Top Banner
Bab I Pendahuluan Pendahuluan Dalam praktek kedokteran seringkali dihadapi dengan permasalahan yang rumit. Mendiagnosis suatu penyakit bukan perkara mudah. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang benar dan terarah membantu dalam mendiagnosis suatu penyakit yang memberikan gejala dari berbagai gambaran suatu penyakit dasar. Pada kesempatan ini, dalam makalah ini akan menjelaskan kemungkinan-kemungkinan suatu dasar penyakit dari gambaran klinis yang sangat kompleks. Pada kasus ini didapati pasien rawat inap dengan banyak keluhan. Pasien datang dengan keluhan utama nyeri pada perut atas disertai sesak, pasien juga mengeluhkan panas di dadanya dan juga pahit di lidah. Anamnesis dari riwayat penyakit sekarang pasien mengaku demam disertai dengan perdarahan di hidungnya (mimisan) dengan intensitas kurang dan volume cukup sedikit. Oleh karena itu dalam makalah ini dijelaskan kemungkinan penyakit apa saja yang kemungkian besar memberikan gejala yang dikeluhkan pasien. Pada makalah ini juga dijelaskan pemeriksaan penunjang yang berkaitan dengan penyakit dasarnya beserta penatalaksanaannya. Gambaran kasus Pasien mengeluh nyeri perut dan sesak di dekat perut atas sejak 1 jam SMRS sebagai Keluhan utama. Riwayat Penyakit Sekarang : Nyeri perut dirasakan seperti ditusuk-tusuk disertai dengan sesak di dada bagian bawah, nyeri tidak menjalar ke punggung belakang, nyeri tidak 1
58

Anemia.docx

Feb 18, 2016

Download

Documents

Rendy Santoso
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Anemia.docx

Bab I Pendahuluan

Pendahuluan

Dalam praktek kedokteran seringkali dihadapi dengan permasalahan yang rumit.

Mendiagnosis suatu penyakit bukan perkara mudah. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang

benar dan terarah membantu dalam mendiagnosis suatu penyakit yang memberikan gejala

dari berbagai gambaran suatu penyakit dasar.

Pada kesempatan ini, dalam makalah ini akan menjelaskan kemungkinan-kemungki-

nan suatu dasar penyakit dari gambaran klinis yang sangat kompleks. Pada kasus ini didapati

pasien rawat inap dengan banyak keluhan. Pasien datang dengan keluhan utama nyeri pada

perut atas disertai sesak, pasien juga mengeluhkan panas di dadanya dan juga pahit di lidah.

Anamnesis dari riwayat penyakit sekarang pasien mengaku demam disertai dengan

perdarahan di hidungnya (mimisan) dengan intensitas kurang dan volume cukup sedikit.

Oleh karena itu dalam makalah ini dijelaskan kemungkinan penyakit apa saja yang kemu-

ngkian besar memberikan gejala yang dikeluhkan pasien. Pada makalah ini juga dijelaskan

pemeriksaan penunjang yang berkaitan dengan penyakit dasarnya beserta penatalaksanaan-

nya.

Gambaran kasus

Pasien mengeluh nyeri perut dan sesak di dekat perut atas sejak 1 jam SMRS sebagai

Keluhan utama.

Riwayat Penyakit Sekarang : Nyeri perut dirasakan seperti ditusuk-tusuk disertai

dengan sesak di dada bagian bawah, nyeri tidak menjalar ke punggung belakang, nyeri tidak

menjalar ke pinggang dan tangan bagian kiri. Pasien juga mengeluh sesak, sesak dirasakan

seperti naik dari perut ke dada, pasien juga mengeluhkan panas pada bagian dadanya dan

terasa pahit pada lidahnya, nyeri pada dada kiri disangkal.

5 hari SMRS sebenarnya pasien mengeluh demam disertai mengigil di sore dan malam hari dan

membaik setelah bangun tidur. Pasien sempat di rawat di puskesmas karena demam menggigil ,

lemah, dan mimisan (keluar darah melalui hidung), timbul bintik-bintik merah pada badannya

disangkal, perdarahan di gusi disangkal. Riwayat kuning-kuning pada badannya disangkal.

2 hari SMRS pasien mengeluh mual muntah sebanyak 3 x dengan konsistensi cair bercampur

dengan sisa makanan, muntah berdarah disangkal, muntah dengan muntahan kehitaman,

kekuningan disangkal. dan disertai dengan nyeri kepala berdenyut, nafsu makan pasien menurun.

Pasien juga mengeluhkan BAB cair dengan frekuensi lebih dari 3 kali. BAB berdarah disangkal,

Bab berlendir disangkal, BAB kehitaman lengket disangkal. BAK dalam batas normal. Riwayat

haid teratur, tidak terdapat perdarahan diantara waktu haid.

1

Page 2: Anemia.docx

Berikut akan diterangkan mengenai kemungkinan suatu penyakit yang mendasari.

Anemia

Parameter yang pling umum dipakai untuk menunjukkan penurunan massa eritrosit adalah

kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit dan hitung eritrosit. Pada umumny aketiga parameter

tersebut saling bersesuaian. yang menjadi masalah adalah berapakah kadar hemoglobin yang diang-

gap abnormal. Harga abnormal hemoglobin sangat bervariasi secara fisiologik tergantung pada

umur, jenis kelamin, adanya kehamilan dan ketinggian tempat tinggal. Oleh karena itu perlu diten-

tukan titik pemilah (cut off point) di kadar berapa dapat dianggap sebagai keadaan anemia.1

WHO menetapkan cut off point anemia untuk keperluan lapangan seperti terlihat pada tabel

1.

Tabel 1. Kriteria anemia menurut WHO (dikutip dari Hoffbrand AV, et al, 2001)

Kelompok Kriteria Anemia

Laki-laki dewasa < 13 g/dL

Wanita dewasa tidak hamil < 12 g/dl

Wanita hamil < 11 g/dl

Untuk keperluan klinik (rumah sakit atau praktek dokter) di Indonesia dan negara berkem-

bang lainnya, kriteria WHO sulit dilaksanakan karena tidak praktis. Apabila kriteria WHO dipergu-

nakan secara ketat maka sebagian besar pasien yang mengunjungi poliklinik atau dirawat di rumah

sakit akan memerlukan pemeriksaan wok up anemia lebih lanjut. Oleh karena itu beberapa peniliti

di Indonesia mengambil jalan tengah dengan memakai kriteria hemoglobin kurang dari 10 g/dl se-

bagai awal dari work up anemia, atau di India dipakai angka 10-11 g/dl.1

Etiologi dan klasifikasi anemia

Anemia hanyalah suatu kumpulan gejala yang disebabkan oleh bermacam penyebab. Pada

dasarnya anemia disebabkan oleh karena :

1. Gangguan pembentukan eritrosit oleh sum-sum tulang

2. Kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan)

3. Penghancuran dalam tubuh sebelu waktunya (hemolisis)

Gambaran lebih rinci tentang etiologi anemia dapat dilihat pada tabel 2.

2

Page 3: Anemia.docx

Tabel 2. Klasifikasi anemia berdasarkan etiopatogenesis

A. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang

1. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosita. Anemia defisiensi besib. Anemia defisiensi asam folatc. Anemia defisiensi Vit B 12

2. Gangguan penggunaan (utilisasi) besia. Anemia akibat penyakit kronikb. Anemia sideroblastik

3. Kerusakan sumsum tulanga. Anemia aplastikb. Anemia mieloplastikc. Anemia pada keganasan hematologid. Anemia diseritropoetike. Anemia pada sindrom mielodisplastik

Anemia akibat kekurangan eritropoetin : anemia pada gagal ginjal kronik

B. Anemia akibat hemorhagi1. Anemia pasca perdarahan akut2. Anemia akibat perdarahan kronik

C. Anemia hemolitik1. Anemia hemolitik intrakorpuskular

a. Gangguan membran eritrositb. Gangguan enzim eritrosit (enzimopati); Anemia akibat defisiensi G6PDc. Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati)

- Thalasemia- Hemoglobinopati struktural : HbS, HbE dll

2. Anemia hemolitik ekstrakospuskulara. Anemia hemolitik autoimunb. Anemia hemolitik mikroangiopatic. Lain-lain

D. Anemia dengan penyebab tidak diketahui dengan patogenesis yang kompleks

Klasifikasi lain untuk anemia dapat dibuat berdasarkan gambaran morfologik dengan meli-

hat indeks eritrosit atau hapusan darah tepi. Dalam klasifikasi ini anemia dibagi menjadi tiga golon-

gan Tabel 3 :

1. Anemia hipkromik mikrositer bila MCV < 80 fl dan MCH < 27 pg

2. Anemia nomokromik normositer, bila MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg

3. Anemia makrositer, bila MCV > 95 fl.1

Tabel 3. Klasifikasi anemia berdasarkan morfologi dan etiologi

3

Page 4: Anemia.docx

I. Anemia hipkromik mikrositera. Anemia defisiensi besib. Thalasemmia majorc. Anemia akibat penyakit kronik

d. Anemia sideroblastik

II. Anemia normokromik normositera. Anemia pasca perdarahan akutb. Anemia aplastikc. Anemia hemolitik didapatd. Anemia akibat penyakit kronike. Anemia pada gagal ginjal kronikf. Anemia pada sindrom mielodisplastikg. Anemia pada keganasan hematologi

III. Anemia makrositera. Bentuk megaloblastik

1. Anemia defisiensi as. folat2. Anemia defisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa

b. Bentuk non-megaloblastik1. Anemia pada penyakit hati kronik2. Anemia pada hipotiroidsme3. Anemia pada sindrom mielodisplastik

Patofisiologi dan gejala anemia

Gejala umum anemia (sindrom anemia) adalah gejala yang timbul pada setiap kasus anemia,

maupun penyebabnya, apabila kadar hemoglobin turun dibawah harga tertentu. Gejala umum ane-

mia ini timbul karena :

1. Anoksia organ

2. Mekanisme kompensasi tubuh terhadap berkurangnya daya angkut oksigen

Gejala umum anemia menjadi jelas (anemia simtomatik) apabila kadar hemoglobin telah tu-

run dibawah 7 g/dl. Berat ringannya gejala umum anemia tergantung pada :

a). Derajat penurunan hemoglobin

b). Kecepatan penurunan hemoglobin

c). Usia

d). Adanya kelainan jantung atau paru sebelumnya

Gejala anemia dapat digolongkan menjadi tiga jenis gejala :

1.Gejala umum anemia: Gejala umum anemia disebut juga sebagai sindrom anemia, timbul

karena iskemia organ target seta akibat mekanisme kompensasi tubuh

terhadap penurunan kadar hemoglobin. Gejala ini muncul pada setiap

kasus anemia setelah penurunan hemoglobin sampai kadar tertentu

(Hb < 7g/dl). Sindrom anemia terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat

lelah, telinga mendenging (tinnitus), mata berkunang-kunagn, kaki

4

Page 5: Anemia.docx

terasa dingin, sesak nafas dan dispepsia. Pada pemeriksaan, pasien

tampak pucat, yang mudah dilihat pada konjungtiva, mukosa mulut,

telapak tangan, dan jaringan dibawah kuku. Sindrom anemia bersifat

tidak spesifik karena dapat ditimbulkan oleh penyakit di luar anemia

dan tidak sensitif karena timbul setelah penurunan hemoglobin yang

berat Hb< 7 g/dl.1

2.Gejala khas masing-masing anemia : Gejala ini spesifik untuk masing-masing jenis anemia,

sebagai contoh :

• Anemia defisiensi besi : disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis, dan kuku sendok

(koilonychia)

• Anemia megaloblastik : glositis, gangguan neurologik pada def. vit B12

• Anemia hemolitik : Ikterus, splenomegali dan hepatomegali

• Anemia aplastik : perdarahan dan tanda-tanda infeksi1

3.Gejala penyakit dasar : Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan anemia

sangat bervariasi tergantung dari penyebab anemia tersebut. Misalnya

gejala akibat infeksi cacing tambang : sakit perut, pembengkakan

parotis dan warna kuning pada telapak tangan. Pada kasus tertentu

sering gejala penyakit dasar lebih dominan, seperti misalnya pada

anemia akibat penyakit kronik oleh karena rhematoid artritis.

Meskipun tidak spesifik, anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat

penting pada kasus anemia untuk mengarahkan diagnosis anemia.

Tetapi pada umumnya diagnosis anemia memerlukan pemeriksaan

laboratorium.1

Pemeriksaan untuk diagnosis anemia

Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium merupakan penunjang diagnostik pokok dalam diagnosis anemial

Pemeriksaan ini terdiri dari :

1). Pemeriksaan penyaring (Screening test)

2). Pemeriksaan darah seri anemia

3). Pemeriksaan sumsusm tulang

4). Pemeriksaan khusus

Pemeriksaan penyaring

5

Page 6: Anemia.docx

Pemeriksaan penyaring untuk kasus anemia terdiri dari pengukuran kadar hemoglobin, in-

deks eritrosit, dan hapusan darah tepi. Dari sini dapat dipastikan adanya anemia jenis morfologik

anemia tersebut, yang sangat berguna untuk pengarahan diagnosis lebih lanjut.1

Pemeriksaan darah seri anemia

Pemeriksaan darah seri anemia meliputi hitung leukosit, trombosit, hitung retikulosit dan

laju endap darah. Sekarang sudah banyak dipakai automatic hematology analyzer yang dapat mem-

berikan presisi hasil yang lebih baik.1

Pemeriksaan sumsum tulang

Pemeriksaan sumsum tulang memberikan informasi yang sangat berharga mengenai

keadaan sistem hematopoesis. Pemeriksaan ini dibutuhkan untuk diagnosis definitif pada beberapa

jenis anemia. Pemeriksaan sumsum tulang mutlak diperlukan untuk diagnosis anemia aplastik, ane-

mia megaloblastik, serta pada kelainan hematologik yan gdapat mensupresi sistem eritroid.1

Pemeriksaan khusus

Pemeriksaan ini hanya dikerjakan atas indikasi khusus, misalnya pada :

• Anemia defisiensi besi : serum iron, TIBC (Total Iron Binding Capacity), saturasi transferrin,

protoporfirin eritrosit, feritin serum, reseptor transferin dan pengecaran besi pada sumsum tulang

(perl’s stain).

• Anemia megaloblastik : folat serum, vitamin b12 serum, tes supresi deoksiuridn dan schiling

• Anemia hemolitik : bilirubin serum, tes coomb, elekroforesis hemoglobin dan lain-lain

• Anemia aplastik : Biopsi sumsum tulang

Juga diperlukan pemeriksaan non-hematologik tertentu seperti misalnya pemeriksaan faal hati, faal

ginjal atau faal tiroid.1

Pendekatan diagnosis

Anemia hanyalah suatu sindrom, bukan satu kesatuan penyakit, yang dapat disebabkan oleh

betbagai penyakit dasar. Hal ini penting diperhatikan dalam diagnosis anemia. Kita tidak cukup

hanya sampai pada diagnosis anemia, tetapi sedapat mungkin kita harus dapat menentukan penyakit

dasar yang menyebabkan anemia tersebut. Maka tahap-tahap dalam diagnosis anemia adalah :

• Menentukan adanya anemia

• Menentukan jenis anemia

• Menentukan etiologi atau penyakit dasar anemia

• Menentukan ada atau tidaknya penyakit penyerta yang akan memengaruhi hasil pengobatan.

Pendekatan diagnostik berdasarkan tuntunan hasil laboratorium

6

Page 7: Anemia.docx

Pendekatan diagnosis dengan cara gabungan hasil penilaian klinis dan laboratorik merupakan cara

yang ideal tetapi memerlukan fasilitas dan keterampilan klinis yang cukup. pada gambar 1 sampai

dengan gambar 4 memberikan algoritma pendekatan diagnostik anemia berdasarkan hasil pemerik-

saan laboratorium.

Gambar 1. Algoritma pendekatan diagnosis anemia

Gambar 2. Algoritma pendektan diagnosis pasien dengan anemia hipokromik mikrositer

7

Page 8: Anemia.docx

Gam- bar 3. Algoritma di-

agnosis ane- mia normokromik

normositer

Gam- bar 4. Algoritma pen-

dekatan diag- nostik anemia makrositer

Pada kasus yang ditemukan hasil

pemeriksaan lab untuk morfologi eritrosit menunjukkan hipokromik mikrositer. Penyebab anemia

hipokromik mikrositer ada 4 macam salah satunya anemia defisien besi.

Anemia defisiensi besi

Etiologi

8

Page 9: Anemia.docx

Anemia defisiensi dapat disebabkan oleh karena rendahnya masukan besi, gangguan ab-

sorbsi, serta kehilangan besi akibat perdarahan menahun :

• Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun dapat berasal dari :

- Saluran cerna : akibat dari tukak peptik, pemakaian salisilat dan NSAID, kanker lam-

bung, kanker kolon, divertikulosis, hemoroid, dan infeksi cacing tambang

- Saluran genitalia perempuan : Menorrhagia atau metrorhagia

- Saluran kemih : Hematuria

- Saluran nafas : Hemoptoe

• Faktor nutrisi : Akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan, atau kualitas besi (bioavail-

abilitas) besi yang tidak baik (makanan banyak serat, rendah vitamin C, dan rendah daging).

• Kebutuhan besi meningkat : Seperti pada prematuritas, anak dalam masa pertumbuhan dan ke-

hamilan

• Gangguan absorbso besi : gastrektomi, tropical sprue atau kolitis kronik1

Pada orang dewasa anemia defisiensi yang dijumpai di klinik hampir identik dengan per-

darahan menahun. Faktor nutrisi atau peningkatan kebutuhan besi jarang sebagai penyebab utama.

Penyebab perdarahan paling sering pada laki-laki adalah perdarhan gastrointestinal, di negara tropik

paling sering karena infeksi cacing tambang, Sedangkan pada perempuan dalam masa reproduksi

paling sering karena meno-metrorhagia.1

Teradapat perbedaan pola etiologi Anemia Defisiensi Besi (ADB) di masyarakat atau di la-

pangan dengan ADB di rumah sakit atau praktek klinik: ADB dilapangan umumnya disertai anemia

ringan dan sedang, sedangkan di klinik ADB pada umumnya disertai anemia derajat berat. Di lapan-

gan faktor nutrisi lebih berperan dibandingkan dengan perdarahan. Bakta, pada penelitian di desa

jagapati, bali, mendapatkan bahwa infeksi cacing tambang mempunyai peran hanya pada sekitar

30% kasus, faktor nutrisi mungkin berperan pada sebagian besar kasus, terutama pada anemia dera-

jat ringan sampai sedang. Sedangkan di klinik, seperti misalnya pada praktek swasta, ternyata per-

darahan kronik memegang peran penting, pada laki-laki ialah infeksi cacing tambang (54%) dan

hemoroid (27%), sedangkan pada perempuan menorhagian (33%), hemmoroid dan cacing tambang

masing-masing 17%.1

Patogenesis

Perdarahan menahun menyebabkan kehilangan besi sehingga cadangan besi makin menu-

run. Jika cadangan besi menurun, keadaan ini disebut iron depleted state atau negative iron bal-

ance. Keadaan ini ditandai oleh penurunan kada ferritin serum. Peningkatan absorbsi besi dalam

usus, serta pengecatan besi dalam sumsum tulang negatif. Apabila keadaan kekurangan besi berlan-

jut terus maka cadangan besi menjadi kosong sama seklai, penyediaan besi untuk eritropoesis

9

Page 10: Anemia.docx

berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit tetapi anemia secara klinis belum

terjadi, keadaan ini disebut juga sebagai : iron deficient erythropoesis. Pada fase ini kelainan per-

tama yang dijumpai ialah peningkatan kadar free protoporphyrin dalam eritrosit. Saturasi transfer-

rin menurun dan total iron binding capacity (TIBC) meningkat. Akhir-akhir ini parameter yang san-

gat spesifik ialah peningkatan reseptor transferrin dalam serum. Apabila jumlah besi menurun terus

maka eritropoesis semakin terganggu sehingga kadar hemoglobin mulai menurun, akibatnya timbul

anemia hipokromik mikrositer, disebut sebagai iron deficienct anemia. Pada saar ini juga terjadi

kekurangan besi pada epitel serta pada beberapa enzim yang dapat menimbulkan geja pada kuku,

epitel mulut dan faring serta berbagai gejala lainnya.1

Perubahan fungsional non-anemia pada defisiensi besi

Defisiensi besi menimbulkan penurunan fungsi mioglobin, enzim sitokrom dan gliserol fos-

fat oksidae, menyebabkan gangguan glikolisis yang berakibat penumpukkan asam laktat sehingga

mempercepat kelelahan otot.1

Gejala anemia defisiensi besi

Gejala anemia defisiensi besi dapat digolongkan menjadi 3 golongan besar, yaitu : gejala

umum anemia, gejala khas akibat defisensi besi, gejala penyakit dasar.1

Gejala umum anemia

Gejala umum anemia yang disebut juga sebagai sindrom anemia dijumpai pada anemia de-

fisiensi besi apabila kadar hemoglobin turun dibawah 7-8 g/dl. Gejala ini berupa badan lemah, lesu,

cepat lelah, mata berkunang-kunang, serta telinga mendenging. Pada anemia defisiensi besi karena

penurunan kadar hemoglobin yang terjadi secara perlahan-lahan sering kali sindroma anemia tidak

terlalu menyolok dibandingkan dengan anemia lain yang penurunan kadar hemoglobinnya terjadi

lebih cepat, oleh karena mekanisme kompensasi tubuh dapat berjalan dengan baik. Anemia bersifat

asimptomatik jika hemoglobin telah turun dibawah 7 g/dl. Pada pemeriksaan fisik dijumpai pasien

yang pucar, terutama pada konjungtiva dan jaringan di bawah kuku.1

Gejala khas defisiensi besi

Gejala khas yang dijumpai pada defisensi besi, tetapi tidak dijumpai pada anemia jenis lain

adalah :

• Koilonychia : Kuku sendok, kuku menjadi rapuh, bergaris-garis vertikal dan menjadi cekung se-

hingga mirip kuku sendok. gambar 5

• Atrofi papil lidah : Permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena papil lidag menghilang

• Stomatitis angularis : Adanya peradangan pada sudut mulur sehingga tampak sebagai bercak

berwarna keputihan

10

Page 11: Anemia.docx

• Disfagia : Nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring

• Atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia

• Pica : Keinginan untuk memakan bahan yang tak lazim, seperti tanah liat, es, lem dan lain-lain.1

Diagnosis

Untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi harus dilakukan anamnesi dan pemerik-

saan fisik yang teliti disertai pemeriksaan laboratorium yang tepat. Terdapat tiga tahap diagnosis

ADB. Tahap pertama adalah menentukan adanya anemia dengan mengukur kadar hemoglobin atau

hematokrit. Cut off point anemia tergantung kriteria yang dipilih, apakah WHO atai kriteria klinik.

Tahap kedua adalah memastikan adanya defisiensi besi, sedangkan tahap ketiga adalah menentukan

penyebab dati defisiensi yang terjadi.1

Secara laboratoris untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi (tahap satu dan tahap

dua) dapat dipakai kriteria diagnosis anemia defisiensi besi (modifikasi dari kriteria kerlin et al) se-

bagai berikut :

Anemia hipokromik mikrositer pada hapusa darah tepi, atau MCV < 80 fl dan MCHC <

31% dengan salah satu dari Dua dari tiga parameter dibawah ini :

- Besi serum < 50 mg/dl

- TIBC > 350 mg/dl

- Saturasi transferrin < 15% atau

- Ferritin serum < 20 mg/dl atau

- Pengecatan sumsum tulang dengan biru prusia menunjukkan cadangan besi (butir-butir)

hemosiderin negatif, atau

- Dengan pemberian sulfas ferosus 3 x 200 mg/hari (atau preparat besi lainnya) selama 4

minggu disertai kenaikan kadar hemoglobin dari 2 g/dl.1

Pada tahap ketiga ditentukan penyakit dasar yang menjadi penyebab defisensi besi. Tahap

ini sering merupakan proses yang rumit yang memerlukan berbagai jenis pemeriksaan tetapi meru-

pakan tahap yang sangat penting untuk mencegah kekambuhan defisiensi besi serta kemungkinan

untuk dapat menemukan sumber perdarahan yang membahayakan. Meskipun denga pemeriksaan

yang baik, sekitar 20% kasu ADB tidak diketahui penyebabnya.1

Untuk pasien dewasa fokus utama adalah mencari sumber perdarahan. Dilakukan anamnesi

dan pemeriksaan fisis yang teliti, Pada perempuan masa reproduksi ananmnesis tentang menstruasi

sangat penting, kalau perlu dilakukan pemeriksaan ginekologi. Untuk laki-laki dewasa di Indonesia

dilakukan pemeriksaan feses untuk mencari telur cacing tambang. Tidak cukup hanya dilakukan pe-

meriksaan hapusan langsuns (direct smear dengan eosin), tetapi sebaiknya dilakukan pemeriksaan

11

Page 12: Anemia.docx

semi kuantitatif, seperti misalnya teknik Kato-Katz, untuk menentukan beratnya infeksi. Jika dite-

mukan infeksi ringan tidaklah serta merta dapa dianggap sebagai penyebab utama ADB, harus di-

cari penyebab lainnya. Titik kritis telur per gram feses (TPG) > 2000 pada perempuan dan > 4000

pada laki-laki. Dalam suatu penelitian lapangan ditemukan hubungan yang nyata antara derajat in-

feksi cacing tambang dengan cadangan besi pada laki-laki, tetapi hubungan ini lebih lemah pada

perempuan. Anemia akibat cacing tambang sering disertai pembengkakan parotis dan warna kuning

pada telapak tangan. Pada pemeriksaan laboratorium di samping tanda-tanda defisiensi besi disertai

juga adanya eosinofilia.1

Jika tidak ditemukan perdarahan yang nyata, dpaat dilakukan tes darag samar pada feses,

dan jika terdapat indikasi dilakukan endoskopi saluran cerna atas atau bawah.

Diagnosis differensial

Anemia defisiensi besi perlu diedakan dengan anemia hipokromik lainnya seperti akibat

penyakit kronik, thalassemia, anemia sideroblastik. Cara membedakan keempat jenis anemia terse-

but dapat dilihat pada gambar 5.1

Gambar 5. Diagnosis differensial anemia defisiensi besi.

Terapi

12

Page 13: Anemia.docx

Setelah diag-

nosis ditegakkan

maka dibuat rencana

pembe- rian terapi.

Terapi terhadap ane-

mia de- fisiensi besi

adalah :

a. Terapi

kausal : Terapi

ter- hadap penye-

babn perdarahan. Misalnya pengobatan cacing tambang, pengobatan hemmhoroid, pengobatan men-

orrhagia. Terapi kausal harus dilakukan, kalau tidak makaa anemia akan kambuh kembali

b. Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh

Terapi besi oral. Terapi besi oral merupakan terapi pilhan pertama oleh karena efektif, murah dan

aman. Preparat yang tersedia adalah ferrous sulphat (sulfas ferrosus) merupakan preparat pilihan

pertama oleh katena paling murah tetapi efektif. Dosis anjuran adalah 3 X 200 mg. Setiap 200 mg

sulfas ferrosus mengandung 66 mg besi elemental. Pemberian sulfas ferrosus 3 X 200 mg mengaki-

batkan absorbsi besi 50 mg per hari yang dapat meningkatkan eritropoesis dua samapai tiga kali

normal.1

Preparat lain : ferrous gluconate, ferrous fumarat, ferrous lactate dan ferrous succinate. Se-

diaan ini harganya lebih mahal, tetapi efektivitas dan efek samping hampir sama dengan sulfas fer-

rosus. Terdapat juga bentuk sediaa enteric coated yang dianggap memberikan efek samping lebih

rendah, tetapi dapat mengurangi absorbsi besi.1

Preparat besi oral sebaikanya diberikan saat lambung kosong, tetapi efek samping lebih ser-

ing dibandingkan dengan pemberian setelah makan. Pada pasien yang mengalami intoleransi, sulfas

ferosus dapat diberikan saat makan atau setelah makan.

Efek samping utama besi per oral adalah gangguan gastrointestinal yang dijumpai pada 15

sampai 20% yang sangat mengurangai kepatuhan pasien. Keluhan ini dapat berupa mual, muntah,

serta konstipasi. Untuk mengurangi efek samping besi diberikan saat makan atau dosis dikurangi

menjadi 3 X 100 mg.

Pengobatan besi diberikan 3 sampai 6 bulan, ada juga yang menganjurkan sampai 12 bulan,

setelah kadar hemoglobin normal untuk mengisi cadangan besi tubuh. Dosis pemeliharaan yang

diberikan adalah 100 sampai 200 mg. Jika tidak diberikan dosis pemeliharaan, anemia sering kam-

buh kembali.

13

Page 14: Anemia.docx

Untuk meningkatkan penyerapan besi dapat diberikan preparat vitamin C, tetapi dapat

meningkatkan efek samping terapi. Dianjurkan pemberian diet yang banyak mengandung hati dan

daging yang banyak mengandung besi.

Terapi besi parenteral. Terapi besi parenteral sangat efektif tetapi mempunyai risiko lebih besar

dan harganya lebih mahal. Oleh karena resiko ini maka besi perenteral hanya diberikan atas indikasi

tertentu. Indikasi pemberian besi parenteral adalah :

1. Intoleransi terhadap pemberian besi oral

2. Kepatuhan terhadap obat yang rendah

3. Gangguan pencernaan seperti kolitis ulseatif yang dapat kambuh jika diberikan besi

4. Penyerapan besi terganggu, seperti misalnya pada gastrektomi

5. Keadaan dimana kehilangan darah yang banyak sehingga tidak cukup dikompensasi oleh

pemberian besi oral, seperti misalnya pada hereditary hemorrhagic teleangictasi.

6. Kebutuhan besi yang besar dalam waktu pendek, seperti pada kehamilan trimester tiga atau

sebelum operasi.

7. Defisiensi besi fungsional relatif akibat pemberian eritropoeitin pada anemia gagal ginjal

kronik atau anemia akibat penyakit kronik.

Preparat yang tersedia adalah iron dextran complex (mengandung 50 mg besi/ml), iron sor-

bitol citric acid complex dan yang terbaru adalah iron ferric gluconate dan iron sucrose yang lebih

aman. Besi parenteral dapat diberikan secara intramuskular dalam atau intravena pelan. Pemberian

secara intramuskulat memberikan rasa nyeri dan memberikan warna hitam pada kulit. Efek samping

yang dapat timbul adalah reaksi anafilaksis, meskipun jarang. Efek samping lain adalah flebitis,

sakit kepala, flushing, mual, muntah, nyeri perut, dan sinkop.1

Demam Berdarah Dengue (DBD)

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh

virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti, yang ditandai dengan demam mendadak

dua sampai tujuh hari tanpa penyebab yang jelas, lemah/lesu, gelisah, nyeri hulu hati, disertai tanda

perdarahan dikulit berupa petechie, purpura, echymosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis,

melena, hepatomegali, trombositopeni, dan kesadaran menurun atau renjatan.2

Agent Infeksius

Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue. Virus ini termasuk dalam grup B Antropod Borne

Virus (Arboviroses) kelompok flavivirus dari family flaviviridae, yang terdiri dari empat serotipe,

yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3, DEN 4. Masing- masing saling berkaitan sifat antigennya dan dapat

menyebabkan sakit pada manusia. Keempat tipe virus ini telah ditemukan di berbagai daerah di In-14

Page 15: Anemia.docx

donesia. DEN 3 merupakan serotipe yang paling sering ditemui selama terjadinya KLB di Indonesia

diikuti DEN 2, DEN 1, dan DEN 4. DEN 3 juga merupakan serotipe yang paling dominan yang

berhubungan dengan tingkat keparahan penyakit yang menyebabkan gejala klinis yang berat dan

peningkatan mortalitas.3

Manifestasi Klinis

Infeksi oleh virus dengue dapat bersifat asimtomatik maupun simtomatik yang meliputi demam bi-

asa (sindrom virus), demam dengue, atau demam berdarah dengue termasuk sindrom syok dengue

(DSS). Penyakit demam dengue biasanya tidak menyebabkan kematian, penderita sembuh tanpa ge-

jala sisa. Sebaliknya, DHF merupakan penyakit demam akut yang mempunyai ciri-ciri demam,

manifestasi perdarahan, dan berpotensi mengakibatkan renjatan yang dapat menyebabkan kematian.

Gambaran klinis bergantung pada usia, status imun penjamu, dan strain virus.3

Berikut ini adalah bagan manifestasi infeksi virus dengue :

Cara Penularan

Terdapat tiga

faktor yang

memegangTer-

da- pat tiga faktor

yang memegang

peranan pada

penularan in-

feksi virus

dengue, yaitu

manusia, virus,

dan vektor per-15

Page 16: Anemia.docx

antara.Virus dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Nya-

muk Aedes albopictus, Aedes polynesiensis dan beberapa spesies yang lain dapat juga menularkan

virus ini, namun merupakan vektor yang kurang berperan. Nyamuk Aedes tersebut dapat mengan-

dung virus dengue pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia. Kemudian virus

yang berada di kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic incubation period)

sebelum dapat ditularkan kembali kepada manusia pada saat gigitan berikutnya. Virus dalam tubuh

nyamuk betina dapat ditularkan kepada telurnya ( transovanan transmission), namun perannya

dalam penularan virus tidak penting. Sekali virus dapat masuk dan berkembangbiak di dalam tubuh

nyamuk, nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif). Di tubuh manu-

sia, virus memerlukan waktu masa tunas 4-6 hari ( intrinsic incubation period  ) sebelum menim-

bulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada nyamuk hanya dapat terjadi bila nyamuk meng-

gigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5 hari setelah

demam timbul.4

Patogenesis

Patogenesis DBD san SSD (Sindrom Syok Dengue) masih merupakan masalah yang kontro-

versial. Dua teori yang banyak dianut pada DBD dan SSD adalah hipotesi infeksi sekunder ( teori

secondary heterologous infection) atau hipotesis immune enhancement. Hipotesis ini menyatakan

secara itdak langsung bahwa pasien bahwa pasien yang mengalami infeksi yang kedua kalinya den-

gan serotipe virus dengue yang heteroloug mempunyai resiko berat yang lebih besar untuk

menderita DBD. Antibodi heterolog yang sudah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang

akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen antibodi yang kemudiana berikatan

dengan Fc reseptor dari membran sel leukosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi heterolog

maka virus tidak dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel

makrofag.5

Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi selain mengak-

tivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivitasi sistem koagu-

lasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah (gambar 6). Kedua faktor tersebut akan menye-

babkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks

antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di phosphat),

sehingga trombosit melekat satu sama iain. Hal ini akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh

RES ( reticulo endothelial system ) sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan

menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID

16

Page 17: Anemia.docx

= koagulasi intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP ( fibrinogen degredation

product  ) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan.5

Gambar 6. Patogenesis perdarahan DBD

Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga walaupun

Pada gambar 7 dijelaskan klasifikasi derajat penyakit infeksi virus dengue

Gambar 7. Klasifikasi derajat penyakit infeksi virus dengue

Diagnosis

Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis menurut WHO tahun 1997 terdiri dari

kriteria klinis dan laboratorium, semua hal dibawah dipenuhi

1. Kriteria Klinis

17

Page 18: Anemia.docx

a. Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus selama 2-7

hari, biasanya bifasik

b.

Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan : uji tourniquet positif, petechie, echymo-

sis, purpura, perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan malena. Seti-

daknya ditemukan minimal manifestasi.

Uji tourniquet dilakukan dengan terlebih dahulu menetapkan tekanan darah. Selanjutnya

diberikan tekanan di antara sistolik dan diastolik pada alat pengukur yang dipasang pada

lengan di atas siku; tekanan ini diusahakan menetap selama percobaan. Setelah dilakukan

tekanan selama 5 menit, diperhatikan timbulnya petekia pada kulit di lengan bawah bagian

medial pada sepertiga bagian proksimal. Uji dinyatakan positif apabila pada 1 inchi persegi

(2,8 x 2,8 cm) didapat lebih dari 20 petekia.

2.Kriteria Laboratorium

a. Trombositopeni ( < 100.000/mikroliter)

b. Hemokonsentrasi, dapat dilihat dari peningkatan hematokrit 20% atau lebih.

c. Penurunan hematokrit > 20 % stelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan

nilai hematokrit sebelumnya.

d. Tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, asites atau hipoproteinemia.

Dari keterangan diatas terlihat bahwa perbedaan utama antara DD dan DBD adalah ditemukan ke-

bocoran plasma pada DBD.1,3

18

Page 19: Anemia.docx

Demam dengue

Merupakan penyakit demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan dua atau lebih manifestasi

klinis sebagai berikut :

• Nyeri kepala

• Nyeri retro-orbital

• Mialgian/artralgia

• Ruam kulit

• Manifestasi perdarahan (petekia atau uji bendung positif)

• Leukopenia.

• Dan pemeriksaan serologi dengue positif (NS1)

Trombositpenia dapat terjadi pada demam dengue namun tidak terdapat tanda dari kebocoran

plasma.1

Penatalaksanaan

Tidak ad terpai spesifik untuk demam dengue, prinsip utama adalah terapi suportif. Dengan ter-

api suportif yang adekuat, angka kemtaian dapat diturunkan hingga kurang dari 1 %. Pemeliharaan

volume cairan sirkulasi merupakan tindakan yang paling penting dalam penanganan kasus DBD.

Asupan cairan pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika asupan cairan oral pasien tidak

mampu diper-

tahankan,

maka dibu-

tuhkan suple-

men cairan

melalui intra-

vena untuk

mencegah

dehidrasi dan

hemokonsen-

trasi secara

bermakna.1

19

Page 20: Anemia.docx

Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam (PAPDI) bersama dengan Divisi Penyakit Tropik dan

Infeksi dan Divisi Hematologi dan Onkologi Medik FKUI telah menyusun protokol penatalak-

sanaan DBD pada pasien dewasa berdasarkan kriteria :

• Penatalaksanaan yang tepat dengan rancangan tindakan yang dibuat sesuai atas indikasi

• Praktis dalam penatalaksanaannya.

• Mempertimbangkan cost effectivenes.

Protokol ini terbagi kedalam 5 kategori :

Protokol 1 (gambar 8)

Penanganan tersangka (Probable) dewasa tanpa syok.

Gambar 8. Observasi dan pemberian cairan suspek DBD dewasa tanpa renjatan di UGD

Protokol 2 (gambar 9)

Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat

20

Page 21: Anemia.docx

Gambar 9. Pemberian cairan pada suspek DBD dewasa di ruang rawat inap

Protokol 3

(gambar 10)

Pe- natalaksanaan

DBD dengan

peningkatan

hematokrit >

20%

Pro- tokol 4 ( gambar 11)

Penatalaksanaan

per- darahan spontan pada

DBD dewasa

21

Page 22: Anemia.docx

• Pemberian heparin

diberikan apabila

se- cara klinis dan labo-

ratoris didapatkan tanda-tanda koagulasi intravaskular diseminata (KID). Transfusi komponen

darah diberikan sesuai indikasi. FFP diberikan bila didapatkan defisiensi faktor-faktor pembekuan

(PT dan aPTT yang memanjang), PRC diberikan bila nilai Hb kurang dari 10 g/dl. Transfusi

trombosti hanya diberikan pada pasien DBD dengan perdarahan spontan dan masif dengan jum-

lah trombosit < 100.000/mm3 disertai atau tanpa KID.1

Protokol 5 (gambar 12)

Tatatlaksana Sindrom Syok Dengue(SSD) pada dewasa

22

Page 23: Anemia.docx

Gambar 12. Tatalaksana Sindrom Syok Dengue pada dewasa.

Demam thy- poid

Demam tifoid disebut

juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever. Demam tipoid ialah penyakit infeksi akut yang

biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau

lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.

Penyakit ini ditularkan melalui konsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh tinja

atau urin orang yang terinfeksi. Gejala biasanya muncul 1- 3 minggu setelah terkena, dan mungkin

ringan atau berat. Demam tifoid (termasuk para-tifoid) disebabkan oleh kuman Salmonella typhi, S

paratyphi A, S paratyphi B dan S paratyphi C. Jika penyebabnya adalah S paratyphi, gejalanya

lebih ringan dibanding dengan yang disebabkan oleh S typhi.6,7

Patogenesis

Demam tifoid adalah penyakit yang penyebarannya melalui saluran cerna (mulut, esofagus,

lambung, usus 12 jari, usus halus, usus besar, dstnya). S typhi masuk ke tubuh manusia bersama ba-

han makanan atau minuman yang tercemar. Setelah kuman Salmonella typhi tertelan, kuman terse-

but dapat bertahan terhadap asam lambung dan masuk ke dalam tubuh melalui mukosa usus pada

ileum terminalis. Di usus, bakteri melekat pada mikrovili, kemudian melalui barier usus yang meli-

batkan mekanisme membrane ruffling, actin rearrangement, dan internalisasi dalam vakuola in-

traseluler. Kemudian Salmonella typhi menyebar ke sistem limfoid mesenterika dan masuk ke

dalam pembuluh darah melalui sistem limfatik. bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam

makrofag Peyer Patch, nodus limfatikus mesenterica, dan organ- organ extra intestinal sistem

retikuloendotelial. Bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah, kemudian memproduksi entero-23

Page 24: Anemia.docx

toksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan permeabilitas mem-

brane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal. Kuman

dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di

ileum distal dan kemudian kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui ductus thoraci-

cus, kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bak-

teremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial

tubuh terutama hati dan Limpa. Di organ- organ RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan

kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirku-

lasi sistemik yang mengakibatkan bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi

sistemik. Periode inkubasi ini terjadi selama 7-14 hari.6-8

Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama

cairan empedu diekskresikan secara “intermitten” ke dalam lumen usus. Sebagian kuman dikelu-

arkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses

yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka pada saat

fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang selanjutnya akan

menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit

perut, diare diselingi konstipasi, sampai gangguan mental dalam hal ini adalah delirium. Pada anak-

anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau yang terjadi dalam 3 hari

berturut- turut.7

Manifestasi klinis

Setelah 7-14 hari tanpa keluhan atau gejala, dapat muncul keluhan atau gejala yang ber-

variasi mulai dari yang ringan dengan demam yang tidak tinggi, malaise, dan batuk kering sampai

dengan gejala yang berat dengan demam yang berangsur makin tinggi setiap harinya, rasa tidak

nyaman di perut, serta beraneka ragam keluhan lainnya. Gejala yang biasanya dijumpai adalah de-

mam sore hari dengan serangkaian keluhan klinis, seperti anoreksia, mialgia, nyeri abdomen, dan

obstipasi. Dapat disertai dengan lidah kotor, nyeri tekan perut, dan pembengkakan pada stadium

lebih lanjut dari hati atau limpa atau kedua-duanya. Pada anak, diare sering dijumpai pada awal ge-

jala yang baru, kemudian dilanjutkan dengan konstipasi. Konstipasi pada permulaan sering di-

jumpai pada orang dewasa. Walaupun tidak selalu konsisten, bradikardi relatif saat demam tinggi

dapat dijadikan indikator demam tifoid. Pada sekitar 25% dari kasus, ruam makular atau makulo-

papular (rose spots) mulai terlihat pada hari ke 7-10, terutama pada orang berkulit putih, dan terlihat

pada dada bagian bawah dan abdo- men pada hari ke 10-15 serta menetap selama 2-3 hari.9

24

Page 25: Anemia.docx

Sekitar 10-15% dari pasien akan mengalami komplikasi, terutama pada yang sudah sakit se-

lama lebih dari 2 minggu.1,7 Komplikasi yang sering dijumpai adalah reaktif hepatitis, perda- rahan

gastrointestinal, perforasi usus, ensefa- lopati tifosa, serta gangguan pada sistem tu- buh lainnya

mengingat penyebaran kuman adalah secara hematogen. Pada 2 decade sebelumnya melaporkan

dari area endemic penyakit, mendokumentasikan spectrum luas dari manifestasi neuropsychiatric

dari demam typhoid. Manifestasi neuropsychiatric yang dapat terjadi sebagai berikut:

• Toxic confusional state, di cirikan seperti disorientasi, delirium, dan lemah, hal tersebut khas dari

late stage typhoid fever. Pada beberapa kasus, keluhan dan gejala neuropsychiatric lebih dominan

pada awal perjalanan penyakit.

• Stupor, obtundation,koma mengindikasikan penyakit yang berat.10

Diagnosis

Pengetahuan mengenai gambaran klinis penyakit sangat penting untuk membantu men- de-

teksi dini penyakit ini. Pada kasus-kasus tertentu, dibutuhkan pemeriksaan tambahan dari laborato-

rium untuk membantu menegakkan diagnosis. Gambaran darah tepi pada permulaan pe- nyakit da-

pat berbeda dengan pemeriksaan pada keadaan penyakit yang lanjut. Pada per- mulaan penyakit, da-

pat dijumpai pergeseran hitung jenis sel darah putih ke kiri, sedangkan pada stadium lanjut terjadi

pergeseran darah tepi ke kanan (limfositosis relatif). Ciri lain yang sering ditemukan pada gambaran

darah tepi adalah aneosinofilia (menghilangnya eo- sinofil).11

Diagnosis pasti demam tifoid berdasarkan pemeriksaan laboratorium didasarkan pada 3

prinsip, yaitu :

• Isolasibakteri

• Deteksi antigen mikroba

• Titrasi antibodi terhadap organisme penyebab

Diagnosis definitive penyakit tifus dengan isolasi bakteri Salmonella typhi dari specimen

yang berasal dari darah penderita. Pengambilan specimen darah sebaiknya dilakukan pada minggu

pertama timbulnya penyakit, karena kemungkinan untuk positif mencapai 80-90%, khususnya pada

pasien yang belum mendapat terapi antibiotic. Pada minggu ke-3 kemungkinan untuk positif men-

jadi 20-25% and minggu ke-4 hanya 10-15%.12

Peran pemeriksaan Widal (untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen Salmonella typhi)

masih kontroversial.9 Biasanya antibodi an- tigen O dijumpai pada hari 6-8 dan antibodi terhadap

antigen H dijumpai pada hari 10-12 setelah sakit.9 Pada orang yang telah sembuh, antibodi O masih 25

Page 26: Anemia.docx

tetap dapat dijumpai set- elah 4-6 bulan dan antibodi H setelah 10-12 bulan.8 Karena itu, Widal

bukanlah pemerik- saan untuk menentukan kesembuhan penya- kit.8 Diagnosis didasarkan atas ke-

naikan titer sebanyak 4 kali pada dua pengambilan berse- lang beberapa hari atau bila klinis disertai

hasil pemeriksaan titer Widal di atas rata-rata titer orang sehat setempat.13

Pemeriksaan Tubex dapat mendeteksi antibo- di IgM. Hasil pemeriksaan yang positif me-

nun- jukkan adanya infeksi terhadap Salmonella. Antigen yang dipakai pada pemeriksaan ini adalah

O9 dan hanya dijumpai pada Salmo- nella serogroup D. Tes Ig M Anti Salmonella memiliki beber-

apa kelebihan:

*Deteksi infeksi akut lebih dini dan sensitive, karena antibodi IgM muncul paling awal yaitu setelah

3-4 hari terjadinya demam (sensitivitas > 95%). *Lebih spesifik mendeteksi bakteri Salmonella ty-

phi dibandingkan dengan pemeriksaan Widal, sehingga mampu membedakan secara tepat berbagai

infeksi dengan gejala klinis demam (spesifisitas > 93%).

*Memberikan gambaran diagnosis yang lebih pasti karena tidak hanya sekedar hasil positif dan

negatif saja, tetapi juga dapat menentukan tingkat fase akut infeksi.

*Diagnosis lebih cepat, sehingga keputusan pengobatan dapat segera diberikan.

*Hanya memerlukan pemeriksaan tunggal dengan akurasi yang lebih tinggi dibandingkan Widal

serta sudah diuji di beberapa daerah endemic penyakit tifus.11

Penatalaksanaan

1. Perawatan umum

Pasien demam tifoid perlu dirawat dirumah sakit untuk isolasi, observasi dan pengobatan.

Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih selama 14

hari. Maksud tirah baring adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi perdarahan usus atau per-

forasi usus. Mobilisasi pesien harus dilakukan secara sindrom psikosis dan sindrom katatonia

meningitis, guillain-barre, bertahap,sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien. Pasien dengan ke-

sadaran menurun, posisi tubuhnya harus diubah-ubah pada waktu- waktu tertentu untuk menghin-

dari komplikasi pneumonia hipostatik dan dekubitus.

26

Page 27: Anemia.docx

2. Diet

Di masa lampau, pasien demam tifoid diberi bubur saring, kemudian bubur kasar dan

akhirnya diberi nasi. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini,yaitu

nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran dengan serat kasar) dapat diberikan dengan

aman pada pasien demam tifoid.

3. Medikamentosa

Pemilihan antibiotik tergantung pada pola sensitivitas isolat Salmonella typhi setempat.

Munculnya galur Salmonella typhi yang resisten terhadap banyak antibiotik (kelompok MDR) da-

pat mengurangi pilihan antibiotik yang akan diberikan. Terdapat 2 kategori resistensi antibiotik

yaitu resisten terhadap antibiotik kelompok chloramphenicol, ampicillin, dan trimethoprim- sul-

famethoxazole (kelompok MDR) dan resisten terhadap antibiotik fluoroquinolone. Nalidixic acid

resistant Salmonella typhi (NARST ) merupakan petanda berkurangnya sensitivitas terhadap

fluoroquinolone. Terapi antibiotik yang diberikan untuk demam tifoid tanpa komplikasi

berdasarkan WHO tahun 2003 dapat dilihat pada tabel 1.14

Tabel 1. Antibiotik yang diberikan pada demam tifoid tanpa komplikasi menurut WHO 2003

27

Page 28: Anemia.docx

Antibiotik golongan fluoroquinolone (cipro- floxacin, ofloxacin, dan pefloxacin) merupakan

terapi yang efektif untuk demam tifoid yang disebabkan isolat tidak resisten terhadap fluo-

roquinolone dengan angka kesembuhan klinis sebesar 98%, waktu penurunan demam 4 hari, dan

angka kekambuhan dan fecal carrier kurang dari 2%.15

Fluoroquinolone memiliki penetrasi ke jaringan yang sangat baik, dapat membunuh S. typhi

intraseluler di dalam monosit/makrofag, serta mencapai kadar yang tinggi dalam kandung empedu

dibandingkan antibiotik lain.14

Berbagai studi telah dilakukan untuk menilai efektivitas fluoroquinolone dan salah satu fluo-

roquinolone yang saat ini telah diteliti dan memiliki efektivitas yang baik adalah levofloxacin. Studi

komparatif, acak, dan tersamar tunggal telah dilakukan untuk levofloxacin terhadap obat standar

ciprofloxacin untuk terapi demam tifoid tanpa komplikasi. Levofloxacin diberikan dengan dosis 500

mg, 1 kali sehari dan ciprofloxacin diberikan dengan dosis 500 mg, 2 kali sehari masing-masing se-

lama 7 hari. Kesimpulan dari studi ini adalah bahwa pada saat ini levofloxacin lebih bermanfaat

dibandingkan ciprofloxacin dalam hal waktu penurunan demam, hasil mikrobiologi dan secara

bermakna memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan ciprofloxacin.16

Chloramphenicol sudah sejak lama digunakan dan menjadi terapi standar pada demam tifoid

namun kekurangan dari chloramphenicol adalah angka kekambuhan yang tinggi (5-7%), angka ter-

jadinya carrier juga tinggi, dan toksis pada sumsum tulang.14,17

Pasien dengan muntah yang menetap, diare berat, distensi abdomen, atau kesadaran menu-

run memerlukan rawat inap dan pasien dengan gejala klinis tersebut diterapi sebagai pasien demam

tifoid yang berat. Terapi antibiotik yang diberikan pada demam tifoid berat menurut WHO tahun

2003 dapat dilihat di tabel 2. Walaupun di tabel ini tertera cefotaxime untuk terapi demam tifoid

tetapi sayangnya di Indonesia sampai saat ini tidak terdapat laporan keberhasilan terapi demam

tifoid dengan cefotaxime.

Tabel 2 Antibiotik yang diberikan pada demam tifoid berat menurut WHO 2003

28

Page 29: Anemia.docx

Gastro Esophageal Reflux Disease (GERD)

GERD Merupakan suatu keadaan patologis sebagai akibat dari refluks kandungan lambung

ke dalam esofagus, dengan berbagai gejala yang timbul akibat keterlibatan beberapa organ antara

lain esofagus, laring, faring, serta saluran pernafasan. Penyakit ini bersifat multifaktorial.18

Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi (high pressure zone) yang di-

hasilkan oleh kontraksi lower esophageal sphincter (LES), pada keadaan normal keadaan ini

dipertahankan. Pada keadaan normal isi lambung tidak dapat masuk ke esofagus karena adanya

kontraksi dari sfingter esofagus. Sfingter esofagus hanya dapat terbuka jika ada gelombang peri-

staltik untuk menyalurkan bolus makanan yang masuk ke bawah esofagus. Maka mekanisme yang

terjadi otot polos dari sfingter melemas sehingga makanan dapat masuk ke lambung. Jika sfingter

ini melemah (< 3 mmHg) atau inkompeten sehingga sfingter tidak dapat menutup lambung, maka

akan terjadi refluks dari tekanan yang tinggi ke tekanan yang rendah. Dimana tekanan yang lebih

tinggi ada pada rongga abdomen karena terdapat banyak organ didalamnya sedangkan tekanan lebih

rendah ada pada rongga thorax, hal ini menjadikan isi lambung dapat terdorong kedalam esofagus.

Apabila ada keadaan refluks yang berulang dapat memperburuk keadaan menyebabkan inflamasi

dan jaringan parut dibawah esofagus.18,19

Etiologi dan patogenesis

Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme :

1) Refluks spontan pada saat relaksasi LES yang tidak adekuat

2) Aliran retrograde yang mendahului kembalinya tonus LES setelah menelan

3) Meningkatnya tekanan intraabdomen.

Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus LES. Menurunnya tonus LES menye-

babkan timbulnya refluks retrograde pada saat terjadinya peningkatan tekanan intraabdomen. Fak-

tor-faktor yang dapat menurunkan tonus LES diantaranya adalah :

a.  Adanya hiatus hernia (dapat memperpanjang waktu yang dibutuhkan untuk bersihan asam hari

esophagus serta menurunkan tonus LES)

29

Page 30: Anemia.docx

b. Panjang LES (makin pendek LES, makin rendah tonusnya)

c. Obat-obatan seperti antikolinergik, beta adrenergic, theofilin, opiate dan lain-lain.

d. Faktor hormonal (Selama kehamilan, peningkatan kadar progesterone dapat menurunkan

tonus LES).

Manifestasi klinik

Gejala klinik yang khas dari GERD adalah nyeri/rasa tidak enak di epigastrium atau ret-

rosternal bagian bawah. Rasa nyeri dideskripsikan sebagai rasa terbakar (heartburn), kadang-kadang

bercampur dengan gejala disfagia (kesulitan menelan makanan), mual atau regurgitasi dan rasa

pahit di lidah. Regurgitasi yaitu pergerakan kembali isi lambung (material refluks) sampai esofagus

atau faring yang menimbulkan keluhan sering sendawa dan/ atau mulut rasa asam atau pahit.

Odinofagia mungkin bisa terdapat pada pasien GERD oleh karena sudah terbentuk ulserasi esofagus

yang berat.20

Diagnosis

Secara klinis, diagnosis GERD dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan

klinis yang seksama. Beberapa pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk menegakkan diagno-

sis GERD adalah : endoskopi saluran cerna bagian atas, pemantauan pH 24 jam, tes Bernstein,

manometri esofagus, sintigrafi gastroesofageal, dan tes penghambat pompa proton (tes supresi

asam). beberapa pemeriksaan penunjang lainnya dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis

GERD, yaitu :

Endoskopi saluran cerna bagian atas

Pemeriksaan ini merupakan standar baku untuk diagnosis GERD dengan ditemukannya

mucosal break di esofagus (esofagitis refluks).

Dengan endoskopik dapat dinilai perubahan makroskopik dari mukosa esofagus, serta dapat

menyingkirkan keadaan patologis lain yang dapat menimbulkan gejala GERD. Jika tidak ditemukan

muscosal break pada pasien GERD dengan gejala yang khas, keadaan ini disebut non erosive reflux

disease (NERD).

Ditemukannya kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi yang dipastikan dengan pe-

meriksaan histopatologi, dapat mengonfirmasi bahwa gejala heartburn atau regurgitasi memang

karena GERD.20

Esofagografi dengan Barium30

Page 31: Anemia.docx

Dibandingkan dengan endoskopi, pemeriksaan ini kurang peka dan seringkali tidak  menun-

jukan kelainan terutama pada kasus esofagitis ringan. Pada keadaan yang lebih berat, gambar radi-

ologi dapat berupa penebalan dinding dan lipatan mukosa, ulkus atau peneympitan lumen. Pada be-

berapa kasus, pemeriksaan memiliki nilai lebih dari endoskopi, misal pada stenosis esofagus dan

hiatus henia.20

Sementara itu, pada tahun 2008, American Gastroenterological Association (AGA) mener-

bitkan American Gastroenterological Association Medical Position Statement on the Management

of Gastroesophageal Reflux Disease yang berisi 12 pernyataan, di mana pada poin ke-4 dijelaskan

tentang peran dan urutan prioritas uji diagnostik GERD dalam mengevaluasi pasien dengan

sangkaan GERD sebagai berikut : (Hiltz dkk, 2008)

a. Endoskopi dengan biopsi dilakukan untuk pasien yang mengalami gejala esofagus dari

GERD dengan disfagia yang mengganggu. Biopsi harus mencakup area yang diduga

mengalami metaplasia, displasia, atau dalam hal tidak dijumpainya kelainan secara visual,

mukosa yang normal (minimal 5 sampel untuk esofagitis eosinofilik.)

b. Endoskopi dilakukan untuk mengevaluasi pasien yang mengalami gejala esofagus dari

GERD yang tidak berespon terhadap terapi empiris berupa PPI 2 kali sehari. Biopsi harus

mencakup area yang diduga mengalami metaplasia, displasia, atau malignansi.

c. Manometri dilakukan untuk mengevaluasi pasien dengan dugaan gejala GERD yang tidak

berespon terhadap terapi empiris berupa PPI 2 kali sehari dan gambaran endoskopinya

normal.

d. Pemantauan dengan ambulatory impedance-pH, catheter-pH, atau wireless- pH dilakukan

Penatalaksanaan

Pada prinsipnya, penatalaksanaan GERD terdiri dari modifikasi gaya hidup, terapi medika-

mentosa, terapi bedah serta akhir-akhir ini mulai dilakukan terapi endoskopik.Tujuan terapi GERD

adalah menghilangkan gejala, menyembuhkan esofagitis (jika terjadi) dan untuk mencegah

terjadinya komplikasi.20

  Sasaran terapinya adalah asam lambung, lapisan mukosa lambung. Strategi terapinya

dengan menurunkan sekresi asam di lambung, mengurangi keasaman pada lambung, melapisi

mukosa lambung, menaikkan pH dan mengurangi terjadinya reflux, mempercepat pengosongan

lambung, memperkuat LES, faktor barier  antirefluks terpenting. Terapi untuk GERD dapat

dibedakan menjadi terapi tanpa nonfarmakologi atau modifikasi gaya hidup, terapi farmakologis

atau medikamentosa, terapi bedah, terapi endoskopik.20

31

Page 32: Anemia.docx

Modifikasi gaya hidup

Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu penatalaksanaan GERD,namun demikian

bukan merupakan pengobatan primer. Usaha ini bertujuan untuk mengurangi refluks serta mence-

gah kekambuhah. Hal yang perlu dilakukann dalam modifikasi gaya hidup antara lain

1. Meninggikan posisi kepala pada saat tidur dan menghindari makan sebelum tidur,

dengan tujuan meningkatkan bersihan asam lambung selama tidur serta mencegah

refluks asam lambung ke esofagus.

 

2. Berhenti merokok dan mengonsumsi alkohol karena berpengaruh pada tonus SEB.

 3. Mengurangi konsumsi lemak dan mengurangi jumlah makanan yang di makan karena

dapat menimbulkan distensi lambung.

 4. Menurunkan berat badan dan menghindari memakai pakaian ketat untuk mengurangi

tekanan intrabdomen.

 5. Menghindari makanan dan minuman seperti coklat, tehm kopi dan minuman soda

karena dapat merangsang aam lambung.

6. Jika memugkinkan, hindari pemakaian obat yang dapat meningkatkan menurunkan

tonus SEB, antara lain antikolinergik, tefilin, diazepam, antagonis kalsium,

progesteron.

 

Modifikasi gaya hidup merupakan penatalaksanaan lini pertama bagi wanita hamil

dengan GERD.20

Medikmentosa

Dengan 2 pendekatan yaitu step up dan step down :

1. Metode step up menggunakan obat yang tergolong kurang kuat dalam menekan sekresi asam

(antagonis reseptor H2 ) atau golongan prokinetik, bila gagal diberikan golongan obat

penekan sekresi asam yang lebih kuat dengan terapi lebih lama (penghambat pompa proton/

PPI ).

2. Metode step down pengobatan dimulai dengan PPI dan apabila berhasil dapat dilanjutkan

dengan terapi pemeliharaan dengan menggunakan dosis yang lebih rendah atau antagonis

reseptor H2 atau prokinetik atau bahkan antasid.

Antasid

32

Page 33: Anemia.docx

Pengobatan ini digunakan untuk gejala ringan GERD sejak tahun 1971, dan masih dinilai

efektif hingga sekarang dan tidak menimbulkan esofagitis. Selain sebagai penekan asam lambung,

obat ini dapat memperkuat tekanan SEB.

Kelemahan obat golongan ini adalah. Rasanya kurang enak. Dapat menimbulkan diare terutama

yang mengandung magnesium, serta konstipasi terutama antasid yang mengandung aluminium, Se-

lain itu penggunaannya sangat terbatas untuk pasien dengan ganghuan fungsi ginjal. Dosis sehari

4x1 sendok makan.

Antagonis Reseptor H2

  Obat ini dilaporkan berhasil pada 50% kasus GERD. Yang termasuk obat golongan ini

adalah ranitidin, simetidin, famotidin dan nizatidin. Sebagai penekan sekresi asam, golongan obat

ini efektif dalam pengobatan penyakit refluks gastroesofageal jika diberikan dosis 2 kali lebih tinggi

dan dosis untuk terapi ulkus. Pengguanaan obat ini dinilai efektif bagi keadaan yang berat, misalnya

dengan barrett’s esophagus. Golongan obat ini hanya efektif pada pengobatan esofagitis derajat

ringan sampai sedang serta tanpa komplikasi. Dosis rantidin 4x150 mg. 20,23

Obat prokinetik

Secara teoritis, obat ini dianggap paling sesuai untuk pengobatan GERD karena penyakit ini

dianggap lebih condong kearah gangguan motilitas. Namun praktiknya, pengobatan GERD sangat

bergantung pada penekanan sekresi asam. Obat ini berfungsi untuk memperkuat tonus SEB dan

mempercepat pengosongan gaster.20,

1. Metoklopramid

a. Efektifitasnya rendah dalam mengurangi gejala, serta tidak berperan dalam penyembuhan

lesi di esofagus kecuali dikombinasikan dengan antagonis reseptor H2 atau PPI.

b. Karena melalui sawar darah otak, maka dapat tumbuh efek terhadap saraf pusat berupa

mengantuk, pusing, agitasi, tremor, dan diskinesia

c. Dosis 3x 10 mg sebelum makan dan sebelum tidur.20,

2. Domperidon

a. Obat ini antagonis reseptor dopamin (sama dengan metoklopramid) hanya saja obat ini tidak

melewati sawar darah otak, sehingga efek sampingnya lebih jarang.

b. Walaupun efektifitasnya belum banyak dilaporkan, namun obat ini diketahui dapat

menigkatkan tonus SEB dan percepat pengosongan lambung.

c. Dosis 3x10-20 mg sehari.20,

33

Page 34: Anemia.docx

3. Cisapride

a. Obat ini merupakan suatu antagonis reseptor 5HT4, obat ini dapat memperkuat tonus SEB

dan mempercepat pengosongan lambung.

b. Efektivitasnya dalam menghilangkan gejala serta penyembuhan lesi lebih bagus dari

domperidon.

c. Dosis 3x10 mg.20

Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat)

Obat ini tidak memiliki efek langsung terhadapa asam lambung, melainkan berefek pada

meningkatkan pertahanan mukosa esofagus, sebagai buffer terhadap HCl di esofagus serta dapat

mengikat pepsin dan garam empedu. Golongan obat ini cukup aman karen bersifat topikal. Dosis

4x1 gram.20

Penghambat Pompa Proton ( Proton pump inhibitor/PPI)

Merupakan obat terkuat dalam penatalaksanaan GERD, sehingga dijadikan drug of  choice.

Golongan ini bekerja langsung pada pompa proton sel parietal dengan memperngaruhi enzim H, K

ATP- ase yang dianggap sebagai tahap akhir proses pembentukan asam lambung. Pengobatan ini

sangat efektif dalam menghilangkan keluhan serta penyembuhan lesi esofagus, bahkan pada es-

ofagitis erosiva derajat berat yang refrakter dengan antagonis reseptor H.

Dosis untuk GERD adalah dosis penuh, yaitu :

- Omeprazole : 2x20 mg

- Lansoprazole: 2x30 mg

- Pantoprazole: 2x40 mg

- Rabeprazole : 2x10 mg

- Esomeprazole: 2x40 mg

Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi inisial) berikutnya dilanjutkan dengan

dosis pemeliharaan selama 4 bulan , tergantung esofagitisnya. Efektivitas obat ini semakin bertam-

bah jika dikombinasi golongan prokinetik. Tabel 4 Efektifitas terapi obat-obatan.

Tabel 4 Efektifitas terapi obat-obatan

34

Page 35: Anemia.docx

Golongan Obat Menyembuhkan gejala

Menghilangkan lesi esofagitis

Mencegah komp-likasi

Mencegah kekam-buhan

Antasid +1 0 0 0

Prokinetik +2 +1 0 +1

Antagonis reseptor H2

+2 +2 +1 +1

Antagonis reseptor H2 + prokinetik

+3 +3 +1 +1

Antagonis reseptor H2 dosis tinggi

+3 +3 +2 +2

Penghambat pompa proton

+4 +4 +3 +4

Pembedahan +4 +4 +3 +4

Skema 1. Algoritma tatalaksana GERD pada pelayanan kesehatan lini pertama.

35

Page 36: Anemia.docx

Terapi bedah

Terapi bedah merupakan terapi alternatif yang penting jika terapi modifikasi gaya hidup dan medikmentosa tidak berhasil. Umumnya pembedahan yang dilakukan adalah

Fun-

doplikasi nissen

Fundoplikasi Nissen adalah suatu tindakan bedah untuk tatalaksana penyakit GERD bila

tatalaksana Modifikasi gaya hidup dan medikamentosa tidak berhasil. Pada Hiatus hernia, Fundop-

likasi Nissen justru menjadi terapi lini pertama. Teknik operasi ini dilakukan dengan laparoskopi.

Tujuan dari teknik ini adalah memperkuat esofagus bagian bawah untuk  mencegah terjadinya re-

fluks dengan cara membungkus bagian bawah esofagus dengan bagian lambung atas.20,22

Indikasi Fundoplikasi

1. Kasus resisten dan kasus refluks esofagitis dengan komplikasi yang tidak sepenuhnya

responsif terhadap terapi medis atau pada pasien dengan terapi medis jangka panjang yang

tidak menguntungkan.

2. Pasien dengan gejala yang tidak sepenuhnya tekontrol oleh terapi PPI, Pada pasien ini

dipertimbangkan untuk dilakukan pembedahan. Pada pasien dengan penyakit yang tekontrol

dengan baik juga dapat dilakukan pertimbangan pembedahan.

3. Terjadinya esofagus barrret adalah indikasi untuk pembedahan. Asam lambung

meningkatkan terjadinya barrett esofagus berkembang kearah keganasan, tetapi kebanyakan

36

Page 37: Anemia.docx

ahli menyarankan tindakan mensupresi asam lambung secara lengkap untuk pencegahan

pada pasien yang terbukti secara histologis menderita esofagus barret.20

Bab III Penutup

Kesimpulan

Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang tepat dapat membantu mendiagnosis secara

benar dari kumpulan gejala yang dikeluhkan. Rasa tidak nyaman diperut disertai rasa sesak

pada perut bagian atas dan disertai rasa panas di bagian dada khas merupakan gambaran

keluhan dari GERD. Namun dalam hal ini pasien memiliki alarm sign berupa anemia. Pe-

meriksaan penunjang berupa endoskopi perlu dilakukan untuk melihat apakah ada kelainan

organ pada gastroesophagealjunction atau komplikasi yang ditimbulkan dari penyakit

GERD.

Daftar pustaka

1. Bhakta IM. Pendekatan terhadap anemia. Dalam : Sudoyo A, Setiyohadi B,

Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1, Edisi

keempat. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2007.

2. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Dalam : Sudoyo A, Setiyohadi B,

Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1, Edisi

keempat. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2007.

3. Sungkar S. Demam berdarah dengue. Pendidikan dokter berkelanjutan Ikatan dokter

indonesia. Yayasan penerbitan Ikatan Dokter Indonesia. Jakarta agustus 2002.

4. Asih Y. Demam berdarah dengue, diagnostic, pengobatan, pencegahan dan

pengendalian. World Health Organization. Edisi 2. Jakarta : 2005

5. Kliegman, Behrman, Jenson, Stanton. Nelson Textbook of pediatric. Ed. 18.

Saunders 2007.

6. Braunwald. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th Edition, New York, 2005

7. Soedarmo, Sumarmo S., dkk. Demam tifoid. Dalam : Buku ajar infeksi & pediatri tropis. Ed.

Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008.

37

Page 38: Anemia.docx

8. Typhoid fever. Surgery in Africa-Monthly Review [Internet]. 2006 Feb 11 [cited 2015 Okt

19 ]. Available from: http://www.ptolemy.ca/members/archives/2006/typhoid_fever.htm

9. Bhutta ZA. Typhoid fever: current concepts. Infect Dis Clin Pract 2006.

10. Brusch JL, Corales R, Schmitt SK, Garvey T. Typhoid fever dalam Medscape. Web

MD LLC, 2015.

11. Mehta KK. Changing trends in typhoid fever. Medicine Update 2008; 18: 201-4.

12. Kaye KS, Kaye D. Salmonella infections (including typhoid fever). In: Goldman L, Ausiello

D, eds. Cecil Medicine . Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier; 2007:chap 329.

13. Zulkarnain I. Diagnosis demam tifoid. In: Zulkarnain I, Editors. Buku panduan dan diskusi

demam tifoid. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI;

2000.

14. Background document: the diagnosis, treatment, and prevention of typhoid fever [Internet].

2003 [cited 2015 Okt 19]. Available from: www.who-int/vaccines-documents/

15. Bhan MK, Bahl R, Bhatnagar S. Typhoid fever and paratyphoid fever. Lancet 2005; 366:

749-62.

16. Nelwan RHH, Lie KC, Hadisaputro S, Suwandoyo E, Suharto, Nasronudin, et al. A single-

blind randomized multicentre comparative study of efficacy and safety of levofloxacin vs

ciprofloxacin in the treatment of uncomplicated typhoid fever. Paper presented at: 55 th An-

nual Meeting ASTMH; 2006 Nov; Atlanta, USA.

17. Kalra SP, Naithani N, Mehta SR, Swamy AJ. Current trends in the management of typhoid

fever. MJAFI 2003; 59: 130-5.

18. Djojoningrat D. Pendekatan klinis penyakit gastrointestinal. Buku ajar ilmu penyakit

dalam. Edisi 5.Jakarta:Interna publishing;2009.

19. Robbins & Cotran.Dasar patologis penyakit.Edisi 7.Jakarta:EGC;2009.

20. Makmun D. Penyakit Refluks Gastroesofageal. Dalam : Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I,

Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1, Edisi

keempat. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2007

38

Page 39: Anemia.docx

21. Price S.A.Patofisiologi:konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi 6. Jakarta:EGC;2005.

22. Patti M, Kantz J,editor. Gastroesophageal Reflux Disease Treatment & Management. June 8

2011 [cited Okt 09 2015]. Available vailable: http://emedicine.medscape.com/article/

176595-treatment#aw2aab6b6b4aa

39