ANALISIS PENYIMPANAN KARBON DALAM DAUN, SERASAH DAN SEDIMEN MANGROVE Avicennia marina DI KAWASAN EKOWISATA MANGROVE WONOREJO KECAMATAN RUNGKUT, SURABAYA, JAWA TIMUR SKRIPSI Oleh: IRMA FEBRIYANTI NIM. 135080107111013 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2017
65
Embed
ANALISIS PENYIMPANAN KARBON DALAM DAUN, SERASAH …repository.ub.ac.id/7048/1/Irma Febriyanti.pdf · karbon dalam daun, ... penetapan kandungan karbon organik menggunakan metode Walkey-Black
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
ANALISIS PENYIMPANAN KARBON DALAM DAUN, SERASAH DAN
SEDIMEN MANGROVE Avicennia marina DI KAWASAN EKOWISATA
MANGROVE WONOREJO KECAMATAN RUNGKUT, SURABAYA,
JAWA TIMUR
SKRIPSI
Oleh:
IRMA FEBRIYANTI
NIM. 135080107111013
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
ANALISIS PENYIMPANAN KARBON DALAM DAUN, SERASAH DAN
SEDIMEN MANGROVE Avicennia marina DI KAWASAN EKOWISATA
MANGROVE WONOREJO KECAMATAN RUNGKUT, SURABAYA,
JAWA TIMUR
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih Gelar Sarjana Perikanan di
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Brawijaya
Oleh:
IRMA FEBRIYANTI
NIM. 135080107111013
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
OKTOBER, 2017
IDENTITTAS TIM PENGUJI
Judul : ANALISIS PENYIMPANAN KARBON DALAM DAUN,
SERASAH DAN SEDIMEN MANGROVE Avicennia marina DI
KAWASAN EKOWISATA MANGROVE WONOREJO
KECAMATAN RUNGKUT, SURABAYA, JAWA TIMUR
Nama Mahasiswa : IRMA FEBRIYANTI
NIM : 135080107111013
Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan
PENGUJI PEMBIMBING:
Pembimbing 1 : Dr. Ir. MULYANTO, M.Si
Pembimbing 2 : NANIK RETNO BUWONO, S.Pi., MP
PENGUJI BUKAN PEMBIMBING:
Dosen Penguji 1 : Dr. Ir. MUHAMMAD MUSA, MS
Dosen Penguji 2 : Dr. UUN YANUHAR, S.Pi., M.Si
Tanggal Ujian : 31 Oktober 2017
UCAPAN TERIMA KASIH
Alhamdulillahirrobbil’alamin, berkat rahmat Allah SWT kewajiban menempuh
perkuliahan di FPIK telah terselesaikan. Oleh karena itu, penulis sampaikan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Allah SWT yang telah memberikan segala nikmat, karunia dan kemudahan
serta kekuatan hati yang luar biasa kepada saya selama ini sehingga skripsi
ini dapat terselesaikan dengan baik.
2. Bapak Ruslani dan Ibu Masruchanah. Orang tua terhebat di dunia yang saya
miliki, yang tidak pernah putus memberikan doa dan semangat, selalu
menyayangi dan mengasihi serta kakak-kakak saya yang selalu mendukung
dan mendo’akan saya.
3. Universitas Brawijaya dan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Tempat
saya menuntut ilmu dan berkembang.
4. Bapak Dr. Ir. Mulyanto, M.Si dan Ibu Nanik Retno Buwono, S.Pi, MP selaku
dosen pembimbing yang telah sabar membimbing, memberi masukan dan
menasehati saya.
5. Bapak Wito dan Bapak Sali selaku pengurus areal mangrove di Ekowisata
mangrove Wonorejo Surabaya yang sudah banyak membantu selama
Nurul, Widia, Dita) dan semua pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu-
persatu yang selalu memberi semangat dan motivasi kepada saya
7. Keluarga FAM’13 yang telah memberikan semangat, dukungan dan motivasi
kepada saya, terima kasih banyak.
Malang, Oktober 2017
Penulis
Irma Febriyanti
vi
RINGKASAN
Irma Febriyanti. Analisis Penyimpanan Karbon dalam Daun, Serasah dan
Sedimen Mangrove Avicennia marina di Kawasan Ekowisata Mangrove
Wonorejo Kecamatan Rungkut Surabaya Jawa Timur. (dibawah bimbingan
Dr. Ir. Mulyanto, M.Si dan Nanik Retno Buwono, S.Pi, MP)
Karbon dioksida (CO2) merupakan senyawa kimia yang berperan dalam penyimpanan panas yang dipancarkan oleh bumi. Namun, jika terlalu berlebih maka bumi akan menjadi sangat panas. Setiap kegiatan manusia sebagian melepaskan CO2 ke udara, namun sebagian lainnya juga melepaskan dalam jumlah yang besar seperti penggunaan bahan bakar fosil, kendaraan bermotor, penggundulan dan kebakaran hutan. Semakin banyak emisi CO2 dari kegiatan manusia yang mengubah keseimbangan proses alami bumi maka akan menyebabkan pemanasan global. Avicennia marina mampu menyerap CO2 dari udara melalui proses fotosintesis dan mengubahnya menjadi karbon organik dan menyimpannya dalam bentuk biomassa pada tubuh pohon.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis perbedaan kandungan karbon dalam daun, serasah dan sedimen mangrove Avicennia marina serta untuk menganalisis penyerapan karbon dioksida (CO2) pada daun mangrove Avicennia marina di kawasan Ekowisata Mangrove Wonorejo, Kecamatan Rungkut, Surabaya, Jawa Timur. Penelitian ini dilaksanakan di kawasan Ekowisata Mangrove Wonorejo, Kecamatan Rungkut, Surabaya, Jawa Timur pada bulan Februari 2017.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei. Penentuan lokasi sampling dilakukan dengan metode purposive sampling. Pengambilan sampel daun, serasah dan sedimen dilakukan dengan metode destructive sampling dan ditimbang berat basah sebanyak 250 g. Analis sampel penetapan kandungan karbon organik menggunakan metode Walkey-Black di laboratorium Kimia Tanah Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Analisis data menggunakan perhitungan matematis dengan perhitungan kadar air, biomassa, kandungan karbon dan serapan CO2.
Hasil yang ditunjukkan terhadap biomassa dan kandungan karbon dalam daun, serasah dan sedimen memiliki perbedaan yang cukup jauh. Nilai rata-rata biomassa pada daun, serasah dan sedimen adalah sebesar 183,65 g/m2, 166,81 g/m2, dan 157,49 g/m2. Nilai rata-rata kandungan karbon organik pada daun, serasah dan sedimen berturut-turut adalah sebesar 65,40 g/m2, 53,93 g/m2, 5,15 g/m2. Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa kandungan karbon terbesar pada Avicennia marina terdapat pada biomassa daun. Hal ini dikarenakan daun memiliki biomassa yang lebih tinggi dibandingkan serasah dan sedimen. Besarnya biomassa berkorelasi positif dengan kandungan karbon. Semakin besar biomassanya maka kandungan karbon yang tersimpan akan semakin besar. Avicennia marina menyerap CO2 dari udara melaui pori stomata yang terdapat pada permukaan daun pada proses fotosintesis. Nilai rata-rata penyerapan CO2 pada daun yang tertinggi berada pada titik sampling 4 dengan nilai sebesar 275,15 g/m2 sedangkan yang terendah pada titik sampling 5 dengan nilai 202,43 g/m2 serta nilai rata-rata sebesar 239,81 g/m2.
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat
dan hidayah-Nya lah saya dapat menyelesaikan Skripsi ini dengan judul
“Analisis Penyimpanan Karbon dalam Daun, Serasah dan Sedimen
Mangrove Avicennia marina di Kawasan Ekowisata Mangrove Wonorejo
Kecamatan Rungkut, Surabaya, Jawa timur”. Skripsi ini disusun sebagai salah
satu syarat untuk meraih gelar sarjana di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Brawijaya.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan Skripsi ini masih banyak
terdapat kekurangan. Oleh karena itu, penulis sangat bersedia menerima kritik
dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan dalam penyusunan
penulisan selanjutnya sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai, Amin.
Malang, Oktober 2017
Penulis
viii
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN ................................................................................................. vi
KATA PENGANTAR ..................................................................................... vii
DAFTAR ISI .................................................................................................. viii
DAFTAR TABEL ............................................................................................ x
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xi
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xii
1. PENDAHULUAN ........................................................................................ 1 1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah ........................................................................... 4 1.3 Tujuan ................................................................................................. 5 1.4 Kegunaan ........................................................................................... 6 1.5 Tempat dan Waktu .............................................................................. 6
2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 7 2.1 Hutan Mangrove .................................................................................. 7
2.1.1 Pengertian dan Fungsi Mangrove .............................................. 7 2.1.2 Deskripsi Avicennia marina ........................................................ 8
2.2 Serasah Mangrove ............................................................................. 10 2.3 Sedimen Mangrove ............................................................................ 11 2.4 Pemanasan Global ............................................................................. 12 2.5 Siklus Karbon ...................................................................................... 12 2.6 Bentuk Senyawa Karbon .................................................................... 14 2.6.1 Bentuk Karbon di Udara ............................................................ 14 2.6.2 Bentuk Karbon di Tumbuhan ..................................................... 15 2.6.3 Bentuk Karbon di Sedimen ........................................................ 16 2.6.4 Bentuk Karbon di Air .................................................................. 17 2.7 Fotosintesis ......................................................................................... 18 2.7.1 Reaksi Terang ........................................................................... 19 2.7.2 Reaksi Gelap ............................................................................. 20 2.8 Peran Mangrove sebagai Penyerap Karbon (Blue Carbon Sink) ........ 21 2.9 Pengertian dan Pendugaan Biomassa ................................................ 22
3. MATERI DAN METODE ............................................................................. 25 3.1 Materi Penelitian ................................................................................. 25 3.2 Alat dan Bahan .................................................................................... 25 3.3 Metode Penelitian ............................................................................... 26 3.3.1 Penentuan Lokasi Sampling ...................................................... 27 3.3.2 Pengambilan Sampel ................................................................. 28 3.3.3 Analisis Sampel ......................................................................... 31 3.3.4 Analisis Data ............................................................................. 32
ix
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................... 35 4.1 Hasil Penelitian ................................................................................... 35 4.1.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian ............................................. 35 4.1.2 Deskripsi Lokasi Sampling Penelitian ......................................... 36 4.2 Kandungan Biomassa pada Tiap Komponen Mangrove ..................... 37 4.3 Kandungan Karbon Organik Tiap Komponen Mangrove ..................... 40 4.4 Potensi Serapan Karbon Dioksida (CO2) pada Avicennia marina ........ 43
10. Nilai Biomassa pada Setiap Titik Sampling ............................................... 39
11. Nilai Karbon Organik pada Setiap Titik Sampling ...................................... 42
12. Penentuan Titik Lokasi Sampling dan Pendataan ..................................... 60
13. Pengambilan Sampel ................................................................................ 60
14. Penimbangan Berat Basah Contoh Sampel .............................................. 60
15. Pengovenan Sampel dan Penghalusan Sampel ....................................... 61
16. Penimbangan Berat Kering Sampel .......................................................... 61
17. Uji Karbon Organik di Laboratorium Kimia Tanah Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya ................................................................................ 61
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Peta Lokasi dan Batasan Wilayah Penelitian ............................................ 54
2. Hasil Laboratorium Analisis Karbon Organik Avicennia marina .................. 55
3. Data Hasil Penelitian ................................................................................. 58
4. Kegiatan Penelitian ................................................................................... 60
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Aktivitas kehidupan manusia melibatkan banyak kegiatan yang dapat
mengganggu keseimbangan ekologi dan kehidupan makhluk hidup di bumi
seperti efek rumah kaca. Hampir setiap kegiatan manusia melepaskan karbon
dalam bentuk karbon dioksida (CO2) ke udara, namun sebagian kegiatan lainnya
juga melepaskannya dalam jumlah yang besar, seperti penggunakan bahan
bakar fosil melalui industri, penggunaan kendaraan bermotor, pembakaran
sampah secara berlebihan, penggundulan dan kebakaran hutan yang
menyebabkan menurunnya pepohonan yang dapat mengurangi gas CO2 di
udara. Bahan bakar fosil seperti batubara, minyak bumi dan gas alam
mengandung jumlah karbon yang tinggi yaitu berkisar 74-89%. Saat mobil atau
mesin menggunakan bensin atau solar, karbon dalam bahan bakar tersebut
berubah menjadi CO2 yang dilepaskan ke atmosfer. Semakin banyak emisi CO2
dari kegiatan manusia yang mengubah keseimbangan proses alami bumi maka
akan menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim (Stone et al., 2010).
Pemanasan global (global warming) merupakan suatu bentuk
ketidakseimbangan ekosistem di bumi akibat terjadinya proses peningkatan suhu
rata-rata atmosfer, laut, dan daratan di bumi. Pada tahun 2030 di perkirakan
suhu permukaan bumi akan mengalami peningkatan sekitar 1,5 – 4,50C.
Peningkatan tersebut dapat terjadi akibat meningkatnya emisi gas rumah kaca,
seperti karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dinitro oksida (N2O),
hidrofluorokarbon (HFC), perfluorokarbon (PFCs), dan sulfur heksafluorida (SF6)
di atmosfer. Akibatnya, pemanasan global menyebabkan perubahan iklim yang
ekstrim, mencairnya es sehingga permukaan air laut naik, serta perubahan
jumlah dan pola presipitasi telah memberi dampak pada kehidupan di bumi
2
seperti terpengaruhnya hasil pertanian, hilangnya gletser dan punahnya berbagai
jenis flora dan fauna (Utina, 2015).
Menurut Hadad (2010) salah satu kunci utama untuk menanggulangi
pemanasan global yaitu dengan cara mitigasi. Mitigasi yaitu suatu cara untuk
mencegah, menghentikan, menurunkan atau setidaknya membatasi pelepasan
emisi gas buangan, gas pencemar udara, yang kini lazim disebut “gas-gas rumah
kaca (GRK)” di atmosfer. Upaya mitigasi yang bertujuan membatasi dan
menurunkan emisi GRK dapat dilakukan dengan cara mengurangi penggunaan
sumber daya energi yang banyak menghasilkan emisi gas CO2 yang dihasilkan
oleh pembakaran minyak bumi, batu bara dan gas bumi untuk kegiatan produksi,
industri, transportasi, pembangkitan listrik dan lain-lain. Upaya mitigasi bisa juga
dilakukan dengan cara menambah, memperkuat atau memperluas produsen
yang berfungsi sebagai penyimpan karbon secara alami salah satunya yaitu
ekosistem hutan mangrove.
Hutan mangrove merupakan tipe hutan yang tumbuh di sepanjang pantai
atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove
tumbuh pada pantai-pantai yang terlindung atau pantai datar, biasanya di
sepanjang sisi pulau yang terlindung dari angin atau di belakang terumbu karang
(Nybakken, 1992 dalam Anwar dan Gunawan, 2007). Kawasan hutan mangrove
merupakan suatu kawasan yang mempunyai fungsi ekologis sebagai pelindung
garis pantai, mencegah abrasi air laut, habitat aneka biota perairan, tempat
mencari makan, tempat asuhan dan pembesaran, tempat pemijahan, serta
sebagai pengatur iklim mikro. Hutan mangrove sebagaimana hutan lainnya
memiliki peran sebagai penyerap (rosot) CO2 dari udara. Penyerapan CO2
berhubungan erat dengan biomassa pohon. Pohon melalui proses fotosintesis
menyerap CO2 dan mengubahnya menjadi karbon organik (karbohidrat) dan
menyimpannya dalam biomassa pohon (Pambudi, 2011 dalam Agustin et al.,
3
2011). Menurut Brown (1997), biomassa adalah total jumlah materi hidup di atas
permukaan pada suatu pohon dan dinyatakan dengan satuan ton berat kering
per satuan luas. Pengukuran biomassa hutan mencakup seluruh biomassa hidup
yang ada di atas permukaan tanah dan di bawah permukaan tanah serta bahan
organik yang mati meliputi kayu mati dan serasah untuk mendapatkan nilai stok
karbon. Menurut Ardli (2012), besarnya biomassa pohon tersebut dapat
mempengaruhi nilai kandungan karbon dari pohon mangrove. Nilai produktivitas
yang tinggi dan kemampuan untuk menyerap karbon organik pada hutan
mangrove menjadikan vegetasi tersebut sangat penting peranannya. Menurut
Ong (1993) dalam Ardli (2012), secara global diperkirakan hutan mangrove dapat
menyerap CO2 dari atmosfer sebesar 25,5 juta ton/tahun.
Salah satu jenis mangrove yang mampu menyerap dan menyimpan karbon
dari udara adalah Avicennia marina. Menurut Dromgoole (1998), Avicennia
marina memiliki kemampuan sebagai penyimpan karbon sehingga vegetasi
tersebut dapat mengurangi konsentrasi CO2 di udara. Tiap tahun hutan
mangrove diperkirakan dapat menyerap karbon dari udara sebesar 42 juta ton
atau setara dengan emisi gas karbon dari 25 juta mobil (Ardianto, 2011 dalam
Imiliyana et al., 2012).
Kawasan Ekowisata Mangrove Wonorejo terletak di Pamurbaya (Pantai
Timur Surabaya) yang berperan penting dalam menjaga daratan dari abrasi
pantai. Kawasan ini memiliki lahan seluas 250 ha yang merupakan kawasan
hutan lindung mangrove kota Surabaya. Beberapa potensi kawasan mangrove di
pesisir Timur Surabaya dari segi ekologis sebagai berikut: penyerapan karbon,
pengikat sedimen, memperkaya unsur hara pada perairan, mendukung
perikanan dan menjaga keanekaragaman hayati dan fauna yang unik lainnya.
Sedangkan dari segi biologi sebagai tempat memijah (spawning ground), tempat
berlindung dan tumbuh (nursery ground) dan tempat mencari makan (feeding
4
ground) serta dari segi ekonomi bermanfaat sebagai penghasil kayu, penghasil
bahan makanan, tempat wisata, penelitian dan pendidikan (Badan Perencanaan
Pembangunan Kota (BAPPEKO) Surabaya, 2012). Oleh karena itu, melihat
pentingnya peranan ekosistem mangrove baik dalam segi ekologi, biologi dan
ekonomi maka lokasi tersebut sangat baik dijadikan sebagai lokasi penelitian
untuk mengetahui kandungan karbon organik yang tersimpan pada hutan
mangrove.
1.2 Perumusan Masalah
Kawasan Ekowisata Mangrove Wonorejo dipengaruhi oleh aktivitas manusia
yang berada di sekitar kawasan tersebut. Adapun aktivitas tersebut antara lain
kegiatan rumah tangga, kendaraan bermotor, pembakaran sampah,
penggundulan hutan, dan alih fungsi lahan. Apabila hal ini terjadi terus-menerus
maka dapat menyebabkan pemanasan global dan mempengaruhi ekosistem
mangrove di kawasan tersebut. Bagan alir rumusan masalah dapat dilihat pada
Gambar 1.
Gambar 1. Bagan Alir Rumusan Masalah
Aktivitas Manusia
- penggunakan bahan bakar fosil melalui industri
- penggunaan kendaraan bermotor
- pembakaran sampah secara berlebihan
- penggundulan dan kebakaran hutan
- kurangnya pepohonan
Peningkatan CO2
di udara
Kemampuan
Avicennia marina
dalam penyerapan
CO2
Penyerapan CO2 pada
daun dan kandungan
karbon dalam daun,
serasah dan sedimen
A B
C
D
5
Keterangan:
A. Aktivitas manusia di Kawasan Ekowisata Mangrove Wonorejo Surabaya
seperti kegiatan rumah tangga, aktivitas kendaraan bermotor, pembakaran
sampah, penggundulan hutan dan alih fungsi lahan menyebabkan
pembebasan CO2 di udara semakin meningkat.
B. Peningkatan CO2 yang berangsur secara terus menerus dapat menyebabkan
terjadinya pemanasan global sehingga perlu adanya mitigasi yang dapat
mengurangi emisi CO2 di udara. Avicennia marina sebagai mangrove
dominan di kawasan tersebut mempunyai kemampuan dalam menyerap CO2
pada proses fotosintesis dan dikonversi dalam bentuk karbon organik.
C. Kemampuan Avicennia marina menyerap CO2 disimpan dalam bentuk
karbon di daun, serasah dan sedimen
D. Keberadaan mangrove tersebut memiliki peran penting dalam mitigasi
pemanasan global karena mampu mereduksi CO2 dari udara melalui
penyerapan dalam proses fotosintesis.
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Untuk menganalisis perbedaan kandungan karbon dalam daun, serasah dan
sedimen mangrove Avicennia marina di kawasan Ekowisata Mangrove
Wonorejo, Kecamatan Rungkut, Surabaya, Jawa Timur.
2. Untuk menganalisis penyerapan karbon dioksida (CO2) pada daun mangrove
Avicennia marina di kawasan Ekowisata Mangrove Wonorejo, Kecamatan
Rungkut, Surabaya, Jawa Timur.
6
1.4 Kegunaan
Adapun kegunaan dari penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Bagi peneliti, dapat memperluas wawasan dan memantapkan ketrampilan
dalam melakukan penelitian terhadap analisis penyerapan CO2 pada daun
dan kandungan karbon dalam daun, serasah dan sedimen mangrove
Avicennia marina.
2. Bagi akademis, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumber informasi
keilmuan dalam mengetahui kadar serapan CO2 pada daun dan kandungan
karbon dalam daun, serasah dan sedimen mangrove Avicennia marina
sehingga dapat digunakan sebagai dasar untuk penulisan dan penelitian
selanjutnya.
1.5 Tempat dan Waktu
Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di Kawasan Ekowisata Mangrove
Wonorejo, Surabaya pada bulan Maret sampai dengan bulan April tahun 2017.
Analisis data kandungan karbon organik dilakukan di Laboratorium Kimia Tanah
Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hutan Mangrove
2.1.1 Pengertian dan Fungsi Mangrove
Mangrove yaitu kumpulan berbagai jenis tumbuhan yang dipengaruhi oleh
pasang surut air laut. Supaya tidak rancu, Macnae kemudian menggunakan
istilah "mangal" apabila berkaitan dengan komunitas hutan dan "mangrove" untuk
individu tumbuhan. Kata mangrove merupakan kombinasi antara bahasa
Portugis "mangue" dan bahasa Inggris "grove". Beberapa ahli mendefinisikan
istilah "mangrove" secara berbeda-beda, namun pada dasarnya merujuk pada
hal yang sama. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah lain seperti tidal
forest, coastal wood land, vloedbosschen dan hutan payau (Nugraha, 2011).
Hutan mangrove merupakan suatu komunitas vegetasi pantai tropis yang
hidup di dalam kawasan yang lembap dan berlumpur serta dipengaruhi oleh
pasang surut air laut. Mangrove disebut juga sebagai hutan pantai, hutan payau
atau hutan bakau. Pengertian mangrove sebagai hutan pantai adalah vegetasi
yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis yang berperan sebagai pelindung
pantai. Pengertian mangrove sebagai hutan payau atau hutan bakau adalah
pepohonan yang tumbuh di daerah payau pada tanah aluvial atau pertemuan air
laut dan air tawar di sekitar muara sungai (Harahab, 2010 dalam Cesario, 2014).
Menurut Heriyanto dan Subiandono (2012), kawasan hutan mangrove
selain berfungsi secara fisik sebagai penahan abrasi pantai, sebagai fungsi
biologinya mangrove menjadi penyedia bahan makanan bagi kehidupan manusia
terutama ikan, udang, kerang dan kepiting, serta sumber energi bagi kehidupan
biota di pantai seperti plankton, nekton dan algae. Menurut Supriharyono (2000)
dalam Heriyanto dan Subiandono (2012), di Indonesia terdapat 38 jenis
mangrove yang diantaranya yaitu dari genus Rhizopora, Bruguiera, Avicennia,
8
Sonneratia, Xylocarpus, Barringtonia, Luminitzera dan Ceriops. Secara ekologis
pemanfaatan hutan mangrove di daerah pantai yang tidak dikelola dengan baik
akan menurunkan fungsi dari hutan mangrove itu sendiri yang berdampak negatif
terhadap potensi biota dan fungsi ekosistem hutan lainnya.
2.1.2 Deskripsi Avicennia marina
Avicennia marina adalah salah satu jenis mangrove yang masuk ke
dalam kategori mangrove mayor. Status tersebut disebabkan karena Avicennia
marina hampir selalu ditemukan pada setiap ekosistem mangrove. Kerabat lain
Avicennia marina yang biasa dijumpai adalah Avicennia alba, Avicennia
officinalis serta Avicennia rumhiana yang mulai jarang ditemukan. Jenis
Avicennia yang telah tersebar di perairan tropis diketahui terdapat sekitar 8
spesies yaitu A. alba, A. bicolor, A. germinans, A. integra, A. marina, A.
officinalis, A. rumphiana dan A. schaueriana. Akan tetapi khusus di Indonesia
hanya umum dijumpai empat jenis yaitu A. alba, A. marina, A. officinalis, dan A.
rumphiana (Halidah, 2014).
Klasifikasi Avicennia marina menurut Puspayanti et al. (2013) adalah :
Kingdom : Plantae
Divisio : Magnoliophyta
Clasis : Magnoliopsida
Ordo : Scrophulariales
Familia : Verbenaceae
Genus : Avicennia
Species : Avicennia marina (Forsk.) Vierh
Avicennia marina merupakan tumbuhan yang tumbuh pada habitat
berlumpur. Mangrove ini tumbuh tegak atau menyebar dengan karakteristik akar
nafas tegak, kulit kayu halus dan tangkai daun berwarna kuning. Bunganya
9
seperti trisula dengan bunga bergerombol di ujung tandan. Buah berbentuk bulir
seperti mangga, ujung buah tumpul dan panjang 1 cm (Puspayanti et al., 2013).
Daun Avicennia marina memiliki ciri-ciri antara lain warna permukaan atas dan
bawahnya berbeda; permukaan atas daun berwarna hijau dan permukaan
bawahnya berwarna hijau kekuningan dan dengan bertambahnya umur
beberapa bagian bawah berubah menjadi putih. Daun berbentuk oval/bulat telur
dengan ujung meruncing. Permukaan atas daun memiliki tekstur licin halus,
sedangkan permukaan bawah memiliki tekstur yang lebih kasar (Jacoeb et al.,
2011). Pada Gambar 2 terlihat pohon, bunga, buah dan daun dari mangrove
Avicennia marina.
Gambar 2. Morfologi mangrove Avicennia marina: a. Bunga; b. Buah; c. Daun; d. Pohon (Noor et al., 1999)
Menurut Halidah (2014), Avicennia marina tumbuh tersebar di sepanjang
pantai Afrika Timur dan Madagaskar hingga ke India, Indonesia, Cina Selatan,
Taiwan, Thailand, seluruh kawasan Malesia, Kepulauan Solomon, New
Caledonia, Australia dan bagian utara New Zealand. Sebagai bagian dari
komunitas hutan mangrove, pohon api-api biasanya tumbuh dekat laut sehingga
jenis mangrove ini toleran terhadap salinitas yang tinggi. Avicennia marina
memiliki kemampuan menempati dan tumbuh pada habitat yang dipengaruhi
oleh pasang-surut air laut. Dari beberapa hasil penelitian diketahui bahwa
a
b
c
d
10
Avicennia marina dapat tumbuh pada substrat yang berpasir kasar, halus
maupun lumpur yang dalam. Jenis mangrove ini dapat tumbuh pada ketinggian
tempat 0-50 m di atas permukaan laut, memiliki tekstur ringan dan tumbuh pada
tapak yang berlumpur dalam, tepi sungai, daerah kering dengan temperatur
berkisar 29-30ºC.
2.2 Serasah Mangrove
Serasah merupakan bagian tumbuhan yang telah mati seperti guguran
daun, ranting, cabang, bunga, kulit kayu, buah serta bagian lain yang menyebar
di permukaan tanah di bawah hutan sebelum bahan-bahan tersebut mengalami
dekomposisi. Serasah berfungsi sebagai penyimpanan air sementara yang
secara berangsur akan melepaskannya ke tanah bersama dengan bahan organik
berbentuk zarah yang larut, memperbaiki struktur tanah, dan menaikkan
kapasitas penyerapan (Arief, 1994 dalam Handayani, 2006).
Bahan organik yang berasal dari serasah mangrove ini merupakan mata
rantai utama dalam jaring-jaring makanan di dalam suatu ekosistem.
Bengen (2002) dalam Aida et al. (2014) menyebutkan bahwa komponen dasar
rantai makanan di ekosistem mangrove bukanlah tumbuhan mangrove itu sendiri,
tapi serasah yang berasal dari tumbuhan mangrove (daun, batang, buah, ranting,
dan sebagainya). Serasah yang dihasilkan langsung tersebut dikonsumsi oleh
mikroorganisme dan organisme pengurai sebagai sumber energi. Beberapa
penelitian melaporkan potensi perikanan yang diperoleh dari serasah mangrove
mencapai 1405,25 kg/ha/tahun.
Menurut Zamroni (2008), serasah daun memberikan kontribusi yang
terbesar (8,67 ton/ha/tahun atau 87,56%) diikuti oleh organ reproduktif (1,12
ton/ha/tahun atau 11,33%) dan ranting (0,16 ton/ha/tahun atau 1,54%). Tingginya
kontribusi daun terhadap produktifitas serasah yang dihasilkan terkait dengan
11
salah satu bentuk adaptasi tumbuhan mangrove untuk mengurangi kehilangan
air agar dapat bertahan hidup pada kondisi kadar garam tinggi. Serasah
mangrove yang berasal dari daun merupakan serasah yang paling penting
peranannya dibandingkan dengan organ lain. Bunyavejchewin dan Nuyim (2001)
dalam Zamroni (2008) menyatakan bahwa dalam aliran energi hutan mangrove,
daun memegang peranan penting karena merupakan sumber nutrisi bagi
organisme.
2.3 Sedimen mangrove
Karakteristik sedimen merupakan faktor lingkungan yang berpengaruh
secara langsung terhadap struktur ekosistem mangrove. Sedimen mangrove
umumnya bersifat anaerobik. Komposisi spesies dan pertumbuhan mangrove
tergantung pada komposisi fisik dari sedimen. Proporsi dari ukuran partikel pasir,
debu dan liat mempengaruhi permeabilitas, kesuburan dan salinitas tanah.
Keberadaan nutrien juga dipengaruhi oleh komposisi sedimen. Sedimen yang
banyak mengandung lumpur umumnya kaya bahan organik dibandingkan
sedimen berpasir (Patrick dan Delaune, 1997 dalam Lekatompessy dan
Tutuhatunewa, 2010).
Kandungan bahan organik dalam sedimen tanah mangrove berasal dari
produktivitas primer setempat yang sebagian besar disumbangkan oleh
tumbuhan mangrove dan masukan yang terbawa oleh aliran-aliran permukaan
dari daerah aliran sungai ke muara. Oleh karena itu kelebatan vegetasi hutan
mangrove maupun hutan-hutan di sepanjang daerah aliran sungai, serta
kegiatan antropogenik dapat mempengaruhi kandungan bahan organik total di
lingkungan mangrove (Mardi, 2014).
12
2.4 Pemanasan Global
Pemanasan global (Global Warming) pada dasarnya merupakan
fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya
efek rumah kaca (greenhouse effect) yang disebabkan oleh meningkatnya emisi
gas-gas seperti karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dinitrooksida (N2O) dan
CFC (Chlorofluorocarbon) sehingga energi matahari terperangkap dalam
atmosfer bumi. Pemanasan global menimbulkan dampak yang luas dan serius
bagi lingkungan biogeofisik (seperti melelehnya es di kutub, kenaikan muka air
laut, perluasan gurun pasir, peningkatan hujan dan banjir, perubahan iklim,
punahnya flora dan fauna tertentu, migrasi fauna dan hama penyakit, dan
sebagainya). Sedangkan dampak bagi aktivitas sosial ekonomi masyarakat
meliputi : (a) gangguan terhadap fungsi kawasan pesisir dan kota pantai, (b)
gangguan terhadap fungsi prasarana dan sarana seperti jaringan jalan,
pelabuhan dan bandara (c) gangguan terhadap permukiman penduduk, (d)
pengurangan produktivitas lahan pertanian, (e) peningkatan resiko kanker dan
wabah penyakit, dan sebagainya (Muhi, 2011).
Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa
sebagian besar peningkatan temperatur rata-rata global sejak pertengahan abad
ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas
rumah kaca akibat aktivitas manusia. Model iklim yang dijadikan acuan oleh
proyek IPCC menunjukkan suhu permukaan global akan meningkat 1.1 – 6.4 ° C
antara tahun 1990 dan 2100 (Kusminingrum, 2008).
2.5 Siklus Karbon
Menurut Sutaryo (2009), siklus karbon merupakan siklus biogeokimia
yang mencakup pertukaran atau perpindahan karbon diantara biosfer, pedosfer,
geosfer, hidrosfer dan atmosfer bumi. Produsen melalui proses fotosintesis
13
menyerap CO2 dari atmosfer dan mengubahnya menjadi karbon organik
(karbohidrat) dan menyimpannya dalam biomassa tubuh pohon seperti dalam
batang, daun, akar, buah dan lain-lain. Sebagian senyawa organik dalam tubuh
produsen digunakan untuk aktivitas fisiologi seperti respirasi dan sebagian
lainnya ditransfer ke konsumen melalui rantai makanan. Respirasi yang
dilakukan oleh produsen dan konsumen akan membebaskan CO2 ke udara.
Selain melalui respirasi, sebagian dari senyawa organic akan hilang melalui
berbagai proses misalnya dekomposisi. Proses naiknya CO2 ke udara dapat
dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Siklus Karbon pada Mangrove (Bouillon et al., 2008)
Ketika matahari bersinar, tumbuhan melakukan fotosintesis untuk
mengubah CO2 menjadi karbohidrat dan melepaskan oksigen ke atmosfer. Fluks
yang paling utama dari titik keseimbangan CO2 di atmosfer yaitu produksi primer
kotor dan respirasi oleh biosfer daratan serta pertukaran fisik antara atmosfer
dan laut. Hutan dan laut merupakan tempat alamiah di bumi yang berfungsi
untuk menjadi tempat menyerap gas CO2. Gas CO2 di serap oleh tumbuhan dan
disimpan dalam biomassa batang kayunya. Di lautan, gas CO2 digunakan oleh
fitoplankton untuk proses fotosintesis kemudian tenggelam ke dasar lautan
bersama kotoran mankhluk hidup pemakan fitoplankton dan predato-predator
tingkat tinggi lainnya. Selain melakukan fotosintesis, tumbuhan juga melakukan
14
proses respirasi yang melepaskan CO2. Namun proses ini cenderung tidak
signifikan karena CO2 yang dilepas masih dapat diserap kembali pada saat
proses dekomposisi oleh bakteri dan mikroba yang juga melepaskan CO2 ke
atmosfer (Afdal, 2007).
Makin besar kandungan karbon yang tersimpan, makin lambat laju
perubahan yang bisa terjadi dari satu penyimpan ke penyimpan yang lain.
Sebagai contoh, reaksi kimia yang merubah CO2 dari mineral menjadi bentuk
karbonat memakan waktu ratusan ribu hingga jutaan tahun. Restorasi pH air laut
akibat pengasaman yang terjadi karena karbonat yang tersimpan dan
mineralisasi yang terjadi terus menerus melalui proses kalsifikasi, membutuhkan
ribuan tahun. Atmosfer merupakan sistem dimana konsentrasi karbon mengalami
fluktuasi yang lambat selama jutaan tahun. Atmosfer merupakan penyimpan
karbon yang paling kecil, namun mengalami perubahan paling cepat dalam siklus
karbon di bumi (Coralwatch, 2016).
2.6 Bentuk Senyawa Karbon
2.6.1 Bentuk Karbon di Udara
Menurut Suprianto dan Solihat (2012), karbon atau zat arang merupakan
unsur kimia yang mempunyai simbol C dan nomor atom 6 pada tabel periodik.
Karbon merupakan unsur penting yang terdapat pada semua benda mati dan
makhluk hidup. Karbon terdapat di udara dalam bentuk gas CO2. Gas CO2 di
atmsofer yang ditambah oleh tumbuhan dan organisme fotoautotrof lainnya
menjadi bentuk karbon organik penyusun jaringan tanaman melalui reaksi
fotosintesis. Sisa tanaman merupakan sumber karbon langsung untuk tanah,
sedangkan tubuh hewan herbivora dan limbahnya merupakan sumber karbon
yang tidak langsung. Selain sisa tanaman dan hewan, beberapa organisme
tanah seperti sianobakteri dan beberapa bakteri fotoautotrof dan khemoautotrof
15
juga memberikan sumbangan karbon ke dalam tanah karena kemampuan
menambat CO2 (Handayanto dan Hairiah, 2009).
Menurut Kurniawan (2013), karbon di atmosfer dapat ditemukan dalam
bentuk karbon dioksida (CO2) dan metana (CH4) yang keduanya merupakan gas
rumah kaca. Meskipun gas CH4 memiliki efek rumah kaca lebih besar dari CO2,
namun keberadaannya di atmosfer memiliki konsentrasi dan jangka waktu yang
lebih kecil dari CO2 sehingga menjadikan CO2 penyebab utama pemanasan
global. Pelepasan CO2 ke atmosfer terjadi dalam beberapa cara yaitu melalui
respirasi atau pernafasan oleh tumbuhan sehingga CO2 berpindah dari atmosfer
ke biosfer darat dan laut, terlarut langsung dalam air dengan perpindahan
langsung dari atmosfer ke hidrosfer, dan larut dalam uap air di atmosfer dan jatuh
bersama dengan proses presipitasi (jatuhnya air dari atmosfer ke permukaan
bumi karena kondensasi di atmosfer).
2.6.2 Bentuk Karbon di Tumbuhan
Pada tumbuhan yang mempunyai klorofil, unsur karbon diambil dalam
bentuk CO2 yang terdapat di udara. Karbon merupakan unsur penting sebagai
pembangun bahan organik karena sebagian besar bahan kering tanaman terdiri
dari bahan organik. Unsur karbon diserap tumbuhan dalam bentuk gas CO2 yang
selanjutnya digunakan dalam proses fotosintesis. Pada proses fotosintesis
dihasilkan glukosa yang kemudian diubah menjadi amilum. Di dalam glukosa ini
terdapat energi kimia yang berasal dari energi cahaya matahari (Rahman. 2011).
Menurut Purwanto et al. (2012), melalui proses fotosintesis, tumbuhan
akan memindahkan karbon dari atmosfer dan selanjutnya disimpan dalam bentuk
jaringan-jaringan organ tumbuhan seperti batang, kulit, dahan, ranting, akar, dan
daun. Disamping itu menurut Hilmi (2003), kandungan karbon yang tersimpan
pada bagian batang lebih tinggi daripada bagian lainnya karena unsur karbon
16
merupakan bahan organik penyusun dinding sel batang. Kayu secara umum
tersusun oleh selulosa, hemiselulosa, lignin dan bahan ekstraktif yang sebagian
besar disusun dari unsur karbon. Makin besar diameter pohon maka memiliki
potensi selulosa dan zat penyusun kayu yang lebih besar.
2.6.3 Bentuk Karbon di Sedimen
Proses penyimpanan karbon tanah atau perpindahan CO2 dari atmosfer
ke dalam tanah merupakan bagian dari keseimbangan karbon global (FAO,
2004). Menurut Bardgett (2005) dalam Herman (2014), ada dua cara kandungan
karbon disimpan dalam tanah yaitu pertama biomassa dari mikroba tanah dan
residu tanaman yang terurai dengan mudah. Kedua, karbon dipertukarkan antara
tanah dan atmosfer melalui fotosintesis dan dekomposisi. Menurut Baker et al.
(2006) dalam Herman (2014) pada kebanyakan tanaman sebanyak 30-50% dari
karbon yang terfiksasi dalam fotosintesis pada awalnya dipindahkan ke bawah
permukaan tanah yang digunakan beberapa bagian untuk pertumbuhan struktur
dari sistem akar, respirasi tanaman (autotrophic), dan beberapa bagian hilang ke
dalam tanah dalam bentuk organik (rhizodeposistion), baik dipisahkan dalam
bentuk jaringan mati dari jaringan hidup selama ekspansi akar maupun
diekskresikan dalam berbagai senyawa.
Menurut Bohn et al. (1985) dalam Budiyanto (2015) menyatakan bahwa
dalam reaksi fotosintesis, oksigen adalah donor elektron dan karbon adalah
aseptor elektron. Dalam proses fotosintesis ini karbon dalam bentuk CO2
menerima elektron yang kemudian berubah dari kondisi teroksidasi (C4+) menjadi
C dalam bentuk karbohidrat ([CH2O]) seperti reaksi di bawah ini:
17
Bagian oksidasi dari reaksi di atas adalah lepasnya elektron dari bentuk
O2- dalam air berubah menjadi O dari O2. Proses oksidasi karbohidrat (respirasi)
yang terjadi dalam sel tanaman dan hewan serta proses awal perombakan
bahan organik tanah melepaskan electron dari senyawa organik sebagai berikut:
2.6.4 Bentuk Karbon di Air
Menurut IPCC (2001), unsur karbon yang terlarut dalam air laut
ditemukan dalam tiga bentuk utama, yaitu CO2 terlarut (non ionik), ion karbonat
(CO32-) dan bikarbonat (HCO3). Penjumlahan dari ketiganya disebut sebagai
dissolved inorganic carbon/DIC (karbon anorganik terlarut). Menurut Schlitzer
(2000), tenggelamnya DOC (dissolved organic carbon) dan partikel organik
karbon (POC) dari proses biologi mengakibatkan aliran karbon mengarah ke
bawah yang dikenal sebagai produksi ekspor. Material organik ini ditranspor dan
direspirasi oleh organism nonfotosintesis (respirasi heterotropik) dan pada
akhirnya terangkat dan kembali ke atmosfer. Hanya sebagian kecil yang
mengendap pada sedimen laut dalam. Ekspor CaCO3 ke laut dalam jumlah kecil
dibanding total produksi ekspor (0,4 PgC/th), namun sekitar separuh dari karbon
ini mengendap sebagai CaCO3 di dalam sedimen dan separuh yang lain terlarut
dalam air laut dan bergabung dengan karbon anorganik karbon.
Menurut Afdal (2007), peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer yang
melebihi tingkatan pra-industri cenderung meningkatkan penyerapan CO2 alami
oleh lautan. Sedangkan aliran CO2 antara udara dan lautan adalah meliputi
pencampuran spasial dari komponen fluks CO2 antropogenik dan alami. Pada
daerah upwelling, karbon dilepaskan ke atmosfer. Sebaliknya, pada daerah
18
downwelling karbon (CO2) berpindah dari atmosfer ke lautan. Pada saat CO2
memasuki lautan, asam karbonat akan terbentuk:
CO2 + H2O ↔ H2CO3
Reaksi ini memiliki sifat dua arah yang mencapai kesetimbangan kimia. Reaksi
lainnya yang penting dalam mengontrol nilai pH lautan adalah pelepasan ion
hidrogen dan bikarbonat. Reaksi pelepasan hidrogen sebagai berikut:
H2CO3 ↔ H+ + HCO3-
2.7 Fotosintesis
Menurut Setiowati dan Furqonita (2007), fotosintesis atau asimilasi karbon
merupakan proses konversi energi cahaya menjadi energi kimia. Daun
merupakan organ utama dalam tubuh tumbuhan sebagai tempat berlangsungnya
fotosintesis. Pada kloroplas terjadi transformasi energi, yaitu energi cahaya
(foton) sebagai energi kinetik berubah menjadi energi potensial berupa ikatan
senyawa organik pada glukosa. Reaksi fotosintesis dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Reaksi Fotosintesis (Setiowati dan Furqonita, 2007)
Menurut Abdurrachman et al. (2013), fotosintesis menggambarkan sebuah
proses yang unik dari konversi energi sinar matahari. Dalam prosesnya, senyawa
anorganik dan energi cahaya dikonversi menjadi senyawa organik oleh
organisme fotoautotrof. Fotosintesis dapat digambarkan sebagai reaksi reduksi-
oksidasi yang dikendalikan oleh energi cahaya yang diserap oleh klorofil, dimana
CO2 dan air dikonversi menjadi karbohidrat dan oksigen. Konversi tersebut dapat
dibagi menjadi dua tahap, yaitu reaksi terang (light reaction) dan reaksi gelap
(dark reaction).
19
2.7.1 Reaksi Terang
Menurut Susilowarno et al. (2008), reaksi terang merupakan reaksi yang
membutuhkan cahaya matahari sebagai sumber energi untuk mengaktivasi
klorofil. Reaksi terang disebut juga reaksi fotolisis karena dalam tahap akhir
reaksi ini terjadi proses pemecahan molekul air sebagai dampak ditangkapnya
energi cahaya matahari (foton) oleh fotosistem dalam kloroplas. Reaksi terang
terjadi di kloroplas bagian membran tilakoid grana. Reaksi terang ini melibatkan
dua pusat reaksi yaitu Fotosistem I dan Fotosistem II. Pada Fotosistem I terdapat
klorofil a dan karotenoid yang mampu menyerap energi cahaya maksimum
700nm (P700) sedangkan pada Fotosistem II terdapat klorofil a dan klorofil b
sehingga mampu menyerap cahaya dengan panjang gelombang 680nm (P 680)
seperti yang terlihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Reaksi Terang (a. Jalur Siklik b. Jalur Non-Siklik)
(Karmana, 2008)
(a)
(b)
20
Pada jalur siklik memerlukan fotosistem I. Energi cahaya digunakan untuk
membawa elektron dari fotosistem I menuju sistem transpor, kemudian kembali
ke fotosistem I. Jalur siklik terjadi pada beberapa bakteri dan juga terjadi pada
semua organisme fotoautotrof. Pada jalur non-siklik terjadi aliran elektron dari
fotosistem II melalui sistem transpor menuju ke fotosistem I. Kemudian melalui
suatu sistem transpor, elektron akan diberikan ke NADP+. Proses ini terjadi ketika
fotosistem II yang ditandai dengan P680 sebagai pusat reaksi menyerap cukup
energi foton untuk melepaskan elektron. Pada saat masuknya energi ke dalam
fotosistem II memacu terjadinya fotolisis. Fotolisis adalah reaksi pecahnya
molekul air menjadi oksigen, ion-ion hidrogen (H+), dan elektron-elektron.
Elektron yang dilepaskan oleh P680 digantikan oleh elektron yang dilepaskan
oleh air. Jadi, dalam sistem transpor yang kedua, NADP+ akan menerima 2
elektron dan 1 ion hidrogen membentuk NADPH. Bergeraknya ion hidrogen
berperan dalam pembentukan ATP. Sedangkan oksigen dilepaskan ke atmosfer
yang berperan dalam respirasi aerob (Aryulina et al. 2006).
2.7.2 Reaksi Gelap
Menurut Karmana (2007), reaksi gelap merupakan reaksi yang terjadi
tanpa membutuhkan cahaya matahari. Setelah dihasilkan ATP dan NADPH2 dari
reaksi terang, akan terjadi pengikatan CO2. Reaksi ini tidak bergantung pada
keberadaan cahaya matahari sehingga disebut reaksi gelap (Siklus Calvin
Benson).
Pada reaksi gelap (Siklus Calvin Benson) tumbuhan mengambil CO2
melalui stomata. Dalam stroma CO2 diikat oleh suatu molekul kimia yang
bernama ribulosa bifosfat (RuBP) kemudian CO2 akan berikatan dengan RuBP
yang mengandung 6 gugus karbon dan menjadi bahan utama dalam
pembentukan glukosa yang dibantu oleh enzim rubisko. Ribulosa bifosfat (RuBP)
21
yang berikatan dengan CO2 akan menjadi molekul yang tidak stabil sehingga
akan membentuk fosfogliserat (PGA) yang memiliki 3 gugus C. Energi yang
berasal dari ATP dan NADPH akan digunakan oleh PGA menjadi
fosfogliseraldehid (PGAL) yang mengandung 3 gugus C. Dua molekul PGAL ini
akan menjadi bahan utama pembentukan glukosa yang merupakan produk
utama fotosintesis, sedangkan sisanya akan kembali menjadi RuBP dengan
bantuan ATP. Jadi, reaksi gelap terjadi dalam tiga tahap, yaitu fiksasi CO2,
reduksi dan regenerasi (Ferdinand dan Ariebowo, 2007). Reaksi Gelap (Siklus
Calvin Benson) dapat dilhat pada Gambar 6.
Gambar 6. Siklus Calvin-Benson (Karmana, 2007)
2.8 Peran Mangrove sebagai Penyerap Karbon (Blue Carbon Sink)
Menurut Gypens et al. (2009) dalam Afiati et al. (2013), mangrove
merupakan salah satu potensi yang menjadi parameter untuk dikaji dari
ekosistem Blue Carbon. Peran mangrove dalam kaitannya dengan Blue
Carbon lebih ditekankan sebagai upaya mangrove memanfaatkan CO2 untuk
proses fotosintesis dan menyimpannya dalam stok biomassa dan sedimen
sebagai upaya mitigasi perubahan iklim. Keberadaan ekosistem mangrove
22
memberikan manfaat bagi ekosistem perairan pesisir antara lain sebagai daerah
mencari makan (Feeding Ground), pemijahan (Spawning Ground), dan
pembesaran berbagai biota (Nursery Ground).
Menurut Donato et al. (2012), mangrove merupakan salah satu hutan
yang simpanan karbonnya tertinggi di kawasan tropis (nilai rerata contoh: 1.023
Mg C ha-1 ±88 s.e.m.) dan sangat tinggi dibandingkan rerata simpanan karbon di
berbagai tipe hutan lainnya di dunia. Mangrove diketahui memiliki kemampuan
asimilasi dan laju penyerapan C yang tinggi. Tanah mangrove memiliki lapisan
suboxic dengan ketebalan berbeda (semula dikenal dengan sebutan ‘gambut’
atau ‘lendut’), yang mendukung berlangsungnya dekomposisi anaerobik dan
memiliki kandungan C sedang sampai tinggi.
2.9 Pengertian dan Pendugaan Biomassa
Brown (1997) dalam Indriyani (2011) mendefinisikan biomassa sebagai
jumlah total bahan organik hidup di atas tanah yang dinyatakan dalam berat
kering oven per unit area. Hampir 50% biomassa dari vegetasi hutan tersusun
atas unsur karbon dimana unsur tersebut dapat dilepas ke atmosfir dalam bentuk
CO2, apabila hutan mengalami kebakaran akan menyebabkan konsentrasi CO2
meningkat secara global di atmosfer dan menjadi masalah lingkungan hidup.
Biomassa dapat dibedakan dalam dua kategori yaitu biomassa di atas
permukaan tanah (above ground biomass) dan biomassa di bawah permukaan
tanah (below ground biomass).
Menurut Sutaryo (2009) dalam Yusandi (2015), biomassa adalah suatu
bentuk dari kantong karbon, yang diperhitungkan setidaknya ada empat kantong
karbon. Keempat kantong karbon tersebut adalah biomassa atas permukaan,
biomassa bawah permukaan, bahan organik mati, dan karbon organik tanah.
Biomassa atas permukaan adalah semua material hidup di atas permukaan
23
tanah baik dari strata pohon maupun dari strata tumbuhan bawah di lantai hutan,
sedangkan kayu mati dan serasah masuk ke dalam kategori biomassa bahan
organik mati.
Terdapat 4 cara utama untuk menghitung biomassa yaitu (i) sampling
dengan pemanenan (Destructive sampling) secara in situ; (ii) sampling tanpa
pemanenan (Non-destructive sampling) dengan data pendataan hutan secara in
situ; (iii) Pendugaan melalui penginderaan jauh; dan (iv) pembuatan model.
Untuk masing masing metode di atas, persamaan allometrik digunakan untuk
mengekstrapolasi cuplikan data ke area yang lebih luas. Penggunaan
persamaan allometrik standard yang telah dipublikasikan sering dilakukan, tetapi
karena koefisien persamaan allometrik ini bervariasi untuk setiap lokasi dan
spesies, penggunaan persamaan standard ini dapat mengakibatkan galat (error)
yang signifikan dalam mengestimasikan biomassa suatu vegetasi (Heiskanen,
2006 dalam Sutaryo, 2009).
Champman (1976) dalam Limbong (2009), mengelompokkan metode
pendugaan biomassa di atas tanah ke dalam dua golongan, yaitu:
1. Motede Pemanenan
a. Metode pemanenan individu tanaman
Metode ini diterapkan pada kondisi tingkat kerapatan
tumbuhan/pohon cukup rendah dan komunitas tumbuhan dengan jenis
sedikit. Nilai total biomassa diperoleh dengan menjumlahkan biomassa
seluruh individu dalam suatu unit area contoh.
b. Metode Pemanenan kuadrat
Metode ini mengharuskan memanen semua individu pohon dalam
suatu unit area contoh dan menimbangnya. Nilai total biomassa
diperoleh dengan mengkonversi berat bahan organik yang dipanen di
dalam suatu area tertentu.
24
c. Metode pemanenan individu pohon yang mempunyai luas bidang dasar
rata-rata.
Metode ini biasanya diterapkan pada tegakan yang memiliki
ukuran individu seragam. Pohon yang ditebang ditentukan berdasarkan
rata-rata diameternya dan kemudian menimbangnya. Nilai total
biomassa diperoleh dengan menggandakan nilai berat rata-rata dari
pohon contoh yang ditebang dengan jumlah individu pohon dalam suatu
unit area tertentu atau jumlah berat dari semua pohon contoh yang
digandakan dengan rasio antara luas bidang dasar dari semua pohon
dalam suatu unit area dengan jumlah luas bidang dasar dari semua
pohon contoh.
2. Metode Pendugaan tidak langsung
a. Metode hubungan allometrik
Persamaan allometrik dibuat dengan mencari korelasi yang paling
baik antara dimensi pohon dengan biomassanya. Untuk membuat
persamaan allometrik, pohon-pohon yang mewakili sebaran kelas
diameter ditebang dan ditimbang. Nilai total biomassa diperoleh dengan
menjumlahkan semua berat individu pohon dalam suatu unit area
contoh tertentu.
b. Crop meter
Pendugaan biomassa dengan metode ini dilakukan dengan cara
menggunakan seperangkat peralatan elektroda listrik yang kedua
kutubnya diletakkan di atas permukaan tanah pada jarak tertentu.
Biomassa tumbuhan antara dua elektoda dipantau dengan
memperhatikan electrical capacitance yang dihasilkan alat tersebut.
3. MATERI DAN METODE
3.1 Materi Penelitian
Materi yang digunakan dalam penelitian ini mengenai penyimpanan
karbon jenis mangrove Avicennia marina pada biomassa tanaman yaitu daun,
serasah dan sedimen. Pada penelitian ini, memerlukan diameter setinggi dada
(DBH = Diameter at Breast Height) atau diameter di atas banir untuk menentukan
ukuran mangrove Avicennia marina kategori pohon. Perhitungan biomassa
menggunakan pendekatan model matematis dengan menghitung kadar air tiap
komponen. Nilai biomassa tiap komponen dikonversi dengan %C-organik
(karbon organik) yang didapatkan dari Laboratorium untuk menentukan nilai
kandungan karbon organik pada biomassa Avicennia marina.
3.2 Alat dan Bahan
Pada penelitian di lapang dalam analisis penyimpanan karbon pada
Avicennia marina di Kawasan Ekowisata Mangrove Wonorejo Kecamatan
Rungkut Surabaya menggunakan alat dan bahan yang disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Alat dan Bahan yang Digunakan pada Penelitian di Lapang
No. Parameter Alat Bahan
1 Penentuan lokasi
sampling
Garmin GPSmap 60cs -
2 Pengukuran diameter
batang pohon (DBH)
- Pita ukur - Avicennia marina
ukuran pohon
3
Pengambilan sampel
- Daun
- Serasah
- Sedimen
- Gunting
- Timbangan
- Sealed plastic
- Kertas label
- Paranet/litter trap
- Timbangan
- Sealed plastic
- Kertas label
- Pipa paralon panjang
50 cm
- Sealed plastic
- Kertas label
- Kertas koran
4 Pencatatan Data - Alat tulis
- Kamera
- Data sampel
26
Pada penelitian di laboratorium dalam analisis penyimpanan karbon pada
Avicennia marina di Kawasan Ekowisata Mangrove Wonorejo Kecamatan
Rungkut Surabaya menggunakan alat dan bahan yang disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Alat dan bahan pada Penelitian di Laboratorium
No. Parameter Alat Bahan
1 Pengeringan sampel - Oven - Daun
- Serasah
2 Penghalusan sampel - Blender - Daun
- Serasah
- Sedimen
3 Penimbangan sampel - Timbangan Analitik - Daun
- Serasah
- Sedimen
4 Pencampuran larutan - Erlenmeyer 500 ml
- Pipet tetes
- Pengaduk magnetis
- Daun, serasah,
sedimen
- Larutan kalium
dikromat (K2Cr2O7)
- Larutan asam sulfat
(H2SO4) pekat
5 Pengenceran larutan - Erlenmeyer 500 ml
- Pipet tetes
- Pengaduk magnetis
- Aquadest
6 Penambahan larutan - Erlenmeyer 500 ml
- Pipet tetes
- Pengaduk magnetis
- Larutan asam fosfat
pekat (H3PO4)
- Larutan difenilamin
7 Titrasi - Erlenmeyer 500 ml
- Larutan ferosulfat
(FeSO4)
3.3 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei. Menurut
Waluya (2007) survei merupakan suatu metode penelitian yang bertujuan untuk
mengumpulkan sejumlah besar data berupa variabel, unit, atau individu dalam
waktu yang bersamaan. Data yang dikumpulkan melalui individu atau sampel
fisik tertentu dengan tujuan agar dapat membentuk kesimpulan terhadap hal
yang diteliti.
27
3.3.1 Penentuan Lokasi Sampling
Penentuan lokasi sampling dilakukan setelah survei dengan metode
purposive sampling berupa penempatan lokasi penelitian berdasarkan berbagai
pertimbangan yang dilakukan di Kawasan Ekowisata Mangrove Wonorejo
Surabaya. Pemilihan lokasi sampling dilakukan berdasarkan keberadaan jenis
mangrove yang ada di kawasan tersebut dengan pertimbangan distribusi
(sebaran), struktur vegetasi mangrove, ukuran mangrove dan lokasi yang dapat
dijangkau. Setelah survei dilakukan, maka ditentukan 5 titik sampling mangrove
Avicennia marina ukuran pohon secara acak dengan asumsi mewakili vegetasi
tersebut dalam menyimpan kandungan karbon. Penentuan lokasi sampling
disajikan pada Gambar 7.
Gambar 7. Peta Lokasi Sampling
28
Menurut Magdalena et al. (2015), penentuan titik sampling dilakukan
dengan cara observasi untuk mengetahui titik sampling dan dilakukan juga
penentuan koordinat titik sampling dengan menggunakan GPS. Dasar
pertimbangan dalam pemilihan lokasi sampling antara lain topografi, karakteristik,
kisaran pasang surut, lokasi kegiatan rehabilitasi, akses lokasi, serta sebaran
mangrove. Pada penelitian ini, lokasi sampling yang ditetapkan dengan titik
koordinat yang berbeda dengan menggunakan alat Global Positioning System
(GPS) Garmin GPSmap 60cs. Adapun titik koordinat lokasi sampling dapat dilihat
pada Tabel 3.
Tabel 3. Titik Koordinat pengambilan Sampel
Lokasi Pengambilan
Sampel
Titik Koordinat
Lintang Selatan (LS) Bujur Timur (BT)
1 07o30'81.1" 112o82'19.3"
2 07o30'89.8" 112o82'30.4"
3 07o30'88.6" 112o82'51.2"
4 07o30'83.2 112o82'92.5"
5 07o30'73.2" 112o82'38.6"
3.3.2 Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel dilakukan dengan menentukan pohon mangrove
yang dipilih berdasarkan ukuran yang sesuai dengan pengukuran DBH (Diameter
at Breast Height). Pengukuran DBH dilakukan untuk menentukan pohon
mangrove yang akan dilakukan destructive sampling yaitu memanen bagian
tumbuhan yang akan dijadikan sampel. Menurut Sutaryo (2009), destructive
sampling dilaksanakan dengan pengambilan sebagian atau keseluruhan bagian
tumbuhan yang dibutuhkan sebagai sampel kemudian mengeringkannya dan
menimbang berat biomassanya.
29
Tingkat ukuran mangrove yang digunakan pada penelitian ini yaitu pada
tingkat pohon dengan diameter >20 cm. Menurut Kusmana (1997) dalam Alik et
al. (2012), untuk analisis vegetasi hutan mangrove, vegetasi dibedakan ke dalam
beberapa tingkat pertumbuhan yaitu semai (permudaan tingkat kecambah
sampai setinggi < 1,5 m), pancang (permudaan dengan > 1,5 m sampai pohon
muda berdiameter <10 cm), tiang (pohon muda berdiameter 10 sampai 20 cm),
dan pohon dewasa (diameter >20 cm). Menurut Imiliyana (2012), mengukur
diameter batang setinggi dada (DBH) adalah 1.3 m dari permukaan tanah.
Pengukuran DBH dilakukan hanya pada pohon berdiameter > 5 cm dengan
menggunakan pita ukur yang dililitkan pada batang pohon. Pengukuran DBH
dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Pengukuran DBH. (A) Cara pengukuran lilit batang pohon
menggunakan pita pengukur, (B) tampak atas pengukuran DBH
pohon menggunakan jangka sorong (Weyerhaeuser dan
Tennigkeit, 2000 dalam Hairiah dan Rahayu, 2007).
Pengambilan sampel dilakukan pada saat air laut surut pertama sekitar
pukul 3:25 – 10:15 WIB. Hal ini dilakukan untuk mempermudah dalam melakukan
pengambilan sampel yang diinginkan. Sampel yang diambil pada biomassa
Avicennia marina terbagi menjadi 3 bagian yaitu daun, serasah dan sedimen.
Prosedur pengambilan sampel adalah sebagai berikut:
30
A. Pengambilan Sampel Bagian Daun
Sampel organ tanaman jenis Avicennia marina berupa daun
menggunakan metode destructive sampling dimana metode ini dilakukan dengan
mangambil sampel daun pada pohon. Bagian daun diambil dari pohon secara
teratur pada bagian ujung tangkai berupa daun tua. Pengambilan sampel dengan
cara memetik daun dan ditimbang hingga berat basah contohnya mencapai
minimal 250 gram dan dimasukkan ke dalam kantong plastik yang terdapat
kertas label.
Menurut Liguna et al. (2011), untuk pengambilan sampel bagian daun
maka pada setiap pohon sampel diambil keseluruhan daun kemudian masukkan
ke dalam kantong kertas dan diberi label sesuai dengan kode titik contohnya.
Kemudian ditimbang berat basah daun dan di ambil sub contoh biomassa daun
sekitar 100-300 gram. Bila biomassa contoh yang didapatkan hanya sedikit
(<100 g), maka timbang semuanya dan dijadikan sebagai sub-contoh. Kemudian
dikeringkan biomassa daun dalam oven untuk ditimbang berat keringnya.
B. Pengambilan Sampel Pengukuran Produksi Serasah (Litter-fall)
Pengambilan serasah dari guguran daun mangrove Avicennia marina
menggunakan litter-trap (jaring penangkap serasah). Seperti yang dikemukakan
oleh Brown (1984) dalam Rudiansyah et al. (2013), metode umum yang
digunakan untuk menangkap guguran daun serasah di hutan mangrove dalam
waktu tertentu (liner-fall) adalah dengan litter-trap (jaring penangkap serasah).
Litter-trap berupa jaring penampung berukuran 1x1 m, yang terbuat dari nylon
dengan ukuran mata jaring sekitar 1 mm. Litter-trap diletakkan dibawah pohon
mangrove Avicennia marina yang akan diteliti. Serasah yang sudah dikumpulkan
dipisahkan berdasarkan setiap bagiannya antara daun, ranting, dan bunga/buah.
Pada penelitian ini, serasah yang diambil berupa serasah dari guguran daun
31
mangrove. Kemudian serasah tersebut ditimbang beratnya minimal 250 gr
sebagai berat basah lalu dimasukkan ke dalam kantong plastik dan diberi label.
C. Pengambilan Sampel Sedimen
Pengambilan sampel sedimen dilakukan secara acak sebanyak 4 kali
mengelilingi pohon dengan menggunakan pipa paralon yang ditancapkan di
sedimen dasar mangrove dengan pengambilan kedalaman 10 cm. Sampel
sedimen kemudian dicampur lalu ditimbang beratnya dan dimasukkan ke dalam
kantong plastik. Donato dan Kauffman (2012) dalam Lestari (2016) menyatakan
bahwa kedalaman 10-300 cm kaya akan bahan organik sehingga hal tersebut
dijadikan bahan pertimbangan dalam pengambilan sampel. Sampel sedimen
yang sudah diambil selanjutnya dibungkus menggunakan alumunium foil dan
kantong plastik untuk menghindari kontaminasi mikroba dan penguapan air yang
berlebihan. Sampel yang telah dibungkus selanjutnya ditimbang berat basah
lapangannya.
Semua sampel yang telah dimasukkan ke dalam kantong plastik dan
diberi label kemudian dikumpulkan serta disimpan dalam cool box. Setelah itu
semua sampel dianalisis kandungan karbon organik pada tiap-tiap sampel di
laboratorium.
3.3.3 Analisis Sampel
Setelah pengambilan sampel di lapangan selesai, masing-masing sampel
dikeringkan dalam oven. Menurut Dharmawan (2010), masing-masing
contoh/sampel yang telah didapatkan kemudian dikeringkan di dalam oven pada
suhu 105OC selama 48 jam dan ditimbang untuk mendapatkan berat kering
contoh. Berat basah dan berat kering yang telah diketahui dihitung dan dicatat
hasilnya untuk perhitungan kadar air.
32
Selanjutnya, pada analisis karbon organik pada bagian daun, serasah
dan sedimen Avicennia marina dilakukan di Laboratorium dengan menggunakan
penetapan kandungan C-organik dengan metode Walkley and Black. Penetapan
C-organik menggunakan metode Walkley and Black sebagai berikut:
1) Menimbang 1 g contoh tanah halus melalui ayakan 0,5 mm
2) Memasukkan 1 g sampel ke dalam erlenmeyer 500 ml dan juga
mempersiapkan untuk penetapan blanko
3) Menambahkan 10 ml larutan kalium dikromat (K2Cr2O7) 1 N dan 20 ml H2SO4
pekat lalu digoyang-goyang selama 1 menit. Di diamkan selama 20-30 menit
4) Mengencerkan masing-masing larutan dengan air sebanyak 200 ml
5) Menambahkan 10 ml asam posfat pekat (H3PO4) 85% dan 30 tetes
difenilamin.
6) Mentitrasi blanko dan sampel larutan dengan larutan ferosulfat (FeSO4) 1 N
hingga warna kehijauan. Perubahan warna dari warna hijau gelap pada
permulaan, berubah menjadi biru kotor pada waktu titrasi berlangsung, dan
pada titik akhir warna berubah menjadi hijau terang.
7) Melakukan prosedur tersebut pada sampel dan blanko.
8) menetapkan persen karbon dengan rumus sebagai berikut:
3.3.4 Analisis Data
a. Analisis Perhitungan Biomassa
Menurut Haygreen dan Bowyer (1989) dalam Arista (2012), perhitungan
kadar air dilakukan untuk menghitung biomassa mangrove Avicennia marina.
Kadar air dihitung dengan menggunakan rumus:
%C = ml blanko – ml sampel x 3 x fka (faktor kadar air) ml blanko x berat sampel
33
Dimana:
- %KA = persentase kadar air
- BBc = berat basah contoh (g)
- BKc = berat kering contoh (g)
Besarnya biomassa diketahui dengan menggunakan berat kering. Selain
itu juga, menurut Haygreen dan Bowyer (1982) dalam Arista (2012), apabila
berat basah diketahui dan kandungan air telah diperoleh dari contoh uji kecil
maka berat kering dari masing-masing sampel dapat dihitung dengan rumus:
Dimana:
- BK = berat kering/biomassa (g/m2)
- BB = berat basah (g/m2)
- %KA = persen kadar air
b. Analisis Perhitungan Karbon Organik dari Biomassa
Menurut Ariani et al. (2016), perhitungan karbon dari biomassa pada daun
dan serasah mangrove Avicennia marina menggunakan rumus sebagai berikut:
Dimana:
- Cb = kandungan karbon dari biomassa (g/m2)
- B = biomsassa (g/m2)
Cb = B x %Corganik
BK =
BB
1+( ) 100
%KA
%KA = x 100
BKc
BBc - BKc
34
- %Corganik = nilai persentase kandungan karbon yang diperoleh dari hasil
pengukuran di laboratorium
c. Analisis Perhitungan Potensi Penyerapan CO2
Untuk menghitung serapan CO2 menggunakan rumus sebagai berikut
(Brown, 1997 dan International Panel On Climate Change/IPCC, 2003 dalam
Heriyanto dan Subiandono, 2012):
Keterangan :
- CO2 = Serapan karbon dioksida (g/m2)
- Mr = Molekul relatif karbon (C) yaitu 44
- Ar = Atom relatif yaitu 12
- Cb = kandungan karbon
CO2 =Mr.CO2x Cb (atau 3,67 X Cb)
Ar.C
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Kawasan Ekowisata Mangrove Wonorejo terletak di Kelurahan Wonorejo,
Kecamatan Rungkut, Kota Surabaya. Kawasan ini merupakan salah satu
kawasan lahan basah yang berada di pantai timur Surabaya (pamurbaya) pada
posisi lintang 07031’23.9” LS dan 112083’79.1” BT dengan luas wilayah 6,48 km2.
Kawasan ini terletak pada ketinggian 4,6 mdpl (Sukandar et al., 2016). Batas
wilayah Wonorejo adalah sebelah Timur berbatasan dengan Selat Madura,
sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Medokan Ayu, sebelah Barat
berbatasan dengan Desa Panjaringah Sari dan sebelah Utara berbatasan
dengan Desa Keputih.
Kawasan Mangrove Wonorejo telah ditetapkan sebagai Kawasan lindung
Mangrove berdasarkan Peraturan Daerah Tata Ruang No. 3 Tahun 2007 dengan
luas 73,28 ha yang mana terbagi menjadi pantai seluas 21,68 ha, tambak seluas
16,64 ha, dan kakisu (kanan kiri sungai) seluas 34,97 ha. Pada Kawasan
Mangrove Wonorejo ini juga didirikan lokasi ekowisata seluas 14,4 ha meliputi
sebagian wilayah tambak, dan pantai serta kawasan mangrove sekunder yang
dipengaruhi oleh pasang surut (Nurdela, 2015). Sejak 15 Mei 2009 kawasan
Wonorejo menjadi kawasan Ekowisata, hal ini diprakarsai oleh Camat Rungkut,