Page 1
Bab I Pendahuluan
Pendahuluan
Dalam praktek kedokteran seringkali dihadapi dengan permasalahan yang rumit.
Mendiagnosis suatu penyakit bukan perkara mudah. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
benar dan terarah membantu dalam mendiagnosis suatu penyakit yang memberikan gejala
dari berbagai gambaran suatu penyakit dasar.
Pada kesempatan ini, dalam makalah ini akan menjelaskan kemungkinan-kemungki-
nan suatu dasar penyakit dari gambaran klinis yang sangat kompleks. Pada kasus ini didapati
pasien rawat inap dengan banyak keluhan. Pasien datang dengan keluhan utama nyeri pada
perut atas disertai sesak, pasien juga mengeluhkan panas di dadanya dan juga pahit di lidah.
Anamnesis dari riwayat penyakit sekarang pasien mengaku demam disertai dengan
perdarahan di hidungnya (mimisan) dengan intensitas kurang dan volume cukup sedikit.
Oleh karena itu dalam makalah ini dijelaskan kemungkinan penyakit apa saja yang kemu-
ngkian besar memberikan gejala yang dikeluhkan pasien. Pada makalah ini juga dijelaskan
pemeriksaan penunjang yang berkaitan dengan penyakit dasarnya beserta penatalaksanaan-
nya.
Gambaran kasus
Pasien mengeluh nyeri perut dan sesak di dekat perut atas sejak 1 jam SMRS sebagai
Keluhan utama.
Riwayat Penyakit Sekarang : Nyeri perut dirasakan seperti ditusuk-tusuk disertai
dengan sesak di dada bagian bawah, nyeri tidak menjalar ke punggung belakang, nyeri tidak
menjalar ke pinggang dan tangan bagian kiri. Pasien juga mengeluh sesak, sesak dirasakan
seperti naik dari perut ke dada, pasien juga mengeluhkan panas pada bagian dadanya dan
terasa pahit pada lidahnya, nyeri pada dada kiri disangkal.
5 hari SMRS sebenarnya pasien mengeluh demam disertai mengigil di sore dan malam hari dan
membaik setelah bangun tidur. Pasien sempat di rawat di puskesmas karena demam menggigil ,
lemah, dan mimisan (keluar darah melalui hidung), timbul bintik-bintik merah pada badannya
disangkal, perdarahan di gusi disangkal. Riwayat kuning-kuning pada badannya disangkal.
2 hari SMRS pasien mengeluh mual muntah sebanyak 3 x dengan konsistensi cair bercampur
dengan sisa makanan, muntah berdarah disangkal, muntah dengan muntahan kehitaman,
kekuningan disangkal. dan disertai dengan nyeri kepala berdenyut, nafsu makan pasien menurun.
Pasien juga mengeluhkan BAB cair dengan frekuensi lebih dari 3 kali. BAB berdarah disangkal,
Bab berlendir disangkal, BAB kehitaman lengket disangkal. BAK dalam batas normal. Riwayat
haid teratur, tidak terdapat perdarahan diantara waktu haid.
1
Page 2
Berikut akan diterangkan mengenai kemungkinan suatu penyakit yang mendasari.
Anemia
Parameter yang pling umum dipakai untuk menunjukkan penurunan massa eritrosit adalah
kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit dan hitung eritrosit. Pada umumny aketiga parameter
tersebut saling bersesuaian. yang menjadi masalah adalah berapakah kadar hemoglobin yang diang-
gap abnormal. Harga abnormal hemoglobin sangat bervariasi secara fisiologik tergantung pada
umur, jenis kelamin, adanya kehamilan dan ketinggian tempat tinggal. Oleh karena itu perlu diten-
tukan titik pemilah (cut off point) di kadar berapa dapat dianggap sebagai keadaan anemia.1
WHO menetapkan cut off point anemia untuk keperluan lapangan seperti terlihat pada tabel
1.
Tabel 1. Kriteria anemia menurut WHO (dikutip dari Hoffbrand AV, et al, 2001)
Kelompok Kriteria Anemia
Laki-laki dewasa < 13 g/dL
Wanita dewasa tidak hamil < 12 g/dl
Wanita hamil < 11 g/dl
Untuk keperluan klinik (rumah sakit atau praktek dokter) di Indonesia dan negara berkem-
bang lainnya, kriteria WHO sulit dilaksanakan karena tidak praktis. Apabila kriteria WHO dipergu-
nakan secara ketat maka sebagian besar pasien yang mengunjungi poliklinik atau dirawat di rumah
sakit akan memerlukan pemeriksaan wok up anemia lebih lanjut. Oleh karena itu beberapa peniliti
di Indonesia mengambil jalan tengah dengan memakai kriteria hemoglobin kurang dari 10 g/dl se-
bagai awal dari work up anemia, atau di India dipakai angka 10-11 g/dl.1
Etiologi dan klasifikasi anemia
Anemia hanyalah suatu kumpulan gejala yang disebabkan oleh bermacam penyebab. Pada
dasarnya anemia disebabkan oleh karena :
1. Gangguan pembentukan eritrosit oleh sum-sum tulang
2. Kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan)
3. Penghancuran dalam tubuh sebelu waktunya (hemolisis)
Gambaran lebih rinci tentang etiologi anemia dapat dilihat pada tabel 2.
2
Page 3
Tabel 2. Klasifikasi anemia berdasarkan etiopatogenesis
A. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang
1. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosita. Anemia defisiensi besib. Anemia defisiensi asam folatc. Anemia defisiensi Vit B 12
2. Gangguan penggunaan (utilisasi) besia. Anemia akibat penyakit kronikb. Anemia sideroblastik
3. Kerusakan sumsum tulanga. Anemia aplastikb. Anemia mieloplastikc. Anemia pada keganasan hematologid. Anemia diseritropoetike. Anemia pada sindrom mielodisplastik
Anemia akibat kekurangan eritropoetin : anemia pada gagal ginjal kronik
B. Anemia akibat hemorhagi1. Anemia pasca perdarahan akut2. Anemia akibat perdarahan kronik
C. Anemia hemolitik1. Anemia hemolitik intrakorpuskular
a. Gangguan membran eritrositb. Gangguan enzim eritrosit (enzimopati); Anemia akibat defisiensi G6PDc. Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati)
- Thalasemia- Hemoglobinopati struktural : HbS, HbE dll
2. Anemia hemolitik ekstrakospuskulara. Anemia hemolitik autoimunb. Anemia hemolitik mikroangiopatic. Lain-lain
D. Anemia dengan penyebab tidak diketahui dengan patogenesis yang kompleks
Klasifikasi lain untuk anemia dapat dibuat berdasarkan gambaran morfologik dengan meli-
hat indeks eritrosit atau hapusan darah tepi. Dalam klasifikasi ini anemia dibagi menjadi tiga golon-
gan Tabel 3 :
1. Anemia hipkromik mikrositer bila MCV < 80 fl dan MCH < 27 pg
2. Anemia nomokromik normositer, bila MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg
3. Anemia makrositer, bila MCV > 95 fl.1
Tabel 3. Klasifikasi anemia berdasarkan morfologi dan etiologi
3
Page 4
I. Anemia hipkromik mikrositera. Anemia defisiensi besib. Thalasemmia majorc. Anemia akibat penyakit kronik
d. Anemia sideroblastik
II. Anemia normokromik normositera. Anemia pasca perdarahan akutb. Anemia aplastikc. Anemia hemolitik didapatd. Anemia akibat penyakit kronike. Anemia pada gagal ginjal kronikf. Anemia pada sindrom mielodisplastikg. Anemia pada keganasan hematologi
III. Anemia makrositera. Bentuk megaloblastik
1. Anemia defisiensi as. folat2. Anemia defisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa
b. Bentuk non-megaloblastik1. Anemia pada penyakit hati kronik2. Anemia pada hipotiroidsme3. Anemia pada sindrom mielodisplastik
Patofisiologi dan gejala anemia
Gejala umum anemia (sindrom anemia) adalah gejala yang timbul pada setiap kasus anemia,
maupun penyebabnya, apabila kadar hemoglobin turun dibawah harga tertentu. Gejala umum ane-
mia ini timbul karena :
1. Anoksia organ
2. Mekanisme kompensasi tubuh terhadap berkurangnya daya angkut oksigen
Gejala umum anemia menjadi jelas (anemia simtomatik) apabila kadar hemoglobin telah tu-
run dibawah 7 g/dl. Berat ringannya gejala umum anemia tergantung pada :
a). Derajat penurunan hemoglobin
b). Kecepatan penurunan hemoglobin
c). Usia
d). Adanya kelainan jantung atau paru sebelumnya
Gejala anemia dapat digolongkan menjadi tiga jenis gejala :
1.Gejala umum anemia: Gejala umum anemia disebut juga sebagai sindrom anemia, timbul
karena iskemia organ target seta akibat mekanisme kompensasi tubuh
terhadap penurunan kadar hemoglobin. Gejala ini muncul pada setiap
kasus anemia setelah penurunan hemoglobin sampai kadar tertentu
(Hb < 7g/dl). Sindrom anemia terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat
lelah, telinga mendenging (tinnitus), mata berkunang-kunagn, kaki
4
Page 5
terasa dingin, sesak nafas dan dispepsia. Pada pemeriksaan, pasien
tampak pucat, yang mudah dilihat pada konjungtiva, mukosa mulut,
telapak tangan, dan jaringan dibawah kuku. Sindrom anemia bersifat
tidak spesifik karena dapat ditimbulkan oleh penyakit di luar anemia
dan tidak sensitif karena timbul setelah penurunan hemoglobin yang
berat Hb< 7 g/dl.1
2.Gejala khas masing-masing anemia : Gejala ini spesifik untuk masing-masing jenis anemia,
sebagai contoh :
• Anemia defisiensi besi : disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis, dan kuku sendok
(koilonychia)
• Anemia megaloblastik : glositis, gangguan neurologik pada def. vit B12
• Anemia hemolitik : Ikterus, splenomegali dan hepatomegali
• Anemia aplastik : perdarahan dan tanda-tanda infeksi1
3.Gejala penyakit dasar : Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan anemia
sangat bervariasi tergantung dari penyebab anemia tersebut. Misalnya
gejala akibat infeksi cacing tambang : sakit perut, pembengkakan
parotis dan warna kuning pada telapak tangan. Pada kasus tertentu
sering gejala penyakit dasar lebih dominan, seperti misalnya pada
anemia akibat penyakit kronik oleh karena rhematoid artritis.
Meskipun tidak spesifik, anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat
penting pada kasus anemia untuk mengarahkan diagnosis anemia.
Tetapi pada umumnya diagnosis anemia memerlukan pemeriksaan
laboratorium.1
Pemeriksaan untuk diagnosis anemia
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium merupakan penunjang diagnostik pokok dalam diagnosis anemial
Pemeriksaan ini terdiri dari :
1). Pemeriksaan penyaring (Screening test)
2). Pemeriksaan darah seri anemia
3). Pemeriksaan sumsusm tulang
4). Pemeriksaan khusus
Pemeriksaan penyaring
5
Page 6
Pemeriksaan penyaring untuk kasus anemia terdiri dari pengukuran kadar hemoglobin, in-
deks eritrosit, dan hapusan darah tepi. Dari sini dapat dipastikan adanya anemia jenis morfologik
anemia tersebut, yang sangat berguna untuk pengarahan diagnosis lebih lanjut.1
Pemeriksaan darah seri anemia
Pemeriksaan darah seri anemia meliputi hitung leukosit, trombosit, hitung retikulosit dan
laju endap darah. Sekarang sudah banyak dipakai automatic hematology analyzer yang dapat mem-
berikan presisi hasil yang lebih baik.1
Pemeriksaan sumsum tulang
Pemeriksaan sumsum tulang memberikan informasi yang sangat berharga mengenai
keadaan sistem hematopoesis. Pemeriksaan ini dibutuhkan untuk diagnosis definitif pada beberapa
jenis anemia. Pemeriksaan sumsum tulang mutlak diperlukan untuk diagnosis anemia aplastik, ane-
mia megaloblastik, serta pada kelainan hematologik yan gdapat mensupresi sistem eritroid.1
Pemeriksaan khusus
Pemeriksaan ini hanya dikerjakan atas indikasi khusus, misalnya pada :
• Anemia defisiensi besi : serum iron, TIBC (Total Iron Binding Capacity), saturasi transferrin,
protoporfirin eritrosit, feritin serum, reseptor transferin dan pengecaran besi pada sumsum tulang
(perl’s stain).
• Anemia megaloblastik : folat serum, vitamin b12 serum, tes supresi deoksiuridn dan schiling
• Anemia hemolitik : bilirubin serum, tes coomb, elekroforesis hemoglobin dan lain-lain
• Anemia aplastik : Biopsi sumsum tulang
Juga diperlukan pemeriksaan non-hematologik tertentu seperti misalnya pemeriksaan faal hati, faal
ginjal atau faal tiroid.1
Pendekatan diagnosis
Anemia hanyalah suatu sindrom, bukan satu kesatuan penyakit, yang dapat disebabkan oleh
betbagai penyakit dasar. Hal ini penting diperhatikan dalam diagnosis anemia. Kita tidak cukup
hanya sampai pada diagnosis anemia, tetapi sedapat mungkin kita harus dapat menentukan penyakit
dasar yang menyebabkan anemia tersebut. Maka tahap-tahap dalam diagnosis anemia adalah :
• Menentukan adanya anemia
• Menentukan jenis anemia
• Menentukan etiologi atau penyakit dasar anemia
• Menentukan ada atau tidaknya penyakit penyerta yang akan memengaruhi hasil pengobatan.
Pendekatan diagnostik berdasarkan tuntunan hasil laboratorium
6
Page 7
Pendekatan diagnosis dengan cara gabungan hasil penilaian klinis dan laboratorik merupakan cara
yang ideal tetapi memerlukan fasilitas dan keterampilan klinis yang cukup. pada gambar 1 sampai
dengan gambar 4 memberikan algoritma pendekatan diagnostik anemia berdasarkan hasil pemerik-
saan laboratorium.
Gambar 1. Algoritma pendekatan diagnosis anemia
Gambar 2. Algoritma pendektan diagnosis pasien dengan anemia hipokromik mikrositer
7
Page 8
Gam- bar 3. Algoritma di-
agnosis ane- mia normokromik
normositer
Gam- bar 4. Algoritma pen-
dekatan diag- nostik anemia makrositer
Pada kasus yang ditemukan hasil
pemeriksaan lab untuk morfologi eritrosit menunjukkan hipokromik mikrositer. Penyebab anemia
hipokromik mikrositer ada 4 macam salah satunya anemia defisien besi.
Anemia defisiensi besi
Etiologi
8
Page 9
Anemia defisiensi dapat disebabkan oleh karena rendahnya masukan besi, gangguan ab-
sorbsi, serta kehilangan besi akibat perdarahan menahun :
• Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun dapat berasal dari :
- Saluran cerna : akibat dari tukak peptik, pemakaian salisilat dan NSAID, kanker lam-
bung, kanker kolon, divertikulosis, hemoroid, dan infeksi cacing tambang
- Saluran genitalia perempuan : Menorrhagia atau metrorhagia
- Saluran kemih : Hematuria
- Saluran nafas : Hemoptoe
• Faktor nutrisi : Akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan, atau kualitas besi (bioavail-
abilitas) besi yang tidak baik (makanan banyak serat, rendah vitamin C, dan rendah daging).
• Kebutuhan besi meningkat : Seperti pada prematuritas, anak dalam masa pertumbuhan dan ke-
hamilan
• Gangguan absorbso besi : gastrektomi, tropical sprue atau kolitis kronik1
Pada orang dewasa anemia defisiensi yang dijumpai di klinik hampir identik dengan per-
darahan menahun. Faktor nutrisi atau peningkatan kebutuhan besi jarang sebagai penyebab utama.
Penyebab perdarahan paling sering pada laki-laki adalah perdarhan gastrointestinal, di negara tropik
paling sering karena infeksi cacing tambang, Sedangkan pada perempuan dalam masa reproduksi
paling sering karena meno-metrorhagia.1
Teradapat perbedaan pola etiologi Anemia Defisiensi Besi (ADB) di masyarakat atau di la-
pangan dengan ADB di rumah sakit atau praktek klinik: ADB dilapangan umumnya disertai anemia
ringan dan sedang, sedangkan di klinik ADB pada umumnya disertai anemia derajat berat. Di lapan-
gan faktor nutrisi lebih berperan dibandingkan dengan perdarahan. Bakta, pada penelitian di desa
jagapati, bali, mendapatkan bahwa infeksi cacing tambang mempunyai peran hanya pada sekitar
30% kasus, faktor nutrisi mungkin berperan pada sebagian besar kasus, terutama pada anemia dera-
jat ringan sampai sedang. Sedangkan di klinik, seperti misalnya pada praktek swasta, ternyata per-
darahan kronik memegang peran penting, pada laki-laki ialah infeksi cacing tambang (54%) dan
hemoroid (27%), sedangkan pada perempuan menorhagian (33%), hemmoroid dan cacing tambang
masing-masing 17%.1
Patogenesis
Perdarahan menahun menyebabkan kehilangan besi sehingga cadangan besi makin menu-
run. Jika cadangan besi menurun, keadaan ini disebut iron depleted state atau negative iron bal-
ance. Keadaan ini ditandai oleh penurunan kada ferritin serum. Peningkatan absorbsi besi dalam
usus, serta pengecatan besi dalam sumsum tulang negatif. Apabila keadaan kekurangan besi berlan-
jut terus maka cadangan besi menjadi kosong sama seklai, penyediaan besi untuk eritropoesis
9
Page 10
berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit tetapi anemia secara klinis belum
terjadi, keadaan ini disebut juga sebagai : iron deficient erythropoesis. Pada fase ini kelainan per-
tama yang dijumpai ialah peningkatan kadar free protoporphyrin dalam eritrosit. Saturasi transfer-
rin menurun dan total iron binding capacity (TIBC) meningkat. Akhir-akhir ini parameter yang san-
gat spesifik ialah peningkatan reseptor transferrin dalam serum. Apabila jumlah besi menurun terus
maka eritropoesis semakin terganggu sehingga kadar hemoglobin mulai menurun, akibatnya timbul
anemia hipokromik mikrositer, disebut sebagai iron deficienct anemia. Pada saar ini juga terjadi
kekurangan besi pada epitel serta pada beberapa enzim yang dapat menimbulkan geja pada kuku,
epitel mulut dan faring serta berbagai gejala lainnya.1
Perubahan fungsional non-anemia pada defisiensi besi
Defisiensi besi menimbulkan penurunan fungsi mioglobin, enzim sitokrom dan gliserol fos-
fat oksidae, menyebabkan gangguan glikolisis yang berakibat penumpukkan asam laktat sehingga
mempercepat kelelahan otot.1
Gejala anemia defisiensi besi
Gejala anemia defisiensi besi dapat digolongkan menjadi 3 golongan besar, yaitu : gejala
umum anemia, gejala khas akibat defisensi besi, gejala penyakit dasar.1
Gejala umum anemia
Gejala umum anemia yang disebut juga sebagai sindrom anemia dijumpai pada anemia de-
fisiensi besi apabila kadar hemoglobin turun dibawah 7-8 g/dl. Gejala ini berupa badan lemah, lesu,
cepat lelah, mata berkunang-kunang, serta telinga mendenging. Pada anemia defisiensi besi karena
penurunan kadar hemoglobin yang terjadi secara perlahan-lahan sering kali sindroma anemia tidak
terlalu menyolok dibandingkan dengan anemia lain yang penurunan kadar hemoglobinnya terjadi
lebih cepat, oleh karena mekanisme kompensasi tubuh dapat berjalan dengan baik. Anemia bersifat
asimptomatik jika hemoglobin telah turun dibawah 7 g/dl. Pada pemeriksaan fisik dijumpai pasien
yang pucar, terutama pada konjungtiva dan jaringan di bawah kuku.1
Gejala khas defisiensi besi
Gejala khas yang dijumpai pada defisensi besi, tetapi tidak dijumpai pada anemia jenis lain
adalah :
• Koilonychia : Kuku sendok, kuku menjadi rapuh, bergaris-garis vertikal dan menjadi cekung se-
hingga mirip kuku sendok. gambar 5
• Atrofi papil lidah : Permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena papil lidag menghilang
• Stomatitis angularis : Adanya peradangan pada sudut mulur sehingga tampak sebagai bercak
berwarna keputihan
10
Page 11
• Disfagia : Nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring
• Atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia
• Pica : Keinginan untuk memakan bahan yang tak lazim, seperti tanah liat, es, lem dan lain-lain.1
Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi harus dilakukan anamnesi dan pemerik-
saan fisik yang teliti disertai pemeriksaan laboratorium yang tepat. Terdapat tiga tahap diagnosis
ADB. Tahap pertama adalah menentukan adanya anemia dengan mengukur kadar hemoglobin atau
hematokrit. Cut off point anemia tergantung kriteria yang dipilih, apakah WHO atai kriteria klinik.
Tahap kedua adalah memastikan adanya defisiensi besi, sedangkan tahap ketiga adalah menentukan
penyebab dati defisiensi yang terjadi.1
Secara laboratoris untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi (tahap satu dan tahap
dua) dapat dipakai kriteria diagnosis anemia defisiensi besi (modifikasi dari kriteria kerlin et al) se-
bagai berikut :
Anemia hipokromik mikrositer pada hapusa darah tepi, atau MCV < 80 fl dan MCHC <
31% dengan salah satu dari Dua dari tiga parameter dibawah ini :
- Besi serum < 50 mg/dl
- TIBC > 350 mg/dl
- Saturasi transferrin < 15% atau
- Ferritin serum < 20 mg/dl atau
- Pengecatan sumsum tulang dengan biru prusia menunjukkan cadangan besi (butir-butir)
hemosiderin negatif, atau
- Dengan pemberian sulfas ferosus 3 x 200 mg/hari (atau preparat besi lainnya) selama 4
minggu disertai kenaikan kadar hemoglobin dari 2 g/dl.1
Pada tahap ketiga ditentukan penyakit dasar yang menjadi penyebab defisensi besi. Tahap
ini sering merupakan proses yang rumit yang memerlukan berbagai jenis pemeriksaan tetapi meru-
pakan tahap yang sangat penting untuk mencegah kekambuhan defisiensi besi serta kemungkinan
untuk dapat menemukan sumber perdarahan yang membahayakan. Meskipun denga pemeriksaan
yang baik, sekitar 20% kasu ADB tidak diketahui penyebabnya.1
Untuk pasien dewasa fokus utama adalah mencari sumber perdarahan. Dilakukan anamnesi
dan pemeriksaan fisis yang teliti, Pada perempuan masa reproduksi ananmnesis tentang menstruasi
sangat penting, kalau perlu dilakukan pemeriksaan ginekologi. Untuk laki-laki dewasa di Indonesia
dilakukan pemeriksaan feses untuk mencari telur cacing tambang. Tidak cukup hanya dilakukan pe-
meriksaan hapusan langsuns (direct smear dengan eosin), tetapi sebaiknya dilakukan pemeriksaan
11
Page 12
semi kuantitatif, seperti misalnya teknik Kato-Katz, untuk menentukan beratnya infeksi. Jika dite-
mukan infeksi ringan tidaklah serta merta dapa dianggap sebagai penyebab utama ADB, harus di-
cari penyebab lainnya. Titik kritis telur per gram feses (TPG) > 2000 pada perempuan dan > 4000
pada laki-laki. Dalam suatu penelitian lapangan ditemukan hubungan yang nyata antara derajat in-
feksi cacing tambang dengan cadangan besi pada laki-laki, tetapi hubungan ini lebih lemah pada
perempuan. Anemia akibat cacing tambang sering disertai pembengkakan parotis dan warna kuning
pada telapak tangan. Pada pemeriksaan laboratorium di samping tanda-tanda defisiensi besi disertai
juga adanya eosinofilia.1
Jika tidak ditemukan perdarahan yang nyata, dpaat dilakukan tes darag samar pada feses,
dan jika terdapat indikasi dilakukan endoskopi saluran cerna atas atau bawah.
Diagnosis differensial
Anemia defisiensi besi perlu diedakan dengan anemia hipokromik lainnya seperti akibat
penyakit kronik, thalassemia, anemia sideroblastik. Cara membedakan keempat jenis anemia terse-
but dapat dilihat pada gambar 5.1
Gambar 5. Diagnosis differensial anemia defisiensi besi.
Terapi
12
Page 13
Setelah diag-
nosis ditegakkan
maka dibuat rencana
pembe- rian terapi.
Terapi terhadap ane-
mia de- fisiensi besi
adalah :
a. Terapi
kausal : Terapi
ter- hadap penye-
babn perdarahan. Misalnya pengobatan cacing tambang, pengobatan hemmhoroid, pengobatan men-
orrhagia. Terapi kausal harus dilakukan, kalau tidak makaa anemia akan kambuh kembali
b. Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh
Terapi besi oral. Terapi besi oral merupakan terapi pilhan pertama oleh karena efektif, murah dan
aman. Preparat yang tersedia adalah ferrous sulphat (sulfas ferrosus) merupakan preparat pilihan
pertama oleh katena paling murah tetapi efektif. Dosis anjuran adalah 3 X 200 mg. Setiap 200 mg
sulfas ferrosus mengandung 66 mg besi elemental. Pemberian sulfas ferrosus 3 X 200 mg mengaki-
batkan absorbsi besi 50 mg per hari yang dapat meningkatkan eritropoesis dua samapai tiga kali
normal.1
Preparat lain : ferrous gluconate, ferrous fumarat, ferrous lactate dan ferrous succinate. Se-
diaan ini harganya lebih mahal, tetapi efektivitas dan efek samping hampir sama dengan sulfas fer-
rosus. Terdapat juga bentuk sediaa enteric coated yang dianggap memberikan efek samping lebih
rendah, tetapi dapat mengurangi absorbsi besi.1
Preparat besi oral sebaikanya diberikan saat lambung kosong, tetapi efek samping lebih ser-
ing dibandingkan dengan pemberian setelah makan. Pada pasien yang mengalami intoleransi, sulfas
ferosus dapat diberikan saat makan atau setelah makan.
Efek samping utama besi per oral adalah gangguan gastrointestinal yang dijumpai pada 15
sampai 20% yang sangat mengurangai kepatuhan pasien. Keluhan ini dapat berupa mual, muntah,
serta konstipasi. Untuk mengurangi efek samping besi diberikan saat makan atau dosis dikurangi
menjadi 3 X 100 mg.
Pengobatan besi diberikan 3 sampai 6 bulan, ada juga yang menganjurkan sampai 12 bulan,
setelah kadar hemoglobin normal untuk mengisi cadangan besi tubuh. Dosis pemeliharaan yang
diberikan adalah 100 sampai 200 mg. Jika tidak diberikan dosis pemeliharaan, anemia sering kam-
buh kembali.
13
Page 14
Untuk meningkatkan penyerapan besi dapat diberikan preparat vitamin C, tetapi dapat
meningkatkan efek samping terapi. Dianjurkan pemberian diet yang banyak mengandung hati dan
daging yang banyak mengandung besi.
Terapi besi parenteral. Terapi besi parenteral sangat efektif tetapi mempunyai risiko lebih besar
dan harganya lebih mahal. Oleh karena resiko ini maka besi perenteral hanya diberikan atas indikasi
tertentu. Indikasi pemberian besi parenteral adalah :
1. Intoleransi terhadap pemberian besi oral
2. Kepatuhan terhadap obat yang rendah
3. Gangguan pencernaan seperti kolitis ulseatif yang dapat kambuh jika diberikan besi
4. Penyerapan besi terganggu, seperti misalnya pada gastrektomi
5. Keadaan dimana kehilangan darah yang banyak sehingga tidak cukup dikompensasi oleh
pemberian besi oral, seperti misalnya pada hereditary hemorrhagic teleangictasi.
6. Kebutuhan besi yang besar dalam waktu pendek, seperti pada kehamilan trimester tiga atau
sebelum operasi.
7. Defisiensi besi fungsional relatif akibat pemberian eritropoeitin pada anemia gagal ginjal
kronik atau anemia akibat penyakit kronik.
Preparat yang tersedia adalah iron dextran complex (mengandung 50 mg besi/ml), iron sor-
bitol citric acid complex dan yang terbaru adalah iron ferric gluconate dan iron sucrose yang lebih
aman. Besi parenteral dapat diberikan secara intramuskular dalam atau intravena pelan. Pemberian
secara intramuskulat memberikan rasa nyeri dan memberikan warna hitam pada kulit. Efek samping
yang dapat timbul adalah reaksi anafilaksis, meskipun jarang. Efek samping lain adalah flebitis,
sakit kepala, flushing, mual, muntah, nyeri perut, dan sinkop.1
Demam Berdarah Dengue (DBD)
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti, yang ditandai dengan demam mendadak
dua sampai tujuh hari tanpa penyebab yang jelas, lemah/lesu, gelisah, nyeri hulu hati, disertai tanda
perdarahan dikulit berupa petechie, purpura, echymosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis,
melena, hepatomegali, trombositopeni, dan kesadaran menurun atau renjatan.2
Agent Infeksius
Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue. Virus ini termasuk dalam grup B Antropod Borne
Virus (Arboviroses) kelompok flavivirus dari family flaviviridae, yang terdiri dari empat serotipe,
yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3, DEN 4. Masing- masing saling berkaitan sifat antigennya dan dapat
menyebabkan sakit pada manusia. Keempat tipe virus ini telah ditemukan di berbagai daerah di In-14
Page 15
donesia. DEN 3 merupakan serotipe yang paling sering ditemui selama terjadinya KLB di Indonesia
diikuti DEN 2, DEN 1, dan DEN 4. DEN 3 juga merupakan serotipe yang paling dominan yang
berhubungan dengan tingkat keparahan penyakit yang menyebabkan gejala klinis yang berat dan
peningkatan mortalitas.3
Manifestasi Klinis
Infeksi oleh virus dengue dapat bersifat asimtomatik maupun simtomatik yang meliputi demam bi-
asa (sindrom virus), demam dengue, atau demam berdarah dengue termasuk sindrom syok dengue
(DSS). Penyakit demam dengue biasanya tidak menyebabkan kematian, penderita sembuh tanpa ge-
jala sisa. Sebaliknya, DHF merupakan penyakit demam akut yang mempunyai ciri-ciri demam,
manifestasi perdarahan, dan berpotensi mengakibatkan renjatan yang dapat menyebabkan kematian.
Gambaran klinis bergantung pada usia, status imun penjamu, dan strain virus.3
Berikut ini adalah bagan manifestasi infeksi virus dengue :
Cara Penularan
Terdapat tiga
faktor yang
memegangTer-
da- pat tiga faktor
yang memegang
peranan pada
penularan in-
feksi virus
dengue, yaitu
manusia, virus,
dan vektor per-15
Page 16
antara.Virus dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Nya-
muk Aedes albopictus, Aedes polynesiensis dan beberapa spesies yang lain dapat juga menularkan
virus ini, namun merupakan vektor yang kurang berperan. Nyamuk Aedes tersebut dapat mengan-
dung virus dengue pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia. Kemudian virus
yang berada di kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic incubation period)
sebelum dapat ditularkan kembali kepada manusia pada saat gigitan berikutnya. Virus dalam tubuh
nyamuk betina dapat ditularkan kepada telurnya ( transovanan transmission), namun perannya
dalam penularan virus tidak penting. Sekali virus dapat masuk dan berkembangbiak di dalam tubuh
nyamuk, nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif). Di tubuh manu-
sia, virus memerlukan waktu masa tunas 4-6 hari ( intrinsic incubation period ) sebelum menim-
bulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada nyamuk hanya dapat terjadi bila nyamuk meng-
gigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5 hari setelah
demam timbul.4
Patogenesis
Patogenesis DBD san SSD (Sindrom Syok Dengue) masih merupakan masalah yang kontro-
versial. Dua teori yang banyak dianut pada DBD dan SSD adalah hipotesi infeksi sekunder ( teori
secondary heterologous infection) atau hipotesis immune enhancement. Hipotesis ini menyatakan
secara itdak langsung bahwa pasien bahwa pasien yang mengalami infeksi yang kedua kalinya den-
gan serotipe virus dengue yang heteroloug mempunyai resiko berat yang lebih besar untuk
menderita DBD. Antibodi heterolog yang sudah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang
akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen antibodi yang kemudiana berikatan
dengan Fc reseptor dari membran sel leukosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi heterolog
maka virus tidak dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel
makrofag.5
Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi selain mengak-
tivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivitasi sistem koagu-
lasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah (gambar 6). Kedua faktor tersebut akan menye-
babkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks
antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di phosphat),
sehingga trombosit melekat satu sama iain. Hal ini akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh
RES ( reticulo endothelial system ) sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan
menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID
16
Page 17
= koagulasi intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP ( fibrinogen degredation
product ) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan.5
Gambar 6. Patogenesis perdarahan DBD
Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga walaupun
Pada gambar 7 dijelaskan klasifikasi derajat penyakit infeksi virus dengue
Gambar 7. Klasifikasi derajat penyakit infeksi virus dengue
Diagnosis
Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis menurut WHO tahun 1997 terdiri dari
kriteria klinis dan laboratorium, semua hal dibawah dipenuhi
1. Kriteria Klinis
17
Page 18
a. Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus selama 2-7
hari, biasanya bifasik
b.
Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan : uji tourniquet positif, petechie, echymo-
sis, purpura, perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan malena. Seti-
daknya ditemukan minimal manifestasi.
Uji tourniquet dilakukan dengan terlebih dahulu menetapkan tekanan darah. Selanjutnya
diberikan tekanan di antara sistolik dan diastolik pada alat pengukur yang dipasang pada
lengan di atas siku; tekanan ini diusahakan menetap selama percobaan. Setelah dilakukan
tekanan selama 5 menit, diperhatikan timbulnya petekia pada kulit di lengan bawah bagian
medial pada sepertiga bagian proksimal. Uji dinyatakan positif apabila pada 1 inchi persegi
(2,8 x 2,8 cm) didapat lebih dari 20 petekia.
2.Kriteria Laboratorium
a. Trombositopeni ( < 100.000/mikroliter)
b. Hemokonsentrasi, dapat dilihat dari peningkatan hematokrit 20% atau lebih.
c. Penurunan hematokrit > 20 % stelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan
nilai hematokrit sebelumnya.
d. Tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, asites atau hipoproteinemia.
Dari keterangan diatas terlihat bahwa perbedaan utama antara DD dan DBD adalah ditemukan ke-
bocoran plasma pada DBD.1,3
18
Page 19
Demam dengue
Merupakan penyakit demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan dua atau lebih manifestasi
klinis sebagai berikut :
• Nyeri kepala
• Nyeri retro-orbital
• Mialgian/artralgia
• Ruam kulit
• Manifestasi perdarahan (petekia atau uji bendung positif)
• Leukopenia.
• Dan pemeriksaan serologi dengue positif (NS1)
Trombositpenia dapat terjadi pada demam dengue namun tidak terdapat tanda dari kebocoran
plasma.1
Penatalaksanaan
Tidak ad terpai spesifik untuk demam dengue, prinsip utama adalah terapi suportif. Dengan ter-
api suportif yang adekuat, angka kemtaian dapat diturunkan hingga kurang dari 1 %. Pemeliharaan
volume cairan sirkulasi merupakan tindakan yang paling penting dalam penanganan kasus DBD.
Asupan cairan pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika asupan cairan oral pasien tidak
mampu diper-
tahankan,
maka dibu-
tuhkan suple-
men cairan
melalui intra-
vena untuk
mencegah
dehidrasi dan
hemokonsen-
trasi secara
bermakna.1
19
Page 20
Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam (PAPDI) bersama dengan Divisi Penyakit Tropik dan
Infeksi dan Divisi Hematologi dan Onkologi Medik FKUI telah menyusun protokol penatalak-
sanaan DBD pada pasien dewasa berdasarkan kriteria :
• Penatalaksanaan yang tepat dengan rancangan tindakan yang dibuat sesuai atas indikasi
• Praktis dalam penatalaksanaannya.
• Mempertimbangkan cost effectivenes.
Protokol ini terbagi kedalam 5 kategori :
Protokol 1 (gambar 8)
Penanganan tersangka (Probable) dewasa tanpa syok.
Gambar 8. Observasi dan pemberian cairan suspek DBD dewasa tanpa renjatan di UGD
Protokol 2 (gambar 9)
Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat
20
Page 21
Gambar 9. Pemberian cairan pada suspek DBD dewasa di ruang rawat inap
Protokol 3
(gambar 10)
Pe- natalaksanaan
DBD dengan
peningkatan
hematokrit >
20%
Pro- tokol 4 ( gambar 11)
Penatalaksanaan
per- darahan spontan pada
DBD dewasa
21
Page 22
• Pemberian heparin
diberikan apabila
se- cara klinis dan labo-
ratoris didapatkan tanda-tanda koagulasi intravaskular diseminata (KID). Transfusi komponen
darah diberikan sesuai indikasi. FFP diberikan bila didapatkan defisiensi faktor-faktor pembekuan
(PT dan aPTT yang memanjang), PRC diberikan bila nilai Hb kurang dari 10 g/dl. Transfusi
trombosti hanya diberikan pada pasien DBD dengan perdarahan spontan dan masif dengan jum-
lah trombosit < 100.000/mm3 disertai atau tanpa KID.1
Protokol 5 (gambar 12)
Tatatlaksana Sindrom Syok Dengue(SSD) pada dewasa
22
Page 23
Gambar 12. Tatalaksana Sindrom Syok Dengue pada dewasa.
Demam thy- poid
Demam tifoid disebut
juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever. Demam tipoid ialah penyakit infeksi akut yang
biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau
lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.
Penyakit ini ditularkan melalui konsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh tinja
atau urin orang yang terinfeksi. Gejala biasanya muncul 1- 3 minggu setelah terkena, dan mungkin
ringan atau berat. Demam tifoid (termasuk para-tifoid) disebabkan oleh kuman Salmonella typhi, S
paratyphi A, S paratyphi B dan S paratyphi C. Jika penyebabnya adalah S paratyphi, gejalanya
lebih ringan dibanding dengan yang disebabkan oleh S typhi.6,7
Patogenesis
Demam tifoid adalah penyakit yang penyebarannya melalui saluran cerna (mulut, esofagus,
lambung, usus 12 jari, usus halus, usus besar, dstnya). S typhi masuk ke tubuh manusia bersama ba-
han makanan atau minuman yang tercemar. Setelah kuman Salmonella typhi tertelan, kuman terse-
but dapat bertahan terhadap asam lambung dan masuk ke dalam tubuh melalui mukosa usus pada
ileum terminalis. Di usus, bakteri melekat pada mikrovili, kemudian melalui barier usus yang meli-
batkan mekanisme membrane ruffling, actin rearrangement, dan internalisasi dalam vakuola in-
traseluler. Kemudian Salmonella typhi menyebar ke sistem limfoid mesenterika dan masuk ke
dalam pembuluh darah melalui sistem limfatik. bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam
makrofag Peyer Patch, nodus limfatikus mesenterica, dan organ- organ extra intestinal sistem
retikuloendotelial. Bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah, kemudian memproduksi entero-23
Page 24
toksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan permeabilitas mem-
brane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal. Kuman
dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di
ileum distal dan kemudian kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui ductus thoraci-
cus, kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bak-
teremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial
tubuh terutama hati dan Limpa. Di organ- organ RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan
kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirku-
lasi sistemik yang mengakibatkan bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi
sistemik. Periode inkubasi ini terjadi selama 7-14 hari.6-8
Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama
cairan empedu diekskresikan secara “intermitten” ke dalam lumen usus. Sebagian kuman dikelu-
arkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses
yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka pada saat
fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang selanjutnya akan
menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit
perut, diare diselingi konstipasi, sampai gangguan mental dalam hal ini adalah delirium. Pada anak-
anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau yang terjadi dalam 3 hari
berturut- turut.7
Manifestasi klinis
Setelah 7-14 hari tanpa keluhan atau gejala, dapat muncul keluhan atau gejala yang ber-
variasi mulai dari yang ringan dengan demam yang tidak tinggi, malaise, dan batuk kering sampai
dengan gejala yang berat dengan demam yang berangsur makin tinggi setiap harinya, rasa tidak
nyaman di perut, serta beraneka ragam keluhan lainnya. Gejala yang biasanya dijumpai adalah de-
mam sore hari dengan serangkaian keluhan klinis, seperti anoreksia, mialgia, nyeri abdomen, dan
obstipasi. Dapat disertai dengan lidah kotor, nyeri tekan perut, dan pembengkakan pada stadium
lebih lanjut dari hati atau limpa atau kedua-duanya. Pada anak, diare sering dijumpai pada awal ge-
jala yang baru, kemudian dilanjutkan dengan konstipasi. Konstipasi pada permulaan sering di-
jumpai pada orang dewasa. Walaupun tidak selalu konsisten, bradikardi relatif saat demam tinggi
dapat dijadikan indikator demam tifoid. Pada sekitar 25% dari kasus, ruam makular atau makulo-
papular (rose spots) mulai terlihat pada hari ke 7-10, terutama pada orang berkulit putih, dan terlihat
pada dada bagian bawah dan abdo- men pada hari ke 10-15 serta menetap selama 2-3 hari.9
24
Page 25
Sekitar 10-15% dari pasien akan mengalami komplikasi, terutama pada yang sudah sakit se-
lama lebih dari 2 minggu.1,7 Komplikasi yang sering dijumpai adalah reaktif hepatitis, perda- rahan
gastrointestinal, perforasi usus, ensefa- lopati tifosa, serta gangguan pada sistem tu- buh lainnya
mengingat penyebaran kuman adalah secara hematogen. Pada 2 decade sebelumnya melaporkan
dari area endemic penyakit, mendokumentasikan spectrum luas dari manifestasi neuropsychiatric
dari demam typhoid. Manifestasi neuropsychiatric yang dapat terjadi sebagai berikut:
• Toxic confusional state, di cirikan seperti disorientasi, delirium, dan lemah, hal tersebut khas dari
late stage typhoid fever. Pada beberapa kasus, keluhan dan gejala neuropsychiatric lebih dominan
pada awal perjalanan penyakit.
• Stupor, obtundation,koma mengindikasikan penyakit yang berat.10
Diagnosis
Pengetahuan mengenai gambaran klinis penyakit sangat penting untuk membantu men- de-
teksi dini penyakit ini. Pada kasus-kasus tertentu, dibutuhkan pemeriksaan tambahan dari laborato-
rium untuk membantu menegakkan diagnosis. Gambaran darah tepi pada permulaan pe- nyakit da-
pat berbeda dengan pemeriksaan pada keadaan penyakit yang lanjut. Pada per- mulaan penyakit, da-
pat dijumpai pergeseran hitung jenis sel darah putih ke kiri, sedangkan pada stadium lanjut terjadi
pergeseran darah tepi ke kanan (limfositosis relatif). Ciri lain yang sering ditemukan pada gambaran
darah tepi adalah aneosinofilia (menghilangnya eo- sinofil).11
Diagnosis pasti demam tifoid berdasarkan pemeriksaan laboratorium didasarkan pada 3
prinsip, yaitu :
• Isolasibakteri
• Deteksi antigen mikroba
• Titrasi antibodi terhadap organisme penyebab
Diagnosis definitive penyakit tifus dengan isolasi bakteri Salmonella typhi dari specimen
yang berasal dari darah penderita. Pengambilan specimen darah sebaiknya dilakukan pada minggu
pertama timbulnya penyakit, karena kemungkinan untuk positif mencapai 80-90%, khususnya pada
pasien yang belum mendapat terapi antibiotic. Pada minggu ke-3 kemungkinan untuk positif men-
jadi 20-25% and minggu ke-4 hanya 10-15%.12
Peran pemeriksaan Widal (untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen Salmonella typhi)
masih kontroversial.9 Biasanya antibodi an- tigen O dijumpai pada hari 6-8 dan antibodi terhadap
antigen H dijumpai pada hari 10-12 setelah sakit.9 Pada orang yang telah sembuh, antibodi O masih 25
Page 26
tetap dapat dijumpai set- elah 4-6 bulan dan antibodi H setelah 10-12 bulan.8 Karena itu, Widal
bukanlah pemerik- saan untuk menentukan kesembuhan penya- kit.8 Diagnosis didasarkan atas ke-
naikan titer sebanyak 4 kali pada dua pengambilan berse- lang beberapa hari atau bila klinis disertai
hasil pemeriksaan titer Widal di atas rata-rata titer orang sehat setempat.13
Pemeriksaan Tubex dapat mendeteksi antibo- di IgM. Hasil pemeriksaan yang positif me-
nun- jukkan adanya infeksi terhadap Salmonella. Antigen yang dipakai pada pemeriksaan ini adalah
O9 dan hanya dijumpai pada Salmo- nella serogroup D. Tes Ig M Anti Salmonella memiliki beber-
apa kelebihan:
*Deteksi infeksi akut lebih dini dan sensitive, karena antibodi IgM muncul paling awal yaitu setelah
3-4 hari terjadinya demam (sensitivitas > 95%). *Lebih spesifik mendeteksi bakteri Salmonella ty-
phi dibandingkan dengan pemeriksaan Widal, sehingga mampu membedakan secara tepat berbagai
infeksi dengan gejala klinis demam (spesifisitas > 93%).
*Memberikan gambaran diagnosis yang lebih pasti karena tidak hanya sekedar hasil positif dan
negatif saja, tetapi juga dapat menentukan tingkat fase akut infeksi.
*Diagnosis lebih cepat, sehingga keputusan pengobatan dapat segera diberikan.
*Hanya memerlukan pemeriksaan tunggal dengan akurasi yang lebih tinggi dibandingkan Widal
serta sudah diuji di beberapa daerah endemic penyakit tifus.11
Penatalaksanaan
1. Perawatan umum
Pasien demam tifoid perlu dirawat dirumah sakit untuk isolasi, observasi dan pengobatan.
Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih selama 14
hari. Maksud tirah baring adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi perdarahan usus atau per-
forasi usus. Mobilisasi pesien harus dilakukan secara sindrom psikosis dan sindrom katatonia
meningitis, guillain-barre, bertahap,sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien. Pasien dengan ke-
sadaran menurun, posisi tubuhnya harus diubah-ubah pada waktu- waktu tertentu untuk menghin-
dari komplikasi pneumonia hipostatik dan dekubitus.
26
Page 27
2. Diet
Di masa lampau, pasien demam tifoid diberi bubur saring, kemudian bubur kasar dan
akhirnya diberi nasi. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini,yaitu
nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran dengan serat kasar) dapat diberikan dengan
aman pada pasien demam tifoid.
3. Medikamentosa
Pemilihan antibiotik tergantung pada pola sensitivitas isolat Salmonella typhi setempat.
Munculnya galur Salmonella typhi yang resisten terhadap banyak antibiotik (kelompok MDR) da-
pat mengurangi pilihan antibiotik yang akan diberikan. Terdapat 2 kategori resistensi antibiotik
yaitu resisten terhadap antibiotik kelompok chloramphenicol, ampicillin, dan trimethoprim- sul-
famethoxazole (kelompok MDR) dan resisten terhadap antibiotik fluoroquinolone. Nalidixic acid
resistant Salmonella typhi (NARST ) merupakan petanda berkurangnya sensitivitas terhadap
fluoroquinolone. Terapi antibiotik yang diberikan untuk demam tifoid tanpa komplikasi
berdasarkan WHO tahun 2003 dapat dilihat pada tabel 1.14
Tabel 1. Antibiotik yang diberikan pada demam tifoid tanpa komplikasi menurut WHO 2003
27
Page 28
Antibiotik golongan fluoroquinolone (cipro- floxacin, ofloxacin, dan pefloxacin) merupakan
terapi yang efektif untuk demam tifoid yang disebabkan isolat tidak resisten terhadap fluo-
roquinolone dengan angka kesembuhan klinis sebesar 98%, waktu penurunan demam 4 hari, dan
angka kekambuhan dan fecal carrier kurang dari 2%.15
Fluoroquinolone memiliki penetrasi ke jaringan yang sangat baik, dapat membunuh S. typhi
intraseluler di dalam monosit/makrofag, serta mencapai kadar yang tinggi dalam kandung empedu
dibandingkan antibiotik lain.14
Berbagai studi telah dilakukan untuk menilai efektivitas fluoroquinolone dan salah satu fluo-
roquinolone yang saat ini telah diteliti dan memiliki efektivitas yang baik adalah levofloxacin. Studi
komparatif, acak, dan tersamar tunggal telah dilakukan untuk levofloxacin terhadap obat standar
ciprofloxacin untuk terapi demam tifoid tanpa komplikasi. Levofloxacin diberikan dengan dosis 500
mg, 1 kali sehari dan ciprofloxacin diberikan dengan dosis 500 mg, 2 kali sehari masing-masing se-
lama 7 hari. Kesimpulan dari studi ini adalah bahwa pada saat ini levofloxacin lebih bermanfaat
dibandingkan ciprofloxacin dalam hal waktu penurunan demam, hasil mikrobiologi dan secara
bermakna memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan ciprofloxacin.16
Chloramphenicol sudah sejak lama digunakan dan menjadi terapi standar pada demam tifoid
namun kekurangan dari chloramphenicol adalah angka kekambuhan yang tinggi (5-7%), angka ter-
jadinya carrier juga tinggi, dan toksis pada sumsum tulang.14,17
Pasien dengan muntah yang menetap, diare berat, distensi abdomen, atau kesadaran menu-
run memerlukan rawat inap dan pasien dengan gejala klinis tersebut diterapi sebagai pasien demam
tifoid yang berat. Terapi antibiotik yang diberikan pada demam tifoid berat menurut WHO tahun
2003 dapat dilihat di tabel 2. Walaupun di tabel ini tertera cefotaxime untuk terapi demam tifoid
tetapi sayangnya di Indonesia sampai saat ini tidak terdapat laporan keberhasilan terapi demam
tifoid dengan cefotaxime.
Tabel 2 Antibiotik yang diberikan pada demam tifoid berat menurut WHO 2003
28
Page 29
Gastro Esophageal Reflux Disease (GERD)
GERD Merupakan suatu keadaan patologis sebagai akibat dari refluks kandungan lambung
ke dalam esofagus, dengan berbagai gejala yang timbul akibat keterlibatan beberapa organ antara
lain esofagus, laring, faring, serta saluran pernafasan. Penyakit ini bersifat multifaktorial.18
Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi (high pressure zone) yang di-
hasilkan oleh kontraksi lower esophageal sphincter (LES), pada keadaan normal keadaan ini
dipertahankan. Pada keadaan normal isi lambung tidak dapat masuk ke esofagus karena adanya
kontraksi dari sfingter esofagus. Sfingter esofagus hanya dapat terbuka jika ada gelombang peri-
staltik untuk menyalurkan bolus makanan yang masuk ke bawah esofagus. Maka mekanisme yang
terjadi otot polos dari sfingter melemas sehingga makanan dapat masuk ke lambung. Jika sfingter
ini melemah (< 3 mmHg) atau inkompeten sehingga sfingter tidak dapat menutup lambung, maka
akan terjadi refluks dari tekanan yang tinggi ke tekanan yang rendah. Dimana tekanan yang lebih
tinggi ada pada rongga abdomen karena terdapat banyak organ didalamnya sedangkan tekanan lebih
rendah ada pada rongga thorax, hal ini menjadikan isi lambung dapat terdorong kedalam esofagus.
Apabila ada keadaan refluks yang berulang dapat memperburuk keadaan menyebabkan inflamasi
dan jaringan parut dibawah esofagus.18,19
Etiologi dan patogenesis
Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme :
1) Refluks spontan pada saat relaksasi LES yang tidak adekuat
2) Aliran retrograde yang mendahului kembalinya tonus LES setelah menelan
3) Meningkatnya tekanan intraabdomen.
Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus LES. Menurunnya tonus LES menye-
babkan timbulnya refluks retrograde pada saat terjadinya peningkatan tekanan intraabdomen. Fak-
tor-faktor yang dapat menurunkan tonus LES diantaranya adalah :
a. Adanya hiatus hernia (dapat memperpanjang waktu yang dibutuhkan untuk bersihan asam hari
esophagus serta menurunkan tonus LES)
29
Page 30
b. Panjang LES (makin pendek LES, makin rendah tonusnya)
c. Obat-obatan seperti antikolinergik, beta adrenergic, theofilin, opiate dan lain-lain.
d. Faktor hormonal (Selama kehamilan, peningkatan kadar progesterone dapat menurunkan
tonus LES).
Manifestasi klinik
Gejala klinik yang khas dari GERD adalah nyeri/rasa tidak enak di epigastrium atau ret-
rosternal bagian bawah. Rasa nyeri dideskripsikan sebagai rasa terbakar (heartburn), kadang-kadang
bercampur dengan gejala disfagia (kesulitan menelan makanan), mual atau regurgitasi dan rasa
pahit di lidah. Regurgitasi yaitu pergerakan kembali isi lambung (material refluks) sampai esofagus
atau faring yang menimbulkan keluhan sering sendawa dan/ atau mulut rasa asam atau pahit.
Odinofagia mungkin bisa terdapat pada pasien GERD oleh karena sudah terbentuk ulserasi esofagus
yang berat.20
Diagnosis
Secara klinis, diagnosis GERD dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
klinis yang seksama. Beberapa pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk menegakkan diagno-
sis GERD adalah : endoskopi saluran cerna bagian atas, pemantauan pH 24 jam, tes Bernstein,
manometri esofagus, sintigrafi gastroesofageal, dan tes penghambat pompa proton (tes supresi
asam). beberapa pemeriksaan penunjang lainnya dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis
GERD, yaitu :
Endoskopi saluran cerna bagian atas
Pemeriksaan ini merupakan standar baku untuk diagnosis GERD dengan ditemukannya
mucosal break di esofagus (esofagitis refluks).
Dengan endoskopik dapat dinilai perubahan makroskopik dari mukosa esofagus, serta dapat
menyingkirkan keadaan patologis lain yang dapat menimbulkan gejala GERD. Jika tidak ditemukan
muscosal break pada pasien GERD dengan gejala yang khas, keadaan ini disebut non erosive reflux
disease (NERD).
Ditemukannya kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi yang dipastikan dengan pe-
meriksaan histopatologi, dapat mengonfirmasi bahwa gejala heartburn atau regurgitasi memang
karena GERD.20
Esofagografi dengan Barium30
Page 31
Dibandingkan dengan endoskopi, pemeriksaan ini kurang peka dan seringkali tidak menun-
jukan kelainan terutama pada kasus esofagitis ringan. Pada keadaan yang lebih berat, gambar radi-
ologi dapat berupa penebalan dinding dan lipatan mukosa, ulkus atau peneympitan lumen. Pada be-
berapa kasus, pemeriksaan memiliki nilai lebih dari endoskopi, misal pada stenosis esofagus dan
hiatus henia.20
Sementara itu, pada tahun 2008, American Gastroenterological Association (AGA) mener-
bitkan American Gastroenterological Association Medical Position Statement on the Management
of Gastroesophageal Reflux Disease yang berisi 12 pernyataan, di mana pada poin ke-4 dijelaskan
tentang peran dan urutan prioritas uji diagnostik GERD dalam mengevaluasi pasien dengan
sangkaan GERD sebagai berikut : (Hiltz dkk, 2008)
a. Endoskopi dengan biopsi dilakukan untuk pasien yang mengalami gejala esofagus dari
GERD dengan disfagia yang mengganggu. Biopsi harus mencakup area yang diduga
mengalami metaplasia, displasia, atau dalam hal tidak dijumpainya kelainan secara visual,
mukosa yang normal (minimal 5 sampel untuk esofagitis eosinofilik.)
b. Endoskopi dilakukan untuk mengevaluasi pasien yang mengalami gejala esofagus dari
GERD yang tidak berespon terhadap terapi empiris berupa PPI 2 kali sehari. Biopsi harus
mencakup area yang diduga mengalami metaplasia, displasia, atau malignansi.
c. Manometri dilakukan untuk mengevaluasi pasien dengan dugaan gejala GERD yang tidak
berespon terhadap terapi empiris berupa PPI 2 kali sehari dan gambaran endoskopinya
normal.
d. Pemantauan dengan ambulatory impedance-pH, catheter-pH, atau wireless- pH dilakukan
Penatalaksanaan
Pada prinsipnya, penatalaksanaan GERD terdiri dari modifikasi gaya hidup, terapi medika-
mentosa, terapi bedah serta akhir-akhir ini mulai dilakukan terapi endoskopik.Tujuan terapi GERD
adalah menghilangkan gejala, menyembuhkan esofagitis (jika terjadi) dan untuk mencegah
terjadinya komplikasi.20
Sasaran terapinya adalah asam lambung, lapisan mukosa lambung. Strategi terapinya
dengan menurunkan sekresi asam di lambung, mengurangi keasaman pada lambung, melapisi
mukosa lambung, menaikkan pH dan mengurangi terjadinya reflux, mempercepat pengosongan
lambung, memperkuat LES, faktor barier antirefluks terpenting. Terapi untuk GERD dapat
dibedakan menjadi terapi tanpa nonfarmakologi atau modifikasi gaya hidup, terapi farmakologis
atau medikamentosa, terapi bedah, terapi endoskopik.20
31
Page 32
Modifikasi gaya hidup
Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu penatalaksanaan GERD,namun demikian
bukan merupakan pengobatan primer. Usaha ini bertujuan untuk mengurangi refluks serta mence-
gah kekambuhah. Hal yang perlu dilakukann dalam modifikasi gaya hidup antara lain
1. Meninggikan posisi kepala pada saat tidur dan menghindari makan sebelum tidur,
dengan tujuan meningkatkan bersihan asam lambung selama tidur serta mencegah
refluks asam lambung ke esofagus.
2. Berhenti merokok dan mengonsumsi alkohol karena berpengaruh pada tonus SEB.
3. Mengurangi konsumsi lemak dan mengurangi jumlah makanan yang di makan karena
dapat menimbulkan distensi lambung.
4. Menurunkan berat badan dan menghindari memakai pakaian ketat untuk mengurangi
tekanan intrabdomen.
5. Menghindari makanan dan minuman seperti coklat, tehm kopi dan minuman soda
karena dapat merangsang aam lambung.
6. Jika memugkinkan, hindari pemakaian obat yang dapat meningkatkan menurunkan
tonus SEB, antara lain antikolinergik, tefilin, diazepam, antagonis kalsium,
progesteron.
Modifikasi gaya hidup merupakan penatalaksanaan lini pertama bagi wanita hamil
dengan GERD.20
Medikmentosa
Dengan 2 pendekatan yaitu step up dan step down :
1. Metode step up menggunakan obat yang tergolong kurang kuat dalam menekan sekresi asam
(antagonis reseptor H2 ) atau golongan prokinetik, bila gagal diberikan golongan obat
penekan sekresi asam yang lebih kuat dengan terapi lebih lama (penghambat pompa proton/
PPI ).
2. Metode step down pengobatan dimulai dengan PPI dan apabila berhasil dapat dilanjutkan
dengan terapi pemeliharaan dengan menggunakan dosis yang lebih rendah atau antagonis
reseptor H2 atau prokinetik atau bahkan antasid.
Antasid
32
Page 33
Pengobatan ini digunakan untuk gejala ringan GERD sejak tahun 1971, dan masih dinilai
efektif hingga sekarang dan tidak menimbulkan esofagitis. Selain sebagai penekan asam lambung,
obat ini dapat memperkuat tekanan SEB.
Kelemahan obat golongan ini adalah. Rasanya kurang enak. Dapat menimbulkan diare terutama
yang mengandung magnesium, serta konstipasi terutama antasid yang mengandung aluminium, Se-
lain itu penggunaannya sangat terbatas untuk pasien dengan ganghuan fungsi ginjal. Dosis sehari
4x1 sendok makan.
Antagonis Reseptor H2
Obat ini dilaporkan berhasil pada 50% kasus GERD. Yang termasuk obat golongan ini
adalah ranitidin, simetidin, famotidin dan nizatidin. Sebagai penekan sekresi asam, golongan obat
ini efektif dalam pengobatan penyakit refluks gastroesofageal jika diberikan dosis 2 kali lebih tinggi
dan dosis untuk terapi ulkus. Pengguanaan obat ini dinilai efektif bagi keadaan yang berat, misalnya
dengan barrett’s esophagus. Golongan obat ini hanya efektif pada pengobatan esofagitis derajat
ringan sampai sedang serta tanpa komplikasi. Dosis rantidin 4x150 mg. 20,23
Obat prokinetik
Secara teoritis, obat ini dianggap paling sesuai untuk pengobatan GERD karena penyakit ini
dianggap lebih condong kearah gangguan motilitas. Namun praktiknya, pengobatan GERD sangat
bergantung pada penekanan sekresi asam. Obat ini berfungsi untuk memperkuat tonus SEB dan
mempercepat pengosongan gaster.20,
1. Metoklopramid
a. Efektifitasnya rendah dalam mengurangi gejala, serta tidak berperan dalam penyembuhan
lesi di esofagus kecuali dikombinasikan dengan antagonis reseptor H2 atau PPI.
b. Karena melalui sawar darah otak, maka dapat tumbuh efek terhadap saraf pusat berupa
mengantuk, pusing, agitasi, tremor, dan diskinesia
c. Dosis 3x 10 mg sebelum makan dan sebelum tidur.20,
2. Domperidon
a. Obat ini antagonis reseptor dopamin (sama dengan metoklopramid) hanya saja obat ini tidak
melewati sawar darah otak, sehingga efek sampingnya lebih jarang.
b. Walaupun efektifitasnya belum banyak dilaporkan, namun obat ini diketahui dapat
menigkatkan tonus SEB dan percepat pengosongan lambung.
c. Dosis 3x10-20 mg sehari.20,
33
Page 34
3. Cisapride
a. Obat ini merupakan suatu antagonis reseptor 5HT4, obat ini dapat memperkuat tonus SEB
dan mempercepat pengosongan lambung.
b. Efektivitasnya dalam menghilangkan gejala serta penyembuhan lesi lebih bagus dari
domperidon.
c. Dosis 3x10 mg.20
Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat)
Obat ini tidak memiliki efek langsung terhadapa asam lambung, melainkan berefek pada
meningkatkan pertahanan mukosa esofagus, sebagai buffer terhadap HCl di esofagus serta dapat
mengikat pepsin dan garam empedu. Golongan obat ini cukup aman karen bersifat topikal. Dosis
4x1 gram.20
Penghambat Pompa Proton ( Proton pump inhibitor/PPI)
Merupakan obat terkuat dalam penatalaksanaan GERD, sehingga dijadikan drug of choice.
Golongan ini bekerja langsung pada pompa proton sel parietal dengan memperngaruhi enzim H, K
ATP- ase yang dianggap sebagai tahap akhir proses pembentukan asam lambung. Pengobatan ini
sangat efektif dalam menghilangkan keluhan serta penyembuhan lesi esofagus, bahkan pada es-
ofagitis erosiva derajat berat yang refrakter dengan antagonis reseptor H.
Dosis untuk GERD adalah dosis penuh, yaitu :
- Omeprazole : 2x20 mg
- Lansoprazole: 2x30 mg
- Pantoprazole: 2x40 mg
- Rabeprazole : 2x10 mg
- Esomeprazole: 2x40 mg
Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi inisial) berikutnya dilanjutkan dengan
dosis pemeliharaan selama 4 bulan , tergantung esofagitisnya. Efektivitas obat ini semakin bertam-
bah jika dikombinasi golongan prokinetik. Tabel 4 Efektifitas terapi obat-obatan.
Tabel 4 Efektifitas terapi obat-obatan
34
Page 35
Golongan Obat Menyembuhkan gejala
Menghilangkan lesi esofagitis
Mencegah komp-likasi
Mencegah kekam-buhan
Antasid +1 0 0 0
Prokinetik +2 +1 0 +1
Antagonis reseptor H2
+2 +2 +1 +1
Antagonis reseptor H2 + prokinetik
+3 +3 +1 +1
Antagonis reseptor H2 dosis tinggi
+3 +3 +2 +2
Penghambat pompa proton
+4 +4 +3 +4
Pembedahan +4 +4 +3 +4
Skema 1. Algoritma tatalaksana GERD pada pelayanan kesehatan lini pertama.
35
Page 36
Terapi bedah
Terapi bedah merupakan terapi alternatif yang penting jika terapi modifikasi gaya hidup dan medikmentosa tidak berhasil. Umumnya pembedahan yang dilakukan adalah
Fun-
doplikasi nissen
Fundoplikasi Nissen adalah suatu tindakan bedah untuk tatalaksana penyakit GERD bila
tatalaksana Modifikasi gaya hidup dan medikamentosa tidak berhasil. Pada Hiatus hernia, Fundop-
likasi Nissen justru menjadi terapi lini pertama. Teknik operasi ini dilakukan dengan laparoskopi.
Tujuan dari teknik ini adalah memperkuat esofagus bagian bawah untuk mencegah terjadinya re-
fluks dengan cara membungkus bagian bawah esofagus dengan bagian lambung atas.20,22
Indikasi Fundoplikasi
1. Kasus resisten dan kasus refluks esofagitis dengan komplikasi yang tidak sepenuhnya
responsif terhadap terapi medis atau pada pasien dengan terapi medis jangka panjang yang
tidak menguntungkan.
2. Pasien dengan gejala yang tidak sepenuhnya tekontrol oleh terapi PPI, Pada pasien ini
dipertimbangkan untuk dilakukan pembedahan. Pada pasien dengan penyakit yang tekontrol
dengan baik juga dapat dilakukan pertimbangan pembedahan.
3. Terjadinya esofagus barrret adalah indikasi untuk pembedahan. Asam lambung
meningkatkan terjadinya barrett esofagus berkembang kearah keganasan, tetapi kebanyakan
36
Page 37
ahli menyarankan tindakan mensupresi asam lambung secara lengkap untuk pencegahan
pada pasien yang terbukti secara histologis menderita esofagus barret.20
Bab III Penutup
Kesimpulan
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang tepat dapat membantu mendiagnosis secara
benar dari kumpulan gejala yang dikeluhkan. Rasa tidak nyaman diperut disertai rasa sesak
pada perut bagian atas dan disertai rasa panas di bagian dada khas merupakan gambaran
keluhan dari GERD. Namun dalam hal ini pasien memiliki alarm sign berupa anemia. Pe-
meriksaan penunjang berupa endoskopi perlu dilakukan untuk melihat apakah ada kelainan
organ pada gastroesophagealjunction atau komplikasi yang ditimbulkan dari penyakit
GERD.
Daftar pustaka
1. Bhakta IM. Pendekatan terhadap anemia. Dalam : Sudoyo A, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1, Edisi
keempat. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2007.
2. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Dalam : Sudoyo A, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1, Edisi
keempat. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2007.
3. Sungkar S. Demam berdarah dengue. Pendidikan dokter berkelanjutan Ikatan dokter
indonesia. Yayasan penerbitan Ikatan Dokter Indonesia. Jakarta agustus 2002.
4. Asih Y. Demam berdarah dengue, diagnostic, pengobatan, pencegahan dan
pengendalian. World Health Organization. Edisi 2. Jakarta : 2005
5. Kliegman, Behrman, Jenson, Stanton. Nelson Textbook of pediatric. Ed. 18.
Saunders 2007.
6. Braunwald. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th Edition, New York, 2005
7. Soedarmo, Sumarmo S., dkk. Demam tifoid. Dalam : Buku ajar infeksi & pediatri tropis. Ed.
Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008.
37
Page 38
8. Typhoid fever. Surgery in Africa-Monthly Review [Internet]. 2006 Feb 11 [cited 2015 Okt
19 ]. Available from: http://www.ptolemy.ca/members/archives/2006/typhoid_fever.htm
9. Bhutta ZA. Typhoid fever: current concepts. Infect Dis Clin Pract 2006.
10. Brusch JL, Corales R, Schmitt SK, Garvey T. Typhoid fever dalam Medscape. Web
MD LLC, 2015.
11. Mehta KK. Changing trends in typhoid fever. Medicine Update 2008; 18: 201-4.
12. Kaye KS, Kaye D. Salmonella infections (including typhoid fever). In: Goldman L, Ausiello
D, eds. Cecil Medicine . Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier; 2007:chap 329.
13. Zulkarnain I. Diagnosis demam tifoid. In: Zulkarnain I, Editors. Buku panduan dan diskusi
demam tifoid. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI;
2000.
14. Background document: the diagnosis, treatment, and prevention of typhoid fever [Internet].
2003 [cited 2015 Okt 19]. Available from: www.who-int/vaccines-documents/
15. Bhan MK, Bahl R, Bhatnagar S. Typhoid fever and paratyphoid fever. Lancet 2005; 366:
749-62.
16. Nelwan RHH, Lie KC, Hadisaputro S, Suwandoyo E, Suharto, Nasronudin, et al. A single-
blind randomized multicentre comparative study of efficacy and safety of levofloxacin vs
ciprofloxacin in the treatment of uncomplicated typhoid fever. Paper presented at: 55 th An-
nual Meeting ASTMH; 2006 Nov; Atlanta, USA.
17. Kalra SP, Naithani N, Mehta SR, Swamy AJ. Current trends in the management of typhoid
fever. MJAFI 2003; 59: 130-5.
18. Djojoningrat D. Pendekatan klinis penyakit gastrointestinal. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Edisi 5.Jakarta:Interna publishing;2009.
19. Robbins & Cotran.Dasar patologis penyakit.Edisi 7.Jakarta:EGC;2009.
20. Makmun D. Penyakit Refluks Gastroesofageal. Dalam : Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1, Edisi
keempat. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2007
38
Page 39
21. Price S.A.Patofisiologi:konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi 6. Jakarta:EGC;2005.
22. Patti M, Kantz J,editor. Gastroesophageal Reflux Disease Treatment & Management. June 8
2011 [cited Okt 09 2015]. Available vailable: http://emedicine.medscape.com/article/
176595-treatment#aw2aab6b6b4aa
39