. ANALISIS POPULASI LIKEN MAKRO EPIFITIK SEBAGAI BIOINDIKATOR KUALITAS UDARA DI KOTA BOGOR, JAWA BARAT RINDITA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
.
ANALISIS POPULASI LIKEN MAKRO EPIFITIK
SEBAGAI BIOINDIKATOR KUALITAS UDARA DI KOTA
BOGOR, JAWA BARAT
RINDITA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Populasi Liken
Makro Epifitik Sebagai Bioindikator Kualitas Udara di Kota Bogor, Jawa Barat
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Rindita
NIM G351100141
RINGKASAN
RINDITA. Analisis Populasi Liken Makro Epifitik Sebagai Bioindikator Kualitas
Udara di Kota Bogor, Jawa Barat. Dibimbing oleh LISDAR IDWAN
SUDIRMAN dan YONNY KOESMARYONO.
Liken adalah salah satu kelompok organisme simbiosis yang kurang
diteliti di Indonesia. Di negara lain, di Amerika Utara dan Thailand misalnya,
liken telah diaplikasikan sebagai model bioindikator polusi udara dan telah diteliti
selama lebih dari 40 tahun. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2012 hingga
Juli 2013 dengan tujuan untuk: 1) mendata dan mengoleksi liken makro epifitik
pada pohon kenari, 2) menganalisis keadaan populasi di tiga plot dengan tingkat
polusi udara yang diasumsikan berbeda, dan 3) mempertimbangkan populasi liken
makro sebagai salah satu alat untuk memonitor kualitas udara di Kota Bogor.
Metode pengambilan sampel adalah secara purposive, dibatasi hanya pada pohon
kenari (Canarium spp.) di tiga plot: plot 1 yaitu Kebun Raya Bogor (KRB) bagian
dalam, jauh dari sirkulasi lalu lintas padat, plot 2 yaitu KRB bagian tepi yang
berbatasan dengan Jalan Otto Iskandardinata dengan lalu lintas padat, dan plot 3
yang terletak di tepi Jalan Ahmad Yani dan Jalan Pemuda yang sirkulasi lalu
lintasnya padat dan berada dekat pabrik PT Goodyear Indonesia. Liken diamati
pada 8 pohon kenari di setiap plot dengan menggunakan 2 kuadrat kecil berukuran
masing-masing 32 x 20 cm2 per pohon. Luas tutupan talus diperoleh dengan
menggambar talus pada selembar plastik transparan. Gambar talus lalu digunting,
dan ditimbang menggunakan timbangan analitik, lalu dikonversi untuk
memperoleh luas tutupan talus. Parameter populasi liken yang dianalisis adalah
jumlah talus (JT), luas tutupan talus (LT), luas tutupan talus rata-rata (LTR),
kerapatan (K), kerapatan relatif (KR), dominansi (D), dominansi relatif (DR),
frekuensi (F1, F2), frekuensi relatif (FR1, FR2), dan indeks nilai penting (INP1,
INP2).
Pada penelitian ini diperoleh tujuh genus liken makro yang diidentifikasi
secara morfologi dan kimiawi. Pada plot 1 ditemukan liken Coccocarpia (1),
Leptogium (2), Parmotrema (4), Dirinaria (5), dan Physcia (6). Di plot 2 terdapat
liken Canoparmelia (3), Parmotrema (4), Dirinaria (5), Physcia (6), dan Pyxine
(7). Di plot 3 ditemukan Canoparmelia (3), Parmotrema (4), Dirinaria (5), dan
Pyxine (7). Coccocarpia (1) dan Leptogium (2) hanya ditemukan di plot 1,
membentuk cluster lokasi (A) yang terpisah jauh dengan cluster lokasi lainnya (B,
C, D) dengan jarak cluster lokasi sekitar 36% dan kedua liken memiliki kemiripan
lokasi dengan nilai bootstrap 80%. Canoparmelia (3) dan Pyxine (7) sama-sama
ditemukan di plot 2 dan 3, membentuk cluster lokasi (B) yang terpisah dengan
cluster lokasi C dan D dengan jarak cluster lokasi sekitar 22% dan kedua liken
memiliki kemiripan lokasi dengan nilai bootstrap 77%. Physcia (6) ditemukan di
plot 1 dan 2, membentuk cluster lokasi (C) sendiri yang terpisah lebih dekat
dengan cluster lokasi D dengan jarak cluster lokasi sekitar 16%. Hanya
Parmotrema (4) dan Dirinaria (5) yang ditemukan di ketiga plot, membentuk
cluster lokasi (D) dan keduanya memiliki kemiripan lokasi dengan nilai bootstrap
56%. Canoparmelia (3) dan Pyxine (7) bisa berada bersama-sama dalam satu
lokasi dengan Physcia (6), Parmotrema (4) dan Dirinaria (5), tetapi
keberadaannya tidak ditunjang oleh jarak cluster lokasi yang hanya sekitar 22%.
Secara umum, plot 2 mengandung liken makro epifitik terbanyak (JT total
= 530 talus, LT total = 1323.39 cm2). Physcia (6) merupakan liken dengan INP
tertinggi di plot 1 (INP1 = 191.7%, INP2 = 176%), sedangkan Dirinaria (5)
memiliki INP tertinggi di plot 2 (INP1 = 144%, INP2 = 145%) dan plot 3 (INP1 =
146.9%, INP 2 = 147%).
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat dibuat suatu keadaan populasi liken
makro epifitik untuk dijadikan bioindikator kualitas udara. Plot 1 yang berada
jauh dari sirkulasi lalu lintas padat dan diasumsikan memiliki kualitas udara yang
lebih baik memiliki keadaan: 1) memiliki sianoliken Coccocarpia (1) dan
Leptogium (2). Kedua liken ini tidak ditemukan di plot lain dan keberadaannya
didukung oleh data cluster lokasi kedua liken yang terpisah jauh dari cluster
lokasi liken lainnya; 2) tidak ditemukan Pyxine (7) dan Canoparmelia (3); 3)
ditemukan populasi Dirinaria (5) dalam jumlah sedikit dan jarang, namun luas
tutupan rata-rata talusnya besar-besar (JT = 5, FR1 = 3.33%, FR2 = 10%, LTR =
6.15cm2); dan 4) ditemukan Physcia (6) melimpah. Sebaliknya, plot 2 dan 3 yang
berada dekat dengan sirkulasi padat dan diasumsikan memiliki kualitas udara
yang berpolusi memiliki keadaan: 1) tidak ditemukan Coccocarpia (1) maupun
Leptogium (2); 2) ditemukan Pyxine (7) dan Canoparmelia (3) dalam jumlah
sedikit maupun banyak; 3) ditemukan Dirinaria (5) dalam jumlah banyak dan
sering, namun luas tutupan rata-rata talusnya kecil-kecil, seperti di plot 2 (LTR =
2.85 cm2) dan plot 3 (LTR = 1.16 cm2); dan 4) ditemukan Physcia(6) dalam
jumlah sedikit atau tidak sama sekali seperti di plot 3.
Keadaan populasi Parmotrema (4) di ketiga plot mempunyai pola yang
tidak jelas sehingga genus ini tidak dapat dijadikan bioindikator polusi udara. Pola
Parmotrema mungkin dapat ditemukan pada tingkat spesies. Penelitian serupa
pada pohon inang yang berbeda diperlukan untuk menguatkan keadaan populasi
liken makro epifitik tersebut di atas sehingga dapat dijadikan bioindikator kualitas
udara. Transplantasi liken indikator di ketiga plot dapat dilakukan untuk
memastikan apakah liken tersebut sebagai bioindikator sensitif atau toleran.
Kata kunci: analisis populasi, bioindikator, Bogor, pohon kenari, liken makro,
polusi udara
SUMMARY
RINDITA. Analysis of Epiphytic Macrolichens Population as a Bioindicator for
Air Quality in Bogor City, West Java. Supervised by LISDAR IDWAN
SUDIRMAN and YONNY KOESMARYONO.
Lichens are one of symbiotic organisms that are less studied in Indonesia.
In other countries, for example North America and Thailand, lichens have been
applied as bioindicator model for air pollution and also have been studied for over
forty years. This research project was conducted from March 2012 until July 2013
with the aims to: 1) record and collect epiphytic macrolichens on canary trees, 2)
analyze its population condition in three plots that were assumed to have different
level of air pollution, and 3) considering of macrolichen population to be used as a
tool for air quality monitoring in Bogor City. The sampling technique was
purposive, limited only on canary (Canarium spp.) trees in three plots: plot 1 was
the centre of Bogor Botanical Garden (BBG) that was located far from the traffic
circulation, plot 2 was the edge of BBG that was adjacent to Otto Iskandardinata
Street with intense traffic circulation, and plot 3 was along Ahmad Yani and
Pemuda streets that had intense traffic circulation and also located near PT
Goodyear Indonesia factory. In each plot, lichens were observed on eight
Canarium trees using two 32 x 20 cm2 mini quadrates per tree. Lichen covers
were obtained by drawing the whole thalli on a piece of transparent plastic. To
measure the coverage, each thallus that had been drawn was cut off and then
weighed with an analytic scale. Weighing results were converted into centimeter
squares. Ecological parameters were calculated i.e. thallus number (TN), thallus
coverage (TC), average coverage (AC), density (D), relative density (RD),
dominance (Do), relative dominance (RDo), frequencies (F1, F2), relative
frequencies (RF1, RF2), and important value index (IVI1, IVI2).
From this research, we found seven genera of macrolichens that had been
identified morphologically and chemically. Plot 1 contained Coccocarpia (1),
Leptogium (2), Parmotrema (4), Dirinaria (5), and Physcia (6). In plot 2, there
were Canoparmelia (3), Parmotrema (4), Dirinaria (5), Physcia (6), and Pyxine
(7). In plot 3, we found Canoparmelia (3), Parmotrema (4), Dirinaria (5), and
Pyxine (7). Coccocarpia (1) and Leptogium (2) were only found in plot 1, forming
a location cluster (A) that was far apart from other location clusters (B, C, D) with
about 36% of location cluster distance, and both lichens had the location similarity
with 80% of bootstrap values. Canoparmelia (3) and Pyxine (7) were found in
plot 2 and 3, forming a location cluster (B) that was separated from location
clusters of C and D with about 22% of location cluster distance, and both lichens
had the location similarity with 77% of bootstrap values. Physcia (6) was found in
plot 1 and 2, forming a single location cluster (C) that was closer separated from
location cluster D with about 16% of location cluster distance. Only Parmotrema
(4) and Dirinaria (5) were occurred in all plots, forming a location cluster (D) and
both lichens had the location similarity with 56% of bootstrap values.
Canoparmelia (3) and Pyxine (7) could be found together in one location with
Physcia (6), Parmotrema (4), and Dirinaria (5), but their presences were not
supported by location cluster distance that was only about 22%.
In general, plot 2 had the highest total thallus number (530 thalli) and total
coverage (1323.39 cm2). Physcia (6) had the highest important value index in plot
1 (IVI1 = 191.7%, IVI2 = 176%), while Dirinaria (5) had the highest important
value index in plot 2 (IVI1 = 144%, IVI2 = 145%) and plot 3 (IVI1 = 146.9%,
IVI2 = 147%).
Based on this research, a population condition of epiphytic macrolichens
was made and to be used as bioindicator of air quality. Plot 1 with location far
from intense traffic circulation and with assumption of having better air quality,
were having some conditions: 1) having Coccocarpia (1) and Leptogium (2) that
were not found in other plots, and their presence were supported by location
cluster data of both lichens that were far apart from other location clusters; 2)
none of Canoparmelia (3) and Pyxine (7) were found; 3) a few and infrequent
Dirinaria (5) was found, but with larger average coverage (TN = 5, FR1 = 3.33%,
FR2 = 10%, AC = 6.15 cm2); and 4) Physcia (6) was found abundantly.
Conversely, plot 2 and 3 with location near intense traffic circulation and with
assumption of having polluted air quality, were having some conditions: 1) none
of Coccocarpia (1) and Leptogium (2) were found; 2) few or many Canoparmelia
(3) and Pyxine (7) were found; 3) many and frequent Dirinaria (5) was found, but
with smaller average coverage as in plot 2 (AC = 2.85 cm2) and plot 3 (AC = 1.16
cm2); and 4) few or none Physcia (6) was found, as in plot 3.
Population condition of Parmotrema (4) in three plots had unclear pattern
so that it cannot be used as bioindicator of air pollution. Parmotrema (4) pattern
probably could be found at species level. Similar researches on different trees are
needed to strengthen the above epiphytic macrolichens population condition so
that it might be used as an indicator of air quality. Transplantation of indicator
lichens will be conducted in these plots to ensure whether those lichens are
sensitive or tolerant bioindicator.
Keywords: air quality, bioindicator, Bogor, canary trees, macrolichens, population
analysis
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Mikrobiologi
ANALISIS POPULASI LIKEN MAKRO EPIFITIK SEBAGAI
BIOINDIKATOR KUALITAS UDARA DI KOTA BOGOR,
JAWA BARAT
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
RINDITA
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.Si.
Judul Tesis :Analisis Populasi Liken Makro Epifitik Sebagai Bioindikator
Kualitas Udara di Kota Bogor, Jawa Barat
Nama : Rindita
NIM : G351100141
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Ir Lisdar I Sudirman
Ketua
Prof Dr Ir Yonny Koesmaryono, MS
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Mikrobiologi
Prof Dr Anja Meryandini
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian:
14 Mei 2014
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga penelitian dan tesis ini berhasil diselesaikan. Tema
yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2012 ini ialah
mikrobiologi lingkungan, dengan judul Analisis Populasi Liken Makro Epifitik
Sebagai Bioindikator Kualitas Udara di Kota Bogor, Jawa Barat.
Terima kasih dan penghargaan penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Lisdar I
Sudirman selaku ketua komisi pembimbing yang telah mendidik dan
membimbing penulis selama menjalani perkuliahan di Sekolah Pascasarjana IPB
hingga tahap penelitian tesis dan publikasi. Terima kasih juga penulis ucapkan
kepada Bapak Prof Dr Ir Yonny Koesmaryono MS selaku anggota komisi
pembimbing, atas arahan dan sarannya. Penulis juga menyampaikan terima kasih
kepada dosen penguji, Prof Dr Ir Cecep Kusmana, atas waktu dan perhatian yang
telah diberikan pada tesis ini. Di samping itu, penulis juga menyampaikan terima
kasih kepada Kebun Raya Bogor atas keleluasaan yang diberikan selama
melakukan sampling data penelitian, serta Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Kota Bogor, Dinas Kebersihan dan Pertamananan Kota Bogor, dan PT Goodyear
Indonesia atas data sekunder yang telah diberikan untuk mendukung penelitian
ini. Bantuan konsultasi, literatur, dan konfirmasi identifikasi spesimen yang
diberikan oleh Dr Harrie JM Sipman(Freie Universität Berlin, Jerman), Dr
Wanaruk Saipunkaew (Chiang Mai University, Thailand), dan Pradeep K
Divakar, PhD (Universidad Complutense, Spanyol) juga sangat membantu
penelitian ini, dan untuk itu penulis berterima kasih. Penulis juga menyampaikan
terima kasih kepada IPB yang telah memberikan dana perjalanan untuk penulis
mengikuti International Association of Lichenology 7th Symposium di Bangkok,
Thailand pada bulan Januari 2012, serta BIOTROP yang memberikan penulis
beasiswa untuk mengikuti 6th Regional Training Workshop on Biodiversity and
Conservation of Bryophytes and Lichens pada bulan Juli 2011. Dengan kedua
kegiatan tersebut, penulis memperoleh ilmu dan pengalaman berharga yang sangat
membantu dalam pengerjaan penelitian serta tesis.
Ungkapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan
kepada ayahanda Ir. Zulfikar Utama, ibunda Fitri Yusma M, suami Brillian Ilham
Prabowo, nenek Hj. Yusniar M., adik Rayandi, dan ananda Aydin Kamil
Prabowo, serta seluruh keluarga besar atas segala fasilitas, doa, dan kasih
sayangnya selama penulis menempuh perjalanan panjang dalam menyelesaikan
tesis ini. Tidak lupa penulis memberi penghargaan kepada teman-teman yang
telah membantu penulis dalam pengambilan sampel hingga penelitian di
laboratorium, sampai penyusunan tesis.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2014
Rindita
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
2 TINJAUAN PUSTAKA 3
Karakteristik Liken Makro Epifitik 3
Polusi Udara di Kota Bogor 5
Liken Sebagai Indikator Polusi Udara 6
Kelompok Liken dengan Tingkat Toleransinya 8
3 METODE 10
Lokasi dan Waktu Penelitian 10
Metode Penelitian 10
Alat dan Bahan 12
Prosedur Penelitian 12
Analisis Data 13
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 15
Keanekaragaman Liken Makro Epifitik di Pohon Kenari 15
Keadaan Populasi Liken Makro Epifitik di Ketiga Plot Penelitian 20
Populasi Liken Makro Epifitik Sebagai Bioindikator Kualitas Udara
di Ketiga Plot 22
5 SIMPULAN DAN SARAN 29
Simpulan 29
Saran 29
DAFTAR PUSTAKA 30
LAMPIRAN 34
RIWAYAT HIDUP 48
DAFTAR TABEL
1 Karakter-karakter penting untuk identifikasi liken makro 4 2 Beberapa contoh reaksi spot-test untuk mengidentifikasi genus liken
makro 5
3 Data biner kehadiran liken makro epifitik di plot 1, 2, dan 3 16 4 Perbandingan jumlah dan luas tutupan talus total famili dan genus liken
yang ditemukan di ketiga plot penelitian 19
DAFTAR GAMBAR
1 Empat macam talus liken 4 2 Kelompok liken toleran, intermediet, dan sensitif 8
3 Lokasi plot 1, 2, dan 3 di Kota Bogor 11 4 Pohon kenari (Canarium spp.) yang digunakan dalam pengambilan data
penelitian 12
5 Metode penghitungan populasi liken 13 6 Distribusi liken makro epifitik di plot 1, 2, dan 3 15 7 Dendrogram genus liken makro epifitik berdasarkan data biner 16
8 Sianoliken yang ditemukan di plot 1 17 9 Liken Parmeliaceae yang ditemukan selama penelitian 18
10 Liken Physciaceae di plot penelitian 20 11 Diagram perbandingan jumlah talus total dan luas tutupan talus total
liken makro epifitik di ketiga plot 21 12 Diagram perbandingan luas tutupan talus rata-rata liken makro epifitik
di ketiga plot 21
13 Grafik perbandingan Indeks Nilai Penting (INP) liken makro epifitik di
ketiga plot 22
14 Keadaan populasi liken makro epifitik untuk dijadikan bioindikator
kualitas udara di Kota Bogor 23 15 Grafik perbandingan populasi Canoparmelia dan Pyxine di ketiga plot 24 16 Grafik jumlah talus dan luas tutupan talus rata-rata Parmotrema dan
Dirinaria di ketiga plot 25 17 Pola luas tutupan talus Dirinaria di ketiga plot 26
18 Grafik perbandingan populasi Physcia di ketiga plot 27
DAFTAR LAMPIRAN
1 Glosarium 34
2 Data pengukuran kualitas udara dari BPLH Kota Bogor tahun 2012 35
3 Data pengukuran kualitas udara dari PT Goodyear Indonesia tahun
2012 36
4 Peta Kebun Raya Bogor 37
5 Daftar spesies dan lokasi pohon kenari (Canarium spp.) yang
digunakan dalam penelitian 40
6 Deskripsi dan identifikasi genus liken makro epifitik pada pohon kenari
(Canarium spp.) di plot 1, plot 2, dan plot 3 41
7 Rincian data liken makro epifitik pada masing-masing plot 43
8 Tabel perhitungan ekologi liken makro epifitik di plot 1, 2, dan 3 46
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Liken adalah salah satu kelompok organisme simbiosis yang telah
diketahui memiliki kesensitifan terhadap perubahan lingkungan, misalnya polusi
udara. Selama lebih dari 40 tahun, penelitian-penelitian mengenai liken dan polusi
udara telah dilakukan terutama di negara-negara di belahan bumi utara. Saat ini,
sudah banyak negara yang menggunakan liken sebagai alat biomonitoring jangka
panjang. Ribuan publikasi mengenai liken dan polusi udara telah tercatat (Bates
2002), akan tetapi penelitian mengenai liken di Asia masih belum setara dengan di
Eropa maupun Amerika. Thailand merupakan salah satu negara di Asia Tenggara
yang penelitian likennya sudah maju, contohnya penelitian yang dipublikasikan
oleh Saipunkaew et al. (2005, 2006). Sementara Indonesia masih tertinggal,
dengan sedikit peneliti yang memerhatikan liken, lebih banyak dari segi metabolit
sekunder yang dihasilkan liken contohnya penelitian Kusumaningrum et al.
(2011). Hubungan liken dengan polusi udara, seperti yang diteliti di Pekanbaru
(Nursal et al. 2005), masih sangat sedikit dilakukan. Vietnam memiliki
perkembangan yang lebih baik, dengan banyak spesies liken baru yang
dipublikasikan (Jayalal et al. 2013). Diharapkan penelitian ini dapat menambah
khasanah ilmu pengetahuan di Indonesia mengenai liken, terutama manfaatnya
terhadap lingkungan.
Aktivitas manusia sering kali menimbulkan dampak negatif bagi
ekosistem, misalnya proses urbanisasi yang terus mengalami peningkatan. Polusi
udara merupakan salah satu dampak negatif, baik sebagai dampak langsung
ataupun tidak langsung, yang berkembang dari aktivitas manusia. Produksi sulfur
dioksida (SO2) dan nitrogen dioksida (NO2) yang meningkat menjadi
kekhawatiran karena dapat merusak kesehatan manusia dan masa depan dari
ekosistem (Purvis 2000). Liken sebagai bagian dari ekosistem perlahan turut
tergeser keberadaannya dari habitat aslinya. Berbagai cara untuk mengurangi
tingkat polusi udara telah dilakukan di kota-kota besar, namun tingginya biaya
memonitor polusi udara sering kali menjadi hambatan bagi kota-kota di Indonesia
untuk meneruskan memonitor polusi udara dalam jangka waktu yang lama.
Terdapat tiga cara dasar dalam memonitor dampak polusi udara terhadap
liken, yaitu studi pemetaan distribusi, memonitor dengan foto, serta analisis
kimiawi liken (Purvis 2000). Pengamatan populasi liken dalam suatu wilayah
dapat memberikan informasi mengenai kelompok liken mana yang bertahan
ataupun yang sensitif terhadap tingkat polusi udara tertentu.
Penelitian di Kota Bogor dipertimbangkan karena wilayah ini memiliki
banyak vegetasi, sehingga permukaannya lebih basah dan cenderung lebih lembap.
Elevasi beberapa daerah di Kota Bogor seperti Cimanggu dan Baranangsiang
berada di atas 200 m.dpl. (Effendy 2007), sehingga walaupun merupakan daerah
perkotaan liken masih dapat tumbuh dengan baik. Tambahan lagi, keberadaan
Kebun Raya Bogor sebagai Ruang Terbuka Hijau memberikan kontribusi positif
untuk meredam panasnya perkotaan dan tentunya merupakan habitat yang penting
bagi liken (Sipman 2009). Akan tetapi, seiring dengan perkembangan populasi
2
penduduk maka semakin tinggi polusi udara yang dihasilkan dari aktivitas
manusia di kota ini.
Liken makro yang dipilih sebagai sampel penelitian ini dibatasi yaitu
hanya yang menempel pada pohon kenari (Canariumspp.) saja. Hal ini
dikarenakan pohon kenari merupakan salah satu jenis pohon dominan di jalan-
jalan utama Kota Bogor dan usianya sangat tua.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, dapat dirumuskan
masalah-masalah sebagai berikut:
1) Keanekaragaman hayati Indonesia sangat tinggi, akan tetapi data atau
informasi mengenai liken masih sangat minim, sehingga perlu dilakukan
penelitian-penelitian mengenai liken.
2) Polusi udara di kota-kota besar di Indonesia mengancam kesehatan
masyarakat dan juga kerusakan ekosistem, sehingga perlu dilakukan carauntuk
memonitornya, yang lebih murah dan mudah untuk diaplikasikan di banyak
wilayah.
3) Liken telah lama diteliti memiliki kesensitifan terhadap polusi udara dan
sudah dijadikan bioindikator di berbagai negara di dunia, namun Indonesia
belum memanfaatkannya. Metode analisis populasi liken sebagai indikator
polusi udara diharapkan dapat menyumbang informasi bagi pengguna.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mendata dan mengoleksi liken makro
epifitik pada pohon kenari, 2) menganalisis keadaan populasi liken makro epifitik
di tiga plot dengan tingkat polusi udara yang diasumsikan berbeda, dan 3)
menginformasikan serta mempertimbangkanpeluang penggunaan liken makro
epifitik sebagai salah satu indikator untuk memonitor kualitas udara di Kota
Bogor.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat: 1) memperkaya khasanah ilmu pengetahuan
di Indonesia serta menambah catatan keanekaragaman hayati di Kebun Raya
Bogor dengan menambah data mengenai keanekaragaman liken, dan 2)
memperkenalkan cara yang lebih murah dan mudah untuk mengetahui kualitas
udara di suatu tempat kepada masyarakat awam dan pemerintah yang terkait.
3
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Liken Makro Epifitik
Liken merupakan makhluk hidup simbiosis dari dua sampai tiga
organisme, terdiri atas ganggang hijau dan atau sianobakteria (fotobion) dan
cendawan (mikobion) berupa Ascomycota, Basidiomycota, atau Deuteromycota.
Fotobion dan mikobion tersebut terintegrasi dalam sebuah talus yang bentuknya
sangat berbeda dari bentuk masing-masing simbionnya. Klasifikasi liken
tergolong ke dalam Kingdom Fungi atau cendawan, yang jumlahnya sekitar
13.500 hingga 30.000 spesies di seluruh permukaan bumi (Purvis 2000). Estimasi
jumlah spesies tersebut belum menyeluruh disebabkan survei mengenai liken
terpusat di daerah beriklim sedang dan boreal. Daerah tropis memiliki banyak
jenis habitat yang diasumsikan memiliki keanekaragaman liken yang tinggi,
namun belum teridentifikasi karena kurangnya peneliti yang mempelajari liken.
Sehingga, jika liken di daerah tropis dieksplorasi menyeluruh maka kemungkinan
akan menggenapkan jumlah liken yang ada di dunia mendekati 100.000 spesies
(Negi 2003).
Proses likenisasi (simbiosis membentuk liken) adalah salah satu cara
cendawan yang sifatnya heterotrof untuk memperoleh nutrisi. Diperkirakan
jumlah cendawan yang membentuk liken adalah 20% dari total seluruh jumlah
cendawan, dengan lebih dari 40% termasuk kelompok askomiset (Purvis 2000).
Fotobion yang menjadi rekan cendawan berasal dari ganggang hijau dan
sianobakteria yang umumnya dapat hidup bebas maupun menjadi simbion liken.
Genus ganggang hijau yang paling umum menjadi fotobion adalah Trebouxia dan
Trentepohlia, dan terdapat banyak genus lain di antaranya Chlorella, Myrmecia,
Pleurastrum, dan Dictyochloropsis. Sianobakteri yang paling sering menjadi
fotobion adalah Nostoc, dan genus sianobakteri yang lainnya misalnya
Gloeocapsa dan Chroococcidiopsis (Purvis 2000, Nash 2008). Beberapa peneliti
di Jepang dan Amerika Utara telah membuktikan bahwa liken dapat dikulturkan di
laboratorium, dipisahkan antara mikobion dan fotobionnya. Media agar lebih baik
digunakan untuk menumbuhkan liken daripada media cair (Purvis 2000).
Umumnyaliken diklasifikasikan menjadi tiga macam talus, yaitu crustose
(seperti kerak), foliose (seperti daun), dan fruticose (seperti semak). Banyak ahli
liken menambahkan satu atau beberapa macam talus lain, dan di antaranya
terdapat bentuk squamulose (seperti sisik). Empat macam talus liken dapat dilihat
pada Gambar 1 dan istilah-istilah dalam liken dapat dilihat pada glosarium
Lampiran 1.
Liken bentuk crustose disebut sebagai liken mikro, karena ukurannya yang
kecil sehingga sering kali terlewatkan, dan membutuhkan analisis mikroskopik
untuk mengidentifikasi jenisnya. Liken foliose, fruticose, dan squamulose disebut
dengan istilah liken makro karena memiliki ukuran talus yang umumnya lebih
besar sehingga lebih mudah untuk diidentifikasi. Liken makro dapat menjadi
pembeda variasi geografis dalam distribusi jenis-jenis liken karena perubahan
antropogenik dari kondisi lingkungan (Saipunkaew et al. 2006). Sebutan epifitik
ditujukan pada liken yang menempel pada substrat berupa batang pohon, tanpa
4
mengambil nutrisi dari pohon inangnya. Istilah lain yang sering digunakan untuk
menyebut liken yang epifit adalah corticolous.
Gambar 1 Empat macam talus liken, dari kiri ke kanan: crustose (Graphidaceae),
foliose (Peltigera), fruticose (Usnea), dan squamulose (Cladonia).
Sumber: koleksi penulis yang diamati di Borneo.
Anatomi talus liken foliose terdiri atas korteks luar, lapisan fotobion,
medula, dan korteks bawah, namun beberapa jenis tidak memiliki korteks bawah.
Bagian terbesar dari talus liken adalah mikobionnya, dan fotobion hanya
menyusun sekitar 20%. Pada permukaan korteks bawah umumnya terdapat
struktur tambahan seperti rhizine, pseudocyphellae, dan cilia yang merupakan
karakter penting dalam pengidentifikasian jenis liken.
Pertumbuhan dan kolonisasi liken dipengaruhi oleh variasi kemiringan
dataran, tipe vegetasi, adanya gangguan yang disebabkan manusia, ada atau tidak
adanya cahaya, kelembapan, dan juga umur inang serta kondisi substrat (Kumar
2009). Terdapat karakter fisiologis yang unik pada liken, seperti kemampuannya
mengolonisasi habitat yang memiliki kelembapan, cahaya, dan suhu yang ekstrim.
Berbeda dengan tumbuhan, liken tidak memiliki lapisan kutikula yang melindungi
permukaan talusnya sehingga air dengan mudahnya terserap oleh talus (Nash
2008). Liken juga tidak memiliki akar sehingga hanya mengandalkan penyerapan
nutrisi dari atmosfer.
Komunitas liken makro yang terdapat pada satu jenis pohon dapat
berbeda-beda, dan tentunya tiap genus memiliki ciri khas tersendiri. Karakteristik
yang paling penting dalam pengidentifikasian liken makro ini adalah bentuk talus.
Untuk memudahkan dalam melakukan identifikasi liken foliose maka diperlukan
keterangan-keterangan mengenai bentuk lobus, rhizine dan cilia, ada atau tidak
adanya organ pseudocyphellae, korteks bagian atas, korteks bagian bawah, dan
alat reproduksi (Tabel 1).
Reaksi spot-test yang umumnya digunakan untuk mengidentifikasi
metabolit sekunder liken pertama kali dikenalkan oleh William Nylander pada
tahun 1860, yaitu dengan menggunakan larutan kalium hidroksida dan pemutih
(Purvis 2000). Reaksi kimiawi ini menyebabkan perubahan warna pada korteks
ataupun medula liken setelah ditetesi bahan kimia secara langsung menggunakan
pipet atau syringe. Pereaksi yang biasa digunakan adalah larutan kalium
hidroksida 10-15% (K), larutan kalsium hipoklorit (C) yang umumnya
menggunakan larutan pemutih segar, dan larutan paraphenylenediamine (P atau
Pd) (Wolseley dan Aguirre-Hudson [tahun tidak diketahui]). Terdapat pereaksi
lain seperti larutan KC (penggunaan K yang dengan cepat diikuti oleh C) dan
larutan kalium iodida (I) 1% (Divakar dan Upreti 2005). Korteks atas dari
beberapa genus liken Parmeliaceae seperti Bulbothrix, Canomaculina,
5
Everniastrum, Myelochroa, Parmelia, Parmelina, Parmelinopsis, Punctelia, dan
Rimelia berwarna abu-abu, yaitu mengandung atranorin. Beberapa genus seperti
Flavoparmelia, Flavopunctelia, Relicina, Relicinopsis, dan Xanthoparmelia
memiliki spesies-spesies yang mengandung asam usnic, berwarna kuning-hijau.
Genus Canoparmelia dan Parmotrema memiliki keduanya (Divakar dan Upreti
2005). Contoh reaksi spot-test dalam pengidentifikasian liken dapat dilihat pada
Tabel 2. Metode lain yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi liken adalah
microcrystallography dan thin layer chromatography (TLC) (Divakar dan Upreti
2005).
Tabel 1 Karakter-karakter penting untuk identifikasi liken makro
No. Karakter Macamnya
1 Bentuk talus foliose, fruticose, squamulose
2 Permukaan atas halus, berurat atau berpola
3 Alat reproduksi isidia, soredia, apothecia, podetia
4 Permukaan bawah Ada/tidak ada rhizine, ada/tidak ada tomentum
5 Lobus Bulat, linear, membulat
6 Rhizine Sederhana, dikotom, bercabang lebih dari dua
7 Cilia Sederhana, bulbate
8 Warna talus Abu-abu, hijau, kuning, hitam, cokelat, dan
lain-lain
Tabel 2 Beberapa contoh reaksi spot-test untuk mengidentifikasi genus liken
makro
Reaksi
Tempat
reaksi
Karakter dari Genus
K+ kuning Korteks Heterodermia, Physcia
K- Korteks Pyxine
K+ kuning, KC- Korteks Bulbothrix, Rimelia, Parmelia,
Canoparmelia
K-, KC+ kuning Korteks Relicina, Relicinopsis
K+ kuning, KC-
C+ merah muda
Korteks
Medula
Parmelinopsis
Sumber: Sipman (2003)
Polusi Udara di Kota Bogor
Polusi udara adalah perpindahan material sintetis maupun alamiah dalam
jumlah yang membahayakan ke dalam atmosfer sebagai dampak langsung
ataupun tidak langsung dari aktivitas manusia (Mackenzie 2001). Adanya
material berbahaya tersebut akan menyebabkan perubahan susunan (komposisi)
udara dari keadaan normalnya (Wardhana 2004).
Partikel-partikel polutan sangat kecil yang terlarut dalam udara sangat
membahayakan kesehatan manusia. Partikel tersebut dapat memasuki alveoulus
manusia dan menyebabkan penyakit pernafasan. Sulfur dioksida (SO2) dan
nitrogen dioksida (NO2) merupakan contoh polutan yang tersebar di perkotaan,
yang berasal dari asap dan aerosol dari pemanasan domestik, asap buangan
6
transportasi jalan raya, dan emisi transportasi jarak jauh (Zahradníková 2010).
Adapun SO2 merupakan gas penyebab iritasi yang digunakan pada banyak proses
industri, yang dihasilkan terutama dari hasil pembakaran senyawa sulfur. Emisi
dari gas SO2 danNO2akan meningkatkan ozon dan polusi yang nantinya jelas
mempengaruhi iklim melalui kenaikan suhu tahunan rata-rata (Beaven 2008).
Karbon monoksida (CO) adalah suatu gas yang tidak berwarna, tidak berbau,
dan tidak berasa, yang berasal dari pembakaran bahan bakar fosil pada mesin-
mesin penggerak transportasi (Wardhana 2004). Untuk daerah perkotaan yang
banyak kegiatan industrinya serta memiliki lalu lintas yang padat, udaranya sudah
tercemar oleh gas CO. Tambahan lagi, sebelum penggunaannya di dalam bahan
bakar bensin dilarang, logam timbal (Pb) merupakan sumber utama pencemaran di
daerah perkotaan, yaitu daerah yang kepadatan lalu lintasnya tinggi. Suatu
penelitian menyatakan bahwa korelasi kepadatan lalu lintas dengan akumulasi Pb
pada talus liken adalah cukup kuat (r2=83 %) (Nursal et al. 2005).
Secara geografis, Kota Bogor terletak di antara 106’ 48’BT dan 6’ 26’ LS
(Pemerintah Kota Bogor 2014). Belakangan, perkembangan kota yang berada di
tengah-tengah wilayah Kabupaten Bogor ini begitu pesat dan dapat diamati
melalui banyaknya pembangunan perumahan, hotel dan apartemen, serta jalan
layang. Kegiatan pembangunan tersebut akan menghasilkan polusi udara yang
semakin meningkat. Padahal Kota Bogor diketahui memiliki vegetasi yang masih
baik serta elevasi yang lebih tinggi dibandingkan kota-kota di sekitarnya (Jakarta,
Tangerang, dan Bekasi) (Effendy 2007). Melalui penelitian Santosa pada tahun
2005, kecamatan Bogor Tengah diketahui memiliki kadar pencemar udara
tertinggi. Di Pasar Bogor, kandungan SO2 adalah sebesar 18.65 µg/m3 pada
musim hujan. Kandungan SO2 yang berasal dari bahan bakar kendaraan roda
empat tersebut masih tergolong rendah (ambang batas 900 µg/m3, Lampiran 2).
Polutan yang tinggi di Pasar Bogor adalah CO, yaitu sebesar 8.13 µg/m3 pada
musim hujan dan 8.74 µg/m3 pada musim kemarau, karena kecepatan kendaraan
lambat atau sering terjadinya kemacetan di wilayah ini. Di Jalan Jenderal
Sudirman, polutan yang tinggi adalah NO2, yaitu sebesar 59.01 µg/m3 pada musim
hujan dan 62.94 µg/m3 pada musim kemarau, dikarenakan kecepatan kendaraan
lebih tinggi.
Keberadaan Kebun Raya Bogor (KRB) sebagai Ruang Terbuka Hijau
(RTH) di Kota Bogor juga semakin terancam karena pesatnya pembangunan.
Dengan demikian, lebih dari 13.684 spesimen tanaman (Pusat Konservasi
Tumbuhan Kebun Raya Bogor 2006) yang tumbuh di dalamnya juga dapat
terancam. Sayangnya, tidak ada pengukuran polusi udara yang dilakukan di dalam
KRB, sehingga kualitas udara di dalamnya tidak dapat dimonitor secara berkala
dan pasti. Hanya ada data pengukuran polusi udara yang dilakukan tahun 2007
(Yeane 2007) yang mengukur kadar CO2 yaitu sebesar 327 ppm (588.6 µg/m3),
CO 1.37 ppm (1.569 µg/m3), NO2 0.02 ppm (0.037 µg/m3), dan SO2 sebesar 0.01
ppm (0.026 µg/m3).
Liken Sebagai Bioindikator Polusi Udara
Bioindikator adalah organisme yang digunakan untuk memperoleh
informasi mengenai kualitas lingkungan. Organisme tersebut berperan untuk
mendeteksi dan mengidentifikasi dampak dari polutan dan bentuk gangguan lain
sebagai cara alternatif di samping pengukuran secara langsung (Purvis 2000).
7
Menurut Paoletti (1999), organisme yang digunakan sebagai bioindikator dapat
berupa spesies yang tidak dapat hidup normal di luar habitat hutan, yang hanya
dapat hidup di tanah pertanian, yang mampu mengakumulasi polutan di dalam
jaringan tubuhnya, atau yang bereaksi terhadap praktek manajemen lahan yang
berubah.Tumbuhan sering digunakan sebagai biondikator polusi udara karena
memiliki kesensitifan terhadap perubahan kimiawi dalam lingkungan dan juga
mampu mengakumulasi polutan (Gadzala-Kopciuch 2004). Di antara sekian
banyak spesies tumbuhan tingkat tinggi yang telah diteliti sebagai bioindikator,
bawang merah (Allium cepa L.) adalah contoh yang sensitif terhadap polusi udara
dan dijadikan bioindikator karena daunnya mampu mengakumulasi logam berat
(Atabay et al. 2011). Pinus Aleppo (Pinus halepensis Mill.) juga diketahui dapat
menjadi biondikator polusi udara, melalui analisis senyawa fenolik dan flavonoid
yang terdapat dalam daun jarumnya (Robles et al. 2003). Tumbuhan tingkat
rendah yang populer digunakan sebagai indikator logam berat adalah lumut daun
terestrial (Blagnytė dan Paliulis 2010).
Liken telah diketahui memiliki sifat sensitif terhadap perubahan
lingkungan, misalnya polusi udara. Sifat ini berhubungan dengan kemampuannya
mengakumulasi partikel-partikel yang terlarut dalam udara karena talusnya
tumbuh menahun (perenial). Liken tidak memiliki organ khusus untuk penyerapan
air seperti akar pada tumbuhan tinggi, sehingga penyerapan mineral hanya dapat
melalui permukaan talus. Karena lapisan yang melindungi talus liken hanya
berupa kutikula primitif, maka talus liken tidak dapat menghindari penyerapan
partikel-partikel secara langsung dari udara, termasuk polutan (Bates 2002, Nash
2008).
Aktivitas manusia secara tidak langsung mempengaruhi liken dengan cara
menciptakan habitat baru bagi liken, dan liken yang tidak dapat beradaptasi dapat
menjadi jarang ataupun hilang sama sekali. Sulfur dioksida (SO2), nitrogen
dioksida (NO2), dan karbon monoksida (CO) adalah contoh polutan yang
merupakan ancaman serius bagi keberadaan liken. Melalui analisis kandungan
sulfur dalam talus liken diketahui bahwa liken dapat menyerap jauh lebih banyak
kandungan polutan dari udara dibandingkan tumbuhan tingkat tinggi. Tingkat
polusi udara yang tinggi akan menyebabkan hilangnya spesies liken tertentu atau
perubahan komposisi komunitas liken, yang didahului oleh perubahan morfologi
dan fisiologis pada talus liken (Purvis 2000).
Dampak fisik bagi liken yang mengakumulasi polutan, contohnya sulfur
dioksida (SO2), misalnya terjadinya pemutihan talus (bleaching) yang diikuti oleh
hilangnya klorofil pada sel ganggang, terbentuknya pewarnaan merah atau
penghitaman sebagai hasil dari degradasi senyawa-senyawa dalam talus, dan
pertumbuhan kerdil. Talus liken juga dapat membentuk lobule, mengalami
perlambatan pertumbuhan, dan gagal membentuk tubuh buah (Purvis 2000).
Liken merupakan bioindikator yang sangat berguna karena memiliki
distribusi yang luas, membentuk talus yang perenial, berusia panjang, dan dapat
mengakumulasi unsur-unsur dari lingkungan sekitar tempat dia hidup. Liken
sangat berguna sebagai bioindikator atau biomonitor dari suatu ekosistem karena
bersifat sensitif. Spesies-spesies liken menunjukkan variasi kesensitifan terhadap
polusi udara atau penyebab kerusakan lingkungan yang lainnya. Liken makro
banyak digunakan sebagai model indikator polusi udara yang efektif karena
mudah untuk diidentifikasi dan dianalisis. Liken epifit lebih efektif daripada yang
8
litofit (hidup pada batu) karena memiliki potensi kontaminasi polutan yang lebih
besar (Purvis 2000).
Menurut Purvis (2000), memonitor dampak polusi udara menggunakan
liken dapat dilakukan dengan tiga cara dasar, yaitu studi pemetaan distribusi,
memonitor dengan foto, serta analisis kimiawi talus liken. Berkaitan dengan cara
yang pertama, yaitu pemetaan distribusi, populasi spesies-spesies liken dalam
suatu wilayah dapat diamati dan kemudian memberikan informasi mengenai
kelompok liken mana yang bertahan ataupun yang sensitif terhadap tingkat polusi
udara tertentu. Populasi diketahui sebagai kumpulan dari individu-individu suatu
spesies, dan kumpulan populasi dalam suatu area akan membentuk suatu
komunitas. Konsep populasi dan komunitas juga berlaku bagi liken (Scheidegger
dan Werth 2009; Bidlack dan Jansky 2011). Populasi suatu spesies liken makro
dari sebuah komunitas epifitik di dataran rendah dapat digunakan untuk
membedakan daerah industri dan perkotaan dengan daerah pertanian dan pedesaan
(Saipunkaew et al. 2005).
Polutan yang berasal dari udara mempengaruhi keanekaragaman dan
distribusi liken epifitik (Hauck 2011). Keanekaragaman liken yang tinggi dan
pertumbuhan yang baik merupakan indikator udara yang lebih bersih,
dibandingkan dengan daerah dengan keanekaragaman liken yang rendah dan talus
liken yang rusak (Purvis 2000). Di daerah dengan kandungan SO2 yang tinggi,
populasi liken epifitik mengalami kerusakan berat dan berkurang menjadi hanya
beberapa spesies yang toleran (Hauck 2011).
Kelompok Liken dengan Tingkat Toleransinya
Setiap jenis liken memiliki batas toleransi terhadap kerusakan lingkungan
atau dalam hal ini polusi. Banyak peneliti menggolongkan liken berdasarkan
tingkat toleransinya terhadap polusi yaitu: toleran, intermediet, dan sensitif. Jenis
yang paling sensitif diharapkan dapat ditemukan pada jarak yang jauh dari sumber
polusi, dan jenis yang tingkat toleransinya paling tinggi diperkirakan ditemukan
pada jarak yang dekat dari sumber polusi (Beaven 2008). Rangkuman kelompok
liken dengan tingkat toleransinya dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Kelompok liken toleran, intermediet, dan sensitif. Sumber: Wetmore
1989, Purvis 2000, Negi 2003, Saipunkaew et al. 2006, Beaven 2008.
Liken dari famili Physiaceae merupakan contoh liken makro yang toleran
dan dapat tersebar luas di banyak habitat. Di daerah perkotaan di Thailand bagian
utara, spesies yang mampu hidup di daerah perkotaan dengan tingkat polusi yang
TOLE
RA
N
Hyperphysciaadglutinata
Pyxine cocoes
INTE
RM
EDIE
T
Parmotrema
Dirinaria applanata
Menegazziaterebrata
SEN
SITI
F Lobaria
Sticta
Pseudocyphellaria
Usnea longissima
Parmelia cirrhata
Parmelia squarrosa
Usnea filipendula
9
tinggi adalah Pyxine cocoes. Spesies lain seperti Hyperphyscia adglutinata
keberadaannya terbatas pada daerah perkotaan yang mengandung sedikit spesies
liken. Saat ini, H. adglutinata banyak mendominasi di daerah perkotaan di Asia
Tenggara seiring dengan urbanisasi dan iklim di daerah perkotaan yang hangat
dan kering (Saipunkaew et al. 2006). Melalui penelitian tersebut, meningkatnya
liken dari famili Physiaceae dan mendominasinya H.adglutinata menunjukkan
bahwa kondisi lingkungan menjadi terganggu akibat polusi udara dan semakin
keringnya iklim.
Liken Parmotrema dari suku Parmeliaceae adalah jenis liken intermediet
yang kebanyakan ditemukan di dataran rendah dengan curah hujan yang lebih
tinggi, sedangkan Dirinaria applanata mendominasi daerah pedesaan yang
tingkat polusinya rendah (Saipunkaew et al. 2006). Spesies liken makro lain yang
tergolong intermediet adalah Menegazzia terebrata (Beaven 2008).
Liken dengan fotobion sianobakteria (sianoliken) diketahui meliputi
spesies-spesies liken yang sensitif terhadap polusi udara, seperti liken dari genus
Lobaria, Sticta, dan Pseudocyphellaria (Purvis 2000). Selain itu, Usnea
longissima dan Parmelia cirrhata hanya ditemukan di lingkungan yang bersih
(Negi 2003). Wetmore (1989) juga mendeskripsikan spesies-spesies yang sensitif
terhadap SO2, seperti Parmelia squarrosa dan Usnea filipendula. Spesies liken
yang sensitif tersebut biasanya tidak ditemukan pada habitat yang mengandung
tingkat SO2 dengan konsentrasi tahunan rata-rata mencapai 50 µg/m3.
10
METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan sejak bulan Maret 2012 hingga Juli 2013.
Pengambilan data dilakukan pada tiga plot yang ditentukan berdasarkan pada data
sekunder. Data sekunder tersebut antara lain: pengukuran kualitas udara dari
beberapa daerah di Kota Bogor menurut Santosa (2005), pengukuran kualitas
udara dari Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH) Kota Bogor (Lampiran
2), pengukuran kualitas udara dari Laboratorium Terpadu IPB atas persetujuan PT
Goodyear Indonesia (Lampiran 3), dan data lokasi pohon-pohon di Kota Bogor
dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor.
Penentuan plot dilakukan berdasarkan letaknya dari jalan raya yang juga
ditanami pohon kenari. Plot 1 dan plot 2 terletak di dalam Kebun Raya Bogor
(KRB) yang memiliki ketinggian 260 m.dpl., curah hujan 3.000-4.300 mm/tahun,
dan luas 87 hektar. Jumlah koleksi terakhir tercatat sekitar 13.684 spesimen
tanaman, namun tidak ada catatan mengenai keanekaragaman liken (Pusat
Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor 2006). Adapun plot 1 terletak di tengah
KRB yang diasumsikan sebagai daerah yang lebih bersih udaranya atau kontrol
karena letaknya jauh dari sirkulasi lalu lintas padat (Lampiran 4). Kriteria dari
kontrol atau daerah ‘bersih’ adalah bebas atau minimal sedikit pengaruh
antropogenik ataupun sumber polusi udara, mengingat tidak adanya jaminan
bahwa suatu daerah sama sekali tidak tersentuh polusi (Kularatne dan de Freitas
2012). Plot 2 masih merupakan bagian dari KRB, yaitu di bagian tepi yang secara
tidak langsung berhubungan dengan Jalan Otto Iskandardinata dengan lalu lintas
padat. Plot 3 terletak di tepi Jalan Ahmad Yani dan Jalan Pemuda yang secara
langsung berhubungan dengan sirkulasi lalu lintas yang padat dan juga berdekatan
dengan pabrik PT Goodyear Indonesia. Gambaran plot penelitian dapat dilihat
pada Gambar 3.
Identifikasi dan pengukuran tutupan liken dilakukan di Laboratorium
Mikologi, Departemen Biologi – FMIPA Institut Pertanian Bogor.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif eksploratif
dengan teknik survei. Teknik pengambilan sampel adalah purposive sampling,
dilanjutkan dengan identifikasi spesimen secara morfologi dan kimiawi. Untuk
melihat dampak polusi udara terhadap talus liken, dilakukan perbandingan
populasi, dominansi, dan frekuensi liken makro yang terdapat di ketiga lokasi
penelitian. Pada penelitian ini dilakukan metode penghitungan luas tutupan
taluslikenmenggunakan plastik transparan (Sudirman LI 2011, komunikasi
pribadi) yang mirip dengan yang dilakukan Mickle di Ohio (1977) namun
menggunakan alumunium foil.
11
Alat dan Bahan
Pada tahapan pengambilan data liken, digunakan dua buah kuadrat kecil
berukuran 32 x 20 cm2 (dua lembar plastik transparan ukuran folio) untuk
mengambil sampel persatu batang pohon kenari. Adapun rincian spesies dan
lokasi pohon kenari yang digunakan dalam penelitian ini tercantum dalam
Lampiran 5. Untuk identifikasi di lapangan digunakan lup. Kebutuhan
pengambilan sampel liken untuk koleksi dan pengamatan morfologi memerlukan
kantong sampel, pisau lipat, dan kamera digital. Pengukuran suhu udara
menggunakan termometer dan kelembapan menggunakan higrometer.
Gambar 3 A. Lokasi plot 1, 2, dan 3 di Kota Bogor, B. Perbesaran plot 3 untuk
menunjukkan lokasi pohon kenari di plot 3 (pohon 32, 33, 36, 37, 40,
41, 44, 45).
Plot 2
Plot 3
A
Plot 1
36
41
40 37
44 45
33
32
B
12
Identifikasi liken di laboratorium menggunakan mikroskop stereo dan
mikroskop cahaya disertai dengan buku atau kunci identifikasi liken (Sipman
2003; Divakar dan Upreti 2005; Wolseley dan Aguirre-Hudson [tahun tidak
diketahui]). Pengidentifikasian dilakukan secara kimiawi menggunakan spot test
reagents berupa larutan KOH 10% dan pemutih “Bayclin”. Pengukuran berat
tutupan talus liken menggunakan timbangan analitik. Pengamatan morfologi liken
menggunakan lup dan mikroskop stereo.
Prosedur Penelitian
Pohon kenari (Canarium spp.) atau yang dikenal sebagai genus kedondong
merupakan kelompok pohon berkayu keras, berasal dari Indo-Cina dan Cina
(PROSEA 1995). Pada setiap plot penelitian dipilih pohon kenari yang memiliki
keliling lebih besar dari 60 cm (Saipunkaew et al. 2006). Kriteria batang tegak
tidak dapat digunakan sebagai persyaratan karena sebagian sampel pohon kenari
memiliki akar banir yang tinggi. Pada setiap plot dipilih sebanyak 8 pohon kenari
dengan spesies yang beragam (Lampiran 5). Total pohon sampel dari ketiga plot
penelitian berjumlah 24 pohon. Dengan demikian, total luas kuadrat sampel tiap
plot menjadi 10.240 cm2 (((32 x 20 cm2) x 2 buah kuadrat) x 8 pohon).
Pengambilan sampel liken menggunakan kuadrat yang diletakkan pada
batang pohon yang paling banyak ditutupi oleh liken, baik di akar banir maupun
di batang utama. Akar banir kenari yang dijadikan sampel bervariasi, bisa pendek
dan juga bisa sangat tinggi melebihi tinggi manusia. Misalnya di Jalan Kenari di
dalam KRB (plot 1) telah ditanami pohon kenari yang berasal dari Maluku sejak
lebih dari 100 tahun (Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor 2006),
sehingga tinggi akar banirnya melebihi kepala pengunjung. Keragaman pohon
kenari yang dijadikan sampel dapat dilihat pada Gambar 4. Pada satu pohon
kenari diletakkan dua buah kuadrat dan setiap liken makro yang tercakup dalam
kuadrat diamati dan dihitung jumlah talusnya. Tutupan liken diukur dengan
menggambar seluruh talus liken yang tercakup dalam kuadrat di selembar plastik
transparansi ukuran folio (Gambar 5).
Gambar 4 Pohon kenari (Canarium spp.) yang digunakan dalam pengambilan
data penelitian: a. tanpa akar banir (plot 1), b. dengan akar banir
pendek (plot 2), dan c. dengan akar banir tinggi (plot 3).
a b c
13
Koleksi liken dibuat dengan menggunakan kantong sampel. Sampel yang
dikoleksi disesuaikan dengan kebutuhan, tidak berlebihan mengingat
pertumbuhan liken yang sangat lambat. Data pendukung turut diambil seperti
diameter tiap pohon, arah mata angin, temperatur, dan kelembapan udara di
sekitar pohon kenari.
Identifikasi dilakukan di dalam laboratorium menggunakan lup dan
mikroskop stereo. Identifikasi sering kali harus dilakukan hingga tahap anatomi
dan diamati di bawah mikroskop cahaya. Karakter-karakter yang telah diamati
dicocokkan dengan buku atau kunci identifikasi. Dokumentasi foto di bawah
mikroskop dilakukan dengan menggunakan kamera digital. Untuk spesies yang
tidak dapat diidentifikasi hanya secara morfologi, dapat diuji dengan spot test
reagents untuk melihat reaksi K+ atau C+.
Talus-talus yang telah digambar saat pengambilan sampel kemudian
digunting dan ditimbang dengan timbangan analitik (Gambar 5). Hasil timbangan
(dalam gram) dikonversi menjadi luas (dalam cm2) berdasarkan luas plastik 1 cm2
yang beratnya 0.0149 gr.
Gambar 5 Metode penghitungan populasi liken. (a) metode kuadrat, tanda panah
menunjukkan plastik transparansi yang digunakan untuk
menggambar tutupan talus. (b) gambar talus liken. (c)talus liken
digunting, dan ditimbang (d).
Analisis Data
Pada penelitian ini dilakukan penghitungan jumlah talus (JT), luas tutupan
talus (LT), dan luas tutupan talus rata-rata (LTR). Selain itu, beberapa parameter
ekologi seperti kerapatan (K), kerapatan relatif (KR), dominansi (D), dominansi
relatif (DR), frekuensi 1 (F1), frekuensi 2 (F2), frekuensi relatif 1 (FR1), frekuensi
relatif 2 (FR2), indeks nilai penting 1 (INP1), dan indeks nilai penting 2 (INP2)
juga diukur. Persamaan-persamaannya diperoleh dari literatur (Dietrich dan
Scheidegger 1997; Rugayah et al. 2004; Smith dan Smith 2007) dengan
modifikasi sebagai berikut:
B C
a
b
c d
14
1. Luas tutupan talus rata-rata genus A pada plot pengamatan (LTR)
= luas tutupan genus A
jumlah talus genus A
2. Kerapatan genus A pada plot pengamatan (K)
= jumlah talus genus A
luas kuadrat total pada semua pohon di plot pengamatan
3. Kerapatan relatif genus A pada plot pengamatan (KR)
= kerapatan genus A x 100%
kerapatan total seluruh genus yang ditemukan
4. Dominansi genus A pada plot pengamatan (D)
= luas tutupan genus A
luas kuadrat total pada semua pohon di plot pengamatan
5. Dominansi relatif genus A pada plot pengamatan (DR)
= dominansi genus A x 100%
dominansi total seluruh genus yang ditemukan
6. Frekuensi 1 genus A pada plot pengamatan (F1, berdasarkan jumlah talus)
= jumlah talus genus A
jumlah talus total liken pada plot pengamatan
7. Frekuensi 2 genus A pada plot pengamatan (F2, berdasarkan jumlah pohon)
= jumlah perjumpaan genus A
jumlah pohon total pada plot pengamatan
8. Frekuensi relatif 1 genus A pada plot pengamatan (FR1, berdasarkan jumlah
talus)
= frekuensi 1 genus A x 100%
frekuensi total seluruh genus yang ditemukan
9. Frekuensi relatif 2 genus A pada plot pengamatan (FR2, berdasarkan jumlah
pohon)
= frekuensi 2 genus A x 100%
frekuensi total seluruh genus yang ditemukan
10. Indeks nilai penting 1 seluruh liken pada tiap plot pengamatan (INP1)
= kerapatan relatif + dominasi relatif + frekuensi relatif 1
11. Indeks nilai penting 2 seluruh liken pada tiap plot pengamatan (INP2)
= kerapatan relatif + dominasi relatif + frekuensi relatif 2
Analisis cluster menggunakan program MEGA 5.05 metode UPGMA
(Unweighted Pair Group Method with Arithmetic Mean) dengan bootstrap 1000
kali dilakukan untuk mengetahui kesamaan dan perbedaan liken makro
berdasarkan lokasi ketiga plot penelitian.
15
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keanekaragaman Liken Makro Epifitik di Pohon Kenari
Identifikasi spesimen dilakukan hanya sampai nama genus. Identifikasi
tidak dilakukan sampai nama spesies karena kunci identifikasi liken di daerah
tropis masih sangat minim dan kunci identifikasi liken untuk daerah subtropis
sering tidak cocok digunakan untuk daerah tropis. Melalui penelitian ini,
ditemukan tujuh genus liken makro epifitik pada pohon kenari yang termasuk ke
dalam empat famili sebagai berikut: Coccocarpiaceae meliputi Coccocarpia Pers.
(1), Collemataceae meliputi Leptogium (Ach.) Gray (2), Parmeliaceae meliputi
Canoparmelia Elix & Hale (3) dan Parmotrema Mass.(4), serta Physciaceae
meliputi Dirinaria (Tuck.) Clem.(5), Physcia (Schreb.) Michx. (6), dan Pyxine Fr.
(7). Gambar 6 menunjukkan distribusi liken makro epifitik pada ketiga plot.
Deskripsi ketujuh genus berdasarkan kunci identifikasi disajikan pada Lampiran 6.
Pada plot 1 ditemukan liken Coccocarpia (1), Leptogium (2), Parmotrema (4),
Dirinaria (5), dan Physcia (6). Di plot 2 terdapat liken Canoparmelia (3),
Parmotrema (4), Dirinaria (5), Physcia (6), dan Pyxine (7). Di plot 3 ditemukan
Canoparmelia (3), Parmotrema (4), Dirinaria (5), dan Pyxine (7). Dengan
demikian, hanya Parmotrema (4) dan Dirinaria (5) yang ditemukan di ketiga plot.
Liken dengan fotobion berupa sianobakteria (sianoliken), Coccocarpia (1) dan
Leptogium (2), hanya ditemukan di plot 1 yang jauh dari sirkulasi lalu lintas padat.
Physcia (6) ditemukan di plot 1 dan 2, namun tidak terdapat di plot 3.
Canoparmelia (3) dan Pyxine (7) terdapat di plot 2 dan 3 yang dekat dengan
sirkulasi lalu lintas padat.
Gambar 6 Distribusi liken makro epifitik di plot 1, 2, dan 3.
Berdasarkan kehadiran masing-masing genus liken makro epifitik di tiap
plot, dibuat data biner seperti pada Tabel 3. Selanjutnya, melalui analisis cluster
program MEGA 5.05 dengan metode UPGMA (Unweighted Pair Group Method
with Arithmetic Mean) menggunakan bootstrap 1000 kali diperoleh dendrogram
seperti pada Gambar 7.
Plot 1
1
2
Plot 3Plot 2
1. Coccocarpia (1)
2. Leptogium (2)
3. Canoparmelia (3)
4. Parmotrema (4)
5. Dirinaria (5)
6. Physcia (6)
7. Pyxine (7)
4, 5
6
6
3,7
16
Tabel 3 Data biner kehadiran liken makro epifitik di plot 1, 2, dan 3
Nomor Genus Notasi
Plot 1 Plot 2 Plot 3
1 Coccocarpia 1 0 0
2 Leptogium 1 0 0
3 Canoparmelia 0 1 1
4 Parmotrema 1 1 1
5 Dirinaria 1 1 1
6 Physcia 1 1 0
7 Pyxine 0 1 1
Keterangan: 1 = Ditemukan; 0 = Tidak Ditemukan
Hasil analisiscluster lokasi genus liken makro dikelompokkan menjadi 4
cluster lokasi (A, B, C, D) dan dapat dilihat pada Gambar 7. Cluster lokasi
pertama (A) yaitu Coccocarpia (1) dan Leptogium (2) terpisah jauh dengan cluster
lokasi lainnya (B, C, D) dengan jarak lokasi sekitar 36% dan kedua liken memiliki
kemiripan lokasi dengan nilai bootstrap 80%. Cluster lokasi A menunjukkan
kekhasan liken Coccocarpia (1) dan Leptogium (2). Canoparmelia (3) dan Pyxine
(7) yang sama-sama ditemukan di plot 2 dan 3 membentuk cluster lokasi kedua
(B) yang terpisah dengan cluster lokasi C dan D dengan jarak cluster lokasi
sekitar 22% dan kedua liken memiliki kemiripan lokasi dengan nilai bootstrap
77%. Physcia (6) yang ditemukan di plot 1 dan 2 membentuk cluster lokasi
sendiri (C) yang terpisah lebih dekat dengan cluster lokasi D dengan jarak cluster
lokasi sekitar 16%. Parmotrema (4) dan Dirinaria (5) yang ditemukan di ketiga
plot membentuk cluster lokasi keempat (D) dan keduanya memiliki kemiripan
lokasi dengan nilai bootstrap 56%. Canoparmelia (3) dan Pyxine (7) bisa berada
bersama-sama dalam satu lokasi dengan Physcia (6), Parmotrema (4) dan
Dirinaria (5), tetapi keberadaannya kurang ditunjang oleh jarak cluster lokasi
sekitar 22%.
Gambar 7 Dendrogram genus liken makro epifitik berdasarkan data biner.
(4)
(5)
(6)
(3)
(7)
(1)
(2)
A
B
C
D
17
Sianoliken seperti Coccocarpia (1) dan Leptogium (2) kerap hanya
ditemukan di daerah dengan kualitas udara yang baik dan lembap karena sensitif
terhadap proses pengasaman dari polusi udara (Cameron dan Richardson 2006)
sehingga tidak ditemukan di daerah dengan lalu lintas padat seperti pada plot 2
dan 3. Proses pengasaman dari polutan (SO2) dapat menghambat aktivitas
nitrogenase pada talus sianoliken (Sipman 2009). Liken Coccocarpia (1)
merupakan salah satu bentuk liken foliose yang cukup mudah untuk dikenali di
lapangan karena lobus-lobusnya yang kecil membulat dengan warna talus abu-abu
kebiruan sebagai refleksi dari sianobakteri yang menyusun talusnya. Jika diamati
lebih teliti di bawah mikroskop, tampak annual rings atau striasi konsentris pada
tepi permukaan atas lobus (Gambar 8A). Liken makro Leptogium (2) juga mudah
dikenali di lapangan karena talusnya tipis seperti kertas namun jika dalam keadaan
basah akan menjadi seperti gelatin, serta berwarna gelap (Gambar 8B). Lobus-
lobusnya berukuran cukup besar dan jika dibuat sayatan melintang lalu diamati di
bawah mikroskop akan memperlihatkan cellular layer pada bagian korteks atas
(Sipman 2003).
Kehadiran liken Parmeliaceae lebih banyak terdapat di daerah pegunungan
(Saipunkaew et al. 2005) dan daerah dengan curah hujan yang tinggi (Saipunkaew
et al. 2006). Hanya Parmotrema (4) dan Canoparmelia (3) sebagai anggota
Parmeliaceae yang ditemukan pada penelitian ini. Di Kebun Raya Cibodas,
genusliken Parmeliaceae yang ditemukan seperti Everniastrum, Hypotrachyna,
Parmelia, Parmelinella, Relicina, dan Rimelia (Rindita 2007).
Gambar 8 Sianoliken yang ditemukan di plot 1: A. Coccocarpia (1) dengan
annual rings pada lobusnya (tanda panah), B. Leptogium (2) memiliki
satu cellular layer (tanda panah).
Canoparmelia (3, Gambar 9A) sepintas sulit dibedakan dari kelompok
liken Parmeliaceae lainnya, yaitu dengan karakteristik liken foliose yang
A
B
B
18
menempel longgar dari substratnya, mempunyai korteks bawah berwarna gelap,
talus berwarna abu-abu pucat hingga kuning-kehijauan, dan memiliki lobus-lobus
khas serta rhizine sebagai alat menempel. Namun, jika diamati di bawah
mikroskop stereo, genus ini memiliki karakter khusus yaitu rhizinenya tunggal
atau bercabang tidak beraturan yang tersebar dari tepi korteks bawah hingga ke
bagian tengah. Kemudian, jika dilakukan uji kimiawi yaitu menggunakan larutan
KOH 10% dan pemutih, maka akan menghasilkan reaksi K+kuning dan KC- yang
artinya spesimen mengandung senyawa atranorin. Tambahan lagi, permukaan atas
talusnya tidak memiliki pseudocyphellae, namun terdapat alat perkembangbiakan
vegetatif berupa soralia farinose atau isidia (Sipman 2003). Pada penelitian ini
ditemukan C. texana di plot 3 yang memiliki talus berwarna abu-abu kekuningan,
permukaan atas halus hingga kasar berkerut di bagian tengah, bagian tengah talus
yang melekat erat pada substrat, serta medula yang berwarna putih (Divakar dan
Upreti 2005).
Berbeda dengan Canoparmelia (3), bagian tepi dari korteks bawah
Parmotrema (4) bersih dari rhizine dan pada penelitian ini ditemukan P. tinctorum
(Nyl.) Hale di plot 1 dan plot 2 (Gambar 9B). P. tinctorum memiliki lobus lebar,
struktur reproduksi berupa isidia, korteks bawah berwarna hitam di bagian tengah
dan cokelat di bagian tepi, dengan rhizine yang jarang, pendek atau panjang di
bagian tengah talus. Jika talusnya sedikit disayat, maka akan tampak medula
berwarna putih. Reaksi spot-test larutan pemutih (C) pada medula menghasilkan
warna merah (C+merah), yang artinya positif mengandung asam lecanoric
(Sipman 2003; Divakar dan Upreti 2005) (Lampiran 6).
Gambar 9 Liken Parmeliaceae yang ditemukan selama penelitian: A.
Canoparmelia (3) dan B. Parmotrema (4).
Dari ketiga plot penelitian, Dirinaria (5), Physcia (6), dan Pyxine (7)
merupakan liken makro epifitik yang memiliki jumlah talus total yang mencapai
ratusan talus dengan luas tutupan talus total yang besar (Tabel 4). Ketiga genus
liken tersebut adalah anggota famili Physciaceae. Liken Parmeliaceae yang
ditemukan, yaitu Canoparmelia (3) dan Parmotrema (4), memiliki jumlah talus
yang jauh lebih sedikit dan luas tutupan talus total yang lebih kecil (Tabel 3).
Hasil ini mirip dengan yang terjadi di Thailand, yaitu liken dari famili
Physciaceae lebih menyebar luas di dataran rendah dan daerah perkotaan,
sedangkan Parmeliaceae lebih banyak terdapat di daerah pegunungan
(Saipunkaew et al. 2005). Secara umum, liken Physciaceae memperoleh
keuntungan dari nitrogen terfiksasi yang sering ditemukan di daerah perkotaan
(Sipman 2009), dan oleh karenanya kelompok liken ini disebut liken nitrophilous
A B
19
(Opdyke 2011). Namun, hasil penelitian di Singapura menunjukkan hal yang
berbeda yang tidak diketahui penyebabnya, yaitu jumlah liken Physciaceae
mengalami penurunan (Sipman 2009).
Tabel 4 Perbandingan jumlah dan luas tutupan talus total family dan genus liken
yang ditemukan di ketiga plot penelitian
Liken makro yang ditemukan Jumlah talus total
seluruh plot (talus)
Luas tutupan talus
total seluruh plot
(cm2) Famili Genus
Coccocarpiaceae Coccocarpia (1) 5 52.23
Collemataceae Leptogium (2) 21 364.41
Parmeliaceae Canoparmelia (3) 12 81.43
Parmotrema (4) 24 197.81
Subtotal 36 279.24
Physciaceae Dirinaria (5) 462 970.51
Physcia (6) 284 435.55
Pyxine (7) 263 649.11
Subtotal 1009 2055.17 Keterangan: Data dihitung dari 16 kuadrat per plot yang luasnya 10.240 cm2
Walaupun banyak dan sering ditemukan, spesimen liken Physciaceae
yang hidup di ketiga plot penelitian sering kali mengalami kerusakan atau tidak
memiliki apotesia sehingga sulit dibedakan secara morfologi. Di antara ketiga
genus, Physcia (6) mudah dibedakan dari Dirinaria (5) dan Pyxine (7) karena
talusnya melekat longgar pada substratnya. Di bawah mikroskop stereo, tampak
bahwa alat pelekat Physcia (6) adalah rhizine dan memiliki korteks bawah
berwarna putih. Liken Physcia (6) sangat penting dalam mempelajari hubungan
liken dengan kualitas udara. Banyak morfospesies dari Physcia (6) yang
ditemukan pada penelitian ini, namun dalam kondisi yang kurang baik. Salah satu
spesies yang berkembang baik di plot 1 adalah P.atrostriata Moberg. (Gambar
10A, Lampiran 6).
Dirinaria (5) dan Pyxine (7) sulit dibedakan secara morfologi, karena talus
keduanya melekat erat pada substrat (Gambar 10B), sehingga untuk
memastikannya perlu dilakukan identifikasi di bawah mikroskop stereo. Karakter
Dirinaria (5) yaitu memiliki alat pelekat bukan rhizine, melainkan hapters (Elix
2009; Wolseley dan Aguirre-Hudson [tahun tidak diketahui]). Dirinaria (5) dan
Pyxine(7) akan lebih mudah dibedakan dengan melakukan spot test reagents,
yaitu meneteskan larutan KOH 10% pada permukaan talus keduanya. Umumnya
jenis-jenis Dirinaria (5) memiliki senyawa atranorin pada korteks bagian atas,
sehingga akan berwarna kuning (K+) setelah diteteskan larutan KOH 10%. Pyxine
(7) umumnya menunjukkan reaksi negatif (K-) setelah diteteskan KOH 10%
(Sipman 2003). Berdasarkan beberapa penelitian, liken Dirinaria (5) bersifat
toleran terhadap polusi udara sehingga banyak ditemukan di daerah perkotaan
(Nursal et al. 2005; Saipunkaew et al. 2006).
Pyxine (7) dapat diidentifikasi setelah melakukan reaksi kimiawi pada talus
(Gambar 10C). Reaksi setelah diteteskan larutan KOH 10% adalah K-, yang
artinya tidak mengandung senyawa atranorin atau mengandung lichexanthone
(Sipman 2003). Pyxine cocoes (Sw.) Nyl. yang ditemukan dalam penelitian ini
6
3
7
20
(Lampiran 6) merupakan liken yang toleran terhadap polusi di daerah perkotaan
dan industri (Savillo 2003; Saipunkaew et al. 2005; Rout et al. 2010).
Gambar 10 Liken Physciaceae di plot penelitian: A. Physcia (6), contohnya
P. atrostriata yang melimpah di plot 1, B. Dirinaria (5) yang
melekat erat pada substrat dan dominan di plot 2 serta 3, dan C.
Pyxine (7) yang dominan di plot 3.
Daerah yang memiliki cukup banyak liken foliose mengindikasikan
kondisi yang baik untuk pertumbuhan liken (Yazici dan Aslan 2006). Kota Bogor
tampak masih mendukung pertumbuhan liken dengan ditemukannya beragam
liken foliose, bahkan di plot yang diasumsikan berpolusi. Distribusi liken makro
dapat merefleksikan kualitas udara di suatu tempat. Akan tetapi, variasi liken juga
dipengaruhi oleh faktor iklim (Nash 2008, Kumar 2009).
Keadaan Populasi Liken Makro Epifitik di Ketiga Plot Penelitian
Rincian data jumlah talus (JT) dan luas tutupan talus (LT) liken makro
epifitik di tiap plot dilampirkan dalam Lampiran 7. Perhitungan ekologi yang
meliputi jumlah talus, luas tutupan talus, luas tutupan talus rata-rata (LTR),
kerapatan (K), kerapatan relatif (KR), dominansi (D), dominansi relatif (DR),
frekuensi 1 (F1), frekuensi 2 (F2), frekuensi relatif 1 (FR1), serta frekuensi relatif
2 (FR2) dari tiap genus yang ditemukan dijabarkan dalam Lampiran 8. Indeks
nilai penting 1 (INP1) dan indeks nilai penting 2 (INP2) liken makro epifitik pada
tiap plot juga dihitung.
Berdasarkan data-data yang telah dihitung, keadaan populasi liken makro
epifitik di ketiga plot dapat dijelaskan. Secara umum untuk semua liken makro
epifitik yang ditemukan, jumlah talus total dan luas tutupan talus total liken makro
paling besar berada di plot 2, yaitu berturut-turut 530 talus dan 1323.4 cm2
(Gambar 11). Luas tutupan talus rata-rata liken makro epifitik di plot 2 adalah 2.5
cm2 (Gambar 12), yang diperoleh dari luas tutupan talus total dibagi dengan
jumlah talus total. Plot 1 memiliki jumlah talus total yang lebih kecil dari plot 2
dan plot 3, yaitu 150 talus, akan tetapi luas tutupan talus totalnya lebih besar dari
plot 3. Artinya, walaupun di plot 1 terdapat paling sedikit jumlah talus liken
namun masing-masing liken yang ditemukan memiliki luas tutupan talus rata-rata
yang besar (LTR = 5.1 cm2, Gambar 12). Plot 3 yang memiliki jumlah talus lebih
banyak dari plot 1 ternyata luas tutupan talus rata-ratanya hanya 1.69 cm2 per
talus.
A B C
21
Gambar 11 Diagram perbandingan jumlah talus total dan luas tutupan talus total
liken makro epifitik di ketiga plot. Data dihitung dari 16 kuadrat per
plot yang luasnya 10.240 cm2.
Gambar 12 Diagram perbandingan luas tutupan talus rata-rata liken makro epifitik
di ketiga plot. Data dihitung dari 16 kuadrat per plot yang luasnya
10.240 cm2.
Plot 2 terletak di KRB bagian tepi, yang memiliki akses lebih dekat
dengan jalan raya berikut polusi udara di sekitarnya. Akan tetapi, plot ini lebih
terbuka dan memungkinkan cahaya lebih banyak untuk pertumbuhan liken
daripada di plot 1, sehingga memungkinkan beberapa kelompok liken tumbuh
lebih baik. Di hutan beriklim sedang di India, pohon Quercus semecarpifolia di
hutan berkanopi terbuka memiliki tutupan liken yang maksimum (70%),
sedangkan di hutan berkanopi tertutup hanya memiliki tutupan 40% (Kumar
2009). Namun, jumlah talus total yang besar dan luas tutupan talus total yang luas
dari liken makro epifitik di plot 2 tidak menunjukkan bahwa pertumbuhannya
lebih baik dari liken di plot 1, karena luas tutupan rata-rata tiap talusnya lebih
kecil dibandingkan dengan liken di plot 1. Dampak dari polutan dapat menjadi
penyebab menyusutnya luas tutupan liken (Bates 2002).
765.32
1323.4
662.34
150
530
391
0
100
200
300
400
500
600
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
Plot 1 Plot 2 Plot 3
Jum
lah
Tal
us
Tota
l (t
alu
s)
Lu
as T
utu
pan
Tal
us
Tota
l (c
m2)
Jumlah Talus Total dan Luas Tutupan Talus Total Liken
Makro Epifitik Pada Pohon Kenari di Ketiga Plot
5.1
2.5
1.69
0
2
4
6
8
10
12
Plot 1 Plot 2 Plot 3Lu
as T
utu
pan
Tal
us
Rat
a-R
ata
(cm
2)
Luas Tutupan Talus Rata-Rata Liken Makro Epifitik di
Ketiga Plot
Luas tutupan talus rata-rata
Jumlah talus total Luas tutupan talus total
22
Gambar 13 menunjukkan perbandingan Indeks Nilai Penting (INP) yang
dimiliki masing-masing genus liken makro epifitik di ketiga plot. Pada plot 1,
liken yang memiliki INP tertinggi adalah Physcia (6) yaitu mencapai 192%,
diikuti dengan Leptogium (2) yang memiliki INP sebesar 75.7%. Liken yang
memiliki INP tertinggi di plot 2 adalah Dirinaria (5), yaitu mencapai 144%,
kemudian diikuti dengan Physcia (6) yang memiliki INP sebesar 73.9%. Dirinaria
(5) juga merupakan liken makro epifitik dengan INP tertinggi di plot 3, yaitu
mencapai 147%, lalu Pyxine (7) menyusul tidak jauh di bawahnya dengan INP
mencapai 135%.
Gambar 13 Grafik perbandingan Indeks Nilai Penting (INP) liken makro epifitik
di ketiga plot. INP 1 = indeks nilai penting dengan frekuensi liken
berdasarkan jumlah talus. Genus liken 1 = Coccocarpia, 2 =
Leptogium, 3 = Canoparmelia, 4 = Parmotrema, 5 = Dirinaria, 6 =
Physcia, dan 7 = Pyxine.
Populasi Liken Makro Epifitik Sebagai Bioindikator Kualitas Udara di
Ketiga Plot
Berdasarkan data keadaan populasi liken makro epifitik yang ada pada
Lampiran 8, dibuat suatu diagram tentang liken makro epifitik yang berpeluang
sebagai bioindikator. Setiap genus liken makro memiliki kesensitifan yang
berbeda terhadap tingkat polusi udara sehingga membentuk komunitas yang
beragam di setiap plot penelitian. Gambar 14 adalah gambaran suatu keadaan
populasi liken makro epifitik pada plot 1 yang jauh dari sirkulasi lalu lintas padat
serta plot 2 dan 3 yang dekat dengan sirkulasi lalu lintas padat.
Plot 1
Plot 2
Plot 30
20
40
60
80
100
120
140
160
180
200
1 2 3 45
67
Ind
ek
s N
ila
i P
en
tin
g 1
(%
)
Genus Liken
Indeks Nilai Penting Liken Makro Epifitik di Ketiga Plot
Plot 1 Plot 2 Plot 3
23
Gambar 14 Keadaan populasi liken makro epifitik untuk dijadikan bioindikator
kualitas udara di Kota Bogor.
Beberapa genus liken hanya ditemukan di plot 1, yaitu Coccocarpia (1)
dan Leptogium (2), dan dikatakan sebagai liken yang sensitif. Kedua liken ini
tidak ditemukan di plot lain dan keberadaannya didukung oleh data cluster lokasi
keduanya yang terpisah jauh dari cluster lokasi yang lainnya. Walaupun plot 1
memiliki jumlah talus total dan luas tutupan talus total liken makro epifitik yang
lebih kecil daripada di plot 2 (Gambar 11), ditemukannya sianoliken di plot 1
dapat dijadikan bioindikator kualitas udara karena di KRB bagian dalam jauh dari
sirkulasi lalu lintas padat. Bagian dari plot 1 yang terletak di Jalan Kenari II KRB
memiliki pohon-pohon kenari dengan kanopi yang lebih lebar daripada di plot 2,
serta suhu udara berkisar antara 29-31oC dan kelembapan antara 62-98 %. Habitat
seperti ini lebih cocok untuk pertumbuhan lumut, paku, anggrek, dan tumbuhan
tinggi epifit lain, tetapi menyisakan sedikit tempat untuk liken (Kumar 2009). Di
Oregon dan Washington, sianoliken berkontribusi hanya 24% dari total
keragaman spesies liken, yang banyak di antaranya merupakan spesies langka.
Menurut Geiser dan Neitlich (2007), sianoliken rentan terhadap pengaruh polusi
udara. Di hutan Mediterania, sianoliken dihubungkan dengan intensitas
manajemen hutan yang rendah, tutupan semak belukar yang tinggi, dan lereng
yang lebih curam (Aragón et al. 2010). Leptogium (2) yang merupakan liken
makro epifitik paling dominan di plot 1 (DR = 47.6%) dikenal sangat sensitif
terhadap kontaminasi udara di Eropa. Liken ini populasinya menurun di Singapura
dan dapat menjadi tanda-tanda berubahnya kualitas udara (Sipman 2009). Dengan
demikian, keberadaan KRB di Kota Bogor menjadi sangat penting, terutama
untuk habitat liken yang sensitif, seperti halnya keberadaan kebun raya di
Singapura (Sipman 2010).
Plot 1
1) Ditemukan sianoliken
Coccocarpia (1) dan Leptogium (2)
2) Tidak ditemukan Canoparmelia (3)
dan Pyxine (7)
3) Ditemukan Dirinaria (5)dalam jumlah sedikit dan
jarang, namun luas tutupan rata-rata talusnya besar-besar
4) Ditemukan Physcia (6) yang
melimpah
Plot 2 dan Plot 3
1) Tidak ditemukan sianoliken
Coccocarpia (1) danLeptogium (2)
2) Ditemukan Canoparmelia (3) dan
Pyxine (7) dalam jumlah sedikit maupun banyak
3) Ditemukan Dirinaria(5) dalam jumlah banyak dan sering, namun luas
tutupan rata-rata talusnya kecil-kecil
4) ditemukan Physcia (6)dalam jumlah sedikit atau
tidak sama sekali
24
Beberapa genus liken ditemukan pada plot 2 dan plot 3 saja, yaitu
Canoparmelia (3) dan Pyxine (7), yang dapat ditemukan dalam jumlah sedikit
maupun banyak (Gambar 15). Ditemukannya kedua genus ini di plot 2 dan 3
menguatkan asumsi bahwa kedua plot tersebut adalah plot berpolusi, karena kedua
genus ini diketahui merupakan liken yang toleran terhadap polusi udara. Salah
satu spesies Canoparmelia (3) yang ditemukan dalam penelitian ini yaitu
C.texana (Tuck.) Elix & Hale dipelajari sebagai spesies yang toleran terhadap
polusi udara (Fuga et al. 2008; Barbosa et al. 2010). Di Brazil, spesies ini diteliti
sebagai bioindikator polusi udara yang berasal dari elemen radionuklida alami
dan berasal dari rare earth element (REEs) (Leonardo et al. 2014), dan juga
polutan yang berasal dari industri timah serta timbal (Leonardo et al. 2011). Di
plot 3, INP Canoparmelia (3) lebih besar (INP1 = 16.91%, INP2 = 23.4%)
daripada di plot 2 (INP1 = 1.003%, INP2 = 7.29%) (Gambar 15).
Gambar 15 Grafik perbandingan populasi Canoparmelia (3) dan Pyxine (7) di
ketiga plot. KR = kerapatan relatif, DR = dominansi relatif, FR1 =
frekuensi relatif berdasarkan jumlah talus, INP1 = indeks nilai
penting dengan frekuensi liken berdasarkan jumlah talus.
Salah satu spesies Pyxine (7) yang ditemukan dalam penelitian ini, yaitu
Pyxine cocoes, yang dominan di plot 3 dandiketahui merupakan liken yang toleran
terhadap polusi udara (Savillo 2003; Rout et al. 2010; Danesh et al. 2013; Shukla
et al. 2014). Peneliti liken di India menggunakan spesies ini untuk menentukan
kualitas udara di suatu wilayah, dengan cara menganalisis kandungan pigmen
klorofil di dalam talusnya (Rout et al. 2010). Frekuensi P.cocoes meningkat
seiring dengan meningkatnya kegiatan transportasi, dan talusnya dapat
mengakumulasi logam berat hingga 97% (Shukla et al. 2014). Begitu juga halnya
dengan di Filipina, P.cocoes dominan di daerah perkotaan yang dekat dengan
sirkulasi transportasi yang padat, dan sulit ditemukan di daerah yang jarang dilalui
kendaraan (Savillo 2003). Namun di India, P.cocoes ditemukan baik di daerah
kontrol maupun daerah dengan sirkulasi transportasi yang padat, akan tetapi
kondisi talusnya lebih baik di daerah kontrol (Danesh et al. 2013). Pada penelitian
ini, indeks nilai penting Pyxine (7) jauh lebih tinggi di plot 3 (INP1 = 134.8%,
INP 2 = 120%) daripada di plot 2 (INP1 = 60.8%, INP2 = 49%) (Gambar 14). Jika
melihat kerapatan, dominansi, dan frekuensi Pyxine (7) serta Canoparmelia (3)
yang lebih tinggi di plot 3, maka dapat diprediksikan bahwa plot 3 memiliki
020406080
100120140160
Plot 1 Plot 2 Plot 3 Plot 1 Plot 2 Plot 3
Canoparmelia Pyxine
Per
sen
tase
(%
)
Perbandingan Populasi Canoparmelia dan Pyxine
di Ketiga Plot
KR DR FR1 INP1
25
tingkat polusi yang lebih tinggi dibandingkan di plot 2. Selain itu, plot 3 memiliki
temperatur yang lebih tinggi (30-33oC) dan kelembapan yang lebih rendah (60-
74%) dibandingkan plot 2 (suhu = 27-31oC, kelembapan 71-93%). Terlebih lagi,
plot 3 terletak persis di tepi jalan raya, sedangkan plot 2 masih di dalam KRB dan
tidak berhubungan langsung dengan jalan raya. Akan tetapi, diperlukan data
pengukuran kualitas udara dan sampel lebih banyak untuk memastikan hal
tersebut.
Parmotrema (4) dan Dirinaria (5) merupakan liken yang toleran karena
ditemukan di semua plot. Jumlah talus dan luas tutupan talus rata-rata
Parmotrema paling besar di plot 2 (JT = 16, LTR = 11.84 cm2), namun JT dan
LTR Parmotrema baik di plot 1 maupun 3 sama-sama kecil (Gambar 16). Tidak
ada pola perubahan berurutan JT dan LTR dari plot 1 sampai plot 3 (meningkat
atau menurun) yang jelas dari Parmotrema menjadikan genus ini tidak dapat
dijadikan indikator. Identifikasi sampai tingkat spesies kemungkinan berpeluang
memberikan informasi yang lebih akurat, mengingat spesies P.tinctorum Nyl.
(Hale) yang ditemukan di plot 1 dan 2 adalah liken yang sensitif terhadap polusi
udara (Ohmura et al. 2009). Sebaliknya, Dirinaria (5) menunjukkan pola
penyusutan luas tutupan talus rata-rata dari plot 1 (LTR = 6.15 cm2) ke plot 2
(LTR = 2.58 cm2) dan plot 3 (LTR = 1.16 cm2) (Gambar 17). Di plot 1, Dirinaria
(5) ditemukan dalam jumlah sedikit (JT = 5), jarang (FR1 = 3.33%, FR2 = 10%),
akan tetapi luas tutupan rata-rata talusnya besar-besar. Di plot 2 dan 3, Dirinaria
(5) ditemukan dalam jumlah banyak (JT = berturut-turut 243 dan 214 talus),
sering (FR1 berturut-turut 45.85% dan 54.73%), namun luas tutupan rata-rata
talusnya kecil-kecil.
Gambar 16 Grafik jumlah talus dan luas tutupan talus rata-rata Parmotrema (4)
dan Dirinaria (5) di ketiga plot. Keterangan: Data dihitung dari 16
kuadrat per plot yang luasnya 10.240 cm2.
Pada penelitian yang dilakukan Nursal et al. (2005), Dirinaria (5) juga
ditemukan pada pohon-pohon di depan Jalan Jenderal Sudirman Pekanbaru
dengan kepadatan lalu lintas kategori tinggi yang setelah dianalisis mengandung
akumulasi timbal (Pb) rata-rata sebanyak 7.75 ppm (65.677 µg/m3) (baku mutu 2
ppm atau setara dengan 16.949 µg/m3). Dirinaria applanata ditemukan di semua
0
50
100
150
200
250
300
02468
101214161820222426283032343638
Plot 1 Plot 2 Plot 3 Plot 1 Plot 2 Plot 3
Parmotrema Dirinaria
Jum
lah
Tal
us
Lu
as T
utu
pan
Tal
us
Rat
a-R
ata
(cm
2)
Jumlah Talus dan Luas Tutupan Talus Rata-Rata Parmotrema
dan Dirinaria di Ketiga Plot
Jumlah talus Luas tutupan talus
26
lokasi penelitian Saipunkaew et al. (2006) di Thailand bagian utara, mulai dari
daerah pedesaan hingga daerah perkotaan dengan tingkat polusi rendah. Tetapi
tidak ada data luas tutupan rata-rata talus seperti yang diukur dalam penelitian ini.
Gambar 17 Pola luas tutupan talus Dirinaria (5) di ketiga plot, ditandai dengan
simbol D. Luas tutupan talus rata-rata di plot 1 6.15 cm2 (A), menurun
di plot 2 yaitu 2.58 cm2 (B), dan di plot 3 sebesar 1.16 cm2 (C).
Genus Physcia (6) juga menunjukkan sifat sensitif terhadap polusi udara
dan dengan demikian dapat juga dijadikan sebagai genus indikator, karena
ditemukan di plot 1 dan 2 namun tidak ditemukan di plot 3. Berdasarkan data
yang diperoleh, keadaan populasi Physcia (6) di plot 1 lebih besar daripada di plot
2. Kerapatan relatif, dominansi relatif, frekuensi relatif, dan indeks nilai penting
Physcia (6) lebih tinggi di plot 1 daripada di plot 2 (Gambar 18). Namun, tidak
ditemukannya Physcia (6) di plot 3 tidak dapat dijelaskan mengingat genus ini
adalah anggota famili Physciaceae yang banyak terdapat di daerah perkotaan.
Identifikasi Physcia (6) sampai tingkat spesies kemungkinan berpeluang
memperoleh pola populasi yang lebih jelas, karena spesies-spesies Physcia (6)
memiliki kesensitifan yang berbeda terhadap polutan. Di Serbia, P. tenella
merupakan liken yang paling sensitif sedangkan P. adscendens merupakan liken
toleran (Stamenkovićet al. 2010). Di Argentina, Physcia (6) merupakan liken
resisten yang ditemukan dengan jumlah apotesia yang meningkat (Estrabou et al.
2004). Pada penelitian ini sedikit sekali ditemukan apotesia dari Physcia (6), baik
di plot 1 maupun plot 2.
A B C
D
D
Pohon 11
Barat Pohon 6
Timur
D D
D
D
D D
D
Pohon 44
Barat
27
Gambar 18 Grafik perbandingan keadaan populasi Physcia (6) di ketiga plot. KR
= kerapatan relatif, DR = dominansi relatif, FR1 = frekuensi relatif
berdasarkan jumlah talus, INP1 = indeks nilai penting dengan
frekuensi liken berdasarkan jumlah talus.
Berdasarkan data pengukuran kualitas udara bulan September 2012 dari
PT Goodyear Indonesia, kandungan sulfur dioksida (SO2) di sekitar Jalan Pemuda
adalah 55 µg/m3 dan nitrogen dioksida (NO2) adalah 11 µg/m3 (pengukuran bulan
September 2012, siang hari) (Lampiran 3). KRB tidak memiliki data pengukuran
kualitas udara, sehingga untuk menentukan plot 2 yang diasumsikan berpolusi
digunakan data pengukuran kualitas udara tahun 2012 dari BLH Kota Bogor
(Lampiran 2). Pengukuran kualitas udara terdekat dari plot 2 adalah di sekitar
putaran BTM Jl. Ir. H. Juanda dengan kandungan SO2 34.5 µg/m3 dan di
perempatan Hotel Pangrango 2 sebesar 22.04 µg/m3. Kandungan NO2 di putaran
BTM Jl. Ir. H. Juanda adalah 48.12 µg/m3 dan di perempatan Hotel Pangrango 2
adalah 30.13 µg/m3. Dari data sekunder tidak dapat diketahui secara jelas
kandungan polusi tiap plot, dikarenakan tidak ada kualitas udara di plot 1 dan 2.
Namun, tingkat polusi udara yang terkandung di sekitar plot 2 dan di plot 3
memang masih jauh di bawah baku mutu (SO2 = 900 µg/m3; NO2 = 400 µg/m3).
Banyak kota-kota besar di Korea saat ini memiliki kandungan SO2 yang rendah,
sehingga SO2 diasumsikan bukan lagi sebagai polutan yang membatasi
penyebaran liken seperti pada tahun 1980. Sebaliknya, NO2yang jumlahnya
meningkat sejak sekitar 20 tahun belakangan tampak mempengaruhi komposisi
dan kekayaan spesies liken, karena banyak ditemukan spesies liken nitrophilic
atau toleran (Ahn et al. 2011).
Melalui analisis keadaan populasi liken, kualitas udara di plot 1, 2, dan 3
bisa diprediksikan dan sebenarnya bisa dibandingkan dengan data pengukuran
kualitas udara dengan metode fisik. Dominansi dari sebuah spesies atau taksa
liken relatif dapat dijadikan indikator tingkat polusi udara (LeBlanc dan Rao
1975) dan analisis keadaan populasi liken makro epifitik berpeluang menjadi cara
lain untuk memonitor kualitas udara di Kota Bogor karena pengukuran kualitas
udara yang dilakukan oleh pemerintah setempat hanya terbatas pada titik-titik
tertentu saja. Bahkan, Kebun Raya Bogor yang merupakan paru-paru kota tidak
memiliki data kualitas udara. Selain itu, pemonitoran kualitas udara menggunakan
liken makro epifitik dapat menjadi efektif dan lebih murah dibandingkan
0
50
100
150
200
250
Plot 1 Plot 2 Plot 3
Physcia
Per
sen
tase
(%
)
Perbandingan Populasi Physcia di Ketiga Plot
KR DR FR1 INP1
28
pengukuran kandungan polutan dengan alat fisik. Transplantasi liken yang sensitif,
seperti Coccocarpia (1) dan Leptogium (2), juga dapat dilakukan untuk melihat
dampak kerusakan yang disebabkan oleh polusi udara pada talus liken (Hale 1983,
Picotto et al. 2011). Tidak hanya yang sensitif, seluruh liken indikator juga dapat
ditransplantasi di ketiga plot untuk memastikan apakah liken tersebut sebagai
bioindikator sensitif atau toleran.
29
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Dari hasil penelitian ini, ditemukan 7 genus liken makro epifitik pada pohon
kenari (Canarium spp.) yang berada di tiga plot penelitian di Kota Bogor, Jawa
Barat. Ketujuh genus tersebut adalah: Coccocarpia (1), Leptogium (2),
Canoparmelia (3), Parmotrema (4), Dirinaria (5), Physcia (6), dan Pyxine (7).
Pada plot 1 yang jauh dari sirkulasi padat ditemukan Coccocarpia (1) dan
Leptogium (2), tidak ditemukan Canoparmelia (3) dan Pyxine (7), ditemukan
Dirinaria di plot 1 dalam jumlah sedikit dan jarang (JT = 5, FR1 = 3.33%, FR2 =
10%), namun luas tutupan rata-rata talusnya besar-besar (LTR = 6.15 cm2), dan
ditemukan Physcia dalam jumlah melimpah. Sebaliknya, pada plot 2 dan plot 3
yang dekat dengan sirkulasi transportasi padat tidak ditemukan Coccocarpia (1)
dan Leptogium (2), ditemukan Canoparmelia (3) dan Pyxine(7) dalam jumlah
sedikit (di plot 2) maupun banyak (di plot 3), ditemukan Dirinaria dalam jumlah
banyak (JT plot 2 = 243, JT plot 3 = 214) dan sering (FR1 plot 2 = 45.85%, FR1
plot 3 = 54.73%), namun luas tutupan rata-rata talusnya kecil-kecil (LTR plot 2 =
2.58 cm2, LTR plot 3 = 1.16 cm2), dan ditemukan Physcia (6) dalam jumlah
sedikit (di plot 2) atau bahkan tidak ditemukan sama sekali (di plot 3). Genus
Parmotrema tidak dapat dijadikan indikator kualitas udara karena tidak
menunjukkan pola perubahan populasi yang jelas. Identifikasi sampai spesies
kemungkinan berpeluang menghasilkan pola yang lebih baik.
Saran
Liken makro epifitik dan keadaan populasinya dapat diperkenalkan kepada
siswa-siswi SMU untuk digunakan dalam memonitor kualitas udara, melalui
pelatihan ataupun modul seperti yang dilakukan di Malaysia (Samsudin et al.
2013) dan di Thailand. Penelitian-penelitian serupa perlu dilakukan di Bogor
untuk melihat kesamaan pola populasi liken, tetapi pada jenis pohon yang
berbeda.Untuk memperoleh hasil yang lebih spesifik, spesimen liken perlu
diidentifikasi sampai ke tingkat spesies dalam penelitian-penelitian selanjutnya.
Transplantasi liken indikator di ketiga plot dapat dilakukan untuk memastikan
apakah liken tersebut sebagai biondikator sensitif atau toleran.
30
DAFTAR PUSTAKA
Ahn C, Chang E, Kang H. 2011. Epiphytic macrolichens in Seoul: 35 years after
the first lichen study in Korea. J. Ecol. Field Biol. 34(4):381-
391.doi:10.5141/JEFB.2011.040.
Aragón G, Martínez I, Izquierdo P, Belinchón R, Escudero A. 2010. Effects of
forest management on epiphytic lichen diversity in Mediterranean forests.
Appl. Veg. Sci. 13:183-194.
Atabay MM, Kekillioğlu A, Arslan M. 2011. Heavy metal accumulations of
Allium cepa L. as a bioindicator for air pollution in Ereğli, Turkey. Afr. J.
Agric. Res. 6(30):6432-6439.
Barbosa SB, Machado SR, Marcelli MP. 2010. Thallus anatomy of Canoparmelia
texana (Parmeliaceae, lichenized Ascomycota). Biota Neotrop. 10(3):149-
154.
Bates JW. 2002. Effects on bryophytes and lichens. In: Bell JNB, Treshow M
(eds.). Air Pollution and Plant Life. 2nd ed. London: John Wiley & Sons,
Ltd. p 309-342.
Beaven A. 2008. Epiphytic lichen growth and diversity as bioindicators of air
quality at Watershed Park in Olympia, WA.
Bidlack JE, Jansky SH. 2011. Stern’s Introductory Plant Biology. Edition Twelve.
McGraw – Hill, New York.
Blagnytė R, Paliulis D. 2010. Research into heavy metals pollution of atmosphere
applying moss as bioindicator: a literature review. Environ. Res., Eng.
Manage.4(54):26-33.
Cameron RP, Richardson DHS. 2006. Occurrence and abundance of epiphytic
cyanolichens in protected areas of Nova Scotia, Canada. Opusc.
Philolichenum 3:5-14.
Danesh N, Puttaiah ET, Basavarajappa BE. 2013. Studies on diversity of lichen,
Pyxine cocoes to air pollution in Bhadravathi town, Karnataka, India. J.
Environ. Biol. 34:579-584.
Dietrich M, Scheidegger C. 1997. Frequency, diversity and ecological strategies
of epiphytic lichens in the Swiss central plateau and the pre-alps.
Lichenologist 29(3):237-258.
Divakar PK, Upreti DK. 2005. Parmelioid Lichens In India (A Revisionary Study).
Dehra Dun: Bishen Singh Mahendra Pal Singh.
Effendy S. 2007. Keterkaitan Ruang Terbuka Hijau dengan Urban Heat Island
wilayah Jabotabek [disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Elix JA. 2009. Dirinaria. Fl. Australia 57:509-517.
Estrabou C, Stiefkens L, Hadid M, RodrÍguez, Pérez A. 2004. Effects of air
pollutants on morphology and reproduction in four lichen species in
Córdoba, Argentina. Ecol. Bolivia, 39(2):33-45.
Fuga A, Saiki M, Marcelli MP, Saldiva PHN. 2008. Atmospheric pollutants
monitoring by analysis of epiphytic lichens. Environ. Pollut. 151 (2):334-
340.doi:10.1016/j.envpol.2007.06.041.
Gadzala-Kopciuch R, Berecka B, Bartoszewicz J, Buszewski B. 2004. Some
considerations about bioindicators in environmental monitoring. Pol. J.
Environ. Stud. 13 (5):453-462.
31
Geiser LH, Neitlich PN. 2007. Air pollution and climate gradients in western
Oregon and Washingtonindicated by epiphytic macrolichens. Environ.
Pollut. 145:203-218.
Hale ME. 1983. The Biology of Lichens. Victoria: Edward Arnold.
Hauck M. 2011. Site factors controlling epiphytic lichen abundance in northern
coniferous forests. Review. Flora 206:81-90.doi:10.1016/j.flora.2010.02.
001.
Jayalal U, Aptroot A, Nguyen TT, Dzung NA, Joshi S, Oh SO, Hur JS. 2013.
Further additions to the macrolichen mycota of Vietnam. Mycotaxon
124:51-59.
Kularatne KIA, de Freitas CR. 2012. Epiphytic lichens as biomonitors of airborne
heavy metal pollution. Environ. Exp. Bot. 88:24-32.doi:10.1016/j.
envexpbot.2012.02.010.
Kumar B. 2009. Macrolichens cover and their distribution pattern on two common
phorophytes (Quercus semecarpifolia and Rhododendron arboreum) in a
temperate forest of Rudraprayag District Grahwal (Uttrarkhand), India.
Nat. Sci. 7(3):13-16.
Kusumaningrum IK, Suwarso WP, Cahyana AH. 2011. Screening for bioactive
compound group in Parmotrematinctorum’s extract and bioactivity test of
dichloromethane extract as anti-tuberculosis against Mycobacterium
tuberculosis H37RV and toxicity against Artemia salina. Sci. J. UBU
2(1):53-59.
LeBlanc F, Rao DN. 1975. Effects of air pollutants on lichens and bryophytes. Di
Dalam: Mudd JB, Kozlowski TT, editor. Responses of Plants To Air
Pollution. New York (US): Academic Press. hlm 237 – 271.
Leonardo L, Mazzilli BP, Damatto SR, Saiki M, Maria S, de Oliviera B. 2011.
Assessment of atmospheric pollution in the vicinity of a tin and lead
industry using lichen species Canoparmelia texana. J. Environ. Radioact.
102(10): 906-910.
Leonardo L, Damatto SR, Gios BR, Mazzilli BP. 2014. Lichen species
Canoparmelia texana as bioindicator of environmental impact from the
phosphate fertilizer industry of São Paulo, Brazil. J. Radioanal Nucl.
Chem. 299:1935-1941.doi:10.1007/s10967-013-2887-y.
Levelink J, Mawdsley A, Rijnberg T. 1996. Four Guided Walks Bogor Botanic
Garden. Bogor: PT. Bogorindo Botanicus.
Mackenzie A, Ball AS, Virdee SR. 2001. Ecology. Oxford: BIOS Scientific
Publishers Ltd.
Mickle JE. 1977. A comparison of cover and distribution of corticolous macro-
epiphytes in three woodlots in and north of Colombus Ohio. Ohio J. of Sci.
77 (8):146-148.
Nash III T. 2008. Lichen Biology. Cambridge (GB): Cambridge University Press.
Negi HR. 2003. Lichens: A valuable bioresource for environmental monitoring
and sustainable development. Resonance, January:51-58.
Nursal, Firdaus, Basori. 2005. Akumulasi timbal (Pb) pada talus lichenes di kota
Pekanbaru. Biogenesis 1(2):47-50.
Ohmura Y, Kawachi M, Kasai F, Sugiura H, Ohtara K, Kon Y, Hamada N. 2009.
Morphology and chemistry of Parmotrema tinctorum (Parmeliaceae,
32
Lichenized Ascomycota) transplanted into sites with different air pollution
levels. Bull. Natl. Mus. Nat. and Sci., Ser. B 35(2):91-98.
Opdyke MR, Dolney BE, Frost LL, Roy JD. 2011. A study of epiphytic lichen
communities in urban and rural environments in southwestern
Pennsylvania. J. Pa. Acad. Sci. 85(4):151-158.
Paoletti MG. 1999. Using bioindicators based on biodiversity to assess landscape
sustainability. Agric. Ecosyst. Environ. 74:1–18.
Pemerintah Kota Bogor. 2014. Letak Geografis Kota Bogor [Internet]. Bogor
(ID): Pemerintah Kota Bogor; [diunduh 2014 Juni 18]. Tersedia pada:
www.kotabogor.go.id/sekilas-bogor/letak-geografis.
Piccotto M, Bidussi M, Tretiach M. 2011. Effects of the urban environmental
conditions on the chlorophyll a fluorescence emission in transplants of
three ecologically distinct lichens. Environ. Exp. Bot. 73:102-107.doi:10.
1016/j.envexpbot.2010.09.010.
PROSEA. 1995. Plant Resources of South East Asia 5. Bogor (ID): Prosea
Foundation.
PT. Goodyear Indonesia. 2012. Rencana Pengelolaan Lingkungan dan Rencana
Pemantauan Lingkungan (RKL dan RPL) Periode IV. Bogor: PT
Goodyear Indonesia.
Purvis W. 2000. Lichens. Washington DC: Smithsonian Institution Press.
Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor. 2006. Sekilas Kebun Raya
Bogor. Bogor (ID): Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor –
LIPI.
Rindita. 2007. Keanekaragaman liken makro epifitik yang terdapat pada pohon
Eucalyptus, Pinus, dan Altingia di Kebun Raya Cibodas, Jawa Barat
[skripsi]. Jakarta (ID): Universitas Negeri Jakarta.
Robles C, Greff S, Pasqualini V, Garzino S, Bousquet-Mélou, Fernandez C,
Korboulewsky N, Bonin G. 2003. Phenols and flavonoids in Aleppo pine
needles as bioindicators of air pollution. J. Environ. Qual. 32:2265-2271.
Rout J, Singha B, Upreti DK. 2010. Pigment profile and chlorophyll degradation
of Pyxine cocoes lichen: A comparative study of the different degree of
disturbance in Cachar District, Assam. Assam Univ. J. Sci. Technol.: Biol.
Environ. Sci. 5(1):85-88.
Rugayah, Widjaja EA, Praptiwi. 2004. Pedoman Pengumpulan Data
Keanekaragaman Flora. Bogor (ID): Pusat Penelitian Biologi – LIPI.
Samsudin MW, Daik R, Abas A, Meerah TSM, Halim L. 2013. Environmental
learning workshop: Lichen as biological indicator of air quality and impact
on secondary students’ performance. Int. Educ. Stud. 6(6):28-34.doi:10.
5539/ies.v6n6p28.
Saipunkaew W, Wolseley PA, Chimonides PJ. 2005. Epiphytic lichens as
indicators of environmental health in the vicinity of Chiang Mai city,
Thailand. Lichenologist 37(4):345-356.
Saipunkaew W, Wolseley PA, Chimonides PJ, Boonpragob K. 2006. Epiphytic
macrolichens as indicators of environmental alteration in northern
Thailand. Environ. Pollut. 146(2):366-374.
Santosa I. 2005. Model penyebaran pencemar udara dari kendaraan bermotor
menggunakan metode volume terhingga: studi kasus di Kota Bogor
[disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
33
Savillo I. 2003. The common abundance of Pyxine cocoes (Swartz) Nyl. In district
parks of Iloilo City, Philippines. Tersedia pada http://www.geocities.com/
lichens_airquality/index.htm.
Scheidegger C, Werth S. 2009. Conservation strategies for lichens: Insights from
population biology. Fungal Biol. 23:55-66.doi:10.1016/j.fbr.2009.10.003.
Shukla V, Upreti DK, Bajpai R. 2014. Lichens to Biomonitor the Environment.
India: Springer.
Sipman H. 2003. Key to the lichen genera of Bogor, Cibodas and Singapore.
Tersedia pada http://www.bgbm.org/sipman/keys/ Javagenera.htm
Sipman HJM. 2009. Tropical urban lichens: observations from Singapore. Blumea
54:297-299.doi:10.3767/000651909X476328.
Sipman HJM. 2010. A Conspectus of the Lichens (Lichenized Fungi) of
Singapore. Gard. Bull. Singapore 61 (2):437-481.
Smith RL, Smith TM. 2007. Elements of Ecology. San Fransisco (US): Benjamin
Cummings.
Stamenković S, Cvijan M, Aranjelović M. 2010. Lichens as bioindicators of air
quality in Dimitrovgrad (South-Eastern Serbia). Arch. Biol. Sci. 62
(3):643-648.doi: 10.2298/ABS10036435.
Wardhana WA. 2004. Dampak Pencemaran Lingkungan. Penerbit ANDI,
Yogyakarta.
Wetmore CM. 1989. Lichens and air quality in White Mountain National Forest
Wilderness Areas. Final Report. Botany Department, University of
Minnesota. St.Paul. Minnesota.
Wolseley P, Aguirre-Hudson B. Lichens of Tropical Forests in Thailand. A field
key to characteristic epiphytic species in northern Thailand. The Darwin
Initiative.
Yazici K, Aslan A. 2006. Distribution of epiphytic lichens and air pollution in the
city of Trabzon, Turkey. Bull. Environ. Contam. Toxicol. 77:838-845.
Yeane CI. 2007. Respon lumut kerak pada vegetasi pohon sebagai indikator
pencemaran udara di Kebun Raya Bogor dan Hutan Manggala Wana
Bhakti [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Zahradníková M. 2010. Does the traffic flow affect the lichen diversity? A case
study from the Novohradské hory Mts, Czech Republic. Acta Univ. Carol.
Environ. 1-2:27-44.
34
Lampiran 1 Glosarium (Sumber: Sipman 2003; Divakar dan Upreti 2005;
Wolseley dan Aguirre-Hudson [tahun tidak diketahui])
Annual rings = striasi halus konsentris yang terdapat di tepi lobus Coccocarpia
Apothecia = alat perkembangbiakan seksual liken, berupa askokarp berbentuk
mangkok atau piring yang terbuka, memperlihatkan himenium
yang matang
Atranorin = substansi kimiawi liken yang menghasilkan reaksi warna P-, K+
kuning, C-, KC-
Bulbate = bentuk cilia yang biasanya terdapat pada genus Bulbothrix, yaitu
cilia dengan bagian pangkal yang membengkak
Cellular layer= satu lapis sel-sel yang lebar dan memiliki dinding, terdapat pada
bagian korteks atas talus Leptogium yang dipotong melintang
Cilia = perkembangan dari talus liken yang letaknya di tepi atau atas
talus, berupa struktur seperti rambut atau benang berwarna hitam
yang merupakan kumpulan hifa
Corticolous = komunitas liken yang menempel pada batang pohon
Crustose = bentuk talus liken yang menempel erat dengan substrat seperti
kerak
Farinose = ditutupi oleh serbuk-serbuk
Foliose = bentuk talus liken seperti lembaran daun, dapat dibedakan antara
korteks bawah dan korteks atas
Fruticose = bentuk talus liken seperti semak, dengan lobus-lobus yang
bercabang, silindris maupun pipih
Hapter = suatu organ perlekatan pada substrat yang bentuknya seperti
penghisap, terdapat pada talus Dirinaria
Isidia = alat perkembangbiakan aseksual berupa struktur silindris hingga
globular berkorteks, mengandung sel fotobion dan hifa mikobion,
terletak di permukaan talus
Lobule = alat perkembangbiakan vegetatif, berupa bagian dari lobus
Lobus = bagian membulat dari talus liken foliose
Podetia = bagian fruticose dari beberapa spesies liken yang memiliki talus
dimorfik, adalah struktur yang merupakan perpanjangan dari
apotesium dan bentuknya seperti tangkai
Pseudo- = karakter tambahan pada korteks talus, berupa titik-titik yang
cyphellae tidak tertutupi korteks sehingga memperlihatkan bagian medula
Rhizine = struktur perkembangan dari korteks bawah liken foliose, seperti
benang dan terdiri atas kumpulan hifa, berfungsi sebagai alat
perlekatan pada substrat
Soralia = bagian khusus pada talus liken yang menghasilkan soredia
Soredia = butir-butir seperti tepung yang terdapat pada permukaan talus
Squamulose = bentuk talus liken dengan bagian seperti sisik
Tomentum = lapisan hifa yang berbulu, terletak di permukaan korteks bawah
37
Lampiran 4 Peta Kebun Raya Bogor yang difoto dari poster di Kebun Raya
Bogor
Keterangan:
Plot 1:
P1a: VI E 22 A (letak pohon 2, 4, dan 5)
P1b: Jalan Kenari II (letak pohon 7, 8, 11, 13, dan 14)
Plot 2:
P2a: XIX E 83 (letak pohon 6)
P2b: Dekat pintu 1(letak pohon 18, 19, 20, 23, 24, 28, dan 30)
P1a
P1b
P2a
P2b
38
Perbesaran peta KRB untuk menunjukkan lokasi pohon kenari di plot P1a (pohon
2, 4, 5), P1b (pohon 7, 8, 11, 13, 14), dan P2a (pohon 6), sumber: Levelink et al.
1996
2
4 5
7
8
11
13
14
6
39
Perbesaran peta KRB untuk menunjukkan lokasi pohon kenari di plot P2b (pohon
18, 19, 20, 23, 24, 28, 30), sumber: Levelink et al. 1996
19
20
23
24
18
28
30
40
Lampiran 5 Daftar spesies dan lokasi pohon kenari (Canarium spp.) yang
digunakan dalam penelitian
A. Plot 1
Lokasi
pada peta
No.
Pohon
Nama Spesies Lokasi
P1a
2 Canarium asperum Benth VI E 22A, KRB bagian dalam
4 Canarium acutifolium (DC)
Merr. var. acutifolium
VI E 24, KRB bagian dalam
5 Canarium acutifolium (DC)
Merr. var. acutifolium
KRB bagian dalam
P1b
7 Canarium indicum L. Jl. Kenari II
8 Canarium indicum L. Jl. Kenari II
11 Canarium indicum L. Jl. Kenari II
13 Canarium indicum L. Jl. Kenari II
14 Canarium indicum L. Jl. Kenari II
B. Plot 2
Lokasi
pada peta
No.
Pohon
Nama Spesies Lokasi
P2a 6 Canarium
pseudodecumanum Hochr
XIX E 83, berbatasan dengan
Jalan Otista
P2b
18 Canarium indicum L. Dekat Pintu 1
19 Canarium indicum L. Dekat Pintu 1
20 Canarium indicum L. Dekat Pintu 1
23 Canarium indicum L. Dekat Pintu 1, di depan kolam
besar
24 Canarium indicum L. Dekat Pintu 1, di depan kolam
besar
28 Canarium indicum L. Dekat Pintu 1
30 Canarium indicum L. Dekat Pintu 1
C. Plot 3
No. Pohon Nama Spesies Lokasi
32 Canarium indicum L. Jalan Pemuda
33 Canarium indicum L. Jalan Pemuda
36 Canarium indicum L. Jalan Pemuda – Jalan Ahmad Yani
(depan pom bensin Total)
37 Canarium indicum L. Jalan Ahmad Yani
40 Canarium indicum L. Jalan Ahmad Yani
41 Canarium indicum L. Jalan Ahmad Yani
44 Canarium indicum L. Jalan Ahmad Yani
45 Canarium indicum L. Jalan Ahmad Yani
Lam
pira
n 6
Des
krip
si d
an id
entif
ikas
i gen
us li
ken
mak
ro e
pifit
ik p
ada
poho
n ke
nari
(Can
ariu
m sp
p.) d
i plo
t 1, p
lot 2
, dan
plo
t 3.
Tal
us
Kis
aran
W
arna
T
alus
Perm
ukaa
n A
tas T
alus
Pe
rmuk
aan
Baw
ah
Tal
us
Pele
kata
n pa
da
subs
trat
Rhizi
ne
Saya
tan
mel
inta
ng
Ala
t re
prod
uksi
di
tem
ukan
Rea
ksi
Kim
ia
Nam
a G
enus
•
•
•
•
• •
Le
ptog
ium
•
•
•
•
•
•
•
Coc
coca
rpia
•
•
•
• •
•
•
•
•
•
•
Parm
otre
ma
•
•
•
•
• •
• •
•
• •
•
• C
anop
arm
elia
•
•
•
•
• •
•
•
•
•
•
Dir
inar
ia
•
•
•
• •
• •
•
•
•
•
Py
xine
•
•
• •
•
•
• •
•
•
• •
Phys
cia
Parm
otre
ma
Tal
us
Perm
ukaa
n ta
lus
Lob
us
Tep
i lo
bus
Perm
ukaa
n ba
wah
A
lat
repr
oduk
si
dite
muk
an
Rhizi
ne
Med
ula
Rea
ksi K
imia
N
ama
Spes
ies
Bes
ar,
mel
ekat
lo
ngga
r
Hal
us,
deng
an
isid
ia d
i te
ngah
Leba
r, m
embu
lat,
tidak
be
ratu
ran
Rat
a hi
ngga
be
rger
igi,
tanp
a si
lia
Ber
keru
t dan
kas
ar,
berw
arna
cok
elat
m
uda
di te
pi d
an
hita
m d
i ten
gah,
rh
izine
abs
en d
i tep
i
Isid
ia
silin
dris
Jara
ng,
pend
ek a
tau
panj
ang
Putih
M
edul
a C
+mer
ah
P. ti
ncto
rum
(Nyl
.) H
ale
Ket
.: K
onfir
mas
i ide
ntifi
kasi
P. t
inct
orum
ole
h Pr
adee
p K
Div
akar
, PhD
(Uni
vers
idad
Com
plut
ense
, Spa
nyol
) ber
dasa
rkan
foto
seca
ra v
isua
l
Kompak
Gelatin
Roset
Hijau Keabu-abuan Striasi konsentris
Soralia/Isidia
Korteks
Rhizine
Hapters
Tunggal dan tidak beraturan
Hitam dan putih Absen di tepi lobus
Cellular layer
Fotobion sianobakteria Fotobion ganggang hijau
Apotesia
Isidia
Soralia K+kuning
K-
KC-
Melekat erat
Lobus berbagi
Lobus berlekuk
Abu – abu kebiruan
Pseudocyphellae
Melekat longgar
41
Cano
parm
elia
Tal
us
Perm
ukaa
n at
as ta
lus
Lob
us
Tep
i lob
us
Perm
ukaa
n ba
wah
talu
s A
lat
repr
oduk
si
dite
muk
an
Rhizi
ne
Med
ula
Nam
a Sp
esie
s
Mel
ekat
lo
ngga
r A
bu-a
bu k
ekun
inga
n, h
alus
hi
ngga
kas
ar b
erke
rut d
i ba
gian
teng
ah
Sub-
linea
r, te
ratu
r
Ber
gerig
i sa
mpa
i ber
gigi
at
au b
erba
gi
sang
at je
las,
tanp
a si
lia
Cok
elat
tua
sam
pai
hita
m, r
hizi
ne a
da
sam
pai d
i tep
i
Sore
dia
gran
ular
Ja
rang
, pe
ndek
da
n tu
ngga
l
Putih
C
. tex
ana
(Tuc
k.) E
lix &
H
ale
Ket
.: K
onfir
mas
i ide
ntifi
kasi
C. t
exan
a ol
eh P
rade
ep K
Div
akar
, PhD
(Uni
vers
idad
Com
plut
ense
, Spa
nyol
) ber
dasa
rkan
foto
seca
ra v
isua
l
Pyxi
ne
Perm
ukaa
n at
as ta
lus
Lob
us
Perm
ukaa
n ba
wah
talu
s A
lat r
epro
duks
i di
tem
ukan
Rh
izine
M
edul
a N
ama
Spes
ies
Abu
-abu
puc
at
Dik
otom
ata
u m
enye
bar,
berja
uhan
ata
u be
rdek
atan
H
itam
di t
enga
h, m
emuc
at
ke p
ingg
ir So
ralia
Pa
dat,
berc
aban
g Pu
tih
P. c
ocoe
s (Sw
.) N
yl.
Ket
.: K
onfir
mas
i ide
ntifi
kasi
P. c
ocoe
s ole
h Pr
adee
p K
Div
akar
, PhD
(Uni
vers
idad
Com
plut
ense
, Spa
nyol
) ber
dasa
rkan
foto
seca
ra v
isua
l
Phys
cia
Lob
us
Perm
ukaa
n ba
wah
talu
s A
lat r
epro
duks
i dite
muk
an
Rhizi
ne
Med
ula
Nam
a Sp
esie
s M
embu
lat s
ampa
i ber
leku
k-le
kuk,
mem
iliki
sora
lia d
i te
piny
a
Mem
iliki
stria
si d
an
rhizi
ne, k
orte
ks p
utih
So
ralia
Ja
rang
, pen
dek
dan
tung
gal
Putih
P.
atr
ostr
iata
Mob
erg
Ket
.: K
onfir
mas
i ide
ntifi
kasi
ole
h D
r Har
rie JM
Sip
man
(Fre
ie U
nive
rsitä
t Ber
lin, J
erm
an)
42
43
Lampiran 7 Rincian data jumlah talus (JT) dan luas tutupan talus (LT) liken
makro epifitik pada masing-masing plot
A. Plot 1
No.
Pohon
Keliling
Pohon
(cm)
Arah
Pengambil-
an Sampel
Genus liken Jumlah
talus
(talus)
Luas
tutupan
talus
(cm2)
2 100 Barat Leptogium 9 71.79
Physcia 11 109.61
Selatan Leptogium 12 292.62
Subtotal 32 474.02
4 94 Timur Physcia 11 43.35
Parmotrema 1 0.44
Barat Parmotrema 5 5.57
Physcia 5 3.85
Subtotal 22 53.21
5 135 Timur Coccocarpia 5 52.23
7 190 Timur Physcia 9 2.97
Selatan Physcia 1 1.08
Subtotal 10 4.05
8 116 Timur Physcia 12 45.44
11 250 Selatan Dirinaria 3 14.91
Barat Dirinaria 2 15.83
Subtotal 5 30.74
13 357 Barat Physcia 1 15.80
Barat laut Physcia 1 10.99
Subtotal 2 26.79
14 78 Timur Physcia 34 16.91
Barat Physcia 28 61.92
Subtotal 62 78.83
Total 150 765.32 Keterangan: Data dihitung dari 16 kuadrat per plot yang luasnya 10.240 cm2
44
B. Plot 2
No.
Pohon
Keliling
Pohon
(cm)
Arah
Pengambil-
an Sampel
Genus liken Jumlah
talus
(talus)
Luas
tutupan
(cm2)
6 90 Barat Parmotrema 2 8.53
Timur Parmotrema 4 23.12
Dirinaria 2 10.93
Physcia 119 72.95
Subtotal 127 115.53
18 150 Barat Dirinaria 29 133.08
Utara Dirinaria 16 52.48
Subtotal 45 185.56
19 256 Selatan Dirinaria 21 85.47
Timur Dirinaria 65 99.07
Subtotal 86 184.54
20 176 Barat Dirinaria 13 11.94
Selatan Canoparmelia 2 3.28
Dirinaria 29 15.21
Subtotal 44 30.43
23 228 Barat Pyxine 35 255.28
Selatan Pyxine 63 59.86
Subtotal 98 315.14
24 276 Barat Physcia 1 9.36
Dirinaria 43 37.77
Timur Parmotrema 9 69.07
Physcia 24 4.97
Subtotal 77 121.17
28 131 Utara Dirinaria 15 202.48
Barat Dirinaria 4 27.88
Subtotal 19 230.36
30 208 Utara Dirinaria 6 15.66
Timur Parmotrema 1 88.66
Physcia 27 36.34
Subtotal 34 140.66
Total 530 1323.4 Keterangan: Data dihitung dari 16 kuadrat per plot yang luasnya 10.240 cm2
45
C. Plot 3
No.
Pohon
Keliling
Pohon
(cm)
Arah
Pengambil-
an Sampel
Genus liken Jumlah
talus
(talus)
Luas
tutupan
(cm2)
32 240 Utara Parmotrema 2 2.42
Dirinaria 45 50.5
Barat Dirinaria 57 84
Subtotal 104 136.92
33 305 Barat Dirinaria 4 9.16
Canoparmelia 10 78.15
Subtotal 14 87.31
36 200 Selatan Pyxine 36 24.64
Barat Pyxine 66 248.13
Subtotal 102 272.77
37 210 Barat Pyxine 48 39.17
Timur Pyxine 6 4.86
Dirinaria 13 3.57
Subtotal 67 47.6
40 220 Selatan Dirinaria 17 7.14
Barat Dirinaria 26 25.33
Subtotal 43 32.47
41 225 Barat Dirinaria 15 6.82
Utara Dirinaria 10 6.25
Subtotal 25 13.07
44 225 Barat Dirinaria 14 23.1
Selatan Dirinaria 13 31.93
Subtotal 27 55.03
45 180 Barat Daya Pyxine 4 13.36
Barat Laut Pyxine 5 3.8
Subtotal 9 17.16
Total 391 662.34 Keterangan:
Data dihitung dari 16 kuadrat per plot yang luasnya 10.240 cm2
Keliling pohon kenari yang tidak memiliki akar banir ataupun memiliki akar
banir pendek diukur pada tinggi pohon setinggi dada pengamat, sedangkan pada
pohon kenari yang memiliki akar banir tinggi diukur setelah pangkal banir
berakhir
JTK
KR
LTLT
RSD
DD
RF1
F2FR
1FR
2IN
P 1
INP
2C
occo
carp
ia5
0.00
049
3.34
452
.23
10.4
517
.50.
0051
6.83
0.03
30.
125
3.33
310
13.5
120
.2Le
ptog
ium
210.
0020
514
.05
364.
4117
.35
24.9
0.03
559
47.6
0.14
0.12
514
1075
.69
71.7
Can
opar
mel
ia0
00
00
00
00
00
00
0Pa
rmot
rem
a 6
0.00
059
4.01
36.
011.
002
1.05
0.00
059
0.79
0.04
0.12
54
108.
799
14.8
Dir
inar
ia5
0.00
049
3.34
430
.74
6.14
84.
810.
003
4.02
0.03
30.
125
3.33
310
10.7
17.4
Phys
cia
113
0.01
104
75.5
831
1.93
2.76
7.01
0.03
046
40.8
0.753
0.75
75.3
360
191.
717
6Py
xine
00
00
00
00
00
00
00
Tota
l15
00.
0146
510
0.3
765.
320.
0747
410
01
1.25
100
100
300.
430
0
JTK
KR
LTLT
RSD
DD
RF1
F2FR
1FR
2IN
P 1
INP
2C
occo
carp
ia0
00
00
00
00
00
00
0Le
ptog
ium
00
00
00
00
00
00
00
Can
opar
mel
ia2
0.00
020.
377
3.28
1.64
1.72
0.00
032
0.25
0.00
40.
125
0.37
76.
671.
003
7.29
Parm
otre
ma
160.
0015
63.
019
189.
3811
.84
23.4
0.01
849
14.3
0.03
0.37
53.
019
2020
.35
37.3
Dir
inar
ia24
30.
0237
345
.85
691.
972.
848
12.7
0.06
758
52.3
0.45
80.
875
45.8
546
.714
414
5Ph
ysci
a17
10.
0167
32.2
612
3.62
0.72
31.
930.
0120
79.
340.
323
0.37
532
.26
2073
.87
61.6
Pyxi
ne98
0.00
957
18.4
931
5.14
3.21
615
.30.
0307
823
.80.
185
0.12
518
.49
6.67
60.8
49To
tal
530
0.05
176
100
1323
.39
0.12
924
100
11.
875
100
100
300
300
Gen
usPl
ot 1
Gen
usPl
ot 2
46
Lam
pira
n 8
Tab
el p
erhi
tung
an e
kolo
gi li
ken
mak
ro e
pifit
ik d
i plo
t 1, p
lot 2
, dan
plo
t 3.
JTK
KR
LTLT
RSD
DD
RF1
F2FR
1FR
2IN
P 1
INP
2C
occo
carp
ia0
00
00
00
00
00
00
0Le
ptog
ium
00
00
00
00
00
00
00
Can
opar
mel
ia10
0.00
098
2.55
878
.15
7.81
59.
380.
0076
311
.80.
026
0.12
52.
558
9.09
16.9
123
.4Pa
rmot
rem
a 2
0.00
020.
512
2.42
1.21
0.57
0.00
024
0.37
0.00
50.
125
0.51
29.
091.
388
9.97
Dir
inar
ia21
40.
0209
54.7
424
7.8
1.15
82.
650.
0242
37.4
0.54
70.
7554
.73
54.5
146.
914
7Ph
ysci
a0
00
00
00
00
00
00
0Py
xine
165
0.01
611
42.2
333.
972.
024
4.95
0.03
261
50.4
0.42
20.
375
42.2
27.3
134.
812
0To
tal
391
0.03
818
100
662.
340.
0646
810
01
1.37
510
010
030
030
0
Ket
eran
gan:
JT =
Jum
lah
talu
s, K
= K
erap
atan
, KR
= K
erap
atan
Rel
atif
(%),
LT =
Lua
s Tut
upan
Tal
us (c
m2)
, LT
R =
Lua
s Tut
upan
Tal
us R
ata-
Rat
a (c
m2)
, SD
= S
tand
ar D
evia
si, D
= D
omin
ansi
, DR
= D
omin
ansi
Rel
atif
(%)
F1 =
Fre
kuen
si b
erda
sark
an ju
mla
h ta
lus,
F2 =
Fre
kuen
si b
erda
sark
an ju
mla
h po
hon,
FR
1 =
Frek
uens
i Rel
atif
1 (%
)FR
2 =
Frek
uens
i Rel
atif
2 (%
), IN
P1 =
Inde
ks N
ilai P
entin
g 1
(%),
INP2
= In
deks
Nila
i Pen
ting
2 (%
)
47
Plot
3G
enus
48
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 29 November 1984, anak
pertama dari dua bersaudara Bapak Ir. Zulfikar Utama dan Ibu Fitri Yusma.
Penulis menikah pada September 2011 dengan Brillian Ilham Prabowo, dan telah
dikaruniai anak pada Agustus 2012 bernama Aydin Kamil Prabowo.
Penulis menempuh pendidikan Taman Kanak-kanak di TK Islam Al-Ihsan,
kemudian Sekolah Dasar di SD Muhammadiyah 24 Rawamangun, Jakarta Timur
pada tahun 1990 sampai dengan tahun 1996, kemudian melanjutkan pendidikan ke
SMP Lab School Jakarta pada tahun 1996 hingga tahun 1999, dan SMAN 21
Jakarta pada tahun 1999 hingga lulus pada tahun 2002. Semasa menduduki
bangku SMA, penulis aktif mengikuti kegiatan OSIS dan PASKIBRA. Pada tahun
2002, penulis mengikuti SPMB dan diterima di Universitas Negeri Jakarta (UNJ)
Jurusan Biologi.
Selama menempuh pendidikan Strata 1 di UNJ, penulis aktif mengikuti
organisasi kemahasiswaan BEM Jurusan Biologi, BEM Fakultas MIPA, dan
pernah menjabat sebagai ketua Kelompok Pengamat Burung Nycticorax pada
tahun 2006 sampai 2007. Penulis pernah menjuarai Lomba Poster Ilmiah Biologi
yang diselenggarakan Jurusan Biologi UNJ, dengan mengangkat
judul ”Keanekaragaman Lichen di Kebun Raya Cibodas.” Penulis pernah menjadi
asisten dosen mata kuliah Botani II dan Biologi Umum pada tahun 2005. Di awal
tahun 2007, penulis berperan menjadi sekretaris di jurnal BIOKONS (Journal Of
Tropical Biodiversity And Conservation), dan turut menulis artikel berjudul ”The
Ecological Roles Of Lichens: A Symbiotic Organism Of Fungi And Algae.”
Penulis lulus dari UNJ pada tahun 2007 dengan skripsi
berjudul ”Keanekaragaman Lichen Makro Epifitik yang Terdapat Pada Pohon
Eucalyptus, Pinus, dan Altingia di Kebun Raya Cibodas, Jawa Barat”.
Setelah lulus pendidikan S1, penulis pernah bekerja sebagai tutor Biologi
bimbingan belajar PRIMAGAMA (2008-2009), korektor lepas ESIS-Erlangga
(2008-2010), editor Biologi PT Kharisma Ilmu (2008-2009), dan dosen tidak tetap
jurusan Farmasi Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (2009-2012).
Pengalaman lain dari penulis adalah pernah mendapatkan beasiswa dari Harvard
University untuk mengikuti Harvard University Field Biology Course:
Biodiversity of Borneo 2009 pada tahun 2011 di Sabah – Sarawak Malaysia.
Penulis melanjutkan studi Strata 2 di program studi Mikrobiologi IPB pada
tahun 2010. Selama menyandang status mahasiswa, penulis pernah mendapatkan
beasiswa dari SEAMEO BIOTROP untuk mengikuti 6th Regional Training
Workshop on Biodiversity and Conservation of Bryophytes and Lichens dan Two-
Day Symposium on “ A Decade of Study of Malesian Bryophytes and Lichens” di
BIOTROP Bogor, sebagai peserta dan presenter. Penulis juga pernah memperoleh
bantuan dana perjalanan dari IPB untuk mengikuti 7th International Associaton for
Lichenology Symposium “Lichens: from genome to ecosystems in a changing
world” pada bulan Januari 2012 di Bangkok – Thailand.