleksikan kemudian dirotasikan

kearah dalam dan luar secara pasif, hal tersebut menunjukkan peradangan

apendiks terletak pada daerah hipogastrium (D. Mike, 1999).

Gambar 3. Melakukan obturator Sign

Sumber D.Mike 1999

3. Macam – macam posisi apendiks :

1. Posisi retrocecal

2. Posisi pelvis/apendiks tergantung menyilang linea terminal masuk ke

pelvis minor

3. Posisi paracolica/apendiks terletak horizontal di belakang caecum

4. Posisi preileal/apendiks didepan ujung akhir ileum

5. Posisi post ileal/appendiks dibelakang ujung akhir ileum

Page 14: apendisitis

Tanda dan gejala appendisitis ditentukan oleh posisi dari apendiks dan

apakah apendiks mengalami ruptur. Apendiks yang letaknya retrocaecal

maupun pelvica menimbulkan nyeri somatik yang tertunda, hal ini karena

eksudat inflamasi tidak mengenai peritoneum parietal hingga terjadinya

ruptur dan penyebaran infeksi. Bila letak apendiks adalah retrocecal, karena

letaknya terlindungi oleh caecum, maka tanda nyeri perut kanan bawah tidak

begitu jelas dan tidak ada rangsangan peritoneal. Apendiks yang terletak di

retrocecal biasanya mengiritasi musculus psoas major sehingga akan terasa

nyeri saat gerakan fleksi maupun ekstensi. Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi

kanan atau nyeri timbul pada saat berjalan karena kontraksi musculus psoas

major yang menegang dari dorsal. Pada uji psoas apendiks retrocecal

biasanya menimbulkan rasa nyeri yang hebat karena rangsangan dari

musculus psoas major (Burkitt, 2002; Sjamsuhidajat, 2004).

Sedangkan apendiks yang terletak di rongga pelvis, bila meradang dapat

menimbulkan gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga

peristaltik meningkat dan pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan

berulang-ulang. Jika apendiks menempel pada kandung kemih dapat terjadi

peningkatan frekuensi buang air kecil (BAK) karena rangsangan dindingnya.

Pada uji obturator akan menimbulkan nyeri hebat akibat rangsangan musculus

obturator internus (Sjamsuhidajat, 2004).

Gambar 4. Posisi Appendiks

Sumber http://www.surgical-tutor.org.uk/

Page 15: apendisitis

4. Anatomi organ terkait

Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10cm

(kisaran 3-15cm) dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit dibagian

proksimal dan melebar pada bagian distal. Namun demikian, pada bayi,

apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan melebar pada bagian

ujung apendiks terletak di intraperitoneal. Kedudukan ini memungkinkan

apendiks dan ruang geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks

penggantungnya. Pada kasus selebihnya, apendiks terletak periteritoneal,

yaitu di belakang sekum, di belakang kolon asendens, atau di tepi lateral

kolon asendens (Snell, 2006).

Gambar 5. Letak appendix

Sumber Snell, 2006

5. A. Histologi

Appendix vermicularis merupakan tonjolan sebagai jari atau cacing, yang

berpangkal pada caecum. Dindingnya relatif tebal dibandingkan lumennya.

Adanya lipatan tunica mucosa kedalam dinding menyebabkan bentuk lumen

yang tidak teratur. Pada orang dewasa lumen agak membulat. Kadang-kadang

lumennya berisi sisa-sisa sel sampai tersumbat. Appendix ini berakhir buntu.

Lapisan – lapisannya adalah :

1. Tunica mucosa

a) Tidak mempunyai villi intestinalis.

b) Epitel, berbentuk silindris selpais dengan sel piala. Banyak ditemukan

sel argentafin dan kadang-kadang sel paneth.

Page 16: apendisitis

c) Lamina propria, hampir seluruhnya terisi oleh jaringan limfoid

dengan adanya pula nodulus Lymmphaticus yang tersusun berderet-

deret sekeliling lumen. Diantaranya terdapat crypta lieberkuhn

d) Lamina muscularis mucosa, sangat tipis dan terdesak oleh jaringan

limfoid dan kadang-kadang terputus-putus

2. Tunica submucosa.

Tebal, biasanya mengandung sel-sel lemak dan infiltrasi limfosit yang

merata. Di dalam jariangan tunica submucosa terdapat anyaman

pembuluh darah dan saraf.

3. Tunic muscularis

Walaupun tipis, tapi masih dapat dibedakan adanya lapisan dua lapisan.

4. Tunica serosa

Tunica serosanya mempunyai struktur yang tidak berbeda dengan yang

terdapat pada intestinum tenue. Kadang-kadang pada potongan melintang

dapat diikuti pula mesoappendix yang merupakan alat penggantung

sebagai lanjutan peritoneum viscerale.

Gambar 6. Histologi Appendix

Sumber Guyton,2007

B. Fisiologi appendix

Fungsi appendix pada manusia belum diketahui secara pasti. Diduga

berhubungan dengan sistem kekebalan tubuh. Lapisan dalam appendix

menghasilkan lendir. Lendir ini secara normal dialirkan ke appendix dan

secum. Hambatan aliran lendir di muara appendix berperan pada

patogenesis appendicitis. Appendiks menghasilkan lendir 1 – 2 ml perhari

Page 17: apendisitis

yang bersifat basa mengandung amilase, erepsin dan musin. Lendir itu

secara normal dicurahkan ke dalam bumen dan selanjutnya mengalir ke

caecum. Hambatan aliran lendir di muara appendiks berperan pada

patofisiologi appendiks. Imunoglobulin sekretor yang dihasilkan oleh

GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue) yang terdapat disepanjang

saluran cerna termasuk appendiks, ialah Ig A. Imunglobulin itu sangat

efektif sebagai perlindungan terhadap infeksi tapi pengangkatan appendiks

tidak mempengaruhi sistem Imunoglobulin tubuh sebab jaringan limfe

kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlah disaluran cerna dan seluruh

tubuh (Guyton, 2007).

6. Interpretasi pemeriksaan penunjang

Hb : 13,8 g/dl (N : 13,5-18,0 g/dl) à N

Ht : 43% (N: 40%-52%) à N

Eritrosit : 5,9 jt/dl (N : 4,6-6,2 jt/dl) à N

Leukosit : 12.000/µl (N: 4.000-11.000)

Trombosit : 185.000/µl (N : 150.000-350.000)

LED : 41 mm/jam

Hitung jenis : E 2, B 0, Bat2, Seg 70, L 21, M 4

N à E : 1-3 % B: 0-1% Bat:0-6% Ser:50-70% L:20-40% M: 2-10%

Pemeriksaan urin

a. Warna : tidak berwarna, jernih à Nilai normal: kekuningan

jernih. Dalam keadaan normal, warna urin pagi (yang diambil sesaat

setelah bangun pagi) sedikit lebih gelap dibanding urin di waktu lainnya.

b. Bau : khas

c. Berat jenis : 1,010 (Nilai normal: 1.003 s/d 1.030 g/mL) àN

d. pH : 6,5 Nilai normal: 5.0-6.0 (urin pagi), 4.5-8.0 (urin

sewaktu)

e. Leukosit : negative à N

f. Bakteri : negative à N

7. Penyebab dan faktor resiko appendisitis akut : (Longo, 2011)

a. Obstruksi (sumbatan) lumen abdomen

a. Hiperplasia jaringan limfe

Page 18: apendisitis

b. Fekalit

c. Tumor apendiks

d. Cacing Ascaris sp

b. Erosi mukosa apendiks

a. Entamoeba hystolitica

b. Eschercia coli

c. Streptococcus sp

c. Gaya hidup

a. Konsumsi makanan rendah serat

b. Konstipasi à meningkatkan tekanan intrasekal à sumbatan fungsional

apendiks à peningkatan pertumbuhan kuman flora normal

8. Patogenesis appendisitis akut

Patologi apendisitis berawal di jaringan mukosa dan kemudian menyebar

ke seluruh lapisan dinding apendiks. Jaringan mukosa pada apendiks

menghasilkan mukus (lendir) setiap harinya. Terjadinya obstruksi

menyebabkan pengaliran mukus dari lumen apendiks ke caecum menjadi

terhambat. Makin lama mukus makin bertambah banyak dan kemudian

terbentuklah bendungan mukus di dalam lumen. Namun, karena keterbatasan

elastisitas dinding apendiks, sehingga hal tersebut menyebabkan terjadinya

peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut

akan menyebabkan terhambatnya aliran limfe, sehingga mengakibatkan

timbulnya edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah

terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri di daerah epigastrium di

sekitar umbilicus (Sjamsuhidajat, 2005).

Jika sekresi mukus terus berlanjut, tekanan intralumen akan terus

meningkat. Hal ini akan menyebabkan terjadinya obstruksi vena, edema

bertambah, dan bakteri akan menembus dinding apendiks. Peradangan yang

timbul pun semakin meluas dan mengenai peritoneum setempat, sehingga

menimbulkan nyeri di daerah perut kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan

apendisitis supuratif akut (Sjamsuhidajat, 2005).

Bila kemudian aliran arteri terganggu, maka akan terjadi infark dinding

apendiks yang disusul dengan terjadinya gangren. Keadaan ini disebut dengan

Page 19: apendisitis

apendisitis ganggrenosa. Jika dinding apendiks yang telah mengalami

ganggren ini pecah, itu berarti apendisitis berada dalam keadaan perforasi

(Sjamsuhidajat, 2005).

Sebenarnya tubuh juga melakukan usaha pertahanan untuk membatasi

proses peradangan ini. Caranya adalah dengan menutup apendiks dengan

omentum, dan usus halus, sehingga terbentuk massa periapendikuler. Di

dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami

perforasi. Namun, jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan

massa periapendikuler akan menjadi tenang dan selanjutnya akan mengurai

diri secara lambat (Sjamsuhidajat, 2005).

Pada anak-anak, dengan omentum yang lebih pendek, apendiks yang lebih

panjang, dan dinding apendiks yang lebih tipis, serta daya tahan tubuh yang

masih kurang, memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua,

perforasi mudah terjadi karena adanya gangguan pembuluh darah. Apendiks

yang pernah meradang tidak akan sembuh dengan sempurna, tetapi akan

membentuk jaringan parut. Jaringan ini menyebabkan terjadinya perlengketan

dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan tersebut dapat kembali

menimbulkan keluhan pada perut kanan bawah. Pada suatu saat organ ini

dapat mengalami peradangan kembali dan dinyatakan mengalami eksaserbasi

(Sjamsuhidajat, 2005).

9. Patofisiologi appendisitis akut

Apendisitis akut merupakan peradangan akut pada apendiks yang

disebabkan oleh bakteria yang dicetuskan oleh beberapa faktor pencetus.

Obstruksi pada lumen menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa

mengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut makin banyak, namun

elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan

peningkatan intralumen. Tekanan di dalam sekum akan meningkat.

Kombinasi tekanan tinggi di seikum dan peningkatan flora kuman di kolon

mengakibatkan sembelit, hal ini menjadi pencetus radang di mukosa apendiks

(Sjamsuhidajat, 2005).

Perkembangan dari apendisitis mukosa menjadi apendisitis komplit, yang

meliputi semua lapisan dinding apendiks tentu dipengaruhi oleh berbagai

Page 20: apendisitis

faktor pencetus setempat yang menghambat pengosongan lumen apendiks

atau mengganggu motilitas normal apendiks (Sjamsuhidajat, 2004).

Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks mengalami

hipoksia, menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan invasi bakteri.

Infeksi menyebabkan pembengkakan apendiks bertambah (edema) dan

semakin iskemik karena terjadi trombosis pembuluh darah intramural

(dinding apendiks). Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang

ditandai oleh nyeri epigastrium (Sjamsuhidajat, 2004).

Gangren dan perforasi khas dapat terjadi dalam 24-36 jam, tapi waktu

tersebut dapat berbeda beda setiap pasien karena ditentukan banyak faktor.

Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal

tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri

akan menembus dinding. Peradangan timbul meluas dan mengenai

peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah.

Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut. Bila kemudian arteri

terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangrene.

Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah

rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi (Sjamsuhidajat, 2004).

Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan

membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan

sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang diperut

kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan

dinyatakan mengalami eksaserbasi akut (Sjamsuhidajat, 2004).

Page 21: apendisitis

Secara skematis, patofisiologi apendisitis akut dapat dijelaskan sebagai berikut:

Etiologi

Obstruksi lumen

(fekalit, tumor, infeksi patogen, dll)

Mukus yang diproduksi mukosa akan mengalami bendungan

Peningkatan tekanan intra lumen/dinding apendiks

Aliran darah berkurang

Edema dan ulserasi mukosa Apendisitis akut fokal

Nyeri epigastrium Terputusnya aliran darah

Obtruksi vena, edema bertambah dan bakteri menembus dinding

Peradangan peritoneum Apendisitis supuratif akut

Nyeri di daerah kuadran kanan bawah

Aliran arteri terganggu

Infark dinding apendiks

Ganggren Apendisitis ganggrenosa

Dinding apendiks rapuh

Infiltrat Perforasi

Infiltrat apendikularis Apendisitis perforasi

(Sjamsuhidajat, 2004).

Page 22: apendisitis

10. Aspek kegawatan sistem digestive pada pasien

1. Perforasi

Perforasi disebabkan keterlambatan penanganan terhadap pasien

apendisitis akut. Perforasi disertai dengan nyeri yang lebih hebat dan

demam tinggi (sekitar 38,3 0C). Biasanya perforasi tidak terjadi pada 12

jam pertama. Pada apendiktektomi yang dilakukan pada pasien usia

kurang dari 10 tahun dan lebih dari 50 tahun, ditemukan 50 % nya telah

mengalami perforasi. Akibat perforasi ini sangat bervariasi mulai dari

peritonitis umum, sampai hanya berupa abses kecil yang tidak akan

mempengaruhi manifestasi kliniknya. Tanda-tanda perforasi meliputi

meningkatnya nyeri, spasme otot dinding perut kuadran kanan bawah,

demam, malaise, leukositosis semakin jelas (Lindseth, 2006).

2. Peritonitis

Peritonitis adalah peradangan peritoneum yang merupakan penyulit

berbahaya akibat penyebaran infeksi dari organ abdomen (misal:

apendisitis dan salpingitis), perforasi saluran cerna, atau dari luka tembus

abdomen. Gejala dan tanda yang terjadi bervariasi bergantung pada luas

peritonitis, beratnya peritonitis dan jenis organisme penyebabnya. Gejala

yang timbul biasanya demam, leukositosis, nyeri abdomen (biasanya terus-

menerus), muntah, abdomen yang tegang dan kaku, nyeri tekan lepas

(Lindseth, 2006). Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada

permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar akan menyebabkan

timbulnya peritonitis generalisata yang dapat menimbulkan ileus paralitik.

Bila peritonitis tidak diobati dengan seksama, komplikasi bisa

berkembang dengan cepat. Gerakan peristaltik usus akan menghilang dan

cairan tertahan di usus halus dan usus besar. Cairan juga akan merembes

dari peredaran darah ke dalam rongga peritoneum. Terjadi dehidrasi berat

dan darah kehilangan elektrolit yang bisa berujung ke keadaan syok

(Lindseth, 2006).

11. Rencana follow up pada pasien adalah segera melakukan appendixtomi

12. Komplikasi yang paling membahayakan adalah perforasi, baik merupakan

perforasi bebas maupun perforasi massa apendiks yang telah mengalami

Page 23: apendisitis

perdindingan sehingga berupa massa yang terdiri atas kumpulan apendiks,

sekum dan lekuk usus halus.

a. Massa Periapendikuler

Massa apendiks terjadi bila appendisitis gangrenosa atau mikroperforasi

ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan/ atau lekuk usus halus. Pada

massa periapendikuler dengan bentuk yang belum sempurna, dapat

terjadi penyebaran pus ke seluruh rongga peritoneum jika perforasi

diikuti oleh peritonitis purulenta generalisata (Sjamsuhidajat, 2010).

b. Appendisitis Perforata

Adanya fekalit dalam lumen, yang disebabkan oleh lumen dan

keterlambatan diagnosis merupakan faktor yang berperan dalam perforasi

apendiks (Sjamsuhidajat, 2010).

13. Angka kematian dipengaruhi oleh usia pasien, keadekuatan persiapan

prabedah, serta stadium penyakit pada waktu intervensi bedah. Appendisitis

tak berkomplikasi membawa mortalitas kurang dari 0,1 persen, gambaran

yang mencerminkan perawatan prabedah, bedah dan pasca bedah yang

tersedia saat ini. Angka kematian pada appendisitis berkomplikasi telah

berkurang dramatis menjadi 2 samapi 5 persen, tetapi tetap tinggi dan tidak

dapat diterima (10-15%) pada anak kecil dan orang tua. Pengurangan

mortalitas lebih lanjut harus dicapai dengan intervensi bedah lebih dini

(Sabiston, 1997).

Page 24: apendisitis

DAFTAR PUSTAKA

B e d a h U G M . 2 0 0 9 . F r a k t u r T e r b u k a . A v a i l a b l e a t U R L http://www.bedahugm.net/tag/fraktur-terbuka/   diakses tanggal 3 April 2012.

Burkitt, H. George., and Clive R.G.Q. 2002. Essential Surgery: Problems, Diagnosis, and Management. Philadelphia: Churchill Livingstone.

Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi Edisi 3 Revisi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

D.Mike Hardin, JR, M.D.1999. Appendicitis acute A Peer-Reviewed Journal of the American Academy of Family Physicians. Texas A&M University Health Science Center, Temple, Texas Am Fam Physician.  Nov 1;60(7):2027-2034.

Dorland, W.A. Newman.2002. Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta: EGC

Juffrie, M. 2010. Buku Ajar Gastroenterologi - Hepatologi Jilid 1. Jakarta : Balai Penerbit IDAI

Lindseth GN. 2006. Gangguan Lambung dan Duodenum Dalam: Sylvia A. Price dan Lorraine M. Wilson, editor. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. Jakarta : EGC

Longo,Dan L.2011.Horrison’s Principle of internal medicine. USA : The McGraw-Hill Companies

Martini,Frederic H. Judi L. Nath.2009.Fundamentals of Anatomy and Physiology Eight Edition.San Francisco: Pearson Benjamin

Oman, Kathleen S. 2008. Panduan Belajar Keperawatan Emergensi. Jakarta: EGC

Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Sabiston, David C. 1994. Buku Ajar Bedah Bagian 2. Jakarta: EGC

Sjamsuhidajat, R. Wim de Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Snell,Richard S, . 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran; alih bahasa Liliana Sugiharto; Ed 6. EGC : Jakarta.

Swartz, Mark H. 1997. Intisari Buku Ajar Diagnostik Fisik. Jakarta: EGC

Widjaja, Harjadi.2009. Anatomi Abdomen. Jakarta. EGC