Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia Vol. 15 No. 1 Juli 2014: 1-40 p-ISSN 1411-5212; e-ISSN 2406-9280 1 Analisis Potensi dan Kesenjangan Penerimaan Pajak Pertambahan Nilai di Indonesia Tahun 2013 Analysis of VAT Revenue Potential and Gap in Indonesia 2013 Rubino Sugana a, , Asrul Hidayat b a Duke Center for International Development, Duke University, USA b Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan RI Abstract This study is conducted to develop a model that can be used to estimate the VAT revenue potential, tax gaps, and the impact of policy changes using the Input-Output Table. The amount of VAT revenue projection generated by this model is close to the VAT revenue realisation. The result of this study shows that the VAT compliance rate is only around 53%. Improving VAT compliance rate would generate a higher impact on VAT revenue as compared with raising the VAT rate. On the other hand, removing all VAT exemptions, besides increasing the administrative burden, it could also reduce VAT revenue from certain economic sectors, even though it will reduce economic distortions and avoid the need for special VAT treatment. Keywords: VAT; Sales Tax on Luxury Goods; Tax Gap; I-O Table; Tax Potential Abstrak Studi ini dimaksudkan untuk menyusun sebuah model yang dapat digunakan dalam penghitungan potensi dan kesenjangan penerimaan (tax gap ) PPN, dan mengestimasi dampak perubahan kebijakan terhadap penerimaan PPN dengan menggunakan Tabel Input-Output (Tabel I-O). Model ini menghasilkan estimasi penerimaan PPN untuk tahun 2013 yang mendekati nilai realisasi penerimaan aktual. Hasil studi menunjukkan tingkat kepatuhan pemenuhan kewajiban PPN di Indonesia hanya sekitar 53%. Peningkatan kepatuhan akan memberikan dampak yang lebih tinggi terhadap penerimaan dibandingkan menaikkan tarif PPN. Sebaliknya, penghapusan seluruh fasilitas PPN (Dibebaskan PPN, Tidak Dipungut PPN, dan PPN Tidak Dikenakan), selain dapat meningkatkan beban administrasi, untuk sektor tertentu justru dapat menurunkan penerimaan PPN, walaupun hal ini akan mengurangi distorsi ekonomi dan menghindari kebutuhan akan perlakuan khusus. Kata kunci: PPN; PPnBM; Kesenjangan Pajak; Tabel I-O; Potensi Pajak JEL classifications: E17; H25 Pendahuluan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) mu- Alamat Korespondensi: 270 Rubenstein Hall, Du- ke University Box 90237, Durham, NC 27708, USA. E- mail : [email protected]. lai diberlakukan di Indonesia sejak tanggal 1 April 1985. Dasar hukum penerapan PPN dan PPnBM adalah Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Ni- lai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjual- an atas Barang Mewah (UU PPN) dan Pera- turan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 1985 JEPI Vol. 15 No. 1 Juli 2014
40
Embed
Analisis Potensi dan Kesenjangan Penerimaan Pajak ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan IndonesiaVol. 15 No. 1 Juli 2014: 1-40
p-ISSN 1411-5212; e-ISSN 2406-9280 1
Analisis Potensi dan Kesenjangan Penerimaan Pajak Pertambahan Nilai diIndonesia Tahun 2013
Analysis of VAT Revenue Potential and Gap in Indonesia 2013
Rubino Suganaa,�, Asrul Hidayatb
aDuke Center for International Development, Duke University, USAbDirektorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan RI
Abstract
This study is conducted to develop a model that can be used to estimate the VAT revenue potential,tax gaps, and the impact of policy changes using the Input-Output Table. The amount of VATrevenue projection generated by this model is close to the VAT revenue realisation. The result ofthis study shows that the VAT compliance rate is only around 53%. Improving VAT compliancerate would generate a higher impact on VAT revenue as compared with raising the VAT rate. Onthe other hand, removing all VAT exemptions, besides increasing the administrative burden, itcould also reduce VAT revenue from certain economic sectors, even though it will reduce economicdistortions and avoid the need for special VAT treatment.Keywords: VAT; Sales Tax on Luxury Goods; Tax Gap; I-O Table; Tax Potential
Abstrak
Studi ini dimaksudkan untuk menyusun sebuah model yang dapat digunakan dalam penghitunganpotensi dan kesenjangan penerimaan (tax gap) PPN, dan mengestimasi dampak perubahankebijakan terhadap penerimaan PPN dengan menggunakan Tabel Input-Output (Tabel I-O).Model ini menghasilkan estimasi penerimaan PPN untuk tahun 2013 yang mendekati nilai realisasipenerimaan aktual. Hasil studi menunjukkan tingkat kepatuhan pemenuhan kewajiban PPN diIndonesia hanya sekitar 53%. Peningkatan kepatuhan akan memberikan dampak yang lebih tinggiterhadap penerimaan dibandingkan menaikkan tarif PPN. Sebaliknya, penghapusan seluruhfasilitas PPN (Dibebaskan PPN, Tidak Dipungut PPN, dan PPN Tidak Dikenakan), selain dapatmeningkatkan beban administrasi, untuk sektor tertentu justru dapat menurunkan penerimaanPPN, walaupun hal ini akan mengurangi distorsi ekonomi dan menghindari kebutuhan akanperlakuan khusus.Kata kunci: PPN; PPnBM; Kesenjangan Pajak; Tabel I-O; Potensi Pajak
JEL classifications: E17; H25
Pendahuluan
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan PajakPenjualan atas Barang Mewah (PPnBM) mu-
�Alamat Korespondensi: 270 Rubenstein Hall, Du-ke University Box 90237, Durham, NC 27708, USA. E-mail : [email protected].
lai diberlakukan di Indonesia sejak tanggal 1April 1985. Dasar hukum penerapan PPN danPPnBM adalah Undang-Undang (UU) Nomor8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Ni-lai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjual-an atas Barang Mewah (UU PPN) dan Pera-turan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 1985
Analisis Potensi dan Kesenjangan Penerimaan Pajak...2
tentang Pelaksanaan UU PPN 1984. Undang-undang ini menggantikan UU Pajak Penjual-an 1951 yang sudah diberlakukan sejak tahun1953. Berdasarkan UU PPN 1984, pertimbang-an dilakukannya perubahan atas aturan UUPajak Penjualan 1951 adalah untuk mening-katkan penerimaan negara, mendorong ekspor,dan pemerataan pembebanan pajak denganmempertimbangkan kemampuan rakyat, rasakeadilan, dan kebutuhan pembangunan sertauntuk mendorong dan meningkatkan daya sa-ing komoditas ekspor nonminyak di pasaran lu-ar negeri.
Penerimaan PPN memiliki peranan pentingterhadap penerimaan pajak secara keseluruh-an. Pada tahun 2012, sekitar 40,3% penerima-an pajak yang dikelola oleh Direktorat Jen-deral Pajak (DJP) bersumber dari penerima-an PPN. Secara nominal, jumlah penerima-an PPN mengalami peningkatan setiap tahun-nya. Sejak 2002 hingga 2013, penerimaan PPNmengalami peningkatan dengan rata-rata ting-kat pertumbuhan sekitar 18% setiap tahun.Namun demikian, kinerja pemungutan PPN inisebenarnya masih dapat ditingkatkan lagi. Pa-da tahun 2011, persentase konsumsi terhadaptotal Produk Domestik Bruto (PDB) adalahsekitar 56,8%. Dengan angka rasio penerima-an PPN terhadap PDB (rasio PPN) sebesar3,75%, maka secara efektif sekitar 65,9% kon-sumsi merupakan basis PPN. Angka ini masihlebih rendah dibandingkan negara lain sepertiSingapura, Thailand, dan Vietnam.
Pemerintah, khususnya DJP, telah melaku-kan upaya penyempurnaan administrasi perpa-jakan. UU PPN telah beberapa kali mengalamiperubahan. Perubahan pertama dilakukan pa-da tahun 1994 dengan diterbitkannya UU PPNNomor 11 tahun 1994. Aturan yang diubah da-lam undang-undang tersebut di antaranya pa-sal yang terkait jenis penyerahan yang dikena-kan PPN, seperti penyerahan Barang Kena Pa-jak (BKP) dari pusat ke cabang atau sebalik-nya, dan penyerahan BKP antarcabang sertapenyerahan secara konsinyasi. Pada perubahan
undang-undang ini juga dilakukan perubahantarif tertinggi PPnBM dari 20% menjadi 50%.Selain itu, pengkreditan PPN masukan dan fa-silitas PPN juga diatur lebih jelas dalam UUPPN Nomor 11 tahun 1994 ini.
Pada tahun 2000, UU PPN kembali menga-lami perubahan dengan diterbitkannya UU No-mor 18 tahun 2000. Perubahan yang signifi-kan terlihat pada jenis barang dan jasa yangtidak dikenakan PPN. Pada perubahan ter-sebut jenis barang dan jasa yang tidak dike-nakan PPN dinyatakan secara eksplisit dalamundang-undang. Selain itu, tarif tertinggi PPn-BM juga mengalami perubahan menjadi 75%.Perubahan UU PPN terakhir dilakukan padatahun 2009. UU PPN Nomor 42 tahun 2009menetapkan beberapa perubahan signifikan, diantaranya penentuan saat pajak terutang, pe-nentuan saat pembuatan faktur pajak, penge-naan PPN atas ekspor jasa kena pajak, danbeberapa hal lainnya.
Pertimbangan dilakukannya perubahan per-aturan perpajakan tersebut di antaranya ada-lah untuk mengamankan penerimaan nega-ra. Namun, pada periode 2002–2013, rasioPPN masih berada pada kisaran 3,5–4,5%. De-ngan kondisi seperti ini, perubahan kebijakanyang diberlakukan pada periode tersebut be-lum memberikan dampak yang maksimal ter-hadap peningkatan rasio PPN. Kendala utamapeningkatan rasio PPN ini diperkirakan terda-pat pada efisiensi dan kapasitas administrasiperpajakan untuk meningkatkan kepatuhan su-ka rela wajib pajak (voluntary compliance).
Studi ini dimaksudkan untuk menyusun se-buah model yang dapat digunakan untukmenghitung potensi dan kesenjangan peneri-maan (tax gap) PPN, serta mengestimasi dam-pak perubahan kebijakan terhadap penerimaanPPN dengan menggunakan Tabel Input-Output(Tabel I-O). Studi tentang PPN dengan meng-gunakan Tabel I-O sebelumnya pernah dila-kukan oleh Marks (2003), yang menggunakanTabel I-O tahun 1995. Hasil studi Marks me-nyimpulkan bahwa realisasi penerimaan PPN
JEPI Vol. 15 No. 1 Juli 2014
Sugana, R. & Hidayat, A. 3
saat itu 45% di bawah potensi penerimaanyang seharusnya dapat dicapai. Studi terse-but juga membahas dampak adanya jenis ba-rang dan jasa tertentu yang tidak dikenakanPPN terhadap penerimaan PPN. Marks me-nyimpulkan bahwa apabila seluruh pengecua-lian pengenaan PPN terhadap beberapa jenisbarang dan jasa di sektor usaha tertentu diha-pus justru dapat menyebabkan penurunan pe-nerimaan PPN.
Studi ini mencoba memvalidasi angka kepa-tuhan pemenuhan kewajiban PPN pada studiyang dilakukan oleh Marks (2003). Perbedaanutama dengan studi sebelumnya terdapat padapenentuan proporsi kena pajak, penghitungantingkat kepatuhan, dan tahun pajak yang dite-liti. Studi ini berupaya melakukan analisis yanglebih rinci terhadap proporsi kena pajak padamasing-masing sektor. Oleh karena itu, terda-pat suatu sektor usaha memiliki proporsi kenapajak tidak hanya 0 dan 1, tetapi juga antara0 dan 1 untuk sektor yang outputnya dikena-kan dan tidak dikenakan PPN. Estimasi ting-kat kepatuhan tidak hanya dilihat secara agre-gat, tetapi juga per sektor. Selain itu, tahun pa-jak yang akan diestimasi pada studi ini adalahtahun 2013 sehingga diharapkan dapat mencer-minkan kondisi wajib pajak terkini.
Pellechio dan Hill (1996) juga melakukanstudi tentang penghitungan basis PPN denganmenggunakan Tabel I-O. Dalam studi tersebut,basis PPN dihitung dengan pendekatan pro-duksi dan konsumsi. Pada pendekatan produk-si, basis PPN dihitung dari PDB, sedangkanpada pendekatan konsumsi, basis PPN dihi-tung dari konsumsi akhir. Model yang dihasil-kan digunakan untuk memprediksi penerima-an PPN di Zambia. Pada tahun yang sama,Jenkins dan Kuo (1996) juga membuat estima-si penerimaan PPN dengan menggunakan Ta-bel I-O dengan pendekatan yang hampir samadengan Pellechio dan Hill. Model PPN terse-but digunakan untuk mengestimasi penerima-an PPN di Nepal tahun 1993–1994.
Model yang dibangun pada studi ini me-
manfaatkan Tabel I-O tahun 2008 yang disu-sun oleh Badan Pusat Statistik (BPS) yangkemudian diproyeksikan menjadi tahun 2013.Dengan adanya studi ini diharapkan dapatmembantu pemerintah untuk mengestimasi ke-senjangan penerimaan PPN dan memperki-rakan dampak kebijakan pemberian fasilitasPPN dan perubahan tarif terhadap penerima-an PPN. Model ini juga dapat memetakantingkat kepatuhan pemenuhan kewajiban PPNberdasarkan sektor usaha sehingga memung-kinkan untuk digunakan dalam pengambil ke-putusan untuk menentukan sektor usaha yangmenjadi prioritas kegiatan intensifikasi mau-pun ekstensifikasi.
Kinerja Pemungutan PPN dan PPn-BM
PPN memberikan kontribusi hampir mencapai50% dari total penerimaan pajak yang dikelolaoleh DJP. Sejak awal dekade diberlakukannyaUU PPN, rasio penerimaan PPN dan PPnBMterhadap PDB, atau disebut juga dengan isti-lah rasio PPN, mengalami peningkatan yangsignifikan dari 0,9% pada tahun 1984 menjadilebih dari 4,3% pada tahun 1994. Namun, per-kembangan rasio PPN ini mengalami penurun-an hingga menjadi sekitar 2,7% di tahun 1999.Setelah tahun 1999 hingga tahun 2004, rasioPPN cenderung mengalami kenaikan hinggamencapai 4,5%. Sejak tahun 2004, rasio PPNmengalami fluktuasi dengan kecenderungan se-dikit menurun, walaupun secara nominal pe-nerimaan PPN sejak tahun 2002 hingga tahun2012 tumbuh sebesar lebih dari 500% (Gambar1).
Gambar 2 menampilkan statistik penerima-an PPN dan PPnBM berdasarkan sumber pe-nerimaan dalam negeri dan impor. Sejak tahun2004 sampai 2013, proporsi penerimaan PPNdan PPnBM dalam negeri dan impor relatifstabil, yaitu rata-rata sebesar 60% dari peneri-maan dalam negeri dan 40% dari impor. PPNimpor dipungut di pelabuhan oleh DirektoratJenderal Bea Cukai.
JEPI Vol. 15 No. 1 Juli 2014
Analisis Potensi dan Kesenjangan Penerimaan Pajak...4
Gambar 1: Kinerja Penerimaan PPN dan PPnBM Tahun 1984–2013Sumber: Direktorat Jenderal Pajak dan Nota Keuangan 1984–2013, diolah
Gambar 2: Perbandingan Penerimaan PPN Dalam Negeri dan ImporSumber: Direktorat Jenderal Pajak, diolah
JEPI Vol. 15 No. 1 Juli 2014
Sugana, R. & Hidayat, A. 5
Tabel 1: Perbandingan Kinerja Penerimaan PPN di Beberapa Negara ASEAN
IndikatorNegara-Negara ASEAN
Indonesia Laos Filipina Singapura Thailand Vietnam
Sumber: USAID (2013), diolahKeterangan: a VAT Ratio merupakan perbandingan penerimaan PPN dengan PDB;Keterangan: b VAT Productivity merupakan perbandingan antara VAT ratio dengan tarif PPN. Indika-Keterangan: tor ini digunakan untuk menghitung persentase PDB yang dikenakan PPN. Semakin be-Keterangan: sar angka VAT Productivity berarti semakin banyak bagian PDB yang dikenakan PPNKeterangan: atau dapat dikatakan bahwa basis PPN semakin besar;Keterangan: c Consumptions Ratio merupakan perbandingan jumlah konsumsi terhadap total PDB. In-Keterangan: dikator ini digunakan dengan asumsi bahwa basis PPN adalah konsumsi;Keterangan: d VAT Performance merupakan perbandingan antara VAT Productivity dengan Consump-Keterangan: tion Ratio. Indikator ini digunakan untuk menghitung seberapa besar dari jumlah kon-Keterangan: sumsi yang dikenakan PPN.
Tabel 1 menampilkan beberapa indikatoryang umum digunakan untuk membanding-kan dan mengukur kinerja dan efektivitas pe-mungutan PPN antarnegara.
Tabel 1 ini memperlihatkan bahwa tarif PPNdi Indonesia relatif sebanding dengan tarifPPN di negara-negara lain di kawasan ASEAN.Dari sisi kinerja penerimaan PPN dan produk-tivitas PPN, Indonesia lebih rendah daripadaSingapura, Thailand, dan Vietnam. Kemudian,dari sisi rasio PPN, Indonesia juga lebih ren-dah dari Thailand dan Vietnam. Begitu jugadari produktivitas PPN.
Tingkat konsumsi di Indonesia hampir sa-ma dengan rata-rata di negara-nagara ASEANlainnya, yaitu berada di kisaran 55–70% dariPDB. Namun, rasio penerimaan PPN terha-dap konsumsi dibagi dengan tarif PPN stan-dar (VAT Performance) menunjukkan bahwabasis PPN di Indonesia mencakup sekitar 66%konsumsi. Hal ini jauh lebih rendah dibanding-kan dengan Singapura, Thailand, dan Vietnamyang semuanya berada di atas 90%1.
1VAT Performance bisa mencapai di atas 100% dika-renakan efek cascading akibat pengecualian pengenaanPPN.
Rendahnya kinerja penerimaan PPN di In-donesia terutama disebabkan oleh tingkat ke-patuhan pembayaran PPN dan efektivitasadministrasi perpajakan di Indonesia yang ma-sih rendah. Hasil estimasi menunjukkan tingkatkepatuhan pembayaran PPN di Indonesia ha-nya sekitar 50% (lihat Subbagian Tingkat Ke-patuhan). Hasil ini hampir sama dengan temu-an pada studi sebelumnya (Marks, 2003).
Tabel 2 menampilkan proporsi penerimaanPPN per sektor usaha dari tahun 2004 sampai2010. Tabel 2 ini memperlihatkan bahwa sektormanufaktur memiliki proporsi yang paling be-sar terhadap penerimaan PPN, sedangkan sek-tor pertanian termasuk yang paling kecil. Da-ri sisi PDB, proporsi sektor pertanian cukupsignifikan, yaitu sekitar 15%. Namun, seluruhoutput sektor ini merupakan barang yang ti-dak dikenakan PPN atau mendapatkan fasili-tas PPN dibebaskan. Oleh karena itu, jumlahpenerimaan PPN pada sektor ini seharusnyanihil. Namun, angka statistik penerimaan yangdipublikasikan oleh DJP membukukan nilai pe-nerimaan PPN pada sektor pertanian ini. Halini dapat bersumber dari Pengusaha Kena Pa-jak (PKP) yang bergerak di sektor pertaniantetapi juga melakukan penyerahan BKP. Con-
JEPI Vol. 15 No. 1 Juli 2014
Analisis Potensi dan Kesenjangan Penerimaan Pajak...6
Tabel 2: Proporsi Penerimaan PPN dan PPnBM per Sektor Tahun 2004–2010
Sumber: Direktorat Jenderal Pajak, Badan Kebijakan Fiskal, diolah
JEPI Vol. 15 No. 1 Juli 2014
Sugana, R. & Hidayat, A. 7
tohnya adalah perusahaan perkebunan jagung,yang tidak hanya memiliki usaha perkebunanjagung, tetapi juga mengolah jagung menjadiminyak jagung yang merupakan objek PPN.
Sektor konstruksi juga memiliki kontribusiyang cukup besar terhadap PDB, yaitu seki-tar 10%. Namun, seperti yang terdapat padaTabel 2, kontribusi sektor ini terhadap peneri-maan baru sekitar rata-rata 4,4%. Begitu jugadengan sektor jasa yang memiliki peran seki-tar 10% terhadap PDB, tetapi hanya menyum-bangkan 2% dari penerimaan PPN.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, sejak1 Januari 2014 pemerintah menaikkan batas-an jumlah peredaran usaha pengusaha yangwajib mendaftarkan diri sebagai PKP, yaitudari Rp600 juta menjadi Rp4,8 miliar seta-hun. Kebijakan ini diperkirakan akan menu-runkan jumlah PKP. Oleh karena keterbatas-an data, dampak kebijakan ini terhadap pe-nerimaan PPN hanya dilihat dari perbanding-an angka penerimaan PPN dalam harga kons-tan untuk periode yang sama pada tahun sebe-lum dan sesudah diberlakukan perubahan ba-tasan PKP. Pada Gambar 3 dapat dilihat bah-wa pertumbuhan penerimaan PPN pada peri-ode setelah diberlakukan perubahan batasanPKP tidak menunjukkan perbedaan yang sig-nifikan dengan penerimaan tahun sebelumnya.Namun, untuk memahami dampak dari per-ubahan kebijakan ini perlu studi lebih lanjutmenggunakan data yang lebih rinci.
Tinjauan Referensi
Struktur PPN dan PPnBM di Indo-nesia
PPN di Indonesia secara efektif dikenakan ataskonsumsi akhir BKP dan Jasa Kena Pajak(JKP), atau biasa disebut consumption-type.PPN ini dikenakan di sepanjang jalur produk-si dan distribusi suatu barang/jasa hingga ba-rang/jasa tersebut diperoleh oleh konsumenyang merupakan pemikul beban pajak yang se-benarnya. Barang modal secara efektif tidak di-
kenakan PPN.
Tarif standar PPN yang berlaku di Indone-sia adalah 10% dan sistem PPN di Indonesiamenganut destination principle. Artinya, PPNdikenakan berdasarkan tempat di mana BKPatau JKP dikonsumsi; bukan berdasarkan tem-pat di mana BKP dan JKP diproduksi. Denganprinsip ini, PPN hanya dikenakan apabila BKPatau JKP tersebut dikonsumsi di dalam negeri.Oleh karena itu, ekspor BKP dan JKP dikena-kan PPN dengan tarif 0%, sedangkan BKP danJKP impor dikenakan tarif standar yang saatini berlaku sebesar 10%2.
Metode pemungutan PPN di Indonesiamenggunakan mekanisme credit-invoice di se-tiap tahapan produksi dan distribusi (multi-stage). Dengan mekanisme ini, jumlah PPNyang harus disetorkan oleh PKP kepada peme-rintah merupakan selisih antara PPN yang di-pungut dari pembeli BKP atau JKP yang diha-silkan oleh PKP tersebut (”sebut PKP A”) danPPN yang sudah dibayarkan kepada supplier(yang juga merupakan PKP—”sebut PKP B”)atas BKP atau JKP yang digunakan untukmemproduksi keluaran oleh PKP A. PKP A,sebagai penjual, memungut PPN Keluaran da-ri pembeli. Namun PKP A, sebagai pembeli,juga membayar PPN Masukan kepada PKP B(supplier).
Dengan mekanisme tersebut, pengenaanPPN tidak menimbulkan efek pajak berganda(cascading). Apabila dalam satu masa pajak,PPN Masukan lebih besar dari PPN Keluar-an, maka PKP dapat meminta restitusi kele-bihan pembayaran PPN kepada pemerintah,
2Sebagai perwujudan destination principle, pemerin-tah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK)Nomor 76/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pengaju-an dan Penyelesaian Permintaan Kembali PPN BarangBawaan Orang Pribadi Pemegang Paspor Luar Negerisebagaimana telah diubah terakhir dengan PMK No-mor 100/PMK.03/2013. Dengan diberlakukannya atur-an ini, PPN yang dibayarkan oleh orang pribadi peme-gang paspor luar negeri atas pembelian barang di tokoritel yang telah ditetapkan dapat dimintakan kembalisaat meninggalkan Indonesia.
JEPI Vol. 15 No. 1 Juli 2014
Analisis Potensi dan Kesenjangan Penerimaan Pajak...8
Gambar 3: Penerimaan dan Pertumbuhan PPN dan PPnBM Periode Januari–Maret, 2011–2014 (HargaKonstan)
Sumber: Direktorat Jenderal Pajak, Badan Kebijakan Fiskal
Gambar 4: Mekanisme Pemungutan PPN
JEPI Vol. 15 No. 1 Juli 2014
Sugana, R. & Hidayat, A. 9
atau dikompensasikan untuk masa pajak ber-ikutnya. Mekanisme ini terus berulang sam-pai BKP atau JKP diserahkan kepada konsu-men akhir. Dengan mekanisme ini, pemikul be-ban PPN secara efektif adalah konsumen akhir(Gambar 4).
Mekanisme pemungutan PPN di Indonesiajuga mengenal adanya pembeli yang terdaftarsebagai Pemungut PPN (reverse charge). Con-toh pemungut PPN dengan mekanisme ini ada-lah Bendahara Pemerintah3. Apabila dalam su-atu masa pajak, PKP melakukan transaksi de-ngan Bendahara Pemerintah, maka PPN Ke-luaran akan langsung dipungut oleh Bendaha-ra Pemerintah. Oleh karena itu, jumlah PPNyang harus disetorkan oleh PKP pada suatumasa pajak menjadi berkurang sebesar PPNyang sudah dipungut oleh Bendahara Pemerin-tah.
Pengusaha Kena Pajak
Pengusaha yang wajib mendaftar sebagai PKPadalah pengusaha yang melakukan penyerahanBKP dan JKP yang memiliki peredaran usa-ha lebih dari Rp4,8 miliar setahun. Pengusa-ha yang memiliki peredaran usaha di bawahkriteria tersebut dapat memilih menjadi PKP.Apabila dibandingkan dengan beberapa negaralain di kawasan ASEAN, batasan wajib daftarPKP di Indonesia termasuk paling tinggi, se-kitar 140 kali Produk Domestik Bruto (PDB)per kapita. Di negara ASEAN lainnya angkaini berkisar antara 11–80 (Tabel 3).
3Kewajiban pemungutan pajak oleh Bendahara Pe-merintah diatur dalam Keputusan Menteri KeuanganNomor 563/KMK.03/2003 Tentang Penunjukan Benda-harawan Pemerintah dan Kantor Perbendaharaan danKas Negara untuk Memungut, Menyetor, dan Mela-porkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualanatas Barang Mewah Beserta Tata Cara Pemungutan,Penyetoran, dan Pelaporannya. Berdasarkan peratur-an tersebut, Bendaharawan Pemerintah adalah pejabatyang melakukan pembayaran yang dananya berasal dariAnggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Ang-garan Pendapatan dan Belanja Daerah.
Objek PPN
Pada prinsipnya, objek PPN adalah penyerah-an BKP dan/atau pemanfaatan JKP. Di Indo-nesia, barang yang dikategorikan sebagai ba-rang kebutuhan pokok yang sangat dibutuh-kan oleh rakyat banyak seperti beras, gabah,jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, su-su, buah-buahan, dan sayur-sayuran termasukke dalam jenis barang yang tidak dikenakanPPN. Sebelum tahun 2009, sebagian barangtersebut termasuk ke dalam kategori barangyang bersifat strategis dan mendapatkan fasi-litas PPN dibebaskan4.
Selain itu, barang dan jasa yang menjadi ob-jek Pajak Daerah yang pemungutannya menja-di kewenangan Pemerintah Provinsi atau Ka-bupaten/Kota, seperti Pajak Restoran, PajakHotel, Pajak Parkir, dan Pajak Hiburan dike-cualikan dari pengenaan PPN. Besaran tarifPajak Daerah tersebut ditetapkan berdasarkanPeraturan Daerah masing-masing. Karena sifatPajak Daerah ini sebagai pajak penjualan, ma-ka PPN Masukan untuk menghasilkan barangdan jasa tersebut tidak dapat dikreditkan.
Barang hasil pertambangan, seperti minyakmentah, gas bumi, panas bumi, batu bara,asbes, dan bijih besi, termasuk dalam jenisbarang yang tidak dikenakan PPN. Barang-barang ini dianggap sebagai primary sectoryang belum memiliki nilai tambah.
UU PPN mengatur tentang daftar negatifbarang dan jasa yang tidak dikenakan PPN(PPN Masukan tidak dapat dikreditkan). Ada-pun jenis-jenis barang yang tidak dikenakanPPN5, yaitu (1) barang hasil pertambanganatau hasil pengeboran yang diambil langsungdari sumbernya; (2) barang kebutuhan pokokyang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;(3) makanan dan minuman yang disajikan di
4PP Nomor 31 tahun 2007 Tentang Impor dan/atauPenyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang BersifatStrategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Per-tambahan Nilai.
5Jenis barang yang tidak dikenakan PPN diatur da-lam Pasal 4A Ayat (2) UU PPN.
JEPI Vol. 15 No. 1 Juli 2014
Analisis Potensi dan Kesenjangan Penerimaan Pajak...10
Tabel 3: Perbandingan Batasan Wajib Pengusaha Kena Pajak di Negara-Negara ASEAN
Negara Batas Peredaran Nilai Tukar Faktor Batas Peredaran Per Kapita Rasio BatasUsaha Tahunana Resmi 2012 Konversi Usaha, PPPb PDB, 2012, PPP Peredaran Usaha
Sumber: USAID (2013) dan World Bank (2013), diolahKeterangan: aDalam mata uang lokalKeterangan: bPurchasing Power Parity
hotel, restoran, rumah makan, warung, dan se-jenisnya, meliputi makanan dan minuman, baikyang dikonsumsi di tempat maupun tidak, ter-masuk makanan dan minuman yang diserah-kan oleh usaha jasa boga atau katering; serta(4) uang, emas batangan, dan surat berharga.
Sedangkan, jenis jasa tidak dikenakan PPN6,yaitu (1) jasa keagamaan; (2) jasa pelayanankesehatan medik; (3) jasa pelayanan sosial; (4)jasa pendidikan; (5) jasa keuangan dan asuran-si; (6) jasa pengiriman uang dengan wesel pos;(7) jasa pengiriman surat dengan prangko; (8)jasa telepon umum dengan menggunakan uanglogam; (9) jasa penyiaran yang tidak bersifatiklan; (10) jasa angkutan umum di darat danair, serta jasa angkutan udara dalam negeriyang menjadi bagian yang tidak terpisahkandari jasa angkutan udara luar negeri; (11) ja-sa tenaga kerja; (12) jasa perhotelan; (13) jasaboga atau katering; (14) jasa kesenian dan hi-buran; (15) jasa penyediaan tempat parkir; dan(16) jasa yang disediakan oleh pemerintah da-lam rangka menjalankan pemerintahan secaraumum.
PPN Masukan yang Dapat dan TidakDapat Dikreditkan
Perlakuan PPN atas suatu jenis barang danjasa mempengaruhi dapat tidaknya pengkre-
6Jenis jasa yang dikecualikan dari pengenaan PPNdiatur dalam Pasal 4A Ayat (3) UU PPN.
ditan atas PPN Masukan. Perlakuan PPN ataspenyerahan barang dan jasa di Indonesia da-pat dikelompokkan menjadi beberapa bagian,yaitu ”Dikenakan PPN dengan Tarif Standar”,”Tidak Dikenakan PPN”, ”Dibebaskan PPN”,”Tidak Dipungut PPN”, dan ”Dikenakan PPNdengan tarif 0%”. Perlakuan PPN tersebutberpengaruh terhadap mekanisme pengkredit-an PPN Masukan seperti penjelasan berikutini:
a. PPN Masukan yang Tidak Dapat Di-kreditkanPPN Masukan atas perolehan barang dan ja-sa yang digunakan untuk menghasilkan barangdan jasa dengan perlakuan ”Tidak DikenakanPPN” atau ”Dibebaskan PPN”, atau umum-nya dikenal sebagai VAT exempt, tidak dapatdikreditkan oleh PKP. Apabila PKP melaku-kan kegiatan penyerahan barang dan jasa yangdikenakan PPN dan juga dikecualikan (tidakdikenakan PPN dan/atau dibebaskan PPN),maka PPN Masukan yang dapat dikreditkanhanyalah sejumlah yang terkait dengan penye-rahan barang dan jasa yang dikenakan PPN.
• Tidak Dikenakan PPN: jenis barangdan jasa yang termasuk dalam kategori iniadalah jenis barang dan jasa yang diaturpada Pasal 4A UU PPN. Contohnya ada-lah barang kebutuhan pokok dengan per-timbangan untuk mengurangi regresivitasPPN. Selain itu, terdapat jenis barang dan
JEPI Vol. 15 No. 1 Juli 2014
Sugana, R. & Hidayat, A. 11
jasa tidak dikenakan PPN karena penge-naan pajak atas barang atau jasa tersebutmenjadi wewenang pemerintah daerah, se-perti jasa perhotelan.
• Dibebaskan PPN: pada prinsipnya, ba-rang dan jasa yang termasuk dalam ka-tegori ini merupakan BKP dan JKP. Na-mun, dengan pertimbangan untuk mem-berikan insentif usaha dan juga isu regre-sivitas, maka penyerahan BKP dan JKPtersebut dibebaskan PPN. Contoh: barangyang dianggap bersifat strategis sepertimakanan ternak, air bersih, dan listrik de-ngan daya maksimum tertentu.
b. PPN Masukan yang Dapat Dikredit-kanPPN Masukan yang dibayar pada saat pero-lehan barang dan jasa yang digunakan untukmenghasilkan BKP dan JKP yang ”DikenakanPPN dengan tarif standar”, ”Dikenakan PPNdengan tarif 0%” atau mendapatkan fasilitas”Tidak Dipungut PPN” merupakan PPN ma-sukan yang dapat dikreditkan. Jenis perlakuanPPN yang termasuk dalam kategori ini, yaitu:
• Dikenakan PPN dengan Tarif Stan-dar: diterapkan terhadap jenis barang danjasa yang tidak termasuk ke dalam je-nis barang atau jasa yang tidak dikenakanPPN dan/atau dibebaskan PPN dan/atautidak dipungut PPN.
• Dikenakan PPN dengan Tarif 0%(zero-rated): diterapkan terhadap eks-por BKP atau JKP. Hal ini konsisten de-ngan penerapan destination principle.
• Tidak Dipungut PPN: penerapannyahampir sama dengan PPN dibebaskan dimana pembeli BKP atau JKP tidak per-lu membayar PPN, namun PPN Masukanuntuk menghasilkan BKP atau JKP terse-but tetap dapat dikreditkan. Contoh: pe-masukan barang dari daerah pabean ke ka-wasan berikat untuk diolah lebih lanjut.Selain itu, PPN tidak dipungut juga diber-lakukan atas impor dan penyerahan ba-rang dan jasa dalam rangka pelaksanaan
proyek pemerintah yang dibiayai denganhibah atau dana pinjaman luar negeri.
PPN Dibebaskan dan PPN Tidak Dipu-ngut merupakan fasilitas PPN dirancang un-tuk mendorong kegiatan tertentu. Namun, fa-silitas ini dapat menimbulkan distorsi ekonomi.Selain fasilitas PPN tersebut, pemerintah jugapernah menerapkan fasilitas PPN DitanggungPemerintah, seperti perlakuan PPN atas pen-jualan minyak goreng curah. Bagi wajib pajak,fasilitas ini secara efektif sama dengan penge-naan PPN dengan tarif 0%. Daftar peraturanpemberian fasilitas PPN dapat dilihat di Tabel13.
Pajak Penjualan atas Barang Mewah
PPnBM adalah pajak yang dikenakan satu kaliatas penyerahan barang tertentu yaitu pada sa-at impor barang mewah atau saat penyerahanpertama kali oleh produsen yang menghasilkanbarang yang dikategorikan mewah. Basis pajakPPnBM adalah harga BKP/JKP tidak terma-suk PPN. PPnBM tidak dapat dikreditkan, te-tapi dapat direstitusi dalam hal barang yangtergolong mewah yang PPnBM-nya telah di-bayar tersebut diekspor kembali.
Batasan barang yang tergolong mewah di-atur dalam PP Nomor 41/2013 Tentang Ba-rang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Beru-pa Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pa-jak Penjualan atas Barang Mewah. Selainitu, sebagaimana diatur dalam PMK Nomor130/PMK.011/2013, PPnBM juga dikenakanatas barang selain kendaraan bermotor seper-ti rumah mewah, arloji mewah, dan lain-lain(lihat Tabel 14).
Restitusi PPN
Restitusi terjadi apabila PKP memiliki jumlahPPN Masukan yang lebih besar daripada PPNKeluaran. Ketentuan PPN di Indonesia meng-atur bahwa apabila dalam suatu masa pajak,PPN Masukan yang dapat dikreditkan lebihbesar daripada PPN Keluaran, maka selisihnya
JEPI Vol. 15 No. 1 Juli 2014
Analisis Potensi dan Kesenjangan Penerimaan Pajak...12
merupakan kelebihan pembayaran pajak yangdapat dikompensasi ke masa pajak berikutnyadan direstitusi di akhir tahun pajak. Namun,PKP tertentu mendapat pengecualian sehinggadapat mengajukan permohonan restitusi padasetiap masa pajak, seperti7:• PKP yang melakukan ekspor BKP (ber-
wujud maupun tidak berwujud), atauJKP;
• PKP yang melakukan penyerahan BKPatau JKP kepada Pemungut PPN;
• PKP yang melakukan penyerahan BKPatau JKP yang mendapat fasilitas PPNTidak Dipungut; dan
• PKP dalam tahap belum berproduksi.
Jangka waktu penyelesaian permohonan res-titusi diatur sebagai berikut:a. Satu Bulanseperti diatur dalam Pasal 17C dan 17D UUKetentuan Umum dan Tata Cata Perpajakan(KUP)8. Dengan mekanisme yang diatur da-lam UU KUP, DJP melakukan studi atas per-mohonan restitusi PKP. Berdasarkan hasil stu-di tersebut, DJP menerbitkan Surat Keputus-an Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pa-jak (SKPPKP) sebagai dasar untuk mengem-balikan kelebihan pembayaran kepada PKP.PKP yang penyelesaian restitusinya termasukdalam kategori ini adalah:
• PKP dengan Kriteria Tertentu: yaituPKP yang tepat waktu menyampaikan Su-rat Pemberitahuan (SPT), tidak mempu-nyai tunggakan atas semua jenis pajak, la-poran keuangan diaudit oleh akuntan pu-blik selama 3 tahun berturut-turut denganhasil Wajar Tanpa Pengecualian, dan ti-dak pernah dipidana di bidang perpajakandalam jangka waktu 5 tahun terakhir.
7Pasal 9 ayat (4b) UU PPN mengatur tentang res-titusi yang dapat diajukan setiap masa pajak.
8Pasal 17C UU KUP mengatur tentang pengemba-lian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak de-ngan kriteria tertentu, sedangkan Pasal 17D UU KUPmengatur tentang kelebihan pembayaran pajak dariWajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu.
• PKP dengan Persyaratan Tertentu:yaitu PKP yang menyampaikan SPT ma-sa PPN dengan jumlah penyerahan danjumlah lebih bayar sampai dengan jumlahtertentu. Batasan jumlah lebih bayar ter-sebut adalah tidak lebih dari Rp100 juta9.
• PKP Berisiko Rendah: berdasarkanPasal 9 Ayat (4c) UU PPN, untuk PKPyang melakukan kegiatan sebagaimanayang diatur pada Pasal 9 ayat (4b) UUPPN seperti yang dijelaskan sebelumnyayang memenuhi kriteria sebagai PKP ber-isiko rendah, proses restitusinya disama-kan dengan PKP kriteria tertentu. Krite-ria PKP yang berisiko rendah yaitu PKPyang merupakan perseroan terbatas yang40% sahamnya diperdagangkan di Bur-sa Efek Indonesia, perusahaan yang ma-yoritas sahamnya dimiliki oleh Pemerin-tah Pusat/Pemerintah Daerah, atau me-menuhi persyaratan tertentu10. Persyarat-an tertentu yang dimaksud di sini adalahtepat waktu dalam penyampaian SPT ma-sa PPN selama 12 bulan terakhir, 75% darijumlah BKP yang dijual merupakan pro-duksi sendiri, dan laporan keuangan sela-ma 2 tahun terakhir diaudit oleh KantorAkuntan Publik dengan pendapat WajarTanpa Pengecualian atau Wajar DenganPengecualian.
b. Dua Belas Bulanapabila PKP tidak memenuhi kriteria sebagaiPKP kriteria tertentu, berisiko rendah, ataumemenuhi persyaratan tertentu. Contohnya,PKP melaporkan SPT masa PPN tidak tepatwaktu selama tiga masa terakhir. Permohon-an kelebihan pembayaran PPN pada kategoriini diatur dalam Pasal 17B UU KUP. Dengan
9Diatur dalam PMK Nomor 198/PMK.03/2013 ten-tang Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayar-an Pajak Bagi Wajib Pajak yang Memenuhi Persyarat-an Tertentu
10Diatur dalam PMK Nomor 71/PMK.03/2010 ten-tang Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah yang Di-berikan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak.
JEPI Vol. 15 No. 1 Juli 2014
Sugana, R. & Hidayat, A. 13
mekanisme ini, DJP akan melakukan pemerik-saan terhadap permohonan restitusi. Berdasar-kan hasil pemeriksaan tersebut, apabila SPTyang disampaikan sudah benar, DJP akan me-nerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar(SKPLB) sebagai dasar untuk mengembalikankelebihan pembayaran kepada PKP.
Dalam melakukan studi ini, penulis ti-dak berhasil memperoleh data statistik untukmengukur kinerja pembayaran restitusi. Olehkarena itu, tingkat penyelesaian restitusi tidakdibahas pada studi ini.
Pengenaan PPN dalam Proses Pro-duksi dan Distribusi
Mekanisme pemungutan PPN dengan mekanis-me credit-invoice dapat dilihat pada Tabel 4.Contohnya, pada rantai distribusi yang tera-khir, jumlah yang harus dibayar oleh konsu-men akhir adalah Rp1.000 ditambah denganPPN 10% atau Rp100. Jumlah PPN yang di-pungut oleh penjual dari konsumen akhir inisama dengan total jumlah PPN yang disetor-kan ke kas negara pada setiap rantai produksidan distribusi. Begitu juga dengan harga yangdibayar oleh konsumen akhir sama dengan to-tal nilai tambah pada setiap rantai produksidan distribusi. Konsep ini menunjukkan bah-wa penanggung utama PPN adalah konsumenakhir.
Seperti halnya penerapan PPN pada umum-nya di berbagai negara, Indonesia juga mem-berikan pengecualian terhadap beberapa jenisbarang atau jasa tertentu yang tidak dikena-kan PPN. Ada beberapa pertimbangan untuktidak mengenakan PPN atas barang atau ja-sa tertentu, seperti pertimbangan sosial politis,pertimbangan teknis, serta administratif.
Pengusaha yang melakukan penyerahan ba-rang dan jasa yang tidak dikenakan PPN ti-dak dapat mengkreditkan PPN Masukan yangdibayar pada saat memperoleh input. Apabilabarang dan jasa tidak dikenakan PPN diguna-kan sebagai input antara, maka basis PPN danpenerimaan PPN pada rantai produksi beri-
kutnya akan menjadi lebih besar karena PPNmasukan atas input antara akan diperhitung-kan sebagai biaya dalam menentukan harga ju-al barang dan jasa yang dihasilkan.
Apabila barang dan jasa yang tidak dikena-kan PPN merupakan penjualan akhir ke kon-sumen, maka nilai tambah untuk menghasilkanbarang dan jasa tersebut bukan merupakan ba-sis PPN. Berdasarkan uraian ini, terdapat duabasis PPN yaitu konsumsi akhir dan PPN ma-sukan atas barang dan jasa yang tidak dikena-kan PPN seperti yang ditampilkan pada Tabel5. Kedua hal inilah yang menjadi dasar untukmembangun model analisis dan estimasi pene-rimaan PPN dengan pendekatan konsumsi. De-ngan pendekatan konsumsi ini, pengusaha yangmelakukan penjualan barang yang tidak dike-nakan PPN dianggap sama dengan konsumenakhir.
Pada Tabel 5, sektor manufaktur diasumsi-kan tidak dikenakan PPN (manufaktur dia-sumsikan bukan PKP). PPN Masukan yang di-bayarkan oleh manufaktur kepada penggerga-jian tidak dapat dikreditkan. Oleh karena itu,manufaktur akan memperhitungkan PPN Ma-sukan tersebut sebagai biaya dalam menentu-kan harga pokok penjualan. Dalam contoh diTabel 5, diasumsikan semua biaya PPN Masuk-an dapat diteruskan ke pembeli berikutnya (pe-dagang besar). Dari sini dapat dilihat bahwakebijakan untuk tidak mengenakan PPN pa-da pengusaha yang menghasilkan input antaraberpotensi meningkatkan penerimaan PPN.
Untuk menghitung potensi penerimaan PPNdengan pendekatan konsumsi, perlu diketahuijumlah dan komposisi konsumsi akhir dan jum-lah dan komposisi input antara pengusaha bu-kan PKP. Selanjutnya, diperlukan estimasi ten-tang komposisi BKP dan JKP di antara totalkonsumsi akhir dan input antara.
Kerangka Model Estimasi Potensi Pe-nerimaan PPN
Tabel 6 mengilustrasikan kerangka model yangdigunakan dalam studi ini untuk mengestima-
JEPI Vol. 15 No. 1 Juli 2014
Analisis Potensi dan Kesenjangan Penerimaan Pajak...14
Tabel 4: PPN atas Produksi dan Distribusi Pedagangan Furnitur
Sektor ProdukPembelian Penjualan Nilai PPN 10% PPN
di Luar Pajak Tambah atas Penjualan Masukan Disetor
Penebang Kayu Batang Pohon 0 200 200 20 0 20Penggergajian Kayu 200 300 100 30 20 10Manufaktur Furnitur 300 700 400 70 30 40Pedagang Besar Furnitur 700 800 100 80 70 10Pedagang Eceran Furnitur 800 1.000 200 100a 80 20
Total 2.000 3.000 1.000 300 200 100b
Sumber: Hasil Pengolahan PenulisKeterangan: aPPN AkhirKeterangan: bTotal PPN
Tabel 5: Implikasi Pengecualian Pengenaan PPN di Tahap Antara
Sektor ProdukPembelian Penjualan Nilai PPN 10% PPN
di Luar Pajak Tambah atas Penjualan Masukan Disetor
Sumber: Hasil Pengolahan PenulisKeterangan: aManufaktur furnitur tidak dikenakan PPNKeterangan: bMasukan usaha tidak kena PPNKeterangan: cPPN konsumen akhir
si penerimaan PPN dengan pendekatan kon-sumsi. Penjelasan lebih rinci mengenai meto-dologi analisis PPN dapat dilihat di Glenday etal. (2010). Kolom 3 berisi nilai konsumsi akhiratau nilai input antara yang merupakan hasilproyeksi ke tahun 2013 dari Tabel I-O 2008. Ni-lai konsumsi akhir pada kolom 3 adalah samadengan nilai konsumsi akhir pada Tabel I-O ko-lom 301. Untuk nilai input antara, angka-angkapada kolom 3 merupakan hasil proyeksi ke ta-hun 2013 dari Tabel I-O 2008 baris 190.
Dengan adanya berbagai pengecualian danpemberian PPN 0% untuk penyerahan barangdan jasa tertentu, maka tidak semua angka-angka konsumsi dan input antara merupakanbasis PPN. Oleh karena itu, perlu diestimasiberapa besar dari angka-angka tersebut yangmenjadi basis PPN dan PPnBM. Kolom 4 ber-isi perkiraan proporsi dalam persentase darikonsumsi akhir atau input antara yang meru-pakan objek PPN atau PPnBM. Metode pe-
nentuan proporsi angka konsumsi dan inputantara yang merupakan objek PPN dan PPn-BM (taxable proportion) dijelaskan pada bagi-an berikutnya.
Estimasi proporsi konsumsi atau input anta-ra kena pajak didasarkan pada peraturan danperundangan yang berlaku. Namun demikian,tidak semua wajib pajak patuh melaporkan se-luruh transaksi yang kena PPN dan PPnBM.Untuk itu, perlu diperkirakan tingkat kepatuh-an wajib pajak untuk masing-masing sektorekonomi. Basis pajak efektif merupakan per-kalian antara nilai konsumsi atau input antarauntuk masing masing sektor ekonomi dikalikandengan proporsi kena pajak dan tingkat kepa-tuhan wajib pajak.
Perkiraan penerimaan PPN dan PPnBM da-ri masing-masing sektor ekonomi merupakanperkalian tarif pajak rata-rata dengan basisefektif PPN dan PPnBM. Dengan model inidiharapkan dapat diestimasi dampak dari per-
JEPI Vol. 15 No. 1 Juli 2014
Sugana, R. & Hidayat, A. 15
Tabel 6: Kerangka Model Estimasi Potensi Penerimaan PPN
No Sektor NilaiProporsiKena PPN
TingkatKepatuh-an
BasisPPN/PPnBMEfektif
Tarif PPNProyeksiPeneriman
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
PENGELUARAN RUMAH TANGGA1 Sektor 12 Sektor 2... ...66 Sektor 66
Analisis Potensi dan Kesenjangan Penerimaan Pajak...16
ubahan kebijakan sektoral terhadap total pe-nerimaan PPN dan PPnBM. Namun demikian,model yang digunakan bersifat statis dan tidaksecara eksplisit memperhitungkan respons dariperilaku PKP.
PPNi � Bi � Pi �Ki � t (1)
dengan:
PPNi : Penerimaan PPN dan PPnBM dari ko-moditas atau sektor usaha i;
Bi : Konsumsi akhir rumah tangga atau in-put antara usaha yang menghasilkan ba-rang dan/atau jasa tidak dikenakan PPN;
Pi : Proporsi konsumsi akhir rumah tanggaatau input antara usaha yang dikenakanPPN dan PPnBM;
Ki : Tingkat kepatuhan untuk komoditas atausektor usaha i;
t : Tarif rata-rata PPN atau PPnBM.
Metode
Sumber Data
Sumber data utama untuk studi ini adalah Ta-bel I-O yang dipublikasikan oleh BPS. TabelI-O disajikan dalam bentuk matriks, di ma-na masing-masing barisnya menunjukkan out-put suatu sektor dialokasikan untuk memenuhipermintaan antara dan permintaan akhir, se-dangkan masing-masing kolomnya menunjuk-kan pemakaian input antara dan input primeroleh suatu sektor dalam proses produksi. Ta-bel I-O terakhir yang dikeluarkan BPS adalahhasil pemutakhiran tahun 2008. BPS membagiTabel I-O Tahun 2008 menjadi 66 sektor pere-konomian11.
Faktor Pengali untuk Memproyeksi-kan Tabel I-O ke Tahun 2013
Untuk keperluan analisis penerimaan PPN ta-hun 2013, maka Tabel I-O tahun 2008 dipro-
11Penjelasan lebih rinci mengenai Tabel I-O lihat pu-blikasi yang diterbitkan BPS.
yeksikan ke tahun 2013. Proyeksi ini dilaku-kan dengan menentukan Faktor Pengali (grossup factor) untuk memproyeksikan nilai kon-sumsi akhir, Pembentukan Modal Tetap Bruto(PMTB), dan input antara.
Karena data yang dibutuhkan untuk meng-hitung Faktor Pengali tidak tersedia untuksetiap sektor ekonomi, maka Faktor Penga-li untuk suatu sektor utama diasumsikan sa-ma dengan untuk masing-masing subsektorpenyusunnya. Misalnya, Faktor Pengali un-tuk sektor Pertanian Tanaman Bahan Makan-an sama dengan Faktor Pengali bagi masing-masing subsektor penyusunnya yaitu subsek-tor jagung, umbi-umbian, sayur-sayuran, dantanaman bahan makanan lainnya.
Faktor Pengali diperoleh dengan menggu-nakan formula di bawah ini:
Gi �PDBi,t
PDBi,0(2)
dengan:
Gi : Faktor Pengali;PDBi,t : PDB tahun proyeksi;PDBi,0 : PDB tahun dasar.
Terdapat dua pendekatan dalam menentu-kan PDB tahun proyeksi (PDBi,t). Pertama,apabila rincian atau komponen PDB berda-sarkan penggunaan untuk tahun yang akandiproyeksi telah tersedia, maka PDBi,t dapatmenggunakan angka yang dilaporkan BPS. Pa-da saat studi ini dilakukan, BPS telah mener-bitkan data PDB tahun 2013. Oleh karena itu,Faktor Pengali dihitung dengan menggunakanpendekatan pertama ini. Kedua, apabila rin-cian PDB untuk tahun yang akan diproyeksibelum tersedia, maka total PDB untuk tahunproyeksi, PDBt, dapat dihitung terlebih dahu-lu dengan menggunakan angka proyeksi per-tumbuhan ekonomi nominal, sebagai berikut:
gt � p1� rtqp1� πtq � 1 (3)
danPDBt � PDBt�1p1� gtq (4)
dengan:
JEPI Vol. 15 No. 1 Juli 2014
Sugana, R. & Hidayat, A. 17
g : Pertumbuhan PDB nominal;r : Pertumbuhan PDB riil;π : Tingkat inflasi.
Selanjutnya, PDB hasil proyeksi digunakanuntuk menghitung rincian PDB dengan meng-gunakan tren proporsi setiap komponen penge-luaran (konsumsi rumah tangga, konsumsi pe-merintah, PMTB, perubahan inventori, ekspor,dan impor). Misalnya, proporsi konsumsi ru-mah tangga dalam PDB cenderung menurundari 72,5% di tahun 2005 menjadi 63,4% di ta-hun 2012. Tren ini diasumsikan akan berlanjutsecara linier ke tahun 2013. Hasil proyeksi pro-porsi konsumsi rumah tangga ini kemudian di-kalikan dengan PDB yang diproyeksikan meng-gunakan Persamaan (3) dan (4) untuk menda-patkan nilai konsumsi rumah tangga proyeksitahun 2013.
Proyeksi Rincian Pengeluaran Kon-sumsi Rumah Tangga
Rincian nilai konsumsi rumah tangga berda-sarkan Tabel I-O 2008 diproyeksikan ke ni-lai konsumsi tahun 2013 dengan menggunakanFaktor Pengali, Gi, untuk masing-masing sek-tor pengeluaran, sebagai berikut:
Ci,t � Gi � Ci,0 (5)
dengan:
Ci,t : Nilai rincian atau konsumsi rumah tang-ga sektoral tahun proyeksi;
Ci,0 : Nilai rincian ataukonsumsi rumah tang-ga sektoral tahun dasar.
Namun, total nilai konsumsi rumah tangga(66 sektor) hasil proyeksi dengan cara ini ter-nyata menghasilkan angka yang lebih besar da-ri total nilai konsumsi rumah tangga yang di-laporkan oleh BPS. Perbedaan ini muncul aki-bat adanya perbedaan jumlah sektor pada sek-tor usaha pada Tabel I-O dengan sektor usahapada PDB berdasarkan lapangan usaha sehing-ga Faktor Pengali suatu sektor usaha diasumsi-
kan sama dengan subsektor penyusunnya. Sela-in itu, perbedaan ini juga disebabkan oleh ada-nya diskrepansi statistik. Adapun angka yangdijadikan sebagai dasar penghitungan proyek-si nilai konsumsi adalah nilai konsumsi padaPDB berdasarkan penggunaan.
Oleh sebab itu, proyeksi nilai rincian kon-sumsi rumah tangga (66 sektor) perlu disesuai-kan sebagai berikut:
CAdji,t � Ci,t �
C2t
C1t
(6)
dengan:
CAdji,t : Nilai rincian konsumsi rumah tangga
tahun proyeksi setelah disesuaikan;C1t : Proyeksi nilai total konsumsi rumah tang-
ga (66 sektor) dihitung menggunakan Fak-tor Pengali;
C2t : Total nilai konsumsi rumah tangga di ta-
hun proyeksi yang dilaporkan oleh BPS.
Proyeksi Rincian Input Antara untukUsaha
Proyeksi input antara untuk tahun 2013 dila-kukan dengan mengalikan Faktor Pengali de-ngan nilai input antara untuk masing-masingsektor usaha pada Tabel I-O 2008. Karena ti-dak ada tolok ukur lain untuk mengoreksi totalnilai input antara hasil proyeksi dengan meto-de ini (BPS tidak memublikasikan angka inputantara untuk sektor usaha setiap tahun), makahasil proyeksi nilai input antara untuk masing-masing sektor usaha tidak dilakukan penyesu-aian lebih lanjut.
Inti,t � Gi � Inti,0 (7)
dengan:
Inti,t : Total nilai input antara untuk masing-masing sektor usaha tahun proyeksi (t);
Inti,0 : Total nilai input antara untuk masing-masing sektor usaha tahun dasar (0).
JEPI Vol. 15 No. 1 Juli 2014
Analisis Potensi dan Kesenjangan Penerimaan Pajak...18
Proyeksi Rincian Pembentukan Mo-dal Tetap Bruto
Proyeksi rincian PMTB untuk tahun 2013 di-lakukan dengan pendekatan yang sama denganproyeksi rincian konsumsi akhir rumah tang-ga. Nilai PMTB berdasarkan Tabel I-O 2008kemudian diproyeksikan ke tahun 2013 denganmenggunakan Faktor Pengali. Kemudian, nilaiproyeksi rincian PMTB tahun 2013 disesuaikansehingga total hasil proyeksi konsisten dengantotal nilai PMTB yang dilaporkan oleh BPS.
Ii,t � Gi � Ii,0 (8)
IAdji,t � Ii,t �
I2tI1t
(9)
dengan:
Ii,t : Nilai rincian atau komponen PMTB ta-hun proyeksi;
Ii,0 : Nilai rincian atau komponen PMTB ta-hun dasar;
IAdji,t : Nilai rincian PMTB tahun proyeksi se-
telah disesuaikan;I1t : Proyeksi nilai total PMTB dihitung meng-
gunakan Faktor Pengali;I2t : Total nilai PMTB yang dilaporkan oleh
BPS.
Proporsi Kena Pajak Konsumsi AkhirRumah Tangga
Proporsi kena pajak konsumsi akhir rumahtangga ditentukan berdasarkan kebijakan yangsaat ini berlaku mengenai pengenaan PPN danPPnBM atas barang dan jasa yang dikonsumsioleh rumah tangga. Hal ini dilakukan denganmempertimbangkan barang dan jasa yang ti-dak dikenakan PPN serta BKP dan JKP yangmendapatkan fasilitas dibebaskan PPN atau ti-dak dipungut PPN. Selain itu, pertimbanganjuga dilakukan terhadap konsumsi atas BKPatau JKP yang dibeli dari bukan PKP.
Proporsi Kena Pajak Input AntaraSektor Usaha
Seperti diilustrasikan pada Tabel 5, input an-tara kena pajak bagi pengusaha bukan PKPharus diperhitungkan sebagai basis PPN. Pe-ngusaha bukan PKP ini secara efektif diperla-kukan seperti halnya konsumen akhir. Di sam-ping itu, ada juga PKP yang menghasilkan ba-rang dan/atau jasa yang tidak dikenakan ataudibebaskan PPN. Untuk PKP ini, hanya PPNMasukan yang proporsional dengan BKP danJKP yang dihasilkan saja yang dapat dikre-ditkan. Sedangkan PPN Masukan atas inputantara untuk menghasilkan barang dan/ataujasa yang tidak dikenakan atau dibebaskanPPN tidak dapat dikreditkan, sehingga PPNMasukan tersebut merupakan bagian peneri-maan pemerintah.
Secara umum, proporsi kena pajak input an-tara sektor usaha dapat dihitung sebagai beri-kut:
Pj � p1� Po,jqΣni�1pPI,i � Inti,j,tq{Intj,t
(10)dengan:
Pj : Proporsi kena pajak input antara sektorekonomi j;
Po,j : Proporsi kena pajak barang dan/atau ja-sa yang dihasilkan oleh sektor ekonomi j;
PI,i : Proporsi kena pajak rincian input antarasektor ekonomi j dari sektor ekonomi i;
Inti,j,t : Nilai input antara sektor ekonomi jyang diperoleh dari sektor ekonomi i;
Intj,t : Total nilai input antara sektor ekonomij.
Persamaan (10) memperlihatkan bahwa apa-bila sektor tersebut hanya menghasilkan ba-rang dan jasa kena pajak (PO,j � 1), makaproporsi kena pajak input antaranya menjadi0. Hal ini disebabkan karena semua PPN Ma-sukan dapat dikreditkan. Apabila sektor terse-but hanya menghasilkan barang dan jasa yangtidak dikenakan atau dibebaskan PPN, makasemua input antara yang kena pajak merupa-
JEPI Vol. 15 No. 1 Juli 2014
Sugana, R. & Hidayat, A. 19
Tabel 7: Proporsi Kena Pajak Konsumsi Akhir Rumah Tangga
Kriteria Sektor Usaha Proporsi Kena Pajak
Semua item dalam satu sektor konsumsi dikenakan PPN 1
Semua item dalam satu sektor konsumsi tidak dikenakan PPN dan/atau mendapatkanfasilitas PPN tidak dipungut atau PPN dibebaskan
0
Sebagian item dalam satu sektor konsumsi dikenakan PPN dan sebagian lagi tidak dike-nakan PPN dan/atau mendapatkan fasilitas PPN tidak dipungut atau PPN dibebaskan
Antara 0 sampai 1
Sumber: Hasil Pengolahan Penulis
kan basis pajak yang harus diperhitungkan da-lam menghitung potensi penerimaan.
Selain dari proporsi kena pajak rincian inputantara dari masing-masing sektor dan proporsikena pajak keluaran yang dihasilkan, faktor la-in yang dipertimbangkan dalam penentuan Pj
adalah besarnya nilai tambah yang dihasilkandari usaha mikro dan kecil pada sektor j. Halini dengan asumsi bahwa usaha mikro dan ke-cil ini bukan merupakan PKP. Sehingga, dalamstudi ini, (1�PO,j) diasumsikan minimal sebe-sar proporsi nilai tambah usaha mikro dan kecilpada sektor j. Tabel 8 menampilkan proporsinilai tambah usaha mikro dan kecil di masing-masing sektor utama.
Proporsi Kena Pajak PembentukanModal Tetap Bruto
Secara umum, dalam sistem PPN jenis kon-sumsi, pembentukan modal tetap dan investasisecara efektif bukan merupakan basis PPN, ka-rena PPN yang dibayarkan dalam rangka pe-ngeluaran untuk PMTB merupakan PPN yangdapat dikreditkan. Oleh sebab itu, secara riiltidak ada PPN yang menjadi penerimaan pa-jak dari PMTB yang dilakukan untuk kegiat-an usaha. Pengeluaran usaha yang termasukpembentukan modal tetap antara lain pemba-ngunan tempat usaha, pembelian mesin danalat perlengkapan, serta pembelian ternak un-tuk tujuan pembiakan, pemerahan susu, dansebagainya.
Namun, seperti halnya pengeluaran untukinput antara, PPN yang dibayarkan untuk
PMTB yang dilakukan oleh bukan PKP tetaptidak bisa dikreditkan sehingga pengeluaranuntuk PMTB harus diperhitungkan sebagai ba-sis PPN. Selain itu, pengeluaran untuk pemba-ngunan perumahan yang merupakan konsumsirumah tangga tercatat sebagai PMTB di da-lam Tabel I-O, dan di Indonesia penyerahanrumah baru dengan kriteria tertentu merupa-kan objek PPN. Oleh karena itu, bagian PMTByang merupakan pembangunan perumahan ha-rus ditambahkan sebagai basis PPN.
Dalam menghitung proporsi kena pajakPMTB sektor konstruksi, angka yang dicatatdalam Tabel I-O hanya merupakan pengelu-aran pembuatan bangunan. Nilai tanah tidakdicatat sebagai PMTB. Namun, dalam meng-hitung PPN atas penyerahan rumah baru, ba-sis PPN merupakan nilai total properti, terma-suk nilai tanah dan bangunan. Oleh sebab itu,dalam menghitung proporsi kena pajak untukPMTB konstruksi, perlu diperhitungkan terle-bih dahulu proporsi nilai pembangunan peru-mahan, dan kemudian asumsi persentase nilaitanah harus ditambahkan untuk menghitungbasis data PPN. Dalam studi ini, nilai tanahdiasumsikan sebesar 40% dari total nilai pro-perti.
Tingkat Kepatuhan
Tingkat kepatuhan (compliance rate) dihitungdengan membandingkan realisasi penerimaanPPN dan PPnBM dengan estimasi potensi pe-nerimaan PPN dan PPnBM. Potensi pene-rimaan PPN dan PPnBM diperoleh dengan
JEPI Vol. 15 No. 1 Juli 2014
Analisis Potensi dan Kesenjangan Penerimaan Pajak...20
Tabel 8: Proporsi Nilai Tambah Usaha Mikro dan Kecil
Lapangan UsahaOmzet
Rp300 juta Rp600 juta Rp2,5 miliar Rp4,8 miliar
Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan 88,0% 88,0% 88,2% 88,5%Pertambangan dan Penggalian 11,5% 11,6% 11,8% 11,9%Industri Pengolahan 12,9% 14,0% 21,6% 22,1%Listrik, Gas, dan Air Bersih 0,4% 0,5% 1,4% 1,8%Konstruksi 11,4% 12,2% 17,4% 18,5%Perdagangan, Hotel, dan Restoran 27,3% 29,3% 42,3% 42,6%Pengangkutan dan Komunikasi 20,0% 21,3% 29,2% 30,2%Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan 11,9% 13,1% 20,8% 22,8%Jasa-Jasa 32,0% 33,4% 41,7% 42,0%
Sumber: Kementerian Koperasi dan UKM, diolah
asumsi tingkat kepatuhan 100%. Data yang di-gunakan untuk menghitung tingkat kepatuhandisini adalah data aktual penerimaan PPN danPPnBM tahun 2012 dibandingkan dengan po-tensi penerimaan PPN dan PPnBM yang di-peroleh menggunakan hasil proyeksi Tabel I-O2012. Selanjutnya, diasumsikan bahwa tingkatkepatuhan pembayaran PPN dan PPnBM ta-hun 2013 setara dengan tingkat kepatuhan ditahun 2012. Karena laporan statistik peneri-maan pajak membagi sektor ekonomi menjadi11 sektor utama, maka estimasi tingkat kepa-tuhan dilakukan dengan mengelompokkan po-tensi penerimaan yang dihitung berdasarkanTabel I-O sesuai dengan 10 sektor ekonomi ini.
Penentuan sektor usaha pada input antaramemiliki perbedaan dengan sektor usaha padabasis pajak dari konsumsi akhir rumah tang-ga dan PMTB. Untuk menghitung potensi pe-nerimaan, nilai input antara dialokasikan ber-dasarkan sektor yang memperoleh input an-tara tersebut. Sementara itu, untuk menghi-tung tingkat kepatuhan dan menghitung es-timasi penerimaan, hasil perhitungan potensidari input antara dialokasikan ke setiap sektorusaha yang berperan sebagai supplier.
Misalnya, total input antara yang digunakanoleh sektor padi tidak dapat langsung diguna-kan sebagai dasar penghitungan potensi pene-rimaan sektor padi. Untuk menghitung tingkatkepatuhan dan estimasi penerimaan, nilai in-put antara dibukukan ke dalam masing-masingsektor yang memasok input antara sektor pa-
di tersebut seperti sektor pestisida dan pupuk.Hal ini dikarenakan oleh PPN masukan atas in-put antara atas barang yang dibeli oleh sektorpadi merupakan PPN keluaran bagi sektor pu-puk dan pestisida dan pada sistem DJP pene-rimaan dari input antara ini diadministrasikansebagai penerimaan sektor pupuk dan pestisi-da.
Untuk mengalokasikan input antara ke sek-tor yang memasok input antara tersebut di-perlukan Faktor Pembagi input antara. Fak-tor Pembagi dihitung dengan cara: Pertama,menghitung proporsi kena pajak atas total in-put suatu sektor usaha seperti yang telah dije-laskan pada bagian sebelumnya. Kedua, meng-alokasikan input antara yang merupakan ba-sis PPN (dengan mempertimbangkan proporsikena pajak output dari supplier dan propor-si bukan PKP sektor usaha yang memperolehinput antara) ke sektor yang memasok (suppli-er) input antara tersebut. Ketiga, menghitungFaktor Pembagi yaitu proporsi setiap sektoryang menjadi supplier input antara yang diper-oleh dengan cara membagi input antara yangdihasilkan oleh suatu supplier dengan total in-put antara yang menjadi basis PPN. Potensipenerimaan sektoral dari input antara adalahangka yang dihasilkan dari total potensi dariinput antara yang dibagi ke seluruh sektor usa-ha dengan menggunakan Faktor Pembagi.
Setelah potensi penerimaan PPN dibagi keseluruh sektor usaha, maka dilakukan penge-lompokan ke sektor yang lebih besar (11 sek-
JEPI Vol. 15 No. 1 Juli 2014
Sugana, R. & Hidayat, A. 21
tor). Formula untuk menghitung tingkat kepa-tuhan adalah sebagai berikut:
ϕi �RA
i
RPi
(11)
dengan:
ϕi : Tingkat kepatuhan pajak PPN dan PP-nBM di sektor i;
RAi : Aktual penerimaan PPN dan PPnBM da-
ri sektor i;RP
i : Potensi penerimaan PPN dan PPnBMdari sektor i.
Hasil dan Analisis
Proyeksi Tabel Input-Output
Tabel 15 menunjukkan hasil perhitungan Fak-tor Pengali. Seperti dijelaskan sebelumnya,Faktor Pengali digunakan untuk memproyek-sikan komponen Tabel I-O, yaitu terkait de-ngan pengeluaran akhir rumah tangga dan pe-merintah, PMTB, dan input antara. Hasil pro-yeksi, selain untuk input antara, kemudian di-sesuaikan dengan total nilai agregat yang dila-porkan oleh BPS. Hasil proyeksi setelah dise-suaikan dapat dilihat pada Tabel 16.
Proporsi Kena Pajak PertambahanNilai
a. Permintaan Akhir Rumah Tangga
Hasil penghitungan Proporsi Kena Pajak da-pat dilihat pada Tabel 16. Terdapat 2 sektorusaha yang memiliki Proporsi Kena Pajak an-tara 1 dan 0. Artinya, tidak semua bagian pa-da sektor tersebut merupakan BKP dan/atauJKP. Perhitungan Proporsi Kena Pajak untukkedua sektor ekonomi ini dapat dijelaskan se-bagai berikut:
• Sektor Listrik, Gas, dan Air Bersih.Berdasarkan PP Nomor 31 Tahun 2007,
sebagian output dari subsektor ini, yai-tu subsektor listik dan air bersih, terma-suk kategori barang strategis yang menda-patkan fasilitas PPN dibebaskan. Namun,untuk subsektor listrik, terdapat bagianyang tidak mendapatkan fasilitas PPN di-bebaskan, yaitu listrik untuk perumahandengan daya di atas 6.600 watt. Pada ta-hun 2013, pendapatan PT. PLN yang ber-sumber rumah tangga dengan daya di atas6.600 watt (R-3) adalah Rp3,7 triliun, se-dangkan total pendapatan PT. PLN pa-da tahun tersebut adalah Rp153.4 trili-un (PLN, 2013). Jadi, jumlah PDB da-ri listrik yang tidak mendapatkan fasilitasPPN dibebaskan adalah sebesar 2,4%. Un-tuk sektor gas, proporsi kena pajak padasektor tersebut adalah 100%. Berdasarkandata di atas, proporsi kena pajak secarakeseluruhan atas Sektor Listrik, Gas, danAir Bersih adalah sebesar 26,6% (Tabel 9).
• Sektor Angkutan Udara.Jasa angkutan udara yang dikenakan PPNadalah jasa angkutan udara dalam ne-geri. Namun demikian, tidak semua jasaangkutan udara dalam negeri merupakanobjek PPN karena terdapat pengecualianuntuk jasa angkutan udara dalam nege-ri yang merupakan bagian yang tidak ter-pisahkan dari jasa angkutan luar negeri.BPS mencatat proporsi keberangkatan lu-ar negeri (penumpang dan barang) padatahun 2012 adalah sekitar 25% dari totalpenerbangan (BPS, 2013a). Oleh karenaitu, proporsi kena pajak sektor angkutanudara adalah sebesar 0,75 yaitu jumlah diluar penerbangan ke luar negeri.
Selain dua sektor usaha yang dijelaskan diatas, terdapat 2 sektor usaha yang seharus-nya memiliki proporsi kena pajak antara 0dan 1. Namun, proporsi yang dikenakan PPNdan proporsi yang tidak dikenakan PPN padasektor tersebut tidak signifikan sehingga pro-porsi kena pajak yang digunakan adalah yangdominan pada masing-masing sektor tersebut.
JEPI Vol. 15 No. 1 Juli 2014
Analisis Potensi dan Kesenjangan Penerimaan Pajak...22
Tabel 9: Perhitungan Proporsi Kena PPN Sektor Listrik, Gas, dan Air Bersih
Listrik 46.257 66% 0,024 1,60%26,60%Gas 17.380 25% 1,000 25,00%
Air Bersih 6.438 9% 0,000 0,00%
Sumber: Hasil Pengolahan Penulis
Sektor usaha yang dijelaskan tersebut adalahsebagai berikut:
• Sektor Angkutan Umum (Darat,Air, dan Kereta Api).PMK Nomor 80/PMK.03/2012 mengaturtentang jasa angkutan umum di darat danair yang tidak dikenakan PPN. Untuk ang-kutan umum darat di jalan (mobil, truk,dan lain-lain), tidak dikenakan PPN apa-bila angkutan tersebut menggunakan tan-da nomor kendaraan dengan dasar kuningdan tulisan hitam. Kemudian, untuk ang-kutan umum darat (kereta api) dan ang-kutan air (kapal), tidak dikenakan PPNapabila angkutan tersebut digunakan ti-dak dengan cara disewa atau dicarter. Ta-bel I-O tidak menampilkan dengan rincinilai konsumsi sektor angkutan umum ini.Oleh karena itu, proporsi kena pajak atassektor ini menggunakan bagian yang do-minan dari sektor ini yaitu 0.
• Sektor Industri Alat Pengangkutan.PP Nomor 38/2003 mengatur tentang je-nis BKP dan JKP tertentu yang menda-patkan fasilitas dibebaskan PPN. Terda-pat beberapa jenis BKP dan JKP tertentuyang terdapat pada peraturan ini (Tabel13). Jenis BKP yang memiliki jumlah sig-nifikan adalah alat angkutan berupa kapallaut, kereta api, dan pesawat. Namun de-mikian, jenis alat angkutan tersebut ham-pir seluruhnya tidak dimaksudkan untukkonsumsi rumah tangga, melainkan seba-gai PMTB bagi perusahaan pelayaran, pe-nerbangan, maupun perkeretaapian. Ada-pun hasil industri alat pengangkutan yangdikonsumsi rumah tangga sangat kecil, ti-
dak mencapai 1% dari total konsumsi da-ri sektor industri alat pengangkutan. Olehkarena itu, proporsi kena pajak sektor iniadalah 1.
Berdasarkan data Tabel I-O, fasilitas PPNyang berpengaruh signifikan terhadap peneri-maan PPN adalah PPN dibebaskan atas BKPdan JKP strategis sebagaimana diatur dalamPP Nomor 31/2007 dan BKP dan JKP ter-tentu sebagaimana diatur dalam PP Nomor38/2003 sehingga diperhitungkan dalam per-hitungan proporsi kena pajak. Fasilitas PPNyang lain dianggap tidak berpengaruh signifi-kan terhadap penerimaan PPN dengan pertim-bangan sebagai berikut. Pertama, selain rumahsederhana, kapal laut, kereta api, dan pesawatudara yang merupakan BKP tertentu yang di-bebaskan PPN berdasarkan PP 38/2003, ter-dapat barang-barang seperti buku pelajaran,kitab suci, vaksin polio, dan lain-lain yang jugadibebaskan PPN berdasarkan peraturan peme-rintah tersebut. Namun, barang-barang terse-but tidak diperhitungkan karena memiliki por-si yang tidak terlalu signifikan pada konsum-si rumah tangga. Kedua, jumlah yang tidaksignifikan juga terdapat pada BKP yang dise-rahkan kepada perwakilan negara asing/badaninternasional sebagaimana diatur dalam PP47/2013 dan penyerahan jasa kebandaruda-raan tertentu sebagaimana diatur dalam PP28/2009. Kedua penyerahan ini mendapatkanfasilitas dibebaskan PPN.
Ketiga, PPN tidak dipungut atas pemasuk-an barang ke kawasan berikat dan/atau kawa-san bebas dimaksudkan untuk tujuan eksportidak berpengaruh terhadap penerimaan PPN.Barang yang dimasukkan ke kawasan berikat
JEPI Vol. 15 No. 1 Juli 2014
Sugana, R. & Hidayat, A. 23
dan/atau kawasan bebas dianggap sebagai eks-por. Sesuai dengan prinsip tempat tujuan (des-tination principle), apabila barang tersebut di-keluarkan lagi ke daerah pabean, maka PPNatas barang tersebut wajib dilunasi. Dan keem-pat, PPN ditanggung pemerintah merupakanPPN yang dibayar pemerintah atas suatu jenisbarang tertentu, seperti minyak goreng curah,pupuk subsidi, dan lain-lain. Namun demikian,jumlah PPN yang dibayarkan pemerintah ter-sebut merupakan penerimaan PPN. Oleh ka-rena itu, jumlah PPN yang dibayarkan peme-rintah tersebut tidak dikurangkan dari potensipenerimaan PPN.
b. Pembentukan Modal Tetap Bruto
PMTB umumnya bukan merupakan basisPPN. Namun, terdapat pengecualian untuksektor konstruksi, karena pembangunan peru-mahan yang diserahkan kepada rumah tang-ga sebagai konsumsi akhir, maka PMTB da-lam bentuk perumahan yang memenuhi kri-teria kena PPN harus diperhitungkan sebagaibasis PPN12. Karena PMTB tidak memasuk-kan nilai tanah, sedangkan basis PPN atas pe-nyerahan rumah baru termasuk nilai tanah,maka nilai tanah perlu ditambahkan ke da-lam PMTB perumahan. BPS membagi kon-struksi ke dalam tiga kategori, yaitu konstruksigedung, konstruksi bangunan sipil, dan kon-struksi khusus. Perumahan merupakan bagi-an dari konstruksi gedung. BPS mencatat pro-porsi konstruksi gedung pada tahun 2013 ada-lah sekitar 30% (BPS, 2013b). Dengan asumsi
12PMK Nomor 113/PMK.03/2014 mengatur tentangBatasan Rumah Sederhana, Rumah Sangat Sederhana,Rumah Susun Sederhana, Pondok Boro, Asrama Maha-siswa dan Pelajar, serta Perumahan Lainnya, yang AtasPenyerahannya Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Per-tambahan Nilai. Batasan tersebut di antaranya menga-tur luas bangunan tidak lebih dari 36 m2, kepemilikanyang pertama, harga jual tidak melebihi batasan yangdisesuaikan dengan zona dan tahun, dan lain-lain. Jadi,atas penyerahan rumah yang tidak memenuhi ketentu-an ini merupakan penyerahan yang dipungut PPN.
PMTB konstruksi gedung adalah untuk pem-bangunan perumahan, dan 80% PMTB peru-mahan diserahkan oleh PKP, dan nilai tanahsebesar 40% dari total nilai penyerahan peru-mahan, maka Proporsi Kena Pajak PMTB sek-tor konstruksi diperkirakan sebesar 0,3*0,8/0,6= 0,4.
c. Input Antara
Hasil perhitungan Proporsi Kena Pajak untukinput antara menggunakan Persamaan (10) di-tampilkan pada Tabel 16. Khusus untuk sektorindustri alat pengangkutan, terdapat sekitar10% dari output sektor tersebut mendapatkanfasilitas dibebaskan PPN. Namun, output ter-sebut tidak berupa konsumsi rumah tangga, se-hingga sektor ini memiliki proporsi kena pajak1 pada permintaan akhir rumah tangga. Untukmenghitung proporsi input antara, jumlah out-put yang dibebaskan pada sektor industri alatpengangkutan ini harus diperhitungkan. Olehkarena itu, pada saat penghitungan proporsikena pajak input antara, proporsi kena pajaksektor industri alat pengangkutan diubah dari1 menjadi 0,9.
Selain itu, untuk sektor konstruksi, proporsikena pajak adalah 0,4 pada basis pajak kon-sumsi akhir dan PMTB. Namun, pada saat pe-nentuan proporsi kena pajak dari input antara,proporsi kena pajak sektor konstruksi diubahdari 0,4 menjadi 1. Hal ini disebabkan karenasemua yang dihasilkan pada sektor konstruk-si merupakan barang/jasa kena pajak sehinggasemua PPN masukan dapat dikreditkan kecualiPPN masukan yang dibayar oleh bukan PKP.
Proporsi Kena Pajak Penjualan atasBarang Mewah
Proporsi Kena Pajak untuk PPnBM dihitunguntuk tiga sektor usaha yang dikenakan PP-nBM, yaitu: (i) sektor industri mesin, alat-alatdan perlengkapan listrik; (ii) sektor industrialat pengangkutan dan perbaikannya; dan (iii)sektor perdagangan.
JEPI Vol. 15 No. 1 Juli 2014
Analisis Potensi dan Kesenjangan Penerimaan Pajak...24
Untuk sektor industri alat pengangkutan,data yang digunakan bersumber dari Gabung-an Industri Kendaraan Bermotor Indonesia(GAIKINDO) untuk kendaraan bermotor jenismobil dan dari Asosiasi Industri Sepeda MotorIndonesia (AISI) untuk kendaraan bermotor je-nis sepeda motor. Khusus untuk data dari GA-IKINDO, jumlah penjualan mobil dalam sa-tu tahun telah dibagi ke dalam masing-masingspesifikasi kendaraan yang sesuai dengan pem-bagian spesifikasi kendaraan sebagaimana yangdiatur dalam peraturan PPnBM. Sedangkandata dari AISI hanya menginformasikan jum-lah penjualan seluruh spesifikasi sepeda motordalam satu tahun. Oleh karena itu, perlu asum-si proporsi penjualan pada masing-masing spe-sifikasi kendaraan jenis sepeda motor.
Data GAIKINDO hanya menampilkan jum-lah unit yang diproduksi untuk masing-masingspesifikasi kendaraan atau pangsa pasar berda-sarkan unit yang terjual. Sedangkan data yangjuga dibutuhkan untuk menghitung penerima-an PPnBM adalah nilai penjualan kendaraantersebut. Untuk mendapatkan nilai penjualanpada masing-masing spesifikasi kendaraan, di-pilih harga salah satu merek kendaraan yangdapat merepresentasikan suatu spesifikasi ken-daraan.
Nilai konsumsi kendaraan bermotor jenismobil atas ketiga sektor yang dikenakan PPn-BM tidak sama dengan total nilai penjualankendaraan berdasarkan hasil estimasi denganmenggunakan harga salah satu merek yangdapat merepresentasikan salah satu spesifikasikendaraan. Oleh sebab itu, untuk memperolehnilai penjualan, pangsa pasar untuk masing-masing spesifikasi kendaraan berdasarkan ni-lai penjualan dikalikan dengan total konsumsikendaraan bermotor jenis mobil ketiga sektorusaha tersebut. Kemudian, nilai penjualan un-tuk masing-masing spesifikasi kendaraan dike-lompokkan berdasarkan tarif PPnBM sehinggadiperoleh Proporsi Kena Pajak untuk masing-masing tarif PPnBM.
Untuk sepeda motor, terdapat tiga jenis spe-
sifikasi kendaraan yang dibagi berdasarkan isisilender. Namun, penulis tidak menemukan da-ta rinci penjualan sepeda motor berdasarkanisi silinder. Oleh karena, pengumpulan data di-ambil dari berbagai sumber seperti Otomotif-net.com (2013). Berdasarkan data tersebut danhasil penelusuran dari berbagai sumber dipe-roleh proporsi jumlah unit penjualan sepedamotor yaitu, sekitar 99% dengan isi silinder dibawah 250cc dan sisanya dengan isi silinder diatas 250cc.
Sama halnya dengan penghitungan Propor-si Kena Pajak PPnBM untuk penjualan mobil,jumlah penjualan sepeda motor untuk masing-masing spesifikasi kemudian dikalikan denganharga sepeda motor yang dapat merepresenta-sikan masing-masing spesifikasi kendaraan un-tuk memperoleh nilai pangsa pasar masing-masing spesifikasi sepeda motor. Nilai pangsapasar tersebut kemudian dikalikan dengan totalkonsumsi sepeda motor dengan menggunakandata dari Tabel I-O 2000 yang menampilkanpengeluaran yang lebih rinci untuk 175 sektor.
Tabel 10 menampilkan hasil perhitunganproporsi pangsa pasar untuk masing-masingklasifikasi kendaraan dan tarif PPnBM. Meng-ingat keterbatasan data, maka diasumsikan ke-tiga sektor usaha yang dikenakan PPnBM me-miliki proporsi pangsa pasar yang sama.
Potensi Penerimaan PPN dan PPn-BM Tahun 2012 dengan Tingkat Ke-patuhan 100%
Potensi penerimaan PPN dan PPnBM tahun2012 dengan asumsi tingkat kepatuhan 100%diestimasi sekitar Rp635 triliun. Rincian hasilperhitungan dari potensi penerimaan PPN danPPnBM dapat dilihat pada Tabel 17.
Tingkat Kepatuhan
Untuk mendapatkan angka estimasi TingkatKepatuhan, maka potensi penerimaan PPNdan PPnBM tahun 2012 dibandingkan denganangka realisasi penerimaan PPN dan PPnBM
JEPI Vol. 15 No. 1 Juli 2014
Sugana, R. & Hidayat, A. 25
Tabel 10: Proporsi Pangsa Pasar Kendaraan Bermotor untuk Masing-Masing Tarif PPnBM
tahun 2012. Angka Tingkat Kepatuhan untukmasing-masing sektor usaha dapat dilihat padaTabel 18. Total tingkat kepatuhan pembayar-an PPN dan PPnBM tahun 2012 adalah sekitar53%.
Estimasi Penerimaan PPN dan PPn-BM Tahun 2013
Dengan menggunakan model estimasi peneri-maan PPN dan PPnBM seperti yang diuraikanpada bagian sebelumnya, basis pajak yang ter-diri dari hasil proyeksi konsumsi akhir, PMTB,dan input antara dikalikan dengan proporsi ke-na pajak, tingkat kepatuhan, dan tarif PPNatau PPnBM. Perhitungan ini menghasilkanestimasi penerimaan PPN dan PPNBM tahun2013. Adapun perkiraan penerimaan PPN danPPnBM tahun 2013 adalah Rp381 triliun. Se-mentara itu, penerimaan aktual PPN dan PPn-BM tahun 2013 adalah Rp384 triliun. Dari ha-sil perkiraan ini dapat disimpulkan bahwa mo-del yang digunakan cukup akurat digunakanuntuk memproyeksikan penerimaan PPN danPPnBM dengan tingkat kesalahan hanya seki-tar 1%. Kertas kerja penghitungan estimasi pe-nerimaan PPN dan PPnBM ini dapat dilihatpada Tabel 19–24.
Simulasi Perubahan Kebijakan danPerbaikan Administrasi PPN
a. Peningkatan Tarif PPN dari 10% Men-jadi 11% dan 12%
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, modelpenghitungan estimasi penerimaan PPN danPPnBM ini dapat digunakan untuk menghi-tung dampak yang ditimbulkan dari suatu ke-bijakan PPN dan PPnBM. Pada bagian ini,dilakukan simulasi kebijakan pemerintah me-naikkan tarif PPN dari 10% menjadi 11%dan 12%. Simulasi ini dilakukan dengan ana-lisis statis tanpa mempertimbangkan perubah-an perilaku PKP. Ketika tarif PPN dinaikkanmenjadi 11% atau dalam hal ini dinaikkan 10%dari tarif sebelumnya, penerimaan PPN meng-alami kenaikan sebesar tingkat kenaikan tarifPPN yaitu 10%. Namun, apabila digabung de-ngan penerimaan PPnBM, kenaikan penerima-an PPN dan PPnBM mengalami kenaikan se-besar 9,4%. Angka agregat ini lebih kecil dari10% karena tarif PPnBM tidak mengalami per-ubahan.
Kemudian, ketika tarif PPN dinaikkan men-jadi 12% atau naik 20% dari tarif normal, ke-bijakan ini diestimasikan juga dapat menaik-kan penerimaan PPN sebesar 20%. Sama hal-nya dengan simulasi sebelumnya, dampak per-tumbuhan penerimaan PPN dan PPnBM yangdihasilkan sedikit lebih kecil dari tingkat ke-naikan tarif PPN yang diterapkan karena ta-rif PPnBM tidak mengalami perubahan. Ha-sil rinci potensi penerimaan PPN dan PPnBM
JEPI Vol. 15 No. 1 Juli 2014
Analisis Potensi dan Kesenjangan Penerimaan Pajak...26
Tabel 11: Potensi Penerimaan PPN dan PPnBM untuk Beberapa Tarif PPN
yang dihasilkan dari kedua simulasi ini dapatdilihat pada Tabel 11.
b. Penghapusan Fasilitas PPN dan PPNTidak Dikenakan/Dibebaskan
Penghapusan seluruh fasilitas PPN (dibebas-kan PPN dan tidak dipungut PPN) dan PPNTidak Dikenakan termasuk menurunkan batasperedaran usaha untuk wajib daftar sebagaiPKP akan menyebabkan semua usaha dapatmengkreditkan seluruh PPN Masukan. Dengankata lain, semua PPN atas input antara dapatdikreditkan, dan hanya konsumen akhir yangsecara efektif membayar PPN.
Simulasi dari penghapusan fasilitas atasPPN dan PPN Tidak Dikenakan atau PPNDibebaskan memberikan hasil sebagai berikut.Pertama, penerimaan PPN yang bersumberdari konsumsi meningkat sekitar 83% diban-dingkan dengan estimasi penerimaan PPN se-belum asumsi kebijakan ini diterapkan. Kedua,tidak ada potensi penerimaan PPN dari in-put antara kepada PKP, karena semua PPNmasukan atas input antara dapat dikreditkan.Dan ketiga, secara total, dengan diberlakukan-nya kebijakan ini, terjadi penurunan penerima-an PPN dan PPnBM sekitar 5,3%, yaitu dariRp381 triliun menjadi Rp361 triliun.
Peningkatan Tingkat Kepatuhan
Peningkatan tingkat kepatuhan dari posisi se-karang di bawah 50% menjadi 70% diperkira-kan akan meningkatkan penerimaan PPN danPPnBM menjadi Rp518 triliun, atau pening-katan sebesar kurang lebih 35% dari penerima-an saat ini di tahun 2013. Peningkatan kepa-tuhan ini dapat dilakukan antara lain dengan
cara memperkuat sistem administrasi perpa-jakan dengan menyederhanakan proses bisnisdan membatasi pengecualian. Perluasan basispajak melalui pengurangan jumlah BKP/JKPyang dibebaskan atau tidak dikenakan PPNdapat meningkatkan efisiensi penglolaan PPN,karena hal ini akan mengurangi kebutuhan un-tuk perlakuan khusus yang dapat menambahbeban administrasi baik bagi wajib pajak ma-upun DJP.
Implikasi Studi
Berdasarkan uraian dan hasil perhitungan diatas, dapat diketahui bahwa tingkat kepatuh-an pemenuhan kewajiban PPN dan PPnBM se-cara total adalah sekitar 53%. Dalam hal ini,pemerintah masih memiliki ruang untuk me-lakukan intensifikasi dan ekstensifikasi poten-si penerimaan PPN dan PPnBM. Dari stu-di ini dapat diketahui tingkat kepatuhan sek-toral. Sektor manufaktur merupakan penyum-bang terbesar penerimaan PPN. Saat ini, ting-kat kepatuhan sektor manufaktur adalah se-kitar 60% dengan jumlah penerimaan sekitarRp176 triliun. Apabila kepatuhan sektor ma-nufaktur bisa dinaikkan 5%, maka tambah-an penerimaan dari sektor ini dapat mencapaiRp15 triliun.
Selain itu, penerimaan dari sektor konstruk-si sangat potensial untuk diintensifkan. Ting-kat kepatuhan sektor konstruksi baru menca-pai angka sekitar 30%. Apabila sektor ini dapatlebih terawasi sehingga tingkat kepatuhan da-pat mencapai 50%, maka kenaikan penerimaandari sektor konstruksi dapat mencapai sekitarRp21 triliun. Oleh karena itu, meningkatkankepatuhan merupakan upaya yang lebih tepatuntuk meningkatkan penerimaan PPN diban-
JEPI Vol. 15 No. 1 Juli 2014
Sugana, R. & Hidayat, A. 27
Tabel 12: Potensi Penerimaan PPN dan PPnBM untuk Berbagai Tingkat Kepatuhan
Tingkat Kepatuhan Potensi Penerimaan PPN & PPnBM Potensi Penerimaan terhadap Aktual Penerimaan
Salah satu upaya yang dilakukan pemerintahuntuk meningkatkan kepatuhan PPN adalahdengan menerbitkan aturan penggunaan fak-tur pajak elektronik. Kebijakan ini dimaksud-kan untuk mencegah adanya faktur pajak fiktif.Kebijakan ini mulai diberlakukan pada tahun2014 untuk beberapa PKP tertentu. Dampakkebijakan ini terhadap peningkatan kepatuhandapat diukur dengan menggunakan model ini.
Kebijakan pemerintah menaikkan batasanperedaran usaha menjadi Rp4,8 miliar setahununtuk wajib mendaftar sebagai PKP diperki-rakan efektif untuk meningkatkan kepatuhanPKP. Apabila sistem administrasi PPN telahdibenahi dengan maksimal, seperti penerapanfaktur pajak elektronik bagi seluruh PKP, ma-ka batasan peredaran usaha tersebut direko-mendasikan untuk diturunkan. Hal ini dimak-sudkan untuk memperoleh penerimaan dari ni-lai tambah yang dihasilkan oleh pengusaha de-ngan peredaran usaha di bawah Rp4,8 miliar.
Untuk mengawasi kepatuhan PKP, selainmelakukan pengawasan dengan mencocokkanPPN Keluaran dengan PPN Masukan (PK-PM), DJP juga perlu menerapkan manajemenrisiko yang efektif dengan melakukan penga-wasan terhadap tingkat pertambahan nilai un-tuk masing-masing PKP. Apabila suatu PKPsudah berproduksi secara normal, maka agarPKP tersebut dapat beroperasi secara berkesi-nambungan, PKP tersebut secara rata-rata un-tuk suatu periode tertentu harus menghasilkansuatu nilai tambah yang positif. Apabila PKPtersebut tidak melakukan ekspor atau menye-rahkan BKP atau JKP yang tidak dipungutPPN, maka rata-rata rasio PK terhadap PMuntuk suatu periode tertentu (beberapa bu-
lan hingga 1 tahun pajak atau lebih, tergan-tung pada kemampuan keuangan PKP) haruslebih dari 1. Sektor dan besar usaha tertentudiperkirakan akan menunjukkan rentang rasioPK/PM tertentu yang dapat dijadikan dasarevaluasi risiko kepatuhan PKP.
Apabila rasio PK/PM menunjukkan angkalebih kecil dari satu untuk suatu periode yangberkelanjutan, maka PKP tersebut memilikiindikasi tidak patuh. Dalam kondisi normal,rasio perbandingan kurang dari satu mengindi-kasikan bahwa perusahaan tersebut melakukanpenjualan dengan harga yang lebih rendah dariharga beli sehingga PPN Masukan lebih besardari PPN Keluaran. Oleh karena itu, apabilaperusahaan tersebut tetap beroperasi normalpada kondisi rasio perbandingan kurang darisatu, maka besar kemungkinan perusahaan ter-sebut melakukan penghindaran PPN.
Saat ini, peraturan PPN mengatur adanyapembeli yang ditunjuk sebagai Pemungut PPN(reverse charge) yaitu Bendahara Pemerintah,Kontraktor Kerja Sama Minyak dan Gas Bu-mi, dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).Pemungut PPN memiliki kewajiban memungutdan menyetor PPN atas penyerahan yang dila-kukan oleh rekanan kepada pemungut PPN ter-sebut. Untuk meningkatkan kepatuhan, DJPdapat memperluas PKP yang ditunjuk seba-gai Pemungut PPN. Namun, karena penetap-an PKP sebagai Pemungut PPN ini akan me-nambah beban administrasi bagi PKP yang di-tunjuk dan implementasi reverse charge dapatmenambah permohonan restitusi, maka DJPperlu mempermudah sistem pelaporan oleh Pe-mungut PPN dan mempercepat proses restitu-si bagi PKP yang cenderung patuh dan telahdikategorikan berisiko rendah.
JEPI Vol. 15 No. 1 Juli 2014
Analisis Potensi dan Kesenjangan Penerimaan Pajak...28
Tabel 13: Fasilitas PPN dan PPnBM
No. Dasar Hukum Hal yang DiaturDibebaskan PPN1 PP 31 Tahun 2007 Mengatur tentang impor dan/atau penyerahan barang kena pajak tertentu yang bersifat
strategis dibebaskan dari pengenaan PPN, yaitu:- Barang modal berupa mesin dan peralatan pabrik- Makanan ternak dan unggas- Bibit dan/atau benih dari barang pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, pe-nangkaran, atau perikanan- Barang hasil pertanian- Air bersih yang dialiri pipa perusahaan air minum- Listrik, kecuali di atas 6.600 watt untuk perumahan- Rumah susun sederhana milik
2 PP 38 Tahun 2003 Mengatur tentang PPN dibebaskan atas impor dan/atau penyerahan barang dan jasakena pajak tertentu, di antaranya:- Rumah sederhana- Senjata, amunisi, dan alat-alat angkutan untuk keperluan Departemen Pertahanan,TNI, dan POLRI- Vaksin polio- Buku pelajaran dan kitab suci- Kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau dan kapal angkutan pe-nyeberangan yang diserahkan kepada dan digunakan oleh Perusahaan Pelayaran NiagaNasional- Pesawat udara dan suku cadang serta alat keselamatan penerbangan atau alat kese-lamatan manusia yang diserahkan kepada dan digunakan oleh Perusahaan AngkutanUdara Niaga Nasional- Kereta api dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan sertaprasarana yang diserahkan kepada dan digunakan oleh PT Kereta Api Indonesia- Peralatan berikut suku cadangnya yang digunakan untuk penyediaan data batas danfoto udara yang diserahkan kepada Departemen Pertahanan atau TNI- Jasa kena pajak tertentu yang diterima oleh perusahaan angkutan laut dan angkutanudara nasional
3 PP 47 Tahun 2013 Mengatur tentang PPN dibebaskan atas impor dan/atau penyerahan kepada:- Perwakilan Negara Asing serta Pejabat Perwakilan Negara Asing; dan- Badan Internasional serta Pejabat Badan Internasional
4 PP 28 Tahun 2009 Mengatur tentang PPN dibebaskan atas penyerahan jasa kebandarudaraan tertentu olehpenyelenggara bandar udara kepada perusahaan angkutan udara niaga yang melakukankegiatan penerbangan luar negeri.
Tidak Dipungut PPN5 PMK 120/PMK.04/2013 Mengatur tentang PPN tidak dipungut atas pemasukan dan pengeluaran barang di Ka-
wasan Berikat.
6 KEP-229/PJ/2001 Mengatur tentang PPN tidak dipungut atas impor, pemasukan dan/atau pengeluaranbarang ke/dari Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET).
7 PP 25 Tahun 2001 Mengatur tentang PPN dan PPnBM tidak dipungut atas impor serta penyerahan Barangdan Jasa dalam rangka pelaksanaan Proyek Pemerintah yang dibiayai dengan hibah ataudana pinjaman luar negeri.
8 PP 10 Tahun 2012 Mengatur tentang perlakuan perpajakan di kawasan bebas. Pada aturan ini terdapatfasilitas PPN dan PPnBM tidak dipungut dan PPN dan PPnBM dibebaskan.
9 PMK 70/PMK.011/2013 Perlakuan PPN dan PPnBM atas barang kena pajak yang dibebaskan dari pungutanbea masuk.
Ditanggung Pemerintah10 KMK 388/KMK.01/1998 Mengatur tentang PPN Ditanggung Pemerintah atas penyerahan pupuk Urea, SP-36 dan
ZA bersubsidi untuk Sub-Sektor Tanaman pangan, Perikanan, Peternakan, dan Perke-bunan Rakyat.
Sumber: dari Berbagai Sumber, diolah
JEPI Vol. 15 No. 1 Juli 2014
Sugana, R. & Hidayat, A. 29
Simpulan
Berdasarkan hasil dan analisis yang telah diu-raikan, maka dapat disimpulkan beberapa hal.Pertama, model analisis penerimaan PPN yangberbasis Tabel I-O yang dikembangkan padastudi ini dapat digunakan untuk mengestimasipotensi penerimaan PPN dan PPnBM, ting-kat kepatuhan dan dampak penerimaan atasperubahan kebijakan PPN dan PPnBM. Ha-sil estimasi penerimaan PPN dan PPnBM un-tuk tahun 2013 mendekati nilai realisasi pene-rimaan aktual. Kedua, perhitungan tingkat ke-patuhan menghasilkan angka sekitar 53%. Ke-tiga, peningkatan penerimaan PPN dan PP-nBM akan memberikan hasil yang lebih sig-nifikan melalui perbaikan administrasi untukmeningkatkan tingkat kepatuhan, dibanding-kan dengan peningkatan tarif PPN. Dan keem-pat, penghapusan seluruh fasilitas PPN (Dibe-baskan PPN, Tidak Dipungut PPN, dan PPNTidak Dikenakan), selain dapat meningkatkanbeban administrasi, diperkirakan untuk sektorekonomi tertentu justru akan menurunkan pe-nerimaan PPN.
Daftar Pustaka
[1] BPS. (2013a). Jumlah Keberangkatan Penumpangdan Barang di Bandara Indonesia Tahun 1999–2013 http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/
view/id/1404 (Diakses 17 Februari 2014).[2] BPS. (2013b). Nilai Konstruksi yang Diselesaikan
Menurut Jenis Pekerjaan, 2004–2013 (Juta Ru-piah) http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/
view/id/918 (Diakses 17 Februari 2014).[3] BPS. (2009). Tabel Input Output Indonesia Upda-
ting 2008. Jakarta: Badan Pusat Statistik.[4] Glenday, Shukla, & Sugana. (2010). Tax Analysis
and Revenue Forecasting: Techniques and Applica-tions. Duke Center for International Development,Duke University.
[5] Jenkins, G. P. & Kuo, C-Y. (1996). A VAT Re-venue Simulation Model for Tax Reform in Deve-loping Countries. Development Discussion Paper,522. Cambridge, MA: Harvard Institute for Inter-national Development. http://www.cid.harvard.edu/hiid/522.pdf (Diakses 15 Desember 2013).
[6] Kementerian Keuangan RI. (2009). Nota Keuang-an dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Nega-
ra Tahun 1983–2013. Dalam A. Abimanyu & A.Megantara (Editor), Era Baru Kebijakan Fiskal.Jakarta: Kompas Media Nusantara.
[7] Kementerian Koperasi dan UKM RI. (2013).Data Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan UsahaBesar. http://www.depkop.go.id/index.php?
option=com_phocadownload&view=file&id=335:
data-usaha-mikro-kecil-menengah-umkm-dan-
usaha-besar-ub-tahun-2012-2013&Itemid=93
(Diakses 17 Februari 2014).[8] Marks, S. V. (2003). The Value-Added Tax in In-
donesia: The Impact of Sectoral Exemptions onRevenue Potential and Effective Tax Rates. Tech-nical Report. Submitted by Nathan/Checchi JointVenture, Partnership for Economic Growth (PEG)Project, Under USAID Contract #497-C-00-98-00045-00 (Project #497-0357). Bappenas & USA-ID/ECG Jakarta, Indonesia. http://pdf.usaid.
[10] Pellechio, A. J., & Hill, C. B. (1996). Equivalenceof the Production and Consumption Methods ofCalculating the Value-Added Tax Base: Applica-tion in Zambia. IMF Working Paper, WP/96/67.Fiscal Affairs Department, International Mone-tary Fund. http://www.imf.org/external/pubs/ft/wp/wp9667.pdf (Diakses 15 Desember 2013).
[11] PLN. (2013). Statistik PLN 2013. http://www.
pln.co.id/dataweb/STAT/STAT2013IND.pdf (Di-akses 17 Februari 2014).
[13] World Bank. (2013). Price Level Ratio of PPPConversion Factor (GDP) to Market Exchange Ra-te. http://data.worldbank.org/indicator/PA.
NUS.PPPC.RF (Diakses 15 Desember 2013).
Peraturan Perpajakan:[14] Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang
Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan TataCara Perpajakan.
[15] Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentangPerubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Ba-rang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas BarangMewah.
[16] Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2001 ten-tang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerin-tah Nomor 42 Tahun 1995 Tentang Bea Masuk,
PRODUK DOMESTIK BRUTO 5.088.832 5.764.620 6.625.773 7.618.866 8.460.409 9.083.972 1,66 1,79Minyak dan Gas 521.055 464.791 504.9 624.902 637.105 667.932 1,22 1,28Tidak Termasuk Minyak dan Gas 4.567.777 5.299.829 6.120.873 6.993.964 7.823.303 8.416.040 1,71 1,84PERTANIAN, PETERNAKAN,KEHUTANAN, DAN PERI-KANAN
Sumber: Hasil Pengolahan Penulis JEPI Vol. 15 No. 1 Juli 2014
Analisis Potensi dan Kesenjangan Penerimaan Pajak...32
Tab
el
16:
Pro
yeksi
Nil
aiK
onsu
msi
Akh
ir,
PM
TB
,d
anInput
Anta
raT
ahu
n2012
dan
2013,
sert
aP
rop
ors
iK
ena
Pa
jak
Pro
yeksi
2012
Pro
yeksi
2013
Pro
porsiKena
NilaiPro
yeksi
Pajak
Kode
Lapangan
Usa
ha
Konsu
msi
PM
TB
Input
Konsu
msi
PM
TB
Input
Konsu
msi
PM
TB
Input
Akhir
Anta
raAkhir
Input
Akhir
Anta
raSete
lah
Disesu
aikan
1Padi
00
71.138
00
77.022
0,00
0,00
0,51
2Tanaman
Kacang-K
acangan
11.947
04.928
13.037
05.335
0,00
0,00
0,45
3Jagung
56.234
029.206
61.368
031.622
0,00
0,00
0,43
4Tanaman
Umbi-Umbian
28.115
06.310
30.682
06.832
0,00
0,00
0,35
5Sayur-Sayura
ndan
Buah-B
uahan
198.058
936.959
216.142
940.016
0,00
0,00
0,50
6Tanaman
Bahan
Makanan
Lain
nya
1.028
0447
1.122
0484
0,00
0,00
0,85
7Kare
t0
323
18.598
0350
20.402
0,00
0,00
0,58
8Tebu
82
04.851
90
05.321
0,00
0,00
0,76
9Kelapa
10.055
368
7.512
11.118
399
8.240
0,00
0,00
0,74
10
Kelapa
Sawit
01.041
51.969
01.129
57.01
0,00
0,00
0,65
11
Tembakau
923
03.198
1.021
03.508
0,00
0,00
0,81
12
Kopi
841
287
6.198
929
311
6.799
0,00
0,00
0,67
13
The
172
19
239
190
20
262
0,00
0,00
0,84
14
Cengkeh
364
784
369
860
0,00
0,00
0,86
15
HasilTanaman
Sera
t0
0169
00
185
0,00
0,00
0,77
16
Tanaman
Perk
ebunan
Lain
nya
1.560
96
9.199
1.725
104
10.091
0,00
0,00
0,79
17
Tanaman
Lain
nya
3.267
08.727
3.565
09.449
0,00
0,00
0,49
18
Pete
rnakan
34.312
1.302
46.976
39.099
1.455
53.109
0,00
0,00
0,63
19
Pemoto
ngan
Hewan
78.567
085.900
89.530
097.114
0,00
0,00
0,13
20
Unggasdan
Hasil-Hasilnya
92.787
0104.559
105.733
0118.210
0,00
0,00
0,89
21
Kayu
2.355
013.708
2.464
014.229
0,00
0,00
0,60
22
HasilHuta
nLain
nya
3.779
02.813
3.954
02.920
0,00
0,00
0,72
23
Perikanan
178.012
090.078
205.051
0102.943
0,00
0,00
0,50
24
Penambangan
Batu
bara
dan
Bijih
Logam
00
159.987
00
164.749
0,00
0,00
0,47
25
Penambangan
Minyak,Gasdan
PanasBumi
01.348
76.701
01.396
80.398
0,00
0,00
0,04
26
Penambangan
dan
Penggalian
Lain
nya
1.796
037.344
2.073
042.747
0,00
0,00
0,84
27
Industri
Pengolahan
dan
Pengaweta
nM
akanan
151.471
0166.942
164.874
0180.284
1,00
0,00
0,04
28
Industri
Minyak
dan
Lemak
46.941
0229.490
51.095
0247.830
1,00
0,00
0,04
29
Industri
Penggilin
gan
Padi
304.461
0332.815
331.403
0359.412
0,00
0,00
0,06
30
Industri
Tepung,Segala
Jenis
101.257
0131.603
110.217
0142.121
1,00
0,00
0,05
31
Industri
Gula
24.422
030.427
26.583
032.859
1,00
0,00
0,03
32
Industri
Makanan
Lain
nya
142.412
0208.991
155.014
0225.693
1,00
0,00
0,05
33
Industri
Minuman
23.246
020.065
25.303
021.668
1,00
0,00
0,07
34
Industri
Rokok
158.044
080.497
172.03
086.930
1,00
0,00
0,08
35
Industri
Peminta
lan
554
040.555
615
044.683
1,00
0,00
0,08
36
Industri
Tekstil,Pakaian
dan
Kulit
125.451
248
233.616
139.318
270
257.398
1,00
0,00
0,09
37
Industri
Bambu,Kayu
dan
Rota
n33.498
165
118.441
37.246
180
130.656
1,00
0,00
0,07
38
Industri
Kertas,
Bara
ng
dari
Kertasdan
Karton
23.008
0119.995
25.278
0130.796
1,00
0,00
0,09
39
Industri
Pupuk
dan
Pestisid
a7.691
046.164
8.248
049.119
1,00
0,00
0,02
40
Industri
Kim
ia98.525
0283.78
105.665
0301.948
1,00
0,00
0,05
41
Pengilangan
Minyak
Bumi
88.059
0182.341
93.079
0191.218
1,00
0,00
0,00
42
Industri
Bara
ng
Kare
tdan
Plastik
79.541
0235.600
85.305
0250.684
1,00
0,00
0,08
43
Industri
Bara
ng-B
ara
ng
dari
Min
era
lBukan
Logam
8.539
122
38.413
9.490
133
42.356
1,00
0,00
0,07
44
Industri
Semen
00
31.051
00
34.239
1,00
0,00
0,00
45
Industri
Dasa
rBesi
dan
Baja
00
45.088
00
48.145
1,00
0,00
0,00
46
Industri
Logam
Dasa
rBukan
Besi
00
57.756
00
61.672
1,00
0,00
0,00
47
Industri
Bara
ng
dari
Logam
21.783
8.817
137.857
23.445
9.301
147.203
1,00
0,00
0,10
48
Industri
Mesin,Alat-Alatdan
Perlengkapan
Listrik
167.942
178.776
480.414
192.653
200.997
546.76
1,00
0,00
0,10
49
Industri
AlatPengangkuta
ndan
Perb
aikannya
140.052
72.516
214.144
160.658
81.530
243.717
1,00
0,00
0,10
50
Industri
Bara
ng
Lain
nya
16.637
4.324
25.970
17.206
4.383
26.647
1,00
0,00
0,08
51
Listrik,Gasdan
Air
Bersih
52.761
0124.960
57.222
0134.458
0,26
0,00
0,43
52
Konstru
ksi
02.346.928
1.625.333
02.443.154
1.712.742
0,40
0,40
0,08
53
Perd
agangan
543.871
64.664
782.844
622.784
72.572
889.370
1,00
0,00
0,35
54
Hote
ldan
Restaura
n330.845
0288.552
378.873
0327.838
0,00
0,00
0,43
55
Angkuta
nKere
taApi
4.941
37
6.537
5.400
40
7.087
0,00
0,00
0,78
56
Angkuta
nDara
t132.881
10.406
236.940
161.740
12.414
286.127
0,00
0,00
0,92
57
Angkuta
nAir
23.475
2.199
67.279
26.911
2.470
76.520
0,00
0,00
0,88
58
Angkuta
nUdara
126.340
663
154.706
161.783
832
196.547
0,75
0,00
0,21
59
Jasa
Penunjang
Angkuta
n12.099
1.748
32.823
13.518
1.914
36.383
1,00
0,00
0,18
60
Komunikasi
153.494
077.633
172.824
086.721
1,00
0,00
0,00
61
Lembaga
Keuangan
76.274
0151.063
89.551
0175.963
0,00
0,00
0,31
62
Usa
ha
Bangunan
dan
Jasa
Peru
sahaan
140.675
3.988
144.163
158.943
4.417
161.601
1,00
0,00
0,07
63
Pemerinta
han
Umum
dan
Pertahanan
22.826
0223.720
25.598
0248.914
0,00
0,00
0,68
64
Jasa
SosialKemasy
ara
kata
n216.688
0286.549
254.842
0334.350
0,00
0,00
0,57
65
Jasa
Lain
nya
187.741
32.723
270.910
213.112
36.406
305.097
1,00
0,00
0,53
66
Kegiata
nyang
Tak
JelasBata
sannya
4.039
02.914
4.371
03.129
1,00
0,00
0,20
Sumber:
HasilPengolahan
Penulis
JEPI Vol. 15 No. 1 Juli 2014
Sugana, R. & Hidayat, A. 33
Tabel 17: Potensi Penerimaan PPN dan PPnBM Tahun 2012 (Miliar Rupiah)
NoLapangan Usaha Total
Penge-luaran
BasisPPN
ProyeksiPene-rimaanPPN
BasisPPnBM
ProyeksiPene-rimaanPPnBM
ProyeksiPene-rimaanPPN &PPnBM
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
1 Konsumsi Akhir Rumah Tangga 4.496.373 2.127.210 212.721 292.724 21.626 234.3472 Pengeluaran Usaha (PMTB dan Input Antara) 11.580.616 3.737.249 373.725 0 0 373.7253 Pengeluaran Pemerintah 557.164 281.992 28.199 0 0 28.199
TOTAL 16.634.153 6.146.450 614.645 292.724 21.626 636.271Sumber: Hasil Pengolahan Penulis
Tabel 18: Proyeksi Penerimaan PPN dan PPnBM dan Tingkat Kepatuhan PPN dan PPnBM Tahun 2012
NoLapangan Usaha Proyeksi
Peneri-maanPPN
RealisasiPeneri-maanPPN
EstimasiTingkatKepa-tuhanPPN
ProyeksiPeneri-maanPP-nBM
RealisasiPeneri-maanPP-nBM
EstimasiTingkatKepa-tuhanPP-nBM
(1) (2) (3) (4) (5)- (6) (7) (8)
1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan 186 - 0%2 Pertambangan Minyak dan Gas 4 - 0%3 Pertambangan Bukan Gas - - 0%4 Penggalian - - 0%5 Industri Pengolahan 270.010 159.095 59% 16.405 14.698 90%6 Listrik, Gas dan Air Bersih 2.789 1.212 43% - 0%7 Konstruksi 162.973 25.944 16% - 0%8 Perdagangan, Hotel dan Restoran 64.614 67.279 104% 5.221 4.899 94%9 Pengangkutan dan Komunikasi 33.497 20.491 61% - 0%10 Keuangan, Real Estat, dan Jasa Perusahaan 26.973 10.258 38% - 0%11 Jasa-Jasa dan Lainnya 53.599 33.698 63% - 0%
TOTAL 614.645 317.977 52% 21.626 19.597 91%Sumber: Hasil Pengolahan Penulis
JEPI Vol. 15 No. 1 Juli 2014
Analisis Potensi dan Kesenjangan Penerimaan Pajak...34
Tab
el
19:
Pot
ensi
Pen
erim
aan
PP
Nd
an
PP
nB
MT
ahu
n2013
(Mil
iar
Ru
pia
h)
-B
agia
n1
Proporsi
Pro
ject-
Tin
gkat
Kepatuhan
Pro
jected
Penerim
aan
Kena
PK
PK
ena
Pro
ject-
edPe-
(BASE)
(Adju
st-
PPn-
PPn-
PPN
Paja
kdiba-
Paja
ked
Pe-
Faktor
neri-
ed)
Pro
ject-
BM
-BM
dan
Total
wah
Efe
k-
Tarif
neri-
Kon-
maan
edPe-
Basis
100%
PPn-
No
Lapangan
Penge-
thres-
tif
Basis
PPN/
maan
versi
PPN-
neri-
PPn-
Comply
BM
Usaha
luaran
hold
PPN
PPn-
PPN-
Sup-
100%
maan
BM
BM
100%
plier
Comply-
PPN
Comply
Adju
sted
Compli-
ance
(M
ilia
r)
(M
ilia
r)
(M
ilia
r)
(M
ilia
r)
(M
ilia
r)
(M
ilia
r)
(M
ilia
r)
(M
ilia
r)
(M
ilia
r)
(1)
(2)
(3)
(4A)
(4B)
(4C)
(5)=
(6)
(7)=
(8)
(9)
(10)
(10A)
(11)=
(12)
(13)=
(14)=
(15)=
(3)*
(5)*(6)
(9)*
(12)*
(13)*
(11)+
(4C)
(10A)
(6)
(10A)
(14)
TO
TAL
18.4
12.3
81
600M
6.8
97.1
15
10%
689.7
12
N/A
689.7
12
0%
360.2
16
335.7
05
24.7
97
20.6
77
380.8
93
1Consu
mer
5.0
71.0
94
2.3
84.0
25
238.4
03
N/A
238.4
03
142.3
88
335.7
05
24.7
97
20.6
77
163.0
65
2Business
12.6
22.9
95
4.0
37.2
37
403.7
24
232.1
72
403.7
24
172.6
22
172.6
22
3Government
718.2
93
475.8
53
47.5
85
N/A
47.5
85
45.2
06
45.2
06
KO
NSUM
SIAK
HIR
RUM
AH
TANG
GA
1Padi
00,0
00,8
80,0
00
10%
0N/A
00%
0%
00
00
02
Tanam
an
13.0
37
0,0
00,8
80,0
00
10%
0N/A
00%
0%
00
00
0K
acang-
Kacangan
3Jagung
61.3
68
0,0
00,8
80,0
00
10%
0N/A
00%
0%
00
00
04
Tanam
an
30.6
82
0,0
00,8
80,0
00
10%
0N/A
00%
0%
00
00
0Um
bi-Um
bi-
0an
05
Sayur-S
ayur-
216.1
42
0,0
00,8
80,0
00
10%
0N/A
00%
0%
00
00
0an
dan
Bu-
ah
Buahan
6Tanam
an
1.1
22
0,0
00,8
80,0
00
10%
0N/A
00%
0%
00
00
0Bahan
Ma-
kanan
Lain
nya
7K
aret
00,0
00,8
80,0
00
10%
0N/A
00%
0%
00
00
08
Tebu
90
0,0
00,8
80,0
00
10%
0N/A
00%
0%
00
00
09
Kela
pa
11.1
18
0,0
00,8
80,0
00
10%
0N/A
00%
0%
00
00
010
Kela
pa
Sawit
00,0
00,8
80,0
00
10%
0N/A
00%
0%
00
00
011
Tem
bakau
1.0
21
0,0
00,8
80,0
00
10%
0N/A
00%
0%
00
00
012
Kopi
929
0,0
00,8
80,0
00
10%
0N/A
00%
0%
00
00
013
Teh
190
0,0
00,8
80,0
00
10%
0N/A
00%
0%
00
00
014
Cengkeh
30,0
00,8
80,0
00
10%
0N/A
00%
0%
00
00
015
Hasil
Tanam
-0
0,0
00,8
80,0
00
10%
0N/A
00%
0%
00
00
0an
Serat
16
Tanam
an
1.7
25
0,0
00,8
80,0
00
10%
0N/A
00%
0%
00
00
0Perkebunan
Lain
nya
17
Tanam
an
3.5
65
0,0
00,8
80,0
00
10%
0N/A
00%
0%
00
00
0Lain
nya
18
Peternakan
39.0
99
0,0
00,8
80,0
00
10%
0N/A
00%
0%
00
00
019
Pem
otongan
89.5
30
0,0
00,1
40,0
00
10%
0N/A
059%
59%
00
00
0Hewan
20
Unggas
dan
105.7
33
0,0
00,8
80,0
00
10%
0N/A
00%
0%
00
00
0Hasil-H
asil-
nya
21
Kayu
2.4
64
0,0
00,8
80,0
00
10%
0N/A
00%
0%
00
00
022
Hasil
Hutan
3.9
54
0,0
00,8
80.0
00
10%
0N/A
00%
0%
00
00
0Lain
nya
23
Perik
anan
205.0
51
0,0
00,8
80.0
00
10%
0N/A
00%
0%
00
00
024
Penam
bangan
00,0
00,2
00,0
00
10%
0N/A
00%
0%
00
00
0Batubara
dan
Bijih
Logam
25
Penam
bangan
00,0
00,0
00,0
00
10%
0N/A
00%
0%
00
00
0M
inyak,G
as,
dan
Panas
Bum
i26
Penam
bangan
2.0
73
0,0
00,1
20,0
00
10%
0N/A
00%
0%
00
00
0dan
Pengga-
lian
Lain
nya
27
IndustriPeng-
164.8
74
1,0
00,1
40,8
6141.7
15
10%
14.1
71
N/A
14.1
71
59%
59%
8.3
61
00
08.3
61
ola
han
dan
Pengawetan
Makanan
28
Industri
51.0
95
1,0
00,1
40,8
643.9
18
10%
4.3
92
N/A
4.3
92
59%
59%
2.5
91
00
02.5
91
Min
yak
dan
Lem
ak
29
Industri
331.4
03
0,0
00,1
40,0
00
10%
0N/A
059%
59%
00
00
0Penggilin
gan
Padi
30
Industri
110.2
17
1,0
00,1
40,8
694.7
35
10%
9.4
73
N/A
9.4
73
59%
59%
5.5
89
00
05.5
89
Tepung,
Segala
Jenis
31
IndustriG
ula
26.5
83
1,0
00,1
40,8
622.8
49
10%
2.2
85
N/A
2.2
85
59%
59%
1.3
48
00
01.3
48
bersa
mbung...
JEPI Vol. 15 No. 1 Juli 2014
Sugana, R. & Hidayat, A. 35
Tab
el
20:
Pot
ensi
Pen
erim
aan
PP
Nd
an
PP
nB
MT
ahu
n2013
(Mil
iar
Ru
pia
h)
-B
agia
n2
Proporsi
Pro
ject-
Tin
gkat
Kepatuhan
Pro
jected
Penerim
aan
Kena
PK
PK
ena
Pro
ject-
edPe-
(BASE)
(Adju
st-
PPn-
PPn-
PPN
Paja
kdiba-
Paja
ked
Pe-
Faktor
neri-
ed)
Pro
ject-
BM
-BM
dan
Total
wah
Efe
k-
Tarif
neri-
Kon-
maan
edPe-
Basis
100%
PPn-
No
Lapangan
Penge-
thres-
tif
Basis
PPN/
maan
versi
PPN-
neri-
PPn-
Comply
BM
Usaha
luaran
hold
PPN
PPn-
PPN-
Sup-
100%
maan
BM
BM
100%
plier
Comply-
PPN
Comply
Adju
sted
Compli-
ance
(M
ilia
r)
(M
ilia
r)
(M
ilia
r)
(M
ilia
r)
(M
ilia
r)
(M
ilia
r)
(M
ilia
r)
(M
ilia
r)
(M
ilia
r)
(1)
(2)
(3)
(4A)
(4B)
(4C)
(5)=
(6)
(7)=
(8)
(9)
(10)
(10A)
(11)=
(12)
(13)=
(14)=
(15)=
(3)*
(5)*(6)
(9)*
(12)*
(13)*
(11)+
(4C)
(10A)
(6)
(10A)
(14)
32
IndustriM
akan-
155.0
14
1,0
00,1
40,8
6133.2
39
10%
13.3
24
N/A
13.3
24
59%
59%
7.8
61
00
07.8
61
an
Lain
nya
33
IndustriM
inum
an
25.3
03
1,0
00,1
40,8
621.7
49
10%
2.1
75
N/A
2.1
75
59%
59%
1.2
83
00
01.2
83
34
IndustriRokok
172.0
30
1,0
00,1
40,8
6147.8
65
10%
14.7
87
N/A
14.7
87
59%
59%
8.7
24
00
08.7
24
35
Industri
615
1,0
00,1
40,8
6529
10%
53
N/A
53
59%
59%
31
00
031
Pem
intala
n36
IndustriTekstil,
139.3
18
1,0
00,1
40,8
6119.7
49
10%
11.9
75
N/A
11.9
75
59%
59%
7.0
65
00
07.0
65
Pakaia
ndan
Kulit
37
IndustriBam
bu,
37.2
46
1,0
00,1
40,8
632.0
14
10%
3.2
01
N/A
3.2
01
59%
59%
1.8
89
00
01.8
89
Kayu
dan
Rotan
38
IndustriK
ertas,
25.2
78
1,0
00,1
40,8
621.7
27
10%
2.1
73
N/A
2.1
73
59%
59%
1.2
82
00
01.2
82
Barang
dari
Kertas
dan
Karton
39
IndustriPupuk
8.2
48
1,0
00,1
40,8
67.0
89
10%
709
N/A
709
59%
59%
418
00
0418
dan
Pestisid
a40
IndustriK
imia
105.6
65
1,0
00,1
40,8
690.8
22
10%
9.0
82
N/A
9.0
82
59%
59%
5.3
59
00
05.3
59
41
Pengilangan
93.0
79
1,0
00,1
40,8
680.0
04
10%
8N/A
859%
59%
4.7
20
00
04.7
20
Min
yak
Bum
i42
IndustriBarang
85.3
05
1,0
00,1
40,8
673.3
23
10%
7.3
32
N/A
7.3
32
59%
59%
4.3
26
00
04.3
26
Karet
dan
Pla
stik
43
IndustriBarang-B
a-
9.4
90
1,0
00,1
40,8
68.1
57
10%
816
N/A
816
59%
59%
481
00
0481
rang
dariM
ineral
Bukan
Logam
44
IndustriSem
en
01,0
00,1
40,8
60
10%
0N/A
059%
59%
00
00
045
IndustriD
asar
01,0
00,1
40,8
60
10%
0N/A
059%
59%
00
00
0Besidan
Baja
46
IndustriLogam
01,0
00,1
40,8
60
10%
0N/A
059%
59%
00
00
0D
asar
Bukan
Besi
47
IndustriBarang
23.4
45
1,0
00,1
40,8
620.1
51
10%
2.0
15
N/A
2.0
15
59%
59%
1.1
89
00
01.1
89
dariLogam
48
IndustriM
esin
,192.6
53
1,0
00,1
40,8
6165.5
91
10%
16.5
59
N/A
16.5
59
59%
59%
9.7
70
00
09.7
70
Ala
t-A
lat
dan
Perle
ngkapan
Listrik
Sale
sTax**
@0%
0,3
3N/A
0,3
3N/A
0%
N/A
082%
82%
062.6
12
00
0Sale
sTax**
@10%
0,2
0N/A
0,2
0N/A
10%
N/A
082%
82%
037.5
67
3.7
57
3.0
96
3.0
96
Sale
sTax**
@20%
0,1
3N/A
0,1
3N/A
20%
N/A
082%
82%
025.0
45
5.0
09
4.1
28
4.1
28
Sale
sTax**
@30%
0,1
0N/A
0,0
0N/A
30%
N/A
082%
82%
00
00
0Sale
sTax**
@40%
0,0
0N/A
0,0
0N/A
40%
N/A
082%
82%
00
00
0Sale
sTax**
@50%
0,0
0N/A
0,0
0N/A
50%
N/A
082%
82%
00
00
0Sale
sTax**
@60%
0,0
0N/A
0,0
0N/A
60%
N/A
082%
82%
00
00
0Sale
sTax**
@75%
0,0
0N/A
0,0
0N/A
75%
N/A
082%
82%
00
00
049
IndustriAla
t160.6
58
1,0
00,1
40,8
6138.0
91
10%
13.8
09
N/A
13.8
09
59%
59%
8.1
47
00
08.1
47
Pengangkutan
dan
Perbaik
annya
Sale
sTax**
@0%
0,6
5N/A
0,6
5N/A
0%
N/A
082%
82%
0103.6
94
00
0Sale
sTax**
@10%
0,2
1N/A
0,2
1N/A
10%
N/A
082%
82%
034.1
68
3.4
17
2.8
16
2.8
16
Sale
sTax**
@20%
0,0
9N/A
0,0
9N/A
20%
N/A
082%
82%
015.2
06
3.0
41
2.5
06
2.5
06
Sale
sTax**
@30%
0,0
1N/A
0,0
1N/A
30%
N/A
082%
82%
01.3
49
405
334
334
Sale
sTax**
@40%
0,0
2N/A
0,0
2N/A
40%
N/A
082%
82%
03.2
65
1.3
06
1.0
76
1.0
76
Sale
sTax**
@50%
0,0
1N/A
0,0
1N/A
50%
N/A
082%
82%
0960
480
395
395
Sale
sTax**
@60%
0,0
0N/A
0,0
0N/A
60%
N/A
082%
82%
0716
429
354
354
Sale
sTax**
@75%
0,0
1N/A
0,0
1N/A
75%
N/A
082%
82%
01.3
00
975
803
803
50
IndustriBarang
17.2
06
1,0
00,1
40,8
614.7
89
10%
1.4
79
N/A
1.4
79
59%
59%
873
00
0873
Lain
nya
51
Listrik
,G
as
57.2
22
0,2
60,0
10,2
614.8
78
10%
1.4
88
N/A
1.4
88
55%
55%
818
00
0818
dan
Air
Bersih
52
Konstruksi
00,0
00,1
20,0
00
10%
0N/A
021%
21%
00
00
053
Perdagangan
622.7
84
1,0
00,2
90,7
1440.0
01
10%
44
N/A
44
74%
74%
32.5
60
00
032.5
60
Sale
sTax**
@0%
0,0
1N/A
0,0
1N/A
0%
N/A
086%
86%
04.9
82
00
0Sale
sTax**
@10%
0,0
5N/A
0,0
5N/A
10%
N/A
086%
86%
029.8
94
2.9
89
2.5
85
2.5
85
Sale
sTax**
@20%
0,0
2N/A
0,0
2N/A
20%
N/A
086%
86%
014.9
47
2.9
89
2.5
85
2.5
85
Sale
sTax**
@30%
0,0
0N/A
0,0
0N/A
30%
N/A
086%
86%
00
00
0Sale
sTax**
@40%
0,0
0N/A
0,0
0N/A
40%
N/A
086%
86%
00
00
0Sale
sTax**
@50%
0,0
0N/A
0,0
0N/A
50%
N/A
086%
86%
00
00
0be
rsa
mbung...
JEPI Vol. 15 No. 1 Juli 2014
Analisis Potensi dan Kesenjangan Penerimaan Pajak...36
Tab
el
21:
Pot
ensi
Pen
erim
aan
PP
Nd
an
PP
nB
MT
ahu
n2013
(Mil
iar
Ru
pia
h)
-B
agia
n3
Proporsi
Pro
ject-
Tin
gkat
Kepatuhan
Pro
jected
Penerim
aan
Kena
PK
PK
ena
Pro
ject-
edPe-
(BASE)
(Adju
st-
PPn-
PPn-
PPN
Paja
kdiba-
Paja
ked
Pe-
Faktor
neri-
ed)
Pro
ject-
BM
-BM
dan
Total
wah
Efe
k-
Tarif
neri-
Kon-
maan
edPe-
Basis
100%
PPn-
No
Lapangan
Penge-
thres-
tif
Basis
PPN/
maan
versi
PPN-
neri-
PPn-
Comply
BM
Usaha
luaran
hold
PPN
PPn-
PPN-
Sup-
100%
maan
BM
BM
100%
plier
Comply-
PPN
Comply
Adju
sted
Compli-
ance
(M
ilia
r)
(M
ilia
r)
(M
ilia
r)
(M
ilia
r)
(M
ilia
r)
(M
ilia
r)
(M
ilia
r)
(M
ilia
r)
(M
ilia
r)
(1)
(2)
(3)
(4A)
(4B)
(4C)
(5)=
(6)
(7)=
(8)
(9)
(10)
(10A)
(11)=
(12)
(13)=
(14)=
(15)=
(3)*
(5)*(6)
(9)*
(12)*
(13)*
(11)+
(4C)
(10A)
(6)
(10A)
(14)
Sale
sTax**
@60
0,0
0N/A
0,0
0N/A
60
N/A
086%
86%
00
00
0Sale
sTax**
@75%
0,0
0N/A
0,0
0N/A
75%
N/A
086%
86%
00
00
054
Hoteldan
378.8
73
0,0
00,2
90,0
00
10%
0N/A
074%
74%
00
00
0Restaurant
55
Angkutan
5.4
00
0,0
00,0
00,0
00
10%
0N/A
059%
59%
00
00
0K
ereta
Api
56
Angkutan
Darat
161.7
40
0,0
00,2
10,0
00
10%
0N/A
059%
59%
00
00
057
Angkutan
Air
26.9
11
0,0
00,2
10,0
00
10%
0N/A
059%
59%
00
00
058
Angkutan
Udara
161.7
83
0,7
50,0
00,7
5121.3
38
10%
12.1
34
N/A
12.1
34
59%
59%
7.1
59
00
07.1
59
59
Jasa
Penunja
ng
13.5
18
1,0
00,2
10,7
910.6
45
10%
1.0
64
N/A
1.0
64
59%
59%
628
00
0628
Angkutan
60
Kom
unik
asi
172.8
24
1,0
00,2
10,7
9136.0
89
10%
13.6
09
N/A
13.6
09
59%
59%
8.0
29
00
08.0
29
61
Lem
baga
Keuangan
89.5
51
0,0
00,1
30,0
00
10%
0N/A
042%
42%
00
00
0K
euangan
62
Usaha
Real
158.9
43
1,0
00,1
30,8
7138.0
47
10%
13.8
05
N/A
13.8
05
42%
42%
5.7
98
00
05.7
98
Estat
dan
Jasa
Perusahaan
63
Pem
erin
tahan
25.5
98
0,0
00,3
30,0
00
10%
0N/A
042%
42%
00
00
0Um
um
dan
Pertahanan
64
Jasa
Sosia
l254.8
42
0,0
00,3
30,0
00
10%
0N/A
042%
42%
00
00
0K
em
asyarakatan
65
Jasa
Lain
nya
213.1
12
1,0
00,3
30,6
7142.0
09
10%
14.2
01
N/A
14.2
01
42%
42%
5.9
64
00
05.9
64
66
Kegia
tan
yang
4.3
71
1,0
00,3
30,6
72.9
12
10%
291
N/A
291
42%
42%
122
00
0122
Tak
Jela
sBatasannya
PENG
ELUARAN
USAHA
PM
TB
1Padi
00,4
3N/A
0,4
30
10%
0N/A
00%
0%
00
00
02
Tanam
an
00,3
7N/A
0,3
70
10%
0N/A
00%
0%
00
00
0K
acang-K
acangan
3Jagung
00,3
6N/A
0,3
60
10%
0N/A
00%
0%
00
00
04
Tanam
an
Um
bi-
00,2
8N/A
0,2
80
10%
0N/A
00%
0%
00
00
0Um
bia
n5
Sayur-S
ayuran
90,4
1N/A
0,4
14
10%
0N/A
00%
0%
00
00
0dan
Buah-B
uahan
6Tanam
an
Bahan
00,7
1N/A
0.7
10
10%
0N/A
00%
0%
00
00
0M
akanan
Lain
nya
7K
aret
350
0,4
7N/A
0,4
7166
10%
17
N/A
17
0%
0%
00
00
08
Tebu
00,5
8N/A
0,5
80
10%
0N/A
00%
0%
00
00
09
Kela
pa
399
0,5
7N/A
0,5
7228
10%
23
N/A
23
0%
0%
00
00
010
Kela
pa
Sawit
1.1
29
0,5
1N/A
0,5
1577
10%
58
N/A
58
0%
0%
00
00
011
Tem
bakau
00,6
8N/A
0,6
80
10%
0N/A
00%
0%
00
00
012
Kopi
311
0,5
5N/A
0,5
5171
10%
17
N/A
17
0%
0%
00
00
013
Teh
20
0,6
8N/A
0,6
814
10%
1N/A
10%
0%
00
00
014
Cengkeh
69
0,7
1N/A
0,7
149
10%
5N/A
50%
0%
00
00
015
Hasil
Tanam
an
00,6
4N/A
0,6
40
10%
0N/A
00%
0%
00
00
0Serat
16
Tanam
an
104
0,6
3N/A
0,6
365
10%
7N/A
70%
0%
00
00
0Perkebunan
Lain
nya
17
Tanam
an
00,4
0N/A
0,4
00
10%
0N/A
00%
0%
00
00
0Lain
nya
18
Peternakan
1.4
55
0,5
3N/A
0,5
3767
10%
77
N/A
77
0%
0%
00
00
019
Pem
otongan
00,0
9N/A
0,0
90
10%
0N/A
059%
59%
00
00
0Hewan
20
Unggas
dan
00,7
5N/A
0,7
50
10%
0N/A
00%
0%
00
00
0Hasil-H
asilnya
21
Kayu
00,4
7N/A
0,4
70
10%
0N/A
00%
0%
00
00
022
Hasil
Hutan
00,5
1N/A
0,5
10
10%
0N/A
00%
0%
00
00
0Lain
nya
23
Perik
anan
00,4
2N/A
0,4
20
10%
0N/A
00%
0%
00
00
024
Penam
bangan
00,3
7N/A
0,3
70
10%
0N/A
00%
0%
00
00
0Batubara
dan
Bijih
Logam
25
Penam
bangan
1.3
96
0,0
3N/A
0,0
343
10%
4N/A
40%
0%
00
00
0M
inyak,G
as
dan
Panas
Bum
i26
Penam
bangan
dan
00,6
1N/A
0,6
10
10%
0N/A
00%
0%
00
00
0Penggalian
Lain
nya
bersa
mbung...
JEPI Vol. 15 No. 1 Juli 2014
Sugana, R. & Hidayat, A. 37
Tab
el
22:
Pot
ensi
Pen
erim
aan
PP
Nd
an
PP
nB
MT
ahu
n2013
(Mil
iar
Ru
pia
h)
-B
agia
n4
Proporsi
Pro
ject-
Tin
gkat
Kepatuhan
Pro
jected
Penerim
aan
Kena
PK
PK
ena
Pro
ject-
edPe-
(BASE)
(Adju
st-
PPn-
PPn-
PPN
Paja
kdiba-
Paja
ked
Pe-
Faktor
neri-
ed)
Pro
ject-
BM
-BM
dan
Total
wah
Efe
k-
Tarif
neri-
Kon-
maan
edPe-
Basis
100%
PPn-
No
Lapangan
Penge-
thres-
tif
Basis
PPN/
maan
versi
PPN-
neri-
PPn-
Comply
BM
Usaha
luaran
hold
PPN
PPn-
PPN-
Sup-
100%
maan
BM
BM
100%
plier
Comply-
PPN
Comply
Adju
sted
Compli-
ance
(M
ilia
r)
(M
ilia
r)
(M
ilia
r)
(M
ilia
r)
(M
ilia
r)
(M
ilia
r)
(M
ilia
r)
(M
ilia
r)
(M
ilia
r)
(1)
(2)
(3)
(4A)
(4B)
(4C)
(5)=
(6)
(7)=
(8)
(9)
(10)
(10A)
(11)=
(12)
(13)=
(14)=
(15)=
(3)*
(5)*(6)
(9)*
(12)*
(13)*
(11)+
(4C)
(10A)
(6)
(10A)
(14)
27
IndustriPengola
h-
00,0
4N/A
0,0
40
10%
0N/A
059%
59%
00
00
0an
dan
Pengawet-
an
Makanan
28
IndustriM
inyak
00,0
5N/A
0,0
50
10%
0N/A
059%
59%
00
00
0dan
Lem
ak
29
IndustriPenggi-
00,0
4N/A
0,0
40
10%
0N/A
059%
59%
00
00
0lingan
Padi
30
IndustriTepung,
00,0
6N/A
0,0
60
10%
0N/A
059%
59%
00
00
0Segala
Jenis
31
IndustriG
ula
00,0
3N/A
0,0
30
10%
0N/A
059%
59%
00
00
032
IndustriM
akanan
00,0
5N/A
0,0
50
10%
0N/A
059%
59%
00
00
0Lain
nya
33
IndustriM
inum
an
00,0
7N/A
0,0
70
10%
0N/A
059%
59%
00
00
034
IndustriRokok
00,0
8N/A
0,0
80
10%
0N/A
059%
59%
00
00
035
Industri
00,0
8N/A
0,0
80
10%
0N/A
059%
59%
00
00
0Pem
intala
n36
IndustriTekstil,
270
0,0
9N/A
0,0
926
10%
3N/A
359%
59%
20
00
2Pakaia
ndan
Kulit
37
IndustriBam
bu,
180
0.0
8N/A
0.0
814
10%
1N/A
159%
59%
10
00
1K
ayu
dan
Rotan
38
IndustriK
ertas,
00,1
0N/A
0,1
00
10%
0N/A
059%
59%
00
00
0Barang
dari
Kertas
dan
Karton
39
IndustriPupuk
00,0
3N/A
0,0
30
10%
0N/A
059%
59%
00
00
0dan
Pestisid
a40
IndustriK
imia
00,0
5N/A
0,0
50
10%
0N/A
059%
59%
00
00
041
Pengilangan
00,0
1N/A
0,0
10
10%
0N/A
059%
59%
00
00
0M
inyak
Bum
i42
IndustriBarang
00,0
8N/A
0,0
80
10%
0N/A
059%
59%
00
00
0K
aret
dan
Pla
stik
43
IndustriBarang-
133
0,0
7N/A
0,0
710
10%
1N/A
159%
59%
10
00
1Barang
dariM
ine-
ralBukan
Logam
44
IndustriSem
en
00,0
2N/A
0,0
20
10%
0N/A
059%
59%
00
00
045
IndustriD
asar
00,0
7N/A
0,0
70
10%
0N/A
059%
59%
00
00
0Besidan
Baja
46
IndustriLogam
00,0
1N/A
0,0
10
10%
0N/A
059%
59%
00
00
0D
asar
Bukan
Besi
47
IndustriBarang
9.3
01
0,1
0N/A
0,1
0952
10%
95
N/A
95
59%
59%
56
00
056
dariLogam
48
IndustriM
esin
,200.9
97
0,1
1N/A
0,1
122.0
45
10%
2.2
05
N/A
2.2
05
59%
59%
1.3
01
00
01.3
01
Ala
t-A
lat
dan
Perle
ngkapan
Listrik
49
IndustriAla
t81.5
30
0,1
1N/A
0,1
19.0
14
10%
901
N/A
901
59%
59%
532
00
0532
Pengangkutan
dan
Perbaik
annya
50
IndustriBarang
4.3
83
0,0
9N/A
0,0
9379
10%
38
N/A
38
59%
59%
22
00
022
Lain
nya
51
Listrik
,G
as
00,3
6N/A
0,3
60
10%
0N/A
055%
55%
00
00
0dan
Air
Bersih
52
Konstruksi
2.4
43.1
54
0,6
8N/A
0,6
81.6
49.1
29
10%
164.9
13
N/A
164.9
13
21%
21%
34.6
32
00
034.6
32
53
Perdagangan
72.5
72
0,1
5N/A
0,1
511.2
43
10%
1.1
24
N/A
1.1
24
74%
74%
832
00
0832
54
Hoteldan
00,3
3N/A
0,3
30
10%
0N/A
074%
74%
00
00
0Restaurant
55
Angkutan
40
0,6
0N/A
0,6
024
10%
2N/A
259%
59%
10
00
1K
ereta
Api
56
Angkutan
Darat
12.4
14
0,7
1N/A
0,7
18.8
53
10%
885
N/A
885
59%
59%
522
00
0522
57
Angkutan
Air
2.4
70
0,7
3N/A
0,7
31.7
95
10%
179
N/A
179
59%
59%
106
00
0106
58
Angkutan
Udara
832
0,1
8N/A
0,1
8151
10%
15
N/A
15
59%
59%
90
00
959
Jasa
Penunja
ng
1.9
14
0,1
3N/A
0,1
3244
10%
24
N/A
24
59%
59%
14
00
014
Angkutan
60
Kom
unik
asi
00,1
3N/A
0,1
30
10%
0N/A
059%
59%
00
00
061
Lem
baga
00,2
5N/A
0,2
50
10%
0N/A
042%
42%
00
00
0K
euangan
62
Usaha
RealEstat
4.4
17
0,0
7N/A
0,0
7301
10%
30
N/A
30
42%
42%
13
00
013
dan
Jasa
Perusahaan
bersa
mbung...
JEPI Vol. 15 No. 1 Juli 2014
Analisis Potensi dan Kesenjangan Penerimaan Pajak...38
Analisis Potensi dan Kesenjangan Penerimaan Pajak...40
Bea Masuk Tambahan, Pajak Pertambahan Ni-lai dan Penjualan Atas Barang Mewah dan Pa-jak Penghasilan dalam Rangka Pelaksanaan Pro-yek Pemerintah yang Dibiayai dengan Hibah AtauDana Pinjaman Luar Negeri.
[17] Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2003 ten-tang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No-mor 146 Tahun 2000 Tentang Impor dan atau Pe-nyerahan Barang Kena Pajak Tertentu dan atauPenyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu yang Dibe-baskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
[18] Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 ten-tang Perubahan Keempat Atas Peraturan Peme-rintah Nomor 12 Tahun 2001 Tentang Impor danatau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentuyang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pe-ngenaan Pajak Pertambahan Nilai.
[19] Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2009 ten-tang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai Atas Pe-nyerahan Jasa Kebandarudaraan Tertentu kepadaPerusahaan Angkutan Udara Niaga untuk Pengo-perasian Pesawat Udara yang Melakukan Pener-bangan Luar Negeri.
[20] Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2012 ten-tang Perlakuan Kepabeanan, Perpajakan, dan Cu-kai Serta Tata Laksana Pemasukan dan Pengelu-aran Barang ke dan dari serta Berada di Kawas-an yang Telah Ditetapkan sebagai Kawasan Per-dagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.
[21] Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2013 ten-tang Barang Kena Pajak yang Tergolong MewahBerupa Kendaraan Bermotor yang Dikenai PajakPenjualan Atas Barang Mewah.
[22] Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2013 ten-tang Pemberian Pembebasan Pajak PertambahanNilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan PajakPenjualan Atas Barang Mewah kepada PerwakilanNegara Asing dan Badan Internasional serta Peja-batnya.
[23] Peraturan Menteri Keuangan Nomor71/PMK.03/2010 tentang Pengusaha Kena PajakBerisiko Rendah yang Diberikan PengembalianPendahuluan Kelebihan Pajak.
[24] Peraturan Menteri Keuangan Nomor70/PMK.011/2013 tentang Perubahan Keti-ga Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor231/KMK.03/2001 Tentang Perlakuan PajakPertambahan Nilai dan Pajak Penjualan AtasBarang Mewah Atas Impor Barang Kena Pajakyang Dibebaskan dari Pungutan Bea Masuk.
[25] Peraturan Menteri Keuangan Nomor80/PMK.03/2012 tentang Jasa Angkutan Umumdi Darat dan Jasa Angkutan Umum di Air yangTidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai.
[26] Peraturan Menteri Keuangan Nomor100/PMK.03/2013 tentang Perubahan Kedua
Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor76/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pengajuandan Penyelesaian Permintaan Kembali Pajak Per-tambahan Nilai Barang Bawaan Orang PribadiPemegang Paspor Luar Negeri.
[27] Peraturan Menteri Keuangan Nomor120/PMK.04/2013 tentang Perubahan Keti-ga Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor147/PMK.04/2011 Tentang Kawasan Berikat.
[28] Peraturan Menteri Keuangan Nomor130/PMK.011/2013 tentang PerubahanAtas Peraturan Menteri Keuangan Nomor121/PMK.011/2013 Tentang Jenis Barang KenaPajak yang Tergolong Mewah Selain KendaraanBermotor yang Dikenai Pajak Penjualan AtasBarang Mewah.
[29] Peraturan Menteri Keuangan Nomor198/PMK.03/2013 tentang Pengembalian Penda-huluan Kelebihan Pembayaran Pajak Bagi WajibPajak yang Memenuhi Persyaratan Tertentu.
[30] Peraturan Menteri Keuangan Nomor113/PMK.03/2014 tentang Perubahan Keem-pat Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor36/PMK.03/2007 Tentang Batasan Rumah Seder-hana, Rumah Sangat Sederhana, Rumah SusunSederhana, Pondok Boro, Asrama Mahasiswa danPelajar, serta Perumahan Lainnya, yang AtasPenyerahannya Dibebaskan dari Pengenaan PajakPertambahan Nilai.
[31] Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-229/PJ/2001 tentang Perlakuan Perpajakan di ka-wasan Pengembangan Ekonomi Terpadu.
[32] Keputusan Menteri Keuangan Nomor388/KMK.01/1998 tentang Tata Cara Pem-bayaran Subsidi Pupuk.
[33] Keputusan Menteri Keuangan Nomor563/KMK.03/2003 tentang Penunjukan Bendaha-rawan Pemerintah dan Kantor Perbendaharaandan Kas Negara untuk Memungut, Menyetor, danMelaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan PajakPenjualan Atas Barang Mewah Beserta Tata CaraPemungutan, Penyetoran, dan Pelaporannya.