Apa jadinya Indonesia dengan Generasi Muda APATIS????
Pagi ini tak seperti biasanya suasana sangat cerah, tak ada
hujan yang membuat aroma tanah terkuak, tak ada pula awan gelap
berarak menutupi langit. Kini matahari dengan berani menampakan
sinar kekuasaan Illahi, burung-burung pun terbang bersama dari satu
tempat ke tempat lain, membuat nuansa pagi akhir pekan ini terasa
begitu hangat.
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Salam Sejahtera
seluruh warga Desa Condong Catur yang saya cintai... teriak seorang
laki-laki separuh baya di atas panggung kecil yang didirikan di
tengah lapangan Desa. Sapaan itu terdengar menunjukkan bahwa orang
tersebut sangat menjunjung tinggi paham Pluralisme bukan?? Ucapan
salam umat Islam yang kemudian dikombinasikan dengan salam yang
biasa digunakan umat Kristiani. Tapi bagiku itu hanyalah upaya cari
muka orang-orang yang sebentar lagi wajahnya akan terpampang di
kertas Tempat Pemilihan Umum. Dan sekarang ini, di tempat ini
mereka tengah melakukan ajang promosi diri untuk mencari pendukung
sebanyak-banyaknya dengan memberikan segudang janji-janji yang
sangat manis kedengarannya, tapi entahlah aku tak bisa bilang itu
janji palsu, tapi aku juga tak pernah beharap mereka akan
merealisasikan janji-janji itu.
Aku Azzam, mahasiswa jurusan Pendidikan Ekonomi Universitas
Negeri Yogyakarta Semester 5. Perlu aku tegaskan diawal bahwa aku
bukanlah pendukung partai yang sekarang ini sedang berkoar-koar di
Desa-ku ini. Lalu kenapa aku sekarang aku berada di lapangan ini??
Jawabannya simple, karena minggu lalu tim sukses partai ini telah
berkoar bahwa setiap warga yang hadir di acara ini akan dibagikan
uang sebesar Rp 50.000,00, jadi itulah alasan keberadaanku disini.
Rasional bukan?? Hari ini aku tidak memiliki agenda penting jadi
opportunity cost-ku untuk mengikuti acara ini sangat kecil, dan
uang senilai lima puluh ribu ini kurasa bisa menutup kebutuhan isi
ulang modemku selama sebulan dan bila ada partai lain yang
melakukan hal yang sama aku rasa aku pun akan berusaha meluangkan
waktuku.
Setelah acara selesai dan aku mendapatkan apa yang kuinginkan,
aku segera bergegas pulang ke rumah. Cuaca panas membuatku ingin
segera menegak air dari dalam lemari es.
Gleek..Gleek..Gleek.. aku terlihat sangat menikmati air es yang
kuminum, karena memang aku merasa sangat haus.
Mas Azzam....jangan dihabisin airnya, itu kan aku yang masukin
airnya ke kulkas,teriak kesal Reza, adik semata wayangku yang kini
masih bersekolah di bangku kelas 3 Sekolah Dasar.
Gleek..baru saja aku menghabiskannya. Melihat botolnya sudah
kosong, mukanya menjadi merah bak kepiting rebus, entah karena
menahan marah atau menahan tangis.
Upss...maaf Za, mas haus banget e...mas ganti aja ya? Kamu mau
apa? Coca-cola? Sprite? Fanta? Ice Cream...
Ice Cream....ucapnya memoton ucapanku. Ya seperti anak kecil
yang lain, dia sangat suka ice cream.
Di Minimarket.....
Dari kotak tempat ice cream aku langsung mengambil 2 Ice Cream
Fest yang biasanya kami beli.
Mas, Magnum ada yang baru, ucapnya sambil menghentikan langkahku
menuju kasir.
Terus....?? tanyaku seolah tak tahu jalan pikiran adikku yang
telah berencana memeras kakaknya ini. Bukannya menjawab, dia hanya
menatapku dengan tatapan memelas penuh harap.
Hufh, Okelah untuk sekali ini aja loh. Nih tuker ice cream-nya,
ucapku menyerah sambil menyodorkan ice cream Fest yang aku ambil
tadi untuk ditukarkan dengan Magnum. Untuk sekali ini dia berhasil
memerasku, biasanya aku tak pernah mengizinkannya membeli ice cream
dengan harga lebih dari Rp 4.000,00. Tapi kali ini aku telah
menggunakan Rp 25.000,00 hanya untuk 2 batang ice cream. Tapi tak
apalah, uangnya toh juga aku dapat dengan percuma.
Setelah weekend tentunya akan hadir hari pertama dalam minggu
atau yang mungkin bisa saja disebut weekfirst atau weekbegin, tapi
yang pasti itu bukan hal yang penting untuk dibahas. Senin selain
berarti awal pekan, ia juga diartikan sebagai awal kembalinya
aktivitas setelah beristirahat di akhir pekan. Dan karena aku
adalah mahasiswa tentunya di hari Senin ini aku kembali
beraktivitas di kampus.
Pagi ini sedikit gerimis, aku harus mengenakan mantel ketika
berangkat tadi. Tapi yang namanya kampus mau gerimis, hujan besar
pun pasti tetap ramai. Setelah memarkir motor dan melipat mantel,
aku segera berjalan menuju ruang kelas.
Di sela gerimis ada juga ternyata mahasiswa yang duduk tenang
membaca buku, namanya Budi, mahasiswa jurusanku tapi satu angkatan
lebih muda dibawahku, dan sejak semester 1 dia sudah dikenal
sebagai si kutu buku. Kalau aku tebak di masa depannya kelak dia
akan memiliki profesi yang berkutat pada buku, mungkin Dosen, Guru
atau penulis buku.
Dan hanya berjarak 5 meter darinya berkumpul sekelompok
mahasiswa gaul, metal dan selalu menganggap dirinya keren. Mereka
adalah mahasiswa jurusan Manajemen seangkatan denganku. Aktivitas
mereka sehari-hari hanya kuliah, nongkrong, nge-band, dan aktivitas
menyenangkan duniawi lainnya. Kalau aku tebak di masa depannya
kelak dia akan berusaha keras agar mendapat warisan sehingga tidak
perlu bekerja atau paling tidak menjadi model dengan modal wajah
tampan dan kerennya.
Dan disekelilingku lainnya adalah mahasiswa normal yang
menjalani hidup secara wajar sebagai seorang mahasiswa, yaitu
kuliah, mengerjakan tugas, belajar jika ada ujian dan selebihnya
mereka akan menjadi follower atau justru mungkin apatis. Dan aku
rasa aku masuk kelompok yang terakhir ini dan aku adalah orang yang
apatis.
Azzam.......teriak seseorang dari arah belakang badanku.
Seketika aku membalikkan badan aku temukan dia, Dirga.
Ini Zam, baca, Dirga menunjukan selembar leaflet padaku.
AaaaaaBbbbbbCccccDdddddEeeeeeeeeFfffffffXxxxxxxxYyyyyyZzzzzzzzzOooooPppppppppQqqqqqqRrrrrrSssssssTttttttUuuuuuuu...............
jelasnya panjang lebar menjelaskan tentang kegiatan Seminar yang
tercantum di leaflet itu.
Untung Dirga datang, aku lupa masih ada 1 jenis mahasiswa lagi
selain 3 jenis mahasiswa yang tadi kujelaskan, yaitu mahasiswa
Aktif. Dan Dirga termasuk didalamnya. Seperti yang kita tahu
mahasiswa itu selalu identik dengan kekritisannya, sikap kritis
yang terbangun dari diskusi antar mahasiswa yang membahas
permasalahan sosial, ekonomi dan selalu berujung pada politik.
Beberapa dari mereka bahkan juga menggunakan organisasi sebagai
wadah mereka menyalurkan aspirasi. Bagi mereka mungkin itu adalah
aktivitas utama mereka di kampus, bukan lagi perkuliahan. Dan aku
hanya punya 2 gambaran tentang mereka, pertama mahasiswa yang
membuang waktu luangnya untuk aktivitas yang mengurangi tenaga,
pikiran bahkan mungkin uang untuk suatu hasil yang nihil, kedua
mahasiswa yang berupaya mencari koneksi untuk menjamin masa depan
mereka nanti.
Aku hanya mengangguk dan sesekali berkata Iya.. atas luncuran
kata demi kata promosi yang Dirga sampaikan karena aku tahu jika
aku mengelak pasti aku akan lebih lama di posisi pendengar setia
seperti ini. Dan setelah yakin aku telah terbujuk rayunya, dia pun
beranjak dariku dan kembali membujuk orang lain yang berdiri tak
jauh dari posisiku sekarang berdiri.
Sambil tersenyum tipis dan sedikit menggeleng melihat tingkah
teman sekelasku itu, aku pun kembali melangkah menuju kelas.
Sepertinya Dirga baru saja salah sasaran...ucap lirih seorang
wanita dari arah belakang tubuhku yang kembali menghentikan
langkahku menuju kelas.
Dia Reina, mahasiswa jurusan Manajemen satu angkatan denganku.
Dia sangat terkenal dari kalangan mahasiswa, dosen hingga
masyarakat luar yang dia bantu dan tentunya juga dikenal di
kalangan orang yang ia tentang. Selain keaktifannya di organisasi
dan aksi sosial, dia juga sangat cantik, cerdas, dan memiliki
wibawa. Sangat istimewa. Dia idola mahasiswa pria di kampus ini,
termasuk aku.
Iya kan?? tanyanya sambil tersenyum menyindirku.
Ya...tapi Dirga memang selalu begitu, tak pernah menyerah.
Makanya aku yang harus mengalah untuk berkata Ya, Ya, dan Ya..
ucapku sambil tertawa kecil.
Hahaha..ya bener banget, Dirga itu memang SDM yang luar biasa
bagi organisasi kami, ucap Reina sambil sesekali kami melihat ke
arah Dirga.
Ehmm tapi kenapa kamu gak tertarik ikut Seminar itu?
Pembicaranya Mentri loh, Mentri yang diisukan akan mencalonkan diri
sebagai Presiden di bulan April besok, lanjutnya dan kini aku mulai
merasa dia pun sedang bertugas layaknya Dirga.
Uhhh,, hawa-hawanya kamu udah mulai kaya Dirga ni.. kataku
sambil tersenyum simpul.
Alasannya simple, karena aku gak suka sama hal yang menyangkut
politik, terkecuali bila itu menguntungkan untukku. Politik itu
hanya alat, alat untuk menguntungkan segilintir orang dengan
menghalalkan segala cara termasuk membunuh orang lain. Dan aku gak
akan pernah mau jadi bagian dari mereka, lanjutku.
Azzam, dari perkataanmu tadi terlihat jelas kamu adalah orang
yang baik, kamu ingin tercipta keadilan di Negara ini, hanya saja
responmu atas kebenciammu terhadap ketidakadilan ini merubahmu
menjadi apatis. Padahal bisa saja kamu menjadi bagian dari agen
perubahan Negeri ini. Hanya kita loh, generasi muda yang dimiliki
ibu pertiwi yang dia harapkan bisa membawa Indonesia menjadi lebih
baik,ucap Reina.
Hhh..ucapku menahan tawa.
Ya, memang begitu pada umumnya seorang anak muda berpikir karena
mereka masih memiliki Idealis. Tapi lihat saja 5 sampai 10 tahun ke
depan idealis mereka akan runtuh seiring tingginya jabatan yang
mereka miliki. Kamu tahu pejabat-pejabat tinggi yang sekarang ini
terkena kasus korupsi, mereka mudanya pun sangat idealis tapi
sekarang........, ucapku membuat Reina menatap tajam diriku.
Sorry Rein, aku bukan maksud nge-judge kamu seperti itu atau
apalah....Aku cuma mau jelasin alasanku gak mau jadi kaya kalian.
Eee... maksudnya kaya kalian yang sibuk ngurus ini itu, lanjutku
setelah sadar kata-kataku sebelumnya mungkin sudah terlalu
kasar.
Gak apa-apa kok Zam. Itu prinsip kamu, jalan hidup yang kamu
pilih. Hanya saja hati kecilku selalu berkata kamu itu orang yang
baik. Aku tahu dan untuk sekarang ini aku akan menghormati
keinginanmu untuk tidak terlibat dalam urusan politik. Tapi aku
yakin kamu peduli kan sama aksi sosial? ucap Reina membuatku
menjadi penasaran tentang apa sebenarnya yang ingin dia
katakan.
Ada seorang ibu muda, dia baru saja melahirkan seorang bayi
laki-laki yang sangat tampa, mungkin setampan ayahnya. Hanya saja
ayahnya tak sempat melihat ketampanan putranya, dia meninggal dalam
kecelakaan pesawat. Dan kini pihak orang tua dari suaminya
menginginkan bayi itu berada di asuhan mereka karena sedari awal
mereka tak pernah setuju dengan pernikahan putranya, biasa lah
masalah kesederajatan sosialekonomi. Sangat kasiankan bila seorang
ibu harus dipisahkan dari anak yang baru saja ia lahirkan??
tuturnya.
Dan aku membutuhkanmu untuk memenangkan persidangannya, aku
butuh kemampuanmu dalam berdebat, lanjutnya menjawab pertanyaan
yang sebelumnya tersirat di benakku.
Azzam ayo masuk, pak Bambang udah datang tuh,teriak Dirga seraya
menarik lenganku.
Kamu kuliah dulu aja, nanti aku hubungi kamu lagi,ucap Reina
yang kemudian tersenyum manis. Sangat Manis.
Senyum itu yang terakhir aku lihat sebelum aku meninggalkannya
dan senyum itu yang mengakhiri percakapan panas kita. Aku
sepertinya benar-benar telah jatuh hati padanya.
Senyuman itu sungguh membayangi pikiranku, ya aku akui aku
memang kagum sejak semester 1 padanya, tapi sebelumnya tak pernah
seperti ini. Aku tak pernah melihat dirinya mondar-mandir dalam
pikiranku seperti ini. Aku tak pernah menemukan wajahnya dalam
setiap pandanganku seperti ini. Dan kenapa setiap mengingat senyum
manis itu rongga jiwaku menjadi sangat hangat? rasanya sangat
nyaman. Tapi yang jadi masalah kenapa aku selalu tersenyum-senyum
sendiri??? Itu sangat memalukan!!!
Hahaha...masa si mas Azzam gitu mas? Mas Azzam ngelamun di
kelas?? Udah gitu senyum-senyum sendiri?? Sampai dibentak bapak
Guru??tanya Reza seolah ia tak percaya atau justru ingin
mempertegas betapa memalukan kakaknya ini.
Dosen Reza, bukan bapak Guru, terang Frian, teman sekelasku yang
kini berada di rumahku untuk menceritakan kisah memalukanku di
kampus kemarin pada Reza, adikku.
Kalo dari gejalanya si ya Za, satu ngalamun, dua senyum-senyum
sendiri, sudah bisa di diagnosa kalo kakakmu itu mengidap virus
cinta...hahaha, terangnya seperti sangat puas mengejekku.
Suka mba-mba gitu maksudnya mas? tanya Reza dengan wajah yang
terlihat sangat lugu. Wah belagaknya Frian bakal mencemari otak
adikku dengan hal yang tidak-tidak ini.
Iya Reza sayang, ya masa suka sama mas-mas. Kalo gitu mas Frian
dalam bahaya dong, hahahahah.... tawanya sungguh sangat
menggelegar.
Hahahaha... dan adikku tertawa mengikuti tawa Frian, ya meskipun
sedikit terlambat. Pasti dia hanya ikut-ikutan, dasar anak
kecil.
Hahahaha,, tapi tanda ketiga aku belum liat nih, ucapnya
mengakhiri tawanya dan kemudian menatapku dengan tatapan penuh
tanya.
Tanda ketiga apa mas?? Apaaa?? tanya Reza.
Entahlah kenapa anak kecil ini menjadi sangat antusias dengan
urusan semacam ini.
Tanda ketiga itu, seharusnya kakakmu ini udah sering pegang HP,
sms-an gitu atau telponan kek. Tapi kayaknya aku belum liat tanda
ketiga itu, ucap Frian berlaga seperti detektif.
Ada mas, ada.....tanda ketiga itu ada, teriak Reza dengan penuh
semangat seolah dia baru saja memecahkan masalah besar.
Dari kemarin pulang kuliah, mas Azzam pegang HP terus. Buka
kunci, mati kunci buka kunci, mati kunci. Kaya lagi nunggu sms gitu
mas, terang Reza mengejutkanku.
Apa kemarin aku seperti itu??? Oh sungguh memalukan, dan kenapa
Reza bisa memperhatikanku sedetail itu. Ya memang dari kemarin
hingga saat ini aku menunggu Reina menghubungiku. Karena sebelumnya
dia bilang akan menghubungiku untuk membahas permintaannya kemarin.
Aku memang tertarik dengan kasus yang ia ceritakan, bagaimanapun
juga ibu kandunglah yang memiliki hak penuh pada anak yang ia
kandung dan ia lahirkan. Akan sangat menyakitkan bagi ibu dan anak
itu bila harus dipisahkan. Meski selain itu, entah kenapa aku
berharap Reina segera menghubungiku.
Thats Right, udah bisa jadi Hipotesis yang 99% tepat ini.
Sekarang kita tinggal cari tahu kebenarannya dari orang yang
bersangkutan, ucap Frian mantap dan kali ini ia bergaya seolah dia
detektif professional atau mahasiswa angkatan tua yang ingin
menyelesaikan penelitian skripsinya.
Dan sekarang tatapan mereka seperti ingin memakanku
hidup-hidup.
Siapa Zam??tanya Frian tanpa basa basi lagi.
Siapa mas, siapa mba-mba-nya??teriak Reza memecah telingaku.
Mereka terus saja berteriak menanyakan siapa wanita itu.
Teriakan mereka sungguh membuat telingaku sakit. Tapi masa ia aku
harus bilang dengan gamblang, wanita itu adalah Reina. Konyol
sekali rasanya.
Di tengah teriakkan mereka tiba-tiba handphone-ku berdering.
Reina...dia meneleponku. Aku harus segera mengangkatnya, tapi
bagaimana aku bisa kabur dari dua orang ini??
Dan tanpa pikir panjang, aku lari ke kamar dan mengunci
pintunya....
Awalnya mereka sangat berisik dengan menggedor-gedor pintu, tapi
setelah terdengar kata Assalamualaikum.. sebagai tanda aku telah
mengangkat telepon, maka mereka pun terdiam, khusyuk menguping
pembicaraanku.
Waalaikumsalam, aku gak ganggu kan? tanyanya dari seberang
sana.
Gak lah Rei, ada apa? tanyaku berlagak tidak tahu apa tujuan dia
meneleponku.
Masa lupa si, kan kemarin aku bilang mau hubungin kamu buat
bahas masalah yang kemarin. Gimana? Udah kamu pikirin?
Owh itu..ya kalo masalah itu aku akan berusaha semampuku untuk
membantu ibu itu, emang kapan persidangannya? Dan paling gak kita
butuh waktu mengumpulkan data untuk memperkuat pihak ibu itu di
persidangan nanti, terangku serius.
Persidangannya minggu depan Zam, data dan bukti udah aku
kumpulkan kok Zam. Kamu gak kuliah hari apa? Nanti aku ke rumah
kamu aja bawa datanya, ucapnya.
Besok jam 1 aku kosong kok. Emang kamu tahu rumahku Rei? Ketemu
di kampus juga ga apa-apa Rei, ucapku.
Tahu dong, rumahmu deket rumah Sevie anak Manajemen kan? Ga
apa-apa besok aku tempatmu bareng Sevie kok. Gimana? ucapnya.
Oh oke Rei kalo gitu, besok sms aja, ucapku singkat.
Ya beres Zam, makasih ya. Assalamualaikum...ucapnya hendak
mengakhiri perbincangan telepon kami.
Ya Rei, Waalaikumsalam... dan aku pun mematikan jaringan
teleponnya.
Setelah membuka pintu kamar, aku temukan mereka berdua masih
setia di balik pintu dengan tatapan tak sebringas sebelumnya.
Reina? Masalah serius ya? Sampe bawa persidangan segala, tanya
Frian. Sepertinya dia benar-benar tak berpikiran kalo Reina itu
adalah wanita yang mereka ingin tahu, mungkin karena pembicaraan
kami tadi terdengar sangat serius. Syukurlah..
Iya, ada ibu muda yang...................... terangku
menjelaskan duduk permasalahannya.
Untuk apa kamu lakuin itu? di Undang-undang Negara kita sudah
pasti membela ibu muda itu Zam, ucap Frian.
Gak sesimpel itu ham kalo urusannya udah sama uang. Pihak
penuntut hak adopsi bayi itu orang kaya yang punya modal, modal
buat nyuap hakim di persidangan. Hakim yang sudah berhadapan dengan
tumpukan uang biasanya menjadi sangat pintar memutarbalikkan makna
bunyi pasal-pasal dalam Undang-Undang agar memihak pada orang yang
memiliki modal. Jadi tugas aku dan Reina adalah membuat Hakim gak
bisa memutarbalikkan makna pasal-pasal itu, terangku.
Oh gitu toh..kalian harus berjuang maksimal ya,ucapnya
mengakhiri pembicaraan kami tentang Reina.
Rabu, 12 Februari 2014
Siang ini terik matahari sangat panas, rasanya ingin sekali
melepas baju, membasahinya, dan kemudian memakainya lagi. Tapi
tentu aku tak akan benar-benar melakukannya, kenapa??? Karena
sekarang jam 12.09, yang berarti kurang dari 1 jam lagi Reina akan
ke rumahku.
Pukul 13.03 WIB
Assalamualaikum.....terdengar suara salam.
Waalaikumsalam....jawabku seraya membuka pintu.
Seperti yang kuduga kamu datang tepat waktu Rei. Masuk Reina,
Sevie,lanjutku mempersilakan kedua tamuku ini masuk.
Aku mempersilakan mereka duduk di ruang tamu. Dan tanpa buang
waktu kami langsung mulai mengolah bahan yang telah disiapkan
Reina. Reina mengeluarkan berkas-berkas yang telah ia
kumpulkan.
Ini buku nikah orangtua sang anak, dan ini adalah akte kelahiran
yang baru saja dibuat. Meski sebenarnya aku tidak yakin apakah ini
akan berguna, tuturnya sedikit ragu.
Dan aku telah mengumpulkan pasal-pasal yang menguntungkan pihak
kita, lanjutnya seraya membuka laptop, Pasal 105 Komisi Hukum Islam
yang menyatakan anak yang berusia dibawah 15 tahun berada dibawah
asuhan sang ibu, tuturnya seraya memperlihatkan layar monitor
laptopnya padaku.
Ya aku kemarin juga telah membaca Undang-Undang Perlindungan
Anak, beberapa pasalnya bisa kita gunakan untuk menguatkan posisi
kita, tapi kita juga perlu mencari pasal yang mungkin mereka pakai
untuk menguatkan posisi mereka, seperti keadaan ekonomi, ucapku
mantap.
Kami mendiskusikan kemungkinan-kemungkinan pasal yang akan
digunakan pengacara pihak lawan untuk menjatuhkan pihak kami,
sehingga kami bisa memikirkan sanggahan yang tepat untuk berbalik
menyudutkan pihak lawan. Entah mengapa aku menjadi sangat antusias
menangani kasus ini, aku tahu nanti di persidangan aku harus
menghadapi pengacara yang pasti sudah professional karena itu
bidangnya dan menghadapi kemungkinan keberpihakkan hakim pada pihak
yang bermodal.
Di sela diskusi kami, Reina menunjukkanku sebuah video yang
mengambil rekaman ibu bayi dan bayinya yang baru saja ia lahirkan 2
minggu yang lalu. Vidio itu membuatku semakin bersemangat untuk
menangani persidangan itu. Meski disini kami bukan pihak
professional kami akan berusaha melakukan dengan maksimal.
Keterbatasan dana untuk menggunakan jasa pengacara professional
takkan melemahkan semangat kami, karena kami bekerja dengan
hati.
Aku tak sabar menantikan hari persidangan itu ..........
Hari ini langit begitu cerah, mentari pagi menyapa dengan
kehangatan yang terasa begitu nyaman. Aku harap suasana hatiku
setelah persidangan nanti akan sama seperti nuansa pagi yang hangat
ini. Aku ingin bisa memberi kebahagiaan bagi sepasang ibu muda dan
bayi kecilnya.
Hari ini adalah Sidang ke-2 dari kasus ini, Karena di sidang
sebelumnya upaya perdamaian dengan Mediasi yang dilakukan oleh
Ketua Majelis Hakim telah ditolak. Kedua belah pihak tidak
mendapatkan keputusan yang dapat diterima oleh kedua belah pihak.
Dan hari ini melalui persidangan, keputusan Hakim akan menjadi
mutlak harus diterima oleh kedua belah pihak. (kecuali jika
melakukan banding).
Suasana tempat sidang cukup sepi, dari pihak Penggugat hanya
dihadiri oleh Penggugat, yaitu orang tua dari almarhum suami pihak
Tergugat, selain itu hadir 2 anak dan 2 menantunya, serta
pengacaranya. Sementara di pihak kami hadir Tergugat, yaitu Nur
Khairina, ibu biologis dari anak yang ingin diambil hak asuhnya
oleh pihak Penggugat, kemudian ibu Tergugat yang tengah menggendong
cucu kecilnya dan beberapa sanak saudara, dan tentunya kami
mahasiswa yang mencoba membantu Tergugat mendapatkan haknya sebagi
seorang ibu.
Tepat pada jadwal persidangan yang telah ditentukkan, pada pukul
09.00 WIB persidangan dibuka oleh Ketua Majelis Hakim yang ditandai
dengan 3 kali ketukan palu. Sidang resmi dibuka dan hal yang
dilakukan pertama kali oleh Ketua Majelis Hakim adalah pengajuan
upaya perdamaian seperti pada sidang ke-1. Tapi sudah jelas pihak
Penggugat dan Tergugat menolak melakukan upaya mediasi. Dan
selanjutnya Ketua Majelis Hakim memimpin persidangan dan meminta
Penggugat membacakan gugatan pada Tergugat.
Saya menggugat Ibu Nur Khairina untuk mengambil alih hak asuh
cucu kandung bapak Ikhsan dari anak bungsunya, yaitu almarhum bapak
Khaerul. Kemampuan Ekonomi dan Sosial menjadi landasan pihak
Penggugat mengambil alih hak asuh, karena dikhawatirkan tumbuh
kembang anak tersebut akan kurang maksimal bila diasuh oleh ibu
kandungnya yang tidak memiliki pekerjaan, ucap pak Farhat selaku
pengacara dari pihak Penggugat
Setelah pihak Penggugat selesai memaparkan gugatannya, Ketua
Majelis Hakim mempersilakan pihak Tergugat untuk membela diri atas
gugatan yang ditujukan padanya, yang berarti sekarang giliranku
berbicara sebagai pembela pihak Tergugat.
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, ucapku membuka
pembicaraan dan berharap Allah akan membantuku. Amiin..
Disini saya akan menanggapi gugatan dari pihak Penggugat.
Mengingat usia anak yang diperebutkan hak asuhnya kini masih
berusia 21 hari, saya rasa Majelis Hakim lebih bisa menentukan
pihak mana yang lebih berhak mengasuh anak tersebut, pihak
Tergugat, yaitu ibu biologisnya yang bisa memenuhi kebutuhan ASI
yang sekarang ini jelas sangat dibutuhkan sang anak atau pihak
Penggugat? paparku.
Selain itu alasan kemampuan ekonomi dan sosial menurut saya
bukanlah suatu masalah bagi pihak Tergugat untuk mengasuh anak
tersebut, karena bagi anak seusia itu jelas yang ia butuhkan adalah
kasih sayang seorang ibu dan disini pihak Tergugat tidak sendiri
untuk memenuhi kebutuhan ekonomi anak tersebut, disini masih ada
kakek nenek dan keluarga besar lainnya yang akan turut membantu,
tambahku.
Waktu berjalan cepat............
Aku pikir perfomaku sudah cukup baik, tapi ternyata semuanya
berbalik. Majelis Hakim terlihat sekali memihak pihak Penggugat,
Majelis Hakim menangkal Kompilasi Hukum Islam Pasal 105 yang
menetapkan hak asuh anak jatuh pada ibu jika anak berusia dibawah
15 tahun dengan menyatakan bahwa anak tetap dapat mendapatkan ASI
dari sang ibu karena pihak Penggugat telah setuju mengizinkannya
dan dengan diasuh kakek dan neneknya maka anak tersebut bisa
mendapatkan kehidupan yang lebih layak.
Bagaiaman mungkin hak asuh tidak jatuh pada ibu kandung anak?
Keputusan ini sudah benar-benar menyalahi ketentuan yang ada,
ucapku sedikit emosi.
Ah kita ajukan saja banding, kalo perlu kita tuntut Hakimnya,
tambahku kali ini benar-benar penuh dengan emosi.
Mengajukan banding itu hanya akan berbuah nihil. Saya sudah
sangat berterima kasih dengan bantuan bantuan kalian. Saya
mendengar mertua saya telah menyogok Hakim untuk memenangkan
persidangan ini, jadi apapun yang kita lakukan, sekarang tetap saja
Rehan akan diasuh mereka. Saya sudah cukup bahagia kok dengan
diperbolehkan untuk memberikan ASI kepada Rehan. Saya tidak ingin
almarhum suami saya sedih karena permusuhan saya dengan
keluarganya, ucap Nur Khairina yang tiba-tiba datang menghampiri
gerombolan kami.
Ibu kenapa bicara seperti itu? Kita pasti bisa mengusahakan
lebih, karena Undang Undang dengan jelas menegaskan hak asuh anak
dibawah 15 tahun harus jatuh pada ibu kandungnya. Hakimnya saja
yang membuat keputusan sangat menyimpang, tegasku.
Azzam, jaga ucapanmu.. ucap Reina mencoba mengembalikan
emosiku.
Untuk apa aku menjaga ucapanku pada orang seperti itu?, tuturku
sedikit kasar.
Kalo kamu saja tidak bisa berpikir dingin, apa mungkin kamu bisa
membantu orang lain? ucap Reina sedikit menyadarkanku.
Lalu apa yang harus kita lakukan? tanyaku dengan sedikit lebih
tenang.
Ah.. aku tahu kita laporkan saja Hakim ini ke polisi, kita
tuntut dia, ucap Dirga membuat suasana yang tadi sudah sedikit
dingin menjadi sedikit panas lagi.
Kamu tuntut Hakim ke Polisi? Mereka itu gak ada bedanya, kamu
kaya laporin maling ke maling tahu, hahahha...ucap seorang teman
kami dari jurusan Akuntansi.
Hush kamu tuh ngomong apa? Denger ya, gak semua Hakim, Polisi,
dan penegak hukum lainnya berlaku tidak adil seperti itu. Ya meski
mayoritasnya demikian, tapi ingat mayoritas dari mereka berlaku
seperti itu karena sistem. Seperti yang dulu pernah kamu bilang
Zam, banyak orang idealis berubah menjadi pelaku kejahatan seiring
tingginya jabatan, maka begitulah mereka,jelas Reina.
Persidangan kemarin masih menyisakan kekecewaan bagiku,
perasaanku menjadi sedikit kacau. Bukankah aku memang sudah sadar
dari dulu bahwa hukum di Negeri ini memang berpihak pada orang
kaya, tapi kenapa sekarang aku merasa tidak bisa menerima kenyataan
itu??? Apa karena sekarang ini aku terlibat didalamnya??
Apa benar ini masalah Sistem??
Kalo benar maka betapa bobroknya Negeri ini.
Di Kampus ...........
Rei.... ucapku memanggil Reina yang baru saja keluar dari
kelasnya.
Eh, kamu Zam. Ngapain kamu disini? Gak nungguin aku keluar kelas
kan? ucap Reina setelah menghampiriku.
Emang nungguin kamu dari tadi. Kenapa? Gak boleh? Udah 15 menit
loh aku nunggu,.
Hahaha, tumben seorang Azzam gini. Kenapa? Masalah kemarin masih
buat kamu galau?.
Ya bukan galau, tapi......
Eh kita bicara di kantin aja yuk, lanutku.
Di kantin? Baik banget si pake nlaktir segala, ucap Reina
meledekku.
Ya, ya, ya gampang, ucapku sambil tersenyum melihat
tingkahnya.
Di Kantin....
Makasih bu, ucap Reina pada ibu kantin yang baru saja
mengantarkan 2 mangkok soto dan 2 gelas es jeruk.
Jadi apa yang buat kamu galau? lanjutnya.
Rei, aku gak galau, tegasku.
Ya oke, Azzam gak lagi galau. Jadi apa yang membuatmu nunggu 15
menit di depan kelas sampai rela nlaktir aku, Zam? Ada hal yang
luar biasa? tuturnya dengan sedikit menahan tawa.
Aku cuma kepikiran omonganmu kemarin, kamu bilang ini masalah
Sistem. Jadi maksudmu ketidakadilan tercipta karena sistem? Kalo
iya Negara kita sangat kacau ucapku dengan serius.
Hmhm, Azzam yang aku kenal sangat apatis tiba-tiba bicara
Negara? ucapnya sedikit heran.
Upss, sorry. Oke, gini Zam. Kita tahu kasus ketidakadilan hukum,
korupsi dan lain-lain di Indonesia itu selalu ada dan sangat sulit
untuk diberantas. Kenapa? Karena ini sudah menjadi sistem yang
telah terbentuk di masing-masing lembaga. Orang yang masuk ke
dalamnya dan menentang sistem yang ada maka kemungkinan besar dia
akan terdepak dari lembaga tersebut. Disini benar salah sudah
tampak abu-abu Zam, tak ada bedanya. Mereka tinggal memilih
mempertahankan idealisme dengan konsekuensi terdepak dari lembaga
yang ia naungi, perjalanan karirnya akan tersendat bahkan mungki
harus menanggung konsekuensi terror dan pembunuhan atau
meninggalkan idealisme dan mengikuti sistem yang berlaku, papar
Reina.
Kamu ingat Munir? Tokoh sosial yang gugur terbunuh melalui racun
yang dicampurkan di minumannya ketika ia naik pesawat? Itu adalah
contoh orang yang berjuang melawan sistem. Jadi bukan hal yang
mudah kan mempertahankan idealisme? tambahnya dengan tampang
bahagia seperti baru saja mengalahkanku.
Entahlah, ucapku dengan penuh gengsi.
Sulit sekali bagimu untuk mengaku kalah, tuturnya sedikit kesal
dan aku hanya bisa menahan tawa karena tingkahnya.
Itulah sebabnya aku aktif sana sini Zam, aku ingin sekali bisa
merubah sistem itu. Tapi untuk merubah sistem kita harus menjadi
orang yang berkuasa dulu, karena sebuah pemikiran baru bisa menjadi
Sistem bila didukung oleh Politik atau yang artinya didukung oleh
kekuasaan, tambahnya.
Kata-katanya barusan sungguh membuatku berpikir keras tentang
diriku selama ini. Apakah salah aku bersikap apatis?? Aku hanya
benci dan tak mau menjadi bagian dari orang-orang yang munafik yang
berubah setelah memiliki jabatan. Bagiku itu akan lebih menyakitkan
bila ada orang yang dulu sangat baik tapi kemudian berubah menjadi
sangat jahat, itu lebih mengecewakan. Bukankah lebih baik menjadi
orang yang biasa, tapi dari awal hingga akhir tetap sama. Tidak
jadi pahlawan tapi juga tidak jadi benalu.
Jujur aku sedikit kecewa ketika aku dengar dari Dirga kamu
bilang seharusnya panitia bisa menyelenggarakan seminar secara
gratis karena bukannya mengeluarkan uang untuk membayar pembicara
tapi panitia mendapat uang kampanye pembicara. Kenapa kamu tega
bilang gitu? tanyanya dengan raut kecewa.
Kamu tahu tujuanku mengusahakan pembicara dari calon presiden
adalah untuk memperkenalkan lebih dekat calon presiden pada
mahasiswa. Aku ingin memaksimalkan suara mahasiswa Zam. Bukannya
mencari keuntungan. Pada pemilihan presiden nanti mayoritas pemilih
adalah masyarakat irrasional yang akan memilih berdasar kampanye
yang dilakukan di desa-desa mereka, hanya ada sedikit pemilih yang
rasional. Dan mahasiswa adalah sebagian dari pemilih rasional itu,
aku ingin memaksimalkannya dengan memberikan gambaran tentang siapa
dan bagaimana calon presiden kita agar mereka tak salah pilih. Dan
aku juga berharap bisa mengurangi mahasiswa rasional yang apatis,
karena suara mereka sangat menentukkan masa depan Negeri ini.
Golput bukan suatu pilihan yang bijak Zam, itu pilihan orang yang
pengecut, paparnya sedikit mengejutkanku.
Kenapa kata-katamu seolah menuduhku pelaku golput? tanyaku tak
tahan dengan tatapan memojokkannya.
Adikmu, Reza sudah menceritakan semuanya saat aku ke rumahmu
kemarin. Ternyata kamu benar-benar apatis ya, umurmu sekarang 20
tahun, tapi selama 3 tahun ini kamu selalu golput setiap ada
pemilu? ucapnya seraya berdemam mengejekku.
Reza........... teriakku dalam hati. Eh tapi kenapa aku harus
menutupinya, bukannya aku selalu nyaman dengan pilihan golputku
itu?? Belakangan ini aku sepertinya sudah terpengaruh banyak hal
oleh Reina. Aku menjadi ingin melakukan sesuatu untuk Negeriku ini.
Tapi aku tetap tak ingin jadi orang munafik. Entahlah....
Reza, ngapain kamu cerita ke mba Reina kalo mas selalu golput
setiap ada pemilu? kamu nyeritain apa aja sama mba Reina? tanyaku
pada adikku yang tengah asyik menikmati sinema kartun sore di
Global TV.
Apa si mas? Baru pulang dah ngomel-ngomel. Mandi sana, bau,
jawabnya dengan menutup hidung untuk mempertegas kalau aku memang
bau.
Seperti biasa ketika aku sedang tak tahan dengannya, maka aku
menggendongnya dan menidurkannya di kursi dengan kedua tangan yang
kujerat dengan tanganku sampai dia mau mengatakan apa yang mau akau
dengar.
Mas.............. teriaknya.
Iya, iya. Kemarin itu mba Reina tanya mas orangnya gimana, ya
aku jawab jujur mas itu orangnya pelit gak mau beliin jajan buat
adeknya dan sekalinya beliin jajan waktu dapet uang dari ikutan
acara kampanye padahal dia itu tukang golput mba, masa tukang
golput ikut acara kampanye, jelas cuma cari uang kan. Aku cuma
ngomong itu kok mas. Lepasin, ucap Reza menjelaskan pembicaraan
mereka dengan rinci.
Kamu itu....ngomong kaya gitu dibilang cuma? denger ya, mas itu
bukan tukang golput, mas cuma gak pengen jadi bagian dari orang
yang munafik itu, ucapku.
Mas itu loh, mereka ya mereka, mas ya mas. Kenapa mesti di
sama-samain, ucap spontan Reza yang membuatku langsuung melepaskan
jeratanku pada tangannya.
Kata-katanya barusan mengena sekali, meski aku tahu dia tidak
sadar atas apa yang dia ucapkan tadi. Tapi kata-katanya
menyadarkanku bahwa aku dan orang-orang munafik itu berbeda. Kami
berbeda, yaitu aku masih memiliki kesempatan untuk tidak menjadi
munafik seperti mereka. Hidup itu pilihan, dan sekarang aku memilih
untuk tetap menjadi idealis seperti apapun kondisiku nanti. Aku
harap aku mampu melakukannya.
Ya, sudah aku putuskan, mulai sekarang aku akan berhenti menjadi
orang apatis, dan aku akan menjadi orang idealis, idealis untuk
memperbaiki Negeri ini. Negeri Indonesia.
Maaf...
Maaf atas ucapanku kemarin yang menganggap kamu hanya mencari
keuntungan dari acara seminar yang kamu adakan itu, lanjutku bicara
pada Reina setelah menghampirinya yang tengah duduk asyik bersama
semangkuk baksonya di kantin kampus.
Bolehkah aku mencabut kata-kataku itu? tambahku setelah Reina
menyadari keberadaanku disampingnya.
Azzam, kamu tuh ngagetin aku aja si, ucapnya.
Eh tadi kamu ngomong maaf? Maaf apa ya? Aku gak denger, bisa
diulangi lagi? tuturnya mengerjaiku.
Hmmm, masih muda pendengarannya udah konslet. Maaf selain
pertandingan sepak bola tidak ada siaran ulang, tegasku turut
mengerjainnya.
Reina tersenyum simpul mendengar ucapanku, Ya aku maafin, Allah
aja memaafkan kesalaan-kesalahan hamba-Nya karena ketidaktahuan.
Masa si aku nggak, ucapnya menahan tawa.
Hmmm, ya aku akui aku memang tidak tahu tentang tujuanmu
mengadakan seminar itu, ucapku mengaku kalah. Maafkan
ketidaktahuanku yang telah menyakitimu itu ya, lanjutku dengan
serius.
Iya aku maafkan, ucapnya sembari meletakkan telapak tangannya di
bahuku sebagai simbol dia telah mengampuniku.
Ah kamu itu berasa aku punya dosa besar aja sama kamu, ucapku
seraya menurunkan tanganya dari bahuku.
Haha, iya memang. Dosamu banyak ke aku, tuturnya yang kemudian
kembali menyendok bakso yang ada di hadapannya.
Bu..bakso satu ya, ucapku sedikit berteriak pada ibu kantin agar
dapat didengar.
Kamu gak ada kuliah lagi? tanyanya padaku.
Gak ada, tadi kuliah terakhirku buat hari ini, jawabku singkat
seraya mengambil handphone dari tas punggungku.
Kamu sendiri masih ada kuliah? tambahku.
Hari ini aku udah gak ada kuliah kok, aku lagi ngurusin
persiapan Semnas aja. Udah kurang 2 minggu lagi nih soalnya, lagi
sibuk-sibuknya, paparnya yang kali ini sibuk menyendok kuah segar
bakso.
Aku menggeser mangkok baksonya menjauh darinya, Ih Azzam, kamu
ngapain si? Lagi enak-enak makan tahu, ucapnya kesal.
Kamu tuh, baksoku tuh belum dateng. Kalo kamu makan terus ntar
aku gak punya temen makan, jawabku dengan sangat egois.
Lalu maumu apa? tanyanya seraya meletakkan sendok dan garpu yang
dari tadi sibuk menyuapi bakso ke mulutnya.
Dengerin aku ngomong,ucapku.
Belum sempat aku bicara lebih panjang, Reina sudah bersiap
meluncurkan kata-katanya. Maka terpaksa aku meletakkan jari
telunjukku di depan bibirnya, Kalo aku pengen gabung organisasimu,
menurutmu gimana? tanyaku setelah Reina benar-benar terdiam karena
ulahku.
Kamu serius? tanyanya.
Serius lah, meski awalnya aku masih ragu untuk terjun ke dunia
politik seperti kalian. Tapi Reza telah menyadarkanku.,.
Reza??.
Ya, dia bilang mereka ya mereka, aku ya aku. Mungkin dulu aku
terlalu takut menjadi orang idealis yang berjuang untuk negara tapi
di waktu setelahnya aku beralih menjadi orang yang menghianati
bangsa, aku terlalu takut bila aku menjadi kekecewaan bagi orang
lain. Tapi aku sekarang sadar, aku masih punya pilihan untuk tidak
menjadi apa yang aku takutkan. Meski mempertahankan idealis itu
memang sulit, tapi aku akan berusaha Rei, paparku.
Kamu pasti bisa Zam, aku yakin. Kamu hanya perlu mendengar suara
hatimu, jaga kesuciannya. Bila hatimu merasa suatu tindakan itu
salah, maka jangan lakukan. Jangan sampai kamu melanggarnya
sekalipun. Setiap kali kamu mengacuhkan suara hatimu, maka hatimu
akan selangkah demi selangkah menuju mati. Dan bila suara hatimu
telah mati, maka tidak ada yang bisa menghalangimu untuk menjadi
apa yang kamu takutkan, ucapnya dengan sangat bijak. Dia
mengucapkannya sambil memegang dadaku sebagai pemberitahuan bahwa
distulah letak suara hatiku.
Kalau begitu, mulai sekarang aku terima kamu menjadi anggota
Organisasi Pemuda untuk Negeri, lanjutnya mantap seraya meletakkan
kembali telapak tangannya di bahuku.
Hei, apakah harus selalu seperti ini? ucapku seraya menggeser
tangannya dari bahuku.
Hahhaaha.... dia tertawa dengan sangat lepas, sedang aku hanya
mampu tersenyum simpul melihatnya.
Yang pasti sekarang aku paham untuk mengubah Indonesia menjadi
lebih baik, Indonesia membutuhkan orang untuk mengawali perubahan,
sedangkan kebencian tak akan pernah menyelesaikan masalah. Ya meski
untuk melakukan perubahan seringkali kali kita gagal dan harus
mengulang dari awal. Tapi itulah perjuangan. Aku hanya perlu
mempelajari bagaimana mereka, pemuda-pemuda sebelum kami membuat
gebrakan-gebrakan berani untuk mengubah Indonesia menjadi lebih
baik, dan yang pasti aku juga harus mempelajari bagaimana mereka
bisa tersesat hingga melepas idealisme mereka hingga justru menjadi
benalu bagi Negeri yang dulu ia perjuangkan.
Aku, Azzam dan seluruh pemuda-pemudi Indonesia. Ingat kita
adalah generasi muda, kita adalah satu-satunya harapan bagi Negeri
ini karena pemuda selalu dikenal dengan Idealismenya. Kita harus
bersama menjadi agent of change untuk Indonesia yang Baru
karena......
Apa jadinya Indonesia dengan Generasi Muda Apatis????
(SELESAI)