ANALISIS TERHADAP PENGUJIAN UNDANG-UNDANG YANG MERATIFIKASI (MENGESAHKAN) PERJANJIAN INTERNASIONAL OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI (Studi Kasus: Putusan MK No. 33/PUU-IX/2011 tentang Pengujian UU No. 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Piagam Asean) Varida Megawati Simarmata dan Fatmawati Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia [email protected]ABSTRAK Dalam penelitian ini terdapat dua pokok permasalahan, yaitu Pertama, berkaitan dengan kedudukan hukum Undang-Undang yang Meratifikasi Perjanjian Internasional dalam sistem hukum nasional Indonesia, dan Kedua, mengenai pengujian Undang- Undang yang meratifikasi perjanjian internasional tersebut terhadap UUD NRI 1945 dengan menganalisis Putusan MK No. 33/PUU-IX/2011 tentang Pengujian Undang- Undang Nomor 38 Tahun 2008 Tentang Pengesahan Piagam Asean. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yang menggunakan data sekunder dan disajikan secara deskriptif analitis. Hasil penelitian menunjukan bahwa tata urutan peraturan perundang-undangan menurut UU No. 12 Tahun 2011 tidak melakukan pembedaan kedudukan hukum undang-undang yang meratifikasi perjanjian internasional dengan undang-undang pada umumnya. Apabila dikaitkan dengan wewenang Mahkamah Konstitusi untuk menguji konstitusionalitas suatu undang-undang, maka Mahkamah Konstitusi berwenang menguji undang-undang yang meratifikasi perjanjian internasional. Kata kunci: Tata urutan, UU ratifikasi, Pengujian undang-undang. Analysis of Ratification of Treaties Act Review by Constitutional Court (Case Study: Constitutional Court Verdict No. 33/PUU-IX/2011 on Law No. 38 year 2008 on Ratification of Asean Charter) Analisis terhadap..., Varida Megawati Simarmata, FH UI, 2013.
21
Embed
ANALISIS TERHADAP PENGUJIAN UNDANG-UNDANG YANG ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
ANALISIS TERHADAP PENGUJIAN UNDANG-UNDANG YANG MERATIFIKASI (MENGESAHKAN) PERJANJIAN
INTERNASIONAL OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI (Studi Kasus: Putusan MK No. 33/PUU-IX/2011 tentang Pengujian
UU No. 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Piagam Asean)
Varida Megawati Simarmata dan Fatmawati Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia
This research focus on two main problems. First, the legal position of
the Ratification of Treaties Act in Indonesian legal system. Second, Ratification of
Treaties Act review toward UUD NRI 1945 by Constitutional Court by analyzing
Constitutional Court Verdict No. 33/PUU-IX/2011 on Law No. 38 year 2008 on
Ratification of Asean Charter. The method used in this research is judicial-normative,
using secondary data, this research will also be presented in the form of descriptive-
analytical.
The result shows that Law No. 12 year 2011 which regulates the hierarchy of
legal norms not distinguish the legal position of ratification of treaties act and law in
general. Regarding to Constitutional Court competence to review any Law alleged to be
in conflict with the Constitution, therefore Constitutional Court has competence to
review ratification of treaties act.
Keywords: hierarchy of legal norms, ratification of treaties act, judicial review
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Pilihan kebijakan hukum (legal policy) bahwa Indonesia adalah negara hukum
telah dianut sejak lama, meskipun telah berulang kali terjadi penggantian konstitusi dan
dengan rumusan yang berbeda-beda.1 Indonesia adalah negara hukum, sebagaimana
tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (untuk selanjutnya disebut sebagai UUD 1945). Hal
yang sangat pokok dalam sebuah negara hukum adalah ketika negara melaksanakan
kekuasaannya, negara tunduk terhadap pengawasan hukum.2
1 Dalam penjelasan UUD 1945 Sebelum Perubahan “Negara Indonesia berdasar atas
hukum (rechstaat) tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat); Dalam Ps. 1 ayat (1) Konstitusi RIS mengatur: “Republik Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokrasi dan berbentuk federasi”; Dalam Ps. 1 ayat (1) UUDS RI mengatur: “Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokratis dan berbentuk kesatuan”; Dalam Ps. 1 ayat (3) Perubahan Ketiga UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengatur: “Indonesia adalah negara hukum.”
Pasca reformasi, sistem ketatanegaraan Indonesia mengalami berbagai perubahan
melalui adanya 4 (empat) tahap perubahan terhadap UUD 1945.3 Salah satu materi
pembahasan dalam perubahan UUD 1945 adalah penjaminan hak konstitusional warga
negara. 4 Pembahasan mengenai hak konstitusional warga negara ini kemudian
menghadirkan Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the
constitution) yang berwenang menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Bentuk uji
materiil undang-undang secara tidak langsung merupakan proses memeriksa, mengadili,
dan memutus apakah undang-undang yang diujikan bertentangan atau tidak terhadap
UUD 1945.
Dalam keseluruhan pengaturan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji
undang-undang tidak dijelaskan undang-undang seperti apa yang masuk dalam lingkup
pengujian oleh Mahkamah Konstitusi5 mengingat ada beberapa contoh format undang-
undang yang materi intinya tidak terdapat dalam batang tubuh undang-undang itu
sendiri, melainkan terdapat dalam lampirannya. Misalnya, undang-undang tentang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan undang-undang yang meratifikasi
(mengesahkan) perjanjian internasional.6 Adapun lampiran undang-undang ratifikasi,
2 Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi (Suatu Studi tentang Adjudikasi Konstitusional
Sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa), (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2006), hlm. 55. 3 Perubahan Tahap I (1999), Perubahan Tahap II (2000), Perubahan Tahap III (2001), dan
Perubahan Tahap IV (2002). 4 I Dewa Gede Palguna sebagai juru bicara F-PDIP menyampaikan bahwa perlindungan
hak konstitusional warga negara merupakan hal yang harus mendapat perhatian dalam perubahan UUD 1945 dan pembentukan MK bertujuan untuk menjamin konstitusionalitas kehidupan negara sekaligus perlindungan hak konstitusional warga negara. Dikutip dari Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Buku VI Kekuasaan Kehakiman, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010), hlm. 588.
5 Mahkamah Konstitusi juga pernah melakukan pengujian terhadap Perpu (Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang) karena Mahkamah berpendapat Perpu memiliki norma hukum yang kekuatan mengikatnya sama dengan undang-undang maka terhadap norma yang terdapat dalam Perpu tersebut Mahkamah dapat menguji apakah bertentangan secara materiil dengan UUD 1945 melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 tentang pengujian atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
dalam hal ini adalah perjanjian internasional, pada proses pembuatannya berkaitan
dengan kewenangan Presiden dalam membuat perjanjian internasional dengan negara
lain tertuang dalam Pasal 11 UUD 1945.
Dalam lingkup hukum tata negara, perjanjian internasional ini (traktat) dikenal
sebagai sumber hukum formil,7 sepanjang traktat atau perjanjian itu menentukan segi
hukum ketatanegaraan yang hidup bagi negara masing-masing yang terikat di
dalamnya, sekalipun ia termasuk dalam bidang Hukum Internasional. Dalam praktik
ratifikasi yang dilakukan oleh Indonesia, telah terdapat pengaturan perjanjian
internasional dalam hukum positif Indonesia yaitu Pasal 11 Perubahan Ketiga UUD
1945 dan UU No. 24 Tahun 2000 tentan Perjanjian Internasional. Secara keseluruhan,
pengaturan yang ada belum mampu menerangkan hubungan antara hukum internasional
(dalam hal ini perjanjian internasional) dengan hukum nasional. Hal ini sangat
diperlukan untuk menentukan kedudukan dan status hukum perjanjian internasional
dalam hukum nasional Indonesia serta undang-undang ratifikasi sebagai pengesahan
dari perjanjian internasional tersebut.
Ketiadaan penjelasan tersebut berimplikasi pada berbagai pertanyaan mengenai
konstruksi hukum terhadap kedudukan undang-undang ratifikasi perjanjian
internasional, yang pada pokoknya berisi dua pasal berisikan pengesahan bahwa
Indonesia mengikuti suatu perjanjian internasional serta perjanjian internasional terkait
sebagai lampirannya. Pertentangan yang terjadi menimbulkan pertanyaan mengenai
kedudukan undang-undang ratifikasi dalam sistem hukum nasional dan kewenangan
Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian terhadap undang-undang ratifikasi
tersebut.
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, perlu tinjauan terhadap kedudukan dan
keberlakuan dari undang-undang yang meratifikasi perjanjian internasional di Indonesia
serta kaitannya dengan hukum nasional Indonesia, dan pengujian undang-undang
(dalam hal ini adalah undang-undang yang meratifikasi perjanjian internasional) oleh
Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian dapat dipahami lebih jauh mengenai
bagaimana kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pengujian terhadap
undang-undang yang meratifikasi perjanjian internasional. Selain itu, untuk
memperkaya pembahasan terkait kewenangan Mahkamah Konstitusi dengan
perkembangan pengujian konstitusionalitas yang telah dijalankan oleh berbagai negara 7 Jimly Asshidiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara,...Op. Cit, hlm. 231.
Adapun teori yang akan dipergunakan dalam penelitian ini meliputi teori Norma
Hukum dan Hierarki Norma Hukum untuk meninjau kedudukan hukum undang-undang
yang meratifikasi perjanjian internasional berdasarkan pandangan teori ini. Teori Fungsi
Legislasi yang dimiliki oleh DPR untuk mengkaji peranan persetujuan DPR dalam
suatu undang-undang ratifikasi. Selanjutnya adalah teori Pengujian Norma Hukum
untuk memahami sistem pengujian norma serta implikasinya dianutnya sistem
pengujian norma, dan yang terakhir adalah teori Hubungan Perjanjian Internasional
dengan Hukum Nasional dengan uraian sebagai berikut:
1. Norma Hukum dan Hierarki Norma Hukum
Stufenbouw des Recht atau dikenal dengan stufentheorie yang dikemukakan oleh
Hans Kelsen, berasal dari Adolf Merkel yang merupakan muridnya sendiri. Adolf
Merkel dalam teori pertingkatan hukumnya menyatakan bahwa suatu norma hukum itu
selalu mempunyai dua wajah das Doppelte Rechtsantlitz). 8 Adolf Merkel
mengemukakan suatu norma hukum itu ke atas menjadi sumber dan dasar bagi norma
hukum dibawahnya, sehingga norma hukum mempunyai masa berlaku yang relatif, oleh
karena masa berlakunya suatu norma hukum itu tergantung pada norma hukum yang
berada di atasnya.9
Teori Adolf Merkel tersebut disempurnakan oleh Hans Kelsen dengan teori
stufentheorie. Hans Kelsen memberikan penjelasan lebih lanjut tentang stufentheorie
tersebut sebagai berikut:10
“Suatu norma yang validitasnya tidak dapat diperoleh dari norma lain yang lebih tinggi, disebut sebagai norma dasar. Semua norma yang validitasnya dapat ditelusuri kepada suatu norma dasar yang sama membentuk suatu sistem norma. Norma dasar yang menjadi sumber utama ini merupakan pengikat diantara semua norma yang berbeda-beda yang membentuk suatu tata norma. Bahwa suatu norma termasuk ke dalam suatu sistem norma tertentu, dapat diuji hanya dengan penegasan bahwa norma tersenut memperoleh validitasnya dari norma dasar yang membentuk sistem norma tersebut. Pencarian alasan validitas dari suatu norma, bukanlah suatu regressus ad infinitum (proses pencarian sampai akhir), pencarian ini diakhiri oleh suatu norma tertinggi yang menjadi dasar validitas terakhir di
8 Maria Farida Indrati, Op. Cit., hlm. 41. 9Ibid., hlm. 42. 10 Hans Kelsen, Teori Hukum Murni: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif sebagai Ilmu
Hukum Empirik-Deskriptif, [The Pure Theorie of Law]. Diterjemahkan oleh Soemardi, cet.3, ed. revisi (Jakarta: Bee Media, 2007), hlm. 138- 139.
dalam sistem normatif, sementara sebab pertama atau terakhir tidak mempunyai tempat di dalam suatu sistem realita alam.”
Sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Hans Kelsen tersebut, dinyatakan
juga bahwa setiap aturan harus ada hierarkinya yang dimulai dari norma dasar yang
menjadi tolak ukur validitas bagi norma yang ada di bawahnya.11
2. Fungsi Legislasi
Sebagian besar negara di dunia menerapkan pembagian kekuasaan setidaknya
pada kekuasaan legislatif, kekuasaan yudikatif, dan kekuasaan yudikatif dalam hal ini
akan difokuskan pada kekuasaan legislatif. Kekuasaan legislatif memiliki fungsi
legislasi, yaitu untuk membentuk undang-undang atau yang lebih sering dikenal dengan
fungsi legislasi, yakni fungsi membentuk peraturan-peraturan berupa norma hukum
yang mengikat dan membatasi warga negara. 12 Fungsi legislasi ini melekat pada
lembaga legislatif yang dalam melaksanakan kegiatan sebagai berikut:13
“(a) Prakarsa pembuatan undang-undang atau legislative initiation; (b) Pembahasan rancangan undang-undang atau law making process; (c) Persetujuan atau pengesahan rancangan undang-undang atau law enactment approval; (d) Serta kegiatan lain yang dilakukan sebagai bentuk pertanggungjawaban rakyat dalam menentukan tindakan yang merepresentasikan jati diri bangsa seperti pemberian persetujuan atau ratifikasi perjanjian/ persetujuan internasional. Hal ini dikarenakan international agreement tersebut akan mengikat langsung kepada rakyat sebagai suatu undang-undang. Sehingga, lembaga legislatif mengambil peranan dalam hal ini.”
3. Pengujian Norma Hukum
Teori jenjang norma hukum yang dikemukakan oleh Hans Kelsen dan Hans
Nawiasky berkaitan erat dengan konsep pengujian norma hukum. Bahwa suatu norma
adalah milik suatu sistem norma tertentu dapat diuji hanya dengan meyakinkan bahwa
norma tersebut menderivasikan validitasnya dari norma dasar yang membentuk tata 11 Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, [General Theorie of Law and
State], diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, cet. 5 (Bandung: Nusa Media, 2010), hlm. 179.
12 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hlm. 34.
Dalam penelitian ini, data akan dianalisis menggunakan metode kualitatif dan
akan disajikan dalam bentuk despriptif analitis. Penelitian ini akan dikerucutkan
permasalahannya pada kedudukan undang-undang yang meratifikasi perjanjian
internasional dalam sistem hukum nasional Indonesia serta dikaitkan dengan
kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pengujian undang-undang
ratifikasi tersebut berdasarkan studi kasus Putusan MK No. 33/PUU-IX/2011 tentang
Pengujian Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 Tentang Pengesahan Charter of The
Association of Southeast Asian Nations (Piagam ASEAN). Analisa data yang dilakukan
penulis mengacu kepada kerangka teori yang telah disebutkan sebelumnya.
Selain itu, akan diadakan pendekatan perbandingan hukum dengan beberapa
negara, yaitu Austria, Georgia, Jerman, dan Ukraina karena negara-negara tersebut pada
umumnya menganut tradisi civil law yang fungsi pengujiannya dilakukan oleh sebuah
organ yang dilembagakan secara tersendiri dengan penamaan yang berbeda.19
Tipologi penelitian ini masuk ke dalam penelitian deskriptif dengan sifat
penelitian berupa studi kepustakaan. Penelitian deskripitif dalam penulisan tugas akhir
ini merupakan penelitian untuk mengetahui kedudukan dan keberlakuan dari sebuah
undang-undang yang meratifikasi perjanjian internasional dalam sistem hukum di
Indonesia serta mekanisme perlindungan hak konstitusional dari keberlakuan tersebut
apabila dirasakan ada potensi dan/atau pelanggaran terhadap hak konstitusional warga
negara dalam perspektif Hukum Tata Negara.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan data sekunder, yaitu:
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri
dari:
a. Peraturan Dasar, yaitu: UUD 1945
b. Peraturan Perundang-undangan, yang terdiri dari: UU Nomor 23 Tahun
2004 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan UU
Nomor 8 Tahun 2011, UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diganti dengan UU
19 Jimly Asshidiqie dan Mustafa Fakhri, Mahkamah Konstitusi (Kompilasi Ketentuan
Konstitusi, Undang-Undang, dan Peraturan di 78 Negara), Jakarta:Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI, Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Indonesia.
Untuk memahami kedudukan hukum UU yang meratifikasi perjanjian
internasional dalam sistem hukum nasional RI, maka akan diuraikan terlebih dahulu
mengenai istilah ratifikasi, materi muatan UU ratifikasi, dan konstruksi UU ratifikasi
ditinjau dari format perundang-undangan menurut hukum nasional Indonesia.
2.1.1 UU Ratifikasi (Pengesahan) PI di Indonesia a. Istilah Ratifikasi (Pengesahan) PI
Istilah ratifikasi atau pengesahan yang digunakan dalam praktik hukum perjanjian
internasional di Indonesia khususnya UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional diambil dan diterjemahkan dari istilah “ratifikasi.” Pengertian ratifikasi
menurut ketentuan yang terdapat dalam Vienna Convention on the Law of Treaty 1969
(untuk selanjutnya disebut sebagai VCLT 1969), yaitu “Ratification”,
“acceptance”,”approval” and “accession” mean in each case the international act so
named whereby a state establishes on the international plane it’s consent to be bound by
a treaty.”21 Dalam konsepsi hukum nasional, ratifikasi diartikan sebagai persetujuan yang
diberikan oleh organ negara (pada umumnya parlemen) kepada kepala negara/ kepala
pemerintah untuk melakukan pengikatan diri terhadap perjanjian internasional. 22
Pembedaan istilah ratifikasi (ratification), aksesi (accesion), penerimaan acceptance),
dan penyetujuan (approval) tidak menimbulkan akibat hukum yang berbeda, melainkan
hanya berbeda pada prosedur seperti didahului oleh penandatanganan atau tidak dan
waktu pemberlakuannya.23
Selanjutnya, pengesahan perjanjian internasional diatur dalam Bab III tentang
Pengesahan Perjanjian Internasional, Pasal 9 sampai dengan Pasal 11 UU No. 24 Tahun
2000 yang dalam pengaturan dan pelaksanaannya, pengesahan perjanjian internasional
oleh Pemerintah RI dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian internasional
21 Vienna Convention on the Law of Treaties (VCLT) 1969, article 2
clause b. Konvensi Vienna diunduh dari:http://untreaty.un.org/ilc/texts-/instruments/-english/conventions/1_1_1969.pdf., pada 21 April 2013 pukul 10:13 wib.
22Ibid., hlm. 73. 23 Sumaryo Suryokusumo, Hukum Perjanjian Internasional, (Jakarta, PT. Tatanusa,
tersebut.24 Pengesahan perjanjian internasional tersebut dilakukan dengan undang-undang
atau Peraturan Presiden.25
b. Materi Muatan UU Ratifikasi (Pengesahan) PI
Ketentuan mengenai materi muatan perundang-undangan di Indonesia saat ini
dirumuskan dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, yang mengatur bahwa materi muatan yang harus diatur dengan undang-
undang, adalah:26
a. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang; c. pengesahan perjanjian internasional tertentu; d. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau e. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
Pada penjelasan Pasal 10 ayat (1) butir b dijelaskan lebih lanjut, bahwa yang
dimaksud dengan “perjanjian internasional tertentu” adalah perjanjian internasional
yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait
dengan beban keuangan negara dan/atau perjanjian tersebut mengharuskan perubahan
atau pembentukan Undang-Undang dengan persetujuan DPR.
Dalam hal kaitannya dengan undang-undang yang meratifikasi (mengesahkan)
perjanjian internasional pada umumnya dan UU No. 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan
ASEAN Charter secara khusus, ditinjau dari pembentukannya sebagaimana yang
dikemukakan oleh Hamid Attamimi, bahwa wet in formele zin dilihat dari siapa
pembentuknya terlepas dari muatannya apakah penetapan (beschiking) atau peraturan
(regeling), sehingga adalah kurang tepat melihat wet in formele zin didasarkan pada
substansi pengaturan dalam undang-undang ratifikasi tersebut.27 Sedangkan apabila
24Ibid., Ps. 9. 25Ibid., Ps. 9 ayat (2). 26 Republik Indonesia, Undang-undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,…
Op, Cit., Ps. 10 ayat (1) beserta penjelasannya. 27 Hamid Attamimi juga mengemukakan, penerjemahan kata-kata ‘wet in formele zin’
menjadi undang-undang dalam arti formal tidaklah tepat ataupun kata-kata ‘wet in materiele zin’ menjadi undang-undang dalam arti materil, karena kata ‘Undang-Undang’ dalam Bahasa
ditinjau berdasarkan sifat materi yang diatur, maka undang-undang ratifikasi ini
memuat peraturan (regeling), karena tujuan pembentukannya adalah mengesahkan dan
memuat “persetujuan DPR” dalam rangka menindaklanjuti pengikatan diri negara
Indonesia terhadap suatu perjanjian internasional28 dan Sony Maulana Sikumbang juga
mengemukakan bahwa undang-undang ratifikasi ini ditetapkan dengan tujuan untuk
mengikat masyarakat umum atau dengan sebutan “ditetapkan” untuk berlaku umum,
yang berarti ditetapkan untuk mengikat pemerintah dan masyarakat umum.29
c. Format UU Ratifikasi (Pengesahan) PI
Apabila ditinjau dari dari format perundang-undangan pada undang-undang,
peraturan perundang-undangan dapat dilengkapi dengan lampiran.30 Lampiran-lampiran
ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari naskah peraturan perundang-
undangan yang bersangkutan.31 Contoh undang-undang yang memiliki lampiran adalah
Undang-undang tentang APBN dan undang-undang tentang pengesahan konvensi
ataupun perjanjian-perjanjian internasional.
Batang tubuh undang-undang tentang pengesahan perjanjian internasional pada
dasarnya juga terdiri atas 2 (dua) pasal. Pasal 1 memuat ketentuan pengesahan
Indonesia tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan konteks ketatanegaraan Indonesia menurut UUD 1945. Sebagaimana dikutip dari Maria Farida Indrati, Op. Cit., hlm. 53-54.
28 Berdasarkan hasil wawancara Penulis terhadap Sony Maulana Sikumbang, Dosen
pengajar Ilmu Perundang-undangan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada 17 Mei 2013, pukul 13: 13 wib.
29Ibid. 30 Republik Indonesia, Undang-undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
UU No. 12 Tahun 2011, LN No. 82 Tahun 2011, TLN No. 5324. UU ini memiliki lampiran dan Pasal 44 ayat (2) menyatakan ketentuan mengenai teknik penyusunan Naskah Akademik sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini. Lampiran I UU ini memuat sistematika rancangan dalam kerangka peraturan perundang-undangan terdiri dari:
a. Judul; b. Pembukaan; c. Batang Tubuh; d. Penutup; e. Penjelasan (jika diperlukan) f. Lampiran (jika diperlukan) 31 Contoh yang sama dapat dilihat pada ketentuan mengenai teknik penyusunan Naskah
Akademik yang dicantumkan dalam Lampiran I UU No.12 Tahun 2011 dinyatakan sebagai bagian ynag tidak terpisahkan dari undang-undang ini. Ibid., Ps. 44 ayat (2).
perjanjian internasional dimaksud, yaitu dengan memuat pernyataan melampirkan
salinan naskah aslinya atau naskah asli bersama dengan terjemahannya dalam bahasa
Indonesia, sedangkan Pasal 2 memuat ketentuan mengenai saat mulai berlakunya.
Sehingga, dari segi format perundang-undangan, undang-undang yang meratifikasi
suatu perjanjian internasional beserta perjanjian internasioal yang menjadi lampirannya
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
d. UU Ratifikasi (Pengesahan) PI dan Fungsi Legislasi DPR
Fungsi legislasi berkenaan dengan kewenangan untuk menentukan peraturan yang
mengikat warga negara dengan norma-norma hukum yang mengikat dan membatasi.32
Jimly Asshidiqie mengemukakan bahwa pelaksanaan fungsi legislasi dalam
pembentukan UU menyangkut 4 (empat) bentuk kegiatan, yaitu:33
1. prakarsa pembuatan undang-undang (legislative initiation); 2. pembahasan rancangan undang-undang (law making process); 3. persetujuan atas pengesahan rancangan undang-undang (law enactment
approval); 4. pemberian persetujuan pengikatan atau ratifikasi atas perjanjian atau
persetujuan internasional dan dokumen-dokumen hukum yang mengikat lainnya (Binding decision making on internastional agreement and treaties or other legal binding document).
Dalam proses ratifikasi (pengesahan) perjanjian internasional yang mengharuskan
persetujuan DPR terhadap perjanjian internasional tertentu, Bagir Manan berpendapat
bahwa:34
“Kalau pengertian perjanjian internasional dikaitkan dengan fungsi DPR, akan termasuk fungsi membuat undang-undang, karenamenciptakan hukum atau menyetujui suatu hukum yang berlaku lintas negara. Telah menajadi kesepahaman umum, bentuk hukum yang dibuat DPR dalam menjalankan fungsi legislasi adalah undang-undang. Karena tidak ada bentuk peraturan perundang-undangan yang bersifat atau berlaku umum yang dapat dibuat DPR kecuali undang-undang.
32 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II,…Op. Cit., hlm. 24. 33Ibid. 34 Bagir Manan. “Akibat Hukum di dalam Negeri Pengesahan Perjanjian Internasional
(Tinjauan Hukum Tata Negara)”, Focused Group Discussion, Deplu-FH UNPAD, Bandung, 29 November, 2008, sebagaimana dikutip dari http://www.scribd.com/doc/16710360/Akibat-Hukum-Di-Dalam-Negeri-Pengesahan-Perjanjian-Internasional-Tinjauan-Hukum-Tata-Negara, diakses pada 9 Mei 2013, pukul 12:56 wib.
Undang-undang adalah produk yang dihasilkan dari fungsi legislasi DPR, karena itu setiap perjanjian internasional yang memerlukan persetujuan DPR akan diberi bentuk undang-undang.”
2.1.2 Kedudukan Hukum UU Ratifikasi (Pengesahan) PI dalam Tata Urutan Perundang-undangan (UU No. 12 tahun 2011)
Dalam pelbagai pandangan yang merujuk pada sistem hukum positif di dunia,
tidak terdapat satu negara pun yang secara khusus mengatur tata urutan urutan
perundang-undangan,35 sebagaimana di Indonesia. Kondisi ini disebabkan:36
“Secara hukum tidak ada larangan mengatur tata urutan peraturan perundang-undangan, karena sistem hukum itu tidak hanya terbatas pada sistem peraturan perundang-undangan, karena pengaturan itu juga dapat dilihat dari sudut tujuan yang hendak diraih (doelmatigeheid). Kalaupun ada pengaturan, hanya terbatas pada asas, atau dalam hal UUD terdapat ungkapan the supreme law of the land.”
Indonesia sendiri mengenal dan mengatur tata urutan peraturan perundang-
undangan dalam hukum nasionalnya. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 7 UU
No. 12 Tahun 2011 mengenai jenis dan tata urutan peraturan perundang-undangan,37
ditegaskan bahwa kedudukan hukum sebuah undang-undang berada di bawah UUD
1945 dan Ketetapan MPR serta diatas Peraturan Pemerintah, Peraturan presiden,
Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Dalam ketentuan
ayat (2) juga di pasal yang sama disebutkan bahwa kekuatan peraturan perundang-
undangan sesuai dengan tata urutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Sebuah
35 Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, 2000), hlm. 130. Kalaupun ada pengaturan, hanya terbatas pada asas yang menyebutkan misalnya “Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya” atau dalam hal UUD ada ungkapan “the supreme law of the land.” Di Jerman dikenal tata urutan (hierarki) sumber hukum (Gesetzesvorrang), yang urutannya UUD (Grundgesetz), perjanjian internasional yang penting, UU yang dibuat oleh parlemen pusat, Peraturan Pemerintah Pusat, Peraturan Menteri Federal, dan UUD negara bagian. Sementara itu, di negara Finlandia, urutan sumber hukumnya adalah Konstitusi, UU yang dibuat oleh Parlemen, dekrit yang dibuat oleh Presiden, kabinet atau menteri, peraturan lainnya yang dibuat oleh pejabat di bawah menteri. Lihat, R.M. Ananda B. Kusuma, “Keabsahan UUD 1945 Pasca Amandemen,” Jurnal Konstitusi Vol. 4 No. 1 (Maret 2007): 148- 155.
36Ibid., hlm. 131. 37Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan, UU No. 12 Tahun 2011, LN No. 82 Tahun 2011, TLN No. 5234, Ps. 7 ayat (1).
internasional termasuk dalam fungsi legislasi, karena menciptakan hukum atau
menyetujui suatu hukum yang berlaku lintas negara.45
Dengan memperhatikan uraian pada bagian kedudukan hukum UU No. 38 Tahun
2008 pada sub bab sebelumnya, bahwa UU No. 38 Tahun 2008 termasuk dalam produk
hukum dengan bentuk “Undang-Undang” yang dibentuk oleh Presiden dan
membutuhkan “persetujuan DPR” sebagai salah satu bentuk pelaksanaan fungsi
legislasi yang dimiliki oleh DPR. UU No. 38 Tahun 2008 juga memiliki Charter of The
Association of Southeast Asian Nations (Piagam Asean) sebagai lampirannya dan
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari undang-undang tersebut. Apabila hal ini
dikaitkan dengan kewenangan MK untuk melakukan pengujian konstitusional yang
diamanatkan oleh Pasal 24C UUD 1945, maka Penulis berpendapat bahwa MK
berwenang untuk melakukan pengujian terhadap “…undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar,” termasuk undang-undang yang meratifikasi perjanjian internasional,
dalam hal ini adalah UU No. 38 Tahun 2008.
Namun, pengujian konstitusionalitas yang membatalkan bagian/pasal tertentu dari
suatu uu ratifikasi tidak serta merta menjadi suatu penarikan diri Indonesia terhadap
suatu perjanjian internasional. Hal ini dikarenakan, mengingat tata cara penarikan diri
(withdrawal) dari sutu perjanjian internasional telah ditentukan dalam perjanjian
tersebut.
SIMPULAN
Berdasarkan penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan oleh Penulis, maka
diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Kedudukan hukum undang-undang yang meratifikasi perjanjian internasional
menurut tata urutan perundang-undangan di Indonesia berada di bawah UUD 1945,
Ketetapan MPR dan di atas Peraturan Pemerintah, Peraturan presiden, Peraturan
Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Dalam Pasal 7 UU No. 12
Tahun 2011 yang mengatur hierarki perundang-undangan tidak dilakukan
pembedaan terhadap undang-undang yang meratifikasi perjanjian internasional dan
undang-undang lainnya dalam tata urutannya.
45 Bagir Manan, “Akibat Hukum di Dalam Negeri Pengesahan Perjanjian Internasional
(Tinjauan Hukum Tatanegara)”, Makalah, Focus Group Discussion Departemen Luar Negeri dan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, 29 November 2008, sebagaimana dikutip dari Damos Dumoli Agusman,…Op. Cit, hlm. 91.
DAFTAR PUSTAKA Buku Agusman, Damos Dumoli. Hukum Perjanjian Internasional, Kajian Teori dan Praktik Indonesia.
Bandung: PT.Refika Aditama, 2010. Asshiddiqie, Jimly. Perihal Undang-Undang. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010. --------, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2007. --------, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi RI, 2006. Asshidiqie, Jimly dan Mustafa Fakhri, Mahkamah Konstitusi (Kompilasi Ketentuan Konstitusi, Undang-
Undang, dan Peraturan di 78 Negara), Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI, Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Indonesia.
Indrati, Maria Farida. Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan. Yogyakarta: Kanisius, 2007.
Kelsen, Hans. Teori Umum tentang Hukum dan Negara, [General Theorie of Law and State], diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, Cet. 5. Bandung: Nusa Media, 2010.
Kusumaatmadja, Mochtar dan dan Etty R Agoes. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: PT. Alumni, 2003.
Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Buku VI Kekuasaan Kehakiman. Jakarta, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2010.
Mamudji, Sri. et al., Metode Penelitian Dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Manan, Bagir. Teori dan Politik Konstitusi, Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, 2000.
Suryokusumo, Sumaryo. Hukum perjanjian Internasional, Cet. 1. Jakarta: PT. Tatanusa, 2008. Syahrizal, Ahmad. Peradilan Konstitusi: Suatu Studi tentang Adjudikasi Konstitusional Sebagai
Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif, Cet.1. Jakarta: Pradnya Paramita, 2006. Jurnal Juwana, Hikmahanto. “Catatan atas Masalah Aktual dalam Perjanjian Internasional” Indonesian Journal
of International Law, Vol. 5 No. 3 (April, 2008), hlm. 443-459. Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, LN No. 13 Tahun
2006. ----------, Undang-Undang Perjanjian Internasional, UU No. 24 Tahun 2000, LN. 185 Tahun 2000, TLN.
4012. ----------, Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, UU No. 12 Tahun 2012, LN
No. 82 Tahun 2011, TLN No. 5234 ----------, Undang-Undang tentang Pengesahan Charter of The Association of Southeast Asian Nations,
UU No. 38 Tahun 2008, LN No. 165 Tahun 2008, TLN No. 4915. Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 38
Tahun 2008 tentang Pengesahan Charter of The Association of Southeast Asian Nations (Piagam ASEAN), Putusan MK No. 33/PUU-IX/2011.
Internet “http://www.asean.org/asean/asean-charter/asean-charter,” pada 20 April 2013 pukul 21:58 wib. “http://www.scribd.com/doc/16710360/Akibat-Hukum-Di-Dalam-Negeri-Pengesahan-Perjanjian-
Internasional-Tinjauan-Hukum-Tata-Negara,”diakses pada 9 Mei 2013, pukul 12:56 wib. “http://untreaty.un.org/ilc/texts-/instruments/-english/conventions/1_1_1969.pdf.,” pada 21 April 2013
pukul 10:13 wib. Lainnya Wawancara dnegan Sony Maulana Sikumbang. Dosen pengajar Ilmu Perundang-undangan di Fakultas
Hukum Universitas Indonesia pada 17 Mei 2013, pukul 13: 13 wib.