BAB IPENDAHULUAN
Antifosfolipid Sindrom (APS) adalah suatu kelainan trombofilia
yang didapat.1 Selain terjadinya peningkatan resiko kejadian
trombosis, pada wanita APS juga dapat menimbulkan penigkatan resiko
komplikasi dalam kehamilan serta resiko abortus rekuren.
Komplikasi-komplikasi dalam kehamilan yang diduga berhubungan
dengan APS antara lain, pre-eklamsia, eklamsia, persalinan pre-term
serta pertumbuhan janin terhambat. 2APS dapat diketahui dengan
adanya suatu antibodi antifosfolipid pada plasma darah orang yang
menderita. Diperkirakan sebanyak 1%-5 % orang usia muda memiliki
antibodi antifosfolipid baik berupa Lupus anticoagulant ataupun
Anticardiolipin antibodi. Prevalensi APS pada perempuan lebih
tinggi dibandingkan dengan pria dimana terdapat perbandingan 5:1.
Usia rata-rata timbulnya manifestasi dari APS adalah usia 31 tahun.
2
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
2.1 DefinisiSindroma antifosfolipid (APS) pertama kali
dijelaskan pada tahun 1986 oleh Hughes, Harris dan Gharavi.
Sindroma antifosfolipid merupakan kelainan trombofilia yang
didapat. Pada sindroma ini ditemukan autoantibodi yang dihasilkan
untuk varietas fosfolipid dan protein yang terikat fosfolipid.1
Sindroma antifosfolipid dapat disebabkan oleh lupus anticoagulant
(LA), anticardiolipin antibodies (ACA), dan antibodi antifosfolipid
lainnya.2Sindroma antifosfolipid merupakan kelainan protrombotik
yang mempengaruhi aliran vena maupun arterial. Sindroma ini dapat
menyebabkan trombosis pada vena dan arteri, daerah yang paling
sering terkena adalah vena dalam daerah tungkai maupun sirkulasi
arterial otak.3 Namun, pada pembuluh darah organ dan jaringan
lainnya juga dapat terpengaruhi. Sindroma antifosfolipid dapat
sangat mematikan bila menyebabkan sumbatan pada pembuluh-pembulah
darah kecil yang memicu terjadinya kegagalan multiorgan, keadaan
ini dinamakan juga sindroma antifosfolipid katastropik. Pada
situasi dimana pemeriksaan histopatologi dilakukan, trombosis harus
tampak tanpa adanya tanda-tanda peradangan pada dinding pembuluh
darah.32.2 PrevalensiPada orang usia muda, dengan kontrol subjek
yang tampak sehat, prevalensi untuk ACA dan LA sekitar 1%-5%.
Prevalensi meningkat seiring pertambahan usia, terutama pada orang
usia tua dengan penyakit kronik. Resiko thrombosis pada pasien
dengan APS diperkirakan berada pada rentang 0.5%-30%. Berdasarkan
pada analisis pada 1000 pasien yang dilaporkan oleh multicenter
Euri-Phospolipid Project, APS lebih sering terjadi pada wanita dari
pada pria dengan rasio 5:1. Pada wanita manifestasi klinis yang
paling sering tampak adalah arthritis, Livedo reticularis, dan
migrane, sedangkan pada pria adalah infark miokardial, epilepsi dan
deep vein thrombosis. Umumnya usia rata-rata onset dari manifestasi
klinis terjadi pada usia 31 tahun, kelainan juga dapat tampak pada
anak-anak dan pasien usia tua juga. Trombosis terkait ACA lebih
sering terjadi dibandingkan dengan trombosis terkait LA, dengan
rasio 5:1. 22.3 Kriteria Klasifikasi Sindroma Antifosfolipid
(APS)Seseorang dikatakan APS bila setidaknya bila memiliki satu
kriteria klinis dan satu kriteria laboratorium dari
kriteria-kriteria dibawah ini2:A. Kriteria Klinis:1. Trombosis
VaskularSatu atau lebih episode klinis kejadian trombosis vena,
arterial, ataupun pembuluh darah kecil pada jaringan ataupun organ.
Trombosis harus dikonfirmasi dengan kriteria objektif yang
tervalidasi (contohnya, studi pencitraan maupun histopatologi)
Secara histopatologi trombosis harus tampak tanpa bukti signifikan
adanya peradangan pada dinding pembuluh darah.2. Gangguan
kehamilana. Satu atau lebih kematian yang tidak dapat dijelaskan
dari fetus dengan morfologi normal pada atau setelah minggu
kesepuluh kehamilan. Morfologi normal fetus dapat didokumentasikan
pada pemeriksaan USG ataupun pengamatan langsung pada fetus.b. Satu
atau lebih kelahiran premature dimana neonatus secara morfologi
normal sebelum usia kehamilan 34 minggu akibat (i)eklamsi ataupun
preeklamsi beratberdasarkan definisi standar ataupin (ii)
insfisiensi plasentac. Tiga atau lebih dari abortus spontan
berurutan yang tidak dapat dijelaskan sebelum usia kehamilan 10
minggu. Dengan kelainan anatomik serta hormonal ibu dan kelainan
kromosom ayah dan ibu telah disingkirkan.B. Kriteria
laboratorium:1. Lupus anticoagulant (LA) terdeteksi dalam
plasma.*2. Anti Cardiolipin (aCL) dari isotype IgG dan atau IgM
dalam serum ataupun plasma terdeteksi3. Anti-2-GP I isotype IgG dan
atau IgM dalam serum atau plasma terdeteksi.*pada dua atau lebih
pemeriksaan setidaknya dengan jarak 12 minggu
Gambar 2.1 Thrombosis intra-arterial. Tanda panah menunjukan
luman arterial yang penuh terisi darah.4 Secara klinis, sindroma
antifosfolipid terdiri dari 2 jenis4 :1. Sindroma antifosfolipid
primerAdanya antibodi antifosfolipid pada penderita dengan
trombosis idiopatik tanpa adanya penyakit autoimun atau faktor lain
seperti infeksi, keganasan, antibodi antifosfolipid yang diinduksi
oleh obat-obatan.2. Sindroma antifosfolipid sekunderAdanya antibodi
antifosfolipid dan trombosis pada penderita dengan keadaan penyerta
berupa:a. Penyakit autoimunSLE adalah penyakit autoimun yang
umumnya berhubungan dengan APS sekunder. Sekitar 40% dari pasien
SLE akan berkembang menjadi APS sekunder. Penyakit autoimun lainnya
yang dapat menyebabkan APS sekunder antaralain rheumatoid
athrithis, Sjorgens syndrom. Scleroderma, vasculitis, Chrons
disease.Prevalensi dari aCL diantara pasien dengan SLE adalah
16%-51%, dan LAC dapat ditemukan pada 11%-30% diantara mereka.
Sekitar 40% dari pasien SLE akan berkembang menjadi APS, oleh
karena itu pasien SLE disertai aPL memiliki faktor resiko
terjadinya APS, thrombosis dan aborsi4.
Gambar 2.2 Terdapat tumpang tindih antara Lupus dan APS dimana
sekitar 40% pasien akan memiliki APS sekunder. Sebagian kecil dari
APS primer akan memiliki lupus.4
b. KeganasanBeberapa manifestasi klinis dari APS dapat menyertai
beberapa keganasan. Beberapa keganasan berhubungan dengan
kecenderungan pro-trombotic. Hal ini mungkin dapat dijelasakan oleh
adanya aPL. Keganasan yang paling sering dikaitkan dengan APS
sekunder adalah Lymphoma, leukimia, Thymoma, kanker paru, ovarium,
ginjal, serviks, dan prostat.c. InfeksiBanyak agen infeksius dapat
berhubungan dengan menstimulasi aPL, terutama aCL. Agen infeksius
tersebut antara lain virus hepatitis C, virus varicella, parvovirus
B19, HIV, cytomegalovirus dan beberapa bakteri dan leptospira.
Kebanyakan agen infeksius tersebut tidak menyebabkan APS
sebagaimana mereka menstimulasi aPL yang tidak berikatan pada 2GPI
dan hal itu tidak menyebabkan thrombosis. Walaupun begitu pada
beberapa kasus APS katastropik, penyakit infeksi mengawali
manifestasi klinisnya. d. Penggunaan obat-obatanBeberapa
obat-obatan dapat menyebabkan munculnya aPL. Obat-obatan tersebut
antaralain kontrasepsi oral, procainamide, phenothiazin,
ethosuximide, phenytoin, quinine, chlorothiazide, hydralazin dan
interferon-alpha. Beberapa obat-obatan tersebut juga menstimulasi
autoantibodi dan lupus-like disease.2.4 Autoantibodi pada
Antifosfolipid Sindrom (APS)APS disebabkan oleh beberapa
autoantibodi, dimana terdiri dari grup antifosfolipid antibodi
(aPL). Walaupun hanya anticardiolipin antibody (aCL) dan lupus
anticoagulant (LAC) yang digunakan sebagai kriteria diagnostik dari
APS, autoantibodi lainnya juga dapat dideteksi dalam plasma pasien,
dan hal ini juga memiliki hubungan yang jelas dengan manifestasi
dari APS. Tes primer untuk mendiagnosis APS termasuk aCL dan LAC,
namun bila antibodi ini belum dapat ditemukan namun secara gambaran
klinis sangat mencurigakan untuk APS, autoantibodi lainnya harus
dicari seperti anti-2GPI dan aPL lainnya. 5
Gambar 2.3 Distribusi bermacam autoantibodi pada 500 pasien
APS.
2.5 PatofisiologiPenelitian pada hewan percobaan menunjukan
bahwa tikus dan hamster yang disuntikan dengan antibodi yang telah
diisolasi dari pasien dengan APS mengalami peningkatan resiko
terjadinya trombosis dan abortus. Meskipun begitu, bagaimana cara
aPL memicu resiko-resiko tersebut masih belum diketahui secara
jelas. Sebuah kemajuan yang didapat dari penelitian mengenai APS
(LA,aCL, a2GPI) adalah semuanya memerlukan 2GPI untuk menghasilkan
dampak yang optimal. Berdasarkan penelitian 2GPI memiliki peran
penting pada patofisiologi APS namun peran tersebut masih belum
diketahui secara pasti. 2GPI adalah sebuah protein plasma yang
fungsinya masih belum diketahui secara jelas, baik pada manusia
maupun tikus tanpa protein tersebut tidak menunjukan kelainan
hemostatik apapun. Penjelasan terbaik yang sekarang dimiliki
mengenai 2GPI adalah autoantibodi yang muncul pada APS menyebabkan
fungsi yang baru pada glikoprotein ini5.Adapun hipotesis-hipotesis
penelitian yang diajukan sebagai mekanisme aPL memicu terjadinya
thrombosis dan abortus adalah5:a. Menghambat protein C-axisb.
Meningkatkan pembentukan thrombinc. Gangguan dalam mekanisme
perlindungand. Gangguan fibrinolisise. Ketidakseimbangan
komplemenf. Adisi plateletg. Aktivasi plateleth. Aktivasi sel
endoteliali. Aktivasi monositj. Aktivasi neutrofilk. Aktivasi
trofoblastl. Angiogenesism. Peningkatan aterosklerosis
Teori yang paling populer menjelaskan aksi protrombotik pada aPL
adalah efek dari antibodi ini dapat mempengaruhi banyak sel-sel
yang berbeda. Pada awalnya diketahui bahwa aPL secara langsung
mempengaruhi fosfolipid anionik, oleh karena itu dimulailah studi
logis mengenai interaksi 2GPI dengan mebran sel dan sel itu
sendiri. 2GPI merupakan protein plasma yang disintesis di hati.
Protein yang matang terdiri dari 5 SCR ( Short Consensus Repeat )
domain. Setelah mengalami interaksi dengan permukaan anionik 2GPI
mengalami perubahan besar dimana akan terjadi pemaparan dari
epitope yang normalnya tersembunyi didalam protein. Interaksi
dengan permukaan anionik menyebabkan conformasi 2GPI dalam bentuk
lingkaran dimana domain I berinterakasi dengan domain 5. Antibodi
pada pasien APS dapat menstabilkan 2GPI dalam Konformasi terbuka.
Terdapat hipotesis yang menarik menyatakan bahwa paparan epitope
yang berkepanjang dari antibodi memiliki peran dalam korelasi
terhadap terjadinya trombosis serta abortus.Dalam penelitian secara
in vitro dan in vivo diketahui bahwa kompleks 2GPI dengan antibodi
dapat berikatan dan mengaktivasi bermacam sel termasuk endotel,
monosit dan platelet. Berikatannya protein ke fosfolipid di membran
sel tidaklah menyebabkan pengaktivan sel secara langsung namun,
akan segera memicu pengeluaran berbagai macam sinyal terhadap
reseptor-reseptor di membran sel. Keterlibatan berbagai reseptor
yang diketahui antara lain: Toll- like reseptor (TLR) 2 dan 4,
annexin-A2, glycoprotein GPIba dan kelompok reseptor low density
lipoprotein. Yang menjadi menarik bahwa defisiensi respetor pada
tikus percobaan dengan APS menunjukan hasil pengurangan dalam
pembentukan trombus, hal ini mengarahkan bahwa seluruh reseptor
tersebut memainkan peran dalan sindrom ini.
Gambar 2.4 Model aktivasi oleh autoantibodi terhadap 2GPI2.6
Manifestasi KlinisManifestasi Klinis dari Antifosfolipid sindrom
sangat beragam dan dapat mempengaruhi seluruh organ pada tubuh
manusia. Walaupun dalam penegakan diagnosisnya antifosfolipid
sindrom hanya memerlukan ditemukannya thrombosis serta morbiditas
kehamilan, namun pasien dengan antifosfolipid sindrom dapat
memiliki gangguan pada berbagai macam sistem tubuh termasuk setiap
organ pada tubuh manusia.4
Gambar 2.5 Diagram yang menggambarkan manifestasi klinis pada
1000 pasien dengan APS.
2.7 Antifosfolipid sindrom dengan gangguan kehamilan.Selama ini
kasus-kasus infertilitas masih banyak yang belum dapat dijelaskan.
Diperkirakan bahwa APS merupakan penyebab dari kasus-kasus yang tak
dapat dijelaskan ini. Beberapa wanita dengan APS tidak memiliki
permasalahan sama sekali pada kehamilannya, walaupun begitu
komplikasi kehamilan sebagai tambahan akibat dari thrombosis
maternal dapat terjadi kapan saja pada masa kehamilan Diketahui
bahwa APS dapat menyebabkan aborsi yang rekuren, kematian janin
pada kehamilan lanjut Pertumbuhan janin terhamabat, preeklamsia,
solusio placenta4,6.2.7.1 Aborsi rekuren2-5% dari wanita dalam usia
reproduktif mengalami dua atau lebih kejadian aborsi. Keguguran
selama kehamilan mungkin merupakan gejala pertama yang muncul dan
juga mungkin gejala satu-satunya dari APS. Karakteristik dari
lepasnya kehamilan pada berbagai artikel penelitian sangat beragam,
namun seluruh aPL berhubungan dengan lepasnya kehamilan pada awal
kehamilan ataupun akhir kehamilan. Kebanyakan kasus lepasnya
kehamilan terjadi pada awal kehamilan. Terdeteksinya aPL sangat
penting dalam penegakan diagnosis, tetapi juga memiliki
signifikansi prognosis. Sebanyak 10% - 20% wanita dengan abortus
rekuren (setidaknya mengalami tiga kali atau lebih lepasnya
kehamilan) memiliki kadar aPL yang terdeteksi. Abortus yang
berurutan pada perempuan dengan aPL sangat tinggi sekitar 90%. Hal
ini merupakan dampak dari APS, namun ketika pasien mendapatkan
terapi profilaksis kemungkinan mereka untuk melahirkan anak yang
sehat meningkat secara signifikan4.
Gambar 2.6 Percobaan mengenai APS pada tikus (20). Antibodi yang
berasal dari serum pasien disuntikan pada tikus percobaan.(21).
Uterus pada tikus yang disuntikan dengan antibodi yang berasal dari
serum subyek yang sehat (embrio berkembang dengan baik) (22).
Uterus tikus yang disuntikan dengan anticardiolipin antibodi,
uterus tampak mengalami perubahan (23). Hiperkoagulopati di 2
tempat yang berbeda pada embrio tikus yang dipengaruhi
antikardiolipin.
2.7.2 Morbiditas dalam kehamilanKehamilan merupakan suatu
keadaan fisiologis, namun mungkin dapat disertai dengan beberapa
komplikasi patologis. Beberapa komplikasi tersebut sering terjadi
pada pasien dengan APS. Pre-eklamsia merupakan komplikasi yang
terjadi selama kehamilan dengan karakteristik hipetensi dan
proteinuria. Fenomena ini memiliki resiko pada wanita hamil dan
dapat berkembang menjadi eklamsia dengan kejang, dan hal ini juga
dapat mempengaruhi janin. Pre-eklamsia bukan merupakan kejadian
yang langka pada kehamilan, namun pada pasien dengan APS
frekuensinya meningkat. Pada pasien dengan APS pre-ekalmsia sangat
sering terjadi pada awal kehamilan dan lebih berat daripada wanita
tanpa APS. Kelahiran pre-term juga sangat sering ditemukan pada
wanita dengan APS (diperkirakan sebanyak 20% dari kasus) dan
seringkali akibat dari induksi persalinan oleh dokter karena
pre-eklamsia dan pertumbuhan janin terhambat. Komplikasi ini
seringkali disebabkan oleh disfungsi plasenta pada pasien dengan
APS, dan dilaporkan 10%-30% dari kehamilan oleh wanita dengan APS.
aPL juga dapat menyebabkan trombosis selama kehamilan pada 5%
wanita yang berdampak negatif pada kesehatan ibu dan janin4.
Gambar 2. Gambaran mikroskopik yang menunjukan kerusakan pada
APS. Vili plasenta tidak berkembang dengan baik dan tampak
trombosis pada pembuluh darah plasenta. Patofisiologi timbulnya
morbiditas pada masa kehamilan melalui banyak mekanisme, melibatkan
fenotip thrombosis maupun non-thrombosis pada plasenta. Hal ini
juga tampaknya dipengaruhi faktor genetik serta lingkungan. Pada
studi awal secara histologi menunjukan adanya suatu decidual
vasculopathy dan thrombosis plasenta. Kelainan pada annexin V dari
throphoblast menyebabkan keadaan prokoagulan melalui percepatan
reaksi koagulasi. Sebagai tambahan pada percobaan tikus menunjukan
adanya suatu aktivasi sistem komplemen yang menyebabkan inflamasi
yang dimediasi oleh cidera plasenta dimana keadaan tersebut
menyebabkan kematian janin ataupun pertumbuhan janin yang
terhambat. Hal ini didukung oleh percobaan dalam penggunaan heparin
dimana pengobatan heparin pada komplikasi kehamilan oleh APS
menyebabkan penghambatan aktivasi komplemen, dari pada efek
primernya menyebabkan efek antikoagulan6.Pada penelitian terbaru,
dimana kerusakan secara langsung pada trofoblas akibat aPL,
tergantung pada mekanisme yang terlibat baik thrombosis maupun
aktivasi komplemen, menunjukan adanya interksi dari aPL dengan 2GPI
selama pembentukan sycitium trophoblast menunjukan hambatan pada
invasi trofoblas. Mekanisme ini juga diajukan sebagai hipotesis
dalam kejadian lepasnya kehamilan. 2.8 Tatalaksana APS pada wanita
hamilIntervensi antithrobotik digunakan untuk mengurangi insidensi
komplikasi kehamilan. Pada APS penanganan ini didukung oleh
penelitian yang dilakukan oleh Kutteth dan Ermel dimana dilaporkan
bahwa unfractioned heparine (UFH) dalam kombinasi dengan aspirin
dosis rendah (LDA) mengurangi insidensi abortus pada wanita dengan
riwayat abortus berulang. Walaupun data sangat terbatas, penelitan
juga menyimpulkan bahwa meningkatkan dosis UFH dengan kombinasi LDA
tidak mengurangi faktor resiko lebih lanjut. Terapi tunggal LDA
tidak menunjukan pengurangan rerata abortus bila dibandingkan
dengan pemberian plasebo. Low molecular weight heparin (LMWH)
sekarang sudah digunakan menggantikan UFH karena tingkat keamanan
penggunaan serta dosis tunggal perhari. Penggunaan LMWH dengan LDA
sama baiknya dengan penggunan UFH dengan LDA dalam pencegahan
abortus.7 Low dose aspirin (LDA) digunakan dalam pencegahan dari
FGR dan pre-eklamsia dan juga sesuai digunakan pada wanita dengan
APS disertai riwayat komplikasi tersebut. Masih kurangnya bukti
yang menunjukkan penambahan LMWH ataupun UFH memberikan keuntungan
tambahan dalam pencegahan komplikasi tersebut pada wanita hamil
dengan APS.7Sebuah guideline yang dikeluarkan Royal Collage of
Obstetricians and Gynaecologist merekomendasikan wanita dengan
kejadian trombisis dan APS harus diberikan thromboprofilaksis
selama masa antenatal dan 6 minggu post-partum. Wanita dengan aPL
persisten namun tanpa ada riwayat kejadian trombosis vena serta
resiko lainnya ataupun indikasi janin untuk penggunaan LMWH dapat
dilakukan tatalaksana berupa pengawasan ketat masa antenatal namun
dapat juga dipertimabangkan untuk penggunaan LMWH selama 7 hari
setelah melahirkan.Rekomendasi guideline tahun 2012 pada wanita
hamil dengan APS adalah8:1. wanita dengan abortus rekuren ( >3
kali abortus) sebelum usia 10 minggu harus diskrining untuk
aPL(1B)2. Untuk wanita dengan APS dengan abortus rekuren ( >3
kehamilan) pemberian heparin dikombinasikan dengan Aspirin dosis
rendah antenatal direkomendasikan selama kehamilan. (1B) pada
umumnya, penatalaksanaan harus dimulai sesegera mungkin begitu
kehamilan telah dikonfirmasi.3. Pada wanita dengan APS dan riwayat
pre-eklamsia atau FGR, LDA direkomendasikan.4. Wanita dengan aPl
harus dipertimbangkan pemberian tromboprofilaksis.(1b)
Rangkuman
Sindroma antifosfolipid merupakan kelainan trombofilia yang
didapat. Pada sindroma ini ditemukan autoantibodi yang dihasilkan
untuk varietas fosfolipid dan protein yang terikat fosfolipid.
Seseorang dikatakan APS bila setidaknya bila memiliki satu kriteria
klinis dan satu kriteria laboratorium yang telah ditentukan. Secara
umum APS dibagi menjadi primer dan sekunder, dimana pada APS primer
tidak ditemukan adanya penyakit autoimun atau faktor lain seperti
infeksi, keganasan, antibodi antifosfolipid yang diinduksi oleh
obat-obatan. APS sekunder adalah ditemukannya aPL dan trombosis
dengan keadaan penyerta berupa penyakit autoimun, keganasan,
infeksi, penggunaan obat-obatanAPS disebabkan oleh beberapa
autoantibodi, dimana terdiri dari grup antifosfolipid antibodi (aPL
yang terdiri atas anticardiolipin antibody (aCL) lupus
anticoagulant (LAC), anti-2GPI dan aPL lainnya. Mekanisme pasti
dalam terjadinya APS masih belum diketahui namun berdasarkan
peneliti-penelitianan yang telah dilakukan kompleks antibodi dengan
2GPI memicu serangkaian reaksi yang dapat menimbulkan manifestasi
berupa trombosis dan abortus.Pada wanita hamil APS dapat berdampak
pada kejadian abortus rekuren, serta peningkatan morbiditas selama
masa kehamilan antara lain, preklamsia, eklamsia, persalinan
preterm, dan pertumbuhan janin terhambat. Panduan yang berlaku
untuk tatalaksana ibu dengan APS adalah (1). wanita dengan abortus
rekuren ( >3 kali abortus) sebelum usia 10 minggu harus
diskriningg untuk aPL (2). Untuk wanita dengan APS dengan abortus
rekuren ( >3 kehamilan) pemberian heparin dikombinasikan dengan
Aspirin dosis rendah antenatal direkomendasikan selama kehamilan.
pada umumnya, penatalaksanaan harus dimulai sesegera mungkin begitu
kehamilan telah dikonfirmasi (3) Pada wanita dengan APS dan riwayat
pre-eklamsia atau FGR, LDA direkomendasikan. (4) Wanita dengan aPl
harus dipertimbangkan pemberian tromboprofilaksis.(1b)
Daftar Pustaka
1. Oehadiyan A. Sindroma Antifosfolipid: Pendekatan Diagnostik
dan Terapi. Fakultas kedokteran Unpad. 2009.2. Saigal R, Kansal A,
Mitaal M, et al. Antiphospholipid Antibody Syndrome. JAPI. 2010 Vol
583.Giannakopoulus B, Krillis SA. The Pathogenesis of the
Phospholipid Antobodi Syndrome. NEJM. 2013 Mar 14; 368:114.
5.Sherer Y. Shoenfeld Y. The Antiphospholipid Syndrome. 1st Ed.
USA: Bio-Rad Laboratories. 2004.6. Review Diagnosis andmanagement
of antiphospholipidsyndrome in pregnancy7. Management of
AntiphospholipidSyndrome in PregnancyMichelle Petri, MD, MPH*,
Umair Qazi, MD, MPHDepartment of Medicine, Division of
Rheumatology, Johns Hopkins UniversitySchool of Medicine, 1830 E.
Monument 7500, East Baltimore Campus,Baltimore, MD 21205,
USAAntiphospholipid8. Keeling D, Mackie I, Moore GW, et al.
Guideline on Investigation and Management of Antiphospholipid
Syndrome. BJH 2012 Feb 8; 157 :47-58
17