ANEURISMA SEREBRI
II.1 Epidemiologi
Dewasa ini, aneurisma serebri menempati posisi ke 4 dalam
penyakit cerebrovaskuler yang paling sering terjadi di dunia. Dari
data epidemiologi statistik menunjukan dari 6 juta penduduk dari
Amerika Serikat memiliki aneurisma serebri yang intak, dan sekitar
8-10 per 100.000 jiwa atau sekitar 30.000 jiwa mengalami ruptur
dari aneurisma otak. Setiap 18 menit terjadi 1 ruptur aneurisma.
Setiap tahun, sekitar 500,000 kematian di seluruh dunia di sebabkan
oleh aneurisma serebri dan setengah dari populasinya adalah pasien
yang berusia kurang dari 50 tahun.
40% kasus aneurisma serebri yang terjadi sangatlah fatal dan 15%
dari pasien yang mengalami ruptur aneurisma tidak tertolong bahkan
sebelum mencapai rumah sakit untuk di tolong. Kebanyakan kematian
yang di sebabkan aneurisma serebri sangat cepat dan luas defeknya
pada otak sehingga tidak memungkinkan untuk di berikan pertolongan
medik maupun secara bedah.
4 dari 7 orang atau sekitar 66% pasien yang mengalami ruptur
aneurisma serebri yang selamat dari serangan akan mengalami defisit
neurologis yang permanen.
Aneurisma otak paling sering terjadi pada orang dengan
prevalensi umur 35 60 tahun, walaupun secara global tidak menutup
kemungkinan terjadi pada anak- anak juga. Angka median terjadinya
aneurisma hemoragik stroke adalah pada umur 50 tahun, dan pasien
tidak menunjukan gejala yang jelas. Kebanyakan dari aneurisma
serebri berkembang secra pesat pada pasien yang berusia lebih dari
40 tahun. Rasio jenis kelamin yang menderita aneurisma serebri
adalah wanita lebih sering terjadi, yaitu dengan perbandingan
3:2.
Aneurisma serebri sendiri memiliki presentasi 3-5 % dalam kasus
penyebab terjadinya stroke baru. 10-15 % pasien yang terdiagnosa
aneurisma serebri memiliki lebih dari 1 lokasi terjadinya
aneurisma.
Berdasarkan studi tahun 2004, kombinasi kerugian dari pasien
yang selamat dan biaya untuk pengasuh dari pasien setiap tahunnya
menghabiskan kurang lebih $138.000.000.
II.2 Patofisiologi
Dinding pembuluh darah dalam tubuh kita umumnya terdiri dari 3
lapisan :
1. Lapisan paling dalam yang di sebut tunika intima yang terdiri
dari lapisan sel endotel
2. Lapisan tengah yang di sebut tunika media yang berisi lapisan
sel otot elastis
3. Lapisan paling luar yang di sebut tunika adventisia yang
terdiri dari lapisan ikat longgar dan lemak.
Otak adalah organ yang memakai 25% dari seluruh peredaran darah
dalam tubuh kita. Otak terus meneerus membutuhkan aliran darah yang
konstan dalam jumlah besar dalam menjalankan tugasnya yang komplex.
Aliran peredaran darah otak itu sendiri di perdarahi oleh 4 cabang
aliran utama yang akan bercabang semakin komplex ke dalam parenkim
otak. Aneurisma itu sendiri terjadi pada percabangan pembuluh darah
yang merupakan titik terlemah di karenakan tekanan dan turbulensi
yang besar pada titik tersebut.
Menurut teori, aneurisma sendiri terjadi karena adanya destruksi
fokal di mebran elastik interna yang menyebabkan penurunan produksi
elastin, kolagen dan matrix extraseluler yang menyebabkan
terjadinya kelemahan pada dinding pembuluh darah. Salah satu faktor
terbesar adalah adanya proses inflamasi yang terjadi di dalam
pembuluh darah itu sendiri, baik dari infeksi, auto imun, trauma,
maupun tingkat oksidasi yang tinggi akibat stress sel. Sel radang
yang di keluarkan akan mengaktifkan matrix metalloprotein dalam
pembuluh darah yang akan menghancurkan serat elastin dan kolagen
yang akan menyebabkan hilangnya atau menipisnya tunika media
sehingga akan memperbesar tingkat terjadinya aneurisma. Faktor lain
yang akan menghancurkan serat elastin dan kolagen adalah
plasminogen aktivator , serin elastase dan katepsin.
Penipisan dari dinding pembuluh darah tersebut akan terus
menerus di lewati aliran darah yang memiliki tekanan pompa
hemodinamik dari jantung yang berguna untuk mengalirkan darah
secara merata keseluruh tubuh. Pada titik penipisan dinding
pembuluh darah tersebut akibat dari tekanan hemodinamik tersebut,
bagian lapisan tunika intima akan menonjol keluar dan hanya
bertahan akibat lindungan lapisan pembuluh darah terluar yaitu
tunika adventitia sehingga akan membentuk kantung (sakulasi).
Aliran darah yang melewati dari sakulasi tersebut akan mengalami
turbulensi balik yang kuat sehinggga akan menyebabkan terjadinya
deposit trombosit, fibrin dan sel radang, yang lama kelamaan akan
membentuk trombus. Lama kelamaan lapisan trombus akan semakin
bertambah karena terjadi proses yang sama berulang ulang dan akan
mengisi penuh dari ruang dari pembuluh darah itu sendiri.
Di dalam pembuluh darah juga tergantung pada diameter pembuluh
darah, semakin lebar dari pembuluh darah tersebut, maka tekanan di
dalam pembuluh darah akan semakin tinggi sehingga tingkat
progresifitas dari aneurisma itu sendiri juga semakin tinggi.
Aneurisma serebri 90-95% terjadi pada sirkulasi wilisi bagian
anterior , 30-40 % di arteri komunikans anterior bagian proximal
dan proximal arteri komunikans posterior cabang dari arteri carotis
interna, 20-30% berada di percabangan utama dari arteri serebri
media serta percabangan arteri carotis interna ke arteri serebri
media dan arteri serebri anterior, 10-15 % sisanya terjadi pada
sister vertebero-basiler.
Aneurisma serebri sendiri terjadi dalam bentuk sakulasi (berrys
aneurysm) , mycotic, fusiformis, diffuse dan disekting.
Aneurisma serebri yang paling sering terjadi adalah bentuk berry
yang di sebabkan oleh penipisan atau hilangnya lapisan elastika
dari pembuluh darah itu sendiri, yang paling sering terjadi pada
percabangan atau pertemuan arteri sehingga turbulensi dan tekanan
dari intra pembuluh darah paling besar. Akibat dari turbulensi dan
tekanan intra pembuluh dan adanya kelemahan pembuluh darah di
beberapa tempat, maka kantung yang terbentuk akan bertambah banyak
sehingga penampakannya akan terlihat seperti buah berry yang
bergelombol.
Sedangkan aneurisma tipe mycotic terjadi akibat emboli septik
yang mengaktifkan faktor peradangan sehingga dapat melemakan
dinding pembuluh darah, dan emboli tersebut juga menetap di 1
tempat lesi, tempat lesi tersering nya adalah di pembuluh serebri
bagian distal.
Tipe Fusiformis / diffuse dari aneurisma serebri sendiri dahulu
di sebut sebagai arterosklerotik aneurisma, karena menunjukan
deposisi artheromatous yang besar pada seluruh dinding pembuluh
darah sendiri sehingga menyebabkan bentuknya seperti botol. Tipe
ini sendiri biasnya terbentuk pada arteri yang berliku-liku
terutama pada sistem arteri vertebrobasiler. Pada aneurisma
disekting, aneurisma ini terjadi kebanyakan akibat adanya trauma
pada pembuluh darah mupun adanya kecurigaan neoplasma.
II.3 Etiologi
Pada aneurisma serebri sendiri tidak dapat di klasifikasikan
sebagai salah satu bentuk kelainan kongenital seperti yang selama
ini dikatakan, tetapi melainkan terjadinya aneurisma disebutkan
terjadi dalam perkembangan bertahun-tahun, baik merupakan defek
kongenital maupun defek yang di dapat.
Faktor Genetik :
Riwayat penyakit keluarga dan kelainan genetik
Merupakan faktor resiko yang terbesar, dan meningkatkan resiko
2-7 kali lipat dalam terjadinya formasi aneurisma serebri bila
memiliki riwayat penyakit tersebut dalam keluarga dekat ( orang
tua, anak maupun saudara kandung). Pada pasien aneurima serebri
familial menduduki tingkat 20% dari aneurisma subaraknoid hemoragi
(ASAH), tetapi tidak berkaitan dengan kelainan genetik bawaan. Pada
penderita ASAH memiliki faktor resiko 4x lipat untuk terjadinya
ruptur aneurisma serebri dari pada populasi umumnya. (Shievink,
Genetics of intracranial aneurysms. Neurosurgery 40(4) : 651-663,
1998). Namun, umumnya statistik dalam literatur adalah kurang lebih
10% dari populasi adalah familial. (Astradsson and Astrup, An
intracranial aneurysm in one identical twin, but no aneurysm in the
other, Br J Neurosurg. 2001 Apr;15(2):168-71). Tingkat resiko yang
paling tinggi dalam familial adalah antar saudara kandung , yaitu
92%. (Astradsson, 2001; Adams, 1992) . Aneurisma serebri familial
cenderung untuk terjadi ruptur pada usia yang lebih muda, dengan
prevalensi usia 38 tahun, ukuran yang lebih kecil dan jarang pada
ateri komunikas anterior. Pada pasien yang memiliki saudara kandung
maupun kembar, cenderung terjadi aneurisma serebri pada tempat yang
sama dan ruptur pada usia yang kurang lebih sama. Pada suatu studi,
menunjukan bahwa aneurisma serebri pada laki-laki : perempuan
menjadi 2: 1, dan terjadi pada pasien di bawah usia 20 tahun.
Tetapi perbandingan ini akan menjadi terbalik pada predominans
pasien perempuan yang berusia lebih dari 60 tahun menjadi 1:2.
(Addams , 1992) .
Investigasi dari marker genetik yang telah di lakukan belum
menunjukan kesuksesan dalam mengisolasi gen yang bermutassi
sehingga dapat menyebabkan terjadinya aneurisma maupun perlemahan
dari dinding pembuluh darah. Ostergraard et.al menginsvestigasi gen
C3-F yang ada pada pasien aneurisma serebri yang dicurigai bahwa
gen ini diasosiasikan dengan penyakit arterosklerosis yang menjadi
faktor resiko ruptur prematur dari aneurisma ( Puchner, 1994) dan
Mendelian Iheritance telah juga di postulasikan (Astradsson, 2001).
Namun , walaupun dari studi genetik yang telah dilakukan,
kemungkinan aneurisma keturunan belum dapat di buktikan.
Skrining dari pasien yang memiliki 2 atau lebih anggota keluarga
dengan aneurisma serebri masih dianggap kontroversial. Sedangkan
skrining pasien yang memiliki riwayat keluarga dekat yang memiliki
aneurisma serebri juga di pandang tidak menguntungkan, berdasar
dari Vega et.al , 2002
Ehlers danlos Type IV
Hipermobilitas sendi, kulit raput, mudah memar dan berbekas bila
luka merupakan karakteristik penyakit Eehlers- danlos tipe IV. Tipe
IV merupakan yang paling sering dan mematikan (1 dalam
50.000-500.000 individu) yang merupakan akibat dari defisiensi
kolagen tipe III, yang membangun dari pembuluh darah arteri dan
vena. Walaupun asosiasi penyakit ini dan aneurisma serebri sudah di
buktikan, tetapi frekuensi pasien yang di ketahui mengalami
aneurisma serebri dan Ehler-danlos tipe IV sulit di temukan karena
penyakit Ehler- danlos sangat sulit di diagnosa ( pada penyakit
yang ringan, pasien hanya mengeluh kulit yang rapuh dan mudahnya
sendi tergeser). Aneurisma yang di asosiasikan dengan kondisi ini
sering terjadi pada arteri medium ataupun besar.
Sindrom Marfan
Sindrom ini di karakteristik dengan elongansi dari tulang dan
abnormalitas dari sistem kardiovaskular, dan mata. Kondisi ini di
akibatkan dari mutasi gen yang mengkode protein komponen
mikrofibril yang membentuk dinding pembuluh darah fleksibel.
Sekitar 1 dari 10.000-20.000 orang memiliki kelainan ini. Aneurisma
yang sering diasosiasikan dengan kondisi ini adalah tipe sakular,
fusiform dan diseksi dan biasanya di temukan di arteri karotis
interna bagian proksimal.
Neurofibromatosis tipe 1
Kondisi ini di mulai saat kelahiran dan semakin memburuk dalam
perkembangannya, sekitar 1 dari 3.000-5000 orang menderita.
Karakteristik dari penyakit ini adalah konstriksi dari pembuluh
darah (stenosis), ruptur pembuluh darah , tumor di sistem sarah dan
perkembangan abnormal dari otot, tulang dan organ. Aneurisma yang
terjadi dalam kasus ini cenderung terjadi pada arteri sedang atau
besar.
Sindrom polikistik ginjal autosomal dominan
Salah satu penyakit genetik jaringan yang tersering (1 dalam
400-1000 orang). Karakteristik dari penyakit ini mencangkup :
pembesaran ginjal, kista ginjal,hati, pancreas dan limpa, kista
sarang laba-laba pada otak, hernia ingguinal. Formasi dari kista
terbentuk akibat mutasi genetik yang menyebabkan pertumbuhan sel
dan sekresi cairan yang abnormal. Hipertensi merupakan komplikasi
yang paling sering di temukan dan berkontribusi dalam pembentukan
aneurisma serebri dan aneurisma sub araknoid hemoragik pada pasien
tersebut.
Banyak studi yang mengkaitkan antara aneurisma serebri dan
kondisi ini. Estimasi dari frekuensi aneurisma serebri akibat
penyakit ini mencapai 10-41%. Dan telah dilaporkan sebagai penyebab
kematian dari pasien dengan kondisi ini. Riwayat penyakit keluarga
merupakan faktor resiko terbesar dalam penyakit ini dan aneurisma
serebri sekitar 18-20%.
Faktor yang di dapat (Pfohman and Criddle, Epidemiology of
intracranial aneurysm and subarachnoid hemorrhage. Journal of
Neuroscience Nursing 33:39-41,2001).
Trauma Otak
Faktor ini mencangkup kurang dari 1 % kasus aneurisma serebri
yang terjadi. Aneurisma ini terjadi karena dinding pembuluh darah
sobek akibat luka , yang menyebabkan formasi sumbatan. Walaupun
asosiasi antara trauma kapitis dengan aneurisma serebri sangat
kecil , tetapi hal ini harus di pikirkan dalam menangani pasien
trauma dalam beberapa bulan setelah trauma, terutama dengan trauma
kepala maupun trauma wajah bagian bawah.
Sepsis
Aneurisma ini terjadi saat suatu lemak, tulang ataupun gelembung
nitrogen (emboli) yang melalui aliran darah ,menimbung organisme
yang menempel pada dinding pembuluh darah , menyebabkan inflamasi
dan kematian sel. Aneurisma ini terjadi sekitar dalam 2-6% kasus
dan sering di asosiasikan dengan infeksi katup jantung atau vena
pulmonar. Aneurisma ini dapat di terapi dengan medikasi maupun
secara bedah, namun ia membawa tingkat kematian yang tinggi.
Merokok dan hipertensi
Merupakan faktor resiko yang sangat mengancam. Merokok adalah
faktor resiko substansial dalam aneurisma serebri dan aneurisma sub
araknoid hemoragik (ASAH), Ia berkorelasi dengan umur muda pada
ASAH dengan onset 5-10 tahun, meningkatkan vasospasme dan
berkembangnya hipertensi yang akan menjadi aneurisma spontaneus 2x
lipat lebih tinggi daripada yang tidak merokok.
Faktor lain
Beberapa studi menyebutkan faktor yang berkontribusi terhadap
aneurisma serebri dapat berasal dari segala unsur, genre,
penggunaan alkohol, variasi musim dan arterosklerosis. Nakagawa
et.al menemukan bahwa tingkat terjadinya aneurisma serebri
sebanding dengan peningkatan usia dan pada genre perempuan.
Konsumsi 150 gr alkohol atau lebih telah dapat diasosiasikan dengan
terjadinya aneurisma serebri dan ASAH. Beberapa studi kasus juga
menyebutkan bahwa perubahan cuaca dan tekanan atmosfer juga
berpengaruh,tetapi di perlukan studi lebih lanjut untuk
memastikannya.
Beberapa studi kasus menyebutkan dengan perbandingan ras, ras
afrika-amerika mempunyari faktor resiko paling besar dalama
terjadinya aneurisma serebri.
Aneurisma denovo (Tonn et al.,Neuroradiology 41: 674-679,
1999)
Adalah aneurisma yang terjadi pada pasien yang memiliki
aneurisma subaraknoid hemoragik dan di diagnosa kembali dengan
adanya aneurisma tambahan yang tidak terdeteksi pada penanganan
pertama. Onset rata- rata yang terjadi pada aneurisma denovo adalah
terjadi setelah ASAH pertama dalam jangka waktu 9.9- 6.7 tahun (
range 3-34 th), namun dalam 44% kasus ini, aneurisma menjadi
simtomatis 3-6 tahun setelah ASAH. Baik faktor usia dan merokok
juga berdampak pada interval ini, tetapi interval ini secara
signifikan berkurang pada pasien dengan riwayat hipertensi (6,9 5,1
tahun) di bandingan dengan yang tidak memiliki riwayat. Studi ini
menyebutkan bahwa di temukan kongenital pertama kali pada pasien
ASAH yang merokok 3,7-5,7 x lebih tinggi. Studi ini juga
menyebutkan bahwa faktor hipertensi merupakan faktor yang
berpengaruh, bila di kontrol tekanan darahnya pada pasien ASAH.
Kemungkinan terjadinya multipel aneurisma denovo juga tinggi,
dari beberapa studi menyebutkan ada beberapa kesamaan antara pasien
yaitu riwayat merokok, hipertensi arteri dan usia muda. Grup yang
beresiko dalam terjadinya Aneurisma De novo adalah pasien yang
memliliki riwayat ASAH sebelumnya, berusia 50 tahun atau kurang,
dengan hipertensi arteri dan riwayat merokok . Studi ini
menyarankan untuk follow up selanjutnya dengan angiografi dalam
jangka 4-5 tahun setelah ASAH, 3 tahun pada pasien hipertensi.
Dengan catatan, MRA di sarankan pada pasien ligasi karotis, bisa
tidak menunjukan aneurisma Denovo dalam sirkulus wilisi.
Faktor yang tidak terkontrol :
Riwayat penyakit hipertensi dalam keluarga
Diabetes
Penuaan
Ras (afrika-amerika)
Faktor yang dapat di kontrol :
Alkohol
Diet rendah garam dan lemak
Tembakau
Kontrasepsi oral
Obesitas
Gaya hidup fisik yang inaktif.
II.4 Klasifikasi
Berdasarkan tipe aneurismanya
Aneurisma sakuler 4.9 %
Aneurisma mikotik (septik) 2.6 %
Aneurisma arteriosklerotik
Aneurisma traumatik 5- 76.8%
Aneurisma disekting < 1 %
Berdasarkan ukurannya :
Aneurisma sakuler kecil dengan diameter kurang dari 1 cm.
Aneurisma sakuler besar dengan diameter antara 1-2,5 cm
Aneurisma sakuler raksasa dengan diameter lebih dari 2,5 cm
II. 5 Tanda dan Gejala
Kebanyakan kasus dari aneurisma serebri tidak memberikan gejala
spesifik neurologis yang jelas. Kecuali sudah terjadi ruptur pada
aneurisma tersebut. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa ukuran
dan lokasi lesi dari aneurisma menimbulkan suatu defisit neurologis
akibat penekanan dari aneurisma tersebut terhadap parenkim otak dan
saraf kranialis. Beberapa gejala yang dilaporkan bisa berkaitan
dengan aneurisma serebri :
Cephalgia yang terlokalisir
Dilatasi pupil
Pandangan kabur atau diplopia
Nyeri di atas dan di belakang orbita
Kelemahan dan baal
Kejang
Kesulitan berbicara
Berkurangnya daya ingat jangka pendek, sulit berkonsentrasi
Perubahan dari kepribadian
Kesulitan dalam proses pemahaman
Mudah capai
Pada aneurisma cerebri yang ruptur menimbulkan gejala khas yang
biasa gunakan di klinis berupa :
Cephalgia berat dan intensitasnya baru pertama kali dirasakan
seumur hidup pasien ; biasa di sebut sebagai Thunderclap Headache
yang di sertau muntah dan penurunan kesadaran dalam hampir
segera.
Cephalgia berat seluruh kepala, pasien relatif lucid dengan
berbagai derajat kaku kuduk. Ini merupakan gejala tersering yang
biasa di keluhkan pasien
Jarang terjadi, pasien langsung mengalami penurunan kesaranan,
sehingga tidak sempat mengeluhkan keluhan.
Gejala tambahan yang dirasakan secara tiba-tiba : pandangan
kabur/ diplopia, kaku kuduk, ptosis, nyeri pada bagian atas /
belakang orbit, kesulitan berjalan / vertigo , photophobia,
kejang.
Gejala klinis ruptur aneurisma di bagi dalam 5 tingkat :
Tingkat 1 : Cephalgia ringan dengan sedikit tanda rangsang
meningeal atau tanpa gejala
Tingkat 2 : cephalgia agak hebat atau disertai dengan parese
nervi kranialis
Tingkat 3 : kesadaran somnolen , bingung atau dengan adanya
defisit neurologis fokal
Tingkat 4 : kesadaran stupor, hemiparese / plegi, mungkin adanya
permulaan deserebrasi dan adanya gangguan dari sistem otonom
Tingkat 5 : Kesadaran koma dalam, tanda rigiditas deserebrasi
dan tanda stadium paralisis cerebral vasomotor
International Study of Unruptured Aneurysms*:
Location
Size
Previous rupture
Follow up
Rupture rate (% per year)
Anywhere
10mm or less
None
7.5 yrs
0.05
Anywhere
10mm or more
None
7.5 yrs
1
Anywhere
25mm or more
None
1 yr
6
Posterior communicating, Vertebrobasilar/posterior cerebral,
Basilar tip
10-24mm
None
7.5 yrs
15
Posterior communicating, Vertebrobasilar/posterior cerebral,
Basilar tip
10mm or less
None
7.5 yrs
2.5
Ruptur dari aneurisma serebri menyebabkan darah mengisi ruang
sub araknoid sehingga dapat menghasilkan gejala seperti di atas.
Oleh sebab itu pada pasien dengan penurunan kesadaran tanpa adanya
tanda trauma kapitis perlu dipikirkan Aneurisma Serebri sebagai
diagnosa banding.
II.6 Diagnostik
Pemeriksaan yang di lakukan pada aneurisma mencangkup pada aspek
radiologis, sebab pada aneurisma serebri tidak memungkinkan di
lakukan dengan pemeriksaan fisik di karenakan tidak memiliki gejala
yang khas. Pada awalnya pemeriksaan aneurisma di lakukan dengan
cara di lakukan angiografi serebral dengan medium sinar X dan
kontras, namun dengan perkembangan zaman, cara ini sudah mulai di
tinggal kan sehingga berkembang menjadi dengan CT scan (conputed
tomografi) dan MRI (magnetic resonance imaging) yang jauh lebih
sedikit memiliki efek samping dan lebih struktural dalam
modifikasinya.
Angiografi
Cara ini masih merupakan gold standar dalam pemeriksaan
diagnostik pembuluh darah karena merupakan pemeriksaan yang paling
komprehensif, standar dan sensitiff. Namun merupakan prosedur yang
cukup mahal dan invasif. Angiogram merupakan tes pencitraan
menggunakan film X-ray untuk studi aliran darah secara waktu nyata.
Pasien di tempatkan diantara sinar X yang terus menerus yang di
tembakan dan layar fluoresen. Sinar x dan layar fluoresen ini
merupakan suatu kamera spesial yang di sebut fluoroskope yang
memungkinkan untuk di lakukan foro xray secara kontinuitas. Hal ini
memungkin kan untuk melihat dan merekam dalam pola aliran darah.
Kontras yang di gunakan di masukan ke dalam pembuluh darah untuk
meningkatkan intensitas gambar aliran darah di foto X. Penyuntikan
kontras untuk pembuluh darah di otak menggunakan kateter yang di
masukan k arteri di kaki, lalu mengikuti pembuluh darah untuk
mencapai pembuluh darah di otak. Foto akan di ambil sementara
kateter di jalankan menunju k otak dan melihat bagaimana profil
arteri yang akan di nilai. Saat kateter berada di posisi yang di
inginkan, kontras di injeksi ke dalam pembuluh darah dan foto X di
ambil menggunakan fluoroskop. Kontras yang di gunakan dalam
angiografi serebral menggunakan :
Renografin (meglumin diatrizoate)
Conray 60 (meglumin iothalamate)
Urografin
Angiografin
Penggunaan kontras ini juga memiliki kriteria tertentu :
Puasa minimal 12 jam baik makan dan cairan sebelum di lakukan
tes
Memastikan tidak alergi terhadap obat obatan kontras dan tidak
ada interaksi antara obat kontras dan obat yang sedang di
konsumsi.
Karena sekresi kontras berada di ginjal sebagai tempat akhir
maka harus di pastikan fungsi ginjal baik sebelum di lakukan
tes.
Ada beberapa kemungkinan komplikasi akibat di lakukan pemasangan
kateter untuk kontras yaitu kerusakan pembuluh darah , pelelepasan
darah beku atau trombus dari dinding pembuluh darah yang dapat
menyumbat pembuluh darah di otak sehingga menyebabkan penyakit
tambahan.
Pengambilan foto terdiri dari 3 fase penting dalam penilaian
angiografi :
1. Fase arteri : dilakukan 1-3 detik stelah penyuntikan
kontras
2. Fase kapiler : dilakukan 3-4 detik setelah penyuntikan
kontras
3. Fase vena : dilakukan 4-12 detik setelah penyuntikan
kontras.
Computed Tomografi (CT)
Pemeriksaan potongan otak melalui sinar x dan komputer
interpratif. Merupakan pemeriksaan x ray non infasif untuk kepala.
Saat sinar x menembus tubuh kita, densitas dari jaringan lunak akan
menentukan bagaimana pencitraan dari bagian tubuh . Tulang dan
pembuluh darah memiliki densitas paling tinggi, sehingga dapat
terlihat jelas dalam pencitraan CT. Pemeriksaan yang berrelasi
lainnya adalah CTA ( CT angiogradi) yang menuggunakan injeksi
kontras melalui vena di tangan, yang dapat memperlihatkan
pencitraan 3 dimensi yang memperlihatkan pembuluh darah di
otak.
MRI (magnetic resonance imaging)
Pencitraan ini dapat memperlihatkan otak dalam bentuk 2 atau 3
dimensi. Merupakan test yang non invasif yang dapat melihat organ
dalam termasuk otak tanpa di lakukan pembedahan , paparan sinar X
atau nyeri. Mesin ini menciptakan medan magnetik yang mengirimkan
gelombang radio melalui tubuh dan menilai respons tubuh menggunakan
komputer yang akan menampilkan bentuk mendetail dalam 2 ataupun 3
dimensi.
Menurut American Heart Association, CT dengan atau tanpa agen
kontras di anggap sangat tidak adekuat untuk dignosa aneurisma
otak. Namun CTA dapat memperlihatkan aneurisma yang berukuran 2-3
mm. MRA (MRI angiografi) dianggap sanagat berguna untuk skrining,
terutama untuk aneurisma yang berukuran 3-5mm atau lebih
diameternya, dan merupakan pemeriksaan yang paling sering di
gunakan. Harus di ingat bahwa aneurisma yang berukuran kurang lebih
5 mm dapat menjadi patokan penting dalam ruptur aneurisma,
sedangkan di satu pihak MRA merupakan tes yang sangat mahal dan
saat ini hanya dapat mensuport skrining pasien dengan faktor resiko
yang signifikan. Secara penyakit hasil pencitraan akan menunjukan
:
1. Aneurisma sub araknoid hemoragik
CT scan
Pada ASAH akan di temukan atenuasu yang tinggi pada ruang basal
sub araknoid. Pada fase akut, akan menghasilkan presentasi 95%
positif dalam pencitraan dalam 24 jam, dan presentasinya akan
menurun 60% pasien setelah SAH baik focal maupun difus.
Perkembangan vasospasme menunjukkan pola yang sama terlambatnya
dengna iskemik serebral. Patogenesis terjadinya vasospasme arteri
sangat kompleks. Banyak substansi vasokonstriktor yang dilepaskan
dari dinding pembuluh darah atau bekuan darah yang muncul pada CSF
setelah SAH seperti serotonin, prostaglandin, oxyhaemoglobin,
tetapi pada beberapa penelitian membuktikan bahwa antagonist
vasokonstriktor telah gagal mengembalikan penyempitan angiographic
atau mengurangi insiden iskemik. Kegagalan ini mungkin hasil
perubahan arteriopathic yang telah diamati terjadi pada dinding
pembuluh darah. Hanya antagonois calcium yang muncul yang memiliki
efek menguntungkan. Semakin tinggi jumlah darah yang terlihat pada
cisterna basalis (CT scan) semakin tinggi insiden penyempitan
arteri dan defisik iskemik.
3. Hypovolemia
Hyponatremia yang berkembang setelah SAH pada banyak pasien
karena sekresi sodium renal yang berlebihan daripada efek dilusi
karena sekresi ADH yang tidak berimbang. Kehilangan cairan dan
penurunan volume plasma kemudian terjadi. Pasien ini kemungkinan
pada resiko tinggi trjadinya iskemik serebral, sehungungan dengan
hasil peningkatan viskositas darah.
4. Penurunan tekanan perfusi serebral.
Setelah SAH, hematoma intracranial atau hydrocephalus dapat
menyebabkan peningkatan pada tekanan intrakranial. Efek klinik dari
cerebral iskemik/ infark tergantung dari daerah perdarahan arteri
tersebut. Pada daerah serebri anterior dapat menyebabkan kelemahan
tungkai bawah, inkontinensia, bingung, dan akinetic mutisme. Pada
daerah serebri media dapat menyebabkan hemiparesis, hemiplegia,
dysphasia (pada hemisfer dominan). Gambaran klinis pada kedua
daerah ini dapat merupakan gambaran kelainan klinik sebagai hasil
perluasan kelainan pada arteri carotis dengnan edema hemisfer.
Umumnya iskemik terjadi pada berbagai area, seringnya pada kedua
hemisfer. Ini berhubungan dengan pola spasme arterial.
Transcranial Doppler : peningkatan signifikan dari kecepatan
velositas di dalam pembuluh darah dapat mengindikasikan terjadinya
vasospasme meskipun gambaran klinik belum berkembang, dan
memungkinkan deteksi awal kelainan ini untuk pencegahan kerusakan
lebih lanjut.
5. Hydrocephalus
Setelah SAH, aliran cairan serebrospinal (CSF) dapat terganggu
oleh :
-bekuan darah pada cisterna basalis (communicating
hydrocephalus)
-obstruksi pada villi arachnoidalis(communicating
hydrocephalus)
-bekuan darah di dalam sistem ventrikular (obstruktif
hydrocephalus)
Hidrosefalus akut terjadi pada sekitar 20% pasien, biasanya pada
beberapa hari pertama setelah onset, biasanya merupkan komplikasi
lanjut. Hanya 1/3 pasien yang menunjukkan gejala sakit kepala,
tingkat kesadaran yang terganggu, inkontinensia, atau gait ataksia
berat. Lebih lanjut lagi sekitar 10% pasien hidrosefalusnya
berkembang terlambat yaitu bulanan atau bahkan tahunan setelah
perdarahan.
6. Hematoma Intracranial yang Meluas
Pembengkakan otak di sekitar hematoma intracerebral dapat
menyebabkan efek massa dari hematoma. Ini dapat menyebabkan
deteriorasi progresif pada tingkat kesadaran atau progresi tanda
fokal.
7. Epilepsi
Epilepsi dapat terjadi pada stadium manapun setelah SAH,
khusunya jika hematoma menyebabkan kerusakan cortikal. Kejang dapat
umum maupun parsial (focal)
Komplikasi ekstracranial
1. Infark myocard/aritmia cordis : EKG dan patologis myocardium
sering
ditemukan setelah SAH, dan fibrilasi ventrikel sering
terdeteksi. Kelainan ini dapat muncul sekunder dari pelepasan
cathecolamin setelah kerusakan iskemik hypothalamus.
2. Edema pulmoner : biasanya terjadi stelah SAH, kemungkinan
sebagai hasil
gangguan simpatetik masif.
3. Perdarahan lambung : perdarahan dari erosi gastric biasanya
terjadi setelah
SAH tetapi jarang mengancam jiwa.
II.9 Prognosis
Prognosis suatu aneurisma tergantung dari:
Usia
Status neurologikus dalam perawatan
Lokasi aneurisma
Selang waktu antara awal kejadian perdarahan subarachnoid dengan
penatalaksanaan medis
Adanya hipertensi dan penyakit lain
Tingkat vasospasme
Adanya perdarahan ulang atau tidak
Tingkat perdarahan subarachnoid
Adanya perdarahan intraventrikular atau intraparenkimal
Pasien dengan status klinis grade I (sakit kepala ringan atau
meningismus ringan), II (sakit kepala berat, meningismus, atau
neuropati kranial), III (letargi, bingung, atau tanda neurologik
fokal) memiliki prognosa yang lebih baik dibandingkan dengan pasien
grade IV(penurunan kesadaran yang buruk) danV (koma dengan
flaksiditas atau postur tubuh abnormal). Pasien grade IV dan V
memiliki kecenderungan hasil yang buruk meskipun mereka mendapat
perawatan apapun.Tingkat mortalitas operatif sendiri berkisar
antara 8-45% tergantung kondisi klinis dan waktu pasien
Aneurisma a. communicans posterior, dengan ligasi a.carotis
communis kematian sebesar 10%, sedangkan dengan bed rest kematian
sebesar 42%. Aneurisma a. cerebri media, dengan clipping langsung
pada aneurismanya mortalitas 11%, sedang dengan istirahat ditempat
tidur mortalitas sebesar 36%. Aneurisma a. communicans anterior
tindakan bedah maupun konservatif angka kematian sama. Perdarahan
intraserebral merupakan jenis stroke yang paling berbahaya.
Stroke biasanya luas, terutama pada penderita tekanan darah
tinggi menahun. Lebih dari separuh penderita yang memiliki
perdarahan yang luas, meninggal dalam beberapa hari. Penderita yang
selamat biasanya kembali sadar dan sebagian fungsi otaknya kembali,
karena tubuh akan menyerap sisa-sisa darah. Pada perdarahan
subarahnoid, sekitar sepertiga penderita meninggal pada episode
pertama karena luasnya kerusakan otak. 15% penderita meninggal
dalam beberapa minggu setelah terjadi perdarahan berturut-turut.
Penderita aneurisma yang tidak menjalani pembedahan dan bertahan
hidup, setelah 6 bulan memiliki resiko sebanyak 5% untuk terjadinya
perdarahan. Banyak penderita yang sebagian atau seluruh fungsi
mental dan fisiknya kembali normal, tetapi kelainan neurologis
kadang tetap ada.
DAFTAR PUSTAKA
Frosch MP, Anthony DC, Girolami UD. The Central Nervous System.
In: Kumar V, Abbas A, Fausto N [ed.]. Robbins and Cotrans
Pathologic Basis of Disease. 7th ed. Philadeplhia: Saunders.
Ropper AH, Brown RH. The Cerebrovascular Diseases; Adams and
Victors Principles of Neurology. 9th ed. New York: McGraw Hill:
718-22.
Vega C, Kwoon JV, Lavine SD. Intracranial Aneurysms: Current
Evidence and Clinical Practice. American Family Physician, 2002;
66(4): 601-8.
Molyneux A, Kerr R, Stratton I, Sandercock P, Clarke M,
Shrimpton J, Holman R. International Subarachnoid Aneurysm Trial
(ISAT) of neurosurgical clipping versus endovascular coiling in
2143 patients with ruptured intracranial aneurysms: a randomised
trial. Lancet. 2002: 360: 1267-74. Johnston SC, et. al. Surgical
and Endovascular Treatment of Unruptured Cerebral Aneurysms at
University Hospitals. Neurology. 1999; 52:1799-1805 Johnston SC,
et.al. Endovascular and Surgical Treatment of Unruptured Cerebral
Aneurysms: Comparison of Risks. Ann Neurology. 2000; 48:11-19