Kebudayaan Indonesia Suku Baduy Banten
Kategori: Suku | Ditulis oleh contributor
Sebutan "Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk
luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para
peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok
Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah
(nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan
Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka
sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau "orang
Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang
mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo(Garna,
1993).
Konon pada sekitar abad ke XI dan XII Kerajaan Pajajaran
menguasai seluruh tanah Pasundan yakni dari Banten, Bogor, priangan
samapai ke wilayah Cirebon, pada waktu itu yang menjadi Rajanya
adalah Prabu Bramaiya Maisatandraman dengan gelar Prabu Siliwangi.
Kemudian pada sekitar abad ke XV dengan masuknya ajaran Agama Islam
yang dikembangkan oleh saudagar-saudagar Gujarat dari Saudi Arabia
dan Wali Songo dalam hal ini adalah Sunan Gunung Jati dari Cirebon,
dari mulai Pantai Utara sampai ke selatan daerah Banten, sehingga
kekuasaan Raja semakin terjepit dan rapuh dikarenakan rakyatnya
banyak yang memasuki agama Islam. Akhirnya raja beserta senopati
dan para ponggawa yang masih setia meninggalkan keraan masuk hutan
belantara kearah selatan dan mengikuti Hulu sungai, mereka
meninggalkan tempat asalnya dengan tekad seperti yang diucapkan
pada pantun upacara Suku Baduy Jauh teu puguh nu dijugjug, leumpang
teu puguhnu diteang , malipir dina gawir, nyalindung dina gunung,
mending keneh lara jeung wiring tibatan kudu ngayonan perang jeung
paduduluran nu saturunan atawa jeung baraya nu masih keneh sa
wangatua Artinya : jauh tidak menentu yang tuju ( Jugjug ),berjalan
tanpa ada tujuan, berjalan ditepi tebing, berlindung dibalik
gunung, lebih baik malu dan hina dari pada harus berperang dengan
sanak saudara ataupun keluarga yang masih satu turunan
Keturunan ini yang sekarang bertempat tinggal di kampong Cibeo
(Baduy Dalam) dengan cirri-ciri : berbaju putih hasil jaitan tangan
(baju sangsang), ikat kepala putih, memakai sarung biru tua
(tenunan sendiri) sampai di atas lutut, dan sifat penampilannya
jarang bicara (seperlunya) tapi amanah, kuat terhadap Hukum adat,
tidak mudah terpengaruh, berpendirian kuat tapi bijaksana.
Versi lain menurut cerita yang menjadi senopati di Banten pada
waktu itu adalah putra dari Prabu Siliwangi yang bernama Prabu Seda
dengan gelar Prabu Pucuk Umun setelah Cirebon dan sekitarnya
dikuasai oleh Sunan Gunung Jati, maka beliau mengutus putranya yang
bernama Sultan Hasanudin bersama para prajuritnya untuk
mengembangkan agama Islam di wilayah Banten dan sekitarnya.
Sehingga situasi di Banten Prabu Pucuk Umun bersama para ponggawa
dan prajurutnya meninggalkan tahta di Banten memasuki hutan
belantara dan menyelusuri sungai Ciujung sampai ke Hulu sungai ,
maka tempat ini mereka sebut Lembur Singkur Mandala Singkah yang
maksudnya tempat yang sunyi untuk meninggalkan perang dan akhirnya
tempat ini disebut GOA/ Panembahan Arca Domas yang sangat di
keramatkan
Keturunan ini yang kemudian menetap di kampung Cikeusik ( Baduy
Dalam ) dengan Khas sama dengan di kampong Cikeusik yaitu :
wataknya keras,acuh, sulit untuk diajak bicara (hanya seperlunya),
kuat terhadap hukum Adat, tidak mudah menerima bantuan orang lain
yang sifatnya pemberian, memakai baju putih (blacu) atau dari
tenunan serat daun Pelah, iket kepala putih memakai sarung tenun
biru tua (diatas lutut).
Ada juga yang mengatakan bahwa yang dimaksud suku Pengawinan
adalah dari percampuran suku-suku yang pada waktu itu ada yang
berasal dari daerah Sumedang, priangan, Bogor, Cirebon juga dari
Banten. Jadi kebanyakanmereka itu terdiri dari orang-orang yang
melangggar adat sehingga oleh Prabu Siliwangi dan Prabu Pucuk Umun
dibuang ke suatu daerah tertentu. Golongan inipun ikut terdesak
oleh perkembangan agama Islam sehingga kabur terpencar kebeberapa
daerah perkampungan tapi ada juga yang kabur kehutan belantara,
sehingga ada yang tinggal di Guradog kecamatan Maja, ada yang terus
menetap di kampong Cisungsang kecamatan Bayah, serta ada yang
menetap di kampung Sobang dan kampong Citujah kecamatan Muncang,
maka ditempat-tempat tersebut di atas masih ada kesamaan cirikhas
tersendiri. Adapun sisanya sebagian lagi mereka terpencar
mengikuti/menyusuri sungai Ciberang, Ciujung dan sungai Cisimeut
yang masing-masing menuju ke hulu sungai, dan akhirnya golongan
inilah yang menetap di 27 perkampungan di Baduy Panamping ( Baduy
Luar ) desa Kanekes kecamatan Leuwidamar kabupaten Lebak dengan
cirri-cirinya ; berpakaian serba hitam, ikat kepala batik biru tua,
boleh bepergian dengan naik kendaraan, berladang berpindah-pindah,
menjadi buruh tani, mudah diajak berbicara tapi masih tetap
terpengaruh adanya hukum adat karena merekan masih harus patuh dan
taat terhadap Hukum adat.
Suku Baduy berasal dari daerah di wilayah Kecamatan Leuwidamar
Kabupaten Lebak umumnya sewilayah Banten maka suku Baduy berasal
dari 3 tempat sehingga baik dari cara berpakaian, penampilan serta
sifatnyapun sangat berbeda Sebutan bagi suku Baduy terdiri
dari:Suku Baduy Dalam yang artinya suku Baduy yang berdomisili di
Tiga Tangtu (Kepuunan) yakni Cibeo, Cikeusik dan Cikertawana. Suku
Baduy Panamping artinya suku Baduy yang bedomisili di luar Tangtu
yang menempati di 27 kampung di desa Kanekes yang masih terikatoleh
Hukum adat dibawah pimpinan Puuun (kepala adat).Suku Baduy Muslim
yaitu suku Baduy yang telah dimukimkan dan telah mengikuti ajaran
agama Islam dan prilakunya telah mulai mengikuti masyarakat luar
serta sudah tidak mengikuti Hukum adat.Orang KanekesDari Wikipedia
bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Langsung ke: navigasi, cari
Kanekes Baduy/Badui
Keluarga KanekesJumlah populasi
5.000 - 8.000Kawasan dengan populasi yang signifikanBanten,
IndonesiaBahasaDialek Baduy dari SundaAgamaHinduisme (Sunda
Wiwitan), Islam, Buddha (Minoritas)Kelompok etnik terdekatSunda
Orang Kanekes atau orang Baduy/Badui adalah suatu kelompok
masyarakat adat sub-etnis Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten.
Populasi mereka sekitar 5.000 hingga 8.000 orang, dan mereka
merupakan salah satu suku yang menerapkan isolasi dari dunia luar.
Selain itu mereka juga memiliki keyakinan tabu untuk difoto,
khususnya penduduk wilayah Baduy dalam.Daftar isi [sembunyikan] 1
Etimologi2 Wilayah3 Bahasa4 Kelompok masyarakat5 Asal-usul6
Kepercayaan7 Pemerintahan8 Mata pencaharian9 Interaksi dengan
masyarakat luar10 Rujukan11 Lihat pula12 Pranala luar
Etimologi[sunting | sunting sumber]
Sebutan "Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk
luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para
peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok
Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah
(nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan
Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka
sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau "orang
Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang
mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo (Garna,
1993).Wilayah[sunting | sunting sumber]
Wilayah Kanekes secara geografis terletak pada koordinat 62727
6300 LS dan 10839 106455 BT (Permana, 2001). Mereka bermukim tepat
di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar,
Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari
kota Rangkasbitung. Wilayah yang merupakan bagian dari Pegunungan
Kendeng dengan ketinggian 300 600 m di atas permukaan laut (DPL)
tersebut mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan
kemiringan tanah rata-rata mencapai 45%, yang merupakan tanah
vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di bagian tengah), dan
tanah campuran (di bagian selatan). suhu rata-rata 20 C.
Tiga desa utama orang Kanekes Dalam adalah Cikeusik,
Cikertawana, dan Cibeo.Bahasa[sunting | sunting sumber]
Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek
SundaBanten. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar
menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan
pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes Dalam tidak
mengenal budaya tulis, sehingga adat-istiadat, kepercayaan/agama,
dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan
saja.
Orang Kanekes tidak mengenal sekolah, karena pendidikan formal
berlawanan dengan adat-istiadat mereka. Mereka menolak usulan
pemerintah untuk membangun fasilitas sekolah di desa-desa mereka.
Bahkan hingga hari ini, walaupun sejak era Suharto pemerintah telah
berusaha memaksa mereka untuk mengubah cara hidup mereka dan
membangun fasilitas sekolah modern di wilayah mereka, orang Kanekes
masih menolak usaha pemerintah tersebut. Akibatnya, mayoritas orang
Kanekes tidak dapat membaca atau menulis.Kelompok
masyarakat[sunting | sunting sumber]
Orang Kanekes memiliki hubungan sejarah dengan orang Sunda.
Penampilan fisik dan bahasa mereka mirip dengan orang-orang Sunda
pada umumnya. Satu-satunya perbedaan adalah kepercayaan dan cara
hidup mereka. Orang Kanekes menutup diri dari pengaruh dunia luar
dan secara ketat menjaga cara hidup mereka yang tradisional,
sedangkan orang Sunda lebih terbuka kepada pengaruh asing dan
mayoritas memeluk Islam.
Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok
yaitu tangtu, panamping, dan dangka (Permana, 2001).
Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Kanekes
Dalam (Baduy Dalam), yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga
yang tinggal di tiga kampung: Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik.
Ciri khas Orang Kanekes Dalam adalah pakaiannya berwarna putih
alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih. Mereka dilarang
secara adat untuk bertemu dengan orang asing.
Kanekes Dalam adalah bagian dari keseluruhan orang Kanekes.
Tidak seperti Kanekes Luar, warga Kanekes Dalam masih memegang
teguh adat-istiadat nenek moyang mereka.
Sebagian peraturan yang dianut oleh suku Kanekes Dalam antara
lain:Tidak diperkenankan menggunakan kendaraan untuk sarana
transportasiTidak diperkenankan menggunakan alas kakiPintu rumah
harus menghadap ke utara/selatan (kecuali rumah sang Pu'un atau
ketua adat)Larangan menggunakan alat elektronik
(teknologi)Menggunakan kain berwarna hitam/putih sebagai pakaian
yang ditenun dan dijahit sendiri serta tidak diperbolehkan
menggunakan pakaian modern. Kelompok masyarakat kedua yang disebut
panamping adalah mereka yang dikenal sebagai Kanekes Luar (Baduy
Luar), yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi
wilayah Kanekes Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot,
Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Masyarakat Kanekes Luar
berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam.
Kanekes Luar merupakan orang-orang yang telah keluar dari adat
dan wilayah Kanekes Dalam. Ada beberapa hal yang menyebabkan
dikeluarkannya warga Kanekes Dalam ke Kanekes Luar:Mereka telah
melanggar adat masyarakat Kanekes Dalam.Berkeinginan untuk keluar
dari Kanekes DalamMenikah dengan anggota Kanekes Luar
Ciri-ciri masyarakat orang Kanekes LuarMereka telah mengenal
teknologi, seperti peralatan elektronik.Proses pembangunan rumah
penduduk Kanekes Luar telah menggunakan alat-alat bantu, seperti
gergaji, palu, paku, dll, yang sebelumnya dilarang oleh adat
Kanekes Dalam.Menggunakan pakaian adat dengan warna hitam atau biru
tua (untuk laki-laki), yang menandakan bahwa mereka tidak suci.
Kadang menggunakan pakaian modern seperti kaos oblong dan celana
jeans.Menggunakan peralatan rumah tangga modern, seperti kasur,
bantal, piring & gelas kaca & plastik.Mereka tinggal di
luar wilayah Kanekes Dalam.Sebagian di antara mereka telah
terpengaruh dan berpindah agama menjadi seorang muslim dalam jumlah
cukup signifikan.
Apabila Kanekes Dalam dan Kanekes Luar tinggal di wilayah
Kanekes, maka "Kanekes Dangka" tinggal di luar wilayah Kanekes, dan
pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras
(Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut
berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar
(Permana, 2001).Asal-usul[sunting | sunting sumber] Delegasi
Kanekes sekitar tahun 1920
Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku
keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara
yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan
dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan
mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai
tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni
dunia.
Pendapat mengenai asal usul orang Kanekes berbeda dengan
pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan
cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan
perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat
mengenai 'Tatar Sunda' yang cukup minim keberadaannya. Masyarakat
Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya
pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor
sekarang). Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung
barat pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda.
Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung
dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk
pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian
penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum
menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu
diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih
untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di
wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya
yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat
Kanekes yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai
Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000). Perbedaan
pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu,
identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin
adalah untuk melindungi komunitas Kanekes sendiri dari serangan
musuh-musuh Pajajaran.
Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan
pada tahun 1928, menyangkal teori tersebut. Menurut dia, orang
Kanekes adalah penduduk asli daerah tersebut yang mempunyai daya
tolak kuat terhadap pengaruh luar (Garna, 1993b: 146). Orang
Kanekes sendiri pun menolak jika dikatakan bahwa mereka berasal
dari orang-orang pelarian dari Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda.
Menurut Danasasmita dan Djatisunda (1986: 4-5) orang Baduy
merupakan penduduk setempat yang dijadikan mandala' (kawasan suci)
secara resmi oleh raja, karena penduduknya berkewajiban memelihara
kabuyutan (tempat pemujaan leluhur atau nenek moyang), bukan agama
Hindu atau Budha. Kebuyutan di daerah ini dikenal dengan kabuyutan
Jati Sunda atau 'Sunda Asli' atau Sunda Wiwitan (wiwitan=asli,
asal, pokok, jati). Oleh karena itulah agama asli mereka pun diberi
nama Sunda Wiwitan. Raja yang menjadikan wilayah Baduy sebagai
mandala adalah Rakeyan Darmasiksa.Kepercayaan[sunting | sunting
sumber]
Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda
Wiwitan berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme)
yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama
Buddha, Hindu. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya
pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan
sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting dari
'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep "tanpa
perubahan apa pun", atau perubahan sesedikit mungkin:Lojor heunteu
beunang dipotong, pndk heunteu beunang disambung.
(Panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak
bisa/tidak boleh disambung)
Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan
secara harafiah. Di bidang pertanian, bentuk pikukuh tersebut
adalah dengan tidak mengubah kontur lahan bagi ladang, sehingga
cara berladangnya sangat sederhana, tidak mengolah lahan dengan
bajak, tidak membuat terasering, hanya menanam dengan tugal, yaitu
sepotong bambu yang diruncingkan. Pada pembangunan rumah juga
kontur permukaan tanah dibiarkan apa adanya, sehingga tiang
penyangga rumah Kanekes seringkali tidak sama panjang. Perkataan
dan tindakan mereka pun jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam
berdagang mereka tidak melakukan tawar-menawar.
Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca
Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral.
Orang Kanekes mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan
setahun sekali pada bulan Kalima, yang pada tahun 2003 bertepatan
dengan bulan Juli. Hanya Pu'un atau ketua adat tertinggi dan
beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti rombongan
pemujaan tersebut. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu
lumpang yang menyimpan air hujan. Apabila pada saat pemujaan
ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang
jernih, maka bagi masyarakat Kanekes itu merupakan pertanda bahwa
hujan pada tahun tersebut akan banyak turun, dan panen akan
berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering atau berair
keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen (Permana,
2003a).
Bagi sebagian kalangan, berkaitan dengan keteguhan
masyarakatnya, kepercayaan yang dianut masyarakat adat Kanekes ini
mencerminkan kepercayaan keagamaan masyarakat Sunda secara umum
sebelum masuknya Islam.Pemerintahan[sunting | sunting sumber]
Masyarakat Kanekes mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu
sistem nasional, yang mengikuti aturan negara Indonesia, dan sistem
adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat. Kedua
sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian rupa
sehingga tidak terjadi benturan. Secara nasional, penduduk Kanekes
dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah,
yang ada di bawah camat, sedangkan secara adat tunduk pada pimpinan
adat Kanekes yang tertinggi, yaitu "Pu'un". Struktur pemerintahan
Kanekes
Pemimpin adat tertinggi dalam masyarakat Kanekes adalah "Pu'un"
yang ada di tiga kampung tangtu. Jabatan tersebut berlangsung
turun-temurun, namun tidak otomatis dari bapak ke anak, melainkan
dapat juga kerabat lainnya. Jangka waktu jabatan Pu'un tidak
ditentukan, hanya berdasarkan pada kemampuan seseorang memegang
jabatan tersebut.Mata pencaharian[sunting | sunting sumber]
Sebagaimana yang telah terjadi selama ratusan tahun, maka mata
pencaharian utama masyarakat Kanekes adalah bertani padi huma.
Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari
menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian
dan asam keranji, serta madu hutan.Interaksi dengan masyarakat
luar[sunting | sunting sumber]
Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang ini ketat mengikuti
adat-istiadat bukan merupakan masyarakat terasing, terpencil,
ataupun masyarakat yang terisolasi dari perkembangan dunia luar.
Berdirinya Kesultanan Banten yang secara otomatis memasukkan
Kanekes ke dalam wilayah kekuasaannya pun tidak lepas dari
kesadaran mereka. Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada
penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba ke
Kesultanan Banten (Garna, 1993). Sampai sekarang, upacara seba
tersebut terus dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar
hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten
(sebelumnya ke Gubernur Jawa Barat), melalui bupati Kabupaten
Lebak. Di bidang pertanian, penduduk Kanekes Luar berinteraksi erat
dengan masyarakat luar, misalnya dalam sewa-menyewa tanah, dan
tenaga buruh.
Perdagangan yang pada waktu yang lampau dilakukan secara barter,
sekarang ini telah mempergunakan mata uang rupiah biasa. Orang
Kanekes menjual hasil buah-buahan, madu, dan gula kawung/aren
melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang
tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes
terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung,
dan Ciboleger.
Pada saat ini orang luar yang mengunjungi wilayah Kanekes
semakin meningkat sampai dengan ratusan orang per kali kunjungan,
biasanya merupakan remaja dari sekolah, mahasiswa, dan juga para
pengunjung dewasa lainnya. Mereka menerima para pengunjung
tersebut, bahkan untuk menginap satu malam, dengan ketentuan bahwa
pengunjung menuruti adat-istiadat yang berlaku di sana. Aturan adat
tersebut antara lain tidak boleh berfoto di wilayah Kanekes Dalam,
tidak menggunakan sabun atau odol di sungai. Namun demikian,
wilayah Kanekes tetap terlarang bagi orang asing (non-WNI).
Beberapa wartawan asing yang mencoba masuk sampai sekarang selalu
ditolak masuk.
Pada saat pekerjaan di ladang tidak terlalu banyak, orang
Kanekes juga senang berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka
dengan syarat harus berjalan kaki. Pada umumnya mereka pergi dalam
rombongan kecil yang terdiri dari 3 sampai 5 orang, berkunjung ke
rumah kenalan yang pernah datang ke Kanekes sambil menjual madu dan
hasil kerajinan tangan. Dalam kunjungan tersebut biasanya mereka
mendapatkan tambahan uang untuk mencukupi kebutuhan
hidup.Rujukan[sunting | sunting sumber]Adimihardja, K. (2000).
Orang Baduy di Banten Selatan: Manusia air pemelihara sungai,
Jurnal Antropologi Indonesia, Th. XXIV, No. 61, Jan-Apr 2000, hal
47 59.Garna, Y. (1993). Masyarakat Baduy di Banten, dalam
Masyarakat Terasing di Indonesia, Editor: Koentjaraningrat &
Simorangkir, Seri Etnografi Indonesia No.4. Jakarta: Departemen
Sosial dan Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial
dengan Gramedia Pustaka Utama.Iskandar, J. (1991). An evaluation of
the shifting cultivation systems of the Baduy society in West Java
using system modelling, Thesis Abstract of AGS Students,
[1].Makmur, A. (2001). Pamarentahan Baduy di Desa Kanekes:
Perspektif kekerabatan, [2].Nugraheni, E. & Winata, A. (2003).
Konservasi lingkungan dan plasma Nutfah menurut kearifan
tradisional masyarakat kasepuhan Gunung Halimun, Jurnal Studi
Indonesia, Volume 13, Nomor 2, September 2003, halaman
126-143.Permana, C.E. (2001). Kesetaraan gender dalam adat inti
jagat Baduy, Jakarta: Wedatama Widya Sastra.Permana, C.E. (2003).
Arca Domas Baduy: Sebuah referensi arkeologi dalam penafsiran ruang
masyarakat megalitik, Indonesian Arheology on the Net, [3]Permana,
C.E. (2003). Religi dalam tradisi bercocok tanam sederhana,
Indonesian Arheology on the Net, [4]Ascher, Robert, 1971 Analogy in
Archaeological Interpretation, dalam James Deetz (ed.) Mans Imprint
from the Past. Boston: Little Brown. Hal: 262271.Danasasmita, Saleh
dan Anis Djatisunda,., 1986 Kehidupan Masyarakat Kanekes. Bandung:
Sundanologi.Ekadjati, Edi S., 1995 Kebudayaan Sunda (Suatu
Pendekatan Sejarah). Jakarta: Pustaka Jaya.Garna, Judhistira, 1988
Perubahan Sosial Budaya Baduy dalam Nurhadi Rangkuti (Peny.). Orang
Baduy dari Inti Jagat. Bentara Budaya, KOMPAS, Yogyakarta: Etnodata
Prosindo.1993 Masyarakat Baduy di Banten, dalam Koentjaraningrat
(ed.) Masyarakat Terasing di Indonesia. Jakarta: Gramedia . Hal.
120-152)Hoevell, W.R. van, 1845 Bijdrage tot de kennis der
Badoeinen in het zuiden der residentie Bantam. TNI, VII:
335-430.Iskandar, Johan, 1992 Ekologi Perladangan di Indonesia:
Studi Kasus dari Daerah Baduy, Banten Selatan, Jawa Barat. Jakarta:
Djambatan.Jacobs, J. and J.J. Meijer, 1891 De Badoejs.
s-Grahenhage: Martinus Nijhoff.Koorders, D., 1869 Losse
Aantekeningeng tijdens het bezoek bij de Badois, BKI, LVI:
335-341.Kramer, C., 1979 Etnoarchaeology: Implication of
Ethnography for Archaeology. New York: Columbia University
Press.Mundardjito., 1981 Etnoarkeologi: Peranannya dalam
Pengembangan Arkeologi di Indonesia, dalam Majalah Arkeologi 1-2,
IV:17-29Permana, R. Cecep Eka, 1996 Tata Ruang Masyarakat Baduy.
Tesis Antropologi Program Pascasarjana Universitas
Indonesia.Pleyte, C.M., 1909 Artja Domas, het zielenland der
Badoejs. Tijdschrift voor Indishe Taal, land en Volkenkunde.
LI:Afl. 6: 494-526.Tricht, B. van, 1929 Levende Antiquiteiten in
West-Java. Djawa IX: 43-120.Lihat pula
Proses Penyelesaian Tindak Pidana Pencurian Di Kampung
Cikertawana Menurut Hukum Adat Baduy, Desa Kanekes Lebak,
BantenYudha Dharma Bandawi
Abstract
Di Indonesia sekarang sudah sangat sedikit komunitas masyarakat
yang mempertahankan hukum adat yang masih asli dan sesuai dengan
warisan nenek moyang yang dijadikan pedoman hidup dalam
bermasyarakat. Pelanggaran hukum dalam hukum adat hanya satu, yakni
yang disebut dengan Delik Adat. Terdapat perbedaan konsep antara
sistem hukum Barat dengan sistem hukum adat, lebih disebabkan
adanya perbedaan pandangan hidup (filsafat hukum) atau jiwa bangsa
yang melatar belakangi kedua sistem hukum tersebut, jika dalam
dunia Barat pandangan hidup yang ada adalah bercorak liberalistis,
rasional, dan intelektualistis tetapi dalam masyarakat adat
berpandangan hidup magis, komunal, kontan, dan konkrit. Dalam
penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian hukum
normative dan empiris. Salah satu kasus yang diangkat penulis
adalah kasus pencurian yang melibatkan seorang warga masyarakat
adat Baduy Dalam di kampung cikertawana, desa kanekes, Baduy. Kasus
dimulai dengan tertangkapnya seorang warga kampung Cikertawana
bernama Daya (40 tahun) yang dituduh melakukan pencurian seekor
ayam dan beberapa kebutuhan pokok seperti beras dan jagung milik
keluarga Samian. Atas tuduhan tersebut tersangka dipanggil oleh
Puun sebagai pengendali hukum adat dan tatanan hidup masyarakat,
kampung Cikertawana untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya
sesuai hukum adat yang berlaku dalam masyarakat adat suku Baduy
dalam. berlaku hukum adat masyarakat setempat, dimana si pelaku
dikenakan hukuman menunggui selama 40 hari di rumah tahanan adat
sambil diberi nasehat oleh Puun kampung Cikertawana. Hal ini
disebabkan oleh hukum adat memiliki batas-batas personal dan
territorial dimana tempat berlakunya kejadian pencurian di kampung
Cikertawana, maka hukum adat masyarakat Baduy Dalam kampung
Cikertawana yang dikenakan kepada pencuri tersebut, bukan ketentuan
mengenai pencurian yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana.
Kisah Penyelamatan Nyawa Warga Baduy yang Terbentur Hukum Adat
Rabu, 18 Desember 2013 | 17:07 WIBBANTEN, KOMPAS.com Kisah pilu
sekaligus unik datang dari sebuah negeri adat di pedalaman rimba
Banten. Upaya kemanusiaan menyelamatkan nyawa seorang anggota suku
Baduy Dalam yang terluka akibat kecelakaan terbentur aturan
adat.
Don Hasman, peneliti suku Baduy selama 38 tahun terakhir,
menceritakan, peristiwa ini terjadi di kampung yang secara
administratif masuk ke wilayah Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar,
Kabupaten Lebak, Banten.
Ceritanya, pada 10 Agustus 2013 sekitar pukul 10.30 WIB lalu,
Sanadi atau yang akrab disapa Sangsang oleh warga Baduy Dalam
mengalami musibah. Ia jatuh dari ketinggian tujuh hingga delapan
meter saat hendak mengambil daun sirih yang merambat di ujung
sebuah pohon.
Sangsang terbanting ke tanah dengan posisi telentang dan muka
menengadah ke langit.
"Sangsang langsung digotong oleh sepuluh orang," tutur Hasman
yang juga dikenal di dunia fotografi ini.
Sangsang terluka parah di bagian belakang tubuhnya. Dua ruas
tulang ekornya rusak dan terlepas. Beberapa sarafnya putus.
Benturan keras di tanah juga membuat luka menganga. Bahkan,
sebagian tulang belakang dapat terlihat dari luka tersebut.
"Selama ini Sangsang hanya menggunakan obat-obatan tradisional.
Sementara luka luarnya terbuka, lebarnya sampai sebesar piring
cangkir," terang Don Hasman.
Luka tersebut membuat Sangsang menderita sampai saat ini. Tidur
pun tak nyenyak. Ia harus menahan rasa sakit setiap malam.
Kabar tentang Sangsang kemudian beredar hingga keluar kampung
terpencil itu.
Terbentur adat
Menurut Don Hasman, salah satu rekannya, Lody Korua, yang
beberapa minggu lalu baru pulang mengunjungi Baduy Dalam,
menyampaikan kisah tentang Sangsang kepada Kepala Badan SAR
Nasional yang juga pernah menjadi komandan Marinir, Letnan Jenderal
TNI (Mar) M Alfan Baharudin.
Penderitaan Sangsang selama hampir lima bulan menuai simpati
Alfan. Seizin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Alfan menyiapkan
segala macam prosedur penanganan medis untuk Sangsang dengan
melibatkan enam dokter spesialis, seperti spesialis bedah dan
spesialis saraf.
"Alfan kemudian menugaskan untuk melakukan tindakan medis
secepatnya. Korban diminta untuk dibawa ke RS Marinir, Cilandak.
Semua sudah siap, termasuk heli jenis Bolco juga siap untuk
menjemput Sangsang hari Kamis minggu lalu," paparnya.
Namun, penyelamatan Sangsang terbentur adat yang melarang warga
adat keluar daerah. Tim penyelamat mencoba bernegosiasi dengan Jaro
(pemimpin adat Baduy) untuk menjemput Sangsang menggunakan
helikopter Bolco. Namun, permintaan itu ditolak.
Melalui beberapa kali negosiasi, akhirnya Jaro memberikan izin.
Syaratnya, pengobatan dilakukan di tapal batas Desa Kanekes di
seberang Dungai Cibarani, Kampung Cijahe, Kecamatan Cirinten,
Lebak, Banten.
Rumah sakit lapangan
Dengan segala macam pertimbangan kajian, akhirnya diputuskan
untuk membuat sebuah rumah sakit lapangan sementara dengan
memboyong peralatan medis canggih, termasuk dua mobil generator
berdaya 60.000 watt untuk menunjang peralatan medis elektronik.
Lagi-lagi, kendala datang. Setelah melakukan evaluasi seusai
survei mekanisme penjemputan dari kediaman Sangsang menuju lokasi
rumah sakit lapangan tersebut, nyawa Sangsang diprediksi tak
terselamatkan sebelum tiba di meja operasi.
Pasalnya, saat memasuki musim hujan, jalan setapak menuju Desa
Kanekes sangat sulit karena akan dipenuhi lumpur. Akses ke kampung
itu hanya bisa dilakukan dengan jalan kaki. Sangsang membutuhkan
waktu enam jam untuk sampai ke lokasi tapal batas.
Masalah lainnya adalah soal higienis. Untuk penanganan operasi
yang terbilang besar dan sulit, peralatannya harus benar-benar
steril. Sementara di rumah sakit lapangan, tidak ada jaminan
peralatan operasi steril.
"Kita coba lagi untuk negosiasi dengan Jaro agar (Sangsang) bisa
dijemput dengan heli, tetapi tetap tidak bisa. Dia (Jaro) bilang
dapat ilham berupa bisikan gaib agar (Sangsang) tidak dibawa
keluar," kata Don Hasman.
Akhirnya semua rencana penyelamatan nyawa Sangsang dihentikan
karena dipandang tidak ada titik temu. Dengan luka yang parah dan
tidak steril, nyawa Sangsang diprediksi tidak akan tertolong.
"Dokter mengatakan, Sangsang mungkin akan terserang paru-paru
basah karena dia hanya bisa tidur tengkurap. Bahkan, kalau lukanya
infeksi, bisa lebih cepat (ia meninggal). Padahal, kalau mau
diobati di Jakarta, 95 persen dia bisa sembuh dan bisa jalan lagi
sekitar 1,5 tahun ke depan," ucapnya.
"Tulang ekornya bisa dikembalikan dengan menggunakan pen baja.
Saraf-saraf yang putus juga masih dimungkinkan untuk disambung,"
tutur Don Hasman.
Tak mau melawan adat
Kini Sangsang masih terbaring lemah di rumahnya. Ia tak mau
melawan hukum adatnya. Ia tahu, jika menerima tawaran penanganan
medis ke luar kampung, ia akan terusir dari Baduy.
Saat tim penyelamat menemuinya dan menawarkan bantuan medis ke
luar kampung, ia menggoyangkan tangan dan membenamkan mukanya ke
alas tidur.
"Ya, sudah. Kami tidak bisa berbuat apa-apa. Kami pasrah saja.
Adat memang tidak bisa dilawan, tetapi seharusnya itu bisa
ditoleransi karena dia punya hak untuk tetap hidup," tutup Don
Hasman di ujung teleponnya.
Dinamika Kebudayaan Masyarakat Suku Baduy PENDAHULUAN
Keberadaan orang Baduy tidak lepas dari tradisi sebagai
pikukuhnya. Untuk menjaga pikukuh tersebut dan pengendalian agar
tetap terpelihara, maka dilaksanakan aturan untuk mempertahankannya
yang disebut Buyut (dalam Bahasa Indonesia disebut Tabu, dalam
Bahasa Sunda disebut Pamali ). Buyut adalah larangan bagi warga
Baduy. Inti dari pikukuh Baduy itu adalah Lojor teu menang
dipotong, pondok teu meunang disambung, artinya segala sesuatu yang
ada dalam kehidupan, tidak boleh dikurangi maupun ditambah, harus
tetap utuh.Adanya interaksi dengan warga masyarakat luar Baduy
menyebabkan orang Baduy banyak yang terpengaruh untuk memiliki
barang perlengkapan hidup yang sebelumnya tidak dikenal dalam
kehidupan mereka, lebih jauh lagi mereka melakukan pelanggaran baik
secara terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi, keadaan
yang demikian tentu saja tidak lepas dari pengawasan pemuka adat
seperti penghancuran barang perlengkapan hidup yang dianggap buyut
(dilarang), bagi orang Baduy hal itu dirasakan tidak adanya
keseimbangan antara kewajiban terhadap pikukuh yang harus dilakukan
dengan hal dari pikukuh yang diterima, hal ini menyebabkan mereka
mencari keseimbangan dengan masyarakat diluar Baduy.Adanya
interaksi dengan masyarakat diluar Baduy akan mempengaruhi mereka
untuk melakukan perubahan, sehingga muncul tokoh perubahan yang
akan membawa beberapa warga masyarakat yang menerima perubahan
untuk meninggalkan desa Kanekes dan pikukuhnya, hal ini pernah
terjadi dengan mendapat dukungan dari Kanwil Departemen Sosial
Propinsi Jawa Barat, melalui PPKSMT ( Proyek Pembinaan
Kesejahteraan Sosial Masyarakat Terasing ).Orang Baduy yang pindah
ke PPKSMT harus menghadapi adaptasi social baik dengan orang Baduy
sendiri maupun dengan masyarakat di sekitarnya, tetapi sebelum hal
itu dilakukan diantara mereka ada yang telah mempersiapkan strategi
hidup, dengan tujuan untuk mempersiapkan diri dari segala
kemungkinan yang dapat merugikan dirinya. Tidak sedikit diantara
mereka tidak dapat melakukan adaptasi sehingga pemuka adat berusaha
membawa kembali warga masyarakatnya untuk kembali ke desa Kanekes.
Sedangkan mereka yang dapat bertahan dan yang telah yakin dengan
perubahan yang dilakukan terus menjadi masyarakat biasa.Dengan
demikian, pikukuh sebagai norma budaya yang berfungsi sebagai
standar perilaku yang diharapkan dan sekaligus merupakan aturan
yang harus dilakukan oleh warga masyarakat sebagai pemilik
kebudayaan tersebut kenyataannya buyut tersebut tidak seutuhnya
dilaksanakan karena buyut bagi warga masyarakat Tangtu lebih ketat
dibanding dengan buyut warga masyarakat Panamping.
PEMBAHASAN
Perubahan yang terjadi dalam kehidupan warga masyarakat
BaduyKehidupan warga masyarakat Baduy yang penuh dengan buyut,
tetapi dari waktu ke waktu mengalami perubahan hanya saja perubahan
tersebut terbagi menjadi perubahan tanpa melanggar pikukuh yaitu
perubahan diluar kehendak warga masyarakat dan tidak secara
langsung, sedangkan perubahan yang melanggar pikukuh adalah
perubahan yang dilakukan warga masyarakat dengan menentang pikukuh,
sehingga pemuka adat memerlukan operasi pembersihan untuk
menertibkannya. Perubahan melanggar pikukuh inin ada dua macam,
pertama yang melanggar tetap berada di desa Kanekes dan kedua
sengaja keluar dari desa Kanekes. Pelanggaran dapat pula terjadi
karena ketidaktahuan mereka terhadap buyut, karena buyut sebagai
pikukuh Baduy tidak dijelaskan secara rinci kepada setiap warga
masyarakatnya, sehingga pelanggaran terjadi tanpa
disadari.Perubahan dalam kehidupan warga masyarakat Baduy sebagai
berikut :Perubahan tanpa melanggar pikukuhSeringnya orang Tangtu
atau Panamping berinteraksi dengan orang lain, mendorong mereka
untuk dapat membaca dan menulis. Kebutuhan dapat membaca dan
menulis ini dimaksudkan untuk mengetahui barang yang akan dibeli
agar tidak terjadi kesalahan. Begitu pula jika mereka berkunjung ke
kota dan sulit mencari alamat yang di tuju, maka mereka dapat
membaca alamat dan nama jalan, karena jika bertanya di kota jarang
orang mengetahui atau menunjukkan tempat yang dimaksud. Kemampuan
membaca dan menulis sangat penting bagi mereka, karena jika ada
perjanjian tertulis yang akan ditandatangani atau berhubungan
dengan perjanjian jual beli tanah maka mereka akan mengetahui dan
memahaminya, sehingga tidak begitu mudah diperalat orang
lain.Berikut ini beberapa contoh perubahan yang dialami oleh
masyarakat tanpa melanggar pikukuh, yaitu dalam pencarian bahan
pakaian. Benang sebagai bahan kain untuk pakaian yang diperlukan
orang Baduy dibeli dari daerah lain kemudian di tenun di desa
Kanekes. Dahulu mereka menanam kapas untuk dijadikan benang
kemudian ditenun dijadikan kain, tetapi penanam kapas ini selalu
berbenturan dengan waktu menanam padi, menanam padi bagi orang
Baduy lebih penting bagi dibandingkan menanam kapas, akibatnya
menanam kapas mereka tinggalkan. Maka untuk memenuhi kebutuhan
kapas, mereka membelinya dari masyarakat Gunung Buleud Kecamatan
Gunung Kancana. Perkembangan harga kapas yang terus tidak menentu
dan tidak menguntungkan lagi maka penanaman kapas dihentikan,
sehingga orang Baduy berusaha mencari kapas ke berbagai daerah,
namun tidak mendapatkan sesuai dengan yang diharapkan. Akhirnya
orang Baduy memilih membeli benang yang berukuran besar dinamakan
kanteh ( benang katun no. 12S ), didapat dari Tanah Abang Jakarta
Barat. Pembelian kanteh dari daerah ini berlangsung lama, sehingga
orang Baduy menjadi pelanggan tetap took di Tanah Abang.Pembelian
kanteh dari Tanah Abang tidak dapat berlangsung terus, karena
Jakarta mengalami perubahan, akibatnya toko langganan orang Baduy
tidak ada lagi disana. Akhirnya orang Baduy mencari kanteh ke
berbagai daerah, kemudian mendapatkan di Majalaya Kabupaten Bandung
sampai sekarang.Pada mulanya pakaian Baduy Tangtu dan Panamping
hasil tenunan dari Cipaler tetapi bagi orang Panamping yang
pikukuhnya lebih longgar diperbolehkan untuk membeli kain tenunan
pabrik, ternyata mereka lebih menyenanginya, karena selain murah
tenunan pabrik lebih halus.Pakaian pria Panamping nampaknya hanya
baju hitam, tetapi mereka memiliki pakaian resmi yang biasa
digunakan pada saat Seba, perayaan perkawinan, khitanan dan
lain-lain. Pakaian tersebut dua lapis, yaitu baju hitam dipakai
diluar dan baju putih didalam juga celana pendek berwarna hitam
pula. Pakaian resmi yang demikian dirasakan cukup panas, maka jalan
keluarnya dibuatkan pakaian hitam dengan ditambah tempelan kain
putih yang dibuat mirip krah baju, seakan-akan pemakaiannya memakai
dua pakaian sekaligus.Pria Baduy Panamping sebelumnya tidak memakai
celana pendek berwarna hitam, melainkan memakai kain sarung poleng
hitam (hitam bergaris putih) sebatas lutut. Perubahan dari kain
sarung poleng hitam ke celana pendek hitam, terjadi pada saat orang
Baduy menyerahkan hasil bumi sebagai tanda setia (seba) kepada
Dalem Banten, seseorang yang ditugaskan tiba-tiba larangannya
(kemaluannya) terlihat, sehingga orang melihat mentertawakan, maka
Dalem Banten memerintahkan orang Baduy Panamping, jika tidak
terpaksa sebaiknya memakai celana pendek hitam hasil tenunan Baduy,
untuk membedakan bahan celana dengan bahan baju, maka kain celana
harus berserat seperti kayu pohon aren. Sejak saat itulah pria
Baduy Panamping memakai celana pendek. Tetapi di beberapa kampung
Panamping masih ada yang memakai kain sarung poleng hitam tanpa
celana dalam, mereka ini disebut Kaum Dalem, yang berada di kampung
Cibongkok, Cikopeng, Cicatang, Pamoean, Cibogo, Cisadane,
Batubeulah, Cikulinseng, Ciranji, Cijanar, Cisagu landeuh, Cisagu
Tonggoh, Cikadu, Cijengkol, Cicangkudu dan Cipiit. Ikat kepala
berwarna hitam atau biru tua bermotif batik tidak dihasilkan
sendiri oleh orang Baduy, begitu pula bahan pakaian untuk Panamping
banyak yang berasal dari tenunan pabrik, sedangkan yang menggunakan
hasil tenunan Baduy jumlahnya makin sedikit. Wanita Panamping
pakaiannya menggunakan samping hitam atau biru tua dapat bermotif
batik, bajunya sedikit lebih terang dan berwarna biru muda, ungu
atau putih yang dibeli dari pasar desa atau dari Rangkasbitung.
Pewarna kain hitam atau biru tua tidak lagi menggunakan bahan
pewarna dari kulit kayu tarum, melainkan sudah menggunakan bahan
kimia karena selain mudah menggunakan juga warnanya tahan lama.
Penggunaan pelita untuk penerangan rumah di malam hari di kampung
Tangtu Cibeo mengalami perubahan. Bahan baker pelita pada mulanya
menggunakan minyak buah picung, tetapi pohon picung tidak berbuah
sepanjang musim. Maka untuk itu sekarang digunakan minyak goring
tetapi minyak goreng kadang digunakan keperluan lain, akhirnya
mulai menggunakan lilin. Begitu pula untuk penerangan untuk
berjalan malam jika akan berkunjung ke rumah tetangga, mereka
biasanya menggunakan pohon kaso kering atau daun pohon kelapa
kering yang dibakar. Karena terlalu berbahaya dapat mengakibatkan
kebakaran, maka sekarang diganti dengan lilin. Agar apinya tidak
mati tertiup angina, lilin tersebut dihalangi bato kelapa yang
tengahnya dilubangi.Kampung Dangka yang berfungsi sabagai penahan
perubahan yang masuk dalam kehidupan warga masyarakat Baduy di desa
Kanekes dipimpin Jaro Dangka yang langsung berhubungan dengan
organisasi social masyarakatnya, mereka adalah Jaro Tujuh, dianggap
sebagai Pamageuh Alam ( penguat alam ) yang sengaja dimunculkan
dengan tujuan untuk mententramkan dunia. Hal itu berhubungan dengan
kepercayaan orang Baduy yang menganggap bahwa Batara Tunggal
menciptakan alam semesta sebanyak 7 X ( tujuh kali ) sedangkan alam
dunia 1 X ( satu kali ), sehingga untuk penguat alam dan pikukuh
perlu dibentuk Jaro Tujuh.Jaro Dangka yang bermukim di luar desa
Kanekes sudah ada yang meninggalkan kampungnya kemudian kembali ke
desa Kanekes, hal ini disebabkan adanya pertentangan dengan pemuka
masyarakat atau kepala desa setempat.Jaro Panyaweuyan di desa
Karang Gombong sama halnya seperti Jaro Kamancing terusir dari
tanah dangkanya kemudian pindah ke kampung Batara.Kehidupan warga
masyarakat diatur oleh rukun tetangga dan kokolet lembur yang
berada di setiap kampung lama( Utama ) panamping. Organisasi adat
baduy akan mengalami perubahan sesuai dengan kebutuhan yang
diperlukan pada saat tertentu, hal ini adalah toleransi pikukuh
terhadap tantangan yang ada, sehingga pikukuh akan tetap terjaga
dari rombongan yang akan mengubah kehidupan warga masyarakat baduy.
Perubahan dalam kehidupan warga masyarakat bukan berarti
dikehendaki atau tidak, melainkan tuntutan perkembangan jaman yang
meharuskan bahwa bagian instusi sosial harus berubah dan
beradaptasi terhadapnya tanpa dapat dicegah, sehingga terjadi
toleransi terhadap itu, maka perubahn tersebut dianggap tidak
melanggar norma budaya.Perubahan Yang dianggap melanggar
pikukuh.Perubahan yang dilakukan orang Baduy sejak dahulu telah
ada, sehingga perlu penanganan dari pemuka adat dan puun untuk
mengatasinya.Perubahan yang dialami orang baduy tungku biasanya
berhubungan dengan status mereka karena pelanggaran terhadap
pikukuh yang dilakukan langsung berhadapan dengan Sidang Adat, si
pelanggar dibuang ke kampung dangaka selama 40 hari untuk bekerja
di tanah Dangka. Adapun pelanggaran tersebut adalah mencuri,
berzina, orang dewasa mengobrol dengan lawan jenis yang bukan suami
istri, naik mobil, berbohong menipu, bertengkar, berkelahi dan
memiliki perlengkapan hidup yang dilarang. Terdapat tiga kampung
dangka yang digunakan untuk menampung pelanggar pikukuh dari
kampung Tangtu ialah, kampung Dangka Sibengkung menampungpelanggar
dari Cikeusik, kampung dangka cihulu menampung pelanggar Cibeo dan
kampung dangka Panyaweungan yang sekarang berada di Cisaban
menampung pelanggar dari Cikartawana. Hukuman kerja selama 40 hari
di cibengkung sudah jarang dilakukan, setelah seminggu atau 5 hari
pelanggar dianggap selesai menjalani hukuman, maksudnya agar jangan
sampai terpengaruh oleh warga masyarakat yang berada di kampung
sekitarnya, yang menyebabkan pelanggar tidak mau kembali ke Tangtu,
melainkan menjadi orang baduy Penamping atau meninggalkan dari
pikukuh Baduy. Sedangkan pelanggaran berat seperti : mencuri(
mencuri padi dianggap sebagai pelanggaran paling berat),
bertengkar, berkelahi dengan sesama orang tangtu dan berzina
menyebabkan tidak dapat lagi menjadi ornag tangtu setelah menjalani
hukuman di kampung dangka, mereka langsung berubah menjadi orang
baduy penamping. Bagi mereka yang pelanggaranya dianggap ringan
dapat kembali menjadi orang tangtu, tetapi harus membersihkan diri
melalui penyerahan bokor dengan diisi dengan sirih dan uang penebus
kesalahan, yang besarnya ditentukan puun dan jaro dangka yang
bersangkutan.Orang baduy Tangtu dapat menjadi orang penamping tanpa
melakuakan pelanggaran yang berarti tetapi melalui perkawinan
antara pria tangtu dengan wanita penamping atau sebaliknya
terkecualian bagi pria tangtu keturunan puun dan dianggap penting,
yang kawin dengan wanita penamping, maka pengantin wanita harus
ditarik menjadi orang tangtu. Sebelum menjadi orang tangtu
pengantin wanita diharuskan memenuhi persyaratan Pembersihan diri
melalui penyerahan bokor kepada puun. Begitu pula halnya bagi
seseorang yang keluar dari tangtu, terlebih dahulu dengan sengaja
melakukan pelanggaran agar dikenakan hukuman di dangka dan wajib
melakuakan pembersihan diri, kemudian disuruh memilih tetap tinggal
di tangtu atau menjadi orang penamping. Akhirnya yang bersangkutan
dapat menikah wanita panamping. Perpindahan mereka menjadi orang
Baduy panamping dapat juga atas dasar keinginan sendiri, yang
disebabkan terlalu ketatnya memegang pikukuh, akhirnya dengan
sengaja melakukan pelanggaran agar dapat keluar dari kampung
tangtu.Pelanggaran yang dilakukan orang baduy Panamping berhubungan
dengan penerimaan ide perubahan (adopsi inovasi) terutama pemilikan
perlengkapan kebutuhan hidup, seperti alat-alat makan (sendok,
garpu, gelas dan piring selain keramik), pakaian (kaos, jelana
panjang, celana dallam, baju selain hitam atauppputih, jelana
pendek selain hitam, kain samping selain hitam atau biru tua yang
biasa dipakai wanita dan pakaian anak-anak dipakai tidak seperti
orang dewasa), cerek, lampu senter, lampu tempel yang menggunakan
minyak tanah, kasor, anduk, sikat dan pasta gigi, jam tangan, radio
dan lain-lain yang sebelumnya tidak ada dalam kehidupan mereka.
Semua perlengkapan hidup tersebut jika kena operasi pemberihan akan
dihancurkan, karena itu biasanya sebelum dilaksanakan operasi
pember tidak baik diserahkan untuk dihancurkan. Walaupun operasi
pembersihan dilakukan setiap tahun, orang Baduy Panamping tetap
saja membeli perlengkapan hidup yang diangkap Buyut, bigitu pula
pembersihan dilakukan terhadap tumbuhan yang dilalang ditanam di
Desa Kanekes, seperti pohon kopi dan cengkeh walaupu ditebang,
mereka menanamnya kembali. Adapun alasan tumbuhan yang dilalarang
karena pada jaman kolonial Belanda wajib ditanam rakyat Indonesia
sebagai tanam paksa. Sedangkan orang Baduy, buyut untuk kerjasama
dengan Belanda. Akibatnya jika orang Baduy di Desa Kanekes
diketahui menanamnya maka pohon tersebut ditebang. Pelangkaran
terhadap Pikukuh dilakukan pula di lahan pertanian, seperti
penggunaan Herbisida untuk membasmi tumbuhan yang tidak dikehendaki
dan penggunaan Pestisida untuk memberantas hama padi.
Penyemprotannya dilakukan pada malam hari maksudnya agar tidak
diketahui pemuka adat. Nampaknya penggunaan obat-obat pertanian
belum terkena operasi pembersihan karena dilakukan secara sembunya
pada malam hari, sehingga pembuka adat tidak melihatnya.Warga
Kampung Panamping ada yang tidak terkena operasi pembersihan,
tetrapi hanya diperingatkan saja oleh yang ditugaskan dalam hal
itu, yaitu Kampung Gerendeng di Desa Karang Combong. Tidak
sampainya operasi pemberihan karena Kampung Gerendeng dilindungi
Kepala Desa Karang Cembung. Segala perlengkapan hidup yang menjadi
milik orang Kampung Gerendeng tidak boleh diganggu, sehingga orang
Baduy Panamping di Kampug itu bebas memiliki barangk perlengkapan
hidupnya. Pelanggaran dilakukan pula oleh orang Baduy Tangtu dalam
hal menikmati kesenangan dengan jalan menonton TV milik masyarakat
sekitar Desa Kanekes, seperti di Ciboleger pelanggaran ini
dilakukan sore hari yaitu menonton TV secara terang-terangan denga
alasan menjual hasil bumi, jika selesai jual beli dan kembali ke
Kampung Tangtu akan kemalaman di jalan, apalagi hari itu terjadi
hujan, maka mereka akan bermalam di tempat si penampung atau
tengkulak, ditempat inilah terdapat TV. Hal ini berlangsung setiap
saat sehingga informasi perubahan dari TV diterima mereka, akan
menambah penasaran untuk datang ke tempat yang muncul di TV seperti
wilayah Banten, Bogor dan Jakarta. Keingin untuk mengetahui
tempat-tempat tersebut dilaksanakan pada saat selesai menanam padi
atau pada saat seba. Sepunglangnya dari tempat yang dikunjungi,
mereka membawa pengalaman baru. Pemuda Baduy Panamping yang pergi
ke kota sambil berdagang atau mencari perlengkapan hidup, sudah
jarang berpakaian hitam, tetapi sudah memakai baju, kaos oblong,
jelana panjang (bahkan jeans), sandal, sepatu, demikian pula wanita
Panamping sudah tidak memakai kain kebaya hitam atau biru tua
dengan baju biru muda atau putih, tetapi sudah memakai sepatu, rok
atau jelana panjang. Sebelum berangkat ke kota mereka berganti
pakaian di luar Desa Kanekes, dan sekembalinya kelingkungan Baduy,
mereka mekamai pakaian asli kembali. Pemuda Kampung Kadu Ketug dan
Cipondok ada yang dapat bermain gitar, lebih jauh lagi bersama-sama
dengan pemuda Ciboleger ikut minum minuman keras sejenis anggur,
anggu ketan hitam dan arak putih, sedangkan minuman tradisional
yaitu Wayu (tuak yang berasal dari Nira pohon aren) mulai
ditinggalkan.Kampung Tangtu dan masyarakatnya tidak boleh difoto
dengan alasan inti kehidupan (sari) kampung atau orang akan terbawa
foto tersebut. Jika hal itu dilakukan terhadap kampung, akibatnya
mudah ditimpa sial, seperti mudah kebakaran, panen tidak berhasil,
ayam tidak beranak banyak, mengganggu kepergiannya diketahui oleh
warga masyarakat bersangkutan. Orang Baduy yang meninggalkan
Tikukuh dan keluar dari Desa Kanekes, baik melalui proyek pemukiman
maupun perorangan sampai tahun 1993 hanya 54 orang yang meminta
ijin kepada Jaro Cihulu.Orang Baduy Panamping yang berhuma jauh di
luar desanya tidak dapat ulang alik setiap hari, mereka harus
bermalam di saung huma yang tertutup, jika lamanya tinggal di lahan
pertanian itu lebih dari 5 atau 7 hari, maka wajib lapor kepada
Jaro Pamarentah, bahwa ia masih ada di huma. Hal tersebut dilakukan
jika orang yang bersangkutan mengalami musibah atau ingin
meninggalkan Pikukuh dapat diketahui.Orang Baduy yang akan pindah
mengikuti proyek pemukiman pada mulanya dihalangi dan
ditakut-takuti seperti akan dibuang ke pulau terpencil, akan
dimasukan ke agam Islam dan dikhitan kembali, akan diperkerjakan
diperkebunan tanpa dibayar dan lain-lain. Maksudnya agar orang
Baduy merasa takut dan ragu-ragu, sehingga mereka urung
meningkalkan Pikukunya. Begitu juga setelah berada di proyek
Pemukimanpun akan diajak kembali ke Desa Kanekes. Orang luar Desa
Kanekes sering melakukan rong-rongan seperti mencuri ayam atau
buah-buahan, jika pencurinya tertangkap disuruh mengganti kerugian,
atau diserahkan kepada yang berwajib. Rongrongan tersebut dapat
pula berupa pelanggaran batas wilayah dan penyerobotan wilayah
lahan garapan, maka Jaro Pamarentah dan tanggunga Jaro dua belas
bertugas menyelesaikan masalah tersebut.Munculnya perubahan dari
dalam dan adanya rongrongan dari luar akan mengganggu tantanan yang
telah ada, maka lembaga sosial berusahan untuk mengatasinya melalui
saluran yang telah disediakan.Tempaan Perubahan terhadap struktur
sosial.Perubahan yang terjadi dalam kehidupan warga masyarakat
baduy akan menggoyahkan unsur sosialnya, sehingga pemuka adat
berkewajiban mempertahankan unsur sosial itu, tetapi adanya
perubahan pola kehidupan, lambat laun struktur goyah
pula.Unsur-unsur sosial sebagai pedukung struktur sosial masyarakat
baduy yang terpengaruh oleh adanya perubahan diuraikan sebagai
berikut;Munculnya kelompok sosial yang menyimpangPelanggaran
terhadap pikukuh yang dilakukan oleh beberapa orang Baduy yang
membentuk kelompok sendiri, seperti yang pernah dipimpin oleh samin
mantan Jaro pamarentah (Kepala Desa) Desa Kanekes, kemudian anggota
kelompok tersebut mengadopsi perubahan yang dibawanya untuk dibawa
kelompok ini mendorong kelompok baduy lain untuk melakukan
perubahan yang sama.Kemapanan yang ada di dalam kehidupan akan
mendorong warga masyarakat ingin mengenal hal yang baru yang
sebelumnya tidak ada dalam kehidupan mereka, sehingga memunculkan
kelompok yang menginginkan perubahan.Perubahan Sosial dan
Budaya.Perubahan yang dialami orang baduy akan diikuti perubahan
kebudayaannya, seperti yang ditunjukan oleh perubahan unsur
kebudayaan yang universal berikut ini.a. Peralatan dan perlengkapan
hidup. Peralatan pertanian yang digunakan orang baduy mendapat
tambahan yaitu alat penyemprot yang digunakan untuk memberantas
rumput atau tumbuhan liar (herbisida), serta hama tanaman
(pestisida), penggunaan alat dan obat pertanian ini dilakukan
secara sembunyi. Alat-alat pertukangan untuk kayu sebagai pendukung
membuat rumah di kampung panamping telah menggunakan gergaji
pembelah, gergaji pemotong, paku, pahat, bor kayu, serutan atau
ketam ( Bah. Sunda=sugu) dan alat ukur(meteran). Alat-alattersebut
sebelumnya tidak dikenal dalam kehidupan orang baduy. Alat
pertukangan yang dikenal dalam kehidupan mereka yaitu baliung,
golok dan kapak. Peralatan hidup yang digunakan sehari-hari untuk
minum yang terbuat dari pecah belah telah diadopsi. Selain pecah
belah, diadopsi pula penggunaan lampu senter, Thermos,
sendok-garpu, rantang, kastrol nasi,Pakaian, dan lain-lain.b. Mata
pencaharian orang baduy adalah bertani dengan padi sebagai tanaman
utamanya, tetapi mereka telah menambah jenis tanaman lain yaitu
cengkeh dan kop. Mata pencaharian tambahan ialah adalah berdagang
atau menjadi buruh di luar Desa Kanekes.c. Pemuka adat dalam
organisasi sosial masyarakat baduy yang dipegang jaro dangka, Jaro
Pamarentah, Tanggungan Jaro duabelas dan jaro tangtu, sebagai
pemegang dan pemelihara pikukuh baduy, senantiasa berusaha untuk
mempertahankan pikukuh dari perubahan yang terjadi dalam kehidupan
warga masyarakatnya. Tetapi seteleh beberapa Jaro Dangka terusir
dan berpindah (atau ditarik) ke desa Kanekes, nampak pengawasan
mereka terhadap perilaku orang baduy yang Menyimpang sudah
berkurang dan mereka lebih menitikberatkan pada operasi pembersihan
pikukuh saja yang dilaksanakan setahun sekali.d. Bahasa yang
digunakan orang baduy adalah bahasa sunda dialek Kanekes, tetapi
sekarang ini orang baduy sudah banyak yang dapat berbicara bahasa
Indonesia, karena seringnya berinteraksi dengan masyarakat luar.
Diantara mereka banyak yang sudah dapat membaca dan menulis.e.
Kesenian yang terdapat di desa Kanekes terbatas pada angklung dan
pantun( dongeng dengan diiringi oleh kecapi) sedangkan di beberapa
kampung panamping dikenal adanya Gamelan (Kliningan tanpa
menggunakan gendang). Kesenian tersebut mendapat pengaruh, karena
adanya tontonan Wayang Golek dan Dongeng di Sekitar desa Kanekes.f.
Pengetahuan yang dimiliki mereka tidak hanya warisan Karuhun
(Leluhur) saja, mereka juga memperoleh informasi dari bacaaan,
televisi, maupun dari orang lain yang sengaja berkunjungke desa
Knekes. Pengetahuan mengenai pengobatan juga tidak terbatas pada
pengobatan tradisional yang biasa dilakuakn dukun, melainkan juga
pengobatan yang dilakukan dokter dari puskesmas di ciboleger.
Begitu juga mengenai pentingnya keluarga berencana, diantaranya
mereka secara sembunyi menerima dan mengikuti program keluarga
berencana dari pemerintah, yang dilakukan orang Cisaban, kaduketug,
gerendeng dan cipondok.g. Kepercayaan yang diyakini orang baduy
adalah Sunda Wiwiwtan tidak mengalami perubahan, tetapi orang baduy
yang meninggalkan pikukuhnya, menjadi migran di tempat lain, mereka
ini beralih memeluk Agama Islam atau kristen protestan.Adanya
interaksi sosial dan tempaan perubahan dari luar akan mempengaruhi
kehidupan warga masyarakat dan nilai budaya sebagai identitas
mereka akan tergeser.Kepatuhan terhadap lembaga sosial.Kehidupan
warga masyarakat baduy tidak terlepas dari pikukuh yang mengatur
perilaku mereka, tetapi pikukuh ini oleh beberapa orang Baduy
panamping tidak sepenuhnya dilakukan, akibat kurangnya pengawasan
pemuka adat.Jaro dangka yang bertanggung jawab memegang dan
memelihara pikukuh, sudah mulai kurang menegakkan pikukuh.
Sekalipun demikian harus menjalankanfungsinya, karena Jaro Dangka
diangkat berdasarkan hasil nujum dari tangkesan yang menjadi wakil
puun di panamping, sehingga jabatan jaro Dangka berlaku seumur
hidup. Sedangkan penganakatan dan penggantian Jaro Pamarentah
selain berdasarkan hasil nujum, juga persetujuan pimpinan Jaro
Tujuh (Jaro warega), jabatan tersebut dapat berhenti jika
mengundurkan diri atau diberhentikan karena tidak dapat
melaksanakan tugas.Jaro pamarentah, jaro Damgka, Tanggungan Jaro
Duabelas Dan Jaro Tangtu setiap tahun mengadakan operasi
pembersihan terhadap perlengkapan hidup yang dilarang pikukuh.
Tetapi operasi ini sudah dua tahun terakhir tidak dilakuakan,
karena dua hal, Pertama, tahun 1991 Asrap diangkat menjadi jaro
Pamarentah adalah awal melaksanakan tugas di desa Kanekes. Di tahu
1992 saat akan melaksanakan operasi pembersihan, jaro pamarentah
pada rapat dihadapan pemuka adat di kampung tangtu cikeusik
menyatakan bertanggung jawab terhadap pelangggaran pikukuh yang
dilakukan masyarakatnya, sehingga operasi pembersihan tahun 1992
tidak dilaksanakan. Kedua, pada tahun 1993 setelah pemuka adat
mengadakan rapat di cikeusik untuk melaksanakan operasi, kampung
cikeusik mengalami kebakaran, sehingga operasi pembersihan tidak
sempat dilaksanakan.Sikap orang Tangtu dalam menghadapi
perubahan.Orang baduy tangtu sekarang ini lebih terbuka terhadap
pengunjung (terutama cibeo) kecuali orang kulit putih dan cina,
keterbukaan ini akan dapat menolong orang baduy Tangtu untuk
menjadi orang panamping. Karena itu pemuka adat di kampung tangtu
senantiasa mengawasi perilaku mereka dengan ketat agar jangan
sampai mengalami perubahan, jika da yang menyeleweng maka sudah
tersedia Kampung Dangka yang menerima pelanggar. Status sosial yang
dimiliki seseorang sebagai identitas yang membedakan dirinya dengan
orang lain, tidak dapat dipertahankan lagi apabila orang yang
memegang status tersebut sudah tidak memerlukannya perubahan status
ke tingkat yang lebih rendah akan terjadi apabila tidak
mengakibatkan kerugian.Perubahan kekuasaaan dan wewenang.Jaro danga
yang terusir dari kampungnya tidak memiliki kekuasaan terhadap
tanah dangka, walaupun masih memiliki wewenang dalam memelihara dan
menjaga pikukuh baduy.Kekuasaan yang dimiliki seseorang dapat saja
hilang walaupun masih memiliki wewenang, apabila yang bersangkutan
masih diperlukan menduduki jabatan dalam lembaga sosialnyaOrang
Baduy yang cenderung menerima perubahan, akan mempersiapkan diri
dengan stategi untuk menghadapi konsekuensi dari perubahan
tersebut. Inovasi yang mengakibatkan pperubahan bagi kehidupan
orang Baduy banyak mendapat tanggapan dari warga masyarakat maupun
pemuka adat, berupa penerimaan ataupun penolakan.Strategi hidup ini
pertama kalinya diketahui pada saat pembukaan proyek pemukiman yang
pertama Cipangempar. Inovasi yang dibawa Samin (mantan Jaro
Pamarentah) telah membawa perubahan besar bagi mereka yang
menerimanya tetapi konsekuensi harus keluar dari kehidupan Baduy,
kemudian pindah ke proyek Pembinaan Kesejahteraan Sosial Masyarakat
Terasing yang disediakan Departemen Sosial melalui Pemerintah
Daerah Tingkat II Kabupaten Lebak. Di proyek pemukiman itu, mereka
berusaha melepaskan ikatan pikukuh Baduy dan menjadi masyarakat
biasa. Strategi yang dipersiapkan mereka adalah :1. Memiliki
pertanian diluar Desa Kanekes 2. Lahan pertanian yang masih
dimiliki di Desa Kanekes, penggarapannya diserahkan kepada
saudaranya yang masih ada disana. 3. Tidak semua anggota keluarga
mengikuti perubahan, jika yang pergi orang tuanya, maka sebagian
anak ditinggal.4. Kepercayaan terhadap Pikukuh dan kepercayaan
Baduy belum dilepaskan sebelum berhasil mendapatkan rumah dan lahan
pertanian yang dijanjikan pemerintah.Strategi yang dibuat untuk
menghadapi resiko kegagalan dalam menyerap inovasi bila perlu
mereka dapat kembali ke Desa Kanekes. Tidak menutup kemungkinan
bahwa diantara penerima inovasi tersebut tidak semuanya menggunakan
strategi secara utuh atau tidak menggunakan strategi sama sekali,
misalnya :1. Di Desa Kanekes sudah tidak memiliki lahan pertanian,
yang ada sudah dijual, begitu pula di luar Desa Kanekes tidak
memiliki pertanian.2. Seluruh anggota keluarga turut pindah.3.
Langsung menerima perubahan, ke luar Pikukuh Baduy dan memeluk
agama-agama besar (Islam atau Kristen).Inovasi yang di bawah Samin
tersebut, mendapat dukungan pemerintah dengan menyediakan lahan
pemukiman dan untuk pertanian di bekas Perkebunan Karet Gunung
Tunggal seluas 90 ha dari PT Langka Pura yang sisanya dari lahan
kecamatan Leuwi Damar di Kampung Cipangembar. Setelah Samin dan
pengikutnya bermukim di Cipangemar, kemudian diikuti oleh yang lain
tetapi bukan murni ide perubahan dari warga masyakat Baduy sendiri,
melainkan sudah direkayasa Departmen Sosial. Mereka ini medapatkan
lahan pemukiman dan pertanian yang diberi nama Kopo I, Kopo II dan
Suka Tani dibekas Perkebunan Karet Pasir Kopo seluas 500 ha dari PT
Karkokultura.Berpindahnya orang Baduy ke proyek pembinaan
kesejahteraan sosial masyarakat terasing tidak lepas dari tarikan
sebagai pemerintah. Strategi pemerintah untuk menarik pemukim
berupa :1. Disediakannya 0,5 ha untuk rumah dan pekarangan 2. Lahan
garapan 3. Jaminan hidup selama 6 bulan untuk Cipangembar, Kopo I
dan Kopo II yang setiap bulannya perkeluarga medapat 40 kg beras, 2
kg ikan asin, 2 kg gula putih dan 2 pak terasi. Sedangkan Suka Tani
dan Kompol I mendapat jaminan hidup selama 30 bulan perkeluarga,
seeetiap bulan menerima 30 kg beras, 2 kg gula pasir, 2 kg ikan
asin dan 2 pak terasi.Situasi sosial ini identik dengan strategi
dalam pertanian (game), dimana penerima perubahan dan pemerintah
(Departemen sosial Propinsi jawa barat) berperan sebagai pemain
yang masing-masing memiliki Strategi. Proses bermain tersebut
didapati adanya kerjasama diantara mereka ( penerima inovasi)
sebagai suatu strategi, disamping itu terapat pula kerjasam dengan
pemerintah, untuk menjamin kelangsungan hidup di tempat yang baru
hasil kerjasama dengan pemerintah diantaranyan diberangkatkan Samin
ke tanah suci Mekah untuk menunaikan ibadah Haji pada tahun 1989
yang kemudian disusul anaknya pada tahun 1990. Strategi diperlukan
bagi seseorang untuk menjalani kehidupannya, sehingga dapat
mengatasi segala kemungkinan yang merugikan dirinya.
PENUTUP
Perubahan orang Baduy terhadap pikukuhnya secara jelas dimulai
adanya interaksi sosial dengan warga masyarakat diluar kehidupan
sosialnya, sehingga orang Baduy akan membandingkan kepuasan yang
didapat dari ketaatan terhadap pikukuh dan kepuasan melakuan
hubungan dengan warga masyarakat luar ( Pertukaran Sosial ).
Apabila hubungan dengan warga masyarakat luar mendapat imbalan yang
lebih menguntungkan, maka mereka akan mengadopsi perlengkapan hidup
yang sebelumnya tidak dikenal. Tetapi hal itu tergantung pula pada
orang Baduy sendiri, apabila mereka masih takut mendapat hukuman
dari pemuka adat atau takut ditimpa musibah ( bencana ), maka
mereka akan tetap taat terhadap pikukuh. Keinginan untuk berubah
ditunjang dengan adanya ide perubahan yang dibawa tokoh masyarakat,
agar orang Baduy menerima perubahan dan meninggalkan pikukuhnya,
diantara mereka yang menerima perubahan, ada yang mempersiapkan
strategi hidup, sedangkan yang tidak turut mengikuti perubahan
tetap memegang pikukuhnya. Menerima perubahan memerlukan strategi
untuk kelangsungan hidup mereka ditampat baru, yang berfungsi untuk
menjaga segala kemungkinan yang akan merugikannya. Bagi yang mereka
yang berhasil menggunakan strategi hidup, maka akan terus melakukan
adaptasi seperti halnya di proyek pemukiman yang telah disediakan,
dan menjadi masyarakat biasa yang lepas dari pikukuhnya Baduy,
sedangkan yang tidak berhasil dalam strategi hidup dan beradaptasi,
maka akan kembali kepada pikukuhnya di desa Kanekes. Perubahan yang
dialami orang Baduy tidak lepas dari dari pengawasan pemuka adat
yang seantiasa berusaha menetang perubahan dan mengembalikan
kehidupan masyarakat yang sesuai dengan pikukuh.
Hukum Pidana Adat Baduy dan Relevansinya dengan Pembaharuan
Hukum Pidana (Makalah ini Disampaikan dalam Diskusi Publik di Rumah
Dunia, Banten, 4 Februari 2011 atas kerjasama Rumah Dunia dan
Banten Institute dan Seminar Internasional Reformulasi dan
Transformasi Kebudayaan Sunda, Jatinangor, 9-10 Februari 2011.
Diselenggarakan Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran Bekerja
sama dengan Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata)
(Diperkenankan mengutip dengan menyebutkan sumber untuk
kepentingan akademik)
Oleh: Ferry Fathurokhman
AbstrakHukum Pidana Adat adalah disiplin ilmu hukum yang
direkomendasikan untuk dipelajari dan digali oleh berbagai para
ahli hukum, seminar hukum nasional, dan Kongres PBB Mengenai
Penanggulangan Kejahatan dan Perlakuan Terhadap Pelaku Kejahatan.
Rekomendasi tersebut didasarkan pada kepentingan hukum nasional
dalam upaya pembaharuan hukum nasional agar hukum tidak semakin
menjauh dari nilai-nilai yang ada dan hidup dalam masyarakat dalam
rangka membangun hukum nasional. Latar belakang pemikiran tersebut
kemudian dituangkan dalam makalah ini dengan judul Hukum Pidana
Adat Baduy dan Relevansinya Dalam Pembaharuan Hukum Pidana.
Makalah ini mendasarkan pada dua pokok permasalahan yang disusun
dalam pertanyaan besar bagaimanakah sistem hukum pidana substansif
adat Baduy? Dan bagaimana hukum pidana substansif adat Baduy dapat
berperan dalam memberikan kontribusi pada pembaharuan hukum pidana
nasional? Tujuan makalah ini untuk mengetahui sistem hukum pidana
substansif adat Baduy dan mencari nilai-nilai universal hukum
pidana substansif adat Baduy yang dapat dikontribusikan dalam
pembaharuan hukum pidana nasional.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hukum pidana adat Baduy
merupakan hukum yang tidak tertulis yang mengorientasikan
penyelesaian perkara pidana secara integral yang meliputi pemulihan
kepentingan korban, kepentingan pelaku dan kepentingan masyarakat.
Hukum pidana adat Baduy mengenal berbagai jenis tindak pidana
berikut konsep pertanggungjawaban dan sanksi hukumnya.
Hukum pidana adat Baduy juga mengenal tindak pidana santet dan
pidana ganti rugi dengan berbagai karakteristiknya yang perlu
dipertimbangkan untuk diakomodir dalam konteks pembaharuan hukum
pidana nasional
Kata kunci: Hukum pidana adat Baduy, pembaharuan hukum pidana,
penyelesaian perkara integral.1. PENDAHULUAN
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mulai diberlakukan untuk
seluruh wilayah di Indonesia dengan adanya Undang-Undang Nomor 73
Tahun 1958 Tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1946 Republik Indonesia Tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk
Seluruh Wilayah Republik Indonesia, Dan Mengubah Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana. Pada dasarnya, KUHP yang diberlakukan
untuk seluruh wilayah Indonesia tersebut merupakan warisan kolonial
yang berasal dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie
(Staatsblad 1915 No 732), sehingga dapat dipahami jika asas-asas
dan dasar-dasar tata hukum pidana dan hukum pidana kolonial masih
tetap bertahan dengan selimut dan wajah Indonesia. Pemberlakuan
KUHP tersebut menjadi keunikan tersendiri manakala sebenarnya
Indonesia telah memiliki hukum sendiri, jauh sebelum Belanda datang
dan mengenalkan KUHP di Indonesia. Beberapa kritik pernah
dilontarkan pelbagai kalangan terkait pemberlakuan Hukum Belanda
tersebut di Indonesia. Kritik tersebut diantaranya justru lahir
dari kalangan Belanda sendiri seperti sebagaimana pernah
dilontarkan J van der Vinne, yang mengemukakan keberatan-keberatan,
yang terutama bersandar pada anggapan, bahwa hukum Belanda akan
janggal (niet geigend) jika diberlakukan di Hindia Belanda
(Indonesia): Buat suatu negeri yang mempunyai penduduk berjuta-juta
manusia yang bukan beragama nasrani dan penyembah berhala yang
mempunyai pelbagai agama serta adat istiadat, sedangkan penduduknya
yang beragama Islam amat besar kesetiaannya pada sendi-sendi
agamanya serta undang-undang dan adat kebiasaan mereka yang
tertulis, sehingga diperlakukannya hukum Belanda akan berarti suatu
pelanggaran atas hak-hak, adat istiadat daripada golongan penduduk
yang bukan bangsa Eropa, serta suatu pemecahan dari beberapa banyak
bangunan-bangunan hukum, undang-undang serta adat-adat yang
berlainan satu dengan yang lain berhubung dengan tempat atau daerah
ataupun golongan manusia (orang-orang) di Hindia.
Belakangan, Satjipto Rahardjo menulis bahwa sebelum Belanda, dan
dengan demikian berbagai institut yang dibawanya, masuk di
Indonesia di abad ketujuhbelas, negeri ini sudah mengenal tatanan
sosial dan kehidupan yang telah berkembang, Belanda tidak menemukan
suatu komunitas yang primitif, melainkan berbagai kerajaan dan
karya-karya budaya fisik maupun non fisik yang terkadang
berkualitas dunia, seperti candi Borobudur. Daniel S Lev,
menggambarkan kondisi hukum di Indonesia sebelum bertemu dengan
barat sebagai berikut: Before then many different legal orders
existed, independently within a wide variety of social and
political systems. Berkaitan dengan hal di atas, Moeljatno dalam
bukunya Fungsi dan Tujuan Hukum Pidana Indonesia dan Rencana
Undang-undang Tentang Asas-asas dan Dasar-dasar Pokok Tata Hukum
Indonesia mengingatkan resolusi bidang hukum pidana yang dihasilkan
dalam Seminar Hukum Nasional 16 Maret 1963 sebagai berikut: 1.
Menyerukan dengan sangat agar supaya rancangan kodifikasi Hukum
Pidana Nasional selekas mungkin diselesaikan.2. Dalam KUHP baru itu
bagian umum (fundamentals), antara lain: asas legalita hendaknya
disusun secara progresif sesuai dengan kepribadian Indonesia dan
perkembangan Revolusi, setelah mempelajari perkembangan
aturan-aturan pidana umum dalam KUHP, di negara-negara lain. 3.
....................................................................4.
Yang dipandang sebagai perbuatan-perbuatan jahat tadi adalah
perbuatan-perbuatan yang dirumuskan unsur-unsurnya dalam KUHP ini
maupun dalam perundang-undangan lain. Hal ini tidak menutup pintu
bagi larangan perbuatan-perbuatan menurut Hukum Adat yang hidup dan
tidak menghambat pembentukan masyarakat yang dicita-citakan tadi,
dengan sanksi adat yang masih dapat sesuai dengan martabat bangsa.
5.
.....................................................................6.
.....................................................................7.
....................................................................8.
Unsur-unsur Hukum Agama dan Hukum Adat dijalinkan dalam KUHP. 9.
...................................................................
(Cetak tebal dari penulis)
Sejak seminar hukum nasional yang pertama tahun 1963 itulah
kemudian Indonesia mulai mendesain pembaharuan hukum pidana dalam
bentuk konsep (RUU) KUHP yang salah satunya dilakukan dengan cara
menggali kearifan lokal dan nilai-nilai yang hidup di masyarakat.
Hingga kini konsep KUHP yang terbaru adalah konsep 2008. Selain
itu, berbagai Kongres PBB mengenai Prevention Crime and the
Treatment of Offenders juga telah menegaskan pentingnya
memperhatikan nilai-nilai budaya yang ada pada tiap-tiap negara.
Hal tersebut misalnya terdapat dalam Deklarasi Caracas yang
dihasilkan pada kongres PBB ke -6 tahun 1980 menegaskan: -Crime
prevention and criminal justice should be considered in the context
of economic development, political system, social and cultural
values and social change, as well as in the context of the new
international economic order. (garis bawah dari penulis). -it is a
matter of great importance and priority that programmes for crime
prevention ant the treatment of offenders should be based on the
social, cultural, political, and economic circumstance of each
country, in a climate of freedom and respect for human rights, and
that member states should develop an effective capacity policy,
coordinate with strategies for social, economic, political and
cultural development. (garis bawah dari penulis)Komisi I Kongres
PBB ke-6 yang membicarakan Crime trend and crime prevention
strategies antara lain menyatakan: ......the corelation betwen
development and increasing criminality could not be accepted as
principle. ........development was not rationally planned,
disregarded cultural and moral values and did not include
integrated social defence strategies.(garis bawah dari penulis).
Jadi, pada dasarnya pembangunan tidak menimbulkan meningkatnya
angka kejahatan. Namun pembangunan yang tidak direncanakan dengan
rasional, tidak menghargai budaya dan nilai moral membuat
pembangunan menjadi salah satu faktor kriminogen. Salah satu hukum
pidana adat yang akan diketengahkan dalam makalah ini adalah hukum
pidana adat Baduy. Terlebih penting sekadar pemaparan, makalah ini
akan menyajikan nilai-nilai ataupun kaidah yang dapat
dikontribusikan pada pembaharuan hukum pidana nasional. 2.
PEMBAHASAN Sulit untuk menuangkan seluruh hasil penelitian mengenai
hukum pidana adat Baduy dalam jumlah halaman yang terbatas dalam
makalah ini. Oleh karenanya, pemaparan mengenai hukum pidana adat
dan nilai-nilai yang dapat dikontribusikan dalam konsep KUHP
kiranya akan disampaikan sarinya saja. Namun sebelum itu, saya kira
perlu dipaparkan terlebih dahulu hal-hal umum mengenai Baduy. Dalam
19 pembagian lingkungan/lingkaran hukum (rechtskring) adat yang
dibuat Van Vollenhoven, Baduy yang berada di Provinsi Banten masuk
dalam kategori lingkungan hukum adat terakhir, ke 19. Sebenarnya,
lingkungan hukum adat ke 19 tersebut tidak dinamakan lingkungan
hukum adat Banten oleh Van Vollenhoven, tetapi lingkungan hukum
adat Jawa Barat. Jakarta Raya, Banten, Priangan, Cirebon
dikategorikan masuk dalam kukuban-kukuban hukum dalam lingkungan
hukum adat Jawa Barat oleh Van Vollenhoven. Banten sendiri dalam
perkembangannya kemudian menjadi provinsi yang terpisah dari Jawa
Barat sejak tahun 2000. Menurut Mahadi, pekerjaan Van Vollenhoven
dalam membagi lingkungan hukum adat belumlah tuntas. Hal ini dapat
dipahami mengingat lingkungan hukum adat tersebut masih sangat umum
sementara didalam satu lingkungan hukum adat sendiri banyak
terdapat corak perbedaan seperti hukum adat Baduy dengan hukum adat
di daerah priangan pada umumnya. Secara adminstratif, masyarakat
Baduy berada di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak
Provinsi Banten. Kabupaten Lebak sendiri terletak di sebelah
selatan Banten sehingga lazim juga disebut sebagai Banten Selatan.
Menurut Ayah Mursyid, wakil jaro (kepala kampung) Cibeo, Baduy
tidak memiliki kitab mengenai larangan-larangan dalam adat Baduy.
Namun hal ini tak berarti bahwa tetua adat Baduy dan masyarakatnya
tak mengetahui larangan-larangan dalam adat Baduy. Pengetahuan
mengenai larangan adat diperoleh masyarakat secara turun temurun
berdasarkan budaya lisan dan kebiasaan. 2.1. Struktur Adat
Baduy.Struktur adat dalam masyarakat Baduy digambarkan sebagai
berikut:
Sumber skema: Wawancara Jaro Sami dan Ayah Mursyid Keterangan:
Puun = Pemimpin adat tertinggi yang ada di masing-masing Baduy
Dalam yang disakralkan dalam hal spiritual. Saat ini Puun Cibeo
dijabat Jahadi, Cikartawana Puun Sangsang, di Cikeusik Puun
Yasih.Girang Seurat = Tokoh adat yang diberi kewenangan dan
membidangi masalah pertanian, dijabat oleh 2 orang: Seurat Arwi di
Cibeo dan Seurat Samin di Cikeusik. Jaro Tangtu = Kepala kampung
yang ada di tiap kampung Baduy Dalam. Saat ini dijabat oleh Jaro
Sami (Cibeo), Jaro Damin (Cikartawana), Jaro Alim (Cikeusik)Baresan
Salapan/tujuh = Pembantu puun yang ada di Baduy Dalam. Di Cibeo ada
9, di Cikeusik ada 9 (maka disebut Baresan salapan), di Cikartawana
ada 7 maka disebut Baresan tujuh. Jumlah penduduk Cikartawana lebih
sedikit dibanding Cibeo dan Cikeusik.Tangkesan = Penasehat Jaro 7
atau Jaro Dangka, berfungsi dalam hal urusan adat, tangkesan ini
semacam dukun yang terkadang diminta menujum seorang pelaku tindak
pidana. Pada dasarnya posisi struktur tangkesan lebih tinggi dari
Tanggungan. Tangkesan dijabat 1 orang yang saat ini berada di
Cicatang.Tanggungan/Jaro 12 = Mirip tangkesan, sebagai penasehat
Jaro 7/Jaro Dangka namun lebih berfungsi sebagai saksi dalam
pelaksanaan kegiatan Jaro7. Tanggungan/Jaro 12 dijabat oleh satu
orang, saat ini dijabat Saidi Putra di Katuketer Hilir.Jaro 7/Jaro
Dangka = Tokoh adat yang berfungsi menegakan hukum adat (termasuk
hukum pidana adat). Berjumlah 7 orang yang tersebar di : Dangka
Cibengkung, Dangka Cihandam, Dangka Cipatik, Dangka Panyaweyan,
Dangka Carungan, Dangka Nungkulan, Dangka Warega. Kesemuanya adalah
Jaro 7. Pusat Jaro 7 ada di Warega.Kepala Desa = Kepala Desa
Kanekes yang saat ini dijabat Jaro Dainah/Jaro Pamarentahan (Jaro
Pemerintahan) berfungsi sebagai penghubung antara Baduy dengan
lingkungan luar termasuk persoalan tindak pidana yang tidak bisa
diselesaikan di Baduy (melibatkan hukum negara).
2.2. Konsep Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana Adat
BaduyKonsep Bentuk Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana Adat Baduy
adalah sebagai berikut:
Sumber: Wawancara Jaro Sami, Ayah Mursyid, dan Jaro Dainah.Dalam
upacara ngabokoran beberapa bahan untuk ngabokoran disediakan oleh
keluarga pelaku diantaranya perangkat sepaheun: sereh, gambir,
pinang. Jika si pelaku sudah meninggal namun belum sempat
ngabokoran, maka bahan ngabokoran ditambahkan dengan menyan.Dalam
upacara serah pati pada prinsipnya sama dengan ngabokoran, memohon
maaf pada leluhur karena si pelaku dan desa telah tercemar dengan
tindak pidana. Namun upacara serah pati dilakukan atas tindak
pidana yang dianggap berat misalnya pembunuhan, sebab dalam
pembunuhan si pelaku telah menghilangkan nyawa/ngalengitkeun jiwa
yang merupakan hak yang maha kuasa. 2.3. Hukum Formil (Prosedural)
Pidana Adat BaduyProsedur penyelesaian tindak pidana di Baduy
adalah sebagai berikut:
Sumber: Wawancara Jaro Sami dan Ayah Mursyid
Keterangan: 1. Silih ngahampura = saling memaafkan2.
Dikaluarkeun = dikeluarkan dari Baduy Dalam ke Baduy Luar, atau
dikeluarkan dari Baduy Luar ke luar Baduy (bagi warga Baduy Luar)3.
Ditegor = ditegur4. Dipapatahan = dinasehati 5. Jaro Tangtu adalah
jaro (kepala kampung) di Baduy Dalam.6. Jaro 7/Jaro Dangka adalah
bagian dari struktur adat yang ditugasi dalam menegakan hukum
(pidana) adat Baduy yang berjumlah 7 orang dan berada di Baduy
Luar. 7. Puun adalah tokoh adat tertinggi yang ada di masing-masing
Baduy Dalam yang disakralkan dalam hal spiritual.8. Ngabokoran
upacara pembersihan batiniah atas tindak pidana yang tidak terlalu
berat yang dilakukan di Cihulu, Sarokokod/Panyaweyan, Cibengkung
(tergantung asal daerah pelaku). Perlengkapan bokor disediakan
pihak pelaku yang meliputi : sereh/sirih, gambir, apu, menyan,
boeh/kain kafan, keris. Sereh kemudian didahar/dimakan oleh
perangkat adat: puun, girang serat, baresan salapan, jaro tangtu.
Yang menobatkan si pelaku adalah jaro tangtu dan puun, puun
kemudian meneruskan penobatan pada leluhur.9. Serah pati upacara
pembersihan batiniah yang serupa dengan bokor tetapi dilakukan atas
tindak pidana berat (mengakibatkan kematian).
2.4. Hukum Pidana Materiil Adat Baduy Beberapa jenis tindak
pidana di Baduy adalah sebagai berikut : Fitnah/Pencemaran Nama
Baik, Zina, Perkosaan, Pencurian, Penipuan, Penganiayaan,
Pembunuhan, Santet (Julid), Sengketa Tanah. Selain itu beberapa
tindak pidana (larangan) yang memiliki kekhas-an Baduy adalah
sebagai berikut: a. Larangan foto dan gambar audio visual (Berlaku
di wilayah Baduy Dalam (Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik). b.
Larangan Merokok (Khusus warga Baduy Dalam) c. Larangan Menggunakan
Emas (Khusus warga Baduy Dalam) d. Larangan Poligami dan Poliandri
(Berlaku bagi warga Baduy Dalam dan Luar) e. Larangan Minuman
Alkohol (Berlaku bagi warga Baduy Dalam dan Luar) f. Larangan
Menggunakan Pakaian modern (Berlaku bagi warga Baduy Dalam) g.
Larangan Menggunakan Alat Mandi (Berlaku di wilayah Baduy Dalam) h.
Larangan Menggunakan Kendaraan (Berlaku bagi warga Baduy Dalam) i.
Larangan Orang asing Memasuki Wilayah Baduy Dalam j. Larangan
Bersekolah dan Mendirikan Sekolah (Berlaku bagi warga Baduy Dalam,
Luar dan wilayah Baduy) k. Larangan Mendirikan Masjid l. Larangan
Mengolah Tanah Menjadi Sawah
2.5 Kontribusi Hukum Pidana Adat Baduy terhadap Pembaharuan
Hukum Pidana (Konsep KUHP). Hukum adat pada dasarnya telah
diakomodir dalam konsep KUHP. Misalnya dalam Pasal 1 ayat 3 yang
memberi tempat bagi asas legalitas materiil (hukum tidak tertulis
sebagai sumber hukum). Namun demikian penelitian hukum pidana adat
Baduy yang telah dilakukan memberikan gambaran tentang beberapa hal
yang patut untuk diakomodir dalam Konsep KUHP.a. Santet (Julid)
Konsep KUHP 2008 telah mengatur tindak pidana yang berkaitan dengan
santet (kekuatan gaib) dalam Pasal 293 . Namun pengaturan tersebut
hanya untuk orang yang menawarkan bantuan jasa kepada orang lain
melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan penyakit, kematian,
penderitaan mental dan fisik seseorang. Sementara jika santet
tersebut dilakukan atas inisiatif sendiri si pelaku santet maka
Konsep KUHP belum dapat menjangkaunya. Hukum Pidana Adat Baduy
mengatur larangan menawarkan bantuan jasa santet dan juga melakukan
santet atas inisiatif sendiri. Sehingga patut dipertimbangkan untuk
memasukan rumusan pengaturan orang yang melakukan santet atas
kehendak dan kemampuannya sendiri. Santet (julid ka papada)
merupakan dosa/ tindak pidana yang sangat berat hukumannya dalam
hukum pidana adat Baduy, dalam riwayat, menurut jaro sami, pelaku
santet dihukum dengan cara ditalian dibalangkeun ka laut.
b. Ganti KerugianHukum pidana adat Baduy mengorientasikan
penyelesaian perkara pidana secara integral yang mengorientasikan
pada pemulihan korban, pelaku dan keseimbangan masyarakat. Dalam
beberapa hal konsep tersebut mirip dengan konsep restorative
justice yang dikembangkan John Braithwaite, dosen, kriminolog dan
peneliti pada Australia National University. KUHP yang berlaku
sekarang tidak mengenal konsep ganti kerugian, hal ini menunjukan
penyelesaian perkara pidana lebih diorientasikan pada pelaku
(retributive justice) dan korban (victim) cenderung ditinggalkan.
Konsep KUHP 2008 telah mengakomodir kepentingan korban dengan
mengantur ganti rugi sebagai jenis pidana tambahan dalam Pasal 67
ayat 1 huruf d (pembayaran ganti rugi sebagai jenis pidana
tambahan). Namun pengenaan pidana tambahan ganti rugi dalam Konsep
KUHP masih terbatas pada tindak pidana tertentu saja, misalnya
kekerasan terhadap orang atau barang; mengakibatkan cidera pada
badan orang; mengakibatkan luka berat; mengakibatkan matinya orang
(Pasal 306 ayat 1 dan 2 Konsep KUHP 2008). Dalam hukum pidana Adat
Baduy, pidana ganti kerugian adalah jenis pidana yang melekat pada
setiap tindak pidana yang menimbulkan korban. Jadi ganti rugi
(secara proporsional) merupakan hak korban, kecuali jika korban
melepaskan haknya, maka pidana ganti kerugian tidak perlu dikenakan
pada pelaku. Dalam rangka pembaharuan hukum pidana yang bersifat
integral dan juga mengorientasikan pada kepentingan korban,
hendaknya konsep KUHP juga memuat ganti kerugian sebagai jenis
pidana tambahan yang melekat pada setiap tindak pidana yang
menimbulkan korban.
3. SIMPULAN
3.1 Simpulan1. Hukum pidana adat Baduy memiliki sistem hukum
pidana substantif yang meliputi hukum formil/prosedural, hukum
materiel/susbtantif dan hukum pelaksanaan pidana.2. Perumusan
tindak pidana, pertanggungjawaban dan sanksi dalam hukum pidana
substantif adat Baduy dirumuskan secara tidak tertulis dan tidak
dikodifikasikan dalam sebuah kitab. Pengetahuan dan pemahaman hukum
pidana substantif adat Baduy dilestarikan melalui budaya lisan
tutur secara turun temurun. 3. Konsep pertanggungjawaban sanksi
hukum dalam Hukum pidana substantif adat Baduy diorientasikan pada
penyelesaian perkara secara integral yang meliputi pemulihan
kepentingan korban (victim oriented), kepentingan pelaku (offender
oriented) dan kepentingan masyarakat (community oriented) sehingga
keseimbangan dalam masyarakat kembali terjaga.4. Hukum Pidana
Substantif Adat Baduy memiliki ketentuan mengenai konsep pelaku
santet dan konsep ganti rugi yang diorientasikan pada kepentingan
hukum korban dan masyarakat yang belum diakomodir dalam Konsep KUHP
2008.
3.2 . Rekomendasi 1. Sebagaimana hukum pidana adat Baduy,
pembaharuan hukum pidana nasional hendaknya mengorientasikan
penyelesaian perkara pidana secara integral yang meliputi
pengakomodiran kepentingan korban, kepentingan pelaku dan
kepentingan masyarakat.2. Tindak pidana yang berkaitan dengan
santet sebagaimana terdapat dalam hukum pidana adat Baduy dan
konsep KUHP 2008 hendaknya tetap dipertahankan keberadaannya dan
mempertimbangkan untuk mengkriminalisasikan dan memformulasikan
tindak pidana santet yang dilakukan oleh orang yang memiliki
kemampuan santet atas inisiatif sendiri mengingat eksistensi dan
fenomena santet yang menimbulkan keresahan dalam masyarakat. 3.
Konsep ganti rugi sebagaimana ada dalam hukum pidana adat Baduy
yang melekat kepada setiap tindak pidana hendaknya diadopsi Konsep
KUHP dan selalu diperhatikan hakim sehingga penyelesaian perkara
pidana secara integral dapat terlaksana. 4. Nilai-nilai universal
hukum adat yang telah diakomodir dalam pembaharuan hukum pidana
nasional hendaknya dipertahankan dengan berdasarkan pada
kajian-kajian hukum adat secara berkesinambungan.