Top Banner
Jurnal ARSI/Februari 2017 100 Analisis Tatakelola Sasaran Keselamatan Pasien Pada Alur Pelayanan Penyakit Sepsis Di Rumah Sakit Tebet 2015 Governance Analysis on Patient Safety Goals Pathway in Sepsis Disease’s at Tebet Hospital 2015 Rianayanti Asmira Rasam Program Studi Pasca Sarjana Kajian Administrasi Rumah Sakit Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia *Email: [email protected] ABSTRAK Dalam konteks pengobatan modern, kompleksitas sistem perumahsakitan dianggap sebagai faktor utama penyebab insiden kesalahan medis. Dengan paradigma pelayanan berfokus pasien”, hak pasien mendapatkan pelayanan kesehatan yang aman telah menjadi indikator dalam Standar Akreditasi Rumah Sakit versi 2012 (SARS 2012) di Indonesia, melalui penerapan 6 Sasaran Keselamatan Pasien (SKP). Adapun salah-satu jenis penyakit dengan mortalitas dan morbiditas yang tinggi adalah Sepsis. Pengunaan modifikasi klinis Internasional Classification of Desease (ICD) berbasis revisi ke-9, telah menimbulkan kerancuan terminologi dan meningkatkan mortalitas sepsis. Secara global, mortalitas sepsis mencapai 8 juta/tahun, dengan pertumbuhan di negara berkembang berkisar 8 13% per-tahun. Untuk memastikan efektifitas Keselamatan Pasien pada alur pelayanan penyakit sepsis, dilakukan penelitian terhadap imlementasi Tatakelola 6 Sasaran Keselatanan Pasien. Melalui kerangka studi kasus, dengan pendekatan kualitatif diskriptik-analitik, dilaksanakan penelitian di Rumah Sakit Tebet Jakarta pada bulan April-Mei 2015. Hasil penelitian menunjukkan, efektifitas Tatakelola 6 SKP mencapai 96,283%, dengan tingkat kesalahan dibawah 5%. Penelitian ini berhasil membuktikan implementasi Tatakelola 6 SKP pada alur pelayanan penyakit sepsis. Disimpulkan bahwa Tatakelola 6 Sasaran Keselamatan Pasien sangat efektif mengurangi resiko KP. Kata kunci: akreditasi, rumah sakit, ICD, keselamatan pasien, sepsis. ABSTRACT In the context of modern medicine, complexity hospital’s management is regarded as the primary cause of medical error (ME). The new healthcare paradigm of “Patient-Focused Care”, patient’s right to receive safe healthcare treatment is considered as main indicator in Standar Akreditasi Rumah Sakit of 2012 (SARS 2012) in Indonesia, through the implementation of 6 Patient Safety (KP) standards. In the category of emergency medical treatment, Sepsis is considered as a disease with high mortality and morbidity rate. The use of The International Classification of Diseases, based on Ninth Revision (ICD-9), have caused terminological confusion and contribute to the increase of sepsis mortality rate. Globally, sepsis’ mortality rate reaches 8 million/year or 24.000/day, with growth rate of 8-13% per-year. To ensure the effectiveness of KP standard implementation in sepsis medical treatment, a research on the implementation of 6 Targets of KP in RS Tebet is conducted. Using case study, qualitative and descriptive analysis, this research is performed in the course of April-May 2015. The research shows that effectiveness 6 Targets of KP implementation reaches 96,283%, with 5% margin of error. This research proves that implementation of 6 Targets of KP in healthcare treatment procedure for sepsis cases can reduce the risk of ME. Keywords: accreditation, hospital, ICD, patient safety, sepsis.
14

Analisis Tatakelola Sasaran Keselamatan Pasien Pada Alur ...

Oct 03, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Analisis Tatakelola Sasaran Keselamatan Pasien Pada Alur ...

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 3

Jurnal ARSI/Februari 2017 100

Analisis Tatakelola Sasaran Keselamatan Pasien Pada Alur Pelayanan

Penyakit Sepsis Di Rumah Sakit Tebet 2015

Governance Analysis on Patient Safety Goals Pathway in Sepsis Disease’s at Tebet

Hospital 2015

Rianayanti Asmira Rasam

Program Studi Pasca Sarjana Kajian Administrasi Rumah Sakit

Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

*Email: [email protected]

ABSTRAK

Dalam konteks pengobatan modern, kompleksitas sistem perumahsakitan dianggap sebagai faktor utama penyebab

insiden kesalahan medis. Dengan paradigma ”pelayanan berfokus pasien”, hak pasien mendapatkan pelayanan

kesehatan yang aman telah menjadi indikator dalam Standar Akreditasi Rumah Sakit versi 2012 (SARS 2012) di

Indonesia, melalui penerapan 6 Sasaran Keselamatan Pasien (SKP). Adapun salah-satu jenis penyakit dengan

mortalitas dan morbiditas yang tinggi adalah Sepsis. Pengunaan modifikasi klinis Internasional Classification of

Desease (ICD) berbasis revisi ke-9, telah menimbulkan kerancuan terminologi dan meningkatkan mortalitas

sepsis. Secara global, mortalitas sepsis mencapai 8 juta/tahun, dengan pertumbuhan di negara berkembang berkisar

8 – 13% per-tahun. Untuk memastikan efektifitas Keselamatan Pasien pada alur pelayanan penyakit sepsis,

dilakukan penelitian terhadap imlementasi Tatakelola 6 Sasaran Keselatanan Pasien. Melalui kerangka studi kasus,

dengan pendekatan kualitatif diskriptik-analitik, dilaksanakan penelitian di Rumah Sakit Tebet Jakarta pada bulan

April-Mei 2015. Hasil penelitian menunjukkan, efektifitas Tatakelola 6 SKP mencapai 96,283%, dengan tingkat

kesalahan dibawah 5%. Penelitian ini berhasil membuktikan implementasi Tatakelola 6 SKP pada alur pelayanan

penyakit sepsis. Disimpulkan bahwa Tatakelola 6 Sasaran Keselamatan Pasien sangat efektif mengurangi resiko

KP.

Kata kunci: akreditasi, rumah sakit, ICD, keselamatan pasien, sepsis.

ABSTRACT

In the context of modern medicine, complexity hospital’s management is regarded as the primary cause of medical

error (ME). The new healthcare paradigm of “Patient-Focused Care”, patient’s right to receive safe healthcare

treatment is considered as main indicator in Standar Akreditasi Rumah Sakit of 2012 (SARS 2012) in Indonesia,

through the implementation of 6 Patient Safety (KP) standards. In the category of emergency medical treatment,

Sepsis is considered as a disease with high mortality and morbidity rate. The use of The International

Classification of Diseases, based on Ninth Revision (ICD-9), have caused terminological confusion and contribute

to the increase of sepsis mortality rate. Globally, sepsis’ mortality rate reaches 8 million/year or 24.000/day, with

growth rate of 8-13% per-year. To ensure the effectiveness of KP standard implementation in sepsis medical

treatment, a research on the implementation of 6 Targets of KP in RS Tebet is conducted. Using case study,

qualitative and descriptive analysis, this research is performed in the course of April-May 2015. The research

shows that effectiveness 6 Targets of KP implementation reaches 96,283%, with 5% margin of error. This research

proves that implementation of 6 Targets of KP in healthcare treatment procedure for sepsis cases can reduce the

risk of ME.

Keywords: accreditation, hospital, ICD, patient safety, sepsis.

Page 2: Analisis Tatakelola Sasaran Keselamatan Pasien Pada Alur ...

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 101

PENDAHULUAN

Pada akhir tahun 1999, melalui publikasi “To Err Is

Human: Building A Safer Health System” IOM

melaporkan 44.000 – 99.000/tahun pasien meninggal

akibat medical error (ME), dan lebih 1 juta pasien cidera

setiap tahun. Laporan IOM (1999) telah menempatkan

insiden ME sebagai 8 besar penyebab kematian di

Amerika Serikat (AS), melebihi kecelakaan lalu-lintas,

kanker payudara, dan penyakit AIDS.

Publikasi “To Err Is Human: Building A Safer Health

System” telah mendorong pengungkapan ME diberbagai

negara. Insiden terkait ME dilaporkan terjadi dimana-

mana (Weingert et al, 2000) secara konsisten (WHO

Eropa, 2010), bukan ciri khas AS (Aiken, 2001). ME

adalah fenomena gunung (Battles et al,1998) yang

dipandang sebagai epidemi oleh banyak peneliti

(Weingart et al, 2000; James, 2013), tidak sebatas kasus

tuntutan malpraktik tetapi epidemi malpraktis medis

(Baker, 2005 dalam Alsaadi, 2013).

Dengan maraknya pengungkapan insiden ME, WHO

(2005) kemudian membentuk World Alliance for Patient

Safety (WAPS) untuk mendorong KP menjadi prioritas

utama dalam pelayanan kesehatan. Meskipun tidak ada

pengobatan yang bebas risiko (Vincent, 2010), karena

risiko tidak dapat ditekan menjadi nol (Nolan, 2000),

namun KP harus dikenali sebagai dimensi yang pertama

dari mutu (WHO, 2005).

Hal tersebut tercermin dalam mukadimah Collaborating

Centre for Patient Safety Solutions (CCPSS) (WHO &

JCI, 2007), bahwa seluruh pasien ber-Hak mendapatkan

pelayanan kesehatan yang aman dan efektif pada setiap

waktu, sebagai pernyataan yang selaras dengan maksud

pasal 25 ayat (1) Deklarasi Hak Asasi Manusia (UN,

1948) bahwa setiap orang ber-Hak atas pelayanan

kesehatan yang layak dan aman.

Kompleksitas sistem perumahsakitan ditengarai merupakan

penyebab utama ME. Sistem perumahsakitan yang

diterapkan dinilai telah gagal menyediakan standarisasi

KP yang tepat. Diperlukan penataan ulang yang lebih baik

(IOM, 1999) dengan meningkatkan KP di seluruh

tingkatan sistem dan regulasi pelayanan kesehatan

(Vincent, 2010). Keberhasilan suatu intervensi mutu

pelayanan dan KP tidak terlepas dari regulasi yang

responsif (Berwick, 2002, dalam Utarini, 2011).

Penguatan aspek transparansi dan akuntabilitas dalam

pelayanan kesehatan perlu segera dikedepankan (IOM,

1999; Wachter, 2004; James, 2013).

Di Indonesia, isu KP mendapat perhatian melalui

kehadiran Komite Keselamatan Pasien RS (KKP-RS)

tahun 2005, diikuti pencanangan Gerakan Keselamatan

Pasien dan diterbitkannya Panduan Nasional Keselamatan

Pasien RS (Depkes, 2006, 2008). Pentingnya KP juga

termuat dalam Undang Undang Rumah Sakit No. 40

tahun 2009 (UURS 2009), disertai adanya Sistem

Pelaporan Sukarela Insiden KTD di RS melalui Peraturan

Menteri Kesehatan No. 1691 Tahun 2011 tentang

Keselamatan Pasien Rumah Sakit (PMK 1691/2011).

Namun, praktek KP masih berlangsung sporadis, dengan

protokol bervariasi (Utarini, 2011).

Menurut penelitian Utarini (2000) dalam Utarini (2011)

pada 15 RS dengan data 4.500 Rekam Medik, angka

Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) pada kategori

diagnostic error berkisar 8,0% – 98,2 %, dan medication

error antara 4,1% – 91,6%. Sedangkan terhadap laporan

145 insiden KP yang disebutkan Komite Keselamatan

Pasien Rumah Sakit (KKP-RS) (2007) dalam Mulyana

(2013) terdiri dari 46% KTD, 48% KNC dan 6% lain-

lain. Wilayah DKI Jakarta memiliki proporsi KTD

tertinggi.

Sementara itu, perkembangan rumah sakit di Indonesia

mengalami peningkatan yang sangat pesat. Pada tahun

2009 terdapat 1.523 RS, dengan 653 RS terakreditasi

(42,88%) (DIRJEN BUK, 2012). Untuk tahun 2014, per-

29 Januari 2015, data situs Sistem Informasi Rumah Sakit

(SIRS online) Depkes RI mencatat 2.419 RS, dan 1.309

RS terakreditasi (54%). Sedangkan target RS terakreditasi

yang ditetapkan Depkes RI tahun 2014 adalah 90%

(KARS, TT).

Akreditasi adalah komponen penting dari KP (Wachter,

2004; Hinchcliff et.al, 2012), sebagai mekanisme eksternal

yang paling umum untuk mengukur peningkatan kualitas

pelayanan kesehatan (Greenfield & Braithwaite, 2009). Permodelan pada sistem akreditasi RS sering diadopsi

berbagai organisasi kesehatan untuk tujuan perbaikan

layanan atau reformasi kesehatan (Shaw et.al 2013).

Demikian pula di Indonesia. Pada tahun 2012, Depkes RI

mengadopsi Internasional Patient Safety Goals (IPSGs)

dari lembaga akreditasi internasional Joint Commission

Internasional (JCI), yang diterjemahkan menjadi 6

Sasaran KP (SKP) dalam Standar Akreditasi RS versi

2012 (SARS 2012). Sebelum ditetapkannya SARS

Page 3: Analisis Tatakelola Sasaran Keselamatan Pasien Pada Alur ...

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 102

2012, standar mutu pelayanan RS di Indonesia dapat

berbeda-beda, sesuai standar yang diakreditasi. Mulai

dari standar 5 pelayanan, 12 pelayanan, dan 16

pelayanan. Menurut DIRJEN BUK (2012), melalui

SARS 2012, Indonesia memasuki paradigma baru

”Patient-Focused Care” dengan menjadikan KP

sebagai indikator utama pelayanan kesehatan.

RS Tebet adalah RS swasta di wilayah Jakarta Selatan

yang saat ini sedang dalam proses persiapan mengikuti

SARS 2012. Adapun jenis penyakit dengan angka

kematian yang cukup banyak ditemui dalam

pelayananan kegawatdaruratan RS Tebet adalah Sepsis.

Pada saat ini penyakit sepsis merupakan salah-satu

penyebab utama mortalitas dan morbiditas dalam

pengobatan modern (Angus & van der Poll, 2013).

Sejak tahun 2000, Sepsis berkembang menjadi epidemi,

serupa Polytrauma, AMI dan Stroke (Dellinger et al,

2012). Perbandingan konsensus internasional penyakit,

populasi Sepsis 300 per-100.000, Stroke 223 per-

100.000, dan AMI 208 per-100.000 (Ricard, 2013).

Dalam 10 tahun terakhir, pertumbuhan Sepsis

meningkat 2x lipat, menjadi 20 – 30 juta/tahun (WSD,

2014). Secara global, mortalitas Sepsis mencapai 8 juta

per-tahun (Reinhart et al, 2013). Di negara berkembang,

berkisar 8 – 13% per-tahun (Hall et al, 2011, dalam

Reinhart et al, 2013).

Tahun 2008, Sepsis ditetapkan WHO sebagai Global

Burden of Diseases (GBD), untuk wanita dan anak-

anak, hasil deklarasi bersama dengan PBB dalam World

Health Assembly 61.16 (WHA 61.16). Pada tahun 2012,

bersamaan dibentuknya Global Sepsis Alliance (GSA),

WHO menyetujui kampanye tahunan Word Sepsis Day

(WSD) setiap tanggal 13 September. WSD bertujuan

memperkuat aktifitas Surviving Sepsis Campaign (SSC)

dalam kampanye edukasi pengenalan penyakit sepsis dan

mengurangi mortalitas. Untuk mendukung SSC, WHO–

WAPS merekomendasikan penggunaan ICD-10 WHO.

Faktor utama mortalitas sepsis adalah kerancuan

terminologi (Angus & van der Poll, 2013, WSD, 2014),

akibat keterterbatasan pengetahuan awam dan

komunitas medis non-spesialis (Lever & Mackenzie,

2007), serta politisi tingkat nasional (WSD, 2014). Sepsis

dapat rancu dengan penyakit lain, dan seringkali

terlambat terdiagnosa (Reinhart et al, 2013). Peluang

kesalahan diagnosa Sepsis mencapai 85% (Poeze et al,

2004).

Sepsis dan Septikemia sering disamakan (Kemenkes RI,

2012), meskipun keduanya berbeda (Pinson, 2011).

Sepsis berbasis International Classification of Desease

(ICD) revisi ke-10 (ICD-10) namun sering dipertukarkan

dengan Septikemia yang berbasis ICD-9 (Every, 2009),

seperti modifikasi klinis ICD-9 (ICD-9-CM). Modifikasi

pengkodean septikemia terhadap Sepsis pada ICD-

9CM tidak akurat sesuai tabulasi ICD-10 (Weber,

Stefanie & Steven, 2009). Penggunaan ICD – 9 - CM

meningkatkan 2X mortalitas sepsis (Gaieski, et.al, 2013).

Dalam topik Why ICD-10 Matters, situs resmi American

Health Information Management Association (AHIMA),

menjelaskan terdapat perbedaan signifikan antara

prosedur ICD-10 dan ICD-9-CM. Sistem klasifikasi dan

terminologi penyakit ICD-9-CM tidak sesuai kemajuan

teknologi dan praktik medis terkini. ICD-9-CM yang

digunakan sejak tahun 1979 diyakini telah ketinggalan

jaman. Banyak kategori kedokteran modern tidak

terpenuhi. Situs resmi Centre for Disease Control and

Prevention (CDC) dan American Medical Assosiastion

(AMA) menjelaskan bahwa ICD-9-CM akan

digantikan ICD-10 mulai 1 Oktober 2015 di AS.

Di Indonesia terdapat 2 regulasi penggunaan ICD-10,

yaitu Surat Keputusan (SK) Direktorat Jenderal

Pelayanan Medik No. HK.00.05.1.4.00744 Tentang

Penggunaan ICD-10 di RS, tertanggal 19 Februari 1996,

dan SK Menteri Kesehatan RI No. 50/ MENKES

/SK/I/1998 Tentang Pemberlakuan Klasifikasi Statistik

Internasional mengenai Penyakit Revisi Ke-10,

tertanggal 13 Januari 1998. Namun, selain itu, terdapat

regulasi penggunaan ICD-9-CM yaitu Peraturan

Menteri Kesehatan RI No. 27 Tahun 2014 Tentang

Petunjuk Teknis Sistem Indonesian Case Base Groups

(INA-CBGs) (PMK 27/2014).

Regulasi PMK 27/2014 tersebut merupakan langkah

mundur yang berkontribusi pada praktik pelayanan

medis secara nasional, termasuk penyakit Sepsis. Hal

tersebut merupakan masalah yang perlu dikaji sesuai

dengan paradigma KP SARS 2012 sebagai dimensi

utama dalam pelayanan kesehatan RS di Indonesia.

Karenanya, dilakukan penelitian ilmiah berbasis bukti

(evident based practice) berdasarkan literatur terkini,

untuk memperoleh kepastian tindakan pada alur

pelayanan medis penyakit Sepsis dan hasil keluaran

(outcome) yang lebih baik, aman, serta mengedepankan

KP.

Rianayanti Asmira Rasam., Analisi Tatakelola Sasaran Keselamatan Pasien pada Alur Pelayanan Penyakit Sepsis di

Rumah Sakit Tebel 2015

Page 4: Analisis Tatakelola Sasaran Keselamatan Pasien Pada Alur ...

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 103

TINJAUAN PUSTAKA

“First Do No Harm” sebagai prinsip dasar praktik

medis (WHO Europe, 2010) telah mengisyaratkan

potensi “error” dalam pelayanan kesehatan yang dapat

merugikan pasien. Menurut Nightingale (1863) dalam

Vincent (2010), dalam melakukan tindakan terhadap

suatu penyakit yang diderita pasien, pelayanan RS

“semestinya” tidak merugikan pasien.

Namun demikian, selama ini sistem pelayanan kesehatan

lebih terfokus pada manajemen RS daripada masalah

KP (Dirjen BUK, 2012). Demikian pula fenomena

epidemi ME. Walaupun teori cukup banyak ditemukan

pada literatur medis, namun sedikit yang dipergunakan

untuk memperbaiki fenomena “error” (Michie &

Abraham, 2004, dalam Grol et al, 2007). Banyak hasil

penelitian sulit untuk digeneralisasikan pada komunitas

RS, akibat perbedaan metode (Weingart et al, 2000;

Runciman et.al, 2010). Sedangkan kompleksitas pada

sistem RS sangat disadari senantiasa menghadirkan

potensi error (Leape at al, 1998, Depkes RI 2006).

Salah-satu penyebab utama ME adalah Diagnostik

Error (DE) (Alsaadi, 2013). DE meliputi luput

terdiagnosa (missed), terlambat/penundaan diagnosa

(delayed), dan salah diagnosa (wrong) (Singh, 2013).

Dalam Singh (2013), DE sebagai salah-satu faktor

penting insiden ME disepakati bersama oleh Gandi et al

(2006), Singh et al (2011), Lorincz et al (2013), dan

Schiff et al (2013), sehingga perlu mendapat apresiasi

lebih luas dalam gerakan KP.

Menurut Runciman et al (2010), dari 48 naskah difinisi

KP yang dikaji Methods & Measures Working Group of

the World Health Organization World Alliance for

Patient Safety, KP telah didifinisikan sebagai

“pengurangan resiko kerugian yang tidak seharusnya

terjadi, terkait pelayanan kesehatan minimum yang

dapat diterima”. Sedangkan difinisi yang diajukan (IOM,

1999) “Freedom from injury” (or No Harm), atau bebas

cedera/merugikan pasien menjadi alternatif sederhana

difinisi KP. Dengan adanya kepastian difinisi KP, maka

hal ini sangat membantu dalam proses standarisasi

pelayanan kesehatan.

Pasca laporan IOM (1999) yang menjadi momentum

KP modern, standarisasi sistem yang aman dalam

regulasi pelayanan kesehatan menjadi sangat penting,

termasuk akreditasi RS, mengingat para dokter

umumnya sangat individualistik dan resisten terhadap

standarisasi (Watcher, 2004). Standar pada dasarnya

dipahami sebagai harapan terhadap kinerja, struktur, dan

proses di RS dalam memberikan suatu pelayanan

kesehatan yang bermutu dan aman.

JCI adalah lembaga ekternal akreditasi RS yang menjadi

standar global (Shaw, 2013) dan mengedepankan KP

sebagai fokus utama dari kualitas pelayanan (JCI, 2014).

JCI adalah cabang internasional dari The Joint

Commision (TJC) yang merupakan lembaga akreditasi

di AS. Sejak tahun 2006, JCI menerapkan IPSG sebagai

konsep global standar akreditasi RS (ditampilkan pada tabel

1).

IPSGs yang diadopsi Indonesia menjadi 6 SKP dalam

SARS 2012 merupakan implementasi gagasan

pelayanan berfokus pasien (patient-focused care),

bertujuan mendorong peningkatan pelayanan pada area-

area berpotensi tinggi insiden KP di RS. SARS 2012

adalah regulasi akreditasi yang wajib diikuti (mandatory)

minimal 3 tahun sekali. Demikian halnya dengan RS

Tebet, sebagai RS swasta di DKI Jakarta. Setelah

terakreditasi 16 jenis pelayanan, saat ini RS Tebet sedang

dalam persiapan mengikuti SARS 2012. Dalam

pelayanan kesehatan RS Tebet tahun 2014, penyakit

Sepsis menempati posisi ke-3 dalam hal mortalitas

kegawatdaruratan.

Sepsis adalah salah-satu penyakit tertua yang paling sulit

dipahami dalam sindrom kedokteran (Angus & van der

Poll, 2013), namun sangat sedikit diketahui (Lever &

Mackenzie, 2007; Reinhart, 2013). Pada abad 20, Sepsis

merupakan penyebab mortalitas dalam pengobatan

modern penyakit kritis (Angus et.al, 2001, dalam

Pierrakos & Vincent, 2010), sehingga disebut “bencana

publik tersembunyi” (Angus et.al, 2010, dalam Reinhart

et al, 2013).

Pathophysiology penyakit Sepsis sangat kompleks,

ditandai jumlah penelitian biomarker yang mencapai

3.370 studi, melebihi penyakit lainnya (Pierrakos

&Vincent, 2010). Tidak terdapat faktor kunci sebagai

mediator penyebab Sepsis untuk menjadi acuan

perawatan (Rittirsch, Flierl, Ward, 2008). Karenanya,

tidak ada “golden standar” atau “golden rule” yang

dapat dikalibrasi dalam diagnosis sepsis (Levy et al,

2003; Pierrakos &Vincent, 2010). Namun demikian,

sejumlah penelitian terkini memperlihatkan bahwa

terapi awal pengenalan dini sejak 1 jam pertama, dalam

Page 5: Analisis Tatakelola Sasaran Keselamatan Pasien Pada Alur ...

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 104

fase 3 – 6 jam pertama, dapat mengurangi mortalitas

pasien sepsis (Dellinger et. al, 2008, dalam Reinhart,

2013; Ferrer et al, 2014). Hal tersebut dibuktikan dalam

pelayanan Instalasi Gawat Darurat (IGD) (Nguyen &

Smith, 2007) maupun Intensive Care Unit (ICU)

(Vincent et al, 2006 dalam Vincent, 2009).

Pengenalan yang benar dan sedini mungkin terhadap

sepsis sangat penting karena sepsis merupakan jenis

penyakit bersifat rangkaian (part of a continuum)

(Dellinger et al, 2012), sesuai International Sepsis

Definitions Conference 2001, dengan difinisi (Levy et al,

2003);

Infeksi, yaitu proses patologis yang biasanya

disebabkan invasi jaringan steril atau cairan, atau

rongga tubuh, dengan patogen atau potensi

patogenik mikroorganisme.

Sepsis, yaitu sindrom klinis akibat infeksi dan

respon inflamasi sistemik (SIRS).

Severe sepsis, yaitu komplikasi pada sepsis akibat

disfungsi organ.

Septic shock, yaitu severe sepsis disertai kegagalan

respirasi akut, tidak jelas sebabnya.

Pasca International Sepsis Definitions Conference 2001,

dibentuk Surviving Sepsis Campaign (SSC) untuk

memperbaiki pengenalan dini Sepsis (Levy, 2003),

melalui panduan tatakelola sepsis (management guidline

budled) sebagai rekomendasi praktik terbaik

meningkatkan efisiensi dan efektifitas terapi medis

Sepsis (Dellinger et al, 2012). Konsep Early Goal Direct

Theraphy (EGDT) dari River at al (2001) (Nguyen &

Smith, 2007) kemudian diadopsi menjadi Sepsis

Screening Tools (SST) untuk membantu terapi dini

Sepsis (Daniels, 2010) (ditampilkan pada tabel 2).

Mortalitas sepsis meningkat akibat kerancuan terminologi.

Sepsis yang diklasifikasikan sebagai penyakit pada ICD-

10, sering dipertukarkan dengan Septikemia yang

berbasis ICD-9. Pada ICD-9-CM, Sepsis diklasifikasi

sebagai Syndrom (AHA, 2012), namun tidak terdapat

diskripsi kode diagnostik Sepsis (Gaieski, et.al, 2013).

Diagnosis Sepsis dalam ICD-9-CM adalah hasil

kombinasi kode beberapa penyakit, dan mengacu pada

Septikemia dengan kode numeric 038.9. Unspecified

septicemia. Sedangkan dalam ICD-10 (WHO, 2010,

2015), Sepsis adalah penyakit dengan pengkodean

alphabetik-numerik tersendiri sebagai primary or

principal or main diagnosis, yaitu A.41.9 Sepsis,

unspecified, yang dapat termasuk Septikemia.

Septikemia identik dengan istilah “keracunan darah”

yang dapat menyebabkan Sepsis (WSD, 2014). Istilah Septikemia telah dihindari dalam praktek medis modern,

karena kultur darah – meskipun dibutuhkan – bukan

kriteria diagnostik sepsis (Pinson, 2011). Berbagai

temuan laboratorium, bakteri dalam aliran darah lebih

positif pada septikemia (Every, 2009). Uji faktor nuklir

juga sulit membuktikan pengaruh septikemia pada

sepsis (Bernuth et.al, 2005).

ICD adalah panduan internasional proses diagnosis dan

prosedur tindakan dari klasifikasi penyakit, yang direvisi

secara periodik oleh WHO. Untuk mendukung data

statistik kesehatan, relasi permasalahan penyakit dan

kesehatan (Diseases and other related health problems)

mulai diklasifikasi dalam ICD-10 sebagai International

Family Classification (IFC) (data ditampilkan pada tabel

3).

ICD-9 dipublikasi WHO tahun 1978 (WHO, 2010).

Kemudian modifikasi klinis (Clinical Modification)

sistem pengkodean ICD-9 mulai diperkenalkan AS

pada tahun 1999, disebut ICD-9-CM, dengan

pengembangan prosedur pengkodean dan ekspansi

kode diagnosis (AHA, 2012), yang direvisi setiap tahun

untuk menyesuaikan dengan ICD-10. Namun demikan,

revisi periodik ICD-9-CM tidak memadai sebagai

landasan utama klasifikasi penyakit, akibat rendahnya

akurasi data kondisi medis pasien dan prosedur

perawatan pelayanan (Brook, Brook, TT, h.8), dan

menyebabkan AS kesulitan melakukan perbandingan data

internasional mortalitas penyakit yang telah berbasis

pada ICD-10 (CDC). ICD-10 memudahkan kepastian

diagnosis dan prosedur tindakan, dengan akurasi tinggi

dan fleksibel (Brook, TT, h.8). Perbedaan sistem

pengkodean ICD-9-CM dan ICD-10 ditampilkan pada

tabel 3.

Clinical Patway (CP) atau alur klinis adalah konsep

perencanaan pelayanan terpadu yang merangkum setiap

langkah pelayanan medik, asuhan keperawatan, dan

pelayanan kesehatan lain berbasis bukti, dengan hasil

yang dapat diukur selama waktu tertentu di RS (Rosch et

al, 2005; Feyner et al, 2005; Gardner et al, 1997; dalam

Rivany, 2009). Namun menurut Currie & Harvey

(1997) dalam De Blesser et al. (2006), konsep global CP

di AS digunakan sebagai kerangka kerja menyeimbangkan

Rianayanti Asmira Rasam., Analisi Tatakelola Sasaran Keselamatan Pasien pada Alur Pelayanan Penyakit Sepsis di

Rumah Sakit Tebel 2015

Page 6: Analisis Tatakelola Sasaran Keselamatan Pasien Pada Alur ...

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 105

biaya dan kualitas (cost of quality), dan di Inggris sebagai

kesinambungan seluruh pengaturan perawatan. Dalam

penerapan CP, menurut Rivany (2009) penggunaan

ICD-10 tidak dapat “ditawar” terkait dengan klasifikasi

penyakit.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini adalah studi kasus dengan pendekatan

diskriptik-analitik kualitatif, memakai data primer dan data

sekunder, untuk mendapatkan gambaran penerapan 6

SKP pada alur pelayanan penyakit sepsis di RS Tebet.

yang dilaksanakan bulan April sampai Mei 2015.

Data primer diperoleh dari kuisioner tertutup, sebagai

indikator utama penerapan 6 SKP di RS Tebet, dan hal-

hal yang dianggap belum terjawab atau sebagai

penjelasan tambahan dari data sekunder. Pengambilan

data kuisioner dari 18 jumlah informan berbentuk

purposive sampling. Mulai pimpinan manajemen

tingkat direksi, manajer, kepala unit, dokter, perawat, staf

pendaftaran, sehingga terdapat keseimbangan

representasi antara manajemen selaku penentu kebijakan

dan pelaksana klinis di lapangan. Masa kerja ditetapkan

minimal 2 tahun sebagai indikasi bahwa informan telah

berdaptasi secara baik dengan lingkungan kerja di RS

Tebet.

Untuk data sekunder, digunakan Rekam Medis (RM)

seluruh pasien Sepsis selama penelitian dilakukan.

Karenanya tidak dilakukan perhitungan sampel. Jenis-

jenis tindakan pelayanan dalam RM, dianalisa dan

disesuaikan dengan pengelompokan setiap variable 6

SKP. Selain itu, dilakukan observasi untuk mendapatkan

gambaran aktifitas pelayanan secara langsung.

Pada pengolahan data, pendapat-pendapat kuisioner

dikelompokkan dalam klasifikasi setiap variabel 6 SKP,

dan dilakukan koding berbentuk tabel frekuensi berupa

angka persentase (%);

1. Efektif (E), untuk jawaban Ya (Y)

2. Kurang Efektif (KE), untuk jawaban Netral atau

Ragu (N)

3. Tidak Efektif (TE), untuk jawaban Tidak (T)

4. Tidak Menjawab (TM), untuk tanpa jawaban atau

kolom jawaban tidak terisi.

Alat ukur yang digunakan adalah Skor Elemen Penilaian

(EP) Survei Akreditasi RS (KARS, 2014), sebagai

pendekatan jika hasilnya berubah-ubah akan tidak cukup

berarti,yaitu:

Tercapai Penuh (TP) = 10 ( 80% – 100% )

Tercapai Sebagian (TS) = 5 ( 20% – 79% )

Tidak Tercapai (TT) = 0 ( < 19% )

Tidak Dapat Diterapkan (TDD) (tidak digunakan,

dan ditiadakan dalam penelitian ini).

Prinsip Skor EP Survei Akreditasi RS (KARS, 2014)

yang diadopsi dari JCI, adalah konsisten dan relevansi

kondisi dengan pelayanan pasien, baik ditingkat

pimpinan manajemen maupun staf operasional.

Selanjutnya dilakukan uji hipotesis sederhana untuk

memastikan korelasi parsial antara persepsi informan

dan jumlah realisasi utilisasi 6 SKP. Derajat kesalahan

ditetapkan 5% atau tingkat kepercayaan 95%. Jika

diperoleh derajad signifikan lebih besar dari 95%, maka

dipastikan terdapat hubungan yang kuat antara hasil

kuisioner dengan jumlah utilisasi dari 6 SKP yang

diterapkan pada alur pelayanan penyakit Sepsis di RS

Tebet.

Untuk memenuhi etika penelitian, peneliti mengajukan

surat permohonan pengambilan data kepada Direktur

Utama RS. Tebet, dilengkapi dengan informed consent

untuk memberikan jaminan bahwa seluruh data

kuisioner tidak terkait dengan penilaian kerja, serta

disimpan secara rahasia dan hanya bisa diakses oleh

peneliti untuk kepentingan ilmiah.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Data hasil penelitian ditampilkan pada tabel 5 sampai

dengan 7 serta gambar grafik 1 sampai dengan 3.

Berdasarkan data rekam medis pasien, LOS pelayanan

atau perawatan pasien Sepsis adalah 10 hari. Proses

diagnosis telah berbasis kode ICD-10, dengan diagnosis

klasifikasi Sepsis. Pemeriksaan MO kultur dilakukan

sebagai prosedur rutin penegakkan diagnosis sepsis.

Penegakan diagnosis Sepsis belum menggunakan

Screening Tool, sehingga kurang efisiensi dan efektifitas,

serta dapat meningkatkan potensi keterlambatan

diagnosis dan peluang insiden KP.

Dalam hal tingkat transformasi KP, hasil masih relatif

sangat rendah (1:1,5713). Kontribusi dari jumlah 38%

yang mengikuti pelatihan KP terhadap tingkat pemahaman

KP seluruh informan hanya mencapai 61.11%. Jika

dikonversi, maka pemahaman KP dari 3 orang diperoleh

Page 7: Analisis Tatakelola Sasaran Keselamatan Pasien Pada Alur ...

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 106

atas usaha 2 orang lainnya. Rerata, efektifitas pemahaman

SKP adalah 69.015%, tidak signifikan mengubah hasil

total skor 6 SKP yaitu 5 (TS) dalam penelitian ini.

Nilai Skor 10 (TP) dicapai pada penerapan SKP 4 (Tepat

lokasi-prosedur-operasi) dan SKP 6 (Mengurangi resiko

pasien jatuh). Sedangkan SKP 1 (Ketepatan Identifikasi

Pasien), SKP 2 (Meningkatkan efektifitas komunikasi),

SKP 3 (Meningkatkan kewaspadaan obat yang perlu

diwaspadai), dan SKP 5 (Mengurangi risiko infeksi),

keempatnya memperoleh skor 5 (TS).

Penelitian ini berhasil mendapatkan derajat signifikan

96,283%, lebih tinggi dari tingkat kepercayaan 95%

yang ditetapkan, atau dengan tingkat kesalahan 5%,

terhadap korelasi perapanan 6 SKP dengan persepsi

kuisioner mengenai 6 SKP. Secara keseluruhan,

penerapan tatakelola dari ke-6 SKP memperoleh skor

5(TS). Total jumlah penerapanan utilisasi 6 SKP yang

dicapai adalah 307 aktifitas (66,45%) dari total utilisasi

tatakelola 6 SKP yang berjumlah 462 aktifitas (100%).

Jika standar minimal Skor EP Survey dikonversi, yaitu

370 aktifitas, maka selisih antara capaian 6 SKP dengan

EP Survey adalah 63 aktifitas (17,02%).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam

persiapan mengikuti SARS 2012, RS Tebet belum

berdaptasi dengan konsep 6 SKP yang menjadi bagian

penilaian SARS 2012. Pola pelayanan masih lebih

berorientasi manajemen, dan cenderung bersifat atas-

bawah, sehingga mengurangi tingkat partisipasi aktif staf

operasional atau medis dalam penerapan SKP,

khususnya pada SKP 1, SKP 2, SKP 3, dan SKP 5.

Prosedur identifikasi pasien masih beragam, dan belum

menjadikan gelang identitas pasien sebagai standar

identifikasi. Konfirmasi instruksi lisan dan telephone dalam

kaitannya dengan perawatan medis, kurang optimal,

ditandai dengan minimnya tanda-tangan pemberi atau

penerima pesan/instruksi pada lembaran instruksi.

Tindakan pencegahan risiko infeksi lebih terfokus pada

mekanisme “cuci-tangan” tetapi tidak konsisten.

Penggunaan alat-alat disposal belum dimaksimalkan, dan

kebijakan pengendalian risiko infeksi tidak tersosialisasi

baik.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Penelitian berhasil memastikan tatakelola SKP pada

alur pelayanan penyakit sepsis di RS Tebet, dengan

derajat signifikan 96,283%, lebih tinggi dari tingkat

kepercayaan 95%.

2. Penelitian ini berhasil membuktikan 6 SKP sebagai

tatakelola pelayanan penyakit sepsis.

1) transformasi KP lebih praktis dan terukur

2) terapi medis penyakit Sepsis lebih efektif

3) utilisasi 6 SKP memiliki nilai investasi

3. Utilisasi 6 SKP dapat mendiskripsikan jumlah

aktifitas alur pelayanan penyakit sepsis.

4. Diagnosa dan prosedur tindakan penyakit sepsis

dengan ICD-10 lebih akurat dan aman.

5. Belum diterapkannya ST pada penyakit Sepsis,

menjadikan pelayanan kurang efektif dan efisien,

yang berpotensi menyebabkan keterlambatan terapi

dan meningkatkan risiko KP.

6. Pelayanan RS Tebet masih berfokus manajemen,

dan belum berorientasi pada SKP.

Saran

1. Kebijakan

1) Menjadikan 6 SKP sebagai tatakelola sepsis,

dan atau diterapkan pada penyakit lain.

2) RS Tebet perlu menerapkan SOP SKP di area-

area pelayanan yang berpotensi risiko tinggi

insiden KP, seperti IGD, IRNA, OK, ICU,

Farmasi, Laboratorium, Radiologi.

3) Penelitian ini dapat dijadikan dasar acuan

dalam pembuatan COT (Cost Of Treatment).

4) Nilai investasi SKP belum diperhitungkan

sebagai insentif pelayanan kesehatan.

2. Operasional

1) Mengoptimalisasikan fungsi-tugas KKP-RS

sebagai instrumen KP RS Tebet.

Membentuk keorganisasian KKP-RS yang

efektif, efisien, independen atau mandiri, yang

mengedepankan azas transparansi dan juga

akuntabilitas

Memperjelas kewenangan KKP-

RS menerima laporan insiden, menganalisa,

dan memberikan solusi sebagai kebijakan RS

berdasarkan konsep “Error Tolerance”.

Rianayanti Asmira Rasam., Analisi Tatakelola Sasaran Keselamatan Pasien pada Alur Pelayanan Penyakit Sepsis di Rumah Sakit Tebel 2015

Page 8: Analisis Tatakelola Sasaran Keselamatan Pasien Pada Alur ...

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 107

Mempertegas kewenangan KKP-

RS untuk melakukan obversasi dan penilaian.

Menyelenggarakan pelatihan dan

workshop KP secara periodik

2) Dalam persiapan SARS 2012, RS Tebet perlu

melakukan upaya-upaya untuk memberdayakan

penerapan 6 SKP

SKP1

Menjadikan GIP atau GPP sebagai standar

identifikasi pasien

SKP2

Meningkatkan akuntabilitas serta

transparansi atas komunikasi atau informasi

melalui sebuah protab konfirmasi instruksi

dan tanda-tangan sebagai prosedur atau

mekanisme kontrol

SKP 3

Integrasi dan pemberdayaan tatalaksana

obat High Alert NORUM atau LASA

pada unit-unit pelayanan strategis, seperti

IGD, ICU, IRN, OK, dengan turut

melibatkan peran aktif unit Farmasi

dalam pembuatan daftar dan pemberian

lebel High Alert pada obat-obat

NORUM/LASA. Tatalaksana obat High

Alert NORUM/LASA perlu untuk

dilengkapi fasilitas penyimpanan, disertai

kewenangan Hak Akses

SKP 4

Keterlibatan pasien dan keluarga pasien

perlu lebih ditingkatkan

SKP 5

Meningkatkan peran-aktif staf medis atau

operasional sebagai gugus depan kendali

bahaya infeksi

SKP 6

Mengedukasi para pasien serta keluarga

pasien sebagai solusi mengurangi

insiden resiko pasien jatuh.

3) Untuk hal-hal yang masih membutuhkan

waktu dan kajian manajemen, maka dapat

diterapkan Standar Pelayanan Minimum

(SPM) yang bersifat sementara waktu.

DAFTAR PUSTAKA American Hospital Association, 2012, Coding Clinic Alphabetical Index,

Instructions for use of the Coding Clinic for ICD-9-CM, [diakses 10 Februari

2015]

A_ New,_Evidence_based_Estimate _of_Patient_Harms.2.pdf

http://www.ahacentraloffice.org/PDFS/2013PDFs/2012CodingClinicAlphaInde

x.pdf. Brook (TT), dalam ICD-10_Overview_Presentation, Center for Medicare and

Medicaid Services (CMS), [diakses 23 Maret 2015], https://www.

cms.gov/Medicare/Medicare-Contracting/ ContractorLearningResources/downloads/ICD-

10_Overview_Presentation.pdf.

Daniels R., 2010, Defining the Spectrum of Disease, dalam Daniels R, Nutbeam T (eds), ABC of Sepsis. Chichester: Wiley Blackwell.

De Bleser, et al, 2006, Difining Pathway, Journal of Nursing Management, 14:

553–563, Blackwell Publishing [diakses, 9 April, 2015] http://ppr. cs.dal.ca/sraza/files/CP-1.pdf

Depkes RI –PERSI, 2006, Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit.

Depkes RI –PERSI, 2008, Panduan Nasional Keselamatan Pasien, Edisi 2. Grol, RTPM., et al, 2007, Planning and Studying Improvement in Patient Care:

The Use of Theoretical Perspectives, The Milbank Quarterly, Vol. 85, No.

1, pp. 93–138, [diakses, 9 April, 2015] James, 2013, A New Evidence-based Estimate of Patient Harms Associated with

Hospital Care, Journal Patient Safety, 9: 122-128, [diakses 10 Februari,

2015], http://pdfs.journals.lww.com/journal patientsafety/2013/09000/ Joint Commission International, 2011, Accreditation Standards For Hospitals, 4th

Edition, [diakses 3 Maret, 2015] http://www.mintie.com/pdf/edu cation

/JSI_4th_edition_standards.pdf. Joint Commission International, 2014, Transforming patient safety and quality of

care. [diakses 10 Februari, 2015], http://www.jointcommissioninternational

.org Juknis_Sistem_INA_CBGs_.pdf

Junadi, P. 2008, Aplikasi Studi Kasus Dalam Manajemen, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, [diakses 9 April, 2015] https://staff.

blog.ui.ac.id/purnawan/files/2008/06/studi-kasus.pdf

Kementrian Kesehatan RI, 2012, Standar Akreditasi Rumah Sakit, KARS, DITJEN BUK.

Kementerian Kesehatan RI, 2012, Modul Tatalaksana Standar Pneumonia,

Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Komisi Akreditasi Rumah Sakit, 2014, Pedoman Tata Laksana Survei Akreditasi

Rumah Sakit, Edisi 3.

Leape LL, et al, 1998, Promoting Patient Safety by Preventing Medical Error, Editorial, JAMA,Vol 280, No. 16 October 28, [diakses 29 Januari, 2015],

ftp://72.167.42.190/solutionleaders/pdf/

PromotingPatientSafetybyPreventingMedicalError_ JAMA102898.pdf Lever A & Mackenzie I, 2007, Sepsis: definition, epidemiology, and diagnosis,

British Medical Journal, Vol. 335 (879-8327), October, [diakses 23 Maret

2013] http://www.ncbi.nlm.nih.gov /pmc/articles/PMC2043413/pdf/bmj-335-7625-cr-00879.pdf

Levy MM et al, 2003, 2001 SCCM/ESICM /ACCP/ATS/SIS International Sepsis

Definitions Conference, Critical Care Medicine, Vol. 31, No. 4, Lippincott Williams & Wilkins, [diakses 10 Februari 2015] http://www.

esicm.org/upload/ file4.pdf

Nolan TW, 2010, System changes to improve patient safety, BMJ, Vol. 320, 18

March, [diakses 3 Maret 2015] http://www.ncbi.nlm.nih.gov /pmc/articles

/PMC1117771/pdf/771.pdf

Pierrakos C., Vincent JL, 2010, Sepsis biomarkers: a review, Crit Care. 2010;14(1):R15, BioMed Central Ltd, [diakses 23 Maret 2015], http://

www.ccforum.com/content/pdf/cc8872.pdf

Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 27 Tahun 2014 Tentang Petunjuk Teknis Sistem Indonesian Case Base Groups, [diakses 23 Maret 2015]

http://sinforeg.litbang.depkes.go.id/upload /reg ulasi/PMK_No._27 _ttg_.

Pusat Bahasa, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi 4, Departemen Pendidikan Nasional, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Reinhart, K, 2013, The burden of sepsis – a call to action in support of World Sepsis

Day 2013, [diakses 23 Maret 2013] http://www.jccjournal. org/article/S0883-9441%2813%2900121-4/pdf

Rivani R., 2009, Clinical Pathway & Cost of Treatment Dalam Mendukung

Indonesia Diagnosis Related Groups (INA-DRGs), Workshop, PERSI, Jakarta.

Shadily, H., Echols, JM., 2014, Kamus Inggris-Indonesia, Ed. 3, Gramedia Pustaka

Utama, Jakarta. Singh, H. et al, 2013, Types and Origins of Diagnostic Errors in Primary Care

Settings, JAMA INTERN MED, Vol 173, No. 6, March 2, [diakses, 9

April, 2015], http://www. ajustnhs.com/wp-content/uplo ads/2012/10/diag-errors-JAMA-2013.pdf

Undang Undang RI Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, [diakses 29

Januari 2015], http://www.gizikia.depkes.go.id/wpcontent/uploads/downlo ads/2012/07/UU-No.-44-Th-2009-ttg-Rumah-Sakit.pdf.

Page 9: Analisis Tatakelola Sasaran Keselamatan Pasien Pada Alur ...

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 108

United Nation, 1948, General Assembly of the United Nation, The Universal

Declaration of Human Rights. Palais de Chaillot, Paris; Dec 10, [diakses 20 Februari, 2015] http://www.un.org/en/docu ments/udhr/ .

Utarini, A., 2011, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas

Kedokteran Universitas Gadjah Mada, [diakses 23 Maret, 2015] http://kebijakankesehatanindonesia.net.

Vincent JL, 2009, Definition of Sepsis and Non-infectious SIRS,[diakses 10

Februari 2015] http://www.wiley-vch.de/books/sample/3527319352_c01. pdf.

Vincent, C., 2010, Patient Safety, 2nd edition, John Wiley & Sons, Ltd, Chichester,

UK.. Wachter, 2004, The End Of The Beginning: Patient Safety Five Years After ‘To Err

Is Human’, Health Affair, W4.534. November 30 [diakses, 29 Januari,

2015] http://content.healthaffairs.org/content/early/2004/11/30/hlthaff.w4. 534.full.pdf

Weber, Stefanie & Steven, 2009, Sepsis on the death certificate – Is a change to

rule 3 necessary? [diakses 3 Maret, 2015] http://www.who.int/c lassifications/network/D030_MRG.pdf.

Weingart et.al, 2000, Epidemiology of medical error, British Medical Journal, 320,

March. [diakses, 3 Maret 2015] http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/ articles/PMC1117772/pdf/774.pdf

WHO, 2005, World Alliance for Patient Safety, Final Brochure, forward

programme, [diakses 29 Januari, 2015] http://www.who.int/patientsafet y/en/brochure_final.pdf.

WHO, 2010, International Statistical Classification of Diseases and Related

Health Problems ICD-10. Vol.2. [diakses 29 Januari 2015] http://www.who.int/classifications/icd/ICD10Volume

2_en_2010.pdf

WHO, 2015, ICD-10 Online Version:, [diakses 10 dan 20 Februari 2015] http://apps.who.int /classifi cations/icd10/browse/2015/en

WHO & JCI, 2007, Preamble and Patient Safety Solutions, Collaborating Centre

for Patient Safety Solution. [diakses 20 Februari 2015] http://www. jointcommissioninternational.org

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2690312/pdf/milq0085-0093.pdf

Wibowo, A, 2014, Metodologi Penelitian Praktis Bidang Kesehatan, Raja

Grafindo Persada, Jakarta.

Tabel 1. 6 SKP Berbasis IPSG

Sumber: SARS 2012 dan JCI (2011)

Rianayanti Asmira Rasam., Analisi Tatakelola Sasaran Keselamatan Pasien pada Alur Pelayanan Penyakit Sepsis di Rumah Sakit Tebel 2015

Page 10: Analisis Tatakelola Sasaran Keselamatan Pasien Pada Alur ...

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 109

Tabel 2. Sepsis atau Severe Sepsis Screening Tool

Sumber: Diaopsi dari Daniel, 2010

Tabel 3. Tahun Revisi dan Pemakaian ICD Revisi Tahun Pemakaian

Ke-1 1900-09

Ke-2 1910-20

Ke-3 1921-29

Ke-4 1930-38

Ke-5 1939-48

Ke-6 1949-57

Ke-7 1958-67

Ke-8 1968-78

Ke-9 1979-98

Ke-10 1999-sekarang

Tabel 4. Perbedaan sistem pengkodean ICD-9-CM dan ICD-10

Sumber: Centre for Desease Control and Prevention (CDC)

Page 11: Analisis Tatakelola Sasaran Keselamatan Pasien Pada Alur ...

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 110

Tabel 5. Perbandingan Clinical Pathway dan Tatakelola 6 SKP

No

Aktifitas Pelayanan U

Clinical Pathway Tatakelola SKP IGD ICU OK IRN

Identifikasi Pasien (SKP1)

a. Admission/Pendaftaran x

1. Pendaftaran pasien/data komputer x

1 Admission 2. Anamnesa, Pemeriksaan Fisik, Diagnosa kerja x

b. Pemasangan Gelang Pasien

1. Gelang indentitas (LK/P) x

2. Gelang Penanda (Alergi/Jatuh/Rescusitasi) x

Identifikasi Pasien (SKP 1)

b. 1. Gelang Indentitas (LK/P) x x x x

2. Gelang Penanda (Alergi/Jatuh/Rescusitasi) x x x x

c. Pada saat pemberian obat x x

d. Pada saat pengambilan/spesimen lain x x

e. Pada saat pemberian darah/produk darah x x x

d. Sebelum memberikan pengobatan x x x x

f. Sebelum memberikan tindakan x x x x

2 Diagnostic Komunikasi (SKP 2)

a. Lembar perintah lisan x x x x

b. Lembar perintah melalui telephone/handphone x x x x

c. Lembar laporan pemeriksaan klinis kritis atau x x x x

rekam medis dari dokter jaga kepada konsulen

Pengurangan risiko jatuh (SKP 6)

a. Pengawasan perpindahan pasien x x x x

b. Kelengkapan alat bantu jalan x x x x

c. Evaluasi pasien jatuh (humpty dumpty scale) x x x x

Identifikasi Pasien (SKP 1)

b. 1 Gelang Indentitas (LK/P) x x x x

2. Gelang Penanda (Alergi/Jatuh/Rescusitasi) x x x x

Peningkatan keamanan obat yang diwaspadai (SKP 3)

a. Kewaspadaan NORUM/LASA x x x x

b. Lokasi penyimpanan obat (pembatasan akses) x x x x

c. Pemberian label "High Alert" x x x x

Pengurangan resiko infeksi (SKP 5)

3 Pra-Therapy a. Kebersihan tangan (hand hygiene) x x x x

b. Penggunaan alat sekali pakai

1. Penggunaan sarung tangan sekali pakai x x x x

2. Penggunaan alat suntik sekali pakai x x x x

c. Keamanan dan kebersihan peralatan standar x x x x

Tepat lokasi, tepat prosedur, tepat operasi (SKP 4)

a. Penandaan lokasi operasi pada tubuh pasien x

b. Verifikasi lokasi, prosedur, dan tepat pasien x

c. Pemeriksaan ulang kelengkapan dokumen & terpampang di R.Operasi x

d. Pemeriksaan ulang peralatan operasi x

f. Time-out sesaat sebelum operasi akan dimulai x

Identifikasi Pasien (SKP 1)

b. 1 Gelang Indentitas (LK/P) x x x x

2. Gelang Penanda (Alergi/Jatuh/Rescusitasi) x x x x

c. Pada saat pemberian obat x x x x

d. Pada saat pengambilan/spesimen lain x x x x

e. Pada saat pemberian darah/produk darah x x x x

d. Sebelum memberikan pengobatan x x x x

f. Sebelum memberikan tindakan x x x x

Peningkatan keamanan obat yang diwaspadai (SKP 3)

4 Therapy a. Kewaspadaan NORUM/LASA x x x x

b. Lokasi penyimpanan obat (pembatasan akses) x x x x

c. Pemberian label "High Alert" x x x x

Pengurangan resiko infeksi (SKP 5)

a. Kebersihan tangan (hand hygiene) x x x x

Rianayanti Asmira Rasam., Analisi Tatakelola Sasaran Keselamatan Pasien pada Alur Pelayanan Penyakit Sepsis di

Rumah Sakit Tebel 2015

Page 12: Analisis Tatakelola Sasaran Keselamatan Pasien Pada Alur ...

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 111

No

Aktifitas Pelayanan U

Clinical Pathway Tatakelola SKP IGD ICU OK IRN

b. Penggunaan alat sekali pakai

1. Penggunaan sarung tangan sekali pakai x x x x

2. Penggunaan alat suntik sekali pakai x x x x

c. Keamanan dan kebersihan peralatan standar x x x x

Pengurangan risiko jatuh (SKP 6)

a. Pengawasan perpindahan pasien x x x x

b. Kelengkapan alat bantu jalan x x x x

c. Evaluasi pasien jatuh (humpty dumpty scale) x x x x

Identifikasi Pasien (SKP 1)

b. 1 Gelang Indentitas (LK/P) x x x x

2. Gelang Penanda (Alergi/Jatuh/Rescusitasi) x x x x

c. Pada saat pemberian obat x x x x

d. Pada saat pengambilan/spesimen lain x x x x

e. Pada saat pemberian darah/produk darah x x x x

d. Sebelum memberikan pengobatan x x x x

f. Sebelum memberikan tindakan x x x x

Komunikasi (SKP 2)

a. Lembar perintah lisan x x x x

b. Lembar perintah melalui telephone/handphone x x x x

c. Lembar laporan pemeriksaan klinis kritis atau RM (dokter jaga-konsulen) x x x x

5 Follow-up Peningkatan keamanan obat yang diwaspadai (SKP 3)

a. Kewaspadaan NORUM/LASA x

b. Lokasi penyimpanan obat (pembatasan akses) x

c. Pemberian label "High Alert" x

Pengurangan resiko infeksi (SKP 5)

a. Kebersihan tangan (hand hygiene) x x x x

b. Penggunaan alat sekali pakai x x x x

1. Penggunaan sarung tangan sekali pakai x x x x

2. Penggunaan alat suntik sekali pakai x x x x

c. Keamanan dan kebersihan peralatan standar x x x x

Pengurangan risiko jatuh (SKP 6)

a. Pengawasan perpindahan pasien x x x x

b. Kelengkapan alat bantu jalan x x x x

c. Evaluasi pasien jatuh (humpty dumpty scale) x x x x

Identifikasi Pasien (SKP 1) x x x x

6 Discharge a. Admission/Pendaftaran

b. 1 Gelang Indentitas (LK/P)

2. Gelang Penanda (Alergi/Jatuh/Rescusitasi)

Tabel 6. Hasil Kuisioner

Page 13: Analisis Tatakelola Sasaran Keselamatan Pasien Pada Alur ...

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 112

Gambar 1. Grafik Hasil Nilai Efektif Hasil Kuisioner 6 SKP ( % )

Rianayanti Asmira Rasam., Analisi Tatakelola Sasaran Keselamatan Pasien pada Alur Pelayanan Penyakit Sepsis di

Rumah Sakit Tebel 2015

Page 14: Analisis Tatakelola Sasaran Keselamatan Pasien Pada Alur ...

Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2

Jurnal ARSI/Februari 2017 113

Tabel 7. Total Utilisasi Tatakelola 6 SKP

Gambar 2. Grafik Perbandingan Jumlah Utilisasi 6 SKP dan Capaian RST

Gambar 3. Grafik Perbandingan Selisih Utilisasi Tatakelola 6 SKP