ANALISIS VARIABEL YANG MEMPENGARUHI TINGKAT INFLASI DI INDONESIA PERIODE 1999-2018 Diajukan sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I pada Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Disusun Oleh : NOVIA NUR HANDAYANI B 300 150 161 PROGRAM STUDI EKONOMI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2019
16
Embed
ANALISIS VARIABEL YANG MEMPENGARUHI …eprints.ums.ac.id/73730/1/NASPUB.pdfInflasi yang paling tinggi terjadi di tahun 1966 yaitu sebesar 136% disebabkan oleh defisit anggaran belanja
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
ANALISIS VARIABEL YANG MEMPENGARUHI TINGKAT
INFLASI DI INDONESIA PERIODE 1999-2018
Diajukan sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I
pada Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Disusun Oleh :
NOVIA NUR HANDAYANI
B 300 150 161
PROGRAM STUDI EKONOMI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2019
2
i
3
ii
4
iii
1
ANALISIS VARIABEL YANG MEMPENGARUHI TINGKAT INFLASI
DI INDONESIA PERIODE 1999-2018
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh variabel BI Rate, nilai tukar
(KURS), jumlah uang beredar (JUB), pengeluaran pemerintah (G), penerimaan
pajak (Tx) terhadap inflasi (INF) di Indonesia. Wilayah yang dijadikan objek
dalam penelitian ini adalah negara indonesia pada tahun 1999-2018. Jenis data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif berupa runtut waktu
(time series). Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari
sumber laporan tahunan Bank Indonesia, Badan Pusat Statistik, Kementrian
Keuangan. Data yang diteliti meliputi BI Rate, Nilai Tukar(IDR/USD), Jumlah
Uang Beredar, Pengeluaran Pemerintah, Pajak tahun 1999-2018. Model yang
digunakan dalam penelitian ini adalah model OLS (Ordinary Least Square). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa variabel BI Rate dan Penerimaan Pajak (Tx)
berpengaruh signifikan terhadap Tingkat Inflasi di Indonesia, sedangkan variabel
nilai tukar (KURS), jumlah uang beredar (M1) dan Pengeluaran pemerintah (G)
tidak berpengaruh signifikan terhadap Tingkat Inflasi di Indonesia. Hasil
penelitian menunjukkan nilai R2 sebesar 0.670082 artinya 67,0082% variasi
varaiabel inflasi (INF) dapat dijelaskan oleh variabel BI Rate (R), nilai tukar
(KURS), jumlah uang beredar (M1), pengeluaran pemerintah (G) dan
penerimaan pajak (Tx). Sisanya 32,9918 % dipengaruhi oleh variabel-variabel
atau faktor-faktor lain di luar model penelitian.
Kata kunci: inflasi, BI Rate, nilai tukar (IDR/USD), jumlah uang beredar (M1),
pengeluaran pemerintah, penerimaan pajak.
Abstract
This study aimed to analyze the effect of the BI Rate variable , the exchange rate
(KURS), the money supply (JUB), the government expenditure (G), the tax
receipt (Tax) on inflation (INF) in Indonesia. The used area as the object in this
study was the country of Indonesia in 1999-2018. The type of data used in this
study was quantitative data in the form of time series. This study used secondary
data obtained from the sources of the annual report of Bank Indonesia, the Central
Statistics Agency, the Ministry of Finance. The analyzed data included the BI
Rate, Exchange Rate (IDR/USD), Amount of Money Supply, Government
Expenditures, Taxes for 1999-2018. The used model in this study was the OLS
(Ordinary Least Square) model. The results showed that the variable BI Rate and
Tax Revenue (Tax) had a significant effect on the inflation rate in Indonesia,
while the exchange rate variable (KURS), the money supply (M1) and
government expenditure (G) did not significantly influence the inflation rate in
Indonesia. The results showed R2 value of 0.670082 means that 67.0082%
variation in inflation variable (INF) can be explained by the variable BI Rate (R),
exchange rate (KURS), money supply (M1), government expenditure (G) and tax
2
revenue (Tax). The remaining 32.9918% was influenced by variables or other
factors outside the research model.
Keywords: inflation, BI Rate, exchange rate (IDR/USD), money supply (M1),
government expenditure, tax revenue.
1. PENDAHULUAN
Dalam sejarah perekonomian, Indonesia telah mengalami inflasi yang sangat
tinggi, terutama pada tahun 1960-1990’an (tingkat inflasi semuanya di atas 100%).
Inflasi yang paling tinggi terjadi di tahun 1966 yaitu sebesar 136% disebabkan
oleh defisit anggaran belanja pemerintah yang dibiayai dalam bentuk pencetakan
uang. Namun, inflasi pada tahun 1998-1999 merupakan salah satu inflasi yang
tinggi di Indonesia yaitu sebesar 58% dan 20% disebabkan oleh krisis moneter
yang terjadi pada tahun 1997. Pada tahun 1998 adalah laju perekonomian terburuk
di Indonesia yang saat itu di bawah pemerintahan Soeharto dengan inflasi sebesar
77,63% yang termasuk inflasi tinggi 30%-100% (Manggi dan Saraswati, 2013).
Inflasi ibarat dilema yang mengintai perekonomian setiap negara, dimana
pergerakannya sulit untuk diterka dan dapat berdampak luas. Inflasi tidak akan
menjadi masalah yang terlalu berarti jika pemerintah dapat melakukan strategi
untuk menjaga tingkat inflasi. Inflasi bagaikan pedang bermata dua dimana satu
sisi bisa memberikan keuntungan dilain sisi dapat merugikan. Inflasi harus dijaga
kelenturannya, inflasi yang terlalu tinggi bisa berpengaruh buruk terhadap
pertumbuhan ekonomi namun sebaliknya jika terlalu rendah bisa menyebabkan
kelesuan ekonomi. Tingkat inflasi di Indonesia sangat sensitif dan mudah sekali
naik, dengan beragam faktor yang mempengaruhinya mengakibatkan semakin
sulitnya pengendalian inflasi, sehingga dalam pengendaliannya pemerintah harus
mengetahui faktor-faktor pembentuk inflasi.
Salah satu permasalahan yang sering terjadi pada negara yang sedang
berkembang seperti Indonesia adalah memelihara kestabilan dan pertumbuhan
ekonominya. Kestabilan ekonomi tersebut menyangkut kestabilan tingkat harga,
tingkat pendapatan nasional, dan pertumbuhan kesempatan kerja. Adapun
serangkaian kebijakan dapat dilakukan oleh pemerintah dalam usaha stabilitasi
3
ekonomi. Misalnya kebijakan moneter dan kebijakan fiskal, yang bertujuan untuk
mencapai kestabilan tingkat harga atau laju inflasi. Kestabilan harga dalam satu
perekonomian sangat dipengaruhi oleh variable-variable makro dalam
perekonomian tersebut. Dan oleh karena itu biasanya laju inflasi sering digunakan
sebagai indikator kestabilan ekonomi (Watulingas, dkk 2016).
Kebijakan moneter yang harus dilakukan di negara berkembang pada
umumnya lebih berat dan sulit jika dibandingkan dengan negara-negara maju.
Faktor pertama yang menjadi penyebabnya bahwa tugas untuk menciptakan
penawaran uang yang cukup sehingga pertambahannya dapat selalu selaras
dengan jalannya pembangunan yang memerlukan disiplin yang kuat di kalangan
otoritas moneter dan pemerintah.
Kekurangan modal dan terbatasnya pendapatan pemerintah seringkali
menimbulkan dorongan yang kuat kepada pemerintah untuk meminjam secara
berlebihan kepada Bank Sentral. Kalau ini dilakukan, maka laju pertambahan
jumlah uang beredar akan menjadi lebih cepat, akibatnya terjadi inflasi.
Jika suatu negara ingin mempertahankan laju inflasi yang rendah, tentunya
pemerintah tersebut harus menekan kenaikan harga. Usaha untuk menekan harga
ini dapat dilakukan dengan menekan laju kenaikan jumlah uang beredar misalnya
dengan pembatasan pemberian kredit atau dengan menaikkan suku bunga
pinjaman (tight money policy). Tetapi dampak yang ditimbulkan adalah akan
terjadi kelesuan investasi, dan meningkatnya pengangguran yang pada akhirnya
akan menurunkan Pendapatan Nasional. Dengan fluktuasi tingkat suku bunga
yang terjadi akan mempunyai implikasi yang penting terhadap sektor riil maupun
sektor moneter dalam perekonomian.
Tingkat bunga yang tinggi akan menjadi masalah yang menyulitkan bagi
investasi di sektor riil. Tapi tingkat bunga yang tinggi akan merangsang lebih
banyak tabungan masyarakat. Untuk itulah tingkat fluktuasi bunga harus
senantiasa terkontrol agar tetap mendorong kegiatan investasi dan produksi serta
tidak mengurangi hasrat masyarakat untuk menabung dan tidak mengakibatkan
pelarian modal ke luar negeri (Mahendra, 2016).
4
Gambar 1. Perkembangan Inflasi di Indonesia Tahun 2000-2017
Sumber :www.bi.go.id
Kondisi perekonomian Indonesia pasca krisis moneter tahun 1997 mulai
membaik, hal ini dapat dilihat dari tingkat inflasi tertinggi di Indonesia yang
terjadi pada tahun 1998 yaitu sebesar 77,63% turun menjadi 2,01 % pada
tahun 1999. Laju inflasi pada tahun 2001-2002 kembali naik dikisaran dua
digit yaitu sebesar 12,55% dan 10,03% hal ini disebabkan adanya kebijakan
pemerintah yaitu adanya peningkatan harga bahan pangan atau bahan pokok
yang ditetapkan pemerintah (admin-intered price) seperti kenaikan harga
BBM, tarif listrik dan telepon, tarif Angkutan. Pada tahun 2005 inflasi
kembali naik di level 17,11% karena dipicu kenaikan harga minyak mentah
dunia sehingga pemerintah menaikkan harga BBM. Kemudian pemerintah
menerapkan kebijakan moneter yang lebih dikenal dengan istilah Inflation
Targeting Framework (ITF) untuk menjaga stabilitas inflasi, dengan
kebijakan tersebut maka harga BBM mengalami peningkatan dan
mengakibatkan daya beli atau permintaan masyarakat menurun diikuti
menurunnya tingkat inflasi tahun 2006 dan 2007 yaitu sebesar 6,6% dan
6.69%. Pada tahun 2008 inflasi kembali naik sebesar 11,06% dikarenakan
meningkatnya harga minyak dunia dan memaksa pemerintah meningkatkan