BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tahun 1937 Bovet dan Staub menemukan ikatan amin yang mengandung eter fenolik yang bersifat antagonis terhadap efek histamin pada reseptor H1. Antihistamin atau antagonis reseptor histamin ini mulai digunakan sebagai pengobatan pada sekitar tahun 1940. Pada zaman sekarang antihistamin sangat terkenal baik dalam dunia kedokteran maupun dikalangan masayakat umum. Antihistamin adalah zat yang dapat mengurangi atau menghalagi efek histamin terhadap tubuh dengan jalan mengeblok reseptor histamin. Secara farmakologis reseptor histamin dapat di bagi dalam 2 tipe yaitu reseptor H 1 dan reseptor H 2 . Berdasarkan hal tersebut, antihistamin juga dapat dibagi dalam 2 kelompok, yakni antagonis reseptor H 1 (singkatnya disebut H 1 blokers atau antihistamin ) antagonis reseptor H 2 (H 2 blokers). Para ahli dermatologi sering menggunakan antihistamin untuk mengobati kelainan kronik maupun rekuren. Pemakaian antihistmin ini harus teliti karena pada kelompok-kelompok antihistamin yang berbeda mempunyai efek samping potensial. Untuk itu, penggunaan antihistamin secara rasional perlu 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tahun 1937 Bovet dan Staub menemukan ikatan amin yang
mengandung eter fenolik yang bersifat antagonis terhadap efek histamin pada
reseptor H1. Antihistamin atau antagonis reseptor histamin ini mulai
digunakan sebagai pengobatan pada sekitar tahun 1940. Pada zaman sekarang
antihistamin sangat terkenal baik dalam dunia kedokteran maupun dikalangan
masayakat umum.
Antihistamin adalah zat yang dapat mengurangi atau menghalagi efek
histamin terhadap tubuh dengan jalan mengeblok reseptor histamin. Secara
farmakologis reseptor histamin dapat di bagi dalam 2 tipe yaitu reseptor H1
dan reseptor H2. Berdasarkan hal tersebut, antihistamin juga dapat dibagi
dalam 2 kelompok, yakni antagonis reseptor H1 (singkatnya disebut H1 blokers
atau antihistamin ) antagonis reseptor H2 (H2 blokers).
Para ahli dermatologi sering menggunakan antihistamin untuk
mengobati kelainan kronik maupun rekuren. Pemakaian antihistmin ini harus
teliti karena pada kelompok-kelompok antihistamin yang berbeda mempunyai
efek samping potensial. Untuk itu, penggunaan antihistamin secara rasional
perlu dipelajari untuk lebih menjelaskan perannya dalam terapi penyakit kulit
karena pada saat ini banyak antihistamin generasi baru yang diajukan sebagai
obat yang banyak menjanjikan keuntungan yaitu frekuensi pemberiannya lebih
sedikit, efek sedasi yang lebih rendah serta lebih aman dibandingkan
antihistamin generasi pertama.
B. Tujuan
Tujuan penulisan referat yang berjudul “Antihistamin pada
Dermatologi” ini adalah untuk memberikan informasi ilmiah mengenai
antihistamin, meliputi definisi, klasifikasi, farmakokinetik, farmakodinamik,
indikasi dan kontraindikasi serta penggunaannya pada penyakit kulit
khususnya alergi.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Alergi
1. Definisi
Istilah hipersensitivitas atau alergi menunjukkan suatu kondisi respon
imunitas yang menimbulkan reaksi yang berlebihan, tidak diinginkan
(menimbulkan ketidaknyamanan dan kadang-kadang berakibat fatal) dari
sistem kekebalan tubuh sehingga bermanifestasi padaradang atau
kerusakan jaringan. Pada keadaan normal, mekanisme pertahanan tubuh
baik humoral maupun selular tergantung pada aktivasi sel B dan sel T.
Aktivasi berlebihan oleh antigen atau gangguan mekanisme ini, akan
menimbulkan suatu keadaan imunopatologi yang disebut reaksi
hipersensitivitas.
2. Etiologi
a. Obat-obatan
Alergi obat biasanya terjadi karena tubuh seseorang sangat sensitif
sehingga bereaksi secaraberlebihan terhadap obat yang digunakan.
Tubuh berusaha menolak obat tersebut, namunreaksi penolakannya
amat berlebihan sehingga merugikan tubuh sendiri.
b. Makanan
Makanan merupakan salah satu penyebab reaksi alergi yang
berbahaya. Seperti alergen lain,alergi terhadap makanan dapat
bermanifestasi pada salah satu atau berbagai organ target:kulit
(urtikaria, angiodema, dermatitis atopik), saluran nafas (rinitis, asma),
saluran cerna(nyeri abdomen, muntah, diare), dan sistem
kardiovaskular (syok anafilaktik). Urtikaria akibat alergi makanan
biasanya timbul setelah 30-90 menit setelah makan dan biasa
disertaigejala lain seperti diare, mual, kejang perut, hidung buntu,
bronkospasme, hingga gangguanvaskular. Semua gejala ini
diperantarai oleh IgE.Hampir setiap jenis makanan memiliki potensi
untuk menimbulkan reaksi alergi. Alergendalam makanan terutama
2
berupa protein yang terdapat di dalamnya. Namun, tidak semuaprotein
dalam makanan mampu menginduksi produksi IgE. Penyebab tersering
alergi padaorang dewasa adalah kacang-kacangan, ikan, dan kerang.
Sedangkan penyebab alergitersering pada anak adalah susu, telur,
kacang-kacangan, ikan, dan gandum. Sebagian besaralergi hilang
setelah pasien menghindari makanan tersebut, dan melakukan
eliminasimakanan, kecuali terhadap kacang-kacangan, ikan, dan
kerang cenderung menetap ataumenghilang setelah jangka waktu yang
sangat lama.5Gambaran klinis reaksi alergi terhadap makanan terjadi
melalui IgE dan menunjukkanmanifestasi terbatas: gastrointestinal,
kulit dan saluran nafas. Tanda dan gejalanya disebabkanoleh pelepasan
histamin, leukotrien, prostaglandin, dan sitokin. Alergen yang dimakan
dapatmenimbulkan efek luas, berupa respon urtikaria di seluruh tubuh,
karena distribusi randomIgE pada sel mast yang tersebar di seluruh
tubuh.
c. Hirupan
Seperti debu, serbuk sari bunga, bulu binatang, tungau (pada kasur
kapuk).Disamping itu, alergi berhubungan dengan adanya gen dan
alergen. Alergi terjadi padabeberapa individu yang memiliki gen
alergi, yaitu pada gen HLA (Human LeucocyteAntigen). Gen alergi ini
bisa diturunkan pada individu lain dengan manifestasi yang
berbeda.Alergi bisa dihilangkan dengan menjauhi alergen.
3. Mekanisme alergi
Hipersensitivitas terjadi dalam reaksi jaringan terjadi dalam
beberapa menit setelah antigen bergabung dengan antibodi yang sesuai.Ini
dapat terjadi sebagai anafilaksis sistemik (misalnya setelah pemberian
protein heterolog) atau sebagai reaksi lokal (misalnya alergi atopik seperti
hay fever).
Urutan kejadian reaksi hipersensitifias adalah sebagai berikut:
a. Fase Sensitisasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE
sampai diikatnya oleh reseptor spesifik (Fcε-R) pada permukaan sel
mast dan basofil.
3
b. Fase Aktivasi, yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang
dengan antigen yang spesifik dan sel mast melepas isinya yang
berisikan granul yang menimbulkan reaksi.
c. Fase Efektor, yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis)
sebagai efek mediator-mediator yang dilepas sel mast dengan aktivitas
farmakologik.
Mekanisme alergi, misalnya terhadap makanan, dapat dijelaskan
sebagai berikut.Secara imunologis, antigen protein utuh masuk ke sirkulasi
dan disebarkan ke seluruh tubuh.Untuk mencegah respon imun terhadap
semua makanan yang dicerna, diperlukan respon yang ditekan secara
selektif yang disebut toleransi atau hiposensitisasi.Kegagalan untuk
melakukann toleransi oral ini memicu produksi antibodi IgE berlebihan
yang spesifik terhadap epitop yang terdapat pada alergen.Antibodi tersebut
berikatan kuat dengan reseptor IgE pada basofil dan sel mast, juga
berikatan dengan kekuatan lebih rendah pada makrofag, monosit, limfosit,
eosinofil, dan trombosit.
Ketika protein melewati sawar mukosa, terikat dan bereaksi silang
dengan antibodi tersebut, akan memicu IgE yang telah berikatan dengan
sel mast. Selanjutnya sel mast melepaskan berbagai mediator (histamin,
prostaglandin, dan leukotrien) yang menyebabkan vasodilatasi, sekresi
mukus, kontraksi otot polos, dan influks sel inflamasi lain sebagai bagian
dari hipersensitivitas cepat. Sel mast yang teraktivasi juga mengeluarkan
berbagai sitokin lain yang dapat menginduksi reaksi tipe lambat
4. Klasifikasi dan patofisiologi
Secara umum terdapat 4 tipe reaksi imunologik yang dikemukakan
olehCoomb dan Gell. Satu reaksi alergik dapat mengikuti salah satu dari
ke-4 jalur ini.1.
a. Tipe I (reaksi cepat)
Reaksi ini penting dan sering dijumpai. Pajanan pertama kali
terhadapobat tidak menimbulkan reaksi yang merugikan, tetapi
pajananselanjutnya dapat menimbulkan reaksi. Antibody yang
terbentuk adalahantibody IgE yang mempunyai afinitas yang tinggi
4
terhadap mastosit danbasofil.Pada pemberian obat yang sama, antigen
dapat menimbulkan peerubahanberupa degranulasi sel mast dan basofil
dengan dilepaskannya bermacam - macam mediator, antara lain
histamin, serotonin, bradikinin, heparindan SRSA.
Mediator mediator ini mengakibatkan bermacam macam efek
antaralain urtikaria, dan yang lebih berat adalah angioedema. Yang
palingberbahaya ialah terjadi syok anafilaktik. Penisilin merupakan
penyebabutama erupsi obat hipersensitivitas tipe cepat yang IgE-
dependant.
Gambar 1. Reaksi hipersentivitas tipe 1
b. Tipe II (reaksi sitostatik)
Reaksi tipe ini disebabkan oleh obat (antigen) yang
memerlukanpenggabungan antara IgG dan IgM di permukaan sel. Hal
ini akanmenyebabkan efek sitolitik oleh sel efektor yang diperantarai
komplemen.Gabungan obat antibody komplemen terfiksasi pada sel
sasaran. Sebagaisel sasaran ialah berbagai macam sel biasanya
5
eritrosit, leukosit, trombosityang mengakibatkan lisis sel, sehingga tipe
II tersebut disebut sebagaireaksi sitotoksik atau sitolisis. Contohnya
penisilin, streptomysin,sulfonamide, dan isoniazid.EOA yang
berhubungan dengan tipe ini ialah purpura, bila sel
sasarannyatrombosit. Obat lain menyebabkan alergik tipe ini ialah
penisilin,sefalosporin, klorpromazine, sulfonamide, analgesic dan
antipiretik.
Gambar 2. Reaksi hipersensitivitas tipe 2
c. Tipe III (reaksi kompleks imun)
Reaksi ini ditandai dengan pembentukan kompleks antigen, antibody
(IgGdan IgM) dalam sirkulasi darah atau jaringan dan
mengaktifkankomplemen. Komplemen yang diaktifkan kemudian
melepaskan berbagai mediator diantaranya enzim - enzim yang dapat
merusak jaringan.Kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi dan
kemudian didepositpada sel sasaran. Contohnya adalah penisilin,
eritromysin, sulfonamide,salisilat dan isoniazid.
6
Gambar 3. Reaksi Hipersensitivitas tipe III
d. Tipe IV (reaksi alergik selular tipe lambat)
Reaksi ini melibatkan limfosit, APC (Antigen Presenting Cell) dan
selLangerhans yang mempresentasi antigen kepada limfosit T.
Limfosit Tyang tersensitisasi mengadakan reaksi dengan antigen.
Reaksi ini disebutreaksi tipe lambat yaitu terjadi 12-48 jam setelah
pajanan terhadap antigenmenyebabkan pelepasan serangkaian
limfokin. Contoh reaksi tipe iniadalah dermatitis kontak alergi.
7
Gambar 4. Reaksi Hipersensitivitas tipe IV
5. Tanda dan Gejala
Tanda-tanda reaksi alergi diantaranya:
a. Sistem Pernapasan
pada bayi: napas sering berbunyi grok-grok, batuk, pilek, bersin,
mimisan, hidung buntu, sesak (asma), sering
menggerak-gerakkan/mengusap-usap hidung.
b. Sistem Pembuluh Darah dan jantung
1) palpitasi (berdebar-debar)
2) flushing (muka kemerahan)
3) nyeri dada
4) kolaps (jatuh)
5) pingsan
6) serta tekanan darah rendah.
c. Sistem Pencernaan
1) Pada bayi: sering rewel, kolik/menangis terus-menerus tanpa sebab
pada malam hari, sering cegukan, sering "buang bair besar (BAB)
mengejan", kembung, sering gumoh, BAB berwarna hitam atau
hijau, BAB timbul warna darah.
8
2) Pada anak: nyeri perut, sering BAB lebih dari 3 kali sehari,
gangguan BAB (kotoran keras, BAB tidak setiap hari, BAB di
celana, BAB berwarna hitam atau hijau, BAB mengejan) kembung,
muntah, sulit BAB, sering buang angin (flatus), sariawan, mulut
berbau.
d. Kulit
Pada bayi sering timbul penebalan merah di pipi, daerah popok dan
telinga, timbul kerak di kulit kepala, sering gatal, dermatitis, bengkak
di bibir, lebam biru kehitaman, bekas hitam seperti digigit nyamuk,
berkeringat berlebihan.
e. Sistem Saluran Kemih
1) Sering kencing
2) nyeri kencing
f. Sistem Susunan Saraf Pusat
1) Bayi: sensitif, sering kaget dengan rangsangan suara/cahaya,
gemetar.
2) Anak: Sering sakit kepala, migrain, gangguan tidur, keterlambatan
bicara dan gangguan perilaku. Gangguan perilaku yang sering
terjadi adalah emosi berlebihan, agresif, overaktif, gangguan
Reseptor histamin H2 berperan dalam efek histamin terhadap sekresi
cairan lambung, perangsangan jantung. Beberapa jaringan otot polos
pembuluh darah mempunyai kedua reseptor yaitu H1 dan H2.
Sejak tahun 1978 di Amerika Serikat telah diteliti peran potensial
H2cemitidine untuk penyakit kulit. Pada tahun 1983, ranitidine
ditemukan pula sebagai antihistamin H2. Baik simetidine dan ratidine
diberikan dalam bentuk oral untuk mengobati penyakit kulit
1) Struktur
Antihistamin H2 secara struktur hampir mirip dengan histamin.
Simetidin mengandung komponen imidazole, dan ranitidin
mengandung komponen aminomethylfuran moiety.
2) Farmakodinamik
Simetidine dan ranitidine menghambat reseptor H2 secara selektif
dan reversibel. Perangsangan reseptor H2 akan merangsang sekresi
cairan lambung, sehingga pada pemberian simetidin atau ranitidin
sekresi cairan lambung dihambat.
3) Farmakokinetik
Bioavaibilitas oral simetidin sekitar 70%, sama dengan setelah
pemberian IV atau IM. Absorpsi simetidin diperlambat oleh
makanan. Absorpsi terjadi pada menit ke 60-90. Masa paruh
eliminasi sekitar 2jam. Bioavaibilitas ranitidin yang diberikan
secara oral sekitar 50% dan meningkat pada pasien penyakit hati.
Pada pasien penyakit hati masa paruh ranitidin juga memanjang
meskipun tidak sebesar pada gagal ginjal. Kadar puncak plasma
dicapai dalam 1-3 jam setelah pengguanaan 150 mg ranitidin
secara oral, dan yang terikat protein plasma hanya 15%.Sekitar
17
70% dari ranitidin yang diberikan IV dan 30% dari yang diberikan
secara oral diekskresi dalam urin.
4) Mekanisme aksi
Walaupun simetidin dan ranitidin berfungsi sama yaitu
menghambat reseptor H2, namun ranitidin lebih poten. Simetidin
juga menghambat histamin N-methyl transferase, suatu enzim
yang berperan dalam degrasi histamin. Tidak seperti ranitidin,
simetidin menunjukkan aktivitas antiandrogen, suatu efek yang
diketahui tidak berhubungan dengan kemampuan menghambat
raseptor H2. Simetidin tampak meningkatkan sistem imun dengan
menghambat aktivitas sel T supresor. Hal ini disebabkan oleh
blokade resptor H2 yang dapat dilihat dari supresor limfosit T.
Imunitas humoral dan sel dapat dipengaruhi.
5) Indikasi
Simetidin dan ranitidin diindikasikan untuk tukak peptik.
Antihistamin H2 sama efektif dengan pengobatan itensif dengan
antasid untuk penyembuhan awal tukak lambung dan duodenum.
Antihistamin H2 juga bermanfaat untuk hipersekresi asam
lambung pada sindrom Zollinger-Ellison.
Penggunaan antihistamin H2 dalam bidang dermatologi seringkali
digunakan ranitidin atau simetidin untuk pengobatan gejala dari
mastocytosis sistematik, seperti urtikaria dan pruritus. Pada
beberapa pasien pengobatan digunakan dosis tinggi.
6) Kontraindikasi
a) Kehamilan
b) Ibu menyusui
7) Efek samping
Insiden efek samping kedua obat ini rendah dan umumnya
berhubungan dengan pemhambatan terhadap reseptor H2, beberapa
efek samping lain tidak berhubungan dengan penghambatan
reseptor. Efek samping ini antara lain :
a) Nyeri kepala
18
b) Pusing
c) Malaise
d) Mialgia
e) Mual
f) Diare
g) Konstipasi
h) Ruam kulit
i) Pruritus
j) Kehilangan libido
k) Impoten
19
BAB III
KESIMPULAN
1. Hipersensitivitas atau alergi menunjukkan suatu kondisi respon imunitas yang
menimbulkan reaksi yang berlebihan, tidak diinginkan (menimbulkan
ketidaknyamanan dan kadang-kadang berakibat fatal) dari sistem kekebalan
tubuh sehingga bermanifestasi pada radang atau kerusakan jaringan.
2. Secara umum terdapat 4 tipe reaksi imunologik yang dikemukakan oleh
Coomb dan Gell yaitu reaksi hipersensitivitas Tipe I (reaksi cepat), Tipe II
(reaksi sitostatik), Tipe III (reaksi kompleks imun) dan Tipe IV (reaksi alergik
selular tipe lambat).
3. Antihistamin adalah zat-zat yang dapat mengurangi atau menghalagi efek
terhadap tubuh dengan jalan mengeblok reseptor histaminn, yang digolongkan
menjadi Antihistamin Penghambat Reseptor H1 (AH1) dan Anthistamin
Penghambat Reseptor H2 (AH2).
4. Pengguanaan antihistamin H1 dan H2 dalam bidang dermatologi seringkali
digunakan untuk pengobatan gejala dari mastocytosis sistematik, seperti
urtikaria dan pruritus.
20
DAFTAR PUSTAKA
Abhi. 2009. Hipersensitif . Availble from URL : http://abhique.blogspot.com/2009/09.
Agatha Dinar. 2009. Reaksi hipersensitivitas sebagai dasar mekanisme alergi terkait dengan faktor nutrisi. Available from URL : http://sampahtutorial.blogspot.com/2009/07/imunologi urtikariahipersensitivitas.html.
Bratawidjaya, KG. 2006. Imunologi Dasar. Edisi 7. Jakarta: FKUI.
Brooks GF, Butel JS, Morse SA. 2005. Mikrobiologi kedokteran. Ed 1. Jakarta : SalembaMedika.
Christanto, Anton. 2011. Manifestasi Alergi Makanan Pada Telinga, Hidung, Dan Tenggorok. Vol. 38 No. 6 Continuing Medical Education: IDI.
Criado PR, Criado RFJ, Maruta CW, Machado Filho CA. Histamine, Histamine receptors and antihistamines: new concepts. Annals Brazilian of Dermatology, 2010;85(2):195-210.
Djunda, Adhi. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke 5. Jakarta: FKUI.
Greaves, MW. Antihistamines in Dermatology. Journal of Skin Pharmacology and Physiology, 2005:18 (5);220-229.
Metrogaya. 2009. Tips mengatasi alergi obat. Available from URL : http://www.metrogaya.com/kesehatan/home/tips-mengatasi-alergi-obat.
Neal, MJ. 2006. At a Glance Farmakologi Medis. Edisi 5. Jakarta: EMS.
Rizwan Ridhani. 2010. Available from URL : http://www.keperawatan.net.
Sudewi, Ni Putu. 2009. Berbagai Teknik Pemeriksaan untuk Menegakkan Diagnosis Penyakit Alergi. Vol. 11, No. 3. Sari Pediatri.