i ANALISIS TEKSTUAL DAN MUSIKAL NANGEN NANDORBIN PADA MASYARAKAT PAKPAK DI DESA SUKARAMAI KECAMATAN KERAJAAN PAKPAK BHARAT SKRIPSI SARJANA O L E H NAMA: MONA SALAM SIDABUTAR NIM: 110707040 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN 2015
115
Embed
ANALISIS TEKSTUAL DAN MUSIKAL NANGEN NANDORBIN … · good morality. I use some methods to analyze the nangen nandorbin ... tetapi ditambah dengan kata inang ni beruna. Jika ibu yang
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
i
ANALISIS TEKSTUAL DAN MUSIKAL NANGEN NANDORBIN PADA
MASYARAKAT PAKPAK DI DESA SUKARAMAI KECAMATAN
KERAJAAN PAKPAK BHARAT
SKRIPSI SARJANA
O
L
E
H
NAMA: MONA SALAM SIDABUTAR
NIM: 110707040
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI
MEDAN
2015
ii
ANALISIS TEKSTUAL DAN MUSIKAL NANGEN NANDORBIN PADA
MASTARAKAT PAKPAK DI DESA SUKARAMAI KECAMATAN
KERAJAAN PAKPAK BHARAT
SKRIPSI SARJANA
O
L
E
H
NAMA: MONA SALAM SIDABUTAR
NIM: 100707040
Disetujui
Pembimbing I, Pembimbing II,
Drs. Kumalo Tarigan, M.A. Drs. Fadlin, M.A.
NIP 195812131986011002 NIP 196102201998031003
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI
MEDAN
2015
iii
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul “Analisis Tekstual dan Musikal Nangen Nandorbin pada Masyarakat Pakpak di Desa Sukarami Kecamatan Kerajaan Pakpak Bharat.” Tujuan utama skripsi ini adalah menganalisis teks dan melodi nangen nandorbin yang dinyanyikan oleh penyanyinya di Desa Sukaramai Pakpak, dengan sampel pada Marseti Limbong. Nangen nandorbin adalah salah satu genre musik vokal (nyanyian) dalam masyarakat Pakpak yang dilakukan secara turun-temurun dan hanya digunakan dalam konteks kehidupan sehari-hari, yang tujuan utamanya untuk mendidik seorang putri yang belum menikah bagaimana bersikap, berkepribadian, dan melakukan kebaikan.
Metode yang penulis gunakan dalam menganalisis nangen nandorbin adalah: studi pustaka, media sosial, internet, pengamatan terlibat, wawancara, perekaman data baik berupa audio, visual, maupun audio visual. Data-data lapangan kemudian diolah di laboratorium yang bersifat etnomusikologis. Teori yang penulis gunakan adalah dua teori utama. Untuk mengkaji teks digunakan teori semiotik, selanjutnya untuk kajian musikal, khususnya melodi, digunakan teori weighted scale.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa dari sudut analisis teks, lagu ini terdiri dari tujuh bait, yang saling berkaitan. Ketujuh bait tersebut memiliki formula tekstual yang khas. Terjadi perulangan-perulangan kata setiap baitnya, namun ada pula baris yang menjadi ciri khas setiap bait. Tema utamanya adalah mengenai seorang wanita pendamping suami yang ideal dalam konsep etnosains etnik Pakpak. Terdapat tujuh kriteria tipe wanita ideal, yaitu: (1) buluh i bernoh (seperti serumpun bambu yang terbaik), (2) mahan silindung bulan (menjadi pelindung), (3) mahan tongket ku idi (menjadi tongkat penopang), (4) mahan peningkat marga (menjadi peningkat keturunan), (5) mahan dengngan merarih (menjadi teman bercerita), (6) mahan dengngan mengula (menjadi teman bekerja), dan (7) man dengngan ncayur ntua (menjadi teman hidup sampai tua). Dari kajian musikal terhadap melodinya ditemukan hasil sebagai berikut: (i) tangga nada yang digunakan adalah tetratonik; (ii) wilayah nadanya 7 laras, satu oktaf lebih satu laras; (iii) nada dasar berada pada nada paling rendah yaitu Es; (iv) formula melodinya strofik; (v) interval yang digunakan adalah dari prima sampai sekta mayor; (vi) pola-pola kadensanya biner; (vii) jumlah nada-nada yang digunakan mayoritas berada pada nada ketiga, dan (viii) kontur yang digunakan ada tiga yaitu pendulum ke atas, naik, dan turun. Kata kunci: tekstual, musikal, nangen, nandorbin.
iv
ABSTRACT
This bachelor’s thesis entitled “Textual and Musical Analysis of Nangen Nandorbin in Pakpak Culture in Sukarami, Kerajaaan Subdistrict of Pakpak Bharat.” The main aim of this thesis is analyzing text and melody of nangen nandorbin, which sung by it’s singer, specially in Desa Sukaramai Pakpak, with focus in one key informant singer, Marseti Limbong. Nangen nandorbin is a vocal music (song) genre in Pakpak society, enculturated by one generation to next generation, uses in their’s everyday life, which main aim to educate a girl before marriage throughout to attitude, personality, and do the good morality.
I use some methods to analyze the nangen nandorbin song: literature study, social media, internet, participant observer, interview, recording data both auditive, visual, and audio visual. The filed work data then analyze in ethnomusicological laboratory. Then the writer uses two main theories. For textual study I use semiotic thaory, and then to musical study I use weighted theory.
In this research I meet the goals, that in the textual analysis context this song shaped by seven integrated verses. These verses have a spesific formula. In the verses can be see repetition each verse, but there is some special text in every verses. The main theme is about a ideal wife which as a partner of her husband in the context of Pakpak ethnic group. Thera are seven criterias the ideal wife called: (1) buluh i bernoh (as a best bamboo group), (2) mahan silindung bulan (as a guard), (3) mahan tongket ku idi (as a wooden hand walking helper), (4) mahan peningkat marga (as a mother which produce the children), (5) mahan dengngan merarih (as a friend to talk), (6) mahan dengngan mengula (as a friend to work), dan (7) man dengngan ncayur ntua (as a girl friend to the old years). From the musical study of melody, I meet the results here: (i) this song uses tetratonic scale; (ii) it’s ambitus 7 steps, one octave plus one step; (iii) the tonic of this song falling in it’s lowest tone Es, (iv) it’s melodic formula is based on strophic; (v) the interval of this songs begin from perfect prime to major sixth; (vi) it’s cadence patterns binair; (vii) the quantitative of it’s pitchs majority in third tone; and (viii) this song use three contour, pendolous up, ascending, and discending. Key words: textual, musical, nangen, nandorbin.
v
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Manusia dalam rangka menjalani kehidupannya di dunia ini,
menghasilkan dan berdasarkan kepada kebudayaan. Budaya ini menjadi
identitas seseorang dan sekelompok orang yang menggunakan dan
memilikinya. Kebudayaan tersebut muncul untuk memenuhi kebutuhan hidup
dan dalam rangka menjaga kesinambungan generasi yang diturunkan.
Kebudayaan ini memainkan peran penting terhadap perilaku manusia dan
benda-benda hasil kreativitas mereka. Kebudayaan juga mengatur siklus atau
daur hidup manusia sejak dari janin, lahir, anak-anak, pubertas, dewasa, tua,
sampai meninggal dunia. Demikian juga yang terjadi di dalam kebudayaan
masyarakat Pakpak Bharat, yang wilayah kebudayaannya mencakup Provinsi
Sumatera Utara dan Aceh. Salah satu ekspresi kebudayaan adalah kesenian.
Dalam kebudayaan masyarakat Pakpak Bharat dikenal berbagai jenis
seni, seperti seni rupa, musik (genderang), tari (tatak), dan seterusnya. Mereka
memiliki musik vokal yang disebut nangen, yang terdiri dari beberapa jenis,
seperti nangen mendedah (menidurkan anak), nangen merkemenjen (nyanyian
Nangen nandorbin adalah nyanyian ungkapan hati seorang ibu untuk
putri tercinta. Nyanyian ini adalah berupa ekspresi kebahagiaan yang bersifat
mendidik putrinya, agar menjadi wanita yang baik dan pantas menjadi menantu
2
siapa pun yang akan melamarnya, sehingga putrinya menjadi bahan sorotan
kepada ibu-ibu serta orang tua yang ada di masyarakat Pakpak, untuk
menjadikan putri yang terdidik dan telaten tersebut menjadi menantunya.
Teks yang disajikan merupakan ungkapan perasaan dari si penyaji, yang
strukturnya menggunakan unsur-unsur pantun tradisional Pakpak-Dairi dan
Pakpak Bharat, yang di dalamnya ada bait yang umumnya terdiri dari empat
baris, juga ada sampiran, isi, rima (persajakan), serta yang tidak kalah
pentingnya unsur musikal dalam penyajiannya. Oleh karena itu, kata-kata yang
diucapkan tidak boleh sembarangan atau tidak seperti bahasa sehari-hari tetapi
ada aturan tersendiri dalam penyampaian kata-kata tersebut. Misalnya, jika
seorang ibu menyanyikan nangen nandorbin untuk putrinya, maka pada waktu
anaknya mengiyakan perkataan ibunya, maka ia tidak boleh langsung
menggunakan kata ibu (bahasa Pakpak: inang), tetapi ditambah dengan kata
inang ni beruna. Jika ibu yang menyanyikan juga tidak bisa mengatakan
langsung kepada putrinya atau anak perempuannya ucapan anak perempuan
(bahasa Pakpak berru) maka ketika ibunya menyanyikan dengan menggunakan
kata berru maka diganti dengan tendi ni inangna. Dengan demikian, ada
aturan-aturan tertentu dalam penyampaian kata-kata. Sedangkan untuk irama,
ada suatu dinamika (tinggi rendah) dalam menyanyikannya pada setiap kata-
kata tertentu.
Mengingat pentingnya nangen nandorbin ini, maka dahulu seorang gadis
disarankan untuk belajar menyajikan nyanyian ini kepada orang yang pandai
menyajikannya. Biasanya kepada kaum ibu-ibu yang sudah lanjut usia.
Tujuannya adalah untuk melestarikan kebudayaan dan sebagai sarana ekspresi
3
nilai-nilai yang dipegang teguh oleh orang Pakpak Bharat. Dalam tradisi
Pakpak Bharat, setiap orang khususnya keluarga dekat, apabila ingin
menyajikan nyanyian ini kepada putrinya harus sesuai konteks. Jika orang yang
menasehati putrinya tidak menggunakan nangen nandorbin ini, maka mereka
dianggap tidak sayang dan tidak perduli kepada putrinya. Hal ini merupakan
suatu tradisi pada masyarakat Pakpak ketika menasehati putrinya.
Nangen nandorbin ini juga bisa dikatakan sebagai sarana komunikasi
untuk memberitahukan atau sebagai tanda bahwa ada seorang putri yang telah
bersedia di pinang oleh siapapun, dan apabila yang sudah di nasehati dengan
nangen nandorbin sudah menjadi pilihan terhadap orang-orang di sekitarnya.
Dengan mendengar nyanyian tersebut, maka secara otomatis orang-orang di
sekitarnya akan mengetahui bahwa ada orang yang telah bersedia di pinang di
sekitarnya.
Dalam kebudayaan masyarakat Pakpak Bharat nangen nandorbin ini
tidak pernah disajikan oleh kaum pria. Hal ini memang tidak pernah berlaku
pada masyarakat itu sendiri. Untuk menyajikan nangen nandorbin ini memang
merupakan tugas dari kaum wanita. Menurut penjelasan para informan tidak
pernah ditemukan kaum pria yang menyajikan nangen nandorbin tersebut,
karena merupakan hal yang dianggap tabu bagi masyarakat Pakpak jika ada
kaum pria yang menyajikan nangen nandorbin ini.
Tetapi setelah tahun 60-an nangen nandorbin telah digabungkan dengan
alat musik, seperti kalondang, kecapi, lobat, taratoa yang dimainkan oleh pria,
karena ketika mendengar nangen tersebut kaum pria langsung menirukan
4
langsung kepada alat musik yang ada tersebut, sehingga disebut lah musik
nangen.
Pada awalnya penulis berpikir bahwa teks atau lirik yang diungkapkan
penyaji pada waktu menasehati putrinya tersebut hanya berkisar tentang
penjodohan putrinya tersebut saja, misalnya kelebihan-kelebihannya, sifat-
sifatnya, serta pengalaman ibunya selama bersama putri tersebut. Namun
setelah dikaji lebih mendalam, dalam kenyataannya setelah meneliti lebih
lanjut ternyata teks yang diungkapkan penyaji tidak hanya itu saja, melainkan
bercerita tentang pengalaman atau kegigihan seorang putri tersebut untuk
menjalani hidup dan mampu berbagi suka maupun duka kepada keluarga yang
akan meminang nya. Pada waktu menasehati putrinya tersebut, maka penyaji
mengungkapkan segala pesan-pesan penting di dalam kehidupannya. Dalam
hal ini ada istilah: “Sada nandorbin ko buluh i bernoh idi nandorbin
nandorbin,” artinya “Serumpun bambu yang di lembah sangat bagus
digunakan untuk apa saja.” Jadi putri tersebut diibaratkan tumbuhan bambu di
antara rumpun tersebut terdapat satu yang betul-betul bagus dan dapat
dipergunakan, karena pada zaman dahulu hingga saat ini tumbuhan bambu
adalah tumbuhan yang serbaguna dan multifungsi. Jadi, melalui nangen
nandorbin ini di lingkungan Pakpak Bharat semakin menyadari bahwa seorang
putri tersebut menjadi putri terbaik dan dapat menjadi penyejuk kepada
keluarga yang akan melamarnya.
Dengan melihat fakta sosial dan budaya seperti diurai di atas, maka
dalam tulisan ini penulis akan membahas tentang keberadaan nangen
nandorbin dari dua sudut pandang utama yaitu: (a) tekstual dan (b) musikal
5
yang merupakan salah satu musik vokal yang terdapat pada masyarakat Pakpak
Bharat di Desa Sukaramai, Pakpak Bharat, yang disajikan dalam konteks
pendidikan dan nasihat, dan secara umum nangen nandorbin semakin
berkembang dan dipopulerkan karena adanya musik.
Nangen nandorbin adalah nyanyian nasihat mendidik putrinya agar
menjadi wanita terbaik, untuk dapat menjadi menantu terbaik bagi masyarakat
Pakpak. Disajikan pada saat si putri tersebut masih berada di hadapan ibunya.
Teks nya berisi hal-hal perilaku yang paling berkesan untuk di pelajari oleh
putrinya kelak di dalam hidupnya, kebaikan dan kelebihan-kelebihannya, serta
kemungkinan kesukaran hidup yang akan dihadapi putrinya. Melalui nangen
ini pula, orang-orang yang mendengar dapat lebih mengetahui dan mengenal
sifat-sifat dari orang yang dinasehati tersebut. Melalui nangen ini para orang
tua yang ada dalam masyarakat Pakpak merasa tertarik dan menaruh perhatian
kepada putri yang telah terdidik tersebut. Kilas baliknya seorang ibu
menyanyikan nangen nandorbin tersebut karena sudah ingin menimang cucu,
dan sudah memantapkan bahwa usia putrinya sudah siap untuk dipinang
orang.
Pada awalnya Nangen nandorbin adalah nyanyian logogenik yang
mengutamakan teks dari pada musik, tetapi banyak perubahan di era sekarang
ini bahwa nangen sudah berhubungan dengan musik, bahkan sekarang musik
lebih diutamakan dari pada teks.1 Wawancara dengan Bapak Atur Pandapotan
1Logogenik adalah sebuah penajian music dalam konteks kebudayaan yang
mengutamakan teks atau lirik, sehingga berkaitan erat dengan seni sastra dan bahasa. Di dalam kebudayaan masyarakat Sumatera Utara, sebagai contoh dalam budaya Angkola dan Mandailing dikenal musik onang-onang dan jeir, dalam kebudayaan Pesisir dikenal sikambang, di dalam masyarakat Melayu ditemukan syair, gurindam, nazam, sinandong, dan masih banyak lagi yang lainnya. Sebaliknya terdapat pula sajian musik melogenik, yaitu
6
Solin, Januari 2015 di Desa Sukaramai, Pakpak Bharat. Dengan melihat uraian
dari bapak tersebut menggambarkan kepada kita bahwa menyajikan nangen
nandorbin adalah sebuah aktivitas total dari penyajinya yang dilatarbelakangi
oleh kebudayaan. Ini juga memberikan gambaran tentang begitu pentingnya
keberadaan nangen nandorbin di dalam kebudayaan Pakpak Bharat.
Melodi disajikan secara strofik, yaitu teksnya berubah-ubah tetapi
melodinya sama atau hampir sama (Naiborhu, 2004:150). Sesuai dengan
perjalanan waktu dalam konteks kebudayaan Pakpak, maka institusi adat
nangen nandorbin ini, mengalami perubahan-perubahan. Di antara penyebab
perubahan itu adalah berkembang pesatnya kemajuan tekhnologi, juga agama
yang datang ke dalam kehidupan masyarakat Pakpak Bharat. Jika melihat
keberadaannya saat ini, nyanyian ini mengalami penurunan pembelajarannya
kepada generasi muda. Walaupun secara agama “dilarang,” namun secara
kultural tetap dilaksanakan dan menjadi suatu kebiasaan atau tradisi yang
turun-temurun dilaksanakan.
Di dalam tulisan Lothar Screiner dikatakan bagaimana hubungan adat
dan agama. Segala sesuatu yang mempunyai kebiasaan, baik golongan maupun
perorangan, itu mempunyai suatu adat. Juga kecenderungan-kecenderungan
yang merupakan kebiasaan yang tidak disadari, bahkan naluri-naluri, orang
sebutkan sebagai adat. Oleh karena itu, adat merangkum semua lapangan
kehidupan, agama, dan peradilan, hubungan-hubungan keluarga, kehidupan,
mengutamakan sajian musik itu sendiri dalam bentuk ritme, melodi, harmoni, atau gabungan keseluruhannya. Dalam tekik sajian demikian, unsur teks (lirik) lagu tidak diutamakan. Di dalam kebudayaan masarakat Sumatera Utara, sajian seperti ini contohnya adalah gordang sambilan, gordang tano (Angkola dan Mandailing), ensambel genderang sipitu-pitu (Pakpak dan Dairi), gondang sabangunan (Batak Toba), dan lain-lainnya.
7
dan kematian. Adat dan agama janganlah dianggap sebagai dua hal yang
berdiri satu di samping yang lain dan saling terikat. Selain itu, jangan pula
orang menganggap bahwa agama berada di atas adat. Tetapi adat itu harus
dipahami sebagai keberagaman totaliter dari manusia yang diliputi oleh tradisi
mitisnya. Sifat khas keberagaman ini terdapat dalam dijaminnya keselamatan
melalui kesetiaan yang kokoh kepada apa yang orang anut. Adat bukanlah
agama itu sendiri, melainkan pelaksanaannya secara menyeluruh, yang
diperlukan untuk memberlakukan peristiwa keselamatan dari zaman purbakala.
Selain faktor agama, faktor lain yang menyebabkan memudarnya
nyanyian ini adalah masyarakat Pakpak yang menganggap hal tersebut
merupakan tradisi yang tidak perlu lagi dilestarikan, seiring dengan
perkembangan tekhnologi yang sudah semakin maju, maka nyanyian ini, tidak
mendapat perhatian lagi. Dengan memperhatikan hal-hal di atas, maka penulis
tertarik untuk meneliti lebih lanjut dalam bentuk karya ilmiah dengan
pendekatan etnomusikologis.
Etnomusikologi adalah sebuah ilmu yang mengkaji musik dalam konteks
kebudayaan. Karena nangen nandorbin ini adalah ilmu yang dimana di
dalamnya ada kajian musik di dalam konteks kebudayaan, seperti yang
didefinisikan oleh Merriam, sebagai berikut.
Ethnomusicology carries within itself the seeds of its own division, for it has always been compounded of two distinct parts, the musicological and the ethnological, and perhaps its major problem is the blending of the two in a unique fashion which emphasizes neither but takes into account both. This dual nature of the field is marked by its literature, for where one scholar writes technically upon the structure of music sound as a system in itself, another chooses to treat music as a functioning part of human culture and as an integral part of a
8
wider whole. At approximately the same time, other scholars, influenced in considerable part by American anthropology, which tended to assume an aura of intense reaction against the evolutionary and diffusionist schools, began to study music in its ethnologic context. Here the emphasis was placed not so much upon the structural components of music sound as upon the part music plays in culture and its functions in the wider social and cultural organization of man. It has been tentatively suggested by Nettl (1956:26-39) that it is possible to characterize German and American "schools" of ethnomusico-logy, but the designations do not seem quite apt. The distinction to be made is not so much one of geography as it is one of theory, method, approach, and emphasis, for many provocative studies were made by early German scholars in problems not at all concerned with music structure, while many American studies have been devoted to technical analysis of music sound (Merriam 1964:3-4).2
Apa yang dikemukakan oleh Merriam seperti kutipan di atas, bahwa
para pakar atau ahli etnomusikologi membawa dirinya sendiri kepada benih-
benih pembagian ilmu, yaitu musikologi dan antropologi. Selanjutnya dalam
memfusikan kedua disiplin ini, maka dalam etnomusikologi akan menimbulkan
kemungkinan-kemungkinan masalah besar dalam rangka mencampur kedua
disiplin itu, tentu saja setiap etnomusikolog akan berada dalam fokus keahlian
ilmu pada salah satu bidangnya saja, tetapi tetap mengandung kedua disiplin
tersebut.
Sifat dualisme lapangan studi etnomusikologi ini, dapat ditandai dari
bahan-bahan bacaan yang dihasilkannya. Katakanlah seorang sarjana
etnomusikologi menulis secara teknis tentang struktur suara musik sebagai
suatu sistem tersendiri. Di lain sisi, sedangkan sarjana lain memilih untuk
2Di dalam hal aplikasi disiplin etnomusikologi di Indonesia dan dunia, terdapat sebuah buku yang terus populer sampai sekarang ini, dalam realitasnya menjadi “bacaan wajib ” bagi para pelajar dan mahasiswa etnomusikologi seluruh dunia, dengan pendekatan kebudayan, fungsionalisme, strukturalisme, sosiologis, dan lain-lainnya. Buku yang diterbitkan tahun 1964 oleh North Western University di Chicago Amerika Serikat ini, menjadi semacam “karya utama” di antara karya-karya yang berciri khas etnomusikologis.
9
memperlakukan musik sebagai suatu bagian dari fungsi kebudayaan
manusia, dan sebagai bagian yang integral dari keseluruhan kebudayaan.
Di dalam masa yang sama, beberapa sarjana dipengaruhi secara luas oleh
para pakar antropologi Amerika, yang cenderung untuk mengasumsikan
kembali suatu reaksi terhadap aliran-aliran yang mengajarkan teori-teori
evolusioner difusi, dimulai dengan melakukan studi musik dalam
konteks etnologisnya. Dalam kerja yang seperti ini, penekanan etnologis yang
dilakukan para sarjana ini lebih luas dibanding dengan kajian struktur
komponen suara musik sebagai suatu bagian dari permainan musik dalam
kebudayaan, dan fungsi-fungsinya dalam organisasi sosial dan kebudayaan
manusia yang lebih luas.
Hal tersebut telah disarankan secara bertahap oleh Bruno Nettl yaitu
terdapat kemungkinan karakteristik "aliran-aliran" etnomusikologi di
Jerman dan Amerika, yang sebenarnya tidak persis sama. Mereka
melakukan studi etnomusikologi ini, tidak begitu berbeda, baik dalam
geografi, teori, metode, pendekatan, atau penekanannya. Beberapa studi
provokatif awalnya dilakukan oleh para sarjana Jerman. Mereka
memecahkan masalah-masalah yang bukan hanya pada semua hal yang
berkaitan dengan struktur musik saja. Para sarjana Amerika telah
mempersembahkan teknik analisis suara musik.
Dari kutipan di atas tergambar dengan jelas bahwa etnomusikologi
dibentuk dari dua disiplin ilmu dasar yaitu antropologi dan musikologi.
Walaupun terdapat variasi penekanan bidang yang berbeda dari masing-
10
masing ahlinya. Namun terdapat persamaan bahwa mereka sama-sama
berangkat dari musik dalam konteks kebudayaannya.
Secara khusus, mengenai beberapa definisi tentang etnomusikologi
telah dikemukakan dan dianalisis oleh para pakar etnomusikologi. Pada tulisan
edisi berbahasa Indonesia, Rizaldi Siagian dari Universitas Sumatera Utara
(USU) Medan, dan Santosa dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI)
Surakarta, telah mengalihbahasakan berbagai definisi etnomusikologi, yang
terangkum dalam buku yang bertajuk Etnomusikologi, tahun 1995, yang diedit
oleh Rahayu Supanggah, terbitan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, yang
berkantor pusat di Surakarta. Dalam buku ini, Alan P. Merriam mengemukakan
42 definisi etnomusikologi dari beberapa pakar, menurut kronologi sejarah
dimulai oleh Guido Adler 1885 sampai Elizabeth Hesler tahun 1976.3
Dari semua penujelasan tentang apa itu etnomusikologi, maka dapatlah
ditarik kesimpulan bahwa etnomusikologi adalah sebuah disiplin ilmu
pengetahuan yang merupakan hasil fusi dari antropologi (etnologi) dan
musikologi, yang mengkaji musik baik secara struktural dan juga sebagai
3Buku tersebut ini disunting oleh seorang etnomusikolog dari Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, yaitu R. Supanggah, diterbitkan tahun 1995, dengan judul ringkas Etnomusikologi. Diterbitkan di Surakarta oleh Yayasan bentang Budaya, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Buku ini merupakan kumpulan enam tulisan oleh empat pakar etnomusikologi (Barat) seperti: Barbara Krader, George List, Alan P. Merriam, dan K.A. Gourlay; yang dialihbahasakan oleh Santosa dan Rizaldi Siagian. Dalam buku ini Alan P. Merriam menulis tiga artikel, yaitu: (a) “Beberapa Definisi tentang ‘Musikologi Komparatif’ dan ‘Etnomusikologi’: Sebuah Pandangan Historis-Teoretis,” (b) “Meninjau Kembali Disiplin Etnomusikologi,” (c) “Metode dan Teknik Penelitian dalam Etnomusikologi.” Sementara Barbara Krader menulis artikel yang bertajuk “Etnomusikologi.” Selanjutnya George List menulis artikel “Etnomusikologi: Definisi dalam Disiplinnya.” Pada akhir tulisan ini K.A. Gourlay menulis artikel yang berjudul “Perumusan Kembali Peran Etnomusikolog di dalam Penelitian.” Buku ini barulah sebagai alihbahasa terhadap tulisan-tulisan etnomusikolog (Barat). Ke depan, dalam konteks Indonesia diperlukan buku-buku panduan tentang etnomusikologi terutama yang ditulis oleh anak negeri, untuk kepentingan perkembangan disiplin ini. Dalam ilmu antropologi telah dilakukan penulisan buku seperti Pengantar Ilmu Antropologi yang ditulis antropolog Koentjaraningrat, diikuti oleh berbagai buku antropologi lainnya oleh para pakar generasi berikut seperti James Dananjaya, Topi Omas Ihromi, Parsudi Suparlan, Budi Santoso, dan lain-lainnya.
11
fenomenal sosial dan budaya manusia di seluruh dunia. Para ahlinya (lulusan
sarjana etnomusikologi atau peringkat magister dan doktoral) disebut sebagai
etnomusikolog. Ilmu ini sangat relevan dalam mengkaji musikal dan tekstual
nangen nandorbin dalam kebudayaan masyarakat Pakpak Bharat.
Dengan memperhatikan secara seksama semua latar belakang di atas,
maka dengan demikian kajian ini akan melihat bagaimana struktur tekstual,
dan musikal yang disajikan dalam nangen nandorbin sehingga nyanyian
tersebut dapat mempengaruhi atau membawa orang lain larut dalam suasana
bangga yang mendalam. Maka penulis meneliti lebih lanjut dan membuat ke
dalam bentuk karya ilmiah dengan judul “Analisis Tekstual dan Musikal
Nangen Nandorbin Pada Masyarakat Pakpak di Desa Sukaramai
Kecamatan Kerajaan Pakpak Bharat.” Kiranya tulisan ini dapat bermanfaat
bagi pembaca dan menambah wawasan tentang kebudayaan yang terdapat pada
masyarakat Pakpak Bharat.
1.2 Pokok Permasalahan
Sesuai dengan judul skripsi ini dan juga fokus perhatian kepada masalah
yang akan diteliti, maka penulis menentukan dua pokok masalah (atau
pertanyaan masalah), yaitu sebagai berikut.
1. Bagaimana struktur dan makna tekstual yang terkandung dalam nangen
nandorbin pada masyarakat Pakpak di Desa Sukaramai Kecamatan Kerajaan
Pakpak Bharat?
12
2. Bagaimana struktur musikal yang terkandung di dalam nangen nandorbin
pada masyarakat Pakpak di Desa Sukaramai Kecamatan Kerajaan Pakpak
Bharat?
Pokok masalah pertama, yaitu akan dijabarkan dengan sejauh apa makna-
makna yang terdapat dalam lirik nangen nandorbin dengan pendekatan kajian
kebudayaan. Kemudian untuk pokok masalah kedua yaitu bagaimana struktur
musikal nangen nandorbin dalam kebudayaan masyarakat Pakpak di Desa
Sukaramai Kecamatan Kerajaan Pakpak Bharat akan diurai dengan unsur
utamanya yaitu melodi yang mencakup tangga nada, wilayah nada, nada dasar,
formula melodi, nada-nada yang digunakan, distribusi interval, pola-pola
kadensa, dan kontur. Dengan fokus pada dua pokok masalah dan unsur-unsur
yang akan dikaji, maka diharapkan dalam penelitian ini akan ditemukan hal-hal
baru dalam konteks penelitian etnomusikologis.
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin penulis capai dalam rangka penelitian ini
adalah sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui dan memahami bagaimana struktur dan makna tekstual
yang terdapat pada nyanyian nangen nandorbin pada masyarakat Pakpak Di
desa Sukaramai Kecamatan Kerajaan Pakpak Bharat.
2. Untuk mengetahui dan memahami struktur musikal yang terkandung di
dalam nyanyian nangen nandorbin pada masyarakat Pakpak Di desa
Sukaramai Kecamatan Kerajaan Pakpak Bharat.
13
Secara umum tujuan akhir dalam penelitian ini adalah dengan
mengetahui dan memahami struktur dan makna tekstual dan struktur musikal
nangen nandorbin pada masyarakat Pakpak di Desa Sukaramai Kecamatan
Kerajaan Pakpak Bharat memahami manusia Pakpak Bharat yang memiliki
budaya nangen nandorbin sedemikian rupa. Secara etnomusikologi, tujuan
akhir menganalisis musik adalah memahami manusia yang menghasilkan
musik sedemikian rupa itu (lebih jauh lihat Merriam 1964).
1.4 Manfaat Penelitian
Sebagai usaha untuk memperluas informasi mengenai kebudayaan
Pakpak, penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai berikut:
a. Sarana untuk memperluas pengetahuan tentang nangen nandorbin terhadap
kesenian Pakpak Bharat.
b. Bermanfaat bagi pembaca khususnya yang bergelut di bidang disiplin ilmu
etnomusikologi.
c. Sebagai bahan pendokumentasian terhadap kesenian tradisional Pakpak
Bharat.
d. Sebagai data etnografi yang akan memperkaya khasanah keilmuan tentang
budaya Pakpak Bharat.
1.5 Konsep
Nangen Nandorbin adalah salah satu nyanyian atau musik vokal yang
terdapat pada masyarakat Pakpak yang disajikan dalam konteks kehidupan
sehari-hari. Nangen artinya nyanyian, dan nandorbin artinya putri yang
14
terdidik. Jadi, nangen nandorbin adalah nyanyian yang disajikan untuk seorang
putri yang terdidik. Nyanyian merupakan bagian dari musik, secara umum
musik terbagi atas tiga bagian yaitu: (1) musik vokal, (2) musik instrumental,
dan (3) gabungan antara instrumental dan vokal. Yang dimaksud dengan
musik vokal adalah bunyi yang dihasilkan oleh alat ujar manusia seperti mulut,
bibir, lidah, dan kerongkongan yang memiliki irama, nada, ritem, dinamik,
melodi dan mempunyai pola-pola serta aturan untuk bunyi tersebut.
Musik vokal dapat juga disebut nyanyian. Hal ini sesuai dengan
pendapat yang dikemukakan Poerwadarminta (1985:680), bahwa nyanyian
adalah sesuatu yang berhubungan dengan suara/bunyi yang berirama yang
merupakan alat/media untuk menyampaikan maksud seseorang atau tanpa
iringan musik.. Berdasarkan uraian di atas maka nangen nandorbin dapat
disebut juga sebagai musik vokal atau nyanyian, karena menghasilkan bunyi
yang memiliki irama, nada, dinamik, dan pola-pola melodi. Analisis dapat
diartikan menguraikan atau memilah-milah suatu hal atau ide ke dalam setiap
bagian-bagian sehingga dapat diketahui bagaimana sifat, perbandingan, fungsi,
maupun hubungan dari bagian-bagian tersebut. Analisis yang penulis maksud
disini adalah menguraikan struktur musikal, struktur teks serta makna yang
terkandung dalam teks tersebut. Sebagai landasan penelitian ini, tekstual
merupakan hal-hal yang berkaitan dengan teks atau tulisan dari suatu nyanyian.
Istilah teks dalam musik vokal berarti syair.
Teks atau syair dari nyanyian tersebut akan menghasilkan suatu makna.
Makna tersebut adalah suatu yang tersirat dibalik bentuk dan aspek isi dari
suatu kata atau teks yang kemudian terbagi menjadi dua bagian, yaitu makna
15
konotatif dan makna denotatif. Makna konotatif adalah makna kata yang
terkandung arti tambahan sedangkan makna denotatif adalah kata yang tidak
mengandung arti tambahan atau disebut dengan makna sebenarnya
(Keraf,1991:25). Istilah musikal menunjukkan kata sifat yang artinya bersifat
musik, memiliki unsur-unsur musik seperti melodi, tangga nada, modus,
dinamika, interval, frasa, serta pola ritem.
1.6 Kerangka Teori
Teori dapat digunakan sebagai landasan kerangka berpikir dalam
membahas permasalahan (Nasution, 1982:126). Dalam tulisan ini yang menjadi
pokok permasalahannya adalah mengetahui unsur-unsur tekstual serta musikal
yang terkandung dalam nangen nandorbin tersebut. Sesuai dengan dua pokok
masalah dalam penelitian ini, yaitu: tekstual, dan musikal, maka dipergunakan
juga dua teori utama. Untuk mengkaji struktur dan makna tekstual digunakan
teori semiotika. Selanjutnya untuk mengkaji struktur musikal yang berupa
melodi nangen nandorbin digunakan teori weighted scale.
1.6.1 Teori Semiotika
Untuk mengkaji struktur dan makna tekstual nangen nandorbin , penulis
menggunakan teori semiotika. Selanjutnya teori ini digunakan dalam usaha
untuk memahami bagaimana makna diciptakan dan dikomunikasikan melalui
sistem simbol yang membangun sebuah peristiwa seni. Dua tokoh perintis
semiotika adalah Ferdinand de Saussure seorang ahli bahasa dari Swiss dan
Charles Sanders Pierce, seorang filosof dari Amerika Serikat. Saussure melihat
16
bahasa sebagai sistem yang membuat lambang bahasa itu terdiri dari sebuah
imaji bunyi (sound image) atau signifier yang berhubungan dengan konsep
(signified). Setiap bahasa mempunyai lambang bunyi tersendiri. Peirce juga
menginterpretasikan bahasa sebagai sistem lambang, tetapi terdiri dari tiga
bagian yang saling berkaitan: (1) representatum, (2) pengamat (interpretant),
dan (3) objek.
Dalam kajian kesenian berarti kita harus memperhitungkan peranan
seniman pelaku dan penonton sebagai pengamat dari lambang-lambang dan
usaha kita untuk memahami proses pertunjukan atau proses penciptaan. Peirce
membedakan lambang-lambang ke dalam tiga kategori: ikon, indeks, dan
simbol. Apabila lambang itu menyerupai yang dilambangkan seperti foto,
maka disebut ikon. Jika lambang itu menunjukkan akan adanya sesuatu seperti
timbulnya asap akan diikuti api, disebut indeks. Jika lambang tidak menyerupai
yang dilambangkan, seperti burung garuda melambangkan negara Republik
Indonesia, maka disebut dengan simbol.
Semiotika atau semiologi adalah kajian terhadap tanda-tanda (sign)
serta tanda-tanda yang digunakan dalam perilaku manusia. Definisi yang sama
pula dikemukakan oleh salah seorang pendiri teori semiotika, yaitu pakar
linguistik dari Swiss Ferdinand de Sausurre. Menurutnya semiotika adalah
kajian mengenai “kehidupan tanda-tanda dengan masyarakat yang
menggunakan tanda-tanda itu.”
Meskipun kata-kata ini telah dipergunakan oleh filosof Inggris abad ke-
17 yaitu John Locke, gagasan semiotika sebagai sebuah modus interdisiplin
ilmu, dengan berbagai contoh fenomena yang berbeda dalam berbagai
17
lapangan studi, baru muncul ke permukaan pada akhir abad ke-19 dan awal
abad ke-20, ketika munculnya karya-karya Sausurre dan karya-karya seorang
filosof Amerika Serikat, Charles Sanders Peirce. Dalam karya awal Peirce di
lapangan semiotik ini, ia menumpukan perhatian kepada pragmatisme dan
logika. Ia mendefinisikan tanda sebagai “sesuatu yang mendukung seseorang
untuk sesuatu yang lain.” Salah satu sumbangannya yang besar bagi semiotika
adalah pengkategoriannya mengenai tanda-tanda ke dalam tiga tipe, yaitu: (a)
ikon, yang disejajarkan dengan referennya (misalnya jalan raya adalah tanda
untuk jatuhnya bebatuan); (b) indeks, yang disamakan dengan referennya (asap
adalah tanda adanya api) dan (c) simbol, yang berkaitan dengan referentnya
dengan cara penemuan(seperti dengan kata-kata atau signal trafik). Ketiga
aspek tanda ini penulis pergunakan untuk mengkaji teks nangen nandorbin.
1.6.2 Teori Weighted Scale
Untuk mengkaji aspek musikal nangen nandorbin yang disajikan secara
melodis, penulis berpedoman kepada teori yang dikemukakan oleh Malm yang
dikenal dengan teori weighted scale. Pada prinsipnya teori weighted scale
adalah teori yang lazim dipergunakan di dalam disiplin etnomusikologi untuk
menganalisisi melodi baik itu berupa musik vokal atau instrumental. Ada
delapan parameter atau kriteria yang perlu diperhatikan dalam menganalisis
wilayah nada (range), (4) jumlah nada (frequency of note), (5) jumlah interval,
(6) pola-pola kadensa (cadence patterns), (7) formula melodi (melody
formula), dan (8) kontur (contour) (Malm dalam terjemahan Takari 1993:13).
18
Dalam rangka penelitian ini, sebelum menganalisis melodi nangen
nandorbin yang disajikan oleh narasumber penulis, maka terlebih dahulu data
audio ditranskripsi ke dalam notasi balok dengan pendekatan etnomusikologis.
Setelah dapat ditransmisikan ke dalam bentuk notasi yang bentuknya visual,
barulah notasi tersebut dianalisis. Dalam kerja ini juga penulis melakukan
penafsiran-penafsiran.
1.7 Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis mengumpulkan data yang dibutuhkan
dengan menggunakan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan
kualitatif, karena pendekatan ini lebih berupa kata-kata secara detail dan bukan
berupa angka-angka. Sejalan dengan itu, Bogdan dan Taylor (dalam Maleong
1988:3), mengungkapkan bahwa metodologi kualitatif sebagai prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari orang-orang atau perilaku masyarakat yang dapat diamati.
Seperti telah disebutkan diatas bahwa penelitian ini menggunakan format
penelitian deskriptif. Yang dimaksud penelitian dekriptif (descriptive research)
yang biasa juga disebut dengan penelitian taksonomik, dimaksudkan untuk
eksplorasi dan klarifikasi mengenai sesuatu fenomena atau kenyataan sosial,
dengan jalan mendeskripsikan sejumlah variabel yang berkenaan dengan
masalah dan unit yang diteliti. Jenis pendekatan ini tidak sampai
mempersoalkan jalinan hubungan antarvariabel yang ada. Tidak dimaksudkan
untuk menarik generalisasi yang menjelaskan variabel-variabel anteseden yang
menyebabkan sesuatu gejala atau kenyataan sosial. Oleh karena itu, pada
19
penelitian yang menggunakan format penelitian deskriptif, tidak menggunakan
dan melakukan pengujian hipotesis, seperti yang dilakukan pada penelitian
dengan format eksplanasi. Berarti tidak dimaksudkan untuk membangun dan
mengembangkan perbendaharaan teori. Dalam pengolahan dan analisis data ,
lazimnya menggunakan statistik yang bersifat deskriptif. Selanjutnya yang
dimaksud dengan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini, adalah mengutip
pendapat Denzin, et al. (2009:6) yang menjelaskan bahwa peneliti kualitatif
menekankan sifat realitas yang terbangun secara sosial, hubungan erat antara
peneliti dengan subjek yang diteliti, dan tekanan situasi yang membentuk
penelitian. Para peneliti semacam ini mementingkan sifat penelitian yang sarat
nilai. Mereka mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang menyoroti
cara munculnya pengalaman sosial sekaligus perolehan maknanya.
Penelitian kualitatif merupakan bidang antar-disiplin, lintas-disiplin, dan
kadang-kadang kontradisiplin. Penelitian kualitatif menyentuh humaniora,
ilmuilmu sosial, dan ilmu-ilmu fisik. Penelitian ini teguh dengan sudut pandang
naturalistik sekaligus kukuh dengan pemahaman interpretif mengenai
pengalaman manusia (Nelson, dkk., dalam Denzin dan Lincoln, 2009:5).
Adapun teknik pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini adalah
mencakup: (a) studi kepustakaan, (b) observasi, (c) wawancara, dan (d) kerja
laboratorium. Keempat teknik ini dapat dijabarkan sebagai berikut.
20
1.7.1 Studi Kepustakaan
Sebelum melakukan kerja lapangan, penulis terlebih dahulu melakukan
studi kepustakaan. Penulis mencari informasi dan referensi untuk mendapat
pengetahuan dasar tentang objek yang diteliti. Dalam hal ini, penulis
menggunakan referensi berupa buku dan sebagian besar dari beberapa skripsi
yang relevan dengan objek yang diteliti. Selain itu juga buku-buku yang berkait
dengan kebudayaan Pakpak Bharat, tentang siklus hidup manusia terutama
ritus peralihan antara dunia nyata dan kehidupan pernikahan, tentang sistem
religi yang berkaitan dengan pernikahan, dan lain-lain.
Selain itu juga dalam studi kepustakaan ini penulis melakukan survei
terhadap tulisan-tulisan di jejaring sosial internet, terutama yang berkaitan
dengan topik penelitian ini. Di dalamnya terdapat data yang diunggah melalui
blok dan juga laman web. Data-data ini membantu memahami latar belakang
kajian terhadap nangen nandorbin sebagai prilaku sosial, budaya, dan musikal.
1.7.2 Observasi
Teknik pengumpulan data dengan observasi adalah metode yang
digunakan dengan menggunakan pengamatan dan pengindraan untuk
menghimpun data penelitian. Menurut Bungin (2007:115), metode observasi
merupakan kerja pancaindera mata serta dibantu dengan pancaindera lainnya.
Dalam meneliti nyanyian ini, penulis meneliti langsung ke lapangan. Sebelum
melakukan penelitian penulis melakukan pengamatan lokasi, tempat penelitian
serta mencari beberapa narasumber yang betul-betul menguasai nangen
nandorbin tersebut, setelah melakukan observasi maka penulis dapat
21
melakukan penelitian. Adapun lokasi penelitian ini adalah di desa Sukaramai,
kecamatan Kerajaan, Kabupaten Pakpak Bharat. Penulis tinggal selama
beberapa hari disana untuk melakukan penelitian.
1.7.3 Wawancara
Salah satu teknik pengumpulan data yang dilakukan penulis adalah
dengan teknik wawancara. Adapun teknik wawancara yang penulis lakukan
adalah wawancara berfokus (focus interview) yaitu membuat pertanyaan yang
berpusat terhadap pokok permasalahan. Selain itu juga melakukan wawancara
bebas (free interview) yaitu pertanyaan yang tidak hanya berfokus pada pokok
permasalahan saja tetapi pertanyaan berkembang ke pokok permasalahan
lainnya yang bertujuan untuk memperoleh data lainnya namun tidak
menyimpang dari pokok permasalahan (Koentjaraningrat, 1985:139). Dengan
melakukan teknik wawancara tersebut, maka penulis mendapatkan banyak
informasi tentang objek yang diteliti. Dalam hal ini, penulis melakukan
wawancara terhadap beberapa informan yaitu: bapak Atur Pandapotan Solin.
Wawancara dilakukan dengan menggunakan bahasa Pakpak Bharat dan
selanjutnya diterjemahkan oleh penulis sendiri, karena penulis adalah
keturunan Pakpak Asli dari ibu penulis sehingga penulis tidak mengalami
kesulitan dalam berbahasa Pakpak di Desa Sukaramai.
1.7.4 Kerja Laboratorium
Keseluruhan data yang diperoleh penulis dari berbagai sumber yaitu hasil
pengamatan di lapangan, hasil wawancara selanjutnya akan ditelaah dan diolah
22
dalam kerja laboratorium. Penulis juga akan menstranskripsikan musik
tersebut. Transkripsi dilakukan dengan menggunakan notasi balok dengan
bantuan perangkat lunak program sibellius agar memperjelas kualitas notasi
balok di dalam tulisan ini. Hasilnya dapat dilihat dalam Bab IV skripsi ini.
Langkah berikutnya adalah menganalisis aspek melodinya. Untuk melengkapi
analisis melodis ini, penulis juga melakukan analisis struktur teks dari
nyanyian tersebut.
Setelah melakukan kerja laboratorium, maka penulis membuatnya ke
dalam sebuah tulisan ilmiah berbentuk skripsi sesuai dengan teknik-teknik
penulisan karya ilmiah yang berlaku di Program Studi Etnomusikologi,
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara di Medan. Sesuai dengan
pendekatan di bidang etnomusikologi, maka dalam menganalisis nangen
nandorbin dengan dua fokus pokok masalah yaitu: tekstual dan musikal maka
perlu dilihat dalam konteks multidisiplin ilmu.
Dalam kaitannya dengan studi multidisiplin tersebut di atas, maka untuk
menganalisis dan mengkaji bidang tekstual nangen nandorbin diperlukan
melihatnya dalam multidisiplin seperti melihatnya dari aspek sastra, linguistik,
dan semiotika namun dengan tekanan utama pada etnomusikologi. Demikian
pula dalam mengkaji musikal perlu dilihat melalui musikologi dan prosodi.
Musikologi berkait erat dengan aspek-aspek seperti: melodi dan ritme. Melodi
sendiri tersdiri dari berbagai unsurnya seperti: tangga nada (scale), wilayah
nada, nada dasar, interval dan distribusinya, nada-nada ang digunakan, motif,
frase, bentuk melodi, formula melodi, kontur, dan sejenisnya. Demikian juga
dalam aspek ritme (waktu) musik tersebut disusun oleh beberapa unsurnya
23
seperti: meter atau metrum, motif dan frase ritme, cepat dan lambatnya lagu
disajikan, aksentuasi, siklus kolotomik, poliritme (hemiola), dan lain-lainnya.
Dengan demikian, tulisan ini diharapkan bermanfaat bagi pembaca dan
menambah wawasan pengetahuan di bidang etnomusikologi.
24
BAB II
ETNOGRAFI UMUM MASYARAKAT PAKPAK BHARAT
DI DESA SUKARAMAI PAKPAK BHARAT
2.1 Wilayah Budaya Etnik Pakpak
Pada Bab II ini, saya akan membahas tentang etnografi1 umum
masyarakat2 Pakpak secara umum, serta menggambarkan tentang lokasi
penelitian yang saya teliti. Di sini akan saya jelaskan beberapa hal, seperti
bahasa, mata pencaharian, sistem kekerabatan, serta kesenian yang terdapat di
daerah lokasi yang saya teliti.
Etnik3 Pakpak adalah salah satu suku pribumi di Provinsi Sumatera
Utara dan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang terbagi menjadi beberapa
bagian, yaitu:
1Dalam konteks studi disiplin antropologi dan juga etnomusikologi, yang dimaksud
dengan etnografi adalah sebuah karya antropologi yang isinya berupa deskripsi mengenai kebudayaan satu suku bangsa (etnik). Jenis karya etnografi adalah karangan penting dan mengandung bahan pokok dari kajian antropologis. Namun demikian dalam kenyataannya, karena di dunia ini terdapat berbagai suku bangsa yang jumlahnya kecil (ratusan saja) dan ada yang besar sampai jutaan, maka seorang ahli antropologi (antropolog) yang mendeskripsikan sebuah etnografi, tentu saja tidak bisa mencakup keseluruhan dari suku bangsa yang besar jumlahnya. Oleh itu, pakar antropologi biasanya membatasi jumlah atau lokasi suku bangsa yang ditelitinya. Dalam melakukan penelitian terhadap nangen nandorbin ini, penulis tidak mendeskripsikan keseluruhan etnik Pakpak yang berada di kawasan Sumatera Utara dan Aceh, namun sesuai dengan batasan kajian ini, hanya akan forkus terhadap etnografi etnik Pakpak yang terdapat di Desa Sukaramai, Kecamatan Kerajaan, Kabupaten Pakpak Bharat, Provinsi Sumatera Utara.
2Masyarakat (society) adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinu, dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Lihat Koentjaraningrat (1974:11). Menurut J.L. Gillin dan J.P. Gillin, yang dimaksud masyarakat adalah: "... the largest grouping in which common customs, traditions, attitudes and feelings of unity are operative,"--yang ertinya: "kelompok manusia yang terbesar, yang secara umum memiliki adat istiadat, tradisi, sikap, dan rasa bersatu, yang merupakan kesatuan tingkah laku mereka." Lebih jauh lihat J.L. Gillin dan J.P. Gillin (1954:139).
3Etnik atau etnik adalah unsur serapan dari bahasa Inggris ethnic. Di dalam bahasa Indonesia kata ini selalu ditulis dengan etnik, yang maknanya adalah sama dengan suku atau suku bangsa. Di dalam Kamus besar bahasa Inddonesia (KBBI versi luar jaringan/luring) yang dimaksud dengan etnik adalah di dalam ilmu antropologi adalah bertalian dengan kelompok
25
1. Kabupaten Dairi ibu kotanya Sidikalang yang terdiri dari 15 Kecamatan dan
148 Desa. Kelurahannya meliputi Suak Keppas dan Pegagan.
2. Kabupaten Aceh Singkil ibu kotanya Singkil yang terdiri dari 15 Kecamatan
dan 148 Desa. Kelurahannya meliputi seluruh daerah Suak Boang.
3. Kabupaten Pakpak Bharat ibu kotanya Salak yang terdiri dari 8 Kecamatan
dan 59 Desa. Kelurahannya meliputi Suak Simsim dan sebagian daerah
Keppas.
4. Kota Subulussalam ibu kotanya Subulussalam yang terdiri dari 5 Kecamatan
dan Desa/Kelurahan yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Aceh
Singkil dan masih termasuk Suak Boang.
5. Kabupaten Tapanuli Tengah ibu kotanya Pandan yang terdiri dari 6
Kecamatan dari daerah (wilayah) Kabupaten Tapanuli Tengah adalah hak
ulayat Tanah Pakpak (Suak Kelasen) yang terdiri dari Kecamatan Barus,
Barus Utara, Sosar Godang, Andam Dewi, Manduamas dan Sirandorung
dan 56 Desa/kelurahan.
6. Kabupaten Humbang Hasundutan ibu kotanya Dolok Sanggul yang terdiri
dari 3 Kecamatan, yaitu : Kec. Pakkat, Kec. Parlilitan dan Kec. Tara Bintang
dan masih termasuk ke dalam Suak Kelasen.
Luas wilayah tanah Pakpak keseluruhan adalah 8.331,12 km2 yang terdiri dari
52 Kecamatan dan 471 Desa/Kelurahan.
sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya. Dengan demikian etnik ini didasari oleg faktor genealogis serta kebudayaan (terutama unsur religi, bahasa, dan adat). Sebuah kelompok etnik dipandang memiliki nenek moyang atau keturunan yang sama.
26
Tabel 2.1
Luas Wilayah Budaya Etnik Pakpak di Sumatera Utara dan Aceh
Sumber: Pemerintah Kabupaten Pakpak Bharat (2015)
Selanjutnya tanah hak ulayat Pakpak berbatasan sebagai berikut.
(a) Sebelah Utara berbatasan dengan Aceh Tenggara dan Aceh Selatan,
(b) Sebelah Timur berbatasan dengan Tanah Karo,
(c) Sebelah Selatan berbatasan dengan Tapanuli Utara, dan
(d) Sebelah Barat berbatasan dengan Tapanuli Tengah.
No Kabupaten/Kecamatan Luas
1 Kabupaten Dairi 1.927,8 Km2
2 Kabupaten Aceh Singkil dan Kota Madya
Subulussalam
375,8 Km2
3 Kabupaten Pakpak Bharat 1.221,3 Km2
4 Kabupaten Barus 84,83 Km2
5 Kecamatan Sosor Gadong 143,18 Km2
6 Kecamatan Andam Dewi 122,42 Km2
7 Kecamatan Manduamas 99,55 Km2
8 Kecamatan Sirandorung 87,82 Km2
9 Kecamatan Pakkat 459,140 Km2
10 Kecamatan Parlilitan 598,70 Km2
11 Kecamatan Tara Bintang 277,30 Km2
Jumlah 8.331,12 Km2
27
2.2 Lokasi Lingkungan Alam dan Demografi Pakpak
Lokasi penelitian yang penulis ambil terletak di Desa Sukaramai,
Kecamatan Kerajaan, Kabupaten Pakpak Bharat yang merupakan salah satu
daerah/wilayah bermukimnya suku Pakpak yang disebut dengan Suak Pakpak
Simsim dan Keppas. Kabupaten Pakpak Bharat adalah sebuah kabupaten yang
berada di perbatasan Dairi dan Aceh, yang merupakan pemekaran dari
Kabupaten Dairi.
Kabupaten Pakpak Bharat terletak di Pesisir Pantai Barat Sumatera
dengan luas wilayah 2.187 Km2 terletak di 2 02’27’30”Lintang Utara /9704’-
97 45” 00” Bujur Timur yang berbatasan langsung dengan Kota Subulussalam
di sebelah Utara, Samudera Indonesia di sebelah Selatan provinsi Sumatera
Utara di sebelah Timur dan Kecamatan Trumon Kabupaten Aceh Selatan di
sebelah Barat.
Kabupaten Pakpak Barat terbagi dalam 8 Kecamatan, yaitu sebagai
berikut:
(1) Kecamatan Salak,
(2) KecamatanTinada,
(3) Kecamatan Sipagindar,
(4) Kecamatan Kerajaan,
(5) Kecamatan Siempat Rube,
(6) Kecamatan PGGS (Pergenteng-genteng sengkut),
(7) Kecamatan Sitellu tali urang jehe,
(8) Kecamatan Sitellu tali urang julu.
28
2.3 Penduduk Pakpak di Desa Sukaramai
Berdasarkan data kependudukan yang diperoleh dari Kantor Kecamatan
Desa Sukaramai, Pakpak-Barat, tahun 2015 maka jumlah keseluruhan
penduduk desa adalah 1.599 jiwa, yang terdiri dari 817 jiwa berjenis kelamin
laki-laki dan 782 jiwa berjenis kelamin perempuan. Sehingga dapat dikatakan
bahwa laki-laki lebih banyak 35 orang dibandingkan perempuan. Dari total
1.599 jiwa penduduk
Desa Sukaramai ini, terdapat sebanyak 343 keluarga. Umumnya sistem
pengelolaan keluarga adalah berbasis pada keluarga inti, yang terdiri dari ayah,
ibu, dan anak-anaknya. Namun ada juga yang menerapkan sistem keluarga
batih atau extended family, yang terdiri dari ayah, ibu, anak-anak, dan kerabat
dekatnya seperti nenek, kakek, paman, kemenakan, dan lainnya.
Berikut ini adalah data penduduk Desa Sukaramai berdasarkan jenis
kelamin dan jumlah keluarga
Tabel 2.2
Penduduk Desa Sukaramai Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin Jumlah
Laki-laki 817 Jiwa
Perempuan 782 Jiwa
Jumlah Total 1599 Jiwa
Jumlah Kepala Keluarga 343 Jiwa
Sumber: Kantor Kepala Desa Sukaramai Tahun 2015
29
Kemudian data kependudukan lainnya adalah tingkat pendidikan
penduduk di Desa Sukaramai. Dari tabel berikut ini dapat diketahui bahwa
masyarakat Desa Sukaramai telah sadar akan pentingnya pendidikan dalam
rangka menjawab tantangan sosial, yaitu mencari pekerjaan berdasarkan ilmu
formal yang diperoleh. Ini dapat dibuktikan bahwa sebahagian besar usia
sekolah adalah bersekolah, yaitu usia 7 sampai 18 tahun sebanyak 21 orang.
Kemudian tamatan Sekolah Dasar sebanyak 125 orang, tamatan Sekolah
Menengah Pertama dan sederajat 111 orang, tamat SMA dan sederajat 75
orang. Bahkan tamatan Perguruan Tinggi (baik dari D1, D2, D3, dan S1)
mencapai total 30 orang. Jadi angka ini cukup menggembirakan dalam konteks
pendidikan masyarakat Desa Sukaramai. Tingkat pendidikan tersebut tentu
perlu juga diimbangi dengan rasa memiliki dan menghayati kebudayaan
tradisinya, termasuk melestarikan nangen nandorbin secara bersama-sama.
Tabel 2.3
Data Pendidikan Penduduk Desa Sukaramai
Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Usia Keterangan
Pendidikan
Laki-laki
(orang)
Perempuan
(orang)
3-5 Tahun Belum masuk TK 2 2
3-6 Tahun Sedang TK 30 34
7-18 Tahun Yang tidak pernah
sekolah
10 10
30
7-18 Tahun Yang sedang
bersekolah
120 121
18-56 Tahun Yang tidak pernah
bersekolah
2 3
18-56 Tahun Yang pernah SD
tetapi tidak tamat
15 20
18-56 Tahun Tamat
SD/Sederajat
125 125
12-56 Tahun Tidak tamat SMP 11 12
18-56 Tahun Tidak tamat SMP 12 15
18-56 Tahun Tamat SMP/
Sederajat
110 111
18-56 Tahun Tamat SMA /
Sederajat
75 75
18-56 Tahun Tamat
D1/Sederajat
2 3
18-56 Tahun Tamat D2 /
Sederajat
5 5
18-56 Tahun Tamat D3 /
Sederajat
2 1
18-56 Tahun Tamat S1 /
Sederajat
20 21
Total 551558
Sumber: Kantor Kepala Desa Sukaramai Tahun 2015
31
2.4 Sistem Religi dan Kepercayaan
Pada mulanya masyarakat Pakpak di desa Sukaramai masih menganut
animisme dan dinamisme. Mereka percaya akan adanya kekuatan yang berasal
dari luar dirinya sendiri. Mereka percaya kepada roh-roh nenek moyang
maupun kepada benda-benda alam yang dianggap mempunyai kekuatan gaib.
Sistem religi yang seperti itu percaya kepada dewa-dewa juga.
Sesuai dengan perkembangan zaman, maka pada masa sekarang
masyarakat Pakpak menganut berbagai agama besar dunia, terutama agama-
agama samawi,4 yaitu: Kristen dan Islam. Antara umat beragama ini di dalam
kebudayaan Pakpak terjadi toleransi, yang saling menghargai perbedaan-
perbedaan yang hidup bersama di dalam satu wilayah budaya, yaitu budaya
Pakpak.
2.4.1 Kepercayaan Kepada Dewa-dewa
Dahulu suku Pakpak mempercayai kekuatan alam gaib dan percaya
bahwa alam sumber kehidupan. Masyarakat Pakpak percaya terhadap Debata
Guru/Batara Guru yang dikatakan dalam bahasa Pakpak Sitimempa/
Simenembe nasa si lot yang artinya yang “menciptakan yang ada di dunia ini.”
Debata Guru atau Batara Guru menjadikan wakilnya untuk menjaga dan
4Agama samawi adalah merujuk kepada tiga agama di dunia ini yaitu: Yahudi,
Kristen, dan Islam. Ketiga-tiga agama ini berinduk dari ajaran-ajaran Nabi Ibrahim Alaihissalam. Ketiganya memandang bahwa ajaran-ajaran yang sampai kepada mereka adalah berasal dari Tuhan Yang Maha Esa, yang disebut Yahweh di dalam agama Yahudi, Tuhan Bapa dalam Kristen, dan Allah Subhanahu Watala dalam Islam. Istilah samawi berasal dari bahasa Arab yang artinya adalah langit. Dengan demikian istilah ini merujuk kepada agama yang diturunkan Tuhan melalui wahyu-Nya yang diturunkan kepada umat manusia melalui Nabi-nabi-Nya.
32
melindungi. Selain itu masyarakat Pakpak awal, mempercayai makhluk-
makhluk gaib sebagai berikut ini.
1. Beraspati Tanoh
Diberi simbol dengan gambar Cecak yang berfungsi melindungi segala
tumbuh-tumbuhan. Jadi, jika seorang orang tua menebang pohon bambu,
kayu atau tumbuhan lainnya, maka ia harus permisi kepada Beraspati
Tanoh.
2. Tunggung Ni Kuta
Tunggung ni kuta ini diyakini mempunyai peranan untuk menjaga dan
melindungi kampung atau desa serta manusia sebagai penghuninya. Karena
itu, maka tunggung nikuta memberikan kepada manusia beberapa benda
yaitu sebagai berikut:
a. Lapihen, yaitu terbuat dari kulit kayu yang di dalamnya terdapat tulisan-
tulisan yang berbentuk mantra maupun ramuan obat-obatan serta ramalan-
ramalan. Tentang ramalan-ramalan tersebut, orang yang membaca harus
jujur dan beretika baik serta tujuan untuk kepentingan umum.
b. Naring, yaitu wadah berisi ramuan untuk pelindung kampung.Apabila suatu
kampung mendapat ancaman, maka naring akan memberikan pertanda suara
gemuruh atau siulan agar masyarakat dapat mengantisipasi gangguan
tersebut.
c. Pengulu Balang, yaitu sejenis patung yang terbuat dari batu. Pengulu balang
dapat memberikan bunyi (suara gemuruh) sebagai tanda gangguan, bala,
musuh, dan penyakit yang mengancam sebuah desa.
33
d. Sibiangsa, yaitu wadah berbentuk guci yang diisi ramuan yang ditanam di
dalam tanah yang bertugas untuk mengusir penjahat yang datang.
e. Sembahen Ni Ladang, yaitu roh halus dan penguasa alam sekitarnya yang
diyakini dapat mengganggu kehidupan manusia sekaligus dapat melindungi
manusia apabila diberikan sesajian.
f. Tali Solang, yaitu tali yang disimpul di ujungnya mempunyai kepala ular
yang digunakan untuk menjerat musuh.
g. Tongket Balekat, yaitu terbuat dari kayu dan hati ular yang berukuran lebih
kurang (1) meter yang diukir dengan ukiran Pakpak dan dipergunakan untuk
menerangi jalan yang gelap.
h. Kahal-kahal, yaitu menyerupai telapak kaki manusia untuk melawan musuh.
i. Mbarla, yaitu roh yang berfungsi untuk menjaga ikan di laut, sungai dan
danau.
j. Sineang Naga Lae, yaitu roh yang menguasai laut, danau, dan air.
2.4.2 Kepercayaan kepada Roh
Etnik Pakpak sebelum datangnya Kristen dan Islam, percaya kepada roh-
roh, yang diklasifikasikan dan diistilahkan sebagai berikut ini.
a. Sumangan, yaitu tendi (roh) orang yang sudah meninggal mempunyai
kekuatan yang menentukan wujud dan hidup seseorang yang dikenang.
b. Hiang, yaitu kekuatan gaib yang dibagikan kepada saudara secara turun-
temurun.
c. Begu Mate Mi Lae atau disebut juga dengan begu sinambela, yaitu roh orang
yang meninggal diakibatkan karena hanyut di dalam air atau sungai.
34
d. Begu Laus, yaitu sejenis roh yang menyakiti orang yang datang dari tempat
lain secara lintas dan dapat membuat orang menjadi sakit secara tiba-tiba.
Biasanya begu laus adalah roh orang yang meninggal dunia secara
mendadak.
Selain kepercayan-kepercayaan di atas, masyarakat Pakpak juga
mempunyai beberapa kegiatan ritual yang berhubungan dengan kehidupan
mereka yaitu sebagai berikut,
a. Meraleng Tendi
Meraleng tendi adalah ritual yang dilakukan ketika seseorang terkejut
karena mendengar suara keras dan keadaan dimana seseorang sedang terancam
suatu bahaya. Dengan keadaan seperti ini, maka tendi(rohnya) akan pergi
meninggalkan raganya. Untuk menjemput tendi (roh) yang pergi tersebut,
maka diadakanlah upacarameraleng tendi. Biasanya diadakan dengan
membawa sesajen seperti : ayam merah atau ayam putih yang diberikan kepada
roh nenek moyang yang sudah meninggal. Sesajen tersebut dibawa ke tempat
pemakaman nenek moyang tersebut atau sesuai dengan petunjuk datu atau
dukun.
b. Tolak Bala Atau Pelaus Persilihi Urat-Urat Ambat
Apabila seseorang merasa nasibnya sangat malang/sial dan mendapat
mimpi-mimpi buruk, maka ia akan berusaha untuk menghindarkannya. Usaha
untuk hal itu disebut dengan tolak bala atau pelaus persilihi uraturat ambat.
Upacara ini dilakukan dengan cara mengambil ramuan atau bahan berupa
35
akar kayu yang melintang di jalan atau arahnya memotong jalan. Akar ini
dipahat atau dibentuk berbentuk patung manusia yang diberi tudung kain dan
disemburi dengan sirih. Kemudian disediakan makanan berupa ikan yang
bentuknya lurus atau dalam bahasa Pakpak disebut Nurung ncayur(sejenis ikan
jurung) serta dilengkapi dengan nasi kuning. Selanjutnya, akar yang sudah
dibentuk seperti patung tadi diletakkan di atas niru (tampi) kemudian
diletakkan di persimpangan jalan. Hal ini bermakna“ Inilah sebagai pengganti
badan semoga jauhlah bahaya dan datanglah keselamatan.” Kepercayaan-
kepercayaan di atas sudah jarang dilaksanakan atau ditemukan pada
masyarakat Pakpak yang ada di Aceh Singkil sejak masuknya agama.
Masyarakat Pakpak di sana sebagian besar sudah memeluk agama yang tetap,
yaitu agama yang sudah diakui oleh Pemerintah. Sebagian besar masyarakat
Pakpak yang ada di sana beragama Islam, Kristen Protestan, dan sebagian kecil
beragama Kristen Khatolik.
2.5 Sistem Kekerabatan
Masyarakat Pakpak sejak dahulu kala sudah ada suatu ikatan yang
mengatur tata krama dan sopan santun dalam kehidupan sehari-hari yang
dilaksanakan dan ditaati oleh masyarakat itu sendiri. Sistem tersebut selalu ada
dalam upacara-upacara adat termasuk juga dalam upacara kematian.
2.5.1 Sulang Silima
Sulang silima adalah lima kelompok kekerabatan yang terdiri dari
kulakula, dengan sebeltek situaan/anak yang paling tua, dengan sebeltek
36
siditengah atau anak tengah dan dengan sebeltek siampun-ampun/anak yang
paling kecil, serta anak berru. Sulang silima dalam masyarakat Pakpak adalah
kelompok besar dalam kekerabatan masyarakat Pakpak. Sulang silima ini
berkaitan dengan pembagian sulang/jambar dari daging-daging tertentu dari
seekor hewan seperti kerbau, lembu atau babi yang disembelih dalam konteks
upacara adat masyarakat Pakpak.
Pembagian daging atau jambar ini disesuaikan dengan hubungan
kekerabatannya dengan pihak kesukuten atau yang melaksanakan upacara.
Dalam masyarakat Pakpak, kelima kelompok tersebut masing-masing
mempunyai tugas dan tanggung jawab yang tidak bisa dipisahkan satu sama
lain dalam acara adat.
a. Kula-kula, merupakan salah satu unsur yang paling pentingdalam sistem
kekerabatan pada masyarakat Pakpak. Kula-kula adalah kelompok/ pihak
pemberi istri dalam sistem kekerabatan masyarakat Pakpak dan merupakan
kelompok yang sangat dihormati dan dianggap sebagai pemberi berkat oleh
masyarakat. Dengan demikian, kula-kula juga disebut dengan istilah Debata
Ni Idah (Tuhan yang dilihat). Oleh karena itu, pihak kula-kula ini haruslah
dihormati. Sikap menentang kula-kula sangat tidak dianjurkan dalam
kebudayaan masyarakat Pakpak. Dalam acara-acara adat, kelompok kula-
kula diwajibkan untuk hadir, termasuk juga dalam adat kematian dan
mendapat peran yang penting termasuk juga dalam upacara kematian.
b. Dengan sebeltek adalah mereka yang mempunyai hubungan tali
persaudaraan yang mempunyai marga yang sama. Mereka adalah orang-
orang yang satu kata dalam permusyawaratan adat. Selain itu, dalam sebuah
37
upacara adat ada kelompok yang dianggap dekat dengan dengan sebeltek
Dalam sebuah acara adat, dengan sebeltek dan seluruh keluarganya akan
ikut serta dan mendukung acara tersebut. Secara umum, hubungan dengan
sebeltek ini dapat disebabkan karena adanya hubungan pertalian darah,
sesubklen/semarga, memiliki ibu yang bersaudara, memiliki istri yang
bersaudara, dan memiliki suami yang bersaudara.
c. Anak berru artinya anak perempuan yang disebut dengan kelompok
pengambil anak dara Dalam sebuah acara adat, anak berru lah yang
bertanggung jawab atas acara adat tersebut. Tugas anak berru adalah
sebagai pekerja, penanggung jawab dan pembawa acara pada sebuah acara
adat.
Sedangkan situaan adalah anak yang paling tua, siditengah adalah anak
tengah dan siampun-ampun adalah anak yang paling kecil. Mereka adalah
pihak yang mempunyai ikatan persaudaraan yang terdapat dalam sebuah ikatan
keluarga. Kelima kelompok di atas mempunyai pembagian sulang yang
berbeda, yaitu sebagai berikut.
1. Kula-kula (pihak pemberi istri dari keluarga yang berpesta) akan mendapat
sulang per-punca niadep.
2. Situaan (orang tertua yang menjadi tuan rumah sebuah pesta akan mendapat
sulang per-isang-isang).
3. Siditengah (keluarga besar dari keturunan anak tengah) akan mendapat
sulang per-tulantengah.
4. Siampun-ampun (keturunan paling bungsu dalam satu keluarga) akan
mendapat sulang per-ekur-ekur.
38
5. Anak berru (pihak yang mengambil anak gadis dari keluarga yang berpesta)
akan mendapat sulang perbetekken atau takal peggu.
Biasanya penerimaan perjambaren anak berru disertai dengan takal
peggu yang artinya mempunyai tugas dan tanggung jawab yang besar terhadap
berjalannya pesta. Anak berru lah yang bertugas menyiapkan makanan serta
menghidangkan selama pesta berlangsung. Apabila di antara keluarga tersebut
akan mengadakan pesta, maka ketiga kelompok abang beradik (situaan,
siditengah dan siampun-ampun) akan menerima pembagian (perjambaren)
yakni : isang-isang (dagu), tulan tengah (tulang bagian tengah) dan ekur-ekur
(ekor). Penerimaan jambar ini boleh bertukar-tukar sesama keluarga tersebut,
dengan rincian sebagai berikut. Misalnya: Situaan nomor satu (1); Siditengah
nomor (2); dan Siampun-ampun nomor tiga (3). Apabila siditengah yang
berpesta, maka urutan menjadi 2.3.1 sedangkan apabila siampun-ampun
(bungsu) yang menjadi sukut (yang berpesta) maka penerimaan perjambaren
berubah menjadi 3.1.2. Kula-kula dan anak berru tetap menerima puncaniadep
atau tulan tengah dan betekken atau takal peggu.
2.6 Mata Pencaharian
Pada umumnya, mata pencaharian penduduk di desa Sukaramai adalah
bertani. Melihat kondisi tanah yang subur serta sangat mendukung untuk
bercocok tanam, maka tidak heran jika mayoritas penduduk di sana bermata
pencaharian sebagai petani.
Adapun jenis tanaman yang yang ditanam adalah padi, baik di sawah
atau di darat, sayur-sayuran, karet dan yang paling mendominasi adalah
39
tanaman kelapa sawit. Sebagian besar lahan pertanian ditanami dengan
tanaman kelapa sawit dan merupakan sumber penghasilan atau pendapatan
terbesar bagi penduduk di sana. Selain bertani, mata pencaharian lainnya
adalah berdagang, buruh pabrik, dan ada juga sebagai pegawai negeri dan
pegawai swasta.
2.7 Bahasa
Pada umumnya, bahasa yang dipakai oleh masyarakat di desa Sukaramai
adalah bahasa Pakpak karena mayoritas penduduk di sana adalah suku Pakpak
sehingga dalam kehidupan sehari-hari penduduk disana menggunakan bahasa
Pakpak begitu juga dalam acara adat. Terdapat juga sebagian kecil suku lain
seperti suku Jawa, Karo, Nias, dan Toba yang datang ke desa tersebut, tetapi
setelah tinggal beberapa lama di sana, maka mereka mengerti dan fasih
menggunakan bahasa Pakpak. Selain bahasa Pakpak, bahasa yang digunakan
dalam komunikasi sehari-hari adalah bahasa Indonesia yang digunakan di
tempat-tempat umum, seperti sekolah, Puskesmas (Pusat Kesehatan
Masyarakat), dan kantor kelurahan.
Ada beberapa jenis gaya bahasa yang digunakan dalam kehidupan
masyarakat pakpak, yaitu sebagai berikut.
(1) Rana telangke yaitu kata-kata perantara atau kata-kata tertentu untuk
menghubungkan maksud si pembicara terhadap objek si pembicara.
(2) Rana tangis yaitu gaya bahasa yang dituturkan dengan cara menangis atau
bahasa yang digunakan untuk menangisi sesuatu dengan teknik bernyanyi
40
narrative songs atau lamenta dalam istilah etnomusikologi—yang disebut
tangis milangi (bahasa tutur tangis).
(3) Rana mertendung yaitu gaya bahasa yang digunakan di hutan.
(4) Rana nggane yaitu bahasa terlarang, tidak boleh dikatakan di tengah-tengah
kampung karena dianggap tidak sopan.
(5 ) Rebun (rana tabas atau mangmang) yaitu bahasa pertapa datu atau bahasa
mantera oleh guru (Naiborhu, 2006)
2.8 Kesenian
2.8.1 Seni Musik
Masyarakat Pakpak membagi alat musiknya berdasarkan bentuk
penyajian dan cara memainkannya. Berdasarkan bentuk penyajiannya, alat-alat
musik tersebut dibagi atas dua kelompok, yaitu Gotchi dan Oning-oningen.
Sedangkan berdasarkan cara memainkannya, instrumen musik tersebut terbagi
menjadi beberapa kelompok, yaitu: sipaluun, sisempulen dan sipiltiken.
Instrumen Musik Berdasarkan Bentuk Penyajian Gotchi ialah instrumen
musik yang disajikan dalam bentuk seperangkat (ansambel) yang terdiri dari:
Man dengngan ncayur ntua [Menjadi teman hidup sampai tua]
Dari teks di atas terlihat dengan jelas bahwa terdapat tujuh tipe wanita
ideal untuk menjadi seorang istri dalam konsep etnosains masyarakat Pakpak.
Seorang istri itu dilambangkan sebagai serumpun bambu terbaik. Bambu
adalah simbol dari kekuatan wanita yang akan melahirkan tunas-tunas baru dari
rumpun tersebut. Bambu juga adalah simbol dari perkembangan umat manusia,
dari waktu ke waktu. Begitu juga bambu ini memiliki berbagai kegunaan di
dalam kehidupan masyarakat Pakpak.
Dalam teks tersebut, si penyaji meyakinkan kepada masyarakat Pakpak
bahwa putrinya sudah mampu menjadi yang terbaik. Dia juga sangat mendidik
putrinya selama tinggal bersama, sehingga putrinya sudah dapat mencontohkan
yang terbaik karena yang diperlihatkan ibunya adalah kepribadian yang terbaik.
Dia juga berpesan banyak kepada putrinya agar dapat menghadapi berbagai
rintangan serta permasalahan hidup.
Tipe ideal kedua seorang istri dalam budaya Pakpak adalah menjadi
pelindung (mahan silindung bulan) baik untuk anak-anaknya maupun keluarga
65
inti dan keluarga batihnya. Seorang ibu akan selalu melindungi anak-anaknya
dengan cara menyusui, memberi makan, memandikan, mengurusi segala
keperluan anak dan suami, termasuk juga bekerja, dan melindungi nama baik
keluarganya dan keluarga suaminya. Yang jelas ia menjadi sosok pelindung di
dalam keluarga tersebut.
Tipe ideal ketiga seorang istri dalam kebudayaan Pakpak adalah menjadi
figur ibu yang digambarkan sebagai tongkat penopang (tongket ku idi). Artinya
seorang ibu itu adalah tongkat penopang keluarga. Ia harus dapat menyangga
berdirinya bangunan rumah tangga, agar kokoh dalam menjalankan bahtera
rumah tangga, sebagaimana kokohnya tongkat untuk membantu seorang dalam
berjalan. Jadi seorang istri yang ideal dalam gambaran masyarakat Pakpak
adalah istri yang terus berusaha menyokong berdirinya sumah tangga yang
kuat, teritegrasi, dan memiliki kepekaan kekerabatan dan sosial.
Tipe ideal keempat seorang istri yang digambarkan dalam nangen
nandorbin ini adalah menjadi peningkat keturunan (mahan peningkat marga).
Di sinilah fungsi utama seorang istri itu, yaitu ia akan mampu melakukan
reproduksi generasi-generasi manusia Pakpak melalui lembaga perkawinan.
Seorang istri adalah tempat awal pertumbuhan manusia, dari masa pembuahan,
kemudian datangnya ruh, selepas itu menjadi bentuk manusia, di mana di
tempat ini yaitu alam rahim sudah terjadi interaksi alamiah antara ibu dan
anaknya. Kemudian setelah itu di masa kehamilan kurang lebih sembilan bulan
akan lahirlah anak-anak buah dari perkawinannya. Seorang ibu memliki peran
utama dalam konteks meneruskan generasi manusia, termasuk orang-orang
Pakpak. Melalui seorang ibulah akan terjadinya kesinambungan keturunan dan
66
tentu saja kebudayaan Pakpak. Jadi masyarakat Pakpak secara umum sangat
menggantungkan kontinuitas dan perkembangan generasinya melalui seorang
ibu. Demikian maksud tipe ideal yang keempat ini.
Seterusnya tipe ideal kelima seorang istri dalam konteks kebudayaan
Pakpak adalah dilukiskan dalam baris teks mahan dengngan merarih (menjadi
teman bercerita. Artinya dalam frase ini, seorang istri itu menjadi teman
bercerita kepada suami yang amat dikasihinya, terutama dalam membina
keluarga yang sempurna, menurut panduan adat dan juga agama. Dengan
demikian, walaupun masyarakat Pakpak menganut garis keturunan dari pihak
laki-laki (patrilineal), namun fungsi seorang istri sangatlah penting dalam
konteks memberikan arah yang baik dalam membina keluarganya. Suami tidak
akan dapat berjalan atau menentukan sendiri arah rumah tangganya. Ia tetap
harus memusyawarahkan dan kemudian mencari kesepakatan dalam
menentukan mahligai rumah tangganya.
Selanjutnya, tipe ideal yang keenam seorang istri dalam budaya Pakpak
adalah menjadi teman bekerja untuk sang suami tercinta, yang diistilahkan
dalam nangen ini sebagai mahan dengngan mengula (menjadi teman bekerja).
Seorang istri bukan hanya pasif, artiny cukup sekedar melahirkan keturunan.
Istri haruslah bekerja mengurusi anak, suami, dan keluarga saja, atau lebih jauh
dari itu ia juga bekerja membantu ekonomi keluarga, seperti ikut bertani,
mengambil kemenyan, menenun, dan sebagainya. Seorang istri yang ideal
dalam kebudayaan Pakpak adalah istri yang rajin bekerja. Ia bertindak nyata
dalam rangka membantu suami menghidupi keluarganya.
67
Tipe ideal yang terakhir, yaitu yang ketujuh yang diekspresikan dalam
teks nangen nandorbin ini adalah seorang istri dalam kebudayaan Pakpak
adalah man dengngan ncayur ntua (menjadi teman hidup sampai tua). Artinya
adalah seorang istri adalah menjadi pendamping atau pasangan hidup terhadap
suaminya untuk selama-lamanya yang dikonsepkan sampai tua dalam frase ini.
Dengan demikian, secara etnosains, seorang istri dan seorang suami yang ideal
dalam konteks kehidupan masyarakat Pakpak adalah istri dan suami yang
menjaga keutuhan dan perkembangan rumah tangganya sampai ajal menemui
mereka. Jadi tipe ideal rumah tangga dalam kehidupan masyarakat Pakpak
adalah rumah tangga yang langgeng, kalau bisa jangan sampai bercerai. Sebab
dampaknya akan merugikan kepada anak-anaknya dan juga keluarga kedua
belah pihak.
Selain itu, larik di atas juga menggambarkan keberhasilan dalam hidup
seorang Pakpak apabila ia mati dalam keadaan ncayur ntua, yaitu meninggal
dunia dengan meninggalkan keturunan (anak dan cucu) yang berhasil di dalam
kehidupannya. Ncayur ntua ini menjadi dambaan dari seorang Pakpak. Jika
seseorang mampu mencapai derajat kematian ncayur ntua, maka ia akan
dihargai, dihormati, diapresiasi dengan baik oleh seluruh warga Pakpak. Ini
juga yang terkandung di dalam konsep adat Pakpak.
3.3.5 Pemilihan Teks
Dalam teks tersebut, ada beberapa istilah yang digunakan oleh penyaji
dalam menyampaikan kata-kata dalam Nyanyiannya. Dengan kata lain, istilah
68
tersebut ditujukan kepada orang yang akan pelamar putrinya, agar orang yang
akan melamar tersebut yakin dan percaya bahwa putri tersebut adalah putri
terbaik dan pilihan, seperti contoh di bawah ini.
(a) buluh i bernoh: sebutan untuk putri yang terdidik,
(b) kuambit: sebutan halus untuk mengungkapkan perasaan,
(c) man permain: sebutan untuk putri tersebut diangkat menjadi menantu,
(d) silindung bulan: sebutan untuk putri perumpaan cahaya bulan,
(e) mahan: sebutan untuk perkataan halus dijadikan yang terbaik.
Istilah tersebut merupakan suatu hal yang harus diketahui penyaji dalam
menyampaikan nyanyiannya karena jika tidak tepat dalam menyebutkannya,
maka orang-orang yang mendengar akan mengejek bahkan menertawakannya.
Hal-hal tersebut sangatlah penting dalam menyajikan nyanyian ini. Dengan
demikian si penyaji tidak boleh sembarangan dalam menyampaikan kata-kata
dalam nyanyiannya.
Dalam teks tersebut juga terdapat istilah eufoniks yaitu menambah atau
mengurangi suku kata dalam teks nyanyian untuk menambah efek musical atau
keindahan dalam lagu tersebut, seperti: man, kata ini seharusnya mahan, tetapi
dalam teks tersebut dikurangi menjadi man. Permen, kata ini seharusnya
permain, tetapi dalam teks tersebut dikurangi menjadi permen.
3.3.5 Struktur Teks
Secara umum, teks yang terdapat dalam nangen nandorbin tidak
mempunyai peraturan yang baku. Artinya, teks yang disampaikan secara
spontan dan berdasarkan isi dari hati si penyaji. Tidak ada pembuka, bagian
69
tengah dan bagian akhir, atau teks yang sudah baku tetapi disampaikan sesuai
dengan isi hati si penyaji. Hanya saja harus menggunakan kata-kata yang sopan
dan istilah yang benar sesuai dengan tradisi yang berlaku seperti yang sudah
dijelaskan di atas.Teks dari nyanyian tersebut juga tidak terikat rima atau sajak.
Struktur teks dari Nangen nandorbin tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama, dia menyanyikan untuk putrinya. Teksnya dapat dilihat di
bawah ini.
Sada Nandorbin ko buluh i bernoh idi
Putriku kau bagaikan bambu yang terbaik dari serumpun bambu yang
ada di lembah tersebut.
Nandorbin Nandorbin
Putriku yang terdidik.
Sebagian besar, dia lebih banyak menceritakan kehidupan dan didikan terbaik
untuk putrinya, serta keluh kesah yang dialami dalam kehidupannya.
70
BAB IV
TRANSKRIPSI DAN ANALISIS MUSIKAL
NANGEN NANDORBIN
4.1 Teknik Transkripsi dan Hasilnya
Dalam disiplin ilmu etnomusikologi, transkripsi merupakan proses
penulisan bunyi-bunyian musikal sebagai hasil dari pengamatan dan
pendengaran suatu musik ke dalam bentuk simbol-simbol yang disebut dengan
notasi. Untuk melakukan transkripsi melodi nangen nandorbin, penulis
memilih notasi deskriptif yang dikemukakan oleh Charles Seeger. Notasi
deskriptif adalah notasi yang ditujukan untuk menyampaikan kepada pembaca
tentang ciri-ciri atau detail-detail komposisi musik yang belum diketahui oleh
pembaca.
Dalam bab ini, penulis memilih untuk mentranskripsi dan menganalisis
melodi nangen nandorbin yang disajikan oleh Marseti Limbong S.Pd, SD.
Hasil transkripsi dan analisis dikerjakan dengan menggunakan notasi Barat.
Penulis memilih notasi Barat agar dapat menggambarkan pergerakan melodi
nangen nandorbin secara grafis. Hasil transkripsi yang dibuat oleh penulis
yang dibantu Amsaal Siburian. Nangen nandorbin ini merupakan hasil
penelitian pada tanggal 14 Maret 2015 lalu di kediaman Ibu Marseti Limbong,
S.Pd., SD, di Desa Sukaramai, Kecamatan Kereajaan, Kabupaten Pakpak
Bharat.
Selanjutnya dalam menganalisis nyanyian tersebut, penulis berpedoman
terhadap teori yang dikemukakan oleh William P. Malm yang dikenal dengann
71
teori weightedscale. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam mendeskripsikan
melodi, yaitu :tangga nada (scale), nada dasar (pitch center), wilayah nada
(range), jumlah nada (frequency of note), jumlah interval, pola kadensa,
formula melodi (melody formula), dan kontur (contour) (Malm dalam
terjemahan Takari 1993:3).
Simbol dalam Notasi
1. Merupakan garis paranada yang memiliki lima buah garis paranada dan
empat buah spasi dengan tanda kunci G.
2. = Merupakan empat buah not 1/8 yang digabung menjadi satu ketuk.
3. = Merupakan dua buah not 1/8 yang digabung menjadi satu ketuk.
4. = Merupakan tanda istirahat (rest) ¼ ketuk yang bernilai satu ketuk
5. = Merupakan tanda istirahat (rest) 1/16 ketuk yang bernilai ¼ ketuk
Selengkapnya hasil transkripsi berupaa notasi nangen nandorbin yang
disajikan oleh Ibu Marseti Berru Limbong, dengan teknik dan simbol-simbol
seperti diurai di atas, adalah sebagai berikut.
72
Notasi 4.1:
NANDORBIN Penyaji: Marseti Berru Limbong Direkam di: Desa Sukaramai, Kerajaan, Pakpak Tanggal perekaman: 14 Maret 2015 Pentranskirpsi: Mona Sidabutar dan Amsal Siburian
73
4.1.1 Tangga Nada
Tangga nada atau scale yang dimaksud dalam skripsi ini adalah nada-
nada yang dipakai dalam lagu nangen nandorbin, yang berkaitan dengan
melodi serta nada tonika. Tangga nada ini memiliki nada-nada anggota, yang
membangun melodi secara keseluruhan.
Dalam mendeskripsikan tangga nada, penulis mengurutkan nada-nada
yang terdapat dalam melodi nyanyian tersebut, berdasarkan kaidah penyusunan
tangga nada atau modus melodi di dalam kebudayaan musik manapun di dunia
ini. Dari hasil transkripsi diperoleh nada-nada anggota tangga nada nangen
nandorbin ini sebagai berikut.
Notasi 4.2:
Tangga Nada Nangen Nandorbin
Es -- F -- Bes – C -- Es’
Adapun jarak antara nada-nada anggota tanggga nada ini adalah:
200 -- 500 -- 200 -- 500 sent
atau 1 -- 2½ -- 1 -- 2½ laras
Tangga nada tersebut dilihat dari hubungan antara nada yang satu dengan yang
lainnya memiliki formula-formula interval yang menyusunnya sebagai berikut
ini.
74
Notasi 4.3:
Hubungan Antar Nada dalam Tangga Nada Nangen Nandorbin
Dengan demikian tangga nada yang digunakan oleh penyanyinya untuk
menyanyikan nangen nandorbin ini dapat diklasifikasikan kepada tangga nada
yang menggunakan empat nada dalam satu oktaf, yang dalam peristilahan
musik disebut dengan tetratonik.8
4.1.2 Nada Dasar (Pitch Center)
Dalam menentukan nada dasar pada nangen nandorbin ini, penulis
menggunakan tujuh kriteria-kriteria generalisasi yang ditawarkan oleh Bruno Nettl
8Jika sebuah tangga nada (scale) menggunakan dua nada disebut dengan ditonik, tiga nada tritonik (sedangkan tritonus berkait dengan interval kuart aughmented contohnya F ke B atau balikannya kuint diminished, contoh B ke F), empat tetratonik, lima pentatonik, enam sektatonik, dan tujuh heptatonik. Sementara tangga nada diatonik adalah tangga nada yang mengacu kepada tangga nada musik Barat secara umum, yang menggunakan dua jenis interval yaitu penuh dan setengah, dengan bentuknya pada tangga nada mayor maupun minor (natural, harmonis, melodis, dan zigana).
75
dalam bukunya Theory and Method in Etnomusicology (1963:147), yaitu sebagai
berikut.
1. Patokan yang paling umum adalah melihat nada mana yang paling sering
muncul dan nada mana yang paling jarang dipakai dalam suatu komposisi
musik.
2. Kadang-kadang nada yang memiliki nilai ritmisnya besar dianggap nada
dasar, meskipun jarang dipakai.
3. Nada yang dipakai pada awal atau akhir komposisi maupun pada bagian
tengah komposisi dianggap mempunyai fungsi penting dalam tonalitas
tersebut.
4. Nada yang menduduki posisi paling rendah dalam tangga nada ataupun
posisi tepat berada ditengah-tengah dapat dianggap penting.
5. Interval-interval yang terdapat antara nada kadang-kadang dipakai
sebagai patokan. Contohnya sebuah posisi yang digunakan bersama
oktafnya, sedangkan nada lain tidak memakai. Maka nada pertama
tersebut boleh dianggap lebih penting.
6. Adanya tekanan ritmis pada sebuah nada juga bisa juga bisa dipakai
sebagai patokan tonalitas.
7. Harus diingat barangkali ada gaya-gaya musik yang mempunyai sistem
tonalitas yang tidak bisa dideskripsikan dengan patokan-paokan diatas.
Untuk mendeskripsikan sistem tonalitas seperti itu, cara terbaik
tampaknya adalah pengalaman lama dan pengenalan akrab dengan
musik tersebut (terjemahan Marc Perlman 1963:147).
Dengan melihat ketujuh kriteria di atas, maka dapat diuraikan nada
dasar pada nangen nandorbin ini adalah seperti berikut.
76
1 Nada yang paling sering dipakai adalah nada: Bes
2 Nada yang memiliki nilai ritmis terbesar: Bes
3 Nada awal yang paling sering dipakai: Bes, dan nada akhir yang
paling sering dipakai: F
4 Nada yang memiliki posisi paling rendah: Es
5 Nada yang dipakai sebagai duplikasi oktaf: Es
6 Nada yang mendapat tekanan ritmis: Bes
7 Berdasarkan dari pengalaman musikal penulis, maka kemungkinan
besar nada dasar lagu nangen nandorbin ini adalah nada: Es
Tabel 4.1:
Nada Dasar yang Dipergunakan pada Nangen Nandorbin
No Kriteria Nada
1
2
3
4
5
6
7
8
K1
K2
K31
K32
K4
K5
K6
K7
Bes
Bes
Bes
F
Es
Es
Bes
Es
4.1.3 Wilayah Nada
Wilayah nada dapat didefiniskan merupakan retang antara nada yang
terendah sampai yang tertinggi yang digunakan dalam sebuah bangunan musik,
77
terutama yang berkaitan dengan melodi. Wilayah nada ini selalu juga dalam
istilah musik disebut dengan ambitus atau range.
Dengan berpedoman pada hasil transkripsi seperti terurai di atas maka
wilayah nada yang digunakan penyanyi nangen nandorbin ini adalah dari nada
terendahnya yaitu Es (dia atas C tengah) dan nada tertinggi adalah nada F. Jika
di gambarkan di dalam monasi adalah sebagai berikut ini.
Notasi 4.4:
Wilayah Nada Nangen Nandorbin
Es F
1400 sent
7 laras
Dengan demikian tergambar dengan jelas bahwa ambitus suara yang
diekspresikan oleh penyaji nangen nandorbin adalah satu oktaf lebih satu laras.
4.1.4 Jumlah Nada
Jumlah nada adalah banyaknya nada yang dipakai dalam suatu musik
atau nyanyian. Banyaknya jumlah nada yang terdapat dalam nyanyian tersebut
dapat dilihat dari bagan di bawah ini.
78
Notasi 4.5:
Jumlah Nada-nada yang Digunakan pada Nangen Nandorbin
Dari bagan di atas terlihat kepada kita bahwa dua nada yaitu Es dan F
menggunakan duplikasi oktaf. Dua nada lainnya yaitu Bes dan C tidak
menggunakan duplikasi oktaf. Dengan menyatukan nada-nada yang
menggunakan duplikasi oktaf, maka nada yang terbanyak digunakan dalam
nangen nandorbin adalah nada Bes yang muncul sebanyak 126 kali. Kemudian
disusul oleh nada F yang muncul sebanyak 70 kali, selanjutnya nada Es 42 kali,
79
dan nada C sebanyak 35 kali kemunculannya dalam komposisi musik vokal ini.
Keseluruhan nada yang muncul adalah 273 kali.
Kemudian setiap nada tersebut dapat dipersentasekan berdasarkan
kepentingannya di dalam komposisi lagu. Adapun persentase tersebut adalah
sebagai berikut:
(a) Nada Es 42/273 x 100 = 15,83 %
(b) Nada F 70/273 x 100 = 25,64 %
(c) Nada Bes 126/273 x 100 = 46,15 %
(d) Nada C 35/273 x 100 = 12,82 %
Jika digambarkan dalam bentuk diagram batang adalah sebagai berikut.
Bandung. Banjarnahor, Erni Juita, 2014. Tangis Beru Si Jahe di Desa Sukaramai,
Kecamatan Kerajaan, Kabupaten Pakpak Bharat: Kontinuitas dan Perubahan Penyajian, Kajian Tekstual, dan Musikal. Medan: Departemen Etnomusikologi FIB USU (Skripsi Sarjana).
Bogdan, R. and Taylor, S. J. 1975. Introduction to Qualitative Resarch
Method. Newyork: John Willey and Sons. Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincoln (eds.). 1995. Handbook of
Qualitative Research. Thousand Oaks, London, dan New Delhi: Sage Publications.
Fadlin, 1988. Studi Deskriptif Konstruksi dan Dasar-dasar Pola Ritem
Gendang Melayu Sumatera Timur. Skripsi Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Herkovits, Melville J., 1948. Man and His Work. New York: Alfred A.
Knopft. Kartomi, Margareth J., (1990), On Concepts and Classifications of Musical
Instruments. Chicago dan London: The University of Chicago Press. Keraf, Goris, 1986. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia. Koentjaraningrat (ed.), 1980. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta:
Gramedia. Koentjaraningrat, 1974. Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan. Jakarta:
Gramedia. Koentjaraningrat, 1980a. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: Rineka Cistra. Koentjaraningrat, 1980b. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru. Koentowidjojo, 1991. Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Bandung:
Gramedia Pustaka Utama. Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Anthropologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Lomax, Alan P. 1968. Folk Song Style and Culture. Transaction Books New Jersey.
106
Malm,William P., 1977. Music Cultures of the Pacific, Near East, and Asia.
New Jersey: Prentice Hall, Englewood Cliffs; serta terJemahannya dalam bahasa Indonesia, William P. Malm, 1993, Kebudayaan Musik Pasiflk, Timur Tengah, dan Asia, dialihbahasakan oleh Muhammad Takari, Medan: Universitas Sumatera Utara Press.
Merriam, Alan P 1964The Anthropology of Music. Chicago: Northwestern
Univercity Press. Meuraxa, Dada, 1974. Sejarah Kebudayaan Sumatera. Medan: Firma Hasmar. Moleong, Lexy J. 1989. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya. Nasution, S., 1982. Metode Research. Bandung: Jemmars. Nettl, Bruno. 1964. Theory And Methode In Ethnomusicology. Newyork: The
Free Press Of Glencoe. Nettl, Bruno, 1973. Folk and Traditional of Western Continents, Englewood
Cliffs, New Jersey: Prentice Hall. Nettl, Bruno, 1992. “Ethnomusicology: Some Definitions, Problems and
Directions.” Music in Many Cultures: An Introduction. Elizabeth May (ed.). California: University California Press.
Pasaribu, Ben M., 1986. Taganing Batak Toba: Suatu Kajian dalam Konteks
Gondang Sabangunan. Skripsi Etnomusikologi Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara. Medan.
Perlman, Marc. 1994. Unplayed Melodies: Music Theory in Postcolonial Java.
Ph.D. dissertation, Wesleyan University. Poerwadarminta, W.J.S. (ed.), 1965. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka. Purba, Setia Dermawan, 1994. Penggunaan, Fungsi, dan Perkembangan
Nyanyian Rakyat Simalungun bagi Masyarakat Pendukungnya: Studi Kasus di Desa Dolok Meriah, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Tesis S-2. Jakarta: Universitas Indonesia.
Putro, Brahma, 1981. Karo dari Jaman ke Jaman. Medan: Yayasan Masa Sachs, Curt dan Eric M. Von Hornbostel, 1914. “Systematik der
Musikinstrumente.” Zeitschrift für Ethnologie. Berlin: Jahr. Juga terjemahannya dalam bahasa Inggeris, Curt Sachs dan Eric M. von Hornbostel, 1992. “Classification of Musical Instruments.” Terjemahan Anthony Baines dan Klaus P. Wachsmann. Ethnomusicology: An Inroduction. Helen Myers (ed.). New York: The Macmillan Press.
107
Saragih, Tumpal H.F.M., 2013. Teknik Permainan Sarune oleh Bapak Kerta Sitakar. Medan: Departemen Etnomusikologi FIB USU (Skripsi Sarjana).