i ANALISIS STRUKTURAL DAN GAYA BAHASA DALAM CERITA RAKYAR BEBANTEN KATRESNAN KARYA SRI ADI HARJONO SKRIPSI Disusun sebagai salah satu syarat Untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Oleh Afriyanto NIM 112160565 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA JAWA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOREJO 2015
157
Embed
ANALISIS STRUKTURAL DAN GAYA BAHASA DALAM CERITA …
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
i
ANALISIS STRUKTURAL DAN GAYA BAHASA DALAM CERITA RAKYAR BEBANTEN KATRESNAN
KARYA SRI ADI HARJONO
SKRIPSI
Disusun sebagai salah satu syarat Untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan
Oleh
Afriyanto
NIM 112160565
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA JAWA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOREJO
2015
v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
ن إ ع م ر س ع اال ر یسArtinya: “sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”(QS. AL
Insyirah: 6).
PERSEMBAHAN Skripsi ini saya persembahkan untuk:
1. Kedua orang tuaku (Bapak Hadi Sutarto dan Ibu
Toifah) yang selalu memberikan kasih sayang,
perhatian, dukungan dan doa.
2. Kedua saudaraku tersayang (Fredi Ardiansyah dan
Fefi Isangatun Hasanah) yang selalu menghiasi
setiap hari-hariku.
3. Semua teman-temanku di kelas A Pendidikan
Bahasa dan Sastra Jawa yang selalu memberikan
dukungan dan membuatku mengerti arti sebuah
persahabatan.
vi
PRAKATA
Alhamdulilah, puji syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah
Swt, yang telah melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Analisis Struktural Dan
Gaya Bahasa Dalam Cerita Rakyar Bebanten Katresnan Karya Sri Adi Harjono”.
Skripsi ini disusun untuk melengkapi salah satu syarat untuk mencapai gelar
Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa pada Universitas Muhammadiyah
Purworejo.
Penulis menyadari bahwa selesainya penulisan skripsi ini tidak lepas
dari bantuan berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan
terima kasih dengan tulus ikhlas kepada:
1. Drs. H. Supriyono, M.Pd. Selaku Rektor Universitas Muhammadiyah
Purworejo.
2. Drs. H. Hartono, M.M. selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Muhammadiyah Purworejo yang telah
memberikan ijin penelitian.
3. Yuli Widiyono, M. Pd. selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa dan
Sastra Jawa yang telah memberikan perhatian dan dorongan sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini.
4. Rochimansyah, M.Pd. selaku pembimbing I yang telah membimbing,
mengarahkan, memotivasi dengan penuh kesabaran dan tidak mengenal lelah,
serta mengoreksi skripsi ini dengan penuh ketelitian sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
5. Aris Ariyanto, M.Hum. selaku pembimbing II yang telah membimbing,
mengarahkan, memotivasi dengan penuh kesabaran dan tidak mengenal lelah,
serta mengoreksi skripsi ini dengan penuh ketelitian sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
vii
6. Teman-temanku program studi pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa yang
terus memberikan motivasi.
7. Semua pihak yang telah memberikan motivasi dan semangat kepada penulis
dalam menyelesaikan studi di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Jawa yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Semoga amal baik yang telah diberikan kepada penulis mendapat
balasan setimpal dari Allah Swt. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi penulis dan bagi pihak yang membutuhkannya.
Purworejo, Agustus 2015
Penulis
Afriyanto
viii
ABSTRAK
Afriyanto. 112160565. “Analisis Struktural dan Gaya Bahasa dal Cerita Rakyat Bebanten Katresnan karya Sri Adi Harjono”. Skripsi. Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa. FKIP, Universitas Muhammadiyah Purworejo. 2015.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur dan gaya bahasa dalam cerita rakyat Bebanten Katresnan karya Sri Adi Harjono.
Jenis Panelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Subyek penelitian ini adalah cerita rakyat Bebanten Katresnan karya Sri Adi Harjono dan objek penlitian ini adalah struktur dan gaya bahasa. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah teknik simak, catat, dan pustaka. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku-buku acuan tekhnik penelitian dan teori sastra. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis konten atau isi.
Hasil penelitian dan pembahasan data menunjukkan cerita rakyat Bebanten Katresnan karya Sri Adi Harjono menggunakan tema percintaan, memakai alur maju dan sudut pandang orang ketiga serba tahu. Gaya bahasa yang terdapat dalam cerita cerita rakyat Bebanten Katresnan karya Sri Adi Harjono ini adalah 1) Gaya bahasa simile dalam Bebanten Katresnan berjumlah 25, 2) Gaya bahasa metafora dalam rakyat Bebanten Katresnan berjumlah 9, 3) Gaya bahasa personifikasi dalam cerita rakyat Bebanten Katresnan berjumlah 6, 4) Terdapat 1 gaya bahasa sinekdoke dalam cerita rakyat Bebanten Katresnan , 5) Terdapat 4 gaya bahasa metonimia dalam cerita rakyat Bebanten Katresnan, 6) terdapat 2 gaya bahasa sinestasia dalam cerita rakyat Bebanten Katresnan, 7) terdapat 5 gaya bahasa alegori dalam cerita rakyat Bebanten Katresnan, 8) terdapat 6 gaya bahasa hiperbola dalam cerita rakyat Bebanten Katresnan, dan 9) Terdapat 3 gaya bahasa litotes dalam cerita rakyat Bebanten Katresnan. Simpulan dari panelitian ini adalah cerita Rakyat Bebanten Katresnan karya Sri Adi Harjono bertemakan percintaan dan memiliki banyak gaya bahasa.
Kata kunci: Struktur, Gaya Bahasa, Cerita Rakyat Bebanten Katresnan
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN DEPAN .............................................................................. i PENGESAHAN ...................................................................................... ii PERSETUJUAN ..................................................................................... iii PERNYATAAN ..................................................................................... iv MOTTO DAN PERSEMBAHAN ........................................................... v PRAKATA ............................................................................................. vi ABSTRAK .............................................................................................. viii DAFTAR ISI .......................................................................................... ix DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... xi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1 B. Identifikasi Masalah .......................................................................... 3 C. Batasan Masalah................................................................................ 4 D. Rumusan Masalah ............................................................................. 4 E. Tujuan Penelitian .............................................................................. 5 F. Manfaat Penelitian............................................................................. 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORI A. Tinjauan Pustaka ............................................................................... 7 B. Kajian Teori ...................................................................................... 8
1. Pengertian Cerita Rakyat ............................................................. 8 2. Analisis Struktural ....................................................................... 9 3. Pengertian Gaya Bahasa .............................................................. 13 4. Jenis-Jenis Gaya Bahasa .............................................................. 14
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian .................................................................................. 22 B. Subjek dan Objek Penelitian .............................................................. 23 C. Teknik Pengumpulan Data ................................................................ 23 D. Instrumen Penelitian .......................................................................... 25 E. Teknik Analisis Data ......................................................................... 26 F. Teknik Penyajian Hasil Analisis ........................................................ 27 BAB IV PENYAJIAN DAN PEMBAHASAN DATA A. Penyajian Data .................................................................................. 28
1. Struktural Cerita Rakyat .............................................................. 30 2. Gaya Bahasa ................................................................................ 39
B. Pembahasan Data .............................................................................. 52 1. Analisis Struktural ....................................................................... 52 2. Analisi Gaya Bahasa .................................................................... 70
BAB V PENUTUP A. Simpulan ........................................................................................... 111 B. Saran ................................................................................................. 113 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 114 LAMPIRAN
x
DAFTAR LAMPIRAN
Sinopsis……………………………………………………………………117 Cerita Rakyat………………………………………………………………120 Kartu Bimbingan Skripsi…………………………………………………..140 Surat Keputusan Pembimbing……………………………………………..143 Surat Keputusan Penguji…………………………………………………..144
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Indonesia memiliki berbagai jenis karya sastra, di Jawa saja sudah
sangat kaya akan peninggalan sastra seperti cerita pewayangan, tembang
macapat, geguritan, cerita rakyat dan sebagainya. Cerita asal-usul atau
dongeng merupakan cerita rakyat tertua. Cerita asal-usul ini dapat berupa
mengulang isi kalimat yang maksud dan tujuan kalimatnya
serupa. Misalnya, baik golongan yang tinggi ataupun
golongan yang rendah mereka harus diadili kalau bersalah.
Dari pendapat diatas dapt disimpukan bahwa sarana
retorika paralelisme digunakan untuk memberi kesan
dengan pengulangan-pengulangan kata atau klausa yang
serupa dengan tujuan untuk menegaskan sesuatu.
Menurut Waridah (2014: 330) tautology adalah
sarana reorika berupa pengulangan kata dengan
menggunakan sinonimnya. Menurut Pradopo (2012 :95)
tautology adalah sarana retorika yang menyatakan hal atau
20
keadaan dua kali. Misalnya, ia jadi marah dan murka kepad
orang yang menyerempet motor kesayangannya. dari dua
pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa sarana retorika
tautologi adalah pngungkapan secara berlebihan, dengan
mengulang kata yang maknanya sama.
c. Gaya Bahasa Sindiran
Menurut Waridah (2014: 336) ironi adalah gaya
bahasa untuk menyatakan suatu maksud menggunakan
kata-kata yang berlainan atau bertolak belakang dengan
maksud tersebut. Sedangkan menurut Gunawan (2014:
158) ironi adalah majas yang maknanya bertentangan
dengan maksud untuk menyindir atau memperolok-olok.
Misalnya, rapi sekali kamarmu sampai-sampai tidak
satupun sudut ruangan yang tidak ditutupi sampah kertas.
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan ironi adalah gaya
bahasa berupa sindiran secara halus dengan pengungkapan
yang bertolak belakang dengan hal sebenarnya.
Gaya bahasa selanjutnya adalah sinisme, Menurut
Waridah (2014: 336) sinisme adalah sindiran yang
berbentuk kesangsian cerita mengandung ejekan terhadap
keihklasan dan ketulusan hati. Menurut Gunawan
(2014:159) sinisme adalah majas yang menyatakan
21
sindiran secara langsung. Misalnya, sudah, hentikan bujuk
rayumu karena hanya akan membuatku semakin sakit.
22
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Bentuk penelitian yang digunakan dalam penelitian tentang struktural
dan gaya bahasa dalam cerita rakyat Bebanten Katresnan karya Sri Adi
Harjono menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif, dimana
penelitian ini cenderung pada pemaparan yang naturalistik. Seperti yang
diungkapkan oleh Williams (dalam Moleong 2013: 5) mengatakan bahwa
penelitian kualitatif merupakan pengumpulan data pada suatu latar alamiah,
dengan menggunakan metode alamiah, dan dilakukan oleh peneliti yang
tertarik secara alamiah.
Penelitian ini mengungkap tentang analisis struktural dan gaya bahasa
dalam cerita rakyat Bebanten Katresnan karya Sri Adi Harjono. Data yang
diteliti berupa struktural (tema, plot, tokoh dan penokohan, setting, dan sudut
pandang) dan gaya bahasa yang berwujud kata sampai dengan kalimat.
Kemudian kata dan kalimat itu disajikan berdasarkan objek penelitian pada
saat sekarang dan berdasarkan fakta-fakta yang ada dalam cerita rakyat
Bebanten Katresnan karya Sri Adi Harjono. Hasil analisis tersebut berbentuk
kata-kata bukan angka, sehingga penelitian ini dapat digolongkan dalam
penelitian deskriptif kualitatif.
23
B. Subjek dan Objek Penelitian
1. Subjek penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah cerita rakyat Bebanten Katresnan karya
Sri Adi Harjono yang diterbitkan oleh Penjebar Semangat tahun 2013.
2. Objek penelitian
Objek penelitian ini adalah analisis struktural dan gaya bahasa dalam
cerita rakyat Bebanten Katresnan karya Sri Adi Harjono.
C. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan cara yang digunakan untuk
memperoleh data-data yang akurat. Pengumpulan data pada penelitian ini
yaitu :
1. Teknik simak adalah membaca/mempelajari data, menandai kata-kata
kunci dan gagasan yang ada di dalam data (Moleong,2007: 248)
Penggunaan teknik simak dalam pengumpulan data penelitian ini yakni
peneliti mengamati semua sruktur dan gaya bahasa yang ada pada cerita
rakyat Bebanten Katresnan karya Sri Adi Harjono.
2. Teknik Pustaka adalah pengumpulan data berdasarkan pengamatan
terarah dan seksama terhadap pemakaian bahasa dari sumber-sumber
tertulis (Subroto, 1991: 4). Pengumpulan data dilakukan dengan cermat
dan teliti sesuai dengan toeri dari sumber-sumber tentang struktural dan
gaya bahasa.
24
3. Teknik catat adalah pencatatan yang dapat dilakukan langsung dan
dengan menggunakan alat tulis tertentu (Sudaryanto, 1993: 135). Teknik
catat dilakukan ketika peneliti sudah menemukan pokok-pokok
penelitian, yaitu struktural dan gaya bahasa yang terdapat pada cerita
rakyat Bebanten Katresnan karya Sri Adi Harjono.
Langkah-langkah pengumpulan data yang peneliti lakukan adalah
sebagai berikut :
1. Menentukan subjek dan objek penelitian.
Subjeknya yaitu berupa cerita rakyat Bebanten Katresnan karya Sri
Adi Harjono, dan objeknya berupa struktural dan gaya bahasa pada
cerita rakyat Bebanten Katresnan karya Sri Adi Harjono.
2. Membaca dan mempelajari secara kritis cerita rakyat Bebanten
Katresnan.
3. Mencatat data tentang struktural dan gaya bahasa pada cerita rakyat
Bebanten Katresnan karya Sri Adi Harjono.
4. Mengklasifikasikan data-data tersebut ke dalam kelompoknya
masing-masing.
5. Merumuskan simpulan hasil data yang telah dicatat.
25
D. Instumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah suatu alat yang digunakan ntuk
mengumpulkan data atau informasi yang diinginkan. Menurut Arikunto
(2010: 203) instrumen adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti
dalam mengumpulkan data pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih baik,
dalam arti lebih cermat, lengkap dan sistematis sehingga lebih mudah diolah.
Menurut Nasution (dalam Sugiyono 2010: 306-307) mengatakan bahwa
“dalam penelitian kualitatif, tidak ada pilihan lain daripada menjadikan
manusia sebagai instrumen penelitian utama. Alasanya ialah bahwa, segala
sesuatu belum mempunyai bentuk yang pasti. Masalah, fokus penelitian,
prosedur penelitian, hipotesis yang digunakan, bahkan hasil yang diharapkan,
itu semuanya tidak dapat ditentukan secara pasti dan jeles sebulumnya. Dalam
keadaan yang tidak pasti dan tidak jelas maka tidak ada pilihan lain hanya
menjadikan peneliti sebagai instrumen utama. Selain itu, instrumen dalam
penelitian ini dibantu dengan buku-buku yang berhubungan dengan stilistika,
buku-buku penunjang yang berhubungan dengan penelitian, dan nota pencatat
data. Nota pencatat data berfungsi untuk mencatat data-data atau kutipan
kalimat yang terdapat di dalam cerita rakyat Bebanten Katresnan karya Sri
Adi Harjono yang termasuk dalam struktural dan gaya bahasa.
26
Adapun contoh kartu data untuk analisis structural dan gaya bahasa jika
digambarkan sebagai berikut.
NO Struktural Data
Tabel I. Struktural
NO Gaya Bahasa Data
Table II. Kartu Gaya Bahasa
E. Teknik Analisis Data
Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan data yang
bersifat kualitatif. Menurut Sugiyono (2010 : 335) analisis data kualitatif
adalah suatu analisis berdasarkan data yang diperoleh, selanjutnya
dikembangkan pola hubungan tertentu atau menjadi hipotesis yeng
dirumuskan berdasarkan data tersebut, selanjutnya dicarikan data lagi secara
berulang-ulang selanjutnya dapat disimpulkan apakah hipotesis tersebut
diterima atau ditolak berdasarkan data yang terkumpul. Dalam penelitian
kualitatif digunakan metode analisis isi, artinya penulis membahas dan
mengkaji isi cerita rakyat Bebanten Katresnan karya Sri Adi Harjono. Data
yang telah terkumpul dikaji dan di analisis berdasarkan landasan teori yang
27
konkret. Adapun langkah-langkah dalam penelitian ini dilakukan dengan cara
sebagai berikut.
1. Mengklasifikasikan atau mengkelompokan struktural dan gaya bahasa
dalam cerita rakyat Bebanten Katresnan karya Sri Adi Harjono.
2. Mendeskripsikan struktural dan gaya bahasa dalam cerita rakyat Bebanten
Katresnan karya Sri Adi Harjono.
3. Menganalisis data berdasarkan teori struktural gaya bahasa dalam cerita
rakyat Bebanten Katresnan karya Sri Adi Harjono.
4. Menyimpulkan hasil penelitian.
F. Taknik Penyajian Hasil Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelitian perlu disajikan dalam bentuk
penyajian hasil penelitian. Untuk menyajikan hasil analisis data penelitian ini,
penulis menggunakan teknik informal. Teknik informal adalah perumusan
dengan kata-kata biasa tanpa lambang-lambang (Sudaryanto,1993:145). Hal
ini berhubungan dengan sifat dan karakter penelitian kualitatif yang datanya
berupa kalimat (kata-kata) yang terdapat dalam cerita rakyat Bebanten
katresnan karya Sri Adi Harjono.
28
BAB IV PENYAJIAN DAN PEMBAHASAN DATA
A. Penyajian Data Sebelum membahas data, hal pertama yang harus dilakukan adalah
menyajikan data. Data yang dihasilkan berdasarkan pengamatan atau penelitian
yang penulis lakukan. Data-data yang terdapat dalam penyajian data
merupakan gambaran-gambaran tentang masalah-masalah yang akan penulis
bahas. kutipan diterjemahkan secara bebas yang disesuaikan dengan kaidah
penulisan.
1. Struktural Cerita Rakyat Bebanten Katresnan Karya Sri Adi Harjono No
Struktural Data
A Tema percintaan
1) “ Satemane wis suwe Rara Windarti mambu ati marang nom-noman sing dedeg piadeg respati, jatmika nuraga. Nanging bobot, bebet lan bibite njomplang.” ‘Selama ini Rara Windari menyukai pemuda yang berbadan tegap dan berparas tampan. Tetapi bobot, bebet dan bibitnya njomplang.
2) “uripe Rara Windrati disiang dhening kabegjan lan kabagyan. Dheweke rumangsa wis kelangan ajining diri. Ing ngatase putri, putra adipati tur rupa ora nguciwani kathik dadi wong tampikan. Mrana-mrane ditolak atasan ktresnane. tangis diendhem. Sesek. Rasane nganti kaya mbenthot nyawane.”
‘kehidupan Rara Windrati tidak dinaungi keberuntungan dan kebahagiaan. Dirinya merasa sudah kehilangan harga diri. Padahal dirinya seorang putri, putranya Adipati dan penampilannyapun tidak mengecewakan,
29
sampai jadi orang buangan. Sana-sini ditolak oleh cinta. Tangis ditahan. Sesak. Rasanya sampai seperti menarik nyawanya.
4) “Ing impenku dhik mben, mbok!” wangsulane
Yekti karo ndingkluk. Sabanjure, “Pokoke, aku kudu kelakon dadi garwane Den Abru.”
‘Di dalam mimpiku dulu, mbok!” jawaban Yekti
sambil menunduk. Selanjutnya, “Pokoknya, saya harus menjadi istri Raden Abru.’
5)“awit atine Yekti wis kedarung kecengkrem rasa
kasengsem marang kebagusane Raden Abru.”
‘Sejak hatinya Yekti sudah terlanjur tercengkram rasa cinta kepada ketampanan Raden Abru.’
6)“ing njero omah, Nyi Demang kaya udan
kembang njroning atine. semono uga si Yekti, ora bisa di gambarake mungguh kepriye bagya mulyane. Pangarep-arepe numusi katekanan apa sing dadi sedyane. Praene binger. Sorot mripati sing bening lindri-lindri katon sumunar.”
‘Di dalam rumah, Nyi Demang seperti hujan
bunga didalam hatinya. Begitu juga dengan Yekti, tidak bisa digambarkan bagaimana bahagianya. Keinginannya terpenuhi. Mukanya berseri. Sorot mata yang bening kelihatan bersinar.’
B Alur Maju
1.pengantar 2. penampilan
maslah
“Rara Windrati, putra-putrine Adipati Tirtanata ing pati, metu saka dhalem kaputren. lakunne kaya macan luwe lengket-lengket njujug palungguhan ing ngisore wit nagasari cedhak beji.” ‘Rara Windrati, putri Adipati Tirtanata, keluar dari dalam kaputren. berjalan seperti macan lapar pelan-pelan menuju tempat duduk di bawah pohon nagasari di dekat kolam.’ a) “ Satemane wis suwe Rara Windarti mambu ati
marang nom-noman sing dedeg piadeg respati, jatmika nuraga. Nanging bobot, bebet lan bibite
30
3. Pucuk
ketegangan/klimaks
njomplang.” ‘Selama ini Rara Windari menyukai pemuda yang berbadan tegap dan berparas tampan. Tetapi bobot, bebet dan bibitnya njomplang.
b) “Panagrep-arepe, mbok iya-a rama-ibune paring kamardikan marang dheweke kanggo nentokake pilihaning atine. Mengko dheweke banjur matur yen wis duwe priya cong-congan yaiku Kiswaka.”
‘Keinginannya, seharusnya ayah-ibunya memberi kebebasan kepada dirinya untuk menentukan pilihan hatinya. Nanti dirinya akan bilang jika sidah memiliki laki-laki pilihannya yaitu kiswaka.
c) “Ing impenku dhik mben, mbok!” wangsulane
Yekti karo ndingkluk. Sabanjure, “Pokoke, aku kudu kelakon dadi garwane Den Abru.”
‘Di dalam mimpiku dulu, mbok!” jawaban Yekti sambil menunduk. Selanjutnya, “Pokoknya, saya harus menjadi istri Raden Abru.’
d) “awit atine Yekti wis kedarung kecengkrem
rasa kasengsem marang kebagusane Raden Abru.”
‘Sejak hatinya Yekti sudah terlanjur tercengkram rasa cinta kepada ketampanan Raden Abru.’
a) “Priyeee?!!!” Adipati Tirtanata Njingkat karo nggebrak meja. Muntap lir kinetap napsu amarahe. “Koe ora mbangun turut marang aku. kowe lewih nggungu ojok-ojokane Rejasa. Priye kok aku mbok aweh idi pangestu? Kok kebangeten temen anggonmu nyepele aku. Wow, dhasar bocah ora urus kowe!” ”Bagaimana?!!!” Adipati tirtanata kaget dan memukul meja. Meluap-luap nafsu kemarahannya. “Kamu tidak memperdulikan aku. Kamu lebih mendengarkan Rejasa.
31
4. penyelesaian
Bagaimana aku akan memberi restu? Kok keterlaluan sekali kamu menyepelekan aku. Wow, dasar tak tau diri kamu.
b) “ ayumu kuwi ora nggawa madu nanging bendhu. Ngrebut atine Raden Abru wae kalah ubet karo bocah ndesa sing bodho ora pakera!” ‘kecantikanmu itu tidak membawa madu tapi bencana. Merebut hatinya Raden Abru saja kalah sama anak desa yang bodoh dan tak tau apa-apa!’
c) Rara Windrati…!!!” panjerite Raden Ayu
Tirtanata terus nubruk layone Rara Windrati karo nangis gero-gero. Rasa tresna asih marang putri sakmata wayange bali ngebeki atine. Rara Windrati…!!! Jeritan Raden Ayu Tirtanata sambil memeluk Rara Windrati dengan menangis tersedu-sedu. Rasa cinta kasih kepada putri semata wayang memenuhi hatinya.
a) wiwit dina iki, kekuasaan kadipaten Pati tak
pasrahake marang putraku Raden Abru”
‘Mulai hari ini, kekuasaan kerajaan saya serahkan kepada putraku Raden Abru’
b) dhene Adipati Tirtanata sing sasuwene iki kaya
macan galak, dadakan malih kaya kuthuk.” ‘Adipati Tirtanata selama ini seperti macan galak, langsung berubah seperti anak ayam.’
C Tokoh
penokohan tokoh 1. Rara
Windrati
“banjur apa darurane? Rara Windrati kepeksa kudu nindhakake dhawuh saka rama-ibune sing cengkah lan suara ati.” ‘lalu apa masalahnya? Rara Windrawati terpaksa harus melakukan keinginan dari ayah-ibunya yang berbeda dengan suara hatinya.
32
3.Kiswaka 4.Yekti
5. Raden Abru
5.Adipati Tirtanata
“cilike keslomot gedhene bisa kobong. Dadi ketimbang luhur apa lebur dhek emben kae terus disuwak ngono wae. Sumungguha nampa Rara Windrati banjur kepie mengko tumanggape Raden Abru. Karo maneh nuruti kekarepane Rara Windrati padha wae karo dolanan geni.”
‘Kecil tersulut besar bisa terbakar. Jadi ketimbang luhur apa lebur lebih baik dilupakan saja. Seandainya menerima Rara Windrati bagaimana nanti tanggapan Raden Abru. Apalagi memenuhi keinginan Rara Windrawati, seperti bermain api.’ “Ing impenku dhik mben, mbok!” wangsulane Yekti karo ndingkluk. Sabanjure, “Pokoke, aku kudu kelakon dadi garwane Den Abru.” ‘Di dalam mimpiku dulu, mbok!” jawaban Yekti sambil menunduk. Selanjutnya, “Pokoknya, saya harus menjadi istri Raden Abru.’ “sampun, Ki Demang. Adhi Yekti! Mila wontena keparingipun, adhi Yekti kula suwun. Badhe kula boyong mlebet dhateng dalam kasatrian pati. Demang Grenceng lan Kiswaka pandeng-pandengan. Atine padha lunjak-lunjak kaya tabuh gambang.” ‘sudah, Ki Demang. Yekti! Kalau diperbolehkan, Yekti saya minta. Mau saya boyong masuk kedalam kerajaan. Demang Grenceng dan kiswaka saling berpandangan. Hatinya berdebar-debar seperti suara gamelan.’ 1) “dhene Adipati Tirtanata sing sasuwene iki kaya
macan galak, dadakan malih kaya kuthuk.”
‘Adipati Tirtanata selama ini seperti macan galak, langsung berubah seperti anak ayam.’
2) “ayumu kuwi ora nggawa madu nanging bendhu.
Ngrebut atine Raden Abru wae kalah ubet karo bocah ndesa sing bodho ora pakera!”
‘kecantikanmu itu tidak membawa madu tapi
33
6.Demang
Grencang penokohan
bencana. Merebut hatinya Raden Abru saja kalah sama anak desa yang bodoh dan tak tau apa-apa!’
“aku tak meres kringet muter nalar murih anakmu nemu urip mulya. Ora kasiksa ngono kui.” ‘saya akan memeras keringat memutar otak supaya anakmu menemukan hidup bahagia. Tidak tersiksa seperti itu.’
1) “ Satemane wis suwe Rara Windarti mambu ati marang nom-noman sing dedeg piadeg respati, jatmika nuraga. Nanging bobot, bebet lan bibite njomplang” ‘Selama ini Rara Windari menyukai pemuda yang berbadan tegap dan berparas tampan. Tetapi bobot, bebet dan bibitnya njomplang.
2) “karo maneh nuruti kekarepane Rara Windrati padha wae karo dolanan geni. Cilike keslomot gedhene bisa kobong. Dadi ketimbang luhur apa lebur dhek emben kae terus disuwak ngono wae. Sumungguha nampa Rara Windrati banjur kepie mengko tumanggape Raden Abru. ” ‘apalagi menuruti kemauan Rara Windrati seperti bermain api. Kecil tersulut besar bisa terbakar. Jadi daripada luhur apa lebur lebih baik dilupakan saja. Seandainya menerima Rara Windrati bagaimana nanti tanggapan Raden Abru.’
3) “awit atine Yekti wis kedarung kecengkrem rasa kasengsem marang kebagusane Raden Abru.”
‘Sejak hatinya Yekti sudah terlanjur tercengkram rasa cinta kepada ketampanan Raden Abru.’
4) “Sesuk anakmu dikandhani. Kon nggentur donga puja-puji bne sasedyane diijabahi kang gawe urip. Aku tak meres kringet muter nalar murih anaku nemu urip mulya. Ora kasiksa ngana kui!”
34
‘Printahlan anakmu untuk berdoa agar semua keinginannya dipenuhi oleh Yang Maha Kuasa. Saya akan memutar otak biar anakmu menemukan kebahagiaan hidup. Tidak tersiksa seperti ini!.
5) “ ayumu kuwi ora nggawa madu nanging bendhu. Ngrebut atine Raden Abru wae kalah ubet karo bocah ndesa sing bodho ora pakera!” ‘kecantikanmu itu tidak membawa madu tapi bencana. Merebut hatinya Raden Abru saja kalah sama anak desa yang bodoh dan tak tau apa-apa!’
6) “Wonten perlu kalian bapak..,badhe nakyinaken bab udeng menika. Demang Timbang ndengengek, nuli ngrangeh udheng lempitan saka tangane kiswaka”
‘Ada perlu dengan bapak..,mau menanyakan hal tutup muka ini. Demang Timbang kaget, lalu mengambil tutup muka dari tangan kiswaka”
7) “Nangisa Nduk…, ben lega atimu. Sunteken sesangga uripmu. Taktadhahana,” omonge Nyi Demang groyok. ‘menangislah nak…, biar lega hatimu. Tuangkan semua beban hidupmu.” Perkataan Nyi Demang.
8) “Rara Windrati...!!!” panjerite Raden Ayu Tirtanata terus nubruk layone Rara Windrati karo nangis gero-gero. Saka kui Raden Ayu Tirtanata kebat kaya kilat, nyaut patrem sing isih ginegem Rara Windrati kanggo sunduk salira.” ‘Rara Windari..!!!” jerit Raden Ayu Tirtanata langsng menangkap jatuhnya Rara Windrati sambil menangis. Dari itu Raden Ayu Tirtanata dengan cepat mengambil pisau yang dipegang Rara Windari untuk bunuh
35
diri.”
9) “Ayumu kuwi ora nggawa madu nanging bendhu. Ngrebut atine Raden Abru wae kalah ubet karo bocah ndesa sing bodho ora pakera!” ‘kecantikanmu itu tidak membawa madu tapi bencana. Merebut hatinya Raden Abru saja kalah sama anak desa yang bodoh dan tak tau apa-apa!’
10) “Priyeee?!!!” Adipati Tirtanata Njingkat karo nggebrak meja. Muntap lir kinetap napsu amarahe. “Koe ora mbangun turut marang aku. kowe lewih nggungu ojok-ojokane Rejasa. Priye kok aku mbok aweh idi pangestu? Kok kebangeten temen anggonmu nyepele aku. Wow, dhasar bocah ora urus kowe!”
‘”Bagaimana?!!!” Adipati tirtanata kaget dan memukul meja. Meluap-luap nafsu kemarahannya. “Kamu tidak memperdulikan aku. Kamu lebih mendengarkan Rejasa. Bagaimana aku akan memberi restu? Kok keterlaluan sekali kamu menyepelekan aku. Wow, dasar tak tau diri kamu.
D Latar 1.tempat
1) Rara Windrati, putra-putrine Adipati
Tirtanata ing pati, metu saka dhalem kaputren. Rara Windrati, putri Adipati Tirtanata, keluar dari dalam kaputren.’
2) “ing gardu pajangan ngarep banjar pomahan kademangan, wong-wong jaga mbengi katon ana kang keturon, lan ana sing pada gojeg.” ‘di gardu depan rumah kademangan, orang-orang sedang berjaga malam terlihat ada yang tertidur, dan ada yang bercanda.’
36
2.Waktu 3.Sosial
3) “ing njero omah, Nyi Demang kaya udan
kembang njroning atine.’ ‘didalam rumah, Nyi Demang seperti hujan bunga didalam hatinya.”
4) “sadawane dalan Raden Abru ora kumecap. Embuh bathine. Semono uga Kiswaka melu meneng.”
‘sepanjang jalan Raden Abru tidak berbicara. ntah batinnya. Begitu juga dengan Kiswaka.”
1) “Nresepi endhehing lintang rembulan sing
grenggani langit biru maya-maya. Kaya awakku kang tansah dioyak-oyak swara ati.”
‘meresapi indahnya bintang bulan yang ada di langit biru samar-samar. Seperti badanku yang selalu dikejar-kejar suara hati’
2) “wektu terus lumaku. Esuk, awan, sore,
bengi. Esuk, awan, sore, bengi…! Mubeng.
‘waktu terus berjalan. Pagi, siang, sore, malam. Pagi ,siang, sore, malam…!berputar
3) “upacara sing sipate tebus alam batin iku sineksen lintang-lintang pating krelip saka awiyat.” ‘upacara yang sifatnya menembus alam batin itu disaksikan bintang-bintang berkerlap-kerlip dari atas.’
1) “ing gardu pajangan ngarep banjar pomahan kademangan, wong-wong jaga mbengi katon ana kang keturon, lan ana sing pada gojeg. weruh Demang Grenceng metu seka omah banjur rep, meneng. Kaya orong-orong kepidak.”
‘di gardu depan rumah kademangan, orang-orang sedang berjaga malam terlihat ada yang tertidur, dan ada yang bercanda.
37
Melihat Demang Grenceng keluar dari rumah, mereka terdiam. Seperti orong-orong terinjak.’
2) “upacara sing sipate tebus alam batin iku
sineksen lintang-lintang pating krelip saka awiyat.”
‘upacara yang sifatnya menembus alam batin
itu disaksikan bintang-bintang berkerlap-kerlip dari atas.’
E Sudut
pandang Orang ketiga serba tahu
“sasuwene iki sikep lan tangkepe marang raden Abru kaya lumrahe sedulur nunggal welad ngana kae. Banjur kepriye olehe arep nglakoni yen dheweke kudu seomah karo kangmase dhewe? Huhhh! Kaya jagad iki mung segodhong kelor. Rara windrati pepes otot bayune, kaya ora kuwawa nduwa wewenange wong tuwa. ”
‘selama ini sikap dan tanggapnya kepada Raden Abru seperti saudara kandung. Lalu bagaimana menjalaninya jika dirinya harus serumah bersama kakak sendiri? Huhhh! Seperti dunia ini hanya selebar daun kelor. Rara Windrati lemas, seperti tak kuasa melawan keinginan orang tua.’
6. Gaya Bahasa pada Cerita Rakyat Bebanten Katresnan karya Sri Adi
Harjono
Berdasarkan penelitian terhadap gaya bahasa dalam cerita rakyat
Bebanten Katresnan karya Sri Adi Harjono, ditemukan sembilan gaya
bahasa yaitu, gaya bahasa simile, gaya bahasa metafora, gaya bahasa
personifikasi, gaya bahasa sinekdoke, gaya bahasa metonimia, gaya bahasa
sinestasia, gaya alegori, hiperbola dan litotes.
38
Table
Gaya Bahasa
No Gaya Bahasa Kutipan
1.
Simile a. “iwak badher padha slira sliri oyak-oyakan ing antarane trate gunung kang kembange nedheng mengkrok jambon sumringah. srengenge sagenter duwure esuk kuwi cahyane semamburat tumiba neng lumahing banyu beji keton kinclong-kinclong kaya kaca” ‘ikan saling berlarian diantara bunga teratai gunung yang tampak merah muda berseri. Pagi itu matahari segalah tingginya, cahayanya jatuh di permukaan air kolam sehingga terlihat berkilau seperti kaca.’
b. “Rara Windrati, putra-putrine Adipati
Tirtanata ing pati, metu saka dhalem kaputren. lakunne kaya macan luwe lengket-lengket njujug palungguhan ing ngisore wit nagasari cedhak beji.” ‘Rara Windrati, putri Adipati Tirtanata, keluar dari dalam kaputren. berjalan seperti macan lapar pelan-pelan menuju tempat duduk di bawah pohon nagasari di dekat kolam.’
c. “sik ta, kok kaya diuyak dhemit wae. Sareh
ya, kakang…, aku mesthi enggal marak sowan ing ngarsane kanjeng Rama. Ning umpama awake dhewek leren omong-omongan dhisik, rak bisa ta?! ” ‘sebentar, kok seperti dikejar hantu saja. Sabar ya, kakang…, aku pasti akan datang di tempat kanjeng Rama. Tapi kalau kita bicara sebenter, bisa kan?! ’
d. “Nresepi endhehing lintang rembulan sing
grenggani langit biru maya-maya. Kaya awakku kang tansah dioyak-oyak swara ati.”
39
‘meresapi indahnya bintang bulan yang ada di langit biru samar-samar. Seperti badanku yang selalu dikejar-kejar suara hati’
e. “sasuwene iki sikep lan tangkepe marang
Raden Abru kaya lumrahe sedulur nunggal welad ngana kae. Banjur kepriye olehe arep nglakoni yen dheweke kudu seomah karo kangmase dhewe? Huhhh! Kaya jagad iki mung segodhong kelor. Rara windrati pepes otot bayune, kaya ora kuwawa nduwa wewenange wong tuwa. ” ‘selama ini sikap dan tanggapnya kepada Raden Abru seperti saudara kandung. Lalu bagaimana menjalaninya jika dirinya harus serumah bersama kakak sendiri? Huhhh! Seperti dunia ini hanya selebar daun kelor. Rara Windrati lemas, seperti tak kuasa melawan keinginan orang tua.’
f. “kacarita wektu semana Demang Grenceng
lagi kuwur pikire. Si Yekti anak wadon ontang-anting wis pirang-pirang dina ora doyan mangan. Senenge yen ora ngurung diri neng senthong ya golek sing gon sepi. panyawange nglangut, layu. Ragane kaya wis koncatan jiwa.” ‘diceritakan pada waktu itu Demang Grenceng sedang bingung pikirannya. Si Yekti anak perempuan satu-satunya sudah beberapa hari tidak mau makan. Jika tidak mengurung diri di kamar ya mencari tempat sepi. Pandangannya lesu, lemas. Bandanya seperti kehilangan jiwa.’
g. “wangsulane Yekti kaya mangsa kesanga.
Gumludhug gumalegar gawe getar. Nyi Demang nganti njumbul saking kagete.” ‘jawaban Yekti seperti musim kesembilan. Menggelegar membuat getar. Nyi Demang sangat kaget.’
40
h. “ing gardu pajangan ngarep banjar pomahan kademangan, wong-wong jaga mbengi katon ana kang keturon, lan ana sing pada gojeg. weruh Demang Grenceng metu seka omah banjur rep, meneng. Kaya orong-orong kepidak.” ‘di gardu depan rumah kademangan, orang-orang sedang berjaga malam terlihat ada yang tertidur, dan ada yang bercanda. Melihat Demang Grenceng keluar dari rumah, mereka terdiam. Seperti orong-orong terinjak.’
i. “beladiri mono seni. Kagunan mula gerak-
gerike kudu luwes, endah. Nom-noman loro kuwi katon gumregut anggone pada gladhen. tandhang trajange kaya sikatan nyamber walang.” ‘beladiri itu seni. Jadi gerakannya harus bagus, indah. Kedua pemuda itu terlihat serius disaat latihan. Sepak terjangnya seperti burung sedang menyambar belalang’
j. “mung lintang Bima Sekti sing keton
ngregemeng. Kaya nyuwek–nyuwek cangkem naga Nemburnawa ning thelenge samodra Minangkalbu.” ‘hanya bintang bima sakti yang terlihat jelas. Seperti membelah mulut naga Nemburnawa di permukaan laut Minangkalbu.’
k. “nuwun sewu Raden, sinau sejarah menika
mupangati sanget. Sinau sejarah kehidupan kados tiyang nedha ulam. Balung erinipun kabucal lan dagingipun ingkang dipuntedha.” ‘Maaf Raden, belajar sejarah itu sangat bermanfaat. Belajar sejarah kehidupan seperti orang memakan ikan. Tulang-belulangnya dibuang dan dagingnya yang dimakan.’
l. “ing njero omah, Nyi Demang kaya udan
kembang njroning atine. semono uga si Yekti, ora bisa di gambarake mungguh kepriye bagya mulyane. Pangarep-arepe numusi
41
katekanan apa sing dadi sedyane. Praene binger. Sorot mripati sing bening lindri-lindri katon sumunar.” ‘didalam rumah, Nyi Demang seperti hujan bunga didalam hatinya. Begitu juga dengan Yekti, tidak bisa digambarkan bagaimana bahagianya. Keinginannya terpenuhi. Mukanya berseri. Sorot mata yang bening kelihatan bersinar.’
m. “sakdheg saknyet kumenyut atine Raden Abru
bareng mulat Kenya sulistya sing jibles kaya bocah ayu kang tetulung marang dheweke njroning impen. Raden Abru kedhep tesmak panyawange. Lan dadi gragapan nalika dijawil Kiswaka di ajak ngrambahi pasuguhane sing duwe omah. Kalawan abang ireng pasemone, Raden Abru nuli ngumbe rujak degan sacegokan. Rasane kaya ngumbe banyu kaswargan.” ‘Seketika berdebar hati Raden Abru ketika melihat wanita cantik yang persis seperti wanita yang menolongnya didalam mimpi. Raden Abru tak berkedip ketika melihatnya. Menjadi gugup ketika dicolek Kiswaka untuk diajak mencicipi suguhan dari tuan rumah. Menjadi merah hitam wajahnya, Raden Abru meminum seteguk rujak degan. rasanya seperti minum air surga.’
n. “nyuwun pangapunten…! Mangke gek kadhos
“sedhah” gegambaranipun. Seger dikinang, alum dibuang. Menawi taksih remen inggih di-Cah ayu,Cah Ayu…, ning menawi sampun bosen rak dipunsia, diundamana! ” ‘mohon maaf…! Nanti saya digambarkan seperti “daun sirih” gambarannya. Segar dihisap, sepah dibuang. Jikalau masih suka dipuji, Cah ayu…, tapi kalau sudah bosan disia-sia, dibuang!’
o. ”nmm! Kowe kui jian pinter golek akal,
Kakang!” panyaute Yekti lirih. Raine menter-
42
menter kaya tomat.” ”nmm! kamu itu pintar mencari akal, kakang!” jawaban Yekti pelan. Mukanya merah cerah seperti tomat.
p. “sampun, Ki Demang. Adhi Yekti! Mila
wontena keparingipun, adhi Yekti kula suwun. Badhe kula boyong mlebet dhateng dalam kasatrian pati. Demang Grenceng lan Kiswaka pandeng-pandengan. Atine padha lunjak-lunjak kaya tabuh gambang.”
‘sudah, Ki Demang. Yekti! Kalau diperbolehkan, Yekti saya minta. Mau saya boyong masuk kedalam kerajaan. Demang Grenceng dan kiswaka saling berpandangan. Hatinya berdebar-debar seperti suara gamelan.’
q. “sing ditinggal kerot-kerot wajane, abang
kaya godhong katirah netrane.” ‘yang ditinggal kesal marah wajahnya, merah seperti daun katirah.’
r. “nanging digelar-digulung nalare, dibolak-
balikake pikirane, Adipati Tirtanata rumangsa kaya dolanan ula mandhi.”
‘tetapi ketika dipikir-pikir lagi, Adipati Tirtanata merasa seperti bermain ular berbisa.’
s. “brrrtt!!! Lakune getihe Kiswaka kaya
munjuk. Raine kemramnyas, panas. Dhek mben dheweke pancen tau duwe pangarep-arep bisa cedhak lan Rara Windrati.”
‘brrrtt!!! Jalan darah Kiswaka seperti naik. Mukanya memanas, panas. Kalau dulu dirinya memang pernah punya keinginan bisa dekat dengan Rara Windrati.’
t. “karo maneh nuruti kekarepane Rara
Windrati padha wae karo dolanan geni. Cilike keslomot gedhene bisa kobong. Dadi
43
ketimbang luhur apa lebur dhek emben kae terus disuwak ngono wae. Sumungguha nampa Rara Windrati banjur kepie mengko tumanggape Raden Abru. ”
‘apalagi menuruti kemauan Rara Windrati seperti bermain api. Kecil tersulut besar bisa terbakar. Jadi daripada luhur apa lebur lebih baik dilupakan saja. Seandainya menerima Rara Windrati bagaimana nanti tanggapan Raden Abru.’
u. “uripe Rara Windrati disiang dhening
kabegjan lan kabagyan. Dheweke rumangsa wis kelangan ajining diri. Ing ngatase putri, putra adipati tur rupa ora nguciwani kathik dadi wong tampikan. Mrana-mrane ditolak atasan ktresnane. tangis diendhem. Sesek. Rasane nganti kaya mbenthot nyawane.”
‘kehidupan Rara Windrati tidak dinaungi keberuntungan dan kebahagiaan. Dirinya merasa sudah kehilangan harga diri. Padahal dirinya seorang putri, putranya Adipati dan penampilannyapun tidak mengecewakan, sampai jadi orang buangan. Sana-sini ditolak oleh cinta. Tangis ditahan. Sesak. Rasanya sampai seperti menarik nyawanya.’
v. “husy! Kowe kuwi ngomong apa? Kok
nggrambyang kaya wong kepanjingan demit “panggetake Adipati Tirtanata”.” ‘husy! Kamu itu bicara apa? Tidak jelas sepeti orang kerasukan setan “ jawab Adipati Tirtanata”.’
w. “saka kuwi Raden Ayu Tirtanata kebat kaya
kilat, nyaut patrem sing isih ginegem Raden Windrati kanggo sudup salirang.” ‘dari itu Raden Ayu Tirtanata cepat seperti kilat, mengambil patrem yang masih dipegang Raden Windrati untuk bunuh diri.’
44
x. “dhene Adipati Tirtanata sing sasuwene iki kaya macan galak, dadakan malih kaya kuthuk.” ‘Adipati Tirtanata selama ini seperti macan galak, langsung berubah seperti anak ayam.’
y. “banjur arep menyang endi uwong kuwi?
Swara rewet-rewat kewan bengi sabangsa kutu-kutu walanggatanga nganyut-anyut kaya panangise batine.” ‘lantas mau kemana orang itu? Suara hewan malam sejenis belalang mendayu-dayu seperti tangisan batinnya.’
2. Metafora a. “satemane wis suwe Rara Windrati mambu ati marang nom-noman dedeg piadeg respati , jatmiko nurogo.” ‘sebenarnya sudah lama Rara Windrati bau hati kepada anak muda berperawakan gagah tegap, berkelakuan baik itu.’
b. “aku tak meres kringet muter nalar murih
anakmu nemu urip mulya. Ora kasiksa ngono kui.” ‘saya akan memeras keringat memutar otak supaya anakmu menemukan hidup bahagia. Tidak tersiksa seperti itu.’
c. “hmh! Mblusukake lenge semut, kowe tetep tak ubres, gentho.” ‘hmm! Masuk lubang semutpun, kamu tetap saya kajar, penjahat.’
d. “sabacute, “nek si Adhi nganti kena blithuk njur tumindak dudu, wadhuh rak digeguyu tengu, Dhi?” Disraya sapa, kowe arep gawe cilaka nyidra yuswane Den Abru, hm?!!” ‘selanjutnya, “jika si Adik sampai tertipu lantas bertindak buruk, waduh bisa
45
ditertawakan kutu, adik? Dibantu siapa, kamu mau menyelakai nyawa Den Abru, hm?!!
e. “Keprie olehe ancang-ancang arep njangkahake sikil? Jer dalan sing arep ditempuh kebak watu sandungan. Gek watu sandungane metu saka njero atine dhewe.” ‘Bagaimana dapat ancang-ancang mau melangkahkan kaki? Kalau jalan yang mau ditempuh penuh dengan batu sandungan. Batu sandungan yang keluar dari dalam hati sendiri.’
f. “sadawane dalan Raden Abru ora kumecap.
Embuh bathine. Semono uga Kiswaka melu meneng. ora antop, ora segu. Mung ngematake suara tracak jaran sing mecah sepining wengi.” ‘sepanjang jalan Raden Abru tidak berbicara. Tak bersendawa, tak cegukan. Hanya mendengarkan suara kaki kuda yang memecahkan sepinya malam.’
g. “ora ana mandege! Dina-dina sing tumrap Rara Windrati dadi eri. Eri sing tansah ngrendhet-rendhet rasa pangarsane. Nglarani ati.” ‘tidak ada hentinya! Hari-hari bagi Rara Windrati menjadi duri. Duri yang masih menghambat rasa dan perasaanya. Menyakiti hati.”
h. “ ayumu kuwi ora nggawa madu nanging bendhu. Ngrebut atine Raden Abru wae kalah ubet karo bocah ndesa sing bodho ora pakera!” ‘kecantikanmu itu tidak membawa madu tapi bencana. Merebut hatinya Raden Abru saja kalah sama anak desa yang bodoh dan tak tau apa-apa!’
46
i. Rara Windrati…!!!” panjerite Raden Ayu Tirtanata terus nubruk layone Rara Windrati karo nangis gero-gero. Rasa tresna asih marang putri sakmata wayange bali ngebeki atine. Rara Windrati…!!! Jeritan Raden Ayu Tirtanata sambil memeluk Rara Windrati dengan menangis tersedu-sedu. Rasa cinta kasih kepada putri semata wayang memenuhi hatinya.
j. “weruh Rara Windrati adus getih, Raden Ayu Tirtanata rumangsa kaduwung.”
3. Personifikasi a. “Rara Windrati ngoyak pitakon bareng weruh Kiswaka dheleg-dheleg.” ‘Rara Windrati mengejar pertanyaan ketika melihat Kiswaka hanya diam.’
b. “wektu terus lumaku. Esuk, awan, sore, bengi.
Esuk, awan, sore, bengi…! Mubeng. ‘waktu terus berjalan. Pagi, siang, sore, malam. Pagi ,siang, sore, malam…!berputar
c. “banjur apa darurane? Rara Windrati kepeksa kudu nindhakake dhawuh saka rama-ibune sing cengkah lan suara ati.” ‘lalu apa masalahnya? Rara Windrawati terpaksa harus melakukan keinginan dari ayah-ibunya yang berbeda dengan suara hatinya.
d. “Ki Rejasa melu metu karo coba-coba nebak arah playuning pikirane Raden Abru.” ‘Ki Rejasa ikut keluar dan mencoba menebak arah larinya pikiran Raden Abru.’
e. “upacara sing sipate tebus alam batin iku sineksen lintang-lintang pating krelip saka
47
awiyat.” ‘upacara yang sifatnya menembus alam batin itu disaksikan bintang-bintang berkerlap-kerlip dari atas.’
f. “Wengi trus lumaku“ ‘malam terus berjalan’
4. Sinekdoke
(pars prototo) “wektu semono ana sapasang mripat sing nemoni lelakon nrenyuhake kuwi.” ‘saat itu ada sepasang mata yang melihat kejadian menyedihkan itu.’
5. Metonimia a. “nalika kuwi Yekti sing isih gendhulak-gendhulik arep ngladhekake rujak degan, ndang disurung-durung simboke.” ‘ketika itu Yekti yang masih ragu-ragu untuk menyajikan rujak degan, langsung didorong ibunya.’
b. “karo golek jenang Kudus kanggo oleh-oleh Ki Rejasa sesuk.” ‘sekalian mencari jenang Kudus untuk oleh-oleh Ki Rejasa besok.’
c. “Kiswaka katon dhokoh olehe mangan. Sruthap-sruthup kokoh sega menthik wangi lan jangan menir. Sambel trasi lan lawuhe ayam panggang.” ‘kiswaka terlihat lahap disaat makan. menyeruput kuah nasi menthik wangi dan sayur menir. Sambal trasi dan lauknya ayam panggang.’
d. “salebare mangan, Yekti sing wis salin panganggo jaritan bathik Lasem, bayak putih sulak kuning gambar kembang plenik-plenik, katon melu epyoh nglengseri cething, piring, mangkok. Layah lan liya-liyane.”
48
‘Setelah makan, Yekti yang sudah ganti pakaian memakai kain batik Lasem, kebaya putih campur kuning gambar bunga kecil-kecil. Ikut membereskan tempat nasi, piring, mangkok, coblek dan lainnya.
6. Sinestasia a. “Rara Windrati mesem manis katon samburat
abang pesemone” ‘Rara Windrati tersenyum manis dan terlihat memerah pipinya.’
b. “merga Ki Rejasa dianggep wis dhaweg olehe ngrasakake pait getir utawa pedhes-asine lelakon.” ‘karena Ki Rejasa sudah dianggap kenyang merasakan pahit atau pedas-asinnya kehidupan.’
7. Alegori a. “banjur kepriye olehe arep nglakoni yen dheweke kudu seomah karo kangmase dhewe? Huhhh! Kaya jagad iki mung segodhong kelor.”
‘lalu bagaimana mau menjalani jika dirinya harus serumah dengan kakak sendiri? Huhhh! Seperti dunia ini hanya selebar daun kelor’
b. “sejene kuwi, dieling yen drajat pangkat
mono mung sampiran lan bandha donya mung titipan. Sawayah-wayah bisa dipundut sing kagungan. Kang Akarya Jagat mula ana unen-unen: drajat pangkat kenane oncat, bandha dunya kenane lunga.” ‘selain itu, ingatlah jika drajat pangkat itu hanya sementara dan harta dunia hanya titipan. Sewaktu-waktu bisa diambil oleh Sang Pancipta Alam, maka ada pribahasa: drajat dan pangkat bisa lepas, harta dunia bisa hilang.’
c. ”nek wis jodho…, paribasan “asem ing
gunung, uyah ing segara bisa kumpul nyawiji
49
ing kuwali.” ‘jika jodoh…, seandainya ”asam digunung, garam dilautan bisa bersatu dalam kuali.’
d. “Demang Grenceng nggraita, uwoh kue tibane ora adoh saka wite. Banyu kuwi mesthi mili meng ngisor, mudhun. Ora ana banyu sing mili munggah. Watak wantune anak ora adoh saka watak wantune wong tua.” ‘Demang Grencang berbicara dalam hati, buah itu jatuhnya tidak jauh dari dari pohonnya. Air mengalir kebawah, turun. Tidak ada air yang mengalir keatas. Watak aslinya anak tidak jauh dari watak aslinya orang tua.’
e. “cilike keslomot gedhene bisa kobong. Dadi ketimbang luhur apa lebur dhek emben kae terus disuwak ngono wae. Sumungguha nampa Rara Windrati banjur kepie mengko tumanggape Raden Abru. Karo maneh nuruti kekarepane Rara Windrati padha wae karo dolanan geni.” ‘Kecil tersulut besar bisa terbakar. Jadi ketimbang luhur apa lebur lebih baik dilupakan saja. Seandainya menerima Rara Windrati bagaimana nanti tanggapan Raden Abru. Apalagi memenuhi keinginan Rara Windrawati, seperti bermain api.’
8 Hiperbola a. “brrrtt!!! Lakune getihe Kiswaka kaya
munjuk. Raine kemramnyas, panas. Dhek mben dheweke pancen tau duwe pangarep-arep bisa cedhak lan Rara Windrati.”
‘brrrtt!!! Berjalannya darahnya Kiswaka seperti naik. Mukanya memanas, panas. Dulu dirinya memang pernah memiliki keinginan bisa dekat sama Rara Windrati.’
b. “manuk bencik nyamber-nyamber, cuwat-
cuwet kaya mbedhah sepining wengi.”
50
‘burung bencik menyambar-nyambar, bersiur-siur seperti membelah sepinya malam’
c. “tangis diendhem. Sesek. Rasane nganti kaya
mbenthot nyawane.”
‘tangis ditahan. Sesak. Rasanya sampai seperti menarik nyawanya.’
d. “awit atine Yekti wis kedarung kecengkrem
rasa kasengsem marang kebagusane Raden Abru.” ‘Sejak hatinya Yekti sudah terlanjur tercengkram rasa cinta kepada ketampanan Raden Abru.’
e. “Kiswaka ngrasakake sumilire angin sing ora sabaene sumeresep nyengkerem balung sungsum.” ‘Kiswaka merasakan semilir angin yang tidak biasa meresap menyengkeram tulang sungsum.’
f. “rasane pait nyengkerem gulu. Krungu kabar
yen Raden Abru wis mboyong Yekti menyang dalem kasatrian, napsu amarahe Adipati Tirtanata saya kobar mangalad-alad.” ‘rasanya pahit menyengkeram leher. Mendengar kabar jika Raden Abru sudah memboyong Yekti menuju kedalam kerajaan, nafsu amarah Adipati Tirtanata semakin terbakar menggelegar.’
9 Litotes a. “kula mboten menopo-menopo lan kula ugi mboten sinten-sinten, Raden.” ‘saya bukan apa-apa dan saya juga bukan siapa-siapa, Raden.’
b. “inggih nyuwun pangapunten, griyanipun pating slengkrah kadhos sudhung celeng!” ‘saya minta maaf, rumahnya berantakan
51
seperti kandang celeng!’
c. “ingatase calon adipati kung mung trima diamping-ampingi bocah desa ora pakra. Inggih mboten timbang, ngaten!” ‘padahal calon adipati hanya didampingi anak desa yang tidak pantas. Yang tidak seimbang, iya kan!’
d. “sejanipun menika, sinten ingkang purun ngesir prajurit rucah kados kulo.” ‘sebenarnya adalah, siapa yang mau naksir prajurit biasa seperti saya.’
B. Pembahasan Data
1. Analisis Struktural dalam Cerita Rakyat Bebanten Katresnan karya
Sri Adi Harjono
Struktur karya sastra dalam penelitian ini dibahas tentang tema,
alur, tokoh penokohan, latar, dan sudut pandang.
a. Tema
Tema cerita rakyat Bebanten Katresnan karya Sri Adi Harjono
adalah percintaan. hal itu terbukti dari kutipan dibawah ini.
1)“ Satemane wis suwe Rara Windarti mambu ati marang nom-noman sing dedeg piadeg respati, jatmika nuraga. Nanging bobot, bebet lan bibite njomplang.”
‘Selama ini Rara Windari menyukai pemuda yang berbadan tegap dan berparas tampan. Tetapi bobot, bebet dan bibitnya njomplang.
2) “uripe Rara Windrati disiang dhening kabegjan lan kabagyan. Dheweke rumangsa wis kelangan ajining diri. Ing ngatase putri, putra adipati tur rupa ora nguciwani kathik dadi wong tampikan. Mrana-mrane ditolak atasan ktresnane. tangis diendhem. Sesek. Rasane nganti kaya mbenthot nyawane.”
52
‘kehidupan Rara Windrati tidak dinaungi keberuntungan dan kebahagiaan. Dirinya merasa sudah kehilangan harga diri. Padahal dirinya seorang putri, putranya Adipati dan penampilannyapun tidak mengecewakan, sampai jadi orang buangan. Sana-sini ditolak oleh cinta. Tangis ditahan. Sesak. Rasanya sampai seperti menarik nyawanya.
Dari kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa Rara Windari
menyukai seorang rakyat biasa yang berbeda berbeda bibit, bebet dan
bobotnya, sehingga semua yang dia harapkan tidak terpenuhi. Masalah
percintaan di atas yang dihadapi Rara Windrati dijadikan sebagai tema
dalam cerita rakyat Bebanten Katresnan. Hal itu terbukti dari kutipan
berikut ini.
1) “Ing impenku dhik mben, mbok!” wangsulane Yekti karo ndingkluk. Sabanjure, “Pokoke, aku kudu kelakon dadi garwane Den Abru.” ‘Di dalam mimpiku dulu, mbok!” jawaban Yekti sambil menunduk. Selanjutnya, “Pokoknya, saya harus menjadi istri Raden Abru.’
2) “awit atine Yekti wis kedarung kecengkrem rasa kasengsem
marang kebagusane Raden Abru.” ‘Sejak hatinya Yekti sudah terlanjur tercengkram rasa cinta kepada ketampanan Raden Abru.’
3) “ing njero omah, Nyi Demang kaya udan kembang njroning
atine. semono uga si Yekti, ora bisa di gambarake mungguh kepriye bagya mulyane. Pangarep-arepe numusi katekanan apa sing dadi sedyane. Praene binger. Sorot mripati sing bening lindri-lindri katon sumunar.” ‘Di dalam rumah, Nyi Demang seperti hujan bunga didalam hatinya. Begitu juga dengan Yekti, tidak bisa digambarkan
53
bagaimana bahagianya. Keinginannya terpenuhi. Mukanya berseri. Sorot mata yang bening kelihatan bersinar.’
Kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa keinginan Yekti untuk
menjadi istri Raden Abru yang sangat dia cintai, meskipun hanya bertemu
di dalam mimpi. keinginan Yekti akhirnya terkabul dan kisah percintaan
Yekti dijadikan sebagai tema cerita rakyat Bebanten Katresnan karya Sri
Adi Harjono.
b. Alur
Alur atau plot adalah pengaturan urutan peristiwa pembentuk
cerita yang menunjukan adanya hubungan kausalitas. Alur maju yang
berisi peristiwa-peristiwa tersusun secara kronologis, artinya peristiwa
pertama diikuti peristiwa kedua, dan seterusnya. Cerita pada umumnya
dimulai dari tahap awal hingga tahap akhir. Cerita rakyat Bebanten
Katresnan karya Sri Adi harjono menceritakan tokoh utama dari mulai
awal sampai akhir cerita. Tahapan alur di bawah ini membuktikan
Cerita rakyat Bebanten Katresnan Karya Sri Adi Harjono menggunakan
alur maju.
1) Pengantar
“Rara Windrati, putra-putrine Adipati Tirtanata ing pati, metu saka dhalem kaputren. lakunne kaya macan luwe lengket-lengket njujug palungguhan ing ngisore wit nagasari cedhak beji.”
‘Rara Windrati, putri Adipati Tirtanata, keluar dari dalam kaputren. berjalan seperti macan lapar pelan-pelan menuju tempat duduk di bawah pohon nagasari di dekat kolam.’
54
2) Penampilan masalah
Kutipan dibawah ini adalah awal mula permasalahan yang
terjadi di dalam cerita, yaitu menceritakan Rara Windrati seorang
putri Raja yang sedang jatuh cinta kepada Kiswaka seorang prajurit
kerajaan. Rara Windrati sudah menyukai Kiswaka dari pertama
bertemu.
a)“ Satemane wis suwe Rara Windarti mambu ati marang nom-noman sing dedeg piadeg respati, jatmika nuraga. Nanging bobot, bebet lan bibite njomplang.”
‘Selama ini Rara Windari menyukai pemuda yang berbadan tegap dan berparas tampan. Tetapi bobot, bebet dan bibitnya njomplang.
b)“Panagrep-arepe, mbok iya-a rama-ibune paring kamardikan marang dheweke kanggo nentokake pilihaning atine. Mengko dheweke banjur matur yen wis duwe priya cong-congan yaiku Kiswaka.” ‘Keinginannya, seharusnya ayah-ibunya memberi kebebasan kepada dirinya untuk menentukan pilihan hatinya. Nanti dirinya akan bilang jika sidah memiliki laki-laki pilihannya yaitu kiswaka.
Pada kutipan dibawah ini juga menceritakan salah satu
tokoh utama yang memunculkan masalah, yaitu menceritakan
yekti, seorang rakyat biasa yang sedang termenung karena sedang
jatuh cinta. Yekti tidak mau makan dan hanya mengurung diri
dikamar. Orang tua Yekti pun bingung dan menanyakan mengapa
dia seperti itu, namun jawaban Yekti sungguh mengagetkan, Yekti
menyukai putra mahkota kerajaan, sehingga membuat orang tuanya
bingung. Hal itu terbukti dari kutipan di bawah ini.
55
c) “Ing impenku dhik mben, mbok!” wangsulane Yekti karo ndingkluk. Sabanjure, “Pokoke, aku kudu kelakon dadi garwane Den Abru.”
‘Di dalam mimpiku dulu, mbok!” jawaban Yekti sambil menunduk. Selanjutnya, “Pokoknya, saya harus menjadi istri Raden Abru.’
d) “awit atine Yekti wis kedarung kecengkrem rasa kasengsem
marang kebagusane Raden Abru.”
‘Sejak hatinya Yekti sudah terlanjur tercengkram rasa cinta kepada ketampanan Raden Abru.’
3) Puncak ketegangan / klimaks
Puncak ketegangan terjadi saat Raden Abru meminta restu
dari pamannya untuk menikah dengan yekti wanita pilihannya,
namun Paman Raden Abru yaitu Adipati Tirtanata tidak memberi
restu melainkan kemarahan. Kemaran Adipati Tirtanata disebabkan
karena kegagalan menjodohkan Raden Abru dengan anaknya
sendiri yaitu Rara Windrati. Rara windari akhirnya tidak kuat
dengan perilaku ayahnya sehingga dia memutuskan untuk
mengahiri hidupnya sendiri. hal tersebut terbukti dari kutipan
dibawah ini.
e) “Priyeee?!!!” Adipati Tirtanata Njingkat karo nggebrak meja. Muntap lir kinetap napsu amarahe. “Koe ora mbangun turut marang aku. kowe lewih nggungu ojok-ojokane Rejasa. Priye kok aku mbok aweh idi pangestu? Kok kebangeten temen anggonmu nyepele aku. Wow, dhasar bocah ora urus kowe!”
”Bagaimana?!!!” Adipati tirtanata kaget dan memukul meja. Meluap-luap nafsu kemarahannya. “Kamu tidak memperdulikan aku. Kamu lebih mendengarkan Rejasa. Bagaimana aku akan memberi restu? Kok
56
keterlaluan sekali kamu menyepelekan aku. Wow, dasar tak tau diri kamu.
f) “ ayumu kuwi ora nggawa madu nanging bendhu. Ngrebut atine Raden Abru wae kalah ubet karo bocah ndesa sing bodho ora pakera!”
‘kecantikanmu itu tidak membawa madu tapi bencana. Merebut hatinya Raden Abru saja kalah sama anak desa yang bodoh dan tak tau apa-apa!’
g) Rara Windrati…!!!” panjerite Raden Ayu Tirtanata terus nubruk layone Rara Windrati karo nangis gero-gero. Rasa tresna asih marang putri sakmata wayange bali ngebeki atine.
Rara Windrati…!!! Jeritan Raden Ayu Tirtanata sambil memeluk Rara Windrati dengan menangis tersedu-sedu. Rasa cinta kasih kepada putri semata wayang memenuhi hatinya.
4) Penyelesaian
Penyelesaian pada cerita ini seluruh kekuasan
kerajaan disrahkan kepada Raden Abru. Akibat kehilangan istri
dan anaknya akibat sifatnya yang serakah Adipati Tirtanata
sudah berubah menjadi orang yang baik. Hal tersebur terdapat
pada kutipan dibawah ini.
i. “wiwit dina iki, kekuasaan kadipaten Pati tak pasrahake marang putraku Raden Abru”
‘Mulai hari ini, kekuasaan kerajaan saya serahkan kepada putraku Raden Abru’
ii. dhene Adipati Tirtanata sing sasuwene iki kaya macan galak, dadakan malih kaya kuthuk.”
‘Adipati Tirtanata selama ini seperti macan galak, langsung berubah seperti anak ayam.’
57
c. Tokoh dan penokohan
Tokoh adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu cerita
yang mengalami peristiwa dan mempunyai sifar, sikap, emosi, prinsip
dan sebagainya. Tokoh dibagi atas tokoh utama takoh tambahan, serta
tokoh antagonis dan protagonis.
1) Tokoh
a) Rara Windrati
Rara Windari adalah salah satu tokoh utama dalam cerita
ini. Rara Windrati adalah seorang putri raja, ayahnya sudah
menentukan siapa jodoh untuknya meskipun Rara Windrati
sudah mencintai orang lain. Rara Windari memiliki watak patuh
terhadap orang tua, hal tersebut terdapat pada kutipan di bawah
ini.
“banjur apa darurane? Rara Windrati kepeksa kudu nindhakake dhawuh saka rama-ibune sing cengkah lan suara ati.”
‘lalu apa masalahnya? Rara Windrawati terpaksa harus melakukan keinginan dari ayah-ibunya yang berbeda dengan suara hatinya.
b) Kiswaka
Kiswaka adalah salah satu tokoh utama dalam cerita
ini, di dalam cerita Kiswaka adalah orang yang dicintai
Rara Windrati, namun Kiswaka menyadari bahwa dirinya
58
adalah seorang rakyat biasa. Kiswaka memiliki watak
rendah hati, hal tersebut terdapat pada kutipan dibawah ini.
“cilike keslomot gedhene bisa kobong. Dadi ketimbang luhur apa lebur dhek emben kae terus disuwak ngono wae. Sumungguha nampa Rara Windrati banjur kepie mengko tumanggape Raden Abru. Karo maneh nuruti kekarepane Rara Windrati padha wae karo dolanan geni.”
‘Kecil tersulut besar bisa terbakar. Jadi ketimbang luhur apa lebur lebih baik dilupakan saja. Seandainya menerima Rara Windrati bagaimana nanti tanggapan Raden Abru. Apalagi memenuhi keinginan Rara Windrawati, seperti bermain api.’
c) Yekti
Yekti adalah gadis desa yang menyukai putra
mahkota yaitu Raden Abru yang ditemuinya di dalam
mimpi, meskipun berbeda kasta Yekti tetap keras kepala
supaya bisa menikah dengan Raden Abru. Sifat keras
kepala Yekti terdapat pada kutipan di bawah ini.
“Ing impenku dhik mben, mbok!” wangsulane Yekti karo ndingkluk. Sabanjure, “Pokoke, aku kudu kelakon dadi garwane Den Abru.”
‘Di dalam mimpiku dulu, mbok!” jawaban Yekti sambil menunduk. Selanjutnya, “Pokoknya, saya harus menjadi istri Raden Abru.’
d) Raden Abru
Raden Abru adalah putra mahkota, dikisahkan di
dalam cerita Raden Abru ingin mempelajari kesaktian
59
disebuah desa, didesa tersebut Raden Abru bertemu dengan
gadis yang menolongnya di dalam mimpi yaitu Yekti anak
dari gurunya. Tanpa membutuhkan waktu lama dalam
perkenalan Raden Abru langsung melamar Yekti untuk
dipersunting. Sifat terus terang Raden Abru terdapat pada
kutipan di bawah ini.
“sampun, Ki Demang. Adhi Yekti! Mila wontena keparingipun, adhi Yekti kula suwun. Badhe kula boyong mlebet dhateng dalam kasatrian pati. Demang Grenceng lan Kiswaka pandeng-pandengan. Atine padha lunjak-lunjak kaya tabuh gambang.”
‘sudah, Ki Demang. Yekti! Kalau diperbolehkan, Yekti saya minta. Mau saya boyong masuk kedalam kerajaan. Demang Grenceng dan kiswaka saling berpandangan. Hatinya berdebar-debar seperti suara gamelan.’
e) Adipati Tirtanata
Adipati Tirtanata adalah tokoh antagonis yang memiliki
watak suka mengatur terhadap anaknya, dan pemarah. Ha
tersebut terdapat pada kutipan dibawah ini.
3) “dhene Adipati Tirtanata sing sasuwene iki kaya macan galak, dadakan malih kaya kuthuk.” ‘Adipati Tirtanata selama ini seperti macan galak, langsung berubah seperti anak ayam.’
4) “ayumu kuwi ora nggawa madu nanging bendhu. Ngrebut atine Raden Abru wae kalah ubet karo bocah ndesa sing bodho ora pakera!”
60
‘kecantikanmu itu tidak membawa madu tapi bencana. Merebut hatinya Raden Abru saja kalah sama anak desa yang bodoh dan tak tau apa-apa!’
f) Demang Grenceng
Demang Grenceng memiliki watak penyayang
terhadap anaknya, yaitu yekti. Hal tersebut terdapat pada
kutipan di bawah ini.
“aku tak meres kringet muter nalar murih anakmu nemu urip mulya. Ora kasiksa ngono kui.”
‘saya akan memeras keringat memutar otak supaya anakmu menemukan hidup bahagia. Tidak tersiksa seperti itu.’
1) Tokoh utama
Tokoh utamanya dalam cerita rakyat bebanten Katresnan
adalah Rara Windrati. Tokoh ini sering dimunculkan oleh
pengarang dalam menggerakan konflik cerita. Hal itu tebukti dari
kutipan-kutipan dibawah ini.
“ Satemane wis suwe Rara Windarti mambu ati marang nom-noman sing dedeg piadeg respati, jatmika nuraga. Nanging bobot, bebet lan bibite njomplang”
‘Selama ini Rara Windari menyukai pemuda yang berbadan tegap dan berparas tampan. Tetapi bobot, bebet dan bibitnya njomplang.
Dari kutipan diatas, dapa disimpulkan bahwa Rara Windari
sebagai tokoh utama dalam cerita rakyat Bebanten Katrenan
61
sebagai penggerak masalah-masalah yang ada di dalam cerita
rakyat ini. Tokoh utama lain yang juga tampak pada cerita rakyat
Bebanten Katresnan adalah Kiswaka. Hal itu terbukti dari kutipan
di bawah ini.
“karo maneh nuruti kekarepane Rara Windrati padha wae karo dolanan geni. Cilike keslomot gedhene bisa kobong. Dadi ketimbang luhur apa lebur dhek emben kae terus disuwak ngono wae. Sumungguha nampa Rara Windrati banjur kepie mengko tumanggape Raden Abru. ”
‘apalagi menuruti kemauan Rara Windrati seperti bermain api. Kecil tersulut besar bisa terbakar. Jadi daripada luhur apa lebur lebih baik dilupakan saja. Seandainya menerima Rara Windrati bagaimana nanti tanggapan Raden Abru.’
Dari kutipan di atas dapat disimpulkan Kiswaka adalah
laki-laki yang disukai Rara Windari, namun Kiswaka menyadari
bahwa dirinya hanyalah golongan orang biasa, berbeda dengan
Rara Windrati dar golongan kerajaan. Sehingga tokoh Kiswaka
merupakan salah satu penggerak konflik. Tokoh lain yang juga bisa
tampak sebagai tokoh utama adalah Raden Abru dan Yekti. Hal itu
terbukti dari kutipan dibawah ini.
“awit atine Yekti wis kedarung kecengkrem rasa kasengsem marang kebagusane Raden Abru.” ‘Sejak hatinya Yekti sudah terlanjur tercengkram rasa cinta kepada ketampanan Raden Abru.’
Dari kutipan diatas dapat disimpulkan bahwa yekti sudah
terlanjur mencintai Raden Abru, sehingga hal tersebut menjadi
sebuah konflik di dalam cerita rakyat Bebanten Katresnan.
62
2) Tokoh tambahan
Tokoh tambahan dalam cerita rakyat Bebanten Katresnan karya
Sri Adi Harjono terbagi menjadi dua, yaitu tokoh tambahan
andalan dan tokoh tambahan bawahan. Adapun tokoh-tokoh ini
antara lain:
1. Tokoh Tambahan Andalan
Disebut tokoh tambahan andalan karena walaupun tokoh ini
hanya seorang tokoh tambahan akan tetapi tokoh ini
memperkuat alur cerita dalam novel ini. Tokoh ini kadang
memunculkan konflik. Tokoh tambahan andalan antara lain :
Demang Grenceng dan Adipati Tirtanata. Hal tersebut terbukti
dari kutipan dibawah ini.
“Sesuk anakmu dikandhani. Kon nggentur donga puja-puji bne sasedyane diijabahi kang gawe urip. Aku tak meres kringet muter nalar murih anaku nemu urip mulya. Ora kasiksa ngana kui!” ‘Printahlan anakmu untuk berdoa agar semua keinginannya dipenuhi oleh Yang Maha Kuasa. Saya akan memutar otak biar anakmu menemukan kebahagiaan hidup. Tidak tersiksa seperti ini!.
Dari kutipan diatas dapat disimpulkan Demang Grenceng
sedang mencari cara agar keinginan anaknya bisa terwujud. Jadi
dapat disimpulkan tokoh ini berperan penting dalam jalannya
konflik cerita. Tokoh tambahan andalan lainnya adalah Adipati
Tirtanata. hal itu terbukti dari kutipan dibawah ini.
63
“ ayumu kuwi ora nggawa madu nanging bendhu. Ngrebut atine Raden Abru wae kalah ubet karo bocah ndesa sing bodho ora pakera!”
‘kecantikanmu itu tidak membawa madu tapi bencana. Merebut hatinya Raden Abru saja kalah sama anak desa yang bodoh dan tak tau apa-apa!’
Dari kutipan diatas dapat disimpulkan bahwa Adipati
Tirtanata menginginginkan anaaknya yaitu Rara Windrati menikah
dengan Raden Abru tetapi Raden Abru lebih memilih gadis desa.
Jadi dapat disimpulkan tokoh Adipati Tirtanata berperan penting
dalam pembentukan konflik cerita.
2. Tokoh Tambahan Bawahan
Disebut tokoh tambahan bawahan karena tokoh-tokoh ini
hanya sebagai pemanis atau pelengkap di dalam cerita. Tokoh
tambahan bawahan antara lain: Demang Timbang, Nyi Demang,
Raden ayu Tirtanata.
Tokoh Demang Timbang merupakan tokoh tambahan
bawahan. Hal itu terbukti dari kutipan dibawah ini.
“Wonten perlu kalian bapak..,badhe nakyinaken bab udeng menika. Demang Timbang ndengengek, nuli ngrangeh udheng lempitan saka tangane kiswaka” ‘Ada perlu dengan bapak..,mau menanyakan hal tutup muka ini. Demang Timbang kaget, lalu mengambil tutup muka dari tangan kiswaka”
Kutipan di atas dapat disimpulkan Kiswaka yang bertanya
kepada ayahnya tentang tutup muka. Tokoh Demang timbang
hanya sekali muncul untuk menjelaskan tentang tutup muka
64
tersebut. Jadi tokoh Demang Timbang disebut juga dengan tokoh
tambahan bawahan. Tokoh tambahan bawahan juga ditampilkan
dalam cerita Rakyat Bebanten Katresnan, tokoh ini adalah Nyi
Demang. Hal itu terbukti dari kutipan dibawah ini.
“Nangisa Nduk…, ben lega atimu. Sunteken sesangga uripmu. Taktadhahana,” omonge Nyi Demang groyok.
Dari kutipan diatas dapat disimpulkan, Nyi Demang sedang
menanyakan apa yang sedang dirasakan oleh anakya yaitu Yekti.
Tokoh Nyi Demang katakana tokoh pembantu bawahan karena
hanya muncul beberapa kali namun tidak mempengaruhi alur
cerita. Tokoh tambahan bawahan lain juga ditampilkan dalam
cerita rakyat Bebanten Katresnan, tokoh ini adalah Raden Ayu
Titanata. Hal itu terbukti dari kutipan dibawah ini.
“Rara Windrati...!!!” panjerite Raden Ayu Tirtanata terus nubruk layone Rara Windrati karo nangis gero-gero. Saka kui Raden Ayu Tirtanata kebat kaya kilat, nyaut patrem sing isih ginegem Rara Windrati kanggo sunduk salira.”
‘Rara Windari..!!!” jerit Raden Ayu Tirtanata langsng menangkap jatuhnya Rara Windrati sambil menangis. Dari itu Raden Ayu Tirtanata dengan cepat mengambil pisau yang dipegang Rara Windari untuk bunuh diri.”
Dari kuipan diatas dapat disimpulkan Raden Ayu Tirtanata
yang terpukul atas kematian anaknya, sehingga dia pun bunuh diri.
Tokoh Raden Ayu Titanata disebut tokoh tambahan bawahan karena
di dalam cerita ini jarang ditampilkan dan tidak berpengaruh
terhadap alur cerita.
65
1) Tokoh protagonis
Tokoh protagonist adalah tokoh yang memegang peran
pimpinan dalam cerita. Tokoh ini merupakan tokoh yang paling
tinggi intensitas keterlibatan di dalam peristiwa-peristiwa yang
membangun cerita dan waktu yang digunkan tokoh ptotagonis
berhubungan dengan semua tokoh yang ada dalam cerita dan tokoh
protagonist menjadi pusat sorotan di dalam cerita.
Didalam menentukan tokoh protagonist didalam cerita rakyat
Bebanten Katresnan ini lebih tepat menyebut Rara Windrati,
Kiswaka, Raden Abru, dan Yekti. Tokoh-tokoh ini lebih banyak
berinteraksi dengan tokoh-tokoh yang ada. Selain itu di dalam
cerita rakyat ini banyak diungkapkan perasaan dan pikiran tokoh-
tokoh ini tehadap masalah-masalah yang dihadapi serta tokoh ini
hadir dari awal sampai akhir dan mempengaruhi jalan cerita. Hal
itu terbukti dari kutipan dibawah.
2) Tokoh antagonis
Tokoh anatagonis merupakan tokoh yang beroposisi dengan
tokoh protagonis. Tokoh antagonis dalam cerita Rakyat
Bebanten Katresnan ini adalah Adipati Tirtanata, karena
berpengaruh terhadap konflik. Adipati Titanata adalah ayah dari
Rara Windrati yang selalu memaksakan kehendaknya. Hal itu
terbukti pada kutipan dibawah ini.
66
1) “ ayumu kuwi ora nggawa madu nanging bendhu. Ngrebut atine Raden Abru wae kalah ubet karo bocah ndesa sing bodho ora pakera!”
‘kecantikanmu itu tidak membawa madu tapi bencana. Merebut hatinya Raden Abru saja kalah sama anak desa yang bodoh dan tak tau apa-apa!’
2) “Priyeee?!!!” Adipati Tirtanata Njingkat karo nggebrak meja. Muntap lir kinetap napsu amarahe. “Koe ora mbangun turut marang aku. kowe lewih nggungu ojok-ojokane Rejasa. Priye kok aku mbok aweh idi pangestu? Kok kebangeten temen anggonmu nyepele aku. Wow, dhasar bocah ora urus kowe!” ‘”Bagaimana?!!!” Adipati tirtanata kaget dan memukul meja. Meluap-luap nafsu kemarahannya. “Kamu tidak memperdulikan aku. Kamu lebih mendengarkan Rejasa. Bagaimana aku akan memberi restu? Kok keterlaluan sekali kamu menyepelekan aku. Wow, dasar tak tau diri kamu.
Kutipan pertama menjelaskan tentang kemarahan Raja
tirtanata tehadap putrinya Rara Windrati yang tidak bisa
mengambil hati Raden Abru dan kalah dengan gadis desa. Kutipan
kedua menjelaskan tentang kemarahan Adipati Tirtanata karena
Raden Abru meminta restu untuk menikahi gadis pilihannya.
Adipati Tirtananta adalah paman dari Raden Abru.
d. Latar
Menurut Stanton (2012 : 35) latar adalah lingkungan yang
melengkapi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi
dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung.
Sedangkan menurut Nurhayati (2012 : 18) Latar atau setting
yang disebut juga sebagai landas tumpu mengarah pada pengertian
67
tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Pada banyak prosa latar
membentuk suasana emosional tokoh cerita, misalnya cuaca yang ada
dilingkungan tokoh memberi pengaruh terhadap perasaan tokoh cerita
tersebut
1) Latar Tempat
latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang
diceritakan (Nurgiantoro, 2010 : 227). Secara garis besar di dalam
cerita rakyat Bebanten Katresnan, latar berkisar pada dua tempat.
Latar pertama dikerajaan dan latar kedua di desa Tenggeles.
Berikut kutipan-kutipan yang menyatakan letar pada cerita.
1) Rara Windrati, putra-putrine Adipati Tirtanata ing pati, metu saka dhalem kaputren.
Rara Windrati, putri Adipati Tirtanata, keluar dari dalam kaputren.’
2) “ing gardu pajangan ngarep banjar pomahan kademangan, wong-wong jaga mbengi katon ana kang keturon, lan ana sing pada gojeg.”
‘di gardu depan rumah kademangan, orang-orang sedang berjaga malam terlihat ada yang tertidur, dan ada yang bercanda.’
3) ing njero omah, Nyi Demang kaya udan kembang njroning atine.’
‘didalam rumah, Nyi Demang seperti hujan bunga didalam hatinya.”
4) “sadawane dalan Raden Abru ora kumecap. Embuh bathine. Semono uga Kiswaka melu meneng.”
68
‘sepanjang jalan Raden Abru tidak berbicara. ntah batinnya. Begitu juga dengan Kiswaka.”
2) Latar Waktu
Nurgiyantoro (2010:230) berpendapat bahwa latar waktu
berhubungan dengan malah kapan terjadinya peristiwa-peristiwa
yang diceritakan dalam sebuah fiksi.
Latar waktu yang digunkan didalam cerita rakyat Bebanten
Ktresnan berikut ini:
1) “Nresepi endhehing lintang rembulan sing grenggani langit biru maya-maya. Kaya awakku kang tansah dioyak-oyak swara ati.”
‘meresapi indahnya bintang bulan yang ada di langit biru samar-samar. Seperti badanku yang selalu dikejar-kejar suara hati’
2) “banjur arep menyang endi uwong kuwi? Swara rewet-rewat kewan bengi sabangsa kutu-kutu walanggatanga nganyut-anyut kaya panangise batine.” ‘lantas mau kemana orang itu? Suara hewan malam sejenis belalang mendayu-dayu seperti tangisan batinnya.’
3) “wektu terus lumaku. Esuk, awan, sore, bengi. Esuk,
awan, sore, bengi…! Mubeng.
‘waktu terus berjalan. Pagi, siang, sore, malam. Pagi ,siang, sore, malam…!berputar
4) “upacara sing sipate tebus alam batin iku sineksen lintang-lintang pating krelip saka awiyat.”
‘upacara yang sifatnya menembus alam batin itu disaksikan bintang-bintang berkerlap-kerlip dari atas.’
5) “Wengi trus lumaku“
69
‘malam terus berjalan’
3) Latar sosial
Menurut Nurgiyantoro (2010:230) Latar sosial adalah latar
yang menjelaskan tata cara kehidupan sosial masyarakat yang
meliputi masalah-masalah dan kebiasaan-kebiasaan pada
masyarakat tersebut. Latar sosial yang digunakan dalam cerita
rakyat Bebanten Katresnan adalah.
a. “ing gardu pajangan ngarep banjar pomahan kademangan, wong-wong jaga mbengi katon ana kang keturon, lan ana sing pada gojeg. weruh Demang Grenceng metu seka omah banjur rep, meneng. Kaya orong-orong kepidak.” ‘di gardu depan rumah kademangan, orang-orang sedang berjaga malam terlihat ada yang tertidur, dan ada yang bercanda. Melihat Demang Grenceng keluar dari rumah, mereka terdiam. Seperti orong-orong terinjak.’
3) “upacara sing sipate tebus alam batin iku sineksen lintang-lintang pating krelip saka awiyat.”
‘upacara yang sifatnya menembus alam batin itu
disaksikan bintang-bintang berkerlap-kerlip dari atas.’
pandang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan
berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi
kepada pembaca. Sementara itu, Brooth (dalam Nurgiantoro, 2010:
70
249) mengemukakan bahwa sudut pandang adalah teknik yang
dipergunakan pengarang untuk menemukan dan menyampaikan makna
karya artistiknya untuk dapat sampai dan berhubungan dengan
pembaca.
Nurhayati (2012:21) pada sebuah cerita pengarang bertindak sebagai
pencipta segalanya. Ia bisa mengemukakan perasaan, kesadaran, dan
jalan pikiran pelaku cerita. Pengarang juga bisa mengomentari kelakuan
para tokoh cerita, bahkan bisa langsung dengan membacanya.
Cerita rakyat Bebanten Ktresnan karya Sri Adi Harjono
menggunakan sudut pandang orang ketiga serba tau. Dari kutipan
berikut terlihat jelas bahwa pengarang mengetahui apapun yang
dilakukan oleh tokoh.
“sasuwene iki sikep lan tangkepe marang raden Abru kaya lumrahe sedulur nunggal welad ngana kae. Banjur kepriye olehe arep nglakoni yen dheweke kudu seomah karo kangmase dhewe? Huhhh! Kaya jagad iki mung segodhong kelor. Rara windrati pepes otot bayune, kaya ora kuwawa nduwa wewenange wong tuwa. ”
‘selama ini sikap dan tanggapnya kepada Raden Abru seperti saudara kandung. Lalu bagaimana menjalaninya jika dirinya harus serumah bersama kakak sendiri? Huhhh! Seperti dunia ini hanya selebar daun kelor. Rara Windrati lemas, seperti tak kuasa melawan keinginan orang tua.’
Kutipan diatas menceritakan Rara Windrati yang sedang bingung
karena akan dijodohkan dengan Raden Abru yang sudah dia anggap
seperti kakak kandungnya sendiri. Pengarang dalam cerita rakyat
Bebanten Katresnan menggunakan sudut pandang orang ketiga serba
71
tahu, karen pengarang benar-benar tahu isi hati Rara windrati kepada
Raden Abru.
2) Analisis Gaya Bahasa dalam Cerita Rakyat Bebanten Katresnan
karya Sri Adi Harjono.
a. Simile
Gaya bahasa simile adalah perbandingan yang bersifat
eksplisit. Pebandingan yang ditandai dengan kata depan dan
penghubung seperti layaknya, bagaikan, seperti, bagai, dan
sebagainya.
Penggunaan gaya bahasa dalam cerita rakyat Bebanten
Katresnan terdapat pada kutipan-kutipan dibawah ini.
1) “iwak badher padha slira sliri oyak-oyakan ing antarane trate gunung kang kembange nedheng mengkrok jambon sumringah. Srengenge sagenter duwure esuk kuwi cahyane semamburat tumiba neng lumahing banyu beji keton kinclong-kinclong kaya kaca” ‘ikan saling berlarian diantara bunga teratai gunung yang tampak merah muda berseri. Pagi itu matahari segalah tingginya, cahayanya jatuh di permukaan air kolam sehingga terlihat berkilau seperti kaca.’
Kutipan tersebut dikategorikan sebagai gaya bahasa simile,
karena terdapat kata ‘kaya’ yang bermakna seperti. Pada kalimat
“keton kinclong-kinclong kaya kaca” air kolam diibaratkan jernih
seperti sebuah kaca, padahal kaca dan air adalah dua benda yang
berbeda. Pemanfaatan gaya bahasa simile pada kalimat di atas sangat
jelas, karena dua kata yang berbeda makna dianggap sama yaitu air
72
yang jernih diibatarkan seperti kaca. Kutipan di atas menggambarkan
sebuag kolam yang indah berisi ikan dan bunga teratai yang cantik.
2) “Rara Windrati, putra-putrine Adipati Tirtanata ing pati, metu saka dhalem kaputren. Lakunne kaya macan luwe lengket-lengket njujug palungguhan ing ngisore wit nagasari cedhak beji.”
‘Rara Windrati, putri Adipati Tirtanata, keluar dari dalam kaputren. berjalan seperti macan lapar pelan-pelan menuju tempat duduk di bawah pohon nagasari di dekat kolam.’
Kutipan tersebut dikategorikan sebagai gaya bahasa simile,
karena terdapat kata ‘kaya’ pada kutipan tersebut yang bermakna
seperti. Pada kalimat “Lakunne kaya macan luwe” mengandung arti
cara berjalan seseorang yang diibaratkan seperti seekor macan yang
sedang lapar. Hal ini tentu tidak sesuai dengan kenyataan karena cara
berjalan manusia dan hewan tentu sangat berbeda. Pemanfaatan gaya
bahasa simile pada kalimat di atas sangat jelas, karena
membandingkan manusia dengan macan. Kutipan di atas
menceritakan seorang putri kerajaan yang berjalan pelan menuju
tempat duduk di bawah pohon nagasari dekat kolam.
3) “sik ta, kok kaya diuyak dhemit wae. Sareh ya, kakang…, aku mesthi enggal marak sowan ing ngarsane kanjeng Rama. Ning umpama awake dhewek leren omong-omongan dhisik, rak bisa ta?! ” ‘sebentar, kok seperti dikejar hantu saja. Sabar ya, kakang…, aku pasti akan datang di tempat kanjeng Rama. Tapi kalau kita bicara sebenter, bisa kan?! ’
73
Kutipan tersebut dikategorikan sebagai gaya bahasa simile,
karena terdapat kata ‘kaya’ pada kutipan tersebut yang bermakna
seperti. Pada kalimat “kok kaya diuyak dhemit” mengandung arti
seseorang yang terburu-buru seperti dikejar hantu. Namun seseorang
di dalam cerita tersebut tidak sedang dikejar oleh hantu. Ungkapan
‘kaya’ yang ada di dalam cerita tersebut hanya untuk menggambarkan
seseorang yang ingin secepatnya meninggalkan suatu tempat.
Pemanfaatan gaya bahasa simile pada kalimat di atas sangat jelas,
karena sesuatu yang sebenarnya sedang tidak dilakukan digambarkan
seperti sedang terjadi.
4) “Nresepi endhehing lintang rembulan sing grenggani langit biru maya-maya. Kaya awakku kang tansah dioyak-oyak swara ati. ”
‘meresapi indahnya bintang bulan yang ada di langit biru samar-samar. Seperti badanku yang selalu dikejar-kejar suara hati’ Kutipan tersebut dikategorikan sebagai gaya bahasa simile,
karena terdapat kata ‘kaya’ pada kutipan tersebut yang bermakna
seperti. Pada kalimat “kaya awakku kang tansah dioyak-oyak swara
ati” mengandung arti seseorang yang masih penasaran tentang sesuatu
hal, sehingga diibaratkan seperti dikejar-kejar suara hati. Namun
sebenarnya hati tidak bersuara apalagi dikatakan di dalam cerita
tersebut digambarkan dapat mengejar seseorang. Pemanfaatan gaya
bahasa simile pada kalimat di atas sangat jelas, karena sesuatu hal
yang tak bernyawa dan tak berbentuk seakan-akan hidup.
74
5) “sasuwene iki sikep lan tangkepe marang raden Abru kaya lumrahe sedulur nunggal welad ngana kae. Banjur kepriye olehe arep nglakoni yen dheweke kudu seomah karo kangmase dhewe? Huhhh! Kaya jagad iki mung segodhong kelor. Rara windrati pepes otot bayune, kaya ora kuwawa nduwa wewenange wong tuwa. ”
‘selama ini sikap dan tanggapnya kepada Raden Abru seperti saudara kandung. Lalu bagaimana menjalaninya jika dirinya harus serumah bersama kakak sendiri? Huhhh! Seperti dunia ini hanya selebar daun kelor. Rara Windrati lemas, seperti tak kuasa melawan keinginan orang tua.’
Kutipan tersebut dikategorikan sebagai gaya bahasa simile
karena terdapat kata ‘kaya’ pada kutipan tersebut yang bermakna
seperti. Pada kutipan tersebut, gaya bahasa simile terdapat pada
kalimat ”Kaya jagad iki mung segodhong kelor” mengandung arti
seperti dunia ini sangat sempit. Namun benenarnya dunia ini sangatlah
luas tidak hanya selebar daun kelor. Pemanfaatan gaya bahasa simile
pada kalimat di atas sangat jelas, karena membandingkan dua hal yang
berbeda yaitu membandingkan bumi dan daun kelor. Kutipan di atas
menggambarkan seseorang yang bingung dengan takdir hidup yang
tidak sesuai dengan harapannya, yaitu akan dijodohkan dengan
seorang yang sudah dianggap kakak kandung sendiri.
6) “kacarita wektu semana Demang Grenceng lagi kuwur pikire. Si Yekti anak wadon ontang-anting wis pirang-pirang dina ora doyan mangan. Senenge yen ora ngurung diri neng senthong ya golek sing gon sepi panyawange nglangut, layu. Ragane kaya wis koncatan jiwa.” ‘diceritakan pada waktu itu Demang Grenceng sedang bingung pikirannya. Si Yekti anak perempuan satu-satunya sudah
75
beberapa hari tidak mau makan. Jika tidak mengurung diri di kamar ya mencari tempat sepi. Pandangannya lesu, lemas. Bandanya seperti kehilangan jiwa.’
Kutipan tersebut dikategorikan sebagai gaya bahasa simile,
karena terdapat kata ‘kaya’ pada kutipan tersebut yang bermakna
seperti. Pada kutipan tersebut, gaya bahasa simile terdapat pada
kalimat “Ragane kaya wis koncatan jiwa.” Bandanya seperti
kehilangan jiwa’ bermakna orang yang sedang jatuh cinta, sehingga
terlihat sedih dan lemas seperti raganya tak bernyawa. Pemanfaatan
gaya bahasa simile pada kalimat di atas sangat jelas, karena seseorang
yang sedang jatuh cinta tidak mungkin sampai raganya kehilangan
nyawa. Sehingga kutipan di atas membandingkan akibat yang terjadi
secara wajar dengan akibat yang dilebih-lebihkan.
7) “wangsulane Yekti kaya mangsa kesanga. Gumludhug gumalegar gawe getar. Nyi Demang nganti njumbul saking kagete.” ‘jawaban Yekti seperti musim kesembilan. Menggelegar membuat getar. Nyi Demang sangat kaget.
Kutipan tersebut dikategorikan sebagai gaya bahasa simile,
karena terdapat kata ‘kaya’ pada kutipan tersebut yang bermakna
seperti. Pada kutipan tersebut, gaya bahasa simile terdapat pada
kalimat “wangsulane Yekti kaya mangsa kesanga” ‘jawaban Yekti
seperti musim kesembilan’ bermakna jawaban yang di ucapkan Yekti
sangat mengagetkan, sehingga diibaratkan seperti musim kesembilan.
Pemanfaatan gaya bahasa simile pada kalimat di atas sangat jelas,
76
karena ungkapan dari seseorang meskipun begitu mengagetkan tidak
mungkin sama seperti “mangsa kesanga” yaitu bulan yang penuh petir
dan hujan. Sehingga kutipan di atas membandingkan dua hal kejadian
yang terjadi secara wajar dengan kejadian yang dilebih-lebihkan.
8) “ing gardu pajangan ngarep banjar pomahan kademangan, wong-wong jaga mbengi katon ana kang keturon, lan ana sing pada gojeg. weruh Demang Grenceng metu seka omah banjur rep, meneng. Kaya orong-orong kepidak.”
‘di gardu depan rumah kademangan, orang-orang sedang berjaga malam terlihat ada yang tertidur, dan ada yang bercanda. Melihat Demang Grenceng keluar dari rumah, mereka terdiam. Seperti orong-orong terinjak.’
Kutipan tersebut dikategorikan sebagai gaya bahasa simile,
karena terdapat kata ‘kaya’ pada kutipan tersebut yang bermakna
seperti. Pada kutipan tersebut, gaya bahasa simile terdapat pada
kalimat”… Kaya orong-orong kepidak” ‘…seperti anjing tanah
terinjak’. Orong-orong adalah hewan jenis serangga. Kalimat tersebut
menggambarkan sekelompok orang yang langsung terdiam ketika
bertemu dengan seseorang yang dihormatinya, sehingga diibaratkan
seperti orong-orong terinjak. Pemanfaatan gaya bahasa simile pada
kalimat di atas sangat jelas, karena membandingkan manusia dengan
anjing tanah.
9) “beladiri mono seni. Kagunan mula gerak-gerike kudu luwes, endah. Nom-noman loro kuwi katon gumregut anggone pada gladhen. tandhang trajange kaya sikatan nyamber walang.”
77
‘beladiri itu seni. Jadi gerakannya harus bagus, indah. Kedua pemuda itu terlihat serius disaat latihan. Sepak terjangnya seperti burung sedang menyambar belalang’
Kutipan tersebut dikategorikan sebagai gaya bahasa simile,
karena terdapat kata ‘kaya’ pada kutipan tersebut yang bermakna
seperti. Pada kutipan tersebut, gaya bahasa simile terdapat pada
kalimat “…tandhang trajange kaya sikatan nyamber walang..”
‘…sepak terjangnya seperti burung menyambar belalang…’. Burung
adalah hewan yang sangat gesit dalam bergerak. Kalimat tersebut
menggambarkan dua pemuda yang sedang berlatih, dan gerakannya
sangat cepat, sehingga diibarakan burung saat memangsa belalang.
Pemanfaatan gaya bahasa simile pada kalimat di atas sangat jelas,
karena membandingkan gerakan menusia dengan kecepatan burung.
10) “mung lintang Bima Sekti sing keton ngregemeng. Kaya nyuwek –nyuwek cangkem naga Nemburnawa ning thelenge samodra Minangkalbu.” ‘hanya bintang bima sakti yang terlihat jelas. Seperti membelah mulut naga Nemburnawa di permukaan laut Minangkalbu.’
Kutipan tersebut dikategorikan sebagai gaya bahasa simile,
karena terdapat kata ‘kaya’ pada kutipan tersebut yang bermakna
seperti. Pada kutipan tersebut, gaya bahasa simile terdapat pada
kalimat “…. Kaya nyuwek –nyuwek cangkem naga Nemburnawa…”
Nemburnawa adalah hewan mitologi yang terdapat didalam cerita
78
wayang, dan pernah bertarung dengan Bima. Kalimat tersebut
menggambarkan cahaya dari bintang Bima Sakti sangat jelas daripada
bintang lain, sehingga diibaratkan seperti membelah mulut naga
Nemburnawa.
11) “nuwun sewu Raden, sinau sejarah menika mupangati sanget. Sinau sejarah kehidupan kados tiyang nedha ulam. Balung erinipun kabucal lan dagingipun ingkang dipuntedha.” ‘Maaf Raden, belajar sejarah itu sangat bermanfaat. Belajar sejarah kehidupan seperti orang memakan ikan. Tulang-belulangnya dibuang dan dagingnya yang dimakan.’
Kutipan tersebut dikategorikan sebagai gaya bahasa simile,
karena terdapat kata ‘kadhos’ pada kutipan tersebut yang bermakna
seperti. Pada kutipan tersebut, gaya bahasa simile terdapat pada
kalimat “…kados tiyang nedha ulam…” ‘…seperti orang makan
ikan…”. Kalimat tersebut menjelaskan belajar sejarah itu seperti
memakan ikan, yaitu ambilah sisi baiknya yang berupa dagingnya
ikan, dan buang sisi buruknya yakni duri dan tulangnya. Pemanfaatan
gaya bahasa simile pada kalimat di atas sangat jelas, karena
membandingkan dua hal yang sangat berbeda, yaitu belajar sejarah
dan memakan ikan. Kutipan di atas menceritakan seorang guru yang
ingin mecerikan sejarah seorang ayah kepada anaknya, sehingga
mengingakan untuk mengambil sisi baiknya saja.
12) “ing njero omah, Nyi Demang kaya udan kembang njroning atine. Pasemono uga si Yekti, ora bisa di gambarake mungguh kepriye bagya mulyane. Pangarep-arepe numusi katekanan apa sing dadi sedyane. Praene binger. Sorot mripati sing bening lindri-lindri katon sumunar”
79
‘didalam rumah, Nyi Demang seperti hujan bunga didalam hatinya. Begitu juga dengan Yekti, tidak bisa digambarkan bagaimana bahagianya. Keinginannya kesamapain. Mukanya berseri. Sorot mata yang bening kelihatan bersinar.’
Kutipan tersebut dikategorikan sebagai gaya bahasa simile,
karena terdapat kata ‘kaya’ pada kutipan tersebut yang bermakna
Pada kutipan tersebut, gaya bahasa simile terdapat pada kalimat
tesebut menjelaskan bahwa seseorang sedang merasakan kegembiraan
yang luar biasa, sehingga diibaratkan seperti hujan bunga didalam
hatinya. Karena bunga identik dengan keindahan. Pemanfaatan gaya
bahasa simile pada kalimat di atas sangat jelas, yaitu membandingkan
kebahagian seseorang dengan hujan bunga. Kutipan di atas
menceritakan seseorang yang sangat bahagia kerana keinginannya
terpenuhi.
13) “sakdheg saknyet kumenyut atine Raden Abru bareng mulat Kenya sulistya sing jibles kaya bocah ayu kang tetulung marang dheweke njroning impen. Raden Abru kedhep tesmak panyawange. Lan dadi gragapan nalika dijawil Kiswaka di ajak ngrambahi pasuguhane sing duwe omah. Kalawan abang ireng pasemone, Raden Abru nuli ngombe rujak degan sacegokan. rasane kaya ngumbe banyu kaswargan.” ‘tiba-tiba berdebar hatinya Raden Abru ketika melihat wanita cantik yang persis wanita yang menolongnya didalm mimpi. Raden Abru tak berkedip ketika melihatnya. Dan jadi gugup ketika dicolek Kiswaka di ajak mencicipi suguhan dari tuan rumah. Jadi merah hitam wajahnya. Menjadi merah hitam senyumannya, Raden Abru lalu meminum rujak degan setegukan. rasanya seperti minum air surga.’
80
Kutipan tersebut dikategorikan sebagai gaya bahasa simile,
karena terdapat kata ‘kaya’ pada kutipan tersebut yang bermakna
seperti. Pada kutipan tersebut, gaya bahasa simile terdapat pada
kalimat “…kaya ngumbe banyu kaswargan…” ‘seperti minum air
surga…’. Kalimat tersebut menceritakan Raden Abru yang sedang
jatuh cinta, ketika wanita yang dicintai menyuguhkan minuman biasa
rasanya menjadi luar biasa, sehingga diibaratkan minum air surga.
Pemanfaatan gaya bahasa simile pada kalimat di atas sangat jelas,
karena membandingkan hal yang terlihat abstrak dengan hal yang
konkret, yaitu meminum “rujak degan” seperti meminum “banyu
kaswargan” dikarenakan yang menyuguhkan adalah wanita yang
dicintainya.
14) “nyuwun pangapunten…! Mangke gek kadhos “sedhah” gegambaranipun. Seger dikinang, alum dibuang.Menawi taksih remen inggih di-Cah ayu,Cah Ayu…, ning menawi sampun bosen rak dipunsia, diundamana!” ‘nyuwun pangpunten…! Nanti seperti “daun sirih” gambarannya. Sgar dikinang, sepah dibuang. Jikalau masih suka ya dipuji-puji, tapi kalau dudah bosan disia-sia, dibuang!’
Kutipan tersebut dikategorikan sebagai gaya bahasa simile,
karena terdapat kata ‘kadhos’ pada kutipan tersebut yang bermakna
seperti. Pada kutipan tersebut, gaya bahasa simile terdapat pada
kalimat “…kadhos “sedhah” …” ‘…seperti “daun sirih”…’. Daun
sirih adalah daun yang berhasiat untuk menjaga kesehatan. Daun sirih
biasa digunakan oleh orang terdahulu untuk kinang. Kalimat tersebut
81
menjelaskan seseorang yang takut dirinya hanya dijakan wanita yang
dicintai ketika dibutuhkan, dan dibuang ketika sudah bosan, Sehingga
diibaratka seperti daun sirih. Pemanfaatan gaya bahasa simile pada
kalimat diatas sangat jelas, karena membandingkan manusia dengan
daun sirih.
15) ”nmm! Kowe kui jian pinter golek akal, Kakang!” panyaute Yekti lirih. Raine menter-menter kaya tomat.”
”nmm! kamu itu pintar cari akal, kakang!” jawaban Yekti pelan. Mukanya merah cerah seperti tomat. Kutipan tersebut dikategorikan sebagai gaya bahasa simile,
karena terdapat kata ‘kaya’ pada kutipan tersebut yang bermakna
seperti. Pada kutipan tersebut, gaya bahasa simile terdapat pada
kutipan “..kaya tomat…” ‘…seperti tomat…’. Tomat adalah sayuran
yang berwarna merah. Kutipan tersebut menjelaskan wanita sedang
malu karena berbicara dengan laki-laki yang dia cintai sehingga
mukanya memerah seperti tomat. Pemanfaatan gaya bahasa simile
pada kalimat di atas sangat jelas, karena membandingkan muka
seseorang yang sedang malu sehingga memerah menjadi seperti
tomat.
16) “sampun, Ki Demang. Adhi Yekti! Mila wontena keparingipun, adhi Yekti kulo suwun. Badhe kula boyong mlebet dhateng dalam kasatrian pati. Demang Grenceng lan Kiswaka pandeng-pandengan. Atine padha lunjak-lunjak kaya tabuh gambang.”
‘sudah, Ki demang. Yekti! Kalau diperbolehkan, Yekti saya minta. Mau saya boyong masuk kedalam kerajaan. Demang
82
Grenceng dan kiswaka saling berpandangan. Hatinya berdebar-debar seperti bermain gamelan.’ Kutipan tersebut dikategorikan sebagai gaya bahasa simile,
karena terdapat kata ‘kaya’ pada kutipan tersebut yang bermakna
seperti. Pada kutipan tersebut, gaya bahasa simile terdapat pada
kalimat ”… kaya tabuh gambang…” ‘…seperti bermain
gamelan…’. Kalimat tersebut menjelaskan betapa terkejutnya
Demang Grencang dan kiswaka sehingga membuat hati mereka
berdebar-debar. karena di dalam cerita meraka mendengar ucapan
yang tidak meraka duga sama sekali, sehingga diibaratkan hatinya
berdebar-debar seperti bermain gamelan. “gambang” adalah alat
musik khas Indonesia. Pemanfaatan gaya bahasa simile pada kalimat
di atas sangat jelas, karena membandingkan perasaan seseorang
dengan sebuah bunyi dari alat musik.
17) “sing ditinggal kerot-kerot wajane, abang kaya godhong katirah netrane.”
‘yang ditinggal kasal marah wajahnya, merah seperti daun katirah matanya.’
Kutipan tersebut dikategorikan sebagai gaya bahasa simile,
karena terdapat kata ‘kaya’ pada kutipan tersebut yang bermakna
seperti. Pada kutipan tersebut, gaya bahasa simile terdapat pada
kalimat “...abang kaya godhong katirah…” ‘…seperti daun katirah
matanya...’. kalimat tersebut menggambarkan seseorang yang sangat
marah sehingga matanya sangat merah dan diibaratkan sepeti daun
katirah. Katirah adalah tumbuhan yang merambat dan memiliki daun
83
yang berwarna merah. Pemanfaatan gaya bahasa simile pada kalimat
di atas sangat jelas, karena membandingkan mata seseorang yang
sedang marah sehingga memerah menjadi seperti daun katirah.
‘tetapi digelar-digulung pikirannya, dibolak-balik pikirannya, Adipati Tirtanata merasa seperti bermain ular berbisa.’
Kutipan tersebut dikategorikan sebagai gaya bahasa simile,
karena terdapat kata ‘kaya’ pada kutipan tersebut yang bermakna
seperti. Pada kutipan tersebut, gaya bahasa simile terdapat pada
kalimat “…kaya dolanan ula mandhi…” ‘…seperti dolanan ular
berbisa…’. Kalimat tersebut menggambarkan Adipati Tirtanata
berurusan dengan orang yang berbahaya, sehingga diibaratkan seperti
bermain dengan ular berbisa. Pemanfaatan gaya bahasa simile pada
kalimat di atas sangat jelas, karena membandingkan manusia dengan
ular yang berbisa.
19) “brrrtt!!! Lakune getihe Kiswaka kaya munjuk. Raine kemramnyas, panas. Dhek mben dheweke pancen tau duwe pangarep-arep bisa cedhak lan Rara Windrati.”
‘brrrtt!!! Berjalannya darahnya Kiswaka seperti naik. Mukanya memanas, panas. Kalau dulu dirinya memang pernah punya keinginan bisa dekat sama Rara Windrati.’
Kutipan tersebut dikategorikan sebagai gaya bahasa simile,
karena terdapat kata ‘kaya’ pada kutipan tersebut yang bermakna
seperti. Pada kutipan tersebut, gaya bahasa simile terdapat pada
kalimat “…kaya munjuk…” ‘…seperti naik…’. Kalimat tersebut
84
menjelaskan Kiswaka yang sangat malu dan hatinya berdebar-debar
ketika bertemu dengan wanita yang dicintainya dari dulu, sehingga
diibartkan darahnya sampai naik. Pemanfaatan gaya bahasa simile
pada kalimat di atas sangat jelas, karena membandingkan hal yang
abstrak dengan yang konkrit. Yaitu membandingkan seseorang yang
sedang berdebar-debar hatinya diibaratkan darahnya naik.
20) “cilike keslomot gedhene bisa kobong. Dadi ketimbang luhur apa lebur dhek emben kae terus disuwak ngono wae. Sumungguha nampa Rara Windrati banjur kepie mengko tumanggape Raden Abru. Karo maneh nuruti kekarepane Rara Windrati padha wae karo dolanan geni.”
‘Kecil tersulut besar bisa terbakar. Jadi ketimbang luhur apa lebur lebih baik dilupakan saja. Seandainya menerima Rara Windrati bagaimana nanti tanggapan Raden Abru.apalagi menuruti kemauan Rara Windrawati seperti bermain api.’
Kutipan tersebut dikategorikan sebagai gaya bahasa simile,
karena terdapat kata ‘kaya’ pada kutipan tersebut yang bermakna
seperti. Pada kutipan tersebut, gaya bahasa simile terdapat pada
kalimat “…padha wae karo dolanan geni...” ‘…seperti bermain
api…’. Kalimat tersebut menjelaskan seseorang yang yang bisa saja
berada dalam bahaya, sehingga diibaratkan bermain api. Pemanfaatan
gaya bahasa simile pada kalimat di atas sangat jelas, karena
membandingkan dua hal yang berbeda. Yaitu membandingkan
bermain api dengan sesuatu hal buruk yang bisa terjadi.
21) “kelangan ajining diri. Ing ngatase putri, putra adipati tur rupa ora nguciwani kathik dadi wong tampikan. Mrana-mrane ditolak atasan ktresnane. Uripe Rara Windrati disiang dhening
85
kabegjan lan kabagyan. Dheweke rumangsa wis tangis diendhem. Sesek. Rasane nganti kaya mbenthot nyawane.”
’kehidupan Rara Windrati tidak dinaungi keberuntungan dan kebahagiaan. Dirinya merasa sudah kehilangan harga diri. Padahal putrid, putanya Adipati dan penempilan tidak mengecewakan sampai jadi orang buangan. Sana-sini ditolak oleh cinta. Tangis ditahan. Sesak. Rasanya sampai seperti menarik nyawanya.’
Kutipan tersebut dikategorikan sebagai gaya bahasa simile,
karena terdapat kata ‘kaya’ pada kutipan tersebut yang bermakna
seperti. Pada kutipan tersebut, gaya bahasa simile terdapat pada
kalimat “…kaya mbenthot nyawane…” ‘…seperti menarik
nyawanya…’. Kalimat tersebut menjelaskan rasa sedih yang ditahan
sendiri, sehingga diibartkan seperti menarik nyawanya. Pemanfaatan
gaya bahasa simile pada kalimat di atas sangat jelas, karena
membandingkan akibat yang wajar dengan akibat yang dilebih-
lebihkan. Kutipan di atas menceritakan seorang wanita yang cintanya
diolak oleh beberapa kali.
22) “husy! Kowe kuwi ngomong apa? Kok nggrambyang kaya wong kepanjingan demit “panggetake Adipati Tirtanata”.
‘husy! Kamu itu bicara apa? Tidak jelas sepeti orang kerasukan setan “ jawab Adipati Tirtanata”.
Kutipan tersebut dikategorikan sebagai gaya bahasa simile,
karena terdapat kata ‘kaya’ pada kutipan tersebut bermakna seperti.
Pada kutipan tersebut, gaya bahasa simile terdapat pada kalimat
“…kaya wong kepanjingan demit…” ‘…sepeti orang kerasukan
86
setan…”. Kalimat tersebut menggambarkan seseorang yang berbicara
tidak seperti biasanya, sehinga diibaratkan seperti kersukan setan.
Pemanfaatan gaya bahasa simile pada kalimat di atas sangat jelas,
karena membandingkan hal yang dilebih-lebihkan. Yaitu
membandingkan cara bicara seseorang dengan orang yang sedang
kerasukan setan.
23) “saka kuwi Raden Ayu Tirtanata kebat kaya kilat, nyaut patrem sing isih ginegem Raden Windrati kanggo sudup salirang.” ‘dari itu Raden Ayu Tirtanata cepat seperti kilat, mengmbil patrem yang masih dipegang Raden Windrati untuk bunuh diri.’ Kutipan tersebut dikategorikan sebagai gaya bahasa simile,
karena terdapat kata ‘kaya’ pada kutipan tersebut yang bermakna
seperti. Pada kutipan tersebut, gaya bahasa simile terdapat pada
kalimat “…kaya kilat…” ‘…seperti kilat…’. Kalimat tersebut
menggambarkan Raden Ayu Tirtanata yang mencabut patrem dari
tangan anaknya dengan sangat cepat, sehingga diibaratkan seperti
kilat. Pemanfaatan gaya bahasa simile pada kalimat diatas sangat
jelas, karena membandingkan dua hal yang berbeda. Karena gerakan
seseorang tidaklah lebih cepat dari kilat.
24) “dhene Adipati Tirtanata sing sasuwene iki kaya macan galak, dadakan malih kaya kuthuk.” ‘Adipati Tirtanata selama ini seperti macan galak, langsung berubah seperti anak ayam.’
87
Kutipan tersebut dikategorikan sebagai gaya bahasa simile,
karena terdapat kata ‘kaya’ pada kutipan tersebut yang bermakna
seperti. Pada kutipan tersebut, gaya bahasa simile terdapat pada
kalimat “…iki kaya macan galak, dadakan malih kaya kuthuk…”
‘…seperti macan galak, langsung berubah seperti anak ayam…’.
Kalimat tersebut menggambarkan seseorang yang awalnya sangat
galak tiba-tiba menjadi lemah lembut, sehingga diibartkan seperti
macan dan tiba-tiba berubah menjadi anak ayam. Macan adalah
hewan buas yang ditakuti manusia, sedangkan anak ayam adalah
hewan kecil yang lemah. Pemanfaatan gaya bahasa simile pada
kalimat diatas sangat jelas, karena membandingkan sifat manusia
dengan hewan.
25) “banjur arep menyang endi uwong kuwi? Swara rewet-rewat kewan bengi sabangsa kutu-kutu walanggatanga nganyut-anyut kaya panangise batine.” ‘lantas mau kemana orang itu? Suara hewan malam sejenis kutu-kutu belalang mendayu-dayu seperti tangisan batinnya.’
Kutipan tersebut dikategorikan sebagai gaya bahasa simile,
karena terdapat kata ‘kaya’ pada kutipan tersebut yang bermakna
seperti. Pada kutipan tersebut, gaya bahasa simile terdapat pada
kalimat ”… kaya panangise batine…” ‘...seperti tangisan
batinnya…’. Kalimat tersebut menggambarkan suara hewan sejenis
belalang bersuara mendayu-dayu, sehingga diibaratkan seperti suara
tangisan di dalam hatinya. Pemanfaatan gaya bahasa simile pada
88
kalimat diatas sangat jelas, karena membandingkan suara hewan
sejenis serangga dengan perasaan batin seseorang.
b. Metafora
Menurut Waridah (2014: 338) metafora adalah gaya bahasa yang
membandingkan dua hal benda secara singkat dan padat. Sedangkan
menurut gunawan (2014 : 159) metafora adalah majas perbandingan
yang diungkapkan secara singkat dan padat.
Penggunaan gaya bahasa metafora dalam cerita rakyat Bebanten
Katresnan terdapat pada kutipan dibawah ini.
1) “satemane wis suwe Rara Windrati mambu ati marang nom-noman dedeg piadeg respati , jatmiko nurogo.”
‘sebenarnya sudah lama Rara Windrati bau hati kepada anak muda berpawakan gagah tegap, berkelakuan baik.’
Metafora adalah gaya bahasa yang membandingkan dua hal
secara singkat dan jelas. Kutipan yang menandai adanya gaya bahasa
metafora pada kalimat di atas adalah “…mambu ati…” ‘...bau hati…’.
Bau hati merupakan makna konotasi sedangkan makna denotasinya
adalah jatuh hati. Kata tersebut menggambarkan seorang wanita yang
sedang jatuh cinta pada seorang pemuda. Penggunaan gaya bahasa
metafora pada kutipan di atas sangat jelas dengan tujuan memperindah
bacaan sehingga pembaca tidak akan bosan membaca cerita rakyat
Bebanten Katresnan.
2) “aku tak meres kringet muter nalar murih anakmu nemu urip mulya. Ora kasiksa ngono kui”
89
‘saya akan memeras keringat memutar pikiran biar anakmu menemukan hidup muliya. Tidak tersiksa seperti itu’
Metafora adalah gaya bahasa yang membandingkan dua hal
secara singkat dan jelas. Kutipan yang menandai adanya gaya bahasa
metafora pada kalimat di atas adalah “…meres kringet muter
nalar…”’… memeras keringat memutar pikiran…”. Kutipan meres
kringet muter nalar adalah makna konotasi sedangkan makna
denotasinya adalah berusaha mencari akal. Kalimat tersebut
menggambarkan seorang ayah yang sedang mencari cara agar
anaknya bisa hidup bahagia. Penggunaan gaya bahasa metafora pada
kutipan di atas sangat jelas, karena apabila kutipan di atas diartikan
secara langsung maka maknanya akan berbeda.
3) “hmh! Mblusukake lenge semut, kowe tetep tak ubres, gentho.”
‘hmm! Mesuk lubang semutpun, kamu tetap saya kajar, penjahat.’
Metafora adalah gaya bahasa yang membandingkan dua hal
secara singkat dan jelas. Kutipan yang menandai adanya gaya bahasa
metafora pada kalimat diatas adalah “…lenge semut...” ‘…lubang
semut…’. kutipan leng semut makna konotasinya adalah lubang
semut, atau tempat tinggal semut dan sudah pasti tidak bisa dimasuki
manusia, sehingga makna denotasinya adalah kemanapun. Kalimat
tersebut menggambarkan seseorang yang sedang mengejar orang yang
mencurigakan sehingga akan mengejar kemanapun dia pergi. Jika
90
kutipan di atas diartikan secara tulisan, maka tidak mungkin seseorang
bisa masuk kelubang semut.
4) “sabacute, “nek si Adhi nganti kena blithuk njur tumindak dudu, wadhuh rak digeguyu tengu, Dhi?” Disraya sapa, kowe arep gawe cilaka nyidra yuswane Den Abru, hm?!!”
‘selanjutnya, kalau si Adik sampai tertipu lantas bertindak buruk, waduh bisa ditertawakan tengu, adik? Dibantu siapa, kamu mau menyelakai nyawa Den Abru, hm?!!
Metafora adalah gaya bahasa yang membandingkan dua hal
secara singkat dan jelas. Kutipan yang menandai adanya gaya bahasa
metafora pada kalimat di atas adalah “…digeguyu tengu…”
‘…ditertawakan kutu…’ kata diguyu tengu adalah makna konotasi,
karena tenggu adalah hewan sejenis kutu yang sangat kecil.
Sedangkan makna denotasinya adalah memalukan. Pada kalimat
diatas menggambarkan seseorang sedang menegur adiknya agar tidak
melakukan hal yang merugikan orang lain. Jika kutipan di atas
diartikan secara penggunaan kata maka tidak mungkin kutu bisa
tertawa dan didengarkan oleh manusia.
5) “Keprie olehe ancang-ancang arep njangkahake sikil? Jer dalan sing arep ditempuh kebak watu sandungan. Gek watu sandungane metu saka njero atine dhewe.” ‘Bagaimana dapat ancang-ancang mau melangkahkan kaki? Kalau jalan yang mau ditempuh penuh dengan batu sandungan. Dan batu sandungan keluar dari dalam hati sendiri.’
Metafora adalah gaya bahasa yang membandingkan dua hal
secara singkat dan jelas. Kutipan yang menandai adanya gaya
bahasa metafora pada kalimat di atas adalah “…watu
91
sandungan…” kata watu sandungan adalah makna konotasi
karena, batu adalah benda yang nyata. Sedangkan di dalam
kutipan batu sandungannya terdapat didalam hati. Sehingga makna
denotasinya adalah halangan atau rintangan. Kalimat di atas
menggambarkan seorang wanita yang ingin melupakan cintanya
pada seorang laki-laki namun jalan yang harus dilalui penuh
dengan rintangan. Penggunaan gaya bahasa metafora sangat jelas
karena membandingkan dua hal yang berbeda, dimana arti kata
“…watu sandungan…” yang sebenarnya berbeda dengan makna
dalam kutipan tersebut.
“ora antop, ora segu. Mung ngematake suara tracak jaran
sing mecah sepining wengi.”
‘tak bersendawa, tak cegukan.hanya mendengarkan suara
tracak jaran yang memecah sepining wengi.’
Metafora adalah gaya bahasa yang membandingkan dua hal
secara singkat dan jelas. Kutipan yang menandai adanya gaya
bahasa metafora pada kalimat diatas adalah “…ora antop, ora
segu…” ‘…tak bersendawa, tak cegukan...’. kutipan ora antop ora
segu bermakna konotasi, sedangkan makna denotasinya adalah
tidak berbicara sama sekali. Kalimat di atas menggambarkan dua
orang yang sedang menaiki kuda namun tidak berbicara sama
sekali, hanya suara langkah kuda yang memecah sepinya malam.
Kutipan di atas apabila diartikan secara tulisan artinya sangat
92
berbeda dengan makna sebenarnya di dalam cerita tersebut,
sehingga gaya bahasa metafora sangat jelas digunakan pada
kutipan di atas.
6) “ora ana mandege! Dina-dina sing tumrap Rara Windrati dadi eri. Eri sing tansah ngrendhet-rendhet rasa pangarsane. Nglarani ati.”
‘tidak ada hentinya! Hari-hari menurut Rara Windrati jadi duri. Duri yang masih menghambat rasa perasaanya. Menyakiti hati.” Metafora adalah gaya bahasa yang membandingkan dua hal
secara singkat dan jelas. Kutipan yang menandai adanya gaya
bahasa metafora pada kalimat diatas adalah “…eri…” ‘…duri…’.
Kata eri adalah makna konotasi karena tidak mungkin didalam
hati ada sebuah duri yang menghambat. Sedangkan makna
denotasinya adalah kesedihan. Kalimat di atas menggambarkan
seorang wanita yang sedang merasakan kesengsaraan di dalam
hidupnya. Pemanfaatan gaya bahasa metafora sangat jelas, karena
ungkapan yang terlihat abstrak menjadi konkret.
7) “ayumu kuwi ora nggawa madu nanging bendhu. Ngrebut atine Raden Abru wae kalah ubet karo bocah ndesa sing bodho ora pakra!”
‘kecantikanmu itu tidak membawa madu tapi bencana. Merebut hatinya Raden Abru saja kalah sama anak desa yang bodoh tak tau apa-apa!
Metafora adalah gaya bahasa yang membandingkan dua hal
secara singkat dan jelas. Kutipan yang menandai adanya gaya
bahasa metafora pada kalimat diatas adalah “…madu nanging
93
bendhu…” ‘…madu tapi bencana…’. Kutipan madu nanging
bendhu adalah makna konotasi, sedangkan makna denotasinya
adalah keberuntunan tapi kesialan. Kalimat di atas
menggambarkan seseorang wanita yang sedang dimarahi karena
tidak bisa memikat hati laki-laki yang diharapkan. Penggunaan
gaya bahasa metafora sangat jelas, karena ungkapan yang
membandingkan madu dengan kesialan atau bendu.
8) Rara Windrati…!!!” panjerite Raden Ayu Tirtanata terus nubruk layone Rara Windrati karo nangis gero-gero. Rasa tresna asih marang putri sakmata wayange bali ngebeki atine.
‘Rara Windrati…!!! Jeritan Raden Ayu Tirtanata turus menangkap Rara Windrati dengan menangis tersedu-sedu. Rasa cinta kasih kepada putri semata wayang pulang menyakiti hati.
Metafora adalah gaya bahasa yang membandingkan dua hal
secara singkat dan jelas. Kutipan yang menandai adanya gaya
bahasa metafora pada kalimat di atas adalah pada kata “…sakmata
wayange…” ‘…semata wayang…’. Kata sakmata wayang dalam
kutipan tersebut bermakna konotasi atau kias, sedangkan makna
sebenarnya dari kata sakmata wayang adalah satu-satunya.
Kalimat diatas menggambarkan seorang ibu yang sangat terpukul
atas kematian anak satu-satunya karena bunuh diri. Penggunaan
gaya bahasa metafora sangat jelas, karena ungkapan yang
membandingkan dua hal yang berbeda, yaitu anak satutunya
dengan jumlah mata pada wayang.
94
9) “weruh Rara Windrati adus getih, Raden Ayu Tirtanata
rumangsa kaduwung.”
‘melihat Rara Windrati mandi darah, Rara Ayu tirtanata merasa menyesal.’
Metafora adalah gaya bahasa yang membandingkan dua hal
secara singkat dan jelas. Kutipan yang menandai adanya gaya
bahasa metafora pada kalimat di atas adalah pada kata “…adus
getih…” “…mandi darah…”. Kata adus getih adalah makna
konotasi, karena mandi adalah mengguyurkan air keseluruh tubuh.
sedangkan maksa denotasinya adalah terluka parah. Kalimat diatas
menggambarkan seseorang yang terluka parah sehingga darahnya
banyak yang keluar.
c. Personifikasi
Menurut Waridah (2014: 342) personifikasi adalah gaya
bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-
barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat
kemanusiaan. Menurut Gunawan (2014: 158) pesonifikasi adalah
majas yang membandingkan benda-benda tidak bernyawa seolah-olah
memiliki sifat seperti manusia. Contoh: matahari baru saja kembali
keperanduannya, ketika kami tiba disana. Jadi personifikasi adalah
gaya bahasa yang membandingkan benda mati menjadi hidup
layaknya manusia.
95
Penggunaan gaya bahasa personifikasi dalam cerita rakyat
Bebanten Katersnan terdapat pada kutipan-kutipan berikut.
kokoh sega menthik wangi lan jangan menir. Sambel trasi lan lawuhe ayam panggang.”
‘kiswaka terlihat lahap saat makan. Sruthap-srutup kuah nasi menthik wangi dan sayur menir. Sambal trasi dan lauknya ayam panggang.’
Pada kutipan tersebut, gaya bahasa metonimia terdapat
pada kutipan “…sega menthik wangi lan jangan menir. Sambel
trasi…” ‘…kuah nasi menthik wangi dan sayur menir. Sambal
trasi…’ kutipan tersebut menyebutkan nama-nama jenis makanan.
4) “salebare mangan, Yekti sing wis salin panganggo jaritan bathik Lasem, bayak putih sulak kuning gambar kembang plenik-plenik, katon melu epyoh nglengseri cething, piring, mangkok. Layah lan liya-liyane.”
‘Setelah makan, Yekti yang sudah ganti pakaian memakai kain batik Lase, kebaya putih campur kuning gambar bunga kecil-kecil. terihat ikut membereskan tempat nasi, piring, mangkok, coblek dan lain-lainnya.
Pada kutipan tersebut, gaya bahasa metonimia terdapat
pada kutipan “…jaritan bathik Lasem, bayak putih sulak kuning
gambar kembang plenik-plenik…” ‘kain batik Lasem, kebaya
101
putih campur kuning gambar bunga kecil-kecil..’. kutipan tersebut
menyebutkan salah satu nama jenis pakaian khas asal Indonesia
yaitu batik dan kebaya. Dari kutipan di atas menceritakan Yekti
yang tampak cantik menggunakan kain batik sabagai bawahan
dan menggunakan atasan kebaya.
f. Sinestasia
Menurut Waridah (2014: 339) sinestesia adalah gaya bahasa
yang mempertukarkan dua indra yang berbeda. Contoh: Kamu sangat
manis saat memekai baju kebaya.(manis = indra pengecapan bertukar
dengan indra pengelihatan)
Penggunaan gaya bahasa sinestasia dalam penjebar semangat
Pada kutipan tersebut, gaya bahasa sinestasia terdapat pada
kutipan “…mesem manis…” ‘..senyum manis..’. kutipan tersebut
menyebut seorang yang cantik dengan kata manis, sehingga indra
pengucap bertukar dengan indra pengelihatan. Karena rasa manis
sewajarnya untuk makanan. Kutipan di atas menceritakan Rara
Windrati yang tersenyum karena malu saat bertemu dengan seseorang
yang dia sukai.
102
2) “merga Ki Rejasa dianggep wis dhaweg olehe ngrasakake pait getir utawa pedhes-asine lelakon.”
‘karena Ki Rejasa dianggapa sudah kenyang merasakan pahit getir atau pedas-manis kehidupan.’
Pada kutipan tersebut, gaya bahasa sinestasia terdapat pada
kutipan “…ngrasakake pait getir utawa pedhes-asine lelakon…”
‘merasakan pahit getir atau pedas-manis kehidupan…’. Kutipan
tersebut indra perasa bertukar dengan indra pengecap. Karena rasa
pahit, pedas, asin hanya untuk makanan. Kutipan di atas menceritan
seseorang yang sudah berpengalam, sudah kenyang merasakan susah
senang dalam kehidupannya.
g. Alegori
Menurut Waridah (2014: 339) Alegori adalah gaya bahasa untuk
mengungkapkan suatu hal melalu kiasan atau penggabaran.
Sedangkan menurut Gunawan (2014:158) alegori adalah majas yang
mempertautkan satu dengan yang lainnya dalam kesatuan yang utuh.
Penggunaan gaya bahasa alegori dalam cerita rakyat Bebanten
terdapat pada kutipan-kutipan sebagai berukut.
1) “banjur kepriye olehe arep nglakoni yen dheweke kudu seomah karo kangmase dhewe? Huhhh! Kaya jagad iki mung segodhong kelor.”
‘terus bagaimana mau menjalani kalau dirinya harus serumah sama kakak sendiri? Huhhh! Seperti dunia ini hanya sedaun kelor’
Pada kutipan tersebut, gaya bahasa alegori terdapat pada
kautipan “…Kaya jagad iki mung segodhong kelor…” ‘…Seperti
103
dunia ini hanya sedaun kelor…’. Kutipan tersebut menggambarkan
dunia sangat sempit ibarat hanya sedaun kelor, karena begitu banyak
laki-laki kenapa harus menikah dengan seorang yang sudah dianggap
saudara kandung. Pada kutipan diatas pengguanan gambaran melalui
kiasan sangat jelas karena dunia tak selebar daun kelor adalah
pribahasa yang menggambarkan dunia ini sebenarnya sempit.
2) “sejene kuwi, dieling yen drajat pangkat mono mung sampiran lan bandha donya mung titipan. Sawayah-wayah bisa dipundut sing kagungan. Kang Akarya Jagat mula ana unen-unen: drajat pangkat kenane oncat, bandha dunya kenane lunga.”
‘selain itu, diingat kalau drajat pangkat itu hanya sementara dan harta dunia hanya titipan. Sewaktu-waktu bisa diambil yang punya. ada pribahasa: drajat dan pangkat bisa lepas, harta dunia bisa pergi.’ Pada kutipan tersebut gaya bahasa alegori terdapat pada
kautipan “…drajat pangkat kenane oncat, bandha dunya kenane
lunga…” ‘…drajat dan pangkat bisa lepas, harta dunia bisa pergi…’.
Pada kutipan tersebut menjelaskan bahwa, drajat dan pangkat bisa
lepas dan harta dunia bisa hilang. Sebagai manusia hendaknya jangan
terlalu sombong dengan kekayaan dunia.
3) ”nek wis jodho…, paribasan “asem ing gunung, uyah ing segara bisa kumpul nyawiji ing kuwali.”
‘kalau sudah jodoh…, seandainya ”asam digunung, garam dilautan bisa bersatu dalam kuali.’
Pada kutipan tersebut, gaya bahasa alegori terdapat pada
kautipan “…asem ing gunung, uyah ing segara bisa kumpul nyawiji
ing kuwali..” ‘…asam digunung, garam dilautan bisa bersatu dalam
104
kuali…’. Kalimat tersebut menjelaskan bahwa, apabila sudah jodoh
mau sejauh apa pasti ahirnya akan bersatu. Pengguanaan gaya bahasa
alegori pada kutiapan di atas sangat jelas karena menggunaan
pribahasa untuk menggambarkan sesuatu, yaitu menggambarkan
jodoh manusia seperti asam digunung garam dilautan yang pasti akan
bertemu.
4) “Demang Grenceng nggraita, uwoh kue tibane ora adoh saka wite. Banyu kuwi mesthi mili meng ngisor, mudhun. Ora ana banyu sing mili munggah. Watak wantune anak ora adoh saka watak wantune wong tua.”
‘Demang Grencang berbicara dalam batin, buah itu jatuhnya tidak jauh dari dari pohonnya. Air mengalir kebawah, turun. Tidak ada air yang mengalir keatas. Watak aslinya anak tidak jauh dari watak aslinya orang tua.’ Pada kutipan tersebut, gaya bahasa alegori terdapat pada
kautipan ”…uwoh kue tibane ora adoh saka wite. Banyu kuwi mesthi
mili meng ngisor, mudhun…” ‘…buah itu jatuhnya tidak jauh dari dari
pohonnya. Air mengalir kebawah, turun..”. kutipan tersebut
menjelaskan bahwa, seorang anak pasti tidak jauh dari orang tuanya,
yaitu dalam hal tinggkah laku sampi fisiknya. Pada kutipan diatas
gaya pengguanan gaya bahasa alegori sangat jelas, karena
menggunakan bahasa kias untuk menggambarkan sesuatu, yaitu
menggambarkan seseorang yang tidak mungkin jauh dari ayahnya dari
sisi fisik dan sifatnya digambarkan seperti buah yang jatuh tidak akan
jauh dari pohonnya.
5) “cilike keslomot gedhene bisa kobong. Dadi ketimbang luhur apa lebur dhek emben kae terus disuwak ngono wae.
105
Sumungguha nampa Rara Windrati banjur kepie mengko tumanggape Raden Abru. Karo maneh nuruti kekarepane Rara Windrati padha wae karo dolanan geni.”
‘Kecil tersulut besar bisa terbakar. Jadi ketimbang luhur apa lebur lebih baik dilupakan saja. Seandainya menerima Rara Windrati bagaimana nanti tanggapan Raden Abru.apalagi menuruti kemauan Rara Windrawati seperti bermain api.’ Pada kutipan tersebut, gaya bahasa alegori terdapat pada
kutipan “…cilike keslomot gedhene bisa kobong…” ‘…Kecil tersulut
besar bisa terbakar…”. Kutipan tersebut menjelaskan seseorang yang
berada dalam keadaan sulit, yaitu memilih menerima cinta tuan putri
namun bisa berdampak buruk. Sehingga lebih memilih untuk
melupakan hal tersebut.
h. hiperbola
Menurut Waridah (2014: 341) hiperbola adalah sarana gaya
bahasa yang bersifat melebih-lebihkan sesuatu kenyataan. Sedangkan
menurut Pradopo (2012:98) hiperbola adalah gaya bahasa yang
melebih-lebihkan suatu hal atau keadaan.
Penggunaan sarana retorika pada cerita rakyat Bebanten
katresnan terdapat pada kutipan berikut ini.
1) “tangis diendhem. Sesek. Rasane nganti kaya mbenthot nyawane.” ‘tangis ditahan. Sesak. Rasanya sampai seperti menarik nyawanya.’
Pada kutipan tersebut, sarana retorika hiperbola terdapat pada
kutipan “…Rasane nganti kaya mbenthot nyawane …” ‘…Rasanya
106
sampai seperti menarik nyawanya …’. kutipan tersebut tersebut
dilebih-lebihkan bertujuan untuk memberi kesan betapa sedihnya
menahan tangisan, sehingga diibaratkan nyawanyapun ikut tercabut.
Pada kutipan diatas menceritakan seorang yang memendam masalah
tanpa menceritakan kepada orang lain, sehingga rasanya sampai
menarik nyawanya sendiri. Penggunaan sarana retorika hiperbola pada
kutipan di atas sangat jelas, karena melebih-lebihkan akibat dari
sebuah masalah yang dipendam sendiri, yaitu sampai menarik
nyawanya.
2) “manuk bencik nyamber-nyamber, cuwat-cuwet kaya mbedhah sepining wengi.”
‘burung becik menyambar-nyambar, bersiur-siur seperti membelah sepinya malam’
Pada kutipan tersebut, sarana retorika hiprerbola terdapat pada
sepinya malam…’. Kalimat tersebut menjelaskan burung yang
bersuara saat malam hari ketika suasananya sepi, sehingga suara
burung seperti membelah sepinya malam. Dari kutipan di atas terlihat
jelas makna hiperbola, karena sangat melebih-lebihkan apabila suara
bisa membelah malam sehingga pemanfaatan sarana retorika hiperbola
pada kalimat diatas sangat jelas.
3) “brrrtt!!! Lakune getihe Kiswaka kaya munjuk. Raine kemramnyas, panas. Dhek mben dheweke pancen tau duwe pangarep-arep bisa cedhak lan Rara Windrati.
107
‘brrrtt!!! Berjalannya darah Kiswaka seperti naik. Mukanya memanas, panas. Kalau dulu dirinya memang pernah punya keinginan bisa dekat sama Rara Windrati.’
Pada kutipan tersebut, sarana retorika hiperbola terdapat pada
kutipan “…Lakune getihe Kiswaka kaya munjuk …” ‘…Berjalannya
darah Kiswaka seperti naik …’. Darah adalah salah satu bagian dari
tubuh manusia. kutipan tersebut memberi kesan batapa berdebar-
debarnya Kiswaka ketika bertemu seseorang yang dari dulu dia sukai.
Bahkan sampai-sampai diibaratkan darahnya sampai naik. Dari
kutipan di atas makna hiperbola sangat jelas karena darah pada
dasarnya ada disemua bagian tubuh manusia, sehingga sangat
melebih-lebihkan apabila darah sampai naik.
4) “awit atine Yekti wis kedarung kecengkrem rasa kasengsem marang kebagusane Raden Abru.”
‘dari hatinya Yekti sudah terlanjur tercengkram rasa cinta kepada kegantengan Raden Abru.’ Pada kutipan tersebut, sarana retorika hiprbola terdapat pada
kutipan “…kedarung kecengkrem rasa kasengsem…” ‘…terlanjur
tercengkram rasa cinta …’.cinta adalah sebuah rasa suka kepada
lawan jenis, yang diakibatkan karena fisik atau simpatik. Pada
kutipan diatas menceritakan rasa cinta yang sudah terlalu dalam
sehingga hatinya seperti dicengkram. Sarana retorika pada kutipan di
atas sangat jelas karena cinta bukanlah sebuah benda bernyawa yang
bisa menyengkram. Sehingga kutipan di atas sangat dilebih-lebihkan.
5) “Kiswaka ngrasakake sumilire angin sing ora sabaene sumeresep nyengkerem balung sungsum.”
108
‘Kiswaka merasakan semilir angin yang tidak biasa meresap menyengkeram tulang sungsum.’ Pada kutipan tersebut, sarana retorika hiperbola terdapat pada
kutipan “…sumilire angin sing ora sabaene sumeresep nyengkerem
balung sungsum …” ‘…Kiswaka merasakan semilir angin yang tidak
biasa meresap menyengkeram tulang sungsum.’…’. Kutipan tersebut
menggambarkan bahwa semilir angin yang tidak biasa, angin yang
dingin sampai-sampai seperti terasa menyengkeram sampai ke tulang
sumsum. Penggunaan hiperbola pada kutipan di atas sangat jelas
karena angin bukanlah benda hidup yang bisa menyengkram
meskipun sangat dingingin hembusannya, jadi kutipan di atas sangat
berlebihan.
6) “rasane pait nyengkerem gulu. Krungu kabar yen Raden Abru wis mboyong Yekti menyang dalem kasatrian, napsu amarahe Adipati Tirtanata saya kobar mangalad-alad.”
‘rasanya pait menyengkeram leher. Mendengar kabar kalau Raden Abru sudah memboyong Yekti menuju daam kerajaan, nafsu amarah Adipaati Tirtanata semakin terbakar mengglegar.’ Pada kutipan tersebut, sarana retorika terdapat pada kutipan
Widyatama. Ernawati, Waridah. 2014. Ejaan Yang di Sempurnakan & Seputar Kebahasaan-
Indonesia. Bandung. Ruang Kata. Gunawan, Arif Priyo. 2014. Kamus Master Ejaan yang Disempurnakan.
Jogjakarta. Laksana Isti Tursinah .2012. Analisis Gaya Bahasa dan Nilai-Nilai Pendidikan dalam
Novel Nalika Langite Obah Karya Emsiet. Skripsi. Purworejo. Universitas Muhammadiyah Purworejo.
Mahsun.2013. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Moleong, Lexy J.2011. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya. Nurgiantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi.Yogyakarta: Gajah Mada
University Press. Nurhayati. 2013. Apresiasi Prosa Fiksi Indonesia. Surakarta. Cakrawala Media Nurhayati. 2012. Pengantar Ringkas Teori sastra. Surakarta. Media Perkasa Pradopo, Rachmat Djoko. 2012. Pengkajian Puisi. Yogyakarta. Gajah Mada
Surakarta: Yuma Pressindo. Subroto, Edi.1991. Tata Bahasa Deskriptif Bahasa Jawa. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Sudaryanto. 1982. Dasar-Dasar Teori Sastra. Surakarta: Widya Duta. Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta Sri adi harjono. 2013. Bebanten Katresnan.Surabaya. Penjebar Semangat