A.AppendisitisApendiks merupakan organ berbentuk tabung,
panjangnya kira-kira 10 cm (kisaran 3-15 cm), dan berpangkal di
sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian
distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk kerucut,
lebar pada pangkalnya dan menyempit ke arah ujungnya. Keadaan ini
mungkin menjadi sebab rendahnya insiden apendisitis pada usia itu.
Pada 65% kasus, apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu
memungkinkan apendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada
panjangnya mesoapendiks penggantungnya. Pangkal appendix dapat
ditentukan dengan cara pengukuran garis Monroe-Pichter. Garis
diukur dari SIAS dextra ke umbilicus, lalu garis dibagi 3. Pangkal
appendix terletak 1/3 lateral dari garis tersebut dan dinamakan
titik Mc Burney. Ujung appendix juga dapat ditentukan dengan
pengukuran garis Lanz. Garis diukur dari SIAS dextra ke SIAS
sinistra, lalu garis dibagi 6. Ujung appendix terletak pada 1/6
lateral dexter garis tersebut. Pada kasus selebihnya, apendiks
terletak retroperitoneal, yaitu di belakang sekum, di belakang
kolon asendens, atau di tepi lateral kolon asendens. Gejala klinis
apendisitis ditentukan oleh letak apendiks. Persyarafan
parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti
a.mesenterika superior dan a. apendikularis, sedangkan persarafan
simpatis berasal dari n. torakalis X. Oleh karena itu, nyeri
visceral pada apendisitis bermula di sekitar umbilicus. Perdarahan
apendiks berasal dari a.apendikularis yang merupakan arteri tanpa
kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena trombosis
pada infeksi, apendiks akan mengalami gangren. B. FISIOLOGIApendiks
menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya menalir ke sekum.
Hambatan aliran lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada
patogenesis apendisitis. Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan
oleh GALT (gut associated lymphoid tissue) yang terdapat di
sepanjang saluran cerna termasuk apendiks adalah IgA.
Immunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap
infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi
system imun tubuh karena jumlah jaringan limfa di sini kecil sekali
jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh
tubuh.
C. ETIOLOGIApendisitis akut merupakan infeksi bacteria. Berbagai
hal berperan sebagai factor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks
merupakan factor yang diajukan sebagai factor pencetus disamping
hyperplasia jaringan limfe, fekalit (tinja yang mengeras), tumor
apendiks, dan cacing askaris dapat pula menyebabkan sumbatan.
Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis ialah erosi
mukosa apendiks karena parasit seperti E.hystolitica. Flora bakteri
pada apendiks sama dengan di kolon, dengan ditemukannya beragam
bakteri aerobik dan anaerobik sehingga bakteri yang terlibat dalam
apendisitis sama dengan penyakit kolon lainnya Penemuan kultur dari
cairan peritoneal biasanya negatif pada tahap apendisitis
sederhana. Pada tahap apendisitis supurativa, bakteri aerobik
terutama Escherichia coli banyak ditemukan, ketika gejala memberat
banyak organisme, termasuk Proteus, Klebsiella, Streptococcus dan
Pseudomonas dapat ditemukan. Bakteri aerobik yang paling banyak
dijumpai adalah E. coli. Sebagian besar penderita apendisitis
gangrenosa atau apendisitis perforasi banyak ditemukan bakteri
anaerobik terutama Bacteroides fragilis .Penelitian epidemiologi
menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh
konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan
menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan
fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon
biasa. Semuanya ini akan mempermudah timbulnya apendisitis akut. D.
PATOLOGIPatologi apendisitis dapat mulai di mukosa dan kemudian
melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-48 jam
pertama. Usaha pertahanan tubuh adalah membatasi proses radang
dengan menutup apendiks dengan omentum, usus halus atau adneksa
sehingga terbentuk massa periapendikuler yang secara salah dikenal
dengan istilah infiltrat apendiks. Di dalamnya dapat terjadi
nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika
tidak terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan massa
periapendikuler akan menjadi tenang dan selanjutnya akan mengurai
diri secara lambat. Setelah terjadi obstruksi lumen appendix maka
tekanan di dalam lumen akan meningkat karena sel mukosa
mengeluarkan lendir. Peningkatan tekanan ini akan menekan pembuluh
darah sehingga perfusinya menurun akhirnya mengakibatkan iskemia
dan nekrosis. Invasi bakteri dan infeksi dinding appendix segera
terjadi setelah dinding tersebut mengalami ulserasi.
Infiltrat-infiltrat peradangan tampak di semua lapisan dan exudat
fibrin tertimbun di dalam lapisan serosa. Meskipun perforasi belum
terjadi, organisme-organisme biasanya dapt dibiakan dari mukosa
appendix. Nekrosis dinding appendix mengakibatkan perforasi dan
pencemaran abdomen oleh tinja. Apendiks yang pernah meradang tidak
akan sembuh sempurna, tetapi akan membentuk jaringan parut yang
menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan
ini dapat menimbulkan keluhan berulang di perut kanan bawah. Pada
suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan
sebagai mengalami eksaserbasi akut. E. GAMBARAN KLINISApendisitis
akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang
mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai
maupun tidak disertai rangsang peritoneum local. Gejala klasik
apendisitis ialah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri
visceral di daerah epigastrium di sekitar umbilicus. Keluhan ini
sering disertai mual dan muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam
beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke titik
Mc-Burney. Di sini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas
letaknya sehingga merupakan nyeri somatic setempat. Kadang tidak
ada nyeri epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga
penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan itu dianggap
berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi. Bila
terdapat perangsngan peritoneum, biasanya pasien mengeluh sakit
perut bila berjalan atau batuk. Bila letak apendiks retrosekal
retroperitoneal, karena letaknya terlindung oleh sekum, tanda nyeri
perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada tanda rangsangan
peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi kanan atau nyeri
timbul saat berjalan karena kontraksi m.psoas mayor yang menegang
dari dorsal. Apendiks yang terletak di rongga pelvis, bila
meradang, dapat menimbulkan gejala dan tanda rangsangan sigmoid
atau rectum sehingga peristalsis meningkat, pengososngan rectum
akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang. Jika apendiks tadi
menempel ke kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi
kencing karena rangsangan dindingnya. Gejala apendisitis akut pada
anak tidak spesifik. Gejala awalnya sering hanya rewel dan tidak
mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa nyerinya. Dalam
beberapa jam kemudian akan timbul muntah-muntah dan anak menjadi
lemah dan letargik. Karena gejala yang tidak khas tadi, sering
apendisitis diketahui setelah perforasi. Pada bayi, 80-90%
apendisitis baru diketahui setelah terjadi perforasi. Pada beberapa
keadaan, apendisitis agak sulit didiagnosis sehingga tidak
ditangani pada waktunya dan terjadi komplikasi. Misalnya, pada
orang usia lanjut yang gejalanya samar-samar saja sehingga lebih
dari separuh penderita baru dapat didiagnosa setelah perforasi.
Pada kehamilan, keluhan utama apendisitis adalah nyeri perut, mual
dan muntah. Yang perlu diperhatikan adalah pada kehamilan trimester
pertama sering juga terjadi mual dan muntah. Pada kehamilan lanjut,
sekum dan apendiks akan terdorong ke kraniolateral sehingga keluhan
tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi ke regio lumbal kanan.
Pada pemeriksaan fisik, pasien terlihat pucat, adanya nyeri tekan,
nyeri ketok, nyeri lepas, dan tahanan otot (defans muskuler).
Iritasi pada psoas dan obturator menimbulkan nyeri panggul.
Peristaltik di daerah appendix menurun. Pada rectal toucher, ada
nyeri pada arah jam 10-11 merupakan petunjuk adanya perforasi.
Berikut ini adalah hubungan patofisiologi dan manifestasi klinis
apendisitis:Tabel 1. Hubungan patofisiologi dan manifestasi klinia
apendisitisKelainan PatologiKeluhan dan Tanda
Peradangan awalKurang enak pada ulu hati/di daerah pusat,
mungkin kolik
Apendisitis mukosaNyeri tekan kanan bawah (rangsangan
autonomic)
Radang di seluruh ketebalan dindingNyeri sentral pindah ke kanan
bawah, mual dan muntah
Apendisitis komplit radang peritoneum parietale
apendiksRangsangan peritoneum local (somatic), nyeri pada gerak
aktif dan pasif, defans muskuler local
Radang alat/jaringan yang menempel pada apendiksGenitalia
interna, ureter, m.psoas mayor, kandung kemih, rectum
Apendisitis gangrenosaDemam sedang, takikardi, mulai toksik,
leukositosis
PerforasiNyeri dan defans muskuler seluruh perut
Pembungkusan- tidak berhasil- berhasil
- absess.d.a + demam tinggi, dehidrasi, syok, toksikmassa perut
kanan bawah, keadaan umum berangsur membaikdemam remiten, keadaan
umum toksik, keluhan dan tanda setempat
F. DIAGNOSISMeskipun pemeriksaan dilakukan dengan cermat dan
teliti, diagnosis klinis apendisitis akut masih mungkin salah pada
sekitar 15-20% kasus. Kesalahan diagnosis lebih sering pada
perempuan disbanding lelaki. Hal ini dapat disadari mengingat pada
perempuan terutama yang masih muda sering timbul gangguan yang
mirip apendisitis akut. Keluhan itu berasal dari genitalia interna
karena ovulasi, menstruasi, radang di pelvis atau penyakit
ginekologi yang lain. Untuk menurunkan angka kesalahan diagnosis
apendisitis akut, bila diagnosis meragukan, sebaiknya dilakukan
observasi penderita di rumah sakit dengan pengamatan setiap 1-2
jam. Pada anamnesis didapatkan demam biasanya ringan, dengan suhu
sekitar 37,5-38,5C. Bila suhu lebih tinggi, mungkin sudah terjadi
perforasi. Bisa terdapat perbedaan suhu rectal dan aksila sampai
1C. Pada pemeriksaan fisik biasanya ditemukan :a. Inspeksi Pada
apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling,
sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi
perutb. Palpasi Pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan
terasa nyeri. Dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri.
Nyeri tekan perut kanan bawah merupakan kunci diagnosis dari
apendisitis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri
pada perut kanan bawah. Ini disebut tanda Rovsing (Rovsing Sign).
Dan apabila tekanan di perut kiri bawah dilepaskan juga akan terasa
nyeri pada perut kanan bawah.Ini disebut tanda Blumberg (Blumberg
Sign).c. Pemeriksaan colok dubur Pemeriksaan ini dilakukan pada
apendisitis, untuk menentukan letak apendiks, apabila letaknya
sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan ini dan terasa
nyeri, maka kemungkinan apendiks yang meradang terletak didaerah
pelvis. Pemeriksaan ini merupakan kunci diagnosis pada apendisitis
pelvika.d. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator Pemeriksaan ini
juga dilakukan untuk mengetahui letak apendiks yang meradang. Uji
psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat hiperektensi
sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian
paha kanan ditahan. Bila appendiks yang meradang menempel di m.
psoas mayor, maka tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri.
Sedangkan pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan
endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila apendiks yang
meradang kontak dengan m.obturator internus yang merupakan dinding
panggul kecil, maka tindakan ini akan menimbulkan nyeri.
Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis pelvika.Pemeriksaan
penunjang yang biasanya dilakukan adalah :a. Laboratorium Terdiri
dari pemeriksaan darah lengkap dan test protein reaktif (CRP). Pada
pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit
antara10.000-20.000/ml (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%,
sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat.b.
Radiologi Terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi dan CT-scan. Pada
pemeriksaan ultrasonografi ditemukan bagian memanjang pada tempat
yang terjadi inflamasi pada apendiks. Sedangkan pada pemeriksaan
CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan apendikalit serta
perluasan dari apendiks yang mengalami inflamasi serta adanya
pelebaran sekum.G. DIAGNOSIS BANDINGPada keadaan tertentu beberapa
penyakit perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis banding. 1.
GastroenteritisPada gastroenteritis, mual, muntah, dan diare
mendahului rasa sakit. Sakit perut lebih ringan dan tidak berbatas
tegas. Hiperperistaltis sering ditemukan. Panas dan lekositosis
kurang menonjol dibandingkan apendisitis akut. 2. Demam dengueDemam
dengue dapat dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis. Di sini
didapatkan hasil tes positif untuk Rumple Leede, trombositopenia
dan hematokrit yang meningkat.3. Limfadenitis
mesenterikaLimfadenitis mesenterika yang biasa didahului oleh
enteris atau gastroenteritis ditandai dengan nyeri perut, terutama
kanan disertai dengan perasaan mual, nyeri tekan perut samar,
terutama kanan.4. Kelainan ovulasiFolikel ovarium yang pecah
(ovulasi) mungkin memberikan nyeri perut kanan bawah pada
pertengahan siklus menstruasi. Pada anamnesis, nyeri yang sama
pernah timbul lebih dahulu. Tidak ada tanda radang, dan nyeri biasa
hilang dalam waktu 24 jam, tetapi mungkin dapat mengganggu selama
dua hari.5. Infeksi panggulSalpingitis akut kanan sering dikacaukan
dengan apendisitis akut. Suhu biasanya lebih tinggi daripada
apendisitis dan nyeri perut bagian bawah perut lebih difus. Infeksi
panggul pada wanita biasanya disertai keputihan dan infeksi urin.
Pada colok vagina, akan timbul nyeri hebat di panggul jika uterus
diayunkan. Pada gadis dapat dilakukan colok dubur jika perlu untuk
diagnosis banding.6. Kehamilan di luar kandunganHampir selalu ada
riwayat terlambat haid dengan keluhan yang tidak menentu. Jika ada
ruptur tuba atau abortus kehamilan di luar rahim dengan perdarahan,
akan timbul nyeri yang mendadak difus di daerah pelvis dan mungkin
terjadi syok hipovolemik. Pada pemeriksaan vaginal didapatkan nyeri
dan penonjolan cavum Douglas dan pada kuldosintesis didapatkan
darah.7. Kista ovarium terpuntirTimbul nyeri mendadak dengan
intensitas yang tinggi dan teraba massa dalam rongga pelvis pada
pemeriksaan perut, colok vaginal atau colok dubur. Tidak terdapat
demam. Pemeriksaan ultrasonografi dapat menentukan diagnosis.8.
Endometriosis eksternaEndometrium di luar rahim akan memberikan
keluhan nyeri di tempat endometriosis berada dan darah menstruasi
terkumpul di tempat itu karena tidak ada jalan keluar.9.
Urolitiasis pielum/ureter kananBatu ureter atau batu ginjal kanan.
Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal
kanan merupakan gambaran yang khas. Eritrosituria sering ditemukan.
Foto polos perut atau urografi intravena dapat memastikan penyakit
tersebut. Pielonefritis sering disertai dengan demam tinggi,
menggigil, nyeri kostovertebral di sebelah kanan, dan piuria.10.
Penyakit saluran cerna lainnyaPenyakit lain yang perlu dipikirkan
adalah peradangan di perut, seperti divertikulum Meckel, perforasi
tukak duodenum atau lambung, kolesistitis akut, pankreatitis,
divertikulitis kolon, obstruksi usus awal, perforasi kolon, demam
tifoid abdominalis, karsinoid dan mukokel apendiks. H.
KOMPLIKASIBeberapa komplikasi yang dapat terjadi adalah :1. Massa
periapendikulerMassa apendiks terjadi bila appendicitis gangrenosa
atau mikroperforasi ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan/atau
lekuk usus halus. Pada massa periappendikuler yang pendidingannya
belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus ke seluruh rongga
peritoneum jika perforasi diikuti peritonitis purulenta
generalisata. Oleh karena itu, massa peripendikuler yang masih
bebas disarankan untuk segera operasi untuk mencegah penyulit
tersebut. Selain itu operasi masih mudah. Pada anak selamanya
dipersiapkan untuk operasi dalam waktu 2-3 hari saja. Pasien dewasa
dengan massa periapendikuler yang terpancang dengan pendidingan
yang sempurna, dianjurkan untuk dirawat dulu dan diberi antibiotik
sambil diawasi suhu tubuh, ukuran massa serta luasnya peritonitis.
Bila sudah tidak ada lagi demam, massa periapendikuler hilang, dan
leukosit normal, penderita boleh pulang dan appendiktomi elektif
dapat dikerjakan 2-3 bulan kemudian agar perdarahan akibat
perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi perforasi,
akan terbentuk abses appendiks. Hal ini ditandai dengan kenaikan
suhu dan frekuensi nadi, bertambahnya nyeri dan teraba pembengkakan
massa serta bertambahnya angka leukosit. Riwayat klasik
appendicitis akut, yang diikuti dengan adanya massa yang nyeri di
regio iliaka kanan dan disertai demam, mengarahkan diagnosis ke
massa atau abses periapendikuler. Kadang keadaan ini sulit
dibedakan dari karsinoma sekum, penyakit Chron, dan amuboma. Perlu
juga disingkirkan kemungkinan aktinomikosis intestinal, enteritis
tuberkulosa, dan kelainan ginekologik sebelum memastikan diagnosa
massa appendiks. Kunci diagnosis biasanya terletak pada anamnesis
yang khas.2. PerforasiKeterlambatan penanganan merupakan alasan
penting terjadinya perforasi. Perforasi appendiks akan
mengakibatkan peritonitis purulenta yang ditandai dengan demam
tinggi, nyeri semakin hebat meliputi seluruh perut dan perut
menjadi tegang dan kembung. Nyeri tekan dan defans muskuler di
seluruh perut, peristaltic usus menurun sampai menghilang karena
ileus paralitik.3. PeritonitisPeradangan peritoneum merupakan
penyulit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun
kronis. Keadaan ini biasanya terjadi akibat penyebaran infeksi dari
apendisitis. Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada
permukaasn peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis
generalisata. Dengan begitu, aktivitas peristaltic berkurang sampai
timbul ileus paralitik, usus kemudian menjadi atoni dan meregang.
Cairan dan elektrolit hilang ke dalam lumen usus menyebabkan
dehidrasi, gangguan sirkulasi, oliguria dan mungkin syok. Gejalanya
adalah demam, lekositosis, nyeri abdomen, muntah, abdomen tegang,
kaku, nyeri tekan dan bunyi usus menghilang.I. TATA LAKSANABila
diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan
satu-satunya pilihan terbaik adalah apendektomi. Pada apendisitis
tanpa komplikasi biasanya tidak diberikan antibiotik, kecuali pada
apendisitis gangrenosa atau apendisitis perforata. Penundaan tindak
bedah sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses dan
perforasi. Apendektomi bisa dilakukan dengan cara terbuka atau
dengan cara laparoskopi. Bila apendektomi terbuka, insisi mcBurney
paling banyak dipilih oleh ahli bedah. Pada penderita yang
diagnosisnya tidak jelas sebaiknya dilakukan observasi dulu.
Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi bisa dilakukan bila
dalam observasi masih terdapat keraguan. Bila tersedia laparoskop,
tindakan laparoskopi diagnostik pada kasus meragukan dapat segera
menentukan akan dilakukan operasi atau tidak.Apabila apendisitis
baru diketahui setelah terbentuk massa periapendikuler, maka
tindakan yang pertama kali harus dilakukan adalah pemberian terapi
antibiotik kombinasi terhadap penderita. Antibiotik ini merupakan
antibiotik yang aktif terhadap kuman aerob dan anaerob. Setelah
gejala membaik, yaitu sekitar 6-8 minggu, barulah apendektomi dapat
dilakukan. Jika gejala berlanjut yang ditandai dengan terbentuknya
abses, maka dianjurkan melakukan drainase dan sekitar 6-8 minggu
kemudian dilakukan apendektomi. Namun, apabila ternyata tidak ada
keluhan atau gejala apapun dan pemeriksaan klinis serta pemeriksaan
laboratorium tidak menunjukkan adanya radang atau abses setelah
dilakukan terapi antibiotik, maka dapat dipertimbangkan untuk
membatalkan tindakan bedah. Setelah tindakan bedah dilakukan, harus
diberikan antibiotika selama 7 hari untuk mencegah terjadinya
sepsis pasca-operasi.Pada apendektomi yang melibatkan pembukaan
usus bagian bawah, diperlukan pemberian antibiotika profilaksis
pre-operasi untuk mencegah infeksi luka operasi yang merupakan
komplikasi utama dari apendektomi. Kemudiaan, bila saat operasi
ditemukan perforasi maka pemberian antibiotik akan diperpanjang
sebagai terapi. Mengingat eratnya kaitan penggunaan antibiotika
dengan bedah apendiks maka dilakukan penelitian tentang penggunaan
antibiotika.
Apendisitis a. Definisi Apendiks (umbai cacing) merupakan
perluasan sekum yang rata-rata panjangnya adalah 10 cm. Ujung
apendiks dapat terletak di berbagai lokasi, terutama di belakang
sekum. Arteri apendisialis mengalirkan darah ke apendiks dan
merupakan cabang dari arteri ileokolika (Gruendemann, 2006).
Apendisitis akut adalah peradangan pada apendiks vermiformis
(Grace, 2007). Apendisitis adalah peradangan dari apendiks dan
merupakan penyebab 4 abdomen akut yang paling sering (Mansjoer,
2000). Apendisitis merupakan penyakit prototip yang berlanjut
melalui peradangan, obstruksi dan iskemia di dalam jangka waktu
bervariasi (Sabiston, 1995). Peradangan akut apendiks memerlukan
tindak bedah segera untuk mencegah komplikasi yang umumnya
berbahaya. Namun, pengangkatan apendiks tidak menimbulkan defek
fungsi sistem imun yang jelas (Sjamsuhidayat, 2005).b. Etiologi
Apendisitis akut merupakan infeksi bakteria. Berbagai hal berperan
sebagai factor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan
faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus disamping hyperplasia
jaringan limfa, fekarit atau batu tinja, tumor apendiks, dan cacing
askaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang dapat
menimbulkan apendiks karena parasit seperti E.histolytica
(Syamsyuhidayat, 1997). Penyebab apendisitis Menurut
Syamsyuhidayat, 2004: fekalit/massa fekal padat karena konsumsi
diet rendah serat, Tumor apendiks Cacing ascaris, Erosi mukosa
apendiks karena parasit E. Histolytica, dan hiperplasia jaringan
limfe. Menurut Mansjoer, 2000 penyebab apendisitis adalah:
hiperflasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, struktur karena
fibrosis akibat peradangan sebelumnya, dan neoplasma. Sedangkan
pendapat lain yang dilontarkan oleh Markum, 1996, apendisitis dapat
disebabkan: fekolit, parasit, hiperplasia limfoid, stenosis
fibrosis akibat radang sebelumnya dan Tumor karsinoid.c.
Patogenesis Secara fisiologis, apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml
per hari. Lendir itu normalnya dicurahkan kedalam lumen dan
selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara
apendiks tampaknya berperan pada patogenesis apendisitis.
Immunoglobulin secretor yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated
Lymphoid Tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk
apendiks, ialah IgA. Imunnoglobulin ini sangat efektif sebagai
pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks
tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfa
disini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya disaluran
cerna dan diseluruh tubuh (Sjamsuhidayat, 2005).d. Manifestasi
klinis Gejala klinis yang di temukan pada apendisitis adalah:
Manifestasi klinis menurut Mansjoer, 2000 : Keluhan apendiks
biasanya bermula dari nyeri di daerah umbilicus atau periumbilikus
yang berhubungan dengan muntah. Dalam 2-12 jam nyeri akan beralih
ke kuadran kanan bawah, yang akan menetap dan diperberat bila
berjalan atau batuk. Terdapat juga keluhan anoreksia, malaise, dan
demam yang tidak terlalu tinggi. Biasanya juga terdapat konstipasi,
tetapi kadang-kadang terjadi diare, mual, dan muntah. Pada
permulaan timbulnya penyakit belum ada keluhan abdomen yang
menetap. Namun dalam beberapa jam nyeri abdomen bawah akan semakin
progresif, dan dengan pemeriksaan seksama akan dapat ditunjukkan
satu titik dengan nyeri maksimal. Perkusi ringan pada kuadran kanan
bawah dapat membantu menentukan lokasi nyeri. Nyeri lepas dan
spasme biasanya juga muncul. Bila tanda Rovsing, psoas, dan
obturatorpositif, akan semakin meyakinkan diagnosa klinis.
Apendisitis memiliki gejala kombinasi yang khas, yang terdiri dari
Mual, muntah dan nyeri yang hebat di perut kanan bagian bawah.
Nyeri bisa secara mendadak dimulai di perut sebelah atas atau di
sekitar pusar, lalu timbul mual dan muntah. Setelah beberapa jam,
rasa mual hilang dan nyeri berpindah ke perut kanan bagian bawah.
Jika dokter menekan daerah ini, penderita merasakan nyeri tumpul
dan jika penekanan ini dilepaskan, nyeri bisa bertambah tajam.
Demam bisa mencapai 37,8-38,8 Celsius. Pada bayi dan anak-anak,
nyerinya bersifat menyeluruh, di semua bagian perut. Pada orang tua
dan wanita hamil, nyerinya tidak terlalu berat dan di daerah ini
nyeri tumpulnya tidak terlalu terasa. Bila usus buntu pecah, nyeri
dan demam bisa menjadi berat. Infeksi yang bertambah buruk bisa
menyebabkan syok. 2. Bedah Apendisitis a. Klasifikasi pembedahan
Operasi apendisitis masuk dalam klasifikasi urgensi dengan jenis
Darurat yaitu, pembedahan harus dilakukan segera untuk
menyelamatkan jiwa atau mempertahankan fungsi organ, Operasi
apendisitis dalam kategori tujuan Ablatif 6 yaitu pengangkatan
bagian tubuh yang mengalami masalah atau penyakit (Muttaqin, 2009).
b. Diagnosis Apendisitis akut merupakan akibat dari infeksi
bakteri. Berbagai hal berperan sebagai faktor pencetusnya.
Disamping hyperplasia jaringan limfa, sumbatan lumen apendiks
merupakan faktor yang diajukan sebagai pencetusnya, fekalit, tumor
apendiks dan cacing askaris dapat pula menyebabkan sumbatan.
Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah
erosi mukosa apendiks karena parasit seperti Enterobacter
histolytica (Muttaqin, 2009). Apendisitis Merupakan kedaruratan
bedah paling sering di negara-negara barat. Jarang terjadi di usia
di bawah 2 tahun, banyak pada dekade kedua dan ketiga, tetapi dapat
terjadi pada semua usia (Grace, 2007)
Antibiotik profilaksis a. Definisi antibiotik profilaksis
Antibiotik berasal dari kata anti : lawan, bios: hidup yang berarti
zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi atau bakteri yang
berkhasiat mematikan atau membunuh kuman dan toksisitas bagi
manusia relativ kecil (Tjay, 2007). Antibiotik profilaksis adalah
antibiotika yang diberikan pada penderita yang belum terkena
infeksi, tetapi diduga mempunyai peluang besar untuk mendapatkannya
atau bila terkena infeksi dapat menimbulkan dampak buruk pada
penderita (Departemen/SMF Ilmu Bedah, 2009). Antibiotik merupakan
obat yang sangat penting dan dipakai untuk memberantas berbagai
penyakit infeksi. Pemakaian antibiotik ini harus dibawah pengawasan
dokter, karena obat ini dapat menimbulkan efek yang tidak
dikehendaki dan dapat mendatangkan kerugian yang cukup besar bila
pemakaiannya tidak dikontrol dengan baik (Widjajanti, 2002). b.
Penggunaan antibiotik secara rasional Penggunaan obat yang rasional
merupakan pemilihan dan penggunaan obat yang efektivitasnya
terjamin serta aman, dengan mempertimbangkan masalah harga, yaitu
yang paling menguntungkan dan sedapat mungkin terjangkau untuk
menjamin efektivitas dan keamanan, pemberian obat harus dilakukan
secara 7 rasional, yang berarti perlu dilakukan diagnosis yang
akurat, memilih obat yang tepat, serta meresepkan obat tersebut
dengan dosis, cara, interval serta lama pemakaian yang tepat
(Sastramiharja dan Herry, 1997).Penggunaan antibiotik secara
rasional mencakup (4T1W), yaitu: 1) Tepat indikasi : Pemilihan obat
didasarkan pada indikasi adanya suatu gejala, indikasi pemakaian
obat secara khusus adalah indikasi medisnya sesuai dengan obat
(farmakoterapi) yang diperlukan dan diketahui manfaat terapetiknya.
2) Tepat pasien : Mencakup pertimbangan apakah ada kontraindikasi
atau kondisi-kondisi khusus yang memerlukan penyesuaian dosis
secara individual. Pemilihan obat disesuaikan dengan kondisi
patologis dan fisiologis pasien. 3) Tepat obat : Obat yang dipilih
harus efektif, aman, dan rasional4) Tepat dosis : Harus tepat rute
pemberian, waktu, dan lama pemberian obat 5) Waspada terhadap efek
samping obat (Wirjoatmodjo, 1995). c. Mekanisme resistensi terhadap
antibiotik Beberapa mekanisme resistensi mikroorganisme terhadap
obat-obat antibiotik. Mekanisme tersebut antara lain : 1)
Mikroorganisme menghasilkan enzim dan merusak obat yang aktif
minsalnya laktamase termasuk proses adenilasi, fosforilasi, atau
enzim asetilasi yang dapat merusak obat antibiotik. 2)
Mikroorganisme merubah permeabilitasnya terhadap obat. Perubahan
membran bagian luar yang menghalangi transpor aktiv obat kedalam
sel mikroorganisme 3) Mikroorganisme mengubah struktur target obat.
Perubahan terjadi pada reseptor tempat aksi obat sehingga obat
tidak berpengaruh terhadap mikroorganisme. 4) Mikroorganisme
mengembangkan jalur metabolisme baru yang menghindari jalur yang
biasa dihambat oleh obat 5) Mikroorganisme mengembangkan enzim baru
yang masih dapat melakukan fungsi metaboliknya tapi sedikit
dipengaruhi oleh obat (Brooks, 2001).d. Mekanisme aksi antibiotik
Berdasarkan mekanisme aksinya, antibiotik terbagi menjadi : 1)
Antibiotik yang menghambat sintesis dinding sel atau menginaktivasi
enzim yang merusak dinding sel (Penicilin, Sefalosporin,
Basitrasin, Vankomisin) 2) Antibiotik yang bekerja langsung pada
membran sel mikroba (Polimiksin, Nistamin, Amfoterisin, dan
Kolistemetat) 3) Antibiotik yang mempengaruhi fungsi ribosom
bakteri sehingga terjadi penghambatan sintesis protein yang
reversibel (Eritromisin, Kloramfenikol, Klindamisin, Tetrasiklin)
4) Antibiotik yang mempengaruhi metabolisme asam deoksiribonukleat
(Aktinomisin D, Rifampisin, Novobiosin, Deoksiribonukleat,
Nitramisin, Bleomisin) (Sastramihardja, 1997). e. Tujuan penggunaan
antibiotik profilaksis bedah Penggunaan antibiotik profilaksis
bedah dengan tujuan : Mencegah terjadinya infeksi luka operasi 1)
Mencegah terjadinya morbiditas dan mortalitas paska bedah 2)
Mengurangi lama perawatan dan menurunkan biaya perawatan 3) Tidak
menimbulkan efek ikutan Untuk mencapai tujuan tersebut, maka
diperlukan antibiotik profilaksis yang bersifat : 1) Aktif terhadap
kuman patogen yang terbanyak mengkontaminasi luka 2) Diberikan
dengan dosis yang adekuat dan waktu yang tepat sehingga pada saat
insisi telah mencapai kadar cukup tinggi di jaringan yang
bersangkutan 3) Aman 4) Penggunaan dalam waktu yang singkat untuk
mengurangi efek ikutan, mencegah timbulnya resistensi dan menekan
biaya yang tidak perlu (Departemen/SMF Ilmu Bedah, 2009). f.
Seleksi dan administrasi antibiotik Antibiotik profilaksis yang
tepat harus memenuhi : 1) Efektif terhadap mikroorganisme
diantisipasi untuk menyebabkan infeksi 2) Mencapai tingkat yang
memadai jaringan lokal 3) Menimbulkan efek samping yang minimal 4)
Relatif murah 9 Konteks mikroba dari luka dan lingkungan rumah
sakit dapat mempengaruhi pilihan antibiotik, namun cakupan terutama
harus menargetkan organisme diketahui menyebabkan infeksi paska
operasi. Dalam kasus bedah apendisitis, disebutkan Sefotetan
(Sefotan) atau Sefoxitin (Mefoxin) adalah salah satu agen yang
cocok, Waktu administrasi sangat penting. Obat ini harus diberikan
idealnya dalam waktu 30 menit dan tentu saja dalam waktu dua jam
dari waktu sayatan, Dosis pertama harus selalu diberikan sebelum
sayatan kulit dilakukan. Untuk prosedur lebih lama,
readministration obat diindikasikan dengan interval satu atau dua
kali waktu paruh obat (menggunakan dosis yang sama) ( Ronald et al,
1998). Prinsip penggunaan antibiotik profilaksis bedah antara lain
: a. Penggunaan antibiotik untuk profilaksis selalu harus dibedakan
dari penggunaan untuk terapi b. Pemberian profilaksis antibiotik
hanya diindikasikan untuk tindakan bedah tertentu yang sering
disertai infeksi paska bedah, atau yang membawa akibat berat bila
terjadi infeksi paska bedah c. Antibiotik yang dipakai harus sesuai
dengan jenis kuman yang potensial menimbulkan infeksi paska bedah
d. Cara pemberian biasanya IV atau IM e. Pemberian dilakukan pada
saat induksi anestesi, tidak dibenarkan pemberian yang lebih dini
dan biasanya hanya diberikan 1-2 dosis. Pemberian profilaksis lebih
dari 24 jam tidak dibenarkan. Antibiotik profilaksis bedah hanya
digunakan untuk kasus dengan rasio infeksi paska bedah yang tinggi
yaitu yang tergolong bersih terkontaminasi dan terkontaminasi,
bedah apendisitis masuk dalam kategori besih terkontaminasi,
sehingga dibutuhkan antibiotik profilaksis (Departemen/SMF Ilmu
Bedah, 2009).
Antibiotik profilaksisPemberian antibiotik profilkasis harus
disertai dengan pertimbangan yang benar.dalam hal ini yang perlu
diperhatikan adalah indikasi.Saat pemberian dan lamanya pemberian
serta pilihan antibiotiknya.Oleh karena bertujuan untuk mencegah
infeksi pascabedah maka antiiotik profilaksis hanya diberikan dalam
jangka waktu pendek,yaitu untuk melindungi penderita selama
dilakukan tindakan bedah dan masa segera setelah pebedahan,yaitu
pada masa daya pertahanan masih tertekan.Berbagai antibiotik
membutuhkan waktu yang berbeda-beda untuk mencapai kadar dalam
darah yang dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan kuman. Kadar ini
biasanya 3-4 kali kadar hambat minimal.oleh karena itu,antibiotik
profilaksis biasanya diberikan parenteral.untuk mencapai kadar
antibiotik di jaringan yang cukup tinggi pada waktu dilakukan
pembedahan,antibiotik profilkasis harus diberika 1-2 jam
prabedah,dilanjutkan dengan 1-2 kali pemberian pascabedah.Pemberian
antibiotik yang dilanjutkan lebih lama pascabedah ternyata tidak
menurunkan lagi risiko infeksi pascabedah,kecuali pada pembedahan
tertentu.Bahkan cenderung menimbulkan resistensi kuman yang akan
menjadi masalah bila timbul infeksi nosokomial.Antibiotik
profilkasis terbukti dapat menurunkn kejadian infeksi pascabedah
pada pembedahan tercemar dan kotor,tetapi tidak berpengaruh pada
pembedahan bersih.Bedah appendiksPada appendisitis tanpa
perforasi,kejadian infeksi pascabedah jarang sekali terjadi,sedang
pada appendisitis perforata,ineksi sering terjadi sehingga
pemeberian antibiotik propilkasis secara parenteral dari golongan
penisilin,sefalosporin atau tetrasiklin atau metronidazol intravena
atau rektal sangat diperlukan.Bila ternyata tidak ada appendisitis
perforata,pemberian antibiotik yang mulai prabedah tidak
diteruskan,tetapi bila ditemukan appendisitis ganggrenosa
antibiotik diteruskan 1-2 hari. Bila terdapat peritonitis,pemberian
antibiotik harus diberikanlebih lama karena dalam hal ini sifatnya
sebagai terapi. (De Jong,Wim. Sjamsuhidajat.r.Buku Ajar Ilmu Bedah
edisi kedua hal 235-236 .EGC.2004)Pemberian antibiotik profilaksis
dengan waktu pemberian pre operasi (2 jam sebelum operasi) dapat
mencegah terjadinya infeksi luka operasi, namun sebaiknya
diberikan