ANALISIS SUBSTANSI DAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN DESA DI KABUPATEN KUTAI BARAT DAN KUTAI TIMUR Suprianto 1 , Mustofa Agung Sardjono 2 dan Soeyitno Soedirman 3 1 GIZ Forclime Samarinda. 2 Laboratorium Politik, Ekonomi dan Sosial Kehutanan Fahutan Unmul, Samarinda. 3 Dewan Kehutanan Daerah Kaltim, Samarinda ABSTRACT. Analysis of Substance and Implementation of Village Forest Management Policy in West Kutai and East Kutai Districts. Village Forest was seen as a very appropriate approach to overcome the problem of Community Based Forest Management (CBFM) with some reasons such as : 1) The institution involves many people/communities/villages; 2) A clear social entities unlike customary claims; 3) Can be compensated as customary claims. Therefore the opportunities and challenges need to be identified in the implementation of Village Forest and technical synthesis in order to accelerate the implementation legality of Village Forest scheme as the alternative solutions and strategies to solve the problems so that any expectations of the Village Forest existence can be realized. Slow development of the Village Forest implementation was indicated not only from the lack realization of establishment but also from the absence of implementation regulation both from local regulation and the regulation from the Head of Province/District Office, from the observation in East Kalimantan in two districts, West Kutai and East Kutai District. Although at West Kutai District and East Kutai District were found some initiatives of Village Forest, yet it was more into program/project base activities that was not or has not received policy support (such as master plan or strategic plan) moreover the local regulation so to speak, the future development of Village Forest in district level remains. Kata kunci: hutan desa, isu strategis, Kutai Barat, Kutai Timur Orientasi sosial atau kemasyarakatan kebijakan kehutanan khususnya di luar pulau Jawa sudah dimulai sejak dekade tahun 1991 dengan dikeluarkannya kebijakan tentang Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH). Pada awalnya PMDH disebut sebagai Bina Desa Hutan berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 691/1991 sebagai upaya untuk membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berada di dalam dan di sekitar hutan yang diperbaiki melalui SK Menteri Kehutanan no. 69/1995 jo SK Menhut No. 523/1997 (Sardjono, 2004 a ). Bahkan tahun 1995 diterbitkan kebijakan mengenai Hutan Kemasyarakatan/HKm (SK Menhut No. 622 Tahun 1995) yang juga dimaksudkan untuk pemberdayaan masyarakat sesuai dengan fungsi pokok hutannya (Hutan Lindung dan Hutan Produksi yang tidak dibebani hak). Kebijakan HKm ini hingga sekarang masih diberlakukan, bahkan terus mengalami pembaruan-pembaruan dalam pelaksanaannya. Tetapi banyak pihak menyepakati bahwa orientasi kemasyarakatan semakin mewarnai kebijakan kehutanan sejak reformasi politik tahun 1998 dan diterbitnya Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, karena sejak saat itu berbagai skema pengelolaan hutan berbasis 80
18
Embed
ANALISIS SUBSTANSI DAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN … filepersoalan kemiskinan masyarakat desa hutan dan kerusakan sumberdaya hutan (Anonim, 2008a). Berkaitan dengan Hutan Desa, meskipun
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
ANALISIS SUBSTANSI DAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
PENGELOLAAN HUTAN DESA DI KABUPATEN
KUTAI BARAT DAN KUTAI TIMUR
Suprianto1, Mustofa Agung Sardjono
2 dan Soeyitno Soedirman
3 1GIZ Forclime Samarinda.
2Laboratorium Politik, Ekonomi dan Sosial Kehutanan Fahutan
Unmul, Samarinda. 3 Dewan Kehutanan Daerah Kaltim, Samarinda
ABSTRACT. Analysis of Substance and Implementation of Village
Forest Management Policy in West Kutai and East Kutai Districts. Village Forest was seen as a very appropriate approach to overcome the problem
of Community Based Forest Management (CBFM) with some reasons such as :
1) The institution involves many people/communities/villages; 2) A clear social
entities unlike customary claims; 3) Can be compensated as customary claims.
Therefore the opportunities and challenges need to be identified in the
implementation of Village Forest and technical synthesis in order to accelerate
the implementation legality of Village Forest scheme as the alternative solutions
and strategies to solve the problems so that any expectations of the Village
Forest existence can be realized. Slow development of the Village Forest
implementation was indicated not only from the lack realization of establishment
but also from the absence of implementation regulation both from local regulation
and the regulation from the Head of Province/District Office, from the
observation in East Kalimantan in two districts, West Kutai and East Kutai
District. Although at West Kutai District and East Kutai District were found some
initiatives of Village Forest, yet it was more into program/project base activities
that was not or has not received policy support (such as master plan or strategic
plan) moreover the local regulation so to speak, the future development of Village
Forest in district level remains.
Kata kunci: hutan desa, isu strategis, Kutai Barat, Kutai Timur
Orientasi sosial atau kemasyarakatan kebijakan kehutanan khususnya di luar
pulau Jawa sudah dimulai sejak dekade tahun 1991 dengan dikeluarkannya
kebijakan tentang Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH). Pada awalnya
PMDH disebut sebagai Bina Desa Hutan berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.
691/1991 sebagai upaya untuk membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat
yang berada di dalam dan di sekitar hutan yang diperbaiki melalui SK Menteri
Kehutanan no. 69/1995 jo SK Menhut No. 523/1997 (Sardjono, 2004a).
Bahkan tahun 1995 diterbitkan kebijakan mengenai Hutan
Kemasyarakatan/HKm (SK Menhut No. 622 Tahun 1995) yang juga dimaksudkan
untuk pemberdayaan masyarakat sesuai dengan fungsi pokok hutannya (Hutan
Lindung dan Hutan Produksi yang tidak dibebani hak). Kebijakan HKm ini hingga
sekarang masih diberlakukan, bahkan terus mengalami pembaruan-pembaruan
dalam pelaksanaannya. Tetapi banyak pihak menyepakati bahwa orientasi
kemasyarakatan semakin mewarnai kebijakan kehutanan sejak reformasi politik
tahun 1998 dan diterbitnya Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan, karena sejak saat itu berbagai skema pengelolaan hutan berbasis
80
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 5 (1), APRIL 2012 81
masyarakat mulai dikembangkan atau diperkuat. Selain HKm, juga diterbitkan
tentang Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dan Hutan Desa (HD), sementara hutan adat
yang juga diamanahkan dalam Undang-undang Kehutanan No. 41 Tahun 1999
meskipun sudah diwacanakan sejak tahun 2003 tetapi hingga saat ini kebijakan
definitifnya belum ada (Sardjono, 2004b; 2011; Sardjono dan Inoue, 2007; Silalahi
dan Santosa, 2011).
Saat ini dinamika community forestry kembali bangkit menggeliat dengan
terbitnya Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 jo Peraturan Pemerintah No. 3
tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Serta
Pemanfaatan Hutan, salah satu skemanya adalah Hutan Desa yang kemudian secara
khusus tertuang dalam Permenhut P.49/Menhut-II/2008 jo P.14/Menhut-II/2010
tentang Hutan Desa yang diharapkan menjadi salah satu alternatif solusi terhadap
persoalan kemiskinan masyarakat desa hutan dan kerusakan sumberdaya hutan
(Anonim, 2008a). Berkaitan dengan Hutan Desa, meskipun kebijakan atau peraturan
baru dikeluarkan tahun 2008 dan kemudian direvisi tahun 2010. Tetapi banyak
inisiatif yang sudah dikembangkan di beberapa daerah, contohnya inisiatif yang
dikembangkan Yayasan Damar di Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta,
dengan latar belakang minimnya pendapatan asli warga desa. Hutan Desa juga
dikembangkan oleh Perum Perhutani, bersamaan dengan digulirkannya program
PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat), Perum Perhutani merumuskan
apa yang dinamakannya sebagai “wengkon”.
Hutan Desa dipandang sebagai pendekatan sangat jitu untuk mengatasi
persoalan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) dengan beberapa alasan
yaitu: 1) Bentuknya yang melibatkan banyak orang/komunitas/desa; 2) Entitas sosial
jelas dan tidak seperti klaim adat dan 3) Kemungkinan dapat digunakan sebagai
konpensasi klaim Hutan Adat. Oleh karenanya dalam konteks Kalimantan Timur
yang selama ini dikenal sebagai barometer kehutanan nasional perlu
mengidentifikasi peluang dan tantangan dalam implementasi Hutan Desa. Di
samping itu perlu dilakukan sintesis teknis dalam rangka mempercepat legalitas
implementasi skema Hutan Desa sehingga dapat memberikan alternatif solusi dan
strategi yang dapat tepat menjawab persoalan-persoalan yang ditemukan agar
harapan-harapan terhadap keberadaan Hutan Desa dapat terwujud. Dalam konteks
Hutan Desa di Kaltim, wilayah desanya masih banyak dipengaruhi adat/tradisi.
Terdapat banyak batas desa yang koordinatnya belum jelas dan dapat dikatakan
hampir seluruh kawasan hutan terbagi habis oleh IUPHHK-HA dan IUPHHK-HTI.
Di sisi lain juga ada ancaman dari ekspansi sektor pertambangan batu bara dan
perkebunan sawit, sehingga belum dirumuskan sintesis teknis dalam proses
percepatan perizinan berdasarkan potensi dan tanggapan masing-masing pemerintah
daerah (identifikasi komitmen percepatan dalam pemetaan lokasi, fasilitas
kelembagaan, fasilitas aturan dan proses perizinan dan pendampingan implementasi
kegiatan) (Wiyono dan Santoso, 2009).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis kesesuaian antara
substansi kebijakan Hutan Desa dan kondisi aktual lokal; mengidentifikasi aspek-
aspek internal dan eksternal masyarakat dalam rangka implementasi Hutan Desa dan
memformulasikan alternatif-alternatif strategi implementasi Hutan Desa.
82 Suprianto dkk. (2012). Analisis Substansi dan Implementasi Kebijakan
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Kutai Barat dan Kabupaten Kutai Timur
Provinsi Kalimantan Timur. Penelitian memakan waktu selama 6 bulan dari bulan
April sampai dengan September 2011. Untuk kajian kebijakan dititikberatkan
kepada pengambilan data di salah satu desa pada masing-masing kabupaten tersebut.
Sebagai lokasi penelitian di Kabupaten Kutai Barat dipilih Kampung Temula,
Kecamatan Nyuatan, sementara di Kabupaten Kutai Timur dipilih Desa Mekar Baru,
Kecamatan Busang, di mana masing-masing desa/kampung tersebut memiliki
karakteristik masing-masing. Metode penelitian bersifat eksploratif dengan
mengkombinasikan metode telaah dokumentasi dari berbagai sumber data sekunder
dan metode langsung yaitu pengumpulan data primer di lapangan dengan teknik
wawancara diskusi kelompok terfokus (FGD) dan observasi lapangan.
Untuk tujuan penelitian pertama dilakukan dengan kombinasi ’Analisis Isi’
(Content Analysis) terhadap substansi peraturan perundangan terkait Hutan Desa
dan ‘Analisis Kesenjangan’ (Gap Analysis) dengan identifikasi antara kondisi
Sebagaimana dikemukakan terdahulu, Hutan Desa dapat diberikan pada Hutan
Lindung dan Hutan Produksi, utamanya pada areal yang belum dibebani hak
pengelolaan atau izin pemanfaatan. Hutan Desa diberikan pada wilayah administrasi
desa yang bersangkutan, dengan hak pengelolaan diberikan kepada lembaga desa
selama 35 tahun dan dapat diperpanjang berdasarkan evaluasi yang dilakukan paling
lama setiap 5 tahun sekali. Pemanfaatan Hutan Desa pada Hutan Lindung dan Hutan
Produksi tergambar dalam Tabel 1.
Tabel 1. Identifikasi Pemanfaatan Hutan Desa
Pada kawasan Hutan Lindung Pada kawasan Hutan Produksi
1. Pemanfaatan kawasan melalui kegiatan usaha:
a. budidaya tanaman obat
b. budidaya tanaman hias
c. budidaya jamur
d. budidaya lebah
e. penangkaran satwa liar atau
f. budidaya hijauan pakan ternak
1. Pemanfaatan kawasan melalui kegiatan usaha:
a. budidaya tanaman obat
b. budidaya tanaman hias
c. budidaya jamur
d. budidaya lebah
e. penangkaran satwa
f. budidaya sarang burung wallet; atau
g. budidaya ternak
2. Pemanfaatan jasa lingkungan melalui kegiatan
usaha:
a. pemanfaatan jasa aliran air
b. pemanfaatan air
c. wisata alam
d. perlindungan keanekaragaman hayati
e. penyelamatan dan perlindungan lingkungan atau
f. penyerapan dan/atau penyimpanan karbon
2. Pemanfaatan jasa lingkungan melalui kegiatan
usaha:
a. pemanfaatan jasa aliran air
b. pemanfaatan air
c. wisata alam
d. perlindungan keanekaragaman hayati
e. penyelamatan dan perlindungan lingkungan atau
f. penyerapan dan/atau penyimpanan karbon
84 Suprianto dkk. (2012). Analisis Substansi dan Implementasi Kebijakan
Tabel 1 (lanjutan)
Pada kawasan Hutan Lindung Pada kawasan Hutan Produksi
3. Pemungutan hasil hutan bukan kayu melalui
kegiatan usaha pemanfaatan rotan, madu, getah,
buah, gaharu, bambu, jamur, atau sarang wallet
3. Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu berupa
pemanfaatan rotan, sagu, nipah, bambu, getah,
kulit kayu, daun, buah atau biji, gaharu
Sumber: P.49/2010
Sebagai contoh pengelolaan Hutan Desa di Desa Lubuk Beringin
dimanfaatkan untuk perlindungan sumber air. Air di desa tersebut antara lain
berfungsi utamanya untuk pengairan persawahan, sumber tenaga listrik
(penerangan), sumber protein (ikan); lain halnya pengelolaan Hutan Desa di Desa
Campaga, Labbo, Pattanateang Kabupaten Bantaeng adalah perlindungan sumber air
dan pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu/HHBK (tanaman obat, tanaman hias,
jamur dan lebah madu) (Anonim, 2011a). Ketentuan lain pemanfaatan Hutan Desa
sesui Anonim (2008b) adalah sebagai berikut:
a. Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu hanya dapat dilakukan pada Hutan Produksi
setelah mendapat Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dan dalam
pemanfaatannya mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang pemanfaatan hasil hutan pada hutan alam maupun hutan
tanaman (Pasal 31).
b. Pemungutan Hasil Hutan Kayu pada hutan produksi untuk kebutuhan subsisten
(masyarakat) dan tidak untuk dijual-belikan dibatasi paling banyak 50 m3 per
lembaga desa per tahun (Pasal 32).
c. Pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan produksi kebutuhan subsisten
(masyarakat) dan tidak untuk dijual-belikan dibatasi paling banyak 20 ton untuk
setiap lembaga desa per tahun. Pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan
produksi dapat berupa pemungutan rotan, madu, getah, buah atau biji, daun,
gaharu, kulit kayu, tanaman obat dan umbi-umbian (Pasal 33).
Mengacu pada Tabel 2 berikut ini, bila dipersentasekan dari tahapan
implementasi Hutan Desa maka dapat dikemukan ketidak-seimbangan akselerasi
antara verifikasi, proses penetapan, penetapan dan pengeluaran izin/hak kelola
Hutan Desa. Namun demikian kondisi tersebut tidak dapat digunakan untuk
menggeneralisasi semua proses yang ada atau hanya di beberapa desa dari beberapa
provinsi di Indonesia saja.
Tabel 2. Analisis Gap Capaian Hutan Desa di Indonesia
Target
(hingga 2014)
500.000 ha
Masuk verifikasi
(hingga 2011)
177.310,17 ha
Terverifikasi
(hingga 2011)
148.888 ha
Ditetapkan (hingga
2011) 28.422,00 ha
Penetapan HPHD
(hingga 2011)
10.310 ha
500.000 ha 35% 30% 6% 2%
- 177.310, 17 ha 84% 16% 5%
- - 148.888 ha 19% 6,9%
- - - 28.422,00 ha 36%
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 5 (1), APRIL 2012 85
Hasil analisis menunjukkan, bahwa sebagian besar luas yang diusulkan hingga penetapan mengalami penyusutan luas yang signifikan hingga penetapannya, bila menilik target luas hingga penetapan areal kerja hanya 2% saja, hal ini jauh dari harapan yang sudah ditargetkan. Hal tersebut dapat diartikan pula bahwa areal clear and clean sebagai syarat utama dalam implementasi Hutan Desa ternyata sulit diperoleh. Berdasarkan hasil penelitian, konflik lahan dan sumberdaya memang sangat kompleks, ada di kawasan hutan, khususnya di luar Jawa (Wulan dkk., 2004).
B. Kebijakan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur Terkait Hutan Desa
Istilah Hutan Desa cukup baru dalam dunia kehutanan terlebih dalam implementasinya. Secara teknis, di Kalimantan Timur pun demikian. Hingga akhir 2010 sejak dua tahun P.49 tahun 2008 lahir, tidak satu pun ada areal Hutan Desa yang telah ditetapkan. Namun demikian, ada contoh Hutan Desa yang sudah mendapat areal kerja misalnya di Bali dan Jambi. Di Provinsi Bali, Hutan Desa berhasil karena memiliki aspek yang memperkuat dan mempercepat implementasi di antaranya aspek agama dan adat/budaya yang kuat. Sementara itu di Jambi proses pendampingan yang sudah dilakukan sejak lama yang dimulai tahun 1999 serta kepemimpinan dan tokoh sentral yang kuat di masyarakat yang mampu mengorganisir dan menggerakkan masyarakat merupakan modal keberhasilan yang penting (Mansoer, 2011).
Provinsi Kalimantan Timur dengan luas mencapai 198.441,17 km2 terdiri dari
14 kabupaten/kota dengan daratan seluas 19.695.875 ha dan laut 4 – 12 mil (2.102.721 ha). Berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 79/Kpts-II/2001 tanggal 15 Maret 2001 luas hutan Kaltim 14.651.553 ha yang terbagi atas Kawasan Konservasi seluas 2.165.198 ha (Hutan Cagar Alam 173.272 ha, Hutan Taman Nasional 1.930.076 ha, Hutan Wisata Alam 61.850 ha), Hutan Lindung seluas 2.751.702 ha dan Hutan Produksi Terbatas seluas 4.612.965 ha dan Hutan Produksi Tetap seluas 5.121.688 ha.
Pada Tabel 3 terlihat sebaran desa-desa potensial dan potensi Hutan Desa berdasarkan luas Indikatif Areal Kerja Hutan Desa di Provinsi Kalimantan Timur ada 112.650 ha yang mengambarkan sebaran luas di beberapa kabupaten/kota di Kalimantan Timur, namun belum teridentikasi di mana lokasinya berada dan kondisi real di lapangan, sehingga luas tersebut masih perlu diverifikasi pada tingkat lapangan.
Tabel 3. Target Hutan Desa di Kalimantan Timur (Anonim, 2011c)