BAB IPENDAHULUAN1.1 Latar BelakangDiabetes mellitus merupakan
masalah endokrin yang paling sering dihadapi ahli anestesi dalam
melakukan pekerjaannya. Sebanyak 5 % orang dewasa di Barat mengidap
diabetes mellitus, lebih dari 50 % penderita diabetes mellitus
suatu saat mengalami tindakan pembedahan dalam hidupnya dan 75 %
merupakan usia lanjut di atas 50 tahun, sedangkan di Indonesia
mempunyai angka prevalensi penderita diabetes mellitus adalah
sekitar 1,5 % dan diperkirakan 25 % penderita diabetes mellitus
akan mengalami pembiusan dan pembedahan.1,2,3Tingginya morbiditas
dan mortalitas pada diabetes mellitus adalah karena penyulit
kronis, hal tersebut terjadi karena hiperglikemia yang tak
terkontrol dalam jangka waktu lama, berupa mikro dan
makroangiopati. Penyulit kronis tersebut berhubungan dengan
disfungsi organ seperti penyakit arteri koroner, penyakit pembuluh
darah otak, hipertensi, insufisiensi ginjal, neuropati autonomik
diabetik, gangguan persendian jaringan kolagen (keterbatasan
ekstensi leher, penyembuhan luka yang buruk), gastroparesis, dan
produksi granulosit yang inadekuat, oleh karena itu perhatian utama
ahli anestesi harus tertuju pada evaluasi preoperatif dan
penanganan penyakit-penyakit tersebut untuk menjamin kondisi
preoperatif yang optimal.1,4,5,6Kontrol gula darah yang lebih baik
pada penderita yang akan mengalami pembedahan mayor menunjukkan
perbaikan morbiditas dan mortalitas perioperatif. Pencegahan
hipoglikemia dan hiperglikemia tidak sesuai lagi untuk perkembangan
pengetahuan saat ini. Sementara terdapat sedikit perbedaan pendapat
tentang penanganan pasien yang akan mengalami tindakan mayor, untuk
bedah minor sendiri masih terdapat banyak dilema. Dalam keadaan
bagaimana kasus anestesi dan bedah sehari dapat dikerjakan? Apakah
waktu masuk pada saat hari pembedahan menambah risiko pada pasien?
Jika ada, pemeriksaan apa yang dibutuhkan untuk menilai sfetem
kardiovaskuler penderita asimptomatis yang akan dilakukan
pembedahan mayor Patut disayangkan, hanya terdapat sedikit data
yang memberikan Jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Pemahaman patofisiologi dan kepentingan dari penelitian terbaru
akan memperbaiki perawatan perioperatif pasien yang akan mengalami
pembedahan.7
1.2 Batasan masalahReferat ini membahas tentang definisi,
klasifikasi, patofisiologi, diagnosis, efek pembedahan dan anestesi
pada metabolisme, faktor risiko pada pasien bedah diabetes
mellitus, pengaruh obat anestesi pada penderita diabetes mellitus,
serta teknik anestesi pada penderita diabetes mellitus.
1.3 Tujuan penulisanAdapun tujuan penulisan referat ini adalah :
1. Memahami dan menambah wawasan tentang anestesi pada penderita
diabetes mellitus.2. Meningkatkan kemampuan menulis ilmiah dibidang
kedokteran khususnya bagian anestesi.3. Memenuhi salah satu syarat
kelulusan kepaniteraan klinik dibagian Anestesiologi dan Reanimasi
Fakultas Kedokteran Universitas Riau dan RSUD Arifin Achmad
Pekanbaru.
1.4 Metode penulisanPenulisan referat ini menggunakan metode
tinjauan pustaka dengan mengacu kepada beberapa literatur.
BAB IITINJAUAN PUSTAKA2.1DefinisiDiabetes mellitus adalah
penyakit kronik yang disebabkan oleh defisiensi insulin ditandai
dengan peningkatan kadar glukosa dalam plasma.8,9American Diabetes
Association (ADA) dan WHO mengeluarkan kriteria diagnostik terbaru.
Kedua badan tersebut menganjurkan penurunan nilai ambang kadar
glukosa plasma puasa dan menetapkan klasifikasi lebih berdasarkan
etiologi.7ADA telah menspesifikasikan bahwa diagnosis diabetes
mellitus dibuat jika kadar glukosa plasma sewaktu pada individu
asimtomatik > 11,1 mmol/L (200 mg/dl). Jika kadar glukosa plasma
puasa > 7,0 mmol/L (126 mg/dl) pada individu asimtomatik,
pemeriksaan harus diulang pada hari yang berbeda dan diagnosis
dibuat jika nilainya tetap di atas batas ini. ADA menetapkan kadar
glukosa plasma diantara 6,1 dan 7,0 mmol/L (110 dan 126 mg/dl)
sebagai kadar glukosa plasma puasa terganggu. WHO juga
merekomendasikan bahwa diagnosis diabetes mellitus dibuat jika
kadar glukosa plasma sewaktu > 11,1 mmol/L atau 200 mg/dl (darah
vena > 10,0 mmol/L atau 180 mg/dl). Diabetes mellitus dapat juga
didiagnosis bila kadar glukosa plasma puasa > 7,0 mmol/L (126
mg/dl) dan tes kedua yang serupa atau tes toleransi glukosa oral
memberikan .hasil pada batas diabetes.7
2.2Klasifikasi Diabetes mellitus diklasifikasikan menjadi 2 tipe
utama, yaitu : Tipe I (kerusakan sel b pankreas) dan tipe II
(gangguan sekresi insulin, dan biasanya retensi insulin)
direkomendasikan untuk menggantikan Istitah Insulin Dependent
Diabetes Mellitus (IDDM) dan Non Insulin Dependent Diabetes
Mellitus (NIDDM). Tipe I, Jenis ini paling sering terdapat pada
anak-anak dan dewasa muda. Defisiensi insulin terjadi karena
produksi yang rendah yang disebabkan oleh adanya destruksi sel-sel
pembuat insulin melalui mekanisme imunologik, sehingga pasien ini
selalu memerlukan insulin sebagai pengobatannya dan cenderung untuk
mengalami ketoasidosis jika insulin dihentikan pemberiannya. Tipe
II, Kelainan ini disebabkan oleh 2 sebab yaitu resistensi insulin
dan defisiensi insulin relatif, muncul pada usia dewasa, pasien
tidak cenderung mengalami ketoasidodis, sering kali berbadan gemuk.
Pengobatan penderita ini kadang cukup dengan diet saja, bila perlu
dapat diberikan obat anti diabetes oral dan jarang sekali
memerlukan insulin kecuali pada keadaan stres atau infeksi berat.
2.3PatofisiologiPulau-pulau Langerhans yang menjadi sistem
endokrinologis dari pankreas tersebar di seluruh pankreas tetapi
berat semuanya hanya 1 - 3% dari berat total pankreas. Besarnya
pulau-pulau Langerhans ini berbeda-beda, yang terkecil adalah 50
mm. sedangkan yang terbesar 300 mm. Terbanyak adalah yang besarnya
antara 100 dan 225 mm. Jumlah semua pulau Langerhans di pankreas
diperkirakan antara 100.000 dan 2.500.000. Pulau-pulau Langerhans
paling kurang tersusun atas tiga jenis sel : sel-sel a memproduksi
glukagon yang menjadi faktor hiperglikemik, sel-sel b yang
mensekresi insulin , dan sel-sel d yang membuat somatostatin.
Pertama insulin disintesa sebagai proinsulin diubah menjadi insulin
melalui pembelahan proteolitik dan kemudian dibungkus kedalam
butir-butir diantara sel-sel b. Sejumlah besar insulin, normalnya
kira-kira 200 unit disimpan dalam pankreas. Sintesa terus
berlangsung dengan rangsangan glukosa. Glukosa dan fruktosa
merupakan pengatur utama pelepasan insulin. Stimulator lain dari
pelepasan insulin termasuk asam amino, glukagon, hormon-hormon
gastrointestinal (gastrin, sekretin, cholecystokinin-pancreozymin,
dan enteroglucagon), dan asetilkolin. Epinefrin dan. norepinefrin
menghambat pelepasan insulin dengan merangsang reseptor a
adrenergik dan merangsang pelepasan insulin pada reseptor b
adrenergik.5,9Pada tipe I terjadi defisiensi insulin yang berat
menyebabkan mobilisasi asam lemak bebas dari jaringan lemak dan
pelepasan asam amino dari dalam otot. Hiperglikemia terjadi karena
dosis insulin yang normal tidak cukup untuk menandingi meningkatnya
kebutuhan insulin. Hati melalui proses glukoneogenesis, akan
mengubah asam amino dan asam lemak bebas membentuk glukosa dan
benda keton. Keduanya mempunyai peran penting dalam timbulnya
gejala ketoasidosis. Pada tipe I dijumpai peningkatan glukagon yang
merangsang hati untuk mengubah asam lemak bebas menjadi benda
keton. Hipotesis terjadinya tipe I dihubungkan dengan infeksi virus
yang membentuk respon autoimun yang menyebabkan dirusaknya sel beta
oleh antibodi. Infeksi oleh virus dianggap sebagai trigger factor
pada mereka yang sudah mempunyai predisposisi genetik terhadap
diabetes mellitus. Virus-virus yang dianggap mempunyai pengaruh
adalah : virus coxsackie B, virus encephalamiokardias, mumps,
rubella, cytomegalovirus, mononudeosis infectiosa, varicella dan
virus hepatitis.4,6,7,9Sedangkan patofisiologi tipe II tidak jelas
dipahami, tapi yang pasti ada hubungannya dengan faktor keturunan.
Pada tipe II terjadi defisiensi insulin relatif, hal ini kadang
diperberat oleh resistensi insulin yang biasanya disebabkan karena
kegemukan.Dianggap bahwa kegemukan akan : Mengurangi jumlah
reseptor insulin di sel target Menyebabkan resistensi terhadap
insulin karena perubahan pada post reseptor: - Transport glukosa
berkurang - Menghalangi metabolisme glukosa intraseluler
Menimbulkan faktor-faktor yang bertanggung jawab terhadap defek
seluler, berupa: - Bertambahnya penimbunan lemak - Bertambah
masuknya energi ke dalam tubuh - Komposisi diet (terutama banyak
makanan lemak) - Inaktivasi lemakPada malnutrisi protein dianggap
sel-sel banyak yang rusak. Sedangkan alkohol dianggap menambah
risiko terjadinya pankreatitis.4,9Diabetes mellitus meningkatkan
risiko iskemik miokard, infark serebrovaskular dan iskemik renal
karena meningkatnya insidensi dari penyakit arteri koronaria,
ateromia arterial dan penyakit parenkim ginjal. Peningkatan
mortalitas dijumpai pada semua penderita yang dilakukan pembedahan
dan terutama penderita tipe I menpunyai risiko komplikasi pasca
operasi. 6,7,9
2.4DiagnosisDiabetes mellitus dapat diketahui dengan adanya
gejala yang timbul sebagai akibat hiperglikemia seperti poliuria,
polidipsia, polifagia, penurunan berat badan, gangguan kesadaran,
ketosis dan gangguan degeneratif (neuropati, retinopati,
nefropati).9,10Diagnosis diabetes mellitus dapat ditegakkan
berdasarkan 3 cara. Dua dari 3 cara ini dapat dikerjakan dengan
mudah oleh dokter di bagian emergensi.14 kriteria diagnosis
diabetes mellitus : Gejala diabetes + konsentrasi glukosa plasma
sewaktu >= 200 mg/dl (11,1 mmol/k). Sewaktu didefinisikan
sebagai setiap saat tanpa memperhatikan waktu terakhir makan. Kadar
glukosa plasma puasa >= 126 mg/dl (7,0 ,mmmo/L). Puasa
didefinisikan sebagai tidak ada asupan kalori dalam 8 jam terakhir,
atau Kadar glukosa plasma 2 jam setelah minum 75 gram glukosa oral
pada tes toleransi glukosa oral >= 200 mg/dl. Apabila tidak
terdapat hiperglikemia yang nyata pada keadaan dekompensasi
metabolik akut (seperti diabetes ketoasidosis atau sindrom
hiperglikemik- hiperosmolar-nonketotik), kriteria ini harus
dikonfirmasi dengan mengulang penilaian pada hari yang berbeda.
Penilaian yang ketiga (tes toleransi glukosa oral) tidak dianjurkan
untuk penggunaan klinis rutin.Pada pemeriksaan tes toleransi
glukosa oral usia juga harus diperhitungkan, karena respon insulin
terhadap rangsangan karbohidrat akan menurun untuk setiap dekade
kehidupan. Penyebab sekunder intoleransi karbohidrat harus selalu
diperhitungkan sebagai diagnosis banding. Penyakit tertentu seperti
pankreatitis, hemokromatosis, feokromositoma dan hipertiroidisme
harus selalu disingkirkan terlebih dahulu. Gangguan primer
metabolisme lemak seperti hiperlipidemia primer dapat pula
menyebabkan intoleransi karbohidrat sekunder. Semua penderita
hiperglikemia tanpa ketosis harus dicari kemungkinan
hipertrigliseridemia.
2.5Efek pembedahan dan anestesi pada metabolismeDiabetes
mellitus menggambarkan adanya pengaturan abnormal dan gula darah
karena salah satu sebab yaitu adanya kekurangan insulin absolut
atau karena resistensi insulin. Kadar gula darah tergantung dari
produksi dan penggunaan gula darah tubuh. Selama pembedahan atau
sakit/stres terjadi respon katabolik dimana terjadi peningkatan
sekresi katekolamin, glukagon, korfisol, tetapi di sana juga
terjadi penurunan sekresi insulin. Pembedahan menyebabkan
hiperglikemia, penurunan penggunaan gula darah, peningkatan
glukoneogenesis, katabolisme protein. Respon tersebut dipacu tidak
hanya oleh nyeri tetapi juga oleh sekresi, peptida seperti
interleukin I dan berbagai hormon termasuk growth hormon dan
prolaktin. Efek pembiusan pada respon tersebut sangat bervariasi.
Analgesia epidural tinggi dapat menghambat respon katabolik
terhadap pembedahan dengan cara blokade aferen dan saraf otonom.
Teknik narkotik dosis tinggi (fentanyl 50 mcg) sebagian dapat
mencegah respon stres, sedangkan anestesia umum mempunyai efek
menghambat yang lebih kecil, meskipun dengan pemberian konsentrasi
tinggi (2,1 MAC halotan)1,6,112.6Faktor risiko pada pasien bedah
diabetes mellitusSuatu penelitian memperlihatkan bahwa pasien
diabetes mempunyai mortalitas dan morbiditas pasca bedah lebih
tinggi dibandingkan pasien normal. Masalah yang dapat muncul adalah
infeksi, sepsis dan komplikasi dari arteriosklerosis. Suatu
penelitian menunjukkan 11 % pasien diabetes mengalami komplikasi
miokardiak pada pasca bedah terutama infeksi pneumonia. Komplikasi
jantung terjadi pada 7% dari pasien diabetes, mortalitas pasca
bedah 4%, terutama pada pasien yang sebelumnya menderita penyakit
jantung. Penelitian menunjukkan bahwa pembedahan pada pasien
diabetes dapat meningkatkan mortalitas sampai 10 kali, yang
disebabkan oleh:1. Sepsis2. Neuropati autonomik3. Komplikasi
aterosklerosis (penyakit arteri koroner, stroke, penyakit pembuluh
darah perifer)4. Ketoasidosis dan koma hiperglikemik
hiperosmolar1,7Pada tipe I terjadi proses autoimun yang dapat
merusak sistem saraf autonom dan meningkatkan neuropati autonomik,
dengan gejala klinik : hipohidrosis; berkurangnya respon denyut
jantung terhadap valsava maneuver ( 30 mmHg pada perubahan posisi
tegak.1,6,7Pasien dengan neuropati autonomik dapat mengalami
hipotensi berat setelah pemberian obat anestesi, adanya peningkatan
risiko gastroparesis, aspirasi, episode hipoksia dan retensi urin.
Hipotensi dapat terjadi pada 50% pasien diabetes mellitus dengan
neuropati autonomik. Insidensi neuropati autonomik bervariasi
tergantung dari lamanya mengidap penyakit Pirart mencatat laju
sebesar 7% dalam 1 tahun setelah diagnosis dan sebesar 50 % untuk
mereka dengan diagnosis yang ditegakkan lebih dari 25 tahun
sebelumnya. Burke mendapatkan 1,4 % pasiennya mengalami variasi
laju jantung tak normal. Umumnya disfungsi autonomik meningkat
dengan bertambahnya umur dan lamanya sakit Ada hubungan antara tes
refleks kardiavaskuler yang memburuk dan kontrol gula darah.
Beberapa pasien diabetes dengan neuropati autonomik dapat meninggal
mendadak. Kemungkinan ini terjadi karena respon abnormal terhadap
hipoksia, apnoe tidur atau aritmia jantung namun belum ada
penjelasan yang pasti. Pasien dengan neuropati autonomik mengandung
risiko tinggi.1,5,6,7Pada diabetes mellitus lanjut sering dijumpai
penyakit ginjal. Kondisi tersebut dengan mikroalbuminuria dan
kelainan filtrasi glomerulus yang dijumpai perubahan pada klirens
kreatinin. Dengan kontrol gula yang ketat pada penderita diabetes
dapat melindungi fungsi ginjal. Hipertensi, meskipun tidak pernah
tinggi sekali akan timbul jika glomerular filtration rate (GFR)
berkurang. Jika ada hipertensi berat atau hipertensi timbul
tiba-tiba, harus difikirkan kemungkinan adanya suatu penyakit
berupa stenosis arteria renalis yang aterosklerotik. Aktifitas
plasma renin adalah normal atau berkurang. Hipoaldosteronisme yang
hiporeninemik dengan hiperkalemia dan asidosis metabolik dengan
hiperkloremia sedang adalah suatu keadaan biasa pada nefropati
diabetik. Infeksi dan sepsis memainkan peranan penting dalam
meningkatkan mortalitas dan morbiditas pasca bedah penderita , hal
tersebut dihubungkan dengan adanya fungsi leukosit yang terganggu.
Penderita dengan kontrol gula yang ketat dimana kadar gula
dipertahankan di bawah 250 mg/dl fungsi leukosit akan
pulih.5,6,7,8Hogan melaporkan adanya peningkatan insiden kesulitan
intubasi yang disebabkan oleh "stiff joint syndrome" pada beberapa
penderita . Pada awalnya sindrom ini terjadi pada sendi phalanx
proksimal jari IV dan V, kemudian meluas ke persendian lainnya dari
jari dan tangan, sendi atlantooksipital leher, dan sendi besar
lainnya. Ketidakmampuan untuk mengekstensikan kepala karena
imobilitas atlantooksipital dapat menyulitkan intubasi. Akan tetapi
dari suatu penelitian retrospektif terhadap rekaman anestesi dari
725 pasien yang dilakukan transplantasi ginjal dan atau
transplantasi pankreas (209 diantaranya mengidap diabetes), tidak
seorangpun yang dilaporkan mempunyai tingkat kesulitan laringoskopi
sedang sampai berat. Secara keseluruhan 4,8% penderita diabetes
yang mempunyai tingkat kesulitan intubasi ringan sampai sedang
dibandingkan 1,0% pada non penderita diabetes. Kekakuan sendi ini
disebabkan karena adanya jaringan kolagen abnormal periartikuler
yang disebabkan oleh mikroangiopari progresif. Kelainan kolagen
dihubungkan dengan glikosilasi non enzimatik protein. 'Banyak
pasien ini mempunyai tanda "Prayer Sign" yaitu ketidakmampuan
mendekatkan permukaan kedua palmar dan sendi-sendi jari. Insidens "
stiff joint syndrome" dapat mencapai 30 % pada penderita DM tipe
I.1,5,6,7,8
2.7Pengaruh obat anestesi pada penderita diabetes
mellitusBeberapa obat anestesi dapat meningkatkan gula darah, maka
pemilihan obat anestesi dianggap sama pentingnya dengan stabilisasi
dan pengawasan status diabetesnya.4Beberapa obat yang dipakai untuk
anestesi dapat mengakibatkan perubahan di dalam metabolisme
karbohidrat, tetapi mekanisme dan tempat kerjanya belum jelas.
Obat-obat induksi dapat mempengaruhi homeostatis glukosa
perioperatif. Etomidat menghambat steroidogenesis adrenal dan
sintesis kortisol melalui aksinya pada 11b-hydroxylase dan enzim
pemecah kolesterol, dan akibatnya akan menurunkan respon
hiperglikemia terhadap pembedahan kira-kira 1 mmol per liter pada
pasien non diabetes. Pengaruh pada pasien diabetes belum
terbukti.4.7Benzodiazepin akan menurunkan sekresi ACTH, dan juga
akan memproduksi kortisol jika digunakan dengan dosis tinggi selama
pembedahan. Obat-obat golongan ini akan menurunkan stimulasi
simpatis, tetapi merangsang sekresi growth hormone dan akan
menyebabkan penurunan respon glikemia pada pembedahan. Efek-efek
ini minimal jika midazolam diberikan pada dosis sedatif, tetapi
dapat bermakna jika obat diberikan secara kontinyu melalui infus
intravena pada pasien di ICU.7Teknik anestesia dengan opiat dosis
tinggi tidak hanya memberikan keseimbangan hemodinamik, tetapi juga
keseimbangan hormonal dan metabolik. Teknik ini secara efektif
menghambat seluruh sistem saraf simpatis dan sumbu
hipotalamik-pituitari, kemungkinan melalui efek langsung pada
hipotalamus dan pusat yang lebih tinggi. Peniadaan respon hormonal
katabolik terhadap pembedahan akan meniadakan hiperglikemia yang
terjadi pada pasien normal dan mungkin bermanfaat pada pasien
diabetes.6,7Eter dapat meningkatkan kadar gula darah, mencegah efek
insulin untuk transport glukosa menyeberang membran sel dan secara
tak langsung melalui peningkatan aktifitas simpatis sehingga
meningkatkan glikogenolisis di hati. Menurut Greene penggunaan
halotan pada pasien cukup memuaskan karena kurang pengaruhnya
terhadap peningkatan hormon ;pertumbuhan, peningkatan kadar gula
atau penurunan kadar insulin. Penelitian invitro halotan dapat
menghambat pelepasan insulin dalam merespon hiperglikemia, tetapi
tidak sama |pengaruhnya terhadap level insulin selama anestesi.
Sedangkan sevoflurane dan isofluran tak nyata pengaruhnya terhadap
kadar gula darah.4,6,7Pengaruh propofol pada sekresi insulin tidak
diketahui. Pasien-pasien diabetik menunjukkan penurunan kemampuan
untuk membersihkan lipid dari sirkulasi. Meskipun hal tersebut
tidak relevan selama anestesia singkat jika propofol digunakan
untuk pemeliharaan atau hanya sebagai obat induksi. Keadaan ini
dapat terlihat pada pasien-pasien yang mendapat propofol untuk
sedasi jangka panjang di ICU. Obat-obat anestesi intra vena yang
biasa diberikan mempunyai efek yang tidak berarti terhadap kadar
gula darah kecuali ketamin yang menunjukkan peningkatan kadar gula
akibat efek simpatomimetiknya.7Penggunaan anestesi lokal baik yang
dilakukan dengan teknik epidural atau subarakhnoid tak berefek pada
metabolisme karbohidrat. Untuk prosedur pembedahan pada pasien yang
menderita insufisiensi vaskuler pada ekstremitas bawah sebagai
suatu komplikasi penderita, teknik subarakhnoid atau epidural lebih
memuaskan dan tanpa menimbulkan komplikasi. Epidural anestesia
lebih efektif dibandingkan dengan anestesia umum dalam
mempertahankan perubahan kadar gula, growth hormon dan kortisol
yang disebabkan tindakan operasi.4,7
2.8Teknik anestesi pada penderita diabetes mellitusTeknik
anestesia, terutama dengan penggunaan spinal, epidural dan blokade
regional yang lain, dapat mengatur sekresi hormon katabolik dan
sekresi insulin residual, Peningkatan sirkulasi glukosa
perioperatif, konsentrasi epinefrin dan kortisol yang dijumpai pada
pasien non diabetik yang timbul akibat stres pembedahan dengan
anestesia umum dihambat oleh anestesia epidural. Infus phentolamine
perioperatif, suatu penghambat kompetitif reseptor a-adrenergik,
menurunkan respon gula darah terhadap pembedahan dengan
menghilangkan penekanan sekresi insulin secara parsial.7Tidak ada
bukti bahwa anestesia regional sendiri, atau kombinasi dengan
anestesia umum memberikan banyak keuntungan pada pasien diabetes
yang dilakukan pembedahan dalam hal mortalitas dan komplikasi
mayor. Anestesia regional dapat memberikan risiko yang lebih besar
pada pasien diabetes dengan neuropati autonomik. Hipotensi yang
dalam dapat terjadi dengan akibat gangguan pada pasien dengan
penyakit arteri koronaria, serebrovaskular dan retinovaskular.
Risiko infeksi dan gangguan vaskular dapat meningkat dengan
penggunaan teknik regsonal pada pasien diabetes. Abses epidural
lebih sering terjadi pada anestesia spinal dan epidural.
Sebaliknya, neuropati perifer diabetik yang timbul setelah
anestesia epidural dapat dlkacaukan dengan komplikasi anestesia dan
blok regional. Kombinasi anestesi lokal dengan epinefrin dapat
menyebabkan risiko yang lebih besar terjadinya cedera saraf iskemik
dan atau edema pada penderita diabetes mellitus.5,6,7
BAB IIISIMPULANDiabetes mellitus merupakan masalah endokrin yang
paling sering dihadapi ahli anestesi dalam melakukan pekerjaannya.
Sebanyak 5 % orang dewasa di Barat mengidap diabetes mellitus,
lebih dari 50 % penderita diabetes mellitus suatu saat mengalami
tindakan pembedahan dalam hidupnya dan 75 % merupakan usia lanjut
di atas 50 tahun, sedangkan di Indonesia mempunyai angka prevalensi
penderita diabetes mellitus adalah sekitar 1,5 % dan diperkirakan
25 % penderita diabetes mellitus akan mengalami pembiusan dan
pembedahan.Diabetes mellitus adalah penyakit kronik yang disebabkan
oleh defisiensi insulin ditandai dengan peningkatan kadar glukosa
dalam plasma.8,9American Diabetes Association (ADA) dan WHO
mengeluarkan kriteria diagnostik terbaru. Kedua badan tersebut
menganjurkan penurunan nilai ambang kadar glukosa plasma puasa dan
menetapkan klasifikasi lebih berdasarkan etiologi.7Pembedahan
menyebabkan hiperglikemia, penurunan penggunaan gula darah,
peningkatan glukoneogenesis, katabolisme protein. Efek pembiusan
pada respon tersebut sangat bervariasi. Analgesia epidural tinggi
dapat menghambat respon katabolik terhadap pembedahan dengan cara
blokade aferen dan saraf otonom.Teknik anestesia, terutama dengan
penggunaan spinal, epidural dan blokade regional yang lain, dapat
mengatur sekresi hormon katabolik dan sekresi insulin residual,
Peningkatan sirkulasi glukosa perioperatif, konsentrasi epinefrin
dan kortisol yang dijumpai pada pasien non diabetik yang timbul
akibat stres pembedahan dengan anestesia umum dihambat oleh
anestesia epidural.
DAFTAR PUSTAKA1. Brown Jr and Frink. Anesthetic Management of
Patients with Endocrine Disease in A Practice of Anesthesia, 6th
ed, Edward Arnold, 1996: 995-1004. 2. Gieseeke and Lee. Diabetic
Trauma Patients in Text Book of Trauma Anesthesia ang Critical
Care, Mosby Year Book Inc, 1993: 663-671. 3. Tjokroprawiro A.
Diabetes Mellitus Anestesia-Operasi dalam Buku Naskah Lengkap Konas
III IDSAI, 1992: 209-218. 4. William J, Fenderl. Diseases of the
Endocrine System in Anesthesia and Common Diseases, 2nd ed,
Philadelphia, WBSaunders, 1991: 204-215. 5. Roizen MF. Anesthetic
Implications of Concurent Diseases in Miller RD ed. Anesthesia, 4th
ed, Churchill Livingstone, 1994: 903-1014. 6. Mathes DD. Management
of Common Endocrine Disorder in Stone DJ ed. Perioperative Care,
1sted, Mosby Year Book Inc, 1998: 235-265. 7. McAnulty GR,
Robertshaw HJ, Hall GM. Anaesthetic Management of Patients with
Diabetes Mellitus in British Journal of Anaesthesia, London, 2000:
80-90. 8. Morgan JR. Clinical Anesthesiology, 2nded, Lange Medical
Book, 1996: 636-655. 9. Haznam MW. Pankreas Endokrin dalam
Endokrinologi, Percetakan Angkasa Offset, Bandung, 1991: 36-106.
10. Worthley. Synopsis of Intensive Care Medicine, Longman, 1994:
611-623.11. Zaloga Gary P. Endocrine Consultation in Clinical
Anesthesia Practice, WB Saunders, 1994: 185-209.
Referat
Anastesi Umum pada Pasien Open Fraktur Depres
Oleh:Anjari Agnesia WibowoNur Egis Vajwin
Pembimbing : dr. Dino Irawan, Sp.An
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN REANIMASIFAKULTAS
KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAUPEKANBARU2013