ANALISIS POLA KONSUMSI DAN PERMINTAAN BUAH PADA TINGKAT RUMAH TANGGA DI PULAU JAWA PENERAPAN MODEL ALMOST IDEAL DEMAND SYSTEM (AIDS) Oleh : TUNJUNG PAWESTRI KUSUMO WARDANI A14303045 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
119
Embed
ANALISIS POLA KONSUMSI DAN PERMINTAAN BU …...RINGKASAN TUNJUNG PAWESTRI K. W. Analisis Pola Konsumsi dan Permintaan Buah pada Tingkat Rumah Tangga di Pulau Jawa Penerapan ModelAlmost
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
ANALISIS POLA KONSUMSI DAN PERMINTAAN BUAH PADA TINGKAT RUMAH TANGGA DI PULAU JAWA
PENERAPAN MODEL ALMOST IDEAL DEMAND SYSTEM (AIDS)
Oleh :
TUNJUNG PAWESTRI KUSUMO WARDANI
A14303045
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA
FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007
RINGKASAN
TUNJUNG PAWESTRI K. W. Analisis Pola Konsumsi dan Permintaan Buah pada Tingkat Rumah Tangga di Pulau Jawa Penerapan Model Almost Ideal Demand System (AIDS). Di bawah Bimbingan MUHAMMAD FIRDAUS.
Perbaikan indikator makroekonomi di Indonesia yang antara lain dicerminkan oleh peningkatan pendapatan riil per kapita dan pertumbuhan ekonomi, serta penurunan laju inflasi, di sisi lainnya belum diimbangi dengan perbaikan kondisi sosial ekonomi riil di masyarakat. Berdasarkan data BPS diketahui bahwa jumlah pengangguran terbuka dan pekerja pada sektor informal di Indonesia secara kontinyu terus mengalami peningkatan. Kondisi di atas menunjukkan adanya ambiguitas, dimana ketika indikator makroekonomi mengalami perbaikan, namun tidak demikian halnya pada sektor riil di masyarakat. Indikator mikroekonomi yang juga menunjukkan adanya ambiguitas ini ialah tingkat konsumsi buah rumah tangga. Berdasarkan data SUSENAS dapat disimpulkan bahwa selama kurun waktu 15 tahun terakhir tingkat konsumsi buah di Indonesia cenderung stagnan. Hal ini dapat diartikan bahwa daya beli masyarakat Indonesia secara umum belum mengalami peningkatan yang signifikan. Di satu sisi pendapatan riil per kapita meningkat, sedangkan kesejahteraan masyarakat menurun akibat daya belinya yang stagnan. Ini merupakan indikasi belum adanya perbaikan distribusi pendapatan masyarakat.
Hal tersebut mendorong dilakukannya kajian lebih lanjut mengenai faktor-faktor apa saja yang perlu diperhatikan untuk meningkatkan konsumsi buah masyarakat Indonesia, mengingat tingkat konsumsi buah di Indonesia (32 kg/kapita/tahun di tahun 2005) masih jauh dari standar yang dianjurkan oleh FAO sebesar 60 kg/kapita/tahun. Berdasarkan permasalahan tersebut penelitian ini bertujuan mengidentifikasi pola konsumsi serta menganalisis model permintaan lengkap buah pada tingkat rumah tangga di Pulau Jawa. Selain itu, dianalisis pula mengenai pengaruh dari perubahan harga dan pendapatan terhadap permintaan buah pada masing-masing kelompok rumah tangga. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data cross section SUSENAS 2005, yang terdiri dari data konsumsi, pengeluaran, dan data demografi rumah tangga di Pulau Jawa, sedangkan untuk menjawab tujuan penelitian digunakan model Almost Ideal Demand System (AIDS) dengan metode Seemingly Unrelated Regression (SUR)
Hasil analisis menunjukkan proporsi pengeluaran untuk buah-buahan di pedesaan lebih besar daripada di perkotaan, sedangkan berdasarkan penggolongan menurut tingkat pendapatan, terdapat kecenderungan proporsi pengeluaran untuk buah-buahan yang semakin meningkat dengan semakin tingginya tingkat pendapatan. Jenis buah yang tingkat konsumsinya relatif paling tinggi dari tahun ke tahun ialah pisang, jeruk, rambutan, dan pepaya. Salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya tingkat konsumsi buah-buahan tersebut adalah faktor musim, dimana jenis-jenis buah tersebut (kecuali rambutan) produksinya tidak tergantung musim, sehingga selalu tersedia sepanjang tahun. Pola konsums i buah-
buahan pada tingkat rumah tangga di Pulau Jawa berdasarkan tingginya frekuensi konsumsi berturut-turut pisang – jeruk – pepaya – salak – semangka.
Analisis dengan menggunakan unit sampling Rumah Tangga maupun Primary Sampling Unit (PSU) secara umum menghasilkan arah dari nilai dugaan parameter yang sama. Kedua prosedur tersebut menunjukkan bahwa seluruh variable bebas (kecuali jumlah anggota rumah tangga), yaitu harga sendiri, harga buah lain, pendapatan (yang diproksi dari pengeluaran), dan tingkat pendidikan kepala rumah tangga berpengaruh signifikan terhadap proporsi pengeluaran buah pada taraf nyata 5 persen.
Permintaan untuk jeruk, pisang, dan pepaya di perkotaan Pulau Jawa lebih responsif terhadap perubahan harga dibanding daerah pedesaan. Untuk jeruk, semakin tinggi tingkat pendapatan rumah tangga semakin elastis permintaannya terhadap perubahan harga. Untuk pisang dan pepaya berlaku sebaliknya. Terdapat hubungan komplementer antara jenis buah yang dianalisis (jeruk, pisang, dan pepaya). Dari kecilnya nilai elastisitas harga komoditi lain (harga silang), maka sifat komplementer tersebut tidak terlalu kuat.Di wilayah Pulau Jawa secara total, desa, maupun kota, semua jenis buah yang dianalisis bersifat barang normal yang ditunjukkan oleh tanda positif dari nilai elastisitas pengeluaran. Ini berarti dengan semakin meningkatnya pendapatan rumahtangga maka akan meningkatkan permintaan komoditi tersebut. Pada seluruh komoditi, elastisitas pengeluaran cukup elastis, terutama pada pisang.
Berdasarkan data SUSENAS diketahui bahwa tingkat konsumsi buah masyarakat Indonesia (31,9 kg/kapita/tahun) masih jauh dari standar yang dianjurkan oleh FAO yaitu sebesar 60 kg/kapita/tahun. Oleh karena itu, pemerintah perlu meningkatkan konsumsi buah masyarakat Indonesia dengan cara memperbaiki distribusi pendapatan masyarakat, mengingat faktor pendapatan (yang diestimasi dari pengeluaran) terbukti berpengaruh signifikan terhadap permintaan buah. Alternatif lain yang dapat ditempuh ialah melalui sosialisasi mengenai pangan dan gizi secara umum melalui penyuluhan, pendidikan dan iklan layanan masyarakat melaui berbagai media. Alternatif kebijakan ini relatif lebih mudah dan aplikatif dibandingkan dengan alternatif yang pertama, karena jika mengandalkan perbaikan distribusi pendapatan masyarakat untuk dapat meningkatkan konsumsi buah maka akan memerlukan waktu yang lama.
ANALISIS POLA KONSUMSI DAN PERMINTAAN BUAH PADA TINGKAT RUMAH TANGGA DI PULAU JAWA
PENERAPAN MODEL ALMOST IDEAL DEMAND SYSTEM (AIDS)
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian pada
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Oleh :
Tunjung Pawestri K. W.
A14303045
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
Judul Skripsi : ANALISIS POLA KONSUMSI DAN PERMINTAAN BUAH PADA TINGKAT RUMAH TANGGA DI PULAU JAWA : PENERAPAN MODEL ALMOST IDEAL DEMAND SYSTEM (AIDS)
Nama : Tunjung Pawestri Kusumo Wardani NRP : A14303045
Menyetujui
Dosen Pembimbing
Muhammad Firdaus, Ph.D
NIP. 132 158 758
Menyetujui
Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019
Tanggal Lulus :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI
ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM
PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI/KARYA ILMIAH PADA
PERGURUAN TINGGI/LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Mei 2007
Tunjung Pawestri K. W.
A14303045
RIWAYAT HIDUP
Tunjung Pawestri Kusumo Wardani dilahirkan di Kebumen tanggal 14
Desember 1985 dari pasangan ayah Drs. Bambang Winarso, MM dan ibu Sri Titi
Sedjati, S.Pd. Penulis merupakan putri pertama dari dua bersaudara. Pendidikan
formal yang telah ditempuh penulis antara lain :
§ TK Tunas Sejahtera Bogor lulus tahun 1991
§ SD Negeri Polisi V Bogor lulus tahun 1997
§ SMP Negeri I Bogor lulus tahun 2000
§ SMU Negeri I Bogor lulus tahun 2003
Pada tahun yang sama (2003) penulis memasuki Institut Pertanian Bogor
melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI), pada
Fakultas Pertanian, Departemen Sosial Ekonomi Pertanian, Program Studi
Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya . Selama menjadi mahasiswa di IPB, penulis
aktif pada organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama IPB
(BEM-TPB IPB) dan Himpunan Profesi Mahasiswa Peminat Ilmu-ilmu Sosial
Ekonomi Pertanian (MISETA). Selain itu, penulis juga aktif sebagai asisten dosen
untuk Mata Kuliah Ekonomi Umum dan Pengantar Ilmu-ilmu Kependudukan.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga skripsi yang berjudul ”Analisis Pola Konsumsi dan
Permintaan Buah pada Tingkat Rumah Tangga Di Pulau Jawa Penerapan Model
Almost Ideal Demand System (AIDS)” dapat diselesaikan. Topik ini dipilih
berdasarkan kondisi tingkat konsumsi buah masyarakat Indonesia yang masih jauh
di bawah standar anjuran FAO, dan trend yang ada menunjukkan bahwa ternyata
selama 15 tahun terakhir ini tingkat konsumsi buah di Indonesia cenderung
stagnan.
Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pada
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Muhammad
Firdaus, Ph.D selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan
arahan dalam proses penulisan skripsi, serta semua pihak yang telah membantu
penyelesaian skripsi ini baik langsung maupun tidak.
Sebagai bagian dari suatu proses, mungkin masih banyak ditemui
kesalahan dan kekurangan dalam buku ini. Oleh karena itu, penulis sangat terbuka
untuk saran dan kritik yang membangun dan dapat disampaikan melalui email
9. Adik-adikku EPSe 41, terima kasih telah meluangkan waktu untuk hadir
dalam seminar penulis. Remember that the promotion is always better than the
original.. Keep in fighting, keep in spirited !!
10. Semua pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini. Jazakumulloh..
i
DAFTAR ISI
Daftar Isi ............................................................................................................... i Daftar Tabel ......................................................................................................... iii Daftar Gambar ..................................................................................................... v Daftar Lampiran ................................................................................................. vi BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah.................................................................................... 6 1.3 Tujuan Penelitian........................................................................................ 9 1.4 Kegunaan Penelitian.................................................................................. 10
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Model Almost Ideal Demand System (AIDS) ........................................... 11 2.2 Penelitian yang Menggunakan Model AIDS ............................................ 12 2.3 Penelitian Mengenai Pola Konsumsi dan Permintaan Buah ..................... 13 2.4 Komentar terhadap Penelitian Terdahulu.................................................. 15
BAB III. KERANGKA TEORI 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis .................................................................... 19
3.1.1 Teori Perilaku Konsumen................................................................. 19 3.1.2 Pengertian Permintaan dan Faktor- faktor yang Mempengaruhinya 20
3.1.2.1 Dualitas Dalam Teori Permintaan ........................................... 20 3.1.2.2 Sifat-sifat Fungsi Permintaan .................................................. 23
3.1.3 Konsep Elastisitas ............................................................................ 25 3.1.4 Model Almost Ideal Demand System (AIDS) .................................. 27
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional.............................................................. 29 BAB IV. METODE PENELITIAN
4.1 Wilayah Studi dan Waktu Penelitian ........................................................ 33 4.2 Data Penelitian .......................................................................................... 33
4.2.1 Jenis dan Sumber Data ..................................................................... 33 4.2.2 Kerangka Sampel Data SUSENAS 2005 ......................................... 34 4.2.3 Teknik Penarikan Contoh Penelitian................................................ 35 4.2.4 Pengelompokkan Data...................................................................... 36
4.3 Spesifikasi Model ...................................................................................... 37 4.3.1 Model Almost Ideal Demand System (AIDS) .................................. 38 4.3.2 Perhitungan Nilai Elastisitas ............................................................ 39 4.3.3 Pembentukan Harga Agregat dan Indeks Stone ............................... 40
4.3 Prosedur Pendugaan dan Pengujian Restriksi. .......................................... 40 BAB V. GAMBARAN UMUM
5.1 Perkembangan Luas Panen........................................................................ 42 5.2 Perkembangan Produksi Buah-buahan...................................................... 44 5.3 Ekspor Buah Indonesia .............................................................................. 46
ii
BAB VI. PEMBAHASAN
6.1 Pola Konsumsi Buah ................................................................................. 48 6.1.1 Proporsi Pengeluaran Buah .............................................................. 48 6.1.2 Tingkat Konsumsi Buah di Indonesia .............................................. 50 6.1.3 Tingkat Konsumsi Buah di Pulau Jawa............................................ 53
6.2 Analisis Parameter Permintaan Buah di Pulau Jawa................................. 57 6.2.1 Pengujian Restriksi........................................................................... 57 6.2.1 Model Permintaan dengan Unit Sampling Rumah Tangga .............. 58 6.2.1 Model Permintaan dengan Unit Sampling PSU ............................... 63
BAB VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan................................................................................................ 84 7.2 Saran .......................................................................................................... 85
Daftar Pustaka ....................................................................................................... 88 Lampiran ............................................................................................................... 91
iii
Judul Halaman
Tabel 1
Tabel 2
Tabel 3
Tabel 4
Tabel 5
Tabel 6
Tabel 7
Tabel 8
Tabel 9
Tabel 10
Tabel 11
Tabel 12
Tabel 13
Tabel 14
Tabel 15
Tabel 16
Konsumsi Energi per kapita per tahun di Indonesia menurut komoditi Tahun 1999, `002-2006 (kkal/hari) Perkembangan Jumlah Pengangguran Terbuka, Penduduk Miskin, dan Pekerja di sektor Formal-Informal di Indonesia Tahun 2000-2005 (dalam juta jiwa) Perkembangan Tingkat Konsumsi Buah-Buahan pada Tingkat Rumah Tangga di Indonesia Tahun 1990-2005 (dalam kg/kapita/tahun) Elastisitas Harga Sendiri (Ed) & Elastisitas Pendapatan (Ei) untuk Komoditi Buah-buahan dari Berbagai Penelitian (yang Menggunakan Model AIDS). Jenis dan Sumber Data Penelitian Perkembangan dan Peningkatan Luas Panen dan Produksi Buah-buahan di Indonesia Tahun 1999-2005 Rata-rata Persentase Peningkatan per tahun Luas Panen dan Produksi Tanaman Buah-buahan di Indonesia Tahun 2000-2005 Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Buah Indonesia Tahun 2001-2005 Proporsi (share) Pengeluaran Buah-buahan Terhadap Total Pengeluaran (per kapita/bulan) tahun 2002-2006 Perkembangan Konsumsi Buah-Buahan di Indonesia Menurut Jenis Buah Tahun 1990-2005 Tingkat Konsumsi Buah dan Share terhadap Pengeluaran Buah Total di Pulau Jawa (berdasar wilayah & kelas pendapatan) tahun 2005 Tingkat Konsumsi Buah dan Share terhadap Pengeluaran Buah Total di Pulau Jawa (by province) tahun 2005 Hasil uji-F Model Sistem Persamaan Dengan dan Tanpa Restriksi Nilai Estimasi Parameter Model AIDS untuk Pulau Jawa dengan Unit Sampling Rumah Tangga Nilai Estimasi Parameter Model AIDS untuk Pulau Jawa dengan Unit Sampling PSU Elastisitas permintaan harga sendiri, elastisitas harga silang, dan elastisitas pengeluaran jeruk, unit sampling Rumah Tangga
4 7 8
17
34
42
43
46
48
51
53
55
57
58
63
66
DAFTAR TABEL
iv
Tabel 17
Tabel 18
Tabel 19
Table 20
Tabel 21
Tabel 22
Table 23
Elastisitas permintaan harga sendiri, elastisitas harga silang, dan elastisitas pengeluaran jeruk, unit sampling PSU Elastisitas permintaan harga sendiri, elastisitas harga silang, dan elastisitas pengeluaran pisang, unit sampling Rumah Tangga Elastisitas permintaan harga sendiri, elastisitas harga silang, dan elastisitas pengeluaran pisang, unit sampling PSU Elastisitas permintaan harga sendiri, elastisitas harga silang, dan elastisitas pengeluaran pepaya, unit sampling Rumah Tangga Elastisitas permintaan harga sendiri, elastisitas harga silang, dan elastisitas pengeluaran pepaya, unit sampling PSU Ringkasan Konsumsi Buah pada Tingkat Rumah Tangga di Pulau Jawa (Unit Sampling Rumah Tangga) Ringkasan Konsumsi Buah pada Tingkat Rumah Tangga di Pulau Jawa (Unit Sampling PSU)
67
70
72
75
76
82
83
v
Judul Halaman
Gambar 1
Gambar 2
Gambar 3
Gambar 4
Pertumbuhan ekonomi di Indonesia (persen per tahun) Pencapaian Status Kesehatan di Indonesia Maximisasi Utilitas dan Minimisasi Biaya Skema Kerangka Pemikiran Operasional
1
2
23
32
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Judul Halaman
Lampiran 1
Lampiran 2
Lampiran 3
Lampiran 4
Lampiran 5
Lampiran 6
Nilai Estimasi Parameter Model AIDS dengan Unit Sampling RT Nilai Estimasi Parameter Model AIDS dengan Unit Sampling PSU Perintah membuat model AIDS dalam program SAS Karakteristik Data SUSENAS 2005 Luas Panen dan Produksi Buah di Indonesia menurut Propinsi Tahun 1999 dan 2005 Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Buah-buahan Indonesia Tahun 2000- 2005
91
94
97
99
103
104
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam beberapa kurun waktu terakhir setelah krisis ekonomi, kondisi
sosial dan perekonomian di Indonesia mulai mengalami perbaikan. Dari aspek
ekonomi, terdapat beberapa indikator yang dapat dijadikan tolak ukur seperti
meningkatnya pertumbuhan ekonomi di Indonesia, menurunnya laju inflasi, serta
adanya peningkatan pendapatan riil per kapita penduduk Indonesia. Berdasarkan
laporan tahunan Bank Indonesia tahun 2006, terlihat bahwa pertumbuhan
ekonomi Indonesia selama beberapa kurun waktu terakhir terus mengalami
perbaikan. Trend pertumbuhan ekonomi per tahun di Indonesia, sebelum dan
setelah krisis moneter disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia (persen per tahun)1
Secara keseluruhan, kinerja perekonomian Indonesia di triwulan akhir
tahun 2006 tumbuh sebesar 6,1 persen. Pertumbuhan ekonomi tersebut relatif
lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2005 (5,6 %) dan tahun 2004 (5,1 %).
Indikator lainnya yang lebih tepat digunakan untuk menggambarkan peningkatan
1 www.bi.go.id
2
307 262
253 244 235
226
32 30.8 29.2 27.6 26 35
20 21.4 22.5 23.6 24.7 25.8
70.6 70.2 69.8 69.4 67.8 66.2
0 50
100 150
200 250
300
350
2004 2005 2006 2007 2008 2009 Tahun
Angka Kematian Bayi (per 1.000 lahir) Angka Kematian Ibu (per 100.000 lahir)
Gizi Kurang Balita (%)
Usia Harapan Hidup (tahun)
kesejahteraan masyarakat ialah PDB riil per kapita. Pada tahun 2003, PDB riil per
kapita per tahun masyarakat Indonesia sebesar Rp. 7,39 juta. Jumlah ini
meningkat menjadi Rp. 7,67 juta pada tahun 2004 dan meningkat menjadi
Rp. 7,99 juta pada tahun 2005.
Dari aspek sosial, beberapa indikator yang dijadikan tolak ukur antara lain
menurunnya Angka Kematian Ibu, Angka Kematian Bayi, dan jumlah balita
kurang gizi di Indonesia. Di samping itu, Usia Harapan Hidup penduduk
Indonesia pun terus mengalami peningkatan. Berdasarkan data dari Departemen
Kesehatan2, Usia Harapan Hidup penduduk Indonesia pada tahun 2004 ialah 66,2
tahun, lalu meningkat menjadi 69,4 tahun pada tahun 2006 dan diprediksikan akan
terus mengalami peningkatan di tahun-tahun ke depan. Selain itu, jumlah balita
kurang gizi di Indonesia pada tahun 2004 ialah sebesar 35 persen, menurun
menjadi 32 persen pada tahun 2005, dan mencapai 30,8 persen di tahun 2006.
Perkembangan beberapa indikator dari aspek sosial ini dapat dilihat di Gambar 2.
Gambar 2. Pencapaian Status Kesehatan di Indonesia
2 Departemen Kesehatan dalam Kompas, 5 Mei 2007.
3
Salah satu implikasi dari adanya peningkatan pendapatan per kapita
masyarakat adalah adanya perubahan pola konsumsi masyarakat secara umum,
termasuk pola konsumsi pangan. Menurut Suhardjo dalam Sawit (1997),
perbaikan kondisi ekonomi masyarakat akan mengubah pola konsumsi
masyarakat, baik dari segi jumlah maupun jenis. Hal ini ditandai dengan
berkurangnya pangan yang mengandung banyak energi dan meningkatnya pangan
yang kaya protein, vitamin, dan mineral. Perubahan pola konsumsi itu juga telah
terbukti di beberapa negara seperti Jepang, Cina, dan Taiwan.
Perubahan pola konsumsi (dietary pattern) tersebut tentunya berpengaruh
terhadap pola konsumsi hortikultura, khususnya buah-buahan. Buah merupakan
salah satu sumber vitamin dan mineral yang mudah diperoleh masyarakat di
berbagai wilayah, baik pedesaan maupun perkotaan. Selain itu buah memiliki
tingkat harga, jenis, dan kualitas yang relatif bervariasi, sehingga masyarakat dari
berbagai kelas pendapatan mampu mengkonsumsi buah sesuai dengan daya
belinya. Buah juga relatif tersedia sepanjang tahun meskipun beberapa buah
bersifat musiman, namun tidak sedikit buah yang tidak tergantung musim.
Terlebih dengan semakin banyaknya buah impor yang masuk di Indonesia, maka
ketersediaan buah relatif stabil sepanjang tahun.
Berdasarkan data SUSENAS panel tahun 1999-2006 yang disajikan dalam
Tabel 1, dapat dilihat bahwa pada periode 1999-2006 jumlah kalori total yang
dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia masih kurang dari standar angka
kebutuhan gizi yang dianjurkan, yaitu sebesar 2100-2200 kkal per hari (Muhilal
1998 dalam Baliwati 2004). Dalam Tabel 1 dapat diketahui pula bahwa sumber
kalori masyarakat yang berasal dari padi-padian (pangan kaya energi) terus
4
menurun, sedangkan sumber kalori yang berasal dari ikan, telur, dan susu (pangan
kaya protein) jumlah absolutnya cenderung meningkat, meskipun jika dilihat dari
persentasenya terhadap konsumsi kalori total,cenderung konstan. Di sisi lain,
untuk komoditi hortikultura (pangan kaya vitamin dan mineral) perkembangan
konsumsinya cenderung konstan. Kondisi ini menunjukkan bahwa perbaikan
indikator makroekonomi, terutama PDB riil per kapita belum dapat menggeser
pola konsumsi masyarakat menjadi lebih baik (konsumsi pangan kaya protein,
vitamin, dan mineral khususnya yang bersumber dari buah-buahan menjadi lebih
tinggi)/
Tabel 1 . Konsumsi Energi per kapita per tahun di Indonesia Menurut Komoditi Tahun 1999, 2002-2006 (kkal/ hari)
Sumber : Modul konsumsi, SUSENAS panel 1999,2002-2006 Ket : * proporsinya terhadap konsumsi energi total (dalam persen)
Sumber Kalori 1999 2002 2003 2004 2005 2006 Padi -padian
Hortikultura
Ikan
Daging
Telur & Susu
Minuman
Makanan Jadi
Total
1066,5 (57,67)
62
(3,51)
36,04 (1,95)
20,07 (1,08)
24,39 (1,32)
103,35 (5,59)
170,78 (9,23)
1849,36
1039,9 (52,33)
78,2
(3,93)
42,53 (2,14)
35,01 (1,76)
39,63 (1,99)
120,00 (6,04)
198,09 (9,97)
1987,13
1035,1 (52,01)
83,7
(4,20)
46,91 (2,36)
41,71 (2,10)
37,83 (1,9)
115,54 (5,81)
212,31 (10,67)
1989,89
1024,1 (51,56)
80,41 (4,05)
45,05 (2,27)
39,73 (2,00)
40,47 (2,04)
114,75 (5,78)
219,09 (11,03)
1986,06
1009,1 (50,26)
78,6
(3,91)
47,59 (2,37)
41,45 (2,06)
47,17 (2,35)
110,73 (5,52)
233,08 (11,61)
2007,65
992,93 (51,53)
77,2
(4,00)
44,56 (2,31)
31,27 (1,62)
43,35 (2,25)
110,69 (5,74)
216,83 (11,25)
1926,74
5
Selain faktor pendapatan, konsumsi buah-buahan juga sangat dipengaruhi
oleh gaya hidup konsumennya. Menurut Huang dan Bouis (1996) dalam Sawit
(2007) masyarakat perkotaan (urban) memiliki pola konsumsi yang berbeda
dengan masyarakat pedesaan (rural). Gaya hidup orang kota (urban life style)
bersedia membayar lebih mahal pangan yang tidak memerlukan banyak waktu
untuk dimasak, karena tingginya opportunity cost waktu. Lalu masyarakat kota
cenderung lebih banyak pekerjaan yang mengutamakan kerja otak daripada
masyarakat di pedesaan. Seseorang yang terlibat dengan pekerjaan seperti itu
membutuhkan energi (kalori) yang relatif lebih sedikit dalam mempertahankan
berat badan. Selain itu masyarakat kota juga tidak menanam sendiri pangannya,
sehingga pilihan konsumsi tidak dibatasi oleh biaya produksi. Yang lebih utama,
masyarakat perkotaan lebih banyak dipengaruhi oleh pola pangan asing dan
pilihan komoditi pangan, termasuk buah-buahan yang ada di perkotaan relatif
lebih banyak daripada di pedesaan.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa peran komoditi
hortikultura, khususnya buah-buahan menjadi semakin penting dalam memenuhi
kebutuhan gizi masyarakat. Menurut FAO (Food and Agriculture Organization)
untuk negara-negara berkembang seperti Indonesia, konsumsi buah-buahan yang
dianjurkan adalah 60 kg/kapita/tahun. Menurut data SUSENAS pada tahun 2005
konsumsi buah-buahan di Indonesia masih kurang dari 32 kg/kapita/tahun.
Berdasarkan fakta tersebut, di tahun-tahun mendatang permintaan buah di
Indonesia diharapkan masih akan terus meningkat.
Pulau Jawa merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang tingkat
konsumsi buah-buahannya relatif tinggi dibanding dengan daerah lainnya. Hal ini
6
tentunya juga disebabkan karena jumlah penduduk di Pulau Jawa yang besar.
Tidak kurang dari 70 persen penduduk Indonesia berada di Pulau Jawa. Selain itu,
penduduk di Pulau Jawa relatif heterogen, baik dari segi tingkat pendapatan,
tingkat pendidikan, gaya hidup, maupun variasi wilayah (pedesaan dan
perkotaan). Penelitian ini menganalisis pola konsumsi dan permintaan di Pulau
Jawa, sehingga diharapkan akan cukup menjadi cerminan bagaimana pola
konsumsi dan permintaan di Indonesia.
1.2 Perumusan Masalah
Perbaikan indikator makroekonomi di Indonesia yang antara lain
dicerminkan oleh peningkatan pendapatan riil per kapita dan pertumbuhan
ekonomi, serta penurunan laju inflasi, di sisi lainnya belum diimbangi dengan
perbaikan kondisi sosial ekonomi riil di masyarakat. Berdasarkan data BPS yang
disajikan dalam Tabel 2 terlihat bahwa jumlah pengangguran terbuka di Indonesia
secara kontinyu terus mengalami peningkatan. Tahun 2000 jumlah pengangguran
terbuka di Indonesia sebesar 5,8 juta jiwa. Jumlah tersebut meningkat 87,9 persen
pada tahun 2005 menjadi 10,9 juta jiwa. Selain itu dari total pekerja di Indonesia,
jumlah yang bekerja pada sektor informal pun masih mendominasi. Selama
periode 2000 hingga 2005 jumlah pekerja pada sektor informal ini, meskipun
jumlahnya fluktuatif namun kecenderungannya terus mengalami peningkatan.
Jumlah penduduk miskin di Indonesia, pada periode 2000-2005 jika dilihat dari
angka absolutnya mulai mengalami penurunan, namun jika dilihat dari
persentasenya terhadap jumlah penduduk total masih relatif tetap, yaitu berkisar
antara 16-18 persen, bahkan di tahun 2006 kembali meningkat.
7
Tabel 2. Perkembangan Jumlah Pengangguran Terbuka, Penduduk Miskin, dan Pekerja di Sektor Formal-Informal di Indonesia Tahun 2000-2005 (dalam juta jiwa)
Tahun Jumlah
Pengangguran Terbuka
Jumlah Penduduk
Miskin
Jumlah Pekerja
Sektor Formal Sektor Informal
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
5.8
8.0
9.1
9.5
10.3
10.9
10.93
38.7
37.9
38.4
37.3
36.1
35.1
39.25
31.5
35.0
33.6
32.7
34.5
34.3
-
58.3
55.8
57.9
60.0
59.2
60.6
-
Sumber : BPS 2006
Kondisi di atas menunjukkan adanya ambiguitas, dimana ketika indikator
makroekonomi mengalami perbaikan, namun tidak demikian halnya pada sektor
riil di masyarakat. Hal ini salah satunya tercermin pada tingkat konsumsi rumah
tangga di Indonesia, yang di triwulan pertama tahun 2007 justru turun sebesar 0,5
persen di saat perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,97 persen. 3 Indikator
mikroekonomi yang juga menunjukkan adanya ambiguitas ini ialah tingkat
konsumsi buah rumah tangga. Berdasarkan data SUSENAS pada Tabel 3 terlihat
bahwa selama kurun waktu 15 tahun terakhir tingkat konsumsi buah di Indonesia
cenderung stagnan. Hal ini dapat diartikan bahwa daya beli masyarakat Indonesia
secara umum belum mengalami peningkatan yang signifikan. Di satu sisi
pendapatan riil per kapita meningkat, sedangkan kesejahteraan masyarakat
menurun akibat daya belinya yang stagnan. Ini merupakan indikasi belum adanya
perbaikan distribusi pendapatan masyarakat. Hal tersebut mendorong
dilakukannya kajian lebih lanjut mengenai faktor- faktor apa saja yang perlu
3 Badan Pusat Statistik dalam Kompas edisi Rabu, 16 Mei 2007. Pertumbuhan Belum Mendasar. Hambatan Pengembangan Sektor Riil Belum Tertangani
8
diperhatikan untuk meningkatkan konsumsi buah masyarakat Indonesia,
mengingat tingkat konsumsi buah di Indonesia (32 kg/kapita/tahun di tahun 2005)
masih jauh dari standar yang dianjurkan oleh FAO sebesar 60 kg/kapita/tahun.
Tabel 3. Perkembangan Konsumsi Buah Pada Tingkat Rumah Tangga di Indonesia (dalam kg/kapita/tahun) Tahun 1990-2005
Sumber : Ditjen Tanaman Hortikultura, Departemen Pertanian tahun 2005
Konsumsi buah selain dipengaruhi oleh pendapatan dan harga, juga
dipengaruhi oleh selera, nilai sosial budaya yang berlaku di masyarakat, dan gaya
hidup konsumennya. Konsumen dengan tingkat pendapatan dan tingkat
pendidikan berbeda tentunya memiliki gaya hidup yang berbeda. Begitu juga
konsumen di wilayah yang berbeda akan memiliki gaya hidupnya masing-masing.
Faktor lain yang juga berpengaruh terhadap konsumsi buah ialah produksi dan
ketersediaannya di pasar, mengingat banyak jenis buah yang bersifat musiman.
Dalam mempelajari pola konsumsi buah, salah satu aspek yang dapat
dikaji adalah jumlah atau tingkat permintaan dari buah itu sendiri. Seperti telah
dikemukakan sebelumnya bahwa konsumsi buah sangat dipengaruhi oleh gaya
hidup konsumennya, maka tentunya perubahan beberapa variabel seperti
pendapatan dan harga, akan direspon dengan cara yang berbeda oleh masing-
masing konsumen dengan karakteristik yang berbeda. Berdasarkan kondisi
tersebut, maka perlu dilakukan penelitian yang sistematis dengan model yang baik
untuk menelaah perilaku konsumen buah.
Penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya (Deaton, 1981,
Daud, 1986, Rachmat dan Erwidodo,1993, Ariani, 1993, Saliem dan Erwidodo,
KET Konsumsi per kapita (kg/tahun)
Tahun 1990 1993 1996 1999 2002 2005 Tingkat
Konsumsi 29.94 26 24.67 18.7 29.38 31.57
9
1994, Rahmi, 2001,dan Saliem 2002) umumnya menganalisa pola konsumsi dan
permintaan buah-buahan secara agregat saja, padahal tentunya terdapat perbedaan
tingkat konsumsi serta musim panen antar satu komoditi dengan komoditi lainnya.
Terdapat pula penelitian yang menganalisis pola konsumsi dan permintaan buah-
buah yang dirinci per komoditi (Hartoyo (1997) dan Sawit, dkk (1997)) namun
belum belum membahas bagaimana pengaruh variabel demografi terhadap
permintaan buah. Variabel demografi seperti jumlah anggota rumah tangga, usia,
jenis kelamin, maupun tingkat pendidikan diduga memiliki pengaruh terhadap
pola konsumsi buah pada rumah tangga di Indonesia.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka perumusan masalah yang akan
dibahas dalam penelitian ini ialah :
1) Bagaimana pola konsumsi buah di daerah pedesaan dan perkotaan Pulau Jawa
menurut golongan pendapatan ?
2) Bagaimana model permintaan lengkap buah dalam bentuk penerapan suatu
model Almost Ideal Demand System (AIDS) di Pulau Jawa ?
3) Bagaimana pengaruh perubahan harga dan pendapatan terhadap perubahan
permintaan buah menurut kelompok rumah tangga di Pulau Jawa?
1.3 Tujuan
Tujuan dalam penelitian ini ialah :
1) Mengidentifikasi pola konsumsi buah di daerah pedesaan dan perkotaan Pulau
Jawa menurut golongan pendapatan.
2) Menganalisa model permintaan lengkap buah dalam bentuk penerapan suatu
model Almost Ideal Demand System (AIDS) di Pulau Jawa.
10
3) Menganalisa pengaruh perubahan harga dan pendapatan terhadap perubahan
permintaan buah menurut kelompok rumah tangga di Pulau Jawa
1.4 Kegunaan Penelitian
1) Penelitian ini menjadi sumber pengetahuan dan informasi tentang parameter-
parameter permintaan komoditi buah, pola konsumsi buah di Indonesia dan
Pulau Jawa secara khusus, serta informasi bagaimana pengaruh perubahan
harga dan pendapatan terhadap permintaan rumah tangga terhadap buah.
Selain itu juga sebagai perbandingan dan masukan bagi penelitian-penelitian
berikutnya.
2) Penelitian ini dapat meningkatkan kemampuan penulis dalam menganalisa
suatu permasalahan, serta menerapkan ilmu-ilmu yang telah dipelajari semasa
kuliah ke dalam situasi riil.
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Model Almost Ideal Demand System (AIDS)
Model Permintaan Almost Ideal Demand System (AIDS) ini pertama kali
diperkenalkan oleh Deaton dan Muellbauer pada tahun 1980. Berbeda dengan
model permintaan lainnya, model ini dapat menjawab tuntutan preferensi
konsumen, dan bentuk fungsinya lebih fleksibel. Hal tersebut disebabkan restriksi-
restriksi dari model ini seperti additivitas, homogenitas, dan simetri dapat diuji
secara statistik (Deaton dan Muellbauer, 1980).
Selain itu, model permintaan ini juga mempertimbangkan keputusan
konsumen dalam menentukan seperangkat komoditi secara bersama-sama. Hal
tersebut tidak ditemukan dalam model permintaan lainnya, sehingga hubungan
silang dua arah antara dua komoditi dapat ditentukan. Hal itu sesuai dengan fakta
yang ada bahwa pemilihan suatu komoditi dilakukan oleh konsumen secara
bersama-sama.
Menurut Deaton dan Muellbauer (1980) beberapa karakteristik penting
dari model permintaan AIDS ini ialah (1) model ini merupakan pendekatan orde
pertama terhadap sembarang fungsi sistem permintaan, (2) dapat memenuhi
aksioma perilaku pemilihan komoditi dengan tepat, (3) dapat digunakan untuk
menguji restriksi homogenitas dan simetrik (4) bentuk fungsinya konsisten dengan
pengeluaran rumah tangga, (5) dapat mengagregasi perilaku rumah tangga tanpa
menerapkan kurva Engel yang linier, dan yang terpenting parameternya mudah
diduga tanpa harus menggunakan metode non linier.
12
2.2 Penelitian yang Menggunakan Model Almost Ideal Demand System (AIDS)
Penelitian mengenai permintaan pangan di Kawasan Timur Indonesia
(KTI) dengan menggunakan Model AIDS yang dilakukan oleh Saliem (2002)
mencoba untuk menganalisis permintaan pangan dan konsumsi zat gizi
rumahtangga di daerah pedesaan dan perkotaan wilayah KTI menurut golongan
pendapatan dan dikaitkan dengan upaya pemenuhan konsumsi zat gizi
rumahtangga. Dalam penelitian tersebut digunakan data SUSENAS tahun 1996,
dimana rumahtangga yang dipilih menjadi sampelnya ialah rumahtangga yang
konsumsi energinya berada pada selang 1000 – 4500 kkal/kapita/hari. Dalam studi
tersebut juga dilakukan pengelompokkan (agregasi) komoditi pangan menjadi 15
kelompok.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa beras dominan dalam struktur
anggaran serta kontribusi energi dan protein rumahtangga di KTI. Konsumsi
pangan sumber karbohidrat di daerah pedesaan KTI lebih tinggi daripada di kota,
namun untuk pangan sumber protein terjadi sebaliknya. Dari hasil analisis juga
diketahui bahwa makin tinggi tingkat pendapatan maka makin tinggi pula tingkat
konsumsi pangannya. Selain itu, permintaan pangan rumahtangga di pedesaan
KTI lebih responsif terhadap perubahan harga dan pendapatan dibanding
rumahtangga di kota. Peubah jumlah anggota rumahtangga dan pendidikan kepala
rumahtangga terbukti berpengaruh nyata terhadap permintaan pangan
rumahtangga di KTI.
Rachmat dan Erwidodo (1993) juga menggunakan model AIDS dalam
penelitiannya untuk menganalisis elastisitas harga sendiri, elastisitas harga silang,
13
dan elastisitas pengeluaran dari komoditi pangan utama. Komoditi yang dianalisis
meliputi beras, jagung, kacang tanah, gula, dan komoditi kacang-kacangan
lainnya. Di samping pendugaan secara agregat (nasional), dilakukan pula
pendugaan menurut daerah (desa-kota) serta pendugaan menurut kelompok
pendapatan. Dalam penelitian tersebut diperbandingkan pemakaian unit analisa
rumah tangga dan blok sensus. Data yang digunakan ialah data SUSENAS tahun
1990 berupa data konsumsi dan pengeluaran rumahtangga.
Dari hasil dugaan dapat disimpulkan bahwa permintaan terhadap beras
paling elastis, menyusul jagung, gula, kedelai, dan komoditi lainnya. Di wilayah
pedesaan, permintaan komoditi beras, jagung, kedelai, dan pangan lain lebih
elastis dibanding di perkotaan, sedangkan pada komoditi gula berlaku sebaliknya.
Pada seluruh komoditi yang dianalisa, elastisitas pengeluaran cukup elastis yang
berarti dengan semakin meningkatnya pendapatan rumahtangga akan
meningkatkan permintaan komoditi tersebut. Selain itu diketahui pula adanya
kecenderungan sifat komplemen antar komoditi pangan yang dianalisa, dimana
sifat komplemen relatif kuat terjadi antara beras dengan kedelai, gula dan
komoditi lainnya. Beberapa hasil penelitian lainnya yang menggunakan model
AIDS dalam analisanya disajikan dalam Tabel 4.
2.3 Penelitian Mengenai Pola Konsumsi dan Permintaan Buah
Penelitian mengenai perubahan pola konsumsi komoditas hortikultura
yang dilakukan oleh Sawit dkk (1997) bertujuan menganalisis perubahan tingkat
partisipasi dan tingkat konsumsi komoditas hortikultura, menganalisis faktor-
faktor sosial ekonomi terhadap pola konsumsi komoditas hortikultura, dan
14
menduga besaran parameter-parameter permintaan komoditas hortikultura. Data
yang digunakan terutama adalah data SUSENAS tahun 1987, 1990, dan 1993.
Analisis dilakukan secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif (dengan
menggunakan model AIDS). Pada penelitian ini dianalisis 9 jenis sayuran dan 10
jenis buah-buahan yang dipilih berdasarkan nilai ekonominya. Unit sampling yang
digunakan adalah Primary Sampling Unit (PSU).
Hasil analisis menunjukkan pengeluaran untuk sayuran dan buah-buahan
berdasarkan data SUSENAS tahun 1987, 1990, dan 1993 relatif kecil, yaitu
kurang dari 5 persen, dibandingkan dengan beras dan serelia. Secara agregat
terjadi peningkatan pangsa pengeluaran untuk sayuran dan buah-buahan di kota
dan di desa tahun 1987 yaitu 1,6 persen menjadi 4 persen pada tahun 1990 dan
1993. Diketahui pula bahwa tingkat partisipasi konsumsi buah di kota relatif lebih
besar dibandingkan di pedesaan dan terdapat kecenderungan bahwa semakin
tinggi pendapatan (yang diproyeksi dengan pengeluaran) semakin tinggi pula
tingkat partisipasi konsumsi buah-buahan. Nilai elastisitas harga sendiri untuk
semua komoditi hortikultura bertanda negatif, namun bervariasi untuk setiap
komoditi sayuran atau buah-buahan baik antar tahun, jenis, maupun wilayah. Nilai
elastisitas pengeluaran untuk sayuran dan buah-buahan (kecuali pepaya di
pedesaan) bertanda positif.
Hartoyo (1997) juga melakukan penelitian mengenai permintaan buah-
buahan di Jawa Barat dengan menggunakan data SUSENAS tahun 1996. Dalam
melakukan analisisnya Hartoyo (1997) menggunakan model AIDS dan untuk
pendugaan parameternya digunakan metode SUR (Seemingly Unrelated
Regression) dengan memasukkan pembatas-pembatas aditif, homogen, dan
15
simetri. Jenis buah-buahan yang dianalisis adalh jeruk, mangga, apel, rambutan,
salak, pisang, dan pepaya. Dalam pendugaan parameter, rumahtangga responden
dikelompokkan berdasarkan tingkat pengeluaran rumahtangga dan berdasarkan
jumlah anggota rumahtangga, yang kemudian dihitung rata-rata konsumsi dan
pengeluaran untuk masing-masing kelompok.
Hasil penelitian Hartoyo (1997) menunjukkan bahwa elastisitas harga
sendiri dari tujuh buah yang dianalisis semuanya memiliki nilai yang inelastis,
yaitu berkisar antara -0,051 hingga -0,809, yang berarti bahwa permintaan buah-
buahan tersebut tidak responsif terhadap perubahan harga. Elastisitas harga silang
ada yang bertanda positif dan ada pula yang bertanda negatif, yang berarti terdapat
buah-buahan yang bersifat subtitusi atau komplementer satu sama lain.Seluruh
nilai elastisitas silang tersebut krang dari satu (inelastis) yang berarti perubahan
harga buah yang satu tidak banyak berpengaruh terhadap perubahan jumlah
permintaan buah lainnya. Buah-buahan yang elastisitas pendapatannya
mempunyai nilai yang elastis adalah jeruk dan apel, sedangkan buah-buahan yang
lain mempunyai nilai yang inelastis tetapi mendekati satu. Ini berarti bahwa
perubahan tingkat pendapatan sangat berpengaruh terhadap perubahan jumlah
buah-buahan yang diminta.
2.4 Komentar terhadap Penelitian Terdahulu
Penelitian konsumsi atau permintaan komoditi pangan yang selama ini
telah dilakukan mayoritas mengkaji komoditi bahan pangan pokok, seperti beras,
jagung, kedelai, dan sebagainya. Penelitian-penelitian yang mengkaji permintaan
produk hortikultura masih sedikit dilakukan. Jika ada pun penelitian tersebut
16
dilakukan secara agregat yaitu tanpa merinci jenis komoditi hortikultura, padahal
tentunya terdapat perbedaan tingkat konsumsi serta musim panen antara satu
komoditi dengan komoditi lainnya.
Dari berbagai studi pustaka yang dilakukan (Deaton (1981), Daud (1986),
Rahmi (2001), dan Saliem (2002)), terlihat bahwa cakupan kajian konsumsi dan
permintaan diarahkan kepada kelompok komoditi pangan (termasuk di dalamnya
komoditi hortikultura, sayur dan buah) secara agregat. Namun ada pula beberapa
penelitian yang telah merinci komoditi hortikultura, seperti penelitian Hartoyo
(1997) dan Sawit, dkk (1997).
Berbagai penelitian tersebut telah dilakukan dengan membagi analisis
berdasarkan wilayah pedesaan dan perkotaan maupun di berbagai kelas
pendapatan. Namun demikian, penelitian-penelitian tersebut menggunakan data
SUSENAS (Survey Sosial Ekonomi Nasional) sebelum tahun 2000 . Karena itu,
dalam penelitian ini dicoba untuk menganalisis permintaan buah-buahan yang
juga dirinci per komoditi, kelas pendapatan, dan wilayah desa-kotanya untuk
Pulau Jawa dengan menggunakan data SUSENAS tahun 2005 dan memasukkan
faktor- faktor sosiodemografi dalam merumuskan model permintaannya. Dalam
penelitian ini juga akan diperbandingkan penggunaan unit sampling Rumah
Tangga (RT) dan Primary Sampling Unit (PSU) yang akan dijelaskan secara
lebih mendalam dalam bab metode penelitian.
17
Tabel 4 : Elastisitas Harga sendiri (Ed) & Elastisitas Pendapatan (Ei) untuk Komoditi buah-buahan dari Berbagai Penelitian (yang Menggunakan Model AIDS)
Peneliti Tujuan Penelitian Jenis/Sumber Data Wilayah studi Unit
Analisis Hasil
Lekir Amir Daud (1986) Mewa Ariani (1993) Handewi P. Saliem dan Erwidodo (1994) Sri Hartoyo (1997)
Analisis Permintaan makanan penting di Indonesia Analisis permintaan pangan di 3 provinsi di Indonesia : Sumbar, Jatim, dan Sulsel. Analisis Permintaan Pangan di Indonesia. Analisis permintaan Buah-buahan di Jawa Barat.
Jawa, desa-kota Sumbar, Jatim, dan Sulsel Indonesia, desa-kota, kelas pendapatan Jawa Barat
Rumah tangga Rumah tangga PSU Rata-rata kelompok pengeluaran & jumlah anggota rumah tangga
Untuk kelompok komoditi sayuran/kacang/buah : - Ed : -0,83 (Jawa) dan -0,67 (non
Jawa). - Ei : 1,07 (Jawa) dan 1,08 (non Jawa) Untuk kelompok sayur dan buah : - Ed : Sumbar (-0,67), Jatim (-1,01) dan
Sulsel (-0,77) - Ei : Sumbar (1,15), Jatim (1,02), dan
Sulsel (1,17). Untuk kelompok buah-buahan : - Ed : Desa (-0,63), Kota (-0,63) dan
total (-0,64). - Ei : Desa (0,60), Kota (0,39) dan total
(1,49). - Ed : bernilai negatif untuk semua
komoditi yang dianalisis, yaitu jeruk, mangga, apel, rambutan, salak, pisang, pepaya, dan lainnya.
- Ei :Bernilai positif dengan : * nilai > 1 untuk jeruk, apel, dan lainnya. * nilai < 1 untuk mangga, rambutan,
salak, pisang, dan pepaya.
18
Peneliti Tujuan pennelitian Jenis/Sumber Data Wilayah Studi Unit Analisis Hasil
Angus Deaton (1981) M. Husein Sawit, dkk (1997) Dewi Rahmi (2001) Handewi P. Saliem (2002)
Analisis Elastisitas Harga Komoditi Pangan di daerah Pedesaan jawa Analisis pola konsumsi hortikultura di Indonesia. Analisis Permintaan Makanan & Dampak perbahan Harga terhadap kesejahteraan RT di Jawa Barat Analisis Permintaan Pangan di Kawasan Timur Indonesia (KTI)
Susenas 1981 Susenas 1987 dan 1993 Susenas 1996 Susenas 1996
Pedesaan Jawa Indonesia, desa-kota Jawa Barat, desa-kota, kelas pendapatan Kawasan Timur Indonesia, desa-kota, kelas pendapatan
PSU PSU Rumah Tangga Rumah Tangga
Untuk kelompok buah-buahan : Ed = -0.953
Untuk data susenas 1987 : - elastisitas harga sendiri : jeruk : -0,449 (kota), -0,594 (desa) pisang : -0,648 (kota), -0,569 (desa) pepaya : -1,09 (kota), -0,291 (desa) -elastisitas pengeluaran : jeruk : 0,419 (kota), 0,520 (desa) pisang : 0,264 (kota), 0,420 (desa) pepaya : 0,207 (kota), -0,594 (desa) Untuk grup komoditi buah-buahan : Ed : -0,588 (Jabar), -0,661 (desa), dan -0,524 (kota) Ei : 1,261 (Kota) dan 1,157 (desa) Income rendah (1,143), sedang (1,157), dan tinggi (1,229) Untuk kelompok buah-buahan: - Ed : Desa (-0,809), Kota (-0,628) dan
total (-0,724) - Ei : Desa (1,366), Kota (1,08), dan
total (1,208).
19
BAB III
KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.1 Teori Perilaku Konsumen
Teori permintaan pasar dijelaskan sebelumnya melalui teori permintaan
individu, mengingat adanya konsep bahwa permintaan pasar merupakan
penjumlahan dari permintaan individu. Teori permintaan individu sendiri
umumnya diturunkan dari teori perilaku konsumen, oleh karena itu pembahasan
mengenai teori perilaku konsumen ini menjadi penting. Perilaku konsumen
umumnya diterangkan dengan pendekatan fungsi kepuasan (utility function).
Dalam teori ekonomi, seringkali rumah tangga dianggap sebagai unit
pengambil keputusan yang terkecil. Dalam mengambil keputusan tersebut,
terdapat asumsi pokok bahwa rumah tangga akan memaksimumkan apa yang
seringkali disebut kepuasan (utilitas) mereka, kesejahteraan mereka, atau
kemakmuran mereka (Lipsey, 1993). Jika rumah tangga tersebut dihadapkan
dengan pilihan antara dua kelompok alternatif konsumsi, maka asumsinya rumah
tangga tersebut akan memilih kelompok yang disenanginya, atau dengan kata lain
rumah tangga tersebut menentukan pilihannya (preferensinya) dalam rangka
memaksimumkan kepuasannya (utilitasnya).
Menurut Nicholson (2002), utilitas/kepuasan didefinisikan sebagai
kepuasan yang diterima seseorang akibat aktivitas ekonomi yang dilakukannya.
Konsep utilitas ini sendiri sebenarnya memiliki makna yang luas karena tingkat
kepuasan seseorang merupakan suatu hal yang bersifat subjektif dan nilainya tidak
20
dapat diukur secara pasti. Namun terdapat beberapa sifat mendasar mengenai
preferensi individu ini, yaitu :
1. Complete Preferences (Preferensi yang lengkap).
Dalam sifat dasar ini diasumsikan bahwa para individu mampu menyatakan
apa yang diinginkannya dari antara dua pilihan. Jika terdapat dua kelompok
konsumsi A dan B, maka diharapkan bahwa individu tersebut dapat secara
tegas menyatakan kelompok satu akan lebih baik dari kelompok lainnya.
2. Transitivity of Preferences ( Preferensi bersifat transitif).
Dalam sifat dasar ini dijelaskan bahwa jika A lebih diinginkan dari B, dan B
lebih diinginkan dari C, maka A harus lebih diinginkan dari C. Jadi dalam hal
ini diasumsikan bahwa individu akan bersikap konsisten dalam menentukan
pilihannya.
3. ‘More is better than less’.
Dalam sifat dasar ketiga ini diasumsikan bahwa individu akan lebih menyukai
banyak barang daripada sedikit barang.
3.1.2 Pengertian Permintaan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya
3.1.2.1 Dualitas Dalam Teori Permintaan
Dalam teori produksi dikatakan bahwa produsen memiliki tujuan
memaksimumkan outputnya (pada berbagai tingkat harga input) dengan memilih
cara yang menghabiskan biaya seminimum mungkin. Minimisasi biaya dan
maksimisasi output pada tingkat anggaran tertentu merupakan suatu alt ernatif
dalam mencapai efisiensi dalam produksi. Konsep ini merupakan konsep efisiensi
ditinjau dari sisi produsen, sedangkan dari sisi konsumen konsep tersebut dapat
21
juga dijelaskan dengan cara yang sama. Konsumen sesungguhnya menghadapi
masalah maksimisasi kepuasan pada tingkat anggaran tertentu. Masalah ini dapat
dirumuskan kembali sebagai masalah minimisasi biaya/pengeluaran (expenditure)
untuk mencapai tingkat kepuasan (utility) tertentu. Kedua masalah ini sering
disebut sebagai “dual problem”. Sistema tikanya ialah sebagai berikut:
• Masalah Orisinil (Original Problem) :
Maksimisasi utilitas (u)= v(q) dengan kendala p.q = x
• Dual Problem :
Minimisasi pengeluaran (x) = p.q dengan kendala v(q) = u
Lebih jauh kedua permasalahan ini harus menghasilkan pilihan yang sama
(pilihan kuantitas q optimal yang sama). Dengan kata lain, pengeluaran (x) di
original problem, harus menjadi pengeluaran minimum di dual problem.
Pada original problem, solusi untuk memperoleh nilai q optimal
sudah diperoleh, seperti yang dijelaskan dalam sub bab sifat-sifat fungsi
permintaan (3.2.2). Solusinya merupakan sistem permintaan Marshallian
g(x,p). Sedangkan pada dual problem, variabel yang sudah ditetapkan adalah
u dan p, sehingga dapat diperoleh solusi yang sama, namun sebagai fungsi dari
u dan p. Fungsi permintaan yang meminimisasi pengeluaran ini ditulis h(u,p)
dan dikenal sebagai fungsi permintaan Hicksician atau “compensated”.
Persamaan ini menjelaskan bagaimana q dipengaruhi oleh harga (p) dan
utilitas (U) yang nilainya konstan, karena itulah disebut “compensated”.
Karena kedua persamaan tersebut sama, maka :
Q = g(x,p) = h(u,p) ………………..(3.1)
Masing-masing solusi ini dapat disubtitusikan kembali ke masalah awalnya.
22
Pertama : masalah maksimisasi utilitas (u) :
U = v (q1, q2, …, qn)
= v [g1(x,p), g2(x,p), …, gn(x,p)]
= ? (x,p) …………………(3.2)
persamaan (3.2) di atas merupakan utilitas maksimum yang dapat dicapai
dengan harga (p) dan anggaran (x) tertentu. Fungsi ? (x,p) ini disebut fungsi
kepuasan tidak langsung (indirect utility function), dan dapat pula ditulis
persamaan (3.3) di atas adalah biaya minimum dalam mencapai utilitas (u)
tertentu pada tingkat harga P, dan dikenal sebagai fungsi biaya (cost
function). Persamaan tersebut dapat ditulis sebagai berikut :
c (u,p) = q
min [x = p.q; u = v(q)]
Antara fungsi biaya dan fungsi kepuasan tidak langsung terdapat
hubungan yang erat. Karena c(u,p) = x, maka kita dapat menuliskan u sebagai
fungsi dari x dan p yaitu u = ? (x,p). Sistematika hal ini dapat dilihat dalam
gambar 3.
23
dualitas
solusi solusi
subtitusi subtitusi
inversi
Gambar 3. Maksimisasi Utilitas dan Minimisasi Biaya.
3.1.2.2 Sifat-sifat Fungsi Permintaan
Permintaan terhadap komoditi tertentu dipengaruhi oleh banyaknya faktor
secara simultan. Secara sederhana, Deaton dan Muellbauer (1980) menjelaskan
bahwa dalam membeli sejumlah komoditi i, seorang konsumen pasti akan
dipengaruhi oleh harga komoditi tersebut (p) dan total pengeluaranya (x) (sebagai
pendekatan dari pendapatan), dan jika dituliskan fungsinya menjadi :
qi = gi (x,p) ……………………..….(3.4)
Dimana persamaan (3.4) di atas umumnya disebut sebagai “fungsi permintaan
Marshallian”. Beberapa faktor lain yang berpengaruh terhadap permintaan antara
lain harga-harga komoditi lain, selera, distribusi pendapatan, jumlah penduduk,
kesejahteraan konsumen, kebijaksanaan pemerintah, dan sebagainya. Dalam teori
permintaan yang tradisional, faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan
dititikberatkan pada empat hal, yaitu harga komoditi yang bersangkutan, harga
komoditi lainnya, pendapatan konsumen, dan selera. (Kuntjoro, 1984)
Maksimisasi v(q) Tergantung pada p.q = x
Minimisasi p.q Tergantung pada v(q) = u
Permintaan Marshallian Q = g (x,p)
Fungsi biaya C (u,p)
Permintaan Hicksician Q = h (u,p)
Fungsi utilitas tak langsung ? (x,p)
24
Deaton dan Muellbauer (1980) telah meringkas beberapa sifat dari fungsi
permintaan Hicksician dan Marshallian sebagai berikut :
a). Adding Up
Nilai total atau penjumlahan dari permintaan (baik fungsi permintaan
Hicksician maupun fungsi permintaan Marshallian) merupakan total pengeluaran
dari suatu rumah tangga dalam mengkonsumsi barang dan jasa. Dari persamaan
(x) di atas dapat diperoleh fungsi berikut :
∑=
n
i 1
Pi gi(x,p) = x ………………..(3.5)
dimana persamaan (3.5) di atas merupakan penjelasan bagi restriksi adding up.
b). Homogenitas
Fungsi permintaan Hicksician akan homogen berderajat nol terhadap
harga, sedangkan untuk fungsi permintaan Marshallian akan homogen berderajat
nol terhadap harga dan pengeluaran rumah tangga. Hal tersebut menunjukkan
bahwa untuk fungsi permintaan Marshallian apabila terjadi perubahan harga dan
pengeluaran secara proporsional, maka permintaan rumah tangga terhadap suatu
barang atau jasa tidak akan berubah.
c). Simetri
Penurunan koefisien harga silang dari permintaan Hicksician adalah
simetris. Simetris di sini menunjukkan bahwa koefisien harga silang yang
dihasilkan adalah sama. Sifat ini merupakan jaminan dari cara untuk menguji
aksioma yang menyatakan bahwa konsumen bersifat konsisten dalam menentukan
preferensinya.
25
d). Negativitas
Antara harga suatu komoditi dengan jumlah yang diminta akan terdapat
hubungan yang negatif. Hal ini sesuai yang dinyatakan dalam hukum permintaan
(the law of demand), sehingga apabila harga suatu barang meningkat dengan
utilitas diasumsikan tetap, maka permintaan barang tersebut akan turun.
Dari keempat sifat tersebut, dapat disimpulkan bahwa sifat adding up dan
homogenitas merupakan konsekuensi dari spesifikasi kendala anggaran linier.
Lalu sifat simetri dan negativitas adalah konsekuensi dari sifat preferensi
konsumen yang konsisten. Tanpa kedua sifat ini, berarti konsumen tidak konsisten
terhadap pilihannya.
3.1.3 Konsep Elastisitas
Permintaan seorang konsumen terhadap suatu barang dipengaruhi oleh
pendapatannya (I), harga barang tersebut (Px), dan juga oleh harga barang-barang
lain. Bagaimana kepekaan permintaan dipengaruhi oleh faktor- faktor tersebut,
dijelaskan oleh suatu konsep elastisitas (elastisity). Menurut Nicholson (2002)
elastisitas merupakan ukuran persentase perubahan suatu variabel yang
disebabkan oleh satu persen perubahan variabel lainnya. Konsep elastisitas
permintaan ini memiliki beberapa macam variasi, yaitu :
1. Elastisitas Harga dari Permintaan
Salah satu aplikasi elastisitas yang paling penting ialah elastisitas harga
dari permintaan (price elastisity of demand). Perubahan P (harga barang) akan
menyebabkan perubahan Q (kuantitas yang dibeli/dikonsumsi), dan elastisitas
harga dari permintaan mengukur hubungan ini. Secara khusus, elastisitas harga
26
dari permintaan (eQ,P) didefinisikan sebagai persentase perubahan kuantitas
sebagai respon atas satu persen perubahan harga. Bentuk matematisnya ialah
sebagai berikut :
EQ,P = PerubahanPPersentasePerubahanQPersentase
……….(3.1.3.a)
Elastisitas ini menunjukkan bagaimana perubahan Q, dalam nilai persentase,
merespon persentase perubahan P. Karena P dan Q bergerak ke arah yang
berlawanan, maka eQ,P akan bernilai negatif4. Elastisitas harga (eQ,P) ini dikatakan
elastis jika nilai absolutnya lebih dari satu, dan dikatakan inelastis jika kurang dari
satu.
2. Elastisitas Pendapatan dari Permintaan
Tipe elastisitas lainnya adalah elastisitas pendapatan dari permintaan
(income elastisity of demand) (eQ,I). Konsepnya, elastisitas jenis ini merupakan
persentase perubahan kuantitas suatu barang yang diminta sebagai respon atas
perubahan pendapatan sebesar satu persen. Secara matematis, elastisitas
pendapatan dirumuskan sebagai berikut :
EQ,I = PerubahanIPersentasePerubahanQPersentase
……….(3.1.3.b)
Konsep elastisitas pendapatan ini dapat digunakan untuk mengkategorikan suatu
barang, apakah ia tergolong sebagai komoditi normal, inferior, atau barang
mewah (luxury). Untuk suatu barang normal, eQ,I adalah positif karena kenaikan
pendapatan mengakibatkan kenaikan pembelian barang. Di sisi lain, suatu barang
termasuk kepada barang inferior jika nilai eQ,I adalah negatif. Hal ini berarti
4 Kadang-kadang, elastisitas harga dari permintaan didefinisikan sebagai nilai absolute dari hasil definisi persamaan 3.1.3.a. Dengan menggunakan definisi ini, elastisitas tidak akan pernah bernilai negatif.
27
peningkatan pendapatan justru menurunkan kuantitas barang yang dibeli. Barang-
barang dengan elastisitas pendapatan eQ,I > 1 dapat dikategorikan sebagai barang-
barang mewah (luxury).
3. Elastisitas Harga Silang dari Permintaan
Salah satu faktor yang akan mempengaruhi kuantitas permintaan suatu
jenis barang ialah perubahan harga barang-barang lainnya. Untuk mengukur efek
perubahan tersebut, terdapat suatu konsep elastisitas harga silang dari permintaan
(cross price elastisity of demand). Elastisitas ini didefinisikan sebagai persentase
perubahan kuantitas suatu barang yang diminta (Q) sebagai respon atas satu
persen perubahan harga barang lain (P’). Maka :
EQ,P’ = 'PerubahanPPersentase
PerubahanQPersentase ……….(3.1.3.c)
Konsep elastisitas harga silang ini dapat digunakan untuk menggolongkan
hubungan antara dua komoditi, apakah saling bersubtitusi atau saling melengkapi
(komplementer). Dua barang akan saling bersubtitusi jika elastisitas harga
silangnya bernilai positif, dimana harga satu barang dengan kuantitas permintaan
barang lain bergerak dengan arah yang sama. Sebaliknya, dua barang akan saling
melengkapi (komplementer) jika elastisitas harga silangnya bernilai negatif. Hal
ini menunjukkan bahwa harga satu barang dan kuantitas barang lain akan
bergerak pada arah yang berlawanan.
3.1.4 Model AIDS
Deaton dan Muellbauer (1980) menurunkan model AIDS dari fungsi biaya
Dengan menggunakan Lemma Shepard [C (u,p)/P t] = Qt diperoleh :
Wi = M
PiQi =
),( pucPi
. PiC
= Pic
loglog
∂∂
……………..(3.7)
Wi = ai + ? Yij log Pj + ßi u ßo pk Pk ßk ……………..(3.8)
Dimana : ½ (Y*ij + Y*ji) = Yij
Dari hubungan dualitas pada permintaan dapat diperoleh fungsi utilitas
tidak langsung, dan dengan memasukkan fungsi utilitas tidak langsung ke
persamaan di atas diperoleh bentuk fungsi “share” (Wi) sebagai berikut :
Wi = ai + ? Yij log Pj + ßi log (PM
) ……………..(3.9)
Dimana : PM
adalah pendapatan yang dibagi oleh indeks harga P.
Indeks P didefinisikan sebagai berikut :
log P = ao + ? k ak log Pk + 0,5 ∑k
∑j
Y*kj log Pk log Pj ………(3.10)
Persamaan (4) menyajikan sistem fungsi permintaan yang konsisten jika
memenuhi restriksi-restriksi berikut :
Aggregasi Engel/ Adding up : ∑α i = 1; ∑i
Yij = 0; ∑i
β i = 0 ..(3.11)
Kehomogenan : ∑j
Yij = 0 ……..…(3.12)
Simetri : Yij = Yji ..............(3.13)
Selanjutnya bila indeks Stone log P* = ? k Wk log Pk diterapkan pada
persamaan (4), akan didapat :
29
Wi (p,x) = ao + ∑j
Yij log Pj + ßi log (*P
M) ……......(3.1.4)
Fungsi ini dikenal sebagai aproksimasi linear dari AIDS
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional
Selama beberapa tahun terakhir pasca krisis ekonomi yang melanda
Indonesia pada pertengahan tahun 1997, indikator makroekonomi di Indonesia
yang antara lain dicerminkan oleh peningkatan pendapatan riil per kapita dan
pertumbuhan ekonomi, serta penurunan laju inflasi mulai mengalami perbaikan.
Dari aspek sosial beberapa indikator yang ada seperti Usia Harapan Hidup, Angka
Kematian Ibu dan Bayi, serta jumlah balita kurang gizi di Indonesia juga mulai
mengalami perbaikan. Di sisi lain, kondisi sektor riil di Indonesia justru
menunjukkan kondisi yang sebaliknya. Jumlah pengangguran terbuka dan pekerja
sektor informal terus meningkat. Jumlah penduduk miskin di Indonesia
proporsinya pun tidak menunjukkan pengurangan yang signifikan.
Salah satu indikator mikroekonomi yaitu tingkat konsumsi buah
masyarakat Indonesia juga menunjukkan tidak adanya peningkatan. Ini
menunjukkan bahwa perbaikan indikator makroekonomi, khususnya peningkatan
PDB riil per kapita belum dapat menggeser pola konsumsi masyarakat Indonesia
ke arah yang lebih baik, yang salah satu indikasinya ialah peningkatan konsumsi
hortikultura (pangan yang kaya vitamin dan mineral), khususnya buah-buahan
menjadi lebih tinggi.
Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan yang akan dicapai dalam
penelitian ini ialah membuat model permintaan lengkap buah di Pulau Jawa untuk
mengetahui faktor-faktor apa saja yang perlu diperhatikan untuk dapat
30
meningkatkan konsumsi buah masyarakat Indonesia, mengingat tingkat konsumsi
buah di Indonesia masih di bawah standar yang dianjurkan oleh FAO sebesar 60
kg/kapita/tahun. Dari model permintaan yang telah diperoleh tersebut, selanjutnya
akan dianalisis mengenai pengaruh dari perubahan harga dan pendapatan terhadap
permintaan buah. Selain itu dalam penelitian ini juga akan diidentifikasi mengenai
pola konsumsi buah pada tingkat rumah tangga di Pulau Jawa yang
diklasifikasikan berdasarkan wilayah (desa-kota) dan juga menurut kelas
pendapatan.
Dalam merumuskan model permintaan lengkap buah ini akan dimasukkan
variabel demografi, yaitu jumlah anggota rumah tangga dan tingkat pendidikan
kepala rumah tangga. Hal ini karena kedua variabel demografi tersebut diduga
akan berpengaruh signifikan terhadap permintaan buah. Jenis buah yang akan
dianalisis ialah jeruk, pisang, dan pepaya. Hal ini didasarkan karena pada tahun
2005 ketiga jenis buah itulah yang tingkat frekuensi konsumsinya paling tinggi
pada tingkat rumah tangga di Pulau Jawa.
Penelitian-penelitian tentang permintaan buah yang sebelumnya telah
dilakukan (Deaton, 1981, Daud, 1986, Rachmat dan Erwidodo, 1993, Ariani,
1993, Saliem dan Erwidodo, 1994, Rahmi, 2001, dan Saliem 2002) umumnya
menganalisa pola konsumsi dan permintaan buah-buahan secara agregat saja. Jika
ada yang menganalisis per komoditi (Hartoyo (1997) dan Sawit, dkk (1997)),
maka belum dibahas bagaimana pengaruh variabel demografi terhadap permintaan
buah.
Untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan di atas, maka untuk
tujuan mengidentifikasi pola konsumsi akan digunakan metode analisis deskriptif
31
kualitatif, yaitu untuk melihat bagaimana perkembangan proporsi pengeluaran
masyarakat untuk komoditi buah, perkembangan tingkat konsumsi buah di
pedesaan dan perkotaan Pulau Jawa, di masing-masing kelas pendapatan, dan juga
di tiap provinsinya. Untuk merumuskan model permintaan lengkap buah di Pulau
Jawa dan pengaruhnya jika terjadi perubahan harga dan permintaan, maka akan
digunakan Model Almost Ideal Demand System (AIDS) dengan metode SUR
(Seemingly Unrelated Regression). Secara skematis kerangka operasional pada
penelitian ini, dapat dilihat pada Gambar 4.
32
Gambar 4. Skema Kerangka Pemikiran Operasional
Sektor riil di masyarakat belum berkembang. Jumlah pengangguran terbuka bertambah pekerja di sektor informal meningkat
Pola konsumsi dan tingkat permintaan buah-buahan di
tingkat Rumah Tangga Pulau Jawa
Faktor eksternal : § produksi/keterse-
diaan buah-buahan di pasar § nilai sosial budaya
yang berlaku dalam masyarakat. § Harga
Faktor Internal : § Pendapatan § Selera § Gaya hidup -desa-kota -antar kelas pendapatan -antar tk.pendidikan § Variabel demografi -jumlah anggota rumah tangga -usia
Metode analisis deskriptif kualitatif
Model Almost Ideal Demand System (AIDS)
Metode SUR (Seemingly Unrelated Regression) Perkembangan tingkat
konsumsi, pengeluaran rumah tangga, dan proporsi dari pengeluaran rumah tangga untuk buah-buahan.
Parameter-parameter yang mempengaruhi
permintaan buah di P. Jawa
Pengaruh perubahan harga dan
pendapatan terhadap permintaan buah di
P. Jawa
Indikator makroekonomi Indonesia pasca krisis moneter 1998 menunjukkan adanya perbaikan.
Pertumbuahan ekonomi & PDB riil per kapita meningkat
Laju inflasi menurun hingga di bawah 10 persen pada tahun 2006
Implikasi teoritis dari adanya perbaikan ekonomi masyarakat ialah pergeseran pola konsumsi pangan.Konsumsi pangan padat
energi menurun dan konsumsi pangan padat protein, vitamin, dan mineral
meningkat.
Kondisi riil pada masyarakat : Belum terjadi pergeseran pola
konsumsi secara sempurna. Tingkat konsumsi buah dalam
kurun waktu 15 tahun cenderung stagan.
Faktor-faktor apa saja yang harus diperhatikan dalam rangka meningkatkan tingkat konsumsi buah masyarakat Indonesia
33
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Wilayah Studi dan Waktu Penelitian
Dalam penelitian ini wilayah studi yang diambil dalam menganalisis pola
konsumsi dan permintaan buah pada tingkat rumah tangga ialah Pulau Jawa. Ini
ata dasar pertimbangan bahwa penduduk di Pulau Jawa relatif heterogen, baik dari
segi tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, gaya hidup, maupun variasi wilayah
(pedesaan dan perkotaan), sehingga diharapkan dapat menjadi cerminan
bagaimana pola konsumsi dan permintaan buah di Indonesia. Penelitian dilakukan
dari bulan Desember 2006 – April 2007.
4.2 Data Penelitian
4.2.1 Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan adalah data sekunder berupa data mentah
SUSENAS (Survey Sosial Ekonomi Nasional) 2005. Data tersebut merupakan
data penampang lintang (cross section) yang dikumpulkan oleh BPS. Data yang
digunakan adalah data konsumsi dan pengeluaran rumah tangga sampel untuk
buah-buahan di wilayah Pulau Jawa. Buah yang dianalisis dalam penelitian ini
ialah jeruk, pisang, dan pepaya. Pemilihan ketiga jenis komoditi tersebut
didasarkan bahwa ketiga jenis buah tersebut memiliki tingkat konsumsi yang
frekuensinya paling tinggi di Pulau Jawa. Karakteristik umum dari data tersebut
dapat dilihat di Lampiran 32. Secara lebih detail, data yang digunakan dalam
penelitian ini disajikan dalam tabel x.
34
Tabel 5. Jenis dan Sumber Data Penelitian
No. Jenis Data Sumber Data
1. Data SUSENAS 2005 (Meliputi data konsumsi buah, pengeluaran rumah tangga, dan data-data demografi rumah tangga untuk wilayah Pulau Jawa)
Pusat Analisis Sosial Ekonomi & Kebijakan
Pertanian (PSE-KP), Dept. Pertanian.
2. Data perkembangan luas panen, produksi, dan produktivitas buah-buahan di Indonesia.
Direktorat Jendral Tanaman Hortikultura
3. Data Perkembangan Konsumsi, Pengeluaran dan Ekspor buah-buahan di Indonesia. Badan Pusat Statistik
4.2.2 Kerangka Sampel Data Susenas 2005
Kerangka sampel yang digunakan dalam SUSENAS 2005 terdiri dari tiga
jenis, yaitu (1) kerangka sampel untuk pemilihan blok sensus, (2) kerangka
sampel untuk pemilihan sub blok sensus, dan (3) kerangka sampel untuk
pemilihan rumah tangga dalam blok sensus/sub blok sensus terpilih.
Kerangka sampel untuk pemilihan blok sensus adalah daftar blok sensus
biasa yang dilengkapi jumlah rumah tangga hasil pencacahan P4B 2003
(Pendaftaran pemilih dan Pendataan penduduk berkelanjutan). Kerangka sampel
ini mencakup blok sensus biasa di 440 kabupaten/kota dan dibedakan menurut
daerah perkotaan dan pedesaan.
Kerangka sampel untuk pemilihan sub blok sensus adalah daftar sub blok
sensus yang terdapat dalam blok sensus terpilih, yang mempunyai jumlah rumah
tangga lebih besar dari 150 rumah tangga. Sedangkan kerangka sampel untuk
pemilihan rumah tangga adalah daftar rumah tangga hasil pendaftaran rumah
tangga, dimana untuk setiap blok sensus yang terpilih diambil 16 rumah tangga
secara sistematik
35
4.2.3 Teknik Penarikan Contoh Penelitian
Dalam penelitian ini akan diperbandingkan penggunaan unit sampling
Rumah Tangga (RT) dan blok sensus atau disebut juga Primary Sampling Unit
(PSU). Satu PSU terdiri dari rumah tangga yang memiliki nomor kode sampel
yang sama. Untuk wilayah Jawa, satu PSU terdiri dari 16 rumah tangga.
Pemakaian PSU sebagai unit sampling didasarkan kepada pertimbangan
bahwa melalui pemakaian PSU diharapkan dapat mengatasi kelemahan
kemungkinan tidak seluruh pengamatan terisi. Dalam pendugaan simultan
mengharuskan semua contoh mengkonsumsi semua komoditi yang dianalisa
sebagai akibat dari adanya asumsi bahwa antar komoditi memiliki keterkaitan.
Selain itu, Rachmad dan Erwidodo (1993) juga menyimpulkan bahwa pendugaan
model AIDS dengan menggunakan PSU/blok sensus untuk komoditi pangan
utama (yang umumnya relatif banyak dikonsumsi oleh masyarakat) menghasilkan
dugaan yang lebih sesuai dengan teori permintaan dibandingkan dengan
pemakaian unit analisa rumah tangga. Oleh karena itu, dalam penelitian ini ingin
memperbandingkan kembali pemakaian unit sampling RT dan PSU, namun untuk
komoditi buah-buahan (yang relatif sedikit dikonsumsi oleh masyarakat)
Prosedur penarikan contoh dalam penelitian ini secara lebih rinci ialah
sebagai berikut. Untuk analisa dengan unit sampling RT dari total 30.580 unit
rumah tangga contoh untuk wilayah Pulau Jawa, dipilih rumah tangga yang
mengkonsumsi ketiga jenis buah yang dianalisis (jeruk, pisang, dan pepaya). Dari
hasil penyortiran tersebut diperoleh 1218 unit rumah tangga (3,98 %) yang
selanjutnya akan digunakan dalam analisis. Untuk analisa dengan unit sampling
PSU, Pertama sebanyak 30.580 unit rumah tangga contoh untuk wilayah Pulau
36
Jawa dari data SUSENAS 2005 dikelompokkan berdasarkan kode sampelnya.
Dari hasil pengelompokkan ini diperoleh 1916 PSU (Primary Unit Sampling).
Setiap satu PSU kurang lebih terdiri dari 16 rumah tangga. Selain itu dilakukan
pula penarikan nilai rata-rata pada ‘konsumsi’ dan ‘pengeluaran’ untuk setiap
rumah tangga yang berkode sampel sama tersebut (atau rumah tangga yang
tergabung dalam satu PSU). Kedua, dilakukan penyortiran untuk PSU yang
mengkonsumsi ketiga jenis komoditi yang dianalisis. Dari total 1916 PSU,
diperoleh 1228 PSU (64,09 %) yang akan digunakan sebagai sampel dalam
analisis selanjutnya.
4.2.4 Pengelompokan Data
Wilayah Pulau Jawa yang mencakup 6 provinsi dalam analisis ini
dibedakan menjadi : (1) Jawa Total, (2) Jawa Pedesaan, (3) Jawa Perkotaan,
(4) Jawa menurut kelas pendapatan, dan (5) Jawa menurut tingkat pendidikan.
Untuk pengklasifikasian sampel (baik RT maupun PSU) berdasarkan kelas
pendapatan, maka digunakan kriteria Bank Dunia, yang mengelompokkan dalam
tiga kelas pendapatan berdasarkan sebarannya. Setelah diranking, kelompok
rumah tangga pendapatan rendah adalah 40 persen sampel pengeluaran terbawah,
kelompok pendapatan tinggi adalah 20 persen pendapatan tertinggi dan sisa
diantaranya (40 %) adalah kelompok pendapatan sedang. Dalam analisis, tingkat
pendapatan diproksi dengan tingkat pengeluaran rumah tangga. Sedangkan untuk
pengklasifikasian berdasarkan tingkat pendidikan dibagi ke dalam 3 kelompok,
yaitu :
37
1. Tingkat pendidikan rendah : masa sekolah = 6 tahun (Tamat SD)
2. Tingkat pendidikan sedang : 6,1 = masa sekolah = 9 tahun (tamat SMP)
3. Tingkat pendidikan tinggi : 9,1 = masa sekolah.
4.3 Spesifikasi Model Analisis
Dalam spesifikasi model dilakukan tiga tahap aktivitas, yaitu : pertama,
penentuan peubah tak bebas dan peubah bebas (peubah penjelas), kedua
penentuan suatu harapan yang bersifat a priori mengenai tanda dan ukuran dari
parameter yang diduga, dan ketiga menentukan bentuk hubungan matematik dari
model (Koutsoyianis, 1978).
Lebih jauh dalam memilih model persamaan permintaan lengkap, Teklu
dan Johnson (1986) dalam Daud (1986) menyatakan bahwa harus pula
dipertimbangkan hal-hal berikut :
1. Model permintaan yang dipilih harus konsisten dengan teori permintaan
konsumen.
2. Persamaan tersebut harus cukup fleksibel dalam parameternya, sederhana, dan
mudah dalam pendugaan serta harus sesuai dengan kondisi data di Indonesia.
3. Struktur teori model permintaan dugaan harus mampu membangun hubungan
yang konsisten antara sistem permintaan pasar dan sistem permintaan
individu.
Dalam penelitian ini digunakan dua asumsi. Pertama konsumen
diasumsikan akan mengalokasikan pendapatannya untuk barang-barang konsumsi
secara bertahap. Pada tahap pertama konsumen mengalokasikan pendapatannya
untuk pengeluaran makanan (food) dan bukan makanan (non food), lalu tahap
38
kedua konsumen mengalokasikan porsi pengeluaran untuk makanan ke dalam
kelompok bahan-bahan makanan seperti padi, ikan, daging, sayur-sayuran, buah-
buahan, dan sebagainya. Tahap ketiga, konsumen mengalokasikan porsi
pengeluaran buah-buahan ke dalam pengeluaran sejumlah komoditi yang lebih
spesifik, misalnya buah pisang, jeruk, pepaya, atau semangka. Kedua,
diasumsikan terdapat keterpisahan lemah (weak separability) baik antara jenis
buah, maupun antara kelompok komoditi buah-buahan dengan sayuran, ikan,
daging, dan kelompok makanan lainnya. Sehingga implikasi dari adanya asumsi
ini ialah konsumen dapat mengurutkan (to rank) preferensinya antara satu jenis
buah dengan buah lainnya.
4.3.1 Model Almost Ideal Demand System (AIDS)
Model matematika yang akan digunakan adalah aproksimasi linier dari
model AIDS (LA/AIDS, Linier Approximation/Almost Ideal Demand System),
yaitu sebagai berikut :
Wi = ai + ∑j
Yi j log pj + ßi log (*p
x) + ? log S + d log Ed + e log Exp
Untuk i, j = 1,2,3 yang masing-masing menunjukkan kelompok jeruk, pisang, dan
pepaya.
Keterangan :
Wi = share/proporsi pengeluaran komoditi ke-i terhadaptotal
pengeluaran untuk buah-buahan, dimana i = 1,2,…, n.
a, ß, dan Y = parameter regresi, berturut-turut untuk intersep, pengeluaran
dan harga agregat dari masing-masing komoditi.
39
?, d, dan e = parameter regresi berturut-turut untuk jumlah anggota rumah
tangga, tingkat pendidikan kepala rumahtangga, dan
pengeluaran total rumah tangga.
pj = Harga agregat dari komoditi ke-j, dengan j = 1,2, …, n.
*px
= pengeluaran untuk buah-buahan dibagi dengan indeks stone.
S = jumlah anggota rumah tangga (orang)
Ed = tingkat pendidikan kepala rumah tangga (tahun)
Exp = pengeluaran total rumah tangga (Rp/bulan)
Untuk menjamin asumsi maksimisasi kepuasan agar terpenuhi, maka
terdapat tiga restriksi yang harus dimasukkan ke dalam model, yaitu restriksi
penjumlahan (adding up), restriksi homogenitas dan simetri. Berturut-turut ketiga
restriksi tersebut ialah :
Adding up : ∑i
ai = 1, ∑i
Yij = 0, ∑i
ßi = 0
Homogenitas : ∑j
Yij = 0
Simetri : Yij = Yji
4.3.2 Perhitungan Nilai Elastisitas
Besaran elastisitas permintaan untuk harga dan pengeluaran dihitung dari
rumus yang diturunkan dari fungsi permintaan Rumus perhitungan elastisitas
adalah sebagai berikut :
a). Elastisitas harga langsung = eii = WiYii
- 1
b). Elastisitas harga silang = ei j = WiYij
(i ? j)
c). Elastisitas pengeluaran = ni = 1 + Wi
iβ
40
4.3.3 Pembentukan Harga Agregat dan Indeks Stone
Harga agregat dari masing-masing komoditi diperoleh sebagai rata-rata
tertimbang dari masing-masing komoditi tersebut, yang diperoleh dari hasil
pembagian antara total pengeluaran rumah tangga untuk komoditi i (dalam rupiah)
dengan jumlah total jumlah komoditi i yang dikonsumsi.tersebut (dalam kg).
Dimana dalam hal ini, rumah tangga yang diperhitungkan adalah rumah tangga
yang mengkonsumsi komoditi i tersebut.
Untuk memperoleh nilai Indeks Stone digunakan rumus sebagai berikut :
Log p* = ? W k log pk
Dimana : p* = indeks stone
Wk = proporsi pengeluaran komoditi k terhadap total
pengeluaran untuk buah-buahan
pk = Harga agregat dari komoditi k.
4.4 Prosedur Pendugaan dan Pengujian Restriksi
Pendugaan parameter sistem persamaan permintaan dari model AIDS
dilakukan dengan metode SUR (Seemengly Unrelated Regression) dan perangkat
lunak yang digunakan adalah SAS (Statistical Analysis System). Pengujian yang
dilakukan untuk melihat berpengaruh atau tidaknya parameter-paremeter harga
dan pendapatan maupun variabel-variabel demografi digunakan uji-t.
Berdasarkan teori permintaan, seperti dijelaskan dalam sub bab kerangka
pemikiran teori, fungsi permintaan mempunyai ciri atau syarat homogenitas dan
simetri. Untuk kepentingan tersebut dilakukan pengujian terhadap model
persamaan permintaan tanpa dan dengan restriksi homogen dan simetri. Kaidah
41
uji yang digunakan untuk menguji restriksi tersebut adalah uji-F (Koutsiyiannis,
A. 1977) dengan penjabaran sebagai berikut :
F = ? e22 - ? e2
1 (N-k) ? e2
1 dimana :
? e21 = sum square error dari persamaan yang tidak direstriksi
? e22 = sum square error dari persamaan yang direstriksi (homogen, simetri, dan
adding up)
N = jumlah sampel
K = jumlah variabel bebas dan intersep
42
BAB V
GAMBARAN UMUM
5.1 Perkembangan Luas Panen
Perkembangan luas panen buah-buahan di Indonesia selama beberapa
tahun terakhir ini menunjukkan adanya peningkatan dengan tingkat yang
berfluktuasi. Data yang terdapat dalam Statistik Hortikultura Indonesia
menunjukkan bahwa dari tahun 1999 hingga 2005, luas areal panen buah-buahan
di Indonesia terus mengalami peningkatan, seperti yang terlihat pada Tabel 6,
dimana peningkatan luas panen tertinggi terjadi pada periode 2001-2002 yaitu
sebesar 34,71 persen atau secara absolut terjadi pertambahan luas areal panen
sebesar 167.648 hektar. Dalam kurun waktu tersebut sempat terjadi penurunan
dari tahun 2003 seluas 721.964 ha menjadi 707.119 ha di tahun 2004, atau dengan
kata lain terjadi penurunan luas areal panen sebesar 2,06 persen.
Tabel 6. Perkembangan dan Peningkatan Luas panen dan Produksi Buah-buahan di Indonesia Tahun 1999-2005
Tahun Jumlah Buah Kenaikan/Penurunan Terhadap Tahun Sebelumnya
Luas Panen Produksi Luas Panen Produksi (ha) (ton) Absolut % Absolut %
harga silang bertanda negatif. Namun jika pada unit sampling RT sebagian besar
variabel harganya nyata pada tingkat kepercayaan 99 %, maka pada unit sampling
PSU ini variabel harga tersebut nyata pada tingkat kepercayaan yang lebih
bervariasi, berkisar antara 90 – 99 %.
Pada model permintaan, baik untuk Pulau Jawa secara agregat maupun
untuk wilayah pedesaan dan perkotaannya, hasil analisa memperlihatkan bahwa
variabel pengeluaran nyata untuk seluruh persamaan pada tingkat kepercayaan
99 %, kecuali untuk persamaan pepaya pada model permintaan Jawa agregat,
variabel pengeluaran ini nyata pada tingkat kepercayaan 97,5 %. Hal ini
menunjukkan bahwa faktor pengeluaran (yang juga digunakan sebagai proksi
untuk pendapatan rumah tangga) sangat berpengaruh terhadap pangsa pengeluaran
rumah tangga untuk buah-buahan. Dugaan parameter permintaan dengan unit
sampling PSU ini juga menghasilkan variasi tanda positif dan negatif. Sebagai
contoh, di wilayah desa maupun kota, variabel pengeluaran bertanda positif untuk
persamaan jeruk dan bertanda negatif untuk persamaan pisang, sedangkan untuk
persamaan pepaya, variabel pengeluarannya bertanda negatif untuk wilayah
pedesaan Jawa dan bertanda positif untuk perkotaan Jawa.
Dugaan parameter JART menunjukkan hasil yang relatif sama dengan
hasil analisa dari unit sampling RT, yaitu tidak nyatanya variabel JART ini di
sebagian besar persamaan. Sedangkan untuk variabel pendidikan, hasil analisis
PSU sedikit berbeda dengan hasil analisis RT. Pada analisis dengan PSU, untuk
model permintaan buah di Pulau Jawa secara agregat hasilnya menunjukkan
variabel pendidikan nyata pada tingkat kepercayaan 99 % untuk persamaan jeruk
dan pisang, sedangkan untuk persamaan pepaya, variabel pendidikan ini tidak
65
nyata berpengaruh terhadap pangsa pengeluaran. Di wilayah pedesaan hasilnya
serupa dengan hasil analisis permintaan untuk Jawa secara agregat. Untuk wilayah
perkotaan, variabel pendidikan hanya nyata (pada tingkat kepercayaan 99 %)
untuk persamaan pisang, sedangkan untuk persamaan jeruk dan pepaya variabel
ini tidak nyata.
66
6.3 Sistem Permintaan Buah
6.3.1 Permintaan Jeruk
Hasil perhitungan elastisitas permintaan dan elastisitas pengeluaran jeruk
tercantum dalam Tabel 16 dan 17, masing-masing untuk unit sampling Rumah
Tangga (RT) dan Primary Sampling Unit (PSU). Dari kedua tabel tersebut dapat
dikemukakan beberapa hal sebagai berikut :
Tabel 16. Elastisitas permintaan harga sendiri, elastisitas harga silang, dan elastisitas pengeluaran jeruk, unit sampling Rumah Tangga
Elastisitas Harga Sendiri
Elastisitas harga sendiri untuk jeruk, baik dari analisa yang menggunakan
unit sampling RT maupun PSU menghasilkan tanda (positif – negatifnya) serta
arah koefisien dari elastisitas yang secara umum seragam, namun terdapat pula
beberapa perbedaan dalam nilai besaran elastisitas. Secara lebih rinci
pembahasannya sebagai berikut :
1) Elastisitas harga sendiri jeruk, baik pada unit sampling RT ataupun PSU
menunjukkan tanda negatif, yang berarti bahwa kenaikan harga jeruk akan
Wilayah Elastisitas
Harga sendiri (eii)
Elastisitas Harga Silang (eij) terhadap : Elastisitas Pengeluaran Pisang Pepaya
Jawa Pedesaan Perkotaan
Pendapatan : Rendah Sedang Tinggi
Pendidikan : Rendah Sedang Tinggi
-0.8156 -0.7830 -0.8279
-0.8176 -0.8057 -0.8312
-0.7992 -0.7840 -0.9249
-0.0875 -0.0954 -0.0880
-0.0749 -0.0933 -0.1069
-0.0873 -0.1130 -0.0998
-0.0969 -0.1216 -0.0839
-0.1074 -0.1010 -0.0619
-0.1135 -0.1029 0.0246
0.9352 0.8694 0.9608
0.9329 0.9568 1.0280
0.9200 0.8865 1.0314
67
menyebabkan jumlah jeruk yang diminta turun (asumsi ceteris paribus). Hal
ini sesuai dengan sifat fungsi permintaan yang mempunyai arah negatif.
Tabel 17. Elastisitas permintaan harga sendiri, elastisitas harga silang, dan elastisitas pengeluaran jeruk, unit sampling PSU
2) Berdasarkan pengelompokkan menurut daerah, elastisitas permintaan jeruk
lebih elastis pada wilayah perkotaan dibandingkan dengan pedesaan.
Interpretasinya ialah bahwa perubahan harga jeruk akan memperoleh respon
permintaan yang lebih besar/kuat dari konsumen di perkotaan. Hal ini dapat
disebabkan oleh relatif lebih banyaknya pilihan dan variasi buah yang ada di
perkotaan, sehingga daya subtitusi komoditi jeruk akan menjadi lebih besar di
wilayah perkotaan.
3) Berdasarkan kelompok pendapatan, terdapat kecenderungan elastisitas harga
sendiri yang semakin elastis pada kelompok masyarakat dengan tingkat
pendapatan tinggi. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada masyarakat
kelompok pendapatan rendah, sebagian besar pendapatannya masih
dialokasikan untuk komoditi pangan utama, seperti beras, minyak goreng,
sumber protein hewani maupun nabati, dan sebagainya, sehingga buah-buahan
(dalam hal ini ialah jeruk) masih dianggap sebagai makanan tambahan. Oleh
Wilayah Elastisitas
Harga sendiri (eii)
Elastisitas Harga Silang (eij) terhadap : Elastisitas Pengeluaran Pisang Pepaya
Jawa Pedesaan Perkotaan
Pendapatan : Rendah Sedang Tinggi
Pendidikan : Rendah Sedang Tinggi
-0.925 -0.903 -0.928
-0.390 -0.934 -0.881
-0.9334 -0.8913 -1.2333
-0.039 -0.060 -0.035
-0.026 -0.039 -0.053
-0.0327 -0.0399 -0.0148
-0.013 -0.036 -0.037
-0.035 -0.027 -0.066
-0.0339 -0.0688 0.2480
0.8251 0.7528 0.9005
0.7522 0.9323 0.9778
0.8258 0.8444 1.3141
68
karena itu perubahan harga jeruk tidak akan direspon secara kuat oleh
masyarakat dalam kelompok ini. Sebaliknya pada masyarakat kelompok
pendapatan tinggi, buah-buahan (jeruk) sudah dianggap sebagai kebutuhan
pokok, sehingga naik-turunnya harga jeruk akan direspon dengan kuat oleh
masyarakat pada kelompok ini.
4) Berdasarkan tingkat pendidikan dapat diketahui bahwa nilai elastisitas harga
sendiri jeruk lebih elastis pada masyarakat kelompok pendidikan tinggi. Pada
analisa dengan unit sampling RT, nilai elastisitas harga sendiri jeruk pada
kelompok masyarakat pendidikan tinggi ialah -0,92, berarti jika terdapat
kenaikan harga jeruk sebesar 100 persen, maka jumlah jeruk yang diminta
akan naik sebesar 92 persen. Nilai ini relatif lebih besar dibandingkan dengan
nilai elastisitas harga sendiri pada masyarakat pendidikan rendah, yaitu
sebesar -0,80. Ini diduga kemungkinannya karena ada keterkaitan antara
tingkat pendidikan yang tinggi dengan tingkat pendapatan yang tinggi. Seperti
dijelaskan sebelumnya bahwa pada kelompok rumah tangga dengan tingkat
pendapatan tinggi, permintaannya lebih elastis.
Elastisitas Harga Silang
5) Dari Tabel 16 dan 17 diketahui bahwa parameter elastisitas harga silang, baik
pada unit sampling RT maupun PSU sebagian besar bertanda negatif. Hal ini
menunjukkan adanya hubungan yang bersifat komplemen antara jeruk dengan
buah lainnya. Hanya terdapat satu elastisitas harga silang yang bertanda
positif, yaitu elastisitas harga silang jeruk terhadap pepaya pada kelompok
pendidikan tinggi. Ini dapat diinterpretasikan dengan adanya hubungan
subtitusi antara jeruk dan pepaya pada kelompok konsumen dengan tingkat
69
pendidikan tinggi. Namun dari relatif kecilnya nilai elastisitas harga silang
tersebut menggambarkan sifat komplementer maupun subtitusi yang tidak
terlalu kuat.
Elastisitas Pengeluaran
6) Elastisitas pengeluaran pada unit sampling RT maupun PSU mempunyai tanda
positif. Hal ini menunjukkan bahwa jeruk merupakan barang normal, yaitu
jika pendapatan konsumen meningkat, maka jumlah jeruk yang diminta juga
akan meningkat. Dari hasil analisa juga diketahui bahwa elastisitas
pengeluaran terhadap jeruk di perkotaan lebih elastis dibanding pedesaan.
Pada unit sampling PSU, nilai elastisitas pengeluaran jeruk di perkotaan ialah
sebesar 0,90 sedangkan untuk pedesaan sebesar 0,75. Hal ini menunjukkan
bahwa apabila terjadi peningkatan pendapatan konsumen sebesar 100 persen
maka jumlah jeruk yang diminta akan meningkat sebesar 90 persen di wilayah
perkotaan dan 75 persen di wilayah pedesaan. Hal tersebut disebabkan karena
di wilayah perkotaan lebih banyak variasi jenis jeruknya, termasuk jenis jeruk
impor yang harganya relatif lebih mahal. Seperti yang dijelaskan dalam
penelitian Hartoyo (1997) bahwa ketika pendapatan konsumen meningkat,
maka ada kecenderungan pergeseran selera dari buah yang harganya murah ke
buah yang harganya mahal. Karena itu, di perkotaan ketika pendapatan
konsumen meningkat, maka konsumsi jeruknya dapat berubah dari yang
harganya murah (jeruk lokal ) ke jenis jeruk yang harganya lebih mahal (jeruk
impor dengan kualitas yang lebih baik).
7) Berdasarkan tingkat pendapatan, secara konsisten ditunjukkan bahwa
elastisitas pengeluaran makin elastis dengan semakin tingginya tingkat
70
pendapatan masyarakat. Di sisi lain, berdasarkan tingkat pendidikan terdapat
hasil yang sedikit berbeda pada analisa dengan unit sampling RT dengan PSU.
Pada unit analisa PSU, secara konsisten ditunjukkan bahwa semakin tingginya
tingkat pendidikan, maka nilai elastisitas pengeluarannya akan semakin
elastis, sedangkan pada unit analisa RT hasilnya menunjukkan arah yang tidak
konsisten. Dari kelompok konsumen pendidikan rendah ke pendidikan sedang
menunjukkan nilai elastisitas pengeluaran yang menurun, namun dari
kelompok konsumen pendidikan sedang ke pendidikan tinggi menunjukkan
nilai elastisitas pengeluaran yang meningkat.
6.3.2 Permintaan Pisang
Tabel 18 dan 19 menunjukkan besaran elastisitas permintaan dan
elastisitas pengeluaran untuk komoditi pisang, masing-masing untuk unit
sampling RT dan PSU. Dari kedua tabel tersebut, dapat dijelaskan beberapa hal
sebagai berikut :
Tabel 18. Elastisitas permintaan harga sendiri, elastisitas harga silang, dan elastisitas pengeluaran pisang, unit sampling Rumah Tangga
Wilayah Elastisitas
Harga sendiri (eii)
Elastisitas Harga Silang (eij) terhadap : Elastisitas Pengeluaran Jeruk Pepaya
Jawa Pedesaan Perkotaan
Pendapatan : Rendah Sedang Tinggi
Pendidikan : Rendah Sedang Tinggi
-0.8059 -0.8008 -0.8091
-0.8467 -0.7842 -0.7506
-0.8080 -0.7718 -0.7680
-0.1135 -0.1094 -0.1211
-0.0887 -0.1268 -0.1567
-0.1111 -0.1471 -0.1448
-0.0806 -0.0898 -0.0697
-0.0646 -0.0889 -0.0927
-0.0808 -0.0811 -0.0872
1.1174 1.1355 1.1001
1.0757 1.1064 1.1302
1.1417 1.1029 1.0189
71
Elastisitas Harga Sendiri
Tidak berbeda dengan jeruk, pada komoditi pisang hasil analisa dengan
menggunakan unit sampling RT maupun PSU menunjukkan tanda dan arah
koefisien dari elastisitas harga sendiri yang sama, dan hanya berbeda pada besar
nilainya saja. Pembahasan secara lebih terincinya ialah sebagai berikut :
1) Berdasarkan data pada Tabel 18 dan 19 dapat dilihat bahwa nilai elastisitas
harga sendiri pada pisang memiliki tanda negatif. Hal ini sesuai dengan teori
permintaan, yaitu naik-turunnya harga pisang akan direspon oleh konsumen
dengan arah yang berlawanan terhadap jumlah yang diminta.
2) Berdasarkan pengelompokkan menurut daerah, terlihat bahwa elastisitas harga
sendiri pisang lebih elastis pada wilayah perkotaan dibanding dengan
pedesaan. Alasan yang sama pada komoditi jeruk dapat pula diterapkan untuk
menjelaskan hal ini. Di wilayah perkotaan ketersediaan jenis buah lainnya
lebih banyak dan lebih bervariasi dibandingkan dengan pedesaan, sehingga
daya subtitusi pisang menjadi lebih besar di perkotaan. Hal ini tentunya akan
berdampak langsung pada semakin besarnya nilai elastisitas harga sendiri
pisang di wilayah perkotaan.
3) Besaran nilai elastisitas harga sendiri pisang antara kelompok pendapatan
secara konsisten menunjukkan bahwa semakin tinggi pendapatan, maka
konsumen akan semakin kurang responsif terhadap perubahan harga pisang.
Dengan kata lain, dengan semakin meningkatnya pendapatan konsumen, nilai
elastisitas harga sendiri pisangnya akan semakin kecil. Pola tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut. Dari hasil olah data SUSENAS 2005 diketahui
bahwa proporsi pengeluaran untuk pisang terhadap pengeluaran buah total
72
makin mengecil dengan semakin tingginya tingkat pendapatan. Dimana sesuai
dengan teori ekonomi bahwa semakin kecil proporsi suatu komoditi terhadap
pengeluaran total, maka nilai elastisitas harga sendiri komoditi tersebut akan
semakin rendah (semakin inelastis).
Tabel 19. Elastisitas permintaan harga sendiri, elastisitas harga silang, dan elastisitas pengeluaran pisang di Pulau Jawa, unit sampling PSU
Wilayah Elastisitas
Harga sendiri (eii)
Elastisitas Harga Silang (eij) terhadap : Elastisitas Pengeluaran Jeruk Pepaya
Jawa Pedesaan Perkotaan
Pendapatan : Rendah Sedang Tinggi
Pendidikan : Rendah Sedang Tinggi
-0.931 -0.913 -0.939
-0.959 -0.925 -0.819
-0.9394 -0.9402 -0.7916
-0.055 -0.062 -0.068
-0.027 -0.068 -0.115
-0.0447 -0.0916 -0.0376
-0.014 -0.025 -0.006
-0.014 -0.007 -0.066
-0.0159 -0.0318 -0.1728
1.3030 1.2736 1.2764
1.2943 1.1899 1.0624
1.2893 1.4194 0.8628
4) Analisa nilai elastisitas harga sendiri pisang berdasarkan tingkat pendidikan
menunjukkan kecenderungan bahwa nilai elastisitas lebih rendah pada
konsumen dengan tingkat pendidikan tinggi. Hal ini dapat dijelaskan sebagai
berikut. Pada konsumen dengan tingkat pendidikan tinggi, pengetahuan
mereka mengenai pentingnya pisang dari aspek gizi sudah lebih baik. Oleh
karena itu permintaan terhadap pisang menjadi relatif lebih inelastis. Hal ini
sesuai dengan teori ekonomi bahwa semakin penting peranan suatu komoditi,
maka permintaannya akan menjadi semakin inelastis.
Elastisitas Harga Silang
5) Dari hasil analisa dengan unit sampling RT dan juga PSU menunjukkan
bahwa seluruh nilai elastisitas harga silang pisang terhadap buah lainnya
bertanda negatif. Ini berarti antara pisang denga n jeruk maupun pepaya
73
terdapat hubungan yang bersifat komplemen. Hubungan komplementer relatif
kuat terjadi antara komoditi pisang dengan jeruk, terutama pada kelompok
konsumen dengan tingkat pendapatan tinggi. Pada analisa dengan unit
sampling RT nilai elastisitas harga silang pisang terhadap jeruk pada
kelompok pendapatan tinggi ialah sebesar -0,16, yang berarti bahwa jika
terdapat penurunan harga jeruk sebesar 100 persen, maka jumlah permintaan
pisang akan naik sebesar 16 persen.
Elastisitas Pengeluaran
6) Secara keseluruhan, baik analisa yang menggunakan unit sampling RT
maupun PSU menunjukkan permintaan pisang akan meningkat dengan
semakin besarnya tingkat pendapatan masyarakat. Bila dibandingkan dengan
elastisitas pengeluaran jeruk maupun pepaya, elastisitas pengeluaran pisang
ini nilainya lebih besar, atau dengan kata lain jika terdapat perubahan
pendapatan, maka respon permintaan pisang akan lebih kuat dibandingkan
respon permintaan jeruk maupun pepaya. Hal ini terlihat dari nilai elastisitas
pisang yang sebagian besar bernilai lebih dari satu, sedangkan untuk jeruk dan
pepaya nilainya kurang dari satu.
7) Analisa elastisitas pengeluaran berdasarkan daerah dan tingkat pendapatan
menunjukkan kecenderungan hasil yang berbeda antara analisa dengan unit
sampling RT dengan PSU. Pada unit sampling RT, nilai elastisitas
pengeluaran lebih besar pada konsumen di pedesaan dan pada konsumen
dengan tingkat pendapatan tinggi. Sebaliknya, pada unit sampling PSU, nilai
elastisitas pengeluaran lebih besar pada konsumen di perkotaan (meskipun
74
nilainya tidak jauh berbeda antara pedesaan (1,274) dengan perkotaan (1,276))
dan pada konsumen dengan tingkat pendapatn rendah.
8) Berdasarkan pengelompokkan menurut tingkat pendidikan, hasil analisis
dengan unit sampling PSU dan RT memperlihatkan kecenderungan yang
sama, yaitu nilai elastisitas pengeluaran pisang yang lebih elastis pada
kelompok masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah. Pada unit sampling
PSU, nilai elastisitas pengeluaran untuk kelompok pendidikan rendah ialah
1,29, sedangkan untuk kelompok pendidikan tinggi sebesar 0,86. Hal ini dapat
diinterpretasikan bahwa jika terdapat peningkatan/penurunan pendapatan
konsumen sebesar 100 persen, maka jumlah permintaan jeruk akan bertambah
sebesar 129 persen untuk kelompok pendidikan rendah dan 86 persen untuk
kelompok pendidikan tinggi.
6.3.3 Permintaan Pepaya
Besaran dan arah parameter elastisitas permintaan harga sendiri, elastisitas
harga silang dan elastisitas pengeluaran pepaya, tercantum dalam tabel 20 dan 21,
masing-masing untuk hasil analisa dengan unit sampling RT dan PSU. Dari kedua
tabel tersebut dapat dikemukakan beberapa hal sebagai berikut :
Elastisitas Harga Sendiri
1) Dari tabel 20 dan 21 dapat dilihat bahwa nilai elastisitas harga sendiri untuk
pepaya bertanda negatif. Hal ini sesuai dengan sifat fungsi permintaan yang
menjelaskan adanya korelasi negatif antara harga suatu komoditi dengan
jumlah permintaannya. Dari kedua unit sampling, baik dengan RT maupun
75
PSU menunjukkan bahwa nilai elastisitas harga sendiri untuk pepaya relatif
lebih rendah dibandingkan dengan jeruk dan pisang.
Tabel 20. Elastisitas permintaan harga sendiri, elastisitas harga silang, dan elastisitas pengeluaran pepaya, unit sampling Rumah Tangga
Wilayah Elastisitas
Harga sendiri (eii)
Elastisitas Harga Silang (eij) terhadap : Elastisitas Pengeluaran Jeruk Pisang
Jawa Pedesaan Perkotaan
Pendapatan : Rendah Sedang Tinggi
Pendidikan : Rendah Sedang Tinggi
-0.6829 -0.5955 -0.7332
-0.6901 -0.6668 -0.7267
-0.6550 -0.6480 -0.9229
-0.1932 -0.2464 -0.1663
-0.2055 -0.2022 -0.1352
0.2213 -0.2197 0.0537
-0.1240 -0.1583 -0.1004
-0.1044 -0.1309 -0.1381
-0.1237 -0.1328 -0.1308
0.9486 1.0253 0.9335
1.0059 0.9299 0.7449
0.9389 1.0733 0.9033
2) Apabila dibedakan menurut daerah, terlihat bahwa permintaan pepaya
penduduk di perkotaan lebih responsif terhadap perubahan harga dibanding
penduduk desa. Pada analisa dengan unit sampling RT, nilai elastisitisitas
harga sendiri pepayanya ialah -0,59 dan -0,73, masing-masing untuk wilayah
pedesaan dan perkotaan, sedangkan pada unit sampling PSU, nilai elastisitas
pengeluaran untuk penduduk di pedesaannya ialah sebesar-0,79 dan untuk
penduduk di perkotaan sebesar -0,87.
3) Keragaan besaran nilai elastisitas harga sendiri antar kelompok pendapatan
menunjukkan arah koefisien yang berbeda antara unit sampling RT dengan
PSU. Pada unit analisa RT, makin tinggi tingkat pendapatan konsumen,
kecenderungannya ialah makin tinggi pula nilai elastisitas harga sendirinya.
Sebaliknya pada unit analisa PSU, nilai elastisitas harga sendiri pepaya makin
rendah dengan semakin tingginya tingkat pendapatan konsumen.
76
Tabel 21. Elastisitas permintaan harga sendiri, elastisitas harga silang, dan elastisitas pengeluaran pepaya, unit sampling PSU
Wilayah Elastisitas
Harga sendiri (eii)
Elastisitas Harga Silang (eij) terhadap : Elastisitas Pengeluaran Jeruk Pisang
Jawa Pedesaan Perkotaan
Pendapatan : Rendah Sedang Tinggi
Pendidikan : Rendah Sedang Tinggi
-0.831 -0.789 -0.871
-0.837 -0.876 -0.657
-0.8337 -0.7755 -1.8280
-0.132 -0.127 -0.141
-0.118 -0.107 -0.236
-0.1237 -0.2812 1.1356
-0.038 -0.084 -0.013
-0.045 -0.016 -0.107
-0.0426 0.0567 -0.3078
0.8575 0.9290 0.8313
0.8742 0.8366 0.9775
0.8625 0.8886 -0.0817
4) Analisa nilai elastisitas harga sendiri berdasarkan tingkat pendidikan
menunjukkan hasil yang seragam, baik analisa yang menggunakan unit
sampling RT maupun PSU. Keduanya menunjukkan bahwa permintaan
pepaya lebih responsif terhadap perubahan harga pada penduduk kelompok
pendidikan tinggi. Pada analisa dengan unit sampling RT, elastisitas harga
sendiri untuk kelompok pendidikan rendah ialah sebesar -0,65, dan untuk
kelompok pendidikan tinggi mencapai -0,92.
Elastisitas Harga Silang
5) Dari sisi tanda, hubungan antara pepaya dengan buah lainnya bersifat
komplementer yang ditunjukkan oleh tanda negatif dari elastisitas harga
silang. Interpretasi dari hubungan komplementer antara pepaya dengan
komoditi komplemen tersebut ialah apabila terdapat penurunan harga
komoditi komplemen tersebut, maka jumlah permintaan terhadap pepaya akan
meningkat. Sementara itu hubungan yang bersifat subtitusi terlihat pada
77
pepaya dengan jeruk, khususnya pada kelompok masyarakat dengan tingkat
pendidikan tinggi.
Elastisitas Pengeluaran
6) Hasil analisis sebagian besar menunjukkan bahwa pepaya bersifat normal,
yang berarti jika terdapat peningkatan pendapatan maka jumlah permintaan
pepaya pun akan meningkat. Namun ditemukan nilai elastisitas pengeluaran
pepaya yang bertanda negatif yaitu pada kelompok masyarakat dengan
pendidikan tinggi. Dengan kata lain, pada kelompok pendidikan tinggi
tersebut, pepaya merupakan komoditi yang bersifat inferior, dimana jika
terdapat peningkatan pendapatan maka permintaannya justru menurun.
7) Elastisitas pengeluaran pepaya lebih elastis di wilayah pedesaan dibanding
dengan di wilayah perkotaan. Pada unit sampling RT, elastisitas pengeluaran
di wilayah pedesaan bahkan nilainya lebih dari satu.
8) Pengelompokkan berdasarkan tingkat pendapatan menunjukkan hasil yang
berbeda antar unit sampling RT dengan PSU. Pada unit sampling RT, secara
konsisten ditunjukkan bahwa nilai elastisitas pengeluaran akan semakin elastis
dengan makin rendahnya tingkat pendapatan konsumen. Di sisi lain, pada unit
sampling PSU hasilnya tidak menunjukkan arah yang konsisten, dari
pendapatan rendah ke pendapatan sedang mengalami penurunan besaran
elastisitas pengeluarnnya, namun dari pendapatan sedang ke pendapatan tinggi
mengalami kenaikan besaran elastisitas.
9) Berdasarkan tingkat pendidikan, baik analisa dengan unit sampling RT
maupun PSU menunjukkan bahwa penduduk dengan tingkat pendidikan
rendah lebih elastis nilai elastisitas pengeluaran pepayanya. Ini berarti
78
perubahan pendapatan, akan mendapat respon perubahan permintaan pepaya
yang lebih besar dari kelompok pendidikan rendah daripada kelompok
pendidikan tinggi.
6.4 Implikasi Kebijakan
Dari uraian di atas diketahui bahwa tingkat konsumsi buah masyarakat
Indonesia secara umum masih di bawah standar yang ditetapkan oleh FAO
sebesar 60 kg/kapita/tahun. Hal ini tentunya perlu ditindaklanjuti oleh pemerintah,
agar di tahun-tahun mendatang konsumsi buah di Indonesia dapat meningkat.
Pemerintah dapat membuat kebijakan baik dari sisi permintaan maupun
penawaran.
Dari sisi permintaan, pemerintah dapat mendorong peningkatan konsumsi
buah dalam berbagai alternatif. Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa
faktor pendapatan (yang diproksi dari pengeluaran) memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap permintaan buah. Di sisi lain, kondisi riil di masyarakat
menunjukkan bahwa peningkatan PDB riil per kapita ternyata belum mampu
meningkatkan permintaan buah. Hal ini dapat disebabkan karena distribusi
pendapatan pada masyarakat masih belum merata. Di satu wilayah (seperti
perkotaan) tingkat pendapatan masyarakatnya secara umum relatif lebih tinggi
dibandingkan dengan masyarakat pedesaan, maka tingkat konsumsi buahnya pun
menjadi lebih besar karena daya belinya yang lebih baik. Oleh karena itu, salah
satu alternatif yang dapat dilaksanakan oleh pemerintah untuk meningkatkan
konsumsi buah masyarakat yaitu dengan memperbaiki distribusi pendapatan
masyarakat.
79
Selain faktor pendapatan, dari hasil penelitian diketahui faktor lainnya
yang juga berpengaruh signifikan terhadap permintaan buah ialah pendidikan.
Sosialisasi mengenai pangan dan gizi secara umum melalui penyuluhan,
pendidikan dan kampanye mengenai peningkatan konsumsi buah, terutama untuk
buah dalam negeri masih sangat diperlukan untuk meningkatkan konsumsi
masyarakat terhadap buah-buahan maupun pangan bergizi lainnya. Strategi
promosi lain yang dapat digunakan ialah dengan memanfaatkan teknologi seperti
iklan layanan masyarakat di berbagai media elektronik maupun internet.
Alternatif kebijakan ini relatif lebih mudah dan aplikatif dibandingkan dengan
alternatif yang pertama, karena jika mengandalkan perbaikan distribusi
pendapatan pada masyarakat untuk dapat meningkatkan konsumsi buah akan
memerlukan proses yang panjang dan waktu yang lama.
Dari hasil penelitian juga diketahui adanya indikasi pergeseran preferensi
konsumen di Indonesia ke buah impor. Salah satu contoh kasusnya ialah buah
jeruk. Jeruk merupakan salah satu buah yang volume impornya relatif tinggi
dibandingkan jenis buah lainnya. Di wilayah perkotaan Jawa buah yang paling
tinggi frekuensi konsumsinya ialah jeruk. Hal ini mengindikasikan bahwa impor
buah (jeruk) sangat kuat penetrasinya di wilayah perkotaan Jawa. Kondisi ini
tentunya perlu diantisipasi oleh pemerintah, karena dapat menggeser preferensi
konsumen dari buah dalam negeri. Terlebih dalam rangka menuju era
perdagangan bebas tentunya pemerintah harus mulai meminimalisir kebijakan-
kebijakan yang berkaitan dengan pembatasan ataupun pengendalian impor buah.
Dengan kata lain, pemerintah harus fokus pada peningkatan produksi buah dalam
negeri. Potensi sumberdaya di Indonesia masih sangat mendukung untuk
80
dilakukan peningkatan produksi buah, baik dari segi ketersediaan lahan maupun
tenaga kerja. Indonesia pun memiliki kekayaan plasma nutfah yang melimpah
baik dalam jenis maupun macamnya. Dari ribuan yang ada, beberapa jenis buah
tropik Indonesia yang berpotensi untuk dikembangkan antara lain mangga,
manggis, durian, salak, pepaya, dan sebagainya.
Beberapa permasalahan dari sisi produksi buah di Indonesia antara lain
ialah skala usahanya yang relatif kecil. Secara tradisi, buah-buahan di Indonesia
diusahakan sebagai tanaman pekarangan yang berisi berbagai tanaman tahunan.
Usaha dengan skala pekarangan ini tentunya akan menghasilkan produk buah
dengan kualitas maupun kuantitas yang terbatas. Berdasarkan situasi tersebut,
maka kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah (baik pusat maupun daerah)
untuk dapat meningkatkan produksi buah dalam negeri antara lain memulai untuk
memperbaiki teknis produksi dan penanganan pasca panen agar kualitas dan
kuantitas buah yang dihasilkan dapat terjaga secara konsisten. Selain itu
pemerintah juga dapat membuat kebijakan yang berkaitan dengan aspek
permodalan, karena skala usaha yang besar tentunya membutuhkan dukungan
modal yang besar pula. Selain itu, pemerintah juga perlu mempercepat introduksi
teknologi-teknologi yang berhubungan dengan pengembangan produksi maupun
pascapanen kepada para petani buah. Dalam hal ini pemerintah juga dapat
melibatkan pihak akademisi untuk mengintroduksikannya kepada para petani. Ini
juga merupakan tantangan bagi para ahli pemuliaan tanaman untuk selalu
menghasilkan jenis buah yang memiliki kualitas dan produktivitas yang baik.
Selain mengantisipasi aspek produksi, pemerintah juga perlu
memperhatikan aspek manajemen pemasaran, termasuk di dalamnya masalah
81
transportasi dan distribusi yang masih lemah. Hal tersebut mengingat bahwa buah
lokal di Indonesia masih memiliki mata rantai yang panjang. Dengan demikian,
tidak cukup efisien menghasilkan buah berkualitas bagus dan harga yang bersaing
di tingkat konsumen. Jika distribusi buah sudah baik maka tentunya produk yang
telah dihasilkan dapat dikonsumsi oleh sebagian besar lapisan masyarakat dan
tingkat konsumsi buah di Indonesia pun dapat meningkat.
82
Tabel 22. Ringkasan Konsumsi Buah pada Tingkat Rumah Tangga di Pulau Jawa (Unit Sampling Rumah Tangga)
Komoditi
Kategori Pengklasifikasian
Wilayah (Pedesaan-Perkotaan) Kelas Pendapatan Tingkat Pendidikan Kepala Rumahtangga
Elastisitas harga (Ed)
Elastisitas Pengeluaran (Ei)
Elastisitas harga (Ed)
Elastisitas Pengeluaran (Ei)
Elastisitas harga (Ed)
Elastisitas Pengeluaran (Ei)
Jeruk
elastisitas permintaan jeruk lebih elastis pada rumahtangga di wilayah perkotaan dibandingkan dengan pedesaan.
elastisitas pengeluaran terhadap jeruk di perkotaan lebih elastis dibanding pedesaan.
elastisitas harga sendiri semakin elastis pada kelompok rumahtangga dengan tingkat pendapatan tinggi.
secara konsisten ditunjukkan bahwa elastisitas pengeluaran makin elastis dengan semakin tingginya tingkat pendapatan rumahtangga.
elastisitas harga sendiri jeruk lebih elastis pada rumahtangga kelompok pendidikan tinggi
Nilai elastisitas pengeluaran cenderung meningkat dengan semakin tingginya tingkat pendidikan kepala rumahtangga.
Pisang
elastisitas harga sendiri pisang lebih elastis pada wilayah perkotaan dibanding dengan pedesaan.
nilai elastisitas pengeluaran pisang lebih besar (lebih elastis) pada rumahtangga di pedesaan dibandingkan dengan rumahtangga perkotaan
semakin meningkatnya pendapatan rumahtangga, nilai elastisitas harga sendiri pisangnya akan semakin kecil.
nilai elastisitas pengeluaran pisang lebih besar pada rumahtangga dengan tingkat pendapatan tinggi.
nilai elastisitas harga sendiri pisang lebih rendah pada rumahtangga dengan tingkat pendidikan tinggi.
nilai elastisitas pengeluaran pisang lebih elastis pada kelompok rumahtangga dengan tingkat pendidikan rendah
Pepaya
permintaan pepaya rumahtangga di perkotaan lebih responsif terhadap perubahan harga dibanding penduduk desa.
Elastisitas pengeluaran pepaya lebih elastis di wilayah pedesaan dibanding dengan di wilayah perkotaan.
makin tinggi tingkat pendapatan rumahtangga, kecenderungannya ialah makin tinggi pula nilai elastisitas harga sendirinya.
secara konsisten ditunjukkan bahwa nilai elastisitas pengeluaran akan semakin tinggi dengan makin rendahnya tingkat pendapatan konsumen
permintaan pepaya lebih responsif terhadap perubahan harga pada kelompok rumahtangga dengan tingkat pendidikan tinggi.
penduduk dengan tingkat pendidikan rendah lebih elastis nilai elastisitas pengeluaran pepayanya
83
Tabel 23. Ringkasan Konsumsi Buah pada Tingkat Rumah Tangga di Pulau Jawa (Unit Sampling PSU)
Komoditi
Kategori Pengklasifikasian
Wilayah (Pedesaan-Perkotaan) Kelas Pendapatan Tingkat Pendidikan Kepala Rumahtangga
Elastisitas harga (Ed)
Elastisitas Pengeluaran (Ei)
Elastisitas harga (Ed)
Elastisitas Pengeluaran (Ei)
Elastisitas harga (Ed)
Elastisitas Pengeluaran (Ei)
Jeruk
elastisitas permintaan jeruk lebih elastis pada rumahtangga di wilayah perkotaan dibandingkan dengan pedesaan.
elastisitas pengeluaran terhadap jeruk di perkotaan lebih elastis dibanding pedesaan.
elastisitas harga sendiri semakin elastis pada kelompok rumahtangga dengan tingkat pendapatan tinggi.
secara konsisten ditunjukkan bahwa elastisitas pengeluaran makin elastis dengan semakin tingginya tingkat pendapatan rumahtangga.
elastisitas harga sendiri jeruk lebih elastis pada rumahtangga kelompok pendidikan tinggi
Nilai elastisitas pengeluaran cenderung meningkat dengan semakin tingginya tingkat pendidikan kepala rumahtangga.
Pisang
elastisitas harga sendiri pisang lebih elastis pada wilayah perkotaan dibanding dengan pedesaan.
nilai elastisitas pengeluaran lebih besar pada rumahtangga di perkotaan (meskipun nilainya tidak jauh berbeda antara pedesaan (1,274) dengan perkotaan (1,276))
semakin meningkatnya pendapatan rumahtangga, nilai elastisitas harga sendiri pisangnya akan semakin kecil.
nilai elastisitas pengeluaran lebih besar pada rumahtangga dengan tingkat pendapatan rendah
nilai elastisitas harga sendiri pisang lebih rendah pada rumahtangga dengan tingkat pendidikan tinggi.
nilai elastisitas pengeluaran pisang lebih elastis pada kelompok rumahtangga dengan tingkat pendidikan rendah
Pepaya
permintaan pepaya rumahtangga di perkotaan lebih responsif terhadap perubahan harga dibanding penduduk desa.
Elastisitas pengeluaran pepaya lebih elastis di wilayah pedesaan dibanding dengan di wilayah perkotaan.
nilai elastisitas harga sendiri pepaya makin rendah dengan semakin tingginya tingkat pendapatan rumahtangga.
nilai elastisitas pengeluaran pepaya lebih besar pada rumahtangga dengan tingkat pendapatan tinggi.
permintaan pepaya lebih responsif terhadap perubahan harga pada kelompok rumahtangga dengan tingkat pendidikan tinggi.
penduduk dengan tingkat pendidikan rendah lebih elastis nilai elastisitas pengeluaran pepayanya
84
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1) Tingkat konsumsi buah di Indonesia selama beberapa kurun waktu terakhir
menunjukkan kecenderungan terjadinya peningkatan. Dilihat dari pola
konsumsinya menurut wilayah, selama periode 2003-2006 proporsi
pengeluaran untuk buah-buahan di pedesaan lebih besar daripada di perkotaan,
sedangkan berdasarkan penggolongan menurut tingkat pendapatan, terdapat
kecenderungan proporsi pengeluaran untuk buah-buahan yang semakin
meningkat dengan semakin tingginya tingkat pendapatan.
2) Jenis buah yang tingkat konsumsinya relatif paling tinggi dari tahun ke tahun
ialah pisang, jeruk, rambutan, dan pepaya. Salah satu faktor yang
mempengaruhi tingginya tingkat konsumsi buah-buahan tersebut adalah faktor
musim, dimana jenis-jenis buah tersebut (kecuali rambutan) produksinya tidak
tergantung musim, sehingga selalu tersedia sepanjang tahun.
3) Di Pulau Jawa, pada tahun 2005 Provinsi DKI Jakarta merupakan provinsi
yang tingkat konsumsi buahnya paling tinggi. Pola konsumsi buah-buahan
pada tingkat rumah tangga di Pulau Jawa berdasarkan tingginya frekuensi
4) Analisis dengan menggunakan unit sampling Rumah Tangga (RT) maupun
Primary Sampling Unit (PSU) secara umum menghasilkan arah dari nilai
dugaan parameter yang sama. Kedua prosedur tersebut menunjukkan bahwa
seluruh variabel bebas (kecuali jumlah anggota rumah tangga), yaitu harga
sendiri, harga buah lain, pendapatan (yang diproksi dari pengeluaran), dan
85
tingkat pendidikan kepala rumah tangga berpengaruh signifikan terhadap
proporsi pengeluaran buah pada taraf nyata 5 persen.
5) Permintaan untuk jeruk, pisang, dan pepaya di perkotaan Pulau Jawa lebih
responsif terhadap perubahan harga dibanding daerah pedesaan. Untuk jeruk,
semakin tinggi tingkat pendapatan rumah tangga semakin elastis
permintaannya terhadap perubahan harga. Untuk pisang dan pepaya berlaku
sebaliknya. Terdapat hubungan komplementer antara jenis buah yang
dianalisis (jeruk, pisang, dan pepaya). Dari kecilnya nilai elastisitas harga
komoditi lain (harga silang), maka sifat komplementer tersebut tidak terlalu
kuat.
6) Di wilayah Pulau Jawa secara total, desa, maupun kota, semua jenis buah yang
dianalisis bersifat barang normal yang ditunjukkan oleh tanda positif dari nilai
elastisitas pengeluaran. Ini berarti dengan semakin meningkatnya pendapatan
rumahtangga maka akan meningkatkan permintaan komoditi tersebut. Pada
seluruh komoditi, elastisitas pengeluaran cukup elastis, terutama pada pisang.
6.2 Saran
1) Pemerintah perlu meningkatkan konsumsi buah di Indonesia dengan cara
memperbaiki distribusi pendapatan masyarakat. Selain itu alternatif lain yang
dapat ditempuh ialah melalui sosialisasi mengenai pangan dan gizi secara
umum melalui penyuluhan, pendidikan, dan kampanye mengenai peningkatan
konsumsi buah, terutama untuk buah dalam negeri. Strategi promosi lain yang
dapat digunakan ialah dengan memanfaatkan teknologi seperti iklan layanan
masyarakat di berbagai media elektronik maupun internet.
86
2) Dari sisi penawaran, pemerintah sebaiknya memfokuskan usaha peningkatan
konsumsi dengan cara meningkatkan produksi buah dalam negeri. Kebijakan
yang berkaitan dengan aspek permodalan dan pengembangan teknologi
produksi maupun pascapanen juga perlu dirumuskan.
3) Pemerintah juga perlu memperhatikan aspek manajemen pemasaran, termasuk
di dalamnya masalah transportasi dan distribusi yang masih lemah. Jika
distribusi buah sudah baik maka tentunya produk yang telah dihasilkan dapat
dikonsumsi oleh sebagian besar lapisan masyarakat dan tingkat konsumsi
buah di Indonesia pun dapat meningkat
4) Untuk penelitian selanjutnya, disarankan untuk menambah jumlah variabel
demografi yang belum dianalisis dalam penelitian ini, misalnya tingkat
pendidikan istri/ibu. Hal ini karena decision maker mengenai konsumsi
pangan di tingkat rumah tangga umumnya ialah istri/ibu, sehingga diduga
tingkat pendidikan istri/ibu ini akan berpengaruh terhadap permintaan buah.
Selain itu variabel usia juga dapat turut dianalisis, mengingat usia merupakan
salah satu faktor yang menentukan permintaan seseorang terhadap komoditi
pangan tertentu. Dalam menganalisis variabel-variabel demografi tersebut
sebaiknya juga dianalisis secara mendalam mengenai elastisitasnya (elastisitas
pendidikan, elastisitas jumlah anggota rumah tangga, dan seterusnya),
sehingga dapat diketahui faktor manakah yang sebenarnya paling berpengaruh
terhadap permintaan buah.
5) Dalam penelitian ini data yang digunakan ialah konsumsi buah total, artinya
tidak dipisahkan apakah komoditi yang dikonsumsi tersebut dari hasil
membeli (cash and carry commodity), produksi sendiri (self production
87
commodity), atau pemberian dari pihak lain. Akan lebih baik jika dalam
penelitian selanjutnya hanya menggunakan data konsumsi yang bersumber
dari hasil membeli (cash and carry commodity). Hal tersebut bertujuan untuk
menghindarkan bias survey dalam interpretasi nilai elastisitasnya. Pemisahan
data ini sudah dilakukan oleh pihak BPS, sehingga tidak akan menyulitkan
bagi penelitian selanjutnya.
6) Untuk penelitian selanjutnya disarankan pula untuk memisahkan komoditi
berdasarkan asalnya, apakah produksi dalam negeri atau impor. Dengan adaya
pemisahan tersebut, maka akan dapat memperkaya dan mempertajam analisis
mengenai keragaman konsumsi dengan perbandingan antara model
permintaan pangan lokal dengan pangan impor. Untuk data SUSENAS 2005
pemisahan data konsumsi berdasarkan asalnya ini belum dilakukan, namun
jika di waktu mendatang BPS sudah melakukan pemisahan, maka saran ini
memungkinkan untuk dilaksanakan.
7) Estimasi non linier dari AIDS juga disarankan untuk diterapkan, mengingat
dalam kondisi riil tentunya perubahan harga, pendapatan, ataupun variabel
lainnya tidak selalu direspon secara linier oleh permintaan suatu komoditi.
Hasil dari estimasi non linier ini dapat diperbandingkan dengan estimasi
liniernya, sehingga dapat diketahui pendekatan mana yang lebih baik.
88
DAFTAR PUSTAKA
Ariani, Mewa. 1993. Kajian Pola Konsumsi dan Permintaan Pangan Serta Proyeksi Kebutuhan Pangan pada Repelita VI di Tiga Provinsi di Indonesia. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Baliwati, Yayuk Farida, Ali Khomsan, dan Meti Dwiriani. 2004. Pengantar
Pangan dan Gizi. Penebar Swadaya : Depok Biro Pusat Statistik. 2005. Survey Sosial Ekonomi Nasional. Pedoman Kerja
Kepala Kantor Statistik Provinsi dan Kabupaten/Kota. Jakarta. . 2002. Pengeluaran Untuk Konsumsi Penduduk Indonesia 2002. Jakarta . 2003. Pengeluaran Untuk Konsumsi Penduduk Indonesia 2003. Jakarta . 2004. Pengeluaran Untuk Konsumsi Penduduk Indonesia 2004. Jakarta . 2005. Pengeluaran Untuk Konsumsi Penduduk Indonesia 2005. Jakarta . 2006. Pengeluaran Untuk Konsumsi Penduduk Indonesia 2006. Jakarta Budiar, Silvia. 2000. Analisis Permintaan dan Konsumsi Sumber Protein Hewani
Rumah Tangga di Pulau Jawa. Skripsi. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Daud, Lekir Amir.1986. Kajian Sistem Makanan Penting di Indonesia Suatu
Penerapan Model Almost Ideal Demand Sistem (AIDS) dengan data SUSENAS 1981. Tesis. Fakultas Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Deaton, Angus and John Muellbauer. 1980a. Economic and Consumer Behavior.
Cambridge University Press, Cambridge, Mass. Deaton, Angus and John Muellbauer. 1980b. An Almost Ideal Demand Sistem.
American Economic Review 70 : 312-326. Deaton, Angus.1990. Price Elasticities from Survey Data, Extention and
Indonesian Result on Living Standard Measuring Survey (LSMS) Working Paper No.69. Washington D. C : World Bank.
Deroes, Kartini 1994. Pendekatan Teknologi Produksi Mengatasi Kendala
Pemasaran Buah-buahan Indonesia dalam Prosiding Simposium Hortikultura Nasional, Malang 9-8 November. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya & Perhimpunan Hortikultura Indonesia.
89
Direktorat Jendral Tanaman Hortikultura. 2003. Statistik Tanaman Buah-buahan Tahun 2003. Jakarta
. 2004. Statistik Tanaman Buah-buahan tahun 2004. Jakarta. . 2005. Statistik Tanaman Buah-buahan tahun 2005. Jakarta. Hadi, Prajogo Utama, dkk. 2000. Alternatif Model Pemasaran Komoditas
Hortikultura Mendukung Gema Hortina. Makalah yang dipresentasikan pada Seminar Intern Hasil-hasil Penelitian Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian TA. 1999/2000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Departemen Pertanian.
Hartoyo, Sri. 1997. Analisis Permintaan Buah-buahan di Jawa Barat. Mimbar
Sosek Vol. 10, No. 1 Edisi April. Departemen Sosial Ekonomi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Kuntjoro, Sri Utami. 1984. Permintaan Bahan Makanan Penting di Indonesia.
Disertasi Doktor. Fakultas Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kurniawan, Rudi. 1993 Analisis Konsumsi Pangan Rumah Tangga di Pulau Jawa
Suatu Kajian Almost Ideal Demand Sistem (AIDS) dengan data SUSENAS 1990. Skripsi. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Lipsey, Richard . 1995. Pengantar Mikroekonomi. Binarupa Aksara : Jakarta. Nicholson, Walter. 2002. Mikroekonomi Intermediet dan Aplikasinya. Erlangga :
Jakarta. Nicholson, Walter. 1987. Microeconomic Theory Basic Principle and Extensions.
Amherst College. The Dryden Press. Rachmat, Muchjidin dan Erwidodo. 1993. Pendugaan Permintaan Pangan Utama
di Indonesia : Penerapan Model Almost Ideal Demand Sistem (AIDS) dengan data SUSENAS 1990. Jurnal Agro Ekonomi Vol. 12, No. 2 hal. 24-38. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Departemen Pertanian.
Rahmi, Dewi.2001. Analisa Permintaan Makanan dan Dampak Perubahan Harga
terhadap Kesejahteraan Rumah Tangga di Jawa Barat, Aplikasi Model AIDS. Tesis. Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Depok.
Saliem, Handewi Purwati., Rachman dan Erwidodo. 1994. Kajian Sistem
Permintaan Pangan di Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi Vol.13, No. 2 hal. 72-89. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Departemen Pertanian.
90
Saliem, Handewi Purwati. 2002. Analisis Permintaaan Pangan di Kawasan Timur
Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi Vol. 20, No.2 hal. 64-91. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Departemen Pertanian.
Sawit, Muhammad Husein, Mewa Ariani, Iwan Setiadjie, Tri B. Purwanti, dan
Ade Supriatna. 1997. Perubahan Pola Konsumsi Komoditas Hortikultura di Indonesia. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Departemen Pertanian, Indonesia.
Sitepu, Rasidin Karo-Karo dan Bonar M. Sinaga. 2006. Aplikasi Model
Ekonometrika, Estimasi, Simulasi, dan Peramalan Menggunakan Program SAS. Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sumarno. 2001. Kebijakan dan Strategi Pembangunan Agribisnis Hortikultura
2002-2004. Makalah yang disampaikan dalam Pertemuan Nasional Pengembangan Agribisnis Hortikultura September 2001. Dirjen Bina Produksi Hortikultura, Departemen Pertanian.
Syafa’at, Nizwar, dkk. 2005. Pengembangan Model Permintaan dan Penawaran
Komoditas Pertanian Utama. Makalah yang disampaikan dalam Seminar Proposal Operasional TA. 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Departemen Pertanian.
Timmer, Peter and Harold Alderman. 1979. Estimating Consumption Parameter
for Food Policy Analysis. American Journal of Agricultural Economics. December Edition Vol.61 Page 982-987.
-----------. 1993. Prospek Perkembangan Ekspor Buah-buahan Indonesia. Makalah
yang disampaikan dalam Latihan Jangka Pendek Metodologi Ustan Tanaman Buah-buahan, Februari 1993. Badan Pengembangan Ekspor Nasional, Departemen Perdagangan.
91
Lampiran 1. Nilai Estimasi Parameter Model AIDS dengan Unit Sampling RT
Tabel 1. Nilai estimasi parameter Model AIDS untuk Pulau Jawa
Tabel 2. Nilai estimasi parameter Model AIDS untuk Pulau Jawa wilayah Pedesaan
Tabel 3 Nilai estimasi parameter Model AIDS untuk Pulau Jawa wilayah Perkotaan
Tabel 4. Nilai estimasi parameter Model AIDS untuk Pulau Jawa dengan Tingkat Pendapatan Rendah
Tabel 5. Nilai estimasi parameter Model AIDS untuk Pulau Jawa dengan Tingkat Pendapatan Sedang
Tabel 6. Nilai estimasi parameter Model AIDS untuk Pulau Jawa dengan Tingkat PendapatanTinggi
bila batas SLS tersebut jelas (batas alam atau buatan).
c. Satu blok sensus harus terletak dalam satu hamparan.
Ada tiga jenis blok sensus, yaitu :
- Blok sensus biasa (B) adalah blok sensus yang sebagian besar muatannya
antara 80 – 120 rumah tangga atau bangunan sensus tempat tinggal atau
bangunan sensus bukan tempat tinggal atau gabungan keduanya dan sudah
jenuh.
- Blok sensus khusus (K) adalah blok sensus yang mempunyai muatan
sekurang-kurangnya 100 orang kecuali lembaga pemasyarakatan tidak ada
batas muatan. Tempat-tempat yang bisa dijadikan blok sensus antara lain
asrama militer (tangsi) dan daerah perumahan militer dengan pintu keluar
masuk yang dijaga.
102
- Blok sensus persiapan (P) adalah blok sensus yang kosong seperti sawah,
kebun, tegalan, rawa, hutan, daerah yang dikosongkan (digusur) atau bekas
permukiman yang terbakar.
Yang menjadi cakupan dalam Susenas 2005 adalah blok sensus biasa.
Blok sensus biasa terbagi menjadi blok sensus elit dan blok sensus non elit. Blok
sensus elit adalah blok sensus yang di dalamnya terdapat sekelompok bangunan
fisik yang menurut masyarakat sekitar dikategorikan sebagai rumah mewah.
Sub blok sensus adalah bagian dari blok sensus. Blok sensus yang mempunyai
muatan lebih dari 150 rumah tangga harus dipecah menjadi beberapa sub blok
sensus.
7. Konsep Rumah Tangga
Rumah tangga (rt) dibedakan menjadi rumah tangga biasa dan rumah
tangga khusus. Rumah tangga biasa adalah seorang atau sekelompok orang yang
mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik atau sensus, dan biasanya tinggal
bersama serta makan dari satu dapur. Rumah tangga biasa biasanya terdiri dari
bapak, ibu, dan anak Rumah tangga khusus mencakup : (1) orang-orang yang
tinggal di asrama, seperti asrama perawat, asrama mahasiswa, dan asrama TNI
(tangsi), (2) orang-orang yang tinggal di Lembaga Pemsyarakatan, panti asuhan,
dan sejenisnya, (3) Sekelompok orang yang mondok dengan makan (indekost)
yang berjumlah lebih besar atau sama dengan 10 orang.
Anggota rumah tangga (art) adalah semua orang yang biasanya bertembat tingga
di suatu rt, baik yang berada dir t maupun sementara tidak ada pada waktu
pencacahan.
8. Pengeluaran Rumah Tangga Sebulan adalah rata-rata biaya yang
dikeluarkan rt sebulan untuk konsumsi rumah tangga. Konsumsi rumah tangga
dibedakan menjadi dua, yaitu (i).konsumsi makanan termasuk makanan jadi,
an (ii).bukan makanan, seperti biaya perumahan, pendidikan, kesehatan, aneka
barang dan jasa, pakaian, dan barang tahan lama.
103
Lampiran 5. Luas Panen dan Produksi Buah di Indonesia menurut Propinsi Tahun 1999 dan 2005.
Propinsi Luas Panen (Ha) Produksi (Ton)
1999 2005 1999 2005
Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep. Bangka Belitung Sumatera DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Jawa Bali NTT NTB Bali & Nusa Tenggara Kalimantan barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Kalimantan Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Maluku Maluku Utara Papua Irian Jaya Barat Maluku & Papua Luar Jawa Indonesia