ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA BEBERAPA KONDISI KAWASAN MANGROVE DI KECAMATAN SINJAI TIMUR DAN SINJAI UTARA KABUPATEN SINJAI Analysis on Bivalvia Community Structure of Several Conditions of Mangroves Areas at East Sinjai and North Sinjai Districts Sinjai Regency ANNITA SARI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2011
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA
PADA BEBERAPA KONDISI KAWASAN MANGROVE
DI KECAMATAN SINJAI TIMUR DAN SINJAI UTARA
KABUPATEN SINJAI
Analysis on Bivalvia Community Structure of Several
Conditions of Mangroves Areas at East Sinjai and
North Sinjai Districts Sinjai Regency
ANNITA SARI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2011
2
ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA
PADA BEBERAPA KONDISI KAWASAN MANGROVE
DI KECAMATAN SINJAI TIMUR DAN SINJAI UTARA
KABUPATEN SINJAI
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi
Pengelolaan Lingkungan Hidup
Disusun dan diajukan oleh
ANNITA SARI
kepada
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2011
3
ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA
PADA BEBERAPA KONDISI KAWASAN MANGROVE
DI KECAMATAN SINJAI TIMUR DAN SINJAI UTARA
KABUPATEN SINJAI
Disusun dan diajukan oleh :
ANNITA SARI
Nomor Pokok P0304209001
Menyetujui
Komisi Penasihat,
Prof. Dr. Ir. Ambo Tuwo, DEA. Prof. Dr. Ir. Chair Rani, M.SiKetua Sekretaris
Ketua Program Studi,Pengelolaan Lingkungan Hidup,
Prof. Dr. Ir. Ngakan Putu Oka, M.Sc
4
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : Annita SariNomor Mahasiswa : P0304209001Program Studi : Pengelolaan Lingkungan Hidup
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis/disertasi yang saya
tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan
merupakan pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila
dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau
keseluruhan tesis/disertasi ini hasil karya orang lain, saya bersedia
menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
Makassar, 05 Agustus 2011
Yang menyatakan,
Annita Sari
5
PRAKATA
Alhamdulillahirabbil‘alamin, Puji syukur penulis panjatkan kehadirat
Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya tesis ini.
Gagasan yang melatar belakangi tesis ini muncul karena
banyaknya kegiatan rehabilitasi mangrove namun dampak ekologis dari
kegiatan tersebut belum banyak diteliti, padahal manfaat ekosistem ini
secara langsung maupun tidak langsung sangat berpengaruh terhadap
keberlanjutan pengelolaan suatu wilayah pesisir. Untuk itu maka penelitian
mempelajari mengenai keberhasilan ekologi dari beberapa kondisi
mangrove terhadap bivalvia.
Banyak kendala yang dihadapi oleh penulis dalam rangka
penyusunan tesis ini, yang hanya berkat bantuan berbagai pihak, maka
tesis ini selesai pada waktunya.
Dalam kesempatan ini penulis dengan tulus menyampaikan terima
kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Ambo Tuwo, DEA. sebagai Ketua Komisi Penasihat dan
Prof. Dr. Ir. Chair Rani, M. Si. sebagai Anggota Komisi Penasihat
atas bantuan dan bimbingannya sejak awal penelitian sampai
penyusunan tesis ini.
2. Dr. Ir. M. Farid Samawi, M. Si., Prof. Dr. Ir. Niartiningsih, M.Si., dan
Dr. Ir. Ali Hamzah, M.Sc. sebagai Anggota Komisi Penguji atas
saran dan kritik yang membangun guna penyempurnaan tesis ini.
6
3. Kedua orang tua tercinta Ayahanda H. Syahrir Sutarman, SE. dan
Ibunda Hj. Sitti Aminah, atas limpahan kasih sayang, do’a,
perhatian dan dukungan baik secara spiritual maupun materiil, serta
Saudara-saudaraku atas dukungan dan perhatiannya.
4. Tim penelitian Restu Sirante, Andi Chadijah, K’ Rhido Alam Syah,
Syamsul Syarif, Arman, Andi Hikmah Adria, Andi Mutia Tungke atas
kerjasama dan kebersamaannya selama penelitian.
5. Teman-teman PLH’09 : Restu Sirante, Yuliana Ulfah, K’ Ade
Widyasari, K’ Asmidar, K’ Nova monika, K’ Rudy Syam, atas
kebersamaanya selama menimba ilmu di Pasca Sarjana UNHAS.
6. Teman-temanku yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu,
terima kasih atas bantuannya.
Makassar, 05 Agustus 2011
Penulis
7
ABSTRAK
Annita Sari. Analisis Struktur Komunitas Bivalvia Pada Beberapa Kondisi
Kawasan Mangrove di Kecamatan Sinjai Timur dan Sinjai Utara Kabupten Sinjai.
(dibimbing oleh Ambo Tuwo dan Chair Rani)
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis (1) struktur komunitas;
(2) struktur komunitas bivalvia pada beberapa ekosistem mangrove diKecamatan Sinjai Timur dan Sinjai Utara; (3) Dampak ekologi usaharehabilitasi mangrove terhadap stuktur komunitas bivalvia; (4) pengaruhfaktor lingkungan terhadap struktur komunitas bivalvia.
Sebaran dan kerapatan mangrove diukur dengan metode kuadarat 10x10
m2. Sampling bivalvia menggunakan sekop (20x20 cm2) dalam transek kuadrat
ukuran 1x1 m2. Analisis data yang digunakan adalah One-Way Anova untuk
melihat tingkat perbedaan kerapatan mangrove, jumlah jenis dan kepadatan
bivalvia. Keterkaitan lingkungan dengan bivalvia menggunakan metode
Canonical Correspondence Analysis.
Hasil penelitian menunjukkan ada empat jenis mangrove (Avicennia alba,
R.mucronata, R.stylosa dan Ceriops spp.). Hasil identifikasi bivalvia ditemukan
13 jenis dari 8 famili sebanyak 252 ind. Jumlah jenis dan kepadatan bivalvia yang
memiliki sebaran tertinggi, yaitu A.antiquata dan G.tumidum. Indeks ekologi
mengindikasikan mangrove yang relatif masih alami lebih baik dibandingkan
dengan mangrove hasil rehabilitasi. Mangrove rehabilitasi secara nyata
mempengaruhi jumlah jenis bivalvia namun tidak pada kepadatan bivalvia.
Kata Kunci : Mangrove, Bivalvia
8
ABSTRACT
Annita Sari. Analysis on Bivalvia Community Structure of Several Conditions of
Mangroves Areas at East Sinjai and North Sinjai Districts Sinjai Regency
(supervised by Ambo Tuwo and Chair Rani)
The Research aimed to : (1) elaborate the mangrove community structrue
at East Sinjai and North Sinjai Districts; (2) Analyse bivalvia community structure
on several mangrove ecosystems at East Sinjai and North Sinjai Districts; (3)
affect the ecology of effort rehabilitating mangrove to bivalvia community
structure; (4)investigate the impact of the environment factor towards bivalvia
community structure.
Mangrove distribution and density were measured by a quadratic method
of 10x10m2. Bivalvia sampling used a spade (20x20 cm2) in the quadratic
transect of 1x1m2 size. Data analysis used was One-Way anova to perceive the
difference level of the mangrove density, the number, type and density of
bivalvia. The environment relationship with bivalvia used the Canonical
Correspondence Analysis Method.
During the research, four types of mangroves (Avicennia alba,
R.mucronata, R.stylosa dan Ceriops spp.) are obtained. The result of bivalvia
identification produces 13 types and 8 families as many as 252 ind. The number
of bivalvia types and densities which has the highest spreading is A.antiquata
and G.tumidum. The ecology index indicates that the mangroves which are still
natural are better than the rehabilitation result mangroves. The rehabilitation
mangroves factually influence the number of bivalvia types, but not on the
bivalvia density.
Key-word : Mangrove, Bivalvia
9
DAFTAR ISI
halaman
DAFTAR TABEL ix
DAFTAR GAMBAR x
DAFTAR LAMPIRAN xii
I. PENDAHULUANA. Latar Belakang 1B. Rumusan Masalah 4C. Tujuan Penelitian 4D. Kegunaan Penelitian 5E. Lingkup Penelitian 5
II. TINJAUAN PUSTAKAA. Mangrove
a. Definisi Mangrove 6b. Penyebaran Mangrove 7c. Zonasi Mangrove 8d. Fungsi dan Peranan Hutan Mangrove 10e. Kerusakan Kawasan Mangrove 12
B. Bivalviaa. Morfologi Bivalvia 15b. Habitat Bivalvia 17c. Bivalvia Sebagai Indikator Pencemaran 19d. Parameter Lingkungan yang mempengaruhi keberadaan
Bivalvia 20C. Indeks Ekologi 24D. Kerangka Pikir 26E. Riwayat Penyelamatan Lingkungan 29F. Gambaran Umum Lokasi 31
III. METODE PENELITIANA. Waktu dan Lokasi Penelitian 33B. Alat dan Bahan 34C. Tahapan Penelitian 36
1. Tahap Persiapan dan Observasi 362. Prosedur Pengambilan Data 363. Analisis Data 42
10
IV. HASIL DAN PEMBAHASANA. Struktur Komunitas Mangrove
1. Sebaran dan Kerapatan Mangrove 482. Indeks Nilai Penting (INP) 51
B. Struktur Komunitas BIvalvia1. Sebaran dan Komposisi jenis 522. Jumlah jenis dan Kepadatan Bivalvia 573. Indeks Ekologi Bivalvia 60
C. Analisis Dampak Ekologia. Jumlah Jenis dan Kepadatan Bivalvia 63b. Perbandingan Indeks Ekologi 65c. Hubungan Tinggi-Berat Cangkang Bivalvia 67
D. Keterkaitan Struktur Komunitas Bivalvia dengan Lingkungan 71
V. KESIMPULAN DAN SARANA. Kesimpulan 75B. Saran 76
DAFTAR PUSTAKA 77
LAMPIRAN
11
DAFTAR TABEL
nomor halaman
2.1. Luas Hutan Mangrove di Indonesia (Arief, 2003) 7
2.2. Beberapa Dampak Aktivitas Manusia terhadapHutan Mangrove (Bengen, 2000) 13
2.3. Kategori Indeks Keanekaragaman Jenis 25
2.4. Kategori Indeks Keseragaman Jenis 25
2.5. Kategori Indeks Dominansi 26
2.6. Kegiatan Tahunan Penanaman Mangrove 29
3.1. Peralatan dan Bahan yang digunakan 35
3.2. Klasifikasi Sedimen berdasarkan Ukuran Partikel 40
3.3. Kriteria Kerusakan Mangrove 44
4.1. Sebaran Mangrove pada setiap stasiun pengamatan 49
4.2. Kondisi Mangrove berdasarkan nilai kerapatan (KMNLH,2004) 51
4.3. Indeks Nilai Penting (INP) mangrove 52
4.4. Sebaran Jenis bivalvia pada setiap stasiun pengamatan 53
4.5. Perbandingan nilai kepadatan bivalvia pada beberapakondisi mangrove 57
4.6. Nilai Koefisien a dan b berdasarkan analisis regresi linierhubungan Tinggi-Berat Bivalvia 67
12
DAFTAR GAMBAR
nomor halaman
2.1. Zona Kawasan Mangrove yang masih lengkap (Bengen, 2000) 9
2.2. Morfologi Bivalvia 16
2.3. Anatomi Bivalvia 17
2.4. Siklus Hidup Bivalvia 18
2.5. Kerangka Pikir Penelitian 28
3.1. Peta Lokasi Penelitian 33
3.2. Model Pemasangan Line Transek dan Plot pengamatanMangrove 38
3.3. Model Pengambilan Sampel Bivalvia pada setiap plotpengamatan mangrove 39
3.4. SegitigaTekstur Tanah 41
3.5. Bagan Alir Penelitian 47
4.1. Kerapatan mangrove. Huruf yang berbeda pada grafikmenunjukkan perbedaan yang nyata pada alpha 5%berdasarkan Anova (one-way anova) 49
4.2. Komposisi Jenis Bivalvia pada seluruh Stasiun 53
4.3. Komposisi Jenis Bivalvia stasiun I (a); stasiun II (b);Stasiun III (c); stasiun IV (d) dan daerah Non-Vegetasi/NV (e) 55
4.4. Jumlah Jenis Bivalvia (a) dan Kepadatan bivalvia (ind/m2) (b)yang ditemukan pada setiap stasiun. Huruf yang berbedapada grafik menunjukkan perbedaan yang nyata pada alpha5% berdasarkan Anova (one-way anova) 59
4.5. Grafik Indeks Keanekaragaman (H’) antar stasiun 60
4.6. Grafik Indeks Keseragaman (E) bivalvia antar Stasiun 61
4.7. Grafik Indeks Dominansi (D) bivalvia antar stasiun 62
13
4.8. Dendrogram kemiripan struktur komunitas bivalvia yangditemukan selama penelitian pada beberapa jenis mangrove 63
4.9. Jumlah Jenis Bivalvia (a); Kepadatan bivalvia (b)Uji t-berpasangan (paired sample t-test) pada alpha 5%. 64
4.10. Perbandingan Indeks Ekologi antara Stasiun Mangrove denganNon-Vegetasi. a) Indeks Keanekaragaman (H’);b) Indeks Keseragaman (E); c) Indeks Dominansi (D) 66
pH sedimen, bahan organik total (BOT) sedimen dan tekstur
sedimen.
20
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Mangrove
a. Definisi Mangrove
Mangrove merupakan ekosistem yang terdapat di antara daratan
dan lautan dan pada kondisi yang sesuai mangrove akan membentuk
hutan yang ekstensif dan produktif, karena hidupnya di dekat pantai,
mangrove sering juga dinamakan hutan pantai, hutan pasang surut, hutan
payau, atau hutan bakau.
Wilayah mangrove dicirikan oleh tumbuh-tumbuhan khas
mangrove, terutama jenis-jenis Rhizophora, Bruguiera, Ceriops,
Avicennia, Xylocarpus dan Acrostichum. Selain itu juga ditemukan jenis-
jenis Lumnitzera, Aegiceras, Scyphyphora dan Nypa. Mangrove
mempunyai kecenderungan membentuk kerapatan dan keragaman
struktur tegakan yang berperan penting sebagai perangkap endapan dan
perlindungan terhadap erosi pantai. Sedimen dan biomassa tumbuhan
mempunyai kaitan erat dalam memelihara efisiensi dan berperan sebagai
penyangga antara laut dan daratan, bertanggung jawab atas kapasitasnya
sebagai penyerap energi gelombang dan menghambat intrusi air laut ke
daratan. Selain itu, tumbuhan tingkat tinggi menghasilkan habitat untuk
perlindungan bagi hewan-hewan muda dan permukaannya bermanfaat
sebagai substrat perlekatan dan pertumbuhan dari banyak organisme
epifit (Nybakken, 2007).
21
b. Penyebaran Mangrove
Perkembangan hutan mangrove di Indonesia terjadi di daerah
pantai yang terlindung dan di muara-muara sungai dengan variasi lebar
beberapa meter sampai dengan ratusan meter lebih. Hutan Mangrove
tumbuh hampir di seluruh provinsi di Indonesia. Wilayah hutan mangrove
yang paling luas terdapat di Papua, Kalimantan Timur, Sumatra Selatan,
Riau dan Maluku (Arief, 2003). Luas hutan mangrove di Indonesia dapat
dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Luas Hutan Mangrove di IndonesiaNo Provinsi Unesco 1990 (Ha) INTAG 1993 (Ha)1 Daerah Istimewa Aceh 50.000 102.9692 Sumatra Utara 60.000 93.3443 Sumatra Barat - 4.8444 Riau 95.000 221.0455 Jambi - 13.4536 Sumatra Selatan 195.000 363.4247 Bengkulu - 2.6128 Lampung 17.000 49.443
Sumatra 417.000 856.1349 DKI Jakarta - -10 Jawa Barat 20.400 594.06111 Jawa Tengah 14.000 12.18812 DI Yogyakarta - 1.87513 Jawa Timur - 10.156
Jawa 34.400 618.28014 Bali - 015 Nusa Tenggara Barat 3.700 016 Nusa Tenggara Timur - 4.598
Bali dan Nusa Tenggara 3.700 4.59817 Kalimantan Barat 40.000 194.28818 Kalimantan Tengah 10.000 48.73319 Kalimantan Selatan 75.000 120.78220 Kalimantan Timur 40.000 775.640
Kalimantan 165.000 1.139.44521 Sulawesi Utara - 38.13522 Sulawesi Tengah - 37.64023 Sulawesi Tenggara 29.000 70.84124 Sulawesi Selatan 24.000 104.021
Sulawesi 53.000 250.63725 Maluku 100.000 148.69626 Papua 2.943.000 1.326.990
Jumlah Total 3.707.100 3.771.493(Sumber : FAO, 1990 dan Ditjen Intag, 1993 dalam Arief, 2003)
22
c. Zonasi Mangrove
Ekosistem mangrove sangat rumit, karena terdapat banyak faktor
yang saling mempengaruhi, baik di dalam maupun di luar pertumbuhan
dan perkembangannya. Berdasarkan tempat tumbuhnya, kawasan
mangrove dibedakan menjadi beberapa zonasi, yang disebut dengan
nama jenis-jenis vegetasi yang mendominasi. Pembagian zona
berdasarkan perbedaan penggenangan yang juga menyebabkan
perbedaan salinitas. Hal tersebut membuat adanya perbedaan jenis di
kawasan mangrove.
Menurut Arief (2003), pembagian zonasi juga dapat dilakukan
berdasarkan jenis vegetasi yang mendominasi, dari arah laut ke daratan
adalah sebagai berikut :
1. Zona Avicennia
Zonan avicennia terletak pada lapisan luar dari hutan mangrove. Pada
zona avicennia kondisi tanah berlumpur lembek dan berkadar garam
tinggi. Jenis Avicennia banyak ditemukan berasosiasi dengan
Sonneratia spp. Karena tumbuh di bibir laut, jenis-jenis ini memiliki
perakaran yang sangat kuat yang dapat bertahan dari hempasan
ombak laut. Zona avicennia merupakan zona perintis atau pioneer,
karena terjadinya penimbunan sedimen tanah akibat cengkeraman
perakaran tumbuhan jenis-jenis ini.
2. Zona Rhizophora
Zona Rhizpohora, terletak dibelakang zona Avicennia dan Sonneratia.
Pada zona rhizophora kondisi tanah berlumpur lembek, dengan kadar
23
garam lebih rendah. Perakaran tanaman tetap terendam selama air
laut pasang.
3. Zona Bruguiera
Zona Bruguiera, terletak di belakang zona Rhizophora. Pada zona ini,
tanah berlumpur agak keras. Perakaran tanaman lebih peka serta
hanya terendam pasang naik dua (2) kali sebulan.
4. Zona Nypah
Zona Nypah, yaitu Zona pembatas antara daratan dan lautan, namun
zona ini sebenarnya tidak harus ada, kecuali jika terdapat air tawar
yang mengalir (sungai) ke laut.
Gambar 2.1. Zona Kawasan Mangrove yang masih lengkap(Sumber : Bengen, 2000)
Gambar 2.1 merupakan gambar zonasi mangrove yang masih
lengkap karena semua jenis masih terdapat di dalam kawasan. Di
beberapa kawasan serta kepulauan Indonesia, tidak seluruh zonasi
tersebut ada. Ketidaksempurnaan zonasi disebabkan oleh beberapa
faktor, misalnya ketidak sempurnaan penggenangan ataupun pasang
surut.
24
d. Fungsi dan Peranan Hutan Mangrove
Mangrove membantu dalam pengembangan dalam bidang sosial
dan ekonomi masyarakat sekitar pantai dengan mensuplai benih untuk
industri perikanan. Selain itu telah diketemukan bahwa tumbuhan
mangrove mampu mengontrol aktivitas nyamuk, karena ekstrak yang
dikeluarkan oleh tumbuhan mangrove mampu membunuh larva dari
nyamuk Aedes aegypti (Thangam and Kathiresan,1989 dalam Arief,
2003). Itulah fungsi dari hutan mangrove yang ada di India, fungsi tersebut
tidak jauh berbeda dengan fungsi yang ada di indonesia baik secara fisika
kimia, biologi, maupun secara ekonomis.
Ekosistem mangrove secara fisik maupun biologi berperan dalam
menjaga ekosistem lain di sekitarnya, seperti padang lamun, terumbu
karang, serta ekosistem pantai lainnya. Berbagai proses yang terjadi
dalam ekosistem hutan mangrove saling terkait dan memberikan berbagai
fungsi ekologis bagi lingkungan. Secara garis besar fungsi hutan
mangrove dapat dikelompokkan menjadi :
1. Fungsi Fisik
Menjaga garis pantai agar tetap stabil
Mempercepat pembentukan lahan baru
Sebagai pelindung terhadap gelombang dan arus
Sebagai pelindung tepi sungai atau pantai
Mendaur ulang unsur-unsur hara penting
25
2. Fungsi Biologi
Sebagai kawasan pemijahan atau asuhan (Nursery ground) bagi
ikan, udang, kepiting dan lain sebagainya yang pada saat dewasa
organisme-organisme tersebut akan kembali ke lepas pantai.
feeding ground
spawning ground, bagi berbagai spesies udang, ikan, dan lainnya
sebagai sumber plasma nutfah dan sumber genetika
Habitat berbagai kehidupan liar
3. Fungsi Ekonomi
Akuakultur, untuk budidaya sangat bagus karena unsur hara tinggi
serta sebagai pengahsil alami bibit ikan, udang, kerang, kepiting,
telur burung dan madu.
Penghasil kayu, misalnya kayu bakar, arang serta kayu untuk
bahan bangunan dan perabot rumah tangga.
Penghasil bahan baku industry, misalnya kertas, tekstil, makanan,
obat-obatan, alkohol, penyamak kulit, kosmetika dan zat warna.
Rekreasi
4. Fungsi lain (wanawisata), kawasan mangrove antara lain adalah
sebagai berikut:
Sebagai kawasan wisata alam pantai dengan keindahan vegetasi
dan satwa, serta berperahu di sekitar area mangrove
Sebagai tempat pendidikan, konservasi dan penelitian.
26
5. Fungsi Kimia
Sebagai tempat terjadinya proses daur ulang yang menghasilkan
oksigen
Sebagai penyerap karbondioksida
Sebagai pengolah bahan-bahan limbah hasil pencemaran industry
dan kapal-kapal di lautan
e. Kerusakan Kawasan Mangrove
Kerusakan kawasan mangrove banyak yang diakibatkan oleh faktor
manusia, baik secara sengaja ataupun tidak disengaja. Kerusakan yang
tidak disengaja oleh manusia misalnya pengambilan kayu-kayu sebagai
sumber energi atau kayu bakar, bahan bangunan ataupun asesoris rumah
tangga karena bentuknya antik. Bahkan, di wilayah dengan penduduk
yang mengerti masalah obat-obatan tradisional, perakaran jenis pasak
dipanen untuk digunakan sebagai obat tumor dan alat kontrsepsi, daun B.
sexangula dipetik untuk digunakan sebagai pencegah tumor dan kulit kayu
Xylocarpus spp. diambil untuk digunakan sebagai obat diare serta
penyakit-penyakit lainnya.
Selain karena hal-hal tersebut, kerusakan kawasan mangrove juga
disebabkan oleh faktor-faktor fisik yang disengaja dilakukan oleh manusia.
Faktor-faktor fisik tersebut antara lain aliran sungai yang dibendung,
konversi atau perubahan status peruntukkan dan pengambilan batu atau
karang pantai. Akibat proses-proses tesebut, hutan mangrove menjadi
semakin berkurang. Akibat lebih lanjut adalah terjadinya abrasi pantai
serta kerusakan terumbu karang.
27
Pembangunan sebagian kawasan mangrove seringkali berdampak
terhadap kekuatan gelombang ke kawasan pantai. Sebelum dilakukan
pembangunan ataupun konversi kawasan pantai, semua gelombang
diredam oleh kawasan mangrove. Setelah sebagian kawasan mangrove
menghilang karena fungsi lain, sebagian besar aras gelombang akan
membelok ke kawasan mangrove yang tersisa. Hal ini akan menyebabkan
terjadinya gangguan pertumbuhan dan perkembangan vegetasi mangrove
yang akhirnya memusnahkan kawasan zonasi. Beberapa dampak dari
aktivitas manusia terhadap ekosistem hutan mangrove dapat dilihat pada
Tabel 2.2.
Tabel 2.2. Beberapa Dampak dari Aktivitas Manusia Terhadap EkosistemMangroveKegiatan Dampak Potensial
Tebang Habis Berubahanya komposisi tumbuhan,pohon-pohon mangrove akan digantikanoleh species-species yang nilaikomersialnya rendah dan hutan mangroveyang ditebang habis ini tidak lagiberfungsi sebagai daerah nursery ground,feeding ground yang optimal bagibermacam ikan dan udang stadium mudayang komersial penting.
Pengalihan aliran air tawar,misalnya pada pembangunanirigasi
Peningkatan salinitas hutan (rawa)mangrove menyebabkan dominasi darispesies-spesies yang lebih toleranterhadap air yang menjadi lebih asin, ikandan udang dalam stadium larva danjuvenile mungkin tidak dapat menoleransipeningkatan salinitas karena merekalebih sensitif terhadap perubahanlingkungan.
Menurunnya tingkat kesuburan hutanmangrove karena pasokan zat-zat haramelalui aliran air tawar berkurang
Konversi menjadi lahanpertanian, perikanan
Mengancam regenarasi stok-stok ikandan udang di perairan lepas pantaimemerlukan hutan (rawa) mengrovesebagai nursery ground larva ataustadium muda ikan dan udang
Pencemaran laut oleh bahan-bahan
28
pencemar yang sebelum hutan mangrovedikonversi apat diikat oleh substrat hutanmangrove.
Intrusi garam melalui saluran-saluranalam yang bertahankan keberadaannyaatau melalui saluran-saluran buatanmanusia yang bermuara di laut
Erosi garis pantai yang sebelumnyaditumbuhi mangrove
Pembuangan sampah cair(sewage)
Penurunan kandungan oksegen terlarutdalam air bahkan data terjadi keadaananoksik dalam air sehingga BO yangterdapat dalam sampah cair mengalamidekomposisi anaerobic, antara lainmenghasilkan Hidrogen sulfide (H2S) danammonia (NH3) yang keduanyamerupakan racun bagi organisme dalamair.
Pembuangan sampah padat Kemungkinan terlapisnya pneumatophoredengan sampah padat yang akanmengakibatkan kematian pohon-pohonmangrove
Perembesen bahan-bahan pencemardalam sampah padat yang kemudian larutdalam air ke peraiaran di sekitarpembuangan sampah
Pencemaran minyak akibatterjadinya tumpahan minyakdalam jumlah besar
Kematian pohon-pohon mangrove akibatterlapisnya pneumtophore oleh lapisanminyak
Didaratan sekitar hutanmangrove
Pengendapan sedimen yang berlebihanyang mengakibatkan terlapisnyapneumatophore oleh sedimen yang padaakhirnya dapat mematikan pohonmangrove
(Sumber : Bengen, 2000)
Menurut Arief (2003), kerusakan-kerusakan kawasan mangrove
secara garis besar antara lain adalah sebagai berikut :
1. Perubahan sifat-sifat fisika dan kimia, meliputi suhu air, nutrisi,
salinitas, hidrologi, sedimentasi, kekeruhan, substansi beracun dan
erosi tanah.
2. Perubahan sifat-sifat biologis, meliputi terjadinya perubahan species
dominan, densitas, populasi, serta struktur tumbuhan dan binatang.
29
3. Perubahan keseimbangan ekologi, meliputi regenerasi, pertumbuhan,
habitat, dan rantai makanan, baik pada ekosistem mangrove itu
sendiri maupun pada daerah pantai yang bersebelahan.
B. Bivalvia
a. Morfologi Bivalvia
Struktur komunitas merupakan sekumpulan populasi dari spesies-
spesies yang berlainan dan dari spesies yang sama menempati suatu
habitat (Sambas, 2003). Kelompok bivalvia atau dikenal juga dengan
nama klas Pelecypoda dari filum Moluska, merupakan klas kedua terbesar
jumlah speciesnya. Menurut Nontji (2007), diperkirakan terdapat sekitar
1000 jenis bivalvia yang hidup diperairan Indonesia. Bivalvia hidup
menetap di dasar laut, membenamkan diri dalam pasir atau lumpur dan
melekatkan/menempel pada kerangka karang-karang batu.
Pada bagian dorsal cangkang terdapat gerigi hinge yang berfungsi
sebagai tumpuan ketika cangkang terbuka dan tertutup, ligamen hinge
merupakan jaringan yang menyambungkan cangkang kanan dan kiri dan
umbo menjadi pusat pertumbuhan cangkang (Hickman, 1996).
Bentuk cangkang yang berbeda-beda dapat menjadi petunjuk
identifikasi sampai ketingkat jenis, permukaan cangkang lekukan dan
tonjolan yang tersusun hingga membentuk seperti kipas. Bentuk lipatan
akan berbeda pada setiap jenis bivalvia (Barth, 1982). Ukuran bivalvia
bervariasi dari yang berukuran ±2mm banyak ditemukan pada famili
Sphaeralidae sampai bivalvia yang memiliki panjang lebih dari satu meter,
misalnya kerang raksasa (Tridacna sp.) dengan berat mencapai 11.000 kg
30
(Barnes & Ruppet, 1994). Morfologi bivalvia dapat dilihat pada Gambar
2.2.
Menurut Prawirohartono (2003) cangkang kerang tersusun atas zat
kapur yang terdiri dari 3 (tiga) lapisan, yaitu :
1. Lapisan Periostrakum, merupakan lapisan yang terluar, tipis, gelap dan
tersusun atas zat tanduk.
2. Lapisan Prismatik, merupakan lapisan tengah yang tebal, tersusun dari
Kristal-kristal CaCO3 berbentuk prisma.
3. Lapisan Nakreas (Lapisan Mutiara), merupakan lapisan yang tersusun
atas Kristal CaCO3 yang halus dan berbeda dari kristal-kristal pada
lapisan prismatik.
Gambar 2.2. Morfologi Bivalvia(Sumber : Suwignyo dkk, 2005)
Ciri-ciri umum bivalvia, yaitu : hewan lunak, tidak memiliki kepala,
mata, tentakel serta radula (gigi) di dalam tubuhnya. Tubuh bivalvia hanya
terbagi menjadi tiga bagian utama yaitu kaki otot berbentuk seperti lidah,
mantel, dan organ dalam. Kaki dapat ditonjolkan antara dua cangkang
31
tertutup, bergerak memanjang dan memendek berfungsi untuk bergerak
dan merayap (Robert et al, 1982).
Mantel merupakan jaringan tipis dalam cangkang, bentuk mantel
pada lobus kiri dan kanan memipih, didalam mantel terdapat dua buah
lubang panjang yang merupakan tempat masuknya air disisi posterior
yang disebut Inhalent Posterior dan Incurrent Posterior. Insang berbentuk
lempengan dengan jumlah satu atau dua pasang (Umaryati, 1990). Insang
bivalvia dilengkapi dengan silis untuk Filter feeding (makan dengan
menyaring larutan). Menurut Nybakken (2007) mengklasifikasikan bivalvia
ke dalam kelompok pemakan suspensi, penggali dan pemakan deposit.
Karena hal tersebut maka jumlah bivalvia cenderung melimpah pada
sedimen lumpur dan lunak. Anatomi Bivalvia dapat dilihat pada Gambar
2.3.
Gambar 2.3. Anatomi Bivalvia(Sumber : Suwignyo dkk, 2005 )
Bentuk Kelamin pada bivalvia terpisah namun ada juga yang
hermaprodit. Perkembangan (siklus hidup) bivalvia di perairan laut lewat
trochopora dan veliger sedangkan pada perairan tawar perkembangannya
32
lewat glochidia (Weisz, 1973). Perkembangan (siklus) hidup bivalvia dapat
dilihat pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4. Siklus hidup bivalvia(Sumber : Suwignyo dkk, 2005)
b. Habitat Bivalvia
Bivalvia memilih habitat di dasar laut dengan cara membenamkan
diri di dalam pasir atau lumpur bahkan menempel pada karang-karang
batu dengan semacam serabut yang dinamakan byssus (Nontji, 2008).
Bivalvia tersebar pada kedalaman 0,01 sampai 5000 meter, pada
beberapa spesies bivalvia seperti Mytillus edulis dapat hidup di daerah
intertidal karena mampu menutup rapat cangkangnya untuk mencegah
kehilangan air (Nybakken, 2007).
Menurut Sumich (1992), berdasarkan habitatnya bivalvia dapat di
bagi menjadi beberapa kelompok, yaitu :
a. Jenis bivalvia di lepas pantai
Habitat lepas pantai merupakan wilayah perairan sekitar pulau yang
memiliki kedalaman 20-40 m. Jenis bivalvia yang banyak ditemukan di
33
daerah tersebut, ialah : Plica sp.; Pinctada maxima, Spondylus hysteria
dan sebagainya.
b. Jenis Bivalvia di Perairan Dangkal
Jenis-jenis bivalvia di perairan dangkal dikelompokkan lagi
berdasarkan lingkungan di mana bivalvia tersebut hidup, misalnya :
bivalvia yang hidup di garis tinggi, bivalvia yang hidup didaerah pasang
surut dan yang hidup dibawah garis surut terendah (sampai kedalaman
2 meter). Jenis bivalvia yang hidup didaerah-daerah tersebut, ialah :
Ket : (+) = ditemukan bivalvia; (-) = Tidak ditemukan bivalvia
Komposisi jenis bivalvia pada seluruh stasiun pengamatan
didominasi oleh jenis Gafrarium tumidum, Anadara antiquata (21%) dan
Mytilus edulis (11%); sedangkan komposisi jenis terendah ditemukan pada
jenis Dosinia insularsum (1%) (Gambar 4.2).
Gambar 4.2. Komposisi Jenis Bivalvia pada seluruh Stasiun
68
Komposisi jenis bivalvia berdasarkan stasiun pengamatan
menunjukkan adanya variasi jenis yang mendominasi (Gambar 4.3). Pada
Stasiun I (daerah mangrove relatif alami) menunjukkan komposisi jenis
bivalvia yang relatif homogen (tidak ada jenis yang dominan), hal ini dapat
dilihat dari 8 jenis bivalvia yang ditemukan terdapat 6 jenis bivalvia yang
memiliki komposisi jenis yang relatif sama dan komposisi jenis rendah
hanya 2 jenis (Gambar 4.3a).
Untuk Stasiun II-IV merupakan kawasan rehabilitasi mangrove
terdapat jenis-jenis bivalvia yang dominan, yaitu pada Stasiun II Gafrarium
tumidum (44%); Anadara antiquata (28%) dan Tellina timorensis (19%)
(Gambar 4.3b); pada Stasiun III komposisi jenis didominasi oleh jenis
Anadara antiquata (48%); Gafrarium tumidum (30%) dan Meretrix meretrix
(17%) (Gambar 4.3c); sedangkan Stasiun IV komposisi jenis yang
mendominasi adalah Gafrarium tumidum (30%); Anadara antiquata (13%)
dan Mytilus edulis (20%) (Gambar 4.3d) dan daerah non-vegetasi
(Stasiun V) komposisi tertingggi adalah Anadara antiquata (35%); Meretrix
meretrix (26%), Polymesoda bengalensis (15%) dan Marcia opima (12%)
(Gambar 4.3e).
69
Gambar 4.3. Komposisi Jenis Bivalvia stasiun I (a); stasiun II (b); StasiunIII (c); stasiun IV (d) dan daerah Non-Vegetasi/NV (e)
Jenis bivalvia yang selalu muncul pada semua stasiun adalah
Anadara antiquata dan Gafrarium tumidum. Jenis Gafrarium tumidum
banyak ditemukan di daerah mangrove-non vegetasi (daerah intertidal)
pada substrat lumpur dan bersifat euryhaline. Kebiasaan makan dari
Gafrarium tumidum ialah filter feeder (Meyer et al., 2008). Sedangkan
Anadara sp. banyak ditemukan di perairan estuaria dengan substrat
lumpur berpasir dengan salinitas 21-25‰ (Sitorus, 2008).
a
c
d
b
e
70
Jenis bivalvia yang lain dan mendominasi pada Stasiun II, yaitu
Tellina timorensis. Tellina timorensis merupakan bivalvia yang banyak
ditemukan pada daerah mangrove dan non-vegetasi, dengan jenis
substrat pasir berlumpur dan bersifat euryhaline. Kebiasaan makan dari
jenis ini ialah filter atau deposit feeder (Simone & Wilkinson, 2008). Pada
Stasiun III jenis yang mendominasi ialah Meretrix meretrix. Hal ini terjadi
karena sebaran hidup yang cukup luas (mangrove dan non-vegetasi)
dengan jenis substrat pasir-lumpur. Meretrix meretrix pada umumnya
bersifat filter feeder (Jayabal & Kalyani, 1986).
Bivalvia jenis lain yang dominan ditemukan pada Stasiun IV, yaitu
jenis Mytilus edulis. Mytilus edulis dapat mentolerir kisaran suhu -10-290C.
Tidak hanya pertumbuhan Mytilus yang dipengaruhi oleh suhu. Aktifitas
silia yang dimiliki oleh Mytilus juga sangat tergantung pada temperatur.
Peningkatan temperatur antara 0-340C mengakibatkan aktivitas silia
menjadi meningkat sehingga konsumsi oksigen oleh Mytilus juga menjadi
ikut meningkat, pada umumnya Mytilus edulis membutuhkan daerah yang
memiliki substrat kasar sebagai tempat menempelnya. Namun, tidak
menutup kemungkinan ditemukannya juga Mytilus pada daerah bersubtrat
lumpur yaitu menempel cobbles, pebbles yang terdapat di sedimen lumpur
tersebut. (FAO Fisheries, 2010). Sedangkan pada daerah non-vegetasi
jenis yang mendominasi ialah Polymesoda bengalensis dan Marcia opima.
Kedua jenis ini dapat hidup pada daerah mangrove dan non-vegetasi,
bersifat euryhaline dengan kondisi substrat pasir-lumpur (Russel & Hunter,
1983).
71
2. Jumlah Jenis dan Kepadatan Bivalvia
Nilai Kepadatan bivalvia yang diperoleh dari pengamatan pada
setiap stasiun berkisar 11,68-37,5 ind/m2 dengan kepadatan rata-rata 28,7
ind/m2. Perbandingan nilai kepadatan bivalvia di beberapa daerah
mangrove dapat dilihat pada Tabel 4.5.
Tabel 4.5. Perbandingan nilai kepadatan bivalvia pada beberapa kondisidaerah mangrove
Lokasi Rata-rata Kepadatan(Ind/m2)
Sumber Pustaka
Pantai Larea-rea 36,67 Makkarumpa (2005)Tongke-tongke;Panaikang dan Lappa
28,7 Data hasilpengamatan lapangan
Perbedaan nilai kepadatan bivalvia pada beberapa kondisi
mangrove, disebabkan oleh perbedaan faktor lingkungan. Parameter
lingkungan yang sesuai bagi bivalvia juga dijelaskan oleh Sitorus (2008),
bahwa suhu yang sesuai bagi bivalvia berkisar 26-31oC dengan kisaran
salinitas 6-35‰. Nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme laut
berkisar antara 6,7-8,2; dan kadar oksigen terlarut dalam batas 4,5-7mg/l
(Barth, 1982). Selanjutnya Sitorus (2008) menjelaskan bahwa bivalvia
lebih cenderung melimpah pada daerah pesisir pantai yang memiliki
sedimen lumpur dan sedimen lunak, karena bivalvia merupakan kelompok
hewan pemakan suspensi, penggali dan pemakan deposit.
Hasil analisis ragam (One-Way ANOVA) pada selang kepercayaan
95% (α = 0,05), kisaran jumlah jenis yang ditemukan, yaitu 2,10-6,50.
Jumlah jenis tertinggi ada pada Stasiun I dan jumlah jenis terendah
ditemukan pada daerah non-vegetasi. Kisaran kepadatan tertinggi
72
ditemukan pada Stasiun IV (57,5 ekor/m2), hal ini terjadi karena pada
stasiun IV merupakan daerah rehabilitasi di daerah pantai, subtrat pasir
berlumpur. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Jabang (2008), di perairan
pantai Sumatera Barat, yang dimana salah satu lokasi stasiun
pengamatan merupakan daerah pantai bervegetasi dengan substrat pasir
berlumpur dengan kisaran kepadatan 14,3 ekor/m2. Tingginya kepadatan di
daerah tersebut terkait pada kemampuan kerang untuk beradaptasi
terhadap kondisi pasang-surut dan arus gelombang pantai.
Hasil analisis ragam menunjukkan terdapat perbedaan nyata pada
jumlah jenis bivalvia antarstasiun (Gambar 4.4a), sedangkan pada nilai
kepadatan menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara Stasiun IV
dengan Stasiun II-NV dan juga tidak berbeda nyata antara Stasiun I-III
(Gambar 4.4b). Kepadatan dan Jumlah jenis bivalvia dapat dilihat pada
Gambar 4.4.
Hal tersebut menunjukkan bahwa jumlah jenis di setiap stasiun
memiliki sebaran yang luas namun tidak berpengaruh pada kepadatan
bivalvia. Selain itu, kondisi mangrove pada Stasiun I dan IV juga dapat
mempengaruhi jumlah jenis bivalvia. Mangrove di Stasiun I yang
mendominasi adalah jenis Avicennia alba. Jenis mangrove ini memiliki
bentuk akar pasak yang tumbuh terpencar, dengan anak akar muncul di
permukaan seperti tombak (Arief, 2003). Bentuk akar pada jenis ini tidak
mengambil semua ruang pada lantai sedimen sehingga masih terdapat
ruang bagi bivalvia (Lampiran 1 Gambar 1). Pada Stasiun IV, mangrove
yang mendominasi ialah jenis R.mucronata namun mangrove di stasiun ini
73
memiliki ukuran pohon yang kecil, sehingga masih terdapat ruang pada
lantai sedimen sebagai tempat hidupnya bivalvia (Lampiran 1 Gambar 4).
Stasiun II dan III memiliki kondisi mangrove yang sangat rapat dan
ukuran pohon yang besar sehingga sangat sedikit substrat yang tidak
ditumbuhi mangrove, meskipun terdapat lantai sedimen yang kosong
tetapi sudah disesaki oleh akar mangrove. Hal tersebutlah yang menjadi
salah satu penyebab rendahnya bivalvia yang ditemukan pada Stasiun II
dan III, karena sifat bivalvia yang hidup membenamkan diri dalam subtrat
sehingga membutuhkan ruang pada lantai sedimen sebagai habitatnya
(Lampiran 1 Gambar 2 dan 3).
Gambar 4.4. Jumlah Jenis Bivalvia (a) dan Kepadatan bivalvia (ind/m2)(b) yang ditemukan pada setiap stasiun. Huruf yangberbeda pada grafik menunjukkan perbedaan yang nyatapada alpha 5% berdasarkan Anova (one-way anova).
b
a
cc
b
c
74
3. Indeks Ekologi Bivalvia
a. Indeks Keanekaragaman (H’)
Berdasarkan hasil pengolahan data didapatkan nilai indeks
keanekaragaman bivalvia (H’) pada seluruh stasiun pengamatan berada
pada kisaran 1,7–2,81(Gambar 4.5). Nilai indeks keanekaragaman
tertinggi (H’) ada pada Stasiun I (2,81) dan yang terendah pada Stasiun III
(1,70). Secara umum Indeks keanekaragaman bivalvia (H’) yang
ditemukan pada setiap stasiun menunjukkan bahwa nilai indeks
keanekaragaman tergolong dalam kategori sedang. Menurut Krebs
(1985), keanekaragaman yang tinggi menunjukkan semakin besarnya
keragaman dan proporsi masing-masing jenis yang semakin merata.
Gambar 4.5. Grafik Indeks Keanekaragaman (H’) antar stasiun
b. Indeks Keseragaman (E)
Kestabilan suatu komunitas dapat digambarkan dengan tinggi
rendahnya nilai indeks indeks keseragaman (E) yang didapat.
Berdasarkan pada perhitungan indeks keseragaman pada setiap stasiun
bekisar 0,78-0,94 (Gambar 4.6), yang dimana indeks ini tergolong baik
75
atau stabil. Nilai indeks keseragaman tertinggi pada Stasiun I (0,94), hal
ini menunjukkan kondisi komunitas baik/stabil karena memiliki nilai
kemerataan jenis mendekati 1 dan yang terendah pada stasiun non-
vegetasi (0,78), nilai indeks ini mengindikasikan bahwa penyebaran jenis
tidak merata pada stasiun tersebut.
Namun secara umum nilai keseragaman dikatakan baik/stabil jika
nilai keseragaman mendekati 1 atau sebaliknya. sehingga semakin kecil
nilai E maka kondisi komunitas tidak merata sedangkan semakin besar
nilai E maka penyebaran jenis relatif merata. Penyebaran jenis suatu
organisme berkaitan erat dengan dominasi, dimana bila nilai kemerataan
kecil mengindikasikan terjadi dominasi dari jenis-jenis tertentu (Odum,
1998).
Gambar 4.6. Grafik Indeks Keseragaman (E) bivalvia antar Stasiun
c. Indeks Dominansi (D)
Indeks dominansi yang diperoleh pada seluruh stasiun penelitian
tergolong rendah, yaitu berkisar 0,15-0,31 (Gambar 4.7). Indeks
dominansi terendah pada Stasiun I (0,15) dan yang tertinggi pada Stasiun
76
II-III (0,30-0,31). Hal ini mengindikasikan bahwa dalam struktur komunitas
bivalvia yang teramati tidak terdapat jenis bivalvia yang mendominasi jenis
lainnya atau penyebaran bivalvia pada Stasiun I relatif sama, sedangkan
tingginya indeks dominansi mengindikasikan dalam struktur komunitas
terdapat jenis yang mendominasi jenis lainnya. Jenis bivalvia yang
mendominasi pada Stasiun II-III ditemukannya Tellina timorensis dan
Meretrix meretrix.
Nilai indeks dominansi berkisar antara nol sampai dengan satu.
Dimana semakin mendekati satu maka ada organisme yang mendominasi
ekosistem perairan, sebaliknya jika mendekati nol maka tidak ada jenis
organisme yang dominan (Odum, 1998).
Gambar 4.7. Grafik Indeks Dominansi (D) bivalvia antar stasiun
Peningkatan jumlah spesies bivalvia, tingginya kemerataan jumlah
individu dalam setiap jenis yang terjadi pada indeks keanekaragaman dan
keseragaman serta nilai indeks dominansi rendah secara tidak langsung
mencerminkan kestabilan ekologi (Stasiun I), sedangkan Stasiun II-III
menunjukkan kondisi ekologi belum stabil, karena masih terdapat jenis-
jenis bivalvia yang mendominasi pada stasiun tertentu.
77
4. Analisis Dampak Ekologi
a. Jumlah Jenis dan Kepadatan Bivalvia
Berdasarkan hasil analisis diperoleh pengelompokkan (kemiripan)
struktur komunitas bivalvia. Dendrogram kemiripan struktur komunitas
bivalvia yang ditemukan selama penelitian pada beberapa kondisi
mangrove yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 4.8.
Gambar 4.8. Dendrogram kemiripan struktur komunitas bivalvia yangditemukan selama penelitian pada beberapa jenis mangrove
Dari kelompok yang terbentuk menunjukkan ada kemiripan struktur
komunitas bivalvia antara Stasiun II dan III. Pemisahan yang tegas pada
Stasiun I, V dan IV (Gambar 4.8). Perbedaan ini lebih disebabkan karena
perbedaan dalam jumlah jenis yang ditemukan pada setiap stasiun serta
kondisi habitat yang berbeda-beda, misalnya kerapatan mangrove, namun
secara keseluruhan menunjukkan nilai kemiripan struktur komunitas antar
stasiun sebesar 80 %.
78
Berdasarkan hasil uji t-berpasangan, jumlah jenis bivalvia antar
stasiun menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (Gambar 4.9a),
sedangkan nilai Kepadatan bivalvia menunjukkan tidak berbeda nyata
antara daerah mangrove dan non-vegetasi (Stasiun I-III) (Gambar 4.9b)
dan pada Stasiun IV terdapat perbedaan yang nyata antara kepadatan
bivalvia di daerah mangrove dan non-vegetasi. Hal tersebut menunjukkan
bahwa mangrove secara tidak langsung mempengaruhi jumlah jenis dan
kepadatan bivalvia (Gambar 4.9).
Gambar 4.9. Jumlah Jenis Bivalvia (a); Kepadatan bivalvia (b) Uji t-berpasangan(paired sample t-test) pada alpha 5%.
( = Mangrove; = Non-Vegetasi)
Jumlah jenis bivalvia antara daerah mangrove dan non-mangrove
menunjukkan bahwa daerah mangrove memiliki jumlah jenis yang lebih
tinggi jika dibandingkan daerah yang non-vegetasi. Hal ini disebabkan
karena pada setiap Stasiun (I-IV) terdapat faktor abiotik yang sesuai
b
a
ns *
79
untuk hidup dan berkembang bivalvia. Daerah mangrove merupakan
habitat yang paling sesuai untuk bivalvia, karena pada daerah ini banyak
mengandung bahan organik yang merupakan sumber makanan bivalvia
(pemakan suspensi, penggali dan pemakan deposit). Selain itu,
mangrove memiliki kadar organik yang tinggi. Tingginya bahan organik
di area tersebut memungkinkan sebagai tempat pemijahan (spawning
ground), pengasuhan (nursery ground) dan pembesaran atau mencari
makan (feeding ground) (Arief, 2003).
b. Perbandingan Indeks Ekologi Area Mangrove dan Non-Vegetasi
Berdasarkan pada nilai indeks ekologi menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan antara keanekaragaman, keseragaman dan
dominansi antara daerah mangrove dan non-vegetasi. Perbandingan
indeks keanekaragaman antara Stasiun I (mangrove alami) dan IV
(rehabilitasi) lebih tinggi dari area non-vegetasi. Stasiun I dan IV dapat
diinterpretasikan memiliki kondisi lingkungan yang lebih baik, karena
keanekaragaman yang tinggi mengindikasikan keragaman dan proporsi
dari masing-masing jenis semakin merata (Krebs, 1985), sedangkan
Stasiun II (25 tahun) dan III (10-17 tahun), memiliki keanekaragaman lebih
rendah dari area non-vegetasi. Adanya dominasi dari jenis-jenis tertentu,
seperti Tellina timorensis dan Meretrix meretrix yang dapat bertahan dari
perubahan lingkungan yang ekstrim menyebabkan rendahnya indeks
keanekaragaman (Gambar 4.10a dan b).
80
Gambar 4.10. Perbandingan Indeks Ekologi antara Stasiun Mangrove denganNon-Vegetasi. a) Indeks Keanekaragaman (H’); b) IndeksKeseragaman (E); c) Indeks Dominansi (D).
Indeks dominansi pada Stasiun I lebih rendah dari non-vegetasi.
Rendahnya indeks dominansi menunjukkan bahwa pada Stasiun I
komunitas bivalvia relatif sama. Namun pada Stasiun II-III, nilai indeks
dominansi lebih tinggi dari area non-vegetasi. Fenomena ini menunjukkan
adanya jenis bivalvia yang mendominasi pada stasiun tersebut, seperti
Tellina timorensis dan Meretrix meretrix (Gambar 4.10c).
a
b
c
81
Berdasarkan pada perbandingan indeks ekologi menunjukkan
bahwa di daerah mangrove yang relatif masih alami memiliki lingkungan
yang lebih baik/stabil karena tidak adanya dominansi jenis tertentu jika
dibandingkan pada stasiun rehabilitasi yang menunjukkan bahwa adanya
dominansi jenis tertentu pada setiap stasiun rehabilitasi, sehingga dapat
dikatakan bahwa kegiatan rehabilitasi belum mengembalikan fungsinya
seperti kondisi alami.
Untuk meningkatkan kekayaan jenis dan kemerataan sebaran
bivalvia maka diperlukan tindakan-tindakan pengelolaan dalam kegiatan
rehabilitasi mangrove, seperti :
Penggunaan berbagai jenis mangrove, dilihat dari perbedaan jenis
akar agar terdapat ruang bagi hewan bentik (khususnya bivalvia) dan
kondisi lingkungan yang sesuai bagi mangrove untuk tumbuh.
Melakukan penjarangan pada saat bibit bakau sudah tumbuh menjadi
anakan dan sudah tahan terhadap gempuran ombak ataupun arus.
c. Hubungan Tinggi-Bobot Bivalvia
Hasil analisis regresi linier antara tinggi-bobot cangkang bivalvia
berdasarkan stasiun pengamatan didapatkan masing-masing nilai
koefisien a dan b yang bervariasi (Tabel 4.6.)
Nilai b menunjukkan pola pertumbuhan cangkang, yang dimana jika
tinggi cangkang lebih cepat pertumbuhannya dari berat cangkang
mengindikasikan bahwa organisme tersebut kurus (b≠3) pertumbuhan ini
biasa disebut allometrik, sebaliknya jika pertumbuhan berat dan tinggi
cangkang seimbang (b=3) disebut isometrik (Effendie, 2002).
82
Tabel 4.6. Nilai Koefisien a dan b berdasarkan analisis regresi linierhubungan Tinggi-Bobot Bivalvia
No Jenis Bivalvia
Stasiun
I II III IV NV
1 A. antiquata
b=2,538xa=- 0,072
b = 1,735xa = 0,439
b = 2,565xa = 0,084
b = 2,213xa = - 0,015
b = 2,315xa = 0,169
R² = 0,693b < 3
R² = 0,858b < 3
R² = 0,821b < 3
R² = 0,935b < 3
R² = 0,930b < 3
2 G. tumidum -
b = 2,002xa = 0,377
b = 1,826xa = 0,442
b = 3,340xa = - 0,243
-R² = 0,941b < 3
R² = 0,885b < 3
R² = 0,914b > 3
3 M. meretrix
b =1,989xa = 0,161
- - -
b = 2,629xa = 0,175
R² = 0,924b < 3
R² = 0,970b < 3
4 M. opima
b = 1,849xa = 0,001
- - -
b = 3,222xa = - 0,676
R² = 0,848b < 3
R² = 0,926b = 3
5 P. bengalensis
b = 1,390xa = 0,761
- - -
b = 2,138xa = 0,052
R² = 0,794b < 3
R² = 0,491b < 3
6 T. timorensis
b = 2,371xa = - 0,219R
2= 0,961
b < 3
b = 2,273xa = - 0,087R
2= 0,947
b > 3
- - -
Nilai b yang diperoleh mengindikasikan model pertumbuhan
cangkang allometrik negatif (b<3) (Lampiran 4c). Koefesien korelasi yang
didapat dari tinggi dan bobot cangkang sangat bervariasi, hal ini diduga
karena makanan yang melimpah dan kondisi lingkungan mendukung,
sehingga menyebabkan masing-masing variabel berkembang secara
normal. Menurut Currey (1988), bahwa pertumbuhan berat pada bivalvia
yang hidup di daerah pasang surut sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan
dimensi cangkangnya. Lebih lanjut dikatakan oleh Walne (1979),
Pertumbuhan tinggi cangkang yang lebih besar dari pada berat adalah
sebagai strategi agar supaya tetap survive/bertahan dalam kondisi
lingkungan yang ekstrem. Hal ini seperti yang dinyatakan Seed, (1986)
83
dalam Gimin et al. (2004), untuk melindungi badan dari serangan
pemangsa dan kondisi-kondisi lingkungan kurang baik, kerang
memerlukan cangkang tebal yang dapat tertutup dengan rapat.
dan Marcia opima (MO). sedangkan Parameter lingkungan penciri,
yaitu BOT, Eh dan pHair yang tinggi.
Tingginya kandungan BOT (15,52) menunjukkan bahwa ekosistem
mangrove di sekitar Lappa (Stasiun I) memiliki tingkat kesuburan yang
tergolong tinggi. Eh tanah juga menunjukkan kisaran yang tinggi, yaitu
88
107,30 dan pHair sebesar 7,94. Tingginya kandungan BOT, Eh dan pHair
mengindikasikan bahwa perairan cukup subur.
3. Kelompok 3
Kelompok 3 adalah daerah non-vegetasi, yang menjadi penciri dari
kelompok ini adalah jenis substrat dengan kandungan pasir yang
tinggi (52%). Bivalvia penciri pada kelompok ini, yaitu Anadara
antiquata (AA), Meretrix meretrix (MM) dan Tellina timorensis (T2).
Bivalvia penciri dari stasiun ini dapat hidup pada daerah non-vegetasi
dengan substrat pasir. Hal tersebut juga didukung oleh Sitorus (2008)
bahwa jenis Tellina sp. merupakan jenis bivalvia yang dapat hidup
pada substrat berpasir, begitupun pada Anadara antiquata dan
Meretrix meretrix.
4. Kelompok 4
Kelompok 4 adalah panaikang dan Tongke-Tongke-2. Bivalvia
penciri, yaitu Mytilus edulis (ME), Mactra violacea (MV), Trachyradium
subrogosum (TS) dan Semele cordiformis (SC). Parameter lingkungan
penciri adalah kondisi substrat berupa liat dan salinitas rendah.
Organisme penciri pada kelompok ini merupakan organisme yang
mempunyai ketahanan terhadap perubahan salinitas, karena
organisme tersebut memiliki kemampuan untuk menutup rapat
cangkangnya sehingga dapat menyimpan air ketika sedang surut.
89
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan pada hasil penelitian, maka dapat di ambil beberapa
kesimpulan, yaitu :
1. Lokasi mangrove yang relatif masih alami (Lappa) memiliki kekayaan
jenis yang lebih tinggi (4 jenis) dengan kondisi rapat (3067 ind/ha),
dibandingkan dengan daerah yang merupakan lokasi rehabilitasi 1
jenis. Kerapatan mangrove di area rehabilitasi berkisar 5150-7088
ind/ha dengan kondisi sangat rapat.
2. Ditemukan 13 jenis bivalvia di area mangrove didominasi oleh jenis
Anadara antiquata dan Gafrarium tumidum. Jenis lain yang dominan
juga ditemukan pada lokasi Tongke-Tongke, yaitu Tellina timorensis
dan Meretrix meretrix. Mytilus edulis merupakan jenis lain yang
mendominasi pada lokasi Panaikang. Adapun jumlah jenis dan
kepadatan bivalvia bervariasi dan berbeda nyata antarstasiun. Jumlah
jenis dan kepadatan tertinggi ditemukan pada lokasi Lappa dan
Panaikang dengan nilai masing-masing 6,50 jenis dan 57,5 ekor/m2.
3. Indeks ekologi bivalvia pada mangrove yang relatif alami masih lebih
bagus dibandingkan dengan mangrove hasil rehabilitasi. Hasil
rehabilitasi mangrove hanya dapat meningkatkan jumlah jenis bivalvia,
namun kepadatan bivalvia tidak nyata meningkat, bahkan pada
daerah rehabilitasi memiliki nilai indeks ekologi yang lebih rendah
90
yang ditunjukkan oleh keanekaragaman yang lebih rendah dan indeks
dominansi yang lebih tinggi. Dengan demikian, mangrove rehabilitasi
meskipun telah berumur 8-25 tahun, namun belum bisa
mengembalikan fungsi biologisnya selayaknya mangrove yang relatif
masih alami.
4. Daerah mangrove yang masih alami dicirikan oleh lebih beragamnya
bivalvia dengan parameter lingkungan yang mencirikan BOT, Eh dan
pH air yang tinggi, sedangkan daerah yang direhabilitasi dicirikan oleh
lebih sedikit bivalvia penciri dengan karakter lingkungan pH tanah dan
suhu yang tinggi.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka ada
beberapa saran yang diajukan, yaitu :
1. Perlu diupayakan penanaman mangrove jenis lain namun perlu
disesuaikan dengan karakteristik lingkungannya.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai fisiologis bivalvia,
terutama dalam hal reproduksi dan siklus hidup bivalvia sehingga
akan diketahui kecenderungan bivalvia terhadap habitat tertentu yang
dipengaruhi oleh kondisi fisika kimia lingkungan.
91
DAFTAR PUSTAKA
Amri, A. 2005. Mangrove Plantation and Land Property Rights : A Lessonfrom The Coastal rea of South Sulawesi, Indonesia. Southeast AsianStudies.
Anonim. 2005. Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan bakau (Mangrove)Sinjai. Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sinjai.
Anonim. 2005. Petunjuk Praktikum Ekotoksikologi dan PengendalianPencemaran Perairan. Laboratorium Ekologi Perairan. JurusanPerikanan. Fakultas Pertanian. UGM. Yogyakarta.
Anonim. 2010. Penyebaran Luas Hutan Bakau Tahun 2010 di KabupatenSinjai. Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sinjai.
Arief, A. M. P. 2003. Hutan Mangrove Fungsi dan Manfaatnya. PenerbitKanisius. Yogyakarta.
Barnes, R.D. and E.E. Ruppet. 1994. Invertebrate Zoology. SixthEdition. United States of Amerika. P. 460.
Barth, R. H. 1982. The Invertebrate World. EBS Colleage PublishingUnited States of America. P. 267-282
Baslim. 2001. Hubungan Beberapa Parameter Oseanografi denganKelimpahan Makrozoobentos di Perairan Muara Sungai TalloKecamatan Ujung Tanah. Sulawesi Selatan.
Bengen, D. R., Widodo dan S. Haryadi., 1995. Tipologi Fungsional
Komunitas Makrozoobentos Sebagai Indikator Perairan Pesisir
Muara Jaya, Bekasi. Laporan penelitian. Lembaga Penelitian IPB.
Bogor.
Bengen, D. R. 2000. Pedoman Teknis Pengenalan dan PengelolaanEkosistem Mangrove. PKSPL-IPB
Brower. J. E., J. H. Zar and C. Von Ende. 1990. Field and LaboratoryMethods for General Ecology. Wm. C. Brown Publiser, USA.
Currey, J.D. 1988. Shell From and Strength. In; E.R. Trueman and M.R.Clarke (Eds), The Molluska; Form and Function. Academic Press,London. pp 183–210.
Dahuri, R., J. Rais, S. P. Ginting dan M. J. Sitepu. 2001. PengelolaanSumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT.Pradnya Paramita, Jakarta.
92
Deasy, A. A. 2004. Kajian Pola Pemanfaatan Mangrove di DesaTongke-Tongke dan Kel. Lappa Kabupaten Sinjai. Skripsi.Fakultas Ilmu Kelautan dan Kelautan. Universitas Hasanuddin.Makassar.
Gimin, R., R. Mohan., L.V. Thinh., and A.D. Griffiths. 2004. TheRelationship of dimension and shell volume to live weight and softtissue weight in the mangrove clam, Polymesoda erosa (Solander,1786) from notherm Australia. Articles Naga, Worldfish CentreQuarterly. Vol. 27 No. 3 & 4 Jul-Dec 2004. pp. 32-35
Sitorus. D. 2008. Keanekaragaman dan Distribusi Bivalvia SertaKaitannya Dengan Faktor Fisik-Kimia Di Perairan Pantai LabuKabupaten Deli Serdang. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor
FAO Fisheries. 2010. Mytilus edulis. http://www.fao.org/. (diakses tanggal02 Juli 2011).
Hawkes, H. A. 1978. Invertebrates as Indicators of River Water Qualitydalam A. James dan L. Evison (Ed.) Biological Indicator of WaterQuality. John Willey & Sons. Toronto.
Hickman P.C. 1996. Integrated Principles of Zoology. Third Edition,America. United States of America. P. 356-358.
Jabang, N., S. Jatna., M.P. Patria. dan A. Budiman. 2008. Kepadatandan Keanekaragaman Kerang Intertidal (Mollusca : Bivalve) diPerairan Pantai Sumatera Barat. Prosiding Seminar NasionalSains dan Teknologi-II. Universitas Lampung.
Jayabal, R., and M. Kalyani. 1986. Age and Growth of The Estuary ClamMeretrix meretrix (L) Inhabiting The Vellar Estuary. Bulletin of TheNational Institute of Oceanography.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 201 Tahun 2004.Kriteria Baku dan Pedoman Penetuan Kerusakan Bakau.
Krebs, C. J. 1985. Ecology: The Experimental Analysis of Distributionsand Abundance. Ed. New York: Harper and Row Publishers. 654pp.
Levinton, J. S. 1982. Marine Biology. Prentice Hall Inc. New Jersey. USA.526 p.
93
Makkarumpa, A. 2005. Struktur Komunitas MakrozoobentosHubungannya dengan Karakteristik Habitat pada EkosistemMangrove di Perairan Larea-rea Kabupaten Sinjai. Skripsi.Fakultas Ilmu Kelautan dan Kelautan. Universitas Hasanuddin.Makassar.
Maqbool, T. K. 1998. Studies on the Biology of the Clam Marcia opimaGmelin From Kayamkulan Lake. Cochin University of Scienceand Technology. Cochin.
Meyer, E., and B. Nikerd. 2008. Ecological Importance ofChemoautotrophic Lucinids Bivalves In A Peri-MangroveCommunity in Eastern Thailand. The Raffles Bulletin of Zoology.National University of Singapore.
Michael, P. 1994. Metode Ekologi untuk Penyelidikan Lapangan danLaboratorium. Alih Bahasa Oleh: Y.R. Kostoer. UniversitasIndonesia Press. Jakarta. Hlm 195.
Munisa. 2003. Pembangunan Hutan Mangrove berbasis masyarakat dantantangannya (studi kasus desa Tongke-Tongke kabupaten sinjai).Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Djambatan, Jakarta.
Nontji, A. 2007. Laut Nusantara. Djambatan, Jakarta.
Nybakken, J. W. 2007. Biologi Laut, Suatu Pendektan Ekologis. PTGramedia Pustaka, Jakarta 458 hlm. (diterjemahkan oleh M.Eidmann, et al).
Odum, E, P., 1998. Dasar-Dasar Ekologi. Gadjah Mada. University Press,Washington D.C.
Phillips. D.J.H. 1980. Quantitative Aquatic Biological Indicator their use to
monitor trace metal and organochlorine pollution. London Applied
Science.
Prawirohartono, S. 2003. Sains Biologi 1. PT. Bumi Aksara. Jakarta.
Robert, D. and Soemodiharjo. 1982. Shallow Waters Marine Mollusca ofNorth-West Java. LON-LIPI. Jakarta. : p. 312-332.
Rosenberg, D.M. and V. H. Resh. 1993. Freshwater Biomonitoringand Benthic Macroinvertebrates. Chapman and Hall. New York.London. Hlm. 125-127.
94
Russel, W. D. and Hunter. 1983. The Mollusca. Volume 6, Ecology.Academic Press, Inc. London.
Sastrawijaya, A. T. 1991. Pencemaran Lingkungan. PT. Rineka Cipta.Jakarta. Hlm. 83-87.
Shiomi, K., A. Shinagawa., T. Igarashi., K. Hirota., H. Yamanaka., and T.Kikuchi. 1983. Contents and Chemical Forms of Arsenic inShellfishes In Connection with Their Feeding Habits. Bulletin of theJapanese Society of Scientific Fisheries. Department of FoodScience and Technology. Tokyo University of Fisheries. Konan,Tokyo.
Ricardo, L., L. Simone. and S. Wilkinson. 2008. ComparativeMorphological Study of Some Tellinidae from Thailand (Bivalvia :Tellinoidea). The Raffles Bulletin Of Zoology. National University OfSingapore. Singapore.
Sudarja, Y. 1987. Komposisi Kelimpahan dan Penyebaran mangrove dariHulu ke Hilir Berdasarkan Gradien Kedalaman di Situ Lentik,Dermaga. Kab Bogor. Karya Ilmiah. Fakultas Perikanan. IPB.Bogor.
Sumich, J.L. 1992. Marine Life. Fifth Edition. Wm. C. Brown Publisher.United State of America. P. 17, 225-236.
Suwignyo, S., B. Widigdo, Y. Wardiatno, dan M. Krisanti. 2005. Avertebrata
Air I. Penebar Swadaya. Jakarta.
Ter Braak, C. J. F. 1986. Canonical Correspondence Analysis: A New
Eigenvector Technique for Multivariat Direct Gradient Analysis.
Ecology 67: 1167-1179.
Umaryati, B.S. 1990. Taksonomi Avertebrata. Cetakan Pertama. PenerbitUniversitas Indonesia Press. Jakarta. Hlm. 77-90.
USDA. 2009. Soil Survey Manual. United States Department ofAgriculture. soils.usda.gov.
Wardhana, W. A. 1995. Dampak Pencemaran Lingkungan. Andi Offset.Yogyakarta. Hlm. 98.
Wahyu, S. L, dan M. Widyastuti. 1998. Identifikasi dan Pengukuran
Parameter-Parameter Fisik Lapangan. Kerjasama Fakultas
Geografi-UGM dan Bakosurtanal-BANGDA. Dalam Rangka Proyek