ANALISIS PENOLAKAN REPUBLIK RAKYAT TIONGKOK TERHADAP HASIL KEPUTUSAN PERMANENT COURT OF ARBITRATION ATAS GUGATAN FILIPINA DI LAUT CHINA SELATAN TAHUN 2016 Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh : Adam Risman Adhimarif 1113113000075 PORGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H/2019
90
Embed
ANALISIS PENOLAKAN REPUBLIK RAKYAT TIONGKOK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49162... · 2020. 1. 13. · ANALISIS PENOLAKAN REPUBLIK RAKYAT TIONGKOK TERHADAP
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
ANALISIS PENOLAKAN REPUBLIK RAKYAT TIONGKOK
TERHADAP HASIL KEPUTUSAN PERMANENT COURT OF
ARBITRATION ATAS GUGATAN FILIPINA DI LAUT CHINA SELATAN
TAHUN 2016
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh :
Adam Risman Adhimarif
1113113000075
PORGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019
iv
ABSTRAK
Skripsi ini secara khusus bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi kebijakan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dalam penolakannya
terhadap Hasil keputusan Permanent Court of Arbitrations (PCA) atas gugatan
Filipina atas kepemilikan wilayah Laut China Selatan pada tahun 2016. Penelitian
ini memiliki tektnik pengumpulan data berupa studi pustaka dengan metode
penelitian kualitatif sebagai acuan pengolahan data. Kerangka teoritis yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu teori neoliberal dan konsep kepentingan
nasional. Dari hasil analisis menggunakan teori dan konsep tersebut ditemukan
bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penolakan Tiongkok yaitu pertama
bahwa Tiongkok merupakan sebuah negara yang derajatnya lebih tinggi dari PCA
yang merupakan sebuah institusi internasional. Kedua, sistem internasional yang
anarki membuat tidak ada badan yang lebih tinggi dari negara sehingga tidak ada
entitas apapun yang dapat mengatur sebuah negara. Selanjutnya dengan
memperhitungkan rasionalisme, dalam penolakannya Tiongkok dapat mengurangi
cost yang mungkin timbul dan mendapatkan benefit atas penolakannya tersebut.
Terakhir Tiongkok dapat mempertahan kan kepentingan nasionalnya di kawasan
ini. Kepentingan nasional tersebut terdapat dari beberapa bidang. Yaitu bidang
wilayah kedaulatan, bidang ekonomi dan bidang militer.
Kata kunci: Sengketa, Laut China Selatan, Tiongkok, Filipina, PCA, kepentingan
nasional
v
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrrahim, segala puji dan syukur selalu penulis ucapkan
kepada Allah SWT atas segala rakhmat dan nikmatnya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Sholawat serta salam tak lupa dihaturkan kepada Nabi
Muhammad saw.
Dalam pengerjaan skripsi ini, penulis telah melibatkan beberapa pihak
yang sangat membantu dalam banyak hal. Oleh sebab itu, disini penulis
sampaikan rasa terima kasih sedalam-dalamnya kepada :
1. Keluarga penulis, ayahanda Alm. Adjrisman dan ibunda Alm. Dewi,
Kakak penulis Dea Adreanni dan Suami Adnan Afif, Abang penulis Adi
Nurghany, Adik Penulis Fadhil Azharrisman dan Keponakan tercinta
Ibrahim yang selalu memberikan semangat, doa, dukungan, cinta dan
nasehat kepada penulis hingga skripsi ini dapat terselesaikan;
2. Bapak Ahmad Alfajri, MA., selaku Ketua Program Studi Hubungan
Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah menyetujui permohonan penyusunan
skripsi;
3. Bapak Dr. Badrus Sholeh, M.A. selaku Dosen Pembimbing yang telah
membimbing dalam penyusunan skripsi ini hingga selesai;
4. Dosen-dosen Hubungan Internasional UIN Jakarta. Terima kasih atas segala
ilmu yang telah diberikan selama masa perkuliahan;
5. Rekan-rekan di PT. Iron Bird Logistics terutama divisi Finance and
Accounting yang telah memberikan semangat dan dukungannya selama
vi
saya mengerjakan skripisi ini;
6. Kawan-kawan HI UIN Jakarta angkatan 2013;
7. Rekan-rekan ANTABUR yang selalu menyemangati untuk dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan berbagai cara;
8. Sanak Saudara dan Teman-teman yang tidak bisa Penulis sebutkan satu-
persatu;
Penulis berharap segala dukungan dan bantuan ini mendapatkan balasan
dari Allah SWT. Terakhir, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstruktif sangat penulis
harapkan untuk perbaikan di masa mendatang. Semoga skripsi ini dapat
bermanfaat dan menambah wawasan bagi setiap pembacanya dan bagi
perkembangan studi Hubungan Internasional
Jakarta, April 2019
Adam Risman Adhimarif
vii
DAFTAR ISI
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ............................................................. i
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ........................................................... ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ........................................................ iii
SKRIPSI ................................................................................................................. iii
ABSTRAK ............................................................................................................. iv
KATA PENGANTAR ............................................................................................ v
DAFTAR ISI ........................................................................................................ vii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. ix
DAFTAR SINGKATAN ........................................................................................ x
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang Penelitian ............................................................................ 1
B. Pertanyaan Penelitian ................................................................................... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................................... 7
D. KerangkaTeoritis .......................................................................................... 8
a. Neo-Realisme ........................................................................................... 9
b. Konsep Kepentingan Nasional ............................................................... 10
E. Metode Penelitian....................................................................................... 13
F. Tinjauan Pustaka ........................................................................................ 14
G. Sistematika Penulisan ................................................................................ 18
BAB II DINAMIKA KEPEMILIKAN LAUT CHINA SELATAN DAN KLAIM
Council on Foreign Policy, “China’s Maritime Disputes”, Council on Foreign Policy, diakses 20 Okotber 2018 dari http://www.cfr.org/asia-and-pacific/chinas-maritime-
United Nation Convention Of The Law Of The Sea (UNCLOS) adalah
sebuah konvensi dibawah naungan PBB yang membahas mengenai hukum laut.
UNCLOS pertama kali dilaksanakan pada 1958 sebagai jawaban atas tutuntutan
negara-negara pantai yang ingin memperluas wilayahnya ke perairan. UNCLOS I
dirangkum dalam 4 konvensi yaitu, Konvensi tentang High Seas, Konvensi
tentang Laut Teritorial dan Zona Tambahan, Konvensi tentang Landas Kontinen
dan Konvensi tentang Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Laut
Tinggi. UNCLOS I dianggap gagal karena belum bisa menyelesaikan beberapa
permasalahan teritorial laut. UNCLOS II di bentuk dangan tujuan
menyempurnakan UNCLOS I yang telah dianggap gagal. UNCLOS II di bentuk
pada tahun 1960, namun karena kearoganan negara-negara maritim yang bersar
dan maju dalam bidang teknologi UNCLOS II kembali dianggap gagal karena
tidak bisa menghasilkan perjanjian internasional.
UNCLOS III hadir sebagai upaya untuk menyempurnakan UNCLOS I dan
UNCLOS II. UNCLOS III berlangsung pada tahun 1973 hingga tahun 1982,
hingga saat ini menjadi dasar hukum bagi negara-negara pantai yang menetapkan
kedaulatannya di wilayah perairan dan dikenal sebagai UNCLOS 1982. Hingga
April 2018 UNCLOS 1982 telah diratifikasi oleh 168 negara.65
Baik Tiongkok
maupun Filipina telah meratifikasi konvensi ini. Tingkok telah meratifikasi
65
United Nations Convention on the Law of the Sea, “Chronological List of Ratifications”, Diakses pada 16 Desember 2018 dari http://www.un.org/depts/los/reference_files/chronological_lists_of_ratifications.htm
konvensi ini pada 7 Juni 1996 sedangkan Filipina sudah terlebih dahulu pada 8
Mei 1984.66
UNCLOS 1982 membagi wilayah laut menjadi tiga bagian, yaitu, laut yang
termasuk kedalam wilayah kedaulatan negara yang bersangkutan (laut teritorial,
laut pedalaman), laut yang tidak termasuk kedalam wilayah kedaulatan, namun
negara bersangkutan mendapatkan yurisdiksi terhadap aktifitas-aktifitas tertentu
(ZEE) dan laut yang berada diluar kedua wilayah tersebut dengan kata lain tidak
termasuk kedalam kedaulatan negara yang bersangkutan (laut bebas). Untuk
menentukan batasan-batasan tersebut, maka diperlukan garis pangkal sebagai
acuan penentuan wilayah laut. Garis pangkal ditarik pada pantai ketika pasang
surut. Terdapat tiga jenis garis pangkal, yaitu garis pangkal normal, dimana sesuai
dalam pasal 5 UNCLOS, garis pangkal normal merupakan garis pangkal yang
ditarik pada pantai pada saat air laut surut dengan mengikuti lekukan-lekukan
pantai. 67
Kedua, garis pangkal lurus, sesuai pasal 7 UNCLOS, garis yang ditarik
tidak mengikuti lekukan pantai tetapi menghubungkan titik-titik atau yang terluar
dari pantai.68
Garis pangkal ini dapat digunakan apabila lekukan pantai benar-
benar menikung atau menjorok dan memotong kedalam atau jika terdapat pulau
tepi disepanjang pantai yang tersebar disekitar garis pantai. Terakhir, garis pantai
kepulauan, dalam pasal 47 UNCLOS garis pangkal kepulauan merupakan garis
66
United Nations Convention on the Law of the Sea, “United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 Overview and full text”, Diakses pada 23 Desember 2018 dari http://www.un.org/depts/los/convention_agreements/convention_overview_convention.htm 67
United Nations Convention on the Law of the Sea, “United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 Overview and full text”. 68
United Nations Convention on the Law of the Sea, “United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 Overview and full text”
yang ditarik dengan menghubungkan titik terluar pulau-pulau atau karang terluar
dari kepulauan suatu negara.69
Garis pangkal kepulauan hanya bisa dipakai oleh
negara kepualaun seperti Indoensia dan Filipina. Negara pantai seperti Malaysia
tidak boleh menggunakan garis pangkal kepulauan untuk mengukur wilayahnya,
namun dapat menggunakan garis pangkal normal atau garis pangkal lurus sesuai
dengan karakteristik wilayahnya.
Dalam UNCLOS 1982, yang termasuk kedalam wilayah kedaulatan yaitu,
Wilayah Perairan Dalam, dijelaskan dalam pasal 8 UNCLOS, wilayah ini
mencangkup perairan nasional atau interior merupakan perairan yang terletak
pada sisi darat dari garis pangkal yang digunakan untuk mengkur laut teritorial.70
Contohnya adalah teluk. Pada wilayah ini berlaku kedaulatan penuh dari negara
yang bersangkutan. Wilayah Perairan Kepulauan, dalam pasal 49 UNCLOS,
wilayah perairan kepuluan merupakan peraian yang berada pada sisi dalam garis
pangkal untuk mengukur laut teritorial tanpa memerhatikan kedalaman dan
jaraknya pada pantai, asalkan karakteristik wilayah negara tersebut adalah negara
kepualaun.71
Pada wilayah laut ini, negara bersangkutan memiliki kedaulatan
namun tidak berlaku kerdaulatan penuh. Karena negara bersangkutan
berkewajiban untuk menyediakan alur laut yang ditetapkan oleh negara
kepulauan. Dijelaskan pula dalam Pasal 34-44 UNCLOS, merupakan selat yang
69
United Nations Convention on the Law of the Sea, “United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 Overview and full text” Diakses pada 23 Desember 2018 dari http://www.un.org/depts/los/convention_agreements/convention_overview_convention.htm 70
United Nations Convention on the Law of the Sea, “United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 Overview and full text”. 71
United Nations Convention on the Law of the Sea, “United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 Overview and full text”.
digunaka untuk pelayaran internasional. Penggunaan selat untuk pelayaran
internasional ini tidak memengaruhi status hukum dari perairan suatu negara.72
Terakhir, Wilayah Laut Teritorial, sesuai dalam pasal 3 UNCLOS, Rezim wilayah
laut teritorial yaitu wilayah laut yang diukur sejauh 12 mil laut yang diukur dari
garis pangkal. Pada wilayah laut ini negara mempunyai kedaulatan penuh dan
yurisdiksi untuk menetapkan dan melaksanakan hukum dinegaranya.73
Wilayah laut tambahan termasuk kedalam wilayah diluar kedaulatan sebuah
negara pantai, namun negara tersebut memiliki yurisdiksi terhadap aktifitas-
aktifitas tertentu di wilayah ini. Wilayah ini memiliki luas 24 mil dari garis
pangkal, dalam wilayah ini, sesuai dengan pasal 33 UNCLOS, negara
bersangkutan memiliki kedaulatan terbatas hanya untuk penegakan hukum,
keimigrasian, fiskal dan saniter.74
Wilayah laut tambahan berikutnya disebut
dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Pada pasal 57 UNCLOS, ZEE diukur
dari garis pangkal seluas 200 mil.75
Sama dengan zona wilayah tambahan, yaitu
hanya berlaku hak berdaulat bagi negara yang berpantai diantara lain untuk
melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan SDA, hak
penerbangan udara, pendirian dan pengggunaan pulau buatan, riset imiah, dan
penanaman kabel serta jalur pipa.
72
United Nations Convention on the Law of the Sea, “United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 Overview and full text”, Diakses pada 23 Desember 2018 dari http://www.un.org/depts/los/convention_agreements/convention_overview_convention.htm 73
United Nations Convention on the Law of the Sea, “United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 Overview and full text”. 74
United Nations Convention on the Law of the Sea, “United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 Overview and full text”. 75
United Nations Convention on the Law of the Sea, “United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 Overview and full text”.
Wilayah laut yang melewati 200 mil dari garis pangkal, sesuai yang
dijelaskan pada pasal 86-120 UNCLOS, disebut dengan Zona Bebas.76
Wilayah
ini merupakan laut internasional dimana semua negara berhak melakukan
eskplorasi dan eksploitasi diwilayah ini dengan batas-batas yang telah ditentukan
dalam UNCLOS. Tidak hanya wilayah perairan, UNCLOS 1982 juga membahas
mengenai wilayah dasar laut. Wilayah dasar laut, disebut juga sebagai Landas
Kontinen, wilayah ini dibahas pada pasal 76 UNCLOS, landas kontinen yaitu
daerah dasar laut dan tanah dibawahnya yang berada diluar laut teritorial yang
merupakan kelanjutan alamiah dari daratan sampai batas terluar tepian kontinen
atau sampai jarak 200 mil laut diukur dari garis pangkal. Jika batas terluar tepian
kontinen lebih dari 200 mil maka luas landas kontinen dapat ditarik hingga 350
mil laut dari garis pangkal. Namun, landas kontinen tidak boleh terletak lebih dari
100 mil laut dari kedalaman 2,500 meter.77
Di wilayah Laut China Selatan sendiri sejumlah negara sudah meratifikasi
perjanjian hukum laut ini. Namun dengan hadirnya UNCLOS tidak semerta-merta
dapat menyelesaikan sengketa di Laut China Selatan. Oleh karena itu, mengacu
pada bagian XV pada konvensi ini menjelaskan bahwa setiap perselisihan
haruslah diselesaikan dengan cara-cara damai. Namun, jika cara diplomasi dinilai
masih belum bisa menyelesaikan konflik ini, maka para pihak yang terlibat dapat
menggunakan Jasa mahkamah arbitrase internasional dengan syarat-syarat dan
76
United Nations Convention on the Law of the Sea, “United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 Overview and full text”, Diakses pada 23 Desember 2018 dari http://www.un.org/depts/los/convention_agreements/convention_overview_convention.htm 77
United Nations Convention on the Law of the Sea, “United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 Overview and full text”.
China Selatan, dasar hukum yang menjadi Yurisdiksi bagi PCA untuk menangani
permohonan Filipina yaitu merujuk pada United Nations Convention on Law of
the Sea (UNCLOS). Sesuai Convensi ini, diatur dalam Bagian XV, membahas
mengenai berbagai prosedur penyelesaian sengketa, termasuk didalamnya melalui
arbitrase yang diatur sesuai dengan prosedur yang tercantum dalam Lampiran VII
Konvensi. Dalam kasus ini Filipina menunjuk PCA sebagai Arbitrase untuk dapat
menyelesaikan sengketanya dengan Tiongkok.
Berikut merupakan tiga hal yang menjadi dasar gugatan dari Filipina,85
(1)
Menyatakan bahwa hak dan kewajiban masing-masing Pihak terkait dengan
perairan, dasar laut dan fitur maritim dari Laut China Selatan diatur oleh
UNCLOS, dan bahwa klaim China berdasarkan "sembilan garis putus-putus"
tidak konsisten dengan Konvensi dan oleh karena itu tidak valid. (2) menentukan
apakah, berdasarkan Pasal 121 dari UNCLOS, beberapa fitur maritim yang
diklaim oleh Cina dan Filipina adalah pulau-pulau, ketinggian air pasang rendah
atau kekayaan alam dasar laut, dan apakah mereka mampu menghasilkan hak
untuk zona maritim yang lebih besar dari 12 M. (3) memungkinkan Filipina untuk
menggunakan dan menikmati hak-hak di dalam dan di luar zona ekonomi
eksklusif dan landas kontinen yang ditetapkan dalam Konvensi.
84
Muhammad Rafi Darajati, Huala Adolf dan Idris, “Implikasi Hukum atas Putusan Permanent Court of Arbitration Terkait Sengketa Laut China Selatan Terhadap Negara di Sekitar Kawasan Tersebut”, Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 2, Nomor 1 (2017): h. 7-8. 85
Muhammad Rafi Darajati, Huala Adolf dan Idris, “Implikasi Hukum atas Putusan Permanent Court of Arbitration Terkait Sengketa Laut China Selatan Terhadap Negara di Sekitar Kawasan Tersebut”, Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 2, Nomor 1 (2017): h. 9.
54
Penyelidikan PCA beranggotakan seorang Arbitrator, komisi bersama
anggota-anggota yang ditunjuk oleh para pihak bersengketa dan komisi campuran
yang terdiri atas orang-orang yang ditunjuk oleh para pihak yang bersengketa
ditambah anggota yang dipilih dengan cara lain. Penyelidikan ini berlangsung
selama lebih dari tiga tahun. Pada 12 Juli 2016 PCA mengumumkan hasil
keputusannya diantaranya yaitu:86
a. Tiongkok tidak memiliki hak histois di perarian LCS dan berdasarkan
Konvensi Hukum Laut 1982 konsep nine dash line dinyatakan tidak
memiliki landasan hukum
b. Tidak ada apa pun di Kepulauan Spratly yang memberikan China hak
Zona Ekonomi Ekslusif
c. Tiongkok telah mencampuri hak tradisional warga Filipina untuk
menangkap ikan, terutama di Scarborough Shoal
d. Eksplorasi minyak Tiongkok di dekat Reed Bank melanggar kedaulatan
Filipina
e. Tiongkok merusak ekosistem di Kepulauan Spratly dengan aktivitas
seperti penangkapan ikan berlebihan dan menciptakan pulau buatan
f. Tindakan Tiongkok telah memperburuk konflik dengan Filipina
Pada Hasil keputusan pengadilan ini juga dijelaskan bahwa, PCA
menyatakan bahwa arbitrase ini dibentuk atas dasar yang kuat sesuai lampiran VII
86
Muhammad Rafi Darajati, Huala Adolf dan Idris, “Implikasi Hukum atas Putusan Permanent Court of Arbitration Terkait Sengketa Laut China Selatan Terhadap Negara di Sekitar Kawasan Tersebut”, Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 2, Nomor 1 (2017): h. 9.
55
UNCLOS. Hasil keputusan ini bersifat mengikat dan Ketidakhadiran Tiongkok
dalam proses pengadilan ini tidak berpengaruh atas yurisdiksi arbitrase.87
Menanggapi hasil keputusan PCA tersebut, pemerintah Tiongkok
menyatakan dengan tegas bahwa Tiongkok menolak hasil keputusan tersebut.
Menurut Tiongkok, pihaknya tidak pernah menyetujui keputusan Filipina yang
mengambil jalur arbitrase sejak awal, sehingga dengan begitu keputusan PCA ini
dapat dikatakan batal demi hukum, tidak sah dan tidak mengikat.88
Menurut
Tiongkok, PCA tidak memiliki wewenang untuk menentukan hal tersebut.
Penolakan dari Tiongkok ini tentu menjadi perhatian masyarakat internasional,
terutama negara-negara yang terlibat dalam sengketa Laut China Selatan ini
termasuk Filipina. Tiongkok yang sudah meratifikasi UNCLOS maupun PCA,
tidak seharusnya menyatakan penolakan atas keputusan yang dikeluarkan PCA.
Penolakan Tiongkok ini tentu tidak sesuai dengan kebijakannya yang telah
meratifikasi baik UNCLOS maupun PCA. Namun, Tiongkok tentu memiliki
pertimbangan yang matang sebelum akhirnya mendeklarasikan penolakan tersebut
dan tentu ada faktor-faktor yang mendukung penolakan tersebut.
87
Permanent Court of Arbitration, “PCA Case Nº 2013-19 In the Matter of an Arbitration before an Arbitral Tribunal Constituted Under ANNEX VII to the 1982 United Nations Convention on the Law of the Sea between The Republic Of The Philippines and The People’s Republic Of China”, diakses pada 25 Desember 2018 dari http://www.pcacases.com/web/sendAttach/1506 88
Christine Novita Nababan,”China Tolak Hasil Arbitrase Laut China Selatan”, diakses pada 25 Desember 2018 dari https://www.cnnindonesia.com/internasional/20160712183026-113-144380/china-tolak-hasil-arbitrase-laut-china-selatan
Pada bab-bab sebelumnya sudah dibahas mengenai dinamika kepemilikan
wilayah Laut China Selatan sejak periode sebelum kemunculan kedaulatan
nasional, awal mula timbulnya konflik, klaim Tiongkok hingga gugatan Filipina
ke Permanent Court of Arbitration (PCA). Setelah PCA menganalisis sengketa
yang terjadi di wilayah ini dan klaim-klaim pihak yang terkait, pada akhirnya
PCA mengeluarkan keputusan memenangkan Filipina pada sidang arbitrase
tersebut. Secara garis besar, PCA menyatakan bahwa klaim Tiongkok di Laut
China Selatan yang ditandai dengan sembilan garis putus-putus tidak memiliki
dasar hukum yang kuat. Menanggapi hal tersebut Tiongkok segera mengeluarkan
pernyataan yang tegas mengenai penolakan terhadap keputusan PCA tersebut.89
Dalam menganalisa sikap Tiongkok ini, penulis mencoba mejabarkan analisa
yang disusun dengan menggunakan pendekatan-pendekatan teoritis yang
digunakan dalam penelitian ini.
A. Menurut pandangan Neo-Realisme
Dalam usaha memahami alasan Tiongkok yang berani menolak keputusan
PCA, terdapat beberapa asumsi dari pendekatan neo-realisme yang ideal untuk
89
Tom Phillips, Oliver Holmes dan Owen Bowcott,” Beijing rejects tribunal's ruling in South China Sea case”, diakses pada 15 Januari 2019 dari https://www.theguardian.com/world/2016/jul/12/philippines-wins-south-china-sea-case-against-china
menjawab atau menjelaskan pertanyaan dari penelitian ini. Kenneth Waltz dan
Neo-realisme yang merupakan turunan dari realisme klasik memiliki asumsi
utama bahwa negara merupakan aktor utama dalam hubungan internasional.
Tetapi, menurut Waltz berpendapat bahwa aktor-aktor non-negara juga termasuk
kedalam Hubungan Internasional, namun kedudukannya tetap dibawah negara.90
Waltz berpendapat bahwa sistem internasional bersifat anarki, dimana tidak
ada entitas yang memiliki kekuasaan lebih besar dari negara. Hal ini
mempengaruhi asumsi sebelumnya. Dengan sistem internasional yang anarki,
negara yang merupakan aktor utama dan tidak ada yang lebih tinggi dari negara,
maka tidak ada entitas yang mampu mengendalikan negara.91
Selain itu dalam
hukum internasional, meskipun ada sanksi, namun tidak ada otoritas yang
berperan sebagai polisi. Sehingga, hukum internasional pun tidak dapat
memaksakan aturan-aturannya kepada suatu negara.92
Sanksi yang diberlakukan
dalam hukum internasional hanya berupa sanksi sosial seperti embargo,
pemutusan hubungan kerjsama atau diplomatik, dan sebagainya.
Dalam kasus sengketa wilayah di Laut China Selatan, Tiongkok sebagai
sebuah negara merupakan aktor utama dalam hubungan internasional. Selama ini
meskipun Tiongkok mengakui dan ikut tergabung dalam beberapa organisai
Internasional, Tiongkok sebisa mungkin menghindari kehadiran organisasi atau
entitas lain selain negara dalam menyelesaikan masalahnya. Tiongkok cenderung
90
Scott Burchill dan Andrew Linklater, Theories of Internatinal Relations (New York: ST
Martin‟s Press, INC, 1996), h. 116-118. 91
Scott Burchill dan Andrew Linklater, Theories of Internatinal Relations. 92
Sefriani, Hukum Internasional : Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali Press, 2010), h. 15-16.
58
menggunakan cara diplomasi bilateral dibandingkan melalui forum-forum
internasional dan sebagainya. Sedangkan PCA merupakan sebuah aktor non
negara yang kedudukannnya berada dibawah negara.
Pada kasus sengketa ini Tiongkok menolak dengan tegas hasil keputusan
PCA dan menyatakan bahwa PCA bukan sebuah instansi yang sah dalam
menyelesaikan kasus sengketa ini. Tiongkok menyatakan bahwa tidak pernah
terlibat atau pun melibatkan dirinya dalam pemilihan penyelesaian kasus.
Tiongkok juga tidak pernah menghadiri persidangan PCA mengenai kasus
sengketa ini. Pemerintah Tiongkok menyatakan bahwa hasil keputusan ini tidak
akan berpengaruh terhadap wilayah kedaulatan Tiongkok. 93
Secara hukum internasional tindakan Tiongkok ini dapat dipertanyakan.
Mengingat dalam kasus ini, status hukum PCA sudah jelas, Pada UNCLOS
dinyatakan bahwa jika diplomasi bilateral sudah tidak dapat menyelesaikan
sengketa, setiap negara yang terlibat berhak untuk menunjuk salah satunya yaitu
pengadilan arbitrase internasional dengan syarat-syarat dan cara-cara yang sudah
di tentukan dalam UNCLOS. PCA sudah memenuhi syarat-syarat dan dilakukan
dengan cara-cara sesuai dengan pasal UNCLOS tersebut.94
Pada kapabilitasnnya,
PCA dapat melakukan proses penyelidikan terhadap suatu kasus dengan atau
93
Tom Phillips, Oliver Holmes dan Owen Bowcott,” Beijing rejects tribunal's ruling in South China Sea case”, diakses pada 15 Januari 2019 dari https://www.theguardian.com/world/2016/jul/12/philippines-wins-south-china-sea-case-against-china 94
United Nations Convention on the Law of the Sea, “United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 Overview and full text”, Diakses pada 23 Januari 2019 dari http://www.un.org/depts/los/convention_agreements/convention_overview_convention.htm
tanpa kehadiran pihak tergugat atau dalam kasus ini Tiongkok.95
Namun
meskipun Tiongkok sudah jelas-jelas melanggar sebuah bentuk hukum
internasional, dengan sistem internasional yang anarki, PCA tidak dapat
memaksakan hasil keputusannya dan tidak dapat memberikan sanksi kepada
Tiongkok. Hal ini mempengaruhi keputusan Tiongkok dalam menolak keputusan
PCA tersebut.
Namun, penolakan Tiongkok ini tentu melalui pertimbangan yang jelas,
sesuai asumsi neo-realisme berikutnya bahwa negara merupakan aktor yang
rasional.96
Menurut neo-realisme sebuah negara akan bertindak rasional dengan
menggunakan konsep rational choice dalam setiap kebijakannya. Dengan rational
choice sebuah negara akan memperhitungkan cost dan benefit atas keputusannya.
Cost merupakan biaya atau harga yang dibayarkan atau dikorbankan untuk
mencapai tujuan yang diinginkan. Sedangkan benefit merupakan keuntungan yang
akan didapatkan atas tindakan tersebut. Setiap negara tentu akan mengeluarkan
kebijakan yang memiliki benefit yang lebih besar dibandingkan dengan cost yang
harus dikeluarkan. Dengan kata lain, cost dan benefit ini juga menjadi
pertimbangan dalam menentukan kebijakan sebuah negara.
Begitu pula dalam kasus sengketa di LCS ini, Tiongkok tentu sudah
mempertimbangkan cost dan benefit dari kebijakan yang akan dikeluarkan.
95
Permanent Court of Arbitration, “PCA Case Nº 2013-19 In the Matter of an Arbitration before an Arbitral Tribunal Constituted Under ANNEX VII to the 1982 United Nations Convention on the Law of the Sea between The Republic Of The Philippines and The People’s Republic Of China”, diakses pada 25 Januari 2019 dari http://www.pcacases.com/web/sendAttach/1506 96
Scott Burchill dan Andrew Linklater, Theories of Internatinal Relations (New York: ST
Dalam klaimnya di Laut China Selatan, Tiongkok mengklaim lebih dari 80
persen wilayah tersebut merupakan wilayahnya. Klaim Tiongkok ini berdasarkan
sejarah terbentuknya negara ini dan ditambah dengan penemuan-penemuan
artefak masa Dinasti Tiongkok kuno.100
Berdasarkan Klaim Tiongkok tersebut,
Laut China Selatan merupakan bagian dari kedaulatan Tiongkok dan dengan
begitu Tiongkok memiliki hak dan kewajiban atas wilayah tersebut. Dengan
adanya hasil keputusan PCA yang menyatakan bahwa klaim Tiongkok tersebut
tidak berdasar dan Tiongkok tidak memiliki hak atas wilayah Laut China Selatan,
akan mempengaruhi kedaulatan nasional Tiongkok. Sebagai negara yang
berdaulat, Tiongkok tentu harus mempertahankan wilayah yang merupakan
bagian dari kedaulatannya. Melihat dari permasalahan tersebut, mempertahankan
wilayah kedaulatan menjadi prioritas bagi Tiongkok. Prioritas ini akhirnya
membentuk kepentingan nasional Tiongkok untuk menolak hasil kepuutusan
PCA.
b. Bidang Ekonomi
Dalam bidang Ekonomi, Laut China Selatan merupakan jalur lalu lintas
kapal terpadat di Dunia.101
Dengan menguasai wilayah strategis ini tentu akan
menguntungkan Tiongkok yang memiliki intensitas perdagangan internasional
yang tinggi. Perdagangan merupakan salah satu cara yang menjadi tujuan utama
bagi sebuah negara untuk meningkatkan perekonomian negaranya. Dengan
100
Faudzan Farhana, “Memahami Perspektif Tiongkok dalam Upaya Penyelesaian Sengketa Laut
Cina Selatan,” Jurnal Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia 11 (Juni 2014):
hlm. 6-9. 101
Faudzan Farhana, “Memahami Perspektif Tiongkok dalam Upaya Penyelesaian Sengketa Laut
Cina Selatan,” hlm. 4-5.
63
memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya, setiap negara berlomba untuk
meningkatkan produksi untuk ikut serta dalam perdagangan internasional. Disisi
lain, beberapa negara memiliki kebutuhan atas produksi negara lain, menjadi
elemen penting yang melengkapi perdagangan internasional. Dengan begitu peran
jalur perdagangan yaitu menyediakan alur yang dapat dilewati dengan aman untuk
melancarkan kegiatan perdagangan internasional.
Selain dari jalur perdagangan internasional, keuntungan ekonomi yang
terdapat di Laut China Selatan juga didapat dari sumber daya alam yang
terkandung di dalamnya. Dengan penduduk yang sangat banyak, krisis pangan
menjadi fokus utama yang perlu diantisipasi. Tiongkok dalam mempertahankan
kesejahteraan rakyatnya, meningkatkan aspek pertaniannya untuk memenuhi
kebutuhan pangan rakyatnya,102
namun krisis pangan dapat terjadi kapanpun dan
Tiongkok tidak dapat hanya mengandalkan bidang pertaniannya. Wilayah Laut
China Selatan memiliki luas sekitar 3.685.000 kilometer persegi103
tentu memiliki
kekayaan makhluk hidup yang cukup banyak, hal ini dapat membantu Tiongkok
dalam upaya memenuhi pangan masyarakat Tiongkok.
Laut China Selatan juga di prediksi memiliki sumber daya alam yang cukup
banyak. Pada Februari 2018, perusahaan penyulingan minyak Korea Selatan, SK
Innovation Co., menemukan minyak mentah di ladang China di Laut Cina
102
National Bureau of Statistics of China,” Office of the Leading Group of the State Council for the Second National Agricultural Census”, diakses pada 25 Februari 2019 dari http://www.stats.gov.cn/was40/reldetail.jsp?docid=402464541 103
Eugene C. LaFond,”South China Sea”, diakses pada 18 Februari 2019 dari https://www.britannica.com/place/South-China-Sea
Ini bukanlah kali pertama ekplorasi wilayah ini dilakukan, sebelumnya
Amerika Serikat sudah terlebih dahulu melakukan eksplorasi dan pada 2016
Badan Informasi Energi AS menyatakan bahwa dikawasan ini tersimpas sekitar
11 miliar barel cadangan minyak bumi dan sekitar 190 triliun kaki kubik gas
alam.105
c. Bidang Militer
Dalam bidang militer Tiongkok memiliki kepentingan yang cukup terlihat.
Tiongkok telah melakukan beberapa kali latihan militer di wilayah ini. Pada 2015
bahkan tiongkok menggelar latihan militer terbesar di wilayah Laut China Selatan
dengan melibatkan 10.000 personil, 48 kapal angkatan laut, 76 jet tempur dan dua
kapal andalan Tiongkok yaitu kapal perusak Changsa dan kapal induk
Liaoning.106
Banyaknya pulau karang di wilayah ini, dimanfaatkan Tiongkok
sebagai sasaran Tembak dalam latihan militernya ini.
Selain latihan militer Tiongkok juga membangun pangkalan militer di
beberapa kepulauan di Laut China Selatan. Sebelumnya Tiongkok sudah
membangun beberapa pulau buatan di wilayah Laut China Selatan tepatnya di
Kepulauan Spratly, Kepulauan Paracel dan Kepulauan Woody. Diatas kepulauan-
kepulauan tersebut Tiongkok membangun pangkalan militer yang beberapanya
memiliki skala yang besar. Dalam pangkalan militer tersebut di bangun landasan
104
Kim Da-sol,”SK Innovation discovers crude oil in South China Sea”, diakses pada 25 Februari 2019 dari http://www.koreaherald.com/view.php?ud=20180222000742 105
Lin Shu-yuan dan Jamie Wang,” U.S. report details rich resources in South China Sea. ”, diakses pada 13 Maret 2019 dari http://focustaiwan.tw/news/aipl/201302090013.aspx 106
Rizky Chandra Septania,” China Gelar Latihan Militer Terbesar di Laut China Selatan diakses pada 27 maret 2019 dari https://internasional.kompas.com/read/2018/04/13/13345231/china-gelar-latihan-militer-terbesar-di-laut-china-selatan
udara, radar, fasilitas pertahanan rudal dan penyimpanan senjata milik militer
Tiongkok.107
Melihat Perkembangan kekuatan militer Tiongkok di kawasan Laut
China Selatan diatas, terlihat hal ini juga menjadi faktor yang mempengaruhi
keputusan Tiongkok untuk menolak hasil keputusan PCA. Jika Tiongkok tidak
menolak hasil keputusan PCA dalam sidang kepemilikan Laut China Selatan,
Tiongkok tentu harus menutup pangkalan-pangkalan militer yang telah di bangun
di wilayah Laut China Selatan. Hal ini akan mengurangi kekuatan militer
Tiongkok khusunya di wilayah Laut China Selatan.
C. Penolakan Tiongkok Terhadap Hasil Keputusan PCA
Keputusan Permanent Court of Arbitrations pada keputusannya menyatakan
bahwa Tiongkok tidak memiliki hak atas klaim nya di Laut China Selatan. PCA
menyatakan bahwa klaim sejarah Tiongkok tidak memiliki dasar dan tidak bisa
dijadikan dasar atas klaimnya di Laut China Selatan.108
Meskipun Tiongkok
memutuskan untuk tidak berpartisipasi dalam pengadilan dan tidak menghadiri
semua sidang yang digelar PCA, namun dengan adanya keputusan PCA yang
menolak klaimnya di Laut China Selatan Tiongkok harus merespon keputusan
tersebut untuk mempertahankan posisinya di sengketa ini.
107
Reuters.com,”China building on new reef in South China Sea, think tank says”, diakses pada 20 Maret 2019 dari https://www.reuters.com/article/us-china-southchinasea/china-building-on-new-reef-in-south-china-sea-think-tank-says-idUSKCN1NQ08Y 108
Permanent Court of Arbitration, “PCA Case Nº 2013-19 In the Matter of an Arbitration before an Arbitral Tribunal Constituted Under ANNEX VII to the 1982 United Nations Convention on the Law of the Sea between The Republic Of The Philippines and The People’s Republic Of China”, diakses pada 25 Desember 2018 dari http://www.pcacases.com/web/sendAttach/1506