ANALISIS PERAN PEMERINTAH DALAM MEWUJUDKAN PERTUMBUHAN INKLUSIF DI JAWA TIMUR JURNAL ILMIAH Disusun oleh : Cahyaning Wahyu Singosaru 135020101111008 JURUSAN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2017
ANALISIS PERAN PEMERINTAH DALAM
MEWUJUDKAN PERTUMBUHAN INKLUSIF
DI JAWA TIMUR
JURNAL ILMIAH
Disusun oleh :
Cahyaning Wahyu Singosaru
135020101111008
JURUSAN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
Analisis Peran Pemerintah dalam Mewujudkan Pertumbuhan Inklusif di Jawa Timur
Cahyaning Wahyu Singosari
Fakultas Ekonomi & Bisnis Universitas Brawijaya
Email: [email protected]
ABSTRAK
Pertumbuhan inklusif adalah pertumbuhan ekonomi yang tinggi serta dapat mendorong
penurunan pengangguran, penurunan kemiskinan, dan penurunan ketimpangan masyarakat yang
dapat dilakukan dengan jalan meningkatkan modal manusia dan kesempatan kerja bagi seluruh
lapisan masyarakat tanpa melihat suku, agama, dan ras. Penelitian ini memiliki tujuan untuk
mengetahui sektor inklusif untuk mendorong terwujudnya pertumbuhaninklusif di Jawa Timur.
Metode analisis yang digunakan yaitu Analisis Input-Output dengan menggunakan data sekunder
dari Tabel Input-Output Provinsi Jawa Timur.
Berdasarkan hasil penelitian, sektor inklusif Jawa Timur dari tahun 2006 hingga tahun 2015
merupakan sektor yang dapat mendorong terwujudnya pertumbuhan inklusif di Jawa Timur.
Sektor inklusif tahun 2006 hingga tahun 2015 berjumlah satu sektor dengan empat komoditas,
sektor inklusif tahun 2006 berjumlah satu sektor dengan empat komoditas antara lain Barang
Dari Plastik, Jasa Reparasi, Perdagangan Eceran, Bukan Mobil Dan Motor, dan Jasa Kesehatan
Dan Kegiatan Sosial. Komoditas sejtor inklusif tahun 2010 antara lain Pakan Ternak, Logam
Dasar, Barang Dari Logam Lainnya, dan Mesin Dan Perlengkapan Ytdl. Sedangkan komoditas
sektor inklusif tahun 2015 antara lain Industri Kimia Dasar, Industri Farmasi, Produk Obat
Kimia Dan Obat Tradisional, Industri Karet Dan Barang Dari Karet, dan Industri Barang Dari
Plastik.
Untuk dapat mendorong terjadinya pertumbuhan inklusif maka diperlukan peran dari
pemerintah. Peran pemerintah tercermin dari sisi pengeluaran dan sisi penerimaan pemerintah.
Dimana peran pemerintah dari sisi pengeluaran dan sisi penerimaan memiliki dampak yang
berbeda. Peran pemerintah dari sisi penerimaan mendorong perumbuhan inklusif, dan sisi
pengeluaran mendorong sektor non-inklusif (mendorong pertumbuhan).
.
Kata kunci: Pertumbuhan Inklusif, Peran Pemerintah, Input-Output.
A. PENDAHULUAN
Pertumbuhan merupakan keadaan yang tidak identik dengan pembangunan. Pertumbuhan
ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan merupakan kondisi utama atau suatu keharusan bagi
kelangsungan pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan (Tambunan, 2015). Garis
Besar Haluan Negara (GBHN) menyatakan bahwa pembangunan ekonomi merupakan salah satu
bagian penting dari pembangunan nasional dengan tujuan utama untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Myrdal (1971) mengartikan pembangunan sebagai pergerakan ke atas
dari seluruh sistem sosial. Pertumbuhan ekonomi hanya mencatat peningkatan produksi barang
dan jasa secara nasional, sedang pembangunan berdimensi lebih luas dari sekedar peningkatan
pertumbuhan ekonomi (Kuncoro, 2010).
Dalam mendefinisikan pembangunan, mulai dikenalkan strategi pertumbuhan dengan distribusi
atau disebut pertumbuhan inklusif. Pertumbuhan inklusif tidak hanya bertumpu pada aspek
pertumbuhan ekonomi saja, tetapi juga menitikberatkan pada aspek pemerataan dan efektivitas
hasil pembangunan terhadap penciptaan lapangan kerja bagi masyarakat secara keseluruhan.
Anand (2014) mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan penggerak utama dalam
menurunkan kemiskinan dan mendorong inklusivitas.
Kiryanto (2013) pembangunan ekonomi inklusif perlu diciptakan untuk mendukung
pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkesinambungan. Agar pembangunan ekonomi dengan
laju pertumbuhan yang tinggi dan lebih inklusif, pemerintah harus memiliki program
komprehensif dan mengimplementasikannya secara serius. Pertama, pemerintah perlu
menggunakan anggaran dengan baik, benar, efisien, dan efektif. Kedua, langkah pembaharuan atau
reformasi di sektor agrarian sudah menjadi suatu keharusan. Ketiga, program hilirisasi perlu
dilaksanakan dengan serius dan sistematik, bukan hanya kegiatan di sektor hulu. Keempat,
melanjutkan program financial inclusion atau pemberian akses ke lembaga keuangan bagi seluruh
rakyat. Kelima, iklim investasi terus diperbaiki seraya menegakkan kepastian hukum melalui
reformasi hukum secara sistematis.
Dengan demikian, pertumbuhan inklusif merupakan pertumbuhan yang melibatkan seluruh
lapisan masyarakat tanpa adanya perbedaan latarbelakang untuk meningkatkan pertumbuhan
ekonomi, mengurangi pengangguran serta mengurangi ketimpangan. Dengan jalan meningkatkan
kesempatan kerja, peningkatan modal manusia, serta adanya dukungan dari pemerintah.
Meski demikian, nampaknya tingkat inklusivitas di Jawa Timur dalam skala regional juga
masih perlu ditingkatkan kualitasnya. Apabila dibandingkan dengan DKI Jakarta yang memiliki
perekonomian yang hampir setara, inklusivitas Jawa Timur cenderung lebih rendah dari DKI
Jakarta. Posisi inklusivitas Jawa Timur berada pada level transisi dari inklusivitas dengan tingkat
kurang memuaskan ke memuaskan. Sedangkan DKI Jakarta menunjukkan inklusivitas yang lebih
tinggi pada level transisi dari memuaskan ke sangat memuaskan.
Gambar 1: Inklusivitas Jawa Timur Tahun 2010-2012
Sumber : World Bank, 2017.
Temuan empiris berikut menjelaskan bahwa kinerja pertumbuhan ekonomi yang ditunjang oleh
rendahnya tingkat pengangguran terbuka Jawa Timur lebih baik dibandingkan secara nasional.
Berdasarkan gambar 2, Jawa Timur memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pada tahun
2012, pertumbuhan ekonomi Jawa Timur tumbuh sebesar 7,27 persen yang merupakan angka
tertinggi yang dicapai dan lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekonomi nasional. Pertumbuhan
ekonomi tinggi ini didasari dari laporan Kajian Ekonomi Regional Provinsi Jawa Timur (Triwulan
III 2016). Dimana pertumbuhan ekonomi Jawa timur semakin meningkat akibat adanya
peningkatan konsumsi oleh pemerintah dan swasta.
2011 2012 2013 2014 2015 TriwulanIII 2016
Triwulan I2017
JAWA TIMUR NASIONAL
Gambar 2 : Pertumbuhan Ekonomi Tahun 2011-2017 Triwulan I
Sumber : BPS, 2017
Selanjutnya pada gambar 3, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Jawa Timur lebih rendah
dibandingkan TPT Nasional. TPT yang rendah menunjukkan terdapat banyak tenaga kerja yang
mampu diserap oleh pasar tenaga kerja. Dari tahun 2011-2016, baik TPT Jawa Timur maupun
Nasional mengalami tren yang fluktuatif. TPT Jawa Timur mengalami kenaikan mencapai 0.28
persen pada tahun 2015, kenaikan ini lebih tinggi daripada kenaikan yang terjadi pada tahun 2013
yang naik sebesar 19 persen. TPT lebih rendah dari nasional ini mencerminkan tingginya
penyerapan tenaga kerja di Jawa Timur sehingga menurunkan tingkat pengangguran terbuka.
Gambar 3 : Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Tahun 2011-2016
Sumber : BPS, 2017
Sayangnya, pada gambar 4 menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan Jawa Timur masih diatas
nasional. Meskipun pertumbuhan ekonomi dan tingkat penyerapan tenaga kerja baik, namun
kualitas pertumbuhan ekonomi Jawa Timur belum mampu menurunkan presentase kemiskinan
penduduk Jawa Timur. Salah satu penyebab rendahnya tingkat inklusivitas di Jawa Timur adalah
masih tingginya persentase penduduk miskin. Masyarakat miskin mengalami kesulitan dalam
mengakses bantuan permodalan guna mendorong kegiatan ekonomi yang produktif. Selain itu,
aksesibilitas terhadap pendidikan dan kesehatan nampaknya belum menjangkau masyarakat
marginal ini.
2011 2012 2013 2014 2015 2016
Jawa Timur Nasional
Gambar 4 : Presentase Kemiskinan Tahun 2011-2016
Sumber : BPS, 2017
Dengan demikian, tingkat inklusivitas Jawa Timur masih perlu ditingkatkan untuk mencapai
level memuaskan atau yang mengarah pada pengurangan tingkat kemiskinan. Dibutuhkan adanya
sinergitas peranan swasta dan pemerintah dalam mewujudkan pertumbuhan yang mendorong pada
pengurangan kemiskinan. Peranan swasta tidak cukup besar untuk mendorong tercapainya
pertumbuhan yang inklusif, karena investasi swasta biasanya terpusat pada kegiatan ekonomi yang
dengan imbal hasil yang tinggi. Oleh karena itu perlu dukungan pemerintah dalam meningkatkan
pertumbuhan ekonomi Jawa Timur yang lebih pro growth, pro poor, dan pro job.
Untuk dapat mengetahui sektor manakah yang berpeluang mendorong pertumbuhan inklusif
dan sejauh mana peran pemerintah dalam mewujudkan pertumbuhan inklusif maka digunakan
analisis menggunakan Tabel Input-Output Jawa Timur. Tabel Input-Output merupakan suatu
sistem informasi statistik yang disusun dalam bentuk matriks yang menggambarkan transaksi
barang dan jasa antar sektor ekonomi dalam suatu kurun waktu tertentu (Tabel I-O BPS, 2015).
Adapun dalam penelitian ini metode yang digunakan untuk menganalisis sektor inklusif dan
mengetahui seberapa besar peranan pemerintah dalam mengalokasikan pengeluarannya untuk
mewujudkan sektor inklusif adalah metode pengganda input – output yaiu untuk melihat sektor
apa saja yang mampu mendorong pertumbuhan inklusif dan peran pemerintah dalam mendorong
inklusivitas tersebut.
B. TINJAUAN PUSTAKA
a. Teori Keynes tentang Multiplier Pemerintah
Multiplier pada dasarnya diawali melalui fungsi pendapatan oleh Keynes. Melalui fungsi
pendapatan tersebut, kemudian dapat diturunkan pada persamaan-persamaan selanjutnya.
Multipier tersebut didasari oleh persamaan fungsi pendapatan berikut :
Y= C + I + G …………………….……………... (2.1)
Dimana :
Y = pendapatan
C = konsumsi
I = investasi
G = pengeluaran pemerintah
Secara umum multipier didefinisikan sebagai angka pengganda. Melalui fungsi pendapatan
maka dapat diturunkan pada teori multiplier Keynes. Dalam penelitian ini menggunakan teori
Multiplier Keynes mengenai Multiplier Pengeluaran Pemerintah dan Multiplier Pajak. Menurut
3.00
5.00
7.00
9.00
11.00
13.00
15.00
2011 2012 2013 2014 2015 2016
JAWA TIMUR NASIONAL
Keynes multiplier pengeluaran pemerintah didefinisikan sebagai rasio perubahan dalam tingkat
ekuilibrium output terhadap perubahan dalam belanja pemerintah.
Melalui fungsi pendapatan ini dapat diturunkan pada persamaan 2 atau multiplier pengeluaran
pemerintah, yaitu :
Y = C + I + G
Y =
Y =
Y – bY =
Y (1-b) =
Y =
…………...…………...... (2.2)
Dimana =
Y = pendapatan
= multiplier pengeluaran pemerintah
= pengeluaran pemerintah ketikan pendapatan nol (0)
= konsumsi dikali pajak
I = investasi
G = pengeluaran pemerintah
Sedangkan multiplier pajak didefinisikan sebagai rasio perubahan dalam tingkat keseimbangan
output terhadap perubahan dalam pajak. Ketika pemerintah meningkatkan belanja, ada dampak
langsung pada belanja total perekonomian. G merupakan komponen pengeluaran aggregate yang
direncanakan, peningkatan G menyebabkan peningkatan yang sama pada pengeluaran agregat
yang direncanakan. Ketika pajak dipotong, tidak ada dampak langsung atas belanja. Pajak muncul
karena memiliki efek atas pendapatan siap konsumsi rumah tangga , yang mempengaruhi
konsumsi rumah tangga (yang merupakan bagian belanja total). Karena pajak harus melalui
konsumsi sebelum berdampak pada perekonomian.
Sedangkan multiplier pajak ditunjukkan pada persamaan berikut :
Y = C + I + G
Y =
Y =
Y – bY =
Y (1-b) =
Y =
=
………………………………….. (2.3)
Dimana :
= multipier pajak
= pengeluaran pemerintah ketikan pendapatan nol (0)
I = investasi
G = pengeluaran pemerintah
Perubahan pajak dapat secara tidak langsung mempengaruhi perekonomian melalui fungsi
konsumsi. Seperti dijelaskan pada persamaan 2.3 Dalam perpotongan Keynesian pemotongan
pajak akan meningkatkan pendapatan sebesar ∆T x MPC/(1-MPC). Multiplier pengeluaran
pemerintah dan multiplier pajak memiliki dampak yang cukup berbeda terhadap perekonomian.
Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan persamaan 2.2 (multiplier pengeluaran
pemerintah) dan persamaan 2.3 (multipier pajak), maka pengeluaran dari multiplier pengeluaran
pemerintah akan lebih besar daripada multiplier pajak.
b. Peran Pemerintah dalam Perekonomian
Dalam subbab ini akan membahas peran pemerintah dalam perekonomian, yaitu melalui
kebijakan fiskal. Kebijakan fiskal merupakan dampak multiplier. Kebijakan fiskal sebagai salah
satu kebijakan untuk mengendalikan keseimbangan makroekonomi. Kebijakan fiskal dapat
menggerakkan perekonomian karena peningkatan pengeluaran pemerintah atau pemotongan pajak
mempunyai efek multiplier dengan cara menstimulasi tambahan permintaan untuk barang
konsumsi rumah tangga. Apabila pemerintah melakukan pemotongan pajak sebagai stimulus
perekonomian. Pemotongan pajak akan meningkatkan disposable income dan mempengaruhi
permintaan. Kecenderungan rumah tangga untuk meningkatkan konsumsi dengan meningkatkan
marginal prospensity to consume (MPC), menjadi rantai perekonomian untuk peningkatan
pengeluaran yang lebih banyak dan pada akhirnya terhadap output (Surjaningsih, 2012).
Kebijakan fiskal pemerintah memiliki tiga sifat, yaitu kebijakan fiskal ekspansioner, kebijakan
fiskal kontraksioner, dan kebijakan fiskal berimbang (balance budget). Kebijakan fiskal
ekspansioner merupakan kebijakan pemerintah yang menurunkan tingkat pajak. Kebijakan fiskal
kontraksioner adalah pemerintah menetapkan pajak yang tinggi. Sedangkan kebijakan fiskal
berimbang yaitu kebijakan pemerintah yang menetapkan penerimaan dan pengeluaran secara
seimbang (balance budget). Masing-masing sifat kebijakan memiliki dampak yang berbeda
terhadap perekonomian. Secara lebih rinci dapat dijelaskan dalam subbab berikut :
c. Teori Pengeluaran Pemerintah
1. Hukum Wagner
Adolf Wagner menyatakan bahwa pengeluaran pemerintah dan kegiatan pemerintah semakin
lama semakin meningkat. Tendensi ini oleh Wagner disebut dengan hukum selalu meningkatnya
peranan pemerintah. Inti teorinya yaitu makin meningkatnya peran pemerintah dalam kegiatan dan
kehidupan ekonomi masyarakat sebagai suatu keseluruhan. Wagner menyatakan bahwa dalam
suatu perekonomian apabila pendapatan per kapita meningkat maka secara relatif pengeluaran
pemerintah pun akan meningkat terutama disebabkan karena pemerintah harus mengatur hubungan
yang timbul dalam masyarakat, hukum, pendidikan, rekreasi, kebudayaan dan sebagainya.
Hukum Wagner mengatakan :
1. Fungsi tambahan negara mengarah ke peningkatan belanja publik pada administrasi dan
regulasi ekonomi.
2. Perkembangan industri modern akan menimbulkan peningkatan tekanan politik untuk
kemajuan sosial dan untuk peningkatan perilaku industri.
3. Kenaikan pengeluaran publik lebih besar dari peningkatan proporsional pendapatan
nasional dan dengan demikian akan menghasilkan ekspansi relatif dari sektor publik.
2. Teori Peacock & Wiseman
Teori mereka didasarkan pada suatu analisis penerimaan pengeluaran pemerintah. Pemerintah
selalu berusaha memperbesar pengeluarannya dengan mengandalkan memperbesar penerimaan
dari pajak, padahal masyarakat tidak menyukai pembayaran pajak yang besar untuk membiayai
pengeluaran pemerintah yang semakin besar tersebut. Meningkatnya penerimaan pajak
menyebabkan pengeluaran pemerintah juga semakin meningkat. Dalam keadaan normal
meningkatnya GNP menyebabkan penerimaan pemerintah yang semakin besar, begitu juga dengan
pengeluaran pemerintah menjadi semakin besar.
Peacock dan Wiseman mendasarkan teori mereka pada suatu teori bahwa masyarakat
mempunyai suatu tingkat toleransi pajak, yaitu suatu tingkat dimana masyarakat dapat memahami
besarnya pungutan pajak yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk membiayai pengeluaran
pemerintah. Jadi masyarakat menyadari bahwa pemerintah membutuhkan dana untuk membiayai
aktivitas pemerintah sehingga mereka mempunyai tingkat kesediaan masyarakat untuk membayar
pajak. Tingkat toleransi ini merupakan kendala bagi pemerintah untuk menaikkan pemungutan
pajak secara semena-mena. Dalam teori Peacock dan Wiseman terdapat efek penggantian
(displacement effect) yaitu adanya gangguan sosial yang menyebabkan aktivitas swasta dialihkan
pada aktivitas pemerintah.
d. Pertumbuhan Ekonomi Inklusif
Pertumbuhan merupakan syarat penting bagi terciptanya pertumbuhan inklusif. Klasen (ADB,
2010) menyatakan bahwa penting untuk menentukan episode ekonomi seperti apa yang memiliki
karakteristik sebagai pertumbuhan yang inklusif. Ada dua kemungkinan untuk hal tersebut, yang
pertama melihat melalui proses. Pertumbuhan ekonomi yang inklusif adalahh pertumbuhan yang
meluas antar sektor atau intensif terhadap tenaga kerja. Dengan begitu pertumbuhan inklusif dapat
dikatakan sebagai pertumbuhan yang melibatkan partisipasi semua pihak tanpa diskriminasi dan
mampu melibatkan seluruh sektor ekonomi. Fokus kedua yaitu pada hasil dari proses
pertumbuhan. Dalam hal ini, konsep pertumbuhan inklusif berkaitan erat dengan konsep
pertumbuhan yang pro poor. Dengan kata lain, berdasarkan hasil yang dicapainya, pertumbuhan
inklusif adalahh pertumbuhan yang mampu menurunkan kelompok yang “tidak diuntungkan”
dalam perekonomian. Berdasarkan kedua fokus tersebut, pertumbuhan inklusif dapat didefinisikan
sebagai pertumbuhan yang tidak mendiskriminasikan dan mampu menjamin pemerataan akses
pertumbuhan sekaligus sebagai pertumbuhan yang mampu menurunkan kelompok yang tidak
memperoleh keuntungan dari pertumbuhan (mengurangi disparitas antar kelompok). Dalam upaya
mencapai pertumbuhan inklusif, Klasen (2010) menekankan pada tiga indikator, antara lain:
berkurangnya tingkat pengangguran, berkurangnya ketimpangan pendapatan dan kemiskinan serta
peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM).
C. METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kuantitatif yaitu penelitian yang didasarkan
atas data sekunder, jurnal, artikel, dan literatur yang berhubungan dengan permasalahan penelitian
dan dianalisis dengan analisis model inpu-output. Melalui multiplier peran pemerintah dapat
diketahui kontribusi pemerintah terhadap sektor-sektor ekonomi dalam tabel input-output Jawa
Timur yang akan mewujudkan pertumbuhan inklusif di Jawa Timur.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini hanya memfokuskan dan menganalisa sektor pendorong pertumbuhan inklusif
dan peran pemerintah dalam mendorong terwujudnya pertumbuhan inklusif di Jawa Timur.
Sumber Data
Data yang digunakan bersumber dari data sekunder Tabel Input-Output Provinsi Jawa Timur
tahun 2006, 2010, dan 2015 yang diperoleh dari BPS Jawa Timur..
Alat Analisis
1. Analisis Pengganda Pemerintah (Government Multiplier Effect)
Pengganda pemerintah didefinisikan sebagai rasio perubahan dalam tingkat ekuilibrium output
terhadap perubahan dalam belanja pemerintah. Analisis pengganda pemerintah digunaan untuk
melihat peran pemerintah terhadap sektor ekonomi dalam meningkatkan besarnya output
(pendapatan) dan pengeluaran agregat pemerintah yang terserap oleh perekonomian. Rumusnya
adalah sebagai berikut :
Y = C + I + G
Y =
Y =
Y – bY =
Y (1-b) =
Y =
………………………..…. (3.1)
Dimana =
Y = pendapatan
= multiplier pengeluaran pemerintah
= pengeluaran pemerintah ketikan pendapatan nol (0)
= konsumsi dikali pajak
I = investasi
G = pengeluaran pemerintah
2. Analisis Pengganda Tenaga Kerja (Employment Multiplier Effect)
Pengganda tenaga kerja menunjukkan efek total dari perubahan lapangan akibat adanya satuu
unit uang perubahan permintaann akhir di suatu sektor tertentu. Analisis pengganda tenaga kerja
digunaan untuk melihat peran suatu sektor dalam meningkatkan besarnya jumlah tenaga kerja
yang terserap oleh perekonomian. Jika nilai pengganda tenaga kerja di suatu sektor lebih besar dari
satuu menunjukkan daya serap tenaga kerja di sektor yang bersangkutan cukup tinggi. Rumusnya
adalahh sebagai berikut :
Jika L =
...................................................... (3.3)
Dimana :
L = Koefisien pengganda tenaga kerja (labor coefficient)
= Tenaga kerja
= Multiplier (pengganda)
= Output Total
3. Linkage
Analisis keterkaitan dikembangkan oleh Rasmussen (1956)4 dan Hirschman (1958) untuk
melihat keterkaitan antar sektor, terutama untuk menentukan strategi kebijakan pembangunan. Ada
dua jenis keterkaitan, yaitu (1) keterkaitan ke belakang (backward linkages) yang merupakan
keterkaitan dengan bahan mentah dan dihitung menurut kolom, dan (2) keterkaitan ke depan
(forward linkages) yang merupakan keterkaitan penjualan barang jadi dan dihitung menurut baris.
- Kaitan Ke Belakang (Backward Linkage)
Peningkatan output sektor i akan meningkatkan permintaan input untuk sektor itu, baik yang
berasal dari sektor i maupun sektor lainnya, dalam arti harus ada peningkatan output sektor lainnya
itu. Keterkaitan antar sektor industri yang seperti ini disebut dengan keterkaitan ke belakang
(backward linkage), karena keterkaitan itu bersumber dari mekanisme penggunaan input.
Keterkaitan ke belakang dalam bentuk rumus matematik dapat ditulis sbb:
∑
⁄ ∑ ∑
……………………….. (3.4)
dimana:
TBLj = total Backward Linkage untuk sektor j
bij = elemen matriks kebalikan Leontief baris ke i, kolom ke j
n = jumlah sektor
- Kaitan ke Depan (Forward Linkage)
Peningkatan output pada sektor i akan meningkatkan distribusi output sektor itu yang membuat
sektor lain (sektor j) mempunyai input yang lebih banyak, sehingga sektor lain tersebut akan
meningkatkan proses produksi yang pada gilrannya akan menghasilkan output yang lebih banyak.
Keterkaitan antar-sektor industri semacam itu disebut dengan keterkaitan ke depan (forward
linkage), karena keterkaitannya bersumber dari mekanisme penggunaan output. Keterkaitan ke
depan dalam bentuk rumus matematik dapat ditulis sbb:
∑
⁄ ∑ ∑
…………………………. (3.5)
dimana:
TFLi.. = Total Forward Linkage untuk sektor i
bij = elemen matriks kebalikan Leontief baris ke i, kolom ke j
n = jumlah sektor
D. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam upaya untuk mewujudkan pertumbuhan inklusif, maka perlu diketahui sektor apa saja
yang mampu mendorong terwujudnya pertumbuhan inklusif, maka dilakukan pemetaan sektor
inklusif.
Gambar 5 : Pemetaan Sektor Inklusif
Sumber : Penulis, 2017
Gambar 5 diatas merupakan gambar pemetaan sektor inklusif. Dimana pada kudran I adalah
sektor inklusif yaitu sektor dengan penyerapan tenaga kerja dan keterkaitan antar sektor yang kuat.
Kuadran II adalah sektor unggulan yang merupakan sektor yang intensive modal dan mendorong
pertumbuhan. Kuadran III adalah sektor padat karya dan minim modal. Sedangkan kuadran IV
adalah sektor non-unggulan yaitu sektor yang minim tenaga kerja dan modal.
Tabel 1 : Pemetaan Sektor Inklusif Tahun 2006, 2010, dan 2015
KODE
ISIC
Klasifikasi
Sektor 2006
KODE
ISIC
Klasifikasi
Sektor 2010
KODE
ISIC
Klasifikasi Sektor
2015
66 Barang Dari
Plastik 48 Pakan Ternak 57
Industri Kimia
Dasar
78 Jasa Reparasi 70 Logam Dasar 60
Industri Farmasi,
Produk Obat Kimia
Dan Obat
Tradisional
87
Perdagangan
Eceran, Bukan
Mobil Dan Motor
71 Barang Dari
Logam Lainnya 61
Industri Karet Dan
Barang Dari Karet
108
Jasa Kesehatan
Dan Kegiatan
Sosial
74
Mesin Dan
Perlengkapan
Ytdl
62 Industri Barang Dari
Plastik
Jumlah 4 komoditas Jumlah 4 komoditas Jumlah 4 komoditas
Sumber : Hasil Analisis, 2017
Berdasarkan pemetaan sektor inklusif diatas, menunjukkan bahwa sektor inklusif tahun 2006
hingga tahun 2015 berjumlah 1 sektor. Sektor inklusif ini dapat diklasifikasikan dalam kode ISIC
yang terurai pada tabel 4.2. Dimana uraian komoditas inklusif tahun 2010, dan 2015 akan
diuraikan pada penjelasan berikut ini.
Kuadran 3
Sektor Padat Karya
Kuadran 1
Sektor Inklusif
Kuadran 4
Sektor Non-Unggulan
Kuadran 2
Sektor Unggulan
Pengganda Tenaga Kerja
Koefisien BL/FL
Sektor inklusif tahun 2006 berjumlah satu sektor dengan empat komoditas. Berdasarkan hasil
pemetaan, sektor inklusif tahun 2006 yaitu industri pengolahan (Non-Agro) antara lain Barang
Dari Plastik, Jasa Reparasi, Perdagangan Eceran, Bukan Mobil Dan Motor, dan Jasa Kesehatan
Dan Kegiatan Sosial. Menurut laporan BPS, sektor industri pengolahan ditahun 2006
menyumbang PDRB sebesar Rp 72.786.972.17 miliar.
Sektor inklusif tahun 2010 berjumlah satu sektor dengan empat komoditas. Berdasarkan hasil
pemetaan, sektor inklusif tahun 2010 yaitu sektor industri pengolahan (Non-Agro) antara lain
Pakan Ternak, Logam Dasar, Barang Dari Logam Lainnya, dan Mesin Dan Perlengkapan Ytdl.
Menurut laporan BPS industri pengolahan (berbasis pertanian maupun non pertanian) memberi
kontribusi terhadap PDRB sebesar Rp 83.299.893,42 miliar di tahun 2009 sedangkan tahun 2010
mengalami kenaikan menjadi sebesar Rp 86.900.779,13 miliar. Komoditas inklusif tersebut
dikatakan inklusif karena menyerap banyak tenaga kerja, seperti Pakan Ternak dengan pengganda
tenaga kerja sebesar 6.08, Logam Dasar dengan pengganda tenaga kerja sebesar 3.61, Barang Dari
Logam Lainnya dengan pengganda tenaga kerja sebesar 2.45, dan Mesin Dan Perlengkapan Ytdl
dengan pengganda tenaga kerja sebesar 3.04. Angka pengganda tenaga kerja komoditas Pakan
Ternak sebesar 6.08 menunjukkan bahwa adanya peningkatan permintaan akhir sebesar Rp 1 juta
pada komoditas Pakan Ternak maka akan menyebabkan peningkatan kesempatan kerja dalam
perekonomian sekitar 6 orang tenaga kerja.
Sektor inklusif tahun 2015 berjumlah satu sektor dengan empat komoditas, yaitu sektor industri
pengolahan (non-agro) antara Industri Kimia Dasar, Industri Farmasi, Produk Obat Kimia Dan
Obat Tradisional, Industri Karet Dan Barang Dari Karet, dan Industri Barang Dari Plastik.
Menurut laporan BPS industri pengolahan (berbasis pertanian maupun non pertanian) memberi
kontribusi terhadap PDRB sebesar 28,95 % atau sebesar Rp 372 726,40 miliar di tahun 2014
sedangkan tahun 2015 mengalami kenaikan menjadi sebesar 29,27% atau sebesar Rp 392
489,78miliar.
Berdasarkan hasil pemetaan sektor inklusif diatas, telah terjadi pergeseran sektoral pada sektor
inklusif tahun 2006 hingga tahun 2015. Pergeseran sektoral ini karena terjadi perubahan sektor
ekonomi pada tabel Input-Output tahun 2006 hingga tahun 2015. Perubahan sektoral ini
menunjukkan bahwa semakin banyak tenaga kerja yang terserap di sektor tersebut. Selain
pergeseran sektoral, sektor inklusif tersebut juga mengalami pergeseran penggunaan teknologi,
yaitu penggunaan teknologi yang lebih modern dengan tetap menggunakan tenaga kerja dalam
jumlah besar, sehingga penyerapan tenaga kerja disektor tersebut juga besar. Tingginya
penyerapan tenaga kerja tersebut tercermin melalui pengganda tenaga kerja tahun 2006 hingga
2015. Penyerapan tenaga kerja yang tinggi menunjukkan sektor tersebut sudah inklusif. Sektor
inklusif sendiri merupakan sektor dengan jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan besar dengan
tingkat produktivitas yang tinggi. Semakin besar jumlah tenaga kerja yang terserap pada sektor
inklusif menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Timur semakin besar memiliki peluang inklusivitas.
Peningkatan sektor inklusif juga ditandai dengan meningkatnya kualitas sumber daya tenaga
kerja, hal ini ditunjukkan oleh banyaknya subsektor inklusif yang padat tenaga kerja disektor
industri pengolahan. Industri pengolahan sendiri merupakan industri besar dengan tingkat
penyerapan tenaga kerja yang besar pula. Menurut statistik Jawa Timur, jumlah tenaga kerja yang
terserap pada sektor industri besar dan sedang tahun 2014 sebanyak 1.076.217 orang. Industri yang
menyerap tenaga kerja paling besar di Jawa Timur adalah Kota Surabaya, yaitu sebesar 201.522
orang atau 18.73%, diikuti Kabupaten Sidoarjo yang menyerap tenaga kerja sebesar 196.251 orang
(18,24 %), Kabupaten Pasuruan dengan jumlah tenaga kerja sebesar 114.768 orang (10,66 %), dan
Kabupaten Gresik dengan penyerapan tenaga kerja 105.849 orang (9,84 %).
3.13 2.17 8.37
2006 2010 2015
Gambar 6 : Peran Anggaran Pemerintah
Sumber : Hasil Analisis, 2017.
Gambar 6 diatas menunjukkan peran pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.
Tahun 2006 pemerintah mendorong pertumbuhan sebesar 3.13%, tahun 2010 menurun karena
adanya risis ekonomi ditahun 2008 sehingga dorongan peran pemerintah tidak begitu besar karena
pemerintah focus pada pertumbuhan yang seimbang agar tidak terjadi goncangan yang lebih hebat
pada perekonomian. Namun, pada periode tahun 2015 efektifitas anggaran pemerintah kembali
meningkat sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi hingga mencapai 8.3%. Kenaikan ini
menunjukkan bahwa multiplier anggaran pemerintah semakin efektif mendorong pertumbuhan
ekonomi. Hal ini dikarenakan beberapa faktor, yaitu :
- Birokrasi semakin baik.
Birokrasi merupakan sarana yang efektif bagi perubahan sosial, serta instrumen yang lebih baik
untuk menciptakan persamaan politik, keadilan sosial, dan pertumbuhan ekonomi. Birokrasi
menjadi bagian penting dalam mewujudkan good governance (tata kelola pemerintahan yang
baik). Titik berat dari pemerintahan yang baik adalah pada upaya peningkatan kualitas pelayanan
publik, serta pemberantasan korupsi secara terarah, sistematis, dan terpadu.
-Pemerintah semakin transparan dalam mengelola pengeluaran.
Transparansi pengelolaan pengeluaran pemerintah Jawa Timur, tercermin dari semakin
tingginya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Transparansi ini juga merupakan
implementasi dari misi keempat dari pemerintah Jawa Timur, yaitu meningkatkan reformasi
birokrasi dan pelayanan publik, dengan sasaran meningkatnya transparansi dan akuntabilitas
penyelenggaran pemerintah daerah dan meningkatnya kualitas perencanaan, penganggaran, dan
pengendalian program, serta kegiatan pembangunan (Jatimprov, 2017).
-Adanya partisipasi masyarakat dalam perencanaan anggaran pembangunan.
Partisipasi masyarakat dalam perencanaan anggaran pembangunan dicerminkan dari adanya
Musrenbang, mulai dari tingkat desa/kelurahan hingga provinsi. Menurut Gubernur Jawa Timur,
Dr. H. Soekarwo (dalam Press Release Musrenbang Jatim 2017, 2017) melalui Musrenbang yang
dilakukan dari tingkatan Desa hingga Provinsi ini, tak kurang dari 510 ribu orang telah melakukan
musyawarah guna menentukan arah pembangunan di tahun 2018. Keadaan ini yang menjadikan
Musrenbang di Provinsi Jawa Timur sebagai Musrenbang terbesar di Indonesia. Musrenbang
dengan pendekatan partisipatoris ditransformasikan kepada kinerja dan perencanaan pembangunan
bidang politik, bidang hukum, bidang keamanan, bidang sosial-budaya dan bidang ekonomi.
Gambar 7 : Anggaran Pemerintah Sisi Penerimaan
Sumber : Hasil Analisis, 2017.
Dari sisi penerimaan, penerimaan pemerintah mengarah pada pertumbuhan Inklusif mulai
tahun 2006 presentasenya sebesar 0.18%, tahun 2010 mengalami peningkatan sebesar 0.64%, dan
tahun 2015 hingga mencapai 0.16% Pada periode tahun 2010 terjadi krisis ekonomi pada tahun
2008, namun dari sisi penerimaa pajak lebih responsive terhadap sektor inklusif sehingga pada
periode tahun 2010 dorongan terhadap pertumbuhan inklusif lebih tinggi daripada sektor non-
inklusif.
Iftikhar (2010) mengatakan bahwa pajak merupakan merupakan salah sumber pembiayaan
yang memiliki peran penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Selain pajak utang dan
seigniorage juga merupakan sumber pembiayaan yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi.
Penerimaan pemerintah daerah seperti penerimaan dari pajak yang dibayarkan masyarakat
bermanfaat dalam mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Pajak yang dimaksud adalah pajak
tak langsung yang dibebankan melalui barang-barang konsumsi masyarakat. Hasil pembahasan
dalam penelitian ini seperti shifting anggaran pemerintah sisi penerimaan menunjukkan bahwa
penerimaan pemerintah seperti penerimaan melalui pajak sebelum mendorong pertumbuhan
ekonomi harus melalui fungsi konsumsi. Karena berdasarkan teori multiplier pajak, pajak dapat
mempengaruhi perekonomian. Namun, pajak tidak dapat langsung mempengaruhi perekonomian,
pajak dapat mempengaruhi perekonomian melalui fungsi konsumsi terlebih dahulu (Case, 2006).
Gambar 8 : Anggaran Pemerintah Sisi Pengeluaran
Sumber : Hasil Analisis, 2017.
0.18
0.64
0.16
0.82
0.36
0.84
2006 2010 2015
Sisi Penerimaan
SEKTOR INKLUSIF SEKTOR NON-INKLUSIF
0.02 0.01 0.06
0.25 0.79 1.02
2006 2010 2015
Sisi Pengeluaran
SEKTOR INKLUSIF SEKTOR NON-INKLUSIF
Sedangkan dari sisi pengeluaran, alokasi pengeluaran pemerintah cenderung mendorong
percepatan pertumbuhan namun tidak mengabaikan inklusivitas. Hal ini dibuktikan dari dorongan
pengeluaran pemerintah terhadap sektor inklusif sebesar 0.02% di tahun 2006. Tahun 2010
dorongan tersebut mengalami penurunan menjadi sebesar 0.01% dikarenakan adanya krisis
ekonomi sehingga pemerintah lebih berfokus pada pertumbuhan ekonomi. Namun, pada tahun
2015 dorongan terhadap sektor inklusif kembali meningkat karena pada periode tahun 2015
perekonomian mengalami masa pemulihan (recovery) sehingga pada tahun 2015 dorongan
terhadap pertumbuhan inklusif mengalami kenaikan hingga mencapai 0.06%.
Menurut Mehmood (2010) mengatakan pengeluaran pemerintah merangsang pertumbuhan
ekonomi dalam jangka panjang melalui peningkatan permintaan agregat. Pengeluaran pemerintah
cukup memberikan stimulus dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Pengeluaran pemerintah
pada sektor pendidikan meningkatkan modal manusia dan kesempatan kerja, dimana dengan itu
perekonomian akan naik karena adanya peningkatan pada sumberdaya manusia. Menurut Case
(2006) melalui fungsi multiplier pemerintah, pengeluaran pemerintah dapat langsung
mempengaruhi perekonomian, karena pengeluaran pemerintah berdiri sendiri. Tidak seperti
multiplier pajak yang harus melalui fungsi konsumsi terlebih dahulu untuk dapat mempengaruhi
perekonomian.
Secara keseluruhan peran pemerintah Jawa Timur semakin meningkat dan semakin besar
dalam menstimulus perekonomian. Hal ini dilihat melalui dampak pengeluaran pemerintah dari
sisi penerimaan dan sisi pengeluaran terhadap dorongan pada pertumbuhan ekonomi yang
dicerminkan dari hasil diatas.
E.PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil diatas mengenai pemetaan sektor inklusif dan peran pemerintah dalam
mendorong pertumbuhan inklusif di Jawa Timur, maka dapat diambil beberapa kesimpulan yang
berkaitan dengan penelitian ini yaitu sebagai berikut :
1. Ada kecenderungan aktivitas ekonomi Jawa Timur bergerak pada sektor inklusif.
2. Peran anggaran pemerintah mampu menstimulus pertumbuhan ekonomi Jawa
Timur.
3. Anggaran pemerintah yaitu aspek penerimaan dan pengeluaran memiliki dampak
yang berbeda. Aspek penerimaan mendorong tumbuhnya sektor inklusif, dan aspek
pengeluaran mendorong tumbuhnya sektor non-inklusif.
Saran
Berdasarkan hasil pembahasan di atas, penulis menyarankan beberapa hal untuk pihak-pihak
terkait, yaitu:
1. Pengeluaran pemerintah masih pro sektor non-inklusif. Sehingga pengeluaran
pemerintah perlu ditingkatkan efektifitas penggunanya pada sektor inklusif sehingga
dapat mendorong pertumbuhan inklusif.
2. Industrialisasi Jawa Timur sudah mengarah pada percepatan pertumbuhan inklusif.
Sehingga di Jawa Timur diperlukan penguatan pengembangan industri pengolahan,
baik industri berbasis pertanian maupun industri non-agro.
F. DAFTAR PUSTAKA
Admin. 2017. Perbedaan Pergeseran Dan Revisi Anggaran (Bagian 1).
http://bpkad.lamongankab.go.id/index.php/perbedaan-pergeseran-dan-revisi-
anggaran-bagian-1/ diakses tanggal 30 Juli 2017.
Arsyad, Lincoln. 2010. Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta : Unit Penerbit dan Percetakan STIM
YKPN Yogyakarta.
Asmoro, E. I., 2014. Model Efektivitas Pemberdayaan Perekonomian Masyarakat Dengan Peran
Pemerintah Mengakomodasi Hobi/Minat Dan Bakat Masyarakat. Jurnal Dinamika
Teknik, Vol 8 No 1 Januari 2014, h. 17 – 25
Bank Indonesia, 2016. Kajian Ekonomi Dan Keuangan Regional Provinsi Jawa Timur. (diakses
tanggal 23 Juli 2017)
BPS Provinsi Jawa Timur. 2007. Tabel Input-Output Jawa Timur Tahun 2006. Surabaya : Badan
Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur.
BPS Provinsi Jawa Timur. 2011. Tabel Input-Output Jawa Timur Tahun 2010. Surabaya : Badan
Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur.
BPS Provinsi Jawa Timur. 2016. Tabel Input-Output Jawa Timur Tahun 2015. Surabaya : Badan
Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur.
BPS Provinsi Jawa Timur. 2017. Berita Resmi Statistik. No. 31/05/35/Th.XV diakses tanggal 26
Juli 2017.
BPS Provinsi Jawa Timur. 2017. Berita Resmi Statistik. No. 45/05/Th.XX. diakses tanggal 26 Juli
2017.
BPS Provinsi Jawa Timur. 2017. Jumlah Penduduk Miskin, Presentase Penduduk Miskin, dan
Garis Kemiskinan, 2002-2016. http://bps.go.id./ diakses tanggal 16 Januari 2017
BPS Provinsi Jawa Timur. 2017. Laju Pertumbuhan PDRB ADH Konstan Menurut Pengeluaran,
2011-2012. http://bps.go.id./ diakses tanggal 16 Januari 2017
BPS Provinsi Jawa Timur. 2017. Laju Pertumbuhan PDRB ADH Konstan Menurut Pengeluaran,
2013-2014. http://bps.go.id./ diakses tanggal 16 Januari 2017
BPS Provinsi Jawa Timur. 2017. Laju Pertumbuhan PDRB ADH Konstan Menurut Pengeluaran,
2015-2016. http://bps.go.id./ diakses tanggal 16 Januari 2017
BPS Provinsi Jawa Timur. 2017. Laju Pertumbuhan PDRB ADH Konstan Menurut Pengeluaran,
2015-2016. http://bps.go.id./ diakses tanggal 16 Januari 2017
BPS Provinsi Jawa Timur. 2017. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Menurut Provinsi, 1986-
2016. http://bps.go.id./ diakses tanggal 4 Januari 2017.
Case, K.E., 2006. Prinsip-Prinsip Ekonomi Edisi Ke Delapan. Jakarta : Penerbit Erlangga.
Husnain. M. Expenditure-Growth Nexus: Does the Source of Finance Matter? Empirical Evidence
from Selected South Asian Countries. 2010.
Jhingan, M.L. 2012. Ekonomi Pembangunan Dan Perencanaan. Jakarta : Rajawali Pers.
Kristyanto, V. S. 2015. Skripsi. Analisis Sektor Produksi Pendorong Terwujudnya Pertumbuhan
Inklusif di Jawa Timur. Malang: FE Universitas Brawijaya.
Kuncoro, Mudrajad. 2010. Dasar-Dasar Ekonomika Pembangunan (Edisi Kelima). Yogyakarta :
UPP STIM YKPN.
Kurniawan, Anto. 2017. Ajak Kaum Muda Bertani Modern dengan Mekanisasi.
https://ekbis.sindonews.com/read/1220051/34/ajak-kaum-muda-bertani-modern-dengan-
mekanisasi-1499852729. Diakses tanggal 20 Juli 2017.
Surjaningsih, Ndari. Dkk. 2012. Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Output Dan Inflasi. Jurnal
Ekonomi. BEMP Volume 14 Nomor 4.
Patricia, Nkiru. Izuchukwu, Daniel. Impact of Government Expenditure on Economic Growth in
Nigeria. International Journal of Business and Management review. Vol.1, No.4, pp.64-
71, December 2013.
Prasetya, Ferry. 2012. Modul Ekonomi Publik Bagian V Teori Pengeluaran Pemerintah. Fakultas
Ekonomi & Bisnis Universitas Brawijaya
Prasmuko, Andry. Anugrah D. F., 2010. Dampak Krisis Keuangan Global Terhadap
Perekonomian Daerah. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
(http://www.bi.go.id/id/publikasi/jurnal-
ekonomi/documents/00fcaabc028840829e12379fe852a7335andrydonni.pdf ) diakses
tanggal 26 Juli 2017
Press Release Musrenbang Jatim 2017.
Putra. 2017. E-Newbudgeting Pemprov Jatim Melangit atau Membumi.
http://korantransparansi.com/tajuk/item/3241-e-newbudgeting-pemprov-jatim-melangit-
atau-membumi diakses tanggal 30 Juli 2017.
Rahadi, Fernan. 2017. Pemprov Jatim dan KPK Sinergikan E-New Budgeting.
http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/daerah/17/07/25/otn9uk291-pemprov-jatim-
dan-kpk-sinergikan-enew-budgeting diakses tanggal 30 Juli 2017.
Surjaningsih, Ndari. 2012. Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Output Dan Inflasi. Buletin
Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2012.
Tambunan, Tulus T.H. 2015. Perekonomian Indonesia Orde Lama Hingga Jokowi. Bogor :
Penerbit Ghalia Indonesia.
Yunianti, Umi. 2015. Analisis Efisiensi Dan Efektivitas Anggaran Pendapatan Dan Belanja Desa
(APBDesa). Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2015.