Top Banner
ANALISIS PENERAPAN PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA (PERFORMANCE BASED BUDGETING) PADA PEMERINTAH DAERAH (STUDI EKSPLORATIF PADA PEMERINTAH KABUPATEN TANAH DATAR) Oleh HENDRA CIPTA (BP 0821 221 048) PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ANDALAS 2011
30

Analisis Penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja1

Jan 02, 2016

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Analisis Penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja1

ANALISIS PENERAPAN PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA

(PERFORMANCE BASED BUDGETING) PADA PEMERINTAH DAERAH

(STUDI EKSPLORATIF PADA PEMERINTAH

KABUPATEN TANAH DATAR)

Oleh

HENDRA CIPTA

(BP 0821 221 048)

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS ANDALAS

2011

Page 2: Analisis Penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja1

ANALISIS PENERAPAN PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA

(PERFORMANCE BASED BUDGETING) PADA PEMERINTAH DAERAH

(STUDI EKSPLORATIF PADA PEMERINTAH

KABUPATEN TANAH DATAR)

Hendra Cipta

BP 0821221048

1. Latar Belakang

Bergesernya paradigma manajemen pemerintahan dalam dua dekade terakhir

yaitu dari berorientasi proses menjadi berorientasi hasil telah ikut mereformasi sistem

pengelolaan keuangan negara baik di negara maju maupun negara berkembang,

termasuk Indonesia. Reformasi pengelolaan keuangan negara di Indonesia yang

diawali dengan keluarnya Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan

Negara telah membawa banyak perubahan mendasar dalam pengelolaan keuangan

negara. Perubahan mendasar tersebut diantaranya adalah diperkenalkannya

pendekatan penganggaran berbasis kinerja (performance-based budgeting) dalam

penyusunan anggaran pemerintah.

Sejalan dengan itu, dalam kerangka otonomi daerah, Undang-Undang No. 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004

tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah

membuka peluang bagi daerah untuk mengembangkan dan membangun daerahnya

sesuai dengan kebutuhan dan prioritas masing-masing. Kedua undang-undang ini

membawa konsekuensi bagi daerah dalam bentuk pertanggungjawaban atas

pengalokasian dana yang dimiliki dengan cara yang efektif dan efisien.

Pengalokasian dana yang efektif mengandung arti bahwa setiap pengeluaran yang

Page 3: Analisis Penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja1

2

dilakukan pemerintah mengarah pada pencapaian sasaran dan tujuan stratejik yang

dimuat dalam dokumen perencanaan stratejik daerah. Sedangkan, pengalokasian dana

yang efisien mengandung arti bahwa pencapaian sasaran dan tujuan stratejik tersebut

telah menggunakan sumber daya yang paling minimal dengan tetap mempertahankan

tingkat kualitas yang direncanakan. Pengalokasian pengeluaran yang efektif dan

efisien tersebut dapat diwujudkan dengan penerapan performance-based budgeting

dalam penyusunan anggaran pemerintah daerah.

Di Indonesia, berbagai peraturan dan pedoman telah diterbitkan terkait dengan

penerapan penganggaran berbasis kinerja (performance-based budgeting) pada

pemerintah daerah. Termasuk yang diatur dalamnya adalah pencantuman indikator

kinerja dalam dokumen-dokumen perencanaan dan penganggaran serta penggunaan

indikator kinerja tersebut dalam proses penyusunan anggaran pemerintah. Dokumen-

dokumen tersebut meliputi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah

(RPJMD), Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), Kebijakan Umum Anggaran

(KUA) serta Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) pada tingkat

pemerintah daerah (provinsi/kabupaten/kota). Sedangkan, pada tingkat satuan kerja

pemerintah daerah (SKPD) meliputi Rencana Stratejik (Renstra) SKPD, Rencana

Kerja (Renja) SKPD dan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) SKPD.

Keselarasan antar dokumen-dokumen perencanaan dapat dilihat dari

keselarasan indikator kinerja yang terdapat dalam dokumen-dokumen tersebut. Pada

SKPD, indikator kinerja yang dimuat dalam Renja SKPD haruslah mendukung

pencapaian indikator kinerja yang termuat dalam Renstra SKPD. Dan selanjutnya,

indikator kinerja Renja SKPD harus didukung oleh indikator kinerja yang dimuat

dalam RKA SKPD. Adanya keselarasan indikator kinerja ini secara logis akan dapat

mengaitkan tujuan-tujuan yang hendak dicapai yang dicantumkan dalam dokumen

Page 4: Analisis Penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja1

3

perencanaan strategis (Renstra SKPD) dengan kegiatan-kegiatan operasional yang

dilaksanakan SKPD.

Dalam artikel ini penulis mencoba menguraikan hasil penelitian yang penulis

lakukan mengenai penerapan penganggaran berbasis kinerja (performance-based

budgeting) pada pemerintah daerah dilihat dari persyaratan penetapan dan

penggunaan indikator kinerja dalam proses penyusunan anggaran (APBD) dan faktor-

faktor yang menyebabkan belum berjalannya penganggaran berbasis kinerja

(performance-based budgeting) tersebut. Pemerintah daerah yang menjadi objek

penelitian adalah Pemerintah Kabupaten Tanah Datar.

2. Perkembangan Penganggaran Sektor Publik

Sistem penganggaran sektor publik berkembang dan berubah sesuai dengan

dinamika perkembangan manajemen sektor publik dan tuntutan yang muncul di

masyarakat. Sampai saat ini, terdapat beberapa jenis penganggaran sektor publik,

yaitu Line-Item Budgeting yang banyak digunakan pada negara berkembang,

Planning Programing Budgeting System (PPBS) yang mulai dikembangkan tahun

1960-an, Zero-Based Budgeting (ZBB) yang mulai dikembangkan tahun 1970-an

dan terakhir Performance-Based Budgeting (PBB) yang mulai dikembangkan tahun

1990-an.

Traditional line-item budgeting muncul karena adanya kepedulian terhadap

kurangnya kontrol terhadap pengeluaran yang berkontribusi pada terciptanya

lingkungan yang dapat meningkatkan korupsi. Anggaran line item tradisional

menyajikan pengeluaran-pengeluaran berdasarkan input atau sumber daya yang

digunakan. Ciri yang utama dari sistem line item budget adalah menetapkan batas atas

line item pada proses alokasi anggaran dan menjamin bahwa unit kerja tidak dapat

melakukan pengeluaran melebihi plafon atau batas atasnya (Shah and Shen, 2007).

Page 5: Analisis Penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja1

4

Asumsi yang mendasari input model budgeting adalah sumber daya yang terbatas dan

kontrol terhadap tingkat pengeluaran sumber daya dan distribusinya akan dapat

meningkatkan efisiensi (Rubin, 2007). Karena itu, kekuatan line item budgeting

adalah kontrol yang ketat tehadap pengeluaran publik melalui spesifikasi input yang

detail atau rinci (Shah and Shen, 2007). Ciri lain dari traditional budget adalah

incrementalism. Dengan pendekatan incrementalism, jumlah item-item anggaran

suatu tahun anggaran ditentukan dengan menambah atau mengurangi jumlah

anggaran tahun sebelumnya dengan suatu marjin tertentu.

Sistem penganggaran tradisional berdasarkan line-item membawa beberapa

permasalahan yang tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga pada negara-negara

yang telah meninggalkam sistem penganggaran ini. Permasalahan utama yang

ditimbulkan oleh sistem anggaran line-item di Indonesia adalah (Rasul, 2003, 45-48):

− Orientasi pada pengendalian pengeluaran (expenditure control oriented) yang

mengakibatkan akuntabilitas yang sangat terbatas, yaitu hanya pada besar dan cara

pengeluaran sesuai dengan yang dialokasikan, bukan pada hasil yang dicapai

(overseeing result).

− Dikotomi rutin dan pembangunan yang tidak jelas (ambiguity on distinction

between capital and revenue expenditure) yang menimbulkan praktek pergeseran

anggaran (budgetary sifting) yang dikenal dengan “rutin yang diproyekkan” dan

masalah kesinambungan pembiayaan (sustainable financing)

− Basis alokasi yang tidak jelas (allocation base is not clear) dimana target

kenaikan anggaran didasarkan pada persentase realisasi anggaran tahun

sebelumnya atau, dengan kata lain, hanya berdasarkan kemampuan masing-

masing instansi pemerintah untuk menyerap anggaran, bukan berdasarkan tingkat

kinerja yang dicapai.

Page 6: Analisis Penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja1

5

− Cenderung tidak fleksible (rigid) dimana pada jenis-jenis pengeluaran tertentu

terdapat kewenangan yang terbatas pada pimpinan instansi untuk melakukan

pergeseran mata anggaran tertentu yang menunjukkan adanya kelemahan dalam

penerapan akuntabilitas yaitu pimpinan instansi hanya berakuntabilitas untuk

sejumlah uang yang dibelanjakan sesuai anggaran yang tersedia, bukan terhadap

hasil yang dicapai.

− Orientasi hanya satu tahun anggaran (short-term perspective) sehingga rencana

pembiayaan tahunan yang dituangkan dalam Repelita (dokumen perencanaan lima

tahunan) tidak dihubungkan dengan sistem penganggaran yang diterapkan.

Planning Programming Budgeting System (PPBS) muncul sebagai koreksi

terhadap kelemahan sistem Line-Item Budgeting terutama dalam hal tidak adanya

hubungan yang rasional antara besaran anggaran yang ditetapkan dengan hasil atau

tujuan yang ingin diwujudkan dengan pengeluaran anggaran tersebut (Diamond,

2003, 6). Planning-Programming-Budgeting System mencoba memperkenalkan

kerangka pengambilan keputusan yang jelas untuk proses formulasi anggaran unit-

unit eksekutif (McNab, 2001, 9). PPBS, sebagai suatu sistem yang lengkap dari

pembuatan anggaran pertama kali diterapkan oleh Departemen Pertahanan Amerika

Serikat pada tahun 1961, kemudian diterapkan pada semua instansi pemerintah

federal dan menyebar dengan cepat pada pemerintahan negara bagian dan lokal

(Diamond, 2003, 6).

Proses PPBS, sesuai dengan namanya, mempunyai tiga tahapan pokok yang

menghubungan perencanaan dengan penganggaran melalui program-program. Tahap

perencanaan (planning phase) mengidentifikasi tujuan sekarang dan masa datang

serta berbagai cara yang mungkin untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Tahap

pemrograman (programming phase) menggunakan usulan hasil tahap perencanaan

Page 7: Analisis Penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja1

6

untuk menetapkan program-program berdasarkan skala prioritas sesuai tingkatan

hirarki pengambil keputusan. Tahap penganggaran (budgeting phase) menerjemahkan

masing-masing program ke dalam rencana tahunan dengan menentukan siapa

melakukan apa dan menetapkan sumberdaya yang dibutuhkan (Diamond, 2003, 6).

Dari ketiga tahap tersebut, tahap pemrogramanlah untuk pertama kali mencoba untuk

membuat hubungan yang jelas antara komponen-komponen perencanaan dan

penganggaran pada proses anggaran (McNab, 2001, 10).

Sama halnya dengan PPBS, konsep zero-based budgeting (ZBB) dimaksudkan

untuk mengatasi kelemahan incremental budgeting yang ada pada sistem anggaran

tradisional (line item budgeting). Sistem zero-based budgeting mencoba menciptakan

lingkungan kelembagaan dimana unit-unit kerja diminta untuk membuat prioritas-

prioritas berdasarkan hasil-hasil program yang dapat dicapai pada berbagai tingkat

pengeluaran. Dalam membuat proposal anggaran, berbagai alternatif dirangking tanpa

melihat pengeluaran-pengeluaran yang telah dilakukan sebelumnya dan dengan

memberi perhatian pada total pengeluaran yang diajukan, bukan penambahannya

(McNab, 2001, 11-12). Dengan demikian, penyusunan anggaran dengan

menggunakan konsep zero-based budgeting dapat menghilangkan incrementalisms

dan line-item karena anggaran diasumsikan mulai dari nol (zero-base) (Mardiasmo,

2005, 84).

Jenis yang terakhir, performance-based budgeting, berkembang sejalan

dengan bergesernya paradigma manajemen sektor publik dari model tradisional

administrati publik (traditional model of public administration) ke pendekatan new

public management. Beberapa pokok pikiran yang terkandung dalam pendekatan new

public management, seperti dinyatakan Hughes (1998), adalah adanya perubahan

yang mendasar administrasi publik tradisional dengan memberikan perhatian yang

Page 8: Analisis Penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja1

7

besar pada pencapaian hasil; pergeseran dari birokrasi klasik untuk membuat

organisasi, pegawai dan persyaratan kepegawaian lebih fleksibel; penetapan sasaran

organisasi dan personal secara jelas dan indikator kinerja untuk mengukur

pencapaiannya; pejabat pemerintah secara politis lebih bertanggung jawab pada

pemerintah yang sedang berkuasa; fungsi-fungsi pemerintah bisa dicoba dilaksanakan

oleh pasar; serta adanya kecendrungan mengurangi peran pemerintah melalui

privatisasi.

3. Penganggaran Berbasis Kinerja (Performance Based Budgeting)

Robinson dan Brumby (2005) mendefinikan performance budgeting sebagai

prosedur dan mekanisme yang dimaksudkan untuk memperkuat kaitan antara dana

yang disediakan untuk entitas sektor publik dengan outcome dan/atau output entitas

tersebut melalui penggunaan informasi kinerja formal dalam pengambilan keputusan

alokasi sumberdaya. Pengertian yang tidak jauh berbeda diberikan oleh Shah dan

Shen (2007), yaitu suatu sistem penganggaran yang menyajikan tujuan dan sasaran

untuk apa dana dibutuhkan, biaya dari program yang diusulkan dan kegiatan yang

terkait untuk mencapai tujuan tersebut, serta output yang dihasilkan atau jasa yang

diberikan pada setiap program.

Sementara itu, Robinson and Last (2009) menyatakan performance-based

budgeting bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas pengeluaran publik

dengan mengaitkan pendanaan organisasi sektor publik dengan hasil yang dicapai

dengan penggunaan informasi kinerja secara sistematik. Carter (1994), seperti dikutip

Young (2003), menyatakan performance budget menggunakan pernyataan misi,

tujuan dan sasaran untuk menjelaskan mengapa uang dikeluarkan. Penetapan misi,

tujuan dan sasaran ini merupakan cara untuk mengalokasikan sumber daya untuk

mencapai sasaran-sasaran tertentu berdasarkan tujuan-tujuan program dan hasil-hasil

Page 9: Analisis Penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja1

8

yang terukur. Performance budgeting dibedakan dari pendekatan tradisional karena

berfokus pada hasil dari pengeluaran yang dilakukan, bukannya jumlah uang yang

dikeluarkan.

Dari pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa penganggaran

berbasis kinerja (performance-based budgeting) merupakan suatu pendekatan

sistematis dalam penyusunan anggaran yang mengaitkan pengeluaran yang dilakukan

organisasi sektor publik dengan kinerja yang dihasilkannya dengan menggunakan

informasi kinerja. Performance budgeting mengalokasikan sumber daya pada

program, bukan unit organisasi semata, dan memakai output measurement sebagai

indikator kinerja organisasi. Pengkaitan biaya dengan output organisasi merupakan

bagian integral dalam berkas atau dokumen anggaran.

Sejalan dengan pengertian dan tujuannya, Robinson dan Last (2009)

menyatakan persyaratan mendasar dalam penerapan bentuk sederhana penganggaran

berbasis kinerja (performance-based budgeting), adalah:

− Informasi mengenai sasaran dan hasil dari pengeluaran pemerintah dalam

bentuk indikator kinerja dan evaluasi program sederhana, dan

− Proses penyusunan anggaran yang dirangcang untuk menfasilitasi

penggunaan informasi tersebut.

Hal ini, seperti yang dinyatakan Hou (2010), menunjukkan bahwa desain dari

performance-based budgeting didasarkan pada pemikiran bahwa memasukan ukuran

kinerja dalam anggaran akan mempermudah pemantauan terhadap program untuk

melihat seberapa baik pemerintah telah mencapai outcome yang dijanjikan dan

diinginkan.

Sejalan dengan Robinson dan Last, Young (2003) menyatakan 4 (empat)

karakteristik performance-based budgeting. Pertama, performance-based budgeting

Page 10: Analisis Penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja1

9

menetapkan tujuan atau sekumpulan tujuan yang akan dikaitkan dengan atau yang

digunakan untuk mengalokasikan pengeluaran uang. Kedua, performance-based

budgeting menyediakan informasi dan data mengenai kinerja dan hasil yang telah

dicapai sehingga memungkinkan dilakukan perbandingan antara kemajuan yang

aktual dengan yang direncanakan. Ketiga, dalam penyusunan anggaran penyesuaian

terhadap program dilakukan untuk menutup setiap perbedaan yang terjadi antara

target kinerja dan kinerja aktual. Keempat, performance-based budgeting memberi

peluang untuk dilakukannya evaluasi kinerja secara regular atau ad hoc yang akan

digunakan untuk pengambilan keputusan.

Lebih lanjut Robinson dan Last (2009) menyatakan penganggaran berbasis

kinerja (performance-based budgeting) hanya dapat berhasil jika setiap satuan kerja

yang melakukan pengeluaran anggaran (spending agency) diharuskan untuk:

− secara eksplisit mendefinisikan outcome yang pelayanannya diberikan kepada

masyarakat, dan

− menyediakan indikator kinerja kunci untuk mengukur efektifitas dan efisiensi

pelayanannya untuk menteri keuangan dan pembuat keputusan politik kunci

selama proses penyusunan anggaran.

Di Indonesia, persyaratan di atas tergambar dalam dokumen-dokumen yang

digunakan atau dihasilkan dalam proses penyusunan anggaran pemerintah. Untuk

pemerintah daerah (provinsi/kabupaten/kota), dokumen-dokumen tersebut meliputi

Rencana Pembangunan Jangkan Menengah Daerah (RPJMD), Rencana Kerja

Pemerintah Daerah (RKPD), Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas dan

Plafon Anggaran Sementara (PPAS). Sedangkan, pada tingkat satuan kerja

pemerintah daerah (SKPD), dokumen-dokumen tersebut meliputi Rencana Stratejik

(Renstra) SKPD, Rencana Kerja (Renja) SKPD dan Rencana Kerja dan Anggaran

Page 11: Analisis Penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja1

10

(RKA) SKPD. Untuk dapat dikatakan telah menerapkan penganggaran berbasis

kinerja tidak hanya dibuktikan dengan keberadaan dokumen-dokumen tersebut,

melainkan juga dengan adanya keselarasan substansi antar dokumen-dokumen

tersebut yang dapat dilihat dari ada tidaknya indikator kinerja yang selaras dalam

dokumen-dokumen tersebut. Pada SKPD, indikator-indikator kinerja yang dimuat

dalam Renja SKPD haruslah mendukung pencapaian indikator kinerja yang termuat

dalam Renstra SKPD. Dan selanjutnya, indikator kinerja Renja SKPD harus didukung

oleh indikator-indikator kinerja yang dimuat dalam RKA SKPD. Adanya keselarasan

indikator kinerja ini secara logis akan dapat mengaitkan tujuan-tujuan yang hendak

dicapai yang dicantumkan dalam dokumen perencanaan strategis (Renstra SKPD)

dengan kegiatan-kegiatan operasional yang dilaksanakan SKPD.

Di samping persyaratan adanya indikator kinerja dan proses penyusunan

anggaran yang memfasilitasi penggunaan inkator kinerja, persyaratan lainnya dalam

penerapan penganggaran berbasis kinerja yang dikemukakan Robinson dan Last

(2009) adalah klasifikasi pengeluaran berdasarkan program (program budget) dan

fleksibilitas yang lebih besar bagi manajer atau pejabat pelaksana anggaran.

Program budget mengklasifikasikan pengeluaran anggaran berdasarkan jenis

pelayanan dan tujuan, bukan berdasarkan jenis input (gaji, bahan, perjalanan dinas

dan sebagainya) sebagaimana pada traditional line-item budgeting. Robinson dan Last

(2009) menyatakan pada program budget proses penyusunan anggaran harus

berdasarkan pada program (program based) yaitu satuan kerja harus mengajukan dan

menyajikan anggarannya dalam bentuk program dengan didukung biaya dan

informasi kinerja. Senada dengan Robinson dan Last, Shah dan Shen (2007)

menyatakan bahwa bertentangan dengan line-item budgeting, performance budgeting

menerapkan alokasi lumpsum untuk program-program bukan klasifikasi line item

Page 12: Analisis Penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja1

11

secara rinci (detailed line item clasification). Terkait dengan ini, Rubin (2007)

mengemukakan bahwa output model budgeting mengasumsikan bahwa manajer atau

pelaksana anggaran akan menggunakan sumber daya yang mereka miliki dengan

sebaik-baiknya untuk mencapai target dengan alasan bahwa mereka akan diminta

bertanggung jawab bukan atas pelaksanaan anggaran sesuai dengan item-item

pengeluaran yang dilakukan (line item), melainkan atas kuantitas dan kualitas hasil

yang dijanjikan dari paket sumber daya yang dialokasikan bagi mereka dalam

anggaran.

Pelaksanaan anggaran membutuhkan adanya fleksibilitas input dimana pejabat

pelaksana anggaran harus diberi fleksibilitas yang lebih besar untuk memilih belanja-

belanja yang dilakukannya untuk menghasilkan pelayanan dengan cara yang paling

efisien. Hal ini dapat dilakukan dengan mengurangi sejumlah batasan yang harus

diikuti pada pengeluaran anggaran berdasarkan klasifikasi ekonomi (line item) pada

traditional budgeting. Dibandingkan dengan traditional line-item budgeting,

performance budgeting membenarkan untuk melakukan penggunaan sumber daya

fiskal secara lebih fleksibel dan meningkatkan akuntabilitas terhadap hasil. Shah dan

Shen (2007) menyatakan performance budgeting meningkatkan fleksibilitas

manajerial dengan memberi manajer departemen atau program alokasi lumpsum tetap

(fixed lumpsum allocation) yang bisa digunakan untuk berbagai kebutuhan untuk

mencapai hasil yang sudah disetujui dalam pemberian pelayanan. Manajer publik

menikmati peningkatan diskresi manajerial tapi diwajibkan bertanggung jawab atas

apa yang mereka capai dalam kinerja pemberian pelayanan.

Namun, kedua persyaratan ini belum diakomodir oleh peraturan perundang-

undangan di Indonesia, terutama untuk penyusunan anggaran pemerintah daerah.

Struktur anggaran yang digunakan dalam penyusunan APBD masih menggunakan

Page 13: Analisis Penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja1

12

struktur line-item budgeting di mana anggaran disusun menurut klasifikasi belanja

sampai dengan rincian objek belanja. Hal ini berimplikasi pada control yang ketat

terhadap input yang mengakibatkan kurangnya fleksibilitas bagi manajer (pengguna

anggaran) dalam menggunakan anggarannya. Dengan demikian, ketentuan mengenai

pengeluran anggaran yang diatur dalam peraturan perundangan yang ada belum

mendukung fleksibilitas pengeluaran anggaran oleh pengguna anggaran sebagai

pejabat yang mempunyai otoritas dalam melaksanakan pengeluaran anggaran.

4. Indikator Kinerja (Performance Indicator)

Seperti telah diuraikan di atas, penganggaran berbasis kinerja (performance-

based budgeting) merupakan suatu pendekatan sistematis dalam penyusunan anggaran

yang mengaitkan pengeluaran yang dilakukan organisasi sektor publik dengan kinerja

yang dihasilkannya dengan menggunakan informasi kinerja. Dengan demikian, dalam

penganggaran berbasis kinerja (performance-based budgeting) informasi kinerja

merupakan media atau sarana dalam mengaitkan pengeluaran yang akan dilakukan

organisasi sektor publik dengan kinerjanya. Informasi kinerja dimaksud dinyatakan

dalam bentuk indikator kinerja dan target capaiannya. Karena itu, salah satu unsur

penting dalam penganggaran berbasis kinerja (performance-based budgeting) adalah

penetapan ukuran atau indikator kinerja.

Menurut Bastian (2006), indikator kinerja adalah ukuran kuantitatif dan

kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang

telah ditetapkan. Carlin (2004) menyatakan indikator kinerja output memegang

peranan kunci dalam ketentuan mengenai akuntabilitas pemerintah yang baik dan

pengambilan keputusan mengenai alokasi sumberdaya, perencanaan dan prektek

manajemen yang lebih baik. Stewart (1984), seperti dikutip Carlin (2004),

menyatakan pada sektor publik indikator kinerja seharusnya membantu pengguna

Page 14: Analisis Penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja1

13

laporan dalam memahami input, output, outcome dan kebijakan yang berkaitan

dengan suatu periode tertentu.

Indikator kinerja yang digunakan pada setiap kegiatan mencakup:

1) Indikator Masukan (Input)

Masukan (input) merupakan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk melaksanakan

suatu kegiatan untuk menghasilkan keluaran atau memberikan pelayanan.

Indikator ini dapat berupa dana, sumber daya manusia, sarana, informasi, dan

sebagainya.

2) Indikator Keluaran (Output)

Keluaran (Output) merupakan produk atau keluaran langsung dari suatu

aktivitas/kegiatan yang dilaksanakan. Indikator keluaran dapat menjadi landasan

untuk menilai kemajuan suatu kegiatan apabila target kinerjanya dikaitkan dengan

sasaran-sasaran kegiatan yang terdefinisi dengan baik dan terukur. Karenanya,

indikator keluaran harus sesuai dengan tugas pokok dan fungsi unit organisasi

yang bersangkutan. Indikator keluaran (ouput) digunakan untuk memonitor

seberapa banyak produk yang dapat dihasilkan atau disediakan.

3) Hasil (Outcome)

Hasil (Outcome) menggambarkan hasil nyata dari keluaran (output) suatu kegiatan

dan mencerminkan berfungsinya output tersebut. Indikator hasil (outcome)

merupakan ukuran kinerja dari program dalam memenuhi sasarannya. Pencapaian

sasaran dapat ditentukan dalam satu tahun anggaran, beberapa tahun anggaran,

atau periode pemerintahan. Sasaran itu sendiri dituangkan dalam fungsi/bidang

pemerintahan, seperti keamanan, kesehatan, atau peningkatan pendidikan.

Indikator hasil (outcome) digunakan untuk menentukan seberapa jauh tujuan dari

Page 15: Analisis Penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja1

14

setiap fungsi pemerintah yang dicapai dari output suatu aktivitas (produk atau jasa

pelayanan) telah memenuhi keinginan masyarakat yang dituju.

4) Manfaat (Benefit)

Manfaat (Benefit) adalah sesuatu yang terkait dengan tujuan akhir dari

pelaksanaan kegiatan.

5) Dampak (Impact)

Dampak (Impact) adalah pengaruh yang ditimbulkan baik positif maupun negatif

terhadap setiap tingkatan indikator berdasarkan asumsi yang telah ditetapkan.

Kualitas dari suatu indikator kinerja dapat dilihat dari pemenuhan syarat-

syarat yang harus dipenuhi oleh suatu indikator kinerja yang baik. Syarat-syarat

tersebut menurut Bastian (2006) adalah:

1) Spesifik, jelas, dan tidak ada kemungkinan kesalahan interpretasi.

2) Dapat diukur secara objektif baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif, yaitu

dua atau lebih yang mengukur indikator kinerja tersebut mempunyai

kesimpulanyan sama.

3) Relevan, yaitu indikator kinerja harus menangani aspek objektif yang relevan.

4) Dapat dicapai, penting dan harus berguna untuk menunjukkan keberhasilan.

5) Harus cukup fleksibel dan sensitif terhadap perubahan / penyesuaian pelaksanaan

dan hasil pelaksanaan kegiatan

6) Efektif, yaitu data/informasi yang berkaitan dengan indikator kinerja yang

bersangkutan dapat dikumpulkan, diolah, dan dianalisis dengan biaya yang

tersedia.

Langkah pertama yang harus dilakukan dalam mengimplementasikan

performance budgeting adalah mendefinisikan kinerja (performance). Agar bisa

mengukur kinerja organisasi harus mengartikulasikan dengan jelas sasaran-sasarannya

Page 16: Analisis Penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja1

15

yang menjadi dasar dalam pengukuran kinerja. Kinerja tidak dapat diukur sebelum

sasaran-sasaran tersebut dinyatakan dalam hasil-hasil yang diinginkan yang dapat

diukur (measurable desired results) yang dinyatakan dalam bentuk output atau

outcome. Diamond (2005) menyatakan ciri-ciri yang harus dimiliki oleh output adalah

merupakan barang atau jasa yang disediakan bagi individu atau organisasi di luar

instansi yang bersangkutan, dapat diidentifikasi dengan jelas, berkontribusi untuk

pencapaian outcome yang direncanakan, berada dalam kendali (controlable) instansi

yang bersangkutan, serta menjadi dasar untuk perbandingan kinerja antar periode atau

dengan kinerja aktual instansi lainnya. Sedangkan, ciri-ciri yang harus dimiliki oleh

outcome menurut Diamond (2005) adalah harus mencerminkan sasaran dan prioritas

pemerintah, ditandai dengan dampak terhadap masyarakat, menjelaskan strategi

instansi, mengidentifikasikan target grup dengan jelas, dapat dicapai dalam jangka

waktu tertentu, dapat dipantau dan dinilai pencapaiannya, memperlihatkan hubungan

sebab akibat dengan output, serta mempunyai definisi dan deskripsi yang jelas

sehingga mudah dilaporkan.

Sementara itu, terkait dengan kualitas indikator kinerja, Carlin (2004)

menyatakan indikator kinerja yang digunakan dan dilaporkan instansi harus:

1) Correlative

Sekumpulan indikator yang dipilih suatu instansi harus sangat terkait dengan

aktifitas dan fungsi utama instansi yang bersangkutan.

2) Controllable

Untuk menganalisis sampai sejauh mana pencapaian kinerja didorong oleh upaya

yang dilakukan instansi, informasi kinerja yang digunakan sebaiknya terkait

dengan faktor-faktor yang berada dalam kendali instansi yang bersangkutan.

Page 17: Analisis Penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja1

16

3) Comprehensible

Agar berguna, pembaca laporan harus dapat mengerti indikator yang dilaporkan

yang dimulai dengan memastikan bahwa unit pengukuran yang relevan digunakan

untuk setiap indikator kinerja.

4) Timely

Untuk memaksimalkan penggunaannya, indikator yang digunakan berhubungan

dengan keadaan sekarang.

5) Consistent

Konsistensi antar waktu merupakan dimensi utama dari kualitas dalam pelaporan

kinerja.

6) Constrainted

Indikator yang digunakan sebaiknya dibatasi pada hal-hal yang memberikan

gambaran yang jelas dan akurat mengenai operasi instansi.

5. Penerapan Performance Based Budgeting pada Pemerintah Kabupaten

Tanah Datar

Evaluasi terhadap penerapan performance based budgeting pada Pemerintah

Kabupaten Tanah Datar dilakukan dengan mengevaluasi indikator kinerja yang

terdapat pada dokumen anggaran yaitu Dokumen Pelaksanaan Anggaran Satuan

Kerja Pemerintah Daerah (DPA-SKPD). Evaluasi terhadap indikator kinerja

dilakukan dengan menilai pemenuhan kriteria indikator kinerja yang baik oleh setiap

indikator kinerja, baik output maupun outcome, pada setiap kegiatan. Kriteria

indikator kinerja yang digunakan adalah kriteria output dan outcome yang seperti

diuraikan di atas.

5.1. Indikator Output

Output adalah merupakan produk atau keluaran langsung dari suatu aktivitas

Page 18: Analisis Penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja1

17

atau kegiatan yang dilaksanakan. Indikator output menjadi landasan untuk menilai

kemajuan suatu kegiatan apabila target kinerjanya dikaitkan dengan sasaran-sasaran

kegiatan yang terdefinisi dengan baik dan terukur. Kriteria yang digunakan untuk

menilai indikator output yang terdapat pada DPA SKPD Pemerintah Kabupaten

Tanah Datar adalah:

1) Merupakan suatu produk atau pelayanan yang disediakan oleh instansi bagi

masyarakat

2) Dapat diidentifikasi dan dinyatakan dengan jelas

3) Bukan merupakan intermediate output

4) Berkontribusi pada pencapaian outcome

5) Merupakan sesuatu yang controlable bagi instansi

6) Mengandung informasi yang memungkinkan untuk dilakukan pembandingan

kinerja

Penilaian indikator kinerja output dengan menggunakan kriteria di atas

dilakukan secara bertingkat dengan mempertimbangkan tingkat signifikansi kriteria-

kriteria tersebut. Kriteria pertama, yaitu merupakan suatu produk atau pelayanan yang

disediakan oleh instansi, harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum menilai pemenuhan

kriteria berikutnya. Misalnya, jika suatu indikator output bukan merupakan suatu

produk atau pelayanan yang disediakan oleh instansi (tidak memenuhi kriteria

pertama), maka pemenuhan kriteri kedua, apakah indikator tersebut telah

diidentifikasi atau dinyatakan secara jelas, tidak dinilai lagi. Begitu juga dengan

kriteria-kriteria berikutnya.

Hasil evaluasi menunjukkan jumlah kegiatan dilihat dari jumlah kriteria

indikator yang dipenuhi indikator outputnya adalah seperti pada tabel 1 berikut.

Page 19: Analisis Penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja1

18

Tabel 1

Jumlah Kegiatan Berdasarkan Jumlah Kriteria yang Dipenuhi Indikator

Outputnya

No. Jumlah Kriteria

yang Dipenuhi

Jumlah Kegiatan

Tahun 2009 Tahun 2010

1 6 Kriteria 0 0

2 5 Kriteria 7 7

3 4 Kriteria 3 1

4 3 Kriteria 2 1

5 2 Kriteria 3 1

6 1 Kriteria 22 20

7 0 Kriteria 49 43

Jumlah 86 73

Dari tabel 1 di atas terlihat bahwa tidak ada kegiatan baik tahun 2009 maupun

tahun 2010 yang indikator outputnya memenuhi keenam kriteria indikator yang

digunakan. Sebaliknya, kegiatan yang indikator outputnya tidak memenuhi satupun

kriteria mencapai 60% (49 dari 86 kegiatan) untuk tahun 2009 dan 59% (43 dari 73

kegiatan) untuk tahun 2010. Demikian juga, kegiatan yang indikator outputnya hanya

memenuhi satu kriteria mencapai 26% (22 dari 86 kegiatan) untuk tahun 2009 dan

27% (20 dari 73 kegiatan) untuk tahun 2010. Ini menunjukkan masih rendahnya

kualitas indikator output yang digunakan dalam DPA SKPD tahun 2009 dan 2010.

5.2. Indikator Outcome

Outcome menggambarkan hasil nyata dari output suatu kegiatan dan

mencerminkan berfungsinya output tersebut. Indikator outcome merupakan ukuran

kinerja dari program dalam memenuhi sasarannya. Kriteria yang digunakan untuk

menilai indikator outcome yang terdapat pada DPA SKPD Pemerintah Kabupaten

Tanah Datar adalah:

1) Menggambarkan sasaran dan prioritas pemerintah

2) Diindikasikan dengan manfaat terhadap komunitas atau masyarakat

Page 20: Analisis Penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja1

19

3) Dapat mengidentifikasikan target group dengan jelas

4) Mempunyai hubungan kausalitas dengan output

5) Memiliki definisi dan deskripsi yang jelas

Hasil evaluasi menunjukkan jumlah kegiatan dilihat dari jumlah kriteria

indikator yang dipenuhi indikator outcomenya adalah seperti pada tabel 2 berikut.

Tabel 2

Jumlah Kegiatan Berdasarkan Jumlah Kriteria yang Dipenuhi Indikator

Outcomenya

No. Jumlah Kriteria

yang Dipenuhi

Jumlah Kegiatan

Tahun 2009 Tahun 2010

1 5 Kriteria 4 0

2 4 Kriteria 12 4

3 3 Kriteria 15 10

4 2 Kriteria 16 17

5 1 Kriteria 5 11

6 0 Kriteria 34 31

Jumlah 86 73

Dari tabel 2 di atas terlihat bahwa tahun 2009 hanya 4 (empat) dan tahun 2010

tidak ada kegiatan yang indikator outcomenya memenuhi keenam kriteria indikator

yang digunakan dalam menilai kualitas indikator kinerja tersebut. Sebaliknya,

kegiatan yang indikator outcomenya tidak memenuhi satupun kriteria mencapai 40%

(34 dari 86 kegiatan) untuk tahun 2009 dan 42% (31 dari 73 kegiatan) untuk tahun

2010. Ini menunjukkan masih rendahnya kualitas indikator outcome yang digunakan

dalam DPA SKPD tahun 2009 dan 2010.

5.3. Struktur APBD

Anggaran belanja setiap kegiatan dalam Penjabaran APBD Kabupaten Tanah

Datar ditetapkan dengan struktur sebagai berikut:

− kelompok belanja, yaitu belanja tidak langsung dan belanja langsung;

− jenis belanja, yaitu belanja pegawai, belanja barang dan jasa, dan belanja modal;

Page 21: Analisis Penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja1

20

− objek belanja, yaitu rincian dari masing-masing jenis belanja;

− rincian objek belanja, yaitu rincian dari masing-masing objek belanja.

Dalam pelaksanaannya, struktur anggaran di atas cenderung tidak fleksibel

dimana belanja harus dilaksanakan sesuai dengan rincian objek belanja yang

ditetapkan. Penggunaan anggaran suatu rincian objek belanja untuk rincian objek

belanja lainnya dalam objek belanja yang sama hanya dapat dilakukan dengan terlebih

dahulu melalui mekanisme pergeseran anggaran. Demikian juga dengan pergeseran

anggaran dari suatu objek belanja ke objek belanja lainnya dalam jenis belanja yang

sama. Bahkan, pergeseran anggaran dari suatu jenis belanja ke jenis belanja lainnya

dalam satu kegiatan dan dari suatu kegiatan ke kegiatan lainnya dalam satu program

harus dengan persetujuan DPRD (legislatif).

Dengan struktur belanja seperti di atas, terlihat bahwa APBD Pemerintah

Kabupaten Tanah Datar masih disusun dengan pendekatan line item budgeting dimana

anggaran menyajikan pengeluaran-pengeluaran berdasarkan input atau sumber daya

yang digunakan. Hal ini tidak sejalan dengan salah satu persyaratan penerapan

performance-based budgeting yaitu klasifikasi pengeluaran ditetapkan berdasarkan

program (program based). Dalam anggaran yang ditetapkan berdasarkan program,

rincian belanja dalam suatu program atau kegiatan hanya bersifat informasi saja dan

tidak mengikat sehingga pelaksanaan belanja menjadi lebih fleksibel dan pengguna

anggaran (executing agencies) tidak terikat dengan rincian belanja yang rigid.

6. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerapan Performance Based

Budgeting

Dari hasil wawancara dan studi dokumentasi atas informasi yang didapat dapat

disimpulkan faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan performance based

budgeting pada Pemerintah Kabupaten Tanah Datar, yaitu:

Page 22: Analisis Penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja1

21

− Keterbatasan dana

− Keterbatasan sumber daya manusia (SDM)

− Kurangnya dukungan legislatif

− Kelemahan data kinerja

6.1. Keterbatasan Dana

Keterbatasan dana mempengaruhi perilaku aparat perencanaan pada SKPD

Pemerintah Kabupaten Tanah Datar dalam menetapkan indikator kinerja pada proses

penyusunan anggaran. Dalam perencanaan tahunan, program dan/atau kegiatan yang

akan dilaksanakan untuk mencapai target kinerja yang direncanakan telah dirumuskan

dalam dokumen perencanaan tahunan, yaitu Rencana Kerja Pemerintah Daerah

(RKPD). RKPD diantaranya berisikan target kinerja yang harus dicapai beserta

program dan kegiatan yang akan dilaksanakan untuk mencapai target tersebut.

Namun, tidak semua program dan/atau kegiatan tersebut akan dapat ditampung dalam

rancangan anggaran yang dituangkan dalam Rencana Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah (RAPBD) dikarenakan adanya keterbatasan dana. Kondisi ini

mempengaruhi perilaku aparat perencanaan SKPD dalam merumuskan indikator

kinerja yaitu kurangnya kesungguhan dan keseriusan dalam merumuskan indikator

kinerja tersebut yang mengakibatkan rendahnya kualitas indikator kinerja yang

ditetapkan. Diantara perilaku yang terjadi adalah adanya penggantian indikator

dan/atau target kinerja dari yang telah dirumuskan dalam dokumen perencanaan

karena dengan dana yang tersedia tidak mungkin merealisasikan indikator dan/atau

target kinerja tersebut.

Keterbatasan sumber dana Pemerintah Kabupaten Tanah Datar terlihat dari

minimnya dana yang tersedia untuk digunakan dalam melaksanakan program dan

kegiatan. Sumber pendapatan Kabupaten Tanah Datar umumnya didominasi oleh

Page 23: Analisis Penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja1

22

Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi

Khusus (DAK). Sebagai kabupaten yang tidak banyak memiliki sumber pendapatan

daerah, PAD Kabupaten Tanah Datar masih sangat terbatas dan tidak memberikan

kontribusi yang berarti dalam pembangunan. Sementara itu, penggunaan DAU

diprioritaskan untuk pembayaran gaji pegawai negeri sipil daerah dan keperluan rutin

kantor lainnya sehingga hanya sedikit yang dapat digunakan untuk melaksanakan

program dan kegiatan. Dengan demikian, hanya DAK yang secara signifikan

mempunyai kontribusi membiayai aktifitas pelayanan publik dan pembangunan

daerah. Namun, DAK peruntukannya telah ditentukan oleh pemerintah pusat sehingga

pemerintah daerah tidak leluasa menggunakannya untuk melaksanakan program dan

kegiatan untuk mencapai target kinerja yang direncanakan.

6.2. Keterbatasan Sumber Daya Manusia

Implementasi performance based budgeting sangat ditentukan oleh kapasitas

administrasi pemerintahan. Kapasitas administrasi yang ada harus mampu

menerjemahkan konsep-konsep performance based budgeting ke praktek-praktek

birokrasi pemerintahan. Sejarah reformasi penganggaran mencatat bahwa kegagalan

suatu inisatif baru sering tidak disebabkan oleh konsep, maksud ataupun nilai yang

dibawa oleh inisiatif baru tersebut, melainkan oleh masalah-masalah operasional yaitu

seberapa baik pihak-pihak yang terkait mengatasi masalah-masalah dalam

penerapannya dan apakah mereka dapat mempertahankan dukungan untuk menjaga

momentum perubahan yang sedang dialami. Dengan kata lain kegagalan tersebut

sering disebabkan oleh ketidaksiapan kapasitas administrasi pemerintahan dalam

menerapkan inisiatif atau konsep baru tersebut. Salah satu untur penting dalam

kapasitas administrasi adalah kualitas sumber daya manusia (SDM).

Page 24: Analisis Penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja1

23

Kelemahan sumber daya manusia merupakan salah satu faktor yang

mempengaruhi penerapan performance based budgeting pada Pemerintah Kabupaten

Tanah Datar. Latar belakang pegawai atau staf bagian perencanaan pada SKPD yang

tidak memiliki ilmu perencanaan, baik yang diperoleh dari latar belakang pendidikan

maupun melalui pelatihan-pelatihan, menyebabkan lemahnya kualitas SDM dalam

perencanaan. Lemahnya kualitas SDM mengakibatkan masih kurangnya pemahaman

petugas perencanaan SKPD mengenai indikator kinerja sehingga indikator kinerja

yang dirumuskan dalam dokumen anggaran baru sebatas melanjutkan apa yang ada

sebelumnya tanpa melihat bagaimana kualitasnya. Lemahnya kualitas SDM juga

sering mengakibatkan perbedaan pemahaman antara tim anggaran pemerintah daerah

(TAPD) dengan tim anggaran SKPD mengenai performance based budgeting. TAPD

cenderung menyeleksi kegiatan-kegiatan yang diajukan oleh SKPD yang sesuai

dengan prioritas dan menunjang visi dan misi daerah yang terdapat dalam RPJM.

Namun, hal ini sering dianggap oleh SKPD hanya sebagai membagi-bagi proyek.

6.3. Kurangnya Dukungan Legislatif

Dukungan politis yang kuat dan konsisten dari legislatif sangat penting dalam

memulai penerapan performance based budgeting pada pemerintah daerah. Legislator

seharusnya terlibat dalam menetapkan tujuan, membangun indikator kinerja,

memantau proses, dan mengevaluasi hasil. Penganggaran kinerja tidak mungkin

berhasil jika pihak eksekutif dan legislatif berbeda pendapat mengenai pentingnya

reformasi penganggaran kinerja dan manfaat yang dapat diperoleh dari reformasi

penganggaran kinerja tersebut.

Masih kurangnya dukungan dari pihak legislatif, dalam hal ini dewan

perwakilan rakyat daerah (DPRD), menjadi salah satu faktor belum berjalannya

implementasi performance based budgeting dengan baik pada Pemerintah Kabupaten

Page 25: Analisis Penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja1

24

Tanah Datar. Dalam pembahasan mengenai perencanaan dan pengganggaran anggota

legislatif cenderung lebih melihat kepada aspek politis suatu rencana kegiatan

daripada kebutuhan riil yang melatarbelakangi kegiatan tersebut.

Kurangnya dukungan anggota legislatif juga terlihat dari apa yang menjadi

perhatian anggota dewan dalam pembahasan rancangan anggaran. Dalam Peraturan

Pemerintah (PP) Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah

sebenarnya telah tergambar peran DPRD dalam proses perencanaan tahunan dan

penganggaran pemerintah daerah. DPRD sudah terlibat secara aktif sejak dari

penyusunan RKPD, KUA, PPAS sampai dengan pembahasan RAPBD yang diajukan

pemerintah daerah. RAPBD pada hakekatnya merupakan kumpulan dari program dan

kegiatan yang dimuat dalam rencana kerja dan anggaran (RKA) yang dibuat oleh

setiap SKPD untuk menjabarkan anggaran dari kegiatan-kegiatan yang telah

disepakati oleh legislatif dan eksekutif dalam KUA dan PPAS. Dengan demikian

dalam pembahasan anggaran harusnya anggota legislatif lebih memberikan perhatian

terhadap kesesuaian kegiatan-kegiatan yang dimuat dalam RKA dengan yang

disepakati dalam KUA dan PPAS, termasuk ketepatan indikator kinerja yang

digunakan. Namun, dalam pelaksanaannya anggota dewan lebih fokus pada rincian

pekerjaan fisik suatu kegiatan daripada indikator kinerja yang dicantumkan dalam

rencana kerja dan anggaran (RKA) SKPD. Rincian pekerjaan sendiri merupakan

rincian atau uraian lebih lanjut dari suatu kegiatan atau item belanja yang dimuat

dalam RKA SKPD yang seharusnya bukan lagi domainnya legislatif.

Dari uraian di atas dapat terlihat bahwa kurangnya dukungan legislatif menjadi

salah satu kendala Pemerintah Kabupaten Tanah Datar dalam mengimplementasikan

performance based budgeting. Peran legislatif dalam mengawal proses penganggaran

agar anggaran yang dihasilkan selalu selaras dengan dokumen perencanaan stratejik

Page 26: Analisis Penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja1

25

(RPJMD) dan dokumen perencanaan tahunan (SKPD), termasuk dalam penetapan

indikator kinerja, sangat penting dalam penerapan performance based budgeting.

6.4. Kelemahan Data Kinerja

Salah satu aktivitas utama dalam performance based budgeting adalah

mendapatkan data kuantitatif indikator kinerja dan membuat keputusan mengenai

penganggarannya sesuai target kinerja yang ditetapkan. Proses mendapatkan data

kuantitatif bertujuan untuk memperoleh informasi dan pengertian tentang berbagai

program yang menghasilkan output dan outcome yang diharapkan. Perolehan dan

penyajian data kuantitatif juga akan menjelaskan bagaimana manfaat setiap program

bagi rencana strategis. Sedangkan proses pengambilan keputusannya melibatkan

setiap level dari manajemen pemerintahan. Pemilihan dan prioritas program yang

akan dianggarkan tersebut akan sangat tergantung pada data tentang target kinerja

yang diharapkan dapat dicapai.

Lemahnya sistem pengumpulan data kinerja merupakan salah satu faktor

belum berjalannya performance based budgeting pada Pemerintah Kabupaten Tanah

Datar. Sistem pengumpulan data kinerja yang menjamin ketersediaan data kinerja

setiap waktu merupakan persyaratan mutlak untuk dapat diterapkannya sistem

manajemen kinerja pada pemerintah daerah. Kurang tersedianya data yang dibutuhkan

pada saat yang tepat menjadi kendala dalam merumuskan indikator kinerja dan

penetapan target kinerja. Demikian juga, pengukuran dan evaluasi kinerja tidak dapat

dilaksanakan jika data kinerja yang tersedia tidak andal.

7. Simpulan

Pemerintah Kabupaten Tanah Datar telah menerapkan performance based

budgeting dalam penyusunan APBD untuk tahun anggaran 2009 dan 2010. Ini

ditandai dengan adanya indikator kinerja, berupa output dan outcome, dalam

Page 27: Analisis Penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja1

26

Dokumen Pelaksanaan Angaran (DPA) SKPD Pemerintah Kabupaten Tanah Datar.

Namun, hasil penilaian terhadap indikator kinerja tersebut menunjukkan bahwa secara

umum indikator kinerja yang digunakan dalam dokumen anggaran tersebut belum

memenuhi kriteria indikator kinerja yang baik. Kondisi ini berimplikasi pada

penggunaan indikator kinerja tersebut dalam penyusunan anggaran dimana indikator

kinerja tersebut tidak bisa dikaitkan secara langsung dengan anggaran yang ditetapkan

untuk kegiatan yang terkait. Dengan demikian, persyaratan mendasar dalam

penerapan bentuk sederhana performance based budgeting belum terpenuhi dalam

penyusunan APBD Kabupaten Tanah Datar tahun anggaran 2009 dan 2010.

Faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan performance based budgeting

pada Pemerintah Kabupaten Tanah Datar adalah:

1) Keterbatasan dana

Keterbatasan dana mempengaruhi perilaku aparat perencanaan pada SKPD

Pemerintah Kabupaten Tanah Datar dalam menetapkan indikator kinerja pada

proses penyusunan anggaran sehingga mengakibatkan belum berjalannya

performance based budgeting pada Pemerintah Kabupaten Tanah Datar.

2) Keterbatasan sumber daya manusia (SDM)

Keterbatasan sumber daya manusia mengakibatkan masih kurangnya pemahaman

petugas perencanaan SKPD mengenai indikator kinerja sehingga indikator kinerja

yang dirumuskan dalam dokumen anggaran baru sebatas melanjutkan apa yang

ada tahun sebelumnya tanpa melihat bagaimana kualitasnya.

3) Kurangnya dukungan legislatif

Kurangnya dukungan legislatif terlihat dalam pembahasan mengenai perencanaan

dan pengganggaran dimana anggota legislatif cenderung lebih melihat kepada

Page 28: Analisis Penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja1

27

aspek politis suatu rencana kegiatan daripada kebutuhan riil yang

melatarbelakangi kegiatan tersebut.

4) Kelemahan data kinerja

Kurang tersedianya data yang dibutuhkan pada saat yang tepat menjadi kendala

dalam merumuskan indikator kinerja dan penetapan target kinerja.

Page 29: Analisis Penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja1

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). 2005. Pedoman Penyusunan

Anggaran Berbasis Kinerja (Revisi). Jakarta

Bastian, Indra. 2006. Akuntansi Sektor Publik: Suatu Pengantar. Penerbit Erlangga.

Jakarta.

Curristine, Teresa. 2005. Performance Information in the Budget Process: Results of

the OECD 2005 Questionnaire. OECD Journal on Budgeting. Volume 5 –

No. 2.

Carlin, Tyrone M. 2003. Victoria’s Accrual Output Based Budgeting System –

Delivering as Promise? Some Empirical Evidence. MGSM Working Papers in

Management. Macquarie Graduate School of Management. Sydney

Carlin, Tyrone M. 2004. Output Based-Budgeting and the Management of

Performance. MGSM Working Papers in Management. Macquarie Graduate

School of Management. Sydney

Diamond, Jack. 2002. Performance Budgeting – Is Accrual Acounting Required?. IMF

Working Paper 02/240. International Monetary Fund. Washington.

Diamond, Jack. 2003. From Program to Performance Budgeting: The Challenge for

Emerging Market Economies. IMF Working Paper 03/69. International

Monetary Fund. Washington.

Diamond, Jack. 2005. Establishing a Performance Management Framework for

Government. IMF Working Paper 05/50. International Monetary Fund.

Washington.

Hou, Yilin. 2010. The Performance of Performance-Based Budgeting in Boom and

Bust Years: An Analytical Framework and Survey of States. Prepared for

Presentation at the Annual Conference of the American Society for Public

Administration (ASPA) San Jose, CA, April 9-13, 2010.

Hughes, Owen E. 1998. Public Management and Administration: An Introduction.

Macmillan. Melbourne.

Jones, Rowan. 2007. Financial Accounting and Reporting. Public Sector and

Governance and Accountability Series: Local Public Financial Management.

World Bank.

Kementerian Dalam Negeri RI. 2006. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13

Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Jakarta

Kementerian Dalam Negeri RI. 2007. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59

Tahun 2007 tentang Revisi atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13

Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Jakarta

Page 30: Analisis Penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja1

Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN). 2005. Sistem Akuntabilitas

Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) dalam Konstelasi Peraturan Perundangan

Manajemen Sektor Publik. Jakarta

Mardiasmo. 2005. Akuntansi Sektor Publik. Edisi Kedua. Penerbit Andi. Yoyakarta.

McNab, Robert M. and Francois Melese. 2001. Implementing GPRA: Examining the

Prospects for Performance Budgeting in The Federal Goverment.

Pemerintah Kabupaten Tanah Datar. 2006. Peraturan Bupati Tanah Datar Nomor 20

Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)

Kabupaten Tanah Datar Tahun 2006 - 2010. Batusangkar.

Rasul, Sjahruddin. 2003. Pengintegrasian Sistem Akuntabilitas Kinerja dan Anggaran

dalam Perspektif UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara. PNRI. Jakarta.

Republik Indonesia. 2003. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan

Negara.

Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah.

Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang

Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Republik Indonesia. 2005. Peraturan Pemerintah RI Nomor 58 Tahun 2005 tentang

Pengelolaan Keuangan Daerah.

Republik Indonesia. 2008. Peraturan Pemerintah RI Nomor 8 Tahun 2008 tentang

Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan

Rencana Pembangunan Daerah.

Robinson, Marc and D. Last. 2009. A Basic Model of Performance-Based Budgeting.

Technical Notes and Manuals. International Monetary Fund. Washington.

Robinson, Marc and J. Brumby. 2005. Does Performance-Based Budgeting Work?: An

Analytical Review of the Empirical Literature. IMF Working Paper 05/210.

International Monetary Fund. Washington.

Rubin, Irene. 2007. Budget Formats: Choices and Implications. Public Sector and

Governance and Accountability Series: Local Budgeting. World Bank.

Shah, Anwar and Chunli Shen. 2007. Citizen-Centric Performance Budgeting at the

Local Level. Public Sector and Governance and Accountability Series: Local

Budgeting. World Bank.

Young, Richard D. 2003. Performance-Based Budget Systems. Public Policy and

Practice. Institude for Public Service and Policy Research. University of

South Carolina.