-
STUDI PATOGEN ANTRAKNOSA PADA PEPAYA
Abstrak
Identifikasi spesies Colletotrichum sangat dibutuhkan untuk
penerapan metode pengendalian yang efektif dan pembentukan varietas
resisten. Metode tradisional untuk mendeteksi spesies
Colletotrichum penyebab antraknosa pada pepaya dapat dilakukan
dengan cara mengkarakterisasi morfologi, ada tidaknya seta dan
warna koloni. Berdasarkan bentuk konidia, adanya seta dan warna
dari koloni, isolat dari pepaya termasuk Colletotrichum
gloeosporiedes. Isolat TJR1 menunjukkan pertumbuhan optimum pada
suhu 28oC (suhu kamar) sehingga isolat ini dapat digunakan sebagai
isolat untuk penapisan genotipe pepaya terhadap penyakit antraknosa
yang dilakukan dilaboratorium pada suhu kamar (28oC). Kecepatan
pertumbuhan optimum Colletotrichum gloeosporiedes isolat dari
pepaya (TJR1,TJR2, TJR3,TJR4, GG1 dan GG2) dan isolat dari cabai
(BGR11) pada suhu 24oC, sedangkan Colletotrichum capsici (GGc)
isolat dari cabai menunjukkan kecepatan pertumbuhan optimum pada
suhu 32oC. Seluruh isolat dari pepaya dan cabai yang berhasil di
koleksi menunjukkan potensi infeksi pada buah cabai dan pepaya.
Metode inokulasi yaitu tempel dilukai dan semprot tidak dilukai,
menunjukkan masa inkubasi, diameter dan kejadian penyakit yang
tidak berbeda nyata, sehingga kedua metode ini dapat digunakan
dalam metode inokulasi dalam kegiatan penapisan genotipe pepaya
terhadap penyakit antraknosa.
Kata kunci : Colletotrichum, isolat , konidia
Abstract
Identification of Colletotrichum species that responsible to the
as well as disease epidemic is essential for development and
implementation an effective control methods and for breeding for
resistance to specific species. In traditional methods,
morphological character such as shape conidia, precence, absence
and morphology of setae have been used to identify Colletotrichum
spesies. To develop an effective resistance screeing technique,
experiments were conducted to understand the growth character, such
as relationship beetwen temperature, infection potencial on
different host, inoculation studies for the best method in
identifying the resistant germplasm. Isolates from papaya produced
mainly cylindrical conidia and colony colours ranging from pale
salmon pink to dark grey. The optimum temperature for the
development Colletotrichum gloeosporioides from papaya isolate
(TJR1, TJR2, TJR3, TJR4, GG1, GG2) and pepper isolate (BGR11) were
24oC and Colletotrichum capsici (GGc) from pepper isolate was 32oC.
All papaya isolate and pepper isolate produced lesions on pepper
and papaya. Papaya fruit were inoculated by two inoculation
methods, wounding and spray inoculations produced no different
respons.
Keyword : Colletotrichum, isolate, conidia
-
21
Pendahuluan
Latar Belakang Penyakit antraknosa merupakan salah satu penyakit
pasca panen yang
penting pada pepaya yang dapat menurunkan mutu buah. Patogen
yang
menyebabkan penyakit tersebut adalah Colletotrichum
gloeosporiedes (Penz) Sacc. (Snowdown 1990; OECD 2005). Selanjutnya
Sepiah et al. (1991) dan Sepiah (1992) melaporkan bahwa patogen
yang penting penyebab antraknosa pada pepaya eksotika adalah C.
capsici yang merupakan penyakit penting di Malaysia. Patogen
penyebab antraknosa pada buah pepaya di Indonesia adalah C.
gloeosporioides (Sulusi et al. 1991 dan Semangun 2000). Gejala
serangannya dapat muncul pada saat pengiriman atau ketika
dipasarkan. Gejala serangan pasca panen umumnya timbul ketika buah
sedang dalam transportasi, pemasaran atau
penyimpanan. Pada saat buah masih berada di pohon, patogen dalam
kondisi laten dan akan berkembang setelah buah menjadi matang.
Perlu melakukan identifikasi untuk konfirmasi patogen antraknosa
pada pepaya. Identifikasi dapat dilakukan dengan beberapa cara,
antara lain dengan melihat tanda penyakit, karakterisasi morfologi
dan sifat biologi patogen. Spesies Colletotrichum dapat
dikelompokkan menjadi dua grup berdasarkan bentuk konidianya yaitu
straight dan curve (Skipp et al. 1995). Selanjutnya Sutton (1992)
menyatakan bahwa identifikasi Colletotrichum sp dapat dilakukan
berdasarkan morfologi dan kisaran inangnya. Respon terhadap suhu
juga dapat digunakan untuk menunjukkan kesamaan antar isolat
(Adaskaveg dan Hartin 1997). Freeman (2000) menyatakan bahwa
identifikasi spesies Collethotrichum dapat dilakukan dengan melihat
karakter morfologi, respon suhu terhadap pertumbuhan optimal ,
vegetatif compatibility, respon terhadap fungisida dan biologi
molekuler. Setelah identifikasi patogen dilakukan, maka perlu
diketahui kisaran
inang antraknosa. Informasi kisaran inang dapat dilakukan dengan
melakukan inokulasi silang antara isolat yang berasal dari pepaya
diinokulasikan ke buah
cabai dan sebaliknya. Isolat C. gloeosporioides dari mangga dan
alpokat berhasil diinokulasikan ke strawberry, cabai, jambu biji,
pepaya dan jeruk (Swart 1999). Hal ini menunjukkan bahwa C.
gloeosporioides memiliki kisaran inang yang luas.
-
22
Identifikasi dan sifat biologi patogen antraknosa merupakan
informasi yang sangat diperlukan dalam usaha pengendalian yang akan
di lakukan. Pengendalian antraknosa pada pepaya yang dilakukan
antra lain dengan penggunaan fungisida, perendaman dengan air
panas, pelapisan lilin dan
pengendalian biologi dengan agen hayati. Salah satu pengendalian
yang aman dan murah adalah dengan menciptakan varietas resisten.
Dalam pembentukan
varietas resisten, salah satu tahapan yang harus dilakukan
adalah kegiatan penapisan genotipe pepaya. Metode inokulasi yang
tepat sangat diperlukan untuk penapisan genotipe pepaya yang tahan
terhadap antraknosa.
Penelitian dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab antraknosa
pada
pepaya melalui pengamatan morfologi koloni dan konidia. Isolat
patogen yang dikoleksi dari lapang akan digunakan dalam uji
patogenitas, uji kisaran inang, dan uji suhu optimum. Selanjutnya
isolat-isolat tersebut akan digunakan dalam evaluasi metode
inokulasi. Hasil identifikasi dan karakterisasi penyebab antraknosa
pada pepaya memberikan dasar dalam upaya pengendalian penyakit pada
pepaya.
Bahan dan Metode
Waktu dan Tempat
Percobaan mencakup empat kegiatan yaitu identifikasi penyebab
penyakit dan uji patogenisitas, uji pertumbuhan patogen pada
beberapa suhu, dan evaluasi metode inokulasi. Kegiatan berlangsung
dari bulan Mei 2004 sampai Juli 2005 di Laboratorium Cendawan
Departemen Proteksi Tanaman IPB Bogor.
Koleksi isolat Isolat penyebab antraknosa dikumpulkan dari dua
lokasi kebun pepaya yaitu Kebun Percobaan Pusat Kajian Buah tropika
(PKBT) Tajur-Bogor, dan Kebun Agrorekatama Gunung Geulis-Bogor.
Pada masing-masing koleksi dipilih
buah, daun, dan tangkai daun pepaya yang menunjukkan gejala khas
antraknosa. Isolasi cendawan dilakukan di laboratorium dengan
menggunakan metode
penanaman jaringan pada media potato dextrose agar (PDA) dan
inkubasi pada suhu 28oC (suhu kamar). Biakan murni setelah tujuh
hari dipanen konidianya. Pemanenan dilakukan dengan menambahkan air
steril sampai agar dalam cawan
-
23
terendam (+18 ml). Kemudian dengan menggunakan spatula konidia
dipanen untuk pembuatan biakan spora tunggal. Biakan konidia
tunggal yang diperoleh diperbanyak lagi pada media PDA dan
diinkubasi pada ruang dengan penyinaran 12 jam gelap dan 12 jam
terang dibawah sinar ultraviolet selama tujuh hari. Kode, asal
inang dan lokasi dari isolat yang berhasil dikoleksi tertera pada
Tabel 1.
Identifikasi Penyebab Antraknosa pada Pepaya Identifikasi
patogen dilakukan menggunakan pedoman Barnet dan Hunter
(1972) dan Kulshrestha et al. (1976), yaitu melalui pengamatan
morfologi konidia, seta dan aservulus. Pengamatan morfologi
dilakukan terhadap biakan murni maupun tanda penyakit pada buah
pepaya yang terserang.
Tabel 1 Isolat Colletotrichum sp., inang asal isolat dan lokasi
sumber isolat
Kode No
Isolat Asal Isolat Lokasi Asal Isolat
1 TJR1 Buah pepaya IPB1 Kebun percobaan PKBT Tajur 2 TJR2 Daun
pepaya IPB1 Kebun percoban PKBT Tajur 3 TJR3 Buah pepaya Taiwan
Kebun percobaan PKBT Tajur 4 TJR4 Buah pepaya Boyolali Kebun
percobaan PKBT Tajur 5 TJR5 Buah pepaya Blitar Kebun percobaan PKBT
Tajur 6 TJR6 Buah pepaya Magelang Kebun percobaan PKBT Tajur 7 TJR7
Buah pepaya STR64 Kebun percobaan PKBT Tajur 8 TJR8 Buah pepaya
IPB10 Kebun percobaan PKBT Tajur 9 TJR9 Daun pepaya Redking Kebun
percobaan PKBT Tajur 10 TJR10 Tangkai daun pepaya SW
yellow Kebun percobaan PKBT Tajur
11 GG1 Buah pepaya Taiwan Kebun Agrorekatama Gunung Geulis
12 GG2 Biji pepaya Kebun Agrorekatama Gunung Geulis
13 BGR11 (Cg)
Buah cabai Bogor (koleksi laboratorium Cendawan IPB)
14 GGc (Cc)
Buah cabai Gunung Geulis (koleksi Zulfadillah)
Uji Patogenisitas Patogen Antraknosa pada Pepaya Biakan murni
dari 12 isolat asal pepaya yang berhasil di koleksi di
gunakan dalam uji patogenisitas menggunakan metode suntik pada
buah pepaya
-
24
(Swart 1999). Buah pepaya yang digunakan pada uji patogenisitas
adalah genotipe STR 64. Buah pepaya yang akan digunakan dalam
pengujian terlebih dahulu diberi perlakuan sterilisasi. Permukaan
buah direndam dalam NaOCl 2 % selama lima menit kemudian dibilas
dengan air steril. Titik inokulasi pada
permukaan buah pepaya dibuat sebanyak lima titik tiap buah.
Kepadatan suspensi spora yang digunakan untuk inokulasi adalah 106
spora/ml, jumlah spora dihitung menggunakan haemocytometer.
Selanjutnya buah yang telah diinokulasi diletakkan pada bak plastik
dan ditutup dengan plastik transparan. Pada keempat sudut bak
diletakkan kapas basah untuk menjaga kelembaban, selanjutnya bak
plastik diingkubasi pada suhu kamar.
Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL)
dengan dua belas isolat sebagai perlakuan. Masing masing isolat
diulang
sebanyak tiga kali, sehingga terdapat 30 unit percobaan. Peubah
yang diamati adalah :
1. Muncul tidaknya gejala: pengamatan dilakukan setiap hari
setelah inokulasi dengan melihat gejala khas antraknosa.
2. Rata-rata masa inkubasi: yaitu rata-rata periode hari setelah
diinokulasi sampai munculnya gejala.
3. Rata-rata diameter gejala: diameter gejala diukur pada tujuh
hari setelah inokulasi.
Uji Patogenisitas Colletotrichum asal Pepaya pada Buah Cabai
Isolat Colletotrichum yang digunakan dalam pengujian ini terdiri
dari enam isolat Colletotrichum yang telah diidentifikasi
sebelumnya (TJR1, TJR2, TJR3, TJR4, GG1, GG2). Biakan
Colletotrichum asal pepaya digunakan untuk menginokulasi buah cabai
yang diperoleh dari tanaman cabai varietas Hot Chilli asal Gunung
Geulis Bogor. Sebagai pembanding digunakan isolat C. gloesporioides
dan C. capsici asal cabai (BGR 11 dan GGc) untuk menginokulasi buah
pepaya STR 64. Buah cabai dan pepaya yang akan digunakan dalam
pengujian tersebut terlebih dahulu disterilisasi. Permukaan buah
direndam dalam NaOCl 2 % selama lima menit kemudian dibilas dengan
air steril dan diberi perlakuan dengan alkohol 70% untuk
sterilisasi permukaan buah.
-
25
Inokulasi buah cabai dan pepaya dilakukan dengan metode
penempelan biakan cemdawan. Dari masing-masing biakan cendawan
dibuat potongan-potongan berukuran 0.4 cm. Potongan-potongan biakan
tersebut ditempelkan pada permukaan buah cabai dan pepaya yang
telah dilukai dengan jarum steril. Buah cabai dan pepaya yang telah
diinokulasi diletakkan dalam bak plastik dan ditutup plastik
transparan. Pada keempat sudut bak diletakkan kapas steril
basah,
untuk menjaga kelembaban. Selanjutnya bak plastik diinkubasi
pada suhu kamar. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak
Lengkap (RAL)
dengan delapan isolat Colletotrichum sebagai perlakuan. Masing
masing isolat di ulang sebanyak tiga kali, sehingga terdapat 24
unit percobaan. Untuk inokulasi
pada buah cabai, masing-masing perlakuan terdiri dari 10 buah
cabai, sedangkan untuk buah pepaya masing-masing perlakuan terdiri
dari tiga buah pepaya.
Peubah yang diamati adalah : 1. Rata-rata masa inkubasi: yaitu
rata-rata periode hari setelah diinokulasi sampai
munculnya gejala 2. Rata-rata diameter gejala: diameter gejala
diukur pada tujuh hari setelah
inokulasi.
3. Kejadian Penyakit (%); Peubah kejadian penyakit (KP) dihitung
dengan rumus : KP = (n/N) x 100% Keterangan:
N = jumlah titik inokulasi n = jumlah titik inokulasi yang
menunjukkan gejala antraknosa
Uji Pertumbuhan Colletotrichum pada Beberapa Suhu Isolat
Colletotrichum yang digunakan dalam pengujian ini adalah
isolat-
isolat hasil identifikasi sebelumnya, yang terdiri atas enam
isolat pepaya (TJR1, TJR2, TJR3, TJR4, GG1, GG2), satu isolat C.
gloesporioides asal cabai (BGR 11) serta C. capsici asal cabai
(GGc). Isolat yang akan digunakan tersebut sebelumnya ditumbuhkan
pada media PDA selama dua minggu pada suhu kamar.
Dari masing-masing biakan selanjutnya dibuat potongan-potongan
kecil berukuran diameter 0.4 cm. Potongan biakan tersebut
selanjutnya dipindahkan ke media PDA yang baru pada cawan petri
yang berukuran diameter 9 cm. Dalam
-
26
satu cawan petri diletakkan satu potongan biakan cendawan, yaitu
di bagian tengah cawan petri. Selanjutnya cawan petri yang
berisikan biakan cendawan tersebut di letakkan pada berbagai suhu,
yaitu 16 oC, 20 oC, 24 oC, 28 oC, 32 oC, dan 36oC
Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL)
dengan delapan isolat (TJR1, TJR2, TJR3, TJR4, GG3, GG7, BG11 dan
GGc) sebagai perlakuan yang diulang sebanyak empat kali.
Peubah yang diamati adalah : 1. Rata-rata kecepatan pertumbuhan
cendawan. Pengamatan diameter
pertumbuhan cendawan dilakukan sejak hari pertama inokulasi pada
suhu tertentu selama tujuh hari berturut-turut. Rata rata kecepatan
pertumbuhan cendawan per hari dihitung dengan rumus sebagai
berikut:
dm1+ + dmn KPC = -------------------------
n KPC = kecepatan pertumbuhan cendawan n = jumlah hari
2. Rata-rata diameter koloni: Pengamatan dilakukan pada hari
ketujuh setelah inokulasi, dengan mengukur diameter koloni
cendawan
Evaluasi Keefektifan Metode Inokulasi
Evaluasi dilakukan untuk menentukan metode inokulasi dengan
tepat dalam kegiatan penapisan. Ketahanan genotipe pepaya terhadap
antraknosa.
Metode inokulasi yang dievaluasi terdiri dari : 1) Metode
inokulasi penempelan biakan dan pelukaan jaringan (TP). Buah pepaya
yang akan diinokulasi dilukai dengan menggunakan jarum suntik
steril pada empat titik pada permukaan buah. Potongan biakan
cendawan berukuran diameter 0.4 cm. Kemudian ditempelkan pada
permukaan buah tersebut. 2) Metode inokulasi penempelan biakan
tanpa pelukaan jaringan (TL). Buah pepaya yang akan diinokulasi
tidak dilukai, penempelan potongan biakan cendawan. Inokulum
berukuran diameter 0.4 cm dilakukan pada empat titik. 3) Metode
inokulasi penyemprotan konidia tanpa pelukaan jaringan (SL). Buah
pepaya yang akan diinokulasi tidak dilukai. Inokulum disiapkan
dengan mengemulsikan biakan murni dalam air steril,
-
27
sehingga diperoleh konsentrasi 106 konidia/ml. Dengan
menggunakan alat semprot tangan permukaan buah pepaya disemprot
hingga seluruh permukaan basah (+ 10 ml/buah). Setelah diinokulasi,
buah pepaya diletakkan didalam bak plastik, lalu di tutup dengan
plastik transfaran.
Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL)
dengan delapan isolat Colletotrichum sebagai perlakuan. Masing
masing isolat di ulang sebanyak tiga kali, sehingga terdapat 24
unit percobaan. Masing-masing unit percobaan terdiri atas lima buah
pepaya.
Peubah yang diamati adalah : 1. Rata-rata masa inkubasi: yaitu
rata-rata periode hari setelah diinokulasi sampai
munculnya gejala 2. Rata-rata diameter gejala: diameter gejala
diukur pada tujuh hari setelah
inokulasi.
3. Kejadian Penyakit (%); Peubah kejadian penyakit (KP) dihitung
dengan rumus : KP = (n/N) x 100% Keterangan:
N = jumlah titik inokulasi n = jumlah titik inokulasi yang
menunjukkan gejala antraknosa
Analisis Data
Seluruh percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL),
dengan model linier aditif, analisis ragam dan harapan kuadrat
tengah untuk tiap karakter yang diamati pada semua percobaan
disusun mengikuti Steel dan Torrie
(1980). Model linier aditif untuk percobaan I ini adalah sebagai
berikut:
ijjiij PuY +++= (1)
Yij = nilai pengamatan pada perlakuan ke-j = nilai tengah
umum
Ui = Pengaruh ulangan ke-i
Pj = Pengaruh perlakuan ke-j ij = Pengaruh acak pada genotipe
ke-j ulangan ke-i
-
28
Berdasarkan model linier aditif di atas, pada Tabel 2 disajikan
bentuk analisis ragam disertai harapan kuadrat tengahnya, dengan
anggapan genotipe berpengaruh acak.
Tabel 2 Analisis ragam model acak disertai harapan kuadrat
tengah untuk percobaan tahap I
Sumber keragaman db KT E(KT) Fhitung Ulangan Perlakuan Galat
(r-1) (p-1) (r-1)(p-1)
-
S T
-
22GE r +
2E
-
S/T -
Db : derajat bebas p : jumlah perlakuan KT : kuadrat tengah r :
jumlah ulangan E(KT) : harapan kuadrat tengah
Terhadap semua data karakter yang diamati pada percobaan pada
tahap I, baik yang menyebar normal maupun tidak, dilakukan analisis
perbedaan nilai
tengah antar perlakuan menggunakan uji Duncan Multiple Range
Test (DMRT) (Steel dan Torrie 1980).
Hasil dan Pembahasan Identifikasi Penyebab Antraknosa pada
Pepaya
Berdasarkan ciri morfologi konidia yang diamati secara
mikroskopis diketahui bahwa penyebab antraknosa pada buah pepaya
adalah cendawan C.
gloeosporioides. Selain ditemukan seta pada aservulus cendawan,
bentuk konidia hialin yang dominan adalah silindris dengan ujung
membulat (Gambar 4). Bentuk konidia tersebut sangat berbeda dengan
bentuk konidia C. dematium yang menyerupai bulan sabit, atau C.
acutatum yang silindris dengan ujung meruncing. Walaupun bentuk
konidia secara umum sangat homogen antar isolat, ternyata warna
koloni sangat beragam (Tabel 3). Hal tersebut merupakan sifat C.
gloeosporioides seperti yang dilaporkan oleh Semangun (2000);
Bailey dan Jeger (1992).
Cendawan C. gloeosporioedes menyebabkan dua tipe gejala yaitu
antraknosa dan bercak coklat (brown spot) seperti yang dikemukakan
oleh Alvarez dan Nishijima (1987), kedua tipe ini juga ditemukan
pada buah pepaya yang terserang antraknosa di penyimpanan
(Prabawati et al, 1991).
-
29
Uji Patogenisitas Penyebab Antraknosa Isolat cendawan yang
diperoleh dari dua lokasi pertanaman pepaya tidak seluruhnya dapat
menginfeksi buah pepaya melalui inokulasi buatan di laboratorium
(Tabel 3). Enam isolat dari Tajur Bogor (TJR1, TJR2, TJR3, TJR4,
GG1, GG2) dan isolat dari Gunung Geulis Bogor (GG1, GG2)
menyebabkan gejala berupa bercak pada permukaan buah yang
diinokulasi (Gambar 4A).
Tabel 3 Uji patogenisitas beberapa isolat penyebab antraknosa
pada buah pepaya
Isolat Hasil
uji Masa
inkubasi (hari)
Diameter bercak (cm)
Bentuk konidia Warna koloni
TJR1 + 5.33 cde 2.70 a silindris dan lurus
merah muda
TJR2 + 6.00 abc 1.77 bc silindris dan lurus
merah muda
TJR3 + 5.67 bcd 1.27 c silindris dan lurus
jingga
TJR4 + 4.33 f 2.67 ab silindris dan lurus
abu-abu
TJR5 + 6.33 ab 1.67 c silindris dan lurus
abu-abu
TJR6 + 6.67 a 1.1 c silindris dan lurus
abu-abu
TJR7 - - - silindris dan lurus
abu-abu
TJR8 - - - silindris dan lurus
abu-abu
TJR9 - - - silindris dan lurus
jingga
TJR10 - - - silindris dan lurus
Jingga
GG1 + 4.75 ef 2.43 ab silindris dan lurus
merah muda
GG2 + 5.00 def 2.23 ab silindris dan lurus
merah muda
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (DMRT) Hasil uji : + = buah
menampakkan gejala, - = buah tidak menunjukkan gejala sampai akhir
pengamatan
Rata-rata diameter bercak berkisar 1.1 cm sampai 2.70 cm dengan
masa inkubasi berkisar 4.33 hari sampai 6.67 hari. Gejala tersebut
sesuai dengan deskripsi yang dilaporkan pepaya oleh Joseli et al
(2002) gejala awal yang terlihat pada permukaan buah yang terserang
antraknosa maupun becak coklat,
-
30
keluarnya lateks pada titik kecil yang kemudian meluas menjadi
bercak-bercak coklat. Cendawan C. gloeosporioides merupakan salah
satu patogen penyebab antraknosa pada sebagian besar buah-buahan
dan merupakan patogen utama penyebab antraknosa pada buah.
Gambar 4 Gejala infeksi, bentuk konidia dan aservulus patogen
antraknosa pada pepaya. Gejala antraknosa pada buah yang
diinokulasi buatan (A), gejala antraknosa pada buah di lapang (B),
gejala becak coklat (C), konidia dibawah mikroskop pembesaran 10x40
(E), konidia tunggal (F), Aservulus beserta konidia dan seta (G),
H, I, J, berturut-turut konidia C. dematium, C. acutatum, C.
gloeosporioides (sumber: Kulshrestha et al. 1976 dan Adaskaveg
& Hartin 1997).
Uji Patogenisitas Colletotrichum asal Pepaya pada Buah Cabai
Isolat yang menginfeksi pepaya ternyata dapat juga menginfeksi buah
cabai dan menunjukkan gejala antraknosa. Demikian pula isolat
Colletotrichum
C
D Ec
F
A B
H I J
G
-
31
asal cabai (BGR11 dan GGc) dapat menginfeksi buah pepaya. Hal
tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya. Mahfud
(1986) C. gloeosporioides penyebab antraknosa pada cabai dapat
menyebabkan antraknosa pada pepaya sedangkan cendawan antraknosa
dari pepaya dapat
menginfeksi cabai, mangga, pisang dan ubi kayu.
Tabel 4 Masa inkubasi, diameter gejala dan persentase gejala
antraknosa dari delapan isolat Colletotrichum pada buah cabai dan
pepaya
Masa inkubasi (hari)
Diameter gejala (cm)
Persentase sporulasi (%) Isolat
Cabai Pepaya Cabai Pepaya Cabai Pepaya TJR1 6.06 a 5.56 ab 0.81
b 2.11 35.00 b 100 TJR2 6.02 a 5.89 ab 0.67 b 0.82 45.00 ab 100
TJR3 4.53 cd 5.11 ab 1.2 b 1.30 61.40 ab 100 TJR4 4.82 bc 4.11 b
1.12 b 1.01 60.00 ab 100 GG3 4.00 d 5.56 ab 2.82 a 0.82 85.00 a 100
GG7 4.45 cd 6.00 ab 1.29 b 0.72 65.00 ab 100 BGr11 5.52 ab 5.22 ab
0.59 b 1.07 35.00 b 100 GGc 5.75 a 6.22 a 0.76 b 1.16 35.00 b
100
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (DMRT) Keterangan: TJR1-TJR4
= isolat C. gloeosporioides dari pepaya di Kebun Percobaan PKBT
Tajur;
GG1&GG2 = isolat C. gloeosporioides pepaya di Kebun PT.
Agrorekatama Gunung Geulis; BGR11 = isolat C. gloeosporioides dari
buah cabai koleksi Laboratorium Cendawan Departemen Proteksi
Tanaman IPB; GGc = isolat C. capsici dari buah cabai di Gunung
Geulis (koleksi Zulfadillah).
Uji patogenisitas delapan isolat Colletotrichum pada cabai
menunjukkan bahwa isolat GG1 memiliki masa inkubasi tercepat (4
hari), diameter gejala terpanjang (2.82 cm) dan kejadian penyakit
(85%) (Tabel 4). Sedangkan uji patogenisitas pada buah pepaya
menunjukkan respon yang hampir sama untuk semua isolat. Swart
(1999) menyatakan bahwa isolat yang memiliki masa inkubasi singkat
dan serangan yang luas, lebih virulen dibandingkan dengan isolat
yang masa inkubasinya lama dengan serangan yang kecil
Uji Pertumbuhan Colletotrichum pada Beberapa Suhu
Pada suhu 16oC, 20oC dan 24oC isolat C. gloeosporioides dari
buah pepaya (TJR1, TJR2, TJR3, TJR4, GG1,GG2) menunjukkan
pertumbuhan yang sama dan tidak berbeda dengan isolat dari buah
cabai (BGR11) namun berbeda nyata dengan pertumbuhan isolat C.
capsici (GGc) (Tabel 5). Pertumbuhan C. capsici cendrung lebih
lambat dibandingkan isolat lainnya .
-
32
Pada suhu 28oC, 32 oC dan 36oC pertumbuhan koloni masing-masing
isolat menunjjukkan perbedaan yang nyata. Selain isolat C. capsici,
semua C. gloeosporioides asal pepaya (TJR1, TJR2, TJR3, TJR4, GG1,
GG2) dan asal cabai (BGR11) menunjukkan pertumbuhan optimum pada
suhu 28oC, dan pertumbuhan mulai menurun pada suhu 32oC dan 36oC .
Isolat C. capsici mencapai pertumbuhan optimum pada suhu 32oC.
Lebih lanjut dapat diamati bahwa C.capsici menunjukkan pertumbuahan
lebih lambat dibandingkan pertumbuhan C. gloeosporioides asal
pepaya dan cabai pada semua kondisi suhu. Hasil tersebut sejalan
dengan laporan penelitian AVRDC (1988) menunjukkan bahwa
pertumbuahan C. gloeosporioides asal cabai mencapai optimum pada
suhu 28oC dan C. capsici tumbuh optimum pada suhu 28-32oC.
Tabel 5 Rata-rata diameter koloni delapan isolat antraknosa pada
beberapa suhu Diameter koloni Isolat
Suhu (oC) 16 20 24 28 32 36 ..cm
TJR1 5.85 a 5.66 a 5.60 a 6.05 a 4.48 d 3.55 bcd TJR2 5.30 a
5.43 a 5.28 a 5.45 cd 6.05 ab 3.85 bc TJR3 5.83 a 5.78 a 5.75 a
5.70 bc 4.50 d 4.33 ab TJR4 5.75 a 5.45 a 5.30 a 5.38 d 5.05 bcd
3.08 cde GG1 5.48 a 5.78 a 5.75 a 5.93 ab 6.13 a 2.43 e GG2 5.43 a
5.95 a 5.73 a 5.63 cd 6.33 a 4.98 a BGR11 5.63 a 5.68 a 5.53 a 5.58
cd 5.60 abc 3.40 bcde GGc 3.32 b 4.93 b 4.18 b 4.96 e 4.60 cd 2.80
de
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (DMRT) Keterangan: TJR1-TJR4
= isolat C. gloeosporioides dari pepaya di Kebun Percobaan PKBT
Tajur;
GG1&GG2 = isolat C. gloeosporioides pepaya di Kebun PT.
Agrorekatama Gunung Geulis; BGR11 = isolat C. gloeosporioides dari
buah cabai koleksi Laboratorium Cendawan Departemen Proteksi
Tanaman IPB; GGc = isolat C. capsici dari buah cabai di Gunung
Geulis (koleksi Zulfadillah)
Isolat yang memiliki pertumbuhan optimal tertinggi pada suhu
28oC yaitu
TJR1 dan GG1. Oleh karena itu Isolat TJR 1 dipilih untuk sumber
isolat pada pengujian percobaan selanjutnya, mengingat pengujian
dilakukan dilaboratorium pada suhu kamar yaitu antara 27-28oC.
Perbedaan pertumbuhan C. gloeosporioides dan C. capsici juga tampak
pada kecepatan pertumbuhan koloni yang diamati setiap hari selama
delapan hari berturut-turut. Tujuh isolat C. gloeosporioides
mencapai kecepatan pertumbuhan maksimal pada suhu 24oC, sementara
satu isolat C. capsici mencapai pertumbuhan maksimum pada suhu 32oC
(Gambar 5 dan Lampiran 1)
-
33
20 24 28 32
Suhu (oC)
Kece
pata
n pe
rtu
mbu
han
(cm/h
ari)
TJR1TJR2TJR3TJR4GG1GG2BGR11GGc
Gambar 5 Suhu optimum pertumbuhan C. gleosporioides (TJR1, TJR2,
TJR3, TJR4, GG1, GG2 dan BGr11) dan C. capsici (GGc).
Evaluasi Kefektifan Metode Inokulasi Metode inokulasi dengan
cara menempelkan biakan cendawan telah dilakukan untuk uji
inokulasi antraknosa di laboratorium pada buah alpokat, mangga dan
pepaya oleh Swart (1999). Sedangkan metode inokulasi dengan cara
menyemprotkan konidia telah dilakukan oleh Dickman et al. (1983)
dalam pengujian infeksi laten C. gloeosporioides pada buah pepaya
di lapang dan oleh Sulusi et al. (1991) uji patogenisitas C.
gloeosporioides pada buah pepaya di laboratorium. Peneliti-peneliti
tersebut menyimpulkan bahwa metode-metode inokulasi tersebut dapat
disarankan sebagai metode baku untuk inokulasi
Colletotrichum pada buah. Tabel 6 Masa inkubasi, diameter gejala
dan persentase gejala pada perlakuan tiga
metode inokulasi C. gloeosporioides Perlakuan Masa inkubasi
(hari) Diameter gejala (cm)
Kejadian Penyakit (%)
TP 5.30 1.56 86.67 a TL 5.57 1.62 48.07 b SL 5.33 1.25 80.57
a
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (DMRT) Keterangan : TP =
Metode inokulasi penempelan biakan dan pelukaan jaringan, TL=
Metode
inokulasi penempelan biakan tanpa pelukaan jaringan, SL= Metode
inokulasi penemprotan koloni tanpa pelukaan jaringan
-
34
Hasil percobaan yang penulis lakukan ternyata sesuai dengan
hasil percobaan sebelumnya. Ketiga metode inokulasi yang dievaluasi
tidak berbeda nyata untuk peubah masa inkubasi dan diameter bercak,
tetapi berbeda nyata untuk peubah kejadian penyakit. Kejadian
penyakit tertinggi diperoleh melalui metode inokulasi penempelan
biakan dan pelukaan jaringan (TP) (86.67%) dan metode inokulasi
penyemprotan konidia tanpa pelukaan jaringan (SL). Kedua metode
inokulasi tersebut dapat disarankan untuk digunakan dalam kegiatan
penapisan genotipe pepaya. Kelebihan metode inokulasi penempelan
biakan dan pelukaan jaringan (TP) dalam mengamati diameter bercak,
sementara kelebihan metode inokulasi penyemprotan konidia tanpa
pelukaan jaringan (SL) akan dirasakan bila kegiatan penapisan
genotipe melibatkan jumlah aksesi yang besar.
Simpulan Berdasarkan pengamatan morfologi konidia, tubuh buah,
dan koloni dapat disimpulkan bahwa penyebab antraknosa pada pepaya
yang dikoleksi dari Tajur dan Gunung Geulis adalah C.
gloeosporioides. Secara umum semua isolat C. gloeosporioides
mengalami pertumbuhan optimum pada suhu 28 oC. Hal tersebut sangat
berbeda bila di bandingkan dengan C. capsici yang mencapai
pertumbuhan optimum pada suhu 32 oC. Lebih lanjut diketahui bahwa
isolat C. gloeosporioides asal pepaya mampu menginfeksi buah cabai,
demikian pula sebaliknya isolat C. gloeosporioides dan C. capsici
asal cabai mampu menginfeksi buah pepaya.
Metode inokulai yang dapat dianjurkan untuk kegiatan penapisan
genotip pepaya tahan antraknosa adalah metode inokulasi penempelan
biakan dan pelukaan jaringan (TP) dan metode inokulasi penyemprotan
konidia tanpa pelukaan jaringan (SL).
Ucapan Terima Kasih Ucapan terimakasih disampaikan kepada: (1)
BPPS Dikti Depdiknas RI, (2) Pusat Kajian Buah Tropika (PKBT)
melalui Tim Program Penelitian Riset Unggulan Strategis Nasional
(RUSNAS); (3) Maneger PT. Agrorekatama Gunung Geulis Bogor; (4)
Kepala Kebun Percobaan PKBT Tajur Bogor dan ; (5) Kepala
Laboratorium Mikologi HPT IPB Bogor.
-
35
Daftar Pustaka
Adaskaveg JE, hartin RJ. 1997. Characterization of
Colletotrichum acutatum isolate causing anthracnose of almond and
peach in California. Phytopathology 87(9): 979-987.
Alvarez AM, Nishijima WT. 1987. Post harvest disease of papaya.
Plant Disease 71:681-686.
[AVRDC] 1998. Effect of fruit maturity on anthracnose
development. Di dalam: AVRDC, editor. Progress report in tomato and
pepper production in the tropics; Shanhua, Taiwan. Hlm 69-71.
Bailey JA, Jeger MJ. 1992. Colletotrichum: biology, pathology
and control. CAB Intl. Wallingford, UK.
Barnet HL, Hunter BB. 1972. Illustrated Genera of Imperfect
Fungi. Ed ke-4. New York.
Dickman MB, & Alvarez AM. 1983. Laten infection of papaya
caused by Colletotrichum gloeosporioides. Plant Diseases
67(7):748-750.
Freeman S. 2000. Genetic diversity and host specifitcity of
Collethotrichum species on various fruits. Di dalam
Collethotrichum: Host specificity, pathology and host pathogen
interaction. Am Phytopathol Soc Pr, St Paul, MN, USA.
Joseli ST, Liberato JR, Zamolim L, Happines J, Coast H. 2002.
Control and climatic conditions favorable to the antracnose of the
mamoeiro (papaya). Fitopatol Bras 27(2): 1-12.
Lim TK, Tang SC. 1984. Anthracnose and some local fruit trees.
Seminar Nasional buah-buahan Malaysia. UPM. Malaysia.
Mahfud MC. 1986. Uji tanaman inang penyakit antraknosa pada
pepaya. Penel. Hort. 1(1):46-52.
Prabawati S, Sjaifullah, Amiarsi D. 1991. Cendawan penyebab
kerusakan buah pepaya selama penyimpanan dan pemasaran serta
pengendaliannya. J Hort 1(3):47-53.
Semangun H. 2000. Penyakit-penyakit Tanaman Hortikultura di
Indonesia. Gajah Mada Univ Pr.
Sepiah MA, Subki, Lam PF. 1991. Fungicides for postharvest
control of colletotrichum sp. in Eksotika papaya. ASEAN Food J.
6:14-18.
-
36
Sepiah MA. 1992. Penyakit lepas tuai betik dan ciku (Postharvest
diseases of papaya and sapota). Bengkel Penyelidikan Sistem
Pengendalian Lepastuai Betik dan Ciku, Melaka, Malaysia. Hlm.
85-90.
Sinaga MS. 2003. Dasar-dasar Ilmu Penyakit tumbuhan. Jakarta:
Penebar Swadaya.
Skipp RA, Beever RE, Sharrock KR, Rikkerink EHA, Templeton MD.
1995. Colletotrichum. Di dalam Kahmoto K, Singh U, Singh RP,
editor. Pathogenesis and host-specificity in plant disease.
Histopathological, biochemical, genetic and molecular bases.
Oxford: Pergamon. Hlm 119-143.
Snowdown AL. 1990. A colour atlas of postharvest diseases and
disorders of fruit and vegetables. Vol.1. Wolfe Scientific.
Steel RGD, Torrie JH. 1980. Principles and Procedure Statistic.
A biomatrical approach. Ed ke 2. Book co. London.
Sutton BC. 1992. The genus Glomerella and its anamorph
Colletotrichum. Editor Colletotrichum: biology, pathology and
control. CAB Intl. Wallingford, UK.
Swart GM. 1999. Comparative study of Colletotrichum
gloeosporioides from Avocado and Mango [Disertasi] Departement of
Microbiology and Plant Pathology University of Pretoria