ANALISIS PENGARUH PAJAK DAN MEKANISME BONUS TERHADAP KEPUTUSAN
TRANSFER PRICING(Studi Empiris Pada Seluruh Perusahaan Yang Listing
Di Bursa Efek Indonesia)
Winda Hartati, Desmiyawati, Nur Azlina(Universitas Riau)
AbstractTransfer pricing phenomenon could be happened is based
on the management motivation in order to tax avoidance among
related party transaction or any opportunistic behavior, especially
to increase managements compensation. That is determined by
reference to reported profits. Management will always make the
effort to increase their compensation one of on transfer pricing
decision.
The aim of this research is to examines the influence of tax and
bonus scheme on transfer pricing decision in all of companies that
listed at Indonesian Stock Exchange. Sample selection was using
purposive sampling with final sample 109 in 2012 observation. The
result shows that tax and bonus scheme have an influence on
transfer pricing decision. The determination coefficient is 27.7%
that is reflect to variation of tax and bonus scheme affect
transfer pricing decision. The influence of tax and bonus scheme is
also statistically significant affect transfer pricing. The
findings give any opportunities to next researchers to investigate
the effect of any others variable on transfer pricing decision,
such as tariffs.
Key words: bonus scheme, related party transaction, tax,
transfer pricing
SNA 17 Mat ar am, Lombok Univer sit as Mat ar am24-27 Sept
20149File ini diunduh dar i:www.mult ipar adigma.lect ur
e.ub.ac.idI. PendahuluanGlobalisasi ekonomi telah membawa dampak
semakin meningkatnya transaksi internasional atau cross border
transaction. Arus barang, orang, jasa, dan permodalan (investasi)
antarnegara telah menjadi berlipat ganda. Saat ini pergerakan modal
dan dana dari satu negara ke negara lain menjadi lebih besar dari
sebelumnya. Lahirnya General Agreement on Trade and Tariff (GATT)
dan World Trade Organisation (WTO) telah mengurangi kendala-kendala
dalam pergerakan barang, jasa dan modal antar negara.
Perusahaan-perusahaan tidak lagi membatasi operasinya hanya di
negara sendiri, akan tetapi merambah ke mancanegara dan menjadi
perusahaan multinasional dan transnasional. Mereka beroperasi
melalui anak usaha dan cabang-cabangnya di hampir semua negara
berkembang dan pasar-pasar yang sedang tumbuh.Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 diatur di Pasal 18 ayat (4)
yaitu: hubungan istimewa antara Wajib Pajak Badan dapat terjadi
karena pemilikan atau penguasaan modal saham suatu badan oleh badan
lainya sebanyak 25% (dua puluh lima persen) atau lebih, atau antara
beberapa badan yang 25% (dua puluh lima persen) atau lebih sahamnya
dimiliki oleh suatu badan. Hubungan istimewa dapat mengakibatkan
ketidakwajaran harga, biaya, atau imbalan lain yang direalisasikan
dalam suatu transaksi usaha. Secara universal transaksi antarwajib
pajak yang mempunyai hubungan istimewa tersebut dikenal dengan
istilah transfer pricing. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya
pengalihan penghasilan, dasar pengenaan pajak (tax base) atau biaya
dari satu wajib pajak kepada wajib pajak lain yang dapat direkayasa
untuk menekan keseluruhan jumlah pajak terutang atas wajib pajak
yang mempunyai hubungan istimewa tersebut.Permasalahan Transfer
Pricing menjadi isu yang sangat menarik dan semakin mendapatkan
perhatian dari otoritas perpajakan di berbagai belahan dunia.
Semakin banyak negara di dunia yang mulai memperkenalkan peraturan
tentang Transfer Pricing. Bahkan menurut Suandy (2011: 74),
penelitian akhir akhir ini telah menemukan bahwa lebih dari 80%
perusahaan perusahaan multinasional (MNC) melihat harga transfer
(transfer pricing) sebagai suatu isu pajak internasional utama, dan
lebih dari setengah perusahaan ini mengatakan bahwa isu ini adalah
isu yang paling penting. Hal ini tidak terlepas dari semakin
berkembangnya globalisasi ekonomi yang ditandai dengan munculnya
banyak perusahaan multinasional (Multi National Enterprise) yang
beroperasi di manca negara.
Beberapa penelitian mengenai motivasi pajak serta kaitannya
terhadap keputusan transfer pricing telah dilakukan. Diantaranya
oleh Bernard et al., (2006) yang menemukan bahwa harga transaksi
pihak terkait berhubungan dengan tingkat pajak dan tariff rate
negara tujuan. Kemudian Yuniasih et al., (2012) juga mengatakan
bahwa pajak berpengaruh pada keputusan transfer pricing. Besarnya
keputusan untuk melakukan praktik transfer pricing akan
mengakibatkan pembayaran pajak menjadi lebih rendah secara global
pada umumnya.Selain motivasi pajak, keputusan untuk melakukan
transfer pricing juga dipengaruhi oleh mekanisme bonus (bonus
scheme). Menurut Purwanti (2010), Tantiem/ bonus merupakan
penghargaan yang diberikan oleh RUPS kepada anggota Direksi setiap
tahun apabila perusahaan memperoleh laba. Sistem pemberian
kompensasi bonus ini akan memberikan pengaruh terhadap manajemen
dalam merekayasa laba. Manajer akan cenderung melakukan tindakan
yang mengatur laba bersih untuk dapat memaksimalkan bonus yang akan
mereka terima.Berdasarkan latar belakang tersebut maka penelitian
ini akan menguji kembali pengaruh pajak dan mekanisme bonus pada
keputusan perusahaan untuk melakukan transfer pricing. Penelitian
ini menggunakan seluruh perusahaan yang listing di Bursa Efek
Indonesia sebagai sampel. Perusahaan asing yang berada di
Indonesia, adalah cabang dari induk perusahaan di luar negeri.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah apakah pajak dan mekanisme bonus berpengaruh
pada keputusan transfer pricing seluruh perusahaan yang listing di
Bursa Efek Indonesia?
II. Kajian Literatur dan Pengembangan Hipotesis AfiliasiAfiliasi
adalah bentuk suatu hubungan antara dua atau lebih perseroan yang
didasarkan pada kepemilikan saham. Hubungan yang dimaksud adalah
hubungan kepemilikan saham voting (voting stock) dan perusahaan
perusahaan yang mempunyai hubungan ini dinamakan perusahaan
berafiliasi. Perseroan yang menguasai mayoritas saham voting berhak
melakukan kontrol terhadap perseroan lainnya dan dikenal dengan
sebutan perusahaan induk, sedangkan perusahaan yang dikontrol atau
yang memiliki sebagian kecil saham voting disebut dengan perusahaan
anak (Judisseno, 2005: 185).
Suatu transfer pricing, sedikitnya melibatkan dua pihak yang
melakukan transaksi, yaitu pihak yang melakukan transfer atau
transferor dan pihak yang menerima transfer atau transferee,
Artikel 9 ayat 1 dari OECD model tax convention menyebutkan bahwa
hubungan istimewa dapat diuji melalui test partisipasi manajemen,
penguasaan kendali dan modal perusahaan (OECD 2000):Where: (a) An
enterprise of a Contracting State participates directly or
indirectly in the management, control or capital of an enterprise
of the other Contracting State, or (b) The same persons participate
directly or indirectly in the management, control or capital of an
enterprise of a Contracting State and an enterprise of the other
Contracting State,Pengertian mengenai hubungan istimewa menurut
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK No.7) adalah sebagai
berikut:(a) perusahaan yang melalui satu atau lebih perantara
(intermediaries), mengendalikan, atau dikendalikan oleh, atau
berada di bawah pengendalian bersama, dengan perusahaan pelapor
(termasuk holding companies, subsidiaries dan fellow subsidiaries);
(b) perusahaan asosiasi (associated company); (c) perorangan yang
memiliki, baik secara langsung maupun tidak langsung, suatu
kepentingan hak suara di perusahaan pelapor yang berpengaruh secara
signifikan, dan anggota keluarga dekat dari perorangan tersebut
(yang dimaksudkan dengan anggota keluarga dekat adalah mereka yang
dapat diharapkan mempengaruhi atau dipengaruhi perorangan tersebut
dalam transaksinya dengan perusahaan pelapor); (d) karyawan kunci,
yaitu orang-orang yang mempunyai wewenang dan tanggung jawab untuk
merencanakan, memimpin dan mengendalikan kegiatan perusahaan
pelapor yang meliputi anggota dewan komisaris, direksi dan manajer
dari perusahaan serta anggota keluarga dekat orang-orang
tersebut;(e) perusahaan di mana suatu kepentingan substansial dalam
hak suara dimiliki baik secara langsung m aupun tidak langsung oleh
setiap orang yang diuraikan dalam(c) atau; (d) setiap orang
tersebut mempunyai pengaruh signifikan atas perusahaan tersebut,
Ini mencakup perusahaan-perusahaan yang dimiliki anggota dewan
komisaris, direksi atau pemegang saham utama dari perusahaan
pelapor dan perusahaan- perusahaan yang mempunyai anggota manajemen
kunci yang sama dengan perusahaan pelapor.Pengertian hubungan
istimewa menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan No.36 Tahun 2008
(UU PPh) adalah:
Hubungan istimewa dianggap ada apabila: (a) Wajib Pajak
mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling
rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain, atau
hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25%
(dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih, demikian
pula hubungan antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut
terakhir; atau (b) Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau
dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama
baik langsung maupun tidak langsung; atau (c) terdapat hubungan
keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus
dan atau ke samping satu derajat.
Transfer Pricing
Harga transfer atau transfer pricing dalam bahasa Inggris
berasal dari kata transfer price sering diartikan sebagai nilai
yang melekat pada pengalihan barang dan jasa yang terjadi pada
suatu transaksi antara pihak yang mempunyai hubungan istimewa.
Menurut Horngren (2008: 375), yang dimaksud dengan transfer pricing
(harga transfer) adalah harga yang dibebankan satu subunit
(departemen atau divisi) untuk suatu produk atau jasa yang dipasok
ke subunit yang lain di organisasi yang sama,Dari sudut pandang
ekonomi, menurut Hirshleifer yang diambil oleh Santoso (2004):
transfer price should be the marginal cost of the selling division
in order to maximize the firms profit as a whole. Oleh karenanya,
prinsip dasar harga transfer adalah untuk memaksimalkan laba.
Sehingga perusahaan harus secara berkala menjual produk sampai
dengan titik dimana tambahan biaya karena adanya tambahan unit yang
diproduksi dan dijual, yang disebut marginal cost produksi unit
yang diproduksi dan dijual, lebih rendah dibanding penghasilan yang
diperoleh dari penjualan unit tersebut (marginal revenue). Dalam
hal penentuan harga untuk perusahaan yang terintegrasi, harga harus
ditentukan berdasarkan marginal cost produsen.Sedangkan menurut
Gunadi, pengamat pajak UI, transfer pricing adalah suatu rekayasa
manipulasi harga secara sistematis dengan maksud mengurangi laba
artifisial, membuat seolah olah perusahaan rugi, menghindari pajak
atau bea di suatu negara (Suandy, 2011: 71).Jadi, dari beberapa
paparan di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
transfer pricing adalah harga yang terkandung pada setiap produk
atau jasa dari satu divisi yang di transfer ke divisi yang lain
dalam perusahaan yang sama atau antar perusahaan yang mempunyai
hubungan istimewa. Transaksi transfer pricing dapat terjadi pada
divisi-divisi dalam satu perusahaan, antar perusahaan lokal, atau
perusahaan lokal dengan perusahaan yang ada di luar negeri.
Pajak
adalah:
Menurut UU Perpajakan (UU No. 36 Tahun 2008), yang dimaksud
dengan pajak Kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh
orang pribadi atau badan
yang bersifat memaksa berdasarkan undang undang, dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan
negara bagi sebesar besarnya kemakmuran rakyat (Primandita, 2011:
4).
Kemudian Prof. Dr. Adriani membahas definisi pajak sebagaimana
yang dinyatakan sebagai berikut:Pajak adalah iuran kepada negara
yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan
peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung
dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran
pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara yang
menyelenggarakan pemerintahan (Waluyo, 2011: 2).
Judisseno (2005: 5), mendefinisikan pajak sebagai suatuu
kewajiban kenegaraan dan pengabdian serta peran aktif warga negara
dan anggota masyarakat lainnya untuk membiayai berbagai keperluan
negara berupa pembangunan nasional yang pelaksanaanya di atur dalam
Undang Undang dan peraturan peraturan untuk tujuan kesejahteraan
bangsa dan negara. Selanjutnya Rochmat Soemitro menyebutkan bahwa
pajak adalah iuran kepada kas negara berdasarkan undang undang
(yang dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal, yang langsung
dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum
(Agoes, 2013: 6).Prof. Dr. M. J. H. Smeets dalam bukunya De
Economische Betekenis der Belastingen, 1951, mendefinisikan pajak
sebagai berikut:Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang
terutang melalui norma norma umum, dan yang dapat dipaksakan, tanpa
ada kalanya kontraprestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang
individual; maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah
(Suandy, 2011: 9).Jadi dapat disimpulkan bahwa pajak adalah iuran
wajib (dapat dipaksakan) yang dibayar berdasarkan undang undang,
tidak mendapat balas jasa secara langsung, dan digunakan untuk
membiayai pengeluaran pengeluaran Pemerintah.
Mekanisme Bonus (bonus scheme)
Menurut Suryatiningsih et al., (2009) skema bonus direksi adalah
komponen penghitungan besarnya jumlah bonus yang diberikan oleh
pemilik perusahaan atau para pemegang saham melalui RUPS kepada
anggota direksi yang dianggap mempunyai kinerja baik setipa tahun
serta apabila perusahaan memperoleh laba. Irpan (2010), juga
menyatakan bahwa skema bonus direksi dapat diartikan sebagai
pemberian imbalan diluar gaji kepada direksi perusahaan atas hasil
kerja yang dilakukan dengan melihat prestasi kerja direki itu
sendiri. Prestasi kerja yang dilakukan dapat dinilai dan diukur
berdasarkan suatu penilaian yang telah ditentukan perusahaan secara
objektif.
Mengingat bahwa mekanisme bonus berdasarkan pada besarnya laba,
yang merupakan cara paling populer dalam memberikan penghargaan
kepada direksi / manajer, maka adalah logis bila direksi yang
remunerasinya didasarkan pada tingkat laba akan memanipulasi laba
tersebut untuk memaksimalkan peneriman bonus dan remunerasinya.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa mekanisme bonus merupakan salah satu
strategi atau motif perhitungan dalam akuntansi yang tujuannya
adalah untuk memberikan penghargaan kepada direksi atau manajemen
dengan melihat laba perusahaan secara keseluruhan. Karena sebagai
akibat dari adanya praktik transfer pricing maka tidak menutup
kemungkinan akan terjaadi kerugian pada salah satu divisi atau
subunit. Merujuk kepada pendapat Horngren (2008: 428), yang
menyebutkan bahwa kompensasi bonus dilihat berdasarkan tim
bervariasi di berbagai divisi dalam satu organisasi. Sebagai tim
perusahaan maka harus bersedia untuk saling membantu. Jadi bonus
direksi tidak didasarkan pada laba subunit namun berdasarkan pada
kebaikan dan laba perusahaan secara keseluruhan.
Pajak dan Transfer PricingGusnardi (2009), menyebutkan bahwa
perusahaan multinasional melakukan transfer pricing adalah untuk
meminimalkan kewajiban pajak gobal perusahaan mereka. Kemudian
menurut Yani (2001), motivasi pajak dalam transfer pricing pada
perusahaan multinasional tersebut dilaksanakan dengan cara sedapat
mungkin memindahkan penghasilan ke negara dengan beban pajak
terendah atau minimal dimana negara tersebut memiliki grup
perusahaan atau divisi perusahaan yang beroperasi.Jacob (1996)
menemukan bahwa transfer antar perusahaan besar dapat mengakibatkan
pembayaran pajak lebih rendah secara global pada umumnya.
Penelitian tersebut menemukan bahwa perusahaan multinasional
memperoleh keuntungan karena pergeseran pendapatan dari
negara-negara dengan pajak tinggi ke negara dengan pajak rendah.
Namun, mitigasi pajak juga ada peluang untuk penjualan domestik
antara perusahaan terkait karena perbedaan tingkat pajak. Kemudian,
Swenson (2001) menemukan bahwa tarif dan pajak berpengaruh pada
insentif untuk melakukan transaksi transfer pricing. Bernard et
al., (2006) juga menemukan bahwa harga transaksi pihak terkait dan
arms-length berhubungan dengan tingkat pajak dan tarif impor negara
tujuan.
Yuniasih et al., (2012), mengungkapkan bahwa pajak berpengaruh
positif pada keputusan perusahaan untuk melakukan transfer pricing.
Beban pajak yang semakin besar memicu perusahaan untuk melakukan
transfer pricing dengan harapan dapat menekan beban tersebut.
Karena dalam praktik bisnis, umumnya pengusaha mengidentikkan
pembayaran pajak sebagai beban sehingga akan senantiasa berusaha
untuk meminimalkan beban tersebut guna mengoptimalkan laba.
Berdasarkan rumusan di atas maka hipotesis dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut.H1: pajak berpengaruh terhadap keputusan
transfer pricing
Mekanisme Bonus dan Transfer PricingDalam menjalankan tugasnya,
para direksi cenderung ingin menunjukkan kinerja yang baik kepada
pemilik perusahaan. Karena apabila pemilik perusahaan atau para
pemegang saham sudah menilai kinerja para direksi dengan penilaian
yang baik maka pemilik perusahaan akan memberikan penghargaan
kepada direksi yang telah mengelola perusahaannya dengan baik.
Penghargaan itu dapat berupa bonus yang diberikan kepada direksi
perusahaan. Dalam memberikan bonus kepada direksi, pemilik
perusahaan akan melihat kinerja para direksi dalam mengelola
perusahaanya. Pemilik perusahaan dalam menilai kinerja para direksi
biasanya melihat laba perusahaan secara keseluruhan yang
dihasilkan.Jadi pemilik tidak hanya memberikan bonus kepada direksi
yang berhasil mengasilkan laba untuk divisi atau subunitnya, namun
juga kepada direksi yang bersedia bekerjasama demi kebaikan dan
keuntungan perusahaan secara keseluruhan. Hal ini didukung oleh
pendapat Horngren (2008: 429), yang menyebutkan bahwa kompensai
(bonus) direksi dilihat dari kinerja berbagai divisi atau tim dalam
satu organisasi. Semakin besar laba perusahaan secara keseluruhan
yang dihasilkan, maka semakin baik citra para direksi dimata
pemilik perusahaan. Oleh sebab itu, direksi memiliki kemungkinan
untuk melakukan segala cara untuk memaksimalkan laba perusahaan
termasuk melakukan praktik transfer pricing.Merujuk pada penelitian
Lo et al., (2010) dari Amerika, yang menemukan bahwa terdapat
kecenderungan manajemen memanfaatkan transaksi transfer pricing
untuk memaksimalkan bonus yang mereka terima jika bonus tersebut
didasarkan pada laba. Jadi dapat disimpulkan bahwa manajer akan
cenderung melakukan tindakan yang mengatur laba bersih dengan cara
melakukan praktik transfer pricing agar dapat
memaksimalkan bonus yang mereka terima. Oleh karena itu
penelitian ini menduga bahwa:H2: mekanisme bonus berpengaruh
terhadap keputusan transfer pricing
III. Metode PenelitianPenelitian ini menggunakan data sekunder
(secondary data), yakni data dari laporan keuangan (annual report)
pada tahun 2012. Penelitian ini dilakukan pada seluruh perusahaan
yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia kecuali perusahaan yang
bergerak di bidang keuangan. Sampel dalam penelitian ini
menggunakan metoda purposive sampling dengan kriteria sebagai
berikut:1) Penelitian ini menggunakan seluruh perusahaan yang
listing di Bursa Efek Indonesia.2) Data laporan keuangan perusahaan
sampel tersedia untuk tahun pelaporan 2012.3) Perusahaan sampel
tidak mengalami kerugian selama periode pengamatan. Hal ini karena
perusahaan yang mengalami kerugian tidak memiliki kewajiban
perpajakan di tingkat perusahaan sehingga motivasi pajak menjadi
tidak relevan. Oleh karena itu perusahaan yang mengalami kerugian
dikeluarkan dari sampel.4)Definisi Operasional Variabel1)
PajakPajak merupakan Kontribusi wajib kepada negara yang terutang
oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan
undang undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan
digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar besarnya kemakmuran
rakyat. Pajak dalam penelitian ini diproksikan dengan effective tax
rate yang merupakan perbandingan tax expense dikurangi differed tax
expense dibagi dengan laba kena pajak (Yuniasih et al., 2012).2)
Mekanisme BonusBonus scheme (mekanisme bonus) merupakan salah satu
motif pemilihan suatu metode akuntansi tidak terlepas dari positif
accounting theory. Mekanisme bonus merupakan komponen penghitungan
besarnya jumlah bonus yang diberikan oleh pemilik perusahaan atau
para pemegang saham melalui RUPS kepada anggota direksi setiap
tahun apabila memperoleh laba (Suryatiningsih, 2009).
Untuk variabel ini akan diukur dengan komponen perhitungan
indeks trend laba bersih. Menurut Irpan (2010), Indeks trend laba
bersih (ITRENDLB) di hitung berdasarkan persentasse pencapaian laba
bersih tahun t terhadap laba bersih tahun t-1.3) Transfer
PricingTransfer Pricing adalah harga yang terkandung pada setiap
produk atau jasa dari satu divisi yang di transfer ke divisi yang
lain dalam perusahaan yang sama atau antar perusahaan yang
mempunyai hubungan istimewa. Transaksi transfer pricing dapat
terjadi pada divisi-divisi dalam satu perusahaan, antar perusahaan
lokal, atau perusahaan lokal dengan perusahaan yang ada di luar
negeri. Transfer pricing dihitung dengan pendekatan dikotomi yaitu
dengan melihat keberadaan penjualan kepada pihak yang mempunyai
hubungan istimewa. Perusahaan yang melakukan penjualan kepada pihak
yang mempunyai hubungan istimewa diberi nilai 1 dan yang tidak
diberi nilai 0.
Metode Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan menggunakan teknik analisis
regresi logistik (Binary Logistic Regresion). Teknik ini digunakan
karena variabel terikat dalam penelitian ini yaitu transfer pricing
bersifat dikotomus atau merupakan variabel dummy. Menurut Ghozali
(2006: 71), teknik analisis ini tidak memerlukan lagi uji
normalitas dan uji asumsi klasik pada variabel bebasnya. Beberapa
tes statistik yang digunakan untuk menilai overall fit model, yaitu
nilai Log likelihood, Cox dan Snells R Square, Hosmer and Lemeshows
Goodness of Fit Test, dan classification table. Model regresi
logistik ditunjukkan dalam persamaan sebagai berikut.:Y = + 1X1 +
2X2 + e ..................................(1)Keterangan:
Y= Transfer pricingX1= PajakX2= Tunneling incentive= Nilai Y
bila X = 0= Koefisien regresie= adalah error atau sisa
(residual)
IV. Analisis Data dan Pembahasan
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebanyak 109
pengamatan seluruh perusahaan pada tahun 2012. Statistik deskriptif
menunjukkan bahwa transaksi hubungan istimewa terjadi pada 73
pengamatan, yang berarti bahwa sebagian besar
SNA 17 Mat ar am, Lombok Univer sit as Mat ar am24-27 Sept
201418File ini diunduh dar i:www.mult ipar adigma.lect ur
e.ub.ac.idperusahaan melakukan transaksi transfer pricing.
Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan regresi logistik.
Kelayakan model regresi dinilai dengan menggunakan Hosmer and
Lemeshows Goodness of Fit Test. Nilai -2LL awal adalah sebesar
138.293. Setelah dimasukkan kedua variabel independen, maka nilai
-2LL akhir mengalami penurunan menjadi sebesar 114.115. Penurunan
likelihood (-2LL) ini menunjukkan model regresi yang lebih baik
atau dengan kata lain model yang dihipotesiskan fit dengan
data.
Besarnya nilai koefisien determinasi pada model regresi logistik
ditunjukkan oleh nilai Nagelkerke R Square. Nilai Nagelkerke R
Square adalah sebesar 0.277 yang berarti variabilitas variabel
dependen yang dapat dijelaskan oleh variabel independen adalah
sebesar 27.7% sedangkan sisanya sebesar 72.3% dijelaskan oleh
variabel- variabel lain di luar model penelitian.Menurut Ghozali
(2006: 79), Hosmer and Lemeshows Goodness of Fit Test menguji
hipotesis nol bahwa data empiris cocok atau sesuai dengan model
(tidak ada perbedaan antara model dengan data sehingga model dapat
dikatakan fit. Hasil perhitungan chi square pada Hosmer and
Lemeshow menunjukkan nilai 12.391 dengan probabilitas signifikasi
0.135 yang nilainya jauh di atas 0.05. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa model yang digunakan mampu memprediksi nilai
observasinya.Tabel klasifikasi menunjukkan kekuatan prediksi dari
moel regresi untuk memrediksi variabel dependen (kemungkinan
terjadinya praktik transfer pricing oleh perusahaan). Berdasarkan
hasil pengujian, kekuatan prediksi dari model regresi untuk
memprediksi kemungkinan perusahaan melakukan praktik Transfer
Pricing adalah 97.3%. Hal ini menunjukkan bahwa dengan menunjukkan
model regresi yang digunakan, terdapat sebanyak 71 perusahaan
(97.3%) yang diprediksi akan melakukan praktik Transfer Pricing
dari total 73 perusahaan yang melakukan praktik Transfer Pricing.
Kekuatan prediksi model perusahaan yang tidak melakukan praktik
Transfer Pricing adalah sebesar 33.3% yang berarti bahwa dengan
menggunakan model regresi terdapat 12 perusahaan yang diprediksi
tidak melakukan praktik Transfer Pricing dari total 36 perusahaan
yang tidak melakukan praktik Transfer Pricing,Hasil pengujian
hipotesis menunjukkan bahwa pajak dan mekanisme bonus berpengaruh
pada keputusan transfer pricing. Ini dapat dilihat dari tingkat
signifikansi masing-masing sebesar 0.021 dan 0.009 yang lebih kecil
dari 0.05. Hasil ini konsisten dengan hipotesis yang diajukan.
Klassen et al, (2013), menemukan bahwa terjadi pergeseran
pendapatan oleh perusahaan multinasional sebagai respon terhadap
tingkat perubahan pajak di Kanada, Eropa, dan Amerika Serikat.
Perusahaan multinasional menggeser pendapatan dari Kanada ke AS,
sedangkan penurunan tarif pajak di Eropa menggeser pendapatan dari
AS ke Eropa. Gusnardi (2009), juga menyebutkan bahwa perusahaan
multinasional melakukan transfer pricing adalah untuk meminimalkan
kewajiban pajak gobal perusahaan mereka. Kemudian menurut Yani
(2001), motivasi pajak dalam transfer pricing pada perusahaan
multinasional tersebut dilaksanakan dengan cara sedapat mungkin
memindahkan penghasilan ke negara dengan beban pajak terendah atau
minimal dimana negara tersebut memiliki grup perusahaan atau divisi
perusahaan yang beroperasi. Beban pajak yang semakin besar memicu
perusahaan untuk melakukan transfer pricing dengan harapan dapat
menekan beban tersebut. Hasil ini konsisten dengan penelitian yang
dilakukan oleh Yuniasih et al., (2012) dan Bernard et a.l,
(2006).Dalam menjalankan tugasnya, para direksi cenderung ingin
menunjukkan kinerja yang baik kepada pemilik perusahaan. Karena
apabila pemilik perusahaan atau para pemegang saham sudah menilai
kinerja para direksi dengan penilaian yang baik maka pemilik
perusahaan akan memberikan penghargaan kepada direksi yang telah
mengelola perusahaannya dengan baik. Biasanya pemilik perusahaan
akan melihat laba secara keseluruhan yang dihasilkan untuk menilai
kinerja para direksinya. Hasil penelitian ini konsisten dengan
penelitian yang dilakukan oleh Lo et al., (2010) dari Amerika, yang
menemukan bahwa terdapat kecenderungan manajemen memanfaatkan
transaksi transfer pricing untuk memaksimalkan bonus yang mereka
terima jika bonus tersebut didasarkan pada laba.IV. Simpulan,
Implikasi dan KeterbatasanPenelitian ini memberikan bukti empiris
tentang pengaruh Pajak dan Mekanisme Bonus terhadap keputusan
Transfer Pricing pada seluruh perusahaan yang listing di Bursa Efek
Indonesia. Analisis dilakukan dengan menggunakan analisis regresi
logistik (binary logistic) dengan program SPSS 16.0 for Windows.
Data sampel diperoleh sebanyak 109 perusahaan dari seluruh
perusahaan yang listing di Bursa Efek Indonesia pada tahun
2012.Hasil perhitungan Overall model fit dengan menggunakan
pendekatan Uji Likelihood, Cox dan Snels R Square, dan Hosmer and
Lemeshow Test
mengindikasikan bahwa model yang digunakan telah fit dengan data
sehingga mampu memprediksi nilai observaasinya. Hipotesis pertama
(H1) diterima, yaitu Pajak berpengaruh terhadap keputusan Transfer
Pricing, dengan nilai p-value sebesar 0.021 (p< 0,05). Besarnya
keputusan untuk melakukan praktik transfer pricing akan
mengakibatkan pembayaran pajak menjadi lebih rendah secara global
pada umumnya. Hal ini disebabkan karena perusahaan multinasional
yang memperoleh keuntungan akan melakukan pergeseran pendapatan
dari negara negara dengan tarif pajak tinggi ke negara - negara
dengan tarif pajak yang rendah. Sehingga semakin tinggi tarif pajak
suatu negara maka akan semakin besar kemungkinan perusahaan
melakukan praktik transfer pricing.Hipotesis kedua (H2) diterima,
yaitu Mekanisme Bonus berpengaruh terhadap keputusan Transfer
Pricing, dengan nilai p-value sebesar 0.009 lebih kecil dari =0.05.
Besarnya Mekanisme Bonus yang dilihat dari Indeks Trend Laba Bersih
akan berpengaruh terhadap keputusan Transfer Pricing. Karna dalam
memberikan bonus kepada direksi, pemilik perusahaan tentu akan
melihat kinerja para direksi dalam mengelola perusahaanya. Dalam
hal ini, pemilik perusahaan akan melihat laba perusahaan yang
dihasilkan secara keseluruhan sebagai penilaian untuk kinerja para
direksinya. Untuk itu, para direksi tentu akan berusaha semaksimal
mungkin agar laba perusahaan secara keseluruhan mengalami
peningkatan termasuk dengan cara melakukan praktik Transfer
Pricing.Penelitianinitidaklepasdariketerbatasan-keterbatasanyangdapat
menyebabkan hasil penelitian menjadi bias, keterbatasan penelitian
ini antara lain:1. Penelitian ini hanya menghasilkan koefisien
determinasi sebesar 27.7%. Oleh karena itu, ada variabel lain yang
mungkin berpengaruh pada keputusan perusahaan untuk melakukan
transfer pricing. Salah satunya adalah tarif, dimana tarif yang
lebih tinggi akan meningkatkan gap antara harga wajar dengan harga
hubungan istimewa. Perusahaan menggunakan harga yang lebih rendah
ketika melakukan ekspor kepada perusahaan dengan tarif impor yang
tinggi (Bernard et al., 2006).2. Penelitian selanjutnya sebaiknya
meneliti dalam rentang waktu yang lebih lama, karena periode yang
lebih panjang diharapkan dapat memberikan hasil yang lebih
baik.
Daftar Pustaka
Agoes, Sukrisno dan Estralita Trisnawati. 2013. Akuntansi
Perpajakan: Edisi 3.Jakarta:Salemba
Empat.Fitriandi,Primandita.2011.KompilasiUndangUndangPerpajakan
Terlengkap.Jakarta: Salemba Empat.Ghozali, Imam. 2006. Analisis
Multivariate Lanjutan Dengan Program SPSS.Semarang:Universitas
Diponegoro.Gusnardi. 2009. Penetapan Harga Transfer Dalam Kajian
Perpajakan. Pekbis Jurnal.Vol. 1.No. 1. Universitas Riau.
Pekanbaru.Horngren, T, Charles, Srikant M, Datar, dan George
Foster. 2008. Akuntansi Biaya: DenganPenekanan Manajeria.. Jakarta:
Erlangga.Herman, Yani, Ridha. 2013. Manajemen Laba Melalui
Transaksi Pihak Istimewa Di sekitar Penawaran Saham Perdana.
Skripsi. Fakultas Ekonomika dan Bisnis. UniversitasDiponegoro.
Semarang.IAI. 2009. Standar Akuntansi Keuangan. Jakarta: Salemba
Empat.Irpan. 2010. Analisis Pengaruh Skema Bonus Direksi, jenis
Usaha, ProfitabilitasPerusahaan, dan Ukuran Perusahaan Terhadap
Earning Management: Studi Empiris Pada Perusahaan Manufaktur dan
Keuangan yang Listing Di BEI Paada Tahun 2008 2010. Skripsi.
Fakultas Ekonomika dan Bisnis. UIN Syarif Hidayatullah.
Jakarta.Judisseno, K, Rimsky. 2005. Pajak dan Strategi Bisnis:
Suatu Tinjauan tentang
KepastianHukumdanPenerapanAkuntansidiIndonesia.Jakarta:PTGramedia
Pustaka Utama.Klassen, Kenneth, Petro Lisowsky and Devan Mescall.
2013. Transfer Pricing:
Strategies,Practices,andTaxMinimazation,JournalofTaxExcecutiveInstitute
(TEI).The University of Illionis.Lo, W. Y. A., Raymond, M.K W., and
Micheal F. 2010. Tax, FinancialReporting, and Tunneling Incentives
for Income Shifting: An Empirical Analysis of the Transfer Pricing
behavior of Chinese-Listed Companies. Journal of the American
TaxationAssociation. Vol. 32. No. 2.Nurhayati, Dewi, Indah. 2013.
Evaluasi Atas Perlakuan Perpajakan Terhadap TransaksiTransfer
Pricing Pada Perusahaan Multinasional Di Indonesia. Jurnal
Manajemen dan Akuntansi Vol. 2. No. 1.OECD. 2000.Purwanti, Lilik.
2010. Kecakapan Managerial, Skema Bonus, Managemen Laba, dan
Kinerja Perusahaan. Jurnal Aplikasi Manajemen Vol. 8. No. 2.Rahayu,
Ning. 2010. Evaluasi Regulasi Atas Praktik Penghindaran Pajak
Penanaman Modal Asing. Jurnal Akuntansi dan Keuangan IndonesiaVol.
7. No. 1.Santoso, Iman. 2004. Advance Pricing Agreement dan
Problematika Transfer Pricing Dari perspektif Perpajakan Indonesia.
Jurnal Akuntansi dan Keuangan Vol. 6. No. 2.Sekaran, Uma. 2009.
Research Methods For Business: Metodologi Penelitian Untuk Bisnis.
Jakarta: Salemba Empat.Suandy, Erly. 2011. Hukum Pajak. Jakarta:
Salemba Empat. . 2011. Perencanaan Pajak. Jakarta: Salemba Empat.
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Bisnis. Bandung: Alfabeta.
Suryatiningsih, Neneng dan Sylvia Veronica Siregar. 2009.
Pengaruh Skema Bonus Direksi Terhadap Aktivitas Manajemen Laba:
Studi Empiris PadaBUMN Periode Tahun 2003-2006. Jurnal Simposium
Nasional Akuntansi11.Swenson, L. D. 2001. Tax Reforms and Evidence
of Transfer Pricing, National Tax Journal. Vol. IV. No. 1.Waluyo.
2011. Perpajakan Indonesia. Jakarta: Salemba Empat.Wirani, Nelly.
2013. Pengaruh Manajemen Pajak dan Mekanisme Bonus Terhadap
Keputusan Transfer Pricing Perusahaan Manufaktur yang Listing di
Bursa Efek Indonesia. Jurnal UPN Veteran Yogyakarta.Yani, Ahmad.
2001. Motivasi Pajak Dalam Transfer Pricing. Bulletin Business
News.No. 6651.Yuniasih, Wayan, Ni, Ni Ketut Rasmini dan Made Gede
Wirakusuma. 2012. Pengaruh Pajak Dan Tunneling Incentive Pada
Keputusan Transfer Pricing Perusahaan Manufaktur Yang Listing Di
Bursa EfekIndonesia. Jurnal Universitas Udayana.Bapepam.go.id
Lampiran 1
Gambar 1 Model Penelitian
Pajak (X1)Transfer Pricing (Y)H1
Mekanisme Bonus (X2)H2Lampiran 2
Tabel 1. Hasil seleksi sampel perusahaan
NoKriteriaJumlah Observasi
1Seluruh perusahaanyang listing di Bursa Efek Indonesia407
2Perusahaan sampel yang tidakmemiliki laporan keungan pada tahun
2012(152)
3Perusahaan sampel yang mengalami kerugian pada tahun
2012(146)
Jumlah perusahaan sampel109
Sumber: Hasil Olahan Data
Lampiran 3
Tabel 2. Statistik deskriptif
Descriptive Statistics
NMinimumMaximumSumMeanStd. Deviation
TF109.001.0073.00.6697.47248
Pajak109.00631.885912.83647E1.2602267.14666859
Mekabon109.0460566.956712.46770E22.2639435E06.54353990
Valid N (listwise)109
Lampiran 4
Tabel 3. Perbandingan Nilai -2Log Likelihood
Iteration Historya,b,c
Iteration-2 Log likelihoodCoefficients
Constant
Step 01
2
3138.312.679
138.293.707
138.293.707
a. Constant is included in the model.b. Initial -2 Log
Likelihood: 138,293c. Estimation terminated at iteration number 3
because parameter estimates changed by less than,001.
Lampiran 5
Tabel 4. Cox dan Snells R Square
Model Summary
Step-2 Log likelihoodCox & Snell R SquareNagelkerke R
Square
1114.115a.199.277
a. Estimation terminated at iteration number 7 because parameter
estimates changed by less than ,001.
Lampiran 6
Tabel 5. Hosmer and Lemeshows Hosmer and Lemeshow Test
StepChi-squaredfSig.
112.3918.135
Lampiran 7
Tabel 6. Classification Table
Classification Tablea
ObservedPredicted
TFPercentage Correct
01
Step 1TF01Overall Percentage122433.3
27197.3
76.1
a. The cut value is ,500
Lampiran 8
BS.E.WalddfSig.Exp(B)Step 1a PajakMekabon
Constant-5.7302.4735.3681.021.003.830.3196.7561.0092.2941.071.7641.9651.1612.917Tabel
7. Perhitungan Regresi Logistik Variables in the Equation
a. Variable(s) entered on step 1: Pajak, Mekabon.
PENGARUH BIAYA PERDAGANGAN MITRA DAN PRODUK DOMESTIK BRUTO MITRA
TERHADAP FOREIGN DIRECT INVESTMENT NEGARA-NEGARA ASIA, EROPA DAN
AMERIKA DI INDONESIA DENGAN TAX TREATY SEBAGAI VARIABEL
MODERASI
Cosmas Nico Sanjaya Anna Purwaningsih
Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya
Yogyakarta Jalan Babarsari 43-44, Yogyakarta
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengkaji dan
memperoleh bukti empiris mengenai pengaruh biaya perdagangan mitra
(BPM) dan produk domestik bruto mitra (PDBM) terhadap foreign
direct investment (FDI) negara-negara Asia, Eropa dan Amerika di
Indonesia dengan tax treaty sebagai variabel moderasi. Biaya
perdagangan mitra dan produk domestik bruto mitra merupakan 2
faktor yang dapat mempengaruhi besaran aliran FDI ke Indonesia.
Selain itu, tax treaty memainkan peran penting karena dapat
mengatur bagian pemajakan yang harus dibayar oleh negara investor
sesuai dengan peraturan yang telah disetujui bersama dan lebih
rendah daripada undang-undang domestik. Hal ini diharapkan dapat
meningkatkan aliran masuk FDI ke Indonesia.Penelitian ini
menggunakan sampel 65 negara-negara di benua Asia, Eropa dan
Amerika yang memiliki investasi di Indonesia antara tahun 2010
hingga 2013. Data yang digunakan adalah data arsip sekunder yang
diperoleh dari data website resmi Badan Koordinasi dan Penanaman
Modal (BKPM) yaitu www.bkpm.go.id, web www.ortax.org,
www.pajak.go.id serta www.cia.gov. Penelitian ini menggunakan model
regresi berganda dengan variabel MRA.Hasil analisis dalam
penelitian ini menunjukkan bahwa tax treaty tidak dapat memoderasi
hubungan antara BPM dan FDI serta tax treaty dapat memoderasi namun
memperlemah hubungan antara PDBM dan FDI.Kata Kunci: biaya
perdagangan mitra, produk domestik bruto mitra, tax treaty, foreign
direct investment
I. PendahuluanPajak adalah salah satu penerimaan negara yang
sangat penting bagi pelaksanaan dan peningkatan pembangunan
nasional di Indonesia. Apabila jumlah pajak yang diterima semakin
besar, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia semakin meningkat
(Prasetya, 2013). Pajak merupakan iuran rakyat kepada kas negara
berdasarkan undang-undang (dapat dipaksakan) serta tidak mendapat
jasa timbal balik (kontraprestasi) secara langsung dapat
ditunjukkan dan digunakan untuk membiayai pengeluaran umum
(Mardiasmo, 2006). Menurut falsafah undang-undang, pembayaran pajak
merupakan hak bagi setiap warga untuk berpartisipasi dalam
pembangunan nasional.Pajak berasal dari berbagai transaksi ekonomi,
salah satunya adalah foreign direct investment (FDI) (Prasetya,
2013). FDI diharapkan semakin meningkat sehingga dapat meningkatkan
potensi penerimaan pajak karena perusahaan penanam modal asing
memiliki kewajiban yang sama seperti Wajib Pajak Badan lainnya
(Sarwedi, 2012). Dengan melihat realita ini maka pemerintah
Indonesia harus menempuh kebijakan yang lebih mengarah pada
keterbukaan ekonomi untuk menarik minat negara-negara asing
menanamkan modalnya di Indonesia (Nurhidayat, 2012). Dengan adanya
persaingan perdagangan antar negara yang semakin ketat, kebijakan
dalam hal menarik foreign direct investment (FDI) menjadi hal yang
penting demi meningkatkan pertumbuhan ekonomi.Tax treaty atau
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) berkaitan dengan FDI
di Indonesia yang berasal dari berbagai negara. Tax treaty
memainkan peran penting karena dapat mengatur bagian pemajakan yang
harus dibayar oleh negara investor sesuai dengan peraturan yang
telah disetujui bersama. Apabila antara Indonesia dengan negara
mitra telah mengadakan tax treaty, maka tarif yang digunakan adalah
tarif berdasarkan tax treaty. Sebaliknya, apabila belum ada tax
treaty maka digunakan tarif berdasarkan ketentuan pajak domestik.
Tax treaty yang telah dilakukan oleh Indonesia dengan 60 negara di
dunia diharapkan dapat menciptakan iklim investasi sekondusif
mungkin dari aspek perpajakan (Tatang, 2009).Ada juga faktor-faktor
lain yang dapat mempengaruhi FDI selain tax treaty, yaitu biaya
perdagangan mitra (BPM) dan produk domestik bruto mitra (PDBM).
Peningatan PDBM di suatu negara menunjukkan bahwa terjadi
peningkatan ukuran pasar sehingga negara-negara yang mengalami
keadaan demikian sangat berpotensial menjadi area investasi.
Semakin besar ukuran ekonomi suatu negara semakin besar pula
peningkatan investasinya (Ohno, 2010). PDBM itu sendiri terdiri
dari ekspor dan impor. Ketika melihat besaran nilai ekspor dan
impor maka dapat dideteksi adanya biaya perdagangan mitra yang
pasti dikeluarkan, biaya perdagangan mitra ini sendiri yang
kemudian menjadi pertimbangan para investor dan dapat mempengaruhi
besaran FDI yang ditanamkan oleh para investor (Nurhidayat, 2012).
Kedua faktor di atas yaitu BPM dan PDBM akan dijadikan sebagai
variabel independen pada penelitian ini untuk melihat pengaruh
keduanya terhadap FDI negara-negara Asia, Eropa dan Amerika di
Indonesia dengan tax treaty sebagai variabel moderasi.Ada beberapa
penelitian empiris yang telah dilakukan sebelumnya mengenai
pengaruh tax treaty terhadap FDI. Penelitian empiris yang dilakukan
Ohno (2010) dengan judul Empirical Analysis of International Tax
Treaties and Foreign Direct Investment menunjukkan hasil bahwa tax
treaty berpengaruh positif terhadap penanaman modal asing atau FDI
ketika nilai investasi dalam jangka panjang. Akan tetapi, terdapat
penelitian lain yang menyatakan hal sebaliknya, tax treaty tidak
berpengaruh terhadap foreign direct investment negara-negara Asia
di Indonesia (Prasetya, 2013).Berdasarkan data yang diperoleh dari
situs resmi BKPM (Badan Koordinasi dan Penanaman Modal), apabila
dilihat dari jumlah aliran investasi asing yang masuk ke Indonesia
antara tahun 2010 hingga 2013, dapat diketahui bahwa benua Asia,
Amerika dan Eropa merupakan tiga benua tertinggi yang menanamkan
modalnya di Indonesia, baru disusul benua Afrika dan Australia
(www.bkpm.go.id., diakses 25 April 2014). Penelitian ini akan
menggunakan rentang waktu tahun 2010 sampai dengan 2013. Adapun
alasan pemilihan tahunnya antara tahun 2010 hingga tahun 2013
karena berdasarkan sumber yang diperoleh dari BKPM bahwa mulai
tahun 2010, British Virgin Islands dikeluarkan dari negara Inggris
dan masuk ke benua Amerika. Dari sebab itulah pemilihan rentang
waktu antara 2010 hingga 2013 kiranya tepat untuk menghindari bias
data antara benua Eropa dan benua Amerika.Dari uraian di atas
mengenai pengaruh biaya perdagangan mitra (BPM) dan produk domestik
bruto mitra (PDBM) dan terhadap aliran masuk FDI serta adanya tax
treaty dalam perpajakan internasional, juga berdasarkan saran
peneliti sebelumnya untuk menambah obyek penelitian yaitu benua
Asia, Eropa dan Amerika maka penulis mengambil judul penelitian
yaitu: Pengaruh Biaya Perdagangan Mitra (BPM) dan Produk Domestik
Bruto Mitra (PDBM) Terhadap Foreign Direct Investment Negara-Negara
Asia, Eropa dan Amerika di Indonesia dengan Tax Treaty Sebagai
Variabel Moderasi. Penelitian dilakukan dengan pengujian secara
empiris yang menentukan foreign direct investment (FDI) sebagai
variabel dependen, biaya perdagangan mitra serta produk domestik
bruto mitra sebagai variabel independen dan tax treaty sebagai
variabel moderasi.Berdasarkan uraian yang dipaparkan dalam latar
belakang masalah, maka rumusan masalah yang akan penulis angkat
pada penelitian ini adalah sebagai berikut:1. Apakah biaya
perdagangan mitra (BPM) berpengaruh terhadap foreign direct
investment(FDI) negara-negara benua Asia, Eropa dan Amerika di
Indonesia?2. Apakah terdapat pengaruh antara biaya perdagangan
mitra (BPM) dan foreign direct investment (FDI) negara-negara benua
Asia, Eropa dan Amerika di Indonesia yang dimoderasi oleh tax
treaty?3. Apakah produk domestik bruto mitra (PDBM) berpengaruh
terhadap foreign direct investment (FDI) negara-negara benua Asia,
Eropa dan Amerika di Indonesia?4. Apakah terdapat pengaruh antara
produk domestik bruto mitra (PDBM) dan foreign direct investment
(FDI) negara-negara benua Asia, Eropa dan Amerika di Indonesia yang
dimoderasi oleh tax treaty?Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengkaji dan memperoleh bukti empiris mengenai pengaruh BPM dan
PDBM terhadap FDI negara-negara Asia, Eropa dan Amerika di
Indonesia dengan tax treaty sebagai variabel moderasi.
II. Landasan Teori dan Pembentukan Hipotesis2.1. Tax Treaty atau
Persetujuan Penghindaran Pajak BergandaSetiap negara di dunia
memiliki kedaulatan penuh dalam mengenakan pajak menurut
undang-undang domestik di negaranya. Dalam suatu transaksi
internasional, tepatnya pada saat masing-masing negara
mempertahankan aturan domestik negaranya, maka tidak dapat
dihindari adanya kemungkinan pengenaan pajak berganda. Berawal dari
fakta inilah maka diperlukan tax treaty atau Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda (P3B). Persetujuan penghindaran pajak
berganda adalah perjanjian pajak antara dua negara secara
bilateral. Persetujuan penghindaran pajak berganda ini mengatur
mengenai pembagian hak pemajakan yang diterima atau diperoleh
penduduk dari salah satu negara atau kedua negara pada pihak
persetujuan (Kurniawan, 2012).Tujuan diadakannya P3B adalah untuk
menghindari adanya pemajakan berganda. Dari sebab itulah tidak
terjadi pemajakan berganda atas penghasilan sama yang diterima atau
diperoleh subyek yang sama. P3B membatasi hak pemajakan suatu
negara untuk mengenakan pajak atas suatu penghasilan tersebut.
Ketika masing-masing ketentuan domestik suatu negara sama-sama
mengenakan pajak atas penghasilan yang sama maka berdasarkan P3B,
hak masing-masing negara untuk mengenakan pajak atas suatu
penghasilan tersebut dapat dihilangkan. Dengan kata lain ketika
suatu negara mengadakan P3B maka negara tersebut setuju untuk
dibatasi haknya dalam mengenakan pajak berdasarkan pembatasan yang
diatur dalam P3B (Kurniawan, 2012).Tax treaty bukanlah peraturan
baru tentang pemungutan pajak, melainkan hanya pengaturan untuk
mencegah timbulnya pajak berganda dengan cara membatasi hak
pemajakan dari negara sumber atas penghasilan yang diperoleh di
wilayah yurisdiksinya. Tujuannya agar dapat mencegah timbulnya efek
negatif berupa distorsi dalam perdagangan internasional, di samping
tujuan lain yaitu (Rifan, 2013):1. Mencegah timbulnya penghindaran
pajak (tax avoidance)2. Memberikan kepastian hukum3. Pertukaran
informasi4. Penyelesaian sengketa didalam penerepan tax treaty
dalam bentuk mutual agreement procedures5. Non-diskriminasi
6. Bantuan dalam penagihan pajak.Tax treaty sudah distandarisasi
berdasarkan model yang telah ditetapkan dan merupakan acuan oleh
negara-negara dalam melakukan perundingan berkenaan dengan P3B.
Model tax treaty terdiri dari (Rifan, 2013):1. Model OECD
(Organization for Economic Cooperation and Development) yang
menetapkan hak pemajakan diberikan lebih luas kepada negara
domisili, dengan menggunakan kriteria tempat kedudukan (a fixed
place of business) guna menentukan keberadaan Bentuk Usaha Tetap
(BUT/Permanent Establishment) melakukan kegiatan pemberian jasa
selain jasa konstruksi. Dalam hal ini negara sumber melepaskan hak
pemajakannya atas penghasilannya yang berasal dari wilayahnya
sehubungan dengan kegiatan pemberian jasa di negara yang
bersangkutan. Seperti diketahui negara-negara maju tersebut
merupakan negara-negara pengekspor modal maupun jasa.2. Model UN
(United Nation), yang menetapkan hak pemajakan diberikan lebih luas
kepada negara sumber atas penghasilan yang bersumber di wilayahnya,
dengan menambah satu kriteria lagi yaitu tes waktu (time test) guna
menentukan keberadaan BUT sehubungan dengan kegiatan pemberian jasa
di negara yang bersangkutan. Negara-negara berkembang pada umumnya
adalah negara pengimpor modal dan jasa, sehingga negara-negara
tersebut menjadi tempat sumber penghasilan. Bagi negara berkembang
seperti Indonesia lebih cenderung menggunakan model United Nation
(UN model-1980) yang dimodifikasi dengan ketentuan pajak
penghasilan di Indonesia.Peranan tax treaty dalam mendorong
investasi asing langsung masuk ke Indonesia terlihat dalam kajian
BUT Perwakilan Dagang Asing sesuai dengan KMK No. 634/KMK.04/1994
jo. KEP 667/PJ./ 2001 jo. SE2/PJ.03/2008 yang memberikan poin-poin
penting yaitu (Prasetya, 2013):1. Penghasilan netto sebesar 1% dari
nilai ekspor bruto2. Pajak penghasilan yang harus dilunasi sebesar
0,44% dari nilai ekspor bruto (negara yang belum memiliki tax
treaty)3. Pajak penghasilan yang harus dilunasi disesuaikan tarif
tax treaty (negara mitra tax treatyatau P3B dengan Indonesia)4.
Bersifat final.Jepang dan Singapura yang sudah memiliki tax treaty
dengan Indonesia ketika memiliki BUT Perwakilan Dagang Asing di
Indonesia akan membayar pajak penghasilannya sesuai dengan tarif
BPT dalam tax treaty tersebut. Jepang memiliki tarif BPT 10%, dan
Singapura memiliki tarif BPT 15% maka perhitungannya dapat dilihat
pada tabel 2.1:Tabel 2.1Perhitungan Tarif Pajak Penghasilan BUT
Jepang di IndonesiaPPh atas penghasilan kena pajak terutang30% 1%
=0,3%
Penghasilan kena pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu BUT
(branch profit tax/BPT) (tarif 10%)10% (1- 0,3%) =0,07%
Total0,37%
Sumber: Rifan (2013)
Tabel 2.2Perhitungan Tarif Pajak Penghasilan BUT Singapura di
IndonesiaPPh atas penghasilan kena pajak terutang30% 1% =0,3%
Penghasilan kena pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu BUT
(branch profit tax/BPT) (tarif 15%)15% (1- 0,3%) =0,105%
Total0,405%
Sumber: Rifan (2013)Berdasarkan tabel 2.2 dapat dijelaskan bahwa
negara yang telah memiliki tax treaty dengan Indonesia akan
dikenakan tarif yang lebih rendah daripada negara yang belum
memiliki tax treaty dengan Indonesia. Dapat dibandingkan dengan
persentase bahwa 0,37% dan 0,405% masih lebih kecil daripada 0,44%
dimana itu adalah tarif pelunasan pajak penghasilan negara yang
belum memiliki tax treaty dengan Indonesia. Tarif yang lebih rendah
ini yang dapat mendorong investasi asing langsung ke Indonesia,
karena investor akan membayar pajak lebih rendah dibandingkan
negara lain yang belum memiliki tax treaty dengan Indonesia.Dalam
hal penghindaran pajak berganda pada BUT sesuai dengan PMK
No.14/PMK.03/2011 Pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa penghasilan
kena pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu BUT di Indonesia
(Branch Profit Tax) dikenakan PPh pasal 26 sebesar 20%. Kemudian
pasal 1 ayat (2) dalam hal penghasilan dari usaha yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final, dasar pengenaan Pajak Penghasilan
adalah Penghasilan Kena Pajak yang dihitung berdasarkan pembukuan
yang sudah dilakukan koreksi fiskal, dikurangi dengan jumlah Pajak
Penghasilan yang bersifat final (Prasetya, 2013).2.2. Biaya
Perdagangan Mitra (BPM)Nilai biaya perdagangan mitra (BPM) dapat
diketahui melalui tingkat openness perekonomian suatu negara.
Apabila suatu negara memiliki tingkat openness yang semakin tinggi,
maka hal itu berarti akan semakin kecil biaya perdagangannya.
Begitu pula sebaliknya, apabila suatu negara memiliki tingkat
opennessnya yang semakin rendah maka akan dibutuhkan biaya
perdagangan yang semakin besar pula.Ada dua tahap pengolahan data
untuk dapat memperoleh nilai BPM. Tahap pertama adalah dengan cara
menentukan tingkat openness perekonomian suatu negara. Tingkat
openness diperoleh dengan membagi hasil penjumlahan ekspor dan
impor dengan tingkat PDBM negara yang bersangkutan pada tahun yang
sama dan mengalikannya dengan 100. Tahap kedua, menggunakan data
tingkat openness sebagai data pengurang. Sebagaimana dijelaskan di
atas bahwa semakin tinggi tingkat openness suatu negara, maka
semakin kecil ongkos perdagangannya. Dengan kata lain semakin kecil
ongkos perdagangan akan menghasilkan nilai tingkat openness yang
mendekati angka 100. Oleh karena itu BPM diperoleh melalui selisih
antara angka 100 dengan tingkat openness-nya. Dampak BPM terhadap
FDI dapat berpengaruh positif maupun negatif. Hal tersebut
berkaitan dengan jenis barang atau jasa yang diimpor atau diekspor
(Ohno, 2010 dalam Prasetya, 2013).2.3. Produk Domestik Bruto Mitra
(PDBM)Produk domestik bruto mitra (PDBM) adalah nilai pasar dari
semua barang dan jasa akhir (final) yang diproduksi dalam sebuah
negeri pada suatu periode (Mankiw, 2006). Sedangkan definisi lain
mengenai PDBM adalah nilai (dalam uang) barang dan jasa akhir yang
dihasilkan oleh satu negara (perekonomian) selama satu periode
tertentu (Nopirin, 1994). Berdasarkan definisi tersebut terdapat
empat empat point utama. Pertama, perlakuan
produk yang dihasilkan oleh pemerintah. Biasanya produk tersebut
tidak dipasarkan, maka penilaiannya didasarkan pada harga input
yang digunakan untuk menghasilkannya. Kedua, produk yang dihasilkan
pada periode tersebut, tetapi tidak dipasarkan melainkan disimpan
untuk persediaan, tetap dihitung dalam PDBM periode tersebut.
Ketiga, barang-barang tertentu seperti mesin, kadangkala tidak
dijual ke konsumen akhir, tetapi dijual ke produsen lain untuk
menghasilkan produk lain maka barang seperti itu tidak
diklasifikasikan sebagai barang akhir. Keempat, produk yang
dimasukkan dalam PDBM tahun tertentu adalah produk yang dihasilkan
pada tahun tersebut (Nopirin, 1994).Semakin besar ukuran ekonomi
suatu negara semakin besar pula peningkatan investasinya. Oleh
karena itu peningkatan PDBM akan berpengaruh positif pada FDI yang
bersifat inbound FDI (Ohno, 2010).PDBM dapat dihitung dengan
menggunakan tiga pendekatan, yaitu pendekatan pengeluaran,
pendekatan pendapatan dan pendapatan produksi atau nilai tambah.
Rumus yang digunakan untuk menentukan PDBM dengan pendekatan
pengeluaran adalah:
PDB = konsumsi + investasi + pengeluaran pemerintah + (ekspor
impor)Investasi adalah pengeluaran investasi oleh swasta untuk
membeli barang-barang yang dihasilkan pada tahun tertentu, tidak
termasuk pertukaran barang-barang yang telah ada. Sementara
pendekatan kedua berdasarkan pendekatan pendapatan menghitung
pendapatan yang diterima faktor produksi:
PDB = sewa + upah + bunga + labaSewa adalah pendapatan pemilik
faktor produksi tetap seperti tanah, upah untuk tenaga kerja, bunga
untuk pemilik modal, dan laba untuk pengusaha. Sementara metode
ketiga untuk menentukan PDBM adalah dengan pendekatan produksi.
Dalam metode ini PDBM dihitung dengan cara menjumlahkan nilai
tambah dari setiap kegiatan produksi. Nilai tambah kegiatan
produksi adalah pendapatan penjualan dikurangi dengan pembayaran
barang antara (barang yang dibeli dari perusahaan lain). Secara
teori, penghitungan PDBM dengan menggunakan pendekatan pengeluaran,
pendekatan pendapatan dan pendekatan produksi harus menghasilkan
angka yang sama (Nopirin, 1994).2.4. Foreign Direct Investment
(FDI) atau Investasi Asing LangsungPenanaman modal asing secara
langsung atau FDI (Foreign Direct Investment) dapat terjadi ketika
suatu perusahaan atau negara menanamkan investasi atau modalnya
dalam jangka waktu tertentu di negara. Negara asal perusahaan yang
menanam modal disebut host country sementara negara tempat
investasi itu disebut home country. Perusahaan penanaman modal
asing (PMA) memiliki kewajiban yang sama seperti Wajib Pajak dalam
negeri lainnya. Meskipun memiliki kewajiban perpajakan yang sama,
akan tetapi terdapat kemungkinan muncul dua pihak otoritas pajak
yang mengenakan pajak terkait obyek pajak yang sama yaitu negara
asal perusahaan penanam modal dan negara yang menjadi tujuan
penanaman modal yang menjadi tempat munculnya penghasilan bagi
pemiliki modal. Dari sebab itulah agar tercipta iklim investasi
yang kondusif dan adil bagi investor, maka perlu dilakukan tax
treaty atau persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B) secara
bilateral (Nurhidayat, 2012).Dalam pasal 1 ayat (3) UU No.25 Tahun
2007, penanaman modal asing didefinisikan sebagai kegiatan menanam
modal untuk melakukan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia
yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan
modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal
dalam negeri. Penanam modal asing adalah perseorangan warga negara
asing, badan usaha asing, dan/atau pemerintah asing yang melakukan
penanaman modal di wilayah Negara Republik Indonesia.
Penanaman modal asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas
berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di wilayah Negara
Republik Indonesia kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Hal
ini dapat dilakukan dengan mengambil bagian saham pada saat
pendirian perseroan terbatas, membeli saham, dan melakukan cara
lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
(Prasetya, 2013).FDI atau investasi asing langsung juga memiliki
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi besaran atau jumlah investasi
yang diserap suatu negara diantaranya adalah:1. Pertumbuhan ekonomi
ditandai dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi di suatu negara
dapat meningkatkan minat investor di dalam menanamkan FDI.
Peningkatan PDBM menunjukkan adanya peningkatan ukuran pasar
sehingga negara-negara yang mengalami peningkatan di dalam GDP
dapat menjadi wilayah yang menjadi basis di dalam melakukan
penjualan2. Resiko politik berhubungan dengan potensi masuknya FDI
di dalam beberapa negara, resiko politik ini berhubungan dengan
potensi ketidakpastian sehingga potensi ketidakpastian ini dapat
mengurangi turunnya FDI di suatu negara.3. Variabel makro ekonomi
lainnya seperti stabilitas makro ekonomi, tahapan-tahapan penanaman
investasi, kesehatan dan pendidikan juga merupakan faktor yang
menentukan masuknya FDI (Kurniati dkk, 2007).4. Kebijakan peraturan
perundang-undangan juga mendorong atau membatasi investasi,
misalnya melalui undang-undang pajak dan pabean atau paket-paket
kebijakan tentang undang-undang investasi yang mempermudah
pelaksanaan investasi (Mankiw, 2004). Salah satu kebijakan yang
dilakukan pemerintah adalah kebijakan bilateral dengan membuat tax
treaty atau P3B, yang dimaksudkan supaya investor asing tetap
menanamkan modalnya dan membayar pajaknya sesuai ketentuan tax
treaty yang berlaku (Prasetya, 2013).Pada dasarnya tax treaty
dimaksudkan untuk mengatur pembagian hak pemajakan dari
masing-masing negara yang terikat dengan persetujuan. Sebagai
contoh pembagian hak pemajakan dari penjualan atau pengalihan harta
yang dimiliki BUT diatur sebagai berikut:1. Penghasilan dari
keuntungan penjualan atau pengalihan harta tak gerak, hak pemajakan
penuh ada pada negara dimana harta tak gerak tersebut berada.2.
Penghasilan dari keuntungan penjualan atau pengalihan harta gerak,
hak pemajakan penuh ada pada negara domisili.3. Penghasilan dari
keuntungan penjualan atau pengalihan harta tak gerak maupun harta
gerak yang dilakukan oleh BUT, hak pemajakan penuh ada pada negara
dimana BUT tersebut berada. Pembagian hak pemajakan ini berguna
bagi investor asing ketika menanamkan modalnya pada BUT di
Indonesia karena akan merasa aman dari pengenaan pajak berganda
sebagaimana telah diatur dalam tax treaty masing-masing negara
(Rifan, 2013).2.5. Pengembangan Hipotesis1. Pengaruh tax treaty
terhadap hubungan antara BPM dan FDIBerdasarkan kajian teori yang
ada, faktor-faktor yang pada umumnya mempengaruhi besaran FDI yang
ditanamkan oleh investor asing di Indonesia, diantaranya adalah
tingkat BPM (Nurhidayat, 2012). BPM yang berasal dari nilai ekspor
dan impor negara mitra juga turut serta mempengaruhi besaran FDI.
Ketika melihat besaran nilai ekspor dan impor maka dapat dideteksi
adanya biaya berdagangan yang pasti dikeluarkan. BPM itu sendiri
yang kemudian menjadi pertimbangan para investor dan dapat
mempengaruhi besaran FDI yang ditanamkan oleh para investor
(Nurhidayat, 2012). Tax treaty memainkan peran penting karena dapat
mengatur bagian pemajakan yang harus dibayar oleh negara investor
sesuai dengan peraturan yang telah disetujui bersama. Apabila
antara Indonesia dengan negara mitra telah mengadakan tax treaty,
maka tarif yang digunakan adalah tarif berdasarkan tax treaty.
Sebaliknya, apabila belum ada tax treaty, maka digunakan tarif
berdasarkan ketentuan pajak domestik (Tatang, 2012).Berdasarkan
hasil penelitian sebelumnya untuk kasus di Jepang ditemukan bahwa
besaran BPM berpengaruh terhadap aliran masuk FDI (Ohno, 2010). Tax
treaty memiliki pengaruh terhadap hubungan antara BPM dan FDI
(Ohno, 2010). Berdasarkan uraian tersebut maka dapat ditarik
hipotesis:Ha1a= BPM berpengaruh terhadap FDI negara-negara Asia,
Eropa dan Amerika di Indonesia. Ha1b= Terdapat pengaruh antara BPM
dan FDI negara-negara Asia, Eropa dan Amerika diIndonesia yang
dimoderasi oleh tax treaty.2. Pengaruh tax treaty terhadap hubungan
antara PDBM dan FDIAdanya tax treaty bertujuan untuk menghindari
pembayaran pajak berganda, pertukaran informasi guna mencegah
pengelakan pajak dan kedudukan yang setara dalam hal pemajakan
antar kedua negara (Rifan, 2013). Hal-hal ini dapat mempengaruhi
masuknya jumlah FDI di Indonesia karena investor akan memperoleh
keadilan dalam hal perpajakan karena tidak dikenai pajak ganda
sebagaimana diatur dalam isi tax treaty. Peningkatan PDBM di suatu
negara menunjukkan terjadinya peningkatan ukuran pasar sehingga
negara- negara yang mengalami keadaan demikian sangat berpotensial
menjadi area investasi. Dari sebab itulah PDBM merupakan tolok ukur
untuk melihat besaran FDI yang ditanamkan di suatu negara
(Prasetya, 2013).Penelitian sebelumnya yang dilakukan di Indonesia
menemukan bahwa PDBM berpengaruh terhadap aliran masuk FDI
(Nurhidayat, 2012). Penelitian yang lain menunjukkan bahwa tax
treaty memiliki pengaruh terhadap hubungan antara PDBM dan FDI
(Nurhidayat, 2012). Berdasarkan uraian tersebut maka dapat ditarik
hipotesis sebagai berikut: Ha2a= PDBM berpengaruh terhadap FDI
negara-negara Asia, Eropa dan Amerika diIndonesia.Ha2b= Terdapat
pengaruh antara PDBM dan FDI negara-negara Asia, Eropa dan Amerika
di Indonesia yang dimoderasi oleh tax treaty.
III. Metodologi PenelitianJenis penelitian ini merupakan
penelitian empiris untuk mengetahui pengaruh BPM dan PDBM terhadap
FDI negara-negara Asia, Eropa dan Amerika di Indonesia dengan tax
treaty sebagai variabel moderasi periode tahun 2010 hingga tahun
2013.Obyek merupakan suatu entitas yang akan diteliti (Hartono,
2012). Obyek penelitian ini adalah negara-negara di dunia yang
melakukan aktivitas investasi langsung di Indonesia. Populasi
adalah keseluruhan unit atau individu dalam ruang lingkup (obyek)
yang akan diteliti dan dapat meliputi segala hal termasuk
benda-benda alam, dan bukan sekedar jumlah yang ada pada obyek
(Hartono, 2012). Populasi penelitian ini meliputi negara-negara di
benua Asia, Eropa dan Amerika yang memiliki FDI di
Indonesia.Penentuan sampel penelitian yang digunakan dipilih dengan
menggunakan purposive sampling, yaitu pengambilan sampel dari
populasi berdasarkan kriteria tertentu (Hartono, 2012). Kriteria
sampel penelitian ini adalah sebagai berikut:1. Negara-negara di
Asia, Eropa dan Amerika yang memiliki FDI langsung aktif di
Indonesia periode tahun 2010 hingga 2013.2. Data PDBM negara-negara
di Asia, Eropa dan Amerika yang memiliki FDI langsung aktif di
Indonesia periode tahun 2010 hingga 2013.3. Data ekspor dan impor
negara-negara di Asia, Eropa dan Amerika yang memiliki FDI langsung
aktif di Indonesia periode tahun 2010 hingga 2013.Variabel dependen
dalam penelitian ini adalah FDI. Berdasarkan penelitian Ohno
(2010), penghitungan untuk variabel FDI menggunakan rumus sebagai
berikut:
Ukuran FDI=
Variabel independen dalam penelitian ini adalah BPM dan PDBM.
Berdasarkan penelitian Nurhidayat (2012) Prasetya (2013),
penghitungan untuk variabel BPM dan PDBM menggunakan rumus sebagai
berikut:Ukuran BPM=Tahap I TOx Tahap IIBPMx = 100 TOxUkuran
PDBM=
Variabel moderasi dalam penelitian ini adalah tax treaty.
Penghitungan untuk variabel tax treaty menggunakan skala rasio
yaitu dengan melihat jumlah tax treaty yang dimiliki antara negara
mitra dengan Indonesia.IV. Analisis Data dan Pembahasan4.1.
Analisis Nilai Investasi AsingPenelitian ini mencakup data
negara-negara di benua Asia, Eropa dan Amerika yang memiliki FDI di
Indonesia antara tahun 2010 sampai dengan 2013. Terdapat 65 negara
dari benua Asia, Eropa dan Amerika yang menjadi obyek penelitian
ini. Tabel 4.1 merupakan data sepuluh besar negara-negara di Asia,
Eropa dan Amerika antara tahun 2010 hingga 2013 yang memiliki FDI
terbesar di Indonesia:Tabel 4.1FDI negara-negara Benua Asia, Eropa
dan Amerika di Indonesia(dalam satuan
US$)Negara2010201120122013
Singapura5.565.017,25.123.044,94.856.351,14.670.799,0
Jepang712.599,01.516.063,12.456.940,94.712.892,7
Korea Selatan328.506,71.218.726,41.949.704,12.205.479,1
USA930.883,01.487.787,317.937,62.435.750,3
Belanda608.266,21.354.448,3966.541,1927.811,9
British Virgin1.615.906,4517.148,7328.366,2785.707,4
Inggris276.246,3418.978,2934.360,41.075.799,6
Malaysia472.094,5618.328,4529.583,2711.263,5
Hongkong566.102,6135.013,9309.607,1376.242,1
Taiwan47.479,7243.174,7646.948,4402.639,8
Sumber: www.bkpm.go.id. (diakses 25 April 2014)Berdasarkan data
di tabel 4.1 dapat diketahui bahwa arus FDI yang masuk ke Indonesia
dari masing-masing negara tidak konsisten naik dan juga tidak
konsisten turun. Kendati demikian ada juga negara yang konsisten
nilai FDI nya naik setiap tahunnya dari tahun 2010 hingga 2013
yaitu Inggris, Jepang dan Korea Selatan. Ketidakkonsistenan arus
FDI yang masuk ke Indonesia ini dapat disebabkan berbagai macam
faktor, antara lain tingkat suku bunga dan keuntungan, teknologi,
ramalan keadaan ekonomi masa depan, stabilitas politik, dan
keamanan nasional.
Peristiwa ekonomi yang terjadi di Amerika Serikat tahun 2008,
yaitu pemberian kredit perumahan macet di Amerika Serikat atau
biasa disebut dengan Subprime Mortgage, juga berpengaruh terhadap
aliran FDI ke Indonesia. Krisis ekonomi yang terjadi di Amerika
Serikat ini juga berpengaruh terhadap kesehatan perekonomian dunia.
Dengan kondisi perekonomian global yang tidak stabil maka para
investor juga cenderung untuk menunggu hingga kondisi stabil.Krisis
ekonomi yang melanda Eropa tahun 2012 juga berpotensi mempengaruhi
aliran FDI yang masuk ke Indonesia. Krisis perekonomian yang
terjadi di Yunani telah menjalar ke negara-negara lain Uni Eropa,
antara lain Spanyol, Italia, dan Portugal. Akibatnya, Uni Eropa
secara keseluruhan mengalami krisis ekonomi. Tidak berhenti sampai
di situ, krisis tersebut mulai menjalar ke ekonomi global,
menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia. Akibatnya para
investor juga cenderung berperilaku wait and see, atau menunggu
untuk menanti waktu yang tepat untuk menanamkan modalnya.4.2.
Pengaruh Tax Treaty Dalam Hubungan Antara BPM dan FDIAdapun
pengaruh BPM dan FDI yang dimoderasi oleh tax treaty dapat dilihat
pada tabel 4.2:Tabel 4.2Tax treaty Memoderasi BPM dan FDI
ModelUnstandardized CoefficientsStandardizdCoefficients
t
Sig.
BStd. ErrorBet
(Constant)Tax_treaty
BPMTax.293.161.001.237.062.004.213.0141.2332.593.126.219.010.900
treaty*BPM-.001.001-.132-1.147.253
Berdasarkan tabel 4.2 dapat diketahui bahwa hasil penelitian ini
nilai signifikansi sebesar 0,900 menunjukkan bahwa BPM tidak dapat
mempengaruhi besaran FDI di Indonesia. Besaran BPM dapat diketahui
melalui tingkat openness perekonomian suatu negara. Tingkat
openness perekonomian suatu negara diperoleh dengan membagi hasil
penjumlahan ekspor dan impor dengan tingkat PDBM negara tersebut
pada tahun yang sama dan mengalikan dengan 100. Apabila suatu
negara memiliki tingkat openness yang semakin tinggi, maka hal itu
berarti akan semakin kecil biaya perdagangan di negara tersebut.
Begitu pula sebaliknya, apabila suatu negara memiliki tingkat
openness yang semakin rendah maka akan dibutuhkan biaya perdagangan
yang semakin besar.Hasil penelitian menemukan bahwa biaya
perdagangan tidak berpengaruh terhadap FDI ke Indonesia. Ini
menunjukkan bahwa negara mitra belum menganggap Indonesia sebagai
negara tujuan utama untuk berinvestasi. Dengan demikian hipotesa
Ha1a ditolak.Berdasarkan tabel 4.2 dapat diketahui bahwa nilai
signifikansi antara tax treaty interaksi BPM adalah sebesar 0,253.
Karena nilai tersebut lebih dari 0,05 maka maka tax treaty tidak
dapat memoderasi antara hubungan BPM dan FDI. Nilai BPM dapat
diketahui melalui tingkat openness perekonomian suatu negara.
Tingkat openness perekonomian suatu negara diperoleh dengan membagi
hasil penjumlahan ekspor dan impor dengan tingkat PDBM negara
tersebut pada tahun yang sama dan mengalikan dengan 100.Hasil
penelitian menunjukkan bahwa tax treaty tidak dapat memoderasi
antara hubungan BPM dan FDI. Hal ini dimungkinkan karena negara
mitra belum melihat Indonesia sebagai negara tujuan mitra sebagai
sasaran berinvestasi. Ketika menanamkan modalnya, para investor
lebih memperhatikan iklim investasinya daripada aspek perpajakan
dalam hal ini tax treaty. Iklim investasi yang dimaksud antara lain
suku bunga, tingkat keuntungan yang diramalkan akan diperoleh,
ramalan keadaan ekonomi masa depan dan teknologi. Dengan demikian
hipotesa Ha1b ditolak.
Ditinjau dari unsur perpajakan, berdasarkan hasil penelitian ini
maka hendaknya diadakan renegosiasi tax treaty terkait dengan
definisi bentuk usaha tetap (BUT). Definisi BUT antara Indonesia
dan negara lain bisa dimungkinkan berbeda. Dari sebab itulah dengan
adanya renegosiasi mengenai definisi BUT diharapkan dapat
meningkatkan minat investor asing berinvestasi di Indonesia. Selain
itu pemerintah Indonesia dapat melakukan penurunan tarif tax treaty
bagi negara yang menjadi mitra tax treaty yang memiliki tingkat
ekspor dan impor yang tinggi namun belum banyak memiliki FDI di
Indonesia. Adapun negara-negara yang dimaksud antara lain
Singapura, China, Kanada dan Perancis.4.3. Pengaruh Tax Treaty
Dalam Hubungan Antara PDBM dan FDIAdapun pengaruh PDBM dan FDI yang
dimoderasi oleh tax treaty dapat dilihat pada tabel 4.3:Tabel
4.3Tax treaty Memoderasi PDBM dan FDI
ModelUnstandardized CoefficientsStandardizdCoefficients
t
Sig.
BStd. ErrorBet
(Constant).080.152.112.523.602
Tax_treaty.085.0451.883.061
PDB.345.061.7355.656.000
Tax treaty*PDB-.032.014-.297-2.214.028
Berdasarkan tabel 4.3 dapat diketahui bahwa hasil penelitian ini
menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0,000 artinya PDBM secara
berpengaruh terhadap besaran FDI di Indonesia. PDBM adalah nilai
pasar semua barang dan jasa akhir (final) yang diproduksi dalam
sebuah negara pada suatu periode (Mankiw, 2006). Semakin besar
ukuran ekonomi suatu negara semakin besar pula peningkatan
investasinya. Oleh karena itu, peningkatan PDBM akan berpengaruh
positif pada FDI yang bersifat inbound FDI (Ohno, 2010). Teori
tersebut sesuai dengan hasil penelitian ini bahwa PDBM dan FDI
memiliki korelasi positif. Dengan demikian hipotesa Ha2a
diterima.Berdasarkan tabel 4.3 dapat diketahui bahwa nilai
signifikansi antara tax treaty interaksi PDBM adalah sebesar 0,028.
Karena nilai tersebut kurang dari 0,05 maka tax treaty dapat
memoderasi namun dilihat dari yang negatif berarti tax treaty
memperlemah antara hubungan PDBM dan FDI. Dengan demikian hipotesa
Ha2b diterima.Tarif tax treaty dapat menjadi penyebab variabel tax
treaty dapat memoderasi namun memperlemah antara hubungan antara
PDBM dan FDI. Tarif tax treaty yang dimiliki oleh Indonesia dengan
negara mitra yang memiliki PDB yang tinggi dan rendah adalah
sama.Ditinjau dari unsur perpajakan, hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa keberadaan tax treaty justru dapat menjadi faktor
yang memperlemah PDBM untuk meningkatkan FDI. Otoritas perpajakan
Indonesia dapat menyikapi hal tersebut dengan cara melakukan
renegosiasi tax treaty dengan negara yang memiliki tingkat PDB yang
tinggi namun tarif tax treaty nya masih sama dengan negara
berkembang. Adapun negara-negara yang dimaksud antara lain Jerman,
Perancis dan Kanada. dan China. Keempat negara tersebut tidak
memiliki FDI yang tinggi di Indonesia karena tarif tax treaty nya
relatif sama dengan negara mitra lain yaitu berkisar antara 10%
hingga 15%. Indonesia sebaiknya berfokus pada penurunan tarif pajak
terhadap penghasilan atas modal (dividen, branch profit, capital
gain). Penurunan tarif ini dinilai akan berdampak positif yaitu
aliran FDI yang meningkat di Indonesia. Dengan demikian diharapkan
tax treaty menjadi faktor yang dapat mempengaruhi aliran FDI dengan
PDBM sebagai variabel independen.Adanya aliran FDI yang semakin
besar ke Indonesia akan meningkatkan penerimaan dari sektor
perpajakan. Peningkatan penerimaan negara ini dapat memicu kenaikan
PDB bagi Indonesia. Selain itu, aliran masuk FDI yang berupa BUT di
Indonesia dapat menyerap
banyak tenaga kerja. Dari sebab itulah aliran masuk FDI dapat
member banyak dampak positif bagi perekonomian Indonesia.
V. Kesimpulan, Keterbatasan dan Saran5.1. KesimpulanDari
pembahasan yang telah dilakukan pada bab-bab sebelumnya, peneliti
dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:1. BPM tidak dapat
mempengaruhi besaran FDI di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa
negara mitra belum menganggap Indonesia sebagai negara tujuan utama
untuk berinvestasi.2. Tax treaty tidak dapat memoderasi antara
hubungan BPM dan FDI. Hal ini dimungkinkan karena negara mitra
belum melihat Indonesia sebagai negara tujuan mitra sebagai sasaran
berinvestasi. Ketika menanamkan modalnya, para investor lebih
memperhatikan iklim investasinya daripada aspek perpajakan dalam
hal ini tax treaty. Ditinjau dari unsur perpajakan, berdasarkan
hasil penelitian ini maka hendaknya diadakan renegosiasi tax treaty
terkait dengan definisi bentuk usaha tetap (BUT) dan penurunan
tarif tax treaty.3. PDBM secara parsial berpengaruh terhadap
besaran FDI di Indonesia. Semakin besar ukuran ekonomi suatu negara
semakin besar pula peningkatan investasinya. Oleh karena itu,
peningkatan PDBM akan berpengaruh positif pada FDI yang bersifat
inbound FDI (Ohno, 2010).4. Tax treaty dapat memoderasi namun
dilihat dari yang negatif berarti tax treaty memperlemah antara
hubungan PDBM dan FDI. Tarif tax treaty dapat menjadi penyebab
variabel tax treaty dapat memoderasi namun memperlemah hubungan
antara PDBM dan FDI. Ditinjau dari unsur perpajakan, otoritas
perpajakan Indonesia dapat menyikapi hal tersebut dengan cara
melakukan renegosiasi tarif tax treaty.5.2. Keterbatasan
PenelitianBeberapa keterbatasan penelitian dalam penelitian ini
adalah:1. Peneliti hanya menggunakan dua variabel independen yaitu
BPM dan PDBM. Hasil penelitian dapat dimungkinkan berbeda apabila
penelitian menambahkan variabel independen yang lain, misalnya
jarak antar negara mitra, tingkat keuntungan, suku bunga, ramalan
keadaan ekonomi, kemajuan teknologi dan tingkat pendapatan
nasional. Peneliti tidak dapat melakukan penelitian dengan variabel
independen yang telah disebutkan karena adanya keterbatasan data
yang dapat diakses.2. Penelitian ini menggunakan data-data FDI,
nilai ekspor dan impor serta nilai PDB dengan rentang waktu antara
tahun 2010 sampai dengan 2013. Hasil penelitian kemungkinan dapat
menjadi berbeda apabila rentang waktunya ditambah sebab dapat
terhindar dari pengaruh-pengaruh krisis keuangan yang terjadi di
Amerika Serikat tahun 2008 dan di Eropa tahun 2012.5.3. SaranSaran
peneliti untuk penelitian selanjutnya adalah menambahkan variabel
lain yang kiranya dapat mempengaruhi tingkat FDI, misalnya jarak
antar negara mitra, tingkat keuntungan, suku bunga, ramalan keadaan
ekonomi, kemajuan teknologi dan tingkat pendapatan nasional. Saran
yang lain adalah menambah rentangan waktu periode penelitian lebih
dari 4 tahun. Dengan adanya penambahan variabel penelitian dan
rentang waktu periode penelitian maka dimungkinkan terdapat hasil
penelitian yang berbeda.
REFERENSI
Davies, R.B. 2003. Tax Treaties, Renegotiations, And Foreign
Direct Investment. Economic Analysis and Policy, 33(2),
pp.251-73.
Ghozali, Imam. 2009. Aplikasi Analisis Multivariate dengan
Program SPSS, cetakan 4.Semarang: Balai Penerbit Universitas
Diponegoro.
Hartono, J. 2012. Metodologi Penelitian Bisnis: Salah Kaprah dan
Pengalaman- Pengalaman. Yogyakarta: BPFE.Ilyas, Wirawan B. dan
Richard Burton. 2004. Hukum Pajak. Salemba Empat, Jakarta.
Kurniati, dkk. 2007. Determinan FDI (Faktor-Faktor yang Menentukan
Investasi AsingLangsung). Working Paper Bank Indonesia
WP/06/2007.
Kurniawan, Anang Mury. 2012. Pajak Internasional Beserta Contoh
Aplikasinya. Bogor: Ghalia Indonesia.Mankiw, N.G. 2004. Principles
of Macroeconomics. Third Edition. Thomson South Western. Mankiw,
N.G. 2006. Principles of Economics Pengantar Ekonomi Makro.
Jakarta: PenerbitSalemba Empat.
Mardiasmo. 2008. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah.
Yogyakarta: Andi.
Mudara, I.M.Y.P. 2011. Pengaruh Produksi Domestik Bruto, Suku
Bunga, Upah Pekerja, Dan Nilai Total Ekspor Terhadap Investasi
Asing Langsung di Indonesia. Skripsi S1, Universitas Diponegoro,
Semarang.
Noor, Henry Faizal. 2009. Investasi. Jakarta: PT Indeks.
Nopirin. 1994. Pengantar Ilmu Ekonomi Makro dan Mikro.
Yogyakarta: BPFE
Nurhidayat, R. 2012. Tax Treaty Dan Foreign Direct Investment Di
Indonesia. Finance and Banking Journal, Vol.14, No.1, Juni 2012.
Kementrian Keuangan Republik Indonesia.
Ohno, T. 2010. Empirical Analysis of International Tax Treaties
and Foreign Direct Investment. Public Policy Review, Vol.6, No.2,
March 2010. Policy Research Institute. Ministry of Finance,
Japan.
Prasetya, Fransiskus Putra Danu. 2013. Pengaruh Tax Treaty
Terhadap Foreign Direct Investment Negara-Negara Asia di Indonesia.
Skripsi S1. Universitas Atma Jaya, Yogyakarta.
Priyatno, Dwi. 2008. Mandiri Belajar SPSS. Yogyakarta:
Mediakom.Rifan, Ahmad. 2013. Modul Short Course Perpajakan Brevet
C. Yogyakarta: Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Samuelson, P.A ; W.D., Nordhaus. 1992. Ekonomi. Jakarta:
Penerbit Erlangga.
Sarwedi. 2002. Investasi Asing Langsung di Indonesia dan Faktor
yang Mempengaruhinya.Jurnal Akuntansi dan Keuangan, vol.4, No.1,
Universitas Kristen Petra, Surabaya.
Suandy, Erly. 2009. Hukum Pajak. Jakarta: Penerbit Salemba
Empat.
Suharyadi ; S.K., Purwanto. 2004. Statistika Untuk Ekonomi dan
Keuangan Modern. Jakarta: Penerbit Salemba Empat.
Sukirno, Sadono. 2008. Makro Ekonomi Teori Pengantar. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.
Tatang, Hasanudin. 2009. Penguatan Posisi Indonesia Dalam
Pemajakan Terhadap Transaksi Ekonomi Global. Artikel Pusdiklat
Pajak, Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan.
Wiyono, Gendro. (2011). Merancang Penelitian Bisnis: dengan Alat
Analisis SPSS 17.0 dan SmartPLS 2.0. Yogyakarta: UPP STIM
YKPN.www.bkpm.go.id. Tentang Arsip Realisasi Penanaman Modal Asing
Langsung di Indonesia tahun 2010-2013, yang diakses pada 25 April
2014.
www.cia.gov. Tentang Arsip Factbook tahun 2010 hingga 2013, yang
diakses pada 25 April 2014.www.ortax.org. Tentang Arsip Tax Treaty
Negara Mitra Yang Bekerjasama Dengan Indonesia, yang diakses pada
25 April 2014.
www.pajak.go.id. Tentang Arsip Tax Treaty Negara Mitra Yang
Bekerjasama Dengan Indonesia, yang diakses pada 25 April 2014.
PENGARUH PAJAK DAN TUNNELING INCENTIVE PADA KEPUTUSAN TRANSFER
PRICING PERUSAHAAN MANUFAKTUR YANG LISTING DI BURSA EFEK
INDONESIA
NI WAYAN YUNIASIH NI KETUT RASMINIMADE GEDE
WIRAKUSUMAUniversitas Udayana ABSTRACTTransfer pricing phenomenon
could be happened is based on the managementmotivation in order to
tax avoidance or any opportunistic behavior, especially to do
wealth transfer among related parties. Ownership structure is also
affect management to transfer wealth to themselves or to majority
stakeholders. Equity ownership structure in Indonesia is tended to
be concentrated and it will be arised an opportunity to create an
ultimate and minority shareholders (La Porta et al., 2000). The
present of weaknesses to protect minority shareholder rights are an
incentive to majority shareholders to tunneling which is
unfavorable for minority shareholders.
The aim of this research is to test the influence of tax and
tunneling incentive on transfer pricing decision in manufacture
companies that listed at Indonesian Stock Exchange. Sample
selection was using purposive sampling with final sample 106 from
2008-2010 observation. The result shows that tax and tunneling
incentive have an influence on transfer pricing decision. The
determination coefficient is 15.2% that is reflect to variation of
tax and tunneling affect transfer pricing decision. The influence
of tax and tunneling is also statistically significant affect
transfer pricing. The findings give any opportunities to next
researchers to investigate the effect of any others variable on
transfer pricing decision, such as bonus scheme that based on
income. The measurement of transfer pricing using sales to related
parties is also relevant proxy to the next research.
Key words: tax, related party transaction, tunneling incentive,
transfer pricing
PENDAHULUAN
Globalisasi menyebabkan perekonomian berkembang tanpa mengenal
batas negara. Perusahaan multinasional akan menghadapi masalah
perbedaan tarif pajak yang berlaku di setiap negara. Persoalan
pokok yang dihadapi sehubungan dengan investasi asing, salah
satunya adalah transfer pricing. Transfer pricing menimbulkan
sejumlah masalah, dan sulit menyelesaikan masalah tersebut, antara
lain menyangkut bea cukai, ketentuan anti dumping, dan persaingan
usaha tidak sehat. Meskipun beberapa perusahaan berkeinginan untuk
menyesuaikan harga secara wajar dalam satu kebijakan namun hal itu
langsung menimbulkan
7pertentangan dari perusahaan-perusahaan lainnya (Folsom dan
Gordon, 1999: 1039 dalam Lo
et al., 2010).
Para ahli mengakui bahwa transfer pricing memungkinkan
perusahaan untuk menghindari pajak berganda, tetapi juga terbuka
untuk penyalahgunaan. Hal ini dapat digunakan untuk mengalihkan
keuntungan ke negara yang tarif pajaknya rendah, dengan
memaksimalkan beban, dan pada akhirnya pendapatan
(PricewaterhouseCoopers, 2009: 15). Secara umum otoritas fiskal
harus memperhatikan dua hal mendasar agar koreksi pajak terhadap
dugaan transfer pricing mendapat justifikasi yang kuat, yaitu:
afiliasi (associated enterprises) atau hubungan istimewa (special
relationship), dan kewajaran atau arms length principle (Bakti;
2002). Hampir dalam setiap undang-undang perpajakan dapat dijumpai
aturan-aturan yang mengatur perlakuan pajak terhadap transaksi
antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa. Aturan
tersebut merupakan dasar hukum bagi otoritas pajak untuk melakukan
koreksi atas transaksi yang terjadi antar pihak-pihak yang
mempunyai hubungan istimewa, dan dianggap sebagai aturan yang dapat
memecahkan masalah transfer pricing.Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor
36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan juga mempunyai aturan yang
menangani masalah transfer pricing, yaitu Pasal 18. Aturan transfer
pricing biasanya mencakup beberapa hal, yaitu: pengertian hubungan
istimewa, wewenang menentukan perbandingan utang dan modal, dan
wewenang untuk melakukan koreksi dalam hal terjadi transaksi yang
tidak arms length. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
diatur di Pasal 18 ayat (4) yaitu: hubungan istimewa antara Wajib
Pajak Badan dapat terjadi karena pemilikan atau penguasaan modal
saham suatu badan oleh badan lainya sebanyak 25% (dua puluh lima
persen) atau lebih, atau antara beberapa badan yang 25% (dua puluh
lima persen) atau lebih sahamnya dimiliki oleh suatu badan.
Hubungan istimewa dapat
mengakibatkan ketidakwajaran harga, biaya, atau imbalan lain
yang direalisasikan dalam suatu transaksi usaha. Secara universal
transaksi antarwajib pajak yang mempunyai hubungan istimewa
tersebut dikenal dengan istilah transfer pricing. Hal ini dapat
mengakibatkan terjadinya pengalihan penghasilan, dasar pengenaan
pajak (tax base) atau biaya dari satu wajib pajak kepada wajib
pajak lain yang dapat direkayasa untuk menekan keseluruhan jumlah
pajak terutang atas wajib pajak yang mempunyai hubungan istimewa
tersebut.Penelitian mengenai motivasi pajak dalam transaksi
transfer pricing telah dilakukan. Swenson (2001) menemukan bahwa
tarif impor dan pajak berpengaruh pada insentif untuk melakukan
transaksi transfer pricing. Bernard et al., (2006) menemukan bahwa
harga transaksi pihak terkait berhubungan dengan tingkat pajak dan
tarif impor negara tujuan.Selain motivasi pajak, keputusan untuk
melakukan transfer pricing juga dipengaruhi oleh kepemilikan saham.
Struktur kepemilikan di Indonesia terkonsentrasi pada sedikit
pemilik (Claessens et al., 2000 dan Zuang et al., 2000), sehingga
terjadi konflik keagenan antara pemegang saham mayoritas dengan
pemegang saham minoritas (Prowsen, 1998). Kepemilikan saham di
Indonesia cenderung terkonsentrasi menyebabkan munculnya pemegang
saham pengendali dan minoritas (La Porta et al., 2000).Munculnya
masalah keagenan antara pemegang saham mayoritas dengan pemegang
saham minoritas ini disebabkan oleh beberapa hal berikut. Pertama,
pemegang saham mayoritas terlibat dalam manajemen sebagai direksi
atau komisaris yang kemungkinan besar melakukan ekspropriasi
terhadap pemegang saham minoritas (Mitton, 2002). Kedua, hak suara
yang dimiliki pemegang saham mayoritas melebihi hak atas aliran
kasnya, karena adanya kepemilikan saham dalam bentuk bersilang,
piramida dan berkelas (Claessens et al., 2000). Bentuk kepemilikan
seperti ini akan mendorong pemegang saham mayoritas untuk
mengutamakan kepentingan mereka sendiri yang sangat berbeda dengan
kepentingan investor dan stakeholder lain. Ketiga, pemegang saham
mayoritas mempunyai kekuatan untuk
mempengaruhi manajemen dalam membuat keputusan-keputusan yang
hanya memaksimumkan kepentingannya dan merugikan kepentingan
pemegang saham minoritas. Keempat, lemahnya perlindungan hak-hak
pemegang saham minoritas, mendorong pemegang saham mayoritas untuk
melakukan tunneling yang merugikan pemegang saham minoritas
(Claessens et al., 2002). Contoh tunneling adalah tidak membagikan
dividen, menjual aset atau sekuritas dari perusahaan yang mereka
kontrol ke perusahaan lain yang mereka miliki dengan harga di bawah
harga pasar, dan memilih anggota keluarganya yang tidak memenuhi
kualifikasi untuk menduduki posisi penting di perusahaan (La Porta
et al., 2000).Tunneling dapat berupa transfer ke perusahaan induk
yang dilakukan melalui transaksi pihak terkait atau pembagian
dividen. Transaksi pihak terkait lebih umum digunakan untuk tujuan
tersebut daripada pembayaran dividen karena perusahaan yang
terdaftar di Bursa harus mendistribusikan dividen kepada perusahaan
induk dan pemegang saham minoritas lainnya. Pemegang saham
minoritas perusahaan yang terdaftar sering dirugikan ketika harga
transfer menguntungkan perusahaan induk atau pemegang saham
pengendali (Lo et al., 2010).Beberapa penelitian tentang tunneling
incentive telah dilakukan. Mutamimah (2008) menemukan bahwa terjadi
tunneling oleh pemilik mayoritas terhadap pemilik minoritas melalui
strategi merger dan akuisisi. Lo et al., (2010) menemukan bahwa
konsentrasi kepemilikan oleh pemerintah di Cina berpengaruh pada
keputusan transfer pricing, dimana perusahaan bersedia mengorbankan
penghematan pajak untuk tunneling keuntungan ke perusahaan induk.
Aharony et al., (2010) menemukan bahwa tunneling incentive setelah
initial public offering (IPO) berhubungan dengan penjualan hubungan
istimewa sebelum IPO. Berdasarkan latar belakang tersebut maka
penelitian ini akan menguji kembali pengaruh pajak dan tunneling
incentive pada keputusan perusahaan untuk melakukan transfer
pricing. Penelitian ini menggunakan perusahaan manufaktur yang
listing di Bursa Efek Indonesia sebagai sampel. Sebagian besar
penanaman modal asing bergerak di bidang
manufaktur dan mempunyai kaitan intern perusahaan yang cukup
substansial dengan induk perusahaan di luar negeri. Perusahaan
asing yang berada di Indonesia, adalah cabang dari induk perusahaan
di luar negeri, terutama dimanfaatkan sebagai manufaktur atas
barang setengah jadi (intermediate goods) atau barang mentah
(Gunadi, 1994:17). Berdasarkan latar belakang tersebut, maka
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah pajak dan
tunneling incentive berpengaruh pada keputusan transfer pricing
perusahaan manufaktur yang listing di Bursa Efek Indonesia?
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
Jensen dan Meckling (1976) mengemukakan teori keagenan yang
menjelaskan hubungan antara manajemen perusahaan (agen) dan
pemegang saham (prinsipal). Dalam hubungan keagenan (agency
relationship) terdapat suatu kontrak satu orang atau lebih
(prinsipal) yang memerintahkan orang lain (agen) untuk melakukan
suatu jasa atas nama prinsipal dan memberi wewenang kepada agen
untuk membuat keputusan yang terbaik bagi prinsipal. Pihak
prinsipal juga dapat membatasi divergensi kepentingannya dengan
memberikan tingkat insentif yang layak kepada agen dan bersedia
mengeluarkan biaya pengawasan (monitoring cost) untuk mencegah
hazard dari agen. Namun, sebaliknya teori keagenan juga dapat
mengimplikasikan adanya asimetri informasi. Konflik antarkelompok
atau agency conflict merupakan konflik yang timbul antara pemilik,
dan manajer perusahaan dimana ada kecenderungan manajer lebih
mementingkan tujuan individu daripada tujuan perusahaan. Beberapa
faktor yang menyebabkan munculnya masalah keagenan (Colgan, 2001),
yaitu:1) Moral Hazard
Hal ini umumnya terjadi pada perusahaan besar (kompleksitas yang
tinggi), dimana seorang manajer melakukan kegiatan yang tidak
seluruhnya diketahui oleh pemegang
saham maupun pemberi pinjaman. Manajer dapat melakukan tindakan
di luar pengetahuan pemegang saham yang melanggar kontrak dan
sebenarnya secara etika atau norma mungkin tidak layak dilakukan.2)
Penahanan Laba (Earnings Retention)
Masalah ini berkisar pada kecenderungan untuk melakukan
investasi yang berlebihan oleh pihak manajemen (agen) melalui
peningkatan dan pertumbuhan dengan tujuan untuk memperbesar
kekuasaan, prestise, atau penghargaan bagi dirinya, namun dapat
menghancur