Top Banner
ANTALOGI PUISI SAPARDI DJOKO DAMONO
42

Antaloogi Puisi Sapardi Joko Damono

Dec 28, 2015

Download

Documents

Aldi Qampungan

antalogi puisi sapardi joko damono
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Antaloogi Puisi Sapardi Joko Damono

ANTALOGI PUISI SAPARDI DJOKO DAMONO

Page 2: Antaloogi Puisi Sapardi Joko Damono

AKU INGIN

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:

dengan kata yang tak sempat diucapkan

kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:

dengan isyarat yang tak sempat disampaikan

awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

Page 3: Antaloogi Puisi Sapardi Joko Damono

PADA SUATU HARI NANTI

pada suatu hari nanti

jasadku tak akan ada lagi

tapi dalam bait-bait sajak ini

kau takkan kurelakan sendiri

pada suatu hari nanti

suaraku tak terdengar lagi

tapi di antara larik-larik sajak ini

kau akan tetap kusiasati

pada suatu hari nanti

impianku pun tak dikenal lagi

namun di sela-sela huruf sajak ini

kau takkan letih-letihnya kucari

Page 4: Antaloogi Puisi Sapardi Joko Damono

DALAM BIS

langit di kaca jendela bergoyang

terarah ke mana wajah di kaca jendela

yang dahulu juga

mengecil dalam pesona

sebermula adalah kata

baru perjalanan dari kota ke kota

demikian cepat

kita pun terperanjat

waktu henti ia tiada

Page 5: Antaloogi Puisi Sapardi Joko Damono

HATIKU SELEMBAR DAUN

hatiku selembar daun melayang jatuh di rumput;

nanti dulu, biarkan aku sejenak terbaring di sini;

ada yang masih ingin kupandang, yang selama ini senantiasa luput;

sesaat adalah abadi sebelum kausapu tamanmu setiap pagi.

Page 6: Antaloogi Puisi Sapardi Joko Damono

KETIKA JARI-JARI BUNGA TERLUKA

Ketika Jari-jari bunga terluka

mendadak terasa betapa sengit, cinta kita

cahaya bagai kabut, kabut cahaya

di langit menyisih awan hari ini

di bumi meriap sepi yang purba

ketika kemarau terasa ke bulu-bulu mata

suatu pagi, di sayap kupu-kupu

disayap warna, suara burung

di ranting-ranting cuaca

bulu-bulu cahaya

betapa parah cinta kita

mabuk berjalan diantara

jerit bunga-bunga rekah…

Ketika Jari-jari bunga terbuka

mendadak terasa betapa sengit, cinta kita

Page 7: Antaloogi Puisi Sapardi Joko Damono

cahaya bagai kabut, kabut cahaya

di langit menyisih awan hari ini

di bumi meriap sepi yang purba

ketika kemarau terasa ke bulu-bulu mata

Page 8: Antaloogi Puisi Sapardi Joko Damono

BUAT NING

pasti datangkah semua yang ditunggu

detik-detik berjajar pada mistar yang panjang

barangkali tanpa salam terlebih dahulu

januari mengeras di tembok itu juga

lalu desember

musim pun masak sebelum menyala cakrawala

tiba-tiba kita bergegas pada jemputan itu

Page 9: Antaloogi Puisi Sapardi Joko Damono

Pada Suatu Pagi Hari

Maka pada suatu pagi hari ia ingin sekali menangis sambil berjalan tunduk

sepanjang lorong itu.

Ia ingin pagi itu hujan turun rintik-rintik dan lorong sepi agar ia bisa berjalan

sendiri saja sambil menangis dan tak ada orang bertanya kenapa.

Ia tidak ingin menjerit-jerit berteriak-teriak mengamuk memecahkan cermin

membakar tempat tidur.

Ia hanya ingin menangis lirih saja sambil berjalan sendiri dalam hujan rintik rintik

di lorong sepi pada suatu pagi.

Page 10: Antaloogi Puisi Sapardi Joko Damono

SAJAK KECIL TENTANG CINTA

mencintai angin harus menjadi suit

mencintai air harus menjadi ricik

mencintai gunung harus menjadi terjal

mencintai api harus menjadi jilat

mencintai cakrawala harus menebas jarak

mencintaiMu harus menjadi aku

Page 11: Antaloogi Puisi Sapardi Joko Damono

DALAM DIRIKU

dalam diriku mengalir

sungai panjang

darah namanya…

dalam diriku menggenang

telaga darah

sukma namanya…

dalam diriku meriak

gelombang sukma

hidup namanya…

dan karena hidup itu indah

aku menangis sepuas-puasnya…

Page 12: Antaloogi Puisi Sapardi Joko Damono

NOKTURNO

kubiarkan cahaya bintang memilikimu

kubiarkan angin yang pucat

dan tak habis-habisnya

gelisah

tiba-tiba menjelma isyarat, merebutmu

entah kapan kau bisa kutangkap…

Page 13: Antaloogi Puisi Sapardi Joko Damono

HUJAN BULAN JUNI

tak ada yang lebih tabah

dari hujan bulan juni

dirahasiakannya rintik rindunya

kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak

dari hujan bulan juni

dihapusnya jejak-jejak kakinya

yang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif

dari hujan bulan juni

dibiarkannya yang tak terucapkan

diserap akar pohon bunga itu

Page 14: Antaloogi Puisi Sapardi Joko Damono

HUTAN KELABU DALAM HUJAN

Hutan kelabu dalam hujan

Lalu kusebut kembali kau pun kekasihku

Langit di mana berakhir setiap pandangan

Bermula kepedihan, rindu itu

Temaram temasa padaku semata

Memutih dari seribu warna

Hujan senandung dalam hutan

Lalu kelabu, mengabut nyanyian

Page 15: Antaloogi Puisi Sapardi Joko Damono

SIHIR HUJAN

Hujan mengenal baik pohon, jalan, dan selokan

suaranya bisa dibeda-bedakan;

kau akan mendengarnya meski sudah kaututup pintu dan jendela.

Meskipun sudah kau matikan lampu.

Hujan, yang tahu benar membeda-bedakan, telah jatuh di pohon, jalan, dan

selokan

menyihirmu agar sama sekali tak sempat mengaduh

waktu menangkap wahyu yang harus kaurahasiakan.

Page 16: Antaloogi Puisi Sapardi Joko Damono

DI RESTORAN

Kita berdua saja, duduk

Aku memesan ilalang panjang dan bunga rumput kau entah memesan apa.

Aku memesan batu di tengah sungai terjal yang deras kau entah memesan apa.

Tapi kita berdua saja, duduk.

Aku memesan rasa sakit yang tak putus dan nyaring lengkingnya, memesan rasa

lapar yang asing itu.

Page 17: Antaloogi Puisi Sapardi Joko Damono

KETIKA KAU TAK ADA

ketika kau tak ada, masih tajam seru jam dinding itu

jendela tetap seperti matamu

nafas langit pun dalam dan biru, hanya aku yang

menjelma kata, mendidih, menafsirkanmu

kau mungkin jalan menikung-nikung itu

yang menjulur dari mimpi, yang kini

mesti kutempuh, sebelum sampai di muaramu

sungguh tiadakah tempat berteduh disini?

kalau tak ada di antara jajaran cemara itu

kepada Siapa meski kucari jejak nafasmu?

magrib begitu deras, ada yang terhempas

tapi ada goresan yang tak akan terkelupas

Page 18: Antaloogi Puisi Sapardi Joko Damono

ANGIN 1

angin yang diciptakan untuk senantiasa bergerak

dari sudut ke sudut dunia ini

pernah pada suatu hari berhenti

ketika mendengar suara nabi kita Adam

menyapa istrinya untuk pertama kali,

"hei siapa ini yang mendadak di depanku?"

angin itu tersentak kembali

ketika kemudian terdengar jerit wanita

untuk pertama kali,

sejak itu ia terus bertiup tak pernah menoleh lagi

-- sampai pagi tadi:

ketika kau bagai terpesona

sebab tiba-tiba merasa scorang diri

di tengah bising-bising ini tanpa Hawa

Page 19: Antaloogi Puisi Sapardi Joko Damono

ANGIN 2

Angin pagi menerbangkan sisa-sisa unggun api yang terbakar

semalaman.

Seekor ular lewat, menghindar.

Lelaki itu masih tidur.

Ia bermimpi bahwa perigi tua yang tertutup ilalang panjang

di pekarangan belakang rumah itu tiba-tiba berair kembali.

Page 20: Antaloogi Puisi Sapardi Joko Damono

ANGIN 3

"Seandainya aku bukan ......

Tapi kau angin!

Tapi kau harus tak letih-letihnya beringsut dari sudut ke sudut kamar,

menyusup celah-celah jendela, berkelebat di pundak bukit itu.

"Seandainya aku . . . ., ."

Tapi kau angin!

Nafasmu tersengal setelah sia-sia menyampaikan padaku

tentang perselisihan antara cahaya matahari dan warna-warna bunga.

"Seandainya ......

Tapi kau angin!

Jangan menjerit:

semerbakmu memekakkanku.

Page 21: Antaloogi Puisi Sapardi Joko Damono

YANG FANA ADALAH WAKTU

Yang fana adalah waktu. Kita abadi:

memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga

sampai pada suatu hari

kita lupa untuk apa.

"Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?"

tanyamu.

Kita abadi.

Page 22: Antaloogi Puisi Sapardi Joko Damono

AKULAH SI TELAGA

akulah si telaga: berlayarlah di atasnya;

berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil yang menggerakkan

bunga-bunga padamu;

berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya;

sesampai di seberang sana, tinggalkan begitu saja

-- perahumu biar aku yang menjaganya

Page 23: Antaloogi Puisi Sapardi Joko Damono

DALAM SAKIT

waktu lonceng berbunyi

percakapan merenda

kita kembali menanti-nanti

kau berbisik,

siapa lagi akan tiba?

siapa lagi menjemputmu

berangkat berduka?

di ruangan ini

kita kait dalam gema

di ruang malam hari

merenda keadaan rahasia

kita pun setia memulai percakapan kembali

seakan abadi menanti-nanti

lonceng berbunyi

Page 24: Antaloogi Puisi Sapardi Joko Damono

SAJAK DESEMBER

kutanggalkan mantel serta topiku yang tua

ketika daun penanggalan gugur

lewat tengah malam. kemudian kuhitung

hutang-hutangku pada-Mu

mendadak terasa: betapa miskinnya diriku;

di luar hujan pun masih kudengar

dari celah-celah jendela. ada yang terbaring

di kursi letih sekali

masih patutkah kuhitung segala milikku

selembar celana dan selembar baju

ketika kusebut berulang nama-Mu; taram

temaram bayang, bianglala itu

Page 25: Antaloogi Puisi Sapardi Joko Damono

Metamorfosis

ada yang sedang menanggalkan

kata-kata yang satu demi satu

mendudukkanmu di depan cermin

dan membuatmu bertanya

tubuh siapakah gerangan

yang kukenakan ini

ada yang sedang diam-diam

menulis riwayat hidupmu

menimbang-nimbang hari lahirmu

mereka-reka sebab-sebab kematianmu

ada yang sedang diam-diam

berubah menjadi dirimu

Page 26: Antaloogi Puisi Sapardi Joko Damono

ATAS KEMERDEKAAN

kita berkata : jadilah

dan kemerdekaan pun jadilah bagai laut

di atasnya : langit dan badai tak henti-henti

di tepinya cakrawala

terjerat juga akhirnya

kita, kemudian adalah sibuk

mengusut rahasia angka-angka

sebelum Hari yang ketujuh tiba

sebelum kita ciptakan pula Firdaus

dari segenap mimpi kita

sementara seekor ular melilit pohon itu :

inilah kemerdekaan itu, nikmatkanlah

Page 27: Antaloogi Puisi Sapardi Joko Damono

KUTERKA GERIMIS

Kuterka gerimis mulai gugur

Kaukah yang melintas di antara korek api dan ujung rokokku

sambil melepaskan isarat yang sudah sejak lama kulupakan kuncinya itu

Seperti nanah yang meleleh dari ujung-ujung jarum jam dinding yang berhimpit

ke atas itu

Seperti badai rintik-rintik yang di luar itu

Page 28: Antaloogi Puisi Sapardi Joko Damono

SAJAK NOPEMBER

Siapa yang akan berbicara untuk kami

siapa yang sudah tahu siapa sebenarnya kami ini

bukanlah rahasia yang mesti diungkai dari kubur

yang berjejal

bukanlah tuntutan yang terlampau lama mengental

tapi siapa yang bisa memahami bahasa kami

dan mengerti dengan baik apa yang kami katakan

siapa yang akan berbicara atas nama kami

yang berjejal dalam kubur

bukanlah pujian-pujian kosong yang mesti dinyanyikan

bukanlah upacara-upacara palsu yang mesti dilaksanakan

tapi siapa yang sanggup bercakap-cakap dengan kami

siapa yang bisa paham makna kehendak kami

kami yang telah lahir dari ibu-ibu yang baik dan sederhana

ibu-ibu yang rela melepaskan seluruh anaknya sekaligus

tanpa dicatat namanya

Page 29: Antaloogi Puisi Sapardi Joko Damono

kepada Ibu yang lebih besar dan agung :

ialah Tanah Air

kami telah menyusu dari pada bunda yang tabah

yang rela melepaskan seluruh anaknya sekaligus

untuk pergi lebih dahulu

apakah kau dengan para bunda itu mencari kubur kami

apakah kau dengar para bunda itu memanggil nama kami

mereka hanya berkaata : akan selalu kami lahirkan anak-anak yang baik

tanpa mengeluh serta putus asa

di Solo dua orang dalam satu kuburan

di Makasar sepuluh orang dalam satu kuburan

di Surabaya seribu orang dalam satu kuburan

dan kami tidak menuntut nisan yang lebih baik

tapi katakanlah kepada anak cucu kami;

di sini telah dikubur pamanmu, ayahmu, saudaramu

bertimbun dalam satu lobang

dan tiada yang tahu siapa nama mereka itu satu-persatu

tambur yang paling besar telah ditabuh

Page 30: Antaloogi Puisi Sapardi Joko Damono

dan orang-orang pun keluar untuk mengenangkan kami

terompet yang paling lantang ditiup

dan mereka berangkat untuk menangiskan nasib kami dulu

kami pun bangkit dari kubur

memeluki orang-orang itu dan berkata : pulanglah

kami yang mati muda sudah tentram, dan jangan

diusik oleh sesal yang tak keruan sebabnya

kami hanya berkelahi dan sudah itu : mati

kami hanya berkelahi untukmu, untuk mereka

dan hari depan, sudah itu : mati

orang-orang pun menyiramkan air bunga yang wangi saat itu

tanpa tahu siapa kami ini

tiada mereka dengarkan ucapan terimakasih kami yang tulus

tiada mereka dengarkan salam kami bagi yang tinggal

tiada mereka lihatkah senyum kami yang cerah

dan sudah itu : mati

siapa berkata bahwa kami telah musnah

siapa berkata

Page 31: Antaloogi Puisi Sapardi Joko Damono

kami kenal nama-namamu di mesjid di gereja di jalan di pasar

kami kenal nama-namamu di gunung di lembah di sawah

di ladang dan di laut, meskipun kalian

tiada menyadari kehadiran kami

siapa berkata bahwa kami telah musnah

siapa berkata

tanah air adalah sebuah landasan

dan kami tak lain baja yang membara hancur

oleh pukulan

ialah kemerdekaan

kemarin giliran kami

tapi besok mesti tiba giliranmu

kalau saja kau masih mau tahu ucapan terimakasih

terhadap tanah tempatmu selama ini berpijak

hidup dan mengerti makna kemerdekaan

dan kami adalah baja yang membara di atas landasan

dibentuk oleh pukulan : ialah kemerdekaan

(mungkin besok tiba giliranmu)

Page 32: Antaloogi Puisi Sapardi Joko Damono

siapa yang tahu cinta saudara, paman dan bapa

siapa yang bisa merasa kehilangan saudara, paman dan bapak

ingat untuk apa kamu pergi

siapa yang pernah mendengar bedil, bom dan meriam

siapa yang sempat melihat luka, darah dan bangkai manusia

ingat kenapa kami tak kembali

begitu hebatkah kemerdekaan itu hingga kami korbankan

apa saja untuknya

jawablah : ya

begitu agungkah ia hingga kami tak berhak menuntut apa-apa

jawab lagi : ya

sudah kau dengarkah suara sepatu kami tengah malam hari

datang untuk memberkati anak-anak yang tidur

sebab merekalah yang kelak harus bisa mempergunakan

bahasa dan kehendak kami

sudah kau dengarkah suara napas kami

menyusup ke dalam setiap rahim bunda yang subur

sebab kami selalu dan selalu lahir kembali

Page 33: Antaloogi Puisi Sapardi Joko Damono

selalu dan selalu berkelahi lagi

mungkin pernah kau kenal kami dahulu, mungkin juga tidak

mungkin pernah kau jumpa kami dahulu, mungkin juga tidak

tapi toh tak ada bedanya:

kami telah memulainya

dan kalian sekarang yang harus melanjutkannya

dan memang tak ada bedanya :

kalau hari itu bagi kami adalah saat penghabisan

bagimu adalah awal pertaruhan

awal dari apa yang terlaksana kemarin, kini besok pagi

meski kami pernah kau kenal atau tidak

meski kami pernah kau jumpa atau tidak

kami adalah buruh, pelajar, prajurit dan bapa tani

yang tak sempat mengenal nama masing-masing dengan baik

kami turun dari kampung, benteng, ladang dan gunung

lantaran satu harapan yang pasti

walau tak pernah kembali

kami hanyalah kubur yang rata dengan tanah dan tak bertanda

Page 34: Antaloogi Puisi Sapardi Joko Damono

kami hanyalah kerangka-kerangka yang tertimbun dan tak punya nama

tapi hari ini doakan sesuatu yang pantas bagi kami

agar Tuhan yang selalu mendengar bisa mengerti dan

mengeluarkan ampun

kami adalah mayat-mayat yang sudah lebur dalam bumi

tapi adukan segala yang pantas tentang diri kami ini

agar tak lagi mengembara arwah kami

kami telah lahir, hidup dan berkelahi : dan mati

kami telah mati

lahir dari para ibu yang mengerti untuk apa kami lahir di sini

hidup di bumi yang mengerti semangat yang menjalankan kami

kami telah berkelahi; dan mati

tapi siapakah yang bisa menterjemahkan bahasa hati kami

dan mengatakannya kepada siapa pun

tapi siapakah yang bisa menangkap bahasa jiwa kami

yang telah mati pagi sekali

dan berjalan tanpa nama dan tanda

dalam satu lobang kubur

Page 35: Antaloogi Puisi Sapardi Joko Damono

kami telah lahir dan selalu lahir

selalu dan selalu lahir dari para bunda yang tabah

selalu dan selalu berkelahi

di mana dan kapan saja

biarkan kami bicara lewat suara anak-anak

yang menyanyikan lagu puja hari ini

biarkanlah kami bicara lewat kesunyian suasana

dari orang-orang yang mengheningkan cipta hari ini

Sementara bendera yang kami tegakkan dahulu berkibar

atas rasa bangga kami yang sederhana

biarkanlah kami bicara hari ini

lewat suara anak-anak yang menyanyikan lagu puja

lewat kesunyian suasana orang-orang yang mengheningkan cipta

Page 36: Antaloogi Puisi Sapardi Joko Damono

SELAMAT PAGI INDONESIA

selamat pagi, Indonesia, seekor burung mungil mengangguk

dan menyanyi kecil buatmu.

aku pun sudah selesai, tinggal mengenakan sepatu,

dan kemudian pergi untuk mewujudkan setiaku padamu dalam

kerja yang sederhana;

bibirku tak biasa mengucapkan kata-kata yang sukar dan

tanganku terlalu kurus untuk mengacu terkepal.

selalu kujumpai kau di wajah anak-anak sekolah,

di mata para perempuan yang sabar,

di telapak tangan yang membatu para pekerja jalanan;

kami telah bersahabat dengan kenyataan

untuk diam-diam mencintaimu.

pada suatu hari tentu kukerjakan sesuatu

agar tak sia-sia kau melahirkanku.

seekor ayam jantan menegak, dan menjeritkan salam

padamu, kubayangkan sehelai bendera berkibar di sayapnya.

Page 37: Antaloogi Puisi Sapardi Joko Damono

aku pun pergi bekerja, menaklukan kejemuan,

merubuhkan kesangsian,

dan menyusun batu-demi batu ketabahan, benteng

kemerdekaanmu pada setiap matahari terbit, o anak jaman

yang megah,

biarkan aku memandang ke Timur untuk mengenangmu

wajah-wajah yang penuh anak-anak sekolah berkilat,

para perepuan menyalakan api,

dan di telapak tangan para lelaki yang tabah

telah hancur kristal-kristal dusta, khianat dan pura-pura.

Selamat pagi, Indonesia, seekor burung kecil

memberi salam kepada si anak kecil;

terasa benar : aku tak lain milikmu

Page 38: Antaloogi Puisi Sapardi Joko Damono

Dongeng Marsinah

Marsinah buruh pabrik arloji,

mengurus presisi:

merakit jarum, sekrup, dan roda gigi;

waktu memang tak pernah kompromi,

ia sangat cermat dan pasti.

Marsinah itu arloji sejati,

tak lelah berdetak

memintal kefanaan

yang abadi:

“kami ini tak banyak kehendak,

sekedar hidup layak,

sebutir nasi.”

Marsinah, kita tahu, tak bersenjata,

ia hanya suka merebus kata

sampai mendidih,

lalu meluap ke mana-mana.

“Ia suka berpikir,” kata Siapa,

“itu sangat berbahaya.”

Marsinah tak ingin menyulut api,

ia hanya memutar jarum arloji

agar sesuai dengan matahari.

Page 39: Antaloogi Puisi Sapardi Joko Damono

“Ia tahu hakikat waktu,” kata Siapa,

“dan harus dikembalikan

ke asalnya, debu.”

Di hari baik bulan baik,

Marsinah dijemput di rumah tumpangan

untuk suatu perhelatan.

Ia diantar ke rumah Siapa,

ia disekap di ruang pengap,

ia diikat ke kursi;

mereka kira waktu bisa disumpal

agar lenkingan detiknya

tidak kedengaran lagi.

Ia tidak diberi air,

ia tidak diberi nasi;

detik pun gerah

berloncatan ke sana ke mari.

Dalam perhelatan itu,

kepalanya ditetak,

selangkangnya diacak-acak,

dan tubuhnya dibirulebamkan

dengan besi batangan.

Detik pun tergeletak

Marsinah pun abadi.

Page 40: Antaloogi Puisi Sapardi Joko Damono

Di hari baik bulan baik,

tangis tak pantas.

Angin dan debu jalan,

klakson dan asap knalpot,

mengiringkan jenazahnya ke Nganjuk.

Semak-semak yang tak terurus

dan tak pernah ambil peduli,

meregang waktu bersaksi:

Marsinah diseret

dan dicampakkan —

sempurna, sendiri.

Pangeran, apakah sebenarnya

inti kekejaman? Apakah sebenarnya

sumber keserakahan? Apakah sebenarnya

azas kekuasaan? Dan apakah ebenarnya

hakikat kemanusiaan, Pangeran?

Apakah ini? Apakah itu?

Duh Gusti, apakah pula

makna pertanyaan?

“Saya ini Marsinah,

buruh pabrik arloji.

Ini sorga, bukan? Jangan saya diusir

Page 41: Antaloogi Puisi Sapardi Joko Damono

ke dunia lagi; jangan saya dikirim

ke neraka itu lagi.”

(Malaikat tak suka banyak berkata,

ia sudah paham maksudnya.)

apa sebaiknya menggelinding saja

bagai bola sodok,

bagai roda pedati?”

(Malaikat tak suka banyak berkata,

ia biarkan gerbang terbuka.)

“Saya ini Marsinah, saya tak mengenal

wanita berotot,

yang mengepalkan tangan,

yang tampangnya garang

di poster-poster itu;

saya tidak pernah jadi perhatian

dalam upacara, dan tidak tahu

harga sebuah lencana.”

(Malaikat tak suka banyak berkata,

tapi lihat, ia seperti terluka.)

Marsinah itu arloji sejati,

melingkar di pergelangan

tangan kita ini;

dirabanya denyut nadi kita,

Page 42: Antaloogi Puisi Sapardi Joko Damono

dan diingatkannya

agar belajar memahami

hakikat presisi.

Kita tatap wajahnya

setiap hari pergi dan pulang kerja,

kita rasakan detak-detiknya

di setiap getaran kata.

Marsinah itu arloji sejati,

melingkar di pergelangan

tangan kita ini.